Upload
others
View
4
Download
1
Embed Size (px)
Citation preview
STUDI ANALISIS PASAL 80 KOMPILASI HUKUM ISLAM
(KHI) TENTANG TAMKI><N SEMPURNA SEBAGAI SYARAT
PEMENUHAN KEWAJIBAN SUAMI TERHADAP ISTRI
SKRIPSI
Oleh
Farihatul Bayyuroh
NIM. C71214076
Universitas Islam Negeri Sunan Ampel
Fakultas Syariah dan Hukum
Jurusan Hukum Perdata Islam
Prodi Hukum Keluarga
SURABAYA
2019
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
i
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
i
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
iv
LAMPIRAN PUBLIKASI
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
v
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
vi
ABSTRAK
Skripsi yang berjudul ‚Studi Analisis Pasal 80 Kompilasi Hukum Islam
Tentang Tamki>n Sempurna Sebagai Syarat Pemenuhan Kewajiban Suami
Terhadap Istri‛ adalah hasil penelitian pustaka untuk menjawab pertanyaan
tentang, 1) Bagaimana ketentuan tamki>n Sempurna Sebagai Syarat
Pemenuhan Kewajiban Suami Terhadap Istri dalam pasal 80 Kompilasi
Hukum Islam? 2) Bagaimana akibat hukumnya apabila tamki>n sempurna
sebagai syarat pemenuhan kewajiban suami terhadap istri dalam pasal 80
Kompilasi Hukum Islam tidak terpenuhi ?
Penelitian ini merupakan jenis penelitian kepustakaan (library research),
yaitu penelitian yang menggunakan sumber data dari buku maupun kitab
yang sesuai dengan pokok masalah yang dikaji. Penelitian ini bersifat
deskriptif analisis, yaitu memaparkan dan menganalisis data terhadap
ketentuan pasal 80 Kompilasi Hukum Islam tentang tamki>n sempurna
sebagai syarat pemenuhan kewajiban suami terhadap istri.
Dalam penelitian ini, menggunakan pola pikir deduktif yaitu memaparkan
pola pikir yang berasal dari pengetahuan yang bersifat umum yang kemudian
digunakan untuk menilai suatu kejadian yang bersifat khusus. Yaitu data
tentang hak dan kewajiban suami terhadap istri kemudian digunakan untuk
menganalis tamki>n sempurna dalam pasal 80 Kompilasi Hukum Islam.
Hasil penelitian menyimpulkan bahwa, ketentuan tamki>n Sempurna
Sebagai Syarat Pemenuhan Kewajiban Suami Terhadap Istri dalam pasal 80
KHI dimana dijelaskan bahwa berlakunya nafkah seorang istri akan
terlaksana apabila istri telah melaksanakan tamki>n sempurna. Yang dimaksud
dengan tamki>n sempurna di sini adalah suatu kondisi dimana seorang istri
telah merelakan dirinya digauli oleh suaminya, menunaikan kewajibannya
melayani suami dengan sebaik-baiknya`. Menurut hukum posistif jika tamki>n
sempurna dalam pasal 80 ayat 5 KHI tidak terpenuhi maka istri tidak berhak
mendapatkan: nafkah, kiswah dan tempat kediaman bagi istri, biaya rumah
tangga, biaya perawatan dan biaya pengobatan bagi istri dan anak.
Sedangkan dalam Hukum Islam apabila istri tidak memenuhi syarat istri
untuk mendapatkan nafkah yaitu tidak adanya tamki>n sempurna yang
ditegaskan dalam pengertian para ulama’ maka istri tidak berhak
mendapatkan nafkah atasnya. Tetapi terdapat juga ulama yang mengatakan
bahwa istri tetap mendapatkan haknya yaitu nafkah, kiswah dan tempat
tinggal setelah akad itu terjadi meskipun istri belum bergaul dengan
suaminya.
Sejalan dengan kesimpulan di atas, maka penulis menyarankan agar
pasangan suami istri lebih memperhatikan adanya tamki>n sempurna sebagai
syarat pemenuhan kewajiban suami terhadap istri dengan begitu, keduanya
tidak ada yang merasa dirugikan dan dapat melaksanakan kewajibannya
masing-masing.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
vii
DAFTAR ISI
SAMPUL DALAM ............................................................................................................. i
PERNYATAAN KEASLIAN ........................................................................................... ii
PERSETUJUAN PEMBIMBING ...................................................................................... iii
PENGESAHAN ................................................................................................................. iv
MOTTO ............................................................................................................................ v
PERSEMBAHAN .............................................................................................................. vi
ABSTRAK ........................................................................................................................ vii
KATA PENGANGANTAR ................................................................................................ viii
DAFTAR ISI ...................................................................................................................... x
DAFTAR TRANSLITERASI ............................................................................................. xi
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang ............................................................................... 1
B. Identifikasi dan Batasan Masalah .................................................. 8
C. Rumusan Masalah .......................................................................... 9
D. Kajian Pustaka ............................................................................... 9
E. Tujuan Penelitian ........................................................................... 12
F. Kegunaan Hasil Penelitian ............................................................. 13
G. Definisi Operasional ...................................................................... 13
H. Metode Penelitian .......................................................................... 15
I. Sistematika Pembahasan ............................................................... 18
BAB II HAK DAN KEWAJIBAN SUAMI ISTRI
A. Pengertian Hak dan Kewajiban Suami .......................................... 20
B. Macam-Macam Kewajiban Suami................................................. 23
C. Sebab-Sebab Pemenuhan Kewajiban Suami ................................. 31
D. Pendapat Ulama Tentang Tamki>n Sempurna Sebagai Syarat
Pemenuhan Kewajiban Suami Terhadap Istri ............................... 34
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
viii
BAB III TAMKI>N SEMPURNA DALAM PASAL 80 KOMPILASI HUKUM
ISLAM
A. Latar Belakang Penyusunan Kompilasi Hukum Islam .................. 45
B. Proses Penyusunan Kompilasi Hukum Islam ................................ 66
C. Landasan dan Kedudukan Kompilasi Hukum Islam ..................... 68
D. Isi Kompilasi Hukum Islam ........................................................... 75
E. Tamki>n Sempurna Dalam Pasal 80 Kompilasi Hokum Islam ...... 77
F. Latar Belakang Munculnya Penyusunan Tamki>n Sempurna
Dalam Pasal 80 Kompilasi Hokum Islam ...................................... 78
BAB IV ANALISIS TERHADAP TAMKI>N SEMPURNA SEBAGAI SYARAT
PEMENUHAN KEWAJIBAN SUAMI DALAM PASAL 80
KOMPILASI HUKUM ISLAM
A. Analisis Terhadap Ketentuan Pasal 80 Kompilasi Hukum
Islam Tentang Tamki>n Sempurna ................................................. 90
B. Analisis Terhadap Akibat Hukumnya Apabila Tamki>n
Sempurna Sebagai Syarat Pemenuhan Kewajiban Suami
Terhadap Istri Dalam Pasal 80 Kompilasi Hukum Islam Tidak
Terpenuhi ....................................................................................... 94
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan .................................................................................... 103
B. Saran .............................................................................................. 105
DAFTAR PUSTAKA ..........................................................................................................106
LAMPIRAN .......................................................................................................................
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Perempuan dan laki-laki berasal dari satu jenis yang sama, yaitu
manusia (al-insa>n). Setelah terbentuknya dua jenis manusia ini, timbullah
berbagai kebutuhan mereka. Sehingga, hal tersebut menuntut laki-laki untuk
menjalankan tugasnya sebagai seorang laki-laki dan perempuan sesuai dengan
tuntutan kehidupannya. Pada akhirnya kita hanya dapat mengatakan bahwa
kedua bentuk manusia tersebut memiliki berbagai tugas yang harus
diselesaikan, tugas yang dijalankan secara bersama-sama dan tugas yang
harus dikerjakan secara individu.1
Dalam perkawinan status sosial dari laki-laki dan perempuan
berubah menjadi suami dan istri. Dikarenakan ada perubahan status maka ada
pula kewajiban baru yang dulunya seorang laki-laki memiliki tanggung jawab
terhadap agama, orang tua, pekerjaan, lingkungan dan dirinya sendiri. Hak
dan kewajiban tersebut salah satunya adalah masalah nafkah dari suami.
Bahkan kaum muslimin sepakat bahwa perkawinan merupakan salah satu
sebab yang mewajibkan pemberian nafkah, seperti halnya dengan
kekerabatan.2 Kelelakian seorang pria yang paling menonjol adalah masalah
1Syaikh Mutawalli As-Sya‟rwai, Fikih Peremuan (Muslimah) Busana dan Perhiasan,
Penghormatan atas Perempuan, Sampai Wanita Karier, terj. Yessi HM. Basyaruddin, (Jakarta :
AMZAH, cet.ke-3, 2009), 172. 2Muhammad Jawad Mughniyah, al-Fiqh ‘Ala al-Mazahib al-Khamsah, Terj. Masykur, Afif
Muhammad, Idrus al-Kaff, "Fiqih Lima Mazhab", (Jakarta: Lentera, 2001), 400.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
2
pekerjaan, sebab bekerja merupakan alat pencarian nafkah, dan nafkah salah
satu bentuk realisasi ibadah dalam rumah tangga.3
Allah membebankan segi ini kepada pria (suami). Seperti dalam
firman Allah Ta‟ala QS al-Baqarah: 233:
ى ل ود وع ول م ل و ا ن ل ه ن رزق ه وت س روف وك ع م ال ل ف ل ب ك س ت ف ل ن و إ ع وس
‚Dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu
dengan cara ma'ruf. Seseorang tidak dibebani lebih dari
kesanggupannya.‛ (Qs. Al-Baqarah: 233).‛4
Selain itu juga terdapat hadits yang mengatur tentang kewajiban
pemberian nafkah suami kepada istri:
Hakim putra Muawiyah al-Qusyairy, dari ayahnya, berkata: Aku
bertanya: Wahai Rasulullah, apakah hak istri salah seorang di antara
kami? Beliau menjawab: "Engkau memberinya makan jika engkau
makan dan engkau memberinya pakaian jika engkau berpakaian."
Hadits yang telah tercantum dalam Bab bergaul dengan istri.5
Di antara disyariatkannya perkawinan adalah untuk mendapatkan
ketenangan hidup, mendapatkan cinta dan kasih sayang, serta pergaulan yang
baik dalam rumah tangga. Yang demikian baru dapat berjalan secara baik
apabila ditunjang dengan tercakupinya kebutuhan hidup yang pokok bagi
kehidupan rumah tangga. Kewajiban nafkah adalah untuk menegakkan tujuan
dari perkawinan itu.
Berlakunya kewajiban suami untuk memberikan nafkah kepada
istrinya berdasarkan dalil-dalil di atas, mereka berbeda dalam menetapkan
kapan secara hukum dimulai kewajiban nafkah itu. Beda pendapat itu
3Fatihuddin Abul Yasin, Risalah Hukum Nikah, (Surabaya: Sinar Terang, 2006), 70.
4Kementerian Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, (Solo: PT Tiga Serangkai Pustaka
Mandiri, 2013), 37. 5Alhafizh Ibn Hajar Al-‘Asqala>ni, Bulu>ghul Mara>m ,(trjmh Moh. Machfudin Aladip), (Semarang:
PT Toha Putra Semarang, t.t), 582.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
3
bermula dari perbedaan pendapat mereka dalam hal apakah nafkah itu
diwajibkan karena semata melihat kepada akad nikah atau melihat kepada
kehidupan suami istri yang memerlukan nafkah itu.6
Terjadinya perbedaan pendapat ulama dalam hal kapankah seorang
istri berhak atas nafkah dari suaminya dikarenakan ayat dan hadis tidak
menjelaskan secara khusus syarat-syarat wajib nafkah istri. Oleh karena itu
tidak ada ketentuan secara khusus dari nabi SAW mengenai hal tersebut
sehingga di kalangan ulama terdapat perbedaan pendapat dalam menetapkan
syarat-syarat wajibnya seseorang istri mendapatkan nafkah.7
Adapun seorang istri berhak menerima nafkah dari suaminya,
apabila memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:8
a. Dalam ikatan perkawinan yang sah
b. Menyerahkan dirinya kepada suaminya.
c. Suaminya dapat menikmati dirinya. Keduanya saling dapat menikmati.
d. Tidak menolak apabila diajak untuk pindah ke tempat yang dikehendaki
suaminya (kecuali apabila suaminya itu bermaksud untuk merugikan istri
dengan membawa pindah atau membahayakan keselamatan diri dan
hartanya).
Jumhur ulama termasuk ulama Syi’ah Imammiyah berpendapat
bahwa nafkah itu mulai diwajibkan semenjak dimulainya kehidupan rumah
6Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia antara Fiqh Munakahat dan Undang-
Undang Perkawinan, (Jakarta:Kencana, 2009), 168. 7Wahbat az-Zuhayli>, Usu>l al-Fiqh al-Isla>mi> wa Adillatuhu, Juz 10 (Suriah : Da>r al-Fikr bi
Damsyiq, 2002), 73-74. 8Al-sayyid sa>biq, Fiqh al-Sunnah, Juz II, (Beiru>t Libanon: Da>r al-Fath, 1996), 80.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
4
tangga, yaitu semenjak suami telah bergaul dengan istrinya, dalam arti istri
telah memberikan kemungkinan kepada suaminya untuk menggaulinya, yang
dalam fikih disebut dengan tamki>n. Dengan semata terjadinya akad nikah
belum ada kewajiban membayar nafkah. Berdasarkan pendapat ini bila
setelah berlangsungnya akad nikah istri belum melakukan tamki>n, karena
keadaannya ia belum berhak menerima nafkah. 9
Menurut jumhur ulama, suami wajib memberikan nafkah istrinya
apabila:10
a. Istri menyerahkan diri kepada suaminya sekalipun belum melakukan
senggama.
b. Istri tersebut orang yang telah dewasa dalam arti telah layak melakukan
hubungan senggama.
c. Perkawinan suami istri itu telah memenuhi syarat dan rukun dalam
perkawinan.
d. Tidak hilang hak suami untuk menahan istri disebabkan kesibukan istri
yang dibolehkan agama.
Yang berbeda pendapat dengan jumhur ulama di atas adalah
golongan Zhahiriyah. Bagi mereka kewajiban nafkah dimulai semenjak akad
nikah, bukan dari tamki>n, baik istri yang telah melangsungkan akad nikah itu
memberi kesempatan kepada suaminya untuk digauli atau tidak, sudah
9Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam Di Indonesia, Antara Fiqh Munakahat…, 168.
10Wahbat al-Zuhaili>, Usu>l al-Fiqh al-Isla>mi> wa Adillatuhu…, 736.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
5
dewasa atau masih kecil, secara fisik mampu melayani kebutuhan seksual
suaminya atau tidak, sudah janda atau masih perawan.11
Ada beberapa keterangan yang telah diterangkan mengenai
kewajiban suami. Menurut Hukum Islam yang menerangkan bahwa tanggung
jawab terbesar dalam keluarga adalah berada di pundak pemimpin, yaitu
seorang suami. Suami wajib membawa anggotanya ke jalan yang bahagia.
Undang-undang Perkawinan Nomor 1 tahun 1974, mengatakan
Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dan wanita sebagai
suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia
dan kekal sesuai Ketuhanan Yang Maha Esa. Apabila akad nikah telah
berlangsung dan sah sesuai syarat dan rukunnya, maka akan menimbulkan
akibat hukum. Dengan demikian, akan menimbulkan pula hak dan
kewajibannya selaku suami istri dalam keluarga.12
Dalam UU Perkawinan Nomor 1 tahun 1974 pada Bab VI yang
menerangkan hak dan kewajiban suami-isteri:
Pasal 30
Suami-isteri memikul kewajiban yang luhur untuk menegakkan
rumah tangga yang menjadi sendi dasar susunan masyarakat.
Pasal 31
1) Hak dan kedudukan isteri adalah seimbang dengan hak dan kedudukan
suami dalam kehidupan rumah tangga dan pergaulan hidup bersama
dalam masyarakat.
2) Masing-masing pihak berhak untuk melakukan perbuatan hukum.
3) Suami adalah kepala keluarga dan isteri ibu rumah tangga.
Pasal 32
1) Suami-isteri harus mempunyai tempat kediaman yang tetap.
2) Rumah tempat kediaman yang dimaksudkan dalam ayat (1) pasal ini
ditentukan oleh suami-isteri bersama.
11
Ibnu Hazmin, Al-Muhalla (Mesir : Mathba’ah Aljumhuriyah Al-Arabiyah, 1970), 249. 12
Abd. Rahman Ghazali, Fiqh Munakahat, (Jakarta Timur : Prenada Media, 2003), 155.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
6
Pasal 33
Suami isteri wajib saling saling cinta mencintai, hormat
menghormati, setia dan memberi bantuan lahir bathin yang satu kepada yang
lain.
Pasal 34
1) Suami wajib melindungi isterinya dan memberikan segala sesuatu
keperluan hidup berumah tangga sesuai dengan kemampuannya.
2) Isteri wajib mengatur urusan rumah-tangga sebaik-baiknya.
3) Jika suami atau isteri melalaikan kewajibannya masing-masing dapat
mengajukan gugatan kepada Pengadilan.
Dalam Kompilasi Hukum Islam, kewajiban suami istri terdapat pada
Pasal 77 sebagai berikut :13
1) Suami isteri memikul kewjiban yang luhur untuk menegakkan rumah
tangga yang sakinah, mawaddah dan rahmah yang menjadi sendi dasar
dan susunan masyarakat;
2) Suami istri wajib saling cinta mencintai, hormat menghormati, setia dan
memberi bantuan lahir batin yang satu kepada yang lain;
3) Suami istri memikul kewajiban untuk mengasuh dan memelihara anak-
anak meraka, baik mengenai pertumbuahan jasmani, rohani maupun
kecerdasannya dan pendidikannya;
4) Suami istri wajib memelihara kehormatannya;
5) Jika suami atau istri melalaikan kewajibannya masing-masing dapat
mengajukan gugatan kepada Pengadilan Agama;
Pada pasal 78 sebagai berikut:
1) Suami isteri harus mempunyai tempat kediaman yang tetap.
2) Rumah kediaman yang dimaksud dalam ayat (1), ditentukan oleh suami
isteri bersama.
Kewajiban suami terhadap istri di Indonesia ini telah tertulis pula
pada Kompilasi Hukum Islam, di pasal 80 sebagai berikut:14
1) Suami adalah pembimbing terhadap istri dan rumah tangganya, akan
tetapi mengenai hal-hal urusan rumah tangga yang penting-penting
diputuskan oleh suami istri bersama.
2) Suami wajib melidungi isterinya dan memberikan segala sesuatu
keperluan hidup berumah tangga sesuai dengan kemampuannya.
3) Suami wajib memberikan pendidikan agama kepada isterinya dan
memberi kesempatan belajar pengetahuan yang berguna dan bermanfaat
bagi agama, nusa dan bangsa.
4) Sesuai dengan penghasilannya suami menanggung :
a. Nafkah, kiswah dan tempat kediaman bagi istri;
13
Ibid., 157. 14
Ibid., 161.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
7
b. Biaya rumah tangga, biaya perawatan dan biaya pengobatan bagi isteri
dan anak;
c. Biaya pendidikan bagi anak.
5) Kewajiban suami terhadap isterinya seperti tersebut pada ayat (4) huruf a
dan b di atas mulai berlaku sesudah ada tamki>n sempurna dari isterinya.
6) Isteri dapat membebaskan suaminya dari kewajiban terhadap dirinya
sebagaimana tersebut pada ayat (4) huruf a dan b.
7) Kewajiban suami sebagaimana dimaksud ayat (5) gugur apabila istri
nusyuz.
Di Indonesia sendiri, salah satu peraturan perundang-undangan yang
mengatur tentang perkawinan adalah Kompilasi Hukum Islam (KHI). Rukun
perkawinan juga diatur dalam KHI. Pasal 14 KHI menyebutkan bahwa untuk
melaksanakan perkawinan maka harus ada calon suami, calon istri, wali
nikah, dua orang saksi, serta ijab dan kabul. Bila kelima unsur tersebut
terpenuhi, maka perkawinannya berhukum sah. Begitupun sebaliknya, bila
salah satu dari unsurnya tidak terpenuhi, maka perkawinan berhukum tidak
sah.
Terkait dengan syarat pemenuhan kewajiban suami terhadap istri
KHI pasal 80 ayat (5) menyebutkan bahwa kewajiban suami terhadap istri
hanya akan terpenuhi jika syarat didalamnya telah terlaksana yaitu sesudah
adanya tamki>n sempurna dari istri.
Bila melihat pasal 80 KHI ayat (5) yang berbunyi : Kewajiban suami
terhadap istrinya seperti tersebut pada ayat (4) huruf a dan b di atas mulai
berlaku sesudah ada tamki>n sempurna dari isterinya. Yang dimana ayat (4) a
dan b berbunyi : sesuai dengan penghasilannya suami menanggung:
a. Nafkah, kiswah dan tempat kediaman bagi isteri;
b. Biaya rumah tangga, biaya perawatan dan biaya pengobatan bagi isteri
dan anak.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
8
Berkaitan dengan kewajiban suami terhadap istri dan kapankah
kewajiban itu dilakukan oleh suami masih menuai banyak perbedaan. Di
antaranya adalah syarat istri mendapatkan nafkah yang di dalam kompilasi
Hukum Islam pasal 80 ayat (5) disebutkan harus adanya tamki>n sempurna
dari istri. Maka penulis berkepentingan untuk melakukan penelitian lebih
jauh lagi mengenai Studi Analisis Pasal 80 Kompilasi Hukum Islam (KHI)
tentang apa makna sebenarnya dari kata Tamki>n Sempurna Sebagai Syarat
Pemenuhan Kewajiban Suami terhadap Istri.
B. Identifikasi dan Batasan Masalah
Berdasarkan masalah di atas, terdapat beberapa masalah dalam
penelitian ini. Penulis mengidentifikasi inti permasalahan yang terkandung di
dalamnya sebagai berikut:
1. Pemenuhan kewajiban suami terhadap istri dalam Kompilasi Hukum
Islam dan prespektif Hukum Positif.
2. Deskripsi Tamki>n sempurna dalam Kompilasi Hukum Islam dan dalam
fiqh.
3. Kriteria Tamki>n sempurna.
4. Faktor-faktor yang melatarbelakangi KHI yang mengatur tentang tamki>n
sempurna sebagai syarat pemenuhan kewajiban suami terhadap istri.
5. Analisis Kompilasi Hukum Islam terhadap tamki>n sempurna sebagai
syarat pemenuhan kewajiban suami terhadap istri.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
9
Dengan adanya banyak permasalahan tersebut di atas, agar sebuah
penelitian bisa fokus dan sistematis, maka disusunlah batasan masalah yang
merupakan batasan terhadap masalah yang akan diteliti. Adapun batasan
masalah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Tamki>n sempurna sebagai syarat pemenuhan kewajiban suami terhadap
istri berdasarkan kompilasi hukum Islam dan hukum Islam.
2. Deskripsi tentang substansi yang terkandung dalam Pasal 80 KHI
mengenai tamki>n sempurna sebagai syarat pemenuhan kewajiban suami
terhadap istri.
C. Rumusan masalah
1. Bagaimana ketentuan Tamki>n Sempurna Sebagai Syarat Pemenuhan
Kewajiban Suami Terhadap Istri dalam pasal 80 Kompilasi Hukum
Islam?
2. Bagaimana akibat hukumnya apabila tamki>n sempurna sebagai syarat
pemenuhan kewajiban suami terhadap istri dalam pasal 80 Kompilasi
Hukum Islam tidak terpenuhi ?
D. Kajian pustaka
Kajian pustaka adalah deskripsi ringkas tentang kajian atau
penelitian yang sudah pernah dilakukan di seputar masalah yang akan diteliti
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
10
sehingga terlihat jelas bahwa kajian yang akan dilakukan ini tidak merupakan
pengulangan atau duplikasi dari kajian atau penelitian yang telah ada.15
Menurut penelusuran yang telah peniliti lakukan, belum ada kajian
yang membahas tentang tamki>n sempurna sebagai syarat pemenuhan
kewajiban suami terhadap istri yang berfokus pada syarat tamki>n sempurna
sebagai pemenuhan keawajiban suami terhadap isteri. Namun ada peneliti
yang menulis skripsi yang menyinggung tentang nafkah.
1. Skripsi karya Nora Fajar Febriana, yang berjudul ‚Hak Istri dalam
Mendapatkan Nafkah Menurut Asghar Ali Enginer‛. Dalam skripsi ini
dibahas tentang kewajiban memberikan nafkah diberikan oleh suami
kepada istri untuk memenuhi kebutuhan pokok berupa makanan, pakaian
dan tempat tinggal, memberikan nafkah istri sesuai dengan kemampuan.
Kewajiban memberikan nafkah kepada istri dari terjadinya pernikahan
yang sah sampai ketika terjadinya perceraian maka nafkahnya tidak
dibatasi sampai ‘iddahnya.16
2. Skripsi karya Miftahul Falah (IAIN Walisongo Semarang), yang berjudul
‚Sengketa Suami Istri Tentang Nafkah (Analisis Pendapat Imam Syafi'i
terhadap Istri yang Membantah Pengakuan Suami tentang Nafkah)‛.
Dalam skripsi ini disebutkan bahwa Menurut Imam Syafi'i, apabila terjadi
15
Tim Fakultas Syariah IAIN Sunan Ampel Surabaya, Petunjuk Teknis Penulisan Skripsi, Cet. V
(Surabaya: Fakultas Syariah IAIN Sunan Ampel, 2014), 9. 16
Nora Fajar Febriana, ‚Hak Istri dalam Mendapatkan Nafkah Menurut Asghar Ali Enginer‛
(Skripsi—STAIN Purwokerto, Purwokerto, 2012).
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
11
sengketa suami istri dalam hal nafkah, maka yang harus dipegang adalah
perkataan isteri.17
3. Skripsi karya Akmalya Uqtuv (UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta), yang
berjudul ‚Hak Dan Kewajiban Suami-Istri Dalam Keluarga (Studi
Pemikiran Syaikh Muhammad ‘Ali> As-Sa>bu>ni> Dalam Kitab Az-Zawa>j al-
Isla>mi> Al-Mubakkir: Sa’a>dah Wa Hasana>h)‛. dalam skripsi ini dsebutkan
bahwa interaksi antara suami dan istri telah diatur oleh syariat Islam yang
terkait dengan kehidupan berkeluarga. Terdapat kewajiban dan hak
masing-masing yang harus dipenuhi suami atau istri secara tidak langsung
akan menjamin pemenuhan hak keduanya, hanya saja disini lebih
menekankan kepada kewajiban suami untuk melayani suami dan
mendidik anak.18
4. Skripsi karya Achmad Badarus Syamsi (UIN Sunan Kalijaga) yang
berjudul ‚Hak Dan Kewajiban Istri Dalam Rumah Tangga (studi
komparasi antara hukum keluarga Islam dan konvensi cedaw)‛. Dalam
skripsi ini lebih cendong membahas tentang hak dan kewajiban istri
dalam konvensi cedaw.19
5. Skripsi karya Alal rizki (IAIN Purwokerto), yang berjudul ‚istri
membebaskan suami dari kewjibannya perspektif fiqh Islam (Studi
17
Miftahul Falah ‚Sengketa Suami Istri Tentang Nafkah (Analisis Pendapat Imam Syafi'i
terhadap Istri yang Membantah Pengakuan Suami tentang Nafkah)‛ (Skripsi—IAIN Walisongo,
Semarang, 2009). 18
Akmalya Uqtuv, ‚Hak Dan Kewajiban Suami-Istri Dalam Keluarga (Studi Pemikiran Syaikh
Muhammad ‘Ali> As-Sa>bu>ni> Dalam Kitab Az-Zawa>j Al-Isla>mi> Al-Mubakkir: Sa’a>dah Wa Hasana>h)‛ (Skripsi—UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta, 2010). 19
Achmad Badarus Syamsi, ‚Hak Dan Kewajiban Istri Dalam Rumah Tangga (Studi Komparasi
Antara Hukum Keluarga Islam dan Konvensi Cedaw)‛ (Skripsi—UIN Sunan Kalijaga,
Yogyakarta, 2008).
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
12
analisis kompilasi Hukum Islam pasal 80 ayat 6)‛. Dalam skripsi ini
disebutkan apabila seorang suami tidak sanggup memberikan nafkah dan
pakaian kepada istrinya, suami seharusnya berusaha keras untuk mencari
nafkah dan pakaian karena merupakan kewajibannya, pada dasarnya
suami tidak boleh menyusahkan istrinya dan istri berhak meminta
pembatalan pernikahan apabila suami tidak sanggup memberikan nafkah
dan pakaian kepada istrinya.20
Berdasarkan telaah pustaka yang telah disebutkan di atas, maka
penelitian ini berbeda dengan penelitian sebelumnya. Perbedaannya yaitu
penelitian yang telah dijelaskan tersebut belum mengungkapkan ketentuan
Pasal 80 Kompilasi Hukum Islam tentang tamki>n sempurna sebagai syarat
pemenuhan kewajiban suami terhadap istri.
E. Tujuan penelitian
1. Untuk mengetahui ketentuan Pasal 80 Kompilasi Hukum Islam tentang
Tamki>n Sempurna Sebagai Syarat Pemenuhan Kewajiban Suami
Terhadap Istri.
2. Untuk mengetahui akibat hukumnya apabila tamki>n sempurna sebagai
syarat pemenuhan kewajiban suami terhadap istri dalam pasal 80
Kompilasi Hukum Islam tidak terpenuhi.
20
Alal rizki, ‚Istri Membebaskan Suami Dari Kewajibannya Perspektif Fiqh Islam (Studi Analisis
Kompilasi HUKUM Islam Pasal 80 Ayat 6)‛ (Skripsi—IAIN Sunan Purwokerto, Purwokerto
2017).
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
13
F. Kegunaan Hasil Penelitian
Penelitian ini mempunyai banyak kegunaan dan manfaat, baik untuk
kalangan akademisi maupun non akademisi. Kegunaan hasil penelitian yang
dimaksud dapat diklasifikasikan menjadi 2 (dua) jenis, yaitu ditinjau dari segi
teoritis dan segi praktis.21
1. Aspek teoritis
a. Sebagai penambah wawasan serta memperkuat ilmu pembaca pada
umumnya, dan khusus bagi mahasiswa/i yang berkaitan dengan
masalah Hukum Keluarga Islam.
b. Sebagai ragam keilmuan ke-Islaman tentang Tamki>n Sempurna
Sebagai Syarat Pemenuhan Kewajiban Suami terhadap Istri Studi
Komparatif Fiqh Munakahat dan Kompilasi Hukum Islam.
2. Aspek Praktis
Sebagai pedoman dan dasar bagi peneliti lain dalam mengkaji
penelitian lagi yang lebih mendalam.
G. Definisi Operasional
Untuk memberikan gambaran yang jelas tentang permasalahan yang
akan diteliti serta menghindari dari kesalahpahaman bagi para pembaca
dalam memahami judul skripsi ini, maka penulis memandang perlu untuk
menjelaskan maksud dari judul tersebut, yakni:
21
Wiratna Sujarweni, Metodologi Penelitian, (Yogyakarta: Pustaka Baru Press, 2014), 56.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
14
1. Kompilasi Hukum Islam yaitu himpunan kaidah-kaidah Islam yang
tersusun secara sistematis. 22
Isi dari kompilasi hukum Islam terdiri dari
tiga buku, masing-masing buku dibagi ke dalam beberapa bab dan pasal,
buku I Hukum Perkawinan terdiri dari 19 bab dengan 170 pasal diantara
adalah pasal 80 ayat 5 yang membahas tentang kewajiban suami terhadap
istri.
2. Tamki>n sempurna dalam pasal 80 KHI yaitu penyerahan diri secara utuh.
Tamki>n sendiri mempunyai pengertian istri telah memberikan
kemungkinan kepada suaminya untuk menggaulinya dalam arti yaitu
semanjak suami telah bergaul dengan istrinya.23
Sedangkan sempurna
dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia mengandung pengertian utuh dan
lengkap segalanya (tidak bercacat dan bercela).24
Tamki>n sempurna dalam
KHI diatur dalam pasal 80 KHI yang berbunyi bahwa kewajiban suami
terhadap istri yaitu seperti tersebut pada ayat (4) huruf a) nafkah, kiswah
dan tempat kediaman bagi istri b) biaya rumah tangga, biaya perawatan
dan biaya pengobatan bagi istri dan anak mulai berlaku sesudah ada
tamki>n sempurna dari istri.
22
Muhammad Daud Ali, Hukum Islam, Pengantar Ilmu Hukum Dan Tata Hukum Islam Di Indonesia, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2002), 267. 23
Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam…, 168. 24
https://kbbi.web.id/sempurna, diakses Minggu 08 Juli 2018 pukul 18.22.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
15
H. Metode penelitian
Metode penelitian adalah suatu cara atau tahapan-tahapan yang
dapat memudahkan seorang penulis dalam melakukan sebuah penelitian,
dengan tujuan dapat menghasilkan penelitian yang berbobot dan berkualitas.
Metode penelitian berhubungan erat dengan prosedur, teknik, alat, serta
desain penelitian yang digunakan.25
Dalam metode penelitian menggambarkan rancangan penelitian
yang meliputi prosedur atau langkah-langkah yang harus ditempuh, waktu
penelitian, sumber data, serta dengan cara apa data tersebut diperoleh dan
diolah atau dianalisis. Metode penelitian yang dimaksud haruslah memuat:
1. Data yang dikumpulkan
Sesuai dengan latar belakang dan rumusan masalah yang diangkat
penulis, maka data yang diperlukan untuk menjawab rumusan masalah
tersebut meliputi:
a. Data tentang substansi yang terkandung dalam Pasal 80 KHI
mengenai tamki>n sempurna sebagai syarat pemenuhan kewajiban
suami terhadap istri.
b. Pendapat ulama tentang tamki>n sempurna
2. Sumber data
Sumber data adalah sumber dari mana data akan digali, baik primer
maupun sekunder.26
25
Wiratna Sujarweni, Metodologi Penelitian…, 5. 26
Tim Fakultas Syariah IAIN Sunan Ampel Surabaya, Petunjuk Teknis Penulisan Skripsi, Cet. V
(Surabaya Fakultas Syariah IAIN Sunan Ampel, 2014),9.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
16
a. Data Primer adalah data pokok yang menjadi acuan dalam sebuah
penelitian dan diperoleh langsung dari sumbernya.27
Penelitian ini
menggunakan sumber data primer berupa:
1) Pasal 80 Kompilasi Hukum Islam,
2) Buku pendukung yaitu Sayyid Sabiq, Fiqh al-Sunnah
b. Data Sekunder adalah data yang digunakan dalam penelitian untuk
mendukung dan memperjelas data primer. Adapun data yang
diperoleh adalah dari dokumen-dokumen resmi, buku-buku ysng
berhubungan dengan objek penelitian dalam bentuk laporan, skripsi,
tesis, disertasi, dan peraturan perundang-undangan.28
Adapun
beberapa sumber sekunder adalah sebagai berikut:
1) Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia antara
Fiqh Munakahat dan Undang-Undang Perkawinan.
2) Kamal Muchtar, Asas-Asas Hukum Islam tentang Perkawinan.
3) Rahman Ghazali, Fiqh Munakahat.
4) Wahbat az-Zuhaili>, Usu>l Al-Fiqh Al-Isla>Mi> Wa Adillatuhu, Juz
10.
5) Slamet Abidin Dan Aminudin, Fiqih Munakahat 1.
6) Ibnu Hazm, al-muhalla bi al-atsar.
27
Sugiyono, Metode Penelitian Kuantitatif dan Kualitatif dan R&D, (Bandung: Alfabeta, 2008),
9. 28
Zainudin Ali, Metode Penelitian Hukum, (Jakarta: Sinar Grafika, 2013), 10.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
17
3. Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data berupa teknik dokumentasi atau studi
documenter,29
yaitu dengan meneliti sejumlah dokumen di
perpustakaan, jurnal ilmiah dan hasil penelitian yang relevan dengan
tema skripsi ini. Kemudian memilah-milahnya dengan memprioritaskan
sumber bacaan yang memiliki kualitas, baik dari aspek kebaharuan
isinya maupun kualitas penulisnya. Untuk itu digunakan data
kepustakaan yang berhubungan dengan persoalan Pasal 80 Kompilasi
Hukum Islam tentang tamki>n sempurna sebagai syarat pemenuhan
kewajiban suami terhadap istri.
4. Teknik Analisis Data
Setelah data yang diperoleh dalam penelitian terkumpul, langkah
selanjutnya adalah menganalisis data. Peneliti akan menganalisisnya
dengan menggunakan metode deskriptif analisis, yaitu memaparkan dan
menganalisis data terhadap ketentuan pasal 80 Kompilasi Hukum Islam
tentang tamki>n sempurna sebagai syarat pemenuhan kewajiban suami
terhadap istri.
Dalam penelitian ini, yaitu menggunakan pola fikir deduktif yaitu
pola pikir yang berasal dari pengetahuan yang bersifat umum yang
kemudian digunakan untuk menilai suatu kejadian yang bersifat khusus30
,
yaitu data tentang hak dan kewajiban suami terhadap istri kemudian
29
Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian: Suatu Pendekatan Praktek (Jakarta: Rineka Cipta,
2006), 206. 30
Lexi, J Moleong, Metode Penelitian Kualitatif, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2002), 190.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
18
digunakan untuk menganalis tamki>n sempurna dalam pasal 80 Kompilasi
Hukum Islam.
I. Sistematika Pembahasan
Demi tersusunnya skripsi yang sistematis, terarah dan mudah untuk
dipahami maka dalam penelitian ini perlu dibuatkan sistematika pembahasan
yang tersusun sebagai berikut:
Bab pertama merupakan pendahuluan yang berisi latar belakang
masalah, identifikasi masalah, batasan masalah, rumusan masalah, kajian
pustaka, tujuan penelitian, kegunaan hasil penelitian, definisi operasional,
metode penelitian dan sistematika pembahasan.
Bab kedua merupakan kerangka teoritik tentang hak dan kewajiban
suami istri, yang meliputi: pengertian hak dan kewajiban suami istri, macam-
macam kewajiban suami terhadap istri, syarat dan sebab-sebab pemenuhan
kewajiban suami, pendapat ulama tentang tamki>n sempurna sebagai syarat
pemenuhan kewajiban suami terhadap istri, akibat hukum apabila tamki>n
sempurna tidak terpenuhi.
Bab ketiga berisi tamki>n sempurna dalam Pasal 80 Kompilasi
Hukum Islam yang meliputi: latar belakang penyusunan Kompilasi Hukum
Islam, Proses penyusunan Kompilasi Hukum Islam, landasan dan kedudukan
Kompilasi Hukum Islam, isi Kompilasi Hukum Islam, tamki>n sempurna
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
19
dalam Pasal 80 Kompilasi Hukum Islam dan latar belakang munculnya
penyusunan tamki>n sempurna dalam Pasal 80 Kompilasi Hukum Islam.
Bab keempat berisi analisis terhadap tamki>n sempurna sebagai
syarat pemenuhan kewajiban suami dalam Pasal 80 Kompilasi Hukum Islam
meliputi: analisis terhadap ketentuan Pasal 80 Kompilasi Hukum Islam dan
analisis terhadap akibat hukumnya apabila tamki>n sempurna tidak terpenuhi.
Bab kelima merupakan penutup yang berisi kesimpulan.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
20
BAB II
HAK DAN KEWAJIBAN SUAMI ISTRI
A. Pengertian Hak dan Kewajiban Suami
Apabila akad nikah telah berlangsung dan sah memenuhi syarat
rukunnya, maka akan menimbulkan akibat hukum. Perkawinan menimbulkan
keperdataan di antara suami dan istri. Perkawinan mempunyai tujuan yang
mulia untuk itu perlu diatur tentang hak dan kewajiban suami dan istri. Jika
suami dan istri sama sama menjalankan tanggung jawabnya masing-masing,
maka akan terwujudlah ketentraman dan ketenangan hati sehingga
sempurnalah kebahagiaan hidup berumah tangga. Maka tujuan hidup
berkeluarga akan terwujud sesuai dengan tuntunan agama, yaitu saki>nah,
mawa>ddah, dan rah}mah}.31 Dengan demikian, akan menimbulkan juga hak
serta kewajibannya selaku suami isteri dalam keluarga, yang meliputi: hak
suami istri secara bersama, hak suami atas istri, dan hak istri atas suami.
Hak adalah kemaslahatan yang diperoleh secara syara’. Sementara
hak sebagai suatu kekhususan yang ditetapkan oleh syara’, padanya melekat
suatu kekuasaan atau beban.32
Definisi ini mengandung dua subtansi, yaitu
hak sebagai kewenangan atas sesuatu benda, dan hak sebagai keharusan atau
kewajiban pada pihak lain seperti hak istri yang terbebankan kepada suami
dan sebaliknya.
31
Abd. Rahman Ghazali, Fiqh Munakahat.., 155. 32
Ahmad Kuzari, Nikah Sebagai Perikatan ( Jakarta:PT. Raja Grafindo Persada,1995), 27.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
21
Secara bahasa, kata kewajiban merupakan berasal dari kata ‚wajib‛,
yang kata tersebut merupakan istilah serapan dari bahasa Arab. Namun,
istilah ini telah menjadi bagian dari satu kata bahasa Indonesia. Adapun
makna dari kata wajib adalah sesuatu yang harus dilakukan dan tidak boleh
tidak dilaksanakan ditinggalkan.33
Dengan demikian, dapat dipahami bahwa kewajiban merupakan
sesuatu yang harus dipenuhi dan dilaksanakan dengan baik. Terkait dengan
hubungan perkawinan, kewajiban tersebut memiliki keterikatan dengan hak-
hak masing-masing pasangan. Adapun dimaksud dengan kewajiban suami
adalah sesuatu hal yang wajib atau harus dilaksanakan seorang suami dalam
menjalankan kehidupan rumah tangga yang telah dibina dan guna memenuhi
hak dari pihak lain. Pada dasarnya hak dan kewajiban istri adalah sama dan
seimbang dengan istri.
Istilah kewajiban erat kaitannya atau imbangan dari istilah
tanggung jawab, yaitu sesuatu yang harus kita lakukan agar kita menerima
sesuatu yang dinamakan hak.34
Kewajiban bisa diartikan sesuatu yang wajib
diamalkan atau suatu perintah yang harus dilakukan. Misalnya, mereka
bersumpah akan menunaikan tugasnya dengan sebaik-baiknya. Selain itu,
kewajiban bisa juga diartikan sesuatu yang tidak selalu dikerjakan, seperti
33
Tim Pustaka Phoenix, Kamus Besar Bahasa Indonesia, cet ke-6, (Jakarta: Pustaka Phoenix,
2012), 603. 34
Anita Purwati, Pengertian Tanggung Jawab dan Pengabdian Pengorbanan,
https://anitapurwati.wordpress.com/2010/10/31/pengertian-tanggung-jawabdan-pengabdian-dan
pengorbanan/ ‛Diakses pada tanggal 24 Februari 2018‛
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
22
menuntut ilmu, membayar pajak, dan belajar.35
Madzhab Hanafiyah
membedakan pengertian antara fardl dan wajib. Fardl merupakan kewajiban
agama yang dinyatakan secara eksplisit di dalam al-Qur’a>n dan al-Hadi>ts
Sedangkan wajib adalah kewajiban-kewajiban yang dideduksikan dari al-
Qur’a>n dan al-Hadi>ts berdasarkan nalar.36
Perbuatan wajib yaitu suatu perbuatan yang diberi pahala bila
dikerjakan, dan diberi siksa atau dosa bila ditinggalkan.37
Sedangkan
kewajiban adalah hal-hal yang wajib dilakukan atau diadakan oleh salah
seorang dari suami atau istri untuk memenuhi hak pihak lain.38
Kewajiban
antara suami istri dalam kehidupan rumah tangga itu dapat dilihat dalam ayat
al-Baqarah ayat 228 :
حكيم عزي ز و والل درجة عليهن وللرجال بالمعروف عليهن ال ذي مثل ولن
‚Dan para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan
kewajibannya menurut cara yang ma'ruf. Akan tetapi para suami,
mempunyai satu tingkatan kelebihan daripada isterinya.‛39
Ayat ini menjelaskan bahwa istri mempunyai hak dan kewajiban.
Kewajiban istri merupakan hak bagi suami. Suami mempunyai kedudukan
setingkat lebih tinggi, yaitu sebagai kepala keluarga, sebagaimana
diisyaratkan oleh ujung ayat tersebut di atas.40
Dalam Kompilasi Hukum
Islam, kewajiban suami terhadap istri dijelaskan pada pasal 80 yang berbunyi:
35
Poerwodarminto, Kamus Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, tt), 389. 36
Taufik Adnan Amal dan Samsu Rizal Panggabean, Politik Syari’at Islam: Dari Indonesia hingga Nigeria, (Jakarta: Pustaka Alvabet, 2004), 11. 37
Mansykur Anhari, Ushul Fiqh, (Surabaya: Diantama, 2008), 29. 38
Dakwatul Chairah, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, (Surabaya: UIN Sunan Ampel Press,
2014), 75. 39
Kementerian Agama RI, Al-Qur’an…,36. 40
Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan…,159–160.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
23
(1) Suami adalah pembimbing terhadap istri dan rumah tangganya, akan
tetapi mengenai hal-hal urusan rumah tangga yang penting-penting
diputuskan oleh suami istri bersama. (2) Suami wajib melidungi isterinya dan
memberikan segala sesuatu keperluan hidup berumah tangga sesuai dengan
kemampuannya. (3) Suami wajib memberikan pendidikan agama kepada
isterinya dan memberi kesempatan belajar pengetahuan yang berguna dan
bermanfaat bagi agama, nusa dan bangsa. (4) Sesuai dengan penghasilannya
suami menanggung : a. Nafkah, kiswah dan tempat kediaman bagi istri, b.
Biaya rumah tangga, biaya perawatan dan biaya pengobatan bagi isteri dan
anak, c. Biaya pendidikan bagi anak.
B. Macam-Macam Kewajiban Suami
Setelah pernikahan berlangsung yang ditandai oleh ijab kabul, maka
secara tidak langsung peran sebagai suami dan istri dimulai. Istri harus
memposisikan diri sebagai seorang istri yang mempunyai hak dan kewajiban,
begitu pula sebaliknya bagi suami. Kalau kedua belah pihak menyadari posisi
dan peran masing-masing, rumah tangga itu akan berjalan harmonis.41
Ali bin Abi Thalib dan istrinya, Fatimah pernah mengadu kepada
Rasulullah tentang pembagian tugas dalam membina rumah tangga.
Rasulullah memutuskan, bahwa Fatimah bekerja di rumah, Ali bekerja
mencari nafkah di luar rumah (Riwayat At-jurjani).
41
Lajnah Pentashihan Munshaf al-Quran, Kedudukan dan Peran Perempuan, (Jakarta: Aku Bisa,
2012), 138.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
24
Kewajiban pertama seorang suami kepada istrinya ialah memuliakan
dan mempergaulinya dengan baik, menyediakan apa yang dapat ia sediakan
untuk istrinya yang akan dapat mengikat hatinya, memperhatikan dan
bersabar apabila ada yang tidak berkenan di hatinya.42
Hal ini sesuai dengan
firman Allah Swt :
ما بب عض لتذىب وا ت عضلوىن ول كرىا ء النسا ترثوا ان لكم يل ل من واا ال ذين اي ها ي كرىتموىن فان بالمعروف وعاشروىن مب ي نة بفاحشة ي أتي ان ال ىن ت يتمو ا
را فيو و الل و يعل اشي تكرىوا ان ى ف عس را خي كثي
‚Hai orang-orang yang beriman, tidak halal bagi kamu mempusakai
wanita dengan jalan paksa dan janganlah kamu menyusahkan
mereka karena hendak mengambil kembali sebagian dari apa yang
telah kamu berikan kepadanya, terkecuali bila mereka melakukan
pekerjaan keji yang nyata. Dan bergaul lah dengan mereka secara
patut. Kemudian bila kamu tidak menyukai mereka, (maka
bersabarlah) karena mungkin kamu tidak menyukai sesuatu, Padahal
Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak. (QS. An-Nisa’
:19).43
Rasulullah bersabda:
لنسائهم خياركم وخياركم خلقا، أحسن هم إيانا مؤمني ال أكمل
‚Mukmin yang paling sempurna imannya adalah orang yang paling
baik pekertinya dan sebaik-baik kamu adalah orang yang paling baik
terhadap isterinya.‛ (HR. At-Tirmidzi)44
Kewajiban paling besar dari seorang suami terhadap istrinya adalah
menjaga istri dan keluarganya. Berikut ini ayat Al-Qur’an yang terkait
kewajiban suami terhadap istrinya
42
Al-Hamdani, Risalah Nikah, (Jakarta: Pustaka Amani, 2002), 163. 43
Kementerian Agama RI, Al-Qur’an…,80. 44
Al-Hamdani, Risalah Nikah…, 163.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
25
Allah Taala berfirman dalam Q.S. At Tahrim ayat 6 :
ا ا ي ي ه ين أ وا ال ذ ن وا آم م ق ك س ف ن م أ يك ل ى ارا وأ ا ن ى ود الن اس وقا ه ي ل ارةع ة والج ك ئ ل ظ م ل اد غ د ون ل ش ص ع ا الل و ي م م رى م أ
ون ل ع ف ا وي ر م ؤم ون ي
‚wahai orang-orang yang beriman! Peliharalah dirimu dan
keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia
dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, dan kers, yang
tidak durhaka kepada Allah terhadap apa yang dia Dia perintahkan
kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.45
Adapun kewajiban suami terhadap istri adalah memberi nafkah
zahir, sesuai dengan syariat Islam. Yang mana setelah terjadi akad nikah yang
sah maka suami wajib menunaikan kewajiban sesuai dengan ketentuan dalam
Islam Kewajiban suami disebabkan perkawinan. Dalam memberi nafkah zahir
suami wajib memberi nafkah kepada istri yang taat, baik makanan, pakaian,
maupun tempat tinggal, pekakas rumah dan sebagainya sesuai dengan
kemampuan dan keadaan suami.
Dari Ibnu Amir Ash,Rasulullah SAW bersabda :
رء كفى )هی وغ داود ابو رواه حيصح ثيحد (قوت ي من ع ي ض ي ان اثا بالم
‛ cukuplah sebagai dosa bagi suami yang menyia-nyiakan orang
yang menjadi tanggunganya ( HR. Abu Daud )46
Dengan demikian suami wajib memberi pendidikan serta nasehat
terhadap istri. Memberi pendidikan merupakan kewajiban suami, dalam hal
ini tidak bertentangan dengan Islam yang mana Islam menganjurkan untuk
45
Kementrian agama RI, Al-qur’an…, 559. 46
Al-Hafdh dan Marsap Suhaimi,Terjemahan Riya>dhus Sha>lihi>n, (Surabaya : Mahkota,1986), 242
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
26
memberi pendidikan agama. Sabaliknya pendidikan suami kepada istri yang
tidak mempunyai pendidikan agama, kalau suami yang tidak tau maka
istrilah yang mengajar atau yang mengingatkan.
Kewajiban suami di dalam perkawinan, di dalam kitab fikih sunnah
tersebut beliau (Sayyid Sabiq) menyatakan adalah: (1) memberikan nafkah
kepada isteri. (2) Berlaku adil terhadap semua isteri bagi suami yang
mempunyai isteri lebih dari satu.47
Kewajiban suami dapat dilihat juga dalam Kompilasi Hukum Islam
sebagai berikut:48
1. Suami adalah pembimbing terhadap isteri dan rumah tangganya, akan
tetapi mengenai hal-hal urusan rumah tangga yang penting-penting
diputuskan oleh suami isteri bersama.
2. Suami wajib melindungi isterinya dan memberikan segala sesuatu
keperluan hidup berumah tangga sesuai dengan kemampuannya.
3. Suami wajib memberikan pendidikan agama kepada isterinya dan
memberi kesempatan belajar pengetahuan yang berguna dan bermanfaat
bagi agama dan bangsa.
4. Sesuai dengan penghasilannya suami menanggung: (a)Nafkah, kiswah dan
tempat kediaman bagi isteri. (b) Biaya rumah tangga, biaya perawatan
dan biaya. (c)pengobatan bagi isteri dan anak.
5. Biaya pendidikan bagi anak
6. Kewajiban suami terhadap isterinya seperti tersebut apda ayat (4) huruf a
dan b di atas mulai berlaku sesudah ada tamkin sempurna dari isterinya.
7. Isteri dapat membebaskan suaminya dari kewajiban terhadap dirinya
sebagaimana tersebut pada ayat (4) huruf a dan b.
8. Kewajiban suami sebagaimana dimaksud ayat (2) gugur apabila isteri
nusyuz
9. Suami wajib menyediakan tempat kediaman bagi isteri dan anak-anaknya,
atau bekas isteri yang masih iddah.
10. Tempat kediaman adalah tempat tinggal yang layak untuk isteri selama
dalam ikatan perkawinan, atau dalam iddah talak atau iddah wafat.
11. Tempat kediaman disediakan untuk melindungi isteri dan anak-anaknya
dari gangguan pihak lain, sehingga mereka merasa aman dan tenteram.
47
Al-Sayyid Sabi>q, Fiqh al-Sunnah …, 93. 48
Abd. Rahman Ghazali, Fiqh Munakahat…, 161.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
27
Tempat kediaman juga berfungsi sebagai tempat penyimpanan harta
kekayaan, sebagai tempat menata dan mengatur alat-alat rumah tangga.
12. Suami wajib melengkapi tempat kediaman sesuai dengan kemampuannya
serta disesuaikan dengan keadaan lingkungan tempat tinggalnya, baik
berupa alat perlengkapan rumah tangga maupun sarana penunjang
lainnya.
Kewajiban suami terhadap istri mencakup kewajiban materi
beberapa kebendaan dan kewajiban nonmateri yang bukan kebendaan.
a. Kewajiban materi berupa kebendaan
Sesuai dengan penghasilannya suami mempunyai kewajiban terhadap
istri:49
1) Memberi nafkah, kiswah dan tempat tinggal.
2) Biaya rumah tangga biaya perawatan da biaya pengobatan bagi istri
dan anak,
3) Biaya pendidikan bagi anak.
Dua kewajiban paling depan di atas mulai berlaku sesudah ada
tamki>n sempurna dari istri, dan ia dapat membebaskan kewajiban tersebut
terhadap dirinya. Di samping itu, juga bisa gugur apabila istri nusyuz.
1. Nafkah dan Hukumnya
Kata nafkah berasal dari kata ان فق, dalam bahasa arab secara
etimologi mengandung arti: قل و نقص yang berarti berkurang. Juga
berarti ذىب و فنى yang berarti hilang atau pergi.50
Bila seseorang
49
Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam…, 182 50
Ibid., 165
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
28
dikatakan memberikah nafkah membuat harta yang dimilikinya menjadi
sedikit karena telah dilenyapkan atau dipergikannya untuk kepentingan
orang lain. Bila kata ini dihubungkan dengan perkawinan mengandung
arti: ‚sesuatu yang dikeluarkan dari hartanya untuk kepentingan istrinya
sehingga menyebabkan hartanya berkurang‛. Dengan demikian nafkah
istri berarti pemberian yang wajib dilakukan oleh suami terhadap
istrinya dalam masa perkawinannya.51
Kewajiban memberi nafkah oleh suami kepada istrinya berlaku
dalam fikih didasarkan kepada prinsip pemisahan harta antara suami
dan istri. Prinsip ini mengikuti alur pikir bahwa suami itu adalah
pencari rezeki; rezeki yang telah diperolehnya itu menjadi haknya
secara penuh dan untuk selanjutnya suami berkedudukan sebagai
pemberi nafkah. Sebaliknya istri bukan pencari rezeki dan untuk
memenuhi keperluannya ia berkedudukan sebagai penerima nafkah.52
Hukum membayar nafkah untuk istri, baik dalam bentuk
perbelanjaan, pakaian adalah wajib. Kewajiban itu bukan disebabkan
oleh karena istri membutuhkannya bagi kehidupan rumah tangga tetapi
kewajiban yang timbul dengan sendirinya tanpa melihat kepada keadaan
istri. Bahkan ulama syi’ah menetapkan bahwa meskipun istri orang
51
Ibid. 52
Ibid.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
29
kaya dan tidak memerlukan bantuan biasa dari suami, namun suami
tetap wajib mebayar nafkah.53
Firman Allah SWT :
وعلى الر ضاعة يتم أن أراد لمن كاملي حولي أولدىن ي رضعن والوالدات تضار ل وسعها إل ن فس تكل ف ل بالمعروف وكسوت هن رزق هن لو المولود لك ذ مثل الوارث وعلى بولده ل و مولود ول بولدىا والدة
‚Dan ibu-ibu hendaklah menyusukan anak-anaknya selama dua
tahun penuh, yaitu bagi yang ingin menyempurnakan penyusuan.
Dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu
dengan cara ma'ruf. Seseorang tidak dibebani melainkan menurut
kadar kesanggupannya. Janganlah seorang ibu menderita
kesengsaraan karena anaknya dan seorang ayah karena anaknya, dan
warispun berkewajiban demikian…‛ (Q.S. Al-Baqarah: 233).54
Dan firman Allah SWT:
ن وى ن ك س ن أ ث م ي م ح ت ن ك ن س م م دك ن ول وج اروى ض وا ت ق ي ض ت لن ه ي ل …ع
‚Tempatkanlah mereka (para isteri) di mana kamu bertempat
tinggal menurut kemampuanmu dan janganlah kamu menyusahkan
mereka untuk menyempitkan (hati) mereka…..‛ (Q.S. Ath-thalaq:
6)55
Dan firman Allah:
و الل يكلف ل و الل ىو ت ا م ا ف لي نفق رزقو عليو قدر ومن سعتو ن م سعة ذو لي نفق يسرا عسر ب عد و الل سيجعل ىهات ا ما ال ن فسا
‚Hendaklah orang yang mampu memberi nafkah menurut
kemampuannya. Dan orang yang disempitkan rezekinya hendaklah
memberi nafkah dari harta yang diberikan Allah kepadanya. Allah
53
Muhammad Jawad Mughniyah, Fiqh Al-Imam Ja’far Al-Shadiq, (Iran: Muassasah Anshariyah,
1999), 207. 54
Kementrian agama RI, Al-qur’an…,37. 55
Ibid., 559.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
30
tidak memikulkan beban kepada seseorang melainkan sekedar apa
yang Allah berikan kepadanya. Allah kelak akan memberikan
kelapangan sesudah kesempitan.‛ (Q.S. Ath-Thalaq:7)56
2. Sebab dan syarat berhak menerima nafkah
Istri berhak menerima nafkah apabila telah ada syarat–syarat
sebagai berikut:57
a. Telah terjadi akad nikah yang sah. Apabila akad nikah masih diragu-
ragukan kesahannya, maka istri tidak berhak menerima nafkah.
b. Istri telah menyerahkan dirinya kepada suaminya. Maksudnya ialah
istri telah bersedia menerima dan melaksanakan kewajiban sebagai
seorang istri dan bersedia memenuhi hak–hak suaminya, seperti telah
bersedia mengurus rumah tangga suaminya, melayani dan sebagainya,
sesuai dengan ketentuan–ketentuan agama. Hal ini berdasarkan
kepada perbuatan Rasulullah s.a.w. pada waktu permulaan beliau
kawin dengan Aisya r.a. beliau bergaul dengan Aisyah r.a. setelah dua
tahun melaksanakan akad nikah. Selama dua tahun itu beliau tidak
memberi Aisyah nafkah dan beliau tidak pula mengganti atau
membayar nafkah yang tidak beliau bayar itu sampai beliau wafat.
c. Istri telah bersedia tinggal bersama – sama di rumah suaminya. Dalam
hal istri tetap tinggal di rumah orang tuanya karena permintannya
sendiri dan telah mendapat izin suaminya atau karena suami belum
sanggup menyediakan tempat kediaman bersama, ia tetap berhak
56
Ibid. 57
Kamal Muchtar, Asas-Asas Hukum Islam Tentang Perkawinan, (Jakarta: PT Bulan Bintang,
1974), 131-132.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
31
mendapat nafkah. Apabila kesediaan itu tidak atau belum ada, istri
tidak berhak menerima nafkah. Demikian pula apabila istri berpergian
jauh tanpa izin dari suaminya, maka selama berpergian itu istri tidak
berhak menerima nafkah. Sebabnya ialah: kepergian istri tanpa izin
suami itu dianggap telah di luar pengawasan dan ikatan suami, serta
dianggap tidak bersedia tinggal dirumah suaminya. Apabilah ada izin
dari suaminya, ia tetap berhak mendapatkan nafkah. Istri juga tidak
berhak menerima nafkah apabila ia dipenjarakan karena sesuatu
tindak pidana. Ia berhak menerima nafkah apabila ia dipenjarakan
karena memperjuangkan haknya atau karena memperjuangkan agama.
d. Istri telah dewasa dan telah sanggup melakukan hubungan sebagai
suami istri.
Dawud azh-Zhahiri mendasarkan kewajiban memberi nafkah kepada
istri itu, semata–mata karena perkawinan itu sendiri, bukan karena hal–hal
yang lain. Karena itu beliau berpendapat bahwa suami tetap wajib memberi
nafkah istrinya dan sekalipun istrinya itu masih kecil; berpergian jauh tanpa
izin suami, nusyuz dan sebagai gantinya.58
C. Sebab-Sebab Pemenuhan Kewajiban Suami
Akad nikah yang sah telah dilakukan oleh suami-istri, menyebabkan
istri telah terikat dengan hak-hak suaminya dan telah haram dikawini oleh
orang lain. Ikatan tersebut menyebabkan istri tidak dapat mencari nafkah
58
Ibid., 132.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
32
untuk dirinya sendiri, karena itu ia berhak mendapatkan nafkah dari orang
yang mengikatnya, yaitu suaminya.59
Sesuai dengan kaedah yang berbunyi:
.لأجلو حبس من على ن فقتو نت كا غىره لن فع حبس من
‚Orang yang telah mengikat dirinya untuk kemanfaatan orang lain,
nafkahnya ditanggung oleh orang yang mengikat itu‛.60
Hal-hal yang menyebabkan pemenuhan kewajiban suami ada tiga
macam, yaitu:61
a. Dengan sebab turunan
Seorang ayah wajib memberikan nafkah kepada anak-anaknya, atau
ibu apabilaayah telah tiada. Begitu juga waib kepada cucu apabila ia tidak
mempunyai ayah. Rasulullah SAW bersabda:
رجل ن سفيا ابا ان . الل و رسول يا: قالت عتبة بنت ىندا ان . ع.ر عائشة عن ما خذي : قال ي علم ل وىو منو اخذت ما ال لدي و و ي عطين وليس شحيح ( ممسل و البخاري رواه. )بالمعروف لدك و و يكفيك
‚Dari ‘aisyah r.a sesungguhnya hindun binti ‘ubah pernah bertanya,
‚wahai Rasulullah sesungguhnya Abu Sofyan adalah seorang kikir.
Ia tidak mau memberikan nafkah kepadaku, sehingga ia mesti
mengambil darinya tanpa sepengetahuannya‛, maka rasulullah
bersabda ‚ambillah apa yang mencakupi bagimu dan anakmu
dengan cara yang baik‛. (HR.Bukhari Muslim).62
Wajibnya memberi nafkah bagi ayah dan ibu kepada anak dengan
syarat apabila anaknya masih kecil dan miskin atau sudah besar tetapi tidak
kuat berusaha dan miskin. Dengan demikian juga sebaliknya, anak wajib
59
Ibid., 131 60
Ibid. 61
Slamet Abidin, Dan Aminuddin, Fiqih Munakahat I, (Bandung: CV Pustaka Setia 1999), 166. 62
Ibid., 167
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
33
memberi nafkah kepada kedua orang tua apabila keduanya tida mampu dan
tidak memiliki harta.
b. Dengan sebab adanya perkawinan
Suami wajib memberikan nafkah kepada istrinya yang taat, baik
makanan, pakaian maupun tempat tinggal, pekakas rumah tangga, dan
sebagainya sesuai dengan kemampuanya. Banyaknya nafkah sesuai
dengan kebutuhan dan adat kebiasaan yang berlaku di tempat masing-
masing, dengan mengingat tingkatan dan keadaan suami.
Firman Allah SWT:
ن ل ول ث ي م ن ال ذ ه ي ل روف ع ع م ال ب
‚Dan para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan
kewajibannya menurut cara yang ma’ruf.‛63
c. Dengan sebab milik
Binatang yang dimiliki seorang misalnya, maka mendapatkan
makanan dan wajib dijaga agar tidak diberi beban melebihi
kemampuanya.
Rasulullah S.AW bersabda:
ها ىر ة ف امرأة عذبت : قال . م.ص الن ب ان . ع.ر عمر ابن عن تت ما ت ح حبست (ومسلم البخارى رواه)
Dari ibnu umar r.a bahwasannya nabi SAW. Telah bersabda.
‚seorang perempuan telah disiksa lantaran dia memenjarakan
63
Kementerian Agama RI, Al-Qur’an…,36.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
34
seekor kucing tidak memberinya makan dan minum sehingga
kucing itu mati.‛(H.R. Bukhori Muslim).64
D. Pendapat Ulama Tentang Tamki>n Sempurna Sebagai Syarat Pemenuhan
Kewajiban Suami Terhadap Istri
Di antara disyariatkannya perkawinan adalah untuk mendapatkan
ketenangan hidup, mendapatkan cinta dan kasih sayang, serta pergaulan yang
baik dalam rumah tangga. Yang demikian baru dapat berjalan secara baik bila
ditunjang dengan tercakupinya kebutuhan hidup yang pokok bagi kehidupan
rumah tangga. Kewajiban nafkah adalah untuk menegakkan tujuan dari
perkawinan itu.
Jumhur ulama termasuk ulama termasuk ulama Syi’ah Imammiyah
berpendapat bahwa nafkah itu mulai diwajibkan semenjak dimulainya
kehidupan rumah tangga, yaitu semenjak suami telah bergaul dengan
istrinya.65
Dalam arti istri telah memberikan kemungkinan kepada suaminya
untuk menggaulinya, yang dalam fikih disebut dengan tamki>n. Dengan
semata terjadinya akad nikah belum ada kewajiban membayar nafkah.
Berdasarkan pendapat ini bila setelah berlangsungnya akad nikah istri belum
melakukan tamki>n, karena keadaanya ia belum berhak menerima nafkah.
Dalam kitab Bida>yah al-Mujtahid dijelaskan bahwa Imam Malik
berpendapat, nafkah baru menjadi wajib atas suami apabila ia telah
menggauli atau mengajak bergaul, sedang istri tersebut termasuk orang yang
64
Slamet Abidin, Dan Aminuddin, Fiqih Munakahat I…, 169. 65
Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam Di Indonesia…,168.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
35
dapat digauli, dan suami pun telah dewasa. Menurut Abu Hanifah dan Syafi'i,
suami yang belum dewasa wajib memberi nafkah apabila istri telah dewasa.
Tetapi bila suami telah dewasa sedang istri belum dewasa, maka dalam hal
ini Syafi'i mempunyai dua penapat. Pendapat pertama sama dengan pendapat
Malik. Sedangkan pendapat kedua mengatakan, istri berhak memperoleh
nafkah betapapun keadaannya. Silang pendapat ini disebabkan, apakah itu
merupakan ganti kelezatan (kenikmatan) yang diperoleh suami, ataukah
karena istri tertahan oleh suami, sebagaimana halnya pada suami yang
bepergian jauh.66
Menurut Imam Taqiyuddin dalam Ki>fayah Al Akhya>r, pemberian
nafkah kepada keluarga adalah wajib bagi orang-orang tua dan anak-anak.
Memberikan belanja kepada orang-orang tua adalah wajib dengan dua syarat,
yaitu fakir dan sakit-sakitan, serta fakir dan gila. Sedangkan anak-anak wajib
diberi belanja dengan beberapa syarat, yaitu fakir dan masih kecil, serta fakir
dan sakit-sakitan, juga fakir dan gila.67
Tentang kewajiban nafkah maka fuqaha telah sependapat atasnya,
kemudian mereka berselisih pendapat tentang empat perkara yaitu tentang
waktu wajibnya nafkah, kadar (besar) nya nafkah, orang yang berhak
menerima nafkah, serta orang orang yang wajib mengeluarkan nafkah.
66
Ibnu Rusyd, Bida>yat al-Mujtahid Wa Nihayat al-Muqtasid, juz 2, (Beirut: Dar al- Jiil, 1409 H/1989), 4. 67
Imam Taqiyuddin Abu Bakar Ibn Muhammad Al-Husaini, Juz 2, Kifayah Al-Akhyar, (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, tth), 140.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
36
1. Waktu wajibnya nafkah.
Imam Malik berpendapat bahwa nafkah baru menjadi wajib atas
suami apabila ia telah menggauli atau mengajak bergaul, sedang istri
tersebut termasuk orang yang dapat digauli, dan suami pun telah
dewasa.
Imam Abu Hanifah dan Syafi’i berpendapat bahwa suami yang
belum dewasa wajib memberi nafkah apabila istri telah dewasa. Tetapi
jika suami telah dewasa sedang istri belum dewasa, maka dalam hal ini
Imam Syafi’i mempunyai dua pendapat. Pendapat pertama sama dengan
pendapat Imam Malik. Sedang pendapat kedua mengatakan, bahwa istri
berhak memperoleh nafkah betapapun juga keadaanya.
Silang pendapat ini disebabkan apakah nafkah itu merupakan ganti
kelezatan (kenikmatan) yang diperoleh suami, ataukah karena istri
tertahan oleh suami, sebagaimana halnya pada suami yang berpergian
jauh atau sakit?
Masing-masing suami istri wajib berlaku yang baik terhadap
pasangannya dan masing-masing wajib memenuhi hak pasangannya
dengan senang hati dan tidak menunjukkan kebencian. Oleh karena itu,
istri wajib taat kepada suaminya, tetap tinggal di rumah, dan suami
berhak melarangnya keluar dari rumah. Suami pun wajib membayar
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
37
mahar serta memberi nafkah. Demikian menurut Ijma‘ para imam
madzhab.68
Alasan lain bagi jumhur ulama adalah bahwa nafkah yang diterima
isteri merupakan imbalan dari ketaatan yang diberikan kepada suami.
Oleh karena itu, istri nusyuz (hilang ketaatannya) pada suami dalam
suatu masa dalam pernikahan, ia tidak berhak atas nafkah yang
diberikan oleh suami selama masa nusyuz dan kewajiban itu kembali
dilakukan setelah nusyuz itu berhenti.69
Madzhab Syâfi‘î dalam masalah ini memiliki dua pendapat,
pendapat lama dan pendapat baru. Menurut pendapat lama, nafkah
menjadi wajib sejak dilaksanakan akad nikah dan menjadi berlaku terus
dengan penyerahan diri wanita untuk digauli. Seandainya ia menolak
dan tidak memberikan kesempatan kepada suaminya, maka nafkahnya
menjadi hilang, karena yang menggugurkan haknya adalah dirinya
sendiri.
Adapun menurut pendapat baru yang dijadikan landasan bagi
mereka dan ini dianut pula oleh madzhab Hambali, bahwa nafkah tidak
wajib hanya dengan dilaksanakan akad nikah, karena akad hanya
mewajibkan adanya mahar, tidak mewajibkan dua unsur yang diganti
yang berbeda, yaitu mahar dan nafkah. Ini disebabkan karena
68
Syekh Al-‘Allâmah Muhammad Ibn ‘Abdurrah-mân Al-Dimasyqi, Fiqih Empat Madzhab (Bandung: Hasyimi Press, 2004), 361. 69
Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam…, 173.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
38
ketidakjelasan nominal pada nafkah. Sedangkan akad tidak mengharuskan
adanya harta yang tidak diketahui.
Rasulullah menikahi ‘Aisyah ketika ia masih berumur enam tahun.
Dua tahun kemudian Rasulullah baru menggaulinya. Tidak pernah
diriwayatkan bahwa beliau memberikan nafkah kepadanya sebelum
menggaulinya. Bila nafkah itu menjadi haknya, tentunya Rasulullah tidak
akan menahannya dan seandainya pernah dilakukan oleh beliau, tentunya
akan sampai pada kita.70
Al-Syâfi‘î dalam kitabnya Al-Umm mengatakan:
‚Dan tiada wajib nafkah bagi isteri sehingga ia masuk kepada
suaminya atau ia membiarkan dirinya diantara sumi dan masuk
suami itu kepadanya. Lalu suami itu membiarkan yang demikian.
Maka apabila isteri itu tidak mau masuk kepada suami, niscaya
tiada nafkah bagi isteri tersebut. Karena ia menjadi penghalang
untuk suaminya. Seperti demikian juga, kalau isteri itu melarikan
diri dari suami atau melarang suami bersetubuh kepadanya, sesudah
masuk kepada suami. Maka tidak ada nafkah bagi isteri tersebut,
selama ia mencegah dirinya dari suami. Syâfi‘î berkata: apabila
seseorang mengawini seorang wanita, kemudian wanita tersebut
menyerah-kan dirinya untuk bersetubuh, lalu suami itu tidak
bersetubuh. Maka atas suami itu nafkahnya. Karena pemahaman itu
dari pihak suami.‛71
Dalam qaul qadîm Al-Syâfi‘î berpendapat bahwa sebab suami
berkewajiban memberi nafkah kepada istrinya adalah akad perkawinan,
karena akad nikah menghalalkan persetubuhan (istimta‘) dan istimta’
wajib dilakukan karena akad. Sedangkan dalam qaul jadîd, Al-Syâfi‘î
berpendapat bahwa sebab suami berkewajiban memberi nafkah kepada
70
Muhammad Ya‘qub Thâlib Ubaydi, Nafkah Isteri (Hukum Menafkahi Iseteri dalam Perspektif Islam) (Jakarta: Darus Sunnah, 2007), 60. 71
Abû ‘Abdullâh Al-Syâfi‘î, Al-Umm, (Beirut: Dâr al-Kitâb al-‘Alamiyyah. t.th.), Juz. V, 128.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
39
isterinya adalah jimak (persetubuhan), karena apabila nafkah wajib karena
akad maka suami yang menceraikan isterinya sebelum dijimak diwajibkan
membayar seluruh mahar yang telah ditentukan.72
Ibnu Hazm sebagaimana yang telah diketahui, bahwa beliau adalah
seorang tokoh fikih yang menghidupkan fikih Zhahiriy. Beliau
memperlihatkan bahwa Al-Quran dan cakupannya dapat menampung
setiap peristiwa hukum di setiap tempat dan masa.73
Ibnu Hazm
berpendapat bahwa kedurhakaan itu tidak menggugurkan nafkah karena
nafkah itu bukan diwajibkan lantaran istimta’ hanya diwajibkan karena
pernikahan.74
Dalam kitabnya Muhalla Ibnu Hazm mengatakan: ‚Bahwa suami
berkewajiban menafkahi istrinya sejak terjalin akad nikah, baik suaminya
mengajak hidup serumah atau tidak, baik istri masih dalam buaian, istri
nusyuz atau tidak nusyuz, kaya atau fakir, mempunyai bapak atau yatim,
gadis atau janda, merdeka atau budak semuanya disesuaikan oleh
kemanapuan suami.‛75
Menurutnya bahwa seorang istri yang telah melakukan akad nikah
dengan suaminya, sejak pula ia berhak mendapatkan nafkah karena
perkawinan itu sendirilah yang menjadi salah satu penyebab adanya
kewajiban nafkah bagi suami terhadap istrinya. Baik suami serumah atau
72
Jaih Mubarok, Modifikasi Hukum Islam (Studi tentang Qawl Qadim dan Qawl Jadid), (Jakarta:
PT Raja Gra-findo Persada, 2001), 262. 73
Hasbi Ash-Shiddieqy, Hukum-hukum Fiqh Islam (Jakarta: Bulan Bintang, 1952), 553. 74
Hasbi Ash-Shiddieqy, Pengantar Ilmu Fiqh (Jakarta: Bulan Bintang, 1967), 283. 75
Ibn Hazm, Al-Muhalla (Beirut: Dâr al-Afaq al-Jadîdiyyah, 1980), juz. XI, hlm. 321.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
40
tidak dengan istrinya, isteri belum dewasa atau dewasa, istri nusyuz atau
tidak, kaya atau miskin, dan isteri yatim atau tidak semua itu disesuaikan
dengan kemampuan suami. Untuk memperkuat ucapannya itu ia berkata:
‚Dalil-dalil yang demikian itu: pendapat Ibnu Hazm
sebagaimana yang disebutkan di atas, yaitu mengambil sandaran
dari Hadits Rasu-lullah SAW tentang wanita-wanita ‚Dan bagi
mereka (isteri-isteri) atas tanggungan rizki (nafkah) mereka dan
pakaian mereka dengan cara yang ma‘rûf‛. Dalil-dalil ini me-
nunjukkan kewajiban memberi nafkah bagi mereka (isteri-isteri)
mulai sejak adanya akad nikah). Sebagian golongan mereka
berkata: ‚Tidak ada nafkah bagi isteri sekira-kira ia berniat
mengajak untuk hidup berumah tangga. Pendapat ini (menurut
Ibnu Hazm) tidak beralasan, tidak ada pendapat sahabat, qiyas
dan tidak ada pula suatu pemikiran ke arah itu.‛76
Selain itu, Ibnu Hazm berkata: Abû Sul-ymân serta sahabat-
sahabatnya dan Al-Tsawri berkata, bahwa nafkah itu wajib
dibayarkan kepada istri yang masih kecil sejak ia dinikahi.
Selanjutnya Ibnu Hazm berkata: sama sekali tidak ada keterangan dari
para sahabat tentang perempuan nusyuz kemudian tidak berhak
menerima nafkah, keterangan ini hanya berasal dari Al-Nakha’i, Al-
Sya‘bi, Hammad bin Sulaymân, Al-Hasan dan Al-Zuhri, kami tidak
tahu apa alasan mereka selain semata-mata karena soal hubungan
kelamin, kalau isteri tidak mau dicampuri, maka ia tidak berhak
menerima nafkah.77
Sebagaimana yang telah dikemukakan di atas mengenai
kedudukan nafkah bagi isteri yang sudah tamki>n atau belum tidak
76
Ibid. 77
Al-Hamdani, Risalah Nikah…, 128.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
41
menjadi penghalang mendapatkan hak atas nafkah yang diberikan oleh
suaminya. Menurut Ibnu Hazm nafkah itu merupakan kewajiban yang
harus diberikan oleh suami kepada isterinya sejak akad nikah
berlangsung.
2. Syarat wajibnya nafkah\78
a. Istri menyarahkah dirinya kepada suami dengan sepenuhnya
Bukti penyerahan ini dengan menunjukan kesiapan dirinya
ketika diminta untuk melayani suami, baik meminta untuk bermain
cinta maupun tidak. Ulama Malikiyyah mensyaratkan dalam
wajibnya nafkah sebelum senggama adanya permintaan dari istri
atau walinya kepada suami untuk melakukan senggama.
Jika istri masih tetap tinggal bersama keluarganya dengan ijin
suami maka ia tetap harus memberinya nafkah. Jika istri atau
walinya melarang suami untuk menggaulinya, atau suami istri saling
diam setelah akad nikah, tidak wajib bagi suami memberi nafkah
kepadanya meski keduanya sudah lama berdua.
b. Istri sudah dewasa dan mampu melakukan hubungan suami istri
Jika istri masih kecil dan belum mampu melakukan hubungan
intim maka suami tidak wajib memberinya nafkah, karena nafkah
itu berkaitan dengan mampu atau tidaknya berhubungan intim.
Hukum wajib tidak tercapai jika istri tidak mampu melakukan
78
Wahbah Az-Zuhayli>, Fiqih Islam Wa Adillatuhu…, 112-113.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
42
hubungan intim. Ulama Malikiyyah sepakat dengan mayoritas
ulama lain dalam penentuan syarat ini.
c. Akad nikah yang dilangsungkan termasuk akad nikah yang sah
Jika nikahnya fasid maka suami tidak wajib memberinya nafkah
kepada istrinya karena akad yang fasid mewajibakanyya berpisah,
dan istri tidak dianggap ditahan di sisi suami karena nikahya fasid
sehingga istri tidak berhak mendapatan pengganti dari akad nikah
yang fasid tersebut. Syarat ini telah disepakati para ulama.
d. Hak suami tidak hilang dalam hal penahanan istri di sisinya tanpa
izin syar’i
Hak suami tidak hilang dalam hal penahanan istri di sisinya
tanpa izin syar’i, atau sebab yang datang bukan dari diri suami.
Malikiyyah berpendapat wajibnya nafkah atas suami jika memang
perkara yang menjadikannya kehilangan haknya itu bukan kesalahan
istri. Dari keterangan di atas, sudah jelas bahwa nafkah untuk istri
itu hukumnya wajib atas suaminya.
Ulama malikiyyah menentukan dua syarat untuk wajibnya nafkah,
syarat sebelum dukhul (hubungan intim suami istri) dan syarat setelah
dukhul.79
1. Syarat-syarat wajibnya nafkah untuk istri sebelum didukhul
a. Siap untuk didukhul
79
Ibid., 113.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
43
Artinya setelah akad nikah, istri siap atau meminta kepada
suaminya untuk mendukhulnya. Jika permintaan atau ajakan tidak
ada, atau istri menolak didukhul tanpa adanya unsur syar’i maka ia
tidak berhak mendapatkan nafkah.
b. Istri mampu melakukan hubungan intim
Jika istri masih kecil dan belum mampu melakukannya maka
ia tidak berhak mendapatkan nafkah. Namun jika ia sudah mampu
dan baligh, suami wajib memberikannya nafkah. Jika ada sebab
menjadikan istri tidak bisa didikhul, seperti farjinya terlalu sempit
dan kecil maka ia tidak berhak mendapatkan nafkah, kecuali
suami mampu mendapatkan kenikmatan darinya dan ia tahu
kekurangan istri.
c. Suami sudah baligh
Jika suaminya masih kecil dan belum mampu menduhkul maka
istri tidak berhak mendapatkan nafkah. Namun jika suami sudah
mampu mendukhul maka ia wajib memberikan nafkah. Mayoritas
ulama mewajibkan nafkah atas suami yang masih kecil untuk
istrinya yang sudah dewasa, Karena dalam hal ini istri telah
menyerahkan dirinya kepada suami dengan penyerahan yang sah.
d. Salah satu dari suami istri tidak dalam keadaan sekarat
Keduanya tidak dalam keadaan sekarat ketika hendak
melakukan dukhul, jika dalam keadaan sekarat maka tidak ada
nafkah karena tidak mampu memberikan kenikmatan, namun jika
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
44
masih mampu melakukan dukhul meski keadaan sekarat maka
suami tetap berkewajiban memberikan nafkah.
2. Syarat-syarat wajibnya nafkah setelah dukhul
a. Keadaan ekonomi suami sedang susah maka ia tidak wajib
memberikan nafkah kepada istri.
b. Istri tidak menghilangkan hak suami atas dirinya tanpa izin syar’i
Jika hak suami hilang karena istri berlaku nusyuz atau tidak taat
kepada suami maka ia tidak berhak mebdapatkan nafkah dari
suaminya.80
Kesimpulannya secara mutlak, dukhullah yang menjadikan sebab
wajib nafkah meski istri tidak mampu melakukan hubungan intim,
atau suami masih baligh. Adapun sebelum dukhul, maka tidak ada
nafkah bagi istri yang menyerahkan dirinya pada suaminya, atau istri
maupun walinya tidak meminta suami untuk mendukhul istrinya.
Atau terjadi sebelum lewatnya masa persiapan untuk dukhul. Tidak
ada nafkah juga untuk istri yang tidak mampu melakukan hubungan
intim, dan juga bagi istri yang mampu melakukan hubungan intim
hanya saja ada halangan lain, seperti vaginanya terlalu sempit dan
kecil kecuali jika itu dimaklumi oleh suami, dan ia tetap bisa
mendapatkan kenikmatan darinya meksi tanpa hubungan intim.
80
Ibid., 114.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
45
BAB III
TAMKI>N SEMPURNA DALAM PASAL 80 KOMPILASI
HUKUM ISLAM
A. Latar Belakang Penyusunan Kompilasi Hukum Islam
Untuk memperoleh deskripsi tentang Kompilasi Hukum Islam ini
perlu terlebih dahulu dijelaskan pengertian kompilasi dan asal usulnya.
Penjelasan ini diperlukan mengingat kenyataan menunjukkan bahwa masih
banyak kalangan yang belum memahami secara betul pengertian kompilasi
itu. Hal ini disebabkan karena istilah tersebut memang kurang populer
digunakan, kendati di kalangan pengkajian hukum sekalipun.81
Istilah kompilasi berasal dari bahasa Latin compilare yang
mempunyai arti mengumpulkan bersama-sama, seperti mengumpulkan
peraturan-peraturan yang tersebar berserakan dimana-dimana.82
Dalam
bahasa Inggris ditulis "compilation" (himpunan undang-undang),83
dan dalam
bahasa Belanda ditulis "compilatie" (kumpulan dari lain-lain karangan).84
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, Kompilasi berarti kumpulan yang
tersusun secara teratur (tentang daftar informasi, karangan dan sebagainya).85
Koesnoe memberi pengertian kompilasi dalam dua bentuk. Pertama sebagai
hasil usaha mengumpulkan berbagai pendapat dalam satu bidang tertentu.
81
Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta: Akademika Presindo, 1992), 9. 82
Ibid., 10. 83
Ohn M. Echols dan Hassan Shadily, Kamus Inggris Indonesia An English-Indonesia Dictionary,
(Jakarta: PT. Gramedia, 2000), 132. 84
S. Wojowasito, Kamus Umum Belanda Indonesia, (Jakarta: PT Ichtiar Baru Van Hoeve, 1992),
123. 85
Depdiknas, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 2002), 584.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
46
Kedua kompilasi diartikan dalam wujudnya sebagai suatu benda seperti
berupa suatu buku yang berisi kumpulan pendapat-pendapat yang ada
mengenai suatu bidang persoalan tertentu.86
Bustanul Arifin menyebut Kompilasi Hukum Islam sebagai "fikih
dalam bahasa undang-undang atau dalam bahasa rumpun Melayu disebut
Peng-kanunan hukum syara".87
Wahyu Widiana menyatakan bahwa
"Kompilasi Hukum Islam adalah sekumpulan materi Hukum Islam yang
ditulis pasal demi pasal, berjumlah 229 pasal, terdiri dan 3 kelompok materi
hukum, yaitu Hukum Perkawinan (170 pasal), Hukum Kewarisan termasuk
Wasiat dan Hibah (44 pasal), dan Hukum Perwakafan (14 pasal), ditambah
satu pasal Ketentuan Penutup yang berlaku untuk ketiga kelompok hukum
tersebut.‛88
Rumusan yang sama dikemukakan Muhammad Daud Ali, Kompilasi
Hukum Islam adalah kumpulan atau himpunan kaidah-kaidah hukum Islam
yang disusun secara sistematis. Isi dari Kompilasi hukum Islam terdiri dari
tiga buku, masing-masing buku dibagi ke dalam beberapa bab dan pasal,
dengan sistematika sebagai berikut: Buku I Hukum Perkawinan terdiri dari
19 bab dengan 170 Pasal, Buku II Hukum Kewarisan terdiri dari 6 bab dengan
44 pasal (dari pasal 171 sampai dengan Pasal 214), Buku III Hukum
86
Moh. Koesnoe, Kedudukan Kompilasi Hukum Islam dalam Sistem Hukum Nasional dalam Varia Peradilan, Tahun XI Nomor 122 Nopember 1995, 147. 87
Bustanul Arifin, "Kompilasi Fikih dalam Bahasa Undang-undang", dalam Pesantren, Nomor
2/Vol. 11/1985, 25, dan Pelembagaan Hukum Islam di Indonesia, Akar Sejarah Hambatan dan Prospeknya, (Jakarta: Gema Insani Press, 1996), 49. 88
Wahyu Widiana, "Aktualisasi Kompilasi Hukum Islam di Peradilan Agama dan Upaya Menjadikannya Sebagai Undang-undang", dalam Mimbar Hukum, Nomor 58 Thn. XIII 2002, 37.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
47
Perwakafan, terdiri dari 5 Bab dengan 14 Pasal (dari Pasal 215 sampai dengan
Pasal 228).89
Dari sudut lingkup makna the ideal law, kehadiran Kompilasi
Hukum Islam merupakan rangkaian sejarah hukum nasional yang dapat
mengungkapkan ragam makna kehidupan masyarakat Indonesia.90
Kalau
dilihat dari proses pembentukannya yang menghimpun bahanbahan hukum
dari berbagai kitab Fikih yang mu'tamad yang biasa digunakan sebagai
rujukan para hakim dalam memutus perkara, maka Kompilasi Hukum Islam
dapat diartikan sebagai rangkuman berbagai hal mengenai hukum Islam.
Kompilasi Hukum Islam diolah, dikembangkan serta disusun secara
sistematis dengan berpedoman pada rumusan kalimat atau pasal-pasal yang
lazim digunakan dalam peraturan perundang-undangan.91
Secara materi, Kompilasi Hukum Islam dapat dikatakan sebagai
Hukum tertulis dan hukum tidak tertulis. Dikatakan tertulis sebab sebagian
materi Kompilasi Hukum Islam merupakan kutipan dari atau menunjuk
materi perundangan yang berlaku, seperti UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan, UU Nomor 22 Tahun 1946 jo UU 32 Tahun 1954 tentang
Pencatatan Nikah bagi Umat Islam, PP Nomor 9 Tahun 1975 tentang Aturan
Pelaksanaan UU Nomor 1 Tahun 1974 dan sebagainya. Dikatakan sebagai
hukum tidak tertulis sebab sebagian materi Kompilasi Hukum Islam
89
Muhammad Daud Ali, Hukum Islam, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2002), 267. 90
Abdul Gani Abdullah, Pengantar Kompilasi Hukum Islam dalam Tata Hukum Indonesia,
(Jakarta: Gema Insani Press, 1994), 61. 91
M. Thahir Azhary, "Kompilasi Hukum Islam Sebagai Alternatif Suatu Analisis Sumber-sumber Hukum Islam" dalam Mimbar Aktualisasi Hukum Islam, Nomor 4 Tahun I11991, 15-16, dan
Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, 14.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
48
merupakan rumusan yang diambil dari materi fiqh atau ijtihad para ulama dan
kesepakatan para peserta lokakarya. Kondisi Kompilasi Hukum Islam yang
bukan peraturan perundang-undangan itu yang menjadikan Kompilasi Hukum
Islam disikapi beragam oleh Pengadilan Agama (PA) maupun Pengadilan
Tinggi Agama (PTA).92
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa Kompilasi Hukum
Islam itu adalah ketentuan hukum Islam yang ditulis dan disusun secara
sistematis menyerupai peraturan perundang-undangan untuk sedapat
mungkin diterapkan seluruh instansi Departemen Agama dalam
menyelesaikan masalah-masalah di bidang yang telah diatur Kompilasi
Hukum Islam. Oleh para hakim peradilan agama Kompilasi Hukum Islam
digunakan sebagai pedoman dalam memeriksa, mengadili dan memutus
perkara yang diajukan kepadanya.
Upaya mempositifkan hukum Islam melalui Kompilasi Hukum
Islam ini mempunyai beberapa sasaran pokok yang hendak dicapai.
1. Melengkapi Pilar Peradilan Agama.
Bustanul Arifin berulangkali menyatakan bahwa ada tiga pilar
sokoguru Kekuasaan Kehakiman dalam melaksanakan fungsi peradilan
yang diamanatkan Pasal 24 UUD 1945 jo Undang-undang Nomor 48
Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman. Salah satu pilar tidak
terpenuhi, menyebabkan penyelenggaraan fungsi peradilan tidak benar
jalannya.
92
Wahyu Widiana, "Aktualisasi Kompilasi Hukum Islam…, 40.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
49
1. Adanya badan peradilan yang terorganisir berdasarkan kekuatan undang-
undang.
Peradilan Agama secara legalistik telah diakui secara resmi sebagai
salah satu pelaksana "judicial power" dalam Negara Hukum RI. Lebih
lanjut, kedudukan, kewenangan atau yurisdiksi dan organisasinya telah
diatur dan dijabarkan dalam Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989, yang
telah diubah dengan Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006, dan diubah
lagi dengan Undang-undang Nomor 50 Tahun 2009 tentang perubahan
kedua atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan
Agama. Dilihat dari segi kelembagaan lahirnya Undang-undang Nomor7
Tahun 1989 tentang Peradilan Agama dan beberapa peraturan perundang-
undangan lain yang mendasarinya, seperti Undang-undang Nomor 48
Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman, Undang-undang Nomor 1
Tahun 1974 tentang Perkawinan, Undang-Undang Republik Indonesia
Nomor 14 Tahun 1985, yang telah diubah dengan Undang-undang Nomor
5 tahun 2004, dan diubah lagi dengan Undang-undang Nomor 3 Tahun
2009 Tentang perubahan kedua atas Undang-undang Nomor 14 Tahun
1985 Tentang Mahkamah Agung, dan peraturan-peraturan
pelaksanaannya, telah memperkokoh eksistensi kelembagaan Peradilan
Agama. Sebagai salah satu badan peradilan yang bertugas melaksanakan
kekuasaan kehakiman, keberadaan Peradilan Agama diakui dan
dikehendaki oleh Pasal 24 ayat (2) UUD 194514 jo Undang-undang
Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman. Dengan
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
50
amandemen UUD 1945 dan adanya Undang-undang No, 7 Tahun 1989
tersebut, maka kedudukan, susunan dan kekuasaan Peradilan Agama
makin kuat dan menjadi jelas. Dengan demikian, Pengadilan Agama,
resmi mempunyai kedudukan sebagai Pengadilan Negara yang berpuncak
kepada MA sebagai Pengadilan Negara Tertinggi. Peradilan Agama
bukan peradilan swasta, tetapi berkedudukan sebagai Peradilan Negara
bagi golongan penduduk yang beragama Islam. Organisasi Peradilan
Agama juga telah diatur dalam Bab II (Pasal 16- Pasal 48) UU Nomor 7
Tahun 1989. Bab ini mengatur susunan dan organisasinya yang
disesuaikan dengan kebutuhan dan tuntutan masa kini dan masa
mendatang. Diatur pula syarat-syarat yang harus dimiliki aparat
pelaksana, dan jenjang karirnya.
Dengan dilengkapinya susunan organisasi menjadikan Peradilan
Agama menjadi badan peradilan yang sempurna danmmandiri,
sebagaimana dimiliki Peradilan Umum dan Peradilan Tata Usaha Negara.
Begitu pula mengenai kewenangan yurisdiksi telah digariskan dalam
Undang-undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman,
yang kemudian secara "enumeratif" dijabarkan dalam Undangundang
Nomor 7 Tahun 1989, yang telah diubah dengan Undang-undang Nomor 3
Tahun 2006, dan diubah lagi dengan Undang-undang Nomor 50 Tahun
2009 tentang perubahan kedua atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989
Tentang Peradilan Agama.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
51
Dengan penjelasan di atas, secara konstitusional dan teoretis pilar
pertama telah terpenuhi. Peradilan Agama sebagai salah satu badan
lingkungan peradilan yang melaksanakan amanat Kekuasaan yang
ditentukan Pasal 24 UUD 1945. Secara organisatoris kedudukan dan
kewenangan telah mantap meskipun masih perlu pembinaan dan
pengembangan.
2. Adanya sarana hukum positif yang pasti dan berlaku secara unifikasi.
Sepanjang mengenai landasan, kedudukan, kewenangan telah ada
kodifikasi dan aturan hukumnya, dengan lahirnya UU Nomor 7 Tahun
1989, sudah mantap kedudukan dan kewenangannya. Begitu juga
mengenai hukum acaranya sudah positif dan unifikatif. Pasal 54 UU
Nomor 7 Tahun 1989 ditentukan bahwa hukum acara yang diterapkan,
disamakan dengan yang berlaku di peradilan umum. HIR untuk pulau
Jawa dan Madura, RBG untuk luar Jawa dan Madura, ditambah dengan
yang diatur oleh PP Nomor 9 Tahun 1975, plus dengan yang diatur sendiri
dalam UU Nomor 7 Tahun 1989 sebagai aturan hukum acara khusus yang
berkenaan dengan pemeriksaan perkara cerai talak dan gugat cerai. UU
Nomor 1 Tahun 1974 dan PP Nomor 9 Tahun 1975, sebenarnya
merupakan hukum materiil Peradilan Agama bidang hukum perkawinan.
Namun hanya mengandung hal-hal pokok saja, sedangkan ketentuan-
ketentuan hukum perkawinan yang terjabar dan diatur khusus bagi umat
Islam belum ada. Itsbat nikah dan kawin hamil umpamanya, sebagai
realitas sosial dan kebutuhan hukum masyarakat, belum diatur. Masalah
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
52
masa iddah belum rinci, kedudukan dan porsi mengenai harta bersama
belum pasti, dan masih banyak hal-hal yang dituntut syari'at Islam,
namun belum jelas pengaturannya.
Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 1977 tentang Perwakafan
Tanah Milik juga memuat hukum materiil Peradilan Agama. Namun
sebagaimana juga ketentuan mengenai perkawinan, ketentuan mengenai
perwakafan secara lebih lengkap belum terpenuhi oleh PP ini, seperti
fungsi, unsur-unsur dan syarat-syarat wakaf, belum diatur. Padahal
persoalan ini sangat penting bagi Hakim Peradilan Agama dalam
menyelesaikan sengketa wakaf. Apalagi mengenai hibah dan warisan,
pada waktu itu hukumnya secara positif dan unifikatif belum diatur.
Kenyataan ini mendorong para Hakim Peradilan Agama pada waktu
itu untuk merujuk doktrin yang ada pada kitab-kitab fikih dan pendapat
para imam mazhab, yang mempunyai ciri sarat dengan perbedaan
pendapat. Akibatnya putusan dua hakim pada saat itu terhadap kasus
yang sama bisa berbeda, karena merujuk pendapat fuqaha yang berbeda,
kendati dirujuk dari kitab fikih yang sama. Jalan satu-satunya untuk
mengatasi hal ini adalah melengkapinya dengan prasarana hukum positif
yang bersifat unifikatif. Untuk itu perlu jalan pintas yang efektif, tetapi
memenuhi persyaratan legalistik yang formil, meski tidak sempurna
dalam bentuk undang-undang, jalan pintas yang sederhana berupa
Kompilasi.93
93
Ibid., 149-152.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
53
Begitu pula mengenai hukum acara yang berlaku di Pengadilan
Agama telah diatur secara tegas dalam Pasal 54 Undang-Undang Nomor 7
Tahun 1989, yang menyebutkan: "Hukum Acara yang berlaku pada
Pengadilan di lingkungan Peradilan Agama adalah Hukum Acara Perdata
yang berlaku pada Pengadilan dalam lingkungan Peradilan Umum, kecuali
yang telah diatur secara khusus dalam Undang-Undang ini".
Persoalan yang masih dihadapi oleh Pengadilan Agama adalah
mengenai hukum materiil yang dipergunakan untuk memutus perkara
yang diajukan kepadanya, yang ternyata masih berserakan pada berbagai
kitab fikih. Padahal adanya hukum yang baik dan memadai merupakan
salah satu syarat terwujudkan peradilan yang baik. Sebagai kitab fikih
yang bercirikan adanya perbedaan pendapat, berakibat pada beragamnya
putusan Pengadilan Agama terhadap persoalan yang sama.
Menanggapi kenyataan ini Daud Ali menyatakan, oleh karena
"diffirent judge, different sentence" (lain hakim, lain pula pendapat dan
putusannya), tidak jarang dua kasus yang sama ternyata putusannya jauh
berbeda. Keadaan ini dengan sendirinya menimbulkan ketidakpastian
hukum, yang pada gilirannya akan menimbulkan sikap sinis dan
ketidakpercayaan masyarakat terhadap Pengadilan Agama.94
2. Menyamakan Persepsi Penerapan Hukum
Dengan adanya Kompilasi Hukum Islam, nilai-nilai tata hukum
Islam di bidang yang telah diatur Kompilasi Hukum Islam rumusan dan
94
Tim Ditbinbapera, Berbagai Pandangan Terhadap Kompilasi Hukum Islam, (Jakarta: Yayasan,
1993), 82.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
54
ketentuannya menjadi sama dalam penerapannya oleh hakim di seluruh
nusantara. Kompilasi Hukum Islam sebagai bagian dari tata hukum Islam,
sudah dapat ditegakkan dan diterapkan serta dipaksakan nilai-nilainya
bagi masyarakat Indonesia melalui kewenangan yang dimiliki Peradilan
Agama. Posisi dan peran kitab-kitab fikih (kitab kuning) dalam
penegakan hukum oleh dunia peradilan lambat laun akan ditinggalkan.
Peranannya hanya sebagai bahan orientasi dan kajian doktrin. Semua
hakim yang bertugas di lingkungan Peradilan Agama, diarahkan ke dalam
persepsi penegakan Hukum yang sama. Pegangan dan rujukan hukum
yang mesti mereka pedomani, sama di seluruh Indonesia, yakni Kompilasi
Hukum Islam sebagai satu-satunya kitab hukum yang memiliki keabsahan
dan otoritas.
Persamaan persepsi di atas diharapkan terwujud dalam penegakan
hukum, kebenaran dan keadilan. Namun demikian tidak dimaksudkan
sama sekali untuk memasung kebebasan dan kemandirian para Hakim
dalam menyelenggarakan fungsi peradilan. Maksud pembinaan dan
pengembangan persamaan persepsi di dunia peradilan, bukan bertujuan
memandulkan kreatifitas dan daya nalar. Apalagi untuk maksud menutup
pintu bagi para hakim dalam melakukan terobosan dan pembaharuan
hukum ke arah yang lebih aktual sesuai tuntutan perkembangan zaman.
Akan tetapi dengan kehadiran Kompilasi Hukum Islam, tidak dibenarkan
lagi adanya putusan Hakim yang disparitas.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
55
Dengan mempedomani Kompilasi Hukum Islam, para Hakim
diharapkan bisa memberikan kepastian hukum yang seragam tanpa
mengurangi munculnya putusan Hakim yang variabel karena kasuistis.
Hal ini masih dimungkinkan sepanjang secara proporsional dapat
dipertanggung jawabkan secara hukum. Bagi pencari keadilan dalam
setiap kesempatan yang diberikan kepadanya oleh peraturan perundang-
undangan, dapat melakukan pembelaan 54 dan segala upaya untuk
mempertahankan hak dan kepentingannya dalam suatu proses peradilan,
tidak boleh menyimpang dari kaidah Kompilasi Hukum Islam. Mereka
sudah tidak layak lagi menggunakan dalil ikhtilaf. Tidak bisa lagi
mengagungkan dan memaksakan kehendaknya, agar Hakim mengadili
perkaranya berdasarkan mazhab tertentu. Dalam proses persidangan para
pihak tidak layak lagi mempertentangkan pendapat-pendapat yang
terdapat dalam kitab fikih tertentu.
Begitu pula dengan penasihat hukum. Mereka hanya diperkenankan
mengajukan tafsir dengan bertitik tolak dari rumusan Kompilasi Hukum
Islam. Semua pihak yang terlibat dalam proses di Peradilan Agama, sama-
sama mencari sumber dari muara yang sama yaitu Kompilasi Hukum
Islam.95
3. Mempercepat Proses Taqribi Baina al-Mazahib
Taqribi Baina al-Ummah sangat diperlukan agar jurang pemisah di
antara ummat Islam yang berbeda pandangan dan Mazhab dapat
95
M. Yahya Harap, Informasi Materi Kompilasi Hukum Islam Mempositifkan Abstraksi Hukum Islam dalam Berbagai Pandangan Terhadap Kompilasi Hukum Islam …,152-154.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
56
dipertemukan dan perbedaan di antara mereka tidak semakin meluas dan
meruncing. Dengan adanya Kompilasi Hukum Islam dapat diharapkan
menjadi jembatan penyeberangan ke arah memperkecil pertentangan
dalam persoalan khilafiyah. Dari aspek materi hukum, persoalan yang
tereliminir melalui Kompilasi Hukum Islam ini memang relatif kecil.
Namun dari segi upaya menumbuhkan semangat dan budaya untuk
meninggalkan khilafiyah atau setidak-tidaknya membiarkan berjalan
secara apa adanya dan memandang perbedaan sebagai sesuatu yang tidak
perlu dipersoalkan, Kompilasi Hukum Islam membawa misi yang jelas.
Sekurang-kurangnya di bidang hukum yang telah diatur Kompilasi
Hukum Islam dapat dipadu dan disatukan dalam pemahaman yang sama.
Hal ini bukan berarti lenyapnya seluruh persoalan khilafiyah.
Sepanjang yang menyangkut bidang ubudiyah, Kompilasi Hukum Islam
sama sekali tidak bisa mengarahkan menuju transformasi suasana taqribi.
Masing-masing pihak dibebaskan secara mandiri untuk mengambil
pilihannya. Akan tetapi misi taqribi baina al-ummah yang berhasil dibawa
Kompilasi Hukum Islam dalam bidang perkawinan, hibah, wasiat dan
waris, sedikit banyak memberikan harapan bahwa tidak mustahil ada hal-
hal yang semula khilafiyah, pada suatu saat dapat disepakati bersama.
Harus mengakui bahwa Kompilasi Hukum Islam membawa misi
memperkecil jurang kesenjangan khilafiyah dalam kehidupan masyarakat
Islam Indonesia. Arus taqribi baina al-mazahib yang berhasil diwujudkan
melalui Kompilasi Hukum Islam, akan lebih besar dampaknya dalam
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
57
mewujudkan wahdatu al-ummah apabila informasi penyebaran materi
Kompilasi Hukum Islam semakin merata dan tidak berhenti pada bunyi
pasal demi pasal belaka.96
Latar belakang diwujudkannya Kompilasi Hukum Islam tidak
terlepas dari perkembangan hukum Islam di Indonesia, terutama peradilan
agama, karena faktor yang mendorong dimunculkannya Kompilasi Hukum
Islam adalah karena kebutuhan peradilan agama terhadap kesatuan hukum
terapan dalam memutus perkara. Kebutuhan adanya Kompilasi Hukum Islam
sebagai hukum materiil bagi Peradilan Agama sudah menjadi pemikiran dan
usaha Departemen Agama, sejak awal berdirinya departemen ini.97
Kebutuhan Kebutuhan itu terus dirasakan sejalan dengan perkembangan
badan peradilannya. Di tahun 1957 dikeluarkan Peraturan Pemerintah Nomor
45 tahun 1957 tentang pembentukan Pengadilan Agama Mahkamah Syari'ah
di luar Jawa, Madura, dan Kalimantan bagian Selatan.
Peraturan ini memberikan yurisdiksi yang lebih besar kepada
Pengadilan Agama di luar Jawa. Selain menangani persoalan perkawinan,
Pengadilan Agama Mahkamah Syari'ah juga mempunyai yurisdiksi dalam
masalah waris, hadanah, waqaf, sadaqah, dan bait al-mal.98 Hal ini dapat
dibuktikan begitu PP Nomor 45 tahun 1957 tentang Pembentukan Pengadilan
Agama/Mahkamah Syar'iyah di luar Jawa Madura dan Kalimantan Selatan
96
Ibid., 154. 97
Wahyu Widiana, Aktualisasi Kompilasi Hukum Islam di Peradilan Agama dan Upaya Menjadikannya Sebagai Undang-undang"…, 37. 98
M. Masrani Basran dan Zaini Dahlan, "Kodifikasi Hukum Islam di Indonesia" dalam
Perkembangan Mutakhir Hukum Islam di Asia Tenggara, Studi Kasus Hukum Keluarga dan Pengkodifikasiannya, Sudirman Tebba (ed), (Bandung: Mizan, 1993), 57.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
58
diundangkan, Kepala Biro Peradilan Agama, Depertemen Agama segera
mengeluarkan SE Nomor B/l/735 tanggal 18 Pebruari 1958 yang
menganjurkan penggunaan 13 macam Kitab Fikih sebagai pedoman.99 Surat
Edaran tersebut dimaksudkan untuk menuju kesatuan Hukum dalam
memeriksa dan memutus perkara, yang berisi petunjuk agar Pengadilan
Agama/Mahkamah Syari'ah, dalam memeriksa dan memutus perkara
berpedoman pada 13 macam Kitab Fikih. Dengan menunjuk hanya 13 Kitab
tersebut maka langkah dan upaya menuju kepastian dan kesatuan hukum
makin jelas.
Dengan lahirnya UU Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan, dan
PP Nomor 28 tahun 1977 tentang Perwakafan Tanah Milik, serta PP Nomor 9
tahun 1975, selain merupakan refleksi dari eksistensi peradilan agama, juga
merupakan langkah baru menjadikan bagian-bagian hukum Islam menjadi
hukum tertulis.100
Kenyataan menunjukkan bahwa masih banyak bagian-
bagian lain dari Hukum perkawinan, kewarisan, wakaf dan lain-lain yang
menjadi kewenangan Pengadilan Agama, namun masih berada di luar hukum
tertulis.101
Pada Pada tahun 1970, diundangkan UU Nomor 14 tahun 1970
tentang Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman, dalam Pasal 10 ditetapkan
bahwa Badan Peradilan Agama merupakan salah satu dari empat lingkungan
99
Zarkawi Soejoeti "Sejarah Penyusunan Kompilasi Hukum Islam di Indonesia" dalam Peradilan Agama dan Kompilasi Hukum Islam Dalam Tata Hukum Indonesia, Mahfud MD, Sidik Tono,
Dadan Muttaqien (ed.), (Yogyakarta: Ull Press, 1993), 46. 100
Abdul Gani Abdullah, Pengantar Kompilasi Hukum Islam dalam Tata Hukum Indonesia, (Jakarta: Gema Insani Press, 1994), 36-37 101
Zarkawi Soejoeti, Sejarah Penyusunan Kompilasi…, 48.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
59
peradilan sebagai pelaksana kekuasaan kehakiman,102
yang berpuncak pada
Mahkamah Agung sebagai Pengadilan Negara Tertinggi yang berwenang
mengawasi semua pengadilan. Kendati demikian, organisatoris, administratif
dan finansial badan peradilan ada di bawah kekuasaan masing-masing
Departemen yang bersangkutan. Dalam hal ini Pengadilan Agama berada di
bawah Departemen Agama (Pasal 11 ayat (1) UU Nomor 14 tahun 1970).
Untuk mewujudkan keseragaman tindak antara Mahkamah Agung
dan Departemen Agama dalam melakukan pembinaan bersama terhadap
Badan Peradilan Agama dan untuk menghindari perbedaan penafsiran dalam
pelaksanaan UU Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan, maka pada
tanggal 16 September 1976 dibentuk panitia kerjasama antara MA dengan
Depag. Pembentukan lembaga kerjasama MA dan Depag itu dikonkritkan
dengan Surat Keputusan Ketua Mahkamah Agung RI Nomor 04/KMA/1976
yang disebut dengan Panker Mahakam (Panitia Kerjasama Mahkamah
Agung/Departemen Agama).103 Langkah-langkah dan upaya-upaya tersebut
berupa penyatuan pendapat para ahli melalui simposium, seminar, lokakarya
dan penyusunan kompilasi bagian-bagian tertentu dari hukum Islam.
Kegiatan ini melibatkan berbagai pihak yang mempunyai kapasitas dalam
bidangnya masing-masing, seperti praktisi hukum, kalangan perguruan tinggi,
departemen, ulama, cendekiawan muslim dan perorangan lainnya.Sejalan
dengan itu semua, pertemuan antara Ketua Mahkamah Agung dan Menteri
102
C.S.T. Kansil, Kitab Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman (KUKK), (Jakarta: Bina Aksara,
1986), 12. 103
Zarkawi Soejoeti, Sejarah Penyusunan Kompilasi…, 48.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
60
Agama pada tanggal 15 Met 1979 menghasilkan kesepakatan berupa
penunjukan enam orang hakim agung untuk bertugas menyidangkan dan
menyelesaikan permohonan kasasi yang berasal dan Lingkungan Peradilan
Agama. Keenam hakim agung tersebut ditunjuk dengan Surat Keputusan MA
Nomor: 3/KMA/1979, mereka adalah: Ny.Sri Widowati Wiratmo Soekito,
SH., Asikin Kusumah Atmadja, SH., BRM. Hanindya Poetro Sosropranoto,
SH., Poerwoto S.Gandasubrata, SH., Kabul Arifin, SH., dan Bustanul Arifin,
SH.104
Kerjasama kedua lembaga terus ditingkatkan baik kualitatif maupun
kuantitatif guna mengatasi berbagai kendala teknis dalam penyelenggaraan
tugas peradilan agama.
Dalam rangka inilah, Bustanul Arifin tampil dengan gagasan
perlunya membuat Kompilasi Hukum Islam. Gagasan ini didasari
pertimbangan berikut:
a. Untuk dapat berlakunya hukum (Islam) di Indonesia, harus ada antara lain
hukum yang jelas dan dapat dilaksanakan oleh aparat penegak Hukum
maupun masyarakat. Persepsi yang tidak seragam tentang syari'ah akan
dan sudah menyebabkan hal-hal:
1) Ketidakseragaman dalam menentukan apa-apa yang disebut Hukum
Islam itu (maa anzalallahu).
2) Tidak mendapat kejelasan bagaimana menjalankan syari'at
(tanfiziyah).
104
Ibid.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
61
3) Akibat kepanjangannya tidak mampu menggunakan jalan-jalan dan
alat-alat yang tersedia dalam Undang-undang Dasar 1945 dan
perundangundangan lainnya.
b. Di dalam sejarah Islam, pernah di tiga negara, hukum Islam diberlakukan
sebagai perundang-undangan negara:
1) Di India pada masa Raja An Rijib yang membuat dan memberlakukan
perundang-undangan yang terkenal dengan Fatwa Alamgiri.
2) Di Turki Utsmani yang terkenal dengan nama Majalah al-Ahkamal-
Adliyah, dan; Hukum Islam pada tahun 1983 dikodifikasikan di
Sabang.105
Gagasan Bustanul Arifin terealisir dengan dibentuknya Tim
Pelaksana Proyek Kerjasama antara MA dan Depag dengan Surat Keputusan
Bersama (SKB) Ketua MA Nomor 07/KMA/1985, dan MENAG Nomor 25
tahun 1985, tertanggal 25 Maret 1985 di Yogyakarta.106
Sejak terbentuknya
Proyek Pembangunan Hukum Islam melalui Yurisprudensi tersebut,
penyusunan Kompilasi Hukum Islam memasuki periode baru ke arah
terwujudnya secara nyata Kompilasi Hukum Islam di bidang yang menjadi
kewenangan Badan Peradilan Agama.
Ide penyusunan Kompilasi Hukum Islam muncul setelah MA
melakukan pembinaan bidang teknis yustisial terhadap Peradilan Agama.
Pembinaan teknis yustisial ini dilakukan MA sebagai Pengadilan Negara
105
Amrullah Ahmad dkk, Dimensi Hukum Islam Dalam Sistem Hukum Nasional…,11-12 106
Ibid., 12.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
62
Tertinggi yang berhak melakukan pengawasan, memberikan petunjuk,
teguran atau peringatan terhadap lembaga peradilan di bawahnya.
Hal ini sebagai perwujudan dari amanah Pasal 10 UU Nomor 14
tahun 1970 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman dan
Pasal 32 ayat (4) Undang-undang Nomor 14 tahun 1985 tentang Mahkamah
Agung. Sekalipun Undang-undang tersebut diundangkan pada tahun 1970,
namun pelaksanaannya di lingkungan peradilan agama baru terealisir tahun
80-an, 10 tahun setelah diundangkannya. Kongkritnya dengan penandatangan
SKB Ketua MA dengan Menag Nomor 01,02,03 dan 04/SK/1/1983 dan 1, 2,
3, 4 tahun 1983. Keempat SKB ini merupakan jalan pintas karena adanya
kesenjangan antara ketentuan yang berlaku bagi peradilan agama dengan
undang-undang sambil menunggu undang-undang tentang Peradilan Agama
sebagai pelaksanaan dari UU Nomor 14 tahun 1970, yang pada saat itu masih
dalam proses penyusunan rancangannya.107
Pelaksanaan pembinaan teknis yustisial oleh MA menemukan
adanya beberapa kelemahan dalam penyelenggaraan peradilan agama. Antara
lain berkenaan dengan hukum terapan yang cenderung simpangsiur
disebabkan oleh perbedaan pendapat para fuqaha dari 13 kitab yang
dijadikan rujukan para hakim yang berakibat dapat terjadinya putusan yang
berbeda terhadap kasus yang sama.
Untuk mengatasi persoalan tersebut diperlukan adanya satu buku
hukum islam yang menghimpun semua hukum terapan yang berlaku bagi
107
Zarkawi Soejoeti, Sejarah Penyusunan Kompilasi…, 138-139.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
63
lingkungan peradilan agama yang dapat dijadikan pedoman oleh para hakim
dalam menjalankan tugasnya. Dari sini diharapkan adanya jaminan kesatuan
dan kepastian hukum. Inilah antara lain yang menjadi gagasan dasar bagi
perlunya disusun Kompilasi Hukum Islam di samping pertimbangan-
pertimbangan lain yang telah disebutkan di muka.108
Masrani Basran mengetengahkan ada dua hal yang melatarbelakangi
lahirnya Kompilasi Hukum Islam yaitu:
1. Adanya ketidakjelasan persepsi antara syari'ah dan fikih, yang terjadi
sejak ratusan tahun silam, di kalangan umat Islam di seluruh dunia,
termasuk Indonesia. Kekacauan atau ketidakjelasan itu terjadi pada arti
dan ruang lingkup syari'ah. Kadang-kadang syari'ah disamakan dengan
fikih, bahkan adakalanya dalam penetapan dan persepsi dianggap sama
pula dengan al-Din, akibatnya terjadilah kekacauan pengertian di
kalangan umat Islam, dan kekacauan pengertian ini berkembang pula di
pihak orang di luar Islam. Keadaan tersebut akan dan telah menyebabkan
hal-hal:
a) Ketidakseragaman dalam menentukan apa-apa yang disebut dengan
Hukum Islam itu;
b) Ketidakjelasan bagaimana menjalankan syari'ah itu; dan
108
Ibid., 50.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
64
c) Akibat lebih jauh lagi, adalah kita tidak mampu mempergunakan jalan-
jalan dan alat-alat yang telah tersedia dalam UUD 1945 dan perundang-
undangan lainnya.109
2. Adanya kesulitan mengakses kitab fikih (Kitab kuning) yang berbahasa
Arab. Buku-buku hukum Islam (kitab-kitab kuning) ditulis dalam bahasa
Arab yang dipakai pada abad 8, 9 dan 10 M. Yang bisa membacanya
hanyalah orang-orang yang benar-benar/khusus belajar untuk itu, yang
diperkirakan di Indonesia ini jumlahnya tidak banyak dan akan semakin
mengecil. Rakyat banyak yang sebenarnya amat berkepentingan untuk
mengetahui hak dan kewajibannya, tidak memiliki akses untuk itu.110
3. Memahami secara tepat latar belakang penyusunan Kompilasi Hukum
Islam bukan hal yang mudah. Namun ada baiknya apabila diperhatikan
konsideran Keputusan Bersama Ketua MA dan Menteri Agama tanggal
21 Maret 1985 nomor 07/KMA/1985 dan nomor 25/198540 tentang
Penunjukan Pelaksana Proyek Pembangunan Hukum Islam melalui
Yurisprudensi atau yang lebih dikenal dengan proyek Kompilasi Hukum
Islam.
Ada dua pertimbangan disusunnya Kompilasi Hukum Islam yaitu:
1. Bahwa sesuai dengan fungsi pengaturan Mahkamah Agung Republik
Indonesia terhadap jalannya peradilan di semua lingkungan peradilan di
Indonesia, khususnya di lingkungan Peradilan Agama, perlu diadakan
109
Masrani Basran, Kompilasi Hukum Islam, Mimbar Ulama, Nomor 105 Thn. X, Mei 1986, 7. 110
Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia…, 24-27.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
65
Kompilasi Hukum Islam yang selama ini menjadi hukum positif di
Pengadilan Agama.
2. Bahwa guna mencapai maksud tersebut, demi meningkatkan kelancaran
pelaksanaan tugas, sinkronisasi dan tertib administrasi dalam proyek
pembangunan Hukum Islam melalui Yurisprudensi, dipandang perlu
membentuk suatu tim proyek yang susunannya terdiri dan para Pejabat
Mahkamah Agung dan Departemen Agama Republik Indonesia.
Bunyi konsideran di atas menggambarkan bahwa penyusunan
Kompilasi Hukum Islam ini lebih banyak dikaitkan dengan fungsi Peradilan
Agama. Kenyataan ini muncul karena lembaga yang menanganinya lintas
lembaga/departemen, yang tugas, tanggung jawab dan kepentingannya
bertemu pada Peradilan Agama. Mahkamah Agung karena pengadilannya
(lembaga yudikatif) berkewajiban membina pengadilan dan Depag karena
urusan yang ditanganinya masalah (umat) Islamnya. Yuridis formal yang
berlaku saat ini, juga mengatur hal yang demikian. Pada sisi lain harus pula
diakui bahwa kebutuhan akan adanya hukum materiil merupakan kebutuhan
riil Peradilan Agama sebagai salah satu pilar kekuasaan kehakiman di
Indonesia. Sekaligus untuk memperoleh kesatuan hukum yang selama ini
masih menjadi persoalan bagi Peradilan Agama, agar tercipta hukum yang
sesuai dengan perkembangan masyarakat Indonesia menuju terwujudnya
Hukum Nasional yang sesuai dengan kondisi sosial budaya bangsa Indonesia.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
66
B. Proses Penyusunan Kompilasi Hukum Islam
KHI disusun dengan maksud untuk melengkapi UU Perkawinan dan
diusahakan secara praktis mendudukannya sebagai hukum perundang-
undangan meskipun keduanya tidak sama dengan itu. KHI dengan demikian
berinduk kepada UU Perkawian. Dalam kedudukannya sebagai pelaksana
praktis dari UU Perkawinan, maka materinya tidak boleh betentangan dengan
UU Perkawinan. Di samping itu, dalam KHI ditambahkan materi lain yang
prinsipnya tidak bertentangan dengan UU Perkawinan. Hal ini terlihat dari
jumlah pasal yang ada diantara keduanya. UU mempunyai secara lengkap 67
pasal sedangkan KHI mencapai 170 pasal.111
Gagasan untuk mengadakan KHI di Indonesia untuk pertama kali
diumumkan oleh Menteri Agama RI, Munawir Sadzali, MA., pada bulan
Februari 1985 dalam ceramahnya di depan para mahasiswa IAIN Sunan
Ampel Surabaya. Semenjak itu, ide ini menggelinding dan mendapat
sambutan hangat dari berbagai pihak. Berdasarkan keterangan tersebut bisa
dilihat bahwa untuk mengadakan KHI ini memang baru muncul sekitar tahun
1985 dan kemunculannya ini adalah merupakan hasil kompromi antara pihak
Menteri Agama dan Departemen Agama (Depag). Langkah untuk
mewujudkan kegiatan ini mendapat dukungan banyak pihak.112
Untuk menindaklanjuti pikiran-pikiran yang berkembang dalam
pertemuan-pertemuan tersebut, Presiden Soeharto pada tanggal 15 Maret
1985, membentuk proyek pembangunan hukum Islam melalui yurisprudensi
111
Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam…, 31 112
Abdurrahman, Kompilasi…, 31-33.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
67
kerjasama Mahkamah Agung dan Depag.113
dengan Surat Keputusan
Bersama (SKB) Ketua Mahkamah Agung dan Menteri Agama tentang
penunjukan pelaksana proyek pembangunan hukum Islam melalui
yurisprudensi Nomor07/KMA/1985 dan Nomor 25 tahun 1985.114
Setelah adanya kerjasama tersebut, secara aktif Depag melakukan
berbagai kegiatan ilmiah di bidang-bidang hukum tertentu dalam rangka
mempersiapkan materi KHI. Kegiatan-kegiatan ilmiah tersebut tidak hanya
diikuti oleh ahli hukum yang ada di Depag dan MA. Tetapi juga melibatkan
para ahli hukum dari kalangan akademisi maupun kalangan profesi lainnya
seperti para hakim, pengacara, notaris dan sebagainya. Selain itu, berbagai
forum pertemuan antara MA dan Depag telah dilakukan. Forum yang paling
intensif yakni yang dilakukan bersamaan rapat kerja tahunan Depag.115
Dalam
pertemuan-pertemuan gabungan antara MA dan Depag pada dasarnya
berkesimpulan bahwa kesempurnaan pembinaan badan-badan peradilan
agama beserta aparatnya hanya dapat dicapai antara lain dengan cara
berikut:116
1. Memberikan dasar formal, kepastian hukum di bidang hukum acara dan
dalam susunan kekuasaan peradilan Agama dan kepastian hukum (legal
security) di bidang hukum materiil.
113
Mahkamah Agung adalah lembaga yudikatif yang bertanggung jawab terhadap teknis yustisial
peradilan. Sedangkan Depag adalah lembaga eksekutif yang bertanggung jawab terhadap
organisasi, administrasi dan keuangan Pengadilan Agama. Lihat Pasal 11 ayat (1) UU Nomor 14
Tahun 1970. 114
Marzuki Wahid dan Rumadi, Fiqh Madzhab Negara; Kritik atas Politik Hukum Islam di Indonesia, (Yogyakarta: LKiS Yogyakarta, 2001), 149. 115
Warkum Sumitro, Perkembangan Hukum Islam di Tengah Dinamika Sosial Politik di Indonesia, (Malang: Setara Press, 2016), 179. 116
Ibid., 179-180.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
68
2. Demi tercapainya legal security bagi para justia belen (orang awam,
pencari keadilan) maupun bagi masyarakat Islam sendiri perlu aturan
hukum Islam yang tersebar itu dihimpun atau dikompilasi dalam buku-
buku hukum tentang perkawinan (muna>kaḥa>t), kewarisan (fara>’iḍ), dan
wakaf.
Pada tanggal 21 Maret 1985 di Yogyakarta, dalam satu rapat kerja
gabungan yang dihadiri oleh Ketua-Ketua Pengadilan Tinggi dan Peradilan
Umum, Ketua-Ketua Pengadilan Tinggi Agama dan Ketua-Ketua Mahkamah
Militer se-Indonesia. Ketua Mahkamah Agung dan Menteri Agama
menandatangai SKB tentang proyek pembangunan Hukum Islam melalui
Yurisprudensi atau disebut juga proyek KHI.117
Melalui SKB tersebut, dimulailah kegiatan proyek KHI yang
berlangsung dengan jangka waktu dua tahun. Pelaksanaan proyek ini
kemudian didukung oleh Keputusan Presiden Nomor 191/1985 tanggal 10
Desember 1985 dengan biaya sebesar Rp. 230.000.000,00. Biaya sebesar ini
tidak berasal dari APBN tetapi langsung dari Presiden Soeharto sendiri.
C. Landasan dan Kedudukan Kompilasi Hukum Islam
Landasan dalam artian sebagai dasar hukum keberadaan KHI di
Indonesia. Produk hukum KHI dituangkan dalam Instruksi Presiden Nomor 1
Tahun 1991. Menurut Ismail Suny, bahwa KHI yang memuat Hukum materiil
ini dapat ditetapkan berdasarkan Keputusan Presiden/Instruksi Presiden.
117
Abdurrahman, Kompilasi…, 33.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
69
Dasar hukum Inpres ialah Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Dasar Nasional
Republik Indonesia (UUD NRI) 1945 yaitu‚ Presiden RI memegang
kekuasaan pemerintahan menurut UUD. Sebagai pemegang kekuasaan
eksekutif, Presiden berkewajiban untuk menjalankan UU, untuk itu ia
mempunyai kekuasaan untuk menetapkan peraturan pemerintahan (pouvoir
reglementair).118
Inpres ini ditujukan kepada Menteri Agama untuk menyebarluaskan
KHI yang sudah disepakati tersebut. Diktum Keputusan ini hanya
menyatakan:119
1. Menyebarluaskan Kompilasi Hukum Islam yang terdiri dari:
a. Buku I tentang Hukum Perkawinan
b. Buku II tentang Hukum Kewarisan
c. Buku III tentang Hukum Perwakafan
Sebagaimana telah diterima baik oleh para alim ulama Indonesia
dalam lokakarya di Jakarta pada tanggal 2-5 Februari 1988 untuk
digunakan oleh Instansi Pemerintah dan masyarakat yang
memerlukannya.
2. Melaksanakan Instruksi ini dengan sebaik-baiknya dan dengan penuh
tanggung jawab.
Sedangkan konsideran Inpres tersebut menyatakan:120
118
Marzuki Wahid dan Rumadi, Fiqh Madzhab Negara; Kritik atas Politik Hukum Islam di Indonesia, (Yogyakarta: LKiS Yogyakarta, 2001), 166. 119
Abdurrahman, Kompilasi…, 53-54. 120
Ibid., 54.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
70
a. Bahwa ulama Indonesia dalam lokakarya yang diadakan di Jakarta
pada tanggal 2-5 Februari 1988 telah menerima baik rancangan buku
Kompilasi Hukum Islam, yaitu Buku I tentang Hukum Perkawinan,
Buku II tentang Hukum Kewarisan, dan Buku III tentang Hukum
Perwakafan.
b. Bahwa Kompilasi Hukum Islam tersebut dalam huruf (a) oleh Instansi
Pemerintah dan masyarakat yang memerlukannya dapat digunakan
sebagai pedoman dalam menyelesaikan masalah-masalah di bidang
tersebut.
c. Bahwa oleh karena itu Kompilasi Hukum Islam tersebut dalam huruf
(a) perlu disebarluaskan.
Bila melihat dari konsideran di atas, adanya KHI ini dapat
digunakan sebagai pedoman dalam menyelesaikan masalah-masalah di
bidang perkawinan, kewarisan dan perwakafan, sehingga dapat
menumbuhkan kesan bahwa KHI ini bersifat tidak mengikat, artinya
dapat memakainya dan dapat pula tidak memakainya. Hal ini tentu saja
tidak sesuai dengan apa yang dijelaskan dalam latar belakang
penyusunannya. Oleh sebab itu, pengertian sebagai pedoman harus
dimaknai sebagai tuntutan atau petunjuk yang harus dipakai oleh
Pengadilan Agama maupun masyarakat dalam menyelesaikan sengketa
dalam bidang perkawinan, kewarisan dan perwakafan.121
121
A. Rahmat Rosyadi dan M. Rais Ahmad, Formalisasi Syariat Islam dalam Perspektif Tata Hukum Indonesia, (Bogor: Ghalia Indonesia, 2006), 102.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
71
Selanjutnya yang menjadi dasar dan landasan dari Kompilasi ini
adalah Keputusan Menteri Agama RI tanggal 22 Juli 1991 Nomor 154
Tahun 1991 tentang Pelaksana Instruksi Presiden Republik Indonesia
Nomor 1 Tahun 1991. Konsideran Keputusan ini menyebutkan:122
a. Bahwa Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1991
tanggal 10 Juni 1991 memerintahkan kepada Menteri Agama untuk
menyebarluaskan Kompilasi Hukum Islam untuk digunakan oleh
Instansi Pemerintah dan oleh masyarakat yang memerlukannya.
b. Bahwa penyebarluasan Kompilasi Hukum Islam tersebut perlu
dilaksanakan dengan sebaik-baiknya dan dengan penuh tanggung
jawab.
c. Bahwa oleh karena itu perlu dikeluarkan Keputusan Menteri Agama
RI tentang Pelaksana Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 1
Tahun 1991.
Dalam Diktum Keputusan Menteri tersebut disebutkan sebagai
berikut:123
a. Seluruh Instansi Departemen Agama dan Instansi Pemerintah lainnya
yang terkait agar menyebarluaskan Kompilasi Hukum Islam di bidang
Hukum Perkawinan, Hukum Kewarisan dan Hukum Perwakafan
sebagaimana dimaksud dalam diktum pertama Instruksi Presiden
Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1991 tanggal 10 Juni 1991 untuk
digunakan oleh Instansi Pemerintah dan masyarakat yang
122
Abdurrahman, Kompilasi…, 55-56. 123
Marzuki, Fiqh…, 165.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
72
memerlukannya dalam menyelesaikan masalahmasalah di bidang
tersebut.
b. Seluruh lingkungan Instansi tersebut dalam dictum pertama, dalam
menyelesaikan masalah-masalah di bidang Hukum Perkawinan,
Kewarisan dan Perwakafan sedapat mungkin menerapkan Kompilasi
Hukum Islam tersebut di samping peraturan perundang-undangan
lainnya.
c. Direktur Jenderal Pembinaan Kelembagaan Agama Islam dan Direktur
Bimbingan Masyarakat Islam dan Urusan Haji mengkoordinasikan
pelaksanaan Keputusan Menteri Agama Republik Indonesia ini dalam
bidang tugasnya masing-masing.
d. Keputusan ini mulai berlaku sejak ditetapkan.
Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam Keputusan Menteri Agama
tersebut ialah pada diktum bagian kedua yang berkaitan dengan
kedudukan KHI, yakni kata ‘sedapat mungkin’ kiranya mempunyai
kaitan cukup erat dengan kata ‘dapat digunakan’ dalam Inpres Nomor
1 Tahun 1991. Selain itu, dalam Keputusan ini juga disebutkan bahwa
penggunaan KHI adalah ‘di samping’ peraturan perundang-undangan
lainnya. Hal ini menunjukkan adanya kesederajatan KHI ini dengan
ketentuan perundang-undangan lainnya.124
Pengaturan lebih lanjut adalah termuat dalam Surat Edaran
Direktur Pembinaan Badan Peradilan Agama Islam atas nama
124
Abdurrahman, Kompilasi…, 57.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
73
Direktur Jenderal Pembinaan Kelembagaan Agama Islam tanggal 25
Juli 1991 Nomor 3694/EV/HK.003/AZ/91 yang ditujukan kepada
Ketua Pengadilan Tinggi Agama dan Ketua Pengadilan Agama di
seluruh Indonesia tentang Penyebarluasan Instruksi Presiden RI
Nomor 1 Tahun 1991 tanggal 10 Juni 1991.125
Berdasarkan apa yang telah dikemukakan di atas, dapat disimpulkan
ada tiga fungsi dari Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, yaitu:126
a. Sebagai suatu langkah awal/sasaran untuk mewujudkan kodifikasi dan
juga unifikasi hukum Nasional yang berlaku untuk warga masyarakat.
Hal ini penting mengingat mayoritas penduduk Indonesia adalah
beragama Islam, dimana ketentuan-ketentuan hukum yang sudah
dirumuskan dalamm kompilasi ini akan diangkat sebagai bahan materi
hukum nasional.
b. Sebagai pegangan dari para hakim Pengadilan Agama dalam
memeriksa dan mengadili perkara-perkara yang menjadi
kewenangannya.
c. Sebagai pegangan bagi warga masyarakat mengenai hukum Islam
yang berlaku baginya yang sudah merupakan hasil rumusan yang
diambil dari berbagai kitab kuning yang semula tidak dapat mereka
baca secara langsung.
Dalam konteks sekarang ini, meski telah ada KHI, tidak tertutup
kemungkinan lembaga fatwa tetap dibutuhkan. Pasal 52 ayat (1) UU
125
Ibid., 57-58. 126
Ibid., 59-60.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
74
Nomor 7 Tahun 1989 secara implisit membuka peluang hakim untuk
memberikan fatwa, ‚Pengadilan dapat memberikan keterangan,
pertimbangan dan nasihat tentang hukum Islam kepada Instansi
Pemerintah di daerah hukumnya, apabila diminta.‛127
Munculnya KHI yang menjadi pedoman bagi para hakim di
Peradilan Agama merupakan pancaran norma hukum yang tertuang dalam
Pasal 29 UUD NRI 1945.128
Oleh karena itu, keberlakuan dan kekuatan
hukum Islam secara ketatanegaraan di Indonesia adalah Pancasila dan Pasal
29 UUD NRI 1945.
Landasan fungsional KHI adalah sebagai fikih Indonesia, karena ia
disusun dengan memperhatikan kondisi kebutuhan hukum umat Islam. KHI
bukan berupa madzhab baru, melainkan ia mempersatukan berbagai fikih
dalam menjawab satu persoalan. Ia mengarah kepada unifikasi madzhab
dalam hukum Islam. Oleh karena itu, di dalam sistem hukum di Indonesia ini
merupakan bentuk terdekat dengan kodifikasi hukum yang menjadi arah
pembangunan hukum nasional di Indonesia.129
Dengan dikukuhkannya KHI menunjukkan adanya dukungan dari
struktur politik dan pemuka agama, mengingat dari substansi hukum Islam
yang semula abstrak dan terkesan kaku menjadi lebih kongkrit, lebih
sistematis dan lebih adaptif.
127
Ahmad Rofiq, Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1997), 33. 128
Pasal 29 UUD NRI 1945 menyebutkan:
1. Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa 2. Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu. 129
Zainuddin, Hukum…, 100.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
75
D. Isi Kompilasi Hukum Islam
Sebagaimana telah dikemukakan di awal, bahwa KHI ini memuat
tiga ketentuan hukum, yakni hukum perkawinan (muna>kaḥa>t), Hukum
kewarisan (fara>’iḍ) dan hukum perwakafan. Ketiganya dikelompokkan secara
terpisah, masing-masing dalam buku sendiri. Dalam setiap buku, ketentuan
spesifikasi bidang hukum terbagi ke dalam bab-bab, dan masing-masing bab
dirinci lagi ke dalam bagian-bagian dan pasal-pasal. Teknik penomoran bab
diurutkan sesuai dengan pengelompokkan buku. Sedangkan penomoran pasal
diurutkan secara keseluruhan dari buku kesatu sampai buku ketiga. Adapun
mengenai isi dari KHI tersebut adalah sebagai berikut:
1. Hukum Perkawinan
Sistematika KHI mengenai hukum perkawinan adalah sebagai
berikut:130
I. Ketentuan Umum (Pasal 1)
II. Dasar-Dasar Perkawinan (Pasal 2-10)
III. Peminangan (Pasal 11-13)
IV. Rukun dan Syarat Perkawinan (Pasal 14-29)
V. Mahar (Pasal 30-38)
VI. Larangan Kawin (Pasal 39-44)
VII. Perjanjian Perkawinan (Pasal 45-52)
VIII. Kawin Hamil (Pasal 53-54)
IX. Beristri Lebih dari Satu Orang (Pasal 55-59)
130
Abdurrahman, Kompilasi…, 65-66.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
76
X. Pencegahan Perkawinan (Pasal 60-69)
XI. Batalnya Perkawinan (Pasal 70-76)
XII. Hak dan Kewajiban Suami Istri (Pasal 77-84)
XIII. Harta Kekayaan dalam Perkawinan (Pasal 85-97
XIV. Pemeliharaan Anak (Pasal 98-106)
XV. Perwalian (Pasal 107-112)
XVI. Putusnya Perkawinan (Pasal 113-148)
XVII. Akibat Putusnya Perkawinan (Pasal 149-162)
XVIII. Rujuk (Pasal 163-169)
XIX. Masa Berkabung (Pasal 170)
2. Hukum Kewarisan
Sistematika KHI mengenai hukum kewarisan adalah lebih sempit
bilamana dibandingkan dengan hukum perkawinan, yaitu:131
I. Ketentuan Umum (Pasal 171)
II. Ahli Waris (Pasal 172-175)
III. Besarnya Bahagian (Pasal 176-191)
IV. Aul dan Rad (Pasal 192-193)
V. Wasiat (Pasal 194-209)
VI. Hibah (Pasal 210-214)
3. Hukum Perwakafan
Bagian terakhir atau buku ketiga KHI adalah tentang Hukum
perwakafan, adapun sistematikanya adalah sebagai berikut:132
131
Ibid., 77-78.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
77
I. Ketentuan Umum (Pasal 215)
II. Fungsi, Unsur-Unsur dan Syarat-Syarat Wakaf (Pasal 216-222)
III. Tata Cara Perwakafan dan Pendaftaran Benda Wakaf (Pasal 223-
224)
IV. Perubahan, Penyelesaian dan Pengawasan Benda Wakaf (Pasal
225-227)
V. Ketentuan Peralihan (Pasal 228)
E. Tamki>n Sempurna dalam Pasal 80 Kompilasi Hukum Islam
Dalam KHI (Kompilasi Hukum Islam) pasal 80 ayat (5) yang
berbunyi: Kewajiban suami terhadap istrinya seperti tersebut pada ayat (4)
huruf a dan b di atas mulai berlaku sesudah ada tamki>n sempurna dari
istrinya. Ayat (4) a dan b berbunyi : sesuai dengan penghasilannya suami
menanggung:
c. Nafkah, kiswah dan tempat kediaman bagi istri;
d. Biaya rumah tangga, biaya perawatan dan biaya pengobatan bagi istri dan
anak.
Pasal 80 KHI Pasal 153 KHI tersebut terdiri dari tujuh ayat, dan dari
tujuh ayat menimbulkan beberapa masalah dan kritik. Di antara masalah yang
dikritik sebagian pengkaji hukum Islam ada tiga masalah mendasar: Yaitu
apakah kewajiban suami terhadap istri itu mulai di wajibkan semenjak di
mulainya kehidupan rumah tangga, yaitu semenjak suami telah bergaul
132
Ibid., 81.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
78
dengan istrinya, dengan arti istri telah memberikan kemungkinan kepada
suaminya untuk menggaulinya, yang dalam fiqh disebut dengan tamki>n yang
berarti bahwa setelah terjadinya akad nikah belum ada kewajiban membayar
nafkah. Berdasarkan pendapat ini bila setelah berlangsungnya akad nikah istri
belum melakukan tamki>n, karena keadaannya ia belum menerima nafkah133.
F. Latar Belakang Munculnya Penyusunan Tamki>n Sempurna dalam Pasal 80
Kompilasi Hukum Islam
Konsep pernikahan seperti didefinisikan para ulama fikih,
ditengarai memiliki implikasi besar terhadap bangunan rumah tangga
yang dikonstruksi berdasarkan konsep nikah dimaksud. Hampir semua
ulama’ memahami pernikahan sebagai perikatan kontraktual semata, yang
pada intinya adalah penghalalan perilaku dan hubungan seksual.134
Konsep kepemilikan (milk) dalam perikatan pernikahan, baik milk al-
raqabah (memiliki sesuatu secara keseluruhan seperti kepemilikan
terhadap benda dengan jalan jual beli), milk al-manfa’at (memiliki
kemanfaatan suatu benda dengan cara menyewa) maupun milk al-intifa’
(memiliki penggunaan sesuatu tanpa orang lain berhak menggunakannya)
mengacu kepada perilaku seksualitas dimaksud.
Pernikahan tidak harus dimaknai sebagai ‘aqd al-tamlik
(perikatan kepemilikan) tetapi sebagai ‘aqd al-ibahah yakni kontrak
133
Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam Di Indonesia…,168 134
Abdurrahman al-Jaziri. Al-Fiqh ‘ala Madzahib al-Arba’ah, (Istambul: Dar al-Da‟wah, vol.IV),
2.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
79
kebolehan, dalam hal ini, menggunakan/membolehkan penggunaan alat
reproduksi perempuan yang sebelumnya diharamkan. Konsep pernikahan
yang dipahami sebagai ‘aqd al-tamlik (perikatan kepemilikian)135
berimplikasi bahwa istri adalah milik suami seutuhnya.
Sebuah produk hukum, sesunguhnya muncul sebagai respon
terhadap persoalan dan dinamika perkembangan zaman. Karena itu, ia
mewakili realitas pada masanya. Zaman yang senantiasa mengalami
perubahan kemudian menjadi alasan tersendiri mengapa sebuah produk
hukum juga berubah. Justru dalam konteks perubahan inilah, Islam
seringkali disebut-sebut sebagai agama yang memiliki sistem hukum yang
fleksibel. Dalam konteks ini, perubahan sistem hukum yang telah
ditetapkan oleh para ulama yang mewakili masanya itu, perlu dilakukan
kajian ulang, kritikan dan bahkan rumusan baru yang lebih manusiawi,
mempertimbangkan keadilan dan kemanusiaan.
Alasan perlunya dilakukan kajian ulang terhadap sejumlah
produk hukum, juga didasarkan kepada realitas bahwa alasan-alasan yang
mendasari lahirnya sebuah produk hukum akan berbeda-beda, sehingga
memungkinkan adanya ketidak memadaian produk hukum yang ada untuk
menyelesaikan permasalahan yang muncul di setiap zaman. KHI yang
sesungguhnya juga merupakan hasil kesepakatan para ulama untuk
merespon permasalahan hukum pada saat itu, mengindikasikan adanya
135
Hussein Muhammad, Pandangan Islam Tentang Seksualitas, Makalah Seminar Gender dan
Islam, Surabaya, 2004.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
80
keniscayaan pembaharuan hukum yang dapat diterima masyarakat
muslim Indonesia.136
Di dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) tidak didefinisikan
secara rinci pengertian pernikahan. Sebagaimana disebutkan pada pasal
12 Bab II, KHI mengambil definisi sebagaimana yang ditunjuk al-Qur‟an
bahwa pernikahan merupakan akad yang sangat kuat atau mitsaqan
ghalidzan, untuk mentaati perintah Allah dan melaksanakannya
merupakan ibadah.137
Ketika pernikahan dimaknai sebagai ikatan yang demikian kuat
dan mendalam (mitsaqan ghaliidzan), maka ia memiliki makna yang kuat,
baik hakiki maupun implikasinya. Namun permasalahnnya adalah bahwa
ketentuan dari pernikahan, masih banyak yang bias gender sehingga
mereduksi keagungan pernikahan itu sendiri. Dalam konteks ini misalnya
dapat dilihat konsep peminangan yang harus dilakukan pihak laki-laki
(pasal 11-12), wali yang disyaratkan laki-laki (pasal 20), saksi yang juga
laki-laki (pasal 25), perjanjian perkawinan (pasal 45), dan beristeri lebih
136
Sebagai realisasi adanya kemungkinan pembaharuan hukum Islam di Indonesia, Tim
Pembaharuan Hukum Islam bentukan Tim Pokja PUG Departemen Agama yang diketuai oleh
Musdah Mulia, membuat Counter Legal Drafting (selanjutnya disebut CLD) atas KHI. Tim CLD
ini terdiri dari para ahli Hukum Islam di Departemen Agama, para ulama dan juga sejumlah
akademisi dari perrguruan tinggi Islam. CLD, merupakan draft rumusan hukum Islam yang
dihasilkan melalui berbagai proses, mulai dari penelitian dan survey lapangan ke lima wilayah di
Indonesia, yakni Aceh, Sumatera Barat, Sulawesi selatan, NTB, dan Jawa Barat. Siti Musdah
Mulia, Menuju Undang-undang Perkawinan Yang Adil. Makalah Seminar Nasional dan
Lokakarya ‛Amandemen Undang-undang Perkawinan dan Keluarga untuk Melindungi Hak-hak
Perempuan dan Anak‛, PSW UIN Yogyakarta, 13-16 Juli 2006. 137
QS. Al-Nisa‟:21. Pengertian ini pula yang diadopsi oleh pasal 12 bab II Kompilasi Hukum
Islam (KHI)
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
81
dari satu orang (pasal 55).138
Berdasarkan pada butir-butir pasal di atas,
terdapat reduksi-reduksi makna hakiki perkawinan. Hal ini selanjutnya
berimplikasi terhadap bangunan rumah tangga, yang dalam banyak kasus
juga dapat menimbulkan kekerasan dalam rumah tangga karena adanya
dominasi satu pihak atas pihak lain.
Di antara ketentuan perkawinan dalam KHI, terdapat dalam bab
dan pasal-pasal berikut:
1. Bab II tentang dasar-dasar perkawinan. Dalam pasal 12, disebutkan
bahwa perkawinan menurut hukum Islam adalah pernikahan, yaitu
akad yang sangat kuat atau mitsaqan ghaliidhan untuk mentaati
perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah.
Definisi perkawinan dalam ketentuan tersebut, jauh lebih
progesif dibandingkan dengan rumusan fikih yang seolah hanya
menekankan pada kontrak seksual-biologis antara laki-laki dan
perempuan. Rumusan perkawinan fikih secara eksplisit menempatkan
perempuan sebagai obyek seksual, sebagai barang milik yang berhak
dinikmati (milk al-intifa’, milk al-budh’). Akibat dari penempatan
perempuan sebagai obyek tersebut, kedudukan perempuan menjadi
simetris dengan laki-laki. Ia diposisikan secara tersubordinasi,
termasuk dalam persoalan hak seksualnya. Bahkan mazhab Hanafi
menyatakan bahwa menikmati hubungan seksual adalah hak laki-laki,
138
Kompilasi Hukum Islam (KHI) ditetapkan berdasarkan Instruksi Presiden RI Nomor 1 tahun
1991, yang ditindaklanjuti dengan Keputusan menteri Agama RI Nomor 154 Tahun 1991.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
82
bukan hak perempuan. Oleh karena itu, suami boleh memaksa istrinya
untuk melayani kegiatan seksualnya.139
Dengan demikian, semakin jelas bahwa pernikahan dalam
pemikiran fikih terasa mementingkan aspek fisik-biologis, sebagai
sarana penyaluran naluri biologis. Hakikat pernikahan secara tinggi
dan indah digambarkan oleh Allah sebagai penyatuan kembali pada
bentuk asal kemanusiaan yang hakiki, yakni nafsin wahidah (diri yang
satu), sebagaimana ditunjukkan dalam QS, 7: 189. Allah SWT
menggunakan istilah nafsin wahidah karena dengan istilah ini ingin
ditunjukkan bahwa pernikahan pada hakikatnya adalah reunifikasi
antara laki-laki dan perempuan pada tingkat praksis, setelah didahului
dengan reunifikasi pada tingkat hakikat, yakni berupa kesamaan asal-
usul kejadian umat manusia dari diri yang satu. Sementara itu pada
saat yang lain, yakni QS. 30: 21, juga disebutkan bahwa secara
konkret hubungan antara kesatuan hakiki, min anfusikum, sebagai
bentuk kesatuan pada level esoteris idealistis dengan kesatuan praktis
(pernikahan) yang penuh ketentraman dan kasih sayang. Kondisi ini
tidak akan terwujudkan jika salah satu pihak mendominasikan diri dan
melakukan subordinasi atas yang lain.
139
Abdurrahman al-Jaziri, Al-Fiqh ‘ala Mazhabib al-‘Arbaah, (Beirut: Dar al-Fikr, Jilid IV), 4.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
83
2. Bab XII tentang hak dan kewajiban Suami-istri
a. Hak dan Kewajiban Suami Istri
Ketentuan normatif tentang hak dan kewajban suami istri
sebagaimana yang diatur dalam KHI ini, sesungguhnya telah
mencerminkan adanya sharing dan pembagian tugas bersama secara
seimbang antara suami dan istri. Misalnya kewajiban masing-masing
membantu yang lain dalam masalah memberikan bantuan lahir dan
batin, saling menghormati, saling menghargai, dan seterusnya. Namun
permasalahan juga akan timbul manakala rumusan saling
menghormati, saling menghargai dan seterusnya itu dikonstruksi oleh
dan untuk kepentingan masing-masing. Tidak adanya rumusan baku
tentang konsep saling menghormati atau menghargai ini,
sesungguhnya memberikan kebebasan kepada pasangan suami istri
untuk mengkreasikan maknanya sesuai dengan kebutuhannya. Namun
di sisi lain, hal ini lagi-lagi juga akan menimbulkan permasalahan
ketika konsep ini dikonstruksi oleh satu pihak demi keuntungannya
sendiri.
b. Bagian kedua, pasal 79 tentang kedudukan Suami istri
Keharusan adanya kepala keluarga dalam satu bangunan rumah
tangga adalah sebuah kelaziman. Hal ini karena ibarat mengendarai
perahu, maka harus ada satu orang nahkoda yang mengendalikan
perahu tersebut. Namun, seharusnya tidak dilupakan bahwa seorang
nahkoda tidak akan berhasil berlayar membawa perahunya jika tidak
ada bantuan awak perahu yang lain. Dalam konteks ini, sesungguhnya
posisi nahkoda dan awak kapal sama-sama pentingnya karena masing-
masing memiliki fungsi untuk dapat membawa pelayaran hingga
tujuan.
Permasalahan yang mungkin bisa dimunculkan terkait dengan
posisi kepemimpinan laki-laki atas perempuan yang dimaknai secara
taken for granted sebagai sebuah keniscayaan yang tidak tergantikan.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
84
Singkat kata, konstruksi bahwa kepemimpinan normatif tekstual
dianggap merupakan sunatullah yang inhern dengan eksistensi laki-
laki dalam sebuah perkawinan. Sesungguhnya kepemimpinan laki-laki
atas perempuan dalam keluarga, bukanlah posisi yang tidak bersyarat.
Posisi ini diberikan oleh Allah kepada laki-laki, sebagaimana
ditunjukkan dalam QS. 4: 34, adalah dengan syarat bahwa laki-laki
atau suami tersebut memiliki sejumlah kelebihan, serta kemampuan
menjalankan fungsinya sebagai pemberi nafkah istri dan anak-
anaknya. Jika kedua fungsi ini dilaksanakan maka ia berhak
menyandang predikat pemimpin keluarga, namun jika salah satu atau
kedua fungsi ini tidak dilaksanakan maka posisi kepemimpinan itu
tanggal dengan sendirinya.
c. Bagian ketiga, tentang kewajiban Suami Istri
Kewajiban nafkah yang dibebankan kepada suami mengandung
konsekuensi dan tuntutan adanya kepatuhan mutlak istri kepada
suaminya. Karena itu, jika seorang istri melakukan pembangkangan
atau durhaka kepada suaminya (nusyuz) maka kewajiban memberikan
nafkah seorang suami kepada istrinya menjadi hilang karenanya.
Namun seringkali permasalahan muncul ketika konstruksi nusyuz juga
didefinisikan menurut perspektif laki-laki. Misalnya ketika seorang
istri nusyuz, maka tidak dipertanyakan kenapa ia nusyuz, apakah hal
itu semata-ata terjadi karena kesalahan istri atau juga ada sebab lain
berupa perilaku suaminya. Tampaknya hal-hal semacam ini tidak
terlalu menjadi perhatian serius ketika hukum dan masyarakat
memberikan label nusyuz kepada seorang istri.
d. Bagian keenam, tentang kewajiban istri
Adanya ketentuan normatif tentang posisi dan tugas istri dalam
rumah tangga, tidak akan menimbulkan masalah ketika posisi itu
tidak menimbulkan subordinasi dan peminggiran perempuan dalam
pengambilan keputusan keluarga. Pembagian tugas secara jelas antara
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
85
suami dan istri, juga akan membantu terciptanya keharmonisan dalam
kehidupan rumah tangga. Suami mengetahui tugasnya untuk mencari
nafkah, sementara istri memahami tugasnya untuk berbakti kepada
suaminya, juga mengatur manajemen keuangan keluarganya. Sejauh
pembagian tugas ini berfungsi seperti ini, maka tidak akan
menimbulkan permasalahan. Namun hal ini juga akan menimbulkan
masalah baru ketika kewajiban istri mengatur keperluan rumah tangga
itu kemudian dipahami sebagai pemosisian seharusnya terhadap isteri
atau perempuan. Secara singkat, ketentuan ini akan menimbulkan
masalah ketika ada upaya domestifikasi perempuan pada kehidupan di
dalam rumah yang dikelilingi dengan ‛empat dinding tembok‛.
Posisi, kedudukan, hak dan kewajiban suami-istri, dalam pasal
bagian kesatu, pasal 77 KHI, juga menunjukkan adanya inkonsistensi.
Ketika suami dan istri dikatakan berkedudukan seimbang, mengapa
dari awal sudah ada pemosisian secara tidak setara antara suami dan
istri. Di samping itu, rumusan dalam KHI ini juga hanya
mengakomodir satu buah model keluarga dalam masyarakat Muslim
di Indonesia, yakni sebuah keluarga yang terdiri dari ayah (suami), ibu
(istri) dan anak. Lalu bagaimana dengan keluarga yang ada di
Indonesia, yang ternyata juga banyak yang tidak memiliki ayah
(suami). Banyak keluarga yang hanya terdiri dari satu orang tua, ibu
misalnya, dengan beberapa anak. Faktanya bahwa ia adalah kepala
keluarga, namun secara de jure apakah posisinya sebagai kepala
keluarga telah diakui? Kepala keluarga biasanya tetap dijabat oleh
ayah meskipun sudah almarhum, atau oleh anak-laki tertua. Padahal
tugas-tugas kepala keluarga telah diambil alih oleh ibu sejak ayah/
suami tidak ada. Akibat perang, bencana alam, bahkan TKI, telah
banyak memaksa perempuan menjadi kepala keluarga. Semangat
untuk mewujudkan kehidupan yang egaliter dan demokratis dalam
setiap lingkup kehidupan, sesungguhnya telah menjadi komitmen
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
86
bersama secara nasional maupun Internasional, seperti DUHAM,
HAM Kairo, CEDAW, Amandemen UUD 1945 pasal 28, GBHN
1999-2004, dan UU Nomor 39 tahun 1999 tentang HAM.140
Berdasarkan fenomena di atas, pasal 51 CLD menawarkan
rumusan tentang kewajiban suami istri sebagai berikut: 1) saling
mencintai, menghormati, menghargai, melindungi, dan menerima
segala perbedaan yang ada; 2) saling mendukung dan memberikan
segala keperluan hidup keluarga sesuai dengan kemampuan masing-
masing; 3) keduanya mengelola urusan kehidupan keluarga
berdasarkan kesepakatan bersama; 4) saling memberikan kesempatan
untuk mengembangkan potensi diri; 5) mengasuh, memelihara, dan
mendidik anak-anak mereka; kewajiban tersebut berlaku bagi kedua
belah pihak setelah akad perkawinan dilangsungkan.
Ketentuan normatif tentang hak dan kewajban suami istri
sebagaimana yang diatur dalam KHI ini, sesungguhnya telah
mencerminkan adanya sharing dan pembagian tugas bersama secara
seimbang antara suami dan istri. Misalnya kewajiban masing-masing
membantu yang lain dalam upaya memberikan bantuan lahir dan
batin, saling menghormati, saling menghargai, dan seterusnya. Namun
permasalahan juga akan muncul ketika rumusan saling menghormati
dan saling menghargai itu dikonsruksi oleh dan untuk kepentingan
masing-masing. Tidak adanya rumusan baku tentang konsep saling
menghormati atau menghargai ini, sesungguhnya memberikan
kebebasan kepada pasangan suami istri untuk mengkreasikan
maknanya sesuai dengan kebutuhannya. Namun di sisi lain, hal ini
lagi-lagi juga akan menimbulkan permasalahan ketika konsep ini
dikonstruksi oleh satu pihak demi keuntungannya sendiri.
140
Siti Musdah Mulia, Menuju Undang-undang, Makalah Seminar Nasional dan Lokakarya
‛Amandemen Undang-undang Perkawinan dan Keluarga untuk Melindungi Hak-hak Perempuan
dan Anak‛, PSW UIN Yogyakarta 13-26 juli 2013, 24.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
87
Kendati istri memiliki kewajiban mentaati suami, namun bukan
berarti bahwa seluruh persoalan dan urusan domestik menjadi
tanggung jawab istri. Bercermin pada kehidupan rumah tangga
Rasulullah, yang kendati istri bisa mengerjakannya, namun beliau
menjahit sendiri pakaiannya yang robek. Ini berarti bahwa urusan
domestik sebenarnya bukan merupakan urusan istri sendiri, namun
sebagai urusan bersama suami istri. Kepedulian dan kebersamaan
meruakan kunci sukses dalam membangun rumah tangga. Ketentuan
dalam pasal tersebut mengandung makna bahwa terhadap istri harus
diberi penghargaan yang setara dengan suami dalam rumah tangga,
serta istri diberi kesempatan yang sama pula untuk
mengaktualisasikan diri dalam ranah kehidupan publik. Menurut
Rahman sistem patriarkhi tersebut mengasingkan perempuan di
rumah, sehingga laki-laki lebih bisa menguasai perempuan.
Kedudukan perempuan di sektor domestik menjadikan perempuan
tidak mandiri secara ekonomis, dan tergantung secara psikologis.
Sistem patriarkhi kadangkala membolehkan perempuan aktif di dunia
publik, namun dengan persyaratan ideologis, yakni tidak melupakan
kodratnya sebagai pengurus anak, suami dan keluarga.141
Isu lain yang perlu dicermati dalam relasi suami istri adalah
persoalan nusyuz. Dalam konteks budaya patriarkhi, nusyuz dipahami
sebagai pembangkangan seorang istri kepada suaminya, sebagaimana
rumusan pasal 83 ayat 1 KHI. Nusyuz sesungguhnya berarti
pembangkangan atas perintah, atau hilangnya ketaatan.
Pembangkangan dan ketidaktaatan bisa saja dilakukan oleh istri
maupun suami. Dalam konteks pemaknaan QS. 4: 34, tampaknya
konsep nusyuz dipahami denga standar suami/laki-laki. Tidak perlu
diklarifikasi apakah setiap perbuatan istri membangkang perintah
141
Budhy Munawar Rahman, ‚Penafsiran Islam Liberal atas Isu-isu Gender dan Feminisme‛
dalam Rekonstruksi Metodologis Wacana Kesetaraan Gender dalam Islam, (Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 2002), 35.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
88
suaminya mesti digolongkan nusyuz, atau kenapa misalnya seorang
istri melakukan nusyuz, dan seterusnya. Berdasarkan fenomena yang
terjadi, sebenarnya nusyuz tidak hanya dilakukan oleh istri tetapi juga
oleh suami. Hal ini bisa didasarkan pada QS. 4: 128, yang
menyebutkan adanya nusyuz pada laki-laki. Namun tampaknya para
fuqaha lebih memilih QS. 4: 34, sebagai legitimasi bahwa nusyuz
hanya dilakukan oleh perempuan, dan karenanya ia bisa dipukul.
Dalam konteks masyarakat Arab, pemukulan merupakan bentuk
kekerasan yang paling sering muncul. Ayat tersebut juga turun dalam
konteks pelarangan pemukulan terhadap istri dan segala bentuk
kekerasan dalam rumah tangga.142
Persoalan nusyuz, terkait erat dengan persoalan pemberian nafkah,
sebagaimana diatur dalam pasal 80 KHI. Kewajiban nafkah yang
dibebankan kepada suami mengandung konsekuensi dan tuntutan
adanya kepatuhan mutlak istri kepada suaminya. Karena itu, jika
seorang istri melakukan pembangkangan atau durhaka kepada
suaminya (nusyuz) maka kewajiban memberikan nafkah seorang
suami kepada istrinya menjadi hilang karenanya. Namun seringkali
permasalahan muncul ketika konstruksi nusyuz juga didefinisikan
menurut perspektif laki-laki. Misalnya ketika seorang istri nusyuz,
maka tidak dipertanyakan kenapa ia nusyuz, apakah hal itu semata-
mata terjadi karena kesalahan istri atau juga ada sebab lain berupa
perilaku suaminya. Tampaknya hal-hal semacam ini tidak terlalu
menjadi perhatian serius ketika hukum dan masyarakat memberikan
label nusyuz kepada seorang istri.
Menurut KHI, memberi nafkah, kiswah, tempat kediaman, biaya
rumah tangga, pengobatan dan biaya pendidikan anak, hanya merupakan
kewajiban suami, berdasarkan kemampuannya, seperti dinyatakan dalam
pasal 80 KHI. CLD memberikan tawaran bahwa pencarian nafkah
142
Siti Musdah Mulia, Menuju Undang-undang…, 23
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
89
merupakan tanggung jawab bersama suami dan istri, dengan
mempertimbangkan tugas-tugas reproduksi istri yang terasa berat.
Rumusan pasal 52 CLD tentang hal ini adalah: ‚ 1) hamil, melahirkan,
dan menyusui bagi istri lebih bernilai daripada pekerjkaan pencarian
nafkah; 2) akibat dari pasal 1 (ayat 1), isteri berhak memperoleh imbalan
yang seimbang sesuai dengan kesepakatan kedua pihak; 3) apabila
kesepakatan tidak tercapai, maka masing-masing pihak dapat mengajukan
permohonan penyelesaian ke pengadilan.
Rumusan CLD tentang tanggung jawab nafkah sesungguhnya lebih
menegaskan bahwa tugas reproduksi perempuan harus mendapatkan
apresiasi yang tinggi dari suami, sebagai tugas berat yang harus didukung
dengan pemenuhan kebutuhan yang bisa menunjang terlaksananya tugas
reproduksi tersebut secara lebih baik. Ketika istri hamil, melahirkan dan
menyusui, suami berkewajiban mendukung, sehingga kehamilan tidak
hanya menjadi tanggung jawab istri tetapi sebagai tanggung jawab
bersama suami-istri.143
143
Nasarudin Umar, Islam dan Hak-hak Reproduksi Perempuan, Makalah Workshop Penyadaran Gender dan Penguatan Hak-hak Reproduksi Dalam Islam, Kerjasama PSG STAIN Malang-PSW
IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2001.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
90
BAB IV
ANALISIS TERHADAP TAMKI>N SEMPURNA SEBAGAI SYARAT
PEMENUHAN KEWAJIBAN SUAMI DALAM PASAL 80 KOMPILASI
HUKUM ISLAM
A. Analisis Terhadap Ketentuan Pasal 80 Kompilasi Hukum Islam Tentang
Tamki>n Sempurna.
Apabila akad nikah telah berlangsung dan sah memenuhi syarat
rukunnya, maka akan menimbulkan akibat hukum. Perkawinan menimbulkan
keperdataan di antara suami dan istri. Perkawinan mempunyai tujuan yang
mulia untuk itu perlu diatur tentang hak dan kewajiban suami dan isteri. Jika
suami dan istri sama-sama menjalankan tanggung jawabnya masing-masing,
maka akan terwujudlah ketentraman dan ketenangan hati sehingga
sempurnalah kebahagiaan hidup berumah tangga. Oleh sebab itu, perlu
adanya peraturan perundangan-undangan yang mengatur hal-hal terkait
dengannya. Salah satu peraturan perundangan di Indonesia yang mengatur
tentang perkawinan ialah KHI.
Untuk konteks Indonesia, KHI dapat dinilai sebagai akumulasi dari
persilangan intensif dan dialog interaktif antara pemahaman kontekstual
hukum Islam dengan kearifan lokal masyarakat Indonesia beserta seluruh
darah daging kebudayaannya, dalam lanskap kenegaraan Indonesia yang
berdasarkan Pancasila dan UUD NRI 1945.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
91
Dalam hal perkawinan, kewajiban suami terhadap istri di Indonesia
ini telah tertulis pada Kompilasi Hukum Islam, di pasal 80 sebagai berikut:144
1. Suami adalah pembimbing terhadap istri dan rumah tangganya, akan
tetapi mengenai hal-hal urusan rumah tangga yang penting-penting
diputuskan oleh suami istri bersama.
2. Suami wajib melidungi isterinya dan memberikan segala sesuatu
keperluan hidup berumah tangga sesuai dengan kemampuannya.
3. Suami wajib memberikan pendidikan agama kepada isterinya dan
memberi kesempatan belajar pengetahuan yang berguna dan bermanfaat
bagi agama, nusa dan bangsa.
4. Sesuai dengan penghasilannya suami menanggung :
a. Nafkah, kiswah dan tempat kediaman bagi istri;
b. Biaya rumah tangga, biaya perawatan dan biaya pengobatan bagi
isteri dan anak;
c. Biaya pendidikan bagi anak.
5. Kewajiban suami terhadap isterinya seperti tersebut pada ayat (4) huruf a
dan b di atas mulai berlaku sesudah ada tamki>n sempurna dari isterinya.
6. Isteri dapat membebaskan suaminya dari kewajiban terhadap dirinya
sebagaimana tersebut pada ayat (4) huruf a dan b.
7. Kewajiban suami sebagaimana dimaksud ayat (5) gugur apabila istri
nusyuz.
Dalam skripsi ini penulis berkepentingan membahas lebih lanjut
mengenai pasal 80 ayat 5 yang dimana disitu dijelaskan bahwa berlakunya
nafkah seorang istri akan terlaksana apabila istri telah melaksanakan tamki>n
sempurna. Yang dimaksud dengan tamki>n sempurna disini adalah suatu
kondisi dimana seorang istri telah merelakan dirinya digauli oleh suaminya,
menunaikan kewajibannya melayani suami dengan sebaik-baiknya.
Dalam Kompilasi Hukum Islam pengertian makna tamki>n sempurna
untuk syarat istri mendapatkan nafkah disini masih belum menjelaskan arti
secara detail. Maka penulis mengambil referensi dari berbagai pendapat
ulama mengenai syarat istri mendapatkan nafkah di antara adalah:
144
Rahman Ghaza>li>, Fiqh Munakahat…,161.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
92
Sayyid Sabiq menyebutkan lima syarat untuk istri yang berhak
mendapatkan nafkah, yakni: (1) perkawinan yang sah; (2) menyerahkan
dirinya kepada suami; (3) memungkinkan suami berijmak dengan isterinya;
(4) mengikut kemana suami tinggal ; (5) kedua belah pihak memungkinkan
berijmak.145
Apa yang dikemukakan Sayyid Sabiq tersebut menunjukkan
bahwa pemberan nafkah sangat erat katannya dengan istimta’ (berijmak) bagi
pihak suami. Sedang berjmak tentunya mengharuskan keduanya tinggal di
satu rumah. Karenanya, ulama fikh sering menyatakan bahwa isteri yang
sudah dinikahi namun tidak tinggal satu rumah dengan suami baik karena
masih belum dewasa atau tanpa alasan syar’i, Begitu pula istri yang berlaku
nusyuz karena tidak mau melayan suami maka tidak wajib atasnya nafkah.
Mazhab al-Ẓa>hiriyah, mereka menyatakan bahwa kewajiban nafkah
berlaku sejak terjadnya perkawinan baik istrinya nusyuz maupun berusia
sangat muda yang tidak memungkinkannya berjima’. Dan perkawinan
menjadi sebab wajibnya nafkah.146
Jika yang dimaksud dengan tamki>n sempurna disini adalah bergaul
yang mengharuskan untuk berjima’ maka jika terjadi perselisihan antara
suami dan istri tentang tamki>n bilamana di bawa ke ranah hukum seperti
istri telah mengatakan adanya tamki>n yang mana ia telah memberikan
kesempatan kepada suaminya untuk bergaul sedangkan suaminya mengataka
145
Al-Sayyid Sabiq, Fiqh al-Sunnah, juz 2 (Kairo: al-Fath li al-A‟lam al-„Arabi, t.th.), h. 109-110.
Kewajiban suami menafkahi isteri oleh sebab ia mahbus juga dikemukakan Ibn Hajar. Lihat, Ibn
Hajar, juz 9, h. 410. 146
Ibid.,112
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
93
bahwa istrinya belum melakukan tamki>n, sehingga dia tidak membayar
nafkah yang di benarkan adalah pihak suami, karena ia berada dalam pihak
yang mengingkari, sedangkan istrinya berada di pihak yang mendakwakan
telah terjadinya tamki>n. Alasannya adalah mengamalkan prinsip al-istishab.
Artinya kembali kepada asal, sedangkan asal sesuatu adalah belum.147
Jadi tamki>n disini bisa digunakan suami untuk mengingkari
kewajibannya untuk memberikan nafkah kepada istri. Sedangkan dalam era
sekarang belum ditemukan adanya teknologi yang bisa membuktikan seorang
istri telah tamki>n dalam arti berjima’ atau belum.
Menurut peneliti, istri mendapatkan nafkah adalah setelah
terjadinya akad, karena sewaktu akad terjadi secara tidak langsung istri sudah
rela terhadap dirinya untuk suaminya dan sudah seharusnya kewajiban suami
adalah untuk menafkahi istrinya.
B. Analisis Terhadap Akibat Hukumnya Apabila Tamki>n Sempurna Tidak
Terpenuhi
Dalam Undang-undang Perkawinan Nomor 1 tahun 1974,
mengatakan Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dan
wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah
tangga) yang bahagia dan kekal sesuai Ketuhanan Yang Maha Esa. Apabila
akad nikah telah berlangsung dan sah sesuai syarat dan rukunnya, maka akan
147
Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam…,175.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
94
menimbulkan akibat hukum. Dengan demikian, akan menimbulkan pula hak
dan kewajibannya selaku suami istri dalam keluarga.148
Dalam UU Perkawinan no.1 tahun 1974 pada Bab VI yang
menerangkan hak dan kewajiban suami-isteri:
Pasal 30
Suami-isteri memikul kewajiban yang luhur untuk menegakkan
rumah tangga yang menjadi sendi dasar susunan masyarakat.
Pasal 31
4) Hak dan kedudukan isteri adalah seimbang dengan hak dan kedudukan
suami dalam kehidupan rumah tangga dan pergaulan hidup bersama
dalam masyarakat.
5) Masing-masing pihak berhak untuk melakukan perbuatan hukum.
6) Suami adalah kepala keluarga dan isteri ibu rumah tangga.
Pasal 32
3) Suami-isteri harus mempunyai tempat kediaman yang tetap.
4) Rumah tempat kediaman yang dimaksudkan dalam ayat (1) pasal ini
ditentukan oleh suami-isteri bersama.
Pasal 33
Suami isteri wajib saling saling cinta mencintai, hormat
menghormati, setia dan memberi bantuan lahir bathin yang satu kepada yang
lain.
Pasal 34
4) Suami wajib melindungi isterinya dan memberikan segala sesuatu
keperluan hidup berumah tangga sesuai dengan kemampuannya.
5) Isteri wajib mengatur urusan rumah-tangga sebaik-baiknya.
6) Jika suami atau isteri melalaikan kewajibannya masing-masing dapat
mengajukan gugatan kepada Pengadilan.
Dalam Kompilasi Hukum Islam, kewajiban suami istri terdapat pada
Pasal 77 sebagai berikut :149
6) Suami isteri memikul kewjiban yang luhur untuk menegakkan rumah
tangga yang sakinah, mawaddah dan rahmah yang menjadi sendi dasar
dan susunan masyarakat;
7) Suami istri wajib saling cinta mencintai, hormat menghormati, setia dan
memberi bantuan lahir batin yang satu kepada yang lain;
8) Suami istri memikul kewajiban untuk mengasuh dan memelihara anak-
anak meraka, baik mengenai pertumbuahan jasmani, rohani maupun
kecerdasannya dan pendidikannya;
148
Rahman Ghaza>li>, Fiqh Munakahat…,155.
149
Ibid., 157.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
95
9) Suami istri wajib memelihara kehormatannya;
10) Jika suami atau istri melalaikan kewajibannya masing-masing dapat
mengajukan gugatan kepada Pengadilan Agama;
Pada pasal 78 sebagai berikut:
3) Suami isteri harus mempunyai tempat kediaman yang tetap.
4) Rumah kediaman yang dimaksud dalam ayat (1), ditentukan oleh suami
isteri bersama.
Kewajiban suami terhadap istri di Indonesia ini telah tertulis pula
pada Kompilasi Hukum Islam, di pasal 80 sebagai berikut:150
8) Suami adalah pembimbing terhadap istri dan rumah tangganya, akan
tetapi mengenai hal-hal urusan rumah tangga yang penting-penting
diputuskan oleh suami istri bersama.
9) Suami wajib melidungi isterinya dan memberikan segala sesuatu
keperluan hidup berumah tangga sesuai dengan kemampuannya.
10) Suami wajib memberikan pendidikan agama kepada isterinya dan
memberi kesempatan belajar pengetahuan yang berguna dan bermanfaat
bagi agama, nusa dan bangsa.
11) Sesuai dengan penghasilannya suami menanggung :
d. Nafkah, kiswah dan tempat kediaman bagi istri;
e. Biaya rumah tangga, biaya perawatan dan biaya pengobatan bagi
isteri dan anak;
f. Biaya pendidikan bagi anak.
12) Kewajiban suami terhadap isterinya seperti tersebut pada ayat (4) huruf
a dan b di atas mulai berlaku sesudah ada tamki>n sempurna dari
isterinya.
13) Isteri dapat membebaskan suaminya dari kewajiban terhadap dirinya
sebagaimana tersebut pada ayat (4) huruf a dan b.
Dijelaskan dalam UU no 1 tahun 1974 tentang Perkawinan bahwa
setelah terjadinya akad maka di mulailah kewajiban suami dan istri yaitu istri
berhak untuk mendapatkan nafkah sedangkan suami wajib menafkahi istri
dan juga istri harus menjalankan kewajibannya. Sedangkan dalam Kompilasi
Hukum Islam kewajiban suami terhadap istri baru terlaksana apabila sudah
adanya tamki>n sempurna dari istri.
Jika tamki>n sempurna dalam pasal 80 ayat 5 kompilasi hukum Islam
tidak terpenuhi maka istri tidak berhak mendapatkan:
150
Ibid., 161.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
96
a. Nafkah, kiswah dan tempat kediaman bagi istri;
Lalu bagaimana dengan pasangan suami istri yang menikah di
bawah umur dan masih bersekolah yang tidak bisa mengaharuskan
keduanya untuk melakukan hubungan badan yang di dalamnya termasuk
juga jimak kemudian kasus pernikahan pria remaja dengan perempuan
yang sudah menopause apakah mereka tidak mendapatkan nafkah dari
suaminya jika syarat istri mendapatkan nafkah dalam kompilasi hukum
Islam pasal 80 ayat (5) itu adalah dengan adanya tamki>n sempurna.
b. Biaya rumah tangga, biaya perawatan dan biaya pengobatan bagi isteri
dan anak;
Jika melihat pada pasal 80 ayat (5) huruf b Menurut peneliti, dahulu
pengobatan tidak termasuk kebutuhan asasi, sehingga umumnya manusia
tidak memerlukannya karena ia mengikuti nasihat-nasihat kesehatan dan
pencegahan. Ijtihad para ulama berkaitan dengan adat dan kebiasaan yang
berlaku pada masanya. Akan tetapi sekarang, kebutuhan terhadap
pengobatan sama pentingnya dengan kebutuhan terhadap makanan.
Bahkan, pengobatan lebih penting karena orang sakit cenderung lebih
mementingkan pengobatan daripada segalanya. Tidak mungkin seseorang
bisa merasakan nikamatnya makanan lezat jika ia sedang sakit. Karena
itu, saya berpendapat bahwa nafkah untuk berobat juga menjadi tanggung
jawab suami, sebagaimana nafkah dharuri lainnya.
Apakah seorang suami dianggap berbuat baik terhadap keluarga jika
istrinya diajak mereguk kenikmatan dikala sehat, namun ketika ia sakit
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
97
suami tidak mengurusnya, dan bahkan mengembalikannya kepada
keluarganya?
Berdasarkan hal-hal di atas maka peneliti menyimpulkan bahwa
kewajiban suami terhadap istri seharusnya setelah adanya akad
sebagaimana yang dimaksud dalam UU Perkawinan no 1. Tahun 1974.
Dengan syarat adanya tamki>n yaitu istri menyerahkan dirinya dengan
mengerjakan kewajibannya sebagai istri seperti dalam pasal UU
Perkawinan di atas pada pasal 34 yaitu istri mengurus rumah tangga
dengan sebaik-baiknya bukan dengan harus adanya tamki>n sempurna.
Karena jika istilah tamki>n adalah penyerahan diri dan sempurna dalam
KBBI sendiri adalah utuh maka tamki>n sempurna berarti penyerahan diri
secara utuh yang di dalamnya termasuk juga jimak yang mengharuskan
bersutubuh terlebih dahulu untuk syarat istri mendapatkan nafkahnya.
Sesuai dengan syarat wajibnya nafkah menurut Ulama Malikiyyah yang
menyebutkan Istri menyarahkah dirinya kepada suami dengan sepenuhnya
Yang dimaksud di dalamnya bukti penyerahan ini dengan menunjukan
kesiapan dirinya ketika diminta untuk melayani suami, baik meminta
untuk bermain cinta maupun tidak. mensyaratkan dalam wajibnya nafkah
sebelum senggama adanya permintaan dari istri atau walinya kepada
suami untuk melakukan senggama.151
Perkawinan menimbulkan kewajiban nafkah atas suami untuk istri
dan anak-anaknya. Hubungan ini mengajarkan bahwa suami yang telah
151
Wahbah Az-Zuhayli>, Fiqih Islam Wa Adillatuhu, (Jakarta: Gema Insani, 2011), 112
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
98
menjadi ayah berkewajiban memberi nafkah kepada ibu anak-anak (istri
yang telah menjadi ibu) baik istri tersebut kaya ataupun miskin seperti
yang ditegaskan oleh Mahmud Yunus bahwa suami wajib memberi
nafkah untuk istrinya dan anak-anaknya, baik istrinya itu kaya seperti
pendapat atau miskin, maupun muslim atau Nasrani/Yahudi.152
kaum
muslimin sendiri sepakat bahwa perkawinan merupakan salah satu sebab
yang mewajibkan pemberian nafkah, seperti juga halnya dengan
kekerabatan. Dengan demikian, hukum membayar nafkah untuk istri, baik
dalam bentuk perbelanjaan, pakaian adalah wajib. Kewajiban itu bukan
disebabkan karena istri membutuhkannya bagi kehidupan rumah tangga,
tetapi kewajiban yang timbul dengan sendirinya tanpa melihat kepada
keadaan istri.
Seperti dijelaskan oleh para ulama bahwa syarat mendapatkan
nafkah itu sendiri Secara umum, adalah sebagai berikut:153
a. Telah terjadi akad yang sah antara suami dan istri. Bila akad nikah
mereka masih diragukan kesahannya, maka istri belum berhak menerima
nafkah dari suaminya.
b. Istri telah sanggup melakukan hubungan sebagai suami istri dengan
suaminya.
c. Istri telah terikat atau telah bersedia melaksanakan semua hak-hak suami.
Bila syarat-syarat tersebut di atas telah dipenuhi, maka pelaksanaan
pemberian nafkah itu dilakukan suami apabila:154
152
Mahmud Yunus, Hukum Perkawinan dalam Islam, (Jakarta: PT Hidakarya Agung, 1990), 101. 153
Zakiah Daradjat, Ilmu Fiqh, Jilid 2, (Yogyakarta: Dana Bhakti Wakaf, 1995), 143.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
99
1. Bila istri telah siap melakukan hubungan suami istri dengan
suaminya. Tanda telah siap ini bila istri telah bersedia pindah
rumah yang telah disediakan suaminya dan hal itu telah
dilaksanakannya. Atau karena sesuatu hal suami belum sanggup
menyediakan perumahan sehingga istri masih tinggal di rumah
orang tuanya, istri tersebut berhak menerima nafkah itu selama
kesediaan pindah rumah tetap ada. Dalam pada itu yang penting
bagi keduanya, ialah segala sesuatu yang berhubungan dengan
kehidupan mereka dapat diputuskan dengan musyawarah.
2. Jika suami belum memenuhi hak-hak istri, seperti belum lagi
membayar mahar, atau juga suami belum menyediakan tempat
tinggal sedang istri telah bersedia tinggal bersama atau istri
meninggalkan rumah suaminya karena merasa dirinya tidak aman
tinggal di sana dan sebagainya, maka suami tetap wajib memberi
nafkah istrinya, sekalipun istri tidak memenuhi hak-hak terhadap
suaminya. Jika suami telah memenuhi hak-hak istrinya, sedang istri
tetap enggan maka di saat itu istri tidak lagi berhak menerima
nafkah dari suaminya.
3. Karena keadaan suami belum sanggup menyempurnakan hak istri,
seperti suami belum baligh, suami sakit gila dan sebagainya,
sedang istri telah sanggup melaksanakan kewajiban-kewajibannya,
maka istri tetap berhak menerima nafkah dari suaminya itu.
154
Ibid., 144.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
100
Sebaliknya jika istri yang belum baligh atau dalam keadaan gila
yang telah terjadi sebelum perkawinan dan sebagainya, maka dalam
keadaan demikian istri tidak berhak mendapat nafkah dari
suaminya.
Keterangan di atas sesuai dengan pendapat Sayyid Sabiq yang
menyatakan bahwa syarat bagi perempuan berhak menerima nafkah
sebagai berikut:155
a. Ikatan perkawinan sah;
b. Menyerahkan dirinya kepada suaminya;
c. Suaminya dapat menikmati dirinya;
d. Tidak menolak apabila diajak pindah ke tempat yang
dikehendaki suaminya;
e. Kedua-duanya saling dapat menikmati.
Jadi apabila istri tidak memenuhi syarat istri untuk mendapatkan
nafkah yaitu tidak adanya tamki>n yang di tegaskan dalam pengertian para
ulama’ sebagai mana syarat-syarat di atas maka istri tidak berhak
mendapatkan nafkah atasnya. Tetapi disini terdapat ulama yang mengatakan
bahwa istri tetap mendapatkan haknya yaitu nafkah, kiswah dan tempat
tinggal setelah akad itu terjadi meskipun istri belum bergaul dengan
suaminya.
Sesuai dengan Al-Bâqarah ayat 228:
155
Sayyid Sabiq, Fiqh al-Sunnah…, 229.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
101
حكيم عزي ز و والل درجة عليهن وللرجال بالمعروف عليهن ال ذي مثل ولن
‚Dan para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan
kewajibannya menurut cara yang ma‘ruf. akan tetapi Para suami,
mempu-nyai satu tingkatan kelebihan daripada isteri-nya dan Allah
Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.‛156
Kelebihan yang dimaksud dalam ayat ini, yaitu kelebihan mengurus
dan bertanggung jawab. Oleh karena itu, seorang suami muslim tidak
dibenarkan mengabaikan masalah nafkah dan pakaian istri, karena seorang
suami merupakan kepala keluarga yang bertanggung jawab terhadap
kebutuhan istrinya, baik kebutuhan bathiniah atau kebutuhan lahiriyah. Akad
nikah yang telah dilaksanakan oleh pasangan suami isteri menyebabkan istri
terikat oleh hak-hak suaminya dan haram untuk dinikahi orang lain. Dan
ikatan tersebut menyebabkan suami wajib memberi nafkah kepada istrinya.
156
Kementerian Agama RI, Al-Qur’an…,36.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
102
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Berlakunya nafkah seorang istri akan terlaksana apabila istri telah
melaksanakan tamki>n sempurna. Yang dimaksud dengan tamki>n
sempurna disini adalah suatu kondisi dimana seorang istri telah
merelakan dirinya digauli oleh suaminya, menunaikan kewajibannya
melayani suami dengan sebaik-baiknya`.
2. Akibat hukum apabila tamki>n sempurna sebagai syarat pemenuhan
kewajiban suami terhadap istri dalam pasal 80 Kompilasi Hukum Islam
tidak terpenuhi menurut hukum posistif maka istri tidak berhak
mendapatkan: 1) Nafkah, kiswah dan tempat kediaman bagi istri, 2)
Biaya rumah tangga, biaya perawatan dan biaya pengobatan bagi isteri
dan anak. Sedangkan dalam hukum Islam apabila istri tidak memenuhi
syarat istri untuk mendapatkan nafkah yaitu tidak adanya tamki>n
sempurna yang ditegaskan dalam pengertian para ulama maka istri tidak
berhak mendapatkan nafkah atasnya. Tetapi terdapat juga ulama yang
mengatakan bahwa istri tetap mendapatkan haknya yaitu nafkah,
kiswah dan tempat tinggal setelah akad itu terjadi meskipun istri belum
bergaul dengan suaminya.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
103
B. Saran
1. Pemerintah harus semakin giat untuk mensosialisasikan dan
memberikan edukasi kepada masyarakat Indonesia terkait dengan
aspek kemaslahatan yang terkandung dalam kewajiban suami dan
istri.
2. Pasangan suami istri lebih memperhatikan adanya tamki>n sempurna
sebagai syarat pemenuhan kewajiban suami terhadap istri dengan
begitu, keduanya tidak ada yang merasa dirugikan dan dapat
melaksanakan kewajibannya masing-masing.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
104
DAFTAR PUSTAKA
‘Asqala>ni (al), Alhafizh Ibn Hajar. Bulu>ghul Mara>m, (trjmh Moh. Machfudin Aladip). Semarang: PT Toha Putra Semarang, t.t.
Abdul Gani Abdullah. Pengantar Kompilasi Hukum Islam dalam Tata Hukum Indonesia. Jakarta: Gema Insani Press, 1994.
Abdurrahman. Kompilasi Hukum Islam di Indonesia. Jakarta: Akademika
Presindo, 1992.
Abidin, Slamet dan Aminuddin. Fiqih Munakahat I. Bandung: CV pustaka setia,
1999.
Ali, Muhammad Daud. Hukum Islam, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Islam di Indonesia. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2002.
Ali, Zainudin. Metode Penelitian Hukum. Jakarta: Sinar Grafika, 2013.
Amal, Taufik Adnan dan Samsu Rizal Panggabean. Politik Syari’at Islam: Dari Indonesia hingga Nigeria. Jakarta: Pustaka Alvabet, 2004.
Anhari, Mansykur. Ushul Fiqh. Surabaya: Diantama, 2008.
Arifin, Bustanul. "Kompilasi Fiqih dalam Bahasa Undang-undang", dalam
Pesantren, No. 2/Vol. 11/1985, hlm. 25, dan Pelembagaan Hukum Islam di Indonesia, Akar Sejarah Hambatan dan Prospeknya. Jakarta: Gema
Insani Press, 1996.
Arikunto, Suharsimi. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek. Jakarta:
Rineka Cipta, 2006.
Azhary, M. Thahir. "Kompilasi Hukum Islam Sebagai Alternatif Suatu Analisis Sumbersumber Hukum Islam" dalam Mimbar Aktualisasi Hukum Islam,
No. 4 Tahun 1991.
Basyir, Ahmad Azhar. Hukum Perkawinan Islam. Yogyakarta: UII Pers, 1999.
Basran, Masrani. Kompilasi Hukum Islam, Mimbar Ulama, No. 105 Thn. X, Mei
1986.Basran, M. Masrani dan Zaini Dahlan. "Kodifikasi Hukum Islam di
Indonesia" dalam Perkembangan Mutakhir Hukum Islam di Asia Tenggara, Studi Kasus Hukum Keluarga dan Pengkodifikasiannya,
Sudirman Tebba (ed). Bandung: Mizan, 1993.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
105
Chairah, Dakwatul. Hukum Perkawinan Islam di Indonesia. Surabaya: UIN
Sunan Ampel Press, 2014.
Daradjat, Zakiah. Ilmu Fiqh. Jilid 2. Yogyakarta: Dana Bhakti Wakaf,
1995.
Dimasyqi (al), Syekh Al-‘Allâmah Muhammad Ibn ‘Abdurrah-mân. Fiqih Empat Madzhab. Bandung: Hasyimi Press, 2004.
Febriana, Nora Fajar. ‚Hak Istri dalam Mendapatkan Nafkah Menurut
Asghar Ali Enginer‛. Skripsi—STAIN Purwokerto, Purwokerto,
2012.
Falah, Miftahul. ‚Sengketa Suami Istri Tentang Nafkah (Analisis Pendapat
Imam Syafi'i terhadap Istri yang Membantah Pengakuan Suami
tentang Nafkah)‛. Skripsi—IAIN Walisongo, semarang, 2009.
Ghazali, Abd Rahman. Fiqh Munakahat. Jakarta Timur: Prenada Media,
2003.
Hafdh (al), dan Marsap Suhaimi. Terjemahan Riya>dhus Sha>lihi>n. Surabaya :
Mahkota, 1986.
Hamdani (al). Risalah Nikah. Jakarta: Pustaka Amani, 2002.
Husaini (al), Imam Taqiyuddin Abu Bakar ibn Muhammad. juz 2, Kifayah al-Akhyar, Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, t.t.
Harahap, M. Yahya. Informasi Materi Kompilasi Hukum Islam Mempositifkan Abstraksi Hukum Islam dalam Berbagai Pandangan Terhadap Kompilasi Hukum Islam. Jakarta: Yayasan al-Hikmah,
1993/1994.
Hazm, Ibn. Al-Muhalla. Beirut: Dâr al-Afaq al-Jadidiyah, 1980.
Jaziri (al) Abdurrahman. Al-Fiqh ‘ala Madzahib al-Arba’ah. Istambul: Dar
al-Da‟wah, vol.IV, 2.
Kansil, C.S.T. Kitab Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman (KUKK). Jakarta: Bina Aksara, 1986.
Kementerian Agama RI. Al-Qur’an dan Terjemahnya. Solo : PT Tiga
Serangkai Pustaka Mandiri, 2013.
Koesnoe, Moh. Kedudukan Kompilasi Hukum Islam dalam Sistem Hukum Nasional dalam Varia Peradilan, Tahun XI Nomor 122 Nopember
1995.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
106
Krippendorff, Klaus, Analisis Isi Pengantar Teori dalam Metodologi, Terj.
Farid Wajidi. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1993.
Kuzari, Ahmad. Nikah Sebagai Perikatan. Jakarta : PT. RajaGrafindo
Persada, 1995.
M. Echols, Ohn dan Hassan Shadily. Kamus Inggris Indonesia An English-Indonesia Dictionary. Jakarta: PT. Gramedia, 2000.
Mubarok, Jaih. Modifikasi Hukum Islam (Studi tentang Qawl Qadim dan Qawl Jadid). Jakarta: PT Raja Gra-findo Persada. 2001.
Muchtar, Kamal. Asas-asas hukum islam tentang perkawinan. Jakarta: PT
bulan bintang, 1974.
Mughniyah, Muhammad Jawad. al-Fiqh ‘Ala al-Mazahib al-Khamsah, Terj. Masykur, Afif Muhammad, Idrus al-Kaff, "Fiqih Lima Mazhab". Jakarta: Lentera. 2001.
_______.Fiqh Al-Imam Ja’far Al-Shadiq. Iran: Muassasah Anshariyah,
1999
Muhammad, Abdul Kadir. Hukum dan Penelitian Hukum. Bandung: Citra
Aditya Bakti, 2004.
Moleong, Lexy J. Metode Penelitian Kualitatif. Bandung: Remaja
Rosdakarya, 2004.
Narbuko, Cholid dan Abu, Ahmadi. Metode Penelitian. Jakarta: Bumi
Aksara, 1997.
Poerwodarminto. Kamus Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka, tt.
Rahman, Budhy Munawar. Penafsiran Islam Liberal atas Isu-isu Gender dan Feminisme dalam Rekonstruksi Metodologis Wacana Kesetaraan Gender dalam Islam. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002.
Riyanto, Adi. Metodologi Penelitian Hukum. Jakarta: Granir, 2004.
Rizki, Alal. ‚Istri Membebaskan Suami Dari Kewajibannya Perspektif Fiqh
Islam (Studi Analisis Kompilasi Hukum Islam Pasal 80 Ayat 6)‛
Skripsi—IAIN Sunan Purwokerto, Purwokerto 2017.
Rofiq, Ahmad. Hukum Islam di Indonesia. Jakarta: PT. Raja Grafindo
Persada, 1997.
Rosyadi, A. Rahmat dan Ahmad M. Rais, Formalisasi Syariat Islam dalam Perspektif Tata Hukum Indonesia. Bogor: Ghalia Indonesia, 2006.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
107
Rusyd, Ibnu. Bidayat al-Mujtahid Wa Nihayat al-Muqtasid, juz 2, Beirut:
Dar al- Jiil, 1409 H/1989.
Sa>biq, Sayyid (al), Fiqh al-Sunnah, Juz II. Beiru>t Libanon: Da>r al-Fath,
1996
Shiddieqy (as), Hasbi. Hukum-hukum Fiqh Islam. Jakarta: Bulan Bintang,
1952.
_______.Pengantar Ilmu Fiqh. Jakarta: Bulan Bintang, 1967.
Shomad, Abd. Hukum Islam Penormaan Prinsip Syariah dalam Hukum Indonesia. Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2010.
Sujarweni, Wiratna. Metodologi Penelitian. Yogyakarta: Pustaka Baru
Press, 2014.
Sumitro, Warkum. Perkembangan Hukum Islam di Tengah Dinamika Sosial Politik di
Indonesia. Malang: Setara Press, 2016.
Surakhmad, Winarno. Pengantar Penelitian Ilmiah:Dasar, Metode, Teknik.
Bandung: Sito, 1994.
Soejoeti, Zarkawi. "Sejarah Penyusunan Kompilasi Hukum Islam di Indonesia" dalam Peradilan Agama dan Kompilasi Hukum Islam Dalam Tata Hukum Indonesia, Mahfud MD, Sidik Tono, Dadan
Muttaqien (ed.). Yogyakarta: Ull Press, 1993.
Syâfi‘î, Abi ‘Abdillâh, (al). Al-Umm. Beyrut: Dâr al-Kitâb al-‘Alamiyah.
t.t.
_______. Hukum Perkawinan Islam di Indonesia. Jakarta: Kencana Prenada
Media Group. 2007.
Sya’rwai (as), Syaikh Mutawalli. Fikih Peremuan (Muslimah) Busana dan Perhiasan, Penghormatan atas Perempuan, Sampai Wanita Karier, terj. Yessi HM. Basyaruddin. Jakarta: AMZAH, 2009.
Syarifuddin, Amir. Hukum Perkawinan Islam di Indonesia antara Fiqh Munakahat dan Undang-Undang Perkawinan. Jakarta: Kencana,
2009.
Ubaidi, Muhammad Ya‘qub Thâlib. Nafkah Isteri (Hukum Menafkahi Iseteri dalam Perspektif Islam). Jakarta: Darus Sunnah, 2007.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
108
Uqtuv, Akmalya. ‚Hak Dan Kewajiban Suami-Istri Dalam Keluarga (Studi Pemikiran Syaikh Muhammad ‘Ali> As-Sa>bu>ni> Dalam Kitab Az-Zawaj Al-Islami> Al-Mubakkir: Sa’a>dah Wa Hasana>h)‛ Skripsi—
UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta, 2010.
Wahid, Marzuki dan Rumadi, Fiqh Madzhab Negara; Kritik atas Politik Hukum Islam di Indonesia. Yogyakarta: LKiS Yogyakarta, 2001.
Widiana, Wahyu. "Aktualisasi Kompilasi Hukum Islam di Peradilan Agama dan Upaya Menjadikannya Sebagai Undang-undang", dalam
Mimbar Hukum, No. 58 Thn. XIII 2002.
Wojowasito, S. Kamus Umum Belanda Indonesia. Jakarta: PT Ichtiar Baru
Van Hoeve, 1992.
Yasin, Fatihuddin Abdul. Risalah Hukum Nikah. Surabaya: Sinar Terang,
2006.
Yunus, Mahmud. Hukum Perkawinan dalam Islam. Jakarta: PT Hidakarya
Agung, 1990.
Zed, Mestika. Metode Penelitian Kepustakaan. Jakarta: Yayasan Obor
Indonesia, 2008.
Zuhaili (al), Wahbah. Al-Fiqh al-Islami> wa Adillatuhu, Juz 10. Suriah : Dar
al-Fikr bi Damsyiq, 2002.
Dapertemen agama RI. Kompilasi Hukum Islam, 1991.
Depdiknas. Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 2002.
Lajnah Pentashihan Munshaf al-Quran. Kedudukan dan Peran Perempuan.
Jakarta: Aku Bisa, 2012.
Muhammad, Hussein. Pandangan Islam Tentang Seksualitas. Makalah
Seminar Gender dan Islam, Surabaya, 2004.
Mulia, Siti Musdah. Menuju Undang-undang Perkawinan Yang Adil. Makalah Seminar Nasional dan Lokakarya ‛Amandemen Undang-
undang Perkawinan dan Keluarga untuk Melindungi Hak-hak
Perempuan dan Anak‛. PSW UIN Yogyakarta, 13-16 Juli 2006.
Purwati, Ani. Pengertian Tanggung Jawab dan Pengabdian Pengorbanan,
https://anitapurwati.wordpress.com/2010/10/31/pengertian-
tanggung-jawab-dan-pengabdian-dan pengorbanan/Diakses pada
tanggal 24 Februari 2018.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
109
Tim Ditbinbapera. Berbagai Pandangan Terhadap Kompilasi Hukum Islam. Jakarta: Yayasan, 1993.
Tim Fakultas Syariah IAIN Sunan Ampel Surabaya. Petunjuk Teknis Penulisan Skripsi. Cet. V. Surabaya Fakultas Syariah IAIN Sunan
Ampel, 2014.
Tim Pustaka Phoenix. Kamus Besar Bahasa Indonesia, cet ke-6. Jakarta:
Pustaka Phoenix, 2012.
Umar, Nasarudin, Islam dan Hak-hak Reproduksi Perempuan, Makalah
Workshop Penyadaran Gender dan Penguatan Hak-hak Reproduksi
Dalam Islam. Kerjasama PSG STAIN Malang-PSW IAIN Zarkawi
Soejoeti, Sejarah Penyusunan Kompilasi, Sunan Kalijaga
Yogyakarta, 2001.