Upload
syairah-banu-djufri
View
30
Download
1
Embed Size (px)
Citation preview
STUDI EKSPLORASI TERAPI KOMBINASI ORAL UNTUK
HEPATITIS C
DISUSUN OLEH:
SYAIRAH BANU
1102008249
PEMBIMBING :
Dr.H.WIZHAR SYAMSURI,Sp.PD-FINASIM
KEPANITERAN ILMU PENYAKIT DALAM
RSUD GUNUNG JATI, CIREBON
0
PERIODE 17 DESEMBER 2012-23 FEBRUARI 2013
Infeksi virus hepatitis C (HCV) adalah penyebab utama sirosis, kanker hati dan
transplantasi hati. Terapi dengan menggunakan regimen antivirus aksi-langsung (direct acting)
bebas peginterferon memiliki potensi untuk meningkatkan keamanan dan efikasi terapi HCV jika
dibandingkan dengan terapi standar peginterferon-ribavirin dengan teleprevir atau boceprevir.
Interferon berhubungan dengan toksisitas dan banyak pasien dengan infeksi HCV tidak dapat
menggunakan terapi interferon dikarenakan kondisi psikiatri dan medis yang menyertai, efek
samping dari interferon atau menolak terapi tersebut. Selain itu, terdapat banyak populasi pasien
terinfeksi HCV yang terapi interferonnya gagal.
ABT-450 adalah inhibitor poten dari protease NS3 dari HCV yang terlah dikombinasikan
dengan ritonavir (ABT-450/r) untuk meningkatkan konsentrasi dan waktu paruh ABT-450
sehingga dapat diberikan satu kali sehari. Ketika ABT-450/r diberikan selama tiga hari pada
pasien dengan infeksi HCV, tingginya paparan berhubungan dengan menurunnya resistensi pada
gen NS3. ABT 333, sebuah penghambat polimerasi NS5B nonnukelosida diberikan dua kali
sehari. Pada pasien yang sebelumnya belum diterapi dengan infeksi HCV genotype 1, terapi
menggunakan peginterferon dan ribavirin plus ABT-450/r atau ABT-3333 menghasilkan respon
virologis yang lebih lama dibandingkan dengan terapi hanya dengan menggunakan peginterferon
dan ribavirin. Studi ini mempelajari keamanan dan efikasi dari kombinasi ABT-450/r dan ABT-
333 dengan ribavirin pada pasien dengan infeksi HCV genotype 1 yang belum diterapi dan pada
pasien dengan respon parsial atau nol terhadap terapi peginterferon dan ribavirin sebelumnya.
METODA
Studi Populasi
Skrining pasien dengan infeksi HCV genotype 1 kronik dari Februari 2011 ke Juni 2011
di 11 tempat di Amerika Serikat. Pasien yang diikutkan dalam studi adalah individu dengan usia
18 sampai 65 tahun dengan indeks massa tubuh 18-35, kadar HCV RNA terdeteksi, dan temuan
histologi pada biopsi hati dalam jangka 3 tahun yang konsisten dengan kerusakan hati terpacu
oleh HCV tanpa bukti adanya sirosis atau brigding fibrosis. Kriteria eksklusi adalah hasil tes
1
positif untuk antigen permukaan hepatitis B atau antibody antiHIV positif, kadar alanin
aminotransferase atau aspartat aminotransferase lima kali atau lebih dari kadar normal, klirens
kreatinin kurang dari 50ml dari permenit (dengan menggunakan formula Cockroft-Gault), kadar
albumin kurang dari kadar normal, rasio waktu protrombin standar internasional lebih dari 1,5,
kadar hemoglobin lebih dari normal, hitung trombosit kurang dari 120.0000/ mm3, dan kadar
bilirubin total lebih dari batas atas kadar normal.
Pasien diklasifikasikan memiliki respons parsial atau nol terhadap terapi jika memiliki
salah satu kriteria ini: menerima peginterferon dan ribavirin selama 12 minggu atau lebih tanpa
adanya penurunan kadar RNA HCV minimal 2 log10 IU per millimeter pada minggu ke-
12(respons nol), tanpa penurunan kadar RNA HCV minimal 1 log10 IU per millimeter pada
minggu ke 4 (response nol), atau menerima terapi peginterferon dan ribavirin selama 12 minggu
atau lebih dengan kadar RNA HCV yang tidak dibawah batas deteksi minimum pada akhir terapi
(respons parsial).
DESAIN STUDI DAN PELAKSANAAN
Pada studi ini dilakukan penerimaan kandidat studi secara bertahap, merupakan studi fase
2, multicenter, open-label, terdapat tiga grup studi: pasien yang belum pernah diterapi sebelumya
dimasukkan pada grup 1 dan 2, sedangkan pasien yang respons nol dan parsial terhadap terapi
sebelumnya dimasukkan kedalam grup 3. Pada grup 1, pasien menerima ABT-450
(250mg)/r(100mg) satu kali per hari dan ribavirin ( untuk Berat Badan,75 kg 1000 mg per hari,
dibagi dalam dua dosis; 400 mg dan 600 mg , BB>75 kg 1200 mg per hari dalam dua dosis: 600
mg). pada grup 2 dan 3, pasien menerima ABT-450(150 mg)/r(100 mg ritonavir) ditambah
dengan ABT-333 dan ribavirin sama seperti dosis pada grup 1. Durasi terapi semua grup adalah
sepanjang 12 minggu. Selama 48 minggu setelah terapi pasien di follow-up.
Semua pasien memberikan informed constent tertulis. Studi dilakukan sesuai dengan
prinsip praktek klinis yang baik (Good Clinical Practice) dan diterima oleh badan review
institutional dan agensi regulasi.
Abott, menyeponsori studi ini serta turut andil dalam mendesain studi.Sponsor
melakukan data analisis dan seluruh peneliti memiliki akses pada data. Manuskrip pertama
dituliskan oleh penulis medis yang dipekerjakan oleh sponsor dengan masukan dari seluruh tim.
2
PENILAIAN EFEKTIFITAS
RNA virus diisolasi dari plasma dengan menggunakan metoda terautomatisasi (m2000
sistem realtime, Abbott Molecular). RT-PCR assay dari ekstraksi RNA dengan menggunakan
sense dan antisens primer yang berada diluar region coding untuk NS3-NS4A atau NS5B
dilakukan dengan sistem RT-PCR dengan Platinum Taw High Fidelity (Invitrogen, Life
Technologies) sesuai dengan rekomendasi produsen. Analisis nested PCR dilakukan dengan
sense dan antisense yang spesifik bagian encoding polymerase protease NS3 atau NS5B dengan
menggunakan polimerasi DNA Platinum Pfx (Invitrogen, Life Technologies) dimana hasilnya
dikloning ke dalam plasmid E. coli dan paling sedikit 74 klon dihasilkan dari setiap sampel.
Penilaian Keamanan
Penilaian efek samping, tes laboratorium klinis dan EKG 12 sadapan dilakukan pada
setiap kunjungan studi. Data seluruh efek samping dikumpulkan sejak awal studi obat hingga 30
hari dari dosis terakhir. Data untuk efek samping serius dikumpulkan sepanjang studi.
Kejadiannya diklasifikasikan sebagai ringan, sedang, berat.
Titik Akhir
Titik akhir primer penelitian adalah presentase pasien dengan kadar RNA HCV tak
terdeteksi dari minggu ke 4 hingga minggu ke 12 (pemanjangan respons virologis). Titik akhir
sekunder antara lain adalah: presentase pasien dengan kadar RNA HCV kurang dari batas bawah
kuantifikasi (25 IU per milliliter) pada minggu ke 4 (respons virologis cepat), pada minggu ke
12, dan 12 minggu setelah akhir terapi (respons virologis menetap). Virologic breakthrough
selama terapi didefinisikan sebagai peningkatan ≥ 0,5 log10 IU per milliliter diatas batas atau
kadar RNA HCV terdeteksi pada pasien yang sebelumnya kadar RNA HCVnya tak terdeteksi.
Relaps didefinisikan sebagai kadar RNA HCV terkonfirmasi lebih dari sama dengan kadar
kuantifikasi minimum untuk pasien dengan kadar RNA HCV kurang dari batas kuantifikasi
minimum pada akhir terapi. Analisis titik akhir virologis dilakukan pada semua pasien yang
menerima paling sedikit satu dosis obat yang diteliti.
3
Analisis Statistik
Seluruh analisis statistic dilakukan dengan menggunakan piranti lunak SAS, versi 9.2,
untuk sistem operasi UNIX (institute SAS). Untuk presentase titik akhir virologis pasien dengan
respons virologis cepat, pemanjangan respons virologis cepat, respons pada minggu ke 12 dan
respons virologis menetap pada 12 minggu setelah akhir terapi, Confidence Interval 9% dua sisi
dihitung dengan menggunakan metoda binominal eksakta.
HASIL
Pasien Studi
Total 19 pasien yang sebelumnya diterapi masuk kedalam grup 1, 14 pasein yang
sebelumnya belum pernah diterapi, 17 pasien dengan respons nol atau parsial pada grup 3.
Efektifitas Pada Pasien yang belum Diterapi
4
Pada pasien yang sebelumnya belum diterapi, kadar RNA HCV menurun drastis setelah
terapi inisiasi. Setelah 1 minggu, semua pasien memiliki kadar RNA HCV <1000 IU per
milliliter (gambar 1a 1b). Satu pasein pada grup 1 tidak melanjutkan studi pada minggu ke 3
dikarenakan munculnya efek samping (meningkatnya kadar AST dan ALT), dan satu pasien
pada grup 2 tidak melanjutkan terapi studi pada minggu ke1 dikarenakan ketidakpatuhan pada
prosedur studi.
17 dari 19 pasien pada grup 1 (89%;95% CI, 67 to 99) dan 11 dari 14 pada grup 2
(79%;95% CI, 49 – 95) memiliki respons virologis cepat (table 2). Tidak ada pasien pada grup 1
dan 2 yang mengalami virologic breakthrough dan tidak ada relaps pada pasien yang telah
menyelesaikan terapi, semua pasien dengan terapi lengkap memiliki respon virologis menetap
5
pada 12 minggu setelah terapi (18 dari 19 pasien pada grup 1, dan 13 dari 14 pasien grup 2).
Keseluruhan 18 pasien grup 1 yang menyelesaikan studi memiliki kadar RNA HCV tak
terdeteksi pada 48 minggu setelah terapi. Dua dari 13 pasien yang menyelesaikan terapi keluar
dari studi setelah follow-up pada minggu ke 12, 11 pasien lainnya memiliki kadar RNA HCV
yang tak terdeteksi pada 48 minggu setelah terapi.
Efektifitas pada Pasien dengan Respons Nol atau Parsial
Pada awalnya kadar RNA HCV menurun pada semua pasien di grup tiga. Enam pasien
mengalami virologic breakthrough selama tearpi, termasuk 1 pasin yang mengkonsumsi ABT-
450 50mg setiap hari sealama 30 minggu pertama dan tidak pernah memiliki kadar RNA HCV
kurang dari 25 IU milliliter. Terdapat 10 pasien (59%;95% Ci, 33-82) memiliki respons virologis
cepat. 3 pasien mengalami relaps pada minggu ke 2 setelah terapi, dan 8 pasien memiliki respons
virologis menetap pada minggu ke 12 setelah terapi (47%,95% CI, 23-72). Secara keseluruhan
terdapat 3 dari 7 pasien (43%,95% CI, 10-82) dengan respons nol terhadap terapi sebelumnya
dan lima dari 10 (50%;95% CI,19-81) dengan respons parsial yang memiliki respons virologis
menetap pada minggu ke 12 setelah terapi. Diantara pasien dengan IL28B CT dan genotype TT
terdapat 6 dari 12 pasien yang memiliki respons virologis menetap (50%;95% CI,21-79) dan 2
dari 5 (40%;95% CI,5-85). Keseluruhan 8 pasien yang memiliki response virologis menetap pada
minggu ke 12 setelah terapi memiliki kadar RNA HCV takterdeteksi pada kunjungan follow-up
terakhir, 36 minggu setelah terapi.
6
Resistensi
RNA HCV dianalisis untuk mencari keberadaan varian resisten pada semua pasien di
grup 3 yang mengalami kegagalan virologis (breakthrough ataupun relaps). Varian pada posisi
168 NS3 terdeteksi pada kadar normal pada satu pasien dengan infeksi HCV genotype 1b yang
sebelumnya gagal terapi,yang berarti substitusi satu nukleosida menyebabkan resistensi pada
ABT-450/r. varian resisten pada NS3 dan NS5B terdeteksi pada 8 pasien yang mengalami
kegagalan virologist, satu pasien dengan relaps tidak memiliki varian pada posisi khas apa pun.
Keamanan
Tidak terdapat kematian atau pun efek samping serius yang muncul selama studi. Satu
pasien dari grup 1 tidak melanjutkan terapi dikarenakan peningkatan kadar AST and ALT pada
minggu ke 2. Pasien tersebut asimtomatis dan kadar tertinggi ALTnya adalah 308 U per liter.
Peningkatan kadar aminotransferase tidak berhubungan peningkatan kadar bilirubin dan
membaik dengan penghentian obat studi.
Efek samping yang paling sering terjadi ditampilkan pada table 4. Secara keseluruhan,
yang paling sering adalah pegal-pegal (fatigue), mual, nyeri kepala, pusing, insomnia, pruritus,
7
ruam dan muntah. Mayoritas gejala ini bermanifestasi ringan. Empat efek samping, muncul pada
empat pasien, diklasifikasikan berat: pegal-pegal, nyeri, muntah dan hiperbilirubinemia (kadar
bilirubin tertinggi adalah 6,2 mg/dL [106 umol/L]). Tidak ada satu pun dari efek samping yang
timbul menyebabkan terganggu atau dihentikannya terapi studi; peningkatan hiperbilirubin
ditanggapi dengan penurunan dosis ribavirin. Tidak dilakukan modifikasi lainnya terhadap obat
studi.
Kelainan hasil laboratorium yang muncul selama terapi ditampilkan pada table 4. Dari 6
pasien yang berkadar bilirubin dua kali atau lebih dari batas atas kadar bilirubin normal, tiga
diantaranya terjadi pada kunjungan studi tunggal. Pada keenam pasien, kelainan kadar bilirubin
indirek membaik selama terapi tanpa dilakukan penyesuaian dosis obat studi. Dua pasien
memiliki kadar kreatinin serum lebih dari 1,5 mg/dL (133umol/L), dengan perhitungan klirens
kreatinin < 50 ml/menit. Pada kedua pasien, peningkanan kadar kreatinin terjadi pada waktu
yang tersendiri dan membaik tanpa modifikasi dosis obat studi.
DISKUSI
8
Titik akhir primer pada studi eksplorasi ini adalah persentase pasien yang mengalami
supresi virologis pada minggu ke-4 terapi dan supresi menetap sampai minggu ke-12, yang
dicapai oleh 28 dari 33 pasien yang sebelumnya belum pernah diterapi dan 10 dari 17 pasien
yang sudah pernah diterapi sebelumnya. Diantara pasien yang belum pernah diterapi, tidak
terdapat adanya kegagalan virologis selama studi ataupun selama follow-up 48 minggu.
Sebaliknya, 9 dari 17 pasien yang ber-respons nol atau parsial terhadap terapi sebelumnya
mengalami breakthrough atau relaps pada follow-up pertama setelah terapi selesai. Pada
kebanyakan kasus, kegagalan virologis berhubungan dengan munculnya varian dengan substitusi
pada NS3 dan NS5B pada posisi yang menyebabkan resistensi in vitro terhadap ABT-450 dan
ABT-333.
Satu pasien tidak melanjutkan terapi studi dikarenakan peningkatan kadar
aminotransferase asimtomatik. Pada studi ABT-450/r sebelumnya, satu orang sukarelawan sehat
mengalami peningkatan kadar ALT derajat tiga selama menerima terapi ABT-450/r (setiap hari
dengan dosis 250mg ABT-450 dan 100 mg ritonavir) dikombinasikan dengan 2 agen antiviral
kerja langsung yang diteliti. Peningkatan tersebut selain asimtomatik juga berhubungan dengan
peningkatan kadar bilirubin dan membaik setelah dihentikannya obat studi. Peningkatan kadar
derajat tiga yang serupa tidak dijumpai pada partisipan yang menerima ABT-450/r terapi tunggal
atau pada pasien yang menerima ABT-450/r dosis harian ABT-450 <250mg dan ritonavir 100
mg. Berdasarkan hal tersebut, selain karena pada studi ini didapatkan laju respons yang mirip
pada kedua kadar dosis pada pasien yang belum pernah diterapi sebelumnya ,pasien pada grup 3
menerima dosis ABT-450/r lebih rendah (150mg ABT-450 dan 100 mg ritonavir). Kadar
bilirubin tak langsung meningkat sejenak pada 6 dari 50 pasien (12%). Penemuan ini konsisten
dengan efek dari penghambat protease pada polipeptida 1B1 pentransport anion organic.
Penetilitian lainnya mengenai kombinasi terapi bebas interferon yang menggunakan
penghambat protease pada pasien yang sebelumnya belum diterapi menunjukkan penurunan
aktivitas terhadap HCV genotype 1a dibandingkan dengan HCV genotype 1b. Meskipun studi ini
terlalu kecil untuk diambil kesimpulannya mengenai efek genotype terhadap respons terapi, tidak
terdapat kegagalan virologis pada 31 pasien yang belum pernah diterapi sebelumnya setelah
menyelesaikan terapi termasuk 26 pasien dengan infeksi HCV genotype 1a. Studi sebelumnya
memberikan gambaran bahwa genotype IL28B dapat mempengaruhi respons terhadap regimen
9
bebas interferon. Pada studi ini, lebih dari setengah pasien sebelumnya belum pernah diterapi
yang menyelesaikan terapi memiliki genotype CT atau TT IL28B dan semuanya memiliki
respons virologis menetap. Meskipun demikian, tidak ada kesimpulan yang bisa ditarik
mengenai faktor-faktor tersebut pada pasien yang sebelumnya pernah diterapi.
Studi lainnya mengenai kombinasi dari agen antivirus kerja langsung juga menunjukkan
adanya potensi respons virologis pada beberapa pasien tanpa penggunaan interferon. Pada
sebuah studi mengenai asunaprevir, sebuah inhibitor NS3 dan daclatasvir, inhibitor NS5A yang
diberikan selama 24 minggu pada pasien dengan infeksi HCV genotype 1 dan berespons nol
pada terapi sebelumnya, empat dari sebelas pasien memiliki respons virologis menetap pada 24
minggu setelah terapi termasuk dua dari Sembilan pasien dengan infeksi HCV genotype 1a dan
dua dari dua pasien dengan infeksi HCV genotipe 1b.
Pada suatu studi di Jepang mengenai pasien dengan infeksi HCV genotipe 1b, regimen ini
juga berhubungan dengan respon virologis menetap pada 24 minggu setelah terapi pada 91% dari
21 pasien dengan respon nol terhadap terapi sebelumnya dan 64% dari 22 pasien yang tidak
dapat diterapi dengan peginterferon atau mengalami efek samping berkaitan dengan terapi
peginterferon sebelumnya. Kombinasi terapi dengan daclatasvir dan sofosbuvir yang diberikan
selama 24 minggu dengan atau tanpa ribavirin berhubungan dengan tidak terdeteksinya kadar
RNA HCV pada minggu keempat setelah terapi pada lebih dari 95% pasien dengan infeksi HCV
genotipe 1,2,3 yang belum pernah diterapi sebelumnya.
Terakhir, kombinasi ribavirin dengan sofosbuvir, penghambat NS5B analog nukelosida
dikaitkan dengan kadar HCV RNA pada minggu keempat setelah terapi yang tidak terdeteks
pada 22 dari 25 pasien yang sebelumnya belum diterapi (88%) dengan infeksi HCV genotipe 1,
dan satu dari Sembilan pasien (11%) dengan infeksi HCV genotipe 1 dan respon nol terhadap
terapi sebelumnya. Diantara pasien dengan infeksi HCV genotipe 2 atau 3, regimen yang sama
berhubungan dengan respon virologis menetap pada seluruh (10) pasien yang sebelumnya belum
diterapi (100%). Dari 15 pasien yang sebelumnya telah diterapi, 12 (80%) pasien memiliki kadar
RNA HCV tak terdeteksi pada minggu keempat setelah terapi; minimal satu pasien me ini
mengalami relaps pada minggu kedelapan setelah terapi. Studi saat ini memeriksa laju respon
terhadao regimen olah pada pasien yang sebelumnya belum diterapi dan yang sudah diterapi
10
dengan infeksi HCV genotipe 1a atau 1b. Hal ini memberikan perbandingan dari laju respons
terhadap status pengobatan sebelumnya dan genotipe HCV.
Laju respon virologis menetap sebesar 47% diantara pasien dengan respon nol atau
parsial terhadap terapi sebelumnya dengan peginterferon dan ribavirin yang sangat rendah jika
dibandingkan dengan laju pada pasien yang sebelumnya belum diterapi menggambarkan bahwa
terpai dengan agen antivirus aksi langsung kurang efektif pada pasien dengan respon nol atau
parsial pada pasien yang sudah diterapi sebelumnya dibandingkan dengan pasien yang belum
pernah diterapi sebelumnya, bahkan dengan tidak diberikannya terapi interferon. Regimen yang
lebih poten akan dibutuhkan untuk mencapai respon virologis menetap pada populasi ini,
kemungkinan dengan penambahan agen antivirus aksi langsung dengan mekanisme kerja
komplimenter. Meskipun pemanjangan durasi terapi dapat dipertimbangkan, didapatkan bahwa
mayoritas kegagalan virologis pada pasien respon nol atau parsial pada terapi sebelumnya
muncul selama masa terapi. Memperpanjang durasi terapi lebih dari 12 minggu tidak akan
mencegah kegalalan virologis pada pasien ini.
Kesimpulannya, pada studi awal ini didapatkan bahwa semua kombinasi oral dari ABT-
450/r, ABT-333, dan ribavirin selama 12 minggu berhubungan dengan respon virologis menetap
dengan proporsi tinggi pada pasien yang belum pernah diterapi sebelumnya dengan infeksi HCV
genotipe 1. Studi yang lebih besar dan regimen yang serupa dibutuhkan untuk konfirmasi
penemuan pada subrup yang didasarkan pada genotipe HCV, ras, jenis kelamin dan usia.
Regimen ini kurang efektif pada pasien yang memiliki infeksi HCV genotipe 1 dengan respon
nol atau parsial terhadap terapi sebelumnya. Regimen berdasar ABT-450/r dengan agen
tambahan atau agen yang lebih poten mungkin dapat meningkatkan penggunaan regimen pada
spectrum pasien terinfeksi HCV yang lebih luas dan studi-studi tersebut dibutuhkan untuk
menilai keamanan dan efektifitas pada pasien dengan respon nol atau parsial terhadap terapi
sebelumnya, pasien dengan sirosis dan pasien yang juga memiliki infeksi HIV tipe 1.
11