Upload
others
View
6
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
STUDI KOMPARATIF KONFLIK BERSENJATA NON-INTERNASIONAL DALAM HUKUM HUMANITER INTERNASIONAL
( Comparative Study on Non-International Armed Conflict
in International Humanitarian Law )
Kushartoyo Budisantosa
Sekolah Tinggi Ilmu Hukum Gunung Jati [email protected]
Abstrak
Konvensi-konvensi Jenewa 1949 dan Protokol Tambahan II 1977 tidak memberikan
definisi mengenai konflik bersenjata non-internasional (KBNI). Protokol Tambahan II hanya menentukan ambang batas atas dan bawah yang termasuk ke dalam jenis konflik
ini, termasuk persyaratan yang diperlukan agar Protokol berlaku. Penentuan jenis konflik berguna untuk menentukan apakah Hukum Humaniter Internasional (HHI)
berlaku. Sehubungan dengan itu, jurisprudensi pada Tribunal Internasional untuk bekas Negara Yugoslavia (ICTY) dan Rwanda (ICTR), Pengadilan Khusus untuk Siera-Leone
(SCSL), dan Mahkamah Kriminal Internasional (ICC) menggunakan pendekatan
berbeda. Tulisan ini membandingkan pengaturan KBNI menurut sumber hukum tertulis dengan pelaksanaannya dalam putusan Peradilan Internasional. Walaupun
perkembangan menunjukkan terdapat berbagai konflik bersenjata lainnya, namun hasil perbandingan menunjukkan bahwa tetap hanya terdapat dua jenis KBNI: pertama,
KBNI yang dicakup dalam Common Article 3 dari Konvensi Jenewa 1949; dan kedua,
KBNI yang dicakup dalam Pasal 1 Protokol Tambahan II 1977. Putusan Pengadilan Internasional bersifat melengkapi dan memperjelas KBNI.
Kata kunci : Konflik Bersenjata Non-Internasional, ICTY, ICTR, SCSL, ICC
Abstract
The Geneva Conventions of 1949 and Additional Protocol II of 1977 do not provide a definition of non-international armed conflict (NIAC). Additional Protokol II specifies only the upper and lower thresholds that fall into this type of conflict, including requirements necessary to take effect. Determining the type of armed conflict is useful for determining whether International Humanitarian Law (IHL) applies. In this connection, the jurisprudence at the International Tribunal for the former Yugoslavia (ICTY) and Rwanda (ICTR), the Special Court for Syria (SCSL) and the International Criminal Court (ICC) took a different approach. This paper compares NIAC between conventional legal sources and international judicial judgments. Although state practices indicate various other armed conflicts, the result shows that there are only two types of NIAC: first, NIAC which is covered in common article 3 of the Geneva Convention 1949; and second, NIAC which is coverend in Article 1 of Additional Protocol II 1977. Judgments of international tribunals complements and clarifies NIAC in Geneva Convention and its Additional Protocol II.
2
Keywords: Non-International Armed Conflict (NIAC), ICTY, ICTR, SCSL, ICC
Pendahuluan
Hukum Humaniter Internasional (HHI)
mendalilkan bahwa konflik bersenjata dapat
dikategorikan sebagai konflik bersenjata
internasional (KBI) berdasarkan Common
Article 2 dari Konvensi Jenewa atau Pasal 1 (4)
dari Protokol Tambahan I 1977 atau sebagai
konflik bersenjata non-internasional (KBNI)
berdasarkan Common Article 3 dari Konvensi
Jenewa dan / atau Pasal 1 Protokol Tambahan
II 1977. Terdapat dua mekanisme penegakan
hukum yang berbeda atas dua jenis konflik
tersebut yang berlaku hingga pertengahan
1990-an. Dalam KBI, tanggung jawab negara
dan tanggung jawab individu dapat digunakan
untuk memastikan penerapan HHI secara
tepat, sementara pada saat KBNI hanya
tanggung jawab negara yang dapat ditampilkan
pada pelanggaran HHI, sebuah sistem yang
gagal karena tidak ada forum hukum untuk
menangani masalah tersebut dan, dengan
demikian, pada umumnya dalam KBNI
1 Sivakumaran, “Re-envisaging the international law of internal armed conflict”, Eur J Int Law 22 (2011), 220. 2 ICTY Tadic 1995, Prosecutor v. Tadic, Kasus No IT-94-1-AR72, Mosi Pembelaan untuk Putusan Sela dari Yurisdiksi ICTY, 2 Oktober 1995, paras 127 dan 130..
pelanggaran dibiarkan begitu saja. Oleh karena
itu, perbedaan itu sangat penting.
Statuta dan yurisprudensi dari berbagai
pengadilan pidana internasional mengubah
posisi ini karena mereka menyatakan bahwa
tindakan yang bertentangan dengan HHI yang
dilakukan selama konflik bersenjata non-
internasional juga dapat dipandang sebagai
tindakan kriminal dan dituntut seperti itu. Tidak
diragukan lagi, kriminalisasi ketentuan HHI
muncul sebagai solusi yang tepat untuk
menangani pelanggaran hukum dalam konflik
bersenjata. Selanjutnya, 'hukum konflik
bersenjata non-internasional pada saat ini telah
mengacu pada hukum pidana internasional
untuk mengisi konten substansinya.1
Khusus dalam KBNI, saat ini
persoalannya menjadi semakin rumit karena
norma-norma yang terkadung dalam konflik ini
telah dikriminalisasi melalui yurisprudensi2 dan
Statuta pengadilan pidana internasional untuk
Rwanda (ICTR).3 Oleh karena itu, menjadi
sangat relevan untuk mengkualifikasikan
3 Van den Herik, The contribution of the Rwanda tribunal to the development of international law, (Leiden: Martinus Nijhoff, 2005), 273.
3
dengan tepat KBNI sebagai satu yang termasuk
dalam lingkup Pasal 3 Konvensi Jenewa 1949
atau Protokol Tambahan II 1977. Meskipun
secara luas telah diterima bahwa pelanggaran
Pasal 3 Konvensi Jenewa 1949 memerlukan
pertanggungjawaban pidana karena sifat
kebiasaannya, hal ini tampaknya berbeda
dengan semua pelanggaran yang terdapat
dalam Protokol Tambahan II 1977.
Untuk menambah kerumitan dari jenis
konflik bersenjata ini, pengadilan internasional
justru mengadopsi definisi konflik bersenjata
yang berbeda dari salah satu ketentuan yang
disebutkan di atas. Selain itu, Statuta
Mahkamah Pidana Internasional (ICC), yang
dianggap mewakili status sebagai Lembaga
hukum saat ini, juga menawarkan definisi
konflik bersenjata yang tampak prima facie
berbeda dari yang diuraikan dalam hukum
perjanjian tentang HHI dan dalam
yurisprudensi.
Tulisan ini tidak bertujuan untuk
berfokus pada ambang penerapan hukum
humaniter internasional, melainkan membahas
4 Bassiouni, International Criminal Law, (Ardsley:
Transnational Publishers, 1999), 101.
dengan memberikan komparasi apakah aturan
hukum internasional yang tercantum dalam
perjanjian, hukum kebiasaan internasional dan
yurisprudensi, mengatur satu, dua atau
kemungkinan terdapat tiga jenis konflik
bersenjata non-internasional. Secara khusus,
tulisan ini menyelidiki apakah definisi yang
digunakan oleh pengadilan-pengadilan pidana
internasional dalam penerapan ketentuan
kejahatan perang4 sesuai dengan definisi yang
diuraikan dalam perjanjian dan hukum
kebiasaan.
Uji Penerapan dalam Hukum Perjanjian : Pasal 3 Konvensi Jenewa 1949 dan
Protokol Tambahan II 1977
Dalam hukum perjanjian kita
menemukan dua aturan untuk KBNI, yang
pertama kita temukan dalam Konvensi 1949
dan kedua kita temukan dalam Protokol
Tambahan II 1977. Konvensi Jenewa
menawarkan aturan pertama sedangkan
Protokol Tambahan II untuk konvensi yang
sama memberikan aturan yang kedua.
Pasal 3 dari Konvensi Jenewa 1949
(Common Article 3)
4
Common Article 3 menetapkan
seperangkat aturan kemanusiaan internasional
yang berlaku dalam 'kasus konflik bersenjata
yang tidak bersifat internasional yang terjadi di
wilayah salah satu Pihak Peserta Agung'.
Sayangnya, apa yang disebutkan pada paragraf
awal dari konvensi ini, tidak menjawab keadaan
ketika konflik itu berlaku karena tidak
diberikannya definisi apa yang dimaksud
dengan ‘konflik bersenjata yang tidak bersifat
internasional’. Satu-satunya informasi yang
mungkin bisa diambil adalah yang terkait
dengan isu teritorial, yaitu bahwa Common
Article 3 berlaku di wilayah salah satu negara
(Pihak Peserta Agung), sementara tidak
dijelaskan apa yang dimaksud dengan ‘konflik
yang tidak bersifat internasional’. Formulasi
yang tidak jelas ini menyisakan ruang untuk
interpretasi karena baik 'konflik bersenjata'
maupun 'karakter non-internasional' tidak
didefinisikan. Demikian juga kriteria objektif
maupun subjektif tidak dimasukkan dalam
kalimat pertama dari Common Article 3 ini, hal
ini bisa dimengerti karena memang artikel
5 Jean Pictet, Commentary on the Geneva Conventions. (Geneve: International Committee of the Red Cross,1960), 49. 6 Jinks, “The temporal scope of application of international humanitarian law in contemporary conflicts”, HPCR Policy Brief, January 2003, 2.
tersebut merupakan kompromi politik pada saat
penyusunannya. Kurangnya definisi ini
selanjutnya ditanggapi secara positif oleh Pictet
dalam Commentary on the Geneva
Conventions, 5 dan menurut beberapa penulis
memang hal itu adalah tujuan dari para
perancang perjanjian tersebut pada waktu itu.6
Memang, telah diajukan proposal untuk
memperjelas bidang material penerapan Pasal
3 Konvensi Jenewa 1949 yang diajukan pada
Konferensi Internasional Palang Merah dan
Bulan Sabit Merah ke-XXI di Istanbul pada
bulan September 1969 namun proposal itu
ditolak.7 Oleh karenanya, definisi tersebut
harus dicari di luar perjanjian itu sendiri dan
terutama dengan membaca dengan teliti
travaux préparatoires dan Commentary to the
convention. Pertanyaan yang penting bagi
negara adalah untuk menentukan ambang
penerapan dari Pasal 3 Konvensi Jenewa 1949,
karena selama penyusunan ketentuan tersebut,
banyak delegasi mengungkapkan ketakutan
mereka bahwa segala jenis masalah internal
akan memicunya. Seperti yang dijelaskan Jinks,
7 Pietro Verri, “Considérations sur l’application dans les conflits modernes des Articles 3 et 4 des Conventions de Genève de 1949”, Revue de droit militaire et de droit de la guerre 1972, 99.
5
'koherensi dari konsep' 'konflik bersenjata'
'menghidupkan kemungkinan perbedaan
antara gangguan atau pemberontakan internal
dan konflik bersenjata internal.'8
Namun, ICRC mendorong untuk
mengenali situasi dengan ambang batas
kekerasan yang rendah.9 Kriteria yang berbeda
disebutkan selama diskusi dan mungkin dapat
membantu dalam menentukan ambang
penerapan, meskipun kriteria tersebut harus
dianggap tidak lengkap, atau condong ke arah
tidak mengikat secara hukum. Faktanya, batas
sebenarnya ditentukan berdasarkan kasus per
kasus.
Dalam hal ini, Pictet memberikan
sejumlah kemungkinan kriteria untuk
mengukur apakah Pasal 3 Konvensi Jenewa
1949 dapat diterapkan. Pertama, permusuhan
harus dilakukan oleh kelompok-kelompok
bersenjata yang terorganisir dan menunjukkan
intensitas sedemikian rupa sehingga
pemerintah tidak dapat hanya mengandalkan
sarana kepolisian biasa. Kedua, permusuhan
yang dilakukan para pemberontak harus
8 Jinks, op.cit., 2. 9 Kretzmer, “Rethinking the application of international humanitarian law in non - international armed conflicts”, Israel Law Review 42:8 2009, 40.
bersifat kolektif. Ketiga, pemberontak harus
menunjukkan tingkat organisasi tertentu
(komando yang bertanggung jawab dan
kapasitas untuk memenuhi persyaratan
kemanusiaan minimal)10. Hal ini mengingatkan
seperti yang tercantum dalam Protokol
Tambahan II 1977.
Pasal 3 Konvensi Jenewa 1949 berlaku
dalam kasus perang saudara klasik ketika
angkatan bersenjata negara dihadapkan
dengan kelompok oposisi bersenjata di dalam
wilayah negara. Selain itu, ketentuan ini berlaku
ketika dua kelompok pembangkang berperang
satu sama lain di dalam wilayah satu negara
yang mungkin, atau juga mungkin tidak,
menjadi pihak dalam konflik bersenjata.
Protokol Tambahan II 1977
Karena kekurangan yang disebutkan
dalam mekanisme hukum internasional,
sebagaimana disebutkan di atas, negara-
negara setuju untuk meningkatkan rezim Pasal
3 Konvensi Jenewa 1949. Protokol Tambahan II
adalah perjanjian internasional pertama dan
10 Elder, “The historical background of common Article 3 of the Geneva Convention of 1949”, Case W Reserve J Int Law, 11:37 1979, 52–53.
6
satu-satunya yang secara eksklusif mengatur
perilaku para pihak dalam konflik non-
internasional.11 Sayangnya, Protokol Tambahan
II mengadopsi pendekatan yang lebih ketat dan
mengecualikan beberapa situasi, yang dapat
ditafsirkan masuk dalam ruang lingkup
penerapan Pasal 3.12
Menurut Pasal 1, Protokol Tambahan II
1977 hanya berlaku ketika konflik antara
pemerintah yang berkuasa dan kekuatan
internal yang berperang muncul, bukan ketika
negara diguncang oleh konflik di antara
kelompok-kelompok pembangkang yang
berbeda, di mana hanya Pasal 3 Konvensi
Jenewa 1949 yang relevan.13 Pergeseran
konservatif ke kriteria yang lebih menuntut
adalah kompromi untuk memungkinkan
beberapa negara mendapatkan perjanjian yang
berisi aturan yang lebih spesifik terkait dengan
konflik bersenjata non-internasional dan negara
lain untuk menolak penerapannya karena
ambang batas yang tinggi.
11 Green, The contemporary law of armed conflict, (Manchester: University Press and Juris Publishing, 2002), 61. 12 Abi-Saab, op.cit. 216; Vité, “Typology of armed conflicts in international humanitarian law: legal concepts and actual situations”, International Review of the Red Cross, 873:69 2009, 79. 13 Yves Sandoz et al., Commentary on the Additional Protocols to the Geneva Conventions, (Geneva: Martinus Nijhoff/International committee of the Red Cross, 1987), 4461.
Protokol Tambahan II 1977 akan
diterapkan secara otomatis ketika persyaratan
ketat Pasal 1 dipenuhi. Ketentuan ini
menetapkan bahwa pasukan pembangkang
harus memenuhi persyaratan ada di bawah
komando yang bertanggung jawab dan dapat
melakukan pengawasan semacam itu atas
sebagian wilayahnya sehingga memungkinkan
mereka melakukan operasi militer yang
berkelanjutan, terpadu dan dapat
melaksanakan Protokol.
Ambang batas yang sangat tinggi yang
ditetapkan oleh Protokol Tambahan II14 berarti
bahwa pada kenyataannya protokol tersebut
berlaku 'untuk situasi di atau dekat tingkat
perang saudara berskala penuh'15 atau perang,
kasus yang sangat tidak mungkin ketika
seseorang memeriksa persenjataan konflik
kontemporer di mana kontrol teritorial tidak lagi
menjadi salah satu prioritas kelompok oposisi
bersenjata. Selain itu, masalah tetap berada
pada waktu yang tepat ketika situasi
14 Spieker, “Twenty-five years after the adoption of Additional Protocol II: breakthrough or failure of humanitarian legal protection?”, Yearbook of International Humanitarian Law, 4:129, 2001, 142–143. 15 Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa 1998, Standar Kemanusiaan Minimum: Laporan Analisis Sekretaris Jenderal yang Diserahkan sesuai dengan Resolusi Komisi Hak Asasi Manusia 1997/21, UN Doc E / CN.4/ 1998/87, 12 Januari 1998, paragraf 74.
7
berkembang menjadi konflik bersenjata dalam
ketentuan Protokol Tambahan II.
Lebih jauh pada pandangan pertama,
Pasal 2 Protokol Tambahan II menurunkan
batasan penerapan perjanjian karena tidak
termasuk 'gangguan dan ketegangan internal,
seperti kerusuhan, tindakan kekerasan yang
terisolasi dan sporadis dan tindakan lain yang
serupa'. Namun, praktik menunjukkan bahwa
Pasal 3 Konvensi Jenewa 1949 juga tidak
diterapkan dalam keadaan ini.16
Hubungan Pasal 3 Konvensi Jenewa 1949
dan Protokol Tambahan II 1977
Sebagaimana diilustrasikan di atas,
Pasal 3 Konvensi Jenewa 1949 dan Protokol
Tambahan II 1977 menerapkan standar
penerapan yang berbeda. Hubungan antara
dua instrumen konvensional ini, dengan
demikian sangat penting ketika
mempertimbangkan instrumen mana yang
berlaku. Sesuai dengan aturan umum hukum
internasional dan terutama lex posterior
derogat legi priori dan lex specialis derogat legi
16 Vité, op.cit., 76; Tahzib-Lie dan Swaak-Goldman, Determining the threshold for the application of international humanitarian law, 2004, 249. 17 Sidang Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (Komisi Hukum Internasional) 2006, Fragmentasi Hukum Internasional: Kesulitan yang Timbul dari Diversifikasi dan Perluasan Hukum Internasional, UN Doc A / CN.4 / L.702, 18 Juli 2006, para. 14.2 (5) [selanjutnya UNGA (ILC) 2006].
generali,17 Protokol Tambahan II harus berisi
aturan universal yang berlaku untuk konflik
bersenjata non-internasional.
Lex Posterior
Menurut Pasal 30 ayat (2) Konvensi
Wina 1969 tentang Hukum Perjanjian
Internasional (VCLT) jika perjanjian
menetapkan bahwa perjanjian tunduk pada
atau bahwa perjanjian dianggap tidak sesuai
dengan perjanjian sebelumnya atau yang lebih
baru, maka ketentuan dari perjanjian lain yang
berlaku.18 Dalam kasus yang dihadapi, Protokol
Tambahan II tidak dianggap tidak sesuai
dengan Konvensi Jenewa. Pertama, seperti
yang disebutkan namanya, tujuan dari Protokol
Tambahan adalah untuk mengembangkan
cakupan hukum menurut para perancang
konvensi awal belum berkembang.19 Kedua,
Protokol Tambahan II dengan jelas
menunjukkan bahwa ia mengembangkan dan
melengkapi Pasal 3 Common Article. Protokol
Tambahan II dan Pasal 3 Konvensi Jenewa
18 Konvensi Wina tentang Hukum Perjanjian Internasional 1969, 1155 UNTS 331, 23 Mai 1969. 19 Turns D, “War crimes without war? The applicability of international humanitarian law to atrocities in non-international armed conflicts”, African Journal of International Comparative Law, 7:804, 1995, 817.
8
harus memiliki cakupan penerapan yang sama
dengan maksud asli ICRC.20 Oleh karena itu,
pada pandangan pertama Protokol Tambahan
II harus 'mengesampingkan' ketentuan yang
terkandung dalam Konvensi Jenewa, karena
Protokol adalah aturan yang baru dibandingkan
dengan Konvensi Jenewa.
Sampai taraf tertentu, jika Protokol
Tambahan II dapat diterapkan maka Pasal 3
Konvensi Jenewa juga berlaku karena
pemahaman yang terakhir lebih rendah
daripada yang diuraikan dalam Pasal 1 AP II.
Oleh karena itu Protokol Tambahan II memiliki
bidang aplikasi yang jauh lebih sempit. Namun
dalam kalimat yang sama, Pasal 1 ayat (1) AP
II juga menggarisbawahi otonomi Pasal 3
terkait dengan Protokol Tambahan II karena
diuraikan maksudnya bukan untuk mengubah
kondisi yang ada atau penerapan Pasal 3
Common Article. Kata-kata Pasal 1 (1) AP II
diterima, karena mendukung keberadaan Pasal
1 (2) AP II yang dimaksudkan untuk
memaksakan penafsiran terbatas dari ruang
20 Majelis Umum PBB (ILC) 2006, para 14.2(5). Abi-Saab 1991, 215. 21 Abi-Saab, Droit humanitaire et conflits internes. Origines et évolution de la réglementation internationale, (Geneve: Institut Henry Dunant/Pedone, 1986), 145–148. 22 Marco Sassoli dan Antoine Bouvier, How does law protect in war? Cases, documents and teaching materials on
lingkup penerapan Pasal 3 Konvensi Jenewa.21
Sebagai akibat dari otonomi ini, hukum
perjanjian mengidentifikasi ada dua jenis
konflik yang berbeda.22
Selain itu, harus diingat bahwa sesuai
dengan Pasal 30 ayat (4) VCLT maka jika
terdapat para pihak dalam perjanjian namun
tidak melibatkan para pihak sebelumnya, maka
ditentukan bahwa:
(a) diantara Negara Pihak pada kedua perjanjian, aturan yang sama berlaku
seperti dalam ayat 3; (b) diantara Negara Pihak pada kedua
perjanjian dan Negara Pihak hanya pada salah satu perjanjian, perjanjian di mana
kedua Negara menjadi pihak mengatur
hak dan kewajiban mereka secara timbal balik.
Dalam kasus di mana negara-negara
menjadi pihak pada kedua perjanjian dan
kecuali ditentukan lain dalam perjanjian,
instrumen sebelumnya hanya berlaku sejauh
ketentuannya sesuai dengan perjanjian
selanjutnya (sesuai dengan pepatah latin lex
posterior derogat legi priori).23 Sejak Protokol
Tambahan II, seperti yang dijelaskan
sebelumnya, mengatur ruang lingkup
contemporary practice in international humanitarian law, (Geneva: International Committee of the Red Cross, 1999), 90. 23 Konvensi Wina tentang Hukum Perjanjian 1969, 1155 UNTS 331, 23 Mai 1969, Pasal 30 ayat (3).
9
penerapan kedua instrumen, kedua perjanjian
dapat diterapkan secara bersamaan dan, oleh
karena itu, terdapat dua ambang penerapan
norma yang berkaitan dengan konflik
bersenjata non-internasional. Dalam contoh di
mana suatu negara hanya meratifikasi Konvensi
Jenewa, Protokol Tambahan II tidak berlaku
dan hanya satu jenis konflik bersenjata non-
internasional yang dimungkinkan. Hal ini
terlepas apakah Protokol Tambahan II 1977
telah menjadi hukum kebiasaan atau belum.
Lex Specialis
Dalam kasus di mana dua perjanjian
mencakup subjek yang sama, aturan lex
specialis dapat digunakan untuk tujuan
interpretasi, karena hukum yang lebih khusus
bersifat lebih konkrit, memperhitungkan fitur-
fitur khusus yang akan diterapkan pada hukum
yang bersifat umum.24 Tidak diragukan lagi
aturan yang dijabarkan dalam Pasal 3 Konvensi
Jenewa 1949 berlaku secara universal dan
bersifat umum. Pertama, sesuai travaux
préparatoires, Pasal 3 Konvensi Jenewa
menegaskan kembali norma-norma dasar yang
24 McCarthy, “Legal conclusion or interpretative process? Lex specialis and the applicability of international human rights standards”, in Arnold R, Quénivet N (eds) International humanitarian law and human rights law:
tertanam dalam legislasi domestik yang pada
dasarnya berkaitan dengan perlindungan hak
asasi manusia dan integritas fisik orang-orang
yang tidak mengambil bagian dalam
permusuhan, atau yang telah meletakkan
senjata, atau siapa yang termasuk dalam hors
de combat. Komentar menegaskan bahwa
Pasal 3 Konvensi Jenewa mencakup aturan
yang sudah dianggap penting di semua negara
beradab dan tercermin dalam undang-undang
nasional negara yang bersangkutan bahkan
jauh sebelum konvensi ditandatangani.25
Kedua, seluruh aspek filosofi Pasal 3
baik secara eksplisit maupun tidak, terdapat di
dalam AP II sehingga memberikan kesan
bahwa Protokol Tambahan II adalah lex
spesialis Pasal 3. Memang, Mahkamah
Internasional dengan tegas menjelaskan dalam
kasus Nikaragua bahwa norma-norma yang
dirangkum dalam Common Article 3 paling tidak
telah mewakili nilai-nilai universal serta
mencerminkan pertimbangan dasar
kemanusiaan. Protokol Tambahan II
menawarkan perlindungan yang lebih besar
towards a new merger in international law, (The Hague: Martinus Nijhoff, 2008), 101, 109–126. 25 Jean Pictet, op.cit., 36.
10
bagi warga sipil dan objek sipil26 serta orang-
orang yang ditahan.27
Sekilas Protokol Tambahan II adalah
lex specialis dari Common Article 3. Namun,
harus digarisbawahi bahwa praduga lex
specialis tidak berlaku ketika suatu penerapan
dari hukum yang bersifat khusus dapat
menggagalkan tujuan hukum28 atau di mana
para pihak ternyata bermaksud sebaliknya.29
Sebagaimana disebutkan di atas, para
penyusun Protokol Tambahan II secara jelas
menganugerahi norma umum, yaitu Pasal 3
Konvensi Jenewa, dengan penerapan otonom
dan, oleh karena itu lex specialis tidak dapat
diterapkan dalam konteks ini.
Dengan demikian, hukum perjanjian
seperti yang digambarkan dalam Konvensi
Jenewa dan Protokol Tambahan II memberikan
jenis perlindungan yang berbeda terhadap
individu dari efek yang mengerikan akibat
konflik bersenjata.
Uji Penerapan dalam Hukum Kebiasaan
26 Lihat umumnya Bagian IV dari Protokol Tambahan II. 27 Pasal 5 dan 6 Protokol Tambahan II. 28 Majelis Umum PBB (ILC) 2006, paragraf 14.2(10). 29 Majelis Umum PBB (ILC) 2006, paragraf 14.5(27). 30 Mahkamah Internasional, Kegiatan Militer dan Paramiliter di dan melawan Nikaragua (Nicaragua v. USA), Putusan, [1986] ICJ Rep 14, 27 Juni 1986, paragraf 179 [selanjutnya ICJ Nicaragua 1986].
Sesuai dengan yurisprudensi kasus
Nikaragua, hukum kebiasaan internasional
tetap berlaku di samping norma-norma yang
diatur dalam hukum perjanjian.30 Ini berarti
bahwa sepanjang terdapat ketentuan
perjanjian tentang kualifikasi konflik
bersenjata, ketentuan-ketentuan hukum
kebiasan harus lebih digarisbawahi karena telah
mempercepat perkembangan hukum konflik
bersenjata terutama terkait dengan kejahatan
yang dilakukan dalam konflik internal.31 Namun
demikian, perlu diingat bahwa sangat kecil
kemungkinannya bahwa terdapat hukum
kebiasaan internasional yang berlaku untuk
konflik bersenjata internal yang tidak
menemukan akarnya dalam suatu perjanjian
internasional.32
Membangun Hukum Humaniter Internasional
Kebiasaan
Sesuai Pasal 38 Statuta Mahkamah
Internasional, norma kebiasaan dibentuk dari
dua unsur yaitu state practice33 dan opinio
31 Greppi, “The evolution of individual criminal responsibility under international law”, International Review of the Red Cross, 835:531, 1999, 531–553; Schindler, “International humanitarian law: its remarkable development and its persistent violation”, Journal History of International Law, 5:165, 2003, 178. 32 UN Doc S / 1994/674, 27 Mei 1994, paragraf 52. 33 Keputusan pengadilan internasional merupakan sumber tambahan dari hukum internasional namun keputusan
11
juris.34 Elemen terakhir dari norma kebiasaan
ini bersifat lebih dominan proses pembentukan
hukum humaniter dan hukum hak asasi
manusia.35
Praktik negara harus bersifat konstan
dan seragam36 serta terjadi dalam beberapa
durasi.37 Untuk menetapkan praktik yang nyata
seseorang tidak hanya berpegang pada
tindakan tetapi juga pada antara lain
perjanjian, korespondensi diplomatik, dan
deklarasi sepihak.38 Praktik, meskipun jarang,
mengungkapkan bahwa negara, setelah
meratifikasi Protokol tambahan II,
mempertimbangkan bahwa dua perangkat
norma dapat diterapkan pada saat konflik
bersenjata non-internasional, bergantung pada
apakah ambang Protokol Tambahan II tercapai.
Negara-negara dalam beberapa
kesempatan membedakan konflik antara
Protokol Tambahan II dan Pasal 3 Konvensi
Jenewa. Misalnya, selama konflik di Chechnya,
Mahkamah Konstitusi Rusia dengan jelas
tersebut bukan merupakan praktik negara, Henckaerts, op.cit.,5. 34 Statuta Mahkamah Internasional, 26 Juni 1945, Pasal 38. 35 Meron, op.cit., 9. 36 Kasus Suaka (Columbia v. Peru), [1950] ICJ Rep 266, 27 November 1950, 277. 37 Kasus Landas Kontinen Laut Utara (Republik Federal Jerman / Denmark dan Republik Federal Jerman / Belanda), [1969] ICJ Rep 3, 20 Februari 1969, paragraf 73–74.
menegaskan bahwa aturan yang berkaitan
dengan Protokol Tambahan II dapat
diterapkan. Hal itu bisa diartikan mengakui
penerapan Pasal 3 Konvensi Jenewa, karena
ketentuannya mencerminkan prinsip-prinsip
dasar yang berlaku di semua jenis konflik
bersenjata dan, terlebih lagi Federasi Rusia
belum memasukkan aturan Protokol Tambahan
II ke dalam sistem hukum domestik. Direktorat
Hukum Internasional Publik Swiss
mengkualifikasikan bahwa konflik di El Salvador
pada tahun 1986 sebagai konflik yang termasuk
dalam lingkup Protokol Tambahan II setelah
pemeriksaan yang cermat terhadap situasi
faktual dan implikasi hukumnya.39
Lebih lanjut, Dewan Keamanan
Perserikatan Bangsa-Bangsa mengacu pada
kedua perangkat norma tersebut, misalnya,
ketika membentuk Pengadilan Kriminal
Internasional untuk Rwanda (ICTY).40 Namun,
belakangan ini, semakin banyak resolusi yang
tidak membedakan antara dua macam konflik
38 Barcelona Traction, Light and Power Company, Limited (Belgium v. Spain), Fase kedua, [1970] ICJ Rep 3, 5 Februari 1970. 39 Catatan Direktorat Hukum Internasional Publik Departemen Luar Negeri Federal, 20 Januari 1986, dikutip dalam Annuaire Suisse de Droit International 1987, hal. 185–187. 40 Dewan Keamanan PBB 1994, Resolusi 955 (1994), UN Doc S/RES/955 (1994), 8 November 1994.
12
ini, apalagi antara konflik bersenjata
internasional dan non-internasional.41
Adapun ketentuan hukum yang
diuraikan dalam manual militer, beberapa
manual militer seperti yang digunakan untuk
pasukan Kanada42 atau Pasukan Inggris43
membedakan konflik bersenjata non-
internasional antara Pasal 3 Konvensi Jenewa
dan Protokol Tambahan II.
Di sisi faktual, negara juga
membedakan dua rangkaian konflik bersenjata
non-internasional. Misalnya, penerapan Pasal 3
Konvensi Jenewa bergantung pada fakta dan
bukan pada kemauan negara untuk mengakui
fakta.44 Namun, dalam praktiknya, banyak
negara tidak mau mengakui berlakunya Pasal 3
Konvensi Jenewa, karena kekhawatiran bahwa
mereka dengan demikian akan mengakui
kendali mereka yang berkurang atas wilayah
mereka45 dan terutama karena ketakutan
41 Dewan Keamanan PBB 2013, Resolusi 2106 (2013), UN Doc S/RES/2106 (2013), 24 Juni 2013, preambul paragraf 13; Dewan Keamanan PBB 2012, Resolusi 2068 (2012), UN Doc S/RES/2068 (2012), 19 September 2012, preambul paragraf 3. 42 Pertahanan Nasional Kanada, Manual doktrin gabungan: hukum konflik bersenjata pada tingkat operasional dan taktis, (Kantor Hakim Advokat Jenderal, B-GJ-005-104 / FP-021, 13 Agustus 2001), Bab. 17. 43United Kingdom Ministry of Defence, The manual of the law of armed conflict, 2005, paragraf 3.5 dan 3.9. 44 ICTR Akayesu 1998, Jaksa v. Akayesu, No. Kasus ICTR-96-4-T, 2 September 1998, paragraf 603; Vote on Protocol II 1978, Brazil, VII, Catatan resmi konferensi diplomatik tentang penegasan kembali dan pengembangan hukum
bahwa mereka dengan demikian akan
memberikan status sebagai pejuang non-
negara. Walaupun demikian, suatu negara
dapat saja tidak bersedia mengakui penerapan
Pasal 3 Konvensi Jenewa, namun sering kali
pada kenyataannya ketentuan tersebut
diterapkan.46 Sebaliknya, mereka tidak
menerapkan aturan de facto Protokol
Tambahan II. Praktik karenanya menunjukkan
bahwa negara membedakan konflik antara
Protokol Tambahan II dan Pasal 3 Konvensi
Jenewa.
Untuk menunjukkan opinio juris harus
ditunjukkan bahwa negara pada umumnya
mengakui bahwa ada kewajiban hukum dan
bukan hanya moral dan politik dalam sikap
mereka. Mereka juga harus percaya bahwa
praktik ini wajib dan diselesaikan.47 Mahkamah
Konstitusi Rusia48 juga menunjukkan bahwa
negara-negara tertentu yakin mereka harus
humaniter internasional yang berlaku dalam konflik bersenjata, Jenewa, 1974–1977, Departemen Politik Federal, Bern, 1978, Annex, 76. 45 Tskhovrebov, “An unfolding case of genocide: Chechnya, world order and the ‘right to be left alone”, Nordic Journal of International Law, 64:501, 1995. 46 United Kingdom Ministry of Defence, op.cit., paragraf 3.6.1. 47 Kasus Landas Kontinen Laut Utara (Republik Federal Jerman / Denmark dan Republik Federal Jerman / Belanda), [1969] ICJ Rep 3, 20 Februari 1969. 48 Henckaerts, “Study on customary international humanitarian law: a contribution to the understanding and respect for the rule of law in armed conflict”, International Review of the Red Cross, 857:175, 2005, 8.
13
memutuskan penerapan Pasal 3 Konvensi
Jenewa atau Additional Protocol II dan tidak
bisa begitu saja menentukan suatu konflik
sebagai konflik bersenjata non-internasional;
mereka harus menentukan karakterisasi yang
tepat dari konflik bersenjata. Sikap pemerintah
Kolombia untuk menerapkan Protokol
Tambahan II dalam konfliknya dengan FARC
juga menggambarkan hal tersebut.49 Dengan
kata lain, dalam konflik di mana Protokol
Tambahan II secara nyata dapat diterapkan,
negara-negara mengakui penerapannya dan
tidak menghindari mencirikan konflik demikian
dan menerapkan standar yang lebih tinggi yang
ditentukan dalam Protokol Tambahan II.
Meskipun demikian, aturan itu
ditujukan dalam rangka mencapai perdamaian
dan keamanan internasional atau untuk
perlindungan pribadi manusia, asalkan tidak
ada opinio juris penting yang bertentangan.50
Meskipun penafsiran hukum kebiasaan
internasional ini mungkin menarik bagi para ahli
hukum yang berpikir dalam kerangka
bagaimana hukum seharusnya dan mereka
49 Wilmhurst E (ed), International law and the classification of conflicts, (Oxford: Oxford University Press, 2012), 240. 50 Henckaerts and Doswald-Beck (eds), Customary international humanitarian law, vol 1, (Cambridge: Cambridge University Press, 2005), xlii.
yang percaya bahwa urgensi kontemporer umat
manusia memerlukan penggunaan hukum yang
disengaja sebagai instrumen kebijakan,51 itu
tidak memenuhi kriteria hukum internasional
klasik, bahkan yang berkaitan dengan hak asasi
manusia dan norma-norma kemanusiaan.
Sebaliknya, dalam situasi di mana praktik
bersifat ambigu maka opinio juris berperan
penting dalam menentukan apakah praktik
tersebut diperhitungkan dalam pembentukan
suatu kebiasaan.52 Akibatnya, ada dua
perangkat aturan yang mengatur konflik
bersenjata non-internasional, baik berdasarkan
atau terkait dengan aturan perjanjian.
Walaupun terdapat ambang batas
minimum, namun perlu diperhatikan bahwa
praktik negara sejak 1949 menunjukkan bahwa
kekerasan yang disesbut dengan akivitas
premanisme, tindakan kriminal dan kerusuhan,
atau atau tindakan-tindakan sejenis lainnya
yang bersifat sporadis serta tindakan terorisme
tidaklah sama dengan konflik bersenjata.53
Meskipun Pasal 3 Konvensi Jenewa tidak secara
khusus mengacu pada ambang batas minimum
51 Lasswell and McDougal, Jurisprudence for a free society, (New Haven: New Haven Press, 1992), xxii. 52 Henckaerts, op.cit., 8. 53 United Kingdom Ministry of Defence, op.cit., paragraf 3.5.1.
14
penerapan dan meskipun common Article 3
bersifat otonom dalam kaitannya dengan
Protokol Tambahan II, ambang batas minimum
yang diuraikan dalam Protokol Tambahan II
juga berlaku untuk common Articles 3. Dalam
beberapa kasus, negara telah mengakui bahwa
expressis verbis dapat diterapkannya common
Articles 3 tetapi tampaknya hanya terjadi ketika
konflik berlarut-larut lebih dari beberapa
minggu dan bulan.54
Jurisprudensi Pengadilan Kriminal Internasional
Meskipun yurisprudensi pengadilan
pidana internasional hanya dihitung sebagai
sumber tambahan dari hukum internasional, hal
ini penting karena mungkin menunjuk pada
bukti persuasif yang ada tentang hukum
kebiasaan. Disamping itu sifat preseden suatu
keputusan pengadilan internasional juga dapat
berkontribusi terhadap munculnya aturan
kebiasaan internasional dengan mempengaruhi
praktik negara dan organisasi internasional.55
Oleh karena itu, dengan memeriksa tidak hanya
yurisprudensi pengadilan ad hoc tetapi juga
54 Bond JE, The rules of riot: internal conflict and the law of war, (Princeton: Princeton University Press, 1974), 60; Forsythe, “Legal management of internal war: the 1977 protocol on non-international armed conflicts”, American Journal of International Law, 1978, 277.
pengadilan pidana internasional permanen,
harus diteliti apakah putusan-putusan tersebut
hanya menyatakan kembali hukum,
menambahkan bukti kebiasaan dari suatu
aturan tertentu atau melampaui aturan itu
sehingga mendorong terciptanya norma baru.
Pengadilan Kriminal Internasional untuk
bekas Yugoslavia (ICTY)
Terlepas dari kenyataan bahwa Statuta
Pengadilan Kriminal Internasional untuk bekas
Yugoslavia (ICTY) tidak secara tegas merujuk
pada konflik bersenjata non-internasional,
Pasal 3 Statuta ICTY menetapkan yurisdiksi
atas kejahatan yang dilakukan dalam konflik
semacam itu.56 Dalam hal ini, tampaknya ICTY
hanya mengetahui satu ambang konflik
bersenjata non-internasional. Memang,
sementara keputusan Kasus Tadic yang
terkenal mengacu pada kejahatan common
Articles 3, ICTY dalam banyak kesempatan
telah menerapkan kejahatan yang berasal dari
Protokol Tambahan II57 namun gagal
membahas ambang penerapan Protokol
Tambahan II. Secara teknis, sesuai dengan
55 Henckaerts, op.cit., 5. 56 Kasus Tadic, 1995, paragraf 93. 57 Jaksa Penuntut v. Nikolic, Kasus No IT-95-2-R61.
15
hukum perjanjian, mahkamah ICTY seharusnya
memverifikasi bahwa konflik tersebut berada
dalam kewenangan Protokol Tambahan II.
Kasus Tadic menciptakan batu uji yang
sangat penting dalam menentukan keberadaan
konflik bersenjata, terlepas dari jenis
internasional atau non-internasionalnya.
Berdasarkan putusan Tadic disebutkan bahwa
konflik bersenjata terjadi antara angkatan
bersenjata antar negara atau kekerasan
bersenjata yang berlarut-larut antara otoritas
pemerintah dan kelompok bersenjata yang
terorganisir atau antara kelompok-kelompok
semacam itu dalam suatu negara.58 Tes objektif
dalam kasus ini adalah terdapatnya dua
persyaratan, yakni derajat intensitas konflik dan
organisasi dari para pihak.59 Namun ICTY dalam
Kasus Boskoski mencatat bahwa elemen
temporal dari sifat konflik yang 'berlarut-larut'
pada kenyataannya kurang mendapat banyak
perhatian dalam yurisprudensi Pengadilan.60
58ICTY, Kasus Tadic, paragraf 70. 59 ICTY Limaj, Prosecutor v. Limaj et al. Kasus No IT-03-66-T, 30 November 2005, paragraf 84; Prosecutor v. Haradinaj et al., Kasus No IT-04-84-T, 3 April 2008, paragraf 39–60. 60 ICTY Boskoski dan Tarculovski 2008, Prosecutor v. Boskoski dan Tarculovski, Kasus No IT04-82-T, 10 Juli 2008, paragraf 186. 61 Komite Internasional Palang Merah, Kertas Kerja, 29 Juni 1999.
Seperti yang dicatat oleh Sidang
Pengadilan ICTY pada Kasus Limaj, komentar
Komite Internasional Palang Merah tentang
Elemen Kejahatan ICC, dinyatakan bahwa: 61
“Penentuan apakah ada tidaknya konflik bersenjata non-internasional bergantung
pada penilaian subjektif dari para pihak yang bertikai; itu harus ditentukan
berdasarkan kriteria obyektif; istilah 'konflik
bersenjata' membutuhkan adanya permusuhan antara angkatan bersenjata
yang terorganisir pada tingkat yang lebih besar atau lebih kecil; harus ada angkatan
bersenjata yang bermusuhan dan dalam
intensitas pertempuran tertentu”.
Putusan mahkamah internasional telah
berhasil menentukan serangkaian faktor
indikatif untuk memastikan intensitas konflik
dan organisasi para pihak.62 Meskipun
demikian, Mahkamah ICTY selalu menekankan
bahwa tidak ada dari faktor-faktor ini yang lebih
penting dalam memutuskan adanya konflik
bersenjata. Menurut Akande, hal tersebut
bukanlah faktor minimum yang harus ada
melainkan lebih menekankan pada indikator
organisasi.63
62 Berkenaan dengan intensitas konflik, lihat ICTY Haradinaj 2008, paragraf 49 dan ICTY Boskoski dan Tarculovski 2008, paragraf 177; dan organisasi para pihak, lihat ICTY Haradinaj 2008, paragraf 60 dan ICTY Boskoski dan Tarculovski, 2008, paragraf 199–203. 63 Akande, “Classification of armed conflicts: relevant legal concepts” in Wilmhurst E (ed), International law and the classification of conflicts, (Oxford: Oxford University Press, 2012), 52.
16
Menariknya, Mahkamah ICTY
menyoroti bahwa berdasarkan Kasus Tadic
yang mengatur penerapan Pasal 3 Statuta,64
maka hanya perlu membuktikan bahwa ada
konflik bersenjata berbeda dari tindak
kekerasan pada umumnya di luar HHI.65
Sementara dalam Kasus Limaj:
“Dua syarat penentu dari konflik
bersenjata, yakni intensitas konflik dan
tingkat organisasi para pihak, digunakan
semata-mata hanya untuk tujuan atau
setidaknya agar dapat membedakan konflik
bersenjata dari tindakan premanisme;
pemberontakan yang tidak terorganisir dan
berlangsung singkat; atau kegiatan teroris,
yang tidak tunduk pada HHI".66
Dalam Kasus Haradinaj, Pengadilan
menyatakan kembali bahwa persyaratan
tersebut berfungsi untuk membedakan konflik
bersenjata non-internasional dari tindakan
premanisne, kerusuhan, tindakan terorisme
yang terisolasi, atau situasi kekerasan lainnya
yang sejenis.67
Dalam kasus Limaj, pembela
menentang pendekatan Pengadilan, dengan
64 Boelaert-Suominen, “Grave breaches, universal jurisdiction and internal armed conflict: is customary law moving towards a uniform enforcement mechanism for all armed conflicts?”, Journal of Conflict Security Law, 5:63, 2000, 75. 65 Bartels, “Timelines, borderlines and conflicts. The historical evolution of the legal divide between international and non-international armed conflicts”, International Review of the Red Cross, 873:35, 2009, 38. 66 ICTY Limaj, paragraf 89; ICTY Delalic et al. 1998, Prosecutor v. Delalic et al., Kasus No IT-96-21-T, 16 November 1998, paragraf 184; ICTY Kordic dan Cerkez 2004, Jaksa v. Kordic dan Cerkez, Kasus No IT-95-14 / 2-
alasan bahwa Sidang Pengadilan harus
menerapkan pengujian yang lebih ketat dari
Pasal 1 Protokol Tambahan II.68 Sayangnya,
argumen Sidang Pengadilan tidak meyakinkan
karena hanya menegaskan kembali posisi yang
perlu dibuktikan bahwa ambang batas
minimum telah dicapai dan bahwa sifat konflik
bersenjata tidak relevan dengan penerapan
Pasal 3 Statuta.69 Mahkamah juga menegaskan
berdasarkan kasus-hukum sebelumnya70
bahwa pelanggaran common Articles 3
termasuk dalam ruang lingkup Pasal 3
Statuta.71 Namun demikian, perlu dicatat
bahwa Kasus Limaj hanya menangani
kejahatan common Articles 3 dan bukan
kejahatan Protokol Tambahan II sehingga tidak
ada alasan kuat untuk menjamin pemeriksaan
ambang penerapan Protokol Tambahan II.
Faktanya dalam banyak kasus di mana ICTY
membahas uji penerapan, ia dihadapkan
dengan dakwaan yang berasal langsung dari
A, Sidang Banding, 17 Desember 2004, paragraf 341; ICTY Milosevic 2004, paragraf 26. 67 ICTY Haradinaj, paragraf 38. 68 ICTY Limaj, paragraf 88. 69 ICTY Limaj, paragraf 92. 70 ICTY Delalic et al. 2001, Jaksa v. Delalic et al., Kasus IT-96-21-A, Putusan Banding, 20 Februari 2001, paragraf 136 dan ICTY Kunarac et al. 2002, Jaksa v. Kunarac, Kovac dan Vukovic, Kasus IT-96-23 & IT-96-23 / 1-A, Putusan Banding, 12 Juni 2002, paragraf 68. 71 ICTY Limaj, paragraf 176; ICTY Kunarac et.al. 2002, paragraf 68.
17
common Articles 3 dan bukan dari Protokol
Tambahan II misalnya hukuman kolektif,
tindakan terorisme, penjarahan atau ancaman
untuk melakukan tindakan selanjutnya.
Sayangnya ICTY tidak membahas hal
tersebut dalam kasus-kasus di mana secara
langsung diterapkan kejahatan Protokol
Tambahan II. Misalnya, dalam kasus di mana
Pengadilan harus menangani dakwaan yang
berasal dari Pasal 4 AP II, pengadilan
menemukan siasat hukum untuk menghindari
pembahasan tentang penerapan Protokol
Tambahan II dan menyatakan bahwa satu-
satunya dakwaan yang tidak termasuk dalam
common Articles 3 Konvensi Jenewa berkenaan
dengan larangan perampasan hak milik pribadi
tetapi hal itu secara khusus disebutkan dalam
Pasal 3 (e) Statuta.72 Dalam Kasus
Hadzihasanovic, Pengadilan berpendapat
bahwa Pasal 3 Statuta ICTY cukup luas untuk
memberikan yurisdiksi atas kejahatan lain.73
Sebagai hasilnya, hal itu menunjukkan bahwa
perusakan sewenang-wenang serta penjarahan
dapat dituntut berdasarkan Pasal 3 ayat (b) dan
72 ICTY Nikolic 1995, paragraf 31. 73 ICTY Hahdzihasanovic dan Kubura 2005, Prosecutor v. Hadzihasanovic dan Kubura, Kasus No IT-01-47-AR3.3, Putusan Banding Sela Pembelaan Bersama Putusan Sidang Pengadilan tentang Aturan 98bis Mosi untuk Acquittal,
3 ayat (e), dari Statuta ICTY meskipun
ketentuan itu tidak disebutkan dalam common
Articles 3 meskipun dilarang menurut Protokol
Tambahan II dan hukum kebiasaan
internasional.74
Dalam kasus Milosevic, Pengadilan
Chamber dengan berani menyatakan bahwa
'tes Tadic konsisten dengan Protokol Tambahan
II untuk Empat Konvensi Jenewa', namun hal
itu mengisyaratkan bahwa ambang penerapan
Protokol Tambahan II lebih tinggi karena
menolak pengawasan wilayah tersebut
(sebagai) persyaratan untuk adanya konflik
bersenjata.75 Kemudian, dalam Kasus Boskoski,
ICTY membedakan antara ambang penerapan
Protokol Tambahan II dan common Articles 3,
dengan menekankan bahwa ini berkaitan
dengan tingkat organisasi kelompok
bersenjata:
“Protokol Tambahan II membutuhkan
standar yang lebih tinggi dibandingkan dengan common Articles 3 dalam hal
keberadaan suatu konflik bersenjata. Oleh
karena itu, tingkat organisasi yang diperlukan untuk terlibat dalam ''kekerasan
yang berkepanjangan'' lebih rendah daripada tingkat organisasi yang diperlukan
untuk melakukan ''operasi militer yang
berkelanjutan dan terpadu “.76
Sidang Banding, 11 Maret 2005, para 14 (selanjutnya ICTY Hahdzihasanovic dan Kubura 2005). 74 ICTY Hahdzihasanovic dan Kubura 2005, paragraf 29 and 37. 75 ICTY Milosevic 2004, paragraf 36. 76 ICTY Boskoski dan Tarculovski 2008, paragraf 197.
18
Dengan demikian ICTY tidak diragukan lagi
menyadari bahwa ambang batas penerapan
Protokol Tambahan II lebih tinggi dibandingkan
dengan Pasal 3 Konvensi Jenewa.
Kesimpulannya, ICTY tampaknya mendukung
satu definisi dalam hal uji penerapan konflik
bersenjata non-internasional, yang ditentukan
oleh Statuta. Meski begitu, tes yang ditetapkan
dalam Kasus Tadic tampaknya lebih rendah
daripada yang diuraikan dalam Komentar ICRC.
Akibatnya, Boelaert-Suominen
menjelaskan bahwa ambang batas yang
disarankan dalam Komentar ICRC telah gagal
mengkristal menjadi hukum kebiasaan
internasional. Secara khusus, tidak ada
persyaratan dalam penilaian Mahkamah ICTY
bahwa entitas non-negara harus melakukan
kontrol atas sebagian wilayah, atau angkatan
bersenjata tersebut memiliki komando yang
bertanggung jawab77 atau bersedia untuk
menghormati hukum dan kebiasaan perang.78
Tidak diragukan lagi yurisprudensi ICTY telah
menurunkan ambang batas penerapan
common Article 3.
77 Boelaert-Suominen, “The Yugoslav tribunal and the common core of humanitarian law applicable to all armed conflicts”, Leiden Journal of International Law, 13:619, 633–634. 78 Tahzib-Lie and Swaak-Goldman, Op.Cit., 250–251.
Pengadilan Kriminal Internasional untuk
Rwanda (ICTR).
Inovasi terbesar dalam hal hukum
pidana internasional yang berkaitan dengan
konflik bersenjata non-internasional adalah
dimasukkannya dalam Pasal 4 Statuta
Mahkamah Pidana Internasional untuk Rwanda
(ICTR) tentang kejahatan yang berasal dari
common Article 3 Konvensi Jenewa dan Pasal 4
Protokol Tambahan II. Khususnya tiga
rangkaian kejahatan yang berasal dari Protokol
Tambahan II dan tidak ditemukan dalam
common Article 3.79 Karena kejahatan yang
ditentukan tidak semua kejahatan yang berasal
dari common Article 3, maka penerapan dan
ambang batas dari dua perjanjian khusus, jadi
tampaknya, menjadi yang paling penting.
Sejauh menyangkut masalah ambang
batas, ICTR telah menerapkan 'uji evaluasi'
untuk menentukan apakah ada konflik
bersenjata non-internasional, yang
bertentangan dengan konflik bersenjata
internasional,80 dan apakah ada konflik
bersenjata yang bertentangan dengan
79 Ini adalah kasus hukuman kolektif, tindakan terorisme, penjarahan dan ancaman untuk melakukan tindakan yang akan dilakukan. Pasal 4 (b) (d) (h) dan (g) AP II. 80 ICTR Musema 2000, Prosecutor v. Musema, Kasus No ICTR-96-13-T, Putusan, 27 Januari 2000, paragraf 247.
19
gangguan internal (internal disturbances).81
Berdasarkan pengujian ini, Pengadilan harus
menilai intensitas dan organisasi pihak-pihak
yang berkonflik.82 Sama halnya dengan ICTY,
ICTR menggunakan pengujian ini untuk
mengesampingkan kekerasan yang hanya
merupakan tindakan premanisme, gangguan
dan ketegangan internal, atau pemberontakan
yang tidak terorganisir dari penerapan
Statuta.83
Berkenaan dengan hubungan antara
Protokol Tambahan II dan common Article 3
Konvensi Jenewa, Pengadilan mengadopsi
pandangan bahwa Protokol Tambahan II
mengembangkan dan melengkapi ketentuan
yang diatur dalam common Article 3 Konvensi
Jenewa.84 Sidang Pengadilan dalam Kasus
Akayesu mencatat perbedaan ambang batas
antara Protokol Tambahan II dan common
Article 3 dan mempertimbangkan secara
terpisah konvensi mana yang diterapkan.85
81 ICTR Akayesu 1998, paragraf 601; ICTR Musema 2000, paragraf 248. 82 ICTR Akayesu 1998, paragraf 620; ICTR Musema 2000, paragraf 250; ICTR Rutaganda 1999, Prosecutor v. Rutaganda, Kasus No ICTR-96-3-T, Putusan, Sidang Pengadilan, 6 Desember 1999, paragraf 93 (selanjutnya ICTR Rutaganda 1999); ICTR Baglishema 2001, Prosecutor v. Baglishema, Kasus No ICTR-95-1A-T, Putusan, Sidang Pengadilan, 7 Juni 2001, paragraph 101 [selanjutnya ICTR Baglishema 2001]. 83 ICTR Akayesu 1998, paragraf 620.
Pengadilan dengan jelas menetapkan bahwa
jika suatu pelanggaran didakwa berdasarkan
common Article 3 dan Protokol Tambahan II,
maka tidak akan cukup hanya dengan
menerapkan Pasal 3 dan mengambil untuk
diberikan pada Pasal 4 Statuta, oleh karena itu
Protokol Tambahan II, secara otomatis
berlaku.86 Dinyatakan bahwa kedua standar
tersebut diterapkan pada konflik yang
bersangkutan.
Pendekatan berbeda dalam kasus
Akayesu yang diadopsi dalam Kasus Kayishema
dan Ruzindana, karena dengan menyatakan
bahwa “konflik bersenjata yang terjadi di
wilayah Pihak Peserta Agung antara angkatan
bersenjatanya dan angkatan bersenjata
pembangkang atau kelompok bersenjata
terorganisir lainnya sesuai dengan Protokol II,
harus dianggap sebagai konflik bersenjata non-
internasional”.87 Mahkamah ICTR tampaknya
mencantumkan sebagian besar elemen dari
84 ICTR Kayishema dan Ruzindana 1999, Prosecutor v. Kayishema dan Ruzindana, Kasus No ICTR-95-1-T, Putusan, Sidang Pengadilan, 21 Mei 1999, paragraf 170 (selanjutnya ICTR Kayishema dan Ruzindana 1999]; ICTR Musema 2000, paragraf 252. 85 ICTR Akayesu 1998, paragraf 607. Seperti yang dicatat Cullen, 'Sidang Pengadilan ICTR merasa perlu untuk menetapkan penerapan Common Article 3 dan Protokol Tambahan II secara individual'. Cullen 2010, hal. 133. 86 ICTR Akayesu 1998, paragraf 607 dan 618. LIhata juga ICTR Musema 2000, paragraf 252. 87 ICTR Kayishema dan Ruzindana 1999, paragraf 170.
20
definisi dalam Kasus Tadic tentang konflik
bersenjata yang mengacu pada Protokol
Tambahan II. Hal ini sebenarnya berarti bahwa
Makamah menganggap common Article 3 dan
Protokol Tambahan II harus dipenuhi secara
bersama-sama. Memang, dalam Kasus
Rutaganda, Jaksa Penuntut harus membuktikan
bahwa telah terjadi konflik bersenjata internal
di wilayah Rwanda yang setidak-tidaknya
memenuhi persyaratan materiil Protokol
Tambahan II, karena persyaratan ini termasuk
dalam common Article 3.88 Temuan ini
dikonfirmasi dalam Kasus Baglishema yang
menyatakan bahwa jika ambang penerapan
yang lebih tinggi dari Protokol Tambahan II
dipenuhi, maka persyaratan material untuk
penerapan ipso facto memenuhi persyaratan
common Article 3.89 Hal ini tidak diragukan lagi
mendukung penerapan kedua standar tersebut
secara simultan ketika persyaratan yang lebih
ketat yang ditetapkan dalam Protokol
Tambahan II terpenuhi. Namun, ini tampaknya
tidak mencakup situasi yang kurang dari
ambang batas Protokol Tambahan II tetapi
mungkin dicakup oleh common Article 3.
88 ICTR Rutaganda 1999, paragraf 435. 89 ICTR Baglishema 2001, paragraf 100. Lihat juga ICTR Rutaganda 1999, paragraf 94.
Tampak sepintas lalu bahwa
Mahkamah ICTR hanya menerapkan satu
standar yang dapat diterapkan, yaitu standar
Protokol Tambahan II, tetapi ini disebabkan
oleh fakta bahwa konflik di Rwanda adalah
konflik Protokol Tambahan II dan oleh karena
itu tidak perlu menilai situasi yang semata-mata
berada dalam kewenangan penerapan common
Article 3. Selanjutnya, Pasal 4 ICTR secara
khusus mengacu pada pelanggaran common
Article 3 pada Konvensi Jenewa dan Protokol
Tambahan II yang membuat Pengadilan
meyakini bahwa kedua ambang batas harus
dipenuhi.90 Dalam hal ini, ICTR telah
mengidentifikasi empat persyaratan yang harus
dipenuhi: (i) konflik bersenjata antara angkatan
bersenjata Pihak Peserta Agung dan angkatan
bersenjata pembangkang atau kelompok
bersenjata terorganisir lainnya; (ii) pasukan
pembangkang berada di bawah komando yang
bertanggung jawab; (iii) pasukan
pembangkang dapat melakukan kontrol atas
sebagian wilayah untuk melakukan operasi
militer yang berkelanjutan dan terpadu dan (iv)
90 ICTR Musema 2000, paragraf 245.
21
pasukan pembangkang mampu melaksanakan
Protokol Tambahan II.91
Persyaratan pertama dipenuhi dengan
kehadiran angkatan bersenjata negara yang
dipahami dalam arti luas, sehingga mencakup
semua angkatan bersenjata seperti yang
dijelaskan dalam legislasi nasional92 dan
kehadiran kelompok oposisi bersenjata. Adapun
persyaratan kedua, yaitu perintah yang
bertanggung jawab, terkait erat dengan (i)
seberapa terorganisir kelompok bersenjata itu,
(ii) kemampuan untuk melaksanakan operasi
militer yang berkelanjutan dan terpadu dan (iii)
kemampuan untuk memastikan pelaksanaan
hukum humaniter internasional.
Memang, Mahkamah ICTR
menjelaskan dalam Kasus Musema bahwa
angkatan bersenjata pembangkang atau
kelompok bersenjata lainnya tidak perlu benar-
benar terlihat secara hierarki sebagai struktur
militer yang formal,93 namun harus ada suatu
tingkat organisasi yang mampu untuk
merencanakan dan melaksanakan operasi
militer secara berkesinambungan dan terpadu;
91 ICTR Akayesu 1998, paragraf 619, 623; ICTR Rutaganda 1999, paragraf 95; ICTR Baglishema 2001, paragraf 100; ICTR Kayishema dan Ruzindana 1999, paragraf 171. 92 ICTR Akayesu 1998, paragraf 625; ICTR Musema 2000, paragraf 256.
operasi yang berlanjut secara terus menerus
dan dilakukan sesuai dengan yang
direncanakan, serta mampu memaksakan
disiplin atas nama otoritas de facto.94
Namun, Mahkamah tidak berhenti
hanya sampai persyaratan tersebut karena
juga menekankan angkatan bersenjata
tersebut harus mampu mendominasi sebagian
wilayah yang cukup untuk mempertahankan
operasi militer yang berkelanjutan dan terpadu
dan untuk menerapkan Protokol Tambahan II.
Intinya, operasi harus berkesinambungan dan
terencana. Wilayah yang mereka kendalikan
biasanya yang menjadi wilayah yang terlepas
dari kendali pasukan pemerintah.
Seperti disebutkan oleh Vité, kriteria
pembeda konflik bersenjata antara Protokol
Tambahan II dan common Article 3 adalah
suatu fakta bahwa kelompok oposisi bersenjata
telah menguasai wilayah.95 Kriteria yang
membantu memastikan kemampuan kelompok
bersenjata melaksanakan operasi militer yang
berkelanjutan dan terpadu dalam Protokol
Tambahan II ini yang berbeda dengan common
93 ICTR Musema, paragraf 257-258. 94 Ibid., paragraf 257; ICTR Akayesu, paragraf 626. 95 Vité, 2009op.cit., hal. 79.
22
Article 3, ditegaskan dan digarisbawahi kembali
dalam yurisprudensi Mahkamah ICTR.
Pengadilan Khusus untuk Sierra Leone
(SCSL)
Ketentuan kejahatan perang dalam
Statuta Pengadilan Khusus untuk Sierra Leone
(SCSL),96 berasal dari common Article 3 dan
Pasal 4 Protokol Tambahan II. Seperti yang
telah disebutkan dalam bagian sebelumnya,
maka hukuman kolektif, tindakan terorisme,
penjarahan dan ancaman untuk melakukan
tindakan tersebut terdapat dalam Pasal 4
Protokol Tambahan II. Tiga pelanggaran
pertama telah diimplementasikan dalam semua
kasus di hadapan SCSL. Sebaliknya, Mahkamah
ICTR dan ICTY lebih enggan menuntut
kejahatan yang berasal langsung dan semata-
mata dari Protokol Tambahan II. Oleh karena
itu, kasus-kasus yang diadili dalam Mahkamah
SCSL berpotensi menambah klarifikasi pada
standar penerapan yang digunakan.
Sayangnya, SCSL menambahkan
yurisprudensi yang lebih meragukan
96 Statuta Pengadilan Khusus untuk Sierra Leone. (Statute of the Special Court for Sierra Leone). 97 SCSL Fofana 2004, Prosecutor v. Fofana, Kasus No SCSL-04-14-PT-101, Keputusan tentang Mosi Awal tentang Kurangnya Yurisdiksi Materiae: Sifat dari Konflik Bersenjata, Sidang Banding, 25 Mei 2004, paragraf 25.
sebagaimana terlihat dalam Sidang Banding
SCSL dalam Kasus Fofana yang menerapkan uji
penerapan yang lebih luas, dimana dinyatakan
bahwa sehubungan dengan Pasal 3 Statuta
SCSL maka Mahkamah hanya perlu diyakinkan
bahwa ada konflik bersenjata serta dugaan
pelanggaran terkait dengan konflik
bersenjata.97 SCSL juga memberikan
penjelasan tentang interpretasinya, sebagai
berikut:
“Telah diamati bahwa meskipun aturan
yang berlaku dalam konflik bersenjata
internal masih tertinggal dari hukum yang
berlaku dalam konflik internasional,
pembentukan dan hasil Pengadilan Ad hoc
telah memberikan kontribusi yang
signifikan untuk mengurangi perbedaan
antara dua jenis konflik. Perbedaan
tersebut tidak lagi memiliki relevansi yang
besar dalam kaitannya dengan kejahatan
yang dimaksud dalam Pasal 3 Statuta
karena kejahatan tersebut dilarang di
dalam semua jenis konflik bersenjata”.98
Namun demikian, Mahkamah ICTY
tetap memegang prinsip bahwa harus terdapat
standar minimum yang harus ada agar suatu
situasi dapat digambarkan sebagai konflik
bersenjata.99 Dalam hal ini, SCSL menegaskan
kembali definisi dari Kasus Tadic tentang konflik
98 Ibid., paragraf 25; Prosecutor v. Brima et al. Kasus No SCSL-04-16-T, Putusan, Sidang Pengadilan, 20 Juni 2007, paragraf 243; Prosecutor v. Taylor, Kasus No SCSL-03-01-T, Putusan, Sidang Pengadilan, 18 Mei 2012, paragraf 563. 99 Ibid., paragraf 23; Kasus No SCSL-04-14-T, Sidang Pengadilan, 2 Augustus 2007, paragraf 123); SCSL Brima et al., paragraf 243–244.
23
bersenjata dan menggunakan kriteria yang
sama, yaitu tingkat intensitas konflik dan
pengorganisasian para pihak.100 Kriteria
tersebut penting untuk membedakan konflik
bersenjata dari tindakan lain yang tidak
termasuk dalam lingkup hukum humaniter
internasional.101
Namun, pernyataan seperti itu
tampaknya merupakan terobosan baru.
Memang konflik di Sierra Leone terjadi hanya
dua tahun setelah konflik di Rwanda, namun
sementara ICTR menilai penerapan Protokol
Tambahan II, SCSL tampaknya tidak merasa
berkewajiban untuk melakukannya. Ini lebih
mengejutkan karena baik Pasal 3 Statuta ICTR
dan Pasal 3 Statuta SCSL mengacu pada
pelanggaran common Article 3 dan Protokol
Tambahan II. SCSL juga menganalisis posisi
ICTR, dengan mengakui bahwa ICTR
memahami yurisdiksinya dalam kaitannya
dengan konflik bersenjata non-internasional
yang harus dipastikan ketika persyaratan yang
ditetapkan dalam Protokol Tambahan II
dipenuhi. Namun, setelah meninjau
yurisprudensi ICTY dan ICTR, Sidang Banding
100 SCSL Fofana dan Kondewa, paragraf 124; SCSL Brima et al., paragraf 243–244; SCSL Taylor, paragraf 563–564. 101 Ibid., paragraf 124; SCSL Taylor, paragraf 564.
SCSL menjelaskan bahwa kejahatan yang
dijabarkan dalam Pasal 3 Statuta bersifat
kebiasaan dan karena perbedaan antara konflik
bersenjata internasional dan non-internasional
menjadi tidak lagi relevan dengan kejahatan
yang disebutkan dalam Pasal 3 Statuta.102
Pengadilan hanya perlu yakin bahwa ada suatu
konflik bersenjata.103 Akibatnya, SCSL
menganggap bahwa perbedaan antara konflik
bersenjata internasional dan non-internasional
tidak relevan dengan kejahatan yang tercantum
dalam Pasal 3 Statuta, perbedaan antara kedua
jenis konflik bersenjata non-internasional juga
tidak relevan.
Meskipun demikian, SCSL telah
memeriksa apakah konflik termasuk dalam
lingkup Protokol Tambahan II. Dalam kasus
Fofana, Pengadilan menjabarkan kriteria klasik
untuk penerapan Protokol Tambahan II,
menekankan bahwa konflik Protokol Tambahan
II secara otomatis memenuhi kriteria untuk
penerapan Common Article 3. Namun, dalam
penerapan hukum, Pengadilan tidak mengacu
102 SCSL Fofana, paragraf 20 dan 25. 103 SCSL Brima et al., paragraf 251.
24
pada Protokol Tambahan II.104 Dalam Kasus
Sesay, Sidang Pengadilan merasa perlu untuk
menyelidiki penerapan Protokol Tambahan II
karena tiga dakwaan yang dibebankan oleh
Jaksa Penuntut, yakni hukuman kolektif,
tindakan terorisme dan penjarahan, hanya
ditemukan dalam Protokol Tambahan II.
Meskipun menjelaskan tiga kriteria komando
yang bertanggung jawab, penguasaan atas
wilayah (dikombinasikan dengan kemampuan
untuk melakukan operasi militer yang
berkelanjutan dan terpadu) serta implementasi
dari Protokol Tambahan II hanya berfokus pada
dua kriteria pertama dan mengabaikan yang
terakhir.105 Dengan perkataan lain, meskipun
ketentuan Statuta SCSL terkait kejahatan yang
dilakukan dalam konflik bersenjata non-
internasional serupa dengan kejahatan yang
terdapat dalam Statua Mahkamah ICTR, namun
SCSL telah mengadopsi pendekatan ICTY, yaitu
hanya perlu dipastikan bahwa ada konflik
bersenjata.
Pengadilan Kriminal Internasional (ICC)
104 SCSL Fofana dan Kondewa, paragraf 126-127 dan 695–700.
Statuta Roma tentang Pengadilan
Kriminal Internasional dan putusan-putusan
yang telah dihasilkan dalam ICC perlu dicermati
untuk menjawab pertanyaan apakah ada dua
atau hanya satu jenis konflik bersenjata non-
internasional. Dua norma dalam Statuta ICC
yang terkait dengan konflik bersenjata non-
internasional, yaitu: Pertama, Pasal 8 ayat
(2)(c) yang menyebutkan adanya suatu
kejahatan perang dari terjadinya pelanggaran
serius terhadap common Article 3 jika
pelanggaran tersebut dilakukan terhadap orang
yang tidak aktif dalam suatu pertempuran. Ini
berlaku untuk konflik bersenjata yang tidak
bersifat internasional dan dengan demikian
tidak berlaku untuk situasi gangguan dan
ketegangan internal, seperti kerusuhan,
tindakan kekerasan yang terisolasi dan sporadis
atau tindakan lain yang serupa.106 Kedua, Pasal
8 ayat (2)(e) Statuta Roma, yang menyebutkan
terjadinya kejahatan perang untuk pelanggaran
serius lainnya terhadap hukum dan kebiasaan
yang berlaku dalam konflik bersenjata non-
internasional (yang mirip dengan Pasal 4
105 SCSL Sesay et al., Prosecutor v. Sesay et al., Kasus No SCSL-04-15-T, Putusan, Sidang Pengadilan, 2 Maret 2009, paragraf 966, 978–981. 106 Pasal 8(2)(d) Statuta Roma.
25
Statuta SCSL) menambahkan persyaratan
tambahan (ditetapkan dalam Pasal 8 ayat (2)(f)
Statuta Roma) sedemikian rupa sehingga ini
hanya berlaku dalam konflik bersenjata yang
terjadi di wilayah suatu negara ketika ada
konflik bersenjata yang berlarut-larut antara
otoritas pemerintah dan kelompok bersenjata
yang terorganisir atau antara kelompok-
kelompok semacam itu.107
Dengan demikian perlu diketahui
apakah kedua norma tersebut masing-masing
mencerminkan common Article 3 dan Protokol
Tambahan II, atau standar lain yang diadopsi
oleh pengadilan pidana internasional
sebelumnya. Tentunya baik Pasal 8 ayat (2)(c)
dan 8 ayat (2)(e) dapat mencakup situasi yang
termasuk dalam lingkup common Article 3,
karena ICTY secara konsisten menekankan
perbedaan antara konflik bersenjata dan situasi
lain seperti gangguan dan ketegangan internal.
Common Article 3 sekarang dianggap telah
merangkum ambang terendah dari konflik
bersenjata non-internasional.
Namun, ada keraguan apakah Pasal 8
ayat (2)(f) telah mencerminkan standar
107 Pasal 8(2)(f) Statuta Roma. 108 ICTY Limaj, paragraf 87.
Protokol Tambahan II. Bahasa yang digunakan
mirip dengan ambang batas dalam Kasus Tadic
karena mendefinisikan konflik bersenjata non-
internasional dengan mengacu pada konflik
bersenjata yang berkepanjangan dan kelompok
bersenjata yang terorganisir.108 Acuan pada
konflik bersenjata yang berlarut-larut
merupakan standar yang lebih rendah daripada
acuan pada operasi militer yang berkelanjutan
dan terpadu sebagaimana yang tercantum
dalam Pasal 1 ayat (1) Protokol Tambahan II.109
Selain itu, Statuta Roma juga secara resmi
mengemukakan situasi di mana otoritas
pemerintah tidak terlibat langsung dalam
konflik bersenjata. Faktanya, selama
penyusunan pasal tersebut delegasi menolak
usulan untuk memperkenalkan ambang batas
Protokol Tambahan II dan menyetujui yang
dikemukakan dalam Kasus Tadic.110 Para
perancang Statuta Roma menganggap bahwa
definisi yang lebih luas dari cakupan penerapan
hukum yang berkaitan dengan konflik ersenjata
109 Zimmermann, op.cit., 285. 110 ICTY Boskoski and Tarculovski, paragraf 197.
26
non-internasional saat ini merupakan hukum
kebiasaan.111
Pertanyaannya adalah apakah ini
menciptakan ambang batas lain. Dengan kata
lain, dapatkah Pasal 8 ayat (2)(e) dianggap
sebagai ambang batas gabungan antara
Protokol Tambahan II dan common Article 3?
Hal ini sangat penting karena rumusan Statuta
hanya menetapkan persyaratan untuk
penerapan Pasal 8 ayat (2)(e) yang mengacu
pada Pasal 8 ayat (2)(f) versi uji dalam Kasus
Tadic yang telah diubah.112 Pasal 8 ayat (2)(c)
secara tegas mengacu pada common Article
3113 sedangkan Pasal 8 ayat (2)(c) berkaitan
dengan tes Tadic yang disebutkan dalam Pasal
8 ayat (2)(f), menyampaikan kesan bahwa
persyaratan dalam Kasus Tadic berbeda dari
yang dikemas dalam common Article 3.
Banyak ahli hukum berpendapat bahwa
Pasal 8 ayat (2)(f) memiliki ambang batas yang
sama dengan Pasal 3 Konvensi Jenewa.114
Demikian pula, Akande tidak berpikir bahwa
111 Dimasukkannya (ambang batas dalam Kasus Tadic) ke dalam Statuta Roma mengindikasikan status kebiasaannya, Cullen, 121–122. 112 Vité, 2009, op.cit., 81. 113 Boelaert-Suominen, op.cit., 87. 114 Pejic, op.cit.., -192–193; Meron, op.cit., 260; Cullen, “The definition of non-international armed conflict in the Rome Statute of the International Criminal Court: an analysis of the threshold of application contained in Article 8(2)(f)”, Journal of Conflict Security Law 12:419, 2007, 445.
maksudnya adalah untuk membuat ambang
batas penerapan yang berbeda, dengan
mencatat bahwa Pasal 8 ayat (2)(f) lebih baik
diartikan sebagai sekadar menyatakan uji
intensitas dengan sifat konflik yang berlarut-
larut menjadi faktor yang akan dinilai
menentukan intensitas konflik.115
Dalam Kasus Bemba, Sidang Pra-
Peradilan mencatat bahwa konflik bersenjata
non-internasional terjadi ketika telah mencapai
tingkat intensitas, melebihi gangguan dan
ketegangan internal, seperti kerusuhan,
tindakan kekerasan yang terisolasi dan sporadis
atau tindakan lain yang serupa, dan yang
terjadi dalam batas-batas wilayah negara.
Permusuhan dapat pecah (i) antara otoritas
pemerintah dan kelompok bersenjata
pembangkang terorganisir atau (ii) antara
kelompok-kelompok tersebut'.116 Formulasi ini
cenderung mencerminkan tes Tadic, yaitu
ambang batas minimum untuk membedakan
konflik bersenjata dari situasi lain dan gagasan
115 Akande, op.cit., 56. 116 ICC Bemba, Prosecutor v. Bemba, Kasus No ICC-01 / 05-01 / 08, Putusan Berdasarkan Pasal 61 (7) (a) dan (b) Statuta Roma tentang Dakwaan Jaksa Penuntut terhadap Jean-Pierre Bemba Gombo, Sidang Pra-Peradilan, 15 Juni 2009, paragraf 231; ICC Bemba, paragraf 234; ICC Lubanga, Prosecutor v. Lubanga, Kasus No ICC-01 / 04-01 / 06-803, Keputusan tentang Konfirmasi Tuduhan, Sidang Pra-Peradilan I, 29 Januari 2007, paragraf 23.
27
tentang dua kelompok terorganisir yang
bentrokannya mencapai tingkat intensitas
tertentu. Namun, Sidang Pra-Peradilan
melangkah lebih jauh dengan menegaskan
bahwa kelompok tersebut harus berada di
bawah komando yang bertanggung jawab agar
dapat menerapkan disiplin dan melaksanakan
operasi militer,117 kriteria yang mengingatkan
pada yang diatur dalam Protokol Tambahan II.
Beberapa ahli hukum juga berpendapat
bahwa elemen temporal tercermin dalam kata
'berlarut-larut', sehingga menciptakan kategori
terpisah dari konflik bersenjata non-
internasional.118 Yurisprudensi ICC tampaknya
menegaskan sudut pandang ini, karena ketika
berkaitan dengan Pasal 8 ayat (2)(f) ICC
mengaitkan konsep 'berlarut-larut' dengan
kemampuan kelompok bersenjata untuk
merencanakan dan melaksanakan operasi
militer daripada hanya intensitas dan organisasi
kelompok bersenjata seperti dalam uji Tadic.119
Meskipun demikian, dalam Kasus Bemba
Sidang Pra-Peradilan secara khusus
mengangkat masalah elemen temporal yang
117 ICC Bemba, paragraf 234. 118 Provost, 268 f. 119 ICC Lubanga, paragraf 234. 120 ICC Bemba, paragraf 235.
dianggapnya tidak perlu untuk membahas
argumen secara rinci (yaitu menjelaskan faktor-
faktor yang relevan), karena periode di mana
kejahatan yang dituduhkan dilakukan dianggap
sebagai 'berlarut-larut'.120 Posisi ICC yang
paling baik terdapat dalam putusan Lubanga di
mana Sidang Pengadilan menyatakan:
“Dikatakan bahwa konflik bersenjata non-
internasional terjadi ketika negara-negara
belum menggunakan angkatan bersenjata
dan i) kekerasan berlanjut dan telah
mencapai tingkat intensitas tertentu, dan ii)
kelompok bersenjata dengan tingkat
organisasi tertentu, termasuk kemampuan
menerapkan disiplin dan kemampuan untuk
merencanakan dan melaksanakan operasi
militer yang berkelanjutan, terlibat. Selain
itu, Pasal 8 ayat (2)(f) Statuta menetapkan
bahwa konflik harus bersifat ''berlarut-
larut”.121
Tes Lubanga ini lebih sempit daripada
tes yang diterapkan berdasarkan interpretasi
kebiasaan dari common Article 3 karena
mensyaratkan pertempuran berlangsung
selama periode waktu tertentu, lebih luas
daripada yang diuraikan dalam Protokol
Tambahan II karena itu tidak mengharuskan
kelompok bersenjata untuk mengendalikan
suatu bagian wilayah.122 Sementara Vité
menyatakan bahwa ini adalah tes kompromistis
121 ICC Lubanga, Prosecutor v. Lubanga, Kasus No ICC-01/04-01/06, Putusan, Sidang Pengadilan I, 14 Maret 2012, paragraf 506. 122 Lihat pembahasan dalam Vité 2009, hal. 82.
28
antara kategori-kategori yang dirujuk dalam
common Article 3 dan dalam Protokol
Tambahan II. Interpretasi ICC sebenarnya lebih
dekat dengan maksud asli para perancang
common Article 3 daripada interpretasi oleh
ICTY. Lagipula, Komentar common Article 3
menjelaskan bahwa konflik yang dimaksud
dalam Pasal 3 secara umum adalah konflik
bersenjata dimana angkatan bersenjata dari
dua pihak terlibat dalam permusuhan.
Dinyatakan juga bahwa konflik ini, dalam
banyak hal mirip dengan perang internasional,
tetapi terjadi dalam batas-batas satu negara.123
Oleh karena itu, situasi yang diatur dalam
common Article 3 tidak dimaksudkan untuk
mencakup situasi di mana kelompok-kelompok
terorganisir terlibat dalam tindakan yang baru
saja mencapai tingkat intensitas minimum.
Kesimpulan
Hukum humaniter internasional
mengidentifikasi dua jenis konflik bersenjata
non-internasional: pertama, konflik yang
tercakup dalam Pasal 3 Konvensi Jenewa 1949;
dan kedua, konflik yang termasuk dalam ruang
lingkup Pasal 1 Protokol Tambahan II 1977.
123 Jean Pictet, 1960, Op.Cit., hal. 37.
Tidak ada keraguan bahwa putusan-putusan
dari yurisprudensi pengadilan pidana
internasional seperti Pengadilan Kriminal
Internasional untuk Bekas Yugoslavia (ICTY),
Pengadilan Kriminal Internasional untuk
Rwanda (ICTR), Pengadilan Khusus untuk
Sierra Leone (SCSL) dan Pengadilan Kriminal
Internasional (ICC), telah menyebabkan
perubahan dalam kaitannya dengan perbedaan
antara berbagai jenis konflik bersenjata non-
internasional. Inkonsistensi dalam penerapan
kasus hukum, menyebabkan hasil-hasil putusan
pengadilan tersebut tidak memiliki dampak
yang signifikan terhadap perjanjian yang sudah
berlaku. Misalnya, Mahkamah ICTR tampaknya
menjadi satu-satunya pengadilan yang
mengikuti perbedaan ini dengan cermat dan
secara sadar berupaya untuk memverifikasi
bahwa suatu situasi termasuk dalam salah satu
dan/atau jenis konflik bersenjata non-
internasional lainnya. Sebaliknya, Mahkamah
ICTY memilih untuk menerapkan hanya satu
ambang batas penerapan. Pada Kasus Tadic,
perhatian dipusatkan pada perbedaan antara
konflik bersenjata dan situasi lain. Ambang
minimum ini yang memungkinkan adanya
29
perbedaan antara konflik bersenjata dan situasi
lain serta faktor-faktor yang diadopsi oleh ICTY
untuk memastikan apakah suatu konflik sedang
terjadi —intensitas konflik dan organisasi
kelompok bersenjata— sekarang diterima
secara luas oleh ICTR, SCSL dan ICC. Seperti
yang dikemukakan oleh Bartels, meskipun tidak
ada definisi yang diberikan dalam perjanjian
formal, namun tampaknya cukup jelas saat ini
apa yang dianggap sebagai IAC atau NIAC, dan
dengan demikian apa yang merupakan
perbedaan antara kedua jenis tersebut.124
Meskipun ICTY berpendapat bahwa ia telah
mendasarkan kasus-hukumnya pada Komentar
Konvensi, namun ada keraguan bahwa ambang
batas ini serupa dengan yang semula
dimaksudkan oleh perancang common Article
3.125 Dalam perkembangannya sendiri, common
Article 3 telah diperpanjang126 dan terdistorsi,
sejauh berlaku sebagai ambang batas minimum
(yurisprudensi ICTY, ICTR dan SCSL) daripada
situasi internal yang mirip dengan konflik
bersenjata internasional, namun terjadi di
wilayah satu negara.
124 Bartels, op.cit., 40. 125 Ash, Square pegs and round holes: Al-Qaeda detainees and common Article 3. Indiana Int Comp Law Rev 17:269, 2007, hal. 275.
Perancang Statuta ICC telah
mengintrodusir dalam Pasal 8 ayat (2)(f) suatu
jenis konflik bersenjata ketiga yakni versi
hibrida dari Pasal 3 Konvensi Jenewa dan
Protokol Tambahan II.127 Namun pemeriksaan
yang bersifat komprehensif dan menyeluruh
mengungkapkan bahwa ambang batas yang
ditetapkan dalam Pasal 8 ayat (2)(f) dan
penafsirannya kemungkinan besar serupa
dengan maksud asli para perancang common
Article Common 3. Pertanyaannya adalah
apakah interpretasi yang digunakan dalam
sidang-sidang dalm Mahkamah ICC akan
mengesampingkan interpretasi yang digunakan
dalam Mahkamah ICTY dalam kasus Tadic,
yang sekarang sudah tertanam sebagai hukum
kebiasaan internasional. Akankah tes atau uji
persyaratan yang ada dalam Mahkamah ICC
secara perlahan, tetapi pasti, akan menemukan
jalannya sebagai hukum kebiasaan
internasional? Waktu akan berbicara.
Daftar Pustaka
Referensi
Abi-Saab R (1991) Humanitarian law and
internal conflicts: The Evolution of Legal Concern.
126 Bartels, 2009, Op.Cit., hal. 36. 127 Vité, 2009, Op.Cit., hal. 82.
30
Abi-Saab R (1986) Droit humanitaire et conflits
internes. Origines et évolution de la réglementation internationale. Institut
Henry Dunant/Pedone, Genève/Paris. Akande, D (2012) Classification of armed
conflicts: relevant legal concepts. Ambos K (2001) Zur Bestrafung von Verbrechen
im internationalen, nicht-internationalen
und internen Konflikt. In: Hasse J et al (ed) Humanitäres Völkerrecht. Politische,
rechtliche und strafgerichtliche Dimensionen. Nomos Verlag, Baden-
Baden, pp 325–353.
Ash RW (2007) Square pegs and round holes: Al-Qaeda detainees and common Article
3. Indiana Int Comp Law Rev 17:269 Bartels, Roger, (2009) Timelines, borderlines
and conflicts. The historical evolution of
the legal divide between international and non-international armed conflicts.
Int Rev Red Cross 873:35. Bassiouni MC (1999) International criminal law.
Transnational Publishers, Ardsley. Boelaert-Suominen S (2000a) Grave breaches,
universal jurisdiction and internal armed
conflict: is customary law moving towards a uniform enforcement
mechanism for all armed conflicts? J Conflict Secur Law 5:63.
Boelaert-Suominen S (2000b) The Yugoslav
tribunal and the common core of humanitarian law applicable to all armed
conflicts. Leiden J Int Law 13:619
Bond JE (1974) The rules of riot: internal conflict and the law of war. Princeton
University Press, Princeton.
Cullen A (2007) The definition of non-international armed conflict in the Rome
Statute of the International Criminal Court: an analysis of the threshold of
application contained in Article 8(2)(f). J
Conflict Secur Law 12:419. Cullen A (2010) The concept of non-
international armed conflict in international humanitarian law.
Cambridge University Press, Cambridge.
Elder DA (1979) The historical background of common Article 3 of the Geneva
Convention of 1949. Case W Reserve J Int Law 11:37.
Forsythe DP (1978) Legal management of internal war: the 1977 protocol on non-
international armed conflicts. Am J Int
Law 72:272. Gaeta P (1996) The armed conflict in Chechnya
before the Russian Constitutional Court. Eur J Int Law 7:563.
Green LC (2002) The contemporary law of armed conflict. Manchester University
Press and Juris Publishing, Manchester
Greppi E (1999) The evolution of individual criminal responsibility under international
law. Int Rev Red Cross 835:531. Henckaerts J-M (2005) Study on customary
international humanitarian law: a
contribution to the understanding and respect for the rule of law in armed
conflict. Int Rev Red Cross 857:175. Henckaerts J-M, Doswald-Beck L (eds) (2005)
Customary international humanitarian
law, vol 1. Cambridge University Press, Cambridge.
Jinks D (2003) The temporal scope of application of international humanitarian
law in contemporary conflicts. HPCR Policy Brief, January 2003.
Kretzmer D (2009) Rethinking the application of
international humanitarian law in non - international armed conflicts. Isr Law Rev
42:8. Lasswell HD, McDougal MS (1992)
Jurisprudence for a free society. New
Haven Press, New Haven. McCarthy C (2008) Legal conclusion or
interpretative process? Lex specialis and the applicability of international human
rights standards. McLauren N, Schwendimann F (2005) An
exercise in the development of
international law: the new ICRC study on customary international humanitarian
law. German Law J 6:1217. Meron T (1998) Is international law moving
towards criminalization. Eur J Int Law
9:18. Meron T (2000) The humanization of
humanitarian law. Am J Int Law 94:239 Moir L (1998) The historical development
of the application of humanitarian law in
noninternational armed conflict to 1949. Int Comp Law Q 47:337.
Pejic J (2007) Conflict classification and the law applicable to detention and the use of
force. In: Wilmhurst E (ed) International law and the classification of conflicts.
Oxford University Press, Oxford.
31
Pejic J (2011) The protective scope of common
Article 3: more than meets the eye. Int Rev Red Cross 881:189.
Pictet J (1960) Commentary on the Geneva Conventions. International Committee of
the Red Cross, Geneva. Provost R (2002) International human rights
and humanitarian law. Cambridge
University Press, Cambridge. Sandoz Y et al (eds) (1987) Commentary on the
additional protocols to the Geneva Conventions. Martinus
Nijhoff/International committee of the
Red Cross, Geneva. Sassoli M, Bouvier AA (1999) How does law
protect in war? Cases, documents and teaching materials on contemporary
practice in international humanitarian
law. International Committee of the Red Cross, Geneva.
Schindler D (2003) International humanitarian law: its remarkable development and its
persistent violation. J Hist Int Law 5:165. Sivakumaran S (2011) Re-envisaging the
international law of internal armed
conflict. Eur J Int Law 22:219. Spieker H (2001) Twenty-five years after the
adoption of Additional Protocol II: breakthrough or failure of humanitarian
legal protection? Yearb Int Humanit Law
4:129. Szesnat F, Bird AR (2012) Colombia. In:
Wilmhurst E (ed) International law and the classification of conflicts. Oxford
University Press, Oxford. Tahzib-Lie B, Swaak-Goldman O (2004)
Determining the threshold for the
application of international humanitarian law.
Tskhovrebov Z (1995) An unfolding case of genocide: Chechnya, world order and the
‘right to be left alone’. Nordic J Int Law
64:501. Turns D (1995) War crimes without war? The
applicability of international humanitarian law to atrocities in non-
international armed conflicts. Afr J Int
Compa Law 7:804. United Kingdom Ministry of Defence (2005) The
manual of the law of armed conflict. Oxford University Press, Oxford.
Van den Herik L (2005) The contribution of the Rwanda tribunal to the development of
international law. Martinus Nijhoff,
Leiden. Verri P (1972) Considérations sur l’application
dans les conflits modernes des Articles 3 et 4 des Conventions de Genève de 1949.
Revue de droit militaire et de droit de la guerre 11:93
Vité S (2009) Typology of armed conflicts in
international humanitarian law: legal concepts and actual situations. Int Rev
Red Cross 873:69. Zimmermann A (1999) Preliminary remarks on
paras 2(c)-(f) and 3. In: Triffterer O (ed)
Commentary on the Rome Statute of the International Criminal Court. Nomos
Verlag, Baden Baden.
Yurisprudensi
ICC Bemba 2009, Prosecutor v. Bemba, Kasus No ICC-01 / 05-01 / 08, Putusan
Berdasarkan Pasal 61 (7) (a) dan (b) Statuta Roma tentang Dakwaan Jaksa
Penuntut terhadap Jean-Pierre Bemba Gombo, Sidang Pra-Peradilan, 15 Juni
2009.
ICC Lubanga 2007, Prosecutor v. Lubanga, Kasus No ICC-01 / 04-01 / 06-803,
Keputusan tentang Konfirmasi Tuduhan, Sidang Pra-Peradilan I, 29 Januari 2007.
ICC Lubanga 2012, Prosecutor v Lubanga,
Kasus No ICC-01/04-01/06, Putusan, Sidang Pengadilan I, 14 Maret 2012.
ICTR Akayesu 1998, Prosecutor v Akayesu, Kasus No ICTR-96-4-T, Putusan, Sidang
Pengadilan, 2 September 1998. ICTR Baglishema 2001, Prosecutor v
Baglishema, Kasus No ICTR-95-1A-T,
Puutusan, Sidang Pengadilan, 7 Juni 2001.
ICTR Kayishema dan Ruzindana 1999, Prosecutor v Kayishema dan Ruzindana,
Kasus No ICTR95-1-T, Putusan, Sidang
Pengadilan, 21 Mei 1999. ICTR Musema 2000, Prosecutor v Musema,
Kasus No ICTR-96-13-T, Putusan, Sidang Pengadilan, 27 Januari 2000.
ICTR Rutaganda 1999, Prosecutor v
Rutaganda, Kasus No ICTR-96-3-T, Putusan, Sidang Pengadilan, 6 Desember
1999. ICTY Boskoski dan Tarculovski 2008,
Prosecutor v Boskoski dan Tarculovski, Kasus No IT-04-82-T, Putusan, Sidang
Pengadilan, 10 Juli 2008.
32
ICTY Delalic 2001, Prosecutor v Delalic et al.,
Kasus No IT-96-21-A, Putusan Banding, Sidang Banding, 20 Februari 2001.
ICTY Delalic et al. 1998, Prosecutor v Delalic et al., Kasus No IT-96-21-T, Putusan,
Sidang Pengadilan, 16 November 1998. ICTY Hahdzihasanovic dan Kubura 2005,
Prosecutor v Hadzihasanovic dan
Kubura, Kasus No IT01-47-AR3.3, Putusan Sela Pembelaan Sidang Banding
Pengadilan tentang Aturan 98bis Mosi untuk Acquittal, Sidang Banding, 11
Maret 2005.
ICTY Haradinaj 2008, Prosecutor v Haradinaj et al., Kasus No IT-04-84-T, Putusan,
Sidang Pengadilan, 3 April 2008. ICTY Kordic dan Cerkez 2004, Prosecutor v
Kordic dan Cerkez, Kasus No IT-95-14/2-
A, Putusan Banding, Sidang Banding, 17 Desember 2004.
ICTY Kunarac et al. 2002, Prosecutor v Kunarac, Kovac dand Vukovic, Kasus IT-
96-23 & IT-96-23/1-A, Putusan Banding, Sidang banding, 12 Juni 2002.
ICTY Limaj 2005, Prosecutor v Limaj et al.,
Kasus No IT-03-66-T, Putusan, Sidang Pengadilan, 30 November 2005.
ICTY Milosevic 2004, Prosecutor v Milosevic, Kasus No IT-02-54-T, Keputusan tentang
Mosi untuk Putusan Pembebasan, Sidang
Pengadilan, 16 Juni 2004. ICTY Nikolic 1995, Prosecutor v Nikolic, Kasus
No IT-95-2-R61, Review Dakwaan Berdasarkan Aturan 61, Sidang
Pengadilan, 20 Oktober 1995. ICTY Oric 2006, Prosecutor v Oric, Kasus No IT-
03-68-T, Putusan, Sidang Pengadilan, 30
Juni 2006. ICTY Tadic 1995, Prosecutor v Tadic, Kasus No
IT-94-1-AR72, Keputusan tentang Mosi Pertahanan untuk banding Sela atas
Yurisdiksi, 2 October 1995 Mahkamah
Internasional 1950, Kasus Suaka (Columbia v Peru), [1950] ICJ Rep 266,
27 November 1950 Mahkamah Internasional 1969, Kasus Landas
Kontinen Laut Utara (Republik Federal
Jerman / Denmark dan Republik Federal Jerman / Belanda), [1969] ICJ Rep 3, 20
Februari 1969. Mahkamah Internasional 1970, Barcelona
Traction, Light and Power Company, Limited (Belgia v. Spanyol), Fase kedua,
[1970] ICJ Rep 3, 5 Februari 1970.
Mahkamah Innternasional 1986, Kegiatan
militer dan paramiliter di dan melawan Nikaragua (Nicaragua v USA), Judgment,
[1986] ICJ Rep 14, 27 Juni 1986 SCSL Brima et al. 2007, Prosecutor v Brima et
al., Kasus No SCSL-04-16-T, Putusan, Sidang Pengadilan, 20 Juni 2007.
SCSL Fofana 2004, Prosecutor v Fofana, Kasus
No SCSL-04-14-PT-101, Keputusan tentang Mosi Awal tentang Kurangnya
Yurisdiksi Materiae: Sifat dari Konflik Bersenjata, Sidang Banding, 25 Mei
2004.
SCSL Fofana dan Kondewa 2007, Prosecutor v Fofana dan Kondewa, Kasus No SCSL-04-
14-T, Putusan, Sidang Pengadilan, 2 Augustus 2007.
SCSL Sesay, Prosecutor v Sesay, Kallon dan
Gbao, Kasus No SCSL-04-15-T, Putusan, Sidang Pengadilan, 2 Maret 2009.
SCSL Taylor 2012, Prosecutor v Taylor, Kasus No SCSL-03-01-T, Putusan, Sidang
Pengadilan, 18 Mei 2012.