Upload
abuirham
View
451
Download
0
Embed Size (px)
DESCRIPTION
Sulitnya Mencari Keadilan di Kawasan Cekungan Bandung
Citation preview
7/16/2019 Sulitnya Mencari Keadilan
http://slidepdf.com/reader/full/sulitnya-mencari-keadilan 1/139
o a
s
o
m u n
a s
o r a n
n g
u n g a n-
D i te r b it k an o l eh :
B e ke r j a sa m a d e ng a n
B uk u i ni a da la h k umpu la n t uli sa nm as ya ra ka t k or ba n k er u sa ka n l in gk un ga n
d i be ber apa w il aya h d i Ce ku ng an B an du ngya n g t e rg a bu n g d a la m
Ko a li s i Ko m un i ta s Ko r ba n L i ng k un ga n ( K 3 L)
7/16/2019 Sulitnya Mencari Keadilan
http://slidepdf.com/reader/full/sulitnya-mencari-keadilan 2/139
S u ar a Ko mu n it a sKo rb an Ke rus a k a n L ing kung a n
d i C eku nga n B an du ng
S U L I T N Y A M E R A I H K E A D I L A N
7/16/2019 Sulitnya Mencari Keadilan
http://slidepdf.com/reader/full/sulitnya-mencari-keadilan 3/139
i
Suara Komuntas Korban Kerusakan Lingkungan di Cekungan Bandung
SULITNYA MERAIH KEADILAN
7/16/2019 Sulitnya Mencari Keadilan
http://slidepdf.com/reader/full/sulitnya-mencari-keadilan 4/139
ii
Koalisi Komunitas Korban Lingkungan (K3L)
Suara Komuntas Korban Kerusakan Lingkungan di Cekungan Bandung
SULITNYA MERAIH KEADILAN
Pengantar:
Donny Setiawan
Penulis:
Wulandari
Deni Riswandani
Umar Alam Nusantara
M. Jefry Rohman
Rifal Zaelani
Atep Kamaludin Alramadhan
Muhamad Efendi
Udin SaripudinMulyana
Heri Ferdian
Khadafi
Dede Juhari
Madani
Diterbitkan Oleh:
Kerja sama dengan
7/16/2019 Sulitnya Mencari Keadilan
http://slidepdf.com/reader/full/sulitnya-mencari-keadilan 5/139
iii
Koalisi Komunitas Korban LingkunganSuara Komunitas Korban Kerusakan Lingkungan di Cekungan Bandung; SulitnyaMeraih Keadilan – Wulandari, Deni Riswandani, Umar Alam Nusantara, Euis
Widia, M. Jefry Rohman, Rifal Zaelani, Akmal, Muhamad Efendi, UdinSaripudin, Mulyana, Heri Ferdian, Khadafi, Dede Juhari, Madani/Pengantar:
Donny Setiawan/Penyunting: Donny Setiawan/Bandung: Perkumpulan Inisiatif dan Yayasan Bengkel Komunikasi kerja sama dengan Uni Eropa, Juni 2007
125 halaman, xxi, 14,5 X 21 cmISBN 979-2521-02-X
Hak cipta 2007 © Perkumpulan Inisiatif Cetakan Pertama, Juni 2007
Rancang Sampul: Donny Setiawan
Diterbitkan oleh:
Perkumpulan Inisiatif Jl. Guntur Sari IV No. 16 Bandung 40264
Telp/Fax: +62 22 7309987E-mail: [email protected]
Yayasan Bengkel KomunikasiJl. Kebon Waru Utara No. 6 Bandung 40271
Telp/Fax: +62 22 7208409E-mail: [email protected]
7/16/2019 Sulitnya Mencari Keadilan
http://slidepdf.com/reader/full/sulitnya-mencari-keadilan 6/139
iv
KATA PENGANTAR
Buku ini merupakan kumpulan kesaksian dari beberapa orang yang menjadi korban kerusakanlingkungan di cekungan Bandung yang tergabung dalam Koalisi Komunitas Korban Lingkungan
(K3L). Buku ini diterbitkan dengan maksud untuk mengakomodasi pengalaman lapangan dari
beberapa orang yang selama ini menjadi korban kejahatan lingkungan di wilayah tempat tinggal
mereka masing-masing. Mereka ini kemudian menghimpun diri dalam satu wadah bersama untuk
memperjuangkan keyakinan mereka dalam mendorong penegakan hukum lingkungan, utamanya di
cekungan Bandung. Bekerja sama dengan Perkumpulan Inisiatif dan Yayasan Bengkel Komunikasi,
K3L melakukan upaya-upaya kritis untuk mendorong proses penegakan hukum lingkungan di
Cekungan Bandung.
Semoga buku ini semakin menyadarkan kita untuk bersama-sama memperjuangkan tegaknya keadilan
dalam proses penegakan hukum lingkungan di negeri ini. Menjadi kebanggaan kami apabila buku ini
kemudian memberikan inspirasi bagi masyarakat lainnya yang selama ini menjadi korban kejahatan
lingkungan untuk tampil menyuarakan dirinya.
Buku ini diterbitkan tidak dengan tujuan untuk diperjualbelikan. Terima kasih kepada pihak Uni
Eropa yang telah mendanai penerbitan buku ini.
Bandung, Juni 2007
Diding Sakri
Direktur Eksekutif Perkumpulan Inisiatif
7/16/2019 Sulitnya Mencari Keadilan
http://slidepdf.com/reader/full/sulitnya-mencari-keadilan 7/139
v
DAFTAR ISI
Kata Pengantar iv
Daftar Isi v
Pengantar
Penegakan Hukum Lingkungan di Cekungan Bandung; BAGAI MENEGAKKANBENANG BASAH, Oleh: Donny Setiawan
vii
Pencemaran Limbah Industri; HADIAH PENYAKIT BAGI RAKYAT 1
QUO VADIS HUKUM LINGKUNGAN; PENEGAKAN DAN KEBERPIHAKAN, Oleh:
Wulandari2
MAJALAYA DI AMBANG BATAS, Oleh: Deni Riswandani 31
JANGAN MENUNGGU TRAGEDI MINAMATA TERJADI DI SAGULING, Oleh: Umar
Alam Nusantara35
AWAN MENDUNG DI RANCAEKEK, Oleh: Euis Widia 40
PERMASALAHAN TPA DAN INISIATIF PENGELOLAAN SAMPAH OLEH
WARGA48
PARADIGMA PENGELOLAAN SAMPAH DI CEKUNGAN BANDUNG, Oleh: M. Jefry
Rohman49
TPA MEMAKAN KORBAN, Oleh: M. Jefry Rohman 52
SULITNYA MENCARI LAHAN UNTUK TPA, Oleh: M. Jefry Rohman 56
BELUM ADANYA KEBIJAKAN YANG JELAS TENTANG PENGELOLAAN SAMPAH,
Oleh: M. Jefry Rohman64
INISIATIF WARGA DALAM MENGELOLA SAMPAH (Inisiatif vs Kebijakan), Oleh:
Rifal Zaelani66
“Perang Air”; PEMODAL vs RAKYAT 72
RADUG : PERANG AIR, Oleh: Umar Alam Nusantara 73
SECERCAH EMPATI UNTUK ALAM, Oleh: Atep Kamaludin Alramadhan 77
KOMERSIALISASI AIR DI KAWASAN MANGLAYANG JATINANGOR, Oleh:
Muhamad Efendi81
Fenomena Lahan Kritis; KESALAHAN TATA KELOLA HUTAN 84
LAHAN KRITIS AKIBAT KESALAHAN TATA KELOLA HUTAN, Oleh : Udin Saripudin 85
KERUSAKAN HUTAN DAN KEMISKINAN MASYARAKAT DESA SEKITAR HUTAN,
Oleh: Mulyana96
MEMBANGUN HUTAN, Oleh : Heri Ferdian 101DERITA PETANI LAHAN HUTAN, Oleh: Khadafi 106
7/16/2019 Sulitnya Mencari Keadilan
http://slidepdf.com/reader/full/sulitnya-mencari-keadilan 8/139
vi
HUTAN LINDUNG (Hutan Titipan Bukan Warisan), Oleh: Dede Juhari 111
BERITA DARI KAWAN; TUJUH HUTAN CEKUNGAN BANDUNG (Sebuah Catatan
dari Perjalanan Jelajah Tujuh Gunung di Cekungan Bandung), Oleh: Madani115
ANTOLOGI CURHAT CITARUM LEWAT SMS 119
GERENTES HATE 120
TENTANG PENULIS 121
7/16/2019 Sulitnya Mencari Keadilan
http://slidepdf.com/reader/full/sulitnya-mencari-keadilan 9/139
vii
PENGANTAR
Penegakan Hukum Lingkungan di Cekungan Bandung;
BAGAI MENEGAKKAN BENANG BASAH
Oleh:
Donny Setiawan1
PENDAHULUAN
aya mewakili kawan-kawan di Perkumpulan Inisiatif merasa sangat senang mendapat
kesempatan untuk mengantarkan dan menerbitkan buah pena dari sahabat-sahabat kami yang
selama ini tanpa mengenal lelah telah konsisten memperjuangkan keyakinan mereka. Sahabat-
sahabat yang menjadi penulis buku ini adalah “para pejuang lingkungan” yang bekerja di akar rumput
bersama komunitas mereka yang selama ini menjadi korban ketidakadilan dan tindak kejahatan
lingkungan yang dilakukan oleh para pemodal dan penguasa. Mereka selama ini hidup di lingkungan
dimana udara sehat, air yang jernih, hutan yang lestari serta permukiman yang asri menjadi barang
mahal yang sulit didapat.
Buku ini tergolong unik karena yang menjadi penulis bukan dari kalangan akademisi ataupun aktivis
LSM melainkan “warga biasa” yang merasa dirinya perlu menyuarakan pengalaman pahitnya untuk
bisa didengar oleh para pihak, utamanya para penegak hukum di negeri ini. Istimewanya, apabila kitaselami tulisan-tulisan yang ada di buku ini akan kita dapati bahwa mereka menulis dengan “benar”
sebagaimana para akademisi atau intelektual kita membuat tulisan. Namun demikian, “kepolosan-
kepolosan” khas akar rumput menjadi warna tersendiri yang kadang-kadang hadir pada setiap tulisan.
“Antologi curhat lewat SMS” misalnya, adalah satu realita yang nyata dialami penulis tentang
bagaimana penulis berbagi keluh kesah dengan sejawatnya melalui fasilitas teknologi yang sekarang
sedang marak digunakan.
Beberapa kalimat dalam tulisan pada buku ini disajikan dalam bahasa sunda. Hal ini disajikan oleh
penulis sebagai bagian dari ekspresi kekesalan dan kegundahan yang dialami oleh penulis seperti
terlihat pada kalimat “kamana meberken layar lamun angin geus teu jadi Sa-Udara” atau penggunaan
idiom idiom “leuweung rusak, cai beak, runtah pabalatak, manusa balangsak”.
CEKUNGAN BANDUNG DAN PERMASALAHAN LINGKUNGAN HIDUP
Buku ini banyak mengupas tentang permasalahan lingkungan hidup yang terjadi di Cekungan
Bandung. Permasalahan lingkungan tersebut terkategorikan dalam empat isu lingkungan yang cukup
menonjol di wilayah Cekungan Bandung. Isu-isu yang disajikan terkait dengan; isu pencemaran
limbah, pengelolaan sampah, krisis air dan fenomena lahan kritis.
1 Penulis adalah anggota Perkumpulan Inisiatif. Saat ini bertanggung jawab sebagai Project Coordinator untuk program
“Increasing Public Pressure to Promote Environmental Law Enforcement through Developing Coalition of Communities”,
Kerja sama program antara Perkumpulan Inisiatif – Yayasan Bengkel Komunikasi dengan European Initiative for Democracy and Human Right (EIDHR), European Commission
7/16/2019 Sulitnya Mencari Keadilan
http://slidepdf.com/reader/full/sulitnya-mencari-keadilan 10/139
viii
Cekungan Bandung secara administratif terbagi ke dalam wilayah Kabupaten Bandung, Kota
Bandung, Kota Cimahi dan sebagian Kabupaten Sumedang dengan luas seluruhnya lebih dari 326.000
hektar. Pusat Cekungan Bandung adalah Kota Bandung yang sekaligus menjadi ibu kota Provinsi
Jawa Barat. Sebagai kota terbesar di Jawa Barat, Kota Bandung dengan beberapa kelebihan sarana
dan prasarana memiliki daya tarik yang sangat kuat. Karena perencanaan kota yang tidak baik maka
Kota Bandung saat ini menjadi kota dengan multi-fungsi yang menampung berbagai aktivitas. Antara
lain sebagai pusat pemerintahan Jawa Barat, pusat perdagangan lokal dan regional, pusat pendidikan
dan pengetahuan, kota pariwisata, kebudayaan dan konferensi, dan pusat industri.
Keberadaan fungsi-fungsi tersebut memang menjadi daya tarik investor untuk melakukan investasi.
Dengan demikian, akan mempercepat laju pertumbuhan ekonomi yang selama ini dijadikan salah satu
indikator kemajuan kota. Namun, meningkatnya investasi tersebut pada gilirannya mendorong makin
meningkatnya arus migrasi. Predikat Bandung sebagai “Kota Jasa” yang sekarang ini menjadi
identitasi kota yang digaungkan oleh pemerintah kota malah membuat tata ruang kota Bandung
menjadi sangat semrawut.
Wilayah fisik Kota Bandung memiliki beberapa keterbatasan walaupun sudah lima kali mengalami perluasan wilayah. Ketika pertama kali dibentuk sebagai Gemeente, 1 April 1906, penduduknya
berjumlah sekitar 38.403 jiwa dengan luas wilayah sebesar 1.922 hektar. Menurut data Registrasi
Penduduk sampai dengan Maret 2004, dengan luas wilayah sekitar 16.729 hektar, jumlah
penduduknya 2,5 juta jiwa. Ini berarti, kepadatan rata-rata penduduk sekitar 155 jiwa per hektar, jauh
di atas standar yang ditetapkan PBB, 60 jiwa per hektar. Bandingkan dengan kepadatan penduduk di
Kota Cimahi rata-rata 1.331 jiwa/km2. Sementara itu kepadatan penduduk di Kabupaten Bandung
rata-rata 1.308 jiwa/km2 dan Kabupaten Sumedang rata-rata 954 jiwa/km2.
Kota Bandung khususnya, dan Cekungan Bandung pada umumnya, menghadapi masalah serius dalam
kependudukan. Meningkatnya jumlah penduduk akan menuntut penyediaan lapangan kerja,
perumahan, utilitas, dan fasilitas kota. Pada sisi lain, secara geologis wilayah fisik Cekungan Bandung
memiliki beberapa keterbatasan. Bentang alam Cekungan Bandung berbeda dengan kota-kota besar lainnya yang umumnya terletak di dekat pantai. Cekungan Bandung yang berada di atas ketinggian
600 meter lebih dikelilingi jajaran gunung, termasuk gunung berapi yang masih aktif.
Wilayah Cekungan Bandung sebelah utara, pada ketinggian di atas 700 meter di atas permukaan laut
sudah lama dinyatakan sebagai daerah resapan, yang menjadi andalan persediaan cadangan air tanah
untuk memenuhi kebutuhan penduduk wilayah ini sebagaimana dituangkan dalam dokumen Rencana
Tata Ruang Wilayah. Sampai tahun 1950-an, air di Kota Bandung masih "cur-cor " di mana-mana.
Hanya dalam kurun waktu beberapa periode, cadangan air baku di Cekungan Bandung merosot tajam,
dari segi kuantitas maupun kualitas. Padahal, Cekungan Bandung memiliki banyak sumber mata air
yang diantaranya adalah mengalir menjadi aliran sungai dan sejumlah anak sungainya yang melintasi
berbagai wilayah di Cekungan Bandung.
Wilayah Cekungan Bandung sebelah timur dan selatan berkembang menjadi kawasan industri.
Wilayah Majalaya, Rancaekek serta Cileunyi merupakan konsentrasi industri tekstil dan produk
tekstil. Industri tersebut memang telah mengangkat pamor Jawa Barat menjadi daerah penghasil
utama yang memberikan kontribusi sekitar 70 persen produksi tekstil nasional. Industri tekstil
menggunakan sumber daya air cukup besar, baik itu yang menggunakan air tanah maupun air
permukaan. Pemanfaatan air tanah yang tidak terkendali oleh industri dan perumahan menjadikan
ketersediaan air baku berkurang sangat tajam. Dalam beberapa tulisan pada buku ini disebutkan
terjadi tarik menarik kepentingan dalam pemanfaatan air baku. Peristiwa rebutan sumber air, yang
diantaranya berujung pada kekerasan, terjadi antara kalangan industri, petani dan warga masyarakat
lainnya.
Berkembangnya kawasan industri di wilayah Bandung timur dan selatan ini memunculkan
permasalahan lainnya untuk rakyat, yaitu pencemaran limbah industri. Pemanfaatan Instalasi
7/16/2019 Sulitnya Mencari Keadilan
http://slidepdf.com/reader/full/sulitnya-mencari-keadilan 11/139
ix
Pengelolaan Air Limbah (IPAL) yang tidak optimal mengakibatkan bahwa pabrik yang membuat
limbah cair ke sungai. Pencemaran yang berasal dari limbah rumah tangga dan industri ini telah
menurunkan kualitas air permukaan. Sungai Citarum diantaranya, adalah sungai besar yang sejak dari
hulu dicemari dengan limbah-limbah buangan dari industri. Di Majalaya seringkali ditemukan bahwa
warna aliran air Sungai Citarum berubah pada waktu-waktu tertentu akibat sisa cairan tinta kain yang
dibuang oleh pabrik ke sungai tersebut.
Belakangan ini, pasca harga Bahan Bakar Minyak naik tajam di pasaran dunia, pemerintah kemudian
menganjurkan penggunaan bahan bakar batu bara oleh industri. Inipun memberikan implikasi
pencemaran yang cukup tinggi. Proses pembakaran batu bara yang tidak sempurna membuat debu sisa
pembakaran menjadi sangat berbahaya. Tidak sedikit buruh pabrik dan masyarakat disekitar pabrik
tersebut yang menderita penyakit pernafasan akibat dari debu sisa pembakaran tersebut.
Pencemaran limbah oleh industri secara langsung merusak areal pesawahan serta menyebabkan
gangguan kesehatan masyarakat di sekitar pabrik. Dampak lebih luasnya, pencemaran tersebut
mengganggu proses produksi para peternak ikan di Waduk Saguling serta Pembangkit Tenaga listrik
(PLTA) saguling.
Terjadinya penurunan muka air tanah di Cekungan Bandung juga dipengaruhi oleh makin kecilnya
daerah tangkapan air. Sebagian besar imbuhan yang berasal dari air hujan lebih banyak menjadi air
larian yang mengakibatkan terjadinya banjir. Hal ini terjadi disebabkan adanya perubahan tata guna
lahan di kawasan yang selama ini menjadi wilayah resapan air untuk Cekungan Bandung. Wilayah
Bandung sebelah utara yang dulunya berfungsi sebagai wilayah tangkapan air karena dinilai memiliki
nilai ekonomis tinggi, dalam beberapa tahun terakhir dimanfaatkan untuk pembangunan perumahan
mewah serta tempat wisata terpadu. Pemanfaatan wilayah Bandung Utara untuk kawasan hunian ini
sebetulnya melanggar tata guna lahan seperti yang tertuang dalam Rencana Tata Ruang Wilayah.
Luas lahan kritis di Cekungan Bandung mencapai 94.139 Ha dari 348.789 Ha luas Cekungan
Bandung.
Perubahan fungsi lahan juga terjadi di beberapa kawasan hutan di Cekungan Bandung. Beberapakawasan hutan yang menurut peruntukkannya menjadi hutan konservasi/lindung berubah fungsi
menjadi hutan produksi dan perkebunan. Sebagian besar lahan hutan yang dikelola oleh Perhutani
ditanami oleh tanaman produksi yang diambil kayunya, seperti pohon pinus. Sebagian lagi dialihkan
pengelolaannya dalam bentuk Hak Guna Usaha (HGU) kepada para petani pemodal untuk dijadikan
lahan perkebunan. Parahnya, lahan hutan yang dijadikan lahan perkebunan ini berada pada
kemiringan lahan diatas 40% yang seharusnya ditanami oleh tanaman keras. Beberapa tulisan pada
buku ini secara terang-terangan menyorot kinerja Perhutani yang dinilai gagal dalam mengelola hutan,
utamanya pada kawasan hutan di Gunung Wayang Windu, Gunung Mandalawangi dan Gunung
Manglayang.
Pada sisi lain, ruang terbuka hijau di wilayah perkotaan seperti di Kota Bandung dan Cimahi maupun
Kabupaten Bandung luasnya terus menyusut karena beralih fungsi menjadi kawasan permukiman dankawasan komersial. Ruang terbuka hijau yang diharapkan menjadi paru-paru kota sekaligus sebagai
wilayah tangkapan air keberadaannya tersisih oleh kebutuhan pengembangan untuk kawasan hunian
dan komersial. Menurut Peraturan Pemerintah No. 63/2003 tentang Hutan Kota, luas hutan kota
minimum sebesar 10% dari luas kota tersebut. Luas Kota Bandung adalah 16.500 hektar, sementara
kawasan yang berfungsi sebagai hutan kota kurang dari 2%.
Masalah lain yang sekarang sedang ramai dibicarakan di Cekungan Bandung adalah terkait dengan
pengelolaan sampah. Data Perusahaan Daerah Kebersihan Kota Bandung tahun 2004 menunjukkan
jumlah sampah di Kota Bandung adalah sekitar 7500 m3/hari, atau setara dengan 1875 ton/hari
(dengan asumsi berat jenis sampah sebesar 0.250 ton/m3). Tahun 2005 yang lalu pasca longsornya
TPA Leuwigajah, di Kota Bandung diberlakukan “Darurat Sampah” karena pemerintah kota tidak
mampu menyediakan tempat pembuangan akhir sampah sementara TPS-TPS di Kota Bandung sudah
dipenuhi dengan gunungan-gunungan sampah.
7/16/2019 Sulitnya Mencari Keadilan
http://slidepdf.com/reader/full/sulitnya-mencari-keadilan 12/139
x
Sampai dengan saat ini, pengelolaan sampah di Cekungan Bandung masih sepenuhnya bertumpu
paradigma penyelesaian di hilir berupa penyediaan Tempat Pengelolaan Akhir (TPA). Tarik menarik
kepentingan antara pemerintah provinsi dengan pemerintah kabupaten/kota mengakibatkan tata kelola
persampahan menjadi semrawut. Pemilihan lokasi TPA yang dipengaruhi oleh dominasi kepentingan
ekonomi telah mengabaikan aturan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) baik di provinsi maupun
di kabupaten/kota yang berada di wilayah Cekungan Bandung.
Buruknya tata kelola sampah bahkan telah melahirkan tragedi kemanusiaan yang hanya terjadi di
Cekungan Bandung. Ratusan orang meninggal karena tertimbun sampah dari TPA Leuwigajah pada
tahun 2004. Baru-baru ini Pemerintah Kota Bandung sedang mengupayakan didirikannya Pembangkit
Listrik Tenaga Sampah di kawasan Gede Bage yang didanai oleh investor. Upaya ini mendapat
tentangan dari warga sekitar Gede Bage karena dikhawatirkan dapat menimbulkan dampak kerusakan
lingkungan.
Pada sisi lain, beberapa kelompok masyarakat telah mempraktekkan inovasi pengelolaan sampah di
wilayah hulu (sumber). Pengelolaan sampah berbasis masyarakat ini telah dipraktekkan oleh
masyarakat di Sangkan Hurip, Rancamanyar, Katapang, Cibangkong dan Ciateul serta di beberapakawasan permukiman lainnya. Namun demikian, dukungan pemerintah terhadap inisiatif-inisiatif ini
dirasakan masih sangat kurang.
Secara umum, menurunnya kualitas lingkungan hidup di Cekungan Bandung tercermin dari kondisi
Sungai Citarum sebagai sungai terbesar yang mengalir di Cekungan Bandung. Aliran sungai yang
semakin dangkal dan menyempit akibat sedimentasi membuat luapan air menggenangi sebagian
wilayah yang memiliki ketinggian rendah utamanya di Bandung Selatan seperti Majalaya, Baleendah,
Dayeuh Kolot, dan Bojongsoang. Sebagian penduduk di sekitar kawasan ini hampir pasti menjadi
pengungsi akibat banjir yang terjadi setiap musim penghujan. Saat musim kemarau, volume air
Sungai Citarum pun berkurang. Bahkan di beberapa tempat dasar sungai dapat digunakan sebagai
arena bermain bola karena volume airnya menurun drastis.
PENEGAKAN HUKUM LINGKUNGAN DI CEKUNGAN BANDUNG
Tulisan-tulisan yang disajikan dalam buku ini juga banyak mengungkapkan fakta-fakta bahwa proses
penegakan hukum untuk menindak tegas pelaku kejahatan lingkungan belum berjalan dengan efektif.
Kinerja aparat penegak hukum maupun pemerintah dalam mengawal regulasi tentang pengelolaan
lingkungan hidup dinilai oleh penulis masih sangat rendah.
Semua permasalahan lingkungan yang terjadi di Cekungan Bandung yang disajikan dalam buku ini
bermuara pada pelanggaran terhadap Undang-Undang No. 24 Tahun 1994 yang telah diubah menjadi
Undang-Undang No.26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, Peraturan Daerah No. 2 Tahun 2003
tentang Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Provinsi Jawa Barat serta Undang-Undang No.23Tahun 1997 Tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup. Pelanggaran terhadap peraturan perundang-
undangan tersebut dapat dikategorikan sebagai kejahatan lingkungan.
Pelanggaran-pelanggaran terhadap rencana tata ruang menjadi titik awal permasalahan kerusakan
lingkungan muncul di Cekungan Bandung. Ketidaksesuaian dengan peruntukan lahan serta prosedur
perizinan yang tidak transparan disertai praktek-praktek KKN sangat mewarnai awal mula
pelanggaran terhadap tata ruang. Hal ini kemudian berimplikasi pada munculnya tindak-tindak
kejahatan lingkungan di Cekungan Bandung.
Kasus-kasus kejahatan lingkungan yang terjadi di Cekungan Bandung telah memakan banyak korban,
baik korban jiwa, materi maupun psikis. Melihat pengalaman-pengalaman yang terjadi, pada
umumnya masyarakat korban tersebut tidak tinggal diam. Mereka telah melakukan berbagai upaya
penyelesaian, namun selalu memperoleh hasil yang tidak diharapkan. Upaya-upaya yang dimaksud
7/16/2019 Sulitnya Mencari Keadilan
http://slidepdf.com/reader/full/sulitnya-mencari-keadilan 13/139
xi
mulai dari penyelesaian langsung dengan pihak pelaku sampai dengan penyampaian aduan kepada
aparat penegak hukum dan instansi yang berwenang seperti Dinas Lingkungan Hidup, Badan
Pengelola Lingkungan Hidup Daerah, Kementrian Lingkungan Hidup, DPRD, DPR-RI bahkan
sampai ke Komnas HAM. Namun demikian, sedikit sekali dari aduan tersebut yang ditindak lanjuti
oleh pihak aparat penegak hukum dan instansi yang berwenang.
Beberapa kasus kejahatan lingkungan di Cekungan Bandung memang sudah masuk ke wilayah
pengadilan, dan beberapa diantaranya sudah ada putusan dari majelis hakim. Tetapi sangat
disayangkan, hukuman bagi pelaku kejahatan lingkungan sangatlah ringan. Apalagi apabila yang
menjadi terdakwa adalah para pemodal dan oknum aparat pemerintah. Hal ini dapat dilihat dari
beberapa kasus seperti pencemaran oleh PT. Senayan Sandang Makmur di Kecamatan Batujajar yang
dikenai hukuman 4 bulan kurungan dengan masa percobaan 8 bulan serta denda sepuluh juta rupiah.
Selain itu kasus pencemaran yang dilakukan oleh PT. Multi Growth di Kecamatan Batujajar yang
diganjar hukuman 5 bulan kurungan dengan masa percobaan 10 bulan dan denda sepuluh juta rupiah.
Ringannya hukuman terhadap pelaku juga tercermin dari putusan Pengadilan Negeri Bale Bandung
tanggal 9 september 2006 terhadap Direktur PD. Kebersihan Kota Bandung atas kasus longsor TPA
Leuwigajah yang menyebabkan ratusan korban tewas. Majelis hakim hanya menjeratnya dengan pasaltentang kelalaian yang menghilangkan nyawa orang dan mengakibatkan sejumlah orang menderita
luka–luka. Hukumannya pun sangatlah ringan yaitu 9 bulan kurungan dan 18 bulan masa percobaan
dengan ketentuan terdakwa tidak harus menjalani masa penahanan.
Ada kesan bahwa penegak hukum lebih bergigi apabila dihadapkan dengan pelaku kerusakan
lingkungan yang berasal dari golongan ”masyarakat biasa”. Kejadian ini seperti yang dialami oleh
masyarakat sekitar hutan di kawasan Bandung Selatan. Upaya mereka untuk melakukan pertanian
tumpang sari di areal Perhutani selalu dibayang-bayangi oleh pengusiran dan penangkapan.
Masyarakat penggarap di Kecamatan Kertasari misalnya, pada awal tahun 2007 dicekam ketakutan
karena ancaman akan di tangkap polisi jika masih bercocok tanam di kawasan Perhutani.
Fakta–fakta di atas menggambarkan sebuah ironi dalam proses penegakan hukum terhadap kasus-kasus kerusakan lingkungan. Hukum dapat cepat ditegakkan apabila pelaku kerusakan lingkungan
adalah masyarakat kecil. Sementara untuk pelaku kerusakan lingkungan ”kelas kakap” yang
menimbulkan dampak kerusakan untuk skala luas dan waktu yang lama, proses penegakan hukum
cenderung sulit dan bertele-tele, bahkan tidak sedikit yang dari hukuman.
Terakhir, apabila pemerintah memiliki keseriusan untuk menyelamatkan Cekungan Bandung dari
kehancuran, maka tidak ada jalan lain kecuali dengan melakukan penegakan hukum lingkungan
secara tegas, adil dan konsisten. Hal ini dapat dimulai dengan menangkap dan mengadili para pelaku
kejahatan lingkungan kelas kakap. Bukan hanya pelakunya, oknum-oknum penegak hukum dan
pejabat pemerintah yang memberi jalan dan melindungi tindak perusakan lingkungan harus ikut di di
proses secara hukum.
PENUTUP: KOALISI KOMUNITAS KORBAN LINGKUNGAN SEBAGAI ALAT
PERJUANGAN WARGA UNTUK PENEGAKAN HUKUM LINGKUNGAN DI CEKUNGAN
BANDUNG
Untuk menutup pengantar buku, perkenankan saya secara sekilas mengupas tentang profil Koalisi
Komunitas Korban Lingkungan yang menjadi wadah dari para penulis buku ini untuk
memperjuangkan keyakinannya. Saya sendiri cukup mengikuti perkembangan tentang Koalisi ini
mulai sejak pertama terbentuk hingga saat ini. Apa yang saya tulis tentang K3L ini tentu hanya lah
berupa kesan singkat dari apa-apa yang telah mereka lakukan selama ini untuk perbaikan proses
penegakan hukum lingkungan di Cekungan Bandung
7/16/2019 Sulitnya Mencari Keadilan
http://slidepdf.com/reader/full/sulitnya-mencari-keadilan 14/139
xii
Koalisi Komunitas Korban Lingkungan (K3L) adalah koalisi yang dibangun oleh organisasi-
organisasi lokal di tingkat komunitas di Cekungan Bandung yang menjadi korban kejahatan
lingkungan. Koalisi ini dibangun atas kesamaan visi dan orientasi untuk mendorong dan
memperjuangkan upaya-upaya penyelesaian masalah lingkungan hidup yang mereka hadapi di
wilayahnya.
K3L dibentuk pada pertengahan tahun 2006 memalui kegiatan workshop antar komunitas korban
kerusakan lingkungan yang penyelenggaraannya di fasilitasi oleh Perkumpulan Inisiatif. Awal
mulanya, sebagian komunitas korban ini telah menghimpun diri dalam Pusat Sumber Daya Komunitas
yang memiliki wilayah kerja di Kabupaten Bandung. Namun, setelah workhop ini disepakati bahwa
kelompok masyarakat yang terlibat harus diperluas dengan wilayah kerja yang juga diperluas, yaitu
mencakup seluruh Cekungan Bandung. Maka pada saat itu disepakatilah terbentuknya Koalisi
Komunitas Korban Lingkungan di Cekungan Bandung.
K3L sampai saat ini beranggotakan kelompok-kelompok komunitas yang aktif memperjuangkan hak-
hak mereka terkait dengan aspek lingkungan di Cekungan Bandung. Keanggotaan K3L akan terus
berkembang seiring dengan munculnya kasus-kasus baru yang terkait dengan kerusakan lingkungan di
Cekungan Bandung. Mereka yang saat ini menjadi anggota K3L ini adalah:1. Radio Komunitas Citra di Desa Cibeureum Kecamatan Kertasari
2. Kelompok Pecinta Alam Wanapasa
3. Kelompok Tani Hutan Kertasari
4. Forum Pecinta Lingkungan SAMSAKA di Kecamatan Ibun
5. Masyarakat Peduli Sumber Air di Desa Tarumajaya Kecamatan Kertasari
6. Komunitas Peduli Lingkungan di Majalaya dan sekitarnya
7. Masyarakat Desa Sukamukti, Biru, Padaulun, Sukamaju, Padamulya, Kecamatan Majalaya
8. Masyarakat korban limbah Rancaekek
9. Forum Manglayang
10. BEM YAMISA
11. Komunitas Pengelola Sampah di Kecamatan Bale Endah
12. Unit Peduli Lingkungan di Kecamatan Banjaran13. Forum Peduli Cireundeu Pojok
14. Forum Stop TPA Citatah
15. Forum Komunikasi Warga Ciateul
16. Forum Peduli Sampah Sarimukti
17. Karang Taruna Warga Mekar di Jelekong
Dalam melaksanakan aktivitasnya, K3L memiliki jaringan kerja dengan lembaga-lembaga seperti
Koalisi Masyarakat Bandung Bermartabat (KMBB), Lembaga Pemberdayaan Warga Cibangkong,
Wahana Peduli Lingkungan, Dewan Pemerhati Kehutanan dan Lingkungan Tata Sunda, LBH
Bandung, WALHI Jabar, Keswadayaan Masyarakat Memantau Mutu Air Sungai (KM3AS), Radio
Mara, Jaringan Radio Komunitas – Jabar, Forum Diskusi Wartawan Bandung serta pihak-pihak yang
yang dianggap sesuai dengan visi dan orientasi K3L.¤
Pustaka
Silalahi, M. Daud, 2001, Hukum Lingkungan: Dalam Sistem Penegakan Hukum Lingkungan di Indonesia,Bandung, PT. Alumni
Shiva, Vandhana, 2002, Water War: Privatisasi, Profit dan Polusi, Yogyakarta, Insist Press – WALHI
Koalisi Komunitas Korban Lingkungan, Dokumen Hasil Assessment dan Studi Pendalaman Kasus Lingkungandi Cekungan Bandung , Perkumpulan Inisiatif, 2006-2007
Profil Kota/Kabupaten di Jawa Barat , www.jabarprov.go.id
Kumpulan Artikel tentang Lingkungan dan Cekungan Bandung di Harian Umum Pikiran Rakyat, 2005-2007
7/16/2019 Sulitnya Mencari Keadilan
http://slidepdf.com/reader/full/sulitnya-mencari-keadilan 15/139
Suara Korban Kerusakan Lingkungan di Cekungan Bandung;
SULITNYA MERAIH KEADILAN1
Pencemaran Limbah Industri;
HADIAH PENYAKIT BAGI RAKYAT
7/16/2019 Sulitnya Mencari Keadilan
http://slidepdf.com/reader/full/sulitnya-mencari-keadilan 16/139
Suara Korban Kerusakan Lingkungan di Cekungan Bandung;
SULITNYA MERAIH KEADILAN2
QUO VADIS HUKUM LINGKUNGAN;
PENEGAKAN DAN KEBERPIHAKAN
Oleh: Wulandari1
1. LATAR BELAKANG
Hak atas lingkungan yang sehat merupakan hak asasi manusia. Sayangnya, hak ini sulit untuk
dijamin oleh pemangku kebijakan di negeri ini. Proses pembangunan yang dijalankan sama sekali
tidak memperhatikan kelestarian lingkungan dan prinsip-prinsip tata ruang. Padahal, secara
hakiki, lingkungan hidup merupakan sumber yang memberikan berbagai manfaat bagi
keberlangsungan kehidupan manusia, diantaranya: manfaat ekologi (ecological benefit), manfaat
ekonomi (economical benefit) dan manfaat sosial (social benefit).
Tapi kemudian yang terjadi adalah eksploitasi sumber daya alam tanpa memikirkan dampak
jangka panjang. Proses industrialisasi hanya mengejar keuntungan semata tanpa memperhatikan
nasib kelestarian lingkungan, mengikis habis kearifan budaya lokal masyarakat dan
mengesampingkan masa depan generasi berikutnya. Akibatnya, sungai tercemar limbah industri,
air sulit didapat karena habis dikuras untuk kebutuhan industri dan udara kotor karena banyaknya
zat pencemar yang keluar dari cerobong-cerobong pabrik industri.
Pencemaran air dan udara merupakan dampak negatif yang ditimbulkan dari proses
industrialisasi. Akibat dari pencemaran itu tentu saja menimbulkan gangguan kesehatan pada
manusia serta mahluk hidup lainnya, contoh kasus di Majalaya, Rancaekek dan Saguling.
Gugatan dan tuntutan dari warga korban pencemaran limbah industri ataupun kelompok
pemerhati lingkungan banyak didengungkan supaya industri melakukan produksi bersih dan
teknologi yang ramah lingkungan, tapi hal itu tidak pernah digubris. Proses pengawasan,
pembinaan pengendalian limbah industri yang dilakukan oleh pemerintah dinilai sangat lemahdan tidak efektif sebab membuka ruang praktek-praktek kolusi, termasuk juga pada proses
penyidikan dan penegakan hukum yang syarat dengan kolusi pula. Kolaborasi pun terjadi antara
birokrasi dengan kaum pemodal (pengusaha) serta aparat penegak hukum dengan kaum
pemodal(pengusaha), sehingga beberapa kasus pencemaran limbah industri diselesaikan secara
damai tanpa sanksi hukum yang berat. Kolaborasi ini terjadi karena kasus pencemaran limbah
industri merupakan sumber uang bagi para oknum di pemerintah dan aparat penegak hukum.
Akibatnya, keadilan bagi warga korban pencemaran limbah industri dan keadilan bagi lingkungan
tidak pernah ada dalam sejarah kasus-kasus penyelesaian pencemaran limbah industri. Kondisi ini
tentu saja menjadi tanda tanya besar bagi kita. Apakah benar pemerintah, kepolisian, kejaksaan,
kehakiman telah berpihak pada pengusaha, kaum pemodal? Benarkah dengan alasan investasi,
perluasan lapangan kerja, Pendapatan Asli Daerah (PAD), uang dalam jumlah besar yang masuk ke kocek pribadi, pemerintah dan para penegak hukum kita lemah dalam menegakkan aturan
pembuangan limbah industri? Untuk memulai menjawab pertanyaan-pertanyaan kritis tersebut,
ada banyak gambaran yang coba penulis paparkan mulai dari peraturan hukum limbah industri,
kesaksian warga korban pencemaran limbah industri, penyelesaian sengketa lingkungan hidup,
penegakan hukum lingkungan dan evaluasi program-program pemerintah dalam mengendalikan
pencemaran limbah industri.
1 Penulis adalah warga Kp. Kondang Ds. Majalaya Kec. Majalaya, aktif di Perkumpulan Inisiatif sebagai Kepala Divisi
Penguatan Inisiatif Lokal. Terlibat aktif menginisiasi pembentukan Komunitas Peduli Lingkungan (KPL) Majalaya, PusatSumber Daya Komunitas (PSDK) dan Koalisi Komunitas Korban Lingkungan (K3L) Cekungan Bandung.
7/16/2019 Sulitnya Mencari Keadilan
http://slidepdf.com/reader/full/sulitnya-mencari-keadilan 17/139
Suara Korban Kerusakan Lingkungan di Cekungan Bandung;
SULITNYA MERAIH KEADILAN3
2. GAMBARAN UMUM PERATURAN HUKUM LIMBAH INDUSTRI
Sebenarnya pengelolaan sumber daya alam yang berwawasan lingkungan sudah diatur dalam
UUD 1945 Pasal 33 yang berbunyi:
x Bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh negara dan
dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.
x (ayat 4) Perekonomian Nasional diselenggarakan berdasarkan atas demokrasi ekonomi
dengan prinsip kebersamaan, efisiensi keadilan, berkelanjutan berwawasan lingkungan,
kemandirian serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional.
Kemudian dalam UU No. 23 Tahun 1997 Tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup. UU ini secara
substansi mengatur dan memberikan perlindungan terhadap sumber daya alam yaitu udara, tanah,
air, pesisir dan laut, keanekaragaman hayati, pedesaan, perkotaan, lingkungan sosial agar tidak
mengalami kerusakan dan atau pencemaran.
Untuk mengatasi pencemaran air dan udara, ada beberapa peraturan hukum yang mengatur, yaitu:
1. Peraturan Pemerintah No. 41 Tahun 1999 Tentang Pengendalian Pencemaran Udara
2. Peraturan Pemerintah No. 27 Tahun 1999 Tentang AMDAL3. Peraturan Pemerintah No. 74 Tahun 2001 Tentang Pengelolaan B3
4. Peraturan Pemerintah No. 82 tahun 2001 Tentang Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian
Pencemaran Air
5. Peraturan Pemerintah No. 150 Tahun 2000 Tentang Pengendalian Kerusakan Tanah Untuk
Produksi Biomassa
6. Kep-51/MENLH/10/1995 Tentang Baku mutu Limbah Cair Untuk Kegiatan Industri.
7. Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup No. 17 Tahun 2001 Tentang Jenis Rencana
Usaha dan/atau kegiatan yang wajib dilengkapi dengan AMDAL.
8. Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup No. 197 Tahun 2004 Tentang Standar
Pelayanan Minimal Bidang Lingkungan hidup di Daerah Kabupaten dan Daerah Kota.
9. Keputusan Gubernur Nomor 6 Tahun 1999 Tentang Baku Mutu Limbah Cair Bagi Kegiatan
Industri di Jawa Barat.10. Perda Kabupaten Bandung Nomor 5 Tahun 2001 Tentang Ijin Pembuangan Limbah Cair
11. Perda Kabupaten Bandung Nomor 27 Tahun 2001 Tentang Retribusi Ijin Pengelolaan
Limbah Padat
3. PENGAWASAN PENCEMARAN LIMBAH OLEH PEJABAT PENGAWAS
LINGKUNGAN HIDUP
Pemerintah melakukan berbagai upaya untuk mengendalikan pencemaran limbah industri,
diantaranya melalui pengawasan lingkungan hidup yaitu kegiatan yang dilaksanakan secara
langsung atau tidak langsung oleh Pejabat Pengawas Lingkungan Hidup dan Pejabat Pengawas
Lingkungan Hidup Daerah (Provinsi dan Kabupaten/Kota) untuk mengetahui tingkat ketaatan
penanggungjawab usaha dan atau kegiatan terhadap ketentuan peraturan perundang-undangan
pengendalian pencemaran dan atau kerusakan lingkungan hidup. Pejabat Pengawas Lingkungan
Hidup di singkat PPLH.
Wewenang untuk melakukan pengawasan lingkungan hidup berada di tangan Menteri. Kemudian
Menteri menetapkan PPLH yang pada pelaksanaannya diserahkan kepada pemda, kepala daerah
(gubernur, walikota, bupati). Peraturan hukum tentang PPLH diatur dalam Keputusan Menteri
Negara No. 7 Tahun 2001 Tentang Pejabat Pengawas Lingkungan Hidup dan Pejabat Pengawas
Lingkungan Hidup Daerah.
Kewenangan PPLH yaitu: melakukan pemantauan, meminta keterangan, membuat salinan daridokumen dan/atau membuat catatan yang diperlukan, memasuki tempat tertentu, mengambil
7/16/2019 Sulitnya Mencari Keadilan
http://slidepdf.com/reader/full/sulitnya-mencari-keadilan 18/139
Suara Korban Kerusakan Lingkungan di Cekungan Bandung;
SULITNYA MERAIH KEADILAN4
contoh, memeriksa peralatan, memeriksa instalasi dan/atau alat transportasi, serta meminta
keterangan dari pihak yang bertanggung jawab atas usaha dan/atau kegiatan. Penanggung jawab
usaha dan/atau kegiatan yang dimintai keterangan, wajib memenuhi permintaan petugas
pengawas sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Setiap pengawas
wajib memperlihatkan surat tugas dan/atau tanda pengenal serta wajib memperhatikan situasi dan
kondisi tempat tersebut.2
Selanjutnya, pemerintah membentuk lembaga khusus yang bertanggungjawab melakukan
pengendalian dampak lingkungan hidup yaitu; Kementrian Lingkungan Hidup (KLH) di tingkat
nasional, Badan Pengendalian Lingkungan Hidup (BPLHD) ditingkat Provinsi, Dinas Lingkungan
Hidup (DLH) di tingkat Kabupaten/Kota.
4. PENYIDIKAN (PPNS DAN PEJABAT PENYIDIK POLRI)
Proses penyidikan terhadap pencemaran lingkungan diatur dalam Pasal 40 UU No. 23 tahun 1997
Tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup. Dalam ayat 1 dijelaskan: yang diberi wewenang khusus
sebagai penyidik lingkungan hidup sesuai UU Hukum Acara Pidana yaitu: Penyidik Pejabat Polisi Negara RI dan Penyidik Pejabat Pegawai Negeri Sipil (PPNS) tertentu di lingkungan instansi
pemerintah yang lingkup dan tanggung jawabnya di bidang pengelolaan lingkungan hidup. Ayat
2, menjelaskan:
1) Penyidik Pejabat Pegawai Negeri Sipil berwenang:
a. Melakukan pemeriksaan atas kebenaran laporan dan keterangan berkenaan dengan tindak
pidana lingkungan hidup.
b. Melakukan pemeriksaan terhadap orang atau badan hukum yang diduga melakukan
tindak pidana dibidang lingkungan hidup.
c. Meminta keterangan dan bahan bukti dari orang atau badan hukum sehubungan dengan
peristiwa tindak pidana di bidang lingkungan hidup.
d. Melakukan pemeriksaan atas pembuktian, catatan, dan dokumen lain berkenaan dengan
tindak pidana dibidang lingkungan hidup.e. Melakukan pemeriksaan ditempat tertentu yang diduga terdapat bahan bukti, pembukuan,
catatan, dan dokumen lain serta melakukan penyitaan terhadap bahan dan barang hasil
pelanggaran yang didapat dijadikan bukti dalam perkara tindak pidana dibidang
lingkungan hidup.
f. Meminta bantuan ahli dalam rangka pelaksanaan tugas penyidikan tindak pidana dibidang
lingkungan hidup.
2) Penyidik Pegawai Negeri Sipil memberitahukan dimulainya penyidikan dan hasil
penyidikannya kepada Penyidik Pejabat Polisi Negara RI.
3) Penyidik Pejabat Pegawai Negeri Sipil menyampaikan hasil penyidikan kepada Penuntut
Umum melalui Penyidik Pejabat Polisi Negara RI.
4) Penyidikan tindak pidana lingkungan hidup di perairan Indonesia dan zona ekonomi eksklusif
dilakukan oleh penyidik menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.
5. PERATURAN HUKUM LIMBAH INDUSTRI VERSUS KESAKSIAN WARGA KORBAN
PENCEMARAN LIMBAH INDUSTRI
5.1 AMDAL Asal-Asalan
Banyaknya pencemaran limbah industri yang meracuni sungai-sungai dan udara di bumi ini
diakibatkan oleh tidak konsistennya pemerintah dalam menegakkan peraturan hukum
tentang limbah industri. Sebagai contoh dalam soal AMDAL. Pada dasarnya AMDAL
2 UU No. 23 Tahun 1997 Tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup pasal 24.
7/16/2019 Sulitnya Mencari Keadilan
http://slidepdf.com/reader/full/sulitnya-mencari-keadilan 19/139
Suara Korban Kerusakan Lingkungan di Cekungan Bandung;
SULITNYA MERAIH KEADILAN5
adalah kajian mengenai dampak besar dan penting suatu usaha dan/atau kegiatan yang
direncanakan pada lingkungan hidup yang diperlukan bagi proses pengambilan keputusan
tentang penyelenggaraan usaha dan/atau kegiatan. Manfaat AMDAL yaitu sebagai
“environmental safe guard” (penjaga lingkungan), studi kelayakan untuk proses
pengambilan keputusan, pengembangan wilayah dan rekomendasi dalam proses perijinan.
Dokumen AMDAL merupakan dokumen publik yang menjadi acuan dalam pelaksanaan
pengelolaan lingkungan hidup yang bersifat lintas sektoral, lintas disiplin, dan
dimungkinkan lintas teritorial administratif. Parameter penilaian AMDAL ini meliputi
fisika, kimia, demografi, hidrologi, biologi (flora & fauna), fisiografi, hidro-oceanografi,
ruang, lahan, sosial (budaya, ekonomi, pertahanan keamanan), kesehatan warga.
Ketika AMDAL disebut sebagai dokumen publik, secara otomatis harus ada jaminan
hukum bagi warga untuk terlibat dalam proses penyusunannya dan harus ada keterbukaan
informasi. Keterlibatan warga dalam penyusunan AMDAL dijamin oleh kebijakan di PP
No. 27/1999 khususnya pasal 33 yang menjelaskan tentang kewajiban pemrakarsa untuk
mengumumkan kepada publik. Saran, pendapat, masukan publik wajib untuk dikaji dan
dipertimbangkan dalam AMDAL. Kemudian, pasal 34 menegaskan bagi kelompok masyarakat yang berkepentingan wajib dilibatkan dalam proses penyusunan kerangka
acuan, penilaian kerangka acuan, Analisis Dampak Lingkungan Hidup (ANDAL), Rencana
PengelolaanLingkungan Hidup (RPL) dan Rencana Pemantauan Lingkungan Hidup (RKL).
Tetapi pada kenyataannya warga tidak pernah diajak bicara, dilibatkan dalam proses
penyusunan AMDAL ini. Warga menjadi pihak yang marjinal, tersisihkan, terlupakan
dalam proses pengambilan keputusan AMDAL yang sesungguhnya akan berpengaruh besar
terhadap kondisi lingkungan sekitarnya. Hal ini bisa dibuktikan dari hasil-hasil diskusi
Komunitas Peduli Lingkungan (KPL) dengan warga korban limbah industri di Majalaya.
Warga banyak yang tidak tahu tentang AMDAL, bahkan singkatannya pun mereka tidak
mengenal, apalagi membaca dokumennya. Sosialisasi dari pihak industri, pemerintah dan
konsultan kepada warga tentang AMDAL tidak pernah ada.
Dalam sebuah lokakarya regional koordinasi tata lingkungan wilayah Kalimantan, Ir
Hermien Roosita MM, Asisten Deputi Urusan Pengkajian Dampak Lingkungan
Kementerian Lingkungan Hidup menyatakan bahwa hanya 119 kabupaten/kota yang
memiliki komisi penilai AMDAL dari 474 kabupaten/kota di Indonesia. Dari angka
tersebut, hanya 50% yang berfungsi menilai AMDAL. Sementara 75% dokumen AMDAL
yang dihasilkan berkualitas buruk sampai sangat buruk. (#/ timpakul, 25 April 2006)
Paparan tersebut menunjukkan bahwa Pemerintah dan konsultan-konsultan AMDAL
banyak yang meninggalkan prinsip-prinsip dasar yang harusnya dijalankan dalam proses
penyusunan AMDAL yaitu: (1) Kesetaraan posisi di antara pihak-pihak yang terlibat; (2)
Transparansi dalam pengambilan keputusan; (3) Penyelesaian masalah yang bersifat adildan bijaksana; dan (4) Koordinasi, komunikasi, dan kerjasama dikalangan pihak-pihak yang
terkait. Parahnya lagi, AMDAL dijadikan komoditas ekonomi oleh oknum di aparatur
pemerintah, pemrakarsa, konsultan, bukan sebagai bagian dari sebuah studi kelayakan,
sehingga sering kali ditemui banyak AMDAL yang justru melanggar tata ruang. Jelaslah
sudah, bahwa ada praktek KKN dalam persetujuan AMDAL ini.
Dengan demikian, warga di komunitas lokal, sudah saatnya berani bersuara tentang
ketidakadilan dan penipuan yang berlangsung secara berkelanjutan hingga saat ini. Karena
suatu saat, penerima dampak pertama dari usaha/kegiatan yang seolah-olah telah lulus
AMDAL adalah komunitas lokal.
7/16/2019 Sulitnya Mencari Keadilan
http://slidepdf.com/reader/full/sulitnya-mencari-keadilan 20/139
Suara Korban Kerusakan Lingkungan di Cekungan Bandung;
SULITNYA MERAIH KEADILAN6
5.2 Industri Membuang Limbah Cair ke Sungai
Pada dasarnya semua peraturan hukum
mengatur tentang hak, kewajiban, larangan dan
sanksi hukum. Sama halnya dengan peraturan
hukum tentang limbah yang dihasilkan industri,
itu pun diatur. Ada beberapa kewajiban yang
harus ditaati oleh setiap penanggungjawab
usaha/kegiatan yang menghasilkan limbah,
diantaranya:
Pertama, kewajiban untuk melakukan
pengelolaan limbah hasil usaha/kegiatan sesuai
standar baku mutu yang ditetapkan pemerintah. Pengelolaan limbah diterapkan dengan
memakai IPAL (Instalasi Pengolahan Air Limbah). Keputusan Gubernur Jawa Barat
mengatur tentang detail pengelolaan limbah, diantaranya: (1) Kewajiban untuk melakukan
pengelolaan limbah cair sesuai baku mutu; (2) Kewajiban untuk membuat saluran
pembuangan limbah cair yg kedap air sehingga tidak terjadi perembesan limbah cair kelingkungan; (3) Memasang alat ukur debit limbah dan pencatatan debit harian limbah; (4)
Tidak melakukan pengenceran limbah cair; (5) Memeriksakan kadar parameter baku mutu
limbah cair secara periodik 1 kali dalam 1 bulan atas biaya perusahaan pada laboratorium
rujukan berdasarkan Keputusan Gubernur; (6) Memisahkan saluran pembuangan limbah
cair dengan saluran limpahan air hujan; (7) Melakukan pencatatan produksi dan atau bahan
baku bulanan senyatanya; (8) Menyampaikan laporan tentang catatan debit harian, kadar
parameter baku mutu limbah cair, produksi/bahan baku bulanan sekurang-kurangnya 3
bulan sekali kepada Gubernur dengan tembusan kepada instansi terkait.3
Kedua, kewajiban untuk mencegah dan menanggulangi terjadinya pencemaran air.4
Ketiga, kewajiban bagi setiap usaha/kegiatan yang menimbulkan dampak besar dan pentingterhadap lingkungan hidup, melakukan kajian AMDAL (Analisis Mengenai Dampak
Lingkungan) untuk memperoleh ijin melakukan usaha/kegiatan. Adapun jenis industri yang
wajib AMDAL sudah ditetapkan oleh pemerintah. Kajian itu meliputi sekurang-kurangnya
bagaimana pengaruh terhadap pembudidayaan ikan, hewan, dan tanaman. Pengaruh
terhadap kualitas tanah dan air tanah. Pengaruh terhadap kesehatan warga. Ada beberapa
kriteria mengenai dampak besar dan penting suatu usaha/kegiatan terhadap lingkungan
hidup, yaitu: (1) jumlah manusia yang terkena dampak; (2) Luas wilayah persebaan
dampak; (3) Intensitas dan lamanya dampak berlangsung. (4) Banyaknya komponen
lingkungan lainnya yang terkena dampak; (5) Sifatnya kumulatif dampak; (6) Berbalik
(reversible) atau tidak berbaliknya (irreversible) dampak. Adapun yang bertanggungjawab
melakukan hal ini adalah Kepala Instansi yang ditugasi mengendalikan dampak
lingkungan.5
Keempat, kewajiban mentaati persyaratan yang ditetapkan dalam ijin pembuangan air
limbah. Persyaratan itu meliputi: (1) Kewajiban untuk mengolah limbah; (2) Persyaratan
mutu dan kuantitas air limbah yang boleh dibuang ke media lingkungan; (3) Persyaratan
cara pembuangan air limbah; (4) Persyaratan untuk mengadakan sarana dan prosedur
3Keputusan Gubernur No. 6 Tahun 1999 Tentang Baku Mutu Limbah Cair Bagi Kegiatan Industri di Jawa
Barat pasal 34 PP 82 Tahun 2001 Tentang Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian Pencemaran Air pasal 375 UU No. 23 Tahun 1997 Tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup pasal 15. Kemudian PP 82 Tahun 2001
Tentang Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian Pencemaran Air pasal 41 dan PP No. 27 Tahun 1999Tentang AMDAL pasal 5.
7/16/2019 Sulitnya Mencari Keadilan
http://slidepdf.com/reader/full/sulitnya-mencari-keadilan 21/139
Suara Korban Kerusakan Lingkungan di Cekungan Bandung;
SULITNYA MERAIH KEADILAN7
penanggulangan keadan darurat. (5) Persyaratan untuk melakukan pemantauan mutu dan
debit air limbah. (6) Persyaratan lain yang ditentukan oleh hasil pemeriksaan analisis
mengenai dampak lingkungan yang erat kaitannya dengan pengendalian pencemaran air
bagi usaha dan atau kegiatan yang wajib melaksanakan AMDAL. (7) Larangan
pembuangan secara sekaligus dalam satu saat atau pelepasan dadakan; (8) Larangan untuk
melakukan pengenceran air limbah dalam upaya penataan batas kadar yang diperyaratkan;
(9) Kewajiban melakukan swapantau dan kewajiban untuk melaporkan hasil swapantau. 6
Kelima, kewajiban untuk memperhatikan rencana tata ruang, pendapat warga, pertimbangan
dan rekomendasi pejabat yang berwenang yang berkaitan. dengan usaha dan/atau kegiatan
tersebut. 7
Keenam, kewajiban untuk memberikan informasi yang benar dan akurat mengenai
pengelolaan lingkungan hidup.8
Ketujuh, kewajiban untuk membayar ganti rugi dan/atau melakukan tindakan tertentu
apabila melanggar hukum berupa pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup yang
menimbulkan kerugian pada orang lain atau lingkungan hidup.
9
Untuk memeriksa apakah industri taat terhadap peraturan tersebut, berikut akan dipaparkan
kesaksian warga korban pencemaran limbah industri di Majalaya.
5.3 Kesaksian Warga Korban Pencemaran Limbah Industri
Kawasan industri polutif di Majalaya Kabupaten Bandung jaraknya berdekatan dengan
permukiman warga. Hal ini disebabkan karena pemerintah tidak pernah punya perhatian
yang serius ke Majalaya, termasuk ketika tahun 1950-an Majalaya sudah dikenal sebagai
kota industri, tidak ada kebijakan pemerintah tentang tata ruang untuk pengaturan
penggunaan lahan di Majalaya. Tak heran jika penggunaan lahan industri, pertanian,
permukiman di Majalaya acak-acakan. Kondisi ini pernah disikapi oleh Forum MasyarakatMajalaya Sejahtera (FM2S) dengan cara mengusulkan penyusunan Rencana Detail Tata
Ruang Kota (RDTRK) secara partisipatif pada tahun 2002. Tetapi sayang, ketika hasilnya
sudah mengerucut, Pemerintah Kabupaten Bandung tidak serius untuk menindaklanjuti
hasil RDTRK Majalaya ini dalam sebuah kebijakan misalnya Perda ataupun SK Bupati,
termasuk konsultan RDTRK yang tidak serius memformulasikan gagasan-gagasan warga ke
dalam sebuah dokumen yang sistematis. Tak heran jika kondisi lingkungan hidup Majalaya
sekarang berada di ambang kematian.
Ada sebuah pengalaman berharga yang pernah dilakukan oleh Komunitas Peduli
Lingkungan (KPL) sebagai sebuah wadah yang peduli terhadap masalah pencemaran
limbah industri di Majalaya. Mereka melakukan penelitian tentang pencemaran limbah
industri dengan melibatkan komunitas korban pencemaran limbah industri yaitu di DesaSukamaju, Desa Sukamukti, Desa Padamulya, Desa Biru, Desa Padaulun, Desa Majalaya.
Tanpa disangka sebelumnya, ternyata warga mampu mengidentifikasi sendiri sebab, akibat
dan pelaku pencemaran industri diwilayahnya.
6 PP 82 Tahun 2001 Tentang Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian Pencemaran Air pasal 387 UU No. 23 Tahun 1997 Tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup pasal 19.8
UU No. 23 Tahun 1997 Tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup pasal 6 ayat 2.9 UU No. 23 Tahun 1997 Tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup pasal 34 ayat 1.
7/16/2019 Sulitnya Mencari Keadilan
http://slidepdf.com/reader/full/sulitnya-mencari-keadilan 22/139
Suara Korban Kerusakan Lingkungan di Cekungan Bandung;
SULITNYA MERAIH KEADILAN8
Tabel 1. Hasil Identifikasi Pencemaran Limbah Industri Berdasarkan Perspektif Komunitas
No Lokasi MasalahDugaan Sumber
Pencemaran
Pembuangan limbah industri didugatidak melalui proses IPAL, dibuang
melalui gorong-gorong dibawah JalanGang Kp. Sukahaji kemudian masuk keSungai Cikacembang.
CV. Sinar Baru, Rama Putra,Purnama, Padamulyatex
(PMTI), Nirwana, Himalaya,Istanatex, H. Ama, Carik Makmur
DesaPadamulya RW
05 Kp. Sukahaji
Penggunaan batu bara sebagai bahan bakar mesin boiler industri, menimbulkankekhawatiran warga sebab debu batu bara
tersebut diduga mengandung B3. Tidak ada tempat pembuangan sisa pembakaran
batu bara. Bahkan terkadang dipakaiuntuk menutupi jalan yang berlobang.
CV. Sinar Baru, SungaiIndah, Bimajaya, Himalaya, Nirwana, Rama Putra.
Pembuangan limbah industri didugatidak melalui proses IPAL, dibuang keSungai Cikacembang
PT. Sipatex, Sinar Sari
Pembuangan limbah industri didugatidak melalui proses IPAL, dibuang keSungai Ciwalengke
Tawekal, Harapan, Nirwana,Chiang
Limbah batu bara PT. Sipatex, Sinar Sari
Pabrik industri membangun sumur-sumur artesis dan kolam penampungan air yangairnya diambil dari sungai sehinggasumur warga kekeringan
PT. Sipatex
1
DesaPadamulyaRW 02 dan RW
03 Kp.Cimaranggi
Kebisingan karena getaran mesin yangkuat
PT. Sipatex
Pembuangan limbah industri didugatidak melalui proses IPAL, dibuang ke
Sungai Cipadalun
PT. Tri Bintang Loka,Jasatex, SPTI, CBIP, Hegar
Manah, BSU, Usaha
2 Desa PadaulunRW 03 Kp.
Warusatangkal
Limbah batu bara PT. Tri Bintang Loka, CBIP,
Hegar Manah
Pembuangan limbah industri didugatidak melalui proses IPAL, dibuang ke
gorong-gorong mulai dari RW 15melewati RW 14, RW 12, RW 09, lalumasuk ke Sasak Benjol dan bermuara keSungai Citarum
TMP, WIS, IBM, DML,Jatayu, Nasatex
Desa SukamajuRW 12 Kp.
Patrol
Limbah batu bara TMP, WIS, IBM, DML
Pembuangan limbah industri didugatidak melalui proses IPAL, dibuang ke
gorong-gorong di RW 09 sedangkanlokasi pabriknya di RW lain.
TMP, WIS, IBM, DML,Jatayu, Nasatex, Dewi Sakti.
3
Desa SukamajuRW 09 Kp.
Ciwalengke
Limbah batu bara TMP, WIS, IBM, DML,Himalaya
Pembuangan limbah industri diduga
tidak melalui proses IPAL, dibuang keSungai Cikacembang Desa Sukamukti
sedangkan pabriknya berada di DesaPadamulya.
Tawekal, PT. Purnama, PT.
Nirwana, PMTI.
4 Desa Sukamukti
RW 06 Kp.Pangkalan Raja
dan RW 10 Kp.Sukaasih
Limbah batu bara PT. Purnama, PT. Nirwana,PMTI
5 Desa Biru RW11 Kp. Pasir
Limbah batu bara PT. Ganesha, Panca Agung,Binter
7/16/2019 Sulitnya Mencari Keadilan
http://slidepdf.com/reader/full/sulitnya-mencari-keadilan 23/139
Suara Korban Kerusakan Lingkungan di Cekungan Bandung;
SULITNYA MERAIH KEADILAN9
Pabrik membangun sumur-sumur artesisyang menyedot banyak air darisumbernya sehingga sumur warga kering.
PT. Ganesha, Panca Agung,Binter
Dua kampung tersebut berada di aliranSungai Citarum sehingga dua kampungtersebut menerima limbah buangan dari
seluruh pabrik di Kecamatan Majalaya.
Seluruh pabrik di KecamatanMajalaya
6 Desa MajalayaRW 07 Kp.Mekar Rahayu
dan RW 10 Kp.Kondang Limbah batu bara Padasuka
Sumber: Hasil Riset Partisipatif Komunitas Peduli Lingkungan Tahun 2004, up dates 2006
Setiap hari, warga melihat pabrik industri yang membuang limbah cair di sepanjang
Citarum dan anak-anak sungainya yaitu Cikacembang, Cipadaulun, Ciwalengke yang
beragam warna dan bau. Biasanya pabrik membuang limbah cair ke sungai pada malam hari
sekitar jam 02.00 s/d 05.00 ketika orang sedang terlelap tidur. Hal ini diutarakan oleh AS,
”kasus pembuangan limbah industri ke sungai sudah dari dulu terjadi. Siang tidak dibuang, begitu malam apalagi kalau hujan gede dibuang. Saya punya teman, mantanSATPAM CV. PURNAMA, tahu persis tentang proses tersebut. Sudah menjadi rahasiaumum ada backing-backing dari aparat-aparat atau dari pemerintah baik di tingkat
Kecamatan, Kabupaten, Provinsi, Pusat.. Karena tidak mungkin kalau pengusaha tidak mempunyai pendekatan seperti itu mereka bisa lolos dari jeratan hukum”
10
Hal yang sama diutarakan oleh AT, “masyarakat Desa Sukamaju dilanda pencemaran air sareng udara, kumargi dilingkup ku limbah-limbah pabrik. Jumlah pabrik seueur ti mulai Dangdeur, Patrol, Leuwidulang. Demi nyalametkeun masyarakat Sukamaju, ieu teh kedahdisalametkeun ku pamarentahan. Salametkeun masyarakat ulah nepikeun ka korban, ulahaya masyarakat anu cilaka. Nembe jelas ti KPL aya penerangan tentang lingkungan hidup.Ti kepala desa, kecamatan, kabupaten mah belum pernah ada, non sen. Terjadi sesuatuantara masyarakat jeung pabrik oge malah dikambinghitamkeun masyarakatmah”(masyarakat Desa Sukamaju dilanda pencemaran air dan udara karena dilingkupi oleh
limbah-limbah pabrik. Jumlah pabrik cukup banyak, dari mulai Dangdeur, Patrol,
Leuwidulang. Demi menyelamatkan masyarakat Sukamaju, harus diselamatkan oleh pemerintahan. Selamatkan masyarakat jangan sampai jadi korban, jangan ada masyarakat
yang celaka. Baru jelas dari KPL ada penerangan tentang lingkungan hidup. Dari kepala
desa, kecamatan, kabupaten belum pernah ada, non sen. Terjadi sesuatu antara masyarakat
dengan pabrik, malah masyarakat yang dikambinghitamkan)11
Asap-asap hitam pun keluar dari cerobong pabrik industri yang menimbulkan pencemaran
udara serta bau menyengat. Pak AS memaparkan “mangga kontrol ku pengusaha atanapiku pamarentah, lantai mesjid kebul ku debu batu bara, hideung pisan. Unggal poe dikepel ku barudak mesjid. Eta saeutik ageung na teh ngajantenkeun panyakit jeung pencemaranudara khususna di Kp. Sukahaji. Kapungkur aya sosialisasi ti pihak pamarentah jeung
pengusaha industri, cenah tilu sasih sakali bade diparios pembuangan emisi mesin boiler batu bara industri nu aya di wilayah ieu. Gening buktosna teu aya. Permasalahan limbahbatu bara, kumaha pencegahan pencemaran nana, teu dijelaskeun ka masyarakat, boh ku
pihak perusahaan atawa pamarentah. Sapertos Pabrik Himalaya, dugi ka ayeuna kalah si Pengusaha teh nantang, sok rek tepi kamana hukum? Kan kalahkah nantang. Lainmikirkeun kumaha carana jeung kumaha saena naggulangi masalah pencemaran tina batubara. (Silahkan kontrol oleh pengusaha atau pemerintah, lantai mesjid kotor oleh debu batu
bara, hitam sekali. Tiap hari dipel oleh anak-anak mesjid. Sedikit besarnya itu menimbulkan
penyakit dan pencemaran udara khususnya di Kp. Sukahaji. Dulu ada sosialisasi dari ihak
pemerintah dan pengusaha industri, katanya tiap tiga bulan sekali akan ada pemeriksaan
pembuangan emisi mesin boiler batu bara industri yang ada di wilayah sini. Tetapi buktinya
10
Hasil FGD (Focus Grup Disscusion) KPL di Kp. Sukaasih Desa Sukamukti, 28 April 2006.11 Hasil FGD (Focus Grup Disscusion) KPL di Kp. Ciwalengke Desa Sukamaju, 5 Mei 2006.
7/16/2019 Sulitnya Mencari Keadilan
http://slidepdf.com/reader/full/sulitnya-mencari-keadilan 24/139
Suara Korban Kerusakan Lingkungan di Cekungan Bandung;
SULITNYA MERAIH KEADILAN10
tidak ada. Permasalahan limbah batu bara, bagaimana pencegahan pencemaran tersebut,
tidak dijelaskan ke masyarakat baik oleh pengusaha maupun pemerintah. Seperti Pabrik
Himalaya, malah pengusahanya nantang, mau sampai kemana hukum? Bukannya
memikirkan bagaimana caranya menanggulangi pencemaran batu bara tersebut).12
Kalaupun warga sakit akibat pencemaran limbah batu bara, sulit juga untuk dibuktikan
sebab harus ada keterangan dari dokter dan dokter mungkin punya kesulitan untuk
memastikan penyebab penyakit pasien apakah dari limbah batu bara atau bukan karena
membutuhkan penelitian yang cukup lama. Seperti yang Pak AG nyatakan “semuanyaharus dikembalikan pada hati nurani dokterna. Saupami dokter wantun ngutarakeun anu
saeunyana, sae pisan. Tapi memang lah ku sim kuring ge tos kapikir, dokter oge arusaha. Kadang-kadang ti instansi pemerintah oge aya tekanan-tekanan, teu mungkin pami teu ayatekanan mah” (semuanya harus dikembalikan pada hati nurani dokternya. Apabila
dokternya berani mengutarakan yang sebenarnya, bagus sekali. Tapi saya berpikir dokter
pun usaha. Kadang-kadang dari instansi pemerintah menekan, tidak mungkin kalau tidak
ada tekanan)13
Pipa-pipa besi besar, paralon-paralon tertancap dibawah tanah, menyedot sumber air bawahtanah dan sungai untuk memenuhi kebutuhan industri yang mengakibatkan warga
kekurangan air. Cobalah dengar pengalaman AK, “Sateuacan aya perusahaan, halodo
salapan sasih ge, sumur teh tara saat. Ayeunamah halodo dua minggu oge, sumur langsung saat. Upami usum hujan, tos hujan sasasih, dua sasih, nembe cai ayaan deui. Lamun hujan saminggon mah, sumur teh moal caian” (Sebelum ada perusahaan, walaupun kemarau
sembilan bulan, sumur tidak pernah kering. Tapi sekarang, kemarau dua minggu saja,
sumur langsung kering. Kalau musim hujan, sudah hujan satu bulan, dua bulan, baru air
sumur keluar. Tetapi kalau hujan seminggu, sumur tidak ada airnya).14
Ada upaya-upaya yang dilakukan oleh masyarakat, diantaranya pengaduan ke pemerintah
maupun bermusyawarah dengan pengusaha yang mencemari lingkungan. Tapi upaya itu
belum bisa menanggulangi pencemaran air dan udara yang terjadi. Pak AS menjelaskan“Perjalanan yang sudah-sudah, mengajukan ke pemerintah, si A, si B, tetep tidak ada
jalan keluar. Jadi warga mah kagencet deui - kagencet deui. Akhirna warga masyarakat,nya menta kompensasi, habis we kompensasi, nyegak deui. Tapi tetep nu tadi tea, walaupunkompensasi sudah diturunkeun, sungai mah anggeur we hideung, jadi panyakit, tatar lingkunganna teu diperbaiki, angger wae” (Perjalanan yang sudah-sudah, mengajukan ke
pemerintah si A, si B, tetap tidak ada jalan keluar. Warga terinjak lagi-terinjak lagi.
Akhirnya warga masyarakat minta kompensasi. Kalau kompensasi sudah habis, menuntut
lagi. Tapi tetap, walaupun kompensasi sudah diturunkan, sungai tetap saja hitam, jadi
penyakit, lingkungan tidak diperbaiki, tetap saja)15
Mengenai uang kompensasi, Pak AK berpendapat ”Jadi mun dibagikeun uangna mah,
urang nu ngenah tapi anak incu urang anu jadi korban pencemaran limbah kahareupna”(jadi mun diberikan uangnya, kita enak tapi anak cucu kita yang jadi korban pencemaran
limbah yang akan datang)16
Posisi masyarakat dalam kasus pencemaran limbah industri memang selalu tersisihkan, hal
ini diungkapkan oleh Pak AS “masyarakat mah saleresna parantos kesel, seueur dibobodo.Tipayun aya petugas ti pemerintah nu marios sumur anu tercemar limbah, dicandak conto
12 Hasil FGD (Focus Grup Disscusion) KPL di Kp. Sukahaji Desa Padamulya, 30 April 2006.13 Hasil FGD (Focus Grup Disscusion) KPL di Kp. Sukahaji Desa Padamulya, 30 April 2006.14 Hasil FGD (Focus Grup Disscusion) KPL di Kp. Sukaasih Desa Sukamukti, 28 April 2006.15
Hasil FGD (Focus Grup Disscusion) KPL di Kp. Ciwalengke Desa Sukamaju, 21 April 2006.16 Hasil FGD (Focus Grup Disscusion) KPL di Kp. Sukaasih Desa Sukamukti, 28 April 2006.
7/16/2019 Sulitnya Mencari Keadilan
http://slidepdf.com/reader/full/sulitnya-mencari-keadilan 25/139
Suara Korban Kerusakan Lingkungan di Cekungan Bandung;
SULITNYA MERAIH KEADILAN11
caina, belecet, tos aya mang bulan-bulan kereles, teu datang deui. Kitu jeung kitu, dugi kadicarekan ku Bapak ge. Tepi kaayeuna teu aya buktosna. Jadi tungtung na rakyat tehdideudeutkeun wae. Akibatna, euweuh rasa hormat rakyat ka pamimpin. Boboraah Kadesatawa Camat, aya Bupati oge, euweuh wibawaan, da garejul pemerintahna, terus terang we. Da pemerintahna ngabobodo wae rakyat, jadi euweuh wibawa we. Kapungkurmah aya
Kades, Camat atawa Bupati teh masyarakat bungah kadatangan tamu kahormatan. Tahayeunamah aya Bupati ge acuh, teu aya wibawan kusabab loba dibobodo tea, janten acuhmasyarakat teh” (Masyarakat sudah kesal, banyak dibodohi. Dulu pernah ada petugas dari
pemerintah memeriksa sumur yang tercemar limbah, dibawa contoh airnya, menghilang,
tidak datang lagi. Terus seperti itu sampai saya marahin. Sampai sekarang belum ada
buktinya. Jadi akhirnya rakyat yang selalu ditekan. Akibatnya, tidak ada rasa hormat dari
rakyat kepada pemimpin. Jangankan Kades atau Camat, Bupati pun tidak ada wibawanya,
karena pemerintahnya tidak bener, terus terang saja. Pemerintahnya selalu membodohi
rakyat, sehingga tidak ada wibawanya. Dulu, ada Kades, Camat atau Bupati, masyarakat
senang kedatangan tamu kehormatan. Namun sekarang, ada Bupati juga, acuh, tidak ada
wibawa karena selalu membodohi masyarakat sehingga masyarakat acuh).17
Korupsi, Kolusi dan Nepotisme pun biasa muncul dalam penyelesaian kasus pencemaranlimbah industri. Hal ini diutarakan oleh salah satu Anggota DPRD Kab. Bandung yaitu Pak
AA, “kalau kita lihat UU Pengelolaan Lingkungan Hidup, kebijakan tentang limbah
industri, ini sangat ketat aturannya tapi di lapangan sulit direalisasikan. Ketika ada kasus pencemaran limbah industri kemudian perusahaan diajukan ke pengadilan, kapok,dendanya 5 juta tapi biaya “itunya” lebih dari 5 juta , perusahaan juga bebas. Ketikahukum itu kena ke orang kuat jadi kebal hukum. Jadi posisi dewan hanya mendorong,bukan eksekutor”
18
Menyimak berbagai pengalaman warga tersebut, terlihat jelas bahwa ada rasa khawatir,
gelisah terhadap kondisi pencemaran limbah industri yang terjadi. Warga mengetahui
bahwa limbah industri itu berbahaya bagi kesehatan manusia, menimbulkan penyakit,
menurunkan kualitas padi bahkan menyebabkan gagal panen dan ikan mati. Kondisi ininyata dirasakan sendiri oleh mereka. Disisi lain memang harus diakui bahwa warga kurang
memahami istilah fisika dan kimia yang terdapat dalam polutan limbah industri, misalnya
timbal, karbon, merkuri, krom, dll. Hal ini disebabkan oleh lemahnya pemerintah dalam
mensosialisasikan bahaya-bahaya zat pencemar limbah industri kepada masyarakat. Lihat
saja peraturan hukum tentang limbah khususnya tentang standar baku mutu limbah industri,
yang hanya menuliskan istilah fisika, kimia yang kurang dimengerti oleh masyarakat luas.
Tidak ada penjelasan bahaya zat pencemar/polutan yang terkandung dalam limbah industri
terhadap kesehatan manusia, misalnya bahaya timbal, krom, seng, merkuri, hidrokarbon,
partikulat, karbonmonoksida, dsb.
Menurut hasil penelitian pakar lingkungan, diketahui bahwa limbah industri dapat
menghasilkan bahan toksik terhadap lingkungannya yang berdampak negatif terhadapmanusia dan komponen lingkungan lainnya. Limbah cair industri paling sering
menimbulkan masalah lingkungan seperti kematian ikan, keracunan pada manusia dan
ternak, kematian plankton, akumulasi dalam daging, ikan dan moluska, terutama bila
limbah cair tersebut mengandung racun seperti: As, CN, Cr, Cd, Cu, F, Hg, Pb, atau Zn
(Supraptini, Center for Research and Development of Health Ecology, NIHRD 2002).
Kondisi pencemaran di Majalaya diperkuat juga oleh kajian Dinas Lingkungan Hidup
Kabupaten Bandung bekerjasama dengan lembaga Penelitian dan Pemberdayaan (LPPM)
17 Hasil FGD (Focus Grup Disscusion) KPL di Kp. Sukahaji Desa Padamulya, 30 April 2006.18
Hasil FGD (Focus Grup Disscusion) antara anggota DPRD Kab. Bandung dengan PSDK (Pusat Sumber Daya Komunitas), 3 Agustus 2006.
7/16/2019 Sulitnya Mencari Keadilan
http://slidepdf.com/reader/full/sulitnya-mencari-keadilan 26/139
Suara Korban Kerusakan Lingkungan di Cekungan Bandung;
SULITNYA MERAIH KEADILAN12
ITB, Desember 2002, yang menyatakan bahwa pencemaran limbah industri di Majalaya
sangat parah karena limbahnya diatas baku mutu limbah cair industri tekstil sesuai dengan
Kep 51/MEN-LH/1995. Dari data debit air 48 industri yang sudah diperiksa saja, total debit
air limbah adalah 154,87 liter/detik, sangat luar biasa. Adapun parameternya sebagi berikut:
(1) BOD (biochemical oxygen demand) 15 s/d 720 mg/l; (2) COD (chemical oxygendemand) 138 s/d 1750 mg/l; (3) TSS (total suspended solid) 32 s/d 416 mg/l; (4) Fenol
total tak terdeteksi (tt) s/d 225 mg/l; (5) krom total tt s/d 76 mg/l; (6) NH3-N 0,023 s/d 19,8
mg/l; (7) sulfur tt s/d 20 mg/l; (8) minyak dan lemak tt s/d 10,4mg/l; (8) PH5 s/d 11,9.
Kecamatan Majalaya memiliki sekira 240 industri kering dan 59 industri basah, sedangkan
Kec. Solokanjeruk (eks bagian Majalaya) memiliki 56 industri kering dan 5 industri basah.
Industri kering meliputi sebagian besar industri tenun, sebagian kecil industri pemintalan,
konveksi, industri erelan benang, dan garmen. Industri basah didefinisikan sebagai industri
tekstil atau celup benang yang menghasilkan limbah cair dalam jumlah relatif banyak.
Adapun nama-nama sungai di Majalaya yang menerima limbah industri sebagi berikut:
Citarum 33%, Cipadaulun 9,5%, Cikacembang 31%, Ciwalengke 11,9%, Cijunti 2,4% dan
Citarik 2,4%. Perbandingan industri yang melakukan pengolahan air limbah adalah
memiliki IPAL 81%, hanya bak penampung 9,5%, sedang membangun 4,8%, dan tidak memiliki IPAL 4,7%. Adanya sekira 81% industri yang memiliki IPAL bukan berarti
ketaatan mereka terjamin 100%. Kemungkinan industri bermain kucing-kucingan tetap ada,
misalnya mereka menggunakan IPAL saat diperiksa, tetapi melakukan by pass ke sungai
ketika tidak diperiksa, kata Kepala DLH Kabupaten Bandung Ir. Mulyaningrum (Pikiran
Rakyat, 8 Desember 2003)
5.4 Pencemaran Udara
Selain pencemaran air, pencemaran udara pun sudah sangat memprihatinkan. Secara umum,
terdapat dua sumber pencemaran udara, yaitu pencemaran akibat sumber alamiah (natural sources), seperti letusan gunung berapi, dan yang berasal dari kegiatan manusia
(anthropogenic sources), seperti yang berasal dari transportasi, emisi pabrik, dan lain-lain.Di dunia, dikenal 6 jenis zat pencemar udara utama yang berasal dari kegiatan manusia
(anthropogenic sources), yaitu karbon monoksida (CO), oksida sulfur (SOx), oksida
nitrogen (NOx), partikulat, hidrokarbon (HC), dan oksida fotokimia, termasuk ozon.
Pencemaran udara yang banyak dibicarakan di Majalaya adalah tentang limbah batu bara
yang berupa fly ash (abu terbang) berupa partikulat, tidak terlihat oleh mata, langsung
terbang ke udara, dihirup oleh manusia, dikategorikan sebagai limbah Bahan Berbahaya
Beracun (B3). Jenis kedua adalah bottom ash (sisa pembakaran batu bara) yang jatuh
kebawah. Menurut data dari DLH Kabupaten Bandung, lebih dari 120 industri pengguna
batubara di Kabupaten Bandung dengan penggunaan batu bara sekira 1.200 ton/hari,
timbunan limbah batubara sekira 120 ton per hari. Limbah batu bara tergolong limbah B3
berdasarkan PP No. 18 Tahun 1999 juncto PP No. 85 Tahun 1999 tentang PengelolaanLimbah B3, dan merupakan kewenangan pemerintah pusat.
Kebijakan Umum Bidang Energi (KUBE) Nasional menetapkan batu bara sebagai energi
alternatif sebab persediaan BBM Indonesia mulai menipis. Dengan ditetapkannya kebijakan
tersebut, pengusaha industri di Majalaya mulai beralih dari BBM yang harganya mahal ke
batu bara yang harganya murah. Ber ton-ton truk besar yang mengangkut batu bara masuk
ke Majalaya. Berpuluh-puluh pabrik menggunakan boiler batu bara dan mengeluarkan
emisi gas buang yang mencemari udara.
Kondisi ini tentu saja menjadi perhatian warga, karena warga sangat khawatir terhadap
bahaya yang ditimbulkan oleh pembuangan limbah batu bara terhadap kesehatan manusia.
Beberapa perusahaan industri yang menggunakan boiler batu bara sering mendapatkan surat
7/16/2019 Sulitnya Mencari Keadilan
http://slidepdf.com/reader/full/sulitnya-mencari-keadilan 27/139
Suara Korban Kerusakan Lingkungan di Cekungan Bandung;
SULITNYA MERAIH KEADILAN13
keberatan dari warga setempat dan warga menuntut beberapa hal, diantaranya: sosialisasi
terbuka atas dampak limbah pencemaran batu bara terhadap kesehatan warga, jaminan
kesehatan warga apabila terkena penyakit akibat limbah batu bara dan ganti rugi. Banyak
surat pengaduan yang disampaikan warga kepada Kepala Desa, Camat, Bupati, DLH.
Ketakutan warga pun bukan tanpa alasan. Beberapa alasan ilmiah tentang dampak negatif
batu bara terhadap kesehatan manusia banyak ditulis oleh pakar-pakar lingkungan. Menurut
World Coal Institute, dampak yang perlu diperhatikan dari batu bara terutama pada
pencemaran udara yaitu: (1) Particulat emissions, dapat menyebabkan gangguan pada
sistem pernafasan manusia, gangguan visibilitas; (2 ) Trace elements, emisi elemen seangin
dari pembakaran batu bara yang perlu diperhatikan adalah berasal dari merkuri,selenium
dan arsen. Logam berat ini berbahaya bagi manusia dan lingkungan; (3) Nox (oksidanitrogen), senyawa ini berkontribusi terhadap pada terjadinya smog, ground level ozone,hujan asam, emisi gas rumah kaca; (4) Sox (oksida sulfur), emisi Sox ini akan
menyebabkan hujan asam dan acidic aerosols (extremely fine airbone particles).Berdasarkan hal tersebut maka dampak pencemaran limbah batu bara terhadap kesehatan
manusia bersifat kronik, dimana pengaruhnya tidak langsung atau tidak segera tampak
setelah terpapar, berupa fibrosis paru mulai dari pneumoconiosis biasa sampai ke fibrosis progesif massif yang merupakan penyebab kematian akibat kegagalan paru.
Untuk menyikapi masalah tersebut, Komunitas Peduli Lingkungan (KPL) melalui
Musyawarah Perencanaan Pembangunan (Musrenbang) Kecamatan Tahun 2005
mengusulkan penelitian limbah batu bara terhadap kesehatan warga melalui Dinas
Lingkungan Hidup Kabupaten Bandung sebesar 50 juta rupiah melalui APBD Kabupaten
Bandung. Sebelum kegiatan penelitian dilaksanakan, KPL secara pro aktif mengusulkan
kepada pihak DLH untuk membuka ruang partisipasi warga yang ingin mengetahui skema
penelitian dan ingin menyampaikan gagasan, ide, harapan seputar penelitian tersebut.
Dalam menjalankan penelitian ini, DLH bekerjasama dengan pihak ketiga yaitu LPM
UNPAD serta ahli kesehatan masyarakat yaitu Dr. Ardini S Raksanagara , dr, MPH.Penelitian ini merupakan penelitian epidemiologis observasional dengan rancangan cross
sectional terhadap pekerja dan warga sekitar industri pengguna batu bara dan bukan
pengguna batu bara. Adapun tujuan penelitian ini adalah: (1) Meneliti pengaruh
penggunaan batu bara pada gangguan fungsi paru pada pekerja dan warga sekitar industri
pengguna batu bara; (2) Meneliti pengaruh faktor apa saja yang berpengaruh terhadap
gangguan kesehatan pekerja dan warga sekitar industri pengguna batu bara.
J
umlah industri pengguna batu bara yang diteliti berjumlah 12 yaitu: PT. Himalaya Tunas
Tex, PT. Unggul Bukit Kencana, PT. Nirwana Gunajaya, PT. Purnama tirtatex, PT. Putera
Mulya TI, PT. Sinar Baru, PT. Sipatex, PT. Sungai Indah, PT. Iwamatex, PT. Cita Bahana
IP, PT. Ferinatex, PT. Hegarmanah Lestari. Sedangkan industri bukan pengguna batu bara
yang diteliti berjumlah 4 yaitu: Firman Jaya, Pertenunan Bagja, Tribakti, dan Laju Sejati.
Jumlah responden yang diperiksa kesehatannya sebanyak 100 orang melalui : (1) foto
rontgent untuk mengetahui kelainan pada foto thorax; (2) spirometer yang digunakan untuk
mengetahui fungsi paru; (3) kuesioner untuk menjaring data umum dan data kesehatan
subjek penelitian. Kegiatan ini berlangsung pada tanggal 24-25 Juli 2006 di GOR Desa
Padamulya. Hasil dari penelitian tersebut disosilisasikan oleh Dr. Ardini S Raksanagara ,
dr, MPH sebagai ahli kesehatan warga sekaligus peneliti, bertempat di Aula Kecamatan
Majalaya pada tanggal 20 September 2006.
Kesimpulan umum dari hasil dari penelitian tersebut yaitu:
1. Sebagian besar responden (64 %) mempunyai lingkungan rumah yang padat dan
sebanyak 80 % dari responden mempunyai lokasi rumah yang berdekatan dengan
7/16/2019 Sulitnya Mencari Keadilan
http://slidepdf.com/reader/full/sulitnya-mencari-keadilan 28/139
Suara Korban Kerusakan Lingkungan di Cekungan Bandung;
SULITNYA MERAIH KEADILAN14
industri.
2. 60.24 % dari responden di lokasi penelitian dimana terdapat industri pengguna
batubara mengalami keluhan yang sering ditemukan berhubungan dengan saluran
pernafasan sedangkan pada lokasi kontrol hanya 23,53 % yang mengalami keluhan
yang berhubungan dengan saluran pernafasan. Setelah dilakukan uji statistik
didapatkan kemaknaan 0,016 (<0,05)
3. Kelainan pada foto thorax ditemukan bahwa 5,9% (1 orang) dari responden di lokasi
kontrol mengalami kelainan yang berhubungan dengan saluran pernafasan, sedangkan
pada lokasi penelitian sebesar 20,5 % (17 orang). Setelah dilakukan uji statistik
didapatkan kemaknaan 0,009 (<0,05)
4. Dari 56 responden terdapat 15 orang (26,8 %) yang menderita kelainan fungsi paru.
5. Kelainan pada fungsi paru ditemukan bahwa dari 15 orang terdapat 10 orang
responden dengan kelainan fungsi (66,7 %) pada lokasi penelitian dan 5 orang (33,3
%) pada lokasi kontrol . Setelah dilakukan uji statistik didapatkan kemaknaan 0,033
(<0,05)
6. Kelainan pada fungsi paru ditemukan bahwa dari 15 orang terdapat 6 orang
responden dengan kelainan fungsi (40 %) pada status gizi yang baik, 4 orang (26,7%)
pada status gizi kurang dan 5 orang (33,3% pada status gizi berlebih . Setelahdilakukan uji statistik didapatkan kemakaan 0,019 (<0,05)
7. Terdapat hubungan bermakna dengan nilai p <0.05 antara timbulnya gangguan fungsi
paru pada responden dengan lokasi responden berada dan status gizi mereka. Makin
dekat dengan industri pengguna batubara dan makin buruk gizi responden maka
kemungkinan terjadinya gangguan fungsi paru semakin tinggi.
6. UPAYA-UPAYA WARGA KORBAN
PENCEMARAN LIMBAH INDUSTRI
Melihat kondisi yang memprihatinkan
tersebut, ada beberapa upaya yang dilakukanoleh warga, mulai dari pengaduan pencemaran
limbah industri kepada: Kepala Desa, Camat,
Dinas lingkungan Hidup (DLH) Kabupaten
Bandung, Bupati, DPRD Kab. Bandung,
Badan Pengendalian Dampak Lingkungan
Hidup (BPLHD) Jabar, Kementerian
Lingkungan Hidup (KLH), bahkan DPR RI.
Tapi pemerintah tidak pernah menunjukkan
kerja yang maksimal terhadap laporan pengaduan masyarakat korban tersebut. Buktinya,
pencemaran limbah industri terus terjadi tiap hari. Berikut ini, ada beberapa contoh upaya dari
warga Majalaya yang memberikan surat pengaduan ke pihak-pihak yang berwenang, diantaranya:
Tabel 2. Pengaduan Kasus
Tanggal Perihal Pengaduan Warga
4/9/2004 Surat pengaduan warga RW 16 Kp. Pasir Kiara Ds. Padamulya Kec. Majalaya, kepada CamatMajalaya , ditembuskan ke Bupati, Kapolsek,Danramil, Kades, PT. PMTI, CV. Purnama Tirtatex,PT. Nirwana.Masalah: sumur-sumur dipermukiman warga sudah tidak layak pakai karena tercemar air limbahdari pabrik industri CV. Purnama Tirtatex, PT. PMTI, dan PT. Nirwana. Akibat dari pencemaran
limbah tersebut warga kesulitan mendapatkan air bersih sehingga harus membeli air bersih.Tuntutan warga ketiga pabrik tersebut adalah meminta air bersih yang layak pakai sampaike rumah-rumah warga.
7/16/2019 Sulitnya Mencari Keadilan
http://slidepdf.com/reader/full/sulitnya-mencari-keadilan 29/139
Suara Korban Kerusakan Lingkungan di Cekungan Bandung;
SULITNYA MERAIH KEADILAN15
25/7/2004 Surat pengaduan warga RT 01 RW 12 Ds. Sukamaju Kec. Majalaya kepada Kades Sukamaju perihal pembuangan air limbah celup yang melalui solokan di lingkungan RW 12 yang sangatkotor dan bau sekali sehingga mengganggu warga. Oleh sebab itu pengurus RW 12 beserta parawarga mengadakan musyawarah dan menghasilkan kesepakatan:1. Setiap perusahaan yang membuang air limbah celup ke solokan yang melalui RW 12
diwajibkan memakai IPAL sesuai standar baku mutu pemerintah.
2. Setiap perusahaan diharuskan membantu warga mengobati yang sakit yang diakibatkanoleh pencemaran limbah yang melewati solokan RW 12.
3. Guna menjalin kerjasama dan timbal balik antara perusahaan dengan warga maka perusahaan diharuskan menerima warga dalam hal kebutuhan tenaga kerja.
4. Setiap pengusaha yang membuang air limbah ke sauran yang melewati RW 12 diharuskanmemelihara sarana pembuangan air limbah dan membersihkan gorong-gorongnya minimal1 kali dalam satu tahun.
14/8/2004 Surat pengaduan warga RT 4 RW 10 Desa Sukamaju kepada Pengusaha PT. Rama Putra perihalkeberatan warga atas rencana penggantian bahan bakar solar ke batu bara karena menurut persepsi warga emisi gas buang dari boiler batu bara mengganggu kesehatan warga. Atas dasar
itu, warga meminta pengusaha PT. Rama Putra sebelum melaksanakan rencana tersebut bermusyawarah terlebih dahulu kepada warga RT 4 RW 10 Desa Sukamaju yang jaraknya
kurang lebih 75m dari PT. Rama Putra.2005-2006 Pengaduan kasus pencemaran limbah cair dan batu bara di Kec. Majalaya oleh KPL melaluiaudensi kepada Dinas Lingkungan Hidup Kabupaten Bandung
2005-2006 Pengaduan kasus limbah di Majalaya oleh KPL melalui audensi kepada Badan PengelolaLingkungan Hidup Daerah Prov. Jabar
2006 Mengirimkan surat aduan kepada Kementrian Lingkungan Hidup dengan dilampiri daftar pabrik- pabrik bermasalah di Kec. Majalaya
2007 Audensi dan pengaduan kasus-kasus yang diperoleh melalui assesmen dengan MenteriLingkungan Hidup di Kantor Kementrian LH Jakarta.
2007 Audiensi dengan Agung Laksono (Ketua DPR RI) membahas tentang permasalahan lingkungandi Cekungan Bandung
2007 Audiensi dengan Komisi III DPR-RI yang menangani bagian penegakan Hukum dan HAM.membahas tentang permasalahan lingkungan di Cekungan Bandung
7. SENGKETA LINGKUNGAN HIDUP
7.1. ADR ( Alternative Disputes Resolution)
Sengketa lingkungan hidup adalah perselisihan antara dua pihak atau lebih yang
ditimbulkan oleh adanya atau diduga adanya pencemaran dan/atau perusakan lingkungan
hidup. (PP No. 54/2000). Penyelesaian sengketa lingkungan hidup dapat ditempuh melalui
pengadilan atau di luar pengadilan berdasarkan pilihan secara sukarela para pihak yang
bersengketa. (UU No. 23/1997).
Penyelesaian sengketa lingkungan hidup melalui proses pengadilan, terdiri dari:a. Melalui Perangkat Hukum Perdata. (Pasal 34 s/d 39 UU No. 23/1997)
1. Gugatan ganti rugi
2. Gugatan untuk melakukan perbuatan hukum tertentu yang berkaitan dengan
pelestarian lingkungan hidup
b. Melalui Perangkat Hukum Pidana. (Pasal 41 s/d 48 UU No. 23/1997)
1. Tuntutan penjara, kurungan, denda.
2. Penyelesaian sengketa lingkungan hidup melalui perangkat hukum pidana harus
memperhatikan asas subsidaritas artinya baru dapat digunakan apabila sanksi
administrasi, sanksi perdata dan penyelesaian sengketa lingkungan hidup diluar
pengadilan tidak efektif dan/atau tingkat kesalahan pelaku relatif besar, dan/atau
akibat perbuatannya relatif besar, dan/atau perbuatannya meresahkan warga.
7/16/2019 Sulitnya Mencari Keadilan
http://slidepdf.com/reader/full/sulitnya-mencari-keadilan 30/139
Suara Korban Kerusakan Lingkungan di Cekungan Bandung;
SULITNYA MERAIH KEADILAN16
Penyelesaian sengketa lingkungan hidup diluar pengadilan ( Alternative Disputes Resolution – ADR) dalah mekanisme penyelesaian sengketa lingkungan hidup di dalam forum dan
dengan prosedur yang disepakati oleh para pihak. (Keputusan Gubernur Jawa Barat No.
32/2000). Prinsip umum ADR adalah: bersifat pilihan secara sukarela, hanya diterapkan
untuk penyelesaian sengketa yang bersifat perdata, tidak dapat dilaksanakan secara simultan
dengan proses penyelesaian dipengadilan untuk kasus yang sama, dan tidak terbatas pada
tuntutan ganti rugi, tetapi dapat mencakup pula pada upaya-upaya lain untuk melindungi
lingkungan hidup.
Bentuk-bentuk ADR, yaitu: (1) Negosiasi: bentuk perundingan yang dilakukan secara
langsung oleh para pihak untuk memperoleh kesepakatan mengenai hal tertentu; (2)
Mediasi: bentuk perundingan yang dilakukan oleh para pihak untuk memperoleh
kesepakatan mengenai hal tertentu dengan dibantu oleh pihak ketiga yang netral (mediator)
yang tidak memiliki kewenangan untuk mengambil keputusan. (3) Arbitrase: bentuk
perundingan yang dilakukan oleh para pihak untuk memperoleh kesepakatan mengenai hal
tertentu dengan dibantu oleh pihak ketiga yang netral yang memiliki kewenangan untuk
mengambil keputusan.
Prosedur ADR, yaitu: (1) Para pihak yang bersengketa melaksanakan perundingan untuk
mencapai kesepakatan penyelesaian sengketa lingkungan hidup (Tata cara penyelesaian
sengketa yang memakai bantuan pihak ketiga berpedoman pada PP No. 54/2000); (2)
Apabila telah dicapai kesepakatan, maka kesepakatan dibuat dalam bentuk tertulis diatas
kertas bermaterai. (3) Selambat-lambatnya 30 hari sejak penandatanganan, surat
kesepakatan didaftarkan di Pengadilan Negeri.
Sifat Kesepakatan ADR bersifat final dan mengikat, artinya tidak ada proses hukum lainnya
terhadap kesepakatan yang telah dicapai dan didaftarkan di Pengadilan Negeri serta
kesepakatan tersebut wajib dilaksanakan oleh para pihak yang terlibat dalam kesepakatan.
Demikianlah beberapa point penting yang bisa disimpulkan dari peraturan hukum ADR.
Kita coba hubungkan antara pasal ADR ini dengan konteks kasus pencemaran limbah
industri. Menurut saya ADR ini adalah pasal adu domba. Konteksnya adalah antara warga
dengan pihak pengusaha industri yang diduga telah mencemari lingkungan. Sedangkan
pemerintah cuci tangan terhadap situasi tersebut.
Jadi ketika warga menduga telah terjadinya pencemaran limbah industri, kesimpulan awal
saya adalah pihak industri tidak menjalankan aturan hukum yang ditetapkan dan pemerintah
lemah dalam melakukan monitoring dan evaluasi terhadap industri tersebut. Dengan kondisi
seperti itu seharusnya pemerintah menindaklanjuti masalah tersebut sebab pemerintah
punya kewenangan, punya tenaga ahli, punya dana untuk menyelesaikannnya.
Saya melihat pasal ADR ini sebagai bentuk ketidakberdayaan pemerintah dalam
memaksimalkan sanksi hukum yang ada baik administrasi, perdata maupun pidana.
Disanksi administrasi sangat jelas sekali bahwa pemerintah punya kewenangan yang besar
untuk melakukan paksaan pemerintahan (baik oleh Gubernur, Bupati/Walikotamadya)
kepada penanggungjawab usaha/kegiatan untuk melakukan tindakan penyelamatan,
penanggulangan, pemulihan pencemaran/kerusakan lingkungan hidup, atas beban biaya
penanggung jawab usaha/ kegiatan. Disamping itu pemerintah punya kewenangan untuk
mencabut ijin usaha jika si pelanggar tidak melakukan pemulihan kerusakan lingkungan
tersebut. Dengan demikian, Pemerintah Provinsi dan Pemerintah daerah tidak mampu
mengemban wewenang untuk melakukan kewajiban pengawasan dampak pencemaran dan
secara luas telah gagal melakukan pengelolaan lingkungan di Jawa Barat.
7/16/2019 Sulitnya Mencari Keadilan
http://slidepdf.com/reader/full/sulitnya-mencari-keadilan 31/139
Suara Korban Kerusakan Lingkungan di Cekungan Bandung;
SULITNYA MERAIH KEADILAN17
Sebagian orang berpendapat bahwa ADR merupakan tanggungjawab sosial perusahaan
kepada warga sekitar dan pelestarian lingkungan hidup. Tapi untuk kondisi Majalaya,
biasanya tanggungjawab sosial perusahaan itu muncul kepada warga setelah warga
menuntut, protes. Tapi ketika warga diam, tanggung jawab sosial pun tidak dilakukan.
Bentuk tanggungjawab sosial perusahaan yang direalisasikan kepada warga sekitar industri
diantaranya membangun prasarana umum (mesjid, MCK, pemeliharaan jalan gang),
bantuan untuk kegiatan hari-hari besar nasional misalnya hari kemerdekaan 17 Agustus,
bantuan untuk kegiatan RW, bantuan untuk kegiatan pemerintah desa, dll. Tetapi sungguh
disayangkan, bentuk tanggungjawab perusahaan industri terhadap pelestarian lingkungan
hidup sangat minim sekali.
Tabel 3. Contoh Kesepakatan ADR
Kesepakatan antara Warga Kecamatan Rancaekek Kabupaten Bandung yang diwakili oleh Ketua
TGPLKR (Tim Gabungan Penanganan Limbah Kecamatan Rancaekek) sebagai Pihak ke-1dengan PT. Kahatek, PT. Insan Sandang Internusa dan PT. Five Star sebagai Pihak ke-2 tentang
upaya penyelesaian masalah pencemaran limbah industri dari ketiga perusahan tersebut.Kesepakatan ini dilakukan pada tanggal 6 Agustus 2002 dengan Nomor surat: 660.3/631/1/2002.
Secara singkat isi kesepakatannya yaitu:1. Pihak ke-2 bersedia untuk melaksanakan:
a. Optimalisasi IPAL sesuai dengan standar teknis yang direkomendasikan oleh BPLHDProvinsi Jabar yang dalam pelaksanaan dan operasionalnya akan diawasi secara intensif
melalui koordinasi Dinas Pengelolaan Lingkungan Hidup (DPLH) Kabupaten Sumedang. b. Normalisasi Sungai Cikijing yang perencanaan dan pelaksanaannya akan dikoordinasikan
oleh instansi yang kompeten (Dinas Pengelolaan Sumber Daya Air Provinsi Jawa Barat).Dalam pelaksanaan kegiatan tersebut, pihak perusahaan baru bersedia memberikankompensasi untuk pelaksanaan normalisasi Sungai Cikijing dengan biaya masing-masing:
x PT. Kahatex sebesar Rp 100.000.000,- (Seratus Juta Rupiah)
x PT. Insan Sandang Internusa sebesar Rp 8.000.000,- (Delapan Juta Rupiah)
x PT. Five Star sebesar Rp 7.500.000,- (Tujuh Juta Lima Ratus Ribu Rupiah)2. Kesediaan perusahaan untuk melaksanakan hal-hal tersebut beserta segala implikasi
pembiayaan akan dilaksanakan dalam jangka waktu 1 bulan.3. Dalam rangka menyelesaikan masalah pencemaran di Rancaekek secara lebih terintegrasi,
perlu dilakukan pembahasan intensif tentang:a. Penjajagan pembangunan IPAL (Instalasi Pengolahan Air Limbah) terpadu. b. Pengembangan program community development (air bersih, sarana medis dan pengalihan
mata pencaharian warga selain sawah ke usaha lain).c. Fasilitasi dan pembinaan untuk pengembangan peluang dan potensi usaha warga.d. Segala tindakan yang dilakukan Pihak ke-2 dalam kesepakatan ini, secara tanggung
renteng merupakan tanggungjawab pihak ke-2.4. a. Pihak ke-2 diwajibkan untuk: mengelola lumpur IPAL sesuai dengan peraturan bagi limbah
B3. b. Selama kegiatan normalisasi Sungai Cikijing, Pihak ke-2 wajib membantu/menyediakan
air bersih sesuai kebutuhan warga Rancaekek.
c. Pengawasan terhadap implementasi surat kesepakatan ini dilakukan oleh Bupati Bandungdan Bupati Sumedang dibawah koordinasi Gubernur Jabar serta TGPLKR (TimGabungan Penanganan Limbah Kecamatan Rancaekek) selaku perwakilan wargaRancaekek yang terkena dampak dibawah koordinasi Camat Rancaekek.
5. Hal-hal yang belum diatur dalam kesepakatan ini, akan diatur kemudian secara musyawarahdan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari kesepakatan ini.
Kesepakatn ini ditandatangani oleh kedua belah pihak dan ditandatangani juga oleh saksi-saksidari Kepala BPLHD Jabar, Kepala Dinas PSDA Provinsi Jabar, Kepala BPLH Kab. Bandung,
Kepala DPLH Kab. Sumedang, Camat Rancaekek, Camat Jatinangor, perwakilan warga DesaLinggar, jelegong, Bojongloa, Sukamulya. Kemudian didaftarkan ke Pengadilan Negeri BaleBandung pada tanggal 27 Agustus 2002.
7/16/2019 Sulitnya Mencari Keadilan
http://slidepdf.com/reader/full/sulitnya-mencari-keadilan 32/139
Suara Korban Kerusakan Lingkungan di Cekungan Bandung;
SULITNYA MERAIH KEADILAN18
Dari contoh kesepakatan ADR Rancaekek, muncul pertanyaan: apakah setelah ADR ini
dibuat, pencemaran limbah ketiga pabrik tersebut berhenti? Jawabannya tidak. Sungai
Cikijing masih tercemar limbah industri. Air limbah dari sungai itu digunakan para petani
Rancaekek untuk mengairi sawah. Alhasil, padi hasil petani Rancaekek tidak layak
konsumsi karena tercemar logam berat, para petani pun takut untuk mengkonsumsinya.
7.2. Kesepakatan-Kesepakatan Lokal
Berbeda dengan Rancaekek, sengketa lingkungan hidup di Majalaya banyak diselesaikan
secara lokal antara perwakilan warga ditingkat RW/Kampung dengan pihak pengusaha
industri di RW/Kampung tersebut. Kesepakatannya ditandatangani oleh kedua belah pihak.
Dari data-data kesepakatan warga dengan industri di Majalaya yang dikumpulkan, terdapat
beberapa hal yang berbeda dengan ADR Rancaekek. Kesepakatan di tingkat lokal biasanya
tidak ditandatangani oleh pemerintah lokal baik Kades maupun Camat walaupun Kades dan
Camat ikut menghadiri musyawarah tersebut. Hasil kesepakatan tidak diketahui dan
ditandatangani oleh Dinas Lingkungan Hidup Kabupaten Bandung, dan tidak didaftarkan
ke pengadilan negeri.
Model penyelesaiannya adalah musyawarah melalui proses negosiasi. Warga Majalaya
punya istilah sendiri yaitu ”HO” ketika ada sengketa lingkungan hidup dengan industri,
baik pencemaran limbah cair ke sungai maupun pencemaran limbah batu bara.
Pada hakikatnya HO (Hinder Ordonantie) adalah Undang-Undang Gangguan yang muncul
pada zaman Belanda, kemudian diwujudkan dalam lembaran hukum Stbl. Tahun 1926
Nomor 226 yang telah diubah dan ditambah dengan Stbl. 1940 Nomor 14 dan 15.
Berdasarkan Perda Kabupaten Bandung Tahun 2001 Tentang Ijin Undang-Undang
Gangguan, definisi ijin Undang-Undang Gangguan adalah ”Ijin yang diberikan bagi
tempat-tempat usaha yang dapat menimbulkan gangguan dan tercemarnya lingkungan,
dikecualikan kepada tempat usaha yang lokasinya telah ditunjuk oleh Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah meliputi Kawasan Industri dan Zona Industri”. Daftar jenis
industri yang wajib memiliki ijin gangguan ini terlampir dalam Perda tersebut. Industri
tekstil (pemintalan, pertenunan, pengelantangan, pencelupan, percetakan, penyempurnaan),
industri garmen dengan pencucian, industri mesin tekstil, mesin percetakan, mesin jahit dan
sejenisnya.merupakan contoh dari sekian banyak jenis industri yang wajib memiliki Ijin
Undang-Undang Gangguan karena jenis industri ini termasuk dalam perusahaan yang
menggunakan mesin dengan intensitas gangguan besar/tinggi.
Tetapi sayang sekali, warga disekitar industri sebagian besar kurang memahami makna dari
HO tersebut. Persepsi warga tentang HO adalah uang kompensasi/uang kebijaksanaan
perusahaan sebagai bentuk timbal balik dari perusahaan ke warga sebab warga sudah
memberikan ijin beroperasinya industri tersebut. Kalimat itu biasanya dibahasakan ku orangMajalaya dalam bahasa sunda ”HO teh nyaeta uang pangolo ti perusahaan ka warga amehdibere ijin ku warga pabrikna bisa beroperasi”. Bahasa orang Majalaya itu kalau kita
hubungkan dengan persyaratan Ijin Undang-Undang Gangguan atau HO memang ada
hubungannya, sebab persetujuan tetangga/atau warga yang berdekatan merupakan faktor
utama dari sekian persyaratan yang harus dipenuhi oleh suatu industri apabila ingin
mendapatkan ijin tersebut. Jadi kalau ada penolakan dari warga sekitar, kemungkinan ijin
tersebut tidak akan keluar.
Kebiasaan warga menerjemahkan HO itu adalah uang disebabkan oleh dijalankannya
strategi industri yang tidak mau repot-repot menjawab pertanyaan warga seputar hal-hal
penting yang ingin diketahuinya (misalnya ijin usaha, jenis mesinnya, jumlah karyawan
yang diperlukan, pengelolaan limbahnya, dll), seolah-olah seperti ada rahasia yang tidak
7/16/2019 Sulitnya Mencari Keadilan
http://slidepdf.com/reader/full/sulitnya-mencari-keadilan 33/139
Suara Korban Kerusakan Lingkungan di Cekungan Bandung;
SULITNYA MERAIH KEADILAN19
mau terbongkar.
Pemerintah maupun industri tidak membuka ruang publik bagi warga untuk berpartisipasi
dan berada dalam posisi setara dalam pengambilan keputusan, apakah warga keberatan atau
tidak. Pemerintah dan industri selalu menggunakan cara cepat untuk mendapatkan ijin
warga yaitu dengan memberikan uang. Pemerintah maupun industri tidak pernah
memberikan pembelajaran yang baik kepada warga, sehingga warga paham betul bahwa
keputusannya untuk mengijinkan industri berada diwilayahnya tidak merugikan
lingkungan. Jadi wajar saja kalau sekarang warga bersikap materialistis, asal ada uang,
tanda tangan pun diberikan, karena memang diajarkan seperti itu oleh pemerintah dan
industri.
Ada keanehan lain yang ditunjukkan industri apabila terjadi sengketa lingkungan hidup.
Ketika munculnya kesadaran warga untuk menuntut pihak industri agar mengelola
IPALnya secara benar, tidak membuang langsung limbah ke sungai dan menuntut teknologi
bersih yang ramah lingkungan, pengusaha industri selalu mengancam akan dilakukannya
PHK (Pemutusan Hubungan Kerja) bagi karyawan. Padahal secara hukum aturan
pengelolaan limbah cair berbeda dengan aturan tenaga kerja. Pada kenyataannya hal iniselalu dikait-kaitkan dan dijadikan alat untuk menakut-nakuti warga oleh pihak industri.
Berikut akan digambarkan tentang model penyelesaian lingkungan di tingkat lokal antara
warga dengan pihak industri di Majalaya.
7/16/2019 Sulitnya Mencari Keadilan
http://slidepdf.com/reader/full/sulitnya-mencari-keadilan 34/139
Suara Korban Kerusakan Lingkungan di Cekungan Bandung;
SULITNYA MERAIH KEADILAN 20
Tabel 4. Contoh Kesepakatan Warga Majalaya dengan Perusahaan Industri
TanggalPihak yang
bernegosiasiDeskripsi kasus Hasil kesepakatan
Peruntukkan uang
kebijaksanaan perusahaan
September 1998
Pimpinan PerusahaanCV.Purnama Tirtatex
sebagai Pihak ke-1 danKetua RW 16 Kp.
Pasirkiara DesaPadamulya Kec.
Majalaya Kab. Bandung
yang berfungsi sebagai perwakilan masyarakat
dan selanjutnya disebutPihak ke-2
Tuntutan dari warga RW 16Kp. Pasir Kiara Ds.
Padamulya terhadap CV.Purnama Tirtatex yang
membuang air limbah keSungai Cikacembang,
sehingga air sumur warga
tercemar limbah. Tuntutanwarga adalah permintaan air
bersih.
1. Pihak ke-1 telah menyerahkan uang sebesar Rp 2.000.000,- kepadaPihak ke-2untuk keperluan pembayaran pembuatan 2 buah sumur
bor berikut bangunan MCK nya yang berada diwilayah RW 16Kec. Majalaya Kab. Bandung, yang satu buah sumur bor
dilengkapi dengan pompa air biasa (Dragon), untuk dipergunakanoleh masyarakat, khususnya masyarakat di wilayah RW tersebut.
2. Bangunan berikut perlengkapan/peralatannya (butir 1 diatas) untuk
pengurusan/perawatan sesuai fungsinya, dan kerusakan, perbaikan, penggantian semuanya yang ada ditempat tersebut menjadi
tanggungjawab Pihak ke-2.3. Pihak ke-2 menerima sepenuhnya dari Pihak ke-1 sesuai dengan
bunyi pernyataan butir 1 dan 2 diatas.
4. Pihak ke-2 tidak keberatan dan mengijinkan pembuangan air limbahyang sudah melalui proses pengolahan IPAL dari Pihak ke-1
melalui Sungai Cikacembang.
29/5/2002 Pengusaha PT. Panca
Mitra Sandang Indahsebagai Pihak ke-1
dengan Ketua RW 11
Kp. Cidawolong DesaBiru Kec. Majalaya
Kab. Bandung yang berfungsi sebagai
perwakilan masyarakatdan selanjutnya disebut
Pihak ke-2
Ijin perluasan pabrik/benteng 1. Pihak perusahaan bersedia memberikan uang kebijaksanaan kepada
warga masyarakat RT 01 RW 11 Desa Biru yang telah disepakati bersama.
2. Pihak perusahaan akan memperhatikan masyarakat disekitarnya
untuk mendapatkan kesempatan menjadi karyawan dengan syaratsebagai berikut: a) Memenuhi syarat-syarat yang diperlukan
perusahaan; b) Memenuhi standar keterampilan kerja; c) adalowongan kerja.
3. Pihak perusahaan akanmemberikan jaminan kesehatan kepadamasyarakat yang penyebabnya ditimbulkan dari pabrik.
4. Pihak perusahaan akan membantu untuk biaya pembangunan yang bersifat sarana sosial/sarana umum.
17/2/2004 Pengusaha PT.Citabahana Intipersada
dengan warga RW 03
Kp. Warusatangkal Ds.Padaulun Kec. Majalaya
Penggunaan boiler batu baraoleh PT. Citabahana
Intipersada
Surat pernyataan dan persetujuan dari warga RW 03 Kp.Warusatangkal Ds. Padaulun Kec. Majalaya yang menyatakan tidak
berkeberatan dan menyetujui atas beroperasinya mesin boiler milik PT.
Citabahana Intipersada yang menggunakan bahan bakar batu baramaupun bahan bakar lainnya dalam arti luas dengan persyaratan:
1. Mesin boiler tersebut tidak menimbulkan polusi atau hal-hal lainyang berdampak merugikan warga setempat.
2. Apabila timbul gangguan yang dapat merugikan warga maka pihak
7/16/2019 Sulitnya Mencari Keadilan
http://slidepdf.com/reader/full/sulitnya-mencari-keadilan 35/139
Suara Korban Kerusakan Lingkungan di Cekungan Bandung;
SULITNYA MERAIH KEADILAN 21
TanggalPihak yang
bernegosiasiDeskripsi kasus Hasil kesepakatan
Peruntukkan uang
kebijaksanaan perusahaan
pengusaha segera mengambil langkah-langkah perbaikan.
Yang membuat surat pernyataan dan persetujuan tersebut yaitu Kepala
Desa Padaulun, Ketua RW 03, Ketua RT 02/RW 03, Ketua RT 01/RW03 dan 8 orang tokoh masyarakat.
18/5/2004 Pengusaha PT. Dewi
Sakti sebagai Pihak ke-1 dan lima orang
perwakilan warga di Kp.
Ciwalengke RT 04 RW09 Ds. Sukamaju Kec.Majalaya Kab. Bandung,
sebagai Pihak ke-2.
Penutupan saluran air pabrik
PT. Dewi Sakti oleh warga diKp. Ciwalengke RT 04/RW 09
Ds. Sukamaju. Latar belakang
warga menutup saluran air pabrik tersebut dikarenakanPT. Dewi Sakti mengeluarkan
limbah ke solokan di wilayah
permukiman.
1. Pihak ke-1 akan memberikan uang kompensasi sebesar Rp
15.000.000 kepada Pihak ke-2 setelah perusahaan aktif kembaliyaitu pada Hari Kamis, 20 Mei 2004 dan akan diserahkan langsung
oleh pihak perusahaan kepada Pihak ke-2.
2. Air yang ditutup oleh warga akan segera dibuka kembali pada HariRabu, 19 Mei 2004 dan tidak akan melakukan penutupan lagidimasa mendatang.
3. Masalah penerimaan karyawan apabila diperlukan akan meminta
melalui Ketua RW sesuai dengan kebutuhan.4. Segala aktivitas pabrik termasuk mesin boiler yang baru dapat
dijalankan secara normal (siang malam).5. Masalah sampah supaya dikoordinasikan oleh pengurus Pihak ke-2
kepada H. Iyat dan Ibu Wawat.
Apabila dikemudian hari ketentuan kesepakatan tersebut tidak dilaksanakan maka masing-masing pihak bersedia menerima sangsi
hukum yang berlaku dinegara RI.
Berdasarkan hasil musyawarah
pada tanggal 20 Mei 2004disepakati tentang prosedur
pembagian uang kompensasi dari
PT. Dewi Sakti sebesar Rp15.000.000. Dasar petimbanganyang diambil adalah: (1) jarak
jumlah penduduk dari lokasi
pabrik; (2) penduduk musiman(pendatang); (3) Kepala Keluarga
yang bersatu dengan lainnya.Rincian pembagiannya: (1) VIP Rp
130.000; (2) Kelas 1 Rp 50.000;
Kelas 2 Rp 35.000; (3) Kelas 3 Rp15.000; (4) Kelas 4 Rp 10.000.
15/7/2004 Manajer Personalia CV.Sungai Indah sebagai
Pihak ke-1 dengan
Ketua RW 05 Kp.Sukahaji Desa
Padamulya Kec.Majalaya Kab. Bandung
sebagai Pihak ke-2
Tuntutan warga RW 05 Kp.Sukahaji Ds. Padamulya
terhadap mesin boiler batu
bara CV. Sungai Indah yangmengeluarkan emisi gas buang
batu bara. Warga keberatansebab emisi gas buang batu
bara tersebut menimbulkan pencemaran udara dan
mengganggu kesehatan warga.
1. Pihak ke-1 bersedia membantu biaya pengobatan warga apabilamengalami sakit yang diakibatkan oleh emisi gas buang boiler batu
bara yang dibuktikan secara medis dan secara hukum.
2. Pihak ke-1 akan mengutamakan tenaga kerja dari wargamasyarakat sekitar lingkungan perusahaan, bilamana diperlukan
dengan kriteria persyaratan dari perusahaan.3. Pihak ke-1 memberikan uang kebijaksanaan kepada masyarakat
lingkungan RW 05 sebesar 16.000.000 untuk masyarakat yang berdekatan dengan benteng perusahaan.
4. Pihak ke-2 menerima atas kebijaksanaan dari Pihak ke-1 dan Pihak
ke-2 tidak akan melakukan pengajuan lagi kepada Pihak ke-1karena sudah diselesaikan secara musyawarah.
5. Pihak ke-2 bersedia menjaga keamanan, ketertiban baik dilingkungan perusahaan maupun dilingkungan RW 05.
6. Kesepakatan bersama tersebut disaksikan oleh 9 orang yang
Berdasarkan hasil musyawarahwarga, pembagian uang
diklasifikasikan berdasarkan
radius/jarak rumah warga dengan perusahaan. Ada 5 kelas yaitu
kelas 1, 2, 3, pengikut/umpi dan pendatang.
Kelas 1, mendapatkan uang Rp120.000/KK
Kelas 2, mendapatkan uang Rp
90.000/KK Kelas 3, mendapatkan uang Rp
60.000/KK Pengikut/umpi, mendapatkan uang
Rp 45.000/KK
7/16/2019 Sulitnya Mencari Keadilan
http://slidepdf.com/reader/full/sulitnya-mencari-keadilan 36/139
Suara Korban Kerusakan Lingkungan di Cekungan Bandung;
SULITNYA MERAIH KEADILAN 22
TanggalPihak yang
bernegosiasiDeskripsi kasus Hasil kesepakatan
Peruntukkan uang
kebijaksanaan perusahaan
mewakili masyarakat RW 05 dan menyetujui hasil kesepakatan
tersebut.
Pendatang mendapatkan uang Rp
10.000/KK
27/10/2004 Kepala Divisi Personalia
dan Umum CV. BimaJaya sebagai Pihak ke-1
dan Ketua RW 05 Kp.Sukahaji Desa
Padamulya Kec.
Majalaya Kab. Bandungsebagai Pihak ke-2
Tuntutan warga RW 05 Kp.
Sukahaji Ds. Padamulyaterhadap mesin boiler batu
bara CV. Bima Jaya yangmengeluarkan emisi gas buang
batu bara. Warga keberatan
sebab emisi gas buang batu bara tersebut menimbulkan pencemaran udara dan
mengganggu kesehatan warga.
1. Pihak ke-1 dan ke-2 menyepakati pengoperasian boiler batu bara
milik perusahaan.2. Pihak ke-1 akan selalu memperhatikan prosedur pengoperasian
mesin batu bara guna mencegah dampak lingkungan yangdisebabkannya.
3. Pihak ke-1 bersedia menanggung biaya pengobatan pihak warga
secara gotong royong dengan pengusaha lain yang menggunakanmesin batu bara disekitar lingkungan RW 05, apabila ada wargayang mengalami sakit yang disebabkan oleh emisi gas buang boiler
batu bara , setelah dibuktikan secara media maupun hukum.
4. Pihak ke-1 akan lebih mengutamakan tenaga kerja dari pihak warga bilamana diperlukan yang disesuaikan dengan kriteria atau
persyaratan yang berlaku diperusahaan.5. Pihak ke-1 akan memberikan uang kebijaksanaan sebesar Rp
10.000.000,- kepada pihak warga sebagai bentuk terimakasih
karena secara tidak langsung telah memberikan dukungan moraldemi kelangsungan aktivitas perusahaan.
6. Bahwa setelah ditandatangani dan dilaksanakan surat persetujuan
bersama ini kedua belah pihak tidak akan menuntut apapundikemudian hari.
Berdasarkan hasil musyawarah
warga, pembagian uangdiklasifikasikan berdasarkan
radius/jarak rumah warga dengan perusahaan. Ada 4 kelas yaitu
kelas 1, 2, pengikut, kontrakan.
Kelas 1, mendapatkan uang Rp65.000/KK Kelas 2, mendapatkan uang Rp
55.000/KK
Pengikut, mendapatkan uang Rp30.000/KK
Kontrakan, mendapatkan uang Rp5.000/KK
4/8/2005 Pengusaha PT. Tri
Bintang Loka Warna
sebagai Pihak ke-1 danKetua RW 03 Kp.
Warusatangkal DesaPadaulun Kec. Majalaya
Kab. Bandung sebagaiPihak ke-2
Tuntutan warga RW 03 Kp.
Warusatangkal Ds. Padaulun
terhadap mesin boiler batu bara PT. Tri Bintang Loka
Warna yang mengeluarkanemisi gas buang batu bara.
Warga keberatan sebab emisigas buang batu bara tersebut
menimbulkan pencemaran
udara dan mengganggukesehatan warga.
Kesepakatan dilakukan kedua belah pihak didepan MUSPIKA (Camat,
Kapolsek, Danramil) yang bertempat di Kantor Polsek Majalaya,
tanggal 4 Agustus 2005 yang menghasilkan kesepakatan:1. Pihak ke-1 dengan berbagai upaya akan mengusahakan mengurangi
pencemaran udara/bau tidak sedap serta akan mengurangi asap yangdikeluarkan oleh cerobong pabrik PT. Tri Bintang Loka Warna dan
Pihak ke-2 menyetujuinya.2. Sebagai upaya dari Pihak ke-1 untuk mengurangi rasa bau tak sedap
dan mengurangi asap yang ditimbulkan dari cerobong pabrik maka
akan segera untuk menambah ketinggian cerobong PT. Tri BintangLoka Warna, Pihak ke-2 menyetujuinya.
3. Bilamana setelah ada upaya tersebut ditas masih ada keluhan makaPihak ke-1 akan menanggapi keluhan Pihak ke-2 dengan akan
mengontrol secara bersama tentang keluhan tersebut dan Pihak ke-1
7/16/2019 Sulitnya Mencari Keadilan
http://slidepdf.com/reader/full/sulitnya-mencari-keadilan 37/139
Suara Korban Kerusakan Lingkungan di Cekungan Bandung;
SULITNYA MERAIH KEADILAN 23
TanggalPihak yang
bernegosiasiDeskripsi kasus Hasil kesepakatan
Peruntukkan uang
kebijaksanaan perusahaan
akan segera memperbaiki kembali untuk mengurangi keluar asap
dan bau tak sedap dari cerobong PT. Tri Bintang Loka Warna.
4. Bilamana masing-masing pihak tidak mematuhi isi pernyataan inimaka kedua belah pihak bersedia untuk dilaporkan kepada pihak
yang berwajib dan dituntut sesuai dengan hukum yang berlaku di Negara Republik Indonesia.
3/11/2007 Pengusaha CV. Sinar
Baru sebagai Pihak ke-1
dan Ketua RW 05 Kp.Sukahaji DesaPadamulya Kec.
Majalaya Kab. Bandung
yang berfungsi sebagai perwakilan masyarakat
dan selanjutnya disebutPihak ke-2
Tuntutan warga RW 05 Kp.
Sukahaji Ds. Padamulya
terhadap mesin boiler batu bara CV. Sinar Baru yangmengeluarkan emisi gas buang
batu bara. Warga keberatan
sebab emisi gas buang batu bara tersebut menimbulkan
pencemaran udara danmengganggu kesehatan warga.
1. Pihak ke-1 bersedia menangani biaya pengobatan bersama-sama
dengan pengusaha yang telah menggunakan boiler batu bara di
wilayah RW 05 Kp. Sukahaji apabila ada warga yang mengalamisakit yang diakibatkan oleh emisi gas buang boiler batu bara dari perusahaan yang ada di wilayah RW 05 (CV. Sinar Baru, CV.
Himalaya, CV. Sungai Indah, CV. Bima Jaya).
2. Pihak ke-1 akan mengutamakan tenaga kerja dari warga danmasyarakat sekitar lingkungan khususnya RW 05.
3. Pihak ke-1 akan menyediakan air bersih untuk warga RW 05.4. Pihak ke-1 akan mengutamakan bingkisan lebaran Hari Raya
kepada 8 rumah yang dekat dengan perusahaan .
5. Pihak e-1 akan melakukan tes pengujian terhadap emisi gas buang boiler batu bara dengan disaksikan oleh pengurus RW 05 yang
dilaksanakan oleh instansi terkait agar boiler batu bara yang dipakai
CV. Sinar Baru benar-benar ramah lingkungan.6. Pihak ke-1 telah memberikan uang sebesar Rp 32.000.000 untuk
warga masyarakat RW 05 dan jajaran pengurus.7. Pihak ke-2 menerima atas kebijaksanaan dari Pihak ke-1 dan Pihak
ke-2 tidak akan melakukann pengajuan lagi kepada Pihak ke-1karena sudah diselesaikan secara musyawarah
8. Kesepakatan bersama ini disaksikan oleh 2 orang yatu perwakilanmasyarakat dan perusahaan.
7/16/2019 Sulitnya Mencari Keadilan
http://slidepdf.com/reader/full/sulitnya-mencari-keadilan 38/139
Suara Korban Kerusakan Lingkungan di Cekungan Bandung;
SULITNYA MERAIH KEADILAN24
Dari gambaran diatas menunjukkan bahwa warga memiliki semangat yang gigih untuk
memperjuangkan hak-haknya atas lingkungan yang telah dirusak dan dicemari industri.
Mereka melakukan perlawanan sekalipun dalam posisi yang tertekan, karena berada pada
pihak yang lemah jika dibandingkan dengan perusahaan. Posisi pun menjadi tidak
seimbang. Perusahaan posisinya kuat sebab keberadaannya amat dibutuhkan oleh
pemerintah sebagai penyumbang PAD. Upaya untuk penyelesaian sengketa lingkungan
menjadi tidak mudah karena kurang ada niat baik dari perusahaan dan juga kehendak
politik pemerintah sehingga penyelesaiannya memakan waktu lama, berlarut-larut dan
hasilnya tidak mencerminkan keadilan bagi warga korban dan keadilan lingkungan.
8. SANKSI HUKUM
8.1 Gambaran Aturan tentang Sanksi Hukum
Apabila penanggung jawab usaha/kegiatan melanggar kewajiban yang tertulis dalam
peraturan hukum tersebut, maka dikategorikan sebagai tindakan kejahatan. Julukan bagi si
pelanggar ini adalah penjahat lingkungan. Sanksi hukumnya bisa termasuk dalam sanksiadministrasi, perdata dan juga pidana.
Sanksi administrasi, diatur dalam UU No 23 Tahun 1997 (pasal 25 s/d 27), diantaranya: (1)
Melakukan paksaan pemerintahan oleh Gubernur, Bupati/Walikotamadya kepada
penanggung jawab usaha/kegiatan untuk melakukan tindakan penyelamatan,
penanggulangan, pemulihan pencemaran/kerusakan lingkungan hidup, atas beban biaya
penanggung jawab usaha/ kegiatan; (2) Tindakan penyelamatan, penanggulangan,
pemulihan dapat diganti dengan pembayaran sejumlah uang tertentu; (3) Pencabutan ijin
usaha/kegiatan
Sanksi Perdata, diatur dalam UU No 23 Tahun 1997 (pasal 34 s/d 39), diantaranya
gugatan ganti rugi dan gugatan untuk melakukan perbuatan hukum tertentu yang berkaitandengan pelestarian lingkungan hidup
Sanksi pidana, sudah diatur Kitab Undang-Undang Hukum Pidana serta dalam UU No. 23
Tahun 1997 (pasal 41 s/d 48). Dalam UU tersebut dijelaskan tentang kategorisasi sanksi
pidana. Ada beberapa contoh kategorisasi sanksi pidana, antara lain: (1) sengaja
melakukan pencemaran lingkungan hidup, diancam pidana penjara 10 tahun dan denda
maksimal Rp 500.000.000; (2) sengaja melakukan pencemaran lingkungan hidup dan
menyebabkan orang mati atau luka berat, diancam pidana penjara 15 tahun dan denda
maksimal Rp 750.000.000; (3) Kealpaan melakukan pencemaran lingkungan hidup,
diancam pidana penjara 3 tahun dan denda maksimal Rp 100.000.000; (4) Kealpaan
melakukan pencemaran lingkungan hidup dan mengakibatkan orang mati atau luka berat,
diancam pidana penjara 5 tahun dan denda maksimal Rp 150.000.000;
Selain ketentuan pidana sebagaimana dimaksud dalam Kitab UU Hukum Pidana dan UU 23
Tahun 1997 (pasal 49), terhadap pelaku tindak pidana LH dapat pula dikenakan tindakantata tertib berupa: (1) Perampasan keuntungan yang diperoleh dari tindak pidana; dan/atau
(2) penutupan seluruhnya atau sebagian perusahaan; dan/atau (3) perbaikan akibat tindak
pidana; dan/atau (4) mewajibkan mengerjakan apa yang dilalaikan tanpa hak; dan/atau (5)
meniadakan apa yang dilalaikan tanpa hak; dan/atau (6) menempatkan perusahaan dibawah
pengampuan paling lama 3 tahun.
8.2 Putusan Pengadilan dalam Kasus Pencemaran Limbah
Menyimak paparan diatas, saya berkesimpulan bahwa perhatian pemerintah ataupun aparat
7/16/2019 Sulitnya Mencari Keadilan
http://slidepdf.com/reader/full/sulitnya-mencari-keadilan 39/139
Suara Korban Kerusakan Lingkungan di Cekungan Bandung;
SULITNYA MERAIH KEADILAN25
yang berwenang dalam melakukan pengelolaan, pengawasan dan pengendalian pencemaran
dirasakan masih lemah. Tindakan proaktif dari pemerintah ataupun aparat seperti
kepolisian, kejaksaan, ataupun kehakiman sendiri dalam menangani kasus sangat kurang.
Keberpihakan pemerintah ataupun aparat lebih condong pada kepentingan investasi ataupun
modal, daripada akibat langsung pencemaran tersebut terhadap masyarakat ataupun
lingkungan.
Sekalipun undang-undang lingkungan telah mencantumkan ketentuan ganti rugi yang
begitu besar dan sanksi hukuman yang begitu berat, namun ketentuan tersebut ternyata
dalam prakteknya belum menjamin para pencemar lingkungan dapat dijerat dengan
hukuman yang memadai. Hal ini dapat dilihat dari beberapa data putusan pengadilan pidana
lingkungan hidup. Sangat jelas sekali, pihak yang didakwa melakukan pencemaran
lingkungan hidup dapat lolos dari jeratan hukum. Dibawah ini, dituliskan contoh putusan
pengadilan pidana lingkungan hidup.
Tabel 5. Contoh Putusan Pidana Lingkungan Hidup
Pengadilan Negeri Bale Bandung dalam Surat Amar Putusan, tangal 6 Mei 2004, Nomor.50/Pid.B/2004/PN BB memutuskan perkara pidana lingkungan hidup kepada:
Terdakwa 1 : Rino Turino Chernawan sebagai Direktur Utama PT. Senayan Sandang Makmur danTerdakwa 2: Djuwito Bin Margono sebagai Kabag Maintenance PT. Senayan Sandang Makmur,yang beralamat di Desa Pasir Paku Kecamatan Batujajar Kabupaten Bandung. Terdakwadinyatakan bersalah karena melakukan tindak pidana sebagaimana diatur dalam pasal 42 ayat (1)Jo. Pasal 46 UU No. 23 tahun 1997 Jo. Pasal 55 (1) ke 1e KUHP, yaitu ”melanggar ketentuan perundang-undangan yang berlaku, karena kealpaannya melakukan perbuatan membuang zat yang berbahaya kedalam air permukaan, padahal mengetahui bahwa perbuatan tersebut dapat menimbulkan pencemaran/perusakan lingkungan hidup”. Menghukum terdakwa dengan pidana penjara masing-masing 4 bulan, dengan ketentuan bahwa pidana tersebut tidak perlu dijalankan,kecuali jika dikemudian hari dalam putusan hakim ditentukan lain yaitu terdakwa-terdakwa
dipersalahkan melakukan suatu tindak pidana sebelum berakhir masa percobaan selama 8 bulan danmembayar denda sebesar Rp10.000.000,- (Sepuluh Juta Rupiah), barang bukti dimusnahkan, sertamembayar ongkos perkara sebesar Rp 10.000,- (Sepuluh Ribu Rupiah).
Pengadilan Negeri Bale Bandung dalam Surat Amar Putusan, tanggal 13 Mei 2004, Nomor 51/Pid.B/2001/PN BB memutuskan perkara pidana lingkungan hidup kepada:
Terdakwa 1: Chu Chu Jung alias Kevin Chu sebagai Presiden Direktur PT. Multi Growth danTerdakwa 2: Dra. Erna Rosmalia sebagai Manager Personalia dan Umum PT. Multi Growth.Terdakwa dinyatakan bersalah karena melakukan tindak pidana sebagaimana diatur dalam pasal 42
ayat (1) Jo. Pasal 46 UU No. 23 Tahun 1997 jo. Pasal 55 (1) ke 1e KUHP, yaitu ”melanggar ketentuan perundangan-undangan yang berlaku, karena kealpaannya melakukan perbuatan yang menyebabkan tercemarnya lingkungan hidup”. Menghukum Terdakwa 1 dengan pidana penjara
selama 5 bulan dengan ketentuan pidana tersebut tidak perlu dijalankan kecuali jika dikemudianhari dalam putusan hakim ditentukan lain yaitu karena Terdakwa dipersalahkan melakukan suatu perbuatan pidana sebelum berakhir selama 10 bulan dan membayar denda sebesar Rp 10.000.000,-(Sepuluh Juta Rupiah). Menghukum Terdakwa 2 dengan pidana penjara selama 3 bulan denganketentuan bahwa pidana tersebut tidak perlu dijalankan kecuali jika dikemudian hari dalam putusan
hakim ditentukan lain yaitu karena Terdakwa tersebut dipersalahkan melakukan suatu perbuatan pidana sebelum berakhir selama 6 bulan. Terdakwa 1 dan 2 membayar ongkos perkara sebesar Rp10.000,- (Sepuluh Ribu Rupiah), serta menetapkan barang bukti dimusnahkan.
Kenyataan itu menunjukkan bahwa tindakan pencemaraan lingkungan belum dianggap
sebagai tindakan kejahatan yang bisa mengancam manusia dan lingkungan. Sebagian para
penegak hukum kita berpandangan bahwa tindakan mencemari lingkungan dianggap
sesuatu yang sepele, bisa diselesaikan secara damai dibelakang meja, dan kalaupun
7/16/2019 Sulitnya Mencari Keadilan
http://slidepdf.com/reader/full/sulitnya-mencari-keadilan 40/139
Suara Korban Kerusakan Lingkungan di Cekungan Bandung;
SULITNYA MERAIH KEADILAN26
dihukum, hukumannya ringan sekali. Putusan itu mengindikasikan bahwa pemerintah dan
aparat penegak hukum terlalu melindungi dan memanjakan tindak kejahatan lingkungan
yang dilakukan oleh industri pencemar, sehingga penegakan hukum lingkungan pun
dilakukan setengah hati.
9. PENEGAKAN HUKUM SETENGAH HATI
Intensitas penanganan kasus-kasus tindak kejahatan lingkungan, salah satunya dipengaruhi oleh
anggaran yang disediakan pemerintah, karena ternyata anggaran untuk menegakkan hukum
lingkungan sangat besar dengan rincian untuk pengumpulan barang bukti, biaya uji
Laboratorium, biaya operasional penyidik, pembuatan dan rapat koordinasi BAP (berita acara
penyidikan) dan gelar perkara.
Berdasarkan laporan tahunan dari Komisi Ombudsman Nasional menunjukkan bahwa tumpulnya
penegakan hukum di Indonesia disebabkan oleh perbuatan maladministrasi (maladministration)yang dilakukan penyelenggara negara, khususnya aparat penegak hukum (law enforcer) dan
lembaga peradilan seperti penanganan yang berlarut-larut, bertindak sewenang-wenang, pemalsuan dokumen, dan lain-lain. Yang dimaksud dengan maladministrasi (maladministration)dalam suatu instansi pemerintah, yaitu adanya keputusan atau tindakan yang janggal
(inappropriate), yang sewenang-wenang (arbitrary), menyimpang (deviate), bahkan melanggar
ketentuan hukum, dan telah terjadi penyalahgunaan wewenang atau kesewenangan (abuse of power, detournament de puvoir), juga jika terasa ada pelanggaran kepatutan (equity) yaitu
sekalipun menurut hukum dapat dibenarkan, akan tetapi nyata-nyata atau dapat dirasakan telah
terjadi ketidakadilan.19
Faktor yang menyebabkan tumpulnya penegakan hukum juga disebabkan oleh sulitnya
menemukan formula yang ampuh dalam memberantas korupsi yang sudah membudaya. Hal ini
disebabkan karena korupsi sudah bersifat endemik dan sistemik. Pengertian dari endemik adalah
dimana korupsi sudah menyebar secara luas (widespread) ke seluruh lapisan birokrasi, khususnyake lembaga peradilan (judicial corruption), dan definisi dari sistemik adalah korupsi sudah masuk
ke seluruh sistem pemerintahan dan perekonomian negara Indonesia.
Permasalahan dalam penegakan hukum juga disebabkan oleh bergesernya nilai-nilai dari
pengemban profesi hukum (advokat) dan penegak hukum sendiri (hakim, advokat, jaksa) yang
cenderung lebih condong ke arah bisnis (Robert H. Aronson, “Professional Responsibilities in A
Nutshell”, (Minnesota: West Publishing), Page 7).
Padahal E.Y. Kanter dalam bukunya yang berjudul “Etika Profesi Hukum” menyatakan bahwa
tujuan utama sebuah profesi bukanlah untuk menciptakan uang semata-mata, tetapi terutama
untuk menyebarluaskan kesehatan (dokter), ilmu pengetahuan (ilmuwan), serta ketertiban umum
atau penerapan hukum yang baik (ahli hukum) ke segenap lapisan masyarakat (E.Y. Kanter,“Etika Profesi Hukum”, (Jakarta: Penerbit Storia Grafika, 2001), hal. 64).
Lemahnya penegakan hukum di Indonesia juga diakibatkan oleh belum adanya keinginan dari
aparat penegak hukum sendiri untuk melakukan perubahan internal, dimana telah bergesernya
nilai-nilai yang dianut pengembang profesi hukum, degradasi kualitas penegak hukum sendiri dan
belum adanya niat untuk melakukan pembaruan (reform) terhadap instansinya masing-masing.
Kendala lain dalam penegakan hukum lingkungan adalah belum adanya kesamaan persepsi antara
19Artikel yang ditulis oleh Frans Hendra Winata. Disampaikan pada diskusi dengan tema “Pencegahan dan
Pemberantasan Korupsi Secara Sistematik” yang diselenggarakan oleh Komisi Ombudsman Nasional di Hotel
Ambhara, 11 April 2005.
7/16/2019 Sulitnya Mencari Keadilan
http://slidepdf.com/reader/full/sulitnya-mencari-keadilan 41/139
Suara Korban Kerusakan Lingkungan di Cekungan Bandung;
SULITNYA MERAIH KEADILAN27
Penyidik Polri, Penyidik PNS, Jaksa dan Hakim sehingga seringkali putusan hakim jauh dari
harapan Penuntut. Kepolisian sebagai ujung tombak dalam penegakan hukum juga tidak pernah
secara proaktif melakukan penanganan kasus-kasus lingkungan. Selain itu, kasus-kasus
lingkungan tidak dijadikan sebagai kasus prioritas dikalangan penegak hukum sehingga berakibat
pada lamanya proses penyelesaian kasus.
Belum adanya langkah sinergis dari pemerintah dan aparat penegak hukum dalam mengatasi
permasalahan lingkungan menjadi kendala dalam proses penyelesaian kasus-kasus pencemaran.
Peranan pemerintah provinsi, pemerintah kota/ kabupaten belum dapat menggambarkan proses
penanganan secara jelas. Pola penanganan yang tidak jelas ini pula yang menghambat ditingkat
masyarakat untuk berperan serta dalam pengelolaan, pengendalian dan pengawasan terhadap
pencemaran.
Kondisi penegakan hukum seperti itu tentu saja menyebabkan warga dibuat seperti putus asa,
tidak tahu harus berbuat apa. Namun, dalam kondisi keputusasaan, masih ada warga yang
bersemangat, pantang menyerah, mereka terus melakukan kampanye-kampanye yang mampu
menggugah kesadaran masyarakat. Diantara sekian banyak komunitas yang berani berjuang di
bumi ini, ada satu upaya yang dilakukan oleh Koalisi Komunitas Korban Lingkungan (K3L)Cekungan Bandung, Pusat Sumber Daya Komunitas (PSDK) yang terus menerus mendorong
proses penegakan hukum lingkungan.
10. EVALUASI PROGRAM-PROGRAM PEMERINTAH
Dalam mengatasi masalah pencemaran limbah industri, ada berbagai upaya yang dilakukan oleh
pemerintah melaui program-program diantaranya:
10.1 Proper (Program Penilaian Peringkat Kinerja Perusahaan dalam Pengelolaan
Lingkungan)
Program ini bertujuan untuk mendorong penaatan perusahaan dalam dalam pengelolaan
lingkungan melalui instrumen insentif reputasi/citra bagi perusahaan yang mempunyai
kinerja pengelolaan lingkungan yang baik, dan instrumen disinsentif reputasi/citra bagi
perusahaan yang mempunyai kinerja pengelolaan lingkungan yang buruk. Kegiatan dalam
program ini mencakup pengendalian pencemaran air, udara dan pengelolaan limbah B3.
Manfaat Proper:
1) Mengetahui sejauhmana industri taat kepada Peraturan Undang-Undang
2) Media informasi bagi masyarakat dan investor untuk mengetahui kinerja perusahaan
dalam pengelolaan lingkungan hidup.
3) Meningkatkan kemauan politik anggota legislatif untuk memprioritaskan kegiatan
pelestarian lingkungan hidup di daerah/sektor masing-masing;4) Sebagai informasi bagi suppier/vendor untuk memasarkan alat/bahan baku ramah
lingkungan dalam rangka penerapan teknologi bersih.
Peringkat Proper:
1) Peringkat Emas, bagi usaha yang telah berhasil melaksanakan upaya pengendalian
pencemaran dan atau melaksanakan produksi bersih dan telah mencapai hasil yang
sangat memuaskan.
2) Peringkat Hijau, bagi usaha yang telah melaksanakan produksi bersih dan berhasil
meminimisasi dampak sampai pada tingkat yang berarti.
3) Peringkat Biru, bagi usaha yang telah melaksanakan upaya pengendalian pencemaran
dan telah mencapai hasil yang sesuai dengan persyaratan minimum sebagaimana diatur
dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku.
7/16/2019 Sulitnya Mencari Keadilan
http://slidepdf.com/reader/full/sulitnya-mencari-keadilan 42/139
Suara Korban Kerusakan Lingkungan di Cekungan Bandung;
SULITNYA MERAIH KEADILAN28
4) Peringkat Merah, bagi mereka yang telah melaksanakan upaya pengendalian
pencemaran tetapi belum mencapai persyaratan minimum sebagaimana diatur dalam
peraturan perundang-undangan yang berlaku.
5) Peringkat Hitam, bagi mereka yang belum berusaha melaksanakan upaya pengendalian
pencemaran yang menimbulkan dampak negatif terhadap lingkungan
Berdasarkan Laporan Menteri Negara Lingkungan Hidup pada Rapat Kerja dengan Komisi
VIII DPR-RI di Jakarta pada tanggal 25 Juni 2003, menyebutkan bahwa di Tahun 2002 ada
12 industri manufaktur di Kabupaten Bandung/Kota Bandung yang mengikuti program
Proper Kemudian di tahun 2003 jumlah industri yang mengikuti program Proper bertambah,
mencapai 21 industri. Berikut nama-nama perusahaan yang mengikuti Proper.
Tabel 6. Proper Industri Manufaktur di Kabupaten Bandung/Kota Bandung Tahun 2002
No Nama Perusahaan Jenis Industri Lokasi Kab/Kota
1 PT. Papyrus Sakti Paper Mill Pulp and Paper Kab. Bandung
2 PT. Bintang Agung Jawa Barat Tekstil Kab. Bandung
3 PT. Grandtex Jawa Barat Tekstil Kab. Bandung
4 PT. Daliatex Jawa Barat Tekstil Kab. Bandung
5 PT. Indorama Syntetic Jawa Barat Tekstil Kab. Bandung
6 PT. Prodomo Jawa Barat Tekstil Kab. Bandung
7 PT. Kahatex II Jawa Barat Tekstil Kab. Bandung
8 PT. KTSM Jawa Barat Tekstil Kab. Bandung
9 PT. Pulau Mas Textile Jawa Barat Tekstil Bandung
10 PT. Adetex 1 Jawa Barat Tekstil Bandung
11 PT. Unilon Jawa Barat Tekstil Kab. Bandung
12 PT. Insan Sandang Internusa Jawa Barat Sumedang
Tabel 7. Proper Industri Manufaktur di Kabupaten Bandung/Kota Bandung Tahun 2003
No Nama Perusahaan Jenis Industri Lokasi Kab/Kota1 PT. Pulau Mas Textile Jawa Barat Tekstil Bandung
2 PT. Melvin Tekstil Bandung
3 PT. Adetex 1 Jawa Barat Tekstil Kab. Bandung
4 PT. Bintang Agung Jawa Barat Tekstil Kota Bandung
5 PT. Grandtex Jawa Barat Tekstil Kota Bandung
6 PT. Daliatex, Jawa Barat Tekstil Kab. Bandung
7 PT. Indorama Syntetic, Jawa Barat Tekstil Kab. Bandung
8 PT. Prodomo, Jawa Barat Tekstil Kab. Bandung
9 PT. Unilon, Jawa Barat Tekstil Kab. Bandung
10 PT. KTSM Tekstil Kab. Bandung
11 PT. Papyrus Sakti Kertas Kab. Bandung
12 PT. Dewa Sutratex Tekstil Kab. Bandung13 PT. Giri Asih Jaya Tekstil Kab. Bandung
14 PT. Insan Sandang Internusa Tekstil Sumedang
15 PT. Kahatex I Tekstil Sumedang
16 PT. Kahatex II Tekstil Sumedang
17 PT. Kahatex III Tekstil Sumedang
18 PT. Kewalram Indonesia Tekstil Sumedang
19 PT. Five Star Textile Tekstil Sumedang
20 PT. Sansan Saudaratex Tekstil Sumedang
21 PT. Kertas Padalarang Pulp and Paper Padalarang
7/16/2019 Sulitnya Mencari Keadilan
http://slidepdf.com/reader/full/sulitnya-mencari-keadilan 43/139
Suara Korban Kerusakan Lingkungan di Cekungan Bandung;
SULITNYA MERAIH KEADILAN29
10.2 Super Kasih
Suatu program guna mendorong percepatan pentaatan industri terhadap ketentuan
peraturan perundangundangan di bidang lingkungan hidup yang berlaku, dengan
membuat Surat Pernyataan Tertulis industri untuk melakukan upaya penaatan dalam
batas waktu tertentu, dengan memperhatikan faktor teknis dan administrasi yang
disaksikan oleh Pejabat Pusat, Provinsi dan Kabupaten/ Kota. Untuk tahun 2003 ini
pelaksanaan program Super Kasih dikonsentrasikan pada tiga provinsi yaitu Jawa Barat
(DAS Citarum), Jawa Timur (DAS Brantas), Riau (DAS Siak), dengan jumlah 100
perusahaan yang melibatkan pemerintah daerah dan pusat.
Pelaksanaan program Super Kasih dilatarbelakangi oleh beberapa hal antara lain:
perkembangan industri di Daerah Aliran Sungai (DAS), meningkatnya pencemaran air
akibat air limbah industri dan domestik dan upaya meningkatkan kualitas air pada DAS.
Tujuan Superkasih:
Pembangunan berkelanjutan yang berwawasan lingkungan, meningkatkan kesadaran
pihak industri untuk menaati peraturan perundang-undangan yang berlaku, meningkatkansemua pihak dalam pengendalian dampak lingkungan.
Sasaran Superkasih:
Meningkatkan kinerja pihak industri dalam upaya pengendalian dampak lingkungan,
menurunkan beban pencemaran dari air limbah industri, meningkatkan kualitas air DAS,
mengembangkanteknologi dan efesiensi IPAL.
Berdasarkan data dari BPLHD Jawa Barat Tahun 2003, jumlah industri yang mengikuti
program Super Kasih sebanyak 25 industri, terdiri dari 24 industri tekstil dan 1 industri
elektronik. Adapun daftar nama perusahaan industri tersebut, yaitu:
Tabel 8. Industri yang Mengikuti Program Superkasih
NO NAMA INDUSTRIJENIS
INDUSTRIALAMAT
1 PT. Asia Agung Central Parahyangan Tekstil Jl. Rancaekek Km. 24,15 Bandung
2 PT. Anata Nusindo Tekstil Jl. Raya Laswi-Warusatangkal No. 7 Majalaya
3 PT. Arthabhama Textindo Tekstil Jl. Raya Bandung-Garut Km. 28
4 PT. Citabahana Intipersada Tekstil Jl. Raya Laswi No. 11 Majalaya
5 PT. Comodo Textile Mills Tekstil Jl. Raya Laswi No. 2 Majalaya
6 PT. Dewi Sakti Anugrah Tekstil Jl. Raya Laswi No. 220 Majalaya
7 PT. Ferinatex Jaya Tekstil Jl. Cihaneut No. 16/26 Majalaya
8 CV. Firman Jaya Tekstil Jl. Raya Laswi-Ciwalengke No. 163/168 Majalaya
9 PT. Hesterindo Sentosa Elektronik Jl. Buah Dua No. 168
10 PT. Himalaya Tunas Texindo Tekstil Jl. Pangkalan Raja No. 20 Majalaya
11 NV. Padasuka Textile Mills Tekstil Jl. Setra Indah III No. 20 Bandung
12 PT. Pelangi Jaya Mandiri Tekstil Jl. Raya Laswi No. 2/10 Majalaya
13 PT. Putra Mulya Terang Indah Tekstil Jl. Rancajigang No. 220 Majalaya
14 PT. Rukun Citra Tekstindo Tekstil Jl. Raya Laswi No. 1 Majalaya
15 CV. Sekawan Tekstil Jl. Randukurung No. 1 Majalaya
16 PT. Senotexindo Jayalestari Tekstil Jl. Raya Bandung-Garut Km. 25,5
17 PT. Shinetama Interfashion Tekstil Jl. Raya Cicalengka Km. 3
18 PT. Sinar Baru Tekstil Jl. Rancajigang No. 20 Majalaya
19 PT. Sinar Domas Textile Tekstil Jl. Raya Laswi No. 51/75 Majalaya
20 PT. Sinar Sari Sejati Tekstil Jl. Raya Laswi No. 97 Majalaya
21 PT. Terus Maju Jaya Perkasa Tekstil Jl. Balekambang No. 291 Majalaya
22 CV. Timbul Jaya Tekstil Jl. Raya Laswi-Ciwalengke No. 99 Majalaya
7/16/2019 Sulitnya Mencari Keadilan
http://slidepdf.com/reader/full/sulitnya-mencari-keadilan 44/139
Suara Korban Kerusakan Lingkungan di Cekungan Bandung;
SULITNYA MERAIH KEADILAN30
23 PT. Tri Bhakti Tekstil Jl. Raya Laswi No 5 Majalaya
24 PT. Unggul Bukit Kencana Tekstil Jl. Rancajigang No. 88 Majalaya
25 PT. Warna Indah Samajaya Tekstil Jl. Balekambang No. 29 Majalaya
Pada kenyataannya program Proper maupun Superkasih belum menunjukan hasil yang maksimal.
Buktinya, pencemaran limbah industri terus terjadi dan belum ada keberhasilan-keberhasilan kecil
yang bisa ditunjukkan oleh pemerintah dalam menyelesaikan kasus-kasus pencemaran limbah
industri. Pemerintah masih seperti ”macan ompong” yang tidak berdaya menghadapi pelanggaran
lingkungan yang dilakukan oleh kaum pemodal. Posisi tawar pemerintah sangat rendah sekali.
Program-program itu hanya dijadikan sumber uang oleh oknum-oknum pemerintah.
Warga mengalami kesulitan untuk mengakses informasi hasil evaluasi program Proper maupun
Superkasih. Informasi ini tertutup, layaknya sebuah rahasia. Warga tidak pernah dilibatkan dalam
memberikan penilaian terhadap pengelolaan limbah yang dilakukan oleh suatu industri. Penilaian
program Proper dan Superkasih sangat formalistik, prosedural dan mengabaikan keterlibatan warga
sekitar yang terkena dampak pencemaran limbah industri.
7/16/2019 Sulitnya Mencari Keadilan
http://slidepdf.com/reader/full/sulitnya-mencari-keadilan 45/139
Suara Korban Kerusakan Lingkungan di Cekungan Bandung;
SULITNYA MERAIH KEADILAN31
MAJALAYA DI AMBANG BATAS
Oleh : Deni Riswandani20
ajalaya sebagai salah satu kota Industri di Jawa Barat, walaupun kedudukannya sebagai kota
kecil dan berada di wilayah otonomi Kabupaten Bandung, namun diera tahun 1960 sampai
dengan era tahun 1980-an Industri Majalaya telah menorehkan sejarah sebagai kota industri
tekstil “unggulan“ yang mampu menempatkan dan memantapkan posisinya sebagai daerah “Supply”
nasional, dan sebagai kawasan “ Export ” internasional. Maka tidak heran apabila Majalaya pernah
menyandang julukan sebagai “Kota Dollar”.
Seiring dengan perkembangan dan kemajuan jaman, maka di awal tahun 1990-an telah terjadi
“Ekspansi“ industri tekstil yang besar-besaran ke kawasan Majalaya. Banyaknya para
“Investor“ pengusaha asing yang mendirikan industri tekstil di Majalaya, semakin memperkokoh
“Status Quo“ Majalaya sebagai kawasan zona industri tekstil di Jawa Barat.
Berdasarkan prosentase penyebaran industri per kecamatan di Kabupaten Bandung, Kecamatan
Majalaya menduduki peringkat tertinggi yaitu hampir 30%. Peringkat tertinggi dimaksud adalah
jumlah terbanyak mencapai 174 industri. Dengan rincian 70 industri tergolong besar dan 104 industri
tergolong kecil. Adapun komposisi jenis kegiatan industri terbanyak di Majalaya adalah industri
pemintalan dan pertenunan yaitu sebanyak 139 industri (DLH. Kab Bandung 2005). Bahkan sampai
menyerap 33.000 tenaga kerja atau 17% penduduk Majalaya ( LPPM. ITB 2003).
Tidak dapat dipungkiri bahwa “Paradigma“ pembangunan ala kapitalis yang lebih berorentasi pada
pertumbuhan dan pemupukan “Surplus“ ekonomi telah menimbulkan persoalan yang amat sangat
serius terhadap kerusakan lingkungan. Tidak dapat ditutupi juga bahwa kini keadaan ekosistem
lingkungan Majalaya telah terjadi penurunan yang signifikan. Hal tersebut dikarenakan sebagai
dampak dari ketidakdisiplinan pengelolaan industri dan lingkungan hidup.
1. PENCEMARAN LINGKUNGAN
“diluhur pinuh kukebul, dihandap loba limbah, akibatna jadi panyakit, masyarakat batingajerit”.
1.1 Pencemaran Air
Dampak tidak dioperasikannya Instalasi Pengolahan Air Limbah (IPAL) secara terpadu,
maka sungai di Majalaya menjadi tercemar, karena sungai selalu dijadikan media pembuangan limbah industri. Dari hasil survey pemantauan di 30 anak sungai mulai dari
ruas Gunung Wayang sampai Jembatan Dayeuh Kolot, termasuk sungai-sungai di
Majalaya tahun 2004, maka dapat teridentifikasi bahwa kualitas air buruk dan lebih
buruk lagi ketika musim hujan, adapun indikasi pencemaran yaitu: (1) akibat
pembuangan limbah tanpa pengolahan; (2) pembuangan sampah; (3) penggelontoran
saluran limbah dengan parameter pencemaran BOD, COD, TSS, COL (DLH Kab.
Bandung, 2005).
20Penulis adalah warga Kp. Warusatangkal Ds. Padaulun Kec. Majalaya. Aktif di Komunitas Peduli Lingkungan (KPL)
Majalaya sebagai Kepala Divisi Pengembangan Kapasitas. Aktif di Pusat Sumber Daya Komunitas (PSDK) dan KoalisiKomunitas Korban Lingkungan (K3L) Cekungan Bandung.
7/16/2019 Sulitnya Mencari Keadilan
http://slidepdf.com/reader/full/sulitnya-mencari-keadilan 46/139
Suara Korban Kerusakan Lingkungan di Cekungan Bandung;
SULITNYA MERAIH KEADILAN32
Dari hasil investigasi KPL (26 Mei 2006) DAS Sasak Benjol, DAS Ciwalengke, DAS
Cikacembang, dan DAS Padaulun, warna airnya hitam pekat dan baunya menyengat,
namun kami kesulitan mendeteksi pabrik industri pembuang limbah mengingat sangat
tersembunyi dan rapinya saluran pembuangan limbah tersebut. Akan tetapi kami berhasil
mendata penyebaran pabrik industri penghasil limbah di tiga daerah aliran sungai (DAS):
a. DAS Sasak Benjol: PT. TMP, PT. WIS, PT. IBM, PT.Jatayu, PT. Nasatex, PT. Dewi
Sakti, PT. Firman Jaya, dan PT. Dusantex.
b. DAS Ciwalengke: PT. Satya Sumba, PT. Budi Asih, PT. Unggul Bukit Kencana, PT.
Ama Suganda, PT. Nasatex, PT. Nirwana, PT. Harapan Jaya, PT. Majatex, PT.
Tawekal, PT. Timbul Jaya dan PT. Sinar Sari.
c. DAS Cikakembang: PT. TMPI, PT. Tawekal, PT. Purnama, PT. Nirwana, PT.
Himalaya, PT. Sinar Baru, PT. Sungai Indah, PT. Surya Abadi, PT. Iwamatex, PT.
Sumber Baru, PT. Setia Cahaya Lestari, PT. Sari Sandang, PT. Sinar Laju dan
PT.Sipatex.
Menurut data Lembaga Penelitian
Pemberdayaan Masyarakat ITB (LPPM ITB,
2002) menguraikan bahwa frekuensi pembuangan limbah oleh industri berlangsung
setiap 2-4 jam sampai setiap hari. Jumlah
limbah cair yang dibuang setiap 2-8 jam
mencapai 60 %, sedangkan limbah yang
dibuang kesungai setiap hari mencapai 17 %
dan limbah yang dibuang setiap saat (tanpa
waktu) berjumlah 12 %.
Kita ketahui bahwa dampak dari limbah cair industri tekstil dapat mengakibatkan
penyakit kulit. Berdasarkan data 10 penyakit terbesar di Puskesmas Baru Majalaya
bahwa jumlah penderita penyakit kulit atau Dermatitis dari tahun 2005 (Januari –
Desember) dan tahun 2006 (Januari – Mei) berjumlah 7357. Namun tidak diperolehketerangan dari pimpinan Puskesmas tersebut tentang penyebab terjadinya penyakit Kulit
atau Dermatitis. (Puskesmas Majalaya Baru 2005-2006).
1.2 Pencemaran Udara
Akibat tidak dioperasikannya pengendalian pencemaran udara secara optimal, maka
menurut data laporan analisis udara Ambien, ada 3 tiga pabrik industri diatas nilai
ambang batas yaitu PT. Purnama dengan parameter pencemaran partikulat (Desember,
2004), PT. Nirwana dengan parameter pencemaran SO2 (Februari, 2005) dan PT.
Sipatex dengan parameter pencemaran debu (Februari, 2005). Selain itu juga kualitas
ambien di zona industri Majalaya diatas ambang batas dengan parameter pencemaran
debu dan PM10 (DLH Kab.Bandung, 2005).
Perlu diketahui juga, sekarang ini di Majalaya ada sekitar 139 industri yang telah
menggunakan batu bara sebagai bahan bakarnya, ratusan kubik batu bara setiap harinya
didatangkan untuk memenuhi kebutuhan industri di Majalaya. Sudah pasti kebutuhan
akan batu bara oleh industri akan semakin terus meningkat, mengingat cadangan dan
pasokan BBM yang semakin berkurang, sehingga menyebabkan harga BBM melambung
tinggi. Serta didukung pula oleh anjuran pemerintah untuk menggunakan batu bara
sebagai pengganti bahan bakar minyak (BBM).
Berdasarkan data 10 besar penyakit yang didapat dari Puskesmas Majalaya Baru maka
dapat diketahui bahwa penderita penyakit ISPA dari tahun 2005 (Januari – Desember)
dan tahun 2006 (Januari–Mei) merupakan kasus terbesar dengan jumlah penderita
7/16/2019 Sulitnya Mencari Keadilan
http://slidepdf.com/reader/full/sulitnya-mencari-keadilan 47/139
Suara Korban Kerusakan Lingkungan di Cekungan Bandung;
SULITNYA MERAIH KEADILAN33
terbanyak yaitu berjumlah 24.734 orang.
Dari temuan investigasi KPL pada tanggal 28 Mei 2006, ke rumah-rumah masyarakat di
zona industri, seperti Kp. Ciwalengke, Kp. Sukahaji, dan Kp. Pelangi maka dapat
ditemukan setiap pagi di teras beranda rumah banyak berceceran debu batu bara (akan
lebih kelihatan apabila teras berandanya berkeramik putih), demikian juga dengan
jemuran pakaian di tiga kampung tersebut banyak terkena debu batu bara.
Sudah menjadi rahasia umum bahwa mesin boiler yang digunakan oleh pabrik industri di
Majalaya tidak sesuai dengan standar baku mutu karena mesin boilernya adalah hasil
rekayasa atau rakitan (dari bahan bakar solar atau residu dirubah ke batu bara) dan
diperparah lagi dengan penggunaan batu bara yang kualitas kalorinya rendah dibawah
6000 kalori, semestinya yang bagus adalah diatas 7000 kalori. Sebagian besar pabrik
industri, diawal proses pembakaran batu baranya harus dipanaskan dulu dengan kayu
bakar.
2. KRISIS AIR
“ Cai Jero Taneh di Sedot, Cai susukan di cokot, akibatna cai jadi beak masyarakat batingoceak ”.
2.1 Eksploitasi Air Bawah Tanah (ABT)
Dari 174 industri di Majalaya, semuanya melakukan eksploitasi air bawah tanah melalui
sumur artesis. Pengambilan ABT yang tidak terkendali menyebabkan terjadinya
penurunan muka air bawah tanah yang signifikan. Menurut sumber rencana pengambilan
air tanah (SRPAT) menyebutkan bahwa kedudukan muka air bawah tanah (MABT) di
Majalaya berkisar 31,72 sampai 50,17 dengan fluktuasi penurunan dari 0,32 sampai 3,9
meter pertahun. (LPPM ITB Bandung, 2002).
2.2 Eksploitasi Air Permukaan
Selain melakukan eksploitasi ABT sebagian
industri di Majalaya juga melakukan
eksploitasi air permukaan yang
pengambilan debit airnya sangat besar,
maka pantaslah kalau wilayah Majalaya
sekarang ini masuk pada “ Zona Krisis
Air”.
Dari hasil investigasi 25 Mei 2006 dapatditemukan ada 11 industri yang melakukan
eksploitasi air permukaan (air sungai) yaitu
:
a) PT. Rama Putra, PT. Sungai Indah, PT. Nirwana melakukan eksploitasi air dari
DAS Citarum dan DAS Ciwalengke.
b) PT. Bambu Sakti, PT.Sipatex, PT. Dayung Mas melakukan eksploitasi dari DAS
Citarum.
c) PT. Bima Jaya, PT.Sinar Sari, PT.Dewi Sakti, PT.Sinar Baru, PT.Sidotex
melakukan eksploitasi dari DAS Ciwalengke.
(Hasil Investigasi KPL, 2006)
Akibat banyaknya eksploitasi air bawah tanah (ABT) dan eksploitasi air permukaan
7/16/2019 Sulitnya Mencari Keadilan
http://slidepdf.com/reader/full/sulitnya-mencari-keadilan 48/139
Suara Korban Kerusakan Lingkungan di Cekungan Bandung;
SULITNYA MERAIH KEADILAN34
sungai, maka dampaknya sangat dirasakan bagi masyarakat diwilayah zona Industri.
Sumur-sumur masyarakat menjadi kering dan jatah air bagi masyarakat menjadi
berkurang bahkan susah didapat. Kasus kekeringan sumur sering terjadi didaerah zona
industri seperti Kp. Pangkalan Raja, Kp. Sukahaji, Kp. Ciwalengke, Kp. Pelangi, Kp.
Kebon Tiwu, dll.
Sementara kasus kekeringan air untuk kebutuhan bercocok tanam sering dialami oleh
masyarakat bagian hilir Majalaya yaitu : Kp. Kebon Tiwu, Kp. Jayanti, Kp. Loa dan Kp.
pungkur yang dimana merupakan wilayah bercocok tanam (pertanian dan perkebunan).
Bila musim kemarau tiba, sangat sering terjadi konflik antara warga dengan industri,
demikian juga antara petani dengan industri.
Akhirnya Penulis sependapat dengan Robinson (1988), Smith (1987), dan Hanson (1981), bahwa
beroperasinya kegiatan proyek ekonomi besar yang kapitalis dengan karakter eksploitatif di negara
yang sedang berkembang (NSB) cenderung mengenyampingkan kepentingan sosial, ekonomi, dan
budaya penduduk setempat. Peringatan juga datang dari pemikir di Massachusett Institute of Technology dan para pemikir dari dari Club of Rome yang memperingatkan bahwa jika laju
pembangunan dunia dan pertumbuhan dunia tetap seperti ini, maka suatu ketika akan tercapai batasambang (threshold ) pertumbuhan dan akan terjadi kehancuran planet bumi ini sebagai suatu sistem.
Dari sisi ekonomi, dijadikannya Majalaya sebagai kawasan zona industri tekstil memang dapat
menambah “Income Devisa Negara“. Namun akibat ekpansi industrialisasi yang besar-besaran ke
wilayah Majalaya, ternyata dapat menimbulkan berbagai permasalahan, khususnya masalah
lingkungan dari mulai masalah tata ruang, eksploitasi Sumber Daya Alam (SDA), pencemaran
lingkungan, sampai pada penurunan kualitas ekosistem.
.
7/16/2019 Sulitnya Mencari Keadilan
http://slidepdf.com/reader/full/sulitnya-mencari-keadilan 49/139
Suara Korban Kerusakan Lingkungan di Cekungan Bandung;
SULITNYA MERAIH KEADILAN35
JANGAN MENUNGGU TRAGEDI MINAMATA TERJADI
DI SAGULING
Oleh: Umar Alam Nusantara21
aduk Saguling salah satu waduk yang paling terkenal di Indonesia. Waduk ini membendung
Sungai Citarum selama 3 tahun dari tahun 1982-1984. Mampu menenggelamkan 31 desa di 6
kecamatan dengan luas 6.176 hektar, Kecamatan Cipongkor, Padalarang, Batujajar,
Cihampelas, Sindangkerta dan Cililin Kabupaten Bandung Barat, ketika itu masih Kabupaten
Bandung. Dengan volume ± 875 juta m3. Waduk Saguling mempunyai 5 fungsi yaitu sebagai
pembangkit listrik, industri, pariwisata, air minum dan perikanan. Sebagai Pembangkit Tenaga Listrik
Air beroperasi mulai tahun 1985 merupakan jaringan interkoneksi Jawa-bali dengan kapasitas 4 x
175 MW.
Sebagai fungsi perikanan, disini dikembangkan pusat budi daya ikan dengan sistem keramba jaring
apung. Kalau kita jalan-jalan ke Desa Bongas Kecamatan Cililin, kita akan banyak melihat
pemandangan keramba jaring apung. Disini memang yang paling banyak populasinya, selain di
daerah Ciangkrong, Ciakar, Cirambai, Cilengkrang, dan Maroko. Awalnya, hanya ada 20 petani ikan
saja. Diantara mereka adalah H. Arifin, H. Mulyana, H. Ma’sum dan H. Majid. Untuk mengawali ini
pihak PT. Indonesia Power sebagai pengelola waduk memberikan pelatihan untuk calon petani ikan.
Pelatihan ini dilakukan di Jatiluhur Purwakarta selama 18 hari dengan materi cara pembenihan ikan,
cara pembibitan ikan, pembuatan pakan dan pemasaran.
Untuk menjalankan budi daya ikan ini, pemerintah memberikan pinjaman modal usaha kepada petani
ikan melalui Bank Rakyat Indonesia, masing-masing sebesar Rp 2,5 juta. Selain BRI ada juga bantuan
modal dari Bank Dunia sebesar 250 juta, dari yang dijanjikan 500 juta. Modal usaha ini dijanjikan bersamaan dengan kedatangan Menteri Penerangan ketika itu Harmoko dan Gubernur Bank
Indonesia, Arifin M. Siregar.
Awalnya petani ikan di Bongas hanya diberikan izin kapling satu orang itu 4 keramba (1 unit) dan
hanya untuk warga sekitar Saguling. Seiring perkembangan usaha, petani ikan bebas membuat
keramba jaring apung. Untuk mendapatkan izin harus membayar retribusi kepada PT. Indonesia
Power Rp 73 ribu dan R .50 /kg kepada Dinas Perikanan dan Peternakan Kab. Bandung.
Dimulailah masa-masa kejayaan petani ikan di Saguling. Jumlah petani ikan berkembang mencapai
sekitar 2000-an petani ikan, yang sekarang hanya tinggal 200-an itu. Dari hasil budi daya ikan, petani
bisa mendapatkan laba sekitar 500 ribu sekali panen atau setara 5 juta kalau nilai sekarang dengan
harga pakan 15 ribu/kintal, panen ikan bisa dilakukan dalam 2 bulan. Taraf kehidupan sosial danekonomi petani ikan meningkat secara signifikan, sempat dijuluki desa dolar karena besarnya jumlah
uang yang beredar disitu. Dari hasil ini petani ikan desa Bongas bisa menunaikan ibadah haji, sekitar
18-26 orang sekali berangkat dan 60% petani ikan pergi menunaikan ibadah haji. Petani ikan
mendapat bimbingan teknis dari Otto Soemarwoto, Badrul Hayat, Otay, Sutandar, dan Ir. Yan yang
membimbing dari tahun 1984-1988 sampai petani ikan benar-benar maju dan bisa mandiri.
21 Penulis adalah warga Kp. Saparako Ds. Majalaya Kec. Majalaya. Aktif di Komunitas Peduli Lingkungan(KPL) Majalaya, menjabat sebagai Ketua Badan Pelaksana. Aktif di Pusat Sumber Daya Komunitas (PSDK)sebagai Koordinator Advokasi serta aktif di Koalisi Komunitas Korban Lingkungan (K3L) Cekungan Bandung
sebagai Koordinator.
7/16/2019 Sulitnya Mencari Keadilan
http://slidepdf.com/reader/full/sulitnya-mencari-keadilan 50/139
Suara Korban Kerusakan Lingkungan di Cekungan Bandung;
SULITNYA MERAIH KEADILAN36
Petani ikan tergabung dalam beberapa kelompok tani. Untuk mengelola ini dibentuk koperasi yang
bernama Koperasi Jaring Terapung Saguling yang disingkat KOPRIJATS. Ketika itu koperasi
perikanan satu-satunya di Kabupaten Bandung, terakhir masih eksis sampai tahun 1999. Koperasi
menentukan harga ikan dari petani dan memenuhi kebutuhan pakan ikan kepada anggota. Tapi
sayang, koperasi yang seharusnya menjadi wadah untuk kemajuan anggota malah dijadikan lahan
bisnis pribadi oleh bendahara koperasi. Koperasi hanya dijadikan tameng untuk kepentingan bisnisnya
yaitu menjual pakan. Menurut data dari produsen pakan kira-kira dari tahun 1986-1996 sudah 160.000
ton yang dijual kepada petani ikan. Bayangkan, berapa laba yang bisa didapatkan dari hasil penjualan
ini. Kondisi ini diperparah lagi dengan pengelolaan koperasi yang tidak optimal sehingga koperasi
bangkrut, dan sampai sekarang belum ada laporan pertanggungjawaban dari pengurus. Gedung
koperasi yang sudah kumuh menjadi saksi bisu sejarah masa kejayaan petani ikan Saguling.
Keterpurukan berawal dari krisis moneter tahun 1997. Nilai tukar rupiah terhadap dolar yang terus
melemah mengakibatkan harga pakan ikan terus merangkak ke harga yang tinggi, sebabnya pakan ini
diimpor. Harga merangkak dari kisaran Rp.190 ribu/ton sekarang sudah mencapai Rp.3.146.000/ton.
Untuk mengurangi beban ini petani ikan berinisiatif membuat pakan sendiri yang terbuat dari keju,
indomi, promina yang semuanya jenis kadaluarsa dicampur dengan hu’ut. Kondisi ini sementara
masih bisa dipertahankan karena petani masih bisa menjangkau harga pakan walaupun mahal, hanyatingkat ekonomi mulai mengalami penurunan.
Kondisi ini diperparah dengan banyaknya wabah penyakit yang menyerang ikan emas pada tahun
1999. Ikan emas akan kelihatan mabuk dan kulitnya terkelupas seperti luka borok dan akhirnya mati.
Awalnya hanya beberapa keramba, tapi lama-kelamaan menyebar luas secara massif tanpa terkendali.
Begitupun petani ikan di Cirata dan Jatiluhur bernasib sama, kondisi ini terus terjadi sampai sekarang.
Belum lagi kondisi cuaca yang sangat berpengaruh. Ada dua kondisi cuaca yang ekstrim, kalau
musim kemarau yang disertai angin atau cuaca mendung yang terus-menerus akan mengakibatkan
ikan mati. Kerugian petani ikan bisa mencapai milyaran rupiah.
Matinya ribuan hingga jutaan ekor ikan salah satu indikator biologis menurunnya mutu air. Kematian
ikan di Saguling sudah menjadi hal yang biasa dan kecendrungannya semakin parah. Penyebabmatinya ikan itu antara lain karena kekurangan oksigen dalam air, akibat dari tingginya konsentrasi
limbah di sekitar Waduk Saguling.
Di Citarum hilir ada dua bendungan, Cirata dan
Jatiluhur. Dengan melihat posisi seperti itu Saguling
bukan hanya merupakan waduk terdepan, tetapi
sekaligus menjadi filter atau penyaring bagi kedua
waduk lainnya. Di Citarum hulu, hidup lebih enam juta
jiwa manusia hidup di kota Bandung dan Kabupaten
Bandung. Disini berdiri ratusan pabrik dari berbagai
macam industri tekstil, kosmetik, kertas, makanan dan
minuman, kimia, korek api dan susu. Semuanyamerupakan industri yang berpotensi menghasilkan
limbah. Hampir 60 persen produksi tekstil nasional
dihasilkan dari sini dan semuanya menjadi industri
pencemar yang membuang limbah ke Citarum beserta anak sungainya. Mulai dari Majalaya,
Banjaran, Rancaekek, Deyeuhkolot, Batujajar, Cimahi, dan Padalarang. Dan semuanya menuju
sebuah penampungan limbah raksasa, Waduk Saguling.
Berdasarkan data sekunder hasil penelitian dan pemantauan periodik yang dilakukan oleh UNPAD,
ITB, LIPI, dan UI. Dari pemantauan mutu air di DAS Citarum Hulu, diatas Waduk Saguling selama
periode 2005-2006 diperoleh beberapa kesimpulan sebagai berikut :
a. Pengukuran mutu air menunjukkan status mutu air bagi peruntukan air baku air minum (Golongan
B) termasuk sedang, peruntukan perikanan (Golongan C) termasuk buruk dan peruntukan PLTA
7/16/2019 Sulitnya Mencari Keadilan
http://slidepdf.com/reader/full/sulitnya-mencari-keadilan 51/139
Suara Korban Kerusakan Lingkungan di Cekungan Bandung;
SULITNYA MERAIH KEADILAN37
(Golongan D) termasuk sedang.
b. Parameter yang tidak memenuhi baku mutu umumnya pada Golongan B adalah H2S, DO, COD,
DOD, Se dan Endrin. Parameter pada Golongan C yang tidak memenuhi baku mutu adalah H2S,
NH3, NO2, Cl2, DO, Surfaktan dan DDT, sedangkan parameter pada Golongan D yang tidak
memenuhi baku mutu adalah Na dan RSC.
c. Secara umum, indeks diversitas plankton diperairan waduk lebih besar dari 0,6 menunjukkan
bahwasanyasanya perairan waduk masih dapat mendukung kelangsungan hidup organisme
plankton.
d. Kadar unsur hara N, P dan BOD air sungai/waduk mengindikasikan tingkat kesuburan yang
berlebihan, sehingga perairan bersifat eutrofik. Ekses pengayaan unsur hara tersebut akan
mengakibatkan pencemaran perairan.
e. Hasil pengukuran tingkat kesadahan menunjukkan bahwasanyasanya air sungai/ waduk termasuk
kategori perairan sedang, karena niai rata-rata kandungan CaCO3 air berada pada kisaran 61 – 120
mg/l. Kesadahan sedang dapat mengakibatkan korosi dan kerak pada instalasi metal.
f. Pola distribusi vertikal H2S pada kolom air sungai/waduk menunjukkan pola ortograde. Kadar
H2S air waduk masih memenuhi syarat baku mutu Gol. B, tetapi tidak memenuhi syarat baku
mutu Gol. C.
g. Reaksi air sungai/waduk menunjukkan pola distribusi vertikal pH yang bersifat clinograde.h. Secara umum, pola distribusi vertikal ion bikarbonat air sungai/waduk menunjukkan sifat
ortograde. Ion bikarbonat erat kaitannya dengan nilai pH air dan ketersediaan CO2.
i. Pola distribusi vertikal kadar CO2 menunjukkan sifat ortograde. Rendahnya kadar CO2 di
beberapa stasiun pengukuran dipengaruhi oleh kondisi pH air.
j. Kadar rata-rata oksiden terlarut pada kolom air permukaan sungai/waduk tergolong baik, dengan
konsentrasi lebih besar dari 6 mg/l. Pada strata yang lebih dalam konsentrasi cenderung menurun
dan menyebabkan kondisi air anoksik. Hal tersebut dipengaruhi oleh konsentrasi CO2 yang tinggi
pada kolom air lebih dari 5 m. Pola distribusi vertikal oksigen terlarut bersifat clinograde yang
mengindikasikan perairan yang tercemar.
k. Timbulnya stratifikasi parameter kimiawi di sungai/waduk, terutama disebabkan oleh stratifikasi
panas yang terjadi di perairan. Perbedaan temperatur air tertinggi terdapat pada kolom air antara
permukaan (0,2 m) dan dekat dasar waduk dengan rata-rata perbedaan 2,90
C dan kisarannya 1,4 – 4,2
0C. Secara umum, pola distribusi vertikal temperatur air bersifat clinograde.
Data bulan Agustus 2005 menunjukkan nilai BOD yang rata-rata di atas baku mutu. Demikian juga
dengan data bulan April 2005, Maret 2006, dan Agustus 2006, walaupun relatif lebih rendah. Hal ini
mungkin disebabkan oleh faktor pengenceran akibat naiknya volume air waduk. Baku Mutu
Peruntukan Sungai Gol C untuk parameter BOD adalah < 6 mg/L, DO adalah < 4 mg/L, dan Hg
adalah 0.001 mg/L.Yang sangat mengkhawatirkan adalah fenomena yang ditunjukkan oleh parameter
COD dan merkuri (Hg). Merkuri telah melebihi nilai baku mutu untuk semua lokasi pengamatan baik
pada tahun 2005 dan 2006.
Sangat mengkhawatirkan tingkat pencemaran yang begitu tinggi di Saguling. Selain akan
mempengaruhi kegiatan budidaya perikanan yang mengakibatkan matinya ikan, lebihmengkhawatirkan adalah terjadinya biomagnifikasi agen pencemar pada biota akuatik yang
dikonsumsi manusia. Keberadaan agen pencemar seperti logam berat pada tubuh biota air seperti ikan
akan berpotensi menimbulkan masalah kesehatan masyarakat kelak di kemudian hari. Ketika musim
kemarau masyarakat menyedot air Saguling dengan mesin pompa disalurkan melalui pipa-pipa dan
ditampung dalam sumur. Air dimanfaatkan oleh masyarakat untuk kebutuhan air produksi
(perkebunan) serta untuk konsumsi sehari-hari seperti minum, masak, mandi, dan kakus.
Dampak jangka panjang akibat pencemaran logam berat adalah munculnya penyakit degeneratif.
Kenaikan kadar merkuri melewati ambang batas yang diijinkan untuk dikonsumsi baik langsung
airnya maupun ikan yang berada dalam air tersebut.
Fenomena ini seakan mengingatkan kita terjadinya sebuah bencana penyakit yang aneh, penyakit
7/16/2019 Sulitnya Mencari Keadilan
http://slidepdf.com/reader/full/sulitnya-mencari-keadilan 52/139
Suara Korban Kerusakan Lingkungan di Cekungan Bandung;
SULITNYA MERAIH KEADILAN38
Minamata (minamatabyo). Sebuah tragedi yang telah membangkitkan kesadaran kemanusiaan dan
pentingnya menjaga lingkungan. Nama penyakit minamata berasal dari Teluk Minamata, sebelah
barat daya Jepang. Awalnya pada tanggal 21 April 1956, sebuah klinik kesehatan disana memeriksa
seorang anak perempuan 5 tahun yang mengeluhkan rasa sakit pada otaknya. Seminggu kemudian,
giliran adiknya yang berusia 3 tahun mengeluhkan rasa sakit yang sama. Dokter saat itu kebingungan
dan merekomendasikan kedua pasien anak itu ke Minamata Health Center. Bukan hanya kedua anak
tadi, ternyata penyakit dengan gejala yang sama terjadi juga kepada orang lain. Untuk menyelidiki
penyakit aneh ini maka dibentuk Tim Studi Medis Penyakit Minamata di Kumamoto University.
Akhirnya, tim ini berhasil mendeteksi bentuk keracunan logam berat akibat dari mengkonsumsi ikan
dan kerang. Baru pada Juli 1959, menurut hasil penelitian tim dipastikan sumber racun itu adalah
merkuri atau air raksa (Hg). Setahun kemudian menjadi lebih jelas sejumlah pasien menderita
kelumpuhan saraf otak. Mereka berasal dari lokasi yang sama dan masih satu generasi. Alhasil,
semakin jelas lagi kalau penyakit itu ternyata menurun yang menyerang laki-laki dan perempuan,
memiliki ciri antara lain degenerasi sel-sel saraf di otak kecil yang menguasai koordinasi saraf.
Gejala penyakit ini diawali gatal-gatal dan kejang pada tubuh penderita, kemudian muncul benjolan.
Benjolan muncul dalam banyak varian pada sejumlah penderita, yakni di tangan, kaki, tengkuk,
pantat, kepala, atau payudara. Rata-rata penderita mengalami gejala tersebut. Pada level yang lebihringan orang-orang mengeluh mulutnya kebal sehingga tidak peka terhadap rasa dan suhu, hidung
tidak peka bau, mudah lelah, dan sering sakit kepala. Pada level berikutnya, mereka yang terserang
sistem sarafnya, termasuk otak, tidak bisa mengendalikan gerakan-gerakan tangan dan kakinya,
telinga berdenging sampai tuli, daya pandang mata menyempit, bicara susah, dan gerakan tubuh
secara keseluruhan jadi sulit. Sebagian lagi pingsan, gila, atau mati dalam sebulan setelah serangan
penyakit ini. Yang mengerikan, banyak bayi-bayi yang dilahirkan dengan cacat bawaan. Rupanya ibu
mereka saat mengandung banyak mengonsumsi ikan dan kerang dari hasil laut Teluk Minamata.
Kebanyakan korban penyakit Minamata adalah nelayan dan keluarganya yang berasal dari desa-desa
nelayan sekitar Minamata. Ini semua akibat dari pabrik-pabrik yang membuang limbah selama
bertahun-tahun ke Teluk Minamata.
Dalam perairan dan sedimennya, aktivitas bakteri mengubah merkuri menjadi bentuk organiknya,metil merkuri (methylmercury). Metil merkuri mengendap dalam rantai makanan di perairan yang
terkontaminasi. Ikan dan biota air sebagai ujung dari rantai makanan itu memiliki kadar yang paling
berbahaya dari metil merkuri. Ikan-ikan yang telah terkontaminasi itu menjadi sebuah ancaman
kesehatan serius bagi manusia ketika rantai makanan itu menyambung ke manusia. Sekali berada
dalam tubuh, metil merkuri sangat lambat tercuci. Bayi dan anak-anak kecil adalah yang paling
sensitif terhadap keracunan merkuri dibanding manusia dewasa. Metil merkuri bahkan dapat beredar
hingga ke plasenta dan berakumulasi di otak calon bayi. Kadarnya ditemukan pula di air susu ibu.
Pada wanita hamil gejala-gejala mungkin tidak akan dirasakan, tetapi sebaliknya, dengan potensi yang
akan diderita bayinya. Pada bayi dan anak-anak kecil, metil merkuri terbukti mencegah
perkembangan normal sistem saraf dan menyebabkan luka pada otak.
Merkuri dalam bentuk logam sebenarnya tidak begitu berbahaya, karena hanya sampai 15 persen yang bisa terserap tubuh manusia. Tetapi begitu terekspose ke alam, dalam suasana asam ia bisa teroksidasi
menjadi metil merkuri. Merkuri baik logam maupun metilmerkuri, biasanya masuk tubuh manusia
lewat pencernaan. Bisa dari ikan, kerang, udang, maupun air yang terkontaminasi. Namun bila dalam
bentuk logam biasanya sebagian besar bisa disekresikan. Sisanya akan menimpuk di ginjal dan sistem
saraf yang berbahaya jika terakumulasi.
Metil merkuri makin berbahaya pada ibu hamil. Meski semua merkuri dapat menembus plasenta,
namun metil merkuri diserap bayi 30 persen lebih tinggi daripada di darah ibunya. Akibatnya bila
tidak keguguran, bayi yang dilahirkan akan banyak masalah. Keseimbangan terganggu, terlambat
gerak motoriknya, IQ rendah, cacat, dan sebagainya. Sementara bila terisap bisa berdampak akut
seketika tetapi juga bisa terakumulasi dan terbawa ke organ-organ tubuh lainnya, bronkitis, sampai
paru-paru. Sangat menakutkan apa yang terjadi di Minamata, tapi bukan suatu hal yang mustahil
7/16/2019 Sulitnya Mencari Keadilan
http://slidepdf.com/reader/full/sulitnya-mencari-keadilan 53/139
Suara Korban Kerusakan Lingkungan di Cekungan Bandung;
SULITNYA MERAIH KEADILAN39
terjadi juga di tempat lain. Seperti yang terjadi juga di desa Buyat, Ratatotok, Minahasa Selatan,
Sulawesi Utara. Akibat pencemaran yang terjadi di Teluk Buyat karena terkontaminasi logam berat
dan merkuri. Teluk Buyat menjadi tempat pembuangan tailing penambangan emas PT. Newmont
Minahasa Raya (NMR).
Dampak logam berat yang bersifat bioakumulasi pada kesehatan manusia, tidak hanya akan menimpa
masyarakat sekitar wilayah yang tercemar saja, tetapi juga pada masyarakat di luar wilayah tersebut
karena mengkonsumsi ikan hasil budidaya di wilayah tercemar. Terkait dengan ikan merupakan
budidaya sebagian besar masyarakat yang bertempat tinggal di sekitar Waduk Saguling dan bagian
dari rantai makanan yang akan dikonsumsi oleh masyarakat lokal.
Pada saat-saat tertentu, ketika debit air dari Sungai Citarum sangat besar, material limbah dan bahan
organik berlebih yang semula mengendap di dasar bisa terangkat naik (upweilling ) sehingga
meracuni ikan-ikan yang berada di waduk. Selain dampak terhadap kehidupan biota air, dampak lain
semakin menurunnya mutu air Sungai Citarum adalah terganggunya operasionalisasi Pembangkit
Listrik Tenaga Air (PLTA) Saguling. Akan menimbulkan korosi dan kerak pada instalasi metal dan
peningkatan sendimentasi yang berdampak pada berkurangnya umur waduk dari prediksi sampai 100
tahun, hanya mampu bertahan 52 tahum. Ada pengurangan 48 tahun. Akibat dari pencemaran air Waduk Saguling yang mengandung sifat eurotrofit, menyebabkan tumbuh suburnya tanaman gulma
Enceng Gondok. Hal ini menyebabkan masalah baru yaitu sedimentasi. Sedimentasi terjadi karena
berubahnya fungsi lahan di Citarum hulu. Hingga saat ini volume air waduk Saguling mengalami
penurunan hingga 23% dikarenakan penguapan air yang berlebihan hingga 5 kali dari keadaan
normal.
Untuk membuktikan apakah terjadi pencemaran lingkungan hidup, bukti kunci terletak pada baku
mutu ambient lingkungan hidup. Apakah akibat masuk atau dimasukkannya suatu benda/bahan atau
zat ke dalam lingkungan hidup (air/tanah/udara). Baku mutu lingkungan hidup (ambient) yang
ditetapkan bagi suatu media lingkungan hidup yang kemasukan tersebut menjadi terlanggar atau tidak.
Jika jawabannya terlanggar, maka dapat dipastikan telah terjadi pencemaran lingkungan hidup. Baku
mutu air sungai diatur dalam PP No. 82 Tahun 2001 tentang Pengelolaan Kualitas Air danPengendalian Pencemaran Air dimana di dalamnya diatur tentang baku mutu badan air sesuai dengan
golongan peruntukkannya.
Walaupun hampir semua parameter menunjukkan melebihi baku mutu yang telah ditetapkan PP No.
82 Tahun 2001 tentang Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian Pencemaran Air. Namun
demikian, data tersebut tidak akan bermakna apa-apa apabila tidak memberikan informasi mengenai
upaya apa yang harus dilakukan. Sebagai bagian dari upaya pengendalian pencemaran di Saguling,
dibutuhkan mulai dari peningkatan kesadaran dan pengetahuan akan nilai penting sumberdaya air.
Berdasarkan analisis kualitatif terhadap kondisi ini dan hasil pengamatan lapangan, kontribusi industri
terhadap peningkatan beban pencemaran lebih dominan dibandingkan dari kegiatan domestik.
Perusakan lingkungan hidup adalah tindakan yang menimbulkan perubahan langsung atau tidak langsung terhadap sifat fisik dan/atau hayatinya yang mengakibatkan lingkungan hidup tidak
berfungsi lagi dalam menunjang pembangunan yang berkelanjutan. Pencemaran harus segera
dihentikan dengan cara penegakkan hukum yang adil, karena Indonesia negara hukum?
Oleh karena itu, penegakkan hukum lingkungan hidup sudah tidak bisa ditawar-tawar lagi dan
ditunda-tunda lagi. Menurut Pengadilan Negeri Bale Bandung, baru dua kasus pencemaran dari sekian
kasus pelanggaran yang mendapatkan vonis hukuman. Mau tahu vonis hukumannya? 5 bulan
percobaan dan denda Rp. 10 juta. Bayangkan, sangat tidak sebanding dengan akibat dari pencemaran.
Jangan menunggu tragedi Minamata terjadi di Saguling, kalau ingin menegakkan hukum lingkungan
hidup. Itu juga kalau mau menggunakan akal sehat bukan akal yang sudah terkontaminasi limbah
(uang).
7/16/2019 Sulitnya Mencari Keadilan
http://slidepdf.com/reader/full/sulitnya-mencari-keadilan 54/139
Suara Korban Kerusakan Lingkungan di Cekungan Bandung;
SULITNYA MERAIH KEADILAN40
AWAN MENDUNG DI RANCAEKEK
Oleh: Euis Widia22
GAMBARAN UMUM
Rancaekek terletak di daerah perbatasan antara Kabupaten Bandung dan Kabupaten Sumedang.
Menurut data monografi kecamatan tahun 2004, Rancaekek memiliki 13 desa, 124 RW dan 800 RT,
pendidikan masyarakatnya rata-rata SMP, profesi kebanyakan petani dan buruh pabrik.
Rancaekek merupakan kawasan industri paling besar di Provinsi Jawa barat dimana mempunyai 28
industri besar dan menengah. Luas wilayah Rancaekek sekitar 100 hektar yang menampung sekitar
36.000 karyawan buruh pabrik, jelas hal ini dapat meningkatkan perekonomian di KabupatenBandung.
Ironisnya, disatu sisi bisa menguntungkan tapi disisi lain menimbulkan dampak kerugian yang sangat
besar sekali terutama bagi lingkungan, pertanian dan peternakan. Karena Sungai Cikijing yang
merupakan sumber utama untuk mengairi sawah menjadi kotor, sawah jadi tercemar, ikan-ikan
banyak yang mati, timbul berbagai penyakit, terutama hasil panen sangat turun drastis, akibat limbah.
Jelas sudah, akibat proses industrialisasi yang tidak ramah lingkungan warga menjadi korban dan
menanggung kerugian yang sangat besar.
Menurut Pak EE, salah seorang petani di Kp. Bojong Loa, menuturkan bahwa dulu pernah dilakukan
penelitian oleh Dinas Pertanian, hasilnya yaitu limbah di Rancaekek mengandung unsur natrium yang
sangat tinggi dan mencemari sawah, lumpur limbah mencapai 70 cm dan menggenangi pesawahan.Dari tahun ke tahun endapan lumpur ini akan terus meninggi dan menyebabkan sawah menjadi rusak
dan tidak bisa ditanami lagi, tamat sudah riwayat para petani Rancaekek.
Sebenarnya, pencemaran limbah di Rancaekek diakibatkan oleh tiga industri besar yang berada di
Kabupaten Sumedang seperti PT. Kahatex, Five Star dan Insan Sandang. Ketiga pabrik tersebut
membuang limbahnya ke Sungai Cikijing yang mengalir ke Kabupaten Bandung dan mengakibatkan
4 desa menjadi tercemar, diantaranya: Desa Linggar, Bojong Loa, Jelegong dan Rancaekek Wetan.
Kondisi yang parah dan memprihatinkan bisa kita temui di Kampung Babakan Jawa Desa Bojong
Loa.
Jika dilihat dari tata ruang Kabupaten Bandung, Rancaekek merupakan lahan pertanian (lumbung
padi). Sedangkan menurut tata ruang Kabupaten Sumedang, Rancaekek adalah lahan industri. Telahkeluar SK Bupati Sumedang yang menyatakan bahwa industri diperbolehkan membuang limbah ke
sungai, sehingga Sungai Cikijing beralih fungsi menjadi sarana pembuangan limbah. Kalau melihat
kondisi yang seperti itu nampaknya sulit untuk diselesaikan karena ulah birokrat keparat.
Masing-masing tiga industri besar di Rancaekek mengaku sudah menggunakan IPALnya dengan
benar. Lalu darimanakah datangnya limbah kental seperti oli yang mengalir di Sungai Cikijing?
22 Penulis adalah warga Kp. Warusatangkal Ds. Padaulun Kec. Majalaya. Aktif di Komunitas PeduliLingkungan (KPL) Majalaya dan menjabat sebagai Sekretaris Badan Pelaksana. Aktif di Pusat Sumber Daya
Komunitas (PSDK) dan Koalisi Komunitas Korban Lingkungan (K3L) Cekungan Bandung.
7/16/2019 Sulitnya Mencari Keadilan
http://slidepdf.com/reader/full/sulitnya-mencari-keadilan 55/139
Suara Korban Kerusakan Lingkungan di Cekungan Bandung;
SULITNYA MERAIH KEADILAN41
OPINI MASYARAKAT TENTANG PENCEMARAN LIMBAH INDUSTRI
Rancaekek dulunya adalah daerah agraris dan tidak ada ikan yang paling enak selain di Rancaekek,
sampai menanam ikan di sawahpun bisa menjadi enak seperti di kolam. Jaman dulu, Rancaekek ini
adalah gudang beras dan ikan mas. Pada tahun 1989 mulai berdiri pabrik-pabrik diantaranya PT.
Kwaram, Five Star, Kahatex. Pencemaran industri terasa mulai parah pada tahun 1991, limbah
mencemari sungai sehingga ikan banyak yang mati, sawah-sawah petani sering gagal panen.
Sehingga gudang beras dan ikan mas yang enak kini tinggal kenangan. Untuk mengetahui kondisi
pencemaran di Rancaekek terutama di Sungai Cikijing, penulis yang juga aktif di Komunitas Peduli
Lingkungan (KPL) melakukan penelitian dengan melibatkan komunitas korban pencemaran limbah
industri.
Pak EE, petani yang punya lahan sawah cukup luas dan aktif di kelompok tani menjelaskan bahwa
PT. Kahatex membuang limbah seperti oli yang sangat kental. Masyarakat yang mengetahui kejadian
itu cepat-cepat menutup saluran air yang menuju ke lahan sawahnya. Tapi bagi yang tidak tahu,
tanaman padinya menjadi rusak terbakar akibat air limbah tersebut. Lumpur dari limbah industri yang
mengendap di sawah menempel pada kulit dan menyebabkan penyakit gatal-gatal. Warna hitam padakulit ini sangat sulit kalau dihilangkan, untuk menghilangkannya harus dicuci pakai air panas dan baru
bisa hilang setelah dua hari. Warga melakukan aksi demo ke kecamatan, tapi sayangnya ada yang
mematahkan akibat dari ulah oknum LSM dan dan aparat setempat, sehingga akhirnya warga
melampiaskan kekesalannya lewat aksi corang-coreng Agustusan.
Kemudian Ibu Neni, warga Kampung Babakan Jawa menceritakan bahwa pernah ada kejadian
jatuhnya seorang anak ke Sungai Cikijing sampai dirawat di Rumah Sakit Majalaya selama 7 hari.
Karena terjatuh ke sungai, otomatis air limbah Sungai Cikijing terminum oleh anak tersebut sehingga
mengakibatkan penyakit gangguan usus. Pihak Kahatex memberikan uang ganti rugi sebesar Rp
100.000,-
Wakil Bupati Bandung Yadi Sri Mulyadi menjelaskan bahwa kondisi lingkungan Rancaekek sangatrusak pada tahun 1992. Sedangkan para petani asal Desa Jelegong mengungkap bahwa pencemaran
air irigasi ini berdampak pada penurunan produksi padi. Pada musim hujan, panen bisa mencapai 800
kg pertumbak tetapi pada musim kemarau paling hanya sekitar 250 kg per 100 tumbak. Disisi lain ada
kebijakan Bupati Sumedang yang mengeluarkan Surat Keputusan, isinya memperbolehkan industri
membuang limbah ke sungai, padahal hal tersebut jelas bertentangan dengan UU Pengelolaan
Lingkungan Hidup No 23 Tahun 1997. Perbedaan pengelolaan aliran sungai tersebut telah melahirkan
ketimpangan sosial. Bagi pelaku industri di Rancaekek, SK Bupati Sumedang jelas sangat
menguntungkan. Namun sebaliknya bagi masyarakat petani hal tersebut jelas merugikan karena aliran
Sungai Cikijing yang selama ini mereka gunakan menjadi tercemar limbah industri dan berpengaruh
terhadap pertanian mereka. (Republika, 28 Maret 2007)
Kawasan Rancaekek adalah daerah studi yang direncanakan sebagai pusat pertumbuhan. Untuk mempercepat pertumbuhan, pemerintah mengembangkan kegiatan industri. Menurut Maryono
(Master Theses from JBPTITBPP/2007-04-09 19:21:24) dari Pemkab Sumedang, kawasan perkotaan
Rancaekek direncanakan sebagai pusat pertumbuhan ekonomi dengan mengembangkan kegiatan
industri. Pada akhir dekade 80-an dan awal 90-an, perkembangan industri di kawasan Rancaekek
berlangsung secara pesat. Hal ini disebabkan oleh adanya dukungan kebijakan makro ekonomi
nasional pada waktu itu dan potensi ke ruang kawasan sehingga banyak menarik investor. Namun
tuntutan penawaran, permintaan, pengembangan industri, kegiatan industri tersebut tidak diikuti oleh
kebijakan pengelolaan lingkungan yang memadai. Kebijakan pemerintah Kabupaten Sumedang yang
memperbolehkan Sungai Cikijing sebagai badan penerima limbah cair industri (golongan D) belum
disertai pengelolaan dengan kebijakan pengelolaan sungai yang kooperatif mengingat pemerintah
Kabupaten Bandung sebelumnya telah mengoleksikan pemanfaatan Sungai Cikijing sebagai sumber
irigasi kegiatan perikanan, pertanian masyarakat di hilir sungai (Golongan C).
7/16/2019 Sulitnya Mencari Keadilan
http://slidepdf.com/reader/full/sulitnya-mencari-keadilan 56/139
Suara Korban Kerusakan Lingkungan di Cekungan Bandung;
SULITNYA MERAIH KEADILAN42
Adapun dampak yang dirasakan oleh masyarakat petani di kawasan Rancaekek Kabupaten Bandung
yang berada di kawasan hilir Sungai Cikijing tepatnya yaitu Desa Linggar, Bojong Loa, Jelegong dan
Sukamulya terjadi kerusakan areal pesawahan akibat dari adanya pencemaran yang berasal dari tiga
perusahaan industri pelaku pencemaran yaitu PT. Kahatex, PT. Insan Sandang dan PT. Five Star.
(Sindo 01/04/2007)
Selain itu juga perusahaan yang bergerak dibidang garmen itu telah menyalahgunakan pengelolaan
air. Perusahaan-perusahaan tersebut mengambil air dari dalam tanah, ada dugaan bahwa Kahatex
memiliki 33 sumur artesis. Melihat kondisi Rancaekek yang sudah semakin kritis sepertinya
masyarakat petani Rancaekek harus alih profesi karena lahan pertanian sudah beralih fungsi menjadi
lahan industri. Kasihan sekali nasib para petani yang tidak memiliki keahlian lain, tamat sudah
riwayat hidupnya karena tidak punya penghasilan.
Menurut Dadang Kepala Sub Dinas Pengolahan dan Pemasaran Hasil Dinas Pertanian Kabupaten
Bandung, saat ini sekitar 700 ha sawah sudah tercemar limbah dengan kategori 20 ha tidak bisa
ditanami, 270 ha rusak berat dan lebih dari 400 ha rusak sedang dan ringan. Dari berbagai hasil
temuan oleh berbagai kalangan sebagaimana telah terpapar, sangat jelas terlihat bahwa telah terjadi pencemaran lingkungan yang tergolong cukup kritis khususnya pada aliran Sungai Cikijing yang
sangat berpengaruh terhadap lahan pertanian dan mengarah pada tingkat perekonomian pendapatan
masyarakat petani Kecamatan Rancaekek.
Selain itu juga pencemaran aliran Sungai Citarum dalam hal ini BPLHD Jabar Ratno Sardinata
menyebutkan, dari 5,6 ton sumbangan limbah terbesar datang dari pabrik textile terbesar di wilayah
Kecamatan Rancaekek “pabrik itu menyumbang limbah sebanyak 300 liter/detik dari keseluruhanlimbah industri di kecamatan tersebut sebanyak 759 liter/detik”. Diungkapkannya pula bahwa
pencemaran limbah dipesawahan sangat membahayakan kesehatan karena dikhawatirkan hasil
padinya kelak akan mengandung logam berat, jika terakumulasi ditubuh manusia bisa mengakibatkan
tragedi kemanusiaan bahkan limbah cair juga bisa mematikan mahluk hidup lainnya sepeerti ikan.
Ada empat desa yang cukup rawan terkena dampak langsung yaitu: Desa Linggar, Babakan Jawa,
Bojong Loa dan Jelegong, ungkap Ketua Tim Kecil Penanganan Limbah Kawasan Industri
CicalengkaYazid Salman di gedung DPRD Provinsi Jabar, Jl Diponogoro Bandung Menurutnya,
akibat pencemaran tersebut, produksi pertanian di desa-desa tersebut melorot hingga 80 % bahkan
para petani juga enggan mengkonsumsi hasil panennya sendiri. Dari hasil penelitian IPB September
2004 di Rancaekek terdapat merkuri. (Detikcom, 30//5/2005).
Bukan hanya Rancaekek, kawasan industri Cicalengka Bandung pun perlu diwaspadai, sebab
perusahaan-perusahaan di kawasan itu telah mengakibatkan pencemaran lingkungan. Kawasan sekitar
Cicalengka menerima limbah B3 (bahan berbahaya dan beracun) dari kawasan industri itu. Dampak
pencemaran ini luar biasa, sekitar 400 hektar area pesawahan tidak dapat ditanami lagi, sungai-sungai
juga telah tercemar beberapa logam berat dan menyebabkan ikan-ikan mati, air tanah dikawasanindustri Cicalengka juga diduga sudah tercemar logam berat, Merkuri dan Krom.
Rencananya tim kecil yang terdiri dari komisi A, B dari DPRD Provinsi Jawa Barat itu akan
membentuk panitia khusus untuk menyelidiki tingkat kerawanan pencemaran dikawasan industri
Cicalengka itu. Saat ini, ada sekitar 80 perusahaan besar yang beroperasi, rata-rata perusahaan
tersebut membuang limbahnya kesungai. Dari data buang limbah Cicalengka saat ini, sebanyak 220
ton limbah berasal dari limbah domestik, 40 ton limbah industri dan rata-rata limbah itu dibuang
melalui air sungai yang hilirnya menuju Sungai Citarum.
Yazid mengaku hal ini memang harus diketahui publik meski dirinya sering mendapatkan teror
kondisinya sudah sangat rawan, saya juga sudah mendapat ancaman teror melalui telepon agar tidak
mengungkapkan kejadian ini. Secara kasat mata perubahan akibat pencemaran tersebut juga dapat
7/16/2019 Sulitnya Mencari Keadilan
http://slidepdf.com/reader/full/sulitnya-mencari-keadilan 57/139
Suara Korban Kerusakan Lingkungan di Cekungan Bandung;
SULITNYA MERAIH KEADILAN43
dilihat salah satu antara lain jalur tol Rancaekek- Cicalengka sudah terjadi amblasan sedalam 4 meter.
Ada beberapa upaya yang dilakukan oleh warga Rancaekek untuk mengatasi masalah pencemaran
limbah industri, diantaranya melalui TGPLKR yaitu Tim Gabungan Penanganan Limbah Kecamatan
Rancaekek yang dibentuk oleh dan atas nama warga Rancaekek untuk mengupayakan solusi
pencemaran yang diakibatkan oleh limbah industri yang mengalir ke Sungai Cikijing dengan tuntutan
diantaranya normalisasi Sungai Cikijing.
TGPLKR merupakan gabungan dari LSM-LSM yang berada di Rancaekek dengan harapan bisa
membawa solusi bagi masyarakat korban pencemaran limbah industri. Tetapi saying, TGPLKR ini
ternyata tidak bisa diharapkan, tim ini hanya berjuang untuk kelompoknya saja dalam meningkatkan
ekonomi pribadinya yaitu dengan menangani sampah pabrik dimana hasilnya pun bukan untuk
masyarakat melainkan untuk kepentingan kelompoknya.
Sebenarnya Tim TGPLKR sudah membuat MoU dengan ketiga industri besar tersebut, istilahnya
adalah penyelesaian sengketa lingkungan diluar pengadilan atau lebih dikenal dengan ADR
(Alternative Disputes Resolution). Beberapa tuntutan warga diantaranya adalah normalisasi Sungai
Cikijing dan penyerapan tenaga kerja. Tapi sayangnya, penyerapan tenaga kerja ini malah dijadikan peluang sumber pendapatan bagi para oknum di LSM yang menjadi calo tenaga kerja. Warga yang
mau bekerja di Kahatek harus menyogok uang sebesar Rp 4.500.000 untuk laki-laki dan Rp
2.500.000 untuk perempuan.
Hal ini tentu saja merugikan warga Rancaekek karena bagi warga yang tidak punya uang jadi tidak
bisa bekerja dan akhirnya jumlah pengangguran di Kecamatan Rancaekek mencapai 40 %. Sedangkan
para buruh pabrik kebanyakan datang dari luar daerah Rancaekek yang mengaku sebagai warga
Rancaekek. Sungguh ironis sekali, yang terkena dampak sangat besar dari proses industrialisasi
malah tidak mendapatkan apa-apa dan seharusnya ini menjadi perhatian perusahaan maupun
pemerintah karena ternyata masyarakat di sekitar industri mengalami kemiskinan, melarat hampir
sekarat.
Berbagai hambatan datang menerpa warga Rancaekek dalam menyelesaikan masalah pencemaran
limbah industri, diantaranya: adanya para oknum LSM yang menjelma menjadi premanisme dan
ingin mencari keuntungan dari pihak industri. Kemudian, adanya warga yang tidak konsekuen
terhadap tuntutan dan mau saja menerima uang kompensasi. Serta banyaknya lahan pesawahan yang
dimiliki oleh orang luar daerah Rancaekek. Kondisi ini tentu saja melemahkan gugatan warga untuk
mengadvokasi terhadap industri yang mencemari lingkungan dan merugikan warga.
Sebenarnya kalau pemerintah menegakan aturan hukum pembuangan limbah industri dengan tegas,
pencemaran air dan udara bisa diminimalisir. Salah satu contohnya adalah ketentuan tentang IPAL
(Instalasi Pengolahan Air Limbah) yang wajib dimiliki, ditaati oleh setiap penanggungjawab
usaha/kegiatan apabila akan mendirikan industri. Pertanyaannya kemudian, lalu mengapa IPAL ini
tidak difungsikan oleh pihak industri? Mengapa pihak industri sepertinya tidak takut dengan aturan pemerintah? Mengapa aparat pemerintah malah mengeluhkan perbuatan industri yang melanggar,
padahal seharusnya pemerintah mengambil tindakan tegas karena punya kewenangan dalam
penegakan hukum?
Menurut KLH, pencemaran limbah industri di Kabupaten Bandung merupakan salah satu yang
terparah di Indonesia. Hal tersebut berdasarkan hasil evaluasi program peningkatan kinerja
perusahaan. KLH menyambut positif upaya alih produksi lahan yang terkena limbah. Sedangkan
menurut Otto Sumarwoto (pemerhati lingkungan) pemerintah tidak tegas dalam menegakan aturan
mengenai pembuangan limbah ke sungai sampai keadaannya parah. Selama ini pemerintah tidak tegas
padahal aturan sudah ada.
Secara kritis WALHI memaparkan bahwa: pertama, pemerintah maupun lembaga peradilan belum
7/16/2019 Sulitnya Mencari Keadilan
http://slidepdf.com/reader/full/sulitnya-mencari-keadilan 58/139
Suara Korban Kerusakan Lingkungan di Cekungan Bandung;
SULITNYA MERAIH KEADILAN44
serius menangani dan menyelesaikan kasus-kasus pencemaran lingkungan. Dari tahun 1996 belum
melihat upaya yang serius dari berbagai pihak yang berkompeten untuk menegakan hukum
lingkungan. Kedua, lemahnya penyelesaian kasus-kasus pencemaran berpangkal dari lemahnya
komitmen politik pemerintah untuk mewujudkan pembangunan berkelanjutan yang berwawasan
lingkungan sehingga pelaksanaan dan penegakan hukum menjadi lemah. Ketiga, selama ini
pemerintah lebih dominan melakukan pendekatan persuasif dibanding upaya pengakan hukum
misalnya melalui Program Kali Bersih (PROKASIH) atau Peringkat Kinerja Perusahaan dalam
lingkungan PROKASIH (PROPER- PROKASIH). Keempat, akses masyarakat tentang informasi yang
dimiliki Badan Pengendalian Dampak Lingkungan (BAPEDAL) sangat kecil sehingga keterlibatan
masyarakat dalam mendorong industri agar taat aturan tidak berlangsunlg seperti yang diharapkan
misal: informasi mengenai PROPER PROKASIH tidak dapat diakses masyarakat secara mudah dari
Bapedal dengan alasan data tersebut merupakan rahasia negara.
UPAYA-UPAYA YANG DILAKUKAN BERBAGAI PIHAK
Mengingat kondisi pencemaran dari aliran Sungai Cikijing telah mencapai tahap kritis dan dapat
melumpuhkan pertanian masyarakat maka berbagai pihak baik instansi terkait maupun tokoh pemerhati lingkungan seperti KLH, BPLHD, PEMKAB, DLH, DPRD, DISPERTAN, berbagai LSM
seperti WALHI dan KOMNAS HAM telah melakukan investigasi terhadap masalah ini guna mencari
benang merah sekaligus memberikan kontribusi positif dalam melakukan konservasi terhadap lahan
pertanian yang terancam lumpuh.
Masing-masing pihak memiliki pola penanggulangan yang berbeda berdasarkan sudut pandang
masing-masing, namun memiliki tujuan yang sama yaitu menekan tingkat pencemaran di Sungai
Cikijing dan memperbaiki lahan pertanian guna menyelamatkan perekonomian masyarakat petani di
Kecamatan Rancaekek Kabupaten Bandung.
UPAYA MASYARAKAT
Berbagai upaya yang dilakukan masyarakat yaitu:
1) Mendorong terciptanya normalisasi Sungai Cikijing.
2) Meminta ganti rugi atas kerugian akibat sawahnya rusak karena tercemar limbah walaupun
sebenarnya seringkali tidak memadai bahkan tidak sampai ke warga.
3) Penyerapan tenaga kerja
4) Melaporakan kasus pencemaran limbah industri ke instansi Pemerintah terkait, Komnas Ham dan
Walhi.
5) Berjejaring dengan LSM di luar Rancaekek.
UPAYA PEMERINTAH
DPRD Jawa Barat berdasarkan penelitian dari pusat penelitian pengembangan tanah dan agroklimat
tahun 2001 dimana tanah pesawahan di Rancaekek mengandung Natrium (Na) dengan konsentrasi
tinggi yaitu: 203, 12, 97 me/100 g tanah sebagai kadar perbandingan kadar Na dalam tanah yang tidak
tercemar limbah industri tekstil hanya 0,92 me/100 g tanah, selain itu unsur logam berat pencemaran
lainnya yang terdeteksi adalah Hg,Cd,Cr,Cu,Co dan Zn. Lokasi pesawahan yang tercemar terletak di 4
desa dengan luas 400 ha dengan penurunan produksi gabah sebesar 1-2 ton /ha itupun dalam kualitas
buruk.
Bertitik tolak dari hasil pertanian tersebut maka komisi A, D, B DPRD Jabar dengan BPLHD,
DINKES, DISTAMBANG, PSDA dan SATPOL PP membentuk Pansus Penanganan Pencemaran
Cikijing. Adapun langkah pertama dari Pansus ini adalah:
7/16/2019 Sulitnya Mencari Keadilan
http://slidepdf.com/reader/full/sulitnya-mencari-keadilan 59/139
Suara Korban Kerusakan Lingkungan di Cekungan Bandung;
SULITNYA MERAIH KEADILAN45
1) Melakukan kunjungan langsung ke lapangan berdasarkan laporan dan pengaduan petani setempat
dan hasil penelitian pakar lingkungan dari IPB.
2) Mempertemukan petani dengan pelaku industri guna membuat komitmen namun sayang upaya ini
tidak berhasil karena ada yang tidak konsisten terhadap komitmen.
3) Melakukan pengawasan atas limbah di Rancaekek yaitu melalui difungsikannya IPAL walaupun
penuntasan hasilnya belum maksimal, masih perlu penuntasan.
4) Melaksanakan IPAL terpadu yang di dukung pengalokasian dana yang proporsional.
5) Dijajaki penggalangan dana yang bersumber dari investasi.
6) Adanya pemberitaan terhadap publik akan eksploitasi air tanah secara besar-besaran oleh pihak
perusahaan seperti PT. Kahatex yang memuat 33 sumur artesis namun cara ini selalu mendapat
intimidasi dari pihak radikal.
7) Pengerukan ditahun 2004 sepanjang sungai Cikijing. Penanganan limbahnya diserahkan kepada
BPLHD sedangkan untuk pengerukan air sungainya diserahkan pada PSDA dan dibiayai oleh PT.
Kahatex sebesar Rp 100.000.000, PT. Five Star Rp 7.500.000, dan Insan Sandang Rp 8.000.000.
UPAYA PEMERINTAH DAERAH KABUPATEN BANDUNG
Mengingat luasnya pencemaran areal pesawahan seluas 700 ha sawah maka Pemda Kab. Bandung
melakukan beberapa hal yaitu:
1. Mendesak petani korban limbah mengalih fungsikan areal tanaman dari padi ke mendong sebagai
tanaman alternatif mengingat hanya ikan sapu saja yang dapat hidup di air tercemar.
2. Bekerjasama dengan Dewan Kerajinan Nasional Daerah Kabupatean Bandung membuat pelatihan
tikar dari mendong.
3. Melakukkan pengamatan dan pengawasan secara terus menerus mengenai pencemaran Sungai
Cikijing yang mencemari ratusan hektar sawah dari mulai tahun 1989 sampai dengan sekarang.
4. Melakukan teguran bahkan mempermasalahkan pencemaran hingga ketingkat DPR Pusat
walaupun selalu mentok karena banyak birokrat dan anggota dewan yang menjadi backing.
5. Menjalin kerjasama dengan Balai Penelitian Tanah IPB Bogor untuk meneliti dan mengatasi
lahan sawah yang tidak bisa ditanami dengan rekomendasi para petani harus mencuci terlebihdahulu sawah mereka dengan air yang disedot dari dalam tanah, baru tanah ditumbuhi benih dan
tumbuh normal, namun hal tersebut membutuhkan ongkos produksi besar.
UPAYA KOMNAS HAM
1. Mendatangi lokasi pencemaran sebagai tindak lanjut atas laporan warga yakni flying ash (debu
beterbangan) yang keluar dari mesin boiler menyebabkan penyakit kulit dan ISPA.
2. Meninjau unit pembakaran untuk mengklarifikasi indikasi pencemaran oleh sebuah perusahaan
mengingat pencemaran adalah pelanggaran Ham jika dibiarkan
3. Menemui Bupati Sumedang guna mencari data hasil investigasi tes laboratorium maupun kimiawi
yang dilakukan Pemkab.4. Segera membangun IPAL terpadu di wilayah Kecamatan Rancaekek Kabupaten Bandung dimana
rencana tersebut telah disepakati Pemkab Sumedang, Bandung, PT Kahatex, PT Insan sandang
dan PT Five Star.
5. Akan mengusulkan perubahan tata ruang di kawasan lahan pertanian tercemar.
6. Dari hasil pemantauan Komnas Ham ke perusahaan, yang disinyalir membuang limbahnya ke
sungai ternyata perusahaan tersebut mempunyai landasan hukum berupa SK Bupati Sumedang
untuk membuang limbah ke Sungai Cikijing tersebut di dapat dari hasil temuan PT Kahatex.
Berkenaan dengan SK Bupati tersebut Komnas Ham menilai perlu dilakukan pembicaraan antara
kedua Pemda bahkan dibawa ke tingkat yang lebih tinggi.
7/16/2019 Sulitnya Mencari Keadilan
http://slidepdf.com/reader/full/sulitnya-mencari-keadilan 60/139
Suara Korban Kerusakan Lingkungan di Cekungan Bandung;
SULITNYA MERAIH KEADILAN46
PANDANGAN PENULIS
Selama penulis melakukan investigasi di Kecamatan Rancaekek, kasus yang sering diperdebatkan
oleh masyarakat yaitu kasus limbah cair, padahal kenyataannya di Rancaekek itu terjadi beberapa
kasus yang seharusnya mencuat seperti pencemaran limbah batu bara, penjarahan air dalam tanah dan
lain sebagainya. Jika diungkap akan lengkaplah sudah penderitaan masyarakat Rancaekek.
Pencemaran limbah cair dari ketiga perusahaan besar seperti PT. Kahatex, PT. Insan sandang, PT.
Five star selalu menjadi bahan gunjingan dikalangan warga masyarakat Rancaekek terutama
Kampung Babakan Jawa mengingat Kecamatan Rancaekek menurut tata ruang Kabupaten Bandung
adalah lahan pertanian sehingga masih banyak warga yang berprofesi sebagai petani dan buruh tani.
Sungai Cikijing adalah jantung kehidupan bagi masyarakat petani Rancaekek karena sungai ini adalah
saluran irigasi inti bagi lahan pertanian Rancaekek, namun apa yang terjadi? Sungai Cikijing yang
dulunya bersih, jernih kini sudah tidak nampak lagi karena semenjak tahun 1991 mulai berdiri
industri-industri raksasa yang sangat besar sehingga mencemari Sungai Cikijing yang bersih. “ Kini
Sungai Cikijing Tinggal Kenangan “ air jernih menjadi berwarna dan mengeluarkan bau yang sangat
menyengat.
Semua industri mengelak membuang limbah ke sungai, mereka mengaku telah memfungsikan
IPALnya dengan baik, Kalau memang ternyata industri telah memfungsikan IPALnya dengan baik
lalu darimana datangnya limbah yang sangat pekat, bau menyengat yang mengalir di Sungai Cikijing?
Tak ada yang mau menjawab dan nampaknya Pemerintah pun kebingungan untuk menjawab hal ini.
Kemungkinan di satu sisi memang mereka betul-betul tidak tahu atau pura-pura tidak tahu karena
mendapat uang suap.
Para petani semakin menjerit dengan kondisi sungai yang menjadi sumber kehidupan sudah beralih
fungsi, dari yang tadinya sebagai irigasi pertanian sekarang menjadi tempat pembuangan limbah.
Kemana para petani ini harus mencari air guna mengairi sawahnya agar tidak kekeringan? Coba kitahitung berapa nominal kerugian para petani! Dari mulai kasus seringnya gagal panen karena padi
terbakar akibat air limbah, tanah sawah menjadi rusak akibat endapan lumpur yang tebal, hasil panen
semakin berkurang, mahluk hidup yang ada disungai menjadi musnah. Lalu kemana petani harus
menuntut ganti rugi???
Mengadu pada pemerintah sepertinya tak ada tanggapan, mengadu keperusahaan dihadang oleh
preman. Ketika semua ini sudah terjadi, apa yang harus dilakukan oleh warga Rancaekek? Mau
bertani tidak bisa, mau mencari ikan di sungai sudah tidak ada, tenaga kerja juga sulit karena harus
pakai uang sogok lewat calo-calo, sehingga tetap saja tingkat pengangguran di Rancaekek masih
tinggi. Kalau sudah seperti itu mereka harus makan apa? Karena mereka pun tidak mau
mengkonsumsi hasil panennya, karena padinya diairi oleh air limbah sehingga hasil panennya
langsung dijual keluar, ada rasa ketakutan bagi warga untuk mengkonsumsi beras yang diairi limbahkarena dikhawatirkan kandungan kimianya sangat berat, apalagi Rancaekek di vonis tercemar Na
(Natrium).
Dari hasil temuan sebenarnya ada kompensasi dan uang penggantian atas lahan pertanian yang
tercemar, namun sayangnya hal ini tidak sampai kepada para petani karena selalu dimanfaatkan oleh
oknum LSM-LSM yang menjelma menjadi premanisme. Sala satu contoh, setiap satu tahun sekali
warga diberi hadiah selimut dari Kahatex namun kenyataannya selimut itu selalu tidak cukup untuk
dibagikan ke warga, entah nyangkut dimana? Akhirnya warga berinisiatif menjual selimut itu dan
hasilnya dibagikan uangnya, per KK mendapatkan Rp 3.000 rupiah. Contoh lain, ada pemberian bibit
cuma-cuma dari Kahatex tapi itupun tidak memadai, mereka tidak tahu apakah memang dari
Kahatexnya sedikit atau hilang di jalan?
7/16/2019 Sulitnya Mencari Keadilan
http://slidepdf.com/reader/full/sulitnya-mencari-keadilan 61/139
Suara Korban Kerusakan Lingkungan di Cekungan Bandung;
SULITNYA MERAIH KEADILAN47
Kemudian. TGPLKR yang diharapkan membawa solusi tentang normalisasi Sungai Cikijing malah
ribut meningkatkan kesejahteraan perekonomian dalam bidang limbah industri yang berupa sampah
rongsokan dan itu pun tidak sampai kontribusinya terhadap 4 desa yang tercemar, melainkan hanya
mengutamakan kepentingan kelompoknya saja.
Berbagai upaya masyarakat telah dilakukan untuk mengatasi pencemaran limbah industri yang
mengalir ke Sungai Cikijing seperti mengadu keperusahaan tapi akhirnya malah menjadi bulan
bulanan sang premanisme, ulah para oknum LSM yang tidak bertanggung jawab, yang selalu
memanfaatkan kelemahan warga. Kondisi seperti ini sering dijadikan sumber mata pencaharian bagi
para oknum LSM yang mengalami krisis moral. Warga Rancaekek sudah mengadu ke Kabupaten,
mengadu ke BPLHD, mengadu ke Pemerintah Provinsi termasuk Gubernur, mengadu ke WALHI dan
terakhir ke KOMNAS HAM karena sudah bertentangan dengan UU Lingkungan Hidup No. 23 Tahun
1997 yang melanggar hak hidup masyarakat untuk hidup dilingkungan yang bersih dan sehat, namun
sepertinya belum ada titik terang.
Penulis mengamati bahwa upaya penegakan hukum di pemerintahan lemah, antara tingkatan
pemerintahan pun terkadang saling menyalahkan, padahal seharusnya mereka tidak boleh seperti itu
karena disisi lain mereka punya kewenangan untuk menindak industri yang melanggar supayamelakukan tindakan yang benar tapi kenyataannya ini malah sebaliknya justru industri dibiarkan
untuk melanggar karena pelanggaran tersebut merupakan sumber mata pencaharian bagi para Birokrat
Keparat. Seperti halnya SK Bupati Sumedang yang memperbolehkan industri membuang limbah ke
Sungai Cikijing.
Kemudian bagi Pemda Kab. Sumedang kawasan perkotaan Rancaekek direncanakan sebagai pusat
petumbuhan ekonomi dengan mengembangkan kegiatan industri dengan adanya dukungan kebijakan
makro ekonomi nasional sehingga kasus limbah di Rancaekek ini sepertinya tidak akan pernah
selesai.
Lemahnya penyelesaian kasus-kasus pencemaran berpangkal dari lemahnya komitmen politik
pemerintah untuk mewujudkan pembangunan berkelanjutan yang berwawasan lingkungan sehingga pelaksanaan dan penegakan hukum menjadi lemah. Kemudian juga sulitnya bagi warga masyarkat
untuk mengakses data kasus pencemaran karena pemerintah selalu berulah kalau ini adalah data
rahasia.
Memilukan sekali nasib warga Rancaekek, mereka sangat mencintai kampung halamannya sebagai
lahan pertanian, tiba-tiba sekarang mereka harus terusir karena kebijakan makro ekonomi nasional,
apakah ini adil bagi mereka? karena siapapun pasti sangat mencintai kampung halamannya.
7/16/2019 Sulitnya Mencari Keadilan
http://slidepdf.com/reader/full/sulitnya-mencari-keadilan 62/139
Suara Korban Kerusakan Lingkungan di Cekungan Bandung;
SULITNYA MERAIH KEADILAN48
PERMASALAHAN TPA DAN INISIATIF
PENGELOLAAN SAMPAH OLEH WARGA
7/16/2019 Sulitnya Mencari Keadilan
http://slidepdf.com/reader/full/sulitnya-mencari-keadilan 63/139
Suara Korban Kerusakan Lingkungan di Cekungan Bandung;
SULITNYA MERAIH KEADILAN49
PARADIGMA PENGELOLAAN SAMPAH
DI CEKUNGAN BANDUNG
Oleh: M. Jefry Rohman23
erdasarkan terjemahan atau definisi dalam Kamus Istilah Lingkungan, 1994, sampah adalah
bahan yang tidak mempunyai nilai atau tidak berharga bercacat atau ditolak atau buangan.
Setiap aktivitas manusia cenderung menghasilkan sampah, apalagi dalam kehidupan modern yang
serba instant seperti saat ini. barang-barang dan makanan yang diproduksi menjadikan plastik sebagai
alat pembungkusnya. Sumber-sumber penghasil sampah yang kita ketahui seperti dari pasar, industri,
pertambangan, rumah sakit, rumah tangga, perkantoran, pertanian turut berperan sebagai penyumbang
sampah setiap harinya.
Di samping beberapa hal seperti diatas, gaya hidup masyarakat perkotaan dewasa ini yang cenderung
konsumtif. Serta diperparah dengan tingkat kesadaran dan kurangnya kepedulian dalammemperlakukan sampah sebagaimana mestinya. Apalagi sampah jenis plastic yang tidak mudah lapuk
dalam jangka pendek, maka apabila sisa pembungkus barang atau makanan ini tidak diperlakukan
dengan baik, dampaknya akan secara langsung bertambahnya kuantitas sampah itu sendiri.
Kondisi ini menyedot perhatian pemerintah dengan membentuk lembaga yang bertugas mengelola
sampah. Sebagaimana kita ketahui, kita mengenal nama Perusahaan Daerah (PD) Kebersihan atau
Dinas Kebersihan. Lembaga ini yang keseharianya bertugas mengangkut sampah dari sumbernya atau
TPSS-TPSS yang kemudian dibawa kesebuah lokasi Tempat Pembuangan Akhir (TPA).
Dibeberapa kota besar di Indonesia, penggunaan lahan TPA sebagai sarana pembuangan sampah,
seperti halnya Pemerintah DKI Jakarta yang memanfaatkan TPA Bantar Gebang Bekasi yang
dibangun pada tahun 1994 Pemerintah Kota Surabaya dengan volume sampahnya mencapai 8.800
meter kubik per-harinya, menggunakan TPA Keputih yang selama itu jadi andalan pemerintah kota
Surabaya yang kemudian pada tahun 2004 dialihkan ke TPA Benowo. Di Bandung sendiri, Pemkot
Bandung membebaskan lahan di daerah Leuwi Gajah Kota Cimahi seluas 25,1 hektar yang dibangun
pada tahun 1987. Kabupaten Bandung mengandalkan TPA Babakan Ciparay Desa Babakan
kecamatan Ciparay dan Desa Ranca Kole Kecamatan Arjasari dengan luas sekitar 10,2 Ha. TPA yang
merupakan milik Pemkab Bandung ini dibangun mulai dari tahun 1989 dan beroperasi tahun 1992.
Memang, sampai dengan saat sekarang kota-kota besar tersebut masih berkutat dan mengandalkan
lahan TPA sebagai sarana pembuangan sampah akhir. Alasan yang biasa masyarakat dengar adalah
bahwa, untuk membangun instalasi pengelolaan sampah yang modern dan ramah lingkungan tidak
sedikit biaya yang harus dikeluarkan.. Selain itu, pemerintahan daerah khusushya ketiga pemerintahanyang berada di wilayah cekungan bandung seperti Pengkot Bandung, Cimahi dan Pemkab. Bandung,
masih berorientasi profit oriented dalam hal penanganan sampah. Artinya, penanganan sampah saat
ini dilakukan karena disana ada retribusi yang bisa didapat sebagai jasa pengangkutan. Indikasi ini
dilihat dari pola penanganan sampah selama ini, dimana PD. Kebersihan atau Dinas Kebersihan
misalnya hanya melakukan rutinitas angkut dan buang saja. Bahkan, menurut sumber yang bisa
dipercaya, pengadaan lahan yang dimanfaatkan untuk sarana pembuangan sampah dikarenakan
bahwa, disana ada peluang mendapatkan proyek pengadaan lahan yang selama ini dilakukan oleh
calon pengelola TPA bersama pemerintah.
23 Penulis adalah warga kampung Junti Hilir Desa Sangkan Hurip Kecamatan Katapang kabupaten Bandung. Penulisadalah aktif mengelola sampah di desa , Pegiat di Desa dan Pusat Sumber Daya Komunitas (PSDK) serta Koalisi
Komunitas Korban Lingkungan (K3L)
7/16/2019 Sulitnya Mencari Keadilan
http://slidepdf.com/reader/full/sulitnya-mencari-keadilan 64/139
Suara Korban Kerusakan Lingkungan di Cekungan Bandung;
SULITNYA MERAIH KEADILAN50
Aktivitas pengelolaan sampah di TPA, sebenarnya tidak jauh berbeda dengan yang kita lakukan
sehari-hari saat membuang sampah. Atau dengan kata lain, pengelolaan sampah di TPA hanya
melakukan kegiatan penumpukan sampah menggunakan alat berat seperti yang dipaparkan diatas.
Janji yang biasa terlontar dari walikota atau bupati bahwa, pola penanganan sampah yang akan
dibuang ke TPA menggunakan pola dengan istilah sannitary landfill. Namun, janji itu hanya dilidah
saja, fakta dilapangan ternyata lain.
Pola yang dilakukan di TPA adalah pembuangan terbuka (open dumping ), di mana truk pengangkut
sampah langsung dumping sampah di TPA dan tidak ada pengelolaan antara sampah baru dan lama.
Akibatnya, timbunan sampah dapat mencapai puluhan meter.
TPA Leuwi Gajah maupun Bantar Gebang Bekasi Jawa Barat, sebenarnya didesain sebagai TPA yang
menggunakan metode sanitary landfill sebagaimana yang rencanakan sebelumnya. Pelaksanaan
metode ini tidak hanya berupa kegiatan penumpukan dan penimbunan sampah, tetapi juga melakukan
usaha agar sampah dimaksud tidak berbahaya lagi bagi lingkungan, baik fisik maupun biologi. Jadi,
diperlukan syarat untuk desain maupun operasi pelaksanaan metode sanitary landfill yang mencakup:
lokasi TPA secara geologi dan hidrogeologi harus memenuhi syarat. Untuk mengetahuinya diperlukan penyelidikan teknis geologi lingkungan, ada kontrol permanen terhadap operasional TPA serta ada
rencana penumpukan sampah dan pemadatan yang benar. Setelah sampah diratakan, seharusnya
ditebarkan lapisan lempung kemudian dipadatkan. Dua kegiatan terakhir ini tidak dilaksanakan
dengan berbagai alasan yang tak jelas.
TPA Cigeudig misalnya, TPA yang berada di kawasan hutan PERUM PERHUTANI petak 12 RPH
Rajamandala Desa Sarimukti Kecamatan Cipatat, sebagaimana dalam MoU antara Pemprop. Jawa
Barat dengan Perum Perhutani ini direncanakan akan mengelola sampah di TPA Cigeudig menjadi
kompos dengan cara memberdayakan masyarakat desa hutan. Tapi, rencana ini tak terlaksana sampai
sekarang. Artinya, walaupun sudah ada kesepakatan antara pihak terkait, tetap saja pengelolaan
sampah di TPA kembali pada kebiasaan lama.
Dibawah ini, digambarkan belum seriusnya pemerintah dalam ngokolakeun runtah di TPA baik yang
masih dipakai ataupun TPA yang tidak dipakai kembali:
1. TPA Cicabe Kecamatan Cicaheum Kota Bandung;
TPA Cicabe sudah tidak digunakan lagi. Proses reklamasi yang dilakukan oleh Pemkot Bandung
belum optimal dilakukan, kegiatan penghijauan yang dilakukan belum berjalan sebagaimana yang
direncanakan.
2. TPA Babakan Ciparay;
Dengan adanya TPA banyak warga yang menderita gangguan kesehatan yang dikarenakan oleh
bau tak sedap yang berasal dari TPA, Gangguan kesehatan yang dialami warga saat ini adalah
penyakit pernafasan seperti; batuk, sesak nafas, paru-paru dan lainnya.
Dari proses pembelokan sungai lembang ke sungai Cicangri banyak warga yang tinggal di
sepanjang sungai Cicangri mengalami kerugian karena lahan milik warga sering erosi terbawa arus
air Cicangri.
Air lindi dari TPA telah mencemari 18 kolam ikan sehingga para pemilik kolam mengalami
kerugian karena puluhan ribu ikan-ikan pada mati. Disamping pencemaran air permukaan. TPA
juga mencemari air tanah. Pencemaran air tanah dirasakan oleh warga sekitar.
3. TPA Jelekong;
TPA Jelekong, yang dari awal direncanakan pola pengelolaan sampah dengan metode sanitary
landfill, tapi pada prakteknya adalah oven dumping. Sedangkan, pada saat TPA Jelekong ini habis
7/16/2019 Sulitnya Mencari Keadilan
http://slidepdf.com/reader/full/sulitnya-mencari-keadilan 65/139
Suara Korban Kerusakan Lingkungan di Cekungan Bandung;
SULITNYA MERAIH KEADILAN51
masa aktifnya per-30 Desember 2005, pemerintah kota bandung selaku penanggung jawab
TPA ini, berjanji akan memulihkan kondisi TPA dengan cara remedi asi lahan bekas TPA dengan
cara ditanami kembali oleh bibit pohon. Tapi, janji itu belum terlaksana sampai sekarang
Dampak yang terjadi paska ditutupnya TPA Jelekong ini adalah tercemarnya Air lindih dari TPA
mengalir ke 680 tumbak sawah milik warga di Kp cilayung RW 04 yang menyebabkan kerugian
pihak petani dan pemilik kolam ikan, karena hasil panen dari pesawahan tersebut jadi menurun
dan kadang-kadang petani mengalami gagal panen serta ikan-ikan dikolam ikan pada mati.
menurut warga peristiwa tersebut adalah akibat dari air lindih TPA yang mengalir ke lokasi
pesawahan.
Disamping pencemaran air permukaan. TPA juga mencemari air tanah. Pencemaran air tanah
dirasakan juga oleh warga yang tinggal sekitar 1,5 KM dari lokasi TPA.
Pemerintahan daerah sebagai lembaga pelaksana dan berwenang mengelola sarana pembuangan akhir
sampah, cenderung mengindahkan pengelolaan yang berkelanjutan. Ditambah dengan tarik ulurnya
kewenangan atau kepentingan daerah baik provinsi maupun kabupaten/kota dengan dalih otonomi
daerah. Indikasi ini terlihat tatkala Pemprop Jabar menggulirkan program Greater Bandung WesteManagment Corporation (GBWMC) atau pengelolaan sampah terpadu yang meliputi beberapa
daerah: Kabupaten Bandung, Kota Cimahi, Kota Bandung dan Kabupaten Garut. Program ini
ditawarkan kebeberapa daerah tersebut, bahkan telah terjadi kesepakat diantara daerah tersebut pada
tanggal 7 Maret 2005. Namun, diantara daerah yang ditawari bahkan menyepakati program GBWMC
ini ternyata belum sepaham dan sepakat atas rencana Pemprop ini.
Berbenturannya kewenangan dan kepentingan provinsi dengan kabupaten/kota menjadi salah kendala
belum terlaksananya program ini. Indikasi ini terlihat, tatkala pengelolaan sampah yang dilakukan
oleh daerah-daerah berjalan sendiri-sendiri seperti halnya; Pemerintah Kota Bandung berrencana
membangun PLTSa yang menggaet PT. BRILL sebagai investornya. Pabrik pengelolaan sampah
sebagai pembangkit listrik tenaga sampah (PLTSa), ini direncanakan berlokasi di wilayah Gede Bage.
Sementara itu, Kabupaten Bandung masih mempertahankan TPA Babakan Ciparay di KecamatanCiparay serta TPA.
Kondisi diatas, memperlihatkan pada kita belum sepahamnya daerah-daerah akan pentingnya suatu
pengelolaan sampah yang terpadu dimana semua unsure terkait dibeberapa daerah di cekungan
Bandung saling bahu membahu dan bekerjasama memikirkan permasalahan sampah ini. Salah satu
faktor penghambat program ini adalah OTONOMI daerah, dimana daerah-daerah mengklaim mampu
dan berwenang mengurus masalah yang satu ini. Lantas, kapan kondisi ini bisa berubah? Dan sampai
kapan pula, permasalahan sampah cekungan Bandung bias teratasi. Kita tunggu saja gebrakan
pemerintah yang bijaksana tentunya.
7/16/2019 Sulitnya Mencari Keadilan
http://slidepdf.com/reader/full/sulitnya-mencari-keadilan 66/139
Suara Korban Kerusakan Lingkungan di Cekungan Bandung;
SULITNYA MERAIH KEADILAN52
TPA MEMAKAN KORBAN
Oleh: M. Jefry Rohman
ungkin kita tak merasa asing mendengar istilah ”Bandung Lautan Api”. Kenapa tidak, istilah
tersebut diambil dari secarik sejarah perjuangan nan heroik rakyat Bandung dalam mengusir
kolonial Belanda yang terjadi pada tanggal, 24 Maret 1946. Dari peristiwa tersebut, melahirkan
tokoh fenomenal seperi Mohammad Toha yang berani mati menghancurkan salah satu gudang
persenjataan milik Belanda di daerah Dayeuh Kolot.
Julukan peristiwa diatas menambah pembendaharaan julukan Kota Bandung dari mulai sebutan istilah
” Paris Van Java”, Kota Kembang dan masih banyak lagi sebutan yang diemban kota tua ini. Namun,
pada saat menginjak tahun 2006, sebutan kota Bandung berubah negatif dengan julukan ”BANDUNG
LAUTAN SAMPAH”.
Kini julukan Kota Bandung sungguh jauh dari Kota Bermartabat alias Bersih, Makmur, Taat danBersahabat. Julukan tersebut lebih tepatnya disebut Kota Sampah, karena tumpukan sampah yang
tingginya hampir mencapai lima meter tersebar di berbagai sudut Kota Bandung. Penanganan
tumpukan sampah itu hanya diberi terpal dan ditaburi kapur untuk mengurangi bau menyengat.
Suatu sebutan yang memberi-gambaran, bahwa situasi kota dipenuhi sampah diberbagai tempat.
Misalnya; di Jalan Aruna, Kecamatan Cicendo, gunungan sampah telah mencapai ketinggian tiga
meter, dengan panjang timbunan sekitar 15 meter dan lebarnya sekitar tiga meter. Timbunan sampah
itu memenuhi hingga separuh badan jalan sehingga mengakibatkan kemacetan lalu lintas. Di Jalan
Jenderal Sudirman dan Jalan A Yani Bandung, misalnya, timbunan sampah menyebar di ruas-ruas
jalan. Tumpukan sampah di pinggir jalan menimbulkan bau tak sedap, dan membuat orang yang lewat
terpaksa menutup hidung. Di tumpukan sampah itu tampak sejumlah belatung dan lalat. Di sejumlah
pasar, pedagang dan pembeli mengeluhkan bau busuk dan belatung akibat timbunan sampah. Di Pasar
Cihaurgeulis, sejumlah belatung telah memasuki kios-kios dan toko sehingga mengganggu aktivitas
perdagangan. Produksi sampah di Kota Bandung dalam sehari mencapai 7.500 meter kubik sampah.
Dengan demikian, penggunaan kedua TPA tersebut masih menyisakan sekitar 3.300 meter kubik
sampah di tempat penampungan sampah (TPS). Kompas (14/04/2005)
Persoalan sampah Kota Bandung telah menimbulkan keresahan masyarakat dan menghambat aktivitas
masyarakat. Onggokan sampah tidak lagi terpusat di sejumlah TPS, tetapi meluas hingga ke jalan raya
dan tempat-tempat umum. Bahkan, terdapat sejumlah TPS dadakan yang dibuat warga karena TPS
yang tersedia tidak lagi cukup menampung sampah. Itulah gambaran pemandangan Kota Bandung
sehari-hari
Kenyataan diatas, diakibatkan dari kecerobohan pengelolaan TPA Leuwi Gajah yang tidak memiliki
konsep pengelolaan lingkungan berkelanjutan. Lebih-lebih mengakibatkan korban jiwa hampir seratus
orang.
Bicara tentang penyebab longsornya TPA Leuwi Gajah. Henky Sutanto dari Pusat Pengkajian dan
Penerapan Teknologi Lingkungan BPPT menunjukkan, bagian dasar timbunan sampah tidak
dilengkapi lapisan kedap air yang mencegah tergelincirnya sampah dan merembesnya cairan lindi ke
sumber air tanah.
Sedangkan ledakan yang muncul, menurut Joko Heru Martono dari BPPT, adalah dampak lanjutan
dari masuknya air ke tumpukan sampah. Air yang masuk menimbulkan rekahan sehingga gas metan
yang tertahan di dalamnya keluar dalam bentuk ledakan. Gas metan (CH4) itu terbentuk akibat proses
7/16/2019 Sulitnya Mencari Keadilan
http://slidepdf.com/reader/full/sulitnya-mencari-keadilan 67/139
Suara Korban Kerusakan Lingkungan di Cekungan Bandung;
SULITNYA MERAIH KEADILAN53
penguraian sampah organik oleh mikro-organisme. Ledakan membuat longsor makin jauh, hampir
100 meter.
Kejadian longsor TPA Leuwi gajah dibulan Februari 2005 atau lebih tepatnya pada tanggal 12
Februari 2005 dini hari. Di Leuwi gajah sendiri, sebetulnya bukan kali pertama bencana itu terjadi.
Ditahun 1990 TPA Leuwi gajah pernah kejadian serupa tapi tak ada korban jiwa dari kejadian itu.
Berdasarkan pendapat warga Kp. Cireundeu yang lokasi sangat berdekatan atau bersebelahan dengan
TPA Leuwi gajah, mereka sempat mengingatkan pengelola TPA bahwa ada indikasi akan datangnya
longsor, tapi pihak pengelola tidak mengambil tindakan atas laporan warga tersebut.
A. Kronologis Penempatan Leuwi Gajah sebagai Sarana Pembuangan Sampah sampai
Terjadinya Bencana Longsor
TPA ini merupakan tempat pembuangan
sampah dari 3 wilayah administratif yaitu
Kota Bandung, Kota Cimahi dan Kab.
Bandung. Luas lahan yang digunakan TPA
sekitar 25,1 ha; 17 ha milik Kota Bandung;5,5 ha milik Kab. Bandung; 2,6 ha milik Kota
Cimahi. TPA ini resmi beroperasi pada tahun
1987. Sebelum membangun TPA, warga
dibohongi. Awalnya, informasi yang diberikan
kepada masyarakat, lokasi tersebut akan
digunakan untuk penghijauan dan membangun
vila, sehingga warga pun menjual tanahnya.
Warga kaget, karena ternyata tempat tersebut
dipakai TPA. Warga protes tapi tidak pernah
ditanggapi. Akhirnya warga pun pasrah.
Awalnya, konsep pengelolaan TPA ini memakai sistem sanitary landfill , tapi hanya berlangsungkurang dari dua tahun saja, setelah itu open dumping yang serampangan tanpa kontrol dan
pengawasan. Lama-lama volume sampah semakin banyak, menyamai bukit dan ada indikasi
membahayakan dan longsor Warga cemas dan mengadukan masalah tersebut, tapi tetap saja tidak
ditindaklanjuti. Akhirnya longsor pun terjadi pada tanggal 21 Feb 2005. Sebenarnya ada beberapa
peristiwa yang seharusnya menjadi warning pemerintah yaitu:
1. Tahun 1987 TPA Leuwigajah dioperasikan secara resmi.
2. Tahun 1990 terjadi longsor pertama yang mengakibatkan beberapa petak sawah tertimbun
sampah. Tidak ada korban jiwa.
3. 1 Februari 1994 terjadi longsor kedua yang mengakibatkan beberapa petak sawah dan tujuh
rumah tertimbun.
4. 21 Februari 2005 pukul 02.00 dini hari terjadi longsor ketiga yang mengakibatkan 147 orang
tewas, rumah, tanah, sawah, kebun tertimbun.
Pasca bencana, masyarakat korban dibagi 2 kategori:
1. Wilayah tertimbun yaitu wilayah yang rumahnya tertimbun longsoran sampah dan paling banyak
memakan korban jiwa. Wilayahnya yaitu Kp. Cilimus RT 02/09 Ds. Batujajar Timur.
2. Wilayah Bahaya 1 (B1) yaitu wilayah yang dianggap berbahaya dan tidak layak huni.
Wilayahnya yaitu:
Kp. Cilimus RT 01/09 Batujajar Timur
Kp. Gunung Aki RT 03/08 Ds. Batujajar
Kp. Cireundeu Pojok
Sekarang, kasus ini diselesaikan melalui proses hukum, yaitu:
1. Gugatan masyarakat korban dengan bantuan hukum dari Kantor Pengacara Jonhson Siregar,
7/16/2019 Sulitnya Mencari Keadilan
http://slidepdf.com/reader/full/sulitnya-mencari-keadilan 68/139
Suara Korban Kerusakan Lingkungan di Cekungan Bandung;
SULITNYA MERAIH KEADILAN54
SH dan rekan (JSDR).
2. Gugatan class action yang dilakukan oleh DPLKTS
3. Kasus pidana yang sudah diajukan pengadilan dengan terdakwa yaitu: Kepala Dinas
Kebersihan Kota Cimahi, Kab. Bandung dan Kota Bandung
B. Korban Kasus Longsor Leuwi Gajah
1. Korban Langsung
Timbunan longsor sampah ini meliputi 4 RW yaitu:
1. RW 8 & RW 9 Ds. Batujajar Timur
2. RW 11 & 12 Kelurahan Leuwigajah.
Yang paling parah berada di:
1. RT 02/RW 09 Kp. Cilimus , rumah tertimbun dan 115 jiwa tewas.
2. Kp. Cireundeu Pojok RW 12, Kel. Leuwigajah, ada 2 buah rumah tertimbun, 1 rumah kosong
dan 1 rumah tertimbun dengan 5 orang penghuni yang seuanya meninggal
2. Korban Tidak Langsung
1. Pemilik tanah yang tertimbun longsoran sampah.
2. Petani
3. Pemulung sampah
C. Perkembangan Terakhir Kasus Longsor Leuwi Gajah
Kasus longsor leuwi gajah yang terjadi pada tahun 2005, bulan 12 Februari yang merenggut korban
sebanyak 143 jiwa, sampai sekarang masih belum tuntas baik proses litigasinya ataupun ganti rugi.
Maupun keempat tuntutan yang menjadi aspirasi warga sebagai korban longsor yaitu: evakuasi, ganti
rugi, penegakan hukum, relokasi itu-pun belum sepenuhnya dilaksanakan oleh ketiga pemerintahan
Dalam hal evakuasi, menurut warga seperti yang dituturkan oleh Ridwan salah seorang anggota
Forum Peduli Cireundeu Pojok (FPCP) pemerintah belum sepenuhnya melakukan evaluasi bersama
warga korban. Dalam hal penegakan hukum beliau mengatakan kekecewaannya terhadap kedua
tersangka yang masih berkeliaran mereka diantaranya adalah Sudirman Wiriadimaja (Kepala Dinas
Kebersihan Kab. Bandung), Sutisna Sumantri (Kepala UPTD Kota Cimahi), serta Awan Gumelar
Direktur PD Kebersihan Kota Bandung. Mereka (tersangka red), dijatuhi hukuman masing-masing 5
tahun.
Kalau kita mengamati berbagai permasalahan menyangkut pengelolaan sampah lewat metode
konfensiaonal ini. Sudah banyak dampak yang rasakan baik langsung ataupun tidak langsung. Bukan
hanya suasana kumuh dan menjijikan seperti peristiwa “Bandung Lautan Sampah” bahkan yangsangat fatal tatkala warga Kampung Cireudeu yang tidak berdosa menjadi korban seperti kasus
longsornya sampah di TPA Leuwi Gajah. Lebih dari itu, penempatan atau penggunaan lahan TPA
sering kali menggabaikan potensi yang ada contohnya seperti, potensi sumber-sumber mata air yang
dimanfaatkan penduduk sekitar TPA, potensi kawasan resapan air akibat dari dibabadnya pepohonan
atau tumbuhan guna pembukaan lahan untuk TPA tersebut. Sehingga lambat laun, fungsi kawasan
hutan sebagai kawasan resapan air yang dibuka sebagai sarana pembuangan sampah akan terus
berkurang yang pada akhirnya akan berakibat pula berkurang sumber daya air.
Indikasi-indikasi dampak yang ditimbulkan dari penempatan TPA secara serampangan ini baik
ekologi ataupun yang lainnya. Bahkan, dari peristiwa longsornya TPA Leuwi Gajah, yang sungguh
sangat mencorengan Indonesia dimata dunia internasional bahwa baru kali ini kejadian banyaknya
korban jiwa yang terenggut akibat dari sampah, ironis memang.
7/16/2019 Sulitnya Mencari Keadilan
http://slidepdf.com/reader/full/sulitnya-mencari-keadilan 69/139
Suara Korban Kerusakan Lingkungan di Cekungan Bandung;
SULITNYA MERAIH KEADILAN55
Bahkan pemerintah dan pengelola TPA tak mau belajar dari peristiwa di Leuwi Gajah. Rangkaian
peristiwa yang memprihatinkan itu terjadi lagi di TPA Bantar gebang Bekasi yang memakan korban
jiwa akibat longsoran sampah melebihi kapasitas. Sedikitnya 3 orang meninggal, satu orang di
antaranya ibu hamil, dan 4 orang dirawat di rumah sakit. Peristiwa ini membuktikan bahwa
Pemerintah Provinsi DKI Jakarta memang tidak pernah mau belajar dari peristiwa longsoran sampah
TPA Leuwi Gajah, Cimahi Jawa Barat. Tragedi longsor di tempat pembuangan sampah ini,
merupakan potret buruk dari pengelolaan sampah di Jakarta, yang selalu saja mengorbankan
keselamatan rakyat.
Peristiwa longsornya sampah yang masih hangat dipendengaran kita terjadi juga di Desa Sarimukti
yaitu, longsornya TPA Kp. Cigedig Desa Sarimukti Kecamatan Cipatat Kabupaten Bandung.
Peristiwa longsornnya TPA Sarimukti walaupun tak merenggut korban jiwa tapi, korban materi dalam
hal ini sawah penduduk seluas 3 hektar tak terselamatkan dari longsoran sampah. Padahal, pesawahan
yang dimiliki oleh 23 keluarga itu yang sedang menguning menunggu sang pemiliknya menuai.
Kenapa kejadian demi kejadian itu terus terjadi, padahal khusus TPA Cigedig di Desa Sarimukti akan
dikembangkan menjadi TPA penghasil kompos sebagai mana yang rencanakan dan dijanjikan pemerintah semula bahwa pemerintah akan bekerjasama dengan masyarakat setempat dalam
mengolah sampah menjadi kompos. Keputusan pemerintah ini tertuang dalam Meetting off Undrestanding (MoU) antara pemerintah Provinsi Jawa Barat dengan Perum Perhutani Nomor:
658.1/14Desen tentang Pengelolaan Sampah Menjadi Kompos didalam 31/SJ/Dir/2006 area kawasan
hutan kesepakatan ini ditanda tangani pada tanggal 4 Agustus 2006. ruang lingkup kesepakatan
bersama itu meliputi:
1. Penempatan sampah didalam kawasan hutan
2. Pengolahan dan pemanfaatan sampah dikawasan hutan
3. Pemberdayaan masyarakat desa sekitar hutan dalam pengelolaan dan pemanfaatan sampah
Lantas, akankah pemerintah mengambil kebijakan yang jelas agar supaya korban-koran yang lain
tidak berjatuhan? Wallahu alam bishawab.
7/16/2019 Sulitnya Mencari Keadilan
http://slidepdf.com/reader/full/sulitnya-mencari-keadilan 70/139
Suara Korban Kerusakan Lingkungan di Cekungan Bandung;
SULITNYA MERAIH KEADILAN56
SULITNYA MENCARI LAHAN UNTUK TPA
Sebuah Kajian Mendalam Hasil Riset Pusat Sumber Daya Komunitas (PSDK), Atas Berbagai Penolakan Warga dari Berbagai Tempat Yang Tempatnya Akan Dijadikan TPA
Oleh: M. Jefry Rohman
endengar kata sampah, mungkin kita akan langsung membayangkan suasana kumuh, kotor,
bau, banyaknya lalat ijo berterbangan yang bisa menyebarkan penyakit dan lain sebagainya.
Sehingga orang akan langsung menolaknya mentah-mentah apabila dihadapannya atau
lingkungan rumahnya berserakan sampah. Bahkan, di masyarakat kita masih punya prinsip “biarkan
sampah bertebaran atau beserakan di tempat orang lain asal jangan dilingkungan saya”. Prinsip ini
sering kali diperlihatkan oleh orang-orang yang membuang sampah dari jendela mobil ke jalanan atau
orang-orang yang tak sadar dengan seenaknya membuang sampah ke sungai.
Begitupun, kalau kita amati dari maraknya berbagai penolakan warga atas rencana penempatan TPAdi daerahnya oleh pemerintah. Warga akan menolak dengan keras apabila daerahnya dijadikan tempat
pembuangan sampah, mereka takut akan dampak-dampak negative yang ditimbulkan dari sampah
bagi kesehatan lingkungannya. Suasana yang nampak akan terjadi di lokasi pembuangan akhir
sampah atau TPA, mungkin suasananya tidak akan jauh berbeda dengan apa yang di asumsikan diatas
bahkan akan sangat jelas apabila volume sampahnya sangat banyak. Inilah potret penerimaan warga
atas rencana TPA tersebut.
Namun, dari berbagai hasil penelitian dilapangan membuktikan bahwa, bukan hanya dampak yang
seperti dipaparkan diatas alasan warga dalam menolak rencana pengelolaan sampah tersebut. Banyak
alasan mendasar yang membuat mereka enggan kalau daerahnya dijadikan tempat pengelolaan
sampah diantaranya;
Pertama, masyarakat sering di nomor duakan artinya, pemerintah selalu berpihak pada investor yang
akan mengelola sampah ketimbang melakukan dan musyawarah dengan warga, walaupun pemerintah
selama ini berpendapat bahwa proses sosialiasi sudah dilakukan bahkan sudah ada kesepakatan warga.
Memang, selama ini proses itu dilakukan, tapi yang menjadi peserta pertemuan tersebut hanya
mengundang orang-orang yang punya kepentingan sesaat seperti pemilik lahan, aparat desa beserta
tokoh masyarakat saja.
Bicara tentang tokoh masyarakat, sebetulnya didaerah-daerah sulit sekali mendapatkan tokoh-tokoh
masyarakat yang betul-betul ditokohkan oleh masyarakat yang apabila salah satu omongannya selalu
dihormati oleh masyarakat itu sendiri. Kebanyakan dari mereka, hanya ditokohkan oleh pemerintah
maupun menokohkan diri.
Kenyataan ini bukan hanya pada proses sosialisasi saja, pada saat penelitian AMDAL masyarakat
selalu tidak dilibatkan dalam tim peneliti. Padahal, dalam aturan dalam PP No. 27 Tahun 1999
tentang Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) Pasal 9 ayat (1): “Komisi penilaian
sebagaimana dimaksud dalam pasal 8 ayat (1) huruf a terdiri atas unsur–unsure instansi yang ditugasi
mengelola lingkungan hidup, instansi yang ditugasi mengendalikan dampak lingkungan, Departemen
Dalam Negeri, instansi yang ditugasi bidang kesehatan, instansi yang ditugasi bidang Pertahanan
Keamanan, intansi yang ditugasi perencanaan pembangunan nasional, intansi yang ditugasi bidang
penanaman modal, instansi yang ditugasi bidang pertahanan, instansi yang ditugasi bidang ilmu
pengetahuan. Ayat (1) dari pasal 9 ini diakhiri dengan kalimat; organisasi lingkungan hidup sesuai
dengan bidang usaha dan atau kegiatan yang dikaji, wakil masyarakat terkena dampak, serta
anggota lain yang dipandang perlu
7/16/2019 Sulitnya Mencari Keadilan
http://slidepdf.com/reader/full/sulitnya-mencari-keadilan 71/139
Suara Korban Kerusakan Lingkungan di Cekungan Bandung;
SULITNYA MERAIH KEADILAN57
Kedua, selalu melakukan intimidasi dan pemaksaan kehendak, menakut-nakuti dengan berbagai
ancaman baik langsung maupun tidak langsung.
Ketiga, selalu melakukan kebohongan public. Ini dibuktikan, tatkala pemerintah daerah akan
mendirikan TPA Leuwi gajah, warga dibohongi. informasi yang diberikan kepada masyarakat, lokasi
tersebut akan digunakan untuk penghijauan dan membangun vila, sehingga warga pun menjual
tanahnya. Warga kaget, karena ternyata tempat tersebut dipakai TPA.
Keempat , hilangnya kepercayaan masyarakat pada pemerintah, seperti banyak janji yang selalu
diinkarinya sendiri apalagi sering mengabaikan peraturan-peraturan yang nota bene dibuat oleh
mereka sendiri. Bencana longsornya gunungan sampah Leuwi Gajah diawal tahun 2006 lalu, menjadi
klimak, bukti hilangnya kepercayaan masyarakat atas pemerintah yang tidak bertangungjawab atas
kewajiban mereka untuk mengelola sampah yang berakibat berjatuhannya korban yang tidak berdosa.
Kondisi ini diperlihatkan dari berbagai penolakan yang diperlihatkan warga terhadap rencana
penempatan TPA di daerahnya. Seperti kasus penolakan warga Bojong atas Tempat Pengelolaan
Sampah Terpadu (TPST), penolakan warga Pasir Bajing Nagreg, penolakan warga KampungCimerang Desa Citatah, penolakan warga Cireunde atas rencana diaktifkannya kembali TPA Leuwi
gajah, dan yang paling dekat adalah penolakan warga Cipanileuman/Babakan Sayang Desa Cibiru
hilir Kec. Cileunyi Wetan Kab. Bandung dan warga Perum Cempaka Arum Kota Bandung atas
rencana PLTSa Gede bage.
Terkait dengan penolakan warga Cipanileuman/Babakan Sayang Desa Cibiru hilir Kec. Cileunyi
Wetan Kabupaten Bandung dan warga Perum Cempaka Arum Kota Bandung atas rencana PLTSa
Gede bage. Ini membuktikan, bahwa secanggih apapun rencana pemerinah dalam hal penanggulangan
sampah, warga atau masyarakat sudah tidak percaya lagi karena melihat dari pengalaman yang lalu-
lalu, pemerintah selalu saja ingkar janji. Bahkan, aturan dan hukum yang berkenaan dengan
pelanggaran lingkungan bisa dimainkannya. Contoh yang nyata dari asumsi ini, proses hukum atas
tersangka longsor Leuwi gajah masih terkatung-katung dan terkesan dikesampingkan.
A. REAKSI PEMERINTAH ATAS MARAKNYA PENOLAKAN
Dari berbagai penolakan warga atas rencana
tersebu, justru ditanggapi pemerintah tidak
diterima dengan kepala dingin bahkan
terkesan emosional, seperti misalnya
tanggapan wali kota bandung (Dada Rosada)
atas aksi demo yang dilakukan warga Perum
Cempaka Arum Kota Bandung dan warga
Kampung Cipanileuman dan Babakan sayangKabupaten Bandung. Sebagaimana
kebanyakan dikutip beberapa media cetak
pertengahan Mei/2007 lalu, bahwa, dia
menantang akan diadakannya referendum
untuk menentukan apakah rencana pabrik
sampah ini diterima oleh semua warga Kota
Bandung. Begitu pula sikap pemerintah
provinsi yang dari mulut orang nomor dua Jawa Barat ini mengatakan, bahwa sikap warga ini tidak
demokratis. Meski ada penolakan warga, Wagub Jabar Nu’man Abdul Hakim justru meminta
Kab/Kota Bandung dan Kota Cimahi agar secepatnya melakukan penanganan lebih lanjut untuk
mewujudkan tempat pengolahan sampah di bekas TPA Leuwigajah.Wagub malah menilai penolakan
warga sebagai sikap yang tidak demokratis dan menghambat penyelesaian masalah sampah. ” Segala
7/16/2019 Sulitnya Mencari Keadilan
http://slidepdf.com/reader/full/sulitnya-mencari-keadilan 72/139
Suara Korban Kerusakan Lingkungan di Cekungan Bandung;
SULITNYA MERAIH KEADILAN58
bentuk pengolahan sampah yang dikerjakan akan menggunakan teknologi, bukan asal buang,” kata
Nu’man di Gedung Graha Manggala Siliwangi
Sebagai pemimpin sikap itu sebetulnya yang tidak demokratis dan terkesan emosional.yang harus
dilakukan pemerintah adalah dijadikan itu sebagai peringatan keras dan pengalaman berharga buat
pemerintah agar supaya dukungan dan kepercayaan masyarakat bisa tumbuh. Untuk itu, pemerintah
tinggal memperbaiki kebiasaan buruk yang dijadikan alasan masyarakat sebagaimana yang
dipaparkan diatas. Turun kelapangan langsung dan berdialog dengan warga merupakan sikap yang
bijaksana.
***
Sebagai bahan pendukung dari catatan diatas, selanjutnya dibawah ini saya cantumkan hasil riset
partisipatif yang dilaksanakan di daerah citatah beberapa waktu yang lalu;
B. KRONOLOGIS PENOLAKAN WARGA TERHADAP RENCANA TPA
Gambaran Umum Wilayah
Desa Citatah merupakan daerah administrative dari Kecamatan Cipatat Kabupaten Bandung denganluas 1.533,492 ha yang terbagi pada 4 (empat) Kepala Dusun (Kadus), 21 RW, 80 RT. Daerahnya
kalau dilihat dari peta topografi memiliki ketinggian 600 dpl, merupakan daerah pebukitan yang
sebagian besar bukit-bukit kapur dan kapur, ini telah dijadikan kawasan galian oleh perusahaan-
perusahaan tambang.
Di Desa Citatah ini, terdapat kampung yang
bernama Cimerang RW 12 dengan ketinggian
400 dpl, yang oleh pemerintah daerah (Kota
Bandung, Kota Cimahi, dan Kab. Bandung)
rencananya akan dijadikan Tempat Pembuangan
Sampah (TPA) dengan menggandeng PT. BRIL
sebagai pengembangnya. Namun, kalau kitalihat dari unsur Sosial Ekonomi dan Parawiata,
sebetulnya rencana penempatan TPA ini tidak
sesuai terlebih kalau kita mencermati dampak
lingkungan yang akan terjadi dikemudian hari.
Kp. Cimerang RW 12 sendiri, dibatasi oleh
beberapa Kampung/RW antara lain: sebelah
barat dan sebagian sebelah utara RW 05
Kampung Cimerang, sebelah selatan RW 07 Kampung Ciparang, sebelah timur RW 17. Kp.
Margaluyu mekar.
Penempatan TPA ini, rencananya ditempatkan dilahan yang sebagian besar milik warga luar (Budi)
yaitu orang Kabupaten Bogor. Berikut dibawah ini daftar nama pemilik lahan beserta besarannya :
No Nama Pemilik Lahan Luas Lahan
1 Budi 14 hektar
2 H. Komarudin 5 hektar
3 Mardi 4 hektar
4 Manta 1,5 hektar
5 Agus 1,5 hektar
7/16/2019 Sulitnya Mencari Keadilan
http://slidepdf.com/reader/full/sulitnya-mencari-keadilan 73/139
Suara Korban Kerusakan Lingkungan di Cekungan Bandung;
SULITNYA MERAIH KEADILAN59
6 Sarono 1 hektar
7 I n o I hektar
8 Nandang I hektar
9 Pupu I hektar
10 Cicih I hektar
11 Wawan I hektar
12 Dede I hektar
13 Kaman 0,5 hektar
Sebagian besar lahan pertaniannya ditanami palawija sejenis umbi kayu (singkong)dengan luas
sebaran mencapai 45 ha, sawah tadah hujan 10 ha. Warganya yang kebanyakan etnis jawa ini,sebagian besar buruh tani ladang-ladang palawija. Selain itu, di kampung ini, berjejer kios-kios warga
yang menjajakan makanan khas setempat seperti tape dan kerajinan tanggan yang terbuat dari kayu.
Kasus dan Penyelesaian Masalah
Sebagaimana disebutkan diatas, bahwa Pemkab Bandung merekomendasikan pada PD. Kebersihan
Kota Bandung untuk menggunakan TPA Citatah yang terletak di Kampung Cimerang RW 12 sebagai
alternative darurat tempat pembuangan sampah. Warga setempat, lansung bereaksi menolak atas
rencana tersebut.
Warga Kampung Cimerang, yang dimotori oleh Ir. Yudi (Konsultan Kehutanan), Aep warga (Guru
Olahraga) di salah satu SMP di Raja Mandala, mereka adalah warga RT 02/12, Ustadz Atim warga
RT 01/12, serta Wawan warga RT 04/12, melakukan konsolidasi dengan warga yang lain untuk nelakukan aksi penolakan atas rencana TPA. Selain, melakukan konsolidasi dengan warga, mereka
melakukan jejaring dengan warga lintas RW dan lintas Desa, LSM, LBH Bandung, serta Media
Massa, yang jadi kerjaan pertama mereka adalah membujuk Ketua RW setempat beserta RTnya yang
telah terbujuk rayuan pengembang dan pemerintah, supaya mencabut pernyataan dan sikap pro
terhadap rencana TPA. Selain itu, mereka juga membujuk warga yang telah disuap oleh pihak
pengembang supaya berbalik arah menolak rencana TPA.
Dibawah ini, beberapa hal kronologis atau alasan penolakan warga:
1. Kurang lebih seminggu sebelum tanggal 27 Desember 2005, Ketua RT 04/12 bersama beberapa
orang, membagikan uang sebesar Rp. 50.000/0rang, yang dikenal dengan uang sampah, uang
silaturahmi, atau uang rapat sampah. Bagi warga yang ingin mendapatkan uang tersebut,
disyaratkan harus menyerahkan KTP dan menandatangani sebuah blangko folmulir,2. Selasa, 27 Desember 2005, dilaksanakan Sosialisasi Pengelolaan TPA Sampah di Citatah oleh
pihak pengembang PT. BRIL (Bandung Raya Indah Lestari) kepada masyarakat Citatah
bertempat dirumah Ketua RW 12 yang dihadiri Mupika Cipatat dan Aparat Pemerintah Desa
Citatah. Ternyata yang mendapatkan undangan hanya sebagian warga dan tokoh dari RW 12 Kp.
Cimerang, sementara warga/tokoh RW dari 20 lainnya tidak hadir, karena memamang tidak
diundang.
Setelah PT. BRIL memaparkan rencana dan strategi pengelolaan sampah dengan tekhnologi canggih
dari China seluruh warga yang hadir spontan menyatakan penolakan atas rencana tersebut dan
langsung menyerahkan Nota Penolakan disertai dengan copy tanda tangan penolakan sebanyak 240
warga Cimerang. Nota Penolakan tersebut diserahkan pada Camat Cipatat, Kapolsek Cipatat,
Danramil Cipatat, dan kepala Desa Citatah,
7/16/2019 Sulitnya Mencari Keadilan
http://slidepdf.com/reader/full/sulitnya-mencari-keadilan 74/139
Suara Korban Kerusakan Lingkungan di Cekungan Bandung;
SULITNYA MERAIH KEADILAN60
1. Sabtu, 7 Januari 2006; pada Harian Galamedia diberitakan bahwa Camat Cipatat dalam rapat
Muspida Kabupaten Bandung di Kantor Bupati Bandung di Soreang, hari Kamis, 5 Januari 2006,
menyatakan bahwa Setelah TPA di Jelekong pada 31 Desember, masyarakat seputar Citatahtelah mengizinkan Kawasan Cimerang dan Cileungsi untuk dijadikan TPA dari Kota Bandung dan
Kota Cimahi. Juga diberitakan bahwa PT. BRIL sudah mengantongi izin dari Pemkab Bandung
untuk memindahkan alat-alat berat ke Citatah, sehingga dalam waktu 10 hari TPA Citatah siap
diopersionalkan sebagai TPA darurat,
2. Sabtu, 7 Januari 2006; tokoh masyarakat seputar Citatah, dari RW 12 Cimerang & Margaluyu
mekar RW 17, RW 05 dari Cimerang kaler, serta RW 07 Kp. Ciparang. Menggelar musyawar
yang bertempat di RT 02/12, untuk menanggapi pernyataan Camat tersebut. Hasilnya adalah
Pernyataan Camat Cipatat Bertolak Belakang dengan Sikap Warga Seputar Citatah, Karena
Warga Seputat Citatah Menolak Tegas TPA tanpa Kompromi dan Tanpa Syarat Apapun,
3. Senin, 9 Januari 2006; kembali digelar musyawarah di RT 02/12 Kp. Cimerang, dihadiri tokoh
masyarakat 4 (empat) RW sebagai mana disebutkan diatas, dengan dukungan RW 11 Margaluyu
Desa Citatah, Desa Gunung Masigit dan Desa Mandala sari. Hasilnya adalah, Terbentuknya
Forum Stop TPA Citatah yang Mewadahi Aspirasi Seputar Citatah yang Menolak Rencana TPA
Sampah Citatah. Nota Penolakan Forum Stop TPA Citatah langsung disampaikan langsung
disampaikan pada DPRD Kabupaten Bandung, berbagai LSM, serta Media Masa,4. Selasa, 10 Januari 2006; Forum Stop TPA Citatah melakukan sosialisasi pada warga mengenai
dampak negatif yang akan timbul dari adanya pengangkutan dan penimbunan samapah
berdasarkan data-data dari beberapa TPA yang sudah ada. Dari situ, warga mulai terkonsolidasi
dengan, dan pada waktu itu juga warga langsung memasang spanduk penolakan,
5. Jum’at 13 Januari 2006; bertempat di Rumah Makan Katineung Rasa Raja Madala PT. BRIL
bersama Muspika Cipatat, melakukan Sosialisasi Pengelolaan Sampah dengan Tehnologi German
dan China. Hadir dalam acara tersebut; Kepala Desa Citatah, Unsur BPD, LKMD, Ormas, OKP,
dan tokoh masyarakat se-Kecamatan Cipatat, Tanpa Mengundang Warga Yang Menolak.
Hasilnya, hadirin tetap menolak TPA, apalagi mesin pengolah sampah dari German, baru dapat
dioperasikan dua tahun kemudian, berarti selama dua tahun Pemkot Bandung & Cimahi hanya
membuang sampah,
6. Sabtu 14 Januari 2006 pukul 18.45, Bandung TV menayangkan pernyataan Camat Cipatat yangseolah-olah sudah mendapatkan persetujuan dari 240 KK warga RW 12 Cimerang, berupa tanda
tangan di atas materai,
7. Sabtu, 14 Januari 2006; beberapa tokoh, ulama dan warga yang telah menandatangani uang
silaturahmi, mulai memahami bahwa adanya TPA akan mendatangkan kemudorotan terlebih
dahulu sebelum datang kemanfaatan di kemudian hari (ushul fiqh), juga bobot mudorot-nya jauh
lebih besar dari bobot manfaatnya, sehingga sikap mereka pada akhirnya Tetap Menolak Sampah,
8. Minggu, 15 Januari 2006 bertempat di Mesjid Jami Nurul Hikmah dan Senin, tanggal 16 Januari
2006 bertempat di Mesjid Jami Miftahul Huda, dilaksanakan musyawarah yang dihadiri oleh
Ketua RW 12, seluruh Ketua RT/wakilnya, unsur BPD, para Ketua DKM, Tokoh Ulama, Tokoh
Masyarakat, Tokoh Pemuda serta warga masyarakat. Hasilnya adalah Seleruh Warga RW 12
Kampung Cimerang Desa Ciatath Kec. Cipatat Kab. Bandung, Baik yang Menolak Maupun yang
Menerima Uang Silaturahmi, Sepakat Untuk Bersama-sama Menolak Dengan Tegas RencanaPembangunan Tempat Pembuangan/ Pengolahan Akhir (TPA) Sampah, Tanpa Kompromi dan
Tanpa Syarat Apapun Juga, Dimanapun Diseluruh Kecamatan Cipatat
Sikap tersebut didukung oleh warga seputar Citatah, baik warga dari RW-RW di dalam Desa
Citatah, maupun warga dari luar Desa Citatah; seperti Desa Gunung Masigit, Desa Cipatat, Desa
Ciptaharja, Desa Kertamukti, Desa Rajamandala Kulon, Desa Mandalawangi dan Desa
Mandalasari.
Hanya sekira empat atau lima keluarga warga RW 12 Cimerang yang belum menolak TPA, antara
lain keluarga penjaga tanah calon TPA, warga yang tanah/rumahnya akan dibeli oleh pengembang
dan warga yang mendapat keuntungan dari pihak pengembang.
7/16/2019 Sulitnya Mencari Keadilan
http://slidepdf.com/reader/full/sulitnya-mencari-keadilan 75/139
Suara Korban Kerusakan Lingkungan di Cekungan Bandung;
SULITNYA MERAIH KEADILAN61
Perlu diketahui, TANAH CALON TPA Citatah Bukanlah Tanah Milik Warga Setempat,
melainkan tanah hak milik pribadi orang luar Kabupaten Bandung yang dijual kepada Pemkot
Bandung.
9. Selasa, 17 Januari 2006; Harian Galamedia melaporkan bahwa Mentri Negara Lingkungan Hidup
menolak untuk mengeluarkan surat rekomendasi darurat sampah seperti yang diminta Pemkot
Bandung, Pemkot Cimahi dan Pemkab Bandung.
Persoalan sampah yang terjadi di Kota Bandung dan Kota Cimahi juga seharusnya telah dapat
diprediksi dan dicarikan jalan keluarnya pada waktu lalu. Selama belum ada kajian lingkungan,
pembangunan tidak bisa dilaksanakan. Berarti perijinan yang telah dikeluarkan oleh Pemkab Bandung
yang berkaitan dengan TPA Citatah harus batal demi hukum.
Jumlah warga masyarakat seputar Citatah yang menolak rencana pembuangan sampah dari kota
Bandung dan kota Cimahi ke wilayah kecamatan Cipatat kabupaten Bandung seluas 50 ha s/d 90 ha,
yang sudah terkumpul hingga saat ini berjumlah lebih dari 1.500 orang, yang berasal dari warga Desa
Citatah, Desa Gunungmasigit, Desa Cipatat, Desa Ciptaharja, Desa Rajamandala Kulon, Desa
Mandalawangi dan Desa Mandalasari.
Dasar dari penolakan mereka (warga) atas rencana TPA, seperti apa yang dikatakan Yudi (Penasehat
Forum) bahwa rencana Pembangunan TPA CITATAH bukanlah isu lokal Desa Citatah, namun isu
wilayah, karena yang akan berpotensi terkena dampak negatif, langsung maupun tidak langsung,
adalah wilayah yang membentang mulai dari Padalarang, Ciburuy, Gunungmasigit, dan Citatah di
sebelah Timur, hingga ke sebelah Barat, yaitu Cipatat, Ciptaharja, Kertamukti, Rajamandala,
Mandalawangi, Mandalasari, Sarimukti hingga ke sungai Citarum. Namun Muspika Cipatat dan
Pemerintah Desa Citatah bersama PT. BRIL hanya melaksanakan sosialisasi mengenai manfaat
pembangunan pabrik pengolah sampah hanya kepada masyarakat Desa Citatah dan sebagian warga di
Kecamatan Cipatat.
Pencemaran AirCalon Lokasi TPA Citatah berada pada ketinggian ± 400 m dpl (dari permukaan laut), keadaan
topogarfinya menurun ke arah Utara dan Barat, sedangkan pemukiman warga, kebun, ladang dan
sawah di sebalah Utara dan Barat berada pada ketinggian yang lebih rendah hingga ± 300 m dpl.
Akibatnya, rembesan berbagai macam limbah akan masuk kedalam saluran irigasi yang menuju ke
Cipatat, Nyomplong, Citapen, Rajamandala, Mandalasari dan Mandalawangi hingga ke Sungai
Ciatrum; sebagian lagi akan merembes ke Sungai Cimeta di sebelah Utara hingga ke Sungai Citarum.
Akibatnya, kebun, ladang dan sawah akan serta kualitas air sumur akan tercemar rembesan berbagai
macam limbah sampah yang meresap ke dalam tanah. Yang lebih parah lagi, rembesan berbagai
macam limbah akan mencemari sumber air dan sumur warga yang berada di sekitar Cimerang dan
yang berada di sebelah bawah tercemar rembesan berbagai macam limbah sampah yang meresap ke
dalam tanah.
C. DAMPAK NEGATIF YANG AKAN TIMBUL AKIBAT PENGANGKUTAN SAMPAH
x Gangguan terhadap Kenyamanan Berkendara dan Pencemaran Udara
Volume sampah Kota Bandung adalah ± 7.500 m3/hari dan sampah Kota Cimahi adalah ± 1.200
m3/hari. Bila kapasitas angkut truk sampah rata-rata 10 m3/truk, maka dibutuhkan 870 rit/hari
untuk mengangkut sampah ke TPA Citatah melalui jalur Bandung-Cimahi-Padalarang-Ciburuy-
Gunungmasigit-Citatah.
Maka warga masyarakat yang setiap hari melalui rute tersebut, baik dari Timur maupun dari
Barat, akan senantiasa menghirup bau sampah dan menghirup berbagai macam sumber penyakit,
dalam situasi lalu lintas yang lebih macet, sehingga menimbulkan ketidak-nyamanan dalam
berkendara.
7/16/2019 Sulitnya Mencari Keadilan
http://slidepdf.com/reader/full/sulitnya-mencari-keadilan 76/139
Suara Korban Kerusakan Lingkungan di Cekungan Bandung;
SULITNYA MERAIH KEADILAN62
x Halaman Rumah Menjadi Kotor, Bau dan Banyak Lalat Ijo
Bagi warga masyarakat yang berada di tepi jalan angkutan truk sampah, maka halaman rumahnya
akan kotor, bau sampah dan dihinggapi ribuan hingga jutaan lalat ijo setiap harinya selama
bertahun-tahun, karena dipastikan sampah dan air sampah akan tercecer sepanjang jalan, dan lalat
ijo akan masuk ke rumah. Sementara itu, banyaknya lalat ijo dan bau sampah dari truk yang lewatakan bersifat permanen, akibat truk pengangkut sampah bolak-balik hingga 870 rit/hari selama
bertahun-tahun.
x Usaha Akan Bangkrut
Para pedagang, khususnya di sepanjang jalur Padalarang-Citatah tidak akan didatangi pembeli
lagi karena lingkungannya kotor, bau sampah dan lalat ijo hinggap pada barang dagangan. Jambu
dan alpukat Ciburuy serta tape gantung Pamucatan, Gunungmasigit, Tagogmunding dan
Cimerang, warnanya akan menjadi hitam kehijauan karena dikerubuti ribuan lalat ijo. Bila
pedagang buah-buahan di Ciburuy bangkrut, maka petani buah-buahanpun akan bangkrut pula,
jika tape gantung tidak laku, maka petani singkong pun gigit jari.
Seharusnya sosialisasi dilakukan secara menyeluruh pada seluruh Desa yang berada di wilayah
Kecamatan Cipatat, Ciburuy dan Padalarang. Alasannya adalah, berdasarkan kenyataan yang terjadi
di TPS-TPS (Tempat Pengumpulan Sampah Sementara) dan TPA-TPA seperti Cicabe, Pasir Impun,
Jelekong, Leuwigajah, Bojong, Bantar Gebang, dll., dampak negatif yang potensial akan timbul
terhadap warga masyarakat Kecamatan Cipatat, Ciburuy dan Padalarang dengan adanya TPA Citatah,
antara lain adalah sebagai berikut:
D. DAMPAK NEGATIF AKIBAT PENIMBUNAN SAMPAH DI TPA
x Kuman dan Penyakit Mengintai Kehidupan Kita dan Anak Cucu
Akibat dari bercecerannya sampah dan air sampah serta serbuan jutaan lalat ijo, akibat lingkunganyang kotor, kumuh dan bau, maka kuman-kuman sebagai sumber penyakit akan tumbuh subur
dimana-mana mengancam kesehatan warga.
x Gangguan terhadap Kenyamanan Berkendara
Sekitar 870 rit truk angkutan sampah setiap hari yang keluar masuk lokasi TPA Citatah, akan
menimbulkan kemacetan terutama pada ruas Cibogo-Cimerang di sebelah Timur dan ruas
Rajamandala-Cimerang di sebelah Barat.
x Gangguan Kamtibmas
Dengan adanya TPA Citatah seluas 50 ha - 90 ha, ribuan pemulung akan berbondong-bondong
masuk ke wilayah seputaran Citatah mendirikan gubug-gubug kumuh di dalam kawasan TPACitatah dan membangun lapak di tepi jalan seputaran Citatah, selain itu kebun, ladang, kolam dan
sawah menjadi rawan terhadap berbagai gangguan. Akibatnya akan timbul masalah-masalah
kamtibmas dan masalah sosial lainnya.
x Pencemaran Tanah
Tanah, kebun dan sawah di sekitar TPA Citatah dan di wilayah di bawahnya, baik yang berada di
sebelah Barat (Cipatat-Rajamandala), Utara (Gugunturan) dan Selatan (Ciparang) akan menjadi
' panas' atau masam, akibat rembesan berbagai macam limbah (limbah kimia, limbah rumah sakit,
'dedek' minyak tanah, dll) yang mengumpul di TPA, sehingga tanah menjadi tidak subur. Hal
tersebut diperparah dengan datangnya musim hujan, tercemar rembesan berbagai macam limbah
sampah yang meresap ke dalam tanah. Yang lebih parah lagi, rembesan berbagai macam limbah
akan mencemari sumber air dan sumur warga yang berada di sekitar Cimerang dan yang berada di
7/16/2019 Sulitnya Mencari Keadilan
http://slidepdf.com/reader/full/sulitnya-mencari-keadilan 77/139
Suara Korban Kerusakan Lingkungan di Cekungan Bandung;
SULITNYA MERAIH KEADILAN63
sebelah bawah Cimerang, melalui rembesan limbah ke dalam tanah dan rembesan kedalam
saluran air permukaan. Akibatnya berbagai macam penyakit kulit dan pencernaan akan
mengancam warga melalui perantaraan air sumur. Sumur dan sumber air di sekitar
Margaluyumekar, Gugunturan, Cimerang, Sekip, Cipatat, Nyomplong dan Sukarame adalah yang
pertama kali akan tercemar.
x Pencemaran Udara
Berdasarkan kenyataan dari TPA-TPA yang sudah ada dan kondisi wilayah TPA Citatah yang
berupa lembah yang dibentengi perbukitan kapur di sebelah Selatan, maka bau sampah akan
terbawa angin hingga jarak ± 10 km ke sebelah Barat hingga ke Sungai Citarum, ke sebelah
Timur hingga ke Ciburuy, dan ke sebelah Utara hingga ke Cirawa Mekar, Kertamukti dan
Sarimukti. Buktinya, bau dari Bendungan Saguling bisa tercium hingga jarak sejauh ± 22 km.
x Pedagang pada Radius ± 5 km seputar TPA Citatah akan Bangkrut
Serbuan jutaan lalat ijo ternyata dapat mencapai radius ± 5 km dari TPA Citatah, sehingga seluruh
warung, toko dan tempat usaha pada jarak tersebut akan dipenuhi lalat ijo. Akibatnya pembeli
tidak akan mampir, ujung-ujungnya bangkrut. Yang bangkrut bukan hanya pedagang, tapi
termasuk pemasoknya.
x Harga Tanah Akan Turun Drastis
Dengan kondisi yang bau sampah, banyak lalat ijo dan kumuh, maka tentu saja harga tanah dan
bangunan akan turun drastis.
E. REAKSI PEMERINTAH DAN PENGEMBANG TERHADAP GELOMBANG
PENOLAKAN WARGA
Setelah ada reaksi penolakan dari warga Pemerintah terutama Pengembang (PT. BRIL), melalakukan
berbagai intimidasi misalnya, Pertama melakukan kebohongan public dengan cara mengklaim bahwa
tanda tangan yang diserahkan oleh kelompok penolakan TPA yang intinya menolak, diubah dandiekspos dimedia massa menjadi tanda tangan warga yang pro. Kedua Mencabut beberapa spanduk
penolakan yang dibuat oleh warga dan menggantinya dengan tulisan/pernyataan bahwa rencana TPA
jadi direalisasikan dengan kalimat; Dulur TPA téh Bakal Jadi.
7/16/2019 Sulitnya Mencari Keadilan
http://slidepdf.com/reader/full/sulitnya-mencari-keadilan 78/139
Suara Korban Kerusakan Lingkungan di Cekungan Bandung;
SULITNYA MERAIH KEADILAN64
BELUM ADANYA KEBIJAKAN YANG JELAS TENTANG
PENGELOLAAN SAMPAH
Oleh: M. Jefry Rohman
ndang-Undang No. 23 tahun 1997 tentang Lingkungan Hidup, sebagai landasan payung hukum
utama dan atau sebagai koridor dalam hal pengendalian, pengawasan, pemeliharaan, dan
bahkan penegakan hukum lingkungan. Penjelasan tersebut tertuang dalam pasal 1 ayat (2),
bahwa: “Pengelolaan lingkungan hidup adalah upaya terpadu untuk melestarikan fungsi lingkungan
hidup yang meliputi kebijaksanaan penataan, pemanfaatan, pengembangan, pemeliharaan, pemulihan,
pengawasan, dan pengendalian lingkungan hidup”
Turunan dari undang-undang ini lebih dijabarkan lagi kedalam bentuk Peraturan Pemerintah (PP)
ataupun Kepmen. Kita tahu ada PP No. 41/1999 tentang Pencemaran Udara, PP No. 74 tahun 2001tentang Pengelolaan Bahan Berbahaya dan Beracun (B3), PP No. 54 tentang Lembaga Penyedia Jasa
Pelayanan Penyelesaian Sengketa Lingkungan Hidup di Luar Pengadilan, PP No.82/2001 tentang:
Pengelolaan Kualitas Air dan Pengedalian Pencemaran Air. Sedangkan kebijakan yang terkait dengan
UU Lingkungan Hidup diturunkan kembali dalam bentuk Keputusan Presiden (Keppres) dan
Keputusan Menteri Lingkungan Hidup (Kepmen LH), seperti: Keppres No. 123 tahun 2001 tentang
Tim Koordinasi Pengelolaan Sumber Daya Air, atau Kepmen LH No. KEP-30/MENLH/10/1999
tentang Panduan Pedoman Pengelolaan Lingkungan Hidup.Dari sejumlah kebijakan sebagai turunan
dari undang-undang lingkungan hidup yang ada, tak satupun ditemukan PP atau Keppres ataupun
Kepmen yang menjelaskan tentang pengendalian permasalahan SAMPAH. Padahal, baik PP ataupun
Kepmen, akan menjadi acuan bagi daerah untuk mengelola masalah persampahannya masing-masing.
Namun, dalam Undang-undang No. 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah, akan kita temukan pasalyang menyebutkan bahwa daerah berwenang mengurusi yang menjadi urusan-urusan wajibnya seperti
hal lingkungan hidup. Pernyataan ini tertuang dalam pasal 13 ayat (1) poin (j) untuk pemerintahan
provinsi dan pasal 14 ayat (1) poin (j) untuk pemerintahan kabuten/kota yang berbunyi; “Urusan
wajib yang menjadi kewenangan pemerintahan daerah provinsi merupakan urusan dalam skala
provinsi yang meliputi”: (a) perencanaan dan pengendalian pembangunan; (b) perencanaan,
pemanfaatan, dan pengawasan tata ruang;(c) penyelenggaraan ketertiban umum dan ketentraman
masyarakat; (d) penyediaan sarana dan prasarana umum; (e) penanganan bidang kesehatan; (f)
penyelenggaraan pendidikan dan alokasi sumber daya manusia potensial; (g) penanggulangan
masalah sosial lintas kabupaten/kota; (h) pelayanan bidang ketenagakerjaan lintas kabupaten/kota; (i)
fasilitasi pengembangan koperasi, usaha kecil, dan menengah termasuk lintas kabupaten/kota; (j)
pengendalian lingkungan hidup; (k) pelayanan pertanahan termasuk lintas kabupaten/kota; (l)
pelayanan kependudukan, dan catatan sipil; (m) pelayanan administrasi umum pemerintahan; (n) pelayanan administrasi penanaman modal termasuk lintas kabupaten/kota; (o) penyelenggaraan
pelayanan dasar lainnya yang belum dapat dilaksanakan oleh kabupaten/kota ; dan (p) urusan wajib
lainnya yang diamanatkan oleh peraturan perundang-undangan.
Walaupun undang-undang no. 32 ini sedang dalam proses perbaikan (revisi), tentunya masih ada
peluang bagi daerah untuk membuat kebijakan yang berkenaan dengan pengelolaan sampah. Namun
dalam perjalannya, pemerintahan daerah sebagai daerah otonom selalu berpatokan pada kebijakan
diatasnya tatkala akan membuat suatu kebijakan. Artinya, tidak ada upaya dan keseriusan
pemerintahan daerah untuk menanggulangi permasalahan ini
Kalaupun ada daerah seperti Kabupaten Bandung dengan mengeluarkan kebijakan tentang retribusi
pengelolaan limbah padat no. 27 tahun 2001, sedangkan Pemerintah Kota Bandung mengeluar perda
7/16/2019 Sulitnya Mencari Keadilan
http://slidepdf.com/reader/full/sulitnya-mencari-keadilan 79/139
Suara Korban Kerusakan Lingkungan di Cekungan Bandung;
SULITNYA MERAIH KEADILAN65
K3 no. 3 tahun 2005. Namun peraturan daerah tersebut tak secara eksplisit menjelaskan tentang
pengelolaan sampah. Seperti halnya, perda kabupaten hanya menjelaskan proses izin pembuangan
limbah padat pada perusahaan yang menghasilkan limbah yang berkarekter tinggi, itupun hanya
sebatas angkut dan buang saja. Ada juga pasal yang menyebutkan tentang pengelolaan, namun
maksud pengelolaan tersebut tidak dijelaskan bagaimana proses pengelolaannya.
Begitu pula dengan perda K3 Kota Bandung No. 3/2005, walaupun persoalan sampah menjadi salah
satu hal yang diatur, tapi tidak dijelaskan bagaimana masyarakat mampu mengelola sampah mulai
dari sumber, serta bagaimana pula peran pemerintah sebagai pelayan masyarakat untuk memperlancar
proses pengelolaan di sumber sampah itu. Seperti yang tertuang dalam pasal 26 ayat (1)
Penyelenggaraan kebersihan lingkungan dilaksanakan melalui koordinasi RT dan RW meliputi
kegiatan pewadahan dan/atau pemilahan, penyapuan dan pengumpulan serta pemindahan sampah
dari lingkungannya ke TPS. Dari pasal tersebut, tidak ada penjelasan bagaimana peran pemerintah
supaya koordinasi ditingkat RT atau RW bisa lancar terutama pada saat pengelolaannya. Malahan,
pemerintah hanya memperjelas pada bagian retribusinya saja sebagaimana ditegaskan pada pasal 27
ayat (3).
Perda yang dibuat kabupaten/kota maupun provinsi tentang tata ruang, juga tidak ada pasal yangmenyebutkan perihal dimana tempat yang layak untuk dijadikan sarana pengelolaan sampah yang
tidak berakibat buruk bagi lingkungan sekitarnya. Malahan pemerintah, banyak melanggar peraturan
Tata Ruang yang dibuatnya. Seperti penempatan TPA Sarimukti dan TPA Jelekong. Kedua tempat ini
sebetulnya tidak direncakan dari semula kedalam bentuk peraturan Tata Ruang baik kabupaten/kota
maupun provinsi.
Perlunya ada aturan khusus yang menangani permasalahan sampah dirasakan sangat mendesak
dimana permasalah sampah diperkotaan khususnya dihadapkan pada masa sulit, kejadian longsornya
TPA Leuwi Gajah disusul berbagai penolakan warga atas rencana TPA menjadi bukti bahwa
persoalan sampah bukan masalah sepele.
Dibutuhkanya peratuaran yang menangani khusus permasalahan sampah dimaksud, agar supaya; (1)menjadi control pemerintah atas pihak-pihak yang terlibat dalam proses pengelolaan di tempat akhir
baik swasta ataupun lembaga terkait supaya bertanggung jawab dan konsisten atas proses
pengelolaan. Kasus leuwi gajah diharafkan menjadi contoh ketika peran pemerintah tidak jalan, (2)
menjadi konsep acuan dalam pengelolaan sampah mulai dari sumber, sampai tempat akhir
pengelolaan. Artinya bagaimana aturan itu mengatur peran pemerintah atas banyaknya warga
masyarakat yang telah berdaya mengelola sampah di beberapa tempat yang telah jalan, sehinggga
aturan itu mendukung atas peran masyarakat tersebut, (3) untuk memperjelas hak dan tanggung jawab
pemerintah dalam menjalankan tugas sebagai pelayan masyarakat. Hak disini diartikan, hak untuk
ditaati oleh masyarakat lewat beberapa aturan yang dibuat. Hak untuk dihormati dan lain sebagainya.
Adapun tanggungjawab yang dimaksud adalah; bagaimana kewajiban pemerintah dalam menjalankan
aturannya itu selalu diikuti dengan memberikan solusi yang terbaik. Contoh masalah yang paling
sederhana, ketika ada aturan yang menyebutkan “Dilarang membuang sampah sembarangandijalan/ke badan sungai” yang disertai dengan bentuk tindakan terhadap pelanggar solusi yang
dimaksud diatas adalah bagaimana pemerintah berusaha menyediakan sarana pembuangannya (tongs
sampah) ditempat-tempat yang mudah terjangkau. Artinya; bagaimana masyarakat akan taat pada
hukum kalau semua aturan tak memberikan solusinya.
Kabar baik bagi kita semua pemerintah daerah, bahwasannya kini telah lahir RUU Pengelolaan
Sampah yang sedang digodok di Dewan Perwakilan Rakyat. Mudah-mudahan RUU ini cepat
disahkan menjadi undang-undang agar semua persoalan yang menguras para kepala daerah cepat
teratasi lahirnya. Namun ini semua kembali lagi kepada daerah apakah mereka serius dalam
mengatasi permasalahan sampah? Apakah sampah selama ini dipandang oleh daerah sesuatu yang
harus diatasi supaya dampak-dampaknya tidak merugikan? Atau sampah ini hanya dipandang ada
nilai kontribusi pemasukan sebagai PAD?
7/16/2019 Sulitnya Mencari Keadilan
http://slidepdf.com/reader/full/sulitnya-mencari-keadilan 80/139
Suara Korban Kerusakan Lingkungan di Cekungan Bandung;
SULITNYA MERAIH KEADILAN66
INISIATIF WARGA DALAM MENGELOLA SAMPAH
( INISIATIF Vs KEBIJAKAN )
Oleh: Rifal Zaelani24
1. SAMPAH DAN PERMASALAHANNYA
Sampah adalah merupakan bahan padat sisa konsumsi atau produksi dari kegiatan pemenuhan
kebutuhan rumah tangga masyarakat sehari–hari yang sudah tidak memiliki kelayakan secara
langsung untuk pemakaian yang sama.
Permasalahan sampah yang saat ini sedang berkembang di tengah-tengah masyarakat Bandung pada
dasarnya dipengaruhi oleh meningkatnya perkembangan penduduk dan perubahan pola kemas
kebutuhan konsumsi masyarakat. Meningkatnya perkembangan penduduk di Cekungan bandung
dipengaruhi oleh laju perkembangan pembangunan di Cekungan bandung yang begitu pesat sehingga bandung menjadi lahan untuk mengadu nasib masyarakat luar bandung yang di daerah asalnya kurang
memiliki potensi atau ketersediaan lapangan pekerjaan.
Perubahan pola kemas kebutuhan masyarakat menjadi permasalahan yang sangat mendasar dalam
permasalahan sampah pada saat ini. Makanan, Minuman, peralatan mandi dan lain sebagainya
sebagian besar telah menggunakan bahan kemasan yang sulit membusuk atau di musnahkan dengan
pembakaran secara manual, contohnya bahan kemasan shampoo, kopi, bahkan ada juga terasi yang
sudah mengunakan bahan kemasan plastik alumunium, atau banyak lagi barang-barang lainnya yang
banyak kita temui di warung-warung atau took-toko.
Permasalahan sampah pada saat ini terus berkambang dan pemerintah pun belum bisa menemukan
cara yang efektif dalam upaya penanganan masalah tersebut, permasalahan sampah menjadi semakin
kompleks saat ini dikarenakan oleh beberapa hal diantaranya adalah :
1. Trauma masyarakat akibat longsor sampah Leuwi Gajah.
2. Terbatasnya sarana dan prasarana Pengelolaan kebersihan.
3. Masih rendahnya tingkat kesadaran dan perilaku masyarakat dalam mengelola sampah.
4. Tidak adanya UU, Perda atau produk hukum lainnya yang mengatur tentang masalah sampah
secara khusus.
Penumpukan sampah di TPS-TPS Sampah Pasca longsornya TPA Leuwi Gajah adalah merupakan
Klimaks dari permasalahan sampah yang sampai saat ini belum bisa teratasi. Penumpukan sampah di
TPS terjadi karena pemerintah kesulitan untuk menetapkan TPA yang baru. Penolakan-penolakan
masyarakat sekitar TPA/rencana TPA pun masih gencar dilakukan oleh masyarakat dengan alasan bahwa masyarakat tidak ingin menjadi korban berikutnya setelah warga Leuwi Gajah yang menjadi
korban dari ketidak becusan pemerintah dalam melakukan pengelolaan sampah.
2. KEBIJAKAN PEMERINTAH DALAM UPAYA PENANGANAN MASALAH SAMPAH
Permasalahan sampah akan terus berlanjut dan semakin berkembang jika pemerintah tidak memiliki
keinginan atau berani melakukan perubahan pola pengelolaan sampah yang saat ini cenderung terpaku
pada pola pengelolaan berbasis TPA yang sebenarnya sudah tidak lagi efektif untuk dilakukan
mengingat sudah hilangnya kepercayaan masyarakat terhadap pola pengelolaan tersebut. Konsep
24 Penulis adalah warga Desa Rancamanyar Kecamatan Bale Endah kabupaten Bandung. Penulis aktif mengelola sampahdi desa dan serta aktif di Pusat Sumber Daya Komunitas (PSDK) Koalisi Komunitas Korban Lingkungan (K3L)
7/16/2019 Sulitnya Mencari Keadilan
http://slidepdf.com/reader/full/sulitnya-mencari-keadilan 81/139
Suara Korban Kerusakan Lingkungan di Cekungan Bandung;
SULITNYA MERAIH KEADILAN67
apapun yang ditawarkan pemerintah kepada masyarakat tetap tidak akan dapat diterima, masyarakat
akan terus melakukan perlawanan penolakan terhadap TPA yang berada dilingkungannya yang
cenderung berdampak negatif terhadap kondisi lingkungan sekitarnya yang akan berdampak pada
terjadinya konflik anatara masyarakat dan pemerintah.
Dibawah ini adalah dampak negatif terhadap lingkungan sekitar TPA menurut warga sekitar TPA :
1. Membahayakan keselamatan jiwa masyarakat sekitar TPA ( Leuwi Gajah )
2. Harga jual tanah menjadi murah
3. Lahan pertanian menjadi tidak produktif
4. Pencemaran air bawah tanah
5. Pencemaran air permukaan
6. Bising dengan hilir mudiknya angkutan mobil pengangkutan sampah
7. Lalat dimana-mana
8. Pencemaran udara (bau)
9. Mengundang bibit penyakit
10. Gangguan pernafasan
11. Jalan rusak
12. Berpengaruh kumuh (sampah yang terjatuh dari truk akan berserakan di sepanjang jalan), danlain sebagainya
Solusi pengelolaan sampah tidak perlu atau harus dengan mengunakan biaya yang mahal. Berapa
besar biaya yang harus dikeluarkan oleh pemerintah untuk pembelian lahan seluas puluhan hektar
untuk lahan TPA, fasilitas transportasi mobil pengangkut dan alat berat lainnya di lokasi TPA,
perbaikan atau pengadaan jalan menuju TPA, membayar kompensasi kepada masyarakat yang merasa
terganggu, mesin pengomposan, insenerator raksasa untuk pembakaran sampah anorganik yang
kapasitasnya banyak, pembangunan pabrik PLTS (Pembangkit Listrik Tenaga Sampah), biaya
operasional pengelolaan ataupun penarikan, dan kebutuhan lainnya akan terus bermunculan.
Pertanyaannya dana untuk apa/siapa yang akan digunakan untuk memenuhi kebutuhan tersebut,
apakah akan cukup jika hanya mengandalkan uang dari hasil retribusi masyarakat.
Solusi pemecahan masalah sampah dapat
diawali dengan upaya yang kuat melakukan
pemberdayaan terhadap masyatakat
pengelola sampah yang ada di lokal yang
sebenarnya telah memiliki inisiatif sendiri
sebelum permasalahan sampah ini menjadi
isu yang berkembang, dengan kenyataan
potensi yang ada pemerintah dapat
mengembangkan sebuah konsep
pengelolaan sampah berbasis masyarakat,
pemikiran sederhananya masyarakat
didorong untuk dapat mengelola sampah dilokal dengan sumber daya yang ada di lokal,
dengan kapasitas sampah yang ada di lokal.
Dalam pola pengelolaan ini pemerintah
hanya berperan sebagai pendukung kegiatan dan mendukung kebutuhan masyarakat.
3. INISIATIF–INISIATIF WARGA YANG TERTIMBUN KEBIJAKAN POLA
PENGELOLAAN SAMPAH BERBASIS TPA
Pola/konsep pengelolaan sampah yang digagas oleh pemerintah dalam upaya penanganan masalah
saat ini cenderung bersifat tender dan menghambur-hamburkan biaya yang sebetulnya dapat
digunakan untuk kebutuhan kesejahteraan masyarakat lainnya.
7/16/2019 Sulitnya Mencari Keadilan
http://slidepdf.com/reader/full/sulitnya-mencari-keadilan 82/139
Suara Korban Kerusakan Lingkungan di Cekungan Bandung;
SULITNYA MERAIH KEADILAN68
Dengan melakukan penguatan kapasitas masyarakat pengelola sampah yang telah ada serta
mengembangkan pola pengelolaan sampah berbasis masyarakat ditempat/lokasi yang belum
terbangun inisiatif tersebut adalah tindakan yang paling memungkinkan bagi pemerintah untuk
menjawab permasalahan sampah saat ini. dibawah ini adalah profil-profil dari beberapa kelompok
masyarakat pengelola sampah yang telah berjalan di tingkat RW/lokal :
3.1 Pengelolaan sampah KBWM Kp. Penclut Desa Rancamanyar, Kec. Bale Endah, Kab.
Bandung
Berdirinya KBWM Desa Rancamanyar diawali dengan aktivitas penanganan sampah warga oleh
pengurus RW dan Karang Taruna pada tahun 2002 dengan menggunakan pasilitas yang seadanya
dengan menggunakan swadaya murni dari warga setempat.
Aktivitas warga dalam penanganan sampah mendapatkan simpati dari WPL (Warga Peduli
Lingkungan) yang telah mengembangkan system pengelolaan sampah berbasis masyarakat di
beberapa desa di Kab. Bandung, dan akhirnya system pengelolaan sampah KBWM pundikembangkan di Desa Rancamayar tepatnya di Kp. Punclut RW 05.
Bentuk-bentuk pengelolaan sampah yang telah dan sedang berjalan dapat dijabarkan sebagai
berikut:
1. (Penarikan) Petugas menarik sampah dari rumah ketempat pengelolaan sampah dengan 2
Orang tim operasional
2. (Pemilahan) Petugas memilah dan memisahkan antara sampah.
Sampah hasil pemilahan dipisahkan menjadi 3 jenis sampah diantaranya
1. sampah organik
2. sampah anorganik layak jual
3. sampah anorganik layak bakar
3. (Pengkomposan) Sampah organik yang telah dipisahkan melalui proses pemilahandimasukan ke box kompos untuk dijadikan pupuk Kompos
4. (Pembakaran) Sampah an organik/tidak laku jual di bakar di tungku pembakaran
Tabel 1. Cakupan Wilayah PelayananOrganisasi/Komunitas
Tabel 2. Potensi Organisasi KBWM Desa Rancamanyar (internal)
Wiayah Layanan Total RTJumlah RT yang
TerlayaniJumlah KK yang Terlayani
Volume Sampah
Yang Dikelola
RW 05 2 RT 2 RT 140 kk -
NO POTENSI PENJELASAN
1 Tim Pengelola (SDM) - 2 orang penarik - 2 orang pengelola di TPS
2 Lokasi TPSS yangKondusif
- Bangunan permanen- Luas bangunan 4x8 m2- Luas areal pengelolaan sampah 8x10 m2
3 Sarana Prasarana - 2 buah roda pengangkut- 1 buah yungku pembakaran
4 Keterlibatan - PKK Sebagai tim sosialisasi
- 140 warga menjadi pelanggan KBWM
7/16/2019 Sulitnya Mencari Keadilan
http://slidepdf.com/reader/full/sulitnya-mencari-keadilan 83/139
Suara Korban Kerusakan Lingkungan di Cekungan Bandung;
SULITNYA MERAIH KEADILAN69
Sementara itu untuk pendanaan pengelolaan adalah:
Swadaya murni masyarakat berbentuk iuran warga sebesar 3000,00/KK/bulan
Swadaya dan sumbangan donatur
1. Swadaya untuk : a) Pembuatan tungku pembakaran sampah
b) Peralatan Lainnya
Presentase 25%
2. Sumbangan
donatur untuk : a) Pembuatan dangunan pengelolaan sampah
b) Roda sampah
c) Fasilitas pengomposan
Presentase 75%
Kendala yang dihadapi dalam pengelolaan sampah di Kp. Penclut Desa Rancamanyar dapatdilihat pada tabel di bawah ini:
Tabel 3. Kendala yang Dihadapi dalam Pengelolaan Sampah
3.2 Pengelolaan Sampah Kp. Cilebak Desa Rancamanyar Kec. Baleendah
Inisiatif pengelolaan sampah di Kp. Cilebak Desa Rancamanyar adalah merupakan suatu tindakan
masyarakat dalam upaya penanganan masalah banjir yang setiap tahunnya melanda di kampung
NO ASPEK PENJELASAN KET
1 Dana Pendapatan dari retribusi tidak cukup untuk biaya pengelolaan dan biaya perawatan Fasilitas,
Pendapatan dari retribusi hanya memadai untuk gaji tim operasional sebanyak 4 orang.
Warga membayar retribusi sebesar Rp. 3000,-/bulan
2 Sarana dan
prasarana
Sudah banyak peralatan yang sudah tidak layak
pakai yang masih digunakan
Ukuran Tungku Pembakaran tidak sesuai denganvolume sampah
Boks Kompos yang sudah rusak tidak dapatdiperbaiki
Pendapatan retribusi dari warga
tidak mencukupi untuk pengadaan
maupun perawatan sarana dan prasarana
3 Pengelolaan Pengelolaan tidak optimal karena sarana dan prasarana kurang memadai
- tidak adanya tempat pengomposan yangmemadai
- kurang memadainyatungku pembakaran yangada
4 Pelatihan/peningkatan Kapasitas
Belum memiliki sistem pengelolaan SDM Belum memiliki program pengembangan
kapasitas SDM5 Partisipasi
masyarakatx Menurunnya partisipsi warga untuk terlibat
dalam aktivitas ini
x Lemahnya kesadaran warga untuk melakukan pemilahan jenis sampah
x Lemahnya kesadaran masyrakat dalammemenuhi kewajiban membayar retribusi
7/16/2019 Sulitnya Mencari Keadilan
http://slidepdf.com/reader/full/sulitnya-mencari-keadilan 84/139
Suara Korban Kerusakan Lingkungan di Cekungan Bandung;
SULITNYA MERAIH KEADILAN70
tersebut yang menurut persepsi masayarakat permasalahan banjir dikampung tersebut adalah
akibat dari tersumbatnya saluran air dan pendangkalan sungai Citarum lama yang sebagian besar
diakibatkan oleh sampah dari warga yang dibuang dengan sembarangan kesungai aktivitas
penanganan sampah warga di Kp. Cilebak dikelola oleh pengurus RW dengan menggunakan
pasilitas yang seadanya dan menggunakan swadaya murni dari warga setempat.
Pola pengelolaan yang dilakukan adalah dengan menggunakan pola penarikan dari warga,
pemilahan, pengomposan, dan pembakaran.
3.3 Pengelolaan Sampah di Cibangkong
Keberadaan pengelolaan sampah Cibangkong dimulai pada tahun 2002 atau tepatnya pada tanggal
10 Februari 2002
Pengelolaan sampah di PTPS Cibangkong pada awalnya menerapkan sistem 3R Mengurangi
(reduce), memakai kembali (re-use), dan mendaur ulang (recycle).
1. Para petugas yang dibentuk/ditugaskan oleh RW/LPW memungut sampah dari tiap rumah,
lalu membawanya ke TPSS yang telah ditentukan
2. Setelah sampah sampai di TPS, para petugas penarik sampah memilah sampah pada dua jenis
sampah. Pertama; sampah basah (organik) yang peruntukannya untuk bahan pembuatan
kompos. Kedua; sampah kering (anorganik) yang pemilahannya terbagi lagi pada dua jenis
yaitu layak jual dan residu. Sampah yang layak jual (palstik kresek, kaleng bekas, bahan dari
kaca, kertas, dll) kemudian dikumpulkan. Setelah terkumpul cukup banyak, sampah ini dijual
kepada bandar. Adapun residu yang didapat dari sisi pemilahan ini dibakar.
Sampah yang ditarik dari warga yang mencapai 80 KK ini setiap harinya bisa mencapai 3
ton/hari. Potensi yang ada serta upaya yang pernah dilakukan oleh warga dapat dilihat pada tabel
di bawah ini:
Tabel 4. Potensi dan Upaya yang Dilakukan
No PotensiUpaya yang
DilakukanKebutuhan
1 Volume sampah yang melimpah sebanyak 60%
Mempromosikanupaya yang dilakukan pada pemerintah
Informasi Pemasaran hasilolahan sampah
2 Tenaga kerja penilah sampah Bekerjsama lewat beberapa programyang digulirkan pemerintah
Advokasi kebijan pengelolaansampah
3 Sarana TPSS walaupun sangat terbatas Mencoba menularkanilmunya pada
beberapa komunitasmasyarakat
Bantuan sarana yang memadai
4 Potensi Pertanian yang mengarah pada
pertanian organik sehingga lahan perlahan bisa memasarkan hasilnya
5 Figur seorang pimpinan Pengelola TPSS(Suarjim an) yang tetap sabar-konsisten
3.4 KBWM Kp. Cikambuy Desa Sangkan Hurip Kecamatan Katapang
7/16/2019 Sulitnya Mencari Keadilan
http://slidepdf.com/reader/full/sulitnya-mencari-keadilan 85/139
Suara Korban Kerusakan Lingkungan di Cekungan Bandung;
SULITNYA MERAIH KEADILAN71
Diatas adalah beberapa kegiatan/inisiatif kelompok masyarakat dalam melakukan pengelolaan
sampah dalam skala lokal yang seharusnya dijadikan pertimbangan oleh pemerintah dalam upaya
penanganan masalah sampah saat ini, selain beberapa kelompok penggiat sampah diatas mungkin
masih banyak lagi kelompok-kelompok penggiat sampah lainnya yang melakukan aktivitas
tersebut seperti pengelolaan yang dilakukan oleh FOKUSTEL di Ciateul Kota Bandung,
pengelolaan sampah di Cijerah Kota Cimahi dan masih banyak lagi inisitif-inisiatf masyarakat
lainnya yang layak mendaptkan dukungan dari pemerintah dalam upaya mengembangkan gagasan
tersebut.
4. INDIKASI KEBERHASILAN POLA PENGELOLAAN SAMPAH BERBASIS
MASYARAKAT
Dalam penanganan masalah sampah saat ini pola pengelolaan sampah berbasis masyarakat adalah
merupakan strategi yang efektif mengingat banyaknya kelompok-kelompok masyarakat lokal yang
melakukan kegiatan tersebut jauh dari sebelum isu sampah menjadi isu primadona di Cekungan
Bandung indikasi tersebut menunjukan bahwa masyarakat memiliki kesadaran dan memiliki
keinginan berpartisipasi dalam mengelola lingkungannya sendiri.
Pola hidup masyarakat yang masih berpegang pada kegiatan pertanian dapat mempengaruhi jenis
sampah kota/domestik yang ada di Cekungan Bandung maka jenis sampah yang akan mendominasi
adalah jenis sampah organik, dengan pola pengomposan di lokal maka distribusi penjualan kompos
akan dapat dilakukan juga kepada para petani yang ada dilokal.
Upaya pengelolaan sampah di Cekungan Bandung tidak harus selalu dilakukan dengan menggunakan
tekhnologi tapi akan lebih baik jika diselaraskan dengan kearifan budaya serta kondisi alam di
Cekungan Bandung yang memiliki kekayaan alam yang berlimpah yang seharusnya dipupusti bukan
dicemari oleh limbah air lindi dari TPA.
Keberhasilan pengelolaaan sampah berbasis masyarakat akan berhasil jika terbangun pola kerjasamaantar mayarakat dan pemerintah yang berkesinambungan, berfikir bersama-sama dalam menangani
masalah dan hambatan serta berpikir bersama-sama dalam mengembangkan potensi yang ada.
7/16/2019 Sulitnya Mencari Keadilan
http://slidepdf.com/reader/full/sulitnya-mencari-keadilan 86/139
Suara Korban Kerusakan Lingkungan di Cekungan Bandung;
SULITNYA MERAIH KEADILAN72
“Perang Air”;
PEMODAL vs RAKYAT KECIL
7/16/2019 Sulitnya Mencari Keadilan
http://slidepdf.com/reader/full/sulitnya-mencari-keadilan 87/139
Suara Korban Kerusakan Lingkungan di Cekungan Bandung;
SULITNYA MERAIH KEADILAN73
RADUG: PERANG AIR
Oleh: Umar Alam Nusantara
alam sejarah peradaban umat manusia, perang pada hakekatnya pertarungan memperebutkan
sumber daya alam. Alam dapat memenuhi semua kebutuhan manusia untuk menjamin
keberlangsungan eksistensinya. Bumi, air dan udara merupakan kebutuhan yang sangat
mendasar, tanpa ini tak akan ada kehidupan. Ternyata, sedikit atau banyak tidak pernah memuaskan
manusia, sekelompok manusia akan menyerang sekelompok manusia lain untuk menguasai sumber
daya alam. Ini salah satu alasan orang-orang Eropa datang ke nusantara karena motivasi menguasai
hasil alam. Tentu ini juga alasan Amerika dan sekutunya menyerang Irak, demi minyak bumi. Tidak
peduli harus mengeluarkan biaya perang jutaan dollar, sangat kasat mata. Dominasi kekuasaan, baik
itu kekuasaan politik dan kekuasaan modal menjadi syarat untuk memenangkan peperangan. Logika
perang adalah siapa yang paling kuasa itu yang akan menang, yang lemah hanya akan menjadi
mangsa yang kuat. Eksploitasi manusia terhadap manusia lain sepertinya sudah menjadi bagian dari perjalanan peradaban manusia itu sendiri. Dan ke depan kecenderungan ekskalasi perang ini akan
semakin meningkat dengan cara dan bentuk yang berbeda. Bukan saja perang dengan senjata tetapi
juga perang paradigma. Perang karena perbedaan dalam melihat fungsi dan ditribusi sumber daya
alam yang semakin terbatas jumlahnya.
Begitupun sumber daya air yang semakin terbatas. Karena alam tidak memproduksi air. Alam hanya
mendaur ulang untuk digunakan kembali yang tak henti-hentinya memperbaharui sumber air dalam
bentuk hujan, dalam sebuah siklus air. Melalui air hujan turun ke bumi terus mengalir mengisi ulang
resapan air dan mata air di bumi, dan akhirnya membentuk hujan kembali. Air membantu manusia
untuk terus bereproduksi, memberi kesuburan tanah, terlibat dalam semua proses produksi dan
konsumsi bahkan mampu menjadi penerang di kegelapan.
Air adalah kehidupan, sumber inspirasi dan identitas budaya manusia. Lihat saja, bagaimana cara
bangsa India menghormati Gangga, bangsa Mesir begitu bangga dengan Nil, bangsa Irak merasa
dirinya anak kandung dari Tigris dan Eufrat. Begitu pun orang Sunda sangat erat dengan budaya air.
Tidak heran kalau banyak tempat di Tatar Sunda berhubungan dengan air atau Cai/Ci. Misalnya ada
daerah bernama Cibeureum, Cihawuk, Cijapati, Cigondewah, Ciparay, Cikoneng, Cibolerang atau
nama daerah berdasarkan letak geografis air seperti solokan, bojong, ranca, leuwi, sapan, daerah-
daerah dengan nama ini akan mudah ditemui di Tatar Sunda. Sejarah dan mitos sunda juga banyak
kaitannya dengan air seperti Dewi Sumur Bandung (Bandung), Talaga Sangiang (Majalengka), Talaga
Pancawarna (Puncak Bogor), Talaga Pancuran (Situ Lembang), Situ Bagendit (Garut), Sangkuriang
(cerita membendung Citarum), Situ Lengkong (Panjalu), Situ Cangkuang (Leles Garut), Curug Tujuh
(Cimanganten Garut), Curug Panganten (Cimahi) dan lain-lain.
Bagi orang Sunda, air diibaratkan seperti manusia yang sedang tidur, kakinya mengarah ke mana-
mana. Maksudnya, air dari kepala (hulu) mengalir ke mana-mana menjadi ci nyusu, sungai kecil
(solokan), sungai besar (walungan), talaga dan danau. Di sekitar sirah cai itu ditumbuhi aneka ragam
tumbuhan yang sangat khas. Ada caringin, loa, teureup, picung, jati, hampelas, awi tamiang, awi tali,
dan awi gombong. Karena itu, daerah-daerah tebing bukit (gawir) yang rimbun pepohonan, dari
dalam tanah, celah-celah batu, atau akar-akar tumbuhan keluar air sebagai sirah cai.
Biasanya tempat-tempat keluarnya sumber air tanah tersebut diberi nama berdasarkan pohon utama di
wilayah tersebut ataupun kekhasan lainnya, misalnya Cipicung, Ciloa, Citeureup, Citaming dan
Cipasantren. Sebab, sumber air tersebut keluar dari bawah pohon picung, loa, teureup, awi taming
atau di dekat pesantren.
7/16/2019 Sulitnya Mencari Keadilan
http://slidepdf.com/reader/full/sulitnya-mencari-keadilan 88/139
Suara Korban Kerusakan Lingkungan di Cekungan Bandung;
SULITNYA MERAIH KEADILAN74
Karena itu air dianggap sakral, sehingga sirah cai senantiasa dikeramatkan dan tidak ada yang berani
merusaknya. Sebagai upaya untuk menjamin keberhasilan bertani, petani sebelum memulai
menggarap lahan sawah melakukan selamatan sirah cai. Diteruskan dengan memperbaiki parit-parit,
memperkokoh tanggul-tanggul, simpangan air di parit, dan mengatur saluran-saluran untuk membagi
air ke sawah sesama petani. Semuanya dilakukan dengan semangat solidaritas yang tinggi antar
sesama.
Pada tingkat tertentu, petani mampu membuat prediksi perubahan cuaca atau musim. Untuk
meramalkan tibanya musim hujan, para petani umumnya menggunakan pertanda rasi bintang di alam,
kehadiran beberapa jenis hewan, dan masa berbuah atau berbunga. Orang Sunda juga telah
mempunyai berbagai prediksi tentang perubahan musim dengan karakteristiknya. Misalnya, dikenal
daur ulang musim dalam delapan tahunan, yang biasa dinamakan windu. Windu tersebut terdiri dari
bulan Alip, Ehe, Jimawal, Dal, Be, Wawu, dan Jimakir dengan masing-masing karakteristik dan
kesesuaiannya untuk bertani. ( Hasan Mustafa;1913).
Sumber daya alam yang paling bernilai ini berada dalam ancaman seiring dengan terjadinya degradasi
lingkungan. Alam sudah tidak mampu lagi mendukung terjadinya siklus air. Hutan sudah tidak mampu berfungsi sebagai bendungan alami yang menampung air dan mengeluarkan secara perlahan
melalui mata air dan sungai. Walaupun dua per tiga planet ini terdiri dari air, kelangkaan air menjadi
sebuah keniscayaan. Tapi di sisi lain semakin banyak manusia yang membutuhkan dengan
kepentingan yang berbeda. Artinya, masing-masing akan memastikan atas jaminan mendapatkan air,
dengan cara apapun. Melalui kekuasaan, modal, bahkan intervensi terhadap kebijakan negara dalam
mengelola air. Tidak salah kalau ada yang mempredeksikan perang di masa depan akan dipicu oleh
perebutan air, bukan minyak bumi seperti yang terjadi di Perang Irak.
Konsep pembangunan yang berorientasi pada industri telah menggerus nilai-nilai kearifan budaya,
kalah oleh kepentingan modal. Negara yang punya kewajiban untuk mengelola air ini untuk
kemakmuran rakyat (UUD 1945) ternyata tunduk takluk oleh kepentingan pemodal. Negara lebih
berpihak kepada mereka (kapitalis) dari pada kepada rakyatnya sendiri (petani). UU No 7 Tahun 2003menjadi legitimasi bagi para pemodal dan orang kaya untuk menguasai air, sehingga petani dan rakyat
miskin tertutup pintu airnya. Kalau petani dan rakyat miskin ingin terbuka pintu airnya silahkan beli,
harganya sesuai dengan biaya produksi ditambah keuntungan.
Pada tahun 1940-1942, Sungai Citarum di Radug dibendung untuk irigasi. Secara administratif
Radug termasuk Desa Wangisagara Kecamatan Majalaya Kabupaten Bandung. Irigasi ini mengalirkan
air Citarum ke Desa Padamulya dan Desa Sukamaju Kecamatan Majalaya hingga ke Desa Mekar Sari
Kecamatan Ciparay. Irigasi terbagi menjadi dua saluran, saluran primer untuk kedaerah pertanian hilir
dan saluran sekunder untuk lahan pertanian sekitar hulu. Lahan pertanian yang memanfaatkan irigasi
seluas 50 ha di Desa Padamulya dan Desa Sukamaju seluas 50 ha Kecamatan Majalaya dan Desa
Mekarsari Kecamatan Ciparay luas lahan 100 ha. Artinya, nasib petani sangat tergantung kepada
suplai air Radug. Radug adalah harapan dan masa depan petani.
Untuk mengatur pembagian air irigasi biasa dinamakan mantri ulu atau ulu-ulu yang diambil dari kata
hulu cai. Karena tugasnya mengatur hulu cai, kira-kira begitu. Radug seperti sebuah arena
pertarungan dalam memperebutkan sumber air. Karena disini lumbung air yang berlimpah. Air
mengalir di atas permukaan melalui Citarum ditambah banyaknya mata air atau cai nyusu.
Tidak hanya petani, masyarakat pun sangat tergantung kepada Radug dalam memenuhi kebutuhan air
untuk konsumsi, mandi, cuci dan sanitasi. Masyarakat di beberapa Desa Sukamaju, Padamulya,
Wangisagara, mengambil air dari Radug. Salah satu mata air yang terkenal adalah Ciburial yang
sudah dimanfaatkan dari tahun 1962. Atas prakarsa seorang pengusaha lokal yang bernama H.Syukur
(alm), melakukan pipanisasi dari Radug sampai Balekambang Sukamaju sepanjang 1,5 km. Selain
untuk memenuhi air masyarakat sekitar, juga digunakan untuk proses produksi pabrik tekstil milik
7/16/2019 Sulitnya Mencari Keadilan
http://slidepdf.com/reader/full/sulitnya-mencari-keadilan 89/139
Suara Korban Kerusakan Lingkungan di Cekungan Bandung;
SULITNYA MERAIH KEADILAN75
H.Syukur. Selain memiliki pabrik, H.Syukur mengelola Yayasan Pesantren Syukur yang bergerak di
bidang pendidikan dari mulai SD, Tsanawiyah dan Aliyah yang bertahan sampai sekarang. Sehingga
Balekambang sangat identik dengan H.Syukur, sampai jembatan yang menyebrangi Citarum disebut
sasak H. Syukur. Namun setelah pabriknya gulung tikar, air yang berlebih disalurkan kepada
penduduk sekitar dengan kosekuensi timbal balik dari konsumen berupa infak hasil mufakat. Sampai
saat ini konsumen di Balekambang berjumlah 150 kk dari 8 RW dengan infak Rp.7000/bulan, dan
konsumen MCK di Wangisagara dan Padamulya dengan infak seikhlasnya.
Dibagian hilir Radug merupakan daerah industri, disini berdiri pabrik-pabrik tekstil yang dalam
proses produksinya membutuhkan air dalam jumlah banyak. Setidaknya ada 11 pabrik tekstil yang
mengambil air dari Radug yaitu: Sipatex, Tawekal, Sinarsari, Sidotex, Harapan, Sungai Indah,
Himalaya, Guna jaya, BCP, Dewi sakti, IBM. Pipa-pipa besar dan kolam-kolam raksasa menjadi
bagian dari pemandangan di Radug. Dengan pompa berkekuatan besar, pipa-pipa itu menyalurkan air
untuk diteruskan ke masing-masing pabrik melewati sawah petani dengan angkuhnya. Seakan-akan,
petani hanya bisa mempersilahkan dengan segala kerendahan diri (bukan kerendahan hati). Pemodal,
seperti tidak mau kehilangan setetes air pun untuk sebuah proses produksi yang akan memberikan
keuntungan besar.
Pertanian dan industri mempunyai paradigma berbeda dalam melihat fungsi dan nilai air. Bagi petani
air tidak hanya mempunyai nilai sosial tapi juga spiritual. Air tidak hanya untuk sekedar mengairi
sawah tapi air juga menjadi inspirasi untuk menebar keberkahan bagi sesama. Sebaliknya bagi
industri air tidak lebih dari barang komoditas, hanya untuk memuaskan hasrat tidak peduli dengan
sesama. Perbedaan paradigma ini menjadi pemicu terjadinya konflik air. Siapa yang menguasai air,
itu yang berkuasa, yang kalah akan tersisihkan. Perang petani melawan pemodal, kearifan melawan
teknologi, selokan melawan pipa raksasa, cangkul melawan mesin penghisap air, kesederhanaan
melawan kesombongan.
Perang memperebutkan air yang langka tapi banyak dibutuhkan. Sumber-sumber air menjadi kancah
pertarungan manusia menurut kepentingan masing-masing. Air yang kaya dengan nilai-nilai spiritual
dan simbol sebuah ikatan persaudaraan berubah menjadi pemicu konflik. Masing-masing memasangstrategi untuk menguasai sumber air. Apapun akan dilakukan, tak peduli dengan hukum bahkan penuh
intrik dan praktek kotor. Karena khawatir kepentingannnya terganggu, sampai-sampai pabrik harus
membayar para jawara kampung alias preman untuk menjaga kolam dan pipa-pipa. Semakin banyak
air yang dikuasai semakin licin jalan roda bisnis pemodal. Artinya, bagi pemodal Radug harus
dikuasai.
Pengambilan atau lebih tepatnya perampokan air Radug oleh pabrik-pabrik mengakibatkan sawah
para petani kekurangan air, terutama pada musim kemarau. Menurut hasil kajian Pusat Sumber Daya
Komunitas (PSDK) persentase tingkat pemakaian air antara industri dan petani (80% > 20%).
Padahal sebelum berdirinya pabrik, petani tidak pernah kesulitan air di musim kemarau sekalipun.
Desa Mekar Sari Kecamatan Ciparay yang paling sering tidak kebagian jatah air. Sehingga pada
musim kemarau para petani harus beralih komoditas ketanaman yang tidak terlalu memerlukan air banyak bahkan harus menyewa mesin diesel senilai Rp 200.000/100 tumbak untuk satu kali panen
sekitar 4-6 bulan. Jenis tanaman: jagung, bawang daun, buncis, mentimun, dan buah pare.
Pemodal ternyata belum puas hanya dengan mengambil air petani, mereka juga meracuni air dengan
racun limbah. Menurut hasil penelitian Dinas Lingkungan Hidup Kabupaten Bandung bekerjasama
dengan Lembaga Penelitian dan Pemberdayaan (LPPM) ITB, Desember 2002, menyatakan bahwa
pencemaran limbah industri di Majalaya sangat parah karena limbahnya diatas baku mutu limbah cair
industri tekstil sesuai dengan Kep 51/MEN-LH/1995. Dari data debit air 48 industri yang sudah
diperiksa saja, total debit air limbah adalah 154,87 liter/detik, sangat luar biasa. Kecamatan Majalaya
memiliki sekira 240 industri kering dan 59 industri basah, sedangkan Kec. Solokanjeruk (eks bagian
Majalaya) memiliki 56 industri kering dan 5 industri basah. Industri kering meliputi sebagian besar
industri tenun, sebagian kecil industri pemintalan, konveksi, industri erelan benang, dan garmen.
7/16/2019 Sulitnya Mencari Keadilan
http://slidepdf.com/reader/full/sulitnya-mencari-keadilan 90/139
Suara Korban Kerusakan Lingkungan di Cekungan Bandung;
SULITNYA MERAIH KEADILAN76
Industri basah didefinisikan sebagai industri tekstil atau celup benang yang menghasilkan limbah cair
dalam jumlah relatif banyak.
Sungai Citarum dan anaknya yang tercemar sekitar; Citarum 33%, Cipadaulun 9,5%, Cikacembang
31%, Ciwalengke 11,9%, Cijunti 2,4% dan Citarik 2,4%. Perbandingan industri yang melakukan
pengolahan air limbah adalah memiliki IPAL 81%, hanya bak penampung 9,5%, sedang membangun
4,8%, dan tidak memiliki IPAL 4,7%.
Lengkap sudah penderitaan petani. Seakan-akan pemodal paham betul bagaimana melemahkan,
menindas dan memperdaya petani. Ketika air tidak tersedia, pemodal tahu petani tidak punya pilihan
selain terpaksa memakai air racun limbah itu untuk sawah mereka. Yang terjadi tanah menjadi
terkontaminasi dan menurunnya produksi padi bahkan seringkali gagal panen. Jika kondisi ini terus
terjadi, kekecewaan yang terakumulasi akan menjadikan petani putus asa dan menjual tanah terbesit
dalam pikiran petani. Maka dengan itu, pemodal akan memberikan penawaran harga untuk sawah
petani setelah itu mereka akan membangun pabrik baru di sawah petani. Itu kira-kira yang ada dalam
strategi pemodal.
Petani selalu ada dalam posisi lemah ketika melawan pemodal. Relasi kekuasaan yang tidak adil telahmemposisikan petani dalam posisi marjinal termasuk akses kepada air. Padahal sejatinya air adalah
hak semua manusia, mempunyai nilai sosial yang memenuhi prinsip keadilan.
Lembaga-lembaga formal yang dibentuk untuk pengelolaan irigasi ini tidak bisa berbuat apa-apa. PU
Pengairan sebagai lembaga pemerintah dan Mitra Air yang dibentuk petani malah beradu kekuatan
guna menguasai air itu dikarenakan adanya kontribusi tertentu dari pihak industri. Mitra Air yang
sejatinya membela kepentingan petani menjadi pembela pabrik, lupa akan amanat yang diembannya
yang harus membela sekitar 4000 petani. Karena Mitra Air didanai oleh pabrik dan itu sangat
menyulitkan mereka untuk memihak kepada para petani. Besarnya sumber daya yang dimiliki
industri-industri, saat ini menjadi sebuah tantangan yang berat bagi para petani, karena dengan
dukungan modal yang cukup besar setiap pabrik mampu membeli siapa saja untuk kepentingannya.
Salah satu upaya petani adalah melakukan ronda membagi jatah air satu malam untuk Desa
Sukamaju, Desa Padamulya Kecamatan Majalaya dan dua malam untuk Desa Mekasari Kecamatan
Ciparay.
Beberapa petani yang mencoba melakukan perlawanan terhadap perilaku Mitra Air yang lebih
berpihak ke pabrik. Pak Oteng dan Hermana warga Desa Padamulya dan empat warga desa
diantaranya: Desa Padaulun, Desa Padamulya, Desa Sukamaju Kecamatan Majalaya, dan Desa
Mekarsari Kecamatan Ciparay, berinisiatif membentuk Mitra air yang nantinya akan lebih memihak
kepada para petani. Inisiatif tersebut kerapkali dimusyawarahkan oleh ke-empat warga, guna untuk
menanggulangi permasalahan kurangnya air yang dirasakan oleh para petani. Musyawarah warga di
lakukan di Kampung Kebon Tiwu Desa Padaulun.
7/16/2019 Sulitnya Mencari Keadilan
http://slidepdf.com/reader/full/sulitnya-mencari-keadilan 91/139
Suara Korban Kerusakan Lingkungan di Cekungan Bandung;
SULITNYA MERAIH KEADILAN77
SECERCAH EMPATI UNTUK ALAM
Oleh: Atep Kamaludin Alramadhan 25
etika bumi masih kosong bertanyalah Tuhan pada segenap mahluknya, “siapa yang sanggup
mewakiliku memelihara dan memimpin dibumi ciptaanku”, ditanyalah gunung, lautan,
bebatuan, tumbuhan dan mahluk ciptaan Tuhan yang lainya mereka menolak dengan kecemasan dan
keberatan tetapi ada salah satu mahluk yang bernama masusia berteriak kegirangan menyanggupi dan
menerima tawaran Tuhan untuk memelihara dan memanfaatkan alam dengan kasih sayang.
Semenjak itu berlakulah hukum alam. Ditundukkanlah gunung, lautan, dan elemen-elemen alam pada
sang penerima titipan. Namun adakah manusia yang begitu semangat menerima titipan Tuhan itu
melaksanakan kewajiban memelihara bumi dengan penuh kasih sayang atau malah sebaliknya
menyakiti alam, mengeruk kekayaannnya tanpa belas kasihan menimbulkan kerusakan, wabah
penyakit dan bencana alam.
Heran sungguh heran, gunung yang malang, lautan menjerit kesakitan menggelengkan kepalanya
dengan keheranan melihat manusia yang bertugas memelihara alam berkelakuan lebih hina dari
hewan, bukan menyayangi alam malah meningkatkan ketamakan. Parahnya lagi,
mengkambinghitamkan Tuhan atas bencana alam dan kesengsaraan manusia lainya yang jadi korban
akibat kerusakan yang dibuat oleh mereka sendiri.
Bukankah hukum alam telah berjalan, bukankah alam telah ditundukan untuk dipelihara dan
dimanfaatkan sebagai tempat persinggahan dalam perjalanan menuju Tuhan. Bukankah Tuhan telah
menyediakan alam kekal dengan penuh kenikamatan bagi manusia?
Tentunya sedikit cercaan diatas patut ditujukan pada para penjahat lingkungan yang menjadi penyebab kerusakan lingkungan. Karena kerusakan lingkungan saat ini sebagian besar diakibatkan
oleh penjahat lingkungan, baik itu para pengusaha yang tamak maupun pemerintah yang tidak
konsisten pada kebijakan yang sudah ada.
Merupakan suatu kehormatan jika kita tidak termasuk dalam golongan manusia yang dicerca alam,
dimusuhi lingkungan dan dimurkai Tuhan. Alangkah beruntungnya jika kita menjadi sahabat alam
yang senantiasa bercengkrama, saling memberi manfaat, menepati perjanjian dengan Tuhan untuk
mengelola alam dengan penuh kasih sayang. Sungguh nista manusa yang menerkam alam dengan
keganasan dan kebuasan. Sungguh tak berperasaan manusia yang memperkosa alam tanpa belas
kasihan, meneguk kenikmatannya tanpa belas kasihan, lantas mendapat upah dan penghargaan.
Kitapun telah terbiasa melihat berita di media, bagaimana sengsaranya masyarakat yang menjadikorban akibat dari kejahatan lingkungan. Namun masalah lingkungan semakin hari bukan berkurang
malah semakin kompleks, semakin sulit untuk diselesaikan.
Salah satu contohnya di Kecamatan Majalaya Kabupaten Bandung yang dikenal kota industri karena
banyak sekali pabrik industri tekstil. Sudah merupakan langganan apabila turun hujan pasti banjirpun
datang, bahkan banjir pada tahun ini (akhir April 2007) lebih parah dari tahun-tahun sebelumnya,
selain menimbulkan banyak kerugian juga menelan korban jiwa. Namun sebaliknya, apabila musim
kemarau datang, banyak sekali perkampungan yang kekeringan, para petani gagal panen malah
25
Penulis adalah warga Kp. Sukahaji Ds. Neglasari Kecamatan Majalaya. Aktif di Komunitas PeduliLingkungan (KPL) Majalaya sebagai anggota divisi informasi dan data.
7/16/2019 Sulitnya Mencari Keadilan
http://slidepdf.com/reader/full/sulitnya-mencari-keadilan 92/139
Suara Korban Kerusakan Lingkungan di Cekungan Bandung;
SULITNYA MERAIH KEADILAN78
pernah terjadi peristiwa pertikaian yang berujung kematian gara-gara perebutan air antara buruh
dengan buruh yang ditugaskan oleh pabrik untuk menjaga serta mengatur air.
Selain fenomena banjir, diperparah juga dengan masalah limbah batu bara dan limbah cair yang
dihasilkan oleh industri. Selain itu, tempat pembuangan sampah sementara (TPS) dan petugas
kebersihan yang sangat kurang, menyebabkan masyarakat buang sampah sembarangan bahkan
dibuang ke sungai-sungai. Kondisi ini membuat lingkungan hidup di Majalaya semakin semrawut.
dan masyarakat Majalaya pun secara langsung ataupun tidak langsung merasakan dampak negatif dari
proses industrialisasi yang tidak ramah lingkungan.
Permasalahan lingkungan tersebut mendorong sebagian warga untuk peduli dan mengkritisi tata
kelola lingkungan yang dijalankan oleh pemerintah. Salah satunya adalah Komunitas Peduli
Lingkungan (KPL) Majalaya mempunyai idiom “leuweung rusak, cai beak, runtah pabalatak,manusa balangsak”.
Kalau musim hujan, di Majalaya khususnya daerah perkotaan pasti kebanjiran yang diakibatkan oleh
”leuwung” rusak yaitu lahan-lahan kritis dari mulai hulu Sungai Citarum sampai kebawah, illegal
logging dan lain-lain.
Sedangkan kalau musim kemarau ”cai beak” yang diakibatkan oleh banyaknya pabrik yang
membutuhkan air dalam jumlah yang banyak, melakukan pemboran untuk mendapatkan air dalam
tanah dan penyedotan sungai hingga kadang petani yang membutuhkan air tidak kebagian.
Runtah juga ” pabalatak ” sebab sangat kurangnya tempat pembuangan sampah sementara (TPS) dan
petugas kebersihan. Ceuk kasarna mah “keurmah masyarakat kurang ditekenkeun supaya ulahmiceun runtah dimana wae katambah euweuh tempatna”
Akibat dari semua itu, masyarakatlah yang menjadi korban. Manusa ”balangsak ” karena dampak
negatif lingkungan yang airnya, udaranya, tanahnya rusak ditambah aparatnya, pengusahanya yang
tak berakhlak sehingga membuat masyarakat korban semakin sengsara.
Fenomena lingkungan hidup di Majalaya yang semrawut, merupakan sebuah bukti moralitas yang
rendah di beberapa pegiat usaha industri. Membuktikan ketidakbecusan pemerintah dalam mengelola
lingkungan, serta tidak konsekuennya pemerintah dalam menegakan kebijakan lingkungan. Serta
membuktikan banyaknya aparat yang nakal yang melindungi para penjahat lingkungan, maupun
aparat pemeintah yang menjadi penjahat lingkungan demi memuaskan ketamakan. Semua hal itu
membuat lingkungan dan masyarakat korban hampir tidak bermasa depan.
Oleh sebab itu, sebelum benar-benar hancur tak bermasa depan nampaknya menjadi suatu kewajiban
untuk bangkit menjadi pembaharu lingkungan. Siapapun kita nampaknya harus segera
menyingsingkan lengan baju untuk jadi pribadi yang solutif bagi lingkungan. Kita harus segera
bangkit, bangkit, bangkit…..memperbaiki keadaan alam yang tentunya akan berbuah kebahagian bagikita dan generasi yang akan datang.
BANGKIT JUANG HANCURKAN TIRANI PEMBELENGGU, PERBAIKI LINGKUNGAN,
TEGAKKAN KEADILAN !
Inti permasalahan lingkungan hidup, disebabkan oleh:
1. Rendahnya moralitas, tidak konsekuen dalam menjalankan peraturan hukum lingkungan, serta
kurangnya pemahaman sebagian aparat terkait masalah lingkungan hidup. Kenapa? sebab kalau
mereka terampil, konsekuen pada kebijakan, moralnya tinggi, masalah lingkungan akan teratasi
meski setahap demi setahap.
2. Rendahnya moral beberapa pegiat usaha yang ingin meraup keuntungan sebesar- besarnya tanpa
7/16/2019 Sulitnya Mencari Keadilan
http://slidepdf.com/reader/full/sulitnya-mencari-keadilan 93/139
Suara Korban Kerusakan Lingkungan di Cekungan Bandung;
SULITNYA MERAIH KEADILAN79
mempedulikan dampak negatif bagi lingkungan dan masyarakat.
3. Kurangnya pendidikan yang dimulai sejak dini untuk melestarikan lingkungan bagi masyarakat.
Kemungkinan besar degradasi moral dan kurangnya keterampilan akan pengelolaan lingkungan
disebabkan oleh minimnya pendidikan sejak dini mengenai agama, moral dan wawasan mengenai
menejemen lingkungan. Oleh karena itu, selain menangkap dan mengadili para penjahat lingkungan,
memperbaiki kebijakan, diperlukan juga pendidikan sejak dini yang mengarah pada pembentukan
karakter peduli lingkungan dan pendidikan keterampilan dalam mengelola lingkungan, baik itu
pendikan formal maupun pendidikan non formal yang berupa pelatihan, seperti pelatihan advokasi
lingkungan yang pernah diselenggarakan oleh Perkumpulan Inisiatif dan pelatihan lainnya.
Ada sebuah pepatah yang mengatakan “taburlah gagasan tuailah perbuatan, taburlah perbuatantuailah kebiasaan, taburlah kebiasaan tuailah karakter, dan taburlah karakter tuailah nasib”. Maka
nampaklah suatu kebenaran bahwa karakter menuai nasib seseorang, hingga pantaslah Allah SWT
berfirman: ” Bahwasanya Ia tidak akan merubah nasib suatu kaum sebelum merubah nasibnya sendiri”, artinya nasib manusia akan dirubah menjadi baik bila perilaku dan moral yang merupakan
cermin karakternya diperbaiki, sedangkan karakter dan moralitas itu dibentuk oleh kebisaan sejak
kecil. Jadi bila semenjak kecil terbiasa konsekuen akan pemahaman dan nilai moral yang tinggi,hingga menjadi suatu karakter atau kepribadian seseorang maka setelah dewasa akan semakin
konsekuen. Apalagi jika di topang denga nilai keimanan pada Tuhan yang kuat, niscaya moralitas
yang tinggi akan terbiasa dalam kehidupan, hingga terciptalah suatu keharmonisan dalam sebuah
lingkungan hidup.
Pada intinya, dengan pendidikan sejak dini yang mengarah pada pembentukan karakter peduli
lingkungan dan pendidikan keterampilan dalam memenej lingkungan, diharapkan generasi
mendatang setelah maut menjemput para penjahat lingkungan lahirlah generasi yang moralitasnya
tinggi, handal dan profesional dalam mengelola lingkungan, serta kritis terhadap kebijakan dan
pelanggaran yang dilakukan oleh pemerintah dan pengusaha yang merusak lingkungan hingga tidak
lahir kembali generasi penjahat lingkungan.
Namun untuk memulai membuktikan empati kita terhadap masalah lingkungan yang semakin hari
semakin kompleks, sebagai langkah pertama harus kita siapkan pribadi kita menjadi pribadi yang
solutif, handal dan terampil dalam menyelesiakan masalah lingkungan. Siap menyadarkan para
penjahat lingkungan, menjebloskan mereka ke ruang tahanan sesuai hukum yang berlaku, serta bisa
memberikan solusi untuk penyelesaian masalah lingkungan.
Untuk itu saya paparkan beberapa hal yang membuat kita menjadi pribadi solutif baik bagi masalah
lingkungan ataupun masalah lainnya, yaitu:
Pertama, kita harus benar-benar sadar bahwa masalah pasti akan selalu ada baik itu sebagai ujian dari
Tuhan untuk meningkatkan kualitas diri kita maupun teguran atas kesalahan kita. Yakinilah bahwa
Tuhan jualah yang akan membimbing kita menyelesaikannya. Dengan begitu mental kita selalu siap,kita jadi lebih tenang, tidak panik dan bisa berpikir lebih jernih untuk menemukan solusi–solusi yang
kongkrit untuk penyelesaian masalah lingkungan. Setelah mental kita siap, petakan masalah hingga
kita paham betul masalah yang terjadi, apa yang menjadi akar masalahnya misalkan saja banjir, cari
tahu penyebabnya, apakah sumber masalahnya kebijakan atau pembalakan kayu, bahas dari berbagai
sisi, bila kita tidak paham akan masalah tersebut tanyakan pada ahlinya, lakukan observasi dan
diskusikan dengan orang-orang yang peduli lingkungan .
Kedua, yakinlah bahwa setiap masalah ada jalan keluarnya. Asal kita sungguh-sungguh
mengoptimalkan usaha dan doa kita, kita harus yakin dengan firman Allah SWT: ” Bahwasannya setelah kesulitan itu ada kemudahan atau kesempatan”. (QS. Alinsyirah 5-8). Dengan begitu kita
akan bersemangat mencari solusi permasalahan lingkungan. Namun dalam mencari solusi masalah
lingkungan jangan terpaku pada satu hal atau satu penyelesaian umum, carilah alternatif solusi
7/16/2019 Sulitnya Mencari Keadilan
http://slidepdf.com/reader/full/sulitnya-mencari-keadilan 94/139
Suara Korban Kerusakan Lingkungan di Cekungan Bandung;
SULITNYA MERAIH KEADILAN80
sebanyak-banyaknya. Dapatkan solusi dari berbagai sumber, dari buku-buku, dari internet atau orang
yang berkompeten dalam bidang tersebut.
Selain kalangan masyarakat yang peduli, pemerintah juga harus kita jadikan sebagai alat/media solusi
masalah lingkungan, karena sesungguhnya pemerintahlah yang berkewajiban dan mempunyai
wewenang/kekuatan yang besar dalam menyelesaikan masalah lingkungan. Selain itu perlu
diperhatikan juga, dalam mencari solusi carilah solusi yang paling ringan biayanya, paling dekat pada
tujuan dan paling sedikit resikonya. Karena solusi yang kita pilih nantinya akan banyak
mempengaruhi keterlibatan kita dalam rentetan tanggung jawab atas segala hal yang diakibatkan.
Jika mental sudah siap, masalah sudah dipahami, solusipun sudah tersedia, langkah ketiga, segera
rencanakan aksi reaksi yang terarah dan terukur. Kemudian segara tuntaskan masalah lingkungan
yang ada dengan penuh semangat dan kesungguhan tinggi. Yakini bahwa keterbatasan bukanlah
penghalang. Komitmenkan diri pada perjuangan, pantang putus asa, dan yang tidak kalah pentingnya
adalah evaluasi disetiap tahap penyelesaian masalah lingkungan. Serta yakinilah bahwa Tuhan
bersama orang-orang yang bersabar dalam menghadapi ujian titipan alam.
Langkah-langkah diatas hanya sebuah ilustrasi alur penyelesaian permasalahan lingkungan secaraumum. Belum merupakan sebuah bentuk yang riil dari sebuah empati terhadap alam yang begitu baik
terhadap manusia, melayani segala kebutuhan manusia meski dia tersiksa. Bahkan bencana alam juga
bukan keinginan alam untuk menghukum manusia tapi semua bencana, wabah penyakit itu
disebabkan ulah tangan manusia sendiri. Jadi jangan menyalahkan alam apalagi menyalahkan Tuhan
yang Maha Penyayang. Salahkanlah dan tangkaplah para penjahat lingkungan, tingkatkan mutu
pendidikan sejak dini yang mengarah pada kesadaran dan pemahaman serta kritis terhadap keadaan
lingkungan.
7/16/2019 Sulitnya Mencari Keadilan
http://slidepdf.com/reader/full/sulitnya-mencari-keadilan 95/139
Suara Korban Kerusakan Lingkungan di Cekungan Bandung;
SULITNYA MERAIH KEADILAN81
KOMERSIALISASI AIR DI KAWASAN MANGLAYANG
JATINANGOR
Oleh: Muhamad Efendi26
danya kerusakan di muka bumi ini tiada lain karena ulah manusia itu sendiri, baik itu perbuatan
yang bersentuhan dengan alam langsung ataupun karena berdosa kepada Allah SWT. Seorang
pelaku yang tidak pernah memikirkan keseimbangan alamnya karena terlalu memikirkan kepentingan
bisnis untuk kepentingan pribadi dan terus mengeksplorasinya niscaya tak ada yang mustahil apabila
alam mulai memutuskan tali persahabatannya dengan manusia, begitu pula kalau manusia telah
banyak berdosa kepada Allah maka Allah akan menurunkan azab yang sangat ditakuti oleh manusia.
Mari kita renungkan ayat Al Qur’an ini yang berarti “ Dialah yang menurunkan air hujan dari langit
untuk kamu, sebagiannya untuk minum dan sebagainnya untuk menyuburkan tanaman yang pada
tumbuhan itu kamu mengembalakan ternak ” . Nah kira-kira gambaran seperti ini masih adakah didaerah kita khususnya di Bandung Raya ini. Sangat sulit untuk ditunjukkan sebab alamnya sudah
berubah hampir keseluruhannya kecuali daerah-daerah yang sangat curam dan sulit untuk di huni oleh
manusia. Sangat sedikit ataukah memang tidak ada yang memperhatikan Ayat Al Qur’an tadi, Padahal
Allah telah memberikan petunjuk yang baik.
Banyak masyarakat mengeluh karena tertimpa kekeringan, sawah-sawah berubah jadi ladang yang
hanya ditanam ketika musim hujan saja. Banyak ibu-ibu yang berjalan jauh untuk mendapatkan air
bersih untuk minum. Sangar terasa apalagi ketika melihat rumah warga yang bak airnya kosong
karena menunggu giliran tetatangganya padahal itu masih berada di pegunungan yang dikatakan
orang memiliki sumber air yang subur. Kini menjadi terbalik, sementara di perkotaan tidaklah susah
untuk itu. Kebutuhan air di kota sudah memadai walaupun harus dibayar dengan harga mahal. Karena
itulah air ini menjadi sumber alam yang sangat dibutuhkan manusia.
Bagi mereka yang peka terhadap ekonomi dengan cepatnya peluang ini dimanfaakan dan
dikembangkan dengan teknologi yang agak lumayan agak baik disisi lain ada sebagaian masyarakat
yang terkena dampak dari proses penguasaan air untuk kepentingan komersial, karena penyaluran air
itulah kontribusi air yang biasa digunakan masyarakat menjadi kurang atau sebagian dibatasi.
Tidak ada manusia yang bisa membuat atau menciptakan air hanya saja manusia itu berupaya untuk
menjaga kelestaraian air, kemudian ada pengusaha air dan pasti mengkonsumsi air.
Berbicara tentang privtiasi air memang sangat riskan karena sangat buruk dampaknya, salah satu
contoh banyak pabrik yang membuat kolam-kolam penampungan air di hulu sungai dan dialirkan ke pabrik melalui pipa-pipa sehingga banyak lahan yang kekurangan air. Jelas ini sangat merugikan
masyarakat banyak walaupun telah melalui perizinan dari masyarakat dan pemerintah. Itu pun hanya
segelintir orang saja yang berpengaruh sedangkan hati nurani rakyat kecil yang terprovokasi menjadi
serba salah antara menerima dan menolak atas kebijakan yang didominasi oleh orang yang
mempunyai kepentingan finansial bak pengusaha atau pemberi ijin karena kebanyakan si pemberi ijin
itu adalah ketua kelompok ataupun pemerintah bukan sepenuhnya demi masyarakat tapi demi
bangsaku yaitu “bang saku” sendiri. Bagi mereka yang mempertuhankan uang, uang itu merupakan
26 Penulis adalah Petani penggarap Lahan Hutan Manglayang di Kampung Cibeusi Desa Cileunyi Wetan Aktif sebagai
Tutor PKBM dan Guru Honor di SD Suka Asih dan pegiat di Koalisi Komunitas Korban Lingkungan (K3L)Cekungan
Bandung
7/16/2019 Sulitnya Mencari Keadilan
http://slidepdf.com/reader/full/sulitnya-mencari-keadilan 96/139
Suara Korban Kerusakan Lingkungan di Cekungan Bandung;
SULITNYA MERAIH KEADILAN82
hal yang segalanya tertumpu di situ maka ketika ada gali potensi hasilnya adalah uang. Ketika ada
pengusaha yang minta perijinan dengan nada merayu manis itu pasti uang.
Masalah kepentingan masyarakat itu bisa ditanggulangi di balik tangan dengan kata sharing atau bagi
hasil, ternyata dampak dari itu lebih celaka lagi. Kekurangan air di masyarakat dampaknya lebih besar
daripada sharing yang di dapat bahkan di daerah tertentu sharingnya tidak sampai ke masyarakat .
Oknum inilah yang sering disumpahi oleh masyarakat karena dia dianggap sindikat air. Belum tahu
kalo air telah menghakimi manusia, jangan coba-coba satu pulau aja bisa tenggelam di telan air.
Ketika musim kemarau panjang semua rumput mengering sangatlah ngeri kelihatannya warna alam
kuning semua tapi ada sehamparan tanah lapang yang luas hijau royo-royo. Oh itunya katanya
lapangan golf singkatan dari golongan orang-orang lagi pusing. Beberapa meter kubik air yang ditarik
ke sana, berapa hektar sawah yang kering, berapa petak kolam yang kosong airnya kemudian habitat
lainnya seperti itik, entok angsa kerbau yang kerap ada di sekitar kali tak muncul lagi karena kali telah
menjadi wadah sampah. Pernah aku kerja di golf tapi aku keluar karena aku pikir aku hidup di atas
kekeringan sawah orang lain. Walaupun tidak secara langsung aku sebagai penyalur atau pembuat
kontruksi saluran pipa tapi yang ada disana minimal sudah ada pada sistem makanya aku segera
keluar dan ingin mendengar rintihan warga yang sawahnya kering kerontang tak ada yang sanggup padi tumbuh di situ.
Hak masyarakat kini telah berada pada posisi yang terseret oleh kebijakan orang-orang yang punya
kepentingan sekelompok atau perorangan. Misalkan saya punya uang banyak atau sebagai investor
tidak akan susah untuk menguasai air tinggal dibeli saja mata air yang ada di hulu sungai yang
biasanya kalau hulu sungai itu berada di kawasan Perhutani atau tanah penduduk, lewat perijinan-
perijinan dari pemerintah setempat dengan iming-iming bagi hasil atau sharing ataupun bisa saja
langsung tanah yang mengandung air itu dibeli dengan harga yang menggiurkan agar tanah itu lepas
dari tangan pemiliknya. Itu nanti otomotis kebutuhan masyarakat sekitar pengguna air akan terbatasi
oleh aturan baru yang diterapkan oleh pengusaha. Masyarakat mulai tertekan tapi tak berani melawan
yang akhirnya kalau ada dampak kekeringan tinggalah mengurut dada, kepada siapa lagi mengajukan
usulan, pihak desa sendiri sudah mengizinkannya. Tolong ini dipikirkan baik-baik, diantara hak memiliki air pasti orang yang ada dibawahnya yang dialiri air itu memiliki hak atas air itu.
Ketika musim kemarau tiba, semua rumput mengalami kekeringan tapi saya lihat lapangan golf yang
luasnya tak dapat saya hitung itu dalam kondisi yang sangat indah dan hijau rumput-rumputnya,
karena disiram terus itu sangat memerlukan air. Apakah mereka akan mendengar rintihan warga yang
sedang lapar atau sedang bingung karena banyak utang atau mereka putus sekolah. Wah, dampaknya
dari penguasaan air oleh sekelompok orang sangat menyengsarakan masyarakat banyak. Padahal dari
air yang dijelaskan dalam Al Qur’an ini tidaklah termasuk dalam lapangan golf, karena memang
lapangan golf ini adalah tempat yang melalaikan ibadah kepada Allah dan disana dijadikan sarana
kemaksiatan, ada perjudian ada prostitusi dan lain sebagainya. Kalau dilihat dari manfaatnya dan
madharat-nya jelas lebih banyak 80% madharat-nya.
Lain halnya dengan pipanisasi air yang dilarian ke perumahan secara komersil. Itu untuk kepentingan
hajat hidup orang banyak, kalau berupaya untuk mendapatkan air, untuk kebutuhan rumah tangga itu
wajar tapi kalau sudah masuk dalam bentuk usaha memanfaatkan situasi perumahan yang tidak punya
sumber air kemudian dijualbelikan, itu masuk dalam penguasaan air. Sehingga masyarakat perumahan
merasa terbebani untuk membayar air dalam setiap bulannya.
Melihat kejadian seperti itu, saya tergugah untuk ingin jadi penasehat mereka yang sok nguasai air, ya
kalau bisa sedangkan saya hanya dapat bicara dengan mulut asam sedangkan mereka bicara dengan
pulsa. Perbuatan mengeksploitasi itu jenis dan bentuk apapun itu tidak baik sebab di antara seseorang
itu ada juga hak orang lain yang sama-sama harus ada kesimbangan, berarti suatu produk hukum baik
hukum dari kitabullah ataupun peraturan yang tujuannya mempermudah urusan manusia mutlak itu
harus dijunjung tinggi oleh setiap yang rasa kemanusiaan. Ataupun minimal punya rasa solidaritas
7/16/2019 Sulitnya Mencari Keadilan
http://slidepdf.com/reader/full/sulitnya-mencari-keadilan 97/139
Suara Korban Kerusakan Lingkungan di Cekungan Bandung;
SULITNYA MERAIH KEADILAN83
dan hubungan timbal balik komunikasi yang harmonis sehingga tidak menimbulkan
ketidakseimbangan disebelah pihak seperti contoh-contoh yang tadi sebagai gambaran kehidupan
pasca adanya penguasaan air yang tidak peduli terhadap kebutuhan akan air yang sangat erat
hubunganya dengan nyawa.
Pengusaha banyak berdatangan ke lokasi-lokasi hulu sungai yang masih dianggap bersih airnya
maksudnya sumber air tersebut hendak dibeli untuk kepentingan usaha sendiri tapi kalau mereka
diminta sedikit saja kepeduliannya terhadap upaya untuk pelestarian sumber daya air mereka sedikit
sekali merespon sebab itu dia pikir tidak efektif untuk usaha dia sekarang. Sudah berebut lahan untuk
para pengembang perumahan, wisata dan air minum, mereka akan sanggup bersaing untuk
mendapatkannya. Sebab dilihat dari segi keuntungan yang besar mereka sudah bisa
memperhitungkannya walaupun itu awal-awalnya harus mengeluarkan dana yang besar.
Saya tidak pernah untuk menghalangi usaha-usaha seperti itu, tapi usahakan dalam batas-batas yang
wajar karena korban kini sudah nampak dan banyak sehingga kalau akan seperti ini masih terus
berlanjut dampaknya. Bukan hanya sekedar kekurangan air tapi rawan pangan dan terjadilah kondisi
sosial yang buruk tak terkendali.
Saya anggap hebat kalo saudara bisa mengembangkan usaha lewat air bersih ini, tapi kalau bisa
saudara olah tuh air sungai yang lecek atau air laut supaya jernih kembali kalo bisa saya acungkan
jempol atau mengelola sampah yang sangat menjadi masalah di bumi Bandung ini biar bersih dan
indah. Marilah kita pahami ayat-ayat Al Qur’an surat An Nahl ayat 10. Insya Allah kita akan diberi
ketenangan dan dijamin keselematan oleh Allah SWT dan kalau sudah memahaminya mari kita
memelihara alam ini menjadi alam yang bersahabat dengan kita.
7/16/2019 Sulitnya Mencari Keadilan
http://slidepdf.com/reader/full/sulitnya-mencari-keadilan 98/139
Suara Korban Kerusakan Lingkungan di Cekungan Bandung;
SULITNYA MERAIH KEADILAN84
Fenomena Lahan Kritis;
KESALAHAN TATA KELOLA HUTAN
7/16/2019 Sulitnya Mencari Keadilan
http://slidepdf.com/reader/full/sulitnya-mencari-keadilan 99/139
Suara Korban Kerusakan Lingkungan di Cekungan Bandung;
SULITNYA MERAIH KEADILAN85
LAHAN KRITIS AKIBAT KESALAHAN TATA KELOLA
HUTAN(Study Kasus Pengelolaan Hutan di Kecamatan Ibun dan Paseh
Kabupaten Bandung Kawasan Pegunungan Guntur)
Oleh : Udin Saripudin27
1. PENDAHULUAN
Dulu negara Indonesia terkenal dengan kekayaan alamnya yang melimpah ruah, hutanya yang lebat,
dan tanahnya yang subur, sehingga mayoritas penduduk Indonesia menggantungkan hidupnya dari
kekayaan alam tersebut terutama dalam sektor pertanian, sehingga Indonesia dikenal sebagai negara
agraris karena mayoritas penduduknya tersebut bermata pencaharian sebagai petani. Tapi sungguh
ironis sekali, dari mayoritas penduduk yang bermatapencaharian sebagai petani dan luasnya areal
pertanian yang ada hanya sebagian kecil petani saja yang memiliki lahan garapan pribadi, sebagian besar dari mereka adalah petani penggarap yang menggarap lahan-lahan milik orang lain dan sebagian
lagi menggarap lahan hutan sebagai media untuk bercocok tanamnya karena tidak memiliki lahan
untuk diolah.
Namun seiring dengan kerusakan hutan yang terjadi akhir-akhir ini, masyarakat yang bertani di lahan
hutan ini kemudian selalu dijadikan kambing hutan penyebab terjadinya kerusakan hutan di Indonesia
ini, penebangan liar, perambahan hutan dan pembakaran hutan oleh masyarakat selalu dijadikan
alasan oleh pihak pemerintah dan pihak-pihak terkait lainya.
Di Jawa Barat saja dari 816.603 Ha hutan negara, 152.000 Ha atau sekitar 19% diantaranya
mengalami kerusakan yang cukup parah dan perlu segera di reboisasi (Dishut, 2003).
Padahal jika kita melihat sejarah, bercocok tanam di lahan hutan ini sudah dimulai sejak jaman nenek
moyang kita, dan kenyataanya hutan pada waktu itu tidak mengalami kerusakan yang sangat
signifikan seperti saat sekarang ini, padahal pada waktu itu belum ada lembaga yang mengurus
masalah hutan, tapi kenapa setekah adanya lembaga yang mengurus bidang kehutanan dan BUMN
yang mengelola hutan justru hutan Indonesia ini menjadi rusak.
2. PERMASALAHAN LAHAN KRITIS DI IBUN DAN PASEH
Ibun dan Paseh merupakan kecamatan yang terdapat di selatan Kabupaten Bandung, topografinya
terdiri dari daerah dataran tinggi dan pegunungan yang masih merupakan gugusan Gunung Guntur,
sehingga Ibun memilki kawasan hutan yang cukup luas. Ada sekitar 7 desa di Kecamatan Ibun danPaseh yang wilayahnya berbatasan langsung dengan areal hutan, yaitu; Mekarwangi, Laksana, Ibun,
Dukuh, Neglasari, Loa dan Drawati yang semuanya berada dalam kawasan RPH Mandalawangi
BKPH Ciparay KPH Bandung Selatan Perum Perhutani Unit III Jabar Banten.
Kawasan hutan di kecamatan Ibun dan Paseh merupakan salah satu kawasan lahan kritis di kabupaten
Bandung yang kerusakanya terbilang cukup parah, selain Gunung Wayang dan Manglayang, mulai
dari kawasan Gunung Pulus Desa Drawati kecamatan Paseh sampai Kamojang Kecamatan Ibun.
Kerusakan berawal pada tahun 1982-1985-an yaitu dengan adanya penebangan hutan pinus oleh
Perhutani yang terjadi di kawasan Ibun dan Paseh RPH Mandalawangi, yang menyebabkan hutan
27 Penulis adalah warga Desa Mekarwangi Kecamatan Ibun Kabupaten Bandung. Penulis adalah aktif melakukan reboisasidi kawasan hutan, Pegiat di desa dan Koalisi Korban Kerusakan Lingkungan
7/16/2019 Sulitnya Mencari Keadilan
http://slidepdf.com/reader/full/sulitnya-mencari-keadilan 100/139
Suara Korban Kerusakan Lingkungan di Cekungan Bandung;
SULITNYA MERAIH KEADILAN86
gundul sehingga terjadi kekeringan pada musim kemarau dan pada musim hujan berpotensi terjadi
bencana banjir, seperti yang terjadi di sungai Cikiang Desa Mekarwangi Kecamatan Ibun yang
menyebabkan 1 rumah dan jembatan hanyut terbawa banjir, 2 orang meninggal dunia serta hektaran
sawah tertimbun material banjir. Selain ditebang guna kepentingan produksi oleh Perhutani sebagian
juga terjadi karena angin topan yang melanda kawasan Ibun pada tahun 1984 sehigga pohon-pohon
pinus pada waktu itu roboh, disamping itu ada juga kerusakan yang diakibatkan oleh penebangan liar
masyarakat, namun jumlahnya maih sangat kecil jika dibandingkan dengan yang dilakukan oleh
Perhutani.
Selain itu sejak tahun 2003-sekarang terdapat aktivitas penggalian pasir di daerah aliran sungai
Cibeureum yang dilakukan oleh masyarakat yang di backing oleh oknum petugas Perhutani dan
kepolisian. Aktivitas ini menyebabkan terbentuknya lereng disepanjang DAS yang menyebabkan
rawan terjadi longsor pada musim hujan serta terganggunya pengairan untuk sawah dan ladang karena
airnya dipakai untuk mengalirkan pasir tersebut. Berikut ini tabel kronologis kerusakan serta peta
pelaku penyebab kerusakan hutan di Ibun dan Paseh :
Tabel 1. Uraian Kronologis Kerusakan Hutan
TAHUNLOKASI/
BLOK URAIAN KEJADIAN DAMPAK PELAKU
1982 –
1984
Cijangkar
Legoktangkalak Cibentang
CigincuBatugandawesiMonteng
Penebangan pohon pinus
secara besar-besaran olehPERHUTANI.
Hutan gundul
Debet air sungaimenurun pada musim
kemarau.
PERHUTANI
1984/85-an
BatugedeLegokdemplonKaramat
Angin topan merobohkansebagian besar pohon pinus di areal tersebut.
Hutan gundulTerjadi banjir bandang. (1987).Satu rumah dan satu
jembatan hayut,2orang meninggal
dunia, dan hektaransawah tertimbunmaterial banjr.
Bencana alamCat. Pinus padawaktu itu sedangdalam keadaan di
sadap olehPERHUTANI
2003 Daerah aliran sungaiCibeureum
Penggalian pasir yangdialirkan melalui sungaiCibeureum
Terbentuk lerengdisepanjang DAS yangmenyebabkan rawanterjadinya longsor pada musim hujan
Air sungai yangdipakai untuk
mengairi areal
pertanian dan pesawahan terganggu
Sebagianmasyarakat,namun diteggaraiada oknumPetugas Perhutani
dan kepolisianyang terlibat
Catatan: Sebagian kecil dari sisa penebangan oleh Perhutani dan angin topan dijarah oleh masyarakat.
Sumber : Hasil riset PSDK dalam rangka Gakumling 2006
Tabel 2. Peta Pelaku Penyebab Kerusakan Hutan.
PELAKU KEPENTINGAN PERAN DALAM PERUSAKAN
PERHUTANI Produksi Perhutani sebagai pemilik proyek, pelaksana lapanganmasyarakat yang diupah untuk kerja.
Sebagian masyarakat Ekonomi /untuk bertahan
hidup
Sebagai penebang, namun ditenggarai ada oknum
petugas Perhutani yang terlibat. (lemahnya kinerja petugas Perhutani)
Sumber : Hasil riset PSDK dalam rangka Gakumling 2006
7/16/2019 Sulitnya Mencari Keadilan
http://slidepdf.com/reader/full/sulitnya-mencari-keadilan 101/139
Suara Korban Kerusakan Lingkungan di Cekungan Bandung;
SULITNYA MERAIH KEADILAN87
Untuk menanggulangi kerusakan yang terjadi berbagai upaya telah dilakukan baik itu melalui
program Perhutani maupun Dinas Kehutanan yang pada intinya merupakan kegitan penanaman
kembali lahan kosong/reboisasi. Ada beberapa program penghijauan yang dilakukan di kecamatan
Ibun dan Paseh untuk menanggulangi kerusakan hutan tersebut, diantaranya: PHBM, GNRHL dan
GRLK. Namun program-program tersebut ternyata tidak efektif dan di lapangan tidak berjalan dengan
baik, sehingga hutan tetap saja rusak.
Kerusakan hutan yang terjadi ternyata telah menyeret masyarakat ke posisi sulit, masyarakat dijadikan
kambing hitam penyebab segala kerusakan yang terjadi, dampak yang sangat menyesakan dada
seluruh masyarakat sekitar hutan adalah dengan turunya SE Gubernur Jabar No. 522/ 2003 tentang
Perlindungan dan Pengamanan Kawasan Hutan Jawa Barat. Bagaimana tidak masyarakat sekitar
hutan yang mata pencaharianya bertani di kawasan hutan diharuskan turun dan tidak boleh lagi
mengelola lahan hutan tersebut, sehingga mereka harus kehilangan mata pencaharianya. Hal ini
berakibat pada menurunya daya beli masyarakat sehingga masyarakat miskin bertambah banyak
bahkan di beberapa lokasi seperti di Palintang Gunung Manglayang ada masyarakat yang sampai
mengalami kelaparan.
Sungguh ironis bukan Indonesia yang katanya subur, kaya akan sumber daya alam tapi masyarakatnya
harus kelaparan lantas sumber daya alam yang melimpah itu dikemanakan?
Jika kita membandingkan mengapa hutan di Ibun dan Paseh dahulu bisa bagus dan sekatang menjadi
rusak? Jika kita telaah lebih dalam lagi, sebenarnya ada satu hal yang mendasar disamping masalah
perambahan hutan baik itu yang dilakukan Perhutani maupun masyarakat dan tumpang tindihnya
kebijakan mengenai pengelolaan hutan, ada satu nilai yang dahulu dikembangkan oleh masyarakat
tetapi seiring dengan banyaknya kebijakan yang tidak berpihak kepada masyarakat menyebabkan
nilai-nilai tersebut tidak mungkin diterapkan dalam system pengelolaan seperti sekarang ini. Nilai
tersebut dinamakan “kearifan budaya lokal" yang isinya antara lain:
Lamping = AwianDataran = Sawahan
Hambalan = Kebonan
Legok caian = Balongan, dst.
Jika kita menyimak kearipan budaya lokal tersebut itu artinya masyarakat sunda khususnya dari dulu
sudah mempunyai konsep tersendiri mengenai pengelolaan hutan, bagaimana orang tua dulu
melakukan klasipikasi tanah dan konsep tersebut telah terbukti efektif dalam pelestarian hutan, nilai-
nilai inilah yang kemudian tidak diperhatikan dan diadopsi oleh pemerintah sekarang dalam upaya
perbaikan hutan sehingga setiap program perbaikan hutan yang digulirkan tidak pernah ada yang
berhasil.
Berikut ini tabel beberapa program dan kebijakan dalam rangka memperbaiki kondisi hutan dantingkat keberhasilanya (di Ibun dan Paseh):
Tabel 3. Program Dan Kebijakan Dalam Rangka Memperbaiki Kondisi Hutan
WAKTU PROGRAM DESKRIPSI KONSEPTINGKAT
KEBERHASILAN
- Rebnoisasi Hutan gundul yang tinggal semak belukar
dibabat berjalur, jaluran tersebut ditanamidengan pohon pinus
Kurang berhasil,
pertumbuhan terhambatoleh semak belukar
7/16/2019 Sulitnya Mencari Keadilan
http://slidepdf.com/reader/full/sulitnya-mencari-keadilan 102/139
Suara Korban Kerusakan Lingkungan di Cekungan Bandung;
SULITNYA MERAIH KEADILAN88
1985-1987 Reboisasi dengantumpang sarisayuran
Masyarakat dibolehkan menggarap lahanhutan (sewa) dengan catatan harus menanam pinus
Kurang berhasilBibit tidak mencukupiWaktu tumpangsarisingkat. (Tanamanmasih kecil semak ke buru tinggi)
1999-2003 PHBM Masyarakat dibolehkan menggarap lahanhutan (sewa) dengan catatan harus menanam
pinus
BerhasilBibit mencukupi
Waktu TS relatif lama.(tegakan sudah besar
ketika TS berhenti)
2003 SE 522 Masyarakat yang menggarap lahan hutanharus segera menghentikan garapanya, tidak
boleh lagi tumpang sari sayuran.
Tidak berhasilmemperbaiki kerusakan
hutanHutan terlantar, terjadi penebangan liardankebakaran hutan.
2003 GNRHL Dibentuk beberapa kelompok tani hutanuntuk melaksanakan proyek
penghijauan.(pembuatan jalur tanam, lubangtanam, pengangkutan bibit,penanaman dan
pemeliharaan)
Tidak berhasilBibit datang menjelang
kemarauSistim proyek,
orientasinyauntung/rugi, kerja borongan, terkesan asal-asalanKualitas bibit jelek Kurang pemeliharaan
dari pihak-pihak terkait
2004 GRLK Bibit disediakan oleh Disbun dan diserahkan pada pasilitator di tingkat Desa. Oleh
fasilitator Bibit langsung dibagikan padamasing-masing pemilik lahan
Kurang berhasil Bibitdatang menjelang
kemarauKualitas bibit jelek
2005 PHBM Masyarakat boleh menggarap lahan Perhutanidengan tumpangsari tanaman kopi dan lainyayang dibolehkan yang tidak memerlukan olahtanah secara terus-menerus
Untuk hutan /Perhutanisejauh ini cukup berhasil mengurangiTingkat penjarahan kayuUntuk masyarakatPHBM ini menjadi
masalah karena kopimemerlukan waktu yangrelatif lama untuk mencapai panen
Sumber : Hasil riset PSDK dalam rangka Gakumling 2006
3. ANALISIS KEBIJAKAN
Jika kita menganalisa beberapa kebijakan mengenai pengelolaan hutan yang ada sekarang ini,
kebijakan-kebijakan tersebut masih belum memperhitungkan keterkaitan dan dinamika antara
masyarakat dan lingkungan hidupnya, sehingga kebijakan satu sector dapat menimbulkan dampak
kurang menguntungkan bagi sektor lainya atau bagi masyarakat tertentu maupun masyarakat luas.
Disamping itu pengembangan peraturan perundang-undangan yang menyangkut pengelolaan hutan ini
selalu dikembangkan secara parsial tanpa diselaraskan dengan aspek kesejahteraan masyarakat
sekitarnya. Kalaupun ada, aturan yang memperhatikan aspek kesejahteraan masyarakat sekitar, pada
prakteknya tidak pernah berjalan dengan baik.
7/16/2019 Sulitnya Mencari Keadilan
http://slidepdf.com/reader/full/sulitnya-mencari-keadilan 103/139
Suara Korban Kerusakan Lingkungan di Cekungan Bandung;
SULITNYA MERAIH KEADILAN89
Ada beberapa pasal dalam sejumlah kebijakan mengenai pengelolaan lingkungan dan hutan yang
perlu kita analisis, baik dari segi isi maupun implementasi di lapangan.
3.1 Surat Edaran Gubernur Jawa Barat No. 522 Tahun 2003 Tentang Pelarangan Tumpang
Sari
Indonesia adalah Negara hukum, dimana segala sesuatu harus berdasarkan hukum, “katanya”. Hukum
di Indonesia harus bersumber pada UUD1945 yang notabene merupakan sumber dari segala sumber
hukum yang berlaku di Indonesia ini. Di Indonesia terdapat hirarki hukum mulai tingkat yang tinggi
dampai bawah, dimana hokum yang berada di tukatan dawah tidak boleh bertentangan dengan hukum
yang berada di atasnya, jika bertentangan berarti aturan tersebut memiliki cacat hukum dan tidak
memiliki kekuatan hukum. Adapun hirarki tersebut adalah sebagai berikut:
1. UUD1945
2. Tap MPR
3. Undang-undang4. Peraturan Pemerintah
5. Perpu
6. Perda
Jika kita menganalisa SE Gubernur Jabar No. 522 Tahun 2003 tentang pelarangan tumpang sari,
kebijakan tersebut nyata-nyata bertentangan dengan kebijakan-kebijakan yang ada diatasnya, yaitu:
a. UU No. 23/1997 tentang pengelolaan lingkingan hidup
Dalam pasal 5 ayat 3 UU No. 23/1997 dijelaskan bahwa setiap orang punya hak untuk berperan
dalam rangka pengeloaan lingkungan hidup, dan masyarakat mempunyai kesempatan yang sama
dan seluas-luasnya untuk berperan dalam pengelolaan lingkungan hidup (pasal 7 ayat 1 UU No.
23/1997).
Dengan adanya SE No. 522 Tahun 2003 masyarakat tidak boleh lagi mengelola lahan hutan yang
merupakan bagian dari lingkungan hidupnya, itu artinya ada pelanggaran terhadap hak
masyarakat, dan itu berarti SE No. 522 Tahun 2003 bertentangan dengan UU No. 23/1997
tentang pengelolaan lingkingan hidup.
b. UU No. 41/1999 tentang kehutanan pasal 68 -70 tentang peran serta masyarakat
Dalam UU No. 41/1999 tentang kehutanan pasal 68 -70 dijelaskan bagaimana peran serta
masyarakat dalam mengelola hutan. Jika kita mencermati dari SE No. 522 tahun 2003 isinya
sangat bertentangan dengan UU tersebut, dimana dengan adanya SE tidak memberi peluang
kepada masyarakat untuk berperan serta dalam pengelolaan hutan sebagaimana yang tercantum
dalam UU No. 41/1999 tentang kehutanan.
c. UUD 1945 Pasal 33
Dalam pasdal 33 UUD 1945 dijelaskan bahwa “ Bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung
didalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat”
namun pada kenyataanya sekarang ini sumberdaya alam tersebut digunakan untuk kepentingan
para pemilik modal, sementara masyarakat sendiri dibiarkan terlantar.
Dari analisis subtansial SE Gubernur Jabar No. 522 Tahun 2003 yang dibandingkan dengan beberapa
pasal dari kebijakan-kebijakan yang ada diatasnya jelas bahwa SE tersebut bertentangan dengan
kebijakan yang ada diatasanya, itu artinya SE Gubernur Jabar No. 522 tahun 2003 cacat hukum dan
tidak mempunyai kekuatan hukum bahkan bisa batal demi hukum.
7/16/2019 Sulitnya Mencari Keadilan
http://slidepdf.com/reader/full/sulitnya-mencari-keadilan 104/139
Suara Korban Kerusakan Lingkungan di Cekungan Bandung;
SULITNYA MERAIH KEADILAN90
3.2 UU No. 41/1999 tentang Kehutanan Pasal 68 tentang Peran Serta Masyarakat
Berikut kutipan pasal 68 UU No. 41/1999 tentang kehutanan:
Pasal 68;
(1) Masyarakat berhak menikmati kualitas lingkungan hidup yang dihasilkan hutan.
(2) Selain hak sebagaimana dimaksud pada ayat (1), masyarakat dapat:
a. memanfaatkan hutan dan hasil hutan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang
berlaku;
b. mengetahui rencana peruntukan hutan, pemanfaatan hasil hutan, dan informasi kehutanan;
c. memberi informasi, saran, serta pertimbangan dalam pembangunan kehutanan; dan
d. melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan pembangunan kehutanan baik langsung maupun
tidak langsung.
(3) Masyarakat di dalam dan di sekitar hutan berhak memperoleh kompensasi karena hilangnya akses
dengan hutan sekitarnya sebagai lapangan kerja untuk memenuhi kebutuhan hidupnya akibat
penetapan kawasan hutan, sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
(4) Setiap orang berhak memperoleh kompensasi karena hilangnya hak atas tanah miliknya sebagai
akibat dari adanya penetapan kawasan hutan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Daerah dapat dibantu oleh forum pemerhati kehutanan.
Jika kita telaah pasal 68 tersebut diatas, banyak sekali hak-hak masyarakatyang telah diatur dalam
undang-undang namun pada prakteknya tidak dijalankan sebagaimana mestinya, seperti:
1. Hak untuk menikmati kualitas lingkungan hidup yang dihasilkan hutan
2. Hak untuk memanfaatkan hutan dan hasil hutan,mengetahui rencana peruntukan hutan,
pemanfaatan hasil hutan,informasi kehutanan, memberi informasi, saran, serta pertimbangan
dalam pembangunan kehutanan; dan melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan
pembangunan kehutanan baik langsung maupun tidak langsung.
Dengan diberikannya HPH hutan kepada BUMN masyarakat tidak bisa lagi memamfaatkanhutan dan hasil hutan yang ada karena sudah diserahakan pengelolaanya kepada BUMN
tersebut, disamping itu pemerintah juga kurang transparan kepada masyarakat sehingga
masyarakat kurang mendapatkan informasi mengenai kehutanan dan wawasanya tentang
hutanpun sempit, delain itu masyarakat juga tidak pernah diajak dalam perencanaan, sunbang
saran, dan ikut mengawasi program pembangunan hutan, sehingga progran-program yang
dibuat seringkali tidak sesuai dengan keinginan masyarakat, yang menyebabkan program
tersebut gagal.
3. Hak untuk memperoleh kompensasi karena hilangnya akses dengan hutan sekitarnya sebagai
lapangan kerja untuk memenuhi kebutuhan hidupnya akibat penetapan kawasan hutan
Masyarakat sekitar hutan mayoritas memempatkan lahan kawasan hutan untuk bertani guna
menghidupi keluarganya. Namun dengan adanya penetapan kawasan hutan, akses mereka terhadaplahan hutan tersebut menjadi tertutup dan mata pencaharianya pun hilang begitu saja, padahal mereka
memiliki keluarga yang harus dinafkahinya. Untuk itu dalam UU No. 41/1999 tentang kehutanan
pasal 68 ayat 3 telah diatur mengenai kompendadi untuk hal itu. Namun lagi-lagi dalam prakteknya
tudak dijalankan sama sekali, jangankan mendapat kompensasi, untuk mengajukan bantuan pinjaman
modal pun sangatlah sulit sekali.
Pertanyaanya mengapa hak-hak masyarakat tersebut yang telah secara nyata diatur dalam undang-
undang pada kenyataanya tidak pernah dijalankan sama sekali? ada apa dengan pemerintahan kita?
Lalu siapa yang salah masyarakat yang bodoh atau pemerintah yang telah membodohi rakyatnya?
7/16/2019 Sulitnya Mencari Keadilan
http://slidepdf.com/reader/full/sulitnya-mencari-keadilan 105/139
Suara Korban Kerusakan Lingkungan di Cekungan Bandung;
SULITNYA MERAIH KEADILAN91
3.3 UUD 1945
Dalam UUD 1945 pasal 33 ayat 1 telah dijelaskan bahwa “Bumi, air dan kekayaan alam yang
terkandung didalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran
rakyat”. Namun kenyataan yamg terjadi sekarang tidak relepan lagi dengan isi pasal 33 tersebut,
dengan diserahkanya HPH hutan kepada BUMN, Perkebunan dan pihak swasta lainya telah membuka
peluang kapitalisme masuk ke hutan sehingga pengelolaan hutan ini dikuasai oleh orang tertentu yang
memiliki modal dan hasilnya pun untuk kepentingan mereka sendiri akibatnya peluang masyarakat
untuk memanfaatkan dari hutan dangat kecil dan tergantung kebijakan pengelola.
Pemerintah lebih berpihak kepada kaum kapitalisme dari pada masyarakatnya. Kalau benar kekayaan
alam Indonesia yang salah satunya adalah berupa hutan ini dipergunakan untuk sebesar-besarnya
kemakmuran rakyat mengapa tidak langsung saja diserahkan pengelolaanya kepada masyarakat,
kenapa harus repot-repot diberikan pada pemilik modal yang nyata-nyata mengeksploitasi hutan
sehingga hutan menjadi rusak.
4. ANALISIS TERHADAP KINERJA PERHUTANI DI IBUN DAN PASEH
PERHUTANI sebagai salah satu BUMN secara otomatis orientasinya adalah profit/keuntungan,
bagaimana mencari keuntungan sebesar-besarnya sementara aspek pelestarian lingkungan yang
notabene merupakan kewajiban pemegang HPH sedikit terabaikan.
Maka untuk mewujudkan hal itu, di Ibun dan Paseh antara tahun 1982-1986 PERHUTANI melakukan
kegiatan penebangan di areal-areal yang menjadi HPH-nya (lihat tabel 1 uraian kronologis kerusakan
hutan di Ibun dan Paseh), ternyata kegiatan serupa bukan hanya terjadi di Ibun dan Paseh saja, di
Gunung Wayang, Manglayang juga terjadi kegiatan serupa. Bahkan di Gunung wayang penebangan
bukan hanya di kawasan hutan produksi saja, hutan lindung pun asal dalam HPH-nya ikut menjadi
objek penebangan, sehingga hutan-hutan di kawasan tersebut menjadi gundul.
Setelah hutan-hutan tersebut gundul PERHUTANI berusaha untuk menghijaukanya kembali dengancara memperbolehkan masyarakat sekitar hutan untuk bertani dengan sistim sewa lahan dan harus
menanam pohon pinus yang telah disediakan PERHUTANI bahkan ada juga oknum PERHUTANI
yang menjualnya kepada masyarakat.Namun sayangnya progtam ini sifatnya sementara, paling lama
sekitar 2 tahun kemudian ditutup kembali padahal pohon pinusnya masih kecil-kecil.
Setelah tidak dikelola oleh masyarakat, otomatis pohon-pohon pinus yang masih kecil tersebut tidak
terpelihara sehingga pertumbuhanya lambat dan kembali tertutup semak belukar, jika musim kemarau
datang semak belukar tersebut mengering yang kemudian dimanfaatkan oleh oknum yang tidak
bertanggung jawab membakar hutan tersebut sehingga terjadilah kebakaran hutan dan hutan itu pun
kenbali gundul.
Begitulah kejadian tersebut berulang, hingga sampai pada saat krisis moneter terjadi tahun 2007,karena desakkan ekonomi masyarakat pada saat itu memaksa untuk betani di lahan PERHUTANI
yang kemudian mendapat persetujuan dari pihak PERHUTANI meskipun lagi-lagi masyarakat harus
sewa dan menanam pohon pinus yang telah disediakan. Bukaan ini berlangsung cukup lama yaitu
sampai tahun 2003 seiring dengan dikeluarkannya Surat Edaran Gubernur Jawa Barat R. Nuriana,
yang kemudian lebih dikenal dengan SE No. 522/ 2003 yang isinya menghimbau kepada seluruh
petani lahan hutan untuk turun dan meninggalkan garapannya.
Pohon-pohon pinus pada saat itu sudah cukup besar dan hutan-hutan sudah mulai terlihat hijau
kembali, namun lagi-lagi dengan tidak dikelola lagi oleh masyarakat keamanan hutan tidak terjamin,
petugas PERHUTANI yang ada tidak menjalankan tugasnya dengan baik sehingga hutan kembali
rusak.
7/16/2019 Sulitnya Mencari Keadilan
http://slidepdf.com/reader/full/sulitnya-mencari-keadilan 106/139
Suara Korban Kerusakan Lingkungan di Cekungan Bandung;
SULITNYA MERAIH KEADILAN92
Untuk menanggulangi hal itu kembali PERHUTANI menggulirkan program yang dinamakan program
Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat (PHBM) yang intinya mengedepankan 3 opsi yang
ditawarkan PERHUTANI, yaitu:
1. Alih lokasi; masyarakat harus pindah bercocok tanam dari lahan hutan.
2. Alih komoditi; kalaupun masyarakat mau tetap bertani di lahan hutan mereka harus beralih
komoditas dari tanaman semusin ke tanaman keras seperti kopi.
3. Alih profesi; masyarakat harus beralih profesi dari petani ke profesi lain.
Namun pada kenyataanya 3 opsi yang ditawarkan PERHUTANI ini tidak mampu menjawab
kebutuhan masyarakat dan sama sekali tidak ada implementasinya di masyarakat, program itu
dibiarkan bergulir tanpa ada dampingan dan pembinaan yang benar dan serius, serta bantuan
permodalan dari pihak PERHUTANI sebagai pemilik program.
Disamping 3 opsi tersebut, ada 10 prinsip dalam PHBM, yaitu:
1. prinsip perencanaan partisipatif
2. prinsip kesesuaian pengelolaan dengan karakteristik wilayah
3. prinsip keadilan dan demokratis4. prinsip keterbukaan dan kebersamaan
5. prinsip pembelajaran bersama dan saling memahami
6. prinsip perusahaan sebagai fasilitator
7. prinsip kesederhanaan sistim dan prosedur
8. prinsip kejelasan hak dan kewajiban
9. prinsip pemberdayaan ekonomi kerakyatan
10. prinsip kerjasama kelembagaan. (Makalah Perhutani, 2005)
Namun lagi-lagi pada prakteknya 10 prinsip tersebut tidak dijalankan dengan sebenarnya, masyarakat
tidak pernah diajak untuk musyawarah perencanaan PHBM, kemudian pengelolaan hutan tidak sesuai
dengan karakteristik wilayah, tidak ada keterbukaan dari pihak PERHUTANI, kerjasamanya
cenderung merugikan pihak masyarakat, apalagi yang namanya pemberdayaan masyarakat itu hanyamenjadi omong kosong belaka, pada kenyataanya tidak ada upaya dari PERHUTANI untuk
memberdayakan masyarakat.
Parahnya lagi BUMN yang namanya PERHUTANI itu lebih banyak ruginya daripada untungnya,
padahal jika kita bandingkan dengan eksploitasi kekayaan hutan yang selama ini mereka lakukan
tidak mungkin PERHUTANI itu sering mengalami rugi daripada untung. Pertanyaanya kemana
hasil eksploitasi kekayaan hutan yang selama ini telah dilakukan dan jika demikian masih
pantaskah BUMN seperti PERHUTANI itu dipertahankan?
5. ANALISIS PROGRAM GRLK DAN GNRHL
Kerusakan hutan yang terjadi di Indonesia bukan hanya terjadi di kawasan PERHUTANI saja
melainkan juga merembet ke kawasan hutan lindung yang berada di bawah Dinas Kehutanan yang
dikelola oleh BKSDA.
Untuk menanggulangi kerusakan hutan yang demikian parahnya pemerintah pusat melalui Departmen
Kehutanan dan juga provinsi melalui dishut provinsi melakukan program penghijauan yang dikenal
dengan nama Gerakan Nasional Reboisasi Lahan Hutan dan Gerakan Reboisasi Lahan Kritis yang
menghabiskan dana dampai miliaran rupiah.
Kecamatan Ibun dan Paseh merupakan desa-desa yang menerima program tersebut, mulai tahun 2003
program tersebut dilaksanakan di kawasan hutan Ibun dan Paseh.
7/16/2019 Sulitnya Mencari Keadilan
http://slidepdf.com/reader/full/sulitnya-mencari-keadilan 107/139
Suara Korban Kerusakan Lingkungan di Cekungan Bandung;
SULITNYA MERAIH KEADILAN93
Namun seperti halnya program-program sebelumnya, program inipun tidak berjalan dengan baik,
program tersebut hanya menghambur-hamburkan uang negara dan dijadikan ajang proyek pihak
tertentu, sehingga hasilnya tidak sesuai dengan apa yang diharapkan, dalam hal ini lagi-lagi
keseriusan pemerintah dalam menjalankan setiap programnya patut kita pertanyakan. Hal itu bisa
dilihat dari praktek penghijauan itui sendiri di lapangan, mulai dari waktu tanam, kualitas bibit dan
pelibatan masyarakat.
Berdasarkan hasil temuan kami di lapangan terdapat beberapa kejanggalan yang mengindikasikan
ketidak seriusan pemerintah dalam program penghijauan ini, diantaranya:
1. Datangnya bibit selalu menjelang akhir musim penghujan sehingga tanaman yang baru
ditanam tidak cukup mendapatkan pengairan hal ini menyebabkan tingkat kematian
tanamanpun akibat kekeringan tinggi.
2. Kualitas bibit yang ditanam jelek banyak yang rusak dan tidak dapat tumbuh dengan baik.
3. Masyarakat yang dipercaya di lokal adalah masyarakat yang tidak bertanggungj awab dan
pelibatan masyarakat kurang.
Jika melihat fenomena lapangan yang seperti itu, terbersit dibenak penulis mungkinkah hal-halteknis yang seperti itu dilakukan secara sengaja oleh mereka supaya proyeknya berkelanjutan?
Namun terlepas dari pertanyaan tersebut, intinya program GNRHL dan GRLK di Jawa Barat telah
gagal total, dana yang dikeluarkan sangat besar namun hasilnya tidak sesuai dengan biaya yang telah
dihabiskan tersebut.
Disamping hal-hal di atas masih banyak lagi pelanggaran yang terjadi dalam GRLK, salah satunya
yaitu dalam hal penyediaan bibit. Berdasarkan Perda Provinsi Jawa Barat No. 7 tahun 2005 tentang
Pengendalian dan Rehabilitasi Lahan Kritis Bab IV pasal 14, disana diatur bahwa masyarakat harus
masyarakat harus dilibatkan dalam penyediaan bibit tanaman, tetapi ternyata penyediaan bibit
diserahkan kepada perusahaan penangkaran bibit. Hal ini yang menyebabkan kwalitas bibit jelek
selain karena jarak angkut yang jauh menyebabkan bibit rusak, hal ini juga sangat rentan dengan
markup dana penyediaan bibit (KKN).
6. PANDANGAN, HARAPAN, SERTA UPAYA YANG PERNAH DILAKUKAN
MASYARAKAT DALAM RANGKA MEMPERBAIKI KONDISI HUTAN
Berbagai kontroversi muncul sehubungan dengan bergulirnya berbagai program yang
implementasinya tidak jelas tersebut, masyarakat memandang program-program tersebut tidak pernah
berpihak pada masyarakat, hanya sebagai ajang bagi-bagi proyek di kalangan birokrasi dan hanya
menghambur-hamburkan uang negara, sementara hasil yang diharapkan tidak pernah tercapai.
Harapan masyarakat sendiri mengenai pengelolaan hutan sebenarnya sangat simple, bagaimana
mereka bisa melakukan tumpangsari sayuran sambil menanam pohon untuk memperbaiki kondisihutan, supaya hutan hijau dan masyarakat sendiri tetap bisa makan. Masyarakat cukup disediakan
bibit tanaman untuk ditanam di lahan hutan dengan catatan masyarakat bisa tumpang sari.
Tabel 4. Pandangan Masyarakat terhadap Konsep dan Praktek-Praktek Program
Pemerintah/Perhutani dalam Rehabilitasi Lahan Kritis dan Pengelolaan Hutan
PROGRAM PANDANGAN HARAPAN
SE 522 /2003 Kurang epektif Tidak berpihak pada masyarakat
Cabut SE 522/2003
PHBM 2005 Kurang berpihak pada masyarakatTidak sesuai dengan kebiasaan masyarakat
Masyarakat diperbolehkanmelakukan tumpang sari sayuran
selama menunggu kopi bisadipanen
7/16/2019 Sulitnya Mencari Keadilan
http://slidepdf.com/reader/full/sulitnya-mencari-keadilan 108/139
Suara Korban Kerusakan Lingkungan di Cekungan Bandung;
SULITNYA MERAIH KEADILAN94
GNRHL & GRLK Tidak epektif Hanya menghambur-hamburkan uangnegara
Masyarakat disediakan bibituntuk ditanam dilahan hutan,dengan catatan masyarakat bolehtumpang sari sayuran selamamenunggu kopi dipanen
Sumber : Hasil riset PSDK dalam rangka Gakumling 2006
Sebetulnya sejauh ini masyarakat sendiri telah melakukan berbagai upaya dalam rangka mencegah
dan menanggulangi kerusakan hutan yang lebih parah, diantaranya dengan melarang penebangan
pohon, penggalian pasir dan lain-lain. Gerakan masyarakat tersebut ternyata berhasil menghentikan
penebangan liar yang terjadi serta penggalian pasir ilegal. Namun inisiatif masyarakat tersebut kurang
mendapat dukungan dari pihak terkait, baik itu pemerintah maupun PERHUTANI selama ini
disinyalir terdapat oknum-oknum petugas yang bermain dalm kegiatan tersebut.
Contoh kasus yang terjadi di mekarwangi yaitu ketika masyarakat mengumpulkan dukungan
masyarakat untuk menghentikan penggalian pasir illegal di sepanjang aliran sungai Cibeureum,
ternyata pihak terkait tidak bisa bertindak tegas dalam hal tersebut seolah-olah memberikan
perlindungan pada pelaku kegiatan tersebut, sehingga hampir mengakibatkan konflik horisontal antara
warga dan pelaku-pelaku penggalian pasir ilegal tersebut.
Tabel 5. Inisiatif Warga Ibun dalam Memperbaiki Kondisi Hutan
INISIATIF WARGA DAMPAK SIKAP PIHAK TERKAIT
Melarang dan menasihati pararenebang liar
Kurang dukungan dari pihak terkait
Melakukan patroli penangkapan penebang liar
Penebangan kayu liar 90% berhenti
Setiap laporan tidak pernahditindaklanjuti
Melarang dan menasihati para
penggali pasir ilegalMelaporkan setiap pelanggaranke pihak terkait
Penggalian pasir ilegal berhenti
untuk hutan di wilayahMekarwangi
Jadi ada kesan mau mengadu
dombakan masyarakat
Sumber : Hasil riset PSDK dalam rangka Gakumling 2006
Selain Inisiatif warga tersebut ada pula upaya kelompok pemuda dalam rangka memperbaiki
kerusakan hutan yang terjadi, khususnya di Kp. Sindangpala Desa Mekarwangi, pemuda-pemuda
disana membentuk satu kelompok yang dinamakan “Forum Remaja Pecinta Lingkungan
SAMSAKA”. Nama SAMSAKA sendiri diambil dari bahasa sansekerta yaitu dari kata SAM yang
artinya pemuda/pemudi dan SAKA yang artinya pembela masyarakat dan lingkungan. Sesuai dengan
arti dari nama SAMSAKA itu sendiri maka SAMSAKA ini pula bergerak dalam bidang lingkungan
hidup.
Beberapa kegiatan telah dilakukan oleh SAMSAKA ini salah satunya dengan mengadakan Pelatihan
Advokasi Lingkungan Hidup serta mengusulkan kegiatan penghijauan melalui jalur Musrenbang.
Selain itu program lingkungan hidup yang sekarang lagi dilakukan adalah program penghijauan yang
diberi nama “SAMSAKA Menanam”. Kelompok ini akan membuat persemaian tanaman buah-
buahan secara swadaya yang kemudian akan ditanam di kawasan hutan kritis yang terdapat di
kecamatan ibun. Tahun pertamanya program ini dipokuskan pada kawasan hutan Desa Mekarwangi,
saat ini program tersebut baru sampai riset mengenai luasan kawasan hutan kritis di kecamatan Ibun
dan kegiatan ini direncanakan akan selesai sanpai tidak ada lagi lahan kritis di kawasan Ibun dan
Paseh.
7/16/2019 Sulitnya Mencari Keadilan
http://slidepdf.com/reader/full/sulitnya-mencari-keadilan 109/139
Suara Korban Kerusakan Lingkungan di Cekungan Bandung;
SULITNYA MERAIH KEADILAN95
7. REKOMENDASI PENULIS MENGENAI PENGELOLAAN HUTAN
Jika kita mencermati pemaparan di atas, sebenarnya ada beberapa hal yang menjadi menjadi sumber
kerusakan hutan di Indonesia, khususnya Jawa Barat, yaitu :
1. Kurangnya akses masyarakat terhadap lahan hutan, padahal riset kami membuktikan
bahwa penghijauan itu berhasil ketika masyarakat boleh tumpang sari di lahan hutan, hal itu
yang sekarang ini diabaikan pemerintah demi kepentingan kaum-kaum kapitalis.
2. Kebijakan yang ada tidak mengadopsi nilai-nilai/kebiasaan yang terdapat di
masyarakat, padahal salah satu ciri hukum yang baik itu harus mengadopsi nilai-
nilai/kebiasaan yang terdapat di masyarakat.
3. Masyarakat tidak pernah dilibatkan dalam membuat kebijakan, perencanaan dan
pelaksanaan serta pengawasan dalam bidang pembangunan hutan.
Jika mencermati beberapa faktor penyebab kerusakan hutan tersebut diatas, itu artinya harus ada
beberapa hal yang diubah oleh pemerintah dalam mengelola hutan agar tetap lestari.
a. Membuka akses masyarakat terhadap lahan hutan seluas-luasnya;Sebagaimana telah terbukti bahwa dengan menutup akses masyarakat terhadap lahan hutan
ternyata tidak bisa membuat hutan kembali hijau malah kerusakan hutan yang terjadi semakin
parah lagi. Pemerintah harus lebih bijak lagi, biarkan masyarakat menjalnkan haknya untuk
mengelola hutan dengan kearifan budaya lokalnya, yang telah terbukti bisa membuat hutan
hijau dan lestari jauh sebelum banyaknya aturan mengenai pengelolaan hutan, karena
masyarakat di sekitar hutan lebih tahu bagaimana memperlakukan hutanya dari pada
pemerintah yang tidak pernah ke hutan.
b. mengganti undang-undang/kebijakan/aturan yang tidak mengakomodir aspirasi masyarakat;
c. lebih membuka ruang-ruang bagi masyarakat untuk dapat terlibat dalam membuat kebijakan,
perencanaan, dan pelaksanaan, serta pengawasan dalam bidang pembangunan hutan;
d. Sekarang ini masyarakat tidak pernah dilibatkan dalam membuat kebijakan, perencanaan, dan
pelaksanaan, serta pengawasan dalam bidang pembangunan hutan, sehingga program/kebijakan yang dihasilkan tidak pernah berpihak pada masyarakat dan bukan
berdasarkan kebutuhan masyarakat. Maka agar program/kebijakan yang dihasilkan berpihak
pada masyarakat dan berdasarkan kebutuhan masyarakat, pemerintah harus mau membuka
ruang bagi masyarakat untuk dapat terlibat dalam membuat kebijakan, perencanaan, dan
pelaksanaan, serta pengawasan dalam bidang pembangunan hutan, supaya tidak terjadi misscommunication antara pemerintah dan masyarakat dan dapat bekerja bersama-sama dalam
membangun hutan kembali sehingga hutan kita itu menjadi hijau kembali;
Demikian tulisan singkat sebagai refleksi dari aktivitas keseharian penulis sebagai petani
penggarap, mudah-mudahan tulisan ini bisa menggugah para pembaca tulisan ini juga pihak-pihak
terkait untuk lebih bisa mempertimbangkan keterkaitan antara masyarakat dan hutan dalan
membuat kebijakan, dan memberikan ruang pada masyarakat untuk terlibat dalam segala bentuk upaya kegiatan pengelolaan hutan dan lingkunganya serta pihak terkait bisa lebih baik dalam
menjalankan kebijakan yang ada, jangan hanya kebijakan itu dibuat untuk dilanggar.
7/16/2019 Sulitnya Mencari Keadilan
http://slidepdf.com/reader/full/sulitnya-mencari-keadilan 110/139
Suara Korban Kerusakan Lingkungan di Cekungan Bandung;
SULITNYA MERAIH KEADILAN96
KERUSAKAN HUTAN DAN KEMISKINAN MASYARAKAT
DESA SEKITAR HUTAN
Oleh: Mulyana28
erum Perhutani adalah perusahaan umum kehutanan negara, suatu usaha milik negara (BUMN)
yang berada dibawah Departemen Kehutanan. Perum Perhutani didirikan berdasarkan
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor15 Tahun 1972 yang telah diganti dengan Peraturan
Pemerintah Nomor 36 Tahun 1986.
Wilayah kerja Perum Perhutani meliputi seluruh kawasan hutan pulau Jawa dan Madura, kecuali
hutan di Daerah Istimewa Yogyakarta, dengan luas kawasan hutan sekitar 3juta hektar, yang tersebar
di unit I Jawa Tengah, Unit II Jawa Timur,dan Unit III Jawa Barat. Perhutani ditugasi untuk
mengelola hutan produksi, menjaga hutan lindung juga menjaga ekosistem.
Visi Perum Perhutani adalah mengelola sumberdaya hutan sebagai ekosistem di pulau jawa secara
adil, demokratis, efisien dan profesional guna menjamin keberlanjutan fungsi dan manfaatnya untuk
kesejahteraan masyarakat. Sedangkan Misi Perum Perhutani adalah:
a. Melestarikan dan meningkatan mutu sumberdaya hutan dan mutu lingkungan hidup.
Menyelenggarakan usaha di bidang kehutanan, berupa barang dan jasa guna memupuk
keuntungan perusahaan dan memenuhi hajat hidup orang banyak
b. Mengelola hutan sebagai ekosistem secara partisipatif sesuai dengan karakteristik wilayah
untuk mendapatkan manfaat yang optimal bagi perusahaan dan masyarakat
c. Memberdayakan sumberdaya manusia melalui lembaga perekonomian masyarakat untuk
mencapai kesejahtraan dan kemandirian.
Kawasan hutan yang dikelola dan diusahakan Perhutani terletak berbatasan dengan kurang lebih 6.172
desa, dengan jumlah penduduk yang tinggal di desa-desa sekitar hutan menggantungkan hidupnya
pada sumber daya hutan
Sudah dari jaman dahulu, sebelum hutan diambil alih oleh Perhutani, secara turun temurun
masyarakat sekitar hutan sudah menggarap lahan hutan. Penduduk membuka ladang, menebang kayu
perkakas, mengambil kayu bakar serta mengumpulkan rumput/daun pakan ternak yang dilakukan
secara lestari dan menjaga keberadaan hutannya
Menurut Undang-Undang Dasar tahun 1945 Pasal 33 ayat 3, disebutkan bahwa ”Bumi, air dankekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh Negara dan di manfaatkan untuk sebesar-
besarnya kemakmuran rakyat ”. Dikuasai bukan berarti dimiliki, tapi dikuasai pembagiannya. Hutandikuasai oleh Negara,dan diwakili oleh Pemerintah dan kepanjangannya adalah BUMN antara lain
Perum Perhutani di pulau Jawa, dimana ada amanat untuk kemakmuran rakyat. Jadi Perhutani
mengemban amanat dan wajib mengelola hutan untuk kemakmuran rakyat. Hal ini dikarenakan
lembaga yang mendapat mandat untuk menegakan keadilan dan kesejahtraan masyarakat sekitar hutan
adalah Perhutani.
Kesesehjahtraan masyarakat menjadi tujuan utama dalam mengelola sumber daya hutan disamping
tujuan meningkatkan produktivitas lahan dan menjaga kelestarian hidup. Hal ini sejalan dengan UUD
28 Penulis adalah petani penggarap di Kampung Cikoneng Desa Cileunyi Kulon Kecamatan Cileunyi. Aktif sebagai di Forum Manglayang dan pegiat di Koalisi Komunitas Korban Lingkungan Cekungan Bandung dan Pusat Sumber Daya
Komunitas (PSDK)
7/16/2019 Sulitnya Mencari Keadilan
http://slidepdf.com/reader/full/sulitnya-mencari-keadilan 111/139
Suara Korban Kerusakan Lingkungan di Cekungan Bandung;
SULITNYA MERAIH KEADILAN97
45 pasal 33 bahwa dalam pengelolaan sumber daya hutan haruslah memberikan manfaat sebesar-
besarnya bagi kemakmuran rakyat.
Perusahaan hutan seperti Perhutani mempunyai tugas khusus selain memberi keuntungan kepada
Negara. Tugas khusus tersebut berkaitan dengan memberi peluang kerja dan berusaha kepada
penduduk miskin, kurang lahan dan yang bergantung kepada lahan hutan serta menjaga keseimbangan
air tanah dan lingkungan secara umum. Tugas khusus tersebut sesuai dengan Pasal 2 Undang-Undang
Poko Agraria Tahun 1960 dimana negara berhak mengatur peruntukkan, penggunaan, persediaan dan
pemeliharaan lahan pertanian bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Peningkatan kesejahteraan
masyarakat bukan satu-satunya menjadi tanggung jawab pihak Perhutani, tetapi secara perinsip
menjadi tanggung jawab semua komponen bangsa yang harus bisa ikut meningkatkan kesejahtraan
masyarakat desa yang tinggal di sekitar kawasan hutan.
Perhutani merupakan salah satu lembaga BUMN yang yang didirikan oleh orde baru dimana orde
baru ini adalah orde yang merampas hak-hak rakyat serta menyelewengkan UUD 45. Perhutani
bukannya menjalankan hak dan kewajibannya untuk meningkatkan kesehjahtraan masyarakat, malah
menjadi salah satu penyebab kemiskinan masyarakat sekitar hutan. Perhutani bukannya menjalankan
apa yang diamanatkan oleh UUD pasal 33 dan UUPA pasal 2 tahun 1960, justru menjadi salah satulembaga yang menyelewengkan undang-undang tersebut. Perhutani bukannya menyediakan lahan
pertanian bagi masyarakat sekitar hutan, justru Perhutani-lah yang mengusir masyarakat dari hutan
dan melarang masyarakat masuk kedalam kawasan hutan.
Instrumen hukum UU No.5 tahun 1967 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kehutanan yunto
Pengurus Pusat No.28 tahun 1985 Tentang Perlindungan Hutan dalam Pasal 9 Pengurus Pusat No.28
Tahun 1985 ditegaskan:
a. Selain dari petugas-petugas hutan atau kepentingannya dibenarkan berada di dalam kawasan
hutan, siapapun dilarang membawa alat-alat yang lajim digunakan untuk memotong,
menebang dan membelah pohon di dalam kawasan hutan.
b. Setiap orang dilarang melakukan penebangan pohon-pohon dalam hutan tampa ijin dari
pejabat yang berwenang.c. Setiap orang dilarang mengambil/memungut hasil hutan lainnya tampa ijin dari pejabat yang
berwenang.
Hal diatas merupakan ekspresi dari hukum yang bersifat represif yang dicirikan dengan penggunaan
pendekatan sekuriti, menekan sanksi-sanksi dan mengedepankan tampilnya petugas-petugas polisi
khusus kehutanan untuk membatasi atau bahkan menggusur akses sumber daya masyarakat sekitar
hutan. Konsekuensi yuridis yang muncul kemudian adalah setiap penduduk desa yang mengakses,
memanfaatkan dan menggunakan sumber daya hutan untuk kebutuhan hidup, dikualifikasi atau
stigmatisasi sebagai pelanggar hukum, perambah hutan, penjarah hasil hutan, peladang liar, pencuri
kayu, perusuh keamanan hutan, perumput liar, pengembala liar,dll. Stigma seperti ini lebih merupakan
kreasi ideologi dari suatu bingkai budaya kontrol terhadap sumberdaya hutan.(Peluso1992).
Manajemen konvesional yang dilaksanakan oleh Perhutani sejak awal pendiriannya tanpa disadari
telah menciptakan aparat yang cenderung otoriter atau setidak-tidaknya paternalistik terhadap
masyarakat pedesaan. Model pengelolaan dan pengusahaan hutan warisan jaman Belanda yang
menekankan pendekatan keamanan tanpa disadari telah menempatkan Perhutani berdiri di luar
masyarakat. Selain itu eksistensi perusahaan menjadi ekslusif dimata petani dan pamong desa karena
memiliki kekuasaan untuk memonopoli kawasan hutan di Jawa. Perhutani merasa menjadi pihak
paling penting dalam konservasi kawasan hutan serta merasa paling berjasa dalam penyediaan
pendapatan/devisa negara. Oleh karena itu Perhutani menjadi terlalu percaya diri, tinggi harga diri dan
semakin menjadi eksklusif dikalangan masyarakat desa.(Sunito,1996).
Seolah-olah Perhutani adalah penguasa tunggal hutan di Jawa dan terjadilah konflik di mana-mana
antara masyarakat sekitar hutan dan Perhutani.
7/16/2019 Sulitnya Mencari Keadilan
http://slidepdf.com/reader/full/sulitnya-mencari-keadilan 112/139
Suara Korban Kerusakan Lingkungan di Cekungan Bandung;
SULITNYA MERAIH KEADILAN98
Praktek Pengelolaan Hutan Oleh Perhutani
Apakah selama ini Perhutani sudah menjalankan Hak dan Kewajibannya sebagai Perusahaan Umum
Milik Negara dan kepanjangan tangan Pemerintah,untuk mengelola kelestarian hutan dan membantu
mensejahterakan masyarakat sekitar hutan?
Jawabannya: TIDAK.
Mayarakat yang berada di dalam kawasan hutan sekarang ini kehidupannya paling terbelakang.
Padahal disekitar mereka tinggal ada sumber daya alam hutan yang bertugas menyumbang
kesejahteraan masyarakat. Sebagian mereka miskin dan sangatlah ironis, jika kemiskinan terjadi
merata di desa-desa sekitar hutan.
Apabila kita amati dan cermati, kemiskinan masyarakat yang berada di sekitar hutan muncul setelah
Perhutani masuk ke dalam kawasan hutan dan mengambil alih pengelolaan hutan. Padahal sudah dari
dulu masyarakat sekitar hutan menggantungkan hidupnya pada lahan hutan dengan cara menanam
palawija, seperti padi gogo/huma, kentang, jagung, bawang merah dan lain-lain untuk memenuhi
kebutuhan hidup sehari-hari. Masyarakat sekitar hutan belum pernah mengalami krisis rawan pangankarena hutan sudah memberikan kebutuhan-kebutuhan masyarakat sekitar hutan. Tetapi setelah
perhutani masuk ke dalam kawasan hutan,terjadilah rawan pangan dan kelaparan di masyarakat desa
sekitar hutan.
Jika ditelusuri sejarahnya, sebelum menjadi Perum Perhutani, intitusi yang diberi wewenang
mengelola dan mengusahakan hutan di Jawa bernama Perusahaan Kehutanan Negara Jawa Timur
(berdasarkan pengurus pusat No.18 tahun 1961) dan Perusahaan Kehutanan Negara Jawa Tengah
(berdasarkan pengurus pusat No.19 tahun1961). Kemudian dengan pengurus pusat No.15 tahun 1972
Perusahaan Kehutanan Negara berganti menjadi Perum Perhutani yang memiliki dua unit produksi,
yaitu Perum Perhutani Unit I Jawa Tengah dan Perum Perhutani Unit II Jawa Timur. Dalam
perkembangan selanjutnya, unit produksi Perum Perhutani ditambah dengan Perum Perhutani Unit III
Jawa Barat berdasarkan Peraturan Pemerintah No.2 tahun 1978 yunto peraturan pemerintah No.36tahun 1986.
Jawa Barat mempunyai kawasan hutan seluas 816.603 hektar. Kabupaten bandung berada di wilayah
Jawa Barat memiliki luas hutan sekitar 88.030,16 hektar mengelilingi sekitar 440 desa dengan luas
wilayah 4.074 km persegi. Mayoritas masyarakat yang berada di sekitar hutan adalah petani.
Kebutuhan hidup sehari-hari bergantung pada lahan petanian. Ada yang bertani palawija dan ada yang
bertani padi. Kehidupan masyarakat desa selalu berhubungan dengan hutan.
Lahan pertanian yang berada di Jawa Barat, khususnya di Kabupaten Bandung sangatlah sempit. Oleh
kerena itu, masyarakat yang berada di sekitar hutan memanfaatkan lahan hutan untuk bercocok tanam
dan itu sudah berlangsung sejak jaman dahulu. Selain bercocok tanam juga bertujuan untuk menjaga
kelestarian hutanya dan terbukti hutan yang dikelola oleh masyarakat tumbuh subur tanpa adakerusakan. Tetapi setelah hutan di ambil alih pengelolaannya oleh Perhutani, masyarakat dilarang
memanfaatkan lahan hutan karena masyarakat kita yang taat dengan pelaturan menuruti apa yang di
katakan mantri-mantri hutan. Dan apa yang terjadi setelah hutan di kelola oleh Perhutani hutan-hutan
yang berada di Kabupaten Bandung kondisinya sangat memprihatinkan, banyak yang gundul. Hal ini
disebabkan oleh kelakuan Perhutani yang menebang kayu secara habis-habisan tanpa ada penundaan.
Tahun 1998, Perhutani memperbolehkan lagi masyarakat sekitar hutan untuk menggarap lahan hutan
mulai membersihkan lahan hutan dari alang-alang dan mencangkul untuk menggemburkan tanah,
dengan cara bertumpang sari.dan itu berlangsung sampai tahun 2003. Pada tahun 2003 pemerintah
yang diwakili oleh Gubernur Jawa Barat waktu itu R. Nuriana mengeluarkan Surat Edaran
No.522/1224/Binprod dan surat itu keluar setelah kunjungan Komisi B dan Komisi F DPRD Provinsi
Jawa Barat tanggal 18 dan 19 Februari 2003 ke beberapa kawasan di Jawa Barat. Setelah terbitnya
7/16/2019 Sulitnya Mencari Keadilan
http://slidepdf.com/reader/full/sulitnya-mencari-keadilan 113/139
Suara Korban Kerusakan Lingkungan di Cekungan Bandung;
SULITNYA MERAIH KEADILAN99
surat edaran ini terjadi lagi pengusiran-pengusiran secara berutal oleh Perhutani. Banyak tanaman
petani yang belum dipanen kemudian dibabat habis bahkan ada petani yang melawan ditodong dengan
senjata. Dampak dari Surat Edaran No 522/2003 baru terasa pada tahun 2005. Terjadi peristiwa rawan
pangan di Kabupaten Bandung dan sangat disayangkan surat itu keluar setelah kunjungan para dewan.
Yang menjadi pertanyaan adalah kenapa lembaga yang mengatasnamakan rakyat yaitu DPRD
merekomendasikan kebijakan yang merugikan masyarakat desa sekitar hutan dan menyebabkan
kelaparan di masyarakat. Dengan adanya surat edaran tersebut menurut sumber dari LBH Bandung
bahwa surat edaran tersebut secara politik tidak ada kekuatan hukum dan sampai sekarang masih di
jadikan dasar oleh Perhutani untuk melarang masyarakat bertumpang sari. Pemerintah harus segera
mencabut surat edaran tersebut karena bertentangan dengan UUD 45 Pasal 33.
Pemerintah sudah tahu bahwa lahan pertanian yang ada di Jawa Barat sangat sempit, seharusnya
pemerintah menyediakan lahan pertanian untuk masyarakat yang tinggal di sekitar hutan. Pemerintah
seharusnya tahu masyarakat menggarap lahan hutan dalam keadaan hutan sudah rusak, gundul tetapi
mengapa pemeritah menyalahkan masyarakat dalam keruksakan hutan. Sudah jelas bahwa yang
merusak hutan bukan masyarakat tapi mengapa setiap ada kesalahan pemerintah masyarakatlah yang
jadi korbannya.
Kalau kita menelaah setiap perundang-undangan pasti ada kata-kata untuk kemakmuran rakyat atau
meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Tapi apa yang terjadi di masyarakat desa sekitar hutan,
mereka tambah miskin.dan kemiskinan mereka bukan disebabkan oleh takdir dan nasib, tapi
disebabkan kesalahan menajemen pemerintah.
Kemiskinan dan Kelaparan di Palintang Dampak Salah Urus Hutan Oleh Perhutani
Kampung Palintang, Desa Cipanjalu Kecamatan Cilengkrang berada di wilayah Bandung Timur kaki
Gunung Manglayang. Pekerjaan masyarakat Palintang 90% adalah bertani menggunakan lahan hutan
Gunung Manglayang untuk becocok tanam, menanam tanaman palawija seperti kentang, tomat,
bawang merah, cabe keriting, kol, wortol, jagung dan lain-lain.Hal itu berlangsung sejak dari dulu.Masyarakat Palintang mengandalkan hidupnya pada lahan hutan Gunung Manglayang. Tetapi bukan
masyarakat Palintang saja yang memanfaatkan hutan Gunung Manglayang, hampir semua masyarakat
yang berada di kawasan Manglayang menggunakannya. Setelah pemerintah mengeluarkan Surat
Edaran Nomor 522/2003, surat edaran tersebut dijadikan dasar oleh Pehutani untuk melarang
masyarakat Palintang menggarap di lahan hutan Gunung Manglayang tanpa ada pengganti lahan
untuk bertani. Masyarakat kemudian berhenti bertani karena tidak adanya lahan pertanian. Apabila
Perhutani mau mengacu kepada surat edaran tersebut, yang tidak diperbolehkan itu di kemiringan 40,
sementara di hutan Gunung Manglayang masih banyak di bawah kemiringan 40. Tapi tetap saja
Perhutani melarang masyarakat Palintang untuk bertumpang sari. Dan apa yang terjadi kemudian,
dampak dari surat edaran itu, terjadilah musibah kelaparan pada tahun 2006.
Setelah terjadi kelaparan, masyarakat diperbolehkan lagi untuk menggarap lahan hutan GunungManglayang dengan cara menanam pohon-pohon keras seperti kopi, nangka, alpukat, pisang dan
rumput gajah. Hal ini terjadi di semua wilayah hutan Gunung Manglayang. Tetapi sebagian
masyarakat yang sudah menanam pohon-pohon di hutan Gunung Malayang ada yang masih merasa
ketakutan apabila pohon-pohon yang mereka tanam sudah besar kemudian Perhutani mengusir lagi.
Oleh karena itu, harus di buat satu payung hukum untuk melindung petani penggarap hutan. Itu juga
kalau pemerintah masih ingin pempertahankan keberadaan Perhutani.
Tetapi alangkah baiknya pemerintah mengembalikan pengelolaan hutan seperti semula,yaitu kepada
masyarakat lokal yang sudah terbukti bisa menjaga kelestarian hutan. Waktu hutan masih dikelola
oleh masyarakat lokal, hutan tumbuh subur dan lestari, tidak pernah mendengar kekurangan pangan,
di musim kemarau tidak pernah kekurangan air serta tidak pernah terjadi longsor. Tetapi setelah
pengelolaan hutan dirampas dari masyarakat oleh Pehutani, apa yang terjadi kemudian? Hutan-hutan
7/16/2019 Sulitnya Mencari Keadilan
http://slidepdf.com/reader/full/sulitnya-mencari-keadilan 114/139
Suara Korban Kerusakan Lingkungan di Cekungan Bandung;
SULITNYA MERAIH KEADILAN100
banyak gundul, di musim hujan banyak hutan yang longsor ,banjir dimana-mana, di musim kemarau
sering terjadi krisis air serta sungai-sungai banyak yang kering.
Harus ada evaluasi tentang keberadaan Perum Perhutani. Karena walaupun sudah di reformasi di
tubuh Perhutani, tapi praktek-praktek di lapangan masih menggunakan gaya-gaya lama. Cara-cara di
lapangan masih menggunakan cara militer, masyarakat yang mengambil kayu untuk bahan bakar di
todong dengan senjata. Dan apabila aparatur Perhutani jalan-jalan ke sekitar rumah mereka, petugas
Perhutani me-longhok-longok ke kolong rumah penduduk untuk mencari kayu. Masyarakat dianggap
sebagai maling. Hal itu yang membuat antipati masyarakat sekitar hutan kepada aparat Perhutani.
Kenapa terjadi demikian? karena orang-orang yang direkrut menjadi aparat kehutanan tidak
memahami undang-undang yang ada. Bahkan visi dan misi yang dihasilkan dari lokakarya tahun
1998 di Yogyakarta tidak dijadikan pedoman oleh aparat-aparat Perhutani di tingkat lapangan. Dan
sudah terbukti yang menyebabkan kemiskinan di masyarakat desa sekitar hutan adalah Perhutani.
7/16/2019 Sulitnya Mencari Keadilan
http://slidepdf.com/reader/full/sulitnya-mencari-keadilan 115/139
Suara Korban Kerusakan Lingkungan di Cekungan Bandung;
SULITNYA MERAIH KEADILAN101
MEMBANGUN HUTAN
Oleh : Heri Ferdian29
PENYELENGGARAAN KEHUTANAN
Kehutanan adalah sistem pengurusan yang bersangkut paut dengan hutan, kawasan hutan dan hasil
hutan yang diselenggarakan secara terpadu. Hutan adalah suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan
lahan berisi sumber daya alam hayati yang didominasi pepohonan dalam persekutuan alam
lingkungannya, yang satu dengan lainnya tidak dapat dipisahkan.
Penyelenggaraan kehutanan berasaskan manfaat dan lestari, kerakyatan, keadilan, kebersamaan,
keterbukaan dan keterpaduan serta bertujuan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat, diantaranya
melalui :
1. Menjamin keberadaan hutan dengan luasan yang cukup dan sebaran yang proporsional;2. Mengoptimalkan aneka fungsi hutan yang meliputi fungsi konservasi, fungsi lindung dan
fungsi produksi untuk mencapai manfaat lingkungan, sosial, budaya dan ekonomi yang
seimbang dan lestari;
3. Meningkatkan daya dukung daerah aliran sungai;
4. Meningkatkan kemampuan untuk mengembangkan kapasitas dan keberdayaan masyarakat
secara partisipatif, berkeadilan dan berwawasan lingkungan sehingga mampu menciptakan
ketahanan sosial dan ekonomi serta ketahanan terhadap akibat perubahan eksternal; dan
menjamin distribusi manfaat yang berkeadilan dan berkelanjutan.
Itulah isi dari kutipan UU no 41 tahun 1999.
Subtansi yang semestinya menjadi kerangka acuan pengelolaan hutan selama ini dan sampai kapan
pun adalah bagaimana hutan khususnya dan sumber daya alam pada umumnya, harus tetap mengarah pada kemakmuran rakyat. Langkah yang selama ini dilakukan belum sepenuhnya bisa menumbuhkan
kesadaraan ditingkatan masyarakat. Bahwasanya hutan merupakan sesuatu hal yang harus dibangun,
itu dikarenakan menurunnya kualitas hutan, baik dari sisi pengelolaan dan pemeliharan kawasan hutan
serta dari sisi pengendalian dan penanggulangan kerusakan hutan.
Realisasi pemanfaatan hutan demi kemakmuran rakyat dengan pengertian lestari, kerakyatan,
keadilan, kebersamaan, keterbukaan dan keterpaduan akan sangat menyentuh apabila masyarakat
sekitar terutama penggarap lahan hutan menjadi pelaku utama dalam penataan dan pengelolaan hutan.
Hal ini dapat dilakukan dengan cara yang tidak mengabaikan aspek kelestarian ekosistem dan sumber
daya alam hayati yang ada dikawasan hutan. Lebih luas lagi memperhitungkan kemungkinan terkait
kondisi lingkungan hidup disepanjang DAS hulu dan hilir
Adapun bentuk keterlibatan yang mengikat tanggung jawab penggarap lahan hutan adalah kultur dan
filosofis budaya lokal serta keyakinan agama yang dianut mengarahkan pada pelestarian hutan dan
daya dukung air atas sumber mata air yang ada di kawasan hutan tersebut.
Penetapan status hutan dan pengaturan hukumnya merupakan batasan yang bertitik tolak pada
kepentingan nasional tanpa mengeliminasi suku dan budaya yang menjadi catatan sejarah dan pernah
berkembang di suatu wilayah dalam rangka menjunjung tinggi warisan leluhur berupa hutan, air dan
kekayaan alamnya. Disinilah peranan pemerintah yang semestinya mempertegas kawasan hutan yang
29 Penulis adalah petani penggarap pahan hutan di Desa Tarumajaya Kecamatan Kertasari dan aktif sebagai pegiat di
Koalisi Komunitas Korban Lingkungan (K3L) Cekungan Bandung dan Pusat Sumber Daya Komunitas (PSDK)
7/16/2019 Sulitnya Mencari Keadilan
http://slidepdf.com/reader/full/sulitnya-mencari-keadilan 116/139
Suara Korban Kerusakan Lingkungan di Cekungan Bandung;
SULITNYA MERAIH KEADILAN102
sudah ditetapkan berdasarkan aturan yang berlaku, sehingga ada kejelasan dan kriteria kawasan lahan
hutan yang dapat secara langsung dikelola dengan pola pelestarian yang bersifat ekonomis jangka
pendek, menengah dan jangka panjang yang dapat diterapkan oleh penggarap lahan hutan dari sisi
kultur tanaman kayu sebagai fungsi resapan air.
Wujud pemerintahan yang adil adalah bagaimana melakukan pendekatan terhadap masyarakat demi
tercipatnya kesadaran yang menyeluruh, melalui :
1. Penyadaran berbasis religius oleh pemuka agama di tingkatan lokal, regional bahkan nasional
sekalipun
2. Penyelarasan khasanah budaya lokal terhadap jalan kesinambungan tatakrama yang diakui
dan dihormati.
3. Kesetaraan persepsi tentang pelestarian hutan dan air dari berbagai unsur masyarakat dan
pemerintahan.
4. Keserasian aturan dengan harapan masyarakat sehingga dirasakan seimbang dengan kondisi
masyarakat setempat.
PERANAN NEGARA
Kewenangan negara untuk menguasai hutan dan yang terkandung didalamnya merupakan
akuntabilitas yang seakan-akan mutlak dan sentralitis sehingga spesifikasi kondisi lokal kerap
terabaikan. Hal ini mengakibatkan kemakmuran rakyat yang menjadi tujuan penyelenggaran
kehutanan belum tercapai secara menyeluruh, karena kemakmuran yang dimaksudkan belum tentu
sepenuhnya dapat dirasakan masyarakat sekitar hutan apalagi masyarakat secara umum.
Dengan terbitnya UU No 32 tahun 2004 tentang pemerintah daerah, mungkin ini merupakan salah
satu cara untuk menapis sentralisasi menjadi desentralisasi dengan adanya otonomi daerah Tetapi
permasalahannya apakah pemerintah provinsi dan kabupaten/kota konsisten untuk tidak
menyalahgunakan kewenangan yang telah dilimpahkan pemerintahan pusat tentang keberlanjutan
hutan dan sumber daya alam mulai dari sisi perizinan, pengelolaan, pengendalian dan pengawasannya.Mungkin tak ada salahnya apabila pemerintah pusat dan daerah bersama-sama melakukan evaluasi
terkait kinerja dan produk hukum yang telah dibuat, demi mengakomodir kepentingan nasional
dengan cara membuka lebar ruang publik untuk peran serta dan partisipasi masyarakat.
Untuk memperoleh manfaat yang optimal dari pengelolaan hutan bagi kesejahteraan seluruh
masyarakat secara adil dengan tetap menjaga kelestariannya merupakan tanggung jawab pengelola
lahan hutan yang mendapat izin usaha pemanfaatan kawasan hutan baik perorangan, koperasi, badan
usaha milik swasta Indonesia dan BUMN/BUMD, untuk tetap memperhatikan sistematika pelestarian
hutan yang menjadi aturan hukum. Diantaranya mengecualikan pemanfaatan dikawasan hutan cagar
alam, zona inti, dan zona rimba pada taman nasional.
Jenis-jenis pemanfaatan kawasan hutan yang berlaku menurut perundang-undangan sekarang yang berlaku diantaranya :
x Pemanfaatan hutan lindung dapat berupa pemanfaatan kawasan, pemanfaatan jasa lingkungan
dan pemungutan hasil hutan bukan kayu.
x Pemanfaatan hutan produksi pemanfaatan kawasan, pemanfaatan jasa lingkungan
pemanfaatan hasil hutan kayu dan bukan kayu serta pemungutan hasil hutan kayu dan bukan
kayu.
Namun persoalannya apakah mayarakat sekitar hutan terlibat disana dan mengetahui batas-batas dan
sistematika kawasan hutan yang ada? jawabannya tidak , mengapa? karena kesadaraan ditingkatan
masyarakat baru sampai tahapan pemanfaatan lahan dan melakukan pengelolaan menurut kemampuan
yang dimiliki. Artinya, ada kendala informasi yang kurang, sehingga pengelolaan yang dilakukan saatini masih sepihak-sepihak, contohnya antara Perhutani selaku BUMN dan penggarap lahan hutan
7/16/2019 Sulitnya Mencari Keadilan
http://slidepdf.com/reader/full/sulitnya-mencari-keadilan 117/139
Suara Korban Kerusakan Lingkungan di Cekungan Bandung;
SULITNYA MERAIH KEADILAN103
selaku masyarakat sekitar hutan masih berjalan sendiri-sendiri. Contoh kasus tersebut terjadi di
beberapa wilayah diantaranya: Gunung Wayang Kecamatan Kertasari, Gunung Gede Sukarame
Kecamatan Pacet, Gunung Guntur Kecamatan Ibun, Gunung Manglayang Cileunyi, Bukit Cirumamis
dan Cimarel Kecamatan Rongga.
Membangun hutan merupakan permasalahan yang harus ditangani bersama-sama. Jauh dari harapan
apabila diantara pelaku langsung yang berinteraksi dan melakukan aktivitas di hutan terus menerus
saling menyalahkan. Namun alangkah lebih vital lagi dari sisi perizinan. Bagaimana negara atau salah
satu fungsinya menteri yang memiliki kewenangan untuk memberikan pengaturan, pembinaan dan
pengembangan pengolahan hasil hutan yang bersifat tidak melebihi daya dukung hutan yang lestari.
Apapun bentuk perizinan, baik izin usaha atau pengelolaan merupakan bentuk peralihan yang harus
dipertanggungjawabkan menurut aturan hukum yang berlaku. Apa yang menjadi objek peralihan
merupakan kekayaan negara yang bertujuan untuk kesejahteraan rakyat yang sampai detik ini masih
dinantikan seluruh rakyat Indonesia. Namun tuntutan secara filosofis dari kemakmuran itu sendiri
adalah bagaimana kewajiban semua pihak melestarikan/memakmurkan apa yang terkandung
dikawasan hutan itu sendiri.
Pengelolaan kawasan hutan terbagi kedalam beberapa peruntukkan :
x Kepentingan masyarakat adat untuk perwujudan sejarah budaya lokal yang ada.
x Kepentingan lembaga pendidikan sebagai wahana edukasi dan pendekatan pemahaman siswa
akan pelestarian sumber daya alam dikawasan hutan.
x Kepentingan lembaga penelitian untuk melakukan riset serta kajian ilmiah tentang
keberlangsungan ekosistem, ekologi dan hayati yang terkadung dikawasan hutan.
x Kepentingan lembaga sosial dan keagamaan guna membudidayakan hutan dalam rangka
pelestrian yang berbasis kepentingan nasional.
Namun bahwasanya dilapangan itu belum terjadi, kenyataannya siapa saja baik perorangan, koperasi,
badan usaha milik swasta Indonesia dan BUMN/BUMD asalkan memiliki kedekatan dengan pemberi
izin atau lebih jelasnya pemerintah apa yang seharusnya tidak terjadi itu bisa saja terjadi. Salah satucontohnya pengadaan lahan untuk kepentingan penambangan yang jelas-jelas itu merugikan kawasan
hutan secara utuh apalagi itu dilakukan dikawasan hutan lindung, seperti halnya PT. Magma yang
berlokasi di Desa Margamukti Kecematan Pangalengan untuk kepentingan penambangan gas bumi.
Di kawasan tersebut terdapat sumber mata air Danau Aul yang bermuara ke sungai Ciseke yang
nantinya akan berpadu dengan Sungai Citarum di Desa Tarumajaya Kecamatan Kertasari.
Maka dalam permasalahan kerusakan hutan itu tidak bertitik pada satu pihak. Apalagi kenyataan itu
pernah dituduhkan kepada penggarap lahan hutan yang berada di beberapa wilayah di Cekungan
Bandung. Bahkan pada pertengahan tahun 2003 Gubernur Jawa Barat, R. Nuriana mengeluarkan SK
No.522 yang berisi tentang pelarangan tumpang sari dikawasan hutan lindung dan konservasi dengan
batas kemiringan 400. SK tersebut berdampak pada penurunan penggarap dari lahan hutan sehingga
kawasan hutan yang tadinya digarap masyarakat dibiarkan terlantar. Sedangkan masyarakat
penggarap diberikan pilihan dengan tiga program peralihan diantaranya meliputi:
x Alih profesi: ternak domba dengan kegiatan pembagian domba kepada mantan penggarap lahan
hutan, namun tidak sebanding dengan pengahasilan pertanian sehingga tak satupun penggarap yang
kompeten dibidang peternakan melainkan raib.
x Alih komoditi: tanaman keras yang memiliki nilai ekonomis, tidak dilakukan menyeluruh
dikawasan hutan yang terkantar. Karena tidak semua penggrap dilibatkan.
x Alih lokasi: ke kawasan lahan pertanian namun persolannya apakah warga setempat tidak
membutuhkan lahan pertaian tersebut.
Menteri selaku pemberi izin pinjam pakai penggunaan kawasan hutan untuk kepentingan
pertambangan diharapkan sebelumnya telah menguasai kondisi hutan yang akan dijadikan sasaran
7/16/2019 Sulitnya Mencari Keadilan
http://slidepdf.com/reader/full/sulitnya-mencari-keadilan 118/139
Suara Korban Kerusakan Lingkungan di Cekungan Bandung;
SULITNYA MERAIH KEADILAN104
pertambangan demi terjaminnya asas keadilan, pemerataan, dan lestari, maka izin usaha pemanfaatan
hutan dibatasi dengan mempertimbangkan aspek kelestarian hutan dan aspek kepastian usaha. Itu
dapat dilkukan melalui beberapa cara :
x Cross-check data dan fakta dilapangan
x Menampung aspirasi penggarap lahan hutan dalam sistematika pengelolaan hutan, serta
menjadikan masyarakat setempat dan masyarakat secara umum sebagai input demiterwujudnya kepentingan nasional atas pelestarian sumber daya alam.
POSISI PENGGARAP LAHAN HUTAN
Agar manfaat yang didapat bisa dirasakan optimal maka keterlibatan semua pihak merupakan
alternatif yang bisa diandalkan, dengan cara:
x Pemerintah memberikan perlindungan secara hukum yang dapat dipertanggungjawabkan
kepada penggarap lahan hutan yang melakukan upaya pengelolaan hutan dengan pola tanam
yang memperhatikan aspek pelestarian fungsi hutan sebagai resapan air.
x Pemerintah memberikan legitimasi tentang peranan penggarap lahan hutan di setiap periode
pemulihan/rehabilitasi hutan.
Selaku pemegang izin baik perorangan, koperasi, badan usaha milik swasta Indonesia dan
BUMN/BUMD sebagaimana diatur dalam Pasal 27 dan Pasal 29 UU no 41 Tahun 1999 berkewajiban
untuk menjaga, memelihara dan melestarikan hutan tempat usahanya. Ini bisa dilakukan dengan cara
memposisikan penggarap lahan hutan sebagaimana rekan yang diajak untuk turut serta dalam
beberapa proses terkait program atau kegiatan yang sifatnya memfungsikan kembali kawasan hutan
sebagaimana mestinya. Diharuskan adanya pelibatan kongkrit tentang partisipasi masyarakat dalam
proses perencanaan terkait porgram yang akan dijalankan. Dan ketika program tengah berjalan,
penggarap lahan hutan diberikan hak untuk mengkondisikan kelompok penggrap dan luasan lahan
yang menjadi sasaran penanaman. Ketika wilayah lahan hutan yang tengah digarap masyarakat telah
ditanami. Baru kemudian pihak Perhutani mengadakan musyawarah kembali guna menyikapi kondisi
lahan hutan yang dipandang kritis dan harus dilakukan rehabilitasi.
Rehabilitasi hutan dengan istilah reboisasi, penghijauan, pemeliharaan pengayaan tanaman atau
penerapan teknik konservasi tanah secara vegetatif dan sipil teknis pada lahan kritis dan tidak
produktif, dari pengamatan selama ini penggarap menyadari hak itu dan mulai mempraktekannya
dilahan garapannya. Walau ditingkatan penggarap sendiri tidak mengelak ketika ditemui mayoritas
penggarap melakukan pola tumpang sari sayuran namun meski seperti itu adanya para penggarap
lahan hutan menjalankan pula kaidah pelestarian kawasan hutan seperti yang diamanatkan peraturan
dan kebijakan yang ada. Contoh pola tersebut tengah dilakukan penggarap lahan hutan di Kawasan
Petak 71 dan petak-petak lainnya di kawasan Gunung Wayang Kertasari.
Kalau kita cermati bagaimana penggarap lahan hutan menunjukan kesadarannya tinggal begaimana
pemerintah sendiri memberikan dukungan yang kongkrit serta dapat segera dimplementasikan
menurut teknis penggrap sendiri sebagai pihak langsung dilapangan. Ditingkatan penggarap pun kini
tengah melakukan penilaian terhadap program reboisasi yang dilakukan pemerintah beserta jajaran
pihak pengelola. Hal yang disayangkan oleh penggarap yakni pola penanaman selalu dilakukan
menjelang musim kemarau sehingga tak ada hasil yang begitu signifikan. Apalah menanam sejuta
bahkan satu triliun pohon apabila hasilnya nihil, tapi meskipun hanya satu, sepuluh, dan seratus jika
itu terus tumbuh dan memberi keteduhan seperti adanya hutan, maka itulah yang diharapkan.
Membangun hutan dengan jalan reboisasi diharapkan bukan hanya simbolis dan proyek semata tapi
bagaimana itu menjadi salah satu bentuk solidarutas dan tanggungjawab atas rusaknya kawasan hutan.
Dampak terbesar dari itu adalah tuduhan bagi masyarakat sekitar hutan khususnya penggarap lahan
hutan yang kerap kali dijadikan tersangka atas kerusakan yang ada dan mereka selalu dipersalahkan.
7/16/2019 Sulitnya Mencari Keadilan
http://slidepdf.com/reader/full/sulitnya-mencari-keadilan 119/139
Suara Korban Kerusakan Lingkungan di Cekungan Bandung;
SULITNYA MERAIH KEADILAN105
Pertanyaan yang besar saat ini adalah apakah tak pernah ada kepercayaan pemerintah untuk secara
langsung menyentuh penggarap lahan hutan dalam melakukan rehabilitasi lahan hutan? Sangatlah
mungkin hutan bisa dibangun apabila pemerintah selaku pemangku kebijakan memiliki kemauan
mendukung partisipasi masyarakat yang terbangun selama ini. Hal itu merupakan satu-satunya cara
untuk mencapai pembangunan hutan salah satunya umumnya pembangunan di segala bidang yang
adil dan merata di segenap sisi dan aspek sosial yang ada demi tercapainya kemakmuran rakyat
dengan segala yang dimaksud atas kepentingan nasional itu sendiri.
Hampir di setiap peraturan yang ada selalu memuat tentang peran serta masyarakat. Sekarang ini
tinggal bagaimana pemerintah selaku pemegang izin pengelolaan hutan mengajak penggarap lahan
hutan untuk tidak lagi saling meragukan satu sama lain walaupun kenyataannya yang salah tetap harus
ditindak siapapun itu dan kebenaran harus tetap ditegakkan apa pun konsekuensinya.
PERSEPSI KOMUNITAS LOKAL
Kreatifitas penggarap yang sadar akan pelestarian hutan lebih jauhnya lagi lingkungan hidup butuh
perhatian khusus dari pemerintah apalagi jika mengejar target kebijakan pencapaian (45%) kawasanlindung dan ruang kawasan budi daya (55%) dari seluruh luas Jawa Barat yang meliputi kawasan
hutan dan non hutan. Atas kesepakatan Gubernur dan Bupati/Walikota tentang sinergitas
penyelenggaraan dan pembangunan di Jawabarat tahun 2004-2008, kesadaran masyarakatlah yang
harus ditingkatkan.
Untuk rencana penetapan kawasan lindung dan kawasan budi daya, maka proporsi penggunaan lahan
yaitu:
1. Kawasan Lindung, seluas 1.656.414 Ha (45%)
a. Kawasan hutan konservasi : 110.976 Ha (3%)
b. Kawasan hutan lindung : 590.860 Ha (16%)
c. Areal non hutan : 854.578 Ha (26%)
2. Kawasan Budidaya, seluas 2.043.773 Ha (55%)
a. Kawasan hutan produksi : 102.942 Ha (3%)
b. Areal non hutan : 1.940.831 Ha (52%)
7/16/2019 Sulitnya Mencari Keadilan
http://slidepdf.com/reader/full/sulitnya-mencari-keadilan 120/139
Suara Korban Kerusakan Lingkungan di Cekungan Bandung;
SULITNYA MERAIH KEADILAN106
DERITA PETANI LAHAN HUTAN
Oleh: Khadafi30
A. DERITA PETANI
Indonesia merupakan negara kaya akan sumber daya alam, begitu melimpahnya kekayaan negara yang
kita cintai ini baik kekayaan darat maupun laut. Melihat kekayaan sumber daya alam yang dimiliki
negara kita ironi kalau sampai terjadi kemiskinan apalagi kelaparan. Seiring dengan perkembangan
jaman yang semakin maningkatnya jumlah populasi manusia, ini mengakibatkan keterbatasan lahan
pertanian yang dimiliki para petani, maka hutanlah yang menjadi pilihan utama untuk lahan pertanian.
Ketergantungan masyarakat sekitar hutan akan lahan pertanian sangatlah besar karena kehidupan
masyarakat sekitar hutan adalah bertani (bercocok tanam).
Bagi kalangan petani lahan hutan, Impian “ Habis Gelap Terbitlah Terang ” Tidak lebih dari suarayang masuk telinga kanan dan keluar melalui telinga kiri. Mimpi untuk mengubah Nasib, belum
kunjung datang, sudah disibukan dengan keberadaannya yang semakin memilukan. Betapa tidak,
belum usai masalah yang dihadapi menyangkut nasibnya dan memperbaiki hidupnya untuk lebih serba
mancukupi, persoalan baru datang harus turun dari lahan hutan (SK Gubernur Jabar No. 522 Tahun
2003). Karena petani lahan hutan dianggap sebagai penyebab utama kerusakan lingkungan, apalagi
erosi dan banjir. SK Gubernur sendiri menjadi momok bagi kalangan petani lahan hutan. Dampak dari
keluar SK No. 522 ini banyak dari kalangan petani yang menjadi pengangguran, kemiskinan, dan yang
lebih parahnya kriminalisme dengan banyaknya yang menjadi pencuri. Sementara turunnya SK No.
522 Tahun 2003 ini tidak dibarengi dengan solusi yang bisa menjadi pengganti kehidupan bagi para
petani.
Terlalu naïf untuk mengatakan bahwa inilah kenyataan yang sudah digariskan (takdir) pada petanilahan hutan. Padahal pemerintahan orde baru sudah lewat, yang selalu menempatkan masalah dan
kepentingan petani sebagai masalah kecil demi membangun struktur ekonomi untuk kaum feodalisme
dan imperialisme. Kita kutip pidato Bung Karno pada 17 Agustus 1960 yang berjudul ” Jalan revolusi
kita” Untuk membangun Indonesia yang demokratis itu merupakan syarat pertama yang mutlak, demi
menghilangkan feodalisme dan imperealisme. Ini Reformasi yang seharusnya para petani lebih tenang
untuk hidup, tak perlu dikejar kejar karena petani bukanlah PKI, sekelompok anti pembangunan atau
yang kita kenal dengan DI/TII, petani hanya ingin melangsungkan hidupnya dan keluarganya demi
hidup yang enih sejahtera.
Sebagaimana manusia lainnya, petani dan keluarganya berhak atas hidup, sebagaimana dijamin dalam
dalam UUD pasal 28a tentang hak asasi manusia, (setiap orang berhak untuk hidup serta berhak
mempertahankan hidup dan kehidupannya) maka petani berhak untuk membangun keluarga secara pantas dan menentukan kehidupan yang layak, serta menjaga dan mengembangkannya menurut apa
yang dikehendakinya sesuasi dengan tuntutan kemanusiaan yang adil dan beradab. Petani dan
keluarganya juga berhak akan pendapatan yang cukup untuk menopang kebutuhannya yang tak lepas
dari UUD 1945.
Petani dan keluarganya berhak akan tanah untuk tempat tinggal yang memadai dari lingkungan yang
sehat, budaya, pekerjaan, dan kepantasan bermasyarakat. Terutama petani dan keluarganya berhak
akan perlindungan hukum atas lahan pertanian dan tempat tinggalnya serta sumber-sumber alam dan
30 Penulis adalah warga kampung Sukasari Desa Cibeureum Kecamatan Kertasari Kabupaten Bandung. Penulis aktif
melakukan upaya reboisasi di lahan hutan, Pegiat di KPA WANAPASA, Radio Komunitas Citra, Koalisi Komunitas Korban Lingkungan dan Pusat Sumber Daya Komunitas (PSDK)
7/16/2019 Sulitnya Mencari Keadilan
http://slidepdf.com/reader/full/sulitnya-mencari-keadilan 121/139
Suara Korban Kerusakan Lingkungan di Cekungan Bandung;
SULITNYA MERAIH KEADILAN107
keanekaragaman hayati tanpa ada feodalisme dan imperialisme termasuk pembangunan yang tidak
berbasis masyarakat.
Persoalan-persoalan ini berawal dari paradigma pengelolaan terhadap hutan yang tidak
memperhatikan dampak terhadap sosial (masyarakat sekitar hutan) dan lingkungan. Paradigma
pengelolaan hutan yang berorientasi pada eksploitasi, kenapa tidak? Penguasaan lahan dikuasai oleh
pemegang HPH selain itu juga dalam skala sangat besar hutan yang awalnya berstatus hutan lindung
atau konservasi menjadi hutan produksi karena pohon pohon yang ditanam dilahan tersebut pohon
pohon yang biasa diproduksi.
Kehidupan para petani seperti risalah Soekarno yang berjudul “Mentjapai Indonesia Merdeka”
Beliau berkata kita bergerak karena ingin hidup lebih layak dan sempurna, kita bergerak karena ingin
perbaikan nasib. Perbaikan nasib ini hanya bisa datang ketika ditubuh masyarakat (warga negara)
sudah tidak ada feodalisme dan imperealisme. Feodalisme dan imperealisme sekarang ini seakan akan
ditumbuh kembangkan untuk dijadikan jalur ekonomi para pemangku kebijakan, apapun yang jadi
konsekuensi tehadap rakyat bukanlah sebuh masalah, karena masyarakat bukanlah jalur yang tepat
untuk dijadikan patner pertumbuhan ekonominya.
B. UPAYA PENYELESAIAN
Sejauh ini sudah ada upaya untuk menyelesaikan permasalahan agar petani tidak lagi menanam sayur
mayur dilahan hutan, yaitu program Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat (PHBM). Bentuk
kegiatannya TIGA (3) OPSI!
1. Alih Komoditi
a. Murbei;
Dimana kegiatan yang pertama sampai ke masyarakat ALIH KOMUDITI dengan menanam MURBEI,
namun sayang ini tidak menjawab permasalahan yang ada di lahan hutan dan hanya menghambur hamburkan anggaran. Karena kebanyakan petani tidak tahu bagaimana perawatan dan pemasarannya,
yang akhirnya murbai yang sudah di tanam dan hampir panen dibiarkan karena tidak tahu harus di
kemanakan.
b. Kopi;
Para petani dituntut untuk menanam kopi sebagai pengganti sayur mayur. Namun pendistribusiannya
tidak jelas, ada yang diberikan secara cuma cuma dan ada juga diantara petani yang harus membeli.
Sudah barang tentu Petani juga merasa keberatan kalau harus langsung alih komoditi dari sayuran
menjadi kopi. Kerena untuk panen kopi petani harus menunggu selama tiga tahun.
3. Alih Profesi
Sementara untuk alih profesi para petani lahan hutan pernah mendapatkan bantuan ternak domba,
meski tidak merata dan tidak sesuai dengan apa yang diharapkan. Ini juga tidak menjawab
permasalahan karena untuk alih profesi dari petani menjadi peternak bukan hal yang semudah
membalikan telapak tangan.
4. Alih Lokasi
Untuk alih lokasi sejauh ini masyarakat sekitar hutan tidak menerima kalau seandainya harus pindah
dari tempat tinggalnya.
Sejauh ini program tersebut masih belum bisa dirasakan masyarakat khususnya petani lahan hutan. Ini
bukan berarti program yang dibuat pemerintah tidak baik. Tapi walaupun program itu baik, apabila
7/16/2019 Sulitnya Mencari Keadilan
http://slidepdf.com/reader/full/sulitnya-mencari-keadilan 122/139
Suara Korban Kerusakan Lingkungan di Cekungan Bandung;
SULITNYA MERAIH KEADILAN108
tidak disertai mekanisme dan inplementasi yang tepat, terukur dan realistis maka program itu tidak
akan memberikan dampak yang baik, misal :
Pengelolaan hutan tidak hanya berisi wewenang untuk pemanfaatannya saja, tetapi harus ada
keterlibatan masyarakat sebagai pemberdayaan. Memberdayakan masyarakat adalah upaya
peningkatan harkat dan martabat lapisan (stratifikasi) masyarakat dalam kondisi yang seperti sekarang
ini yaitu kemiskinan dan keterbelakangan, ini demi menuju kemandirian dalam masyarakat. Sebagai
contoh paradigma berbagai dana, sarana dan prasarana yang dialokasikan untuk masyarakat harus
ditempatkan sebagai peningkatan sumber daya masyarakat (capacity building ). Sementara konsep
pemberdayaan masyarakat ialah: Masyarakat tidak dijadikan objek dari berbagai projek
pembangunan, tetapi juga sebagai Subjek dari upaya pembangunan.
Kenapa signifikan peran serta masyarakat? Suatu proses yang melibatkan masyarakat, umum dikenal
peran serta! Didefinisikan sebagai alat komunikasi dan informasi dua arah yang sustainability(berkesinambungan). Tujuannya untuk lebih mengetahui kebutuhan, harapan, transparansi dan
konsekuensi yang nantinya dituangkan dalam suatu konsep para pemangku kebijakan termasuk
penegakan hukum. Bukankah selama 32 Tahun Indonesia mempunyai cita-cita menjadi negara yang
demokratis sehabis masa Orde Baru yang otoriter?
Terkait dengan lahan kritis yang terjadi di lahan hutan, itu sangat tidak wajar karena telah ada berbagai
perangkat hukum yang seharusnya dapat ditegakan untuk menjamin tidak terjadinya lahan kritis.
Namun peraturan peraturan itu tidak berjalan secara efektif, berbagai prosedur dan mekanisme yang
telah digariskan oleh perundang undangan tidak berjalan. Ini membuktikan bahwa perangkat hukum
tidak melibatkan dan ketidak berpihakan kepada masyarakat, apalagi masyarakat kecil. Sangat ironi,
ketika Indonesia di mata luar negeri yang sangatlah kaya dengan sumber daya alam tetapi rakyatnya
masih meringis kelaparan dan keterbelakangan.
Sebagai contoh Undang Undang Dasar Republik Indonesia dan aturan yang lainnya. Pasal 33 ayat 3
UUD 1945 tentang pokok Agraria (sumber daya alam) menyebutkan:
“ bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai Negara dan dipergunakan
sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat”.
REGULASI
UU NO. 41 TAHUN 1999 TENTANG KEHUTANAN
BAB X
PERAN SERTA MASYARAKAT
Pasal 68
(1) Masyarakat berhak menikmati kualitas lingkungan hidup yang dihasilkan hutan.
(2) Selain hak sebagaimana dimaksud pada ayat (1), masyarakat dapat:
a. memanfaatkan hutan dan hasil hutan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang
berlaku;
b. mengetahui rencana peruntukan hutan, pemanfaatan hasil hutan, dan informasi kehutanan;c. memberi informasi, saran, serta pertimbangan dalam pembangunan kehutanan; dan
d. melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan pembangunan kehutanan baik langsung maupun
tidak langsung.
(3) Masyarakat di dalam dan di sekitar hutan berhak memperoleh kompensasi karena hilangnya akses
dengan hutan sekitarnya sebagai lapangan kerja untuk memenuhi kebutuhan hidupnya akibat
penetapan kawasan hutan, sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
(4) Setiap orang berhak memperoleh kompensasi karena hilangnya hak atas tanah miliknya sebagai
akibat dari adanya penetapan kawasan hutan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan yang berlaku.
Pasal 69
(1) Masyarakat berkewajiban untuk ikut serta memelihara dan menjaga kawasan hutan dari gangguan
7/16/2019 Sulitnya Mencari Keadilan
http://slidepdf.com/reader/full/sulitnya-mencari-keadilan 123/139
Suara Korban Kerusakan Lingkungan di Cekungan Bandung;
SULITNYA MERAIH KEADILAN109
dan perusakan.
(2) Dalam melaksanakan rehabilitasi hutan, masyarakat dapat meminta pendampingan, pelayanan, dan
dukungan kepada lembaga swadaya masyarakat, pihak lain, atau Pemerintah.
Pasal 70
(1) Masyarakat turut berperan serta dalam pembangunan di bidang kehutanan.
(2) Pemerintah wajib mendorong peran serta masyarakat melalui berbagai kegiatan di bidang
kehutanan yang berdaya guna dan berhasil guna.
(3) Dalam rangka meningkatkan peran serta masyarakat Pemerintah dan Pemerintah Daerah dapat
dibantu oleh forum pemerhati kehutanan.
Isi pasal pasal ini mengatakan bahwa pemanfaatan sumber daya alam sudah seharusnya ditujukan
untuk kepentingan masyarakat banyak pada umumnya. Undang-undang dan aturan yang lainnya ini
mengedepankan peran serta masyarakat dalam pengelolaan hutan dan bisa memanfaatkannya. Namun
kenyataannya sejauh ini peran serta masyarakat dalam pengelolaan hutan tidak dilibatkan sesuai
dengan isi undang-undang dan apa yang dicita-citakan masyarakat.
Dengan mekanisme yang sesuai dengan UUD dan aturan yang lainnya seharusnya tidak akan terjadiadanya lahan kritis, sebab setiap kali terjadi lahan kritis maka telah jelas apa yang harus dilakukan.
Sekarang yang jadi pertanyaan mengapa aturan hukum yang telah dibuat itu gagal?
Dalam ilmu hukum dikenal adanya syarat keberlakuan hukum. Ada tiga syarat supaya hukum itu bisa
berlaku di masyarakat, yaitu:
x Syarat yuridis;
Setiap peraturan hukum harus dibuat berdasarkan aturan yang sesuai dengan perundang-
undangan yang ada.
x Syarat sosiologis;
Setiap warga negara sebagai keberlakuan hukum, memiliki sumber penghidupan yang layak,supaya tidak mengganggu hutan. Sebagai contoh pelarangan tumpang sari, itu tidak akan
berlaku secara efektif apabila para petani lahan kritis tidak difasilitasi untuk bisa
melangsungkan hidupnya tanpa mengganggu hutan.
x Syarat filosofis;
Setiap aturan hukum akan berlaku apabila aturan hukum yang dibuat sesuai dengan apa yang
dicita citakan masyarakat (tanggung jawab dan kebutuhannya). Misalkan peran serta
masyarakat dalam pembangunan atau dalam pengelolaan hutan itu dilakukan bersama
masyarakat. Maka aturan hukum akan berlaku dan dapat diterima oleh semua masyarakat
apabila sesuai dengan ketiga syarat tersebut.
Ketiga syarat tersebut harus menjadi landasan Majelis Konstitusi (MK) Presiden Anggota DPR/DPRD
dan para pemangku kebijakan yang lainnya ketika pembuatan undang-undang atau perangkat hukum
yang lainnya. Proses penyusunan pelbagai kebijakan, peraturan perundang undangan dan
implementasinya haruslah dijalankan secara demokratis. Persoalan ini tidak akan lepas dari peran serta
masyarakat petani. Bahkan menurut pemikiran Jacques Rousseau (masyarakatlah yang dapat membuat aturan yang sesuai dengan kepentingannya).
Sebab peran serta masyarakat petani dimaksimalkan melalui berbagai cara dan di berbagai tingkatan,
bukan hanya dalam pemilihan partai saja serta pemilihan umum. Sudah seharusnya Demokrasi
diperluas ke tempat tempat dimana ia berada, harus menjadi pemberantasan foedalisme dominasi
imperialisme di daerahnya masing-masing. Bahkan para feodalisme sekarang mencari legitimasi
melalui pemangku kebijakan yang menguntungkan bagi kapitalis kapitalis.
7/16/2019 Sulitnya Mencari Keadilan
http://slidepdf.com/reader/full/sulitnya-mencari-keadilan 124/139
Suara Korban Kerusakan Lingkungan di Cekungan Bandung;
SULITNYA MERAIH KEADILAN110
Dengan demikian persoalan persoalan antara kebijakan dan implementasi tetap berbasis pada warga
negara pada umumnya, dan masyarakat para petani lahan hutan pada khususnya. Sekarang tinggal
bagaimana pemerintah dari tingkat yang paling tinggi sampai tingkat bawah bisa memberikan
keleluasan kepada masyarakat.
Pemanfaatan sumber daya alam (hutan) yang dilakukan tiga elemen antara pemerintah pemangku
kebijakan, Perhutani dan masyarakat yang mencari kehidupan dari lahan hutan. juga menimbulkan
konflik, persoalan persoalan ini berawal dari paradigma pengelolaan terhadap hutan yang tidak
memperhatikan dampak terhadap sosial (masyarakat sekitar hutan) dan lingkungan. Paradigma
pengelolaan SDA yang berorientasi pada eksploitasi, kenapa tidak? Penguasaan SDA dikuasai dan
dikelola oleh peruasahaan negara, swasta nasional dan pihak asing. Selain itu juga dalam skala sangat
besar hutan yang awalnya berstatus hutan lindung atau konservasi menjadi hutan produksi karena
pohon-pohon yang ditanam dilahan tersebut pohon pohon yang biasa diproduksi.
Pada awalnya program Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat merupakan jawaban dari persoalan
terjadinya lahan kritis, namun sayangnya kegiatan kegiatan yang disuguhkan tidah sesuai dengan apa
yang diharapkan. Impian untuk terus bisa bertani menjadi harapan yang sangat besar bagi masyarakat
sekitar hutan, karena sumber pendapatan yang bisa mempertahankan kehidupannya dan dapatmemenuhi kebutuhan keluarganya hanyalah bercocok tanam (pertanian).
Saat ini belum adanya kebijakan yang menjamin maryarakat untuk pengelolaan sumber daya alam.
Karena selama ini SDA di Kab. Bandung sebagian besar di kuasai dan dikelola oleh perusahaan
negara, swasta nasional bahkan pihak asing. Akibat salah penerapan kebijakan, masyarakat sekitar
hutan tersisihkan. Maka alternatif masyarakat sekitar hutan adalah dengan menggarap lahan hutan.
Ini menjadi bahan evaluasi bagi pemerintah, bagaimana reforma agraria dijalankan untuk menjadikan
tatanan negara ini lebih baik, salah satunya memperbaiki tatanen, tatanian (pertanian). Karena negara
ini negara agraris maka menjadi penting perbaikan struktur lahan pertanian, Karena merebaknya
persoalan lingkungan hidup ini bukan semata - mata karena rendahnya kesadaran dan kepedulian
masyarakat untuk menjaga lingkungan. Akar permasalahan justru bersumber dari kebijakan. Makamenjadi penting pemerintah sebagai pemangku kebijakan harus sebisa mungkin menerapkan
kebijakan yang benar-benar berpihak pada masyarakat.
7/16/2019 Sulitnya Mencari Keadilan
http://slidepdf.com/reader/full/sulitnya-mencari-keadilan 125/139
Suara Korban Kerusakan Lingkungan di Cekungan Bandung;
SULITNYA MERAIH KEADILAN111
HUTAN LINDUNG(Hutan Titipan Bukan Warisan)
Oleh: Dede Juhari31
1. GAMBARAN WILAYAH SEKITAR HUTAN GUNUNG WAYANG (DESA
TARUMAJAYA, CIBEUREUM DAN CIKEMBANG) DAN GUNUNG PAPANDAYAN
(DESA PACET, CIHAWUK DAN CIKEMBANG)
Kondisi saat ini Gunung Wayang dinyatakan kawasan hutan lindung tidak lagi sebagai kawasan hutan
produksi. Di Gunung Wayang saat ini diharuskan bersih dari penggarapan atau olah tanah dan yang
diperbolehkan adalah tanaman yang sifatnya tidak
boleh olah tanah atau tanaman keras. Tetapi dalam
kenyataan saat ini kerusakan hutan masih terjadi
akibat pengawasan kurang dan penegakan hukum
masih lemah.
Hutan Gunung Papandayan dikelola oleh
Perhutani dan BKSDA. Kerusakan masih terjadi di
kawasan Papandayan terutama di punggung areal
BKSDA oleh PT CEVRON berupa pengupasan
punggung kawasan BKSDA untuk pengeboran
magma/panas bumi. Ini menunjukan eksploitasi
sumber daya alam yang dilakukan oleh perusahaan
yang dinaungi oleh pihak pemerintah.
2. SEJARAH KERUSAKAN GUNUNG WAYANG
Sejarah kerusakan hutan lindung dan konservasi sumber daya alam di Zona Inti DAS Citarum Hulu
dari tahun 1982-1984, hutan masih cukup terkendali. Masyarakat belum mengetahui apa fungsi
huatan lindung, yang diketahui masyarakat saat itu ada dua hutan yaitu; hutan produksi sebagai hutan
tutup buka masyarakat bisa tumpang sari berupa sayuran selama 1-4 tahun. Hutan Pagar Alam (PA)
kalau sekarang disebut daerah KSDA (Konservasi Sumber Daya Alam) hutan pagar alam berfungsi
sebagai paku bumi
Tahun 1984-1991, masyarakat penggarap di lahan PERHUTANI tidak mengindahkan lagi tentang
tutup buka tetapi terus menerus dikuasai oleh masyarakat penggarap tanpa ada ketentuan-ketentuan
yang berlaku. Peraturan diabaikan menjadi tidak menentu terutama pihak pengelola hutan produksiyaitu pihak PERUM PERHUTANI.
Tahun 1991-1997, sebelum era reformasi hutan masih bisa terkendali terutama kawasan Pagar
Alam/KSDA yang pada waktu itu masyarakat masih awam tentang hutan lindung dan fungsi hutan
lindung. Kedaan kondisi seperti ini lahan hutan lindung seperti disengaja oleh PERHUTANI untuk
memperluas areal hutan produksi. Masyarakat dibiarkan membabat hutan lindung dijadikan lahan
pertanian.
31 Penulis adalah penggarap kolam resapan di Desa Tarumajaya Kecamatan Kertasari. Aktif di Masyarakat Peduli
Sumber Air (MPSA) dan sebagai pegiat di Koalisi Komunitas Korban Lingkungan Cekungan Bandung
7/16/2019 Sulitnya Mencari Keadilan
http://slidepdf.com/reader/full/sulitnya-mencari-keadilan 126/139
Suara Korban Kerusakan Lingkungan di Cekungan Bandung;
SULITNYA MERAIH KEADILAN112
Tahun 1997 sampai akhir 2002, pasca reformasi dengan adanya program Kredit Usaha Tani (KUT)
program ini memperparah kerusakan hutan lindung dan pagar alam/KSDA. Lagi-lagi PERHUTANI
membiarkan masyarakat menggarap kawasan hutan lindung dan hutan Pagar Alam/KSDA tidak luput
dari penggarapan oleh masyarakat dengan dalih untuk mengatasi krisis moneter yang menimpa negeri
ini. Pada waktu itu Presiden B.J. Habibie menyatakan bahwa “tidak boleh ada lahan nganggur semuaharus ditanami tanaman pangan”.
Bulan April 2003, terbit SK Gubernur Jawa Barat No. 522/2003 tentang penutupan tumpang sari
sayuran dilahan PERHUTANI. Dari penutupan ini ada solusi Alih Komodoti, Alih Lokasi dan Alih
Profesi.
Sebagian masyarakat yamg tadinya menggarap lahan PERHUTANI memberanikan diri menggarap
lahan perkebunan PTPN VIII Talun Santosa. Upaya penggarapan lahan ini supaya masyarakat yang
tadinya menggarap di lahan Perhutani pindah ke lahan perkebunan. Tapi apa yang terjadi, lahan
perkebunan gundul, lahan PERHUTANI pun digarap lagi oleh penggarap bekas garapannya masing-
masing dikarenakan pihak PERHUTANI tidak jelas/konsisten terhadap penegakan hukum.
Untuk mengalihkan dari hutan produksi menjadi hutan lindung bukan barang yang gampang. Mulaidari tahun 1982-1984, masyarakat Kecamatan Kertasari dan Kecamatan Pacet yang menjadi sorotan
utama semua instansi yang merasa penting terhadap hutan lindung sebagai hutan penyangga.
Untuk mengembalikan fungsi hutan sebagai lahan tangkapan air di kawasan zona inti DAS Citarum
hulu, banyak pihak-pihak yang peduli terhadap kelestarian hutan yang sudah dinyatakan bahwa
kawasan Bandung Selatan sebagai kawasan hutan lindung. Hal itu disepakati 37 instansi/pemda dan
Perhutani sebagai pemangku kebijakan baik dalam keputusan maupun sebagai pengelolaan hutan.
Perhutani dan pemda terkesan tergesa-gesa karena alasan desakan dari luar dan dalam yang merasa
penting untuk membangun kawasan-kawasan hutan yang rusak. Pada bulan April 2003, Perhutani
memasang plang peringatan yang isinya berdasarkan Surat Keputusan Gubernur Jawa Barat No.
522/2003 tentang penutupan tumpang sari di lahan Perhutani hampir di semua jalan yang bisa dilewati
oleh masyarakat yang masuk kawasan lahan Perhutani dipasang plang tersebut.
Ganti hari, ganti bulan, ganti tahun, plang mulai hilang. Masyarakat sekitar pun merasa bahwa hutan
produksi sudah menjadi tempat mencari makan sehari-hari dari mulai buruh tani pedagang sampai
petaninya. Puluhan ribu masyarakat yang sangat tergantung terhadap keberadaan lahan hutan yang
dikelola oleh pihak perhutani. Dari tahun 1932-an masyarakat sangat menggantungkan diri terhadap
lahan hutan. Ini terbukti masyarakat banyak yang berdomisili di lahan Perhutani ini menandakan
bahwa masyarakat sudah merasa memiliki lahan dan sangat bergantung terhadap lahan tersebut.
Apalagi latar belakang Kecamatan Kertasari lahan masyarakat lebih sempit dibandingkan lahan
Perhutani dan perkebunan yang dikuasai oleh negara. Faktor manusia juga yang semakin hari semakin
bertambah akibatnya, semua persoalan tersebut segalanya harus segera diatasi yang pada awalnya
tidak sesuai dengan rencana walaupun sampai turun beberapa menteri ke kawasan KRPH Wayang
Windu.
Tapi rencana tinggal rencana, yang baru diatasi secara riil di lapangan baru satu petak saja, itupun
baru penutupan belum sampai pengawasan yang terus menerus oleh ketiga belah pihak yaitu,
Perhutani, desa atau pemda dan masyarakat. Sampai saat ini baru pihak Perhutani yang ingin-ingin
saja tanpa upaya bagaimana supaya lahan yang dikelola oleh Perhutani itu sendiri bisa sesuai dengan
pola yang sudah dipampang atau yang sudah disosialisasikan ditiap-tiap desa tentang pengelolaan
hutan bersama masyarakat sesuai dengan kemauan masyarakat, perhutani dan pemda. Tapi sayangnya
orientasi Perhutani lebih kepada bagi hasilnya sedangkan yang penting tidak dilaksanakan tanpa
mengupayakan bagaimana supaya masyarakat lebih memiliki tempatnya sendiri. Artinya hutan milik
masyarakat bukan milik bangsa lain dengan arti kata kita jangan asing di negeri sendiri.
Hasil yang dikeluarkan oleh hutan lindung mulai dari air sampai untuk makanan untuk di makan.
7/16/2019 Sulitnya Mencari Keadilan
http://slidepdf.com/reader/full/sulitnya-mencari-keadilan 127/139
Suara Korban Kerusakan Lingkungan di Cekungan Bandung;
SULITNYA MERAIH KEADILAN113
Siapapun banyak yang tergantung pada hutan ini. Ini menandakan masyarakat jangan jadi sumber
masalah. Seharusnya masyakat menjadi benteng kekuatan supaya mengelola, menjaga dan
melestarikan agar hutan hijau masyarakat sejahtera. Kesalahan-kesalahan yang diulang-ulang, contoh
kasus nyata di lapangan masyarakat yang menanam kayu, bagus kayunya tanpa ada penghargaan
sama sekali dikarenakan yang tidak menanam kayu saja aman-aman saja. Jadi kerusakan tidak
terkendali ini menunjukan tidak seriusnya Perhutani yang menjaga hutan lindung terutama di dua
kecamatan yaitu kecamatan Kertasari dan Kecamatan Pacet. Walaupun Perhutani sudah membentuk
LMDH, tapi Perhutani tidak transparan kepada LMDH sebagai mitra binaan Perhutani. LMDH
dibentuk bukan oleh kelompok-kelompok masyarakat tapi dibentuk atas desakan bukan kebutuhan
masyarakat. Alhasil terjadilah miss komunikasi yang belum tentu masyarakat setuju terhadap si A.
bentukan Perhutani. Boleh dilihat pada kenyataan saat ini penggarapan lahan Perhutani sudah tidak
singkron lagi, kesepakatan tinggal kesepakatan MOU tinggal MOU, ini dikarenakan pihak Perhutani
tidak percaya kepada masyarakat dan desa sekitar hutan yang lebih potensial menyelesaikan masalah
hutan.
Perhutani tidak mengharapkan kekuatan kelompok-kelompok masyarakat sebagai personil Perhutani
malah yang dibina pengurus LMDH-nya yang belum tentu sebagai panutan masyarakat atau yang
dipercaya oleh masyarakat. Ini dibuktikan situasi saat ini yang namanya hutan lindung yang harusdilindungi oleh Perhutani dan masyarakat sebagai pengelola hutan lindung malah seakan-akan
kembali lagi ke tahun 2002. Fungsi hutan lindung yang harus dilindungi dan memberi manfaat kepada
semua masyarakat baik yang ada di hulu maupun di hilir.
3. HARAPAN MASYARAKAT DALAM MENGELOLA HUTAN
Adanya penegakan hukum dengan menempatkan masyarakat sebagai benteng kekuatan untuk
menjaga, mengelola dan melestarikan kekayaan alam yang berada di kawasan-kawasan hutan lindung
dan putera daerah yang harus diperhatikan. Masyarakat jangan dijadikan sebagai penonton tanpa ada
perhatian sama sekali dari perusahaan Perhutani sebagai pihak pengelola hutan lindung.
4. UPAYA MASYARAKAT
Upaya masyarakat selama ini yang telah dilakukan:
a. Pada tahun 2003 sebagian kelompok masyarakat membuat kolam-kolam resapan sebagai
embung-embung air yang berada di zona inti DAS Citarum Hulu. Kolam resapan ini
berfungsi untuk menampung air di musim hujan sebagai cadangan pada musim kemarau, serta
bisa dimanfaatkan sebagai tempat peternakan ikan untuk menambah penghasilan masyarakat
dan menambah protein masyarakat. Dari segi lingkungan kelompok kolam resapan ini sudah
menampung air di musim hujan trilyunan liter air.
b. Penanaman rumput gajah yang dilakukan oleh kelompok peternak sapi perah. Rumput gajah
selain dapat dimanfaatkan untuk pakan ternak juga berfungsi sebagai penguat tanah sehinggatidak mudah erosi.
c. Penguatan kelompok tani dilahan Perhutani petak 71 melalui Focus Group Discussion (FGD)
dan pelatihan-pelatihan.
d. Penanaman pohon secara swadaya oleh kelompok.
e. Untuk mengurangi ketergantungan terhadap kayu bakar, mendorong kelompok peternak
membuat bio-gas mini yang bahannya terbuat dari plastik ini sudah tersebar di enam desa
Kecamatan Kertasari.
f. Mendorong pemerintah untuk membuat septic-tank bio-gas komunal di beberapa titik sebagai
percontohan supaya kelompok peternak melakukan hal yang sama untuk mengurangi beban
pengeluaran dan pengambilan kayu bakar yang berasal dari kawasan hutan lindung. Upaya ini
sudah dilakuakn oleh pihak pemerintah, terutama oleh dinas-dinas yang bersangkutan dengan
program lingkungan.
7/16/2019 Sulitnya Mencari Keadilan
http://slidepdf.com/reader/full/sulitnya-mencari-keadilan 128/139
Suara Korban Kerusakan Lingkungan di Cekungan Bandung;
SULITNYA MERAIH KEADILAN114
g. Limbah ternak sapi yang sudah keluar dari reaktor bio-gas yang sudah tidak mengandung gas
diolah dijadikan pupuk organik untuk pupuk dasar pertanian sayuran dan tanaman keras
h. Melakukan pembuatan pakan ikan yang berasal dari sampah rumah tangga dan sampah pasar
untuk mengurangi beban DAS Zona Inti Sungai Citarum Hulu. Dari sudut manfaat sampah
kalau sudah dikelola secara benar dapat menjadi penghasilan bagi masyarakat, bisa menyerap
tenaga kerja untuk mengurangi angka pengangguran dan untuk menjaga kelestarian
lingkungan.
7/16/2019 Sulitnya Mencari Keadilan
http://slidepdf.com/reader/full/sulitnya-mencari-keadilan 129/139
Suara Korban Kerusakan Lingkungan di Cekungan Bandung;
SULITNYA MERAIH KEADILAN115
BERITA DARI KAWAN
TUJUH HUTAN CEKUNGAN BANDUNG(Sebuah Catatan dari Perjalanan Jelajah Tujuh Gunung di Cekungan Bandung)
Oleh: Madani32
pa jadinya kalau orang gunung sudah kebanjiran, kelaparan, tak punya pekerjaan, krisis
kepercayaan, kehilangan kebudayaannya sendiri, tak boleh lagi mengelola hutan dan hanya
dijadikan objek yang selalu disalahkan terhadap segala kerusakan hutan.
Hal itu ternyata terjadi dan dialami oleh masyarakat yang berada di beberapa daerah pinggiran hutan 7
gunung di Bandung. Ada apa dengan hutan dan gunung? Ironis sekali, kenapa orang gunung
mengalami persoalan yang tak seharusnya terjadi? Di sisi lain permasalahan yang terjadi telah
menimbulkan kesenjangan, saling menyalahkan antara daerah hulu dan daerah hilir, dan seabrek
persoalan-persoalan yang akhirnya energi habis terbuang tanpa mendapatkan solusi yang maslahat bagi kedua belah pihak (masyarakat dan pemerintah). Kenapa ada dua pihak yang disebutkan?
Jawabannya adalah karena persoalan tersebut bertumpu pada dua subjek tersebut.
Hutan adalah sumber potensi ekonomi bagi masyarakat yang berada di kawasan sekitarnya.
Bagaimana cara melestarikannya tergantung bagaimana pula masyarakat di sekitar mempunyai
tanggung jawab untuk mengelolanya. Sebagus dan secanggih apapun program dari pemerintah tanpa
partisipasi masyarakat didalamnya, akhir-akhirnya hutan tetap tidak hijau bahkan masyarakatnya pun
mengalami bencana-bencana.
Longsor yang terjadi di Cirumamis, Desa Bojong Salam Kecamatan Rongga terjadi karena ada tata
kelola hutan yang salah. Kang Apud warga Kp. Cirumamis menuturkan kepadaku lahan yang
seharusnya dijadikan lahan konservasi, kok ditanami pohon pinus? Padahal kampung-kampungmasyarakat yang ada disekitar daerah tersebut berada di tebing-tebing bahkan dalam apitan bukit-
bukit yang menjulang disekelilingnya. Kerusakan hutan berawal dari penebangan pohon-pohon pinus
yang dilakukan oleh Perhutani secara besar-besaran, kemudian sebagian masyarakat memanfaatkan
bekas tebangan tersebut dengan melakukan olah tanah untuk tumpang sari. Sebetulnya sejak dulu
seharusnya hutan tersebut pengelolaannya harus oleh Badan Konservasi Sumber Daya Alam
(BKSDA), karena kecocokkan hutan tersebut harusnya dijadikan hutan lindung.
Lain halnya dengan Hutan Buru Gunung Masigit Kareumbi. Kerusakan berawal dari pelimpahan
HGU (Hak Guna Usaha) yang salah sasaran. Seharusnya saat HGU Perhutani usai, pengembalian
urusan pengelolaan tersebut kepada BKSDA, karena hutan tersebut adalah hutan lindung.
Menurut Eem warga Leuwi Liang, kurang lebih seluas 12.008 Ha hutan Kareumbi Masigit dahuluadalah hutan lindung (eks). Petugas lapangan tidak tetap BKSDA itupun menuturkan bahwa kondisi
saat ini Hutan Masigit Kareumbi setelah pengelolaannya dikerjasamakan dengan Perum Perhutani
menjadi dua wilayah yaitu hampir 60 % menjadi hutan lindung dan sebagiannya lagi hutan produksi.
Sama halnya dengan apa yang dikatakan oleh Uwa warga Leuwi Liang semasa pengelolaan Perhutani
sebagian masyarakat banyak yang merasa diuntungkan, karena mempunyai pendapatan sampingan
dari hasil sadapan getah pinus.
32 Penulis adalah warga Kp. Sukasari Ds. Cibeureum Kec. Kertasari yang merupakan wilayah Gunung Wayang sebagai
hulu Sungai Citarum. Aktif di Radio Komunitas Citra 107,9 FM, Pusat Sumber Daya Komunitas (PSDK) dan di Koalisi Komunitas Korban Lingkungan (K3L) Cekungan Bandung.
7/16/2019 Sulitnya Mencari Keadilan
http://slidepdf.com/reader/full/sulitnya-mencari-keadilan 130/139
Suara Korban Kerusakan Lingkungan di Cekungan Bandung;
SULITNYA MERAIH KEADILAN116
Sebetulnya tidak ada permasalahan bagi masyarakat sekitar semasa pengelolaan hutan Masigit
Kareumbi oleh Perhutani dan BKSDA. Namun setelah pengelolaan hutan tersebut dikerjasamakan
dengan PT. Prima Sakti, Hutan Masigit Kareumbi menjadi rusak.
Menurut data dari Ujang Sar’um, pada prinsipnya izin Taman Buru Masigit Kareumbi untuk
pengelola atau perusahaan adalah untuk penyelenggaraan usaha sarana prasarana perburuan serta
kegiatan berburu di Taman Buru yang juga berkewajiban untuk menjaga kelestarian fungsi Taman
Buru dan satwa yang terdapat didalamnya (pasal 14 huruf i keputusan Menteri Kehutanan No.
591/kpts-II/1996), surat balasan Sekertaris Jendral Kementrian Kehutanan No : 733/II-KUM/1998
yang ditujukan kepada Direktur Utama PT. Prima Sakti Multi Jasa Sarana}.
Pengelolaan Hutan Masigit Kareumbi oleh PT. Prima Sakti pada awalnya memang seperti demikian
bahkan pernah mendatangkan binatang-binatang untuk pengadaan kebutuhan Taman Buru sebagai
objek wisata. Padahal itu hanya untuk mengelabui warga saja ungkap Ujang Sar’um. Tapi dengan
kekuatan tersebut ternyata perusahaan tersebut melakukan praktek Illegal loging besar-besaran.
Setelah terbukti mereka bersalah ternyata hukum yang harusnya menindak secara tegas malah
menjatuhkan hukuman yang tak setimpal dengan perbuatannya.
Pelaku kasus illegal loging Hutan Masigit Kareumbi ditangani dan diproses hukum oleh yang
berwajib. Selain dari pihak PT. Prima Sakti dalam hal ini penanggung jawab lapangan Yudi Iskandar
diganjar hukuman penjara yang kemudian bebas dengan jaminan uang sekitar Rp 100.000.000,- .
Hal lain yang menjadi permasalahan adalah ternyata dari sisi kebijakan pemerintah, desa yang
harusnya mempunyai kewenangan untuk turut mengatur pengelolaan hutan seakan tidak mau ikut
campur. Ate Sekretaris Desa Sindulang, menurutnya sejak jaman dahulu warga masyarakat memang
ketergantungan akan hutan, setelah ada Perhutani dengan pengelolaan getah pinus pun hanya sebagian
masyarakat saja yang menikmati itu, kasus yang terjadi memang dilakukan oleh PT. Prima Sakti.
Permasalahan itu tidak membingungkannya karena permasalahan tersebut urusan perum dan
pemerintah pusat, tidak ada hubungannya dengan pemerintah desa.
Begitupun dengan kawanku yang berada di Gunung Wayang, pemerintah desa hanya bisa mendesak
supaya petani penggarap hutan turun sesuai SE Gubernur Jawa Barat No. 522/2003, tapi hanya bisa
menurunkan saja karena dalam proses dampingan program penanggulangan akibat dari turunnya
petani, tiga opsi (alih lokasi, alih komoditi dan alih profesi) tidak efektif. Kawanku Dede warga Kp.
Sukasari anggota Kelompok Tani Hutan (KTH) Sukasari mengatakan, “aneh naha ari kasalahan-
kasalahan Perhutani meni teu di ungkit-ungkit, ari ka perambah meni diudag-udag komo tepi diduduki polisi?” (aneh, kenapa kesalahan-kesalahan Perhutani tidak diungkit-ungkit sedangkan
perambah dikejar-kejar malahan sampai diduduki polisi).
Penegakkan hukum yang tidak adil buat masyarakat, karena kerusakan yang terjadi berawal dari
” pembukbakan” ( awal penebangan pohon ) besar-besaran yang dilakukan oleh Perhutani dengan
alasan pembaruan hutan pinus yang sudah tua, ungkap Wa Oon warga Cibeureum yang pernahmenggarap hutan dari masa ke masa. Terus lagi waktu ada proyek SUTET daerah Blok Sada Tapa
pun mengalami penebangan pohon-pohon yang sudah keluar dari aturan dan itupun masyarakat yang
menjadi sasaran yang disalahkan, padahal masalah tersebut sebenarnya sudah menjadi rahasia umum
yang melakukan illegal loging untuk SUTET adalah Perhutani.
Di Gunung Reregan Cimaung Banjaran, Kang Ahmad Kurnia telah menjalankan sesuai dengan apa
yang diperintahkan oleh Perhutani dengan LMDH (Lembaga Masyarakat Desa Hutan)-nya dalam
proses pengelolaan hutan bersama masyarakat, namun secara teknis dilapangan baik dari awal;
penurunan perambah sampai sekarang program-program rehabilitasi kadang-kadang salah waktu,
kemarau reboisasi, bibit pohon-pohon tidak sesuai dengan yang diharapkan bahkan tidak sesuai
dengan apa yang telah menjadi plot bibit dari pemerintah. Perhutani seakan-akan tidak
memperhatikan secara serius terhadap petani penggarap, beda halnya dengan Pemerintah Daerah
7/16/2019 Sulitnya Mencari Keadilan
http://slidepdf.com/reader/full/sulitnya-mencari-keadilan 131/139
Suara Korban Kerusakan Lingkungan di Cekungan Bandung;
SULITNYA MERAIH KEADILAN117
Kabupaten Bandung yang mempunyai program GRLHLK di lahan kritis milik masyarakat, ungkap
Pak Oting.
Di Cipelah Kecamatan Rancabali, kondisi hutan hampir sama dengan hutan lainnya, lagi-lagi
kerusakan berawal dari penebangan hutan produksi oleh Perhutani. Cucu Pak Ahmad di Kp. Cipelah
pernah berurusan dengan pihak berwajib karena menebang tiga pohon untuk keperluan rumah, tapi
kenapa pihak yang berwenang melakukan penebangan yang besar tidak di apa-apakan?
Pak Enjang Harun warga Kp. Cijagong Desa Sukarame Kecamatan Pacet memaparkan bahwa
kerusakan hutan diakibatkan karena perambahan oleh masyarakat akibat dari gundul oleh peluru
canon jaman sejarah perjuangan. Kemudian terbawa arus kecemburuan dari masyarakat daerah lain
yang serasa bebas menggarap lahan hutan dan persoalan yang hampir sama juga dengan gunung-
gunung yang lain yaitu kurangnya akses lahan. Selanjutnya Pak Enjang menjelaskan penyebab tidak
suksesnya program-program rehabilitasi hutan, antara lain: pertama, program tidak bisa diserap oleh
masyarakat secara utuh utamanya oleh petani penggarapnya. Kedua, masih mengharapkan adanya
tumpang sari. Ketiga, pelibatan masyarakat kurang dalam proses perumusan programnya. Beliau
berharap agar gunung/hutan dikembalikan pada masyarakat untuk pengelolaannya.
Perjalanan terakhirku di Kecamatan Ibun Batugandawesi, Cijangkar, Legoktangkalak, Cibentang,
Cigincu, Monteng. Kerusakan hutan berawal dari penebangan hutan produksi yang dilakukan oleh
Perhutani yang berdampak luas pada gundulnya hutan dan berkurangnya debet air, dan terjdi banjir
bandang yang menghanyutkan rumah dan jembatan.
Tabel 1. Peta Pelaku Penyebab Kerusakan Hutan
PELAKU KEPENTINGAN PERAN DALAM PERUSAKAN
PERHUTANI Produksi Perhutani sebagai pemilik proyek, pelaksanalapangan masyarakat yang diupah untuk kerja.
Sebagian masyarakat Ekonomi/untuk bertahanhidup
Sebagai penebang, namun ditenggarai ada oknum petugas Perhutani yang terlibat. (lemahnya kinerja petugas Perhutani)
Tabel 2. Program dan Kebijakan dalam Memperbaiki Kondisi Hutan dan Tingkat Keberhasilanya
WAKTU PROGRAM DESKRIPSI KONSEP TINGKAT KEBERHASILAN
Reboisasi Hutan gundul yang tinggal semak
belukar dibabat berjalur, jalurantersebut ditanami dengan pohon pinus
Kurang berhasil, pertumbuhan terhambat
oleh semak belukar
1985-1987
Reboisasidengan
tumpang sarisayuran
Masyarakat dibolehkanmenggarap lahan hutan (sewa)
dengan catatan harus menanam pinus
x Kurang berhasil
x Bibit tidak mencukupi
x Waktu tumpangsari singkat. (tanamanmasih kecil semak keburu tinggi)
1999-
2003
PHBM Masyarakat dibolehkan
menggarap lahan hutan (sewa)dengan catatan harus menanam pinus
x Berhasil
x Bibit mencukupi
x Waktu tumpang sari relatif lama.(tegakan sudah besar ketika tumpangsari berhenti).
2003 SE 522 Masyarakat yang menggaraplahan hutan harus segera
menghentikan garapannya, tidak boleh lagi tumpang sari sayuran.
x Tidak berhasil memperbaiki kerusakanhutan
x Hutan terlantar, terjadi penebangan liar dan kebakaran hutan.
7/16/2019 Sulitnya Mencari Keadilan
http://slidepdf.com/reader/full/sulitnya-mencari-keadilan 132/139
Suara Korban Kerusakan Lingkungan di Cekungan Bandung;
SULITNYA MERAIH KEADILAN118
2003 GNRHL Dibentuk beberapa kelompok tanihutan untuk melaksanakan proyek penghijauan.(pembuatan jalur tanam, lubang tanam, pengangkutan bibit,penanamandan pemeliharaan)
x Tidak berhasil
x Bibit datang menjelang kemarau
x Sistim proyek, orientasinyauntung/rugi, kerja borongan, terkesanasal-asalan
x Kualitas bibit jelek
x Kurang pemeliharaan dari pihak-pihak terkait
2004 GRLK Bibit disediakan oleh Disbun dan
diserahkan pada fasilitator ditingkat desa.. Oleh fasilitator bibitlangsung dibagikan pada masing-masing pemilik lahan
x Kurang berhasil
x Bibit datang menjelang kemarau
x Kualitas bibit jelek
2005 PHBM Masyarakat boleh menggaraplahan Perhutani dengan
tumpangsari tanaman kopi danlainya yang dibolehkan yangtidak memerlukan olah tanah
secara terus-menerus
x Untuk hutan /Perhutani sejauh inicukup berhasil
x Mengurangi tingkat penjarahan kayu
x Untuk masyarakat, PHBM ini menjadimasalah karena kopi memerlukan
waktu yang relatif lama untuk mencapai panen.
Tabel 3. Dampak Intervensi Program pada Tatanan Sosial dan Budaya Masyarakat
PROGRAM URAIAN DAMPAK
SE 522 2003 Masyarakat tidak bisa melakukan tumpang sari di lahan Perhutani,kehilangan mata pencaharian, tidak memiliki penghasilan yang tetap,daya beli masyarakat melemah, kesejahteraan masyarakatpun menurun.
PHBM 2005 x Pada awalnya masyarakat cukup antusias menyambut program ini,namun setelah berjalan kira-kira satu tahun, masyarakat mulai
mengeluh dari mana untuk mencukupi kebutuhan hidupnya selamamenunggu panen kopi.
x Masyarakat yang biasa tumpang sari sayuran tidak bisa melakukanalih komoditi secara sekaligus.
Tabel 4. Pandangan Masyarakat terhadap Konsep dan Praktek-Praktek Program Pemerintah/Perhutani
dalam Rehabilitasi Lahan Kritis dan Pengelolaan Hutan
PROGRAM PANDANGAN HARAPAN
SE 522 /2003 Kurang efektif Tidak berpihak pada masyarakat
Cabut SE 522/2003
PHBM 2005 Kurang berpihak pada masyarakat
Tidak sesuai dengan kebiasaanmasyarakat
Masyarakat diperbolehkan melakukan
tumpang sari sayuran selama menunggukopi bisa dipanen
GNRHL & GRLK Tidak efektif Hanya menghambur-hamburkan uangnegara
Masyarakat disediakan bibit untuk ditanamdilahan hutan, dengan catatan masyarakat boleh tumpang sari sayuran selamamenunggu kopi dipanen
7/16/2019 Sulitnya Mencari Keadilan
http://slidepdf.com/reader/full/sulitnya-mencari-keadilan 133/139
Suara Korban Kerusakan Lingkungan di Cekungan Bandung;
SULITNYA MERAIH KEADILAN119
Dari puncak-puncak ketinggian,suara ini berseteru menjadi satu gelombang ”tunggu aku dalamkeheningan hijau apel di kaki-kaki langit Bandung”.
ANTOLOGI CURHAT CITARUM LEWAT SMSCurhat dalam SMS : Abu nuju sono dibales ku Aten
Abu Rifal : imut anjeun meni manjang, geulis!
Anjeun kumolebat sakedapan lebah arak2an awan
Terus ngereles lebah paamprokna Cisanti jeung Citarum
Aten : Sieup pisan silayung dina sonten ieu kasep.
Da bewara anu katampa teu bisa mere imut nu manjang sabab Cisanti jeung
Citarum caina siga ninggalken paninengan iraha rasa kasono ditepungken.
Curhat aten ka raina :
Aten : Bandg...panas d, skls p’putaran cuaca sdh td mjd indktr, aqpun td bs bsandar kmbl
pd pohon brngin saat lelah mdkapku, apakah dsana sperti bdg jg, d ..?
Jawaban SMS dari Tuti Utari (Bu Guru SMK Baleendah)
Aten : makash.., mga qt bs mlukis cekrma dbeningnya Citarum, slama kekuatan dn
kbranian msh mnghiasi ranah brpkr qt, harapan itu bkn hnya pnorama tp krinduan
dlm teranyata
Sms rindu :
Aten : kubw rindu kepunck gng wyang malam ni ..cha,pendakian ini hnya sjnak krn tanpa
blukar menyimpn byangmu..!knapa sulit rsnya menaklukn htmu, tk smudh
menaklukn punck gng wyang?
Sms Rindu di Gunung Ibun (Sindang pala)
Aten : Sry madm...m’late agn. Ad rona mrana, ad sabuk m’lingkar, ad rndu m’nusuk, ad
hrpn yg trsisa. Bskh qt mngjar lampu2 mlam bukit kmojng lg?aknkh jejak2 itu
kmbl?sebab ..
(lanjutan) sat wkt menepi, ktrlmbtn itu hnya jd penyesln. Aq brhrp bi2r yg trucap hrs
bs mmbuahkn syap. Nada yg prnh mngalun hrs mjd irama pmandu dr klmbutn
wirahmnya.
Icha : oia,lupa tlg smpaikn slam kngenku tuk bukit b’bintg, sabuk m’lingkar,n’ tbing
b’bukit itu, srta krmhan mnusiannya, katakn smpn knangan dl sprt ku mngingatnya..
7/16/2019 Sulitnya Mencari Keadilan
http://slidepdf.com/reader/full/sulitnya-mencari-keadilan 134/139
Suara Korban Kerusakan Lingkungan di Cekungan Bandung;
SULITNYA MERAIH KEADILAN120
GERENTES HATE
Gerentes hate ieu lir upama kingkilaban
ngusap gulidagna cai jeng taneuh nu mapay-mapay lembur,
mepende tingkaroceakna leuweung anu nyoranganngabrang-brangkeun runtah anu pada ngusir teu ditarima kubumi
ngeprak-ngeprak limbah tong milu ka cai, da cai geus dipenta ku PLN
duhh ..peurih, kagambar dina silayung pasosore
kamana nitipken rasa, lamun rasa geus teu di piboga
kamana meberken layar lamun angin geus teu jadi Sa-Udara
hayang... teh, nanyakeun ka curuk nu sok tutunjuk
naha sok nununjuk? Da geuning teu rumasa lamun ditutunjukmah
na teu era ku indung leungeun? Anu depe-depe.
Ngadon cape ngabudal,ciga sirah cai anu ditandasa
ciga leuweung anu di perkosa
ciga gunung anu balaga
ciga talaga anu sangsara
ciga sampah anu marakayangan
Ciga gerentes hate anu eureun, sabab caritana kawengku.
Dan Aten Madani
Gerentes hate 24 Mei 2007
7/16/2019 Sulitnya Mencari Keadilan
http://slidepdf.com/reader/full/sulitnya-mencari-keadilan 135/139
Suara Korban Kerusakan Lingkungan di Cekungan Bandung;
SULITNYA MERAIH KEADILAN121
TENTANG PENULIS
l. Madani. Dadan Ahmad Hamdani nama lengkapnya. Aktif sebagai pegiat Kelompok Pencinta
Alam Wanapasa dan Radio Komunitas Citra FM di Kampung Sukasari Desa
Cibeureum Kecamatan Kertasari Kabupaten Bandung. Keprihatinannya
terhadap kerusakan kawasan hutan di Gunung Wayang Kabupaten Bandung
mendorong lajang berusia 30 tahun ini untuk menjadikan Wanapasa dan
Radio Citra FM sebagai alat penyadaran dan pengorganisasian masyarakat.
”Masyarakat harus diberi akses mengelola lahan hutan secara legal agar
mereka tergerak untuk merehabilitasi dan menjaga kelestarian hutan”, itulah
tekad dari pegiat Divisi Hutan dan Air Koalisi Komunitas Korban
Lingkungan (K3L) Cekungan Bandung ini. Obsesinya untuk mendalami konsepsi masyarakat
sunda tentang tata pemerintahan dan pengelolaan dan pelestarian sumberdaya alam membuatnya
besemangat untuk menjelajahi pegunungan–pegunungan di seputar Cekungan Bandung.
1. Khadafi. Meski kuliah di Jurusan Syariah Sekolah Tinggi Agama Islam (STAI) Siliwangi di
pusat kota Bandung namun tidak mengurangi keterlibatannya dalam
melakukan advokasi persoalan lingkungan hidup di kampung
halamannya. Aktif di Kelompok Pencinta Alam WANAPASA dan Radio
Komunitas Citra. Pemuda kelahiran Kp. Sukasari Desa Cibeureum
Kecamatan Kertasari Kabupaten Bandung Tahun 1981 ini terus berupaya
untuk terlibat dalam perbaikan kondisi lingkungan hidup Hulu Sungai
Citarum. Selain melakukan kampanye dan pengorganisasian, Dafi ,demikian panggilannya, juga
aktif mendorong pemerintahan setempat untuk memasukkan agenda penyelesaiaan masalah
lingkungan hidup dalam Musyawarah Perencanaan Pembangunan (Musrenbang) yang akanmenjadi landasan penyusunan Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD) Kabupaten. ”Suatu
saat mungkin saya harus menjadi Kepala Desa, agar arah pembangunan desa berpihak pada
masyarakat miskin, perempuan dan pelestarian lingkungan hidup” ujarnya anggota Divisi Hutan
dan Air Koalisi Komunitas Korban Lingkungan (K3L) ini mantap.
2. Heri Ferdian. Tidak pernah menolak untuk dikatakan sebagai perambah lahan hutan, karena
faktannya, Heri memang menggarap sebidang tanah di areal hutan Gunung
Wayang di Kawasan Bandung Selatan. Seperti sebagian besar masyarakat di
Kampung Goha, Desa Tarumajaya Kecamatan Kertasari Kabupaten Bandung,
jejaka lulusan Sekolah Teknologi Menengah (STM) Wirakarya Ciparay ini
juga memanfaatkan lahan hutan sebagai sandaran ekonominya. “Masyarakatsekitar hutan seperti di Kecamatan Kertasari ini, tidak mungkin bisa
dipisahkan sumber kehidupannya dari areal hutan. Jangan memandang
penggarapan lahan hutan sebagai tindak kriminal yang harus dipenjarakan.
Gagalnya perbaikan kondisi hutan yang rusak di Hulu Sungai Citarum karena Perhutani gagal
melibatkan masyarakat dalam mengelola lahan hutan” papar anak bungsu kelahiran tahun 1984
ini. Sebagai petani penggarap yang mendambakan hijaunya kembali Gunung Wayang, Heri
menerapkan pola tumpang sari dengan menanam kopi dan kayu sebagai tanaman jangka panjang.
Aktivitas lainnya adalah sebagai pegiat Masyarakat Peduli Sumber Air (MPSA) dan pengelola
data base pada Pusat Sumberdaya Komunitas (PSDK) Kabupaten Bandung dan Koalisi
Komunitas Korban Lingkungan (K3L).
7/16/2019 Sulitnya Mencari Keadilan
http://slidepdf.com/reader/full/sulitnya-mencari-keadilan 136/139
Suara Korban Kerusakan Lingkungan di Cekungan Bandung;
SULITNYA MERAIH KEADILAN122
3. Dede Juhari. Bapak tiga anak ini adalah petani penggarap yang mengembangkan kolam resapan
pada areal Perhutani di Gunung Wayang. Dije, demikian sapaan akrabnya
termasuk orang yang sangat concern dengan persoalan lingkungan di Zona
Inti DAS Citarum Hulu. Selain mengembangkan kolam resapan, dia juga
membidani kelahiran organisasi Masyarakat Peduli Sumber Air (MPSA) di
Kecamatan Kertasari. Warga Kampung Babakan Citarum Desa Tarumajaya
Kecamatan Kertasari Kabupaten Bandung ini juga getol mendesak dinas dan
instansi terkait di Provinsi Jawa Barat agar realisasi program–program
rehabilitasi di Hulu Sungai Citarum melibatkan masyarakat lokal. ”Masyarakat lokal jangan di
hanya cap sebagai perusak lingkungan tanpa diajak bicara. Sebenarnya masyarakat lokal memiliki
potensi besar untuk melakukan perbaikan kondisi lingkungan hidup kalau dilibatkan secara
maksimal. Sayangnya selama ini program penanganan Hulu Sungai Citarum banyak didominasi
oleh pihak luar daerah. Mereka pada umumnya hanya memanfaatkan program–program itu untuk
kepentingan sendiri”, gugat lelaki kelahiran 15 Januari tahun 1966 ini.
4. Udin Saripudin. Petani kopi di lahan hutan seluas 1 hektar di Kawasan Gunung Guntur Desa
Mekarwangi Kecamatan Ibun Kabupaten Bandung ini memiliki obsesi
menjadi seorang pengacara. Tekad ini didorong oleh rasa prihatin terhadap praktek penegakan hukum lingkungan yang masih pandang bulu. ”Penjahat
lingkungan baru identik dengan masyarakat yang menggarap sebidang tanah
di lahan Perhutani atau menebang sebatang pohon di hutan saja. Banyak
pelaku perusakan lahan konservasi dalam skala luas di kawasan Bandung
Utara yang lolos dari jerat hukum bahkan terkesan mendapat perlindungan
hukum” ungkap pria jangkung kelahiran 6 April 1982 ini. Dalam rangka
mencapai obsesi tersebut, Sarjana Hukum Islam lulusan Sekolah Tinggi Agama Islam (STAI)
Yapata Aljawami tahun 2005 ini, tengah mengikuti Kursus Bantuan Hukum Struktural yang
diselenggarakan oleh Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Bandung. Di tingkat lokal, bersama
rekan–rekan sekampungnya, Udin mendirikan organisasi pemuda yang bernama Samsaka dan
Kharisma.
5. Mulyana. Pendidikan formalnya hanya sampai kelas satu sekolah dasar. Bapak satu anak
kelahiran 9 september 1977 ini kegiatannya sebagai aktivis gerakan tani
sejak tahun 1997 membawa Moel berkeliling Jawa Barat, melakukan
pendampingan terhadap para petani yang dirampas haknya. Dalam kurun
waktu tahun 1998 – 1999, penduduk Kampung Cikoneng Desa Cileunyi
Kulon Kecamatan Cileunyi Kabupaten Bandung ini ”mesantren” selama
8 bulan di Lembaga Pemasyarakatan Cianjur . Dia ditahan dan diadili
bersama belasan petani dari Kecamatan Agrabinta di Cianjur Selatan dalam sengketa tanah antara
rakyat tani dengan PT. Perkebunan Nusantara VIII. Kini Moel lebih berkonsentrasi mengelola
lahan garapannya di kaki Gunung Manglayang. Bersama dengan pegiat lingkungan di Desa
Gunung Manglayang, dia mendirikan Forum Manglayang sebuah organisasi yang punya konsen
terhadap pengelolaan sumberdaya alam di Manglayang. ” Lamun masyarakat teu meunang ngiluan ngelola leuweung, kajadian kalaparan jiga di Palintang pasti bakal ngalobaan ”
ungkapnya dalam bahasa sunda.
6. Muhammad Effendi. Akrab di panggil Pandi. Adalah seorang petani penggarap lahan hutan di
Desa Cileunyi Wetan. Disamping bertani, Bapak tiga anak ini mencoba
mewujudkan cita-citanya untuk menjadi guru setelah mengenyam
pendidikan di PGSD D-II. Kesempatan pun datang padanya dan
memulainya dengan menjadi guru honorer di SDN Yasahidi II dan tutor
Keaksaraan Fungsional (KF). Disela-sela kesibukannya, pria yang tinggal
di Kp. Cibeusi Cileunyi Wetan ini pun aktif sebagai Kader Kesehatan
Lingkungan (Kesling). Disamping itu, kegelisahannya terhadap persoalan-
persoalan lingkungan hidup yang tidak pernah mencerminkan keadilan bagi masyarakat korban
7/16/2019 Sulitnya Mencari Keadilan
http://slidepdf.com/reader/full/sulitnya-mencari-keadilan 137/139
Suara Korban Kerusakan Lingkungan di Cekungan Bandung;
SULITNYA MERAIH KEADILAN123
maupun keadilan bagi lingkungan mendorong dia untuk aktif di sebuah organisasi yang dibentuk
oleh masyarakat di kaki Gunung Manglayang, bernama Forum Manglayang.
7. Umar Alam Nusantara. Nama yang identik dengan lingkungan hidup. Jalan hidupnya pun
terbilang unik. Lahir tanggal 5 Januari 1975 di Majalaya Kabupaten
Bandung. Lulus dari Jurusan Komputer Politeknik ITB Bandung tahun
1999, sempat bekerja pada Divisi Teknologi Informasi pada kantor BNI di
Jakarta selama 3 tahun. Tahun 2005 merintis usaha sebagai pedagang
gorden di Pulau Bangka namun tidak bertahan lama karena memilih kembali
konsentrasi dengan tugasnya sebagai Ketua Komunitas Peduli Lingkungan
(KPL) Majalaya sampai sekarang. Pemuda yang tinggal di Kampung
Saparako Desa Majalaya Kecamatan Majalaya Kabupaten Bandung ini,
memiliki obsesi yang kuat untuk melakukan pemberdayaan dan penguatan masyarakat marjinal.
Marjinalisasi masyarakat bawah adalah keseharian yang ditemuinya di kawasan Majalaya sebagai
basis industri di Kabupaten Bandung. Kepentingan pemilik modal yang sangat kuat telah
meminggirkan kepentingan penduduk lokal terhadap lingkungan hidup yang baik. Selain
memiliki concern terhadap persoalan lingkungan hidup, Umar juga aktif di organisasi Generasi
Muda Majalaya (GMM) serta turut membidani lahirnya Paguyuban Becak Majalaya. Di tingkatyang lebih luas, pemuda lajang ini juga menjadi Koordinator Divisi Advokasi pada Pusat
Sumberdaya Komunitas (PSDK). ”Penegakkan hukum lingkungan hidup harus dimulai dengan
menangkap dan mengadili para penjahat lingkungan kelas kakap. Mereka adalah para pemilik
modal yang telah menimbulkan kerusakan lingkungan dalam skala luas dan para birokrasi yang
telah memberi jalan pada tindak kejahatan lingkungan tersebut” Ujar Koordinator Koalisi
Komunitas Korban Lingkungan (K3L) itu dengan nada geram.
8. Deni Riswandani, S.Sos. Menjadi guru spiritual pada Majelis Zikir Attoyibah tidak mengikis
kepeduliannya terhadap permasalahan pencemaran limbah industri di
Majalaya. Alumnus Fisipol Universitas Tanjungpura (Untan) Pontianak
tahun 1999 ini merupakan korban langsung dari perilaku industri pencemar
di kawasan industri terbesar di Cekungan Bandung. Pada awal tahun 2005, bersama dengan masyarakat Majalaya lainnya melakukan penelitian
partisipatif tentang permasalahan pencemaran. Upaya ini dilanjutkan dengan
pembentukan organisasi Komunitas Peduli Lingkungan (KPL) Majalaya pada
tanggal 27 Maret 2005. Melalui organisasi KPL inilah gerakan perlawanannya terhadap para
industri pencemar terus berlanjut. ”Tekanan dan intimidasi adalah hal yang biasa kita temui dalam
praktek advokasi di lapangan. Sebagai masyarakat korban yang memiliki pemikiran kritis, kita
tidak boleh berhenti berjuang. Nasib suatu kaum hanya dapat dirubah oleh dirinya sendiri.” Papar
pria kelahiran Majalaya Juni 1972 ini tenang.
9. Wulandari. Adalah satu dari sedikit aktivis gerakan mahasiwa 98 yang memilih kembali ke
kampung halamannya. Kembali ke kampung bukan berarti berhenti
menjalankan cita–cita perubahan. Lulus dari IKIP Bandung JurusanPendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan tahun 2001 Wulandari langsung
terlibat dalam dinamika sosial di Majalaya. Kiprahnya di mulai membentuk
Forum Masyarakat Majalaya Sejahtera (FM2S) dengan fokus perhatian pada
pada penyelesaian permasalahan lokal Majalaya baik dengan cara
pengorganisasian masyarakat maupun melalui kerja advokasi perubahan
kebijakan. Meski sudah dikaruniai satu orang putra berusia 3 tahun, Wulan,
masih terus melakukan kerja- kerja tersebut. Tahun 2002 bersama dengan para tokoh masyarakat
Majalaya mendirikan Radio Komunitas Majalaya Sejahtera yang lebih dikenal sebagai Radio
MASE. Tidak berhenti di situ, melihat kerusakan lingkungan hidup Majalaya yang semakin parah
akibat pencemaran limbah cair dan batubara, perempuan kelahiran 6 Januari 1979 pun
memfasilitasi masyarakat korban untuk mengorganisir diri dalam sebuah organisasi yang bernama
Komunitas Peduli Lingkungan (KPL). Pernyataannya di sebuah media massa nasional tentang
7/16/2019 Sulitnya Mencari Keadilan
http://slidepdf.com/reader/full/sulitnya-mencari-keadilan 138/139
Suara Korban Kerusakan Lingkungan di Cekungan Bandung;
SULITNYA MERAIH KEADILAN124
praktek suap oleh pabrik pencemar terhadap oknum petugas Dinas Lingkungan Hidup (DLH)
Kabupaten Bandung mengundang kemarahan Kepala Dinas Lingkungan Hidup. Wulan pun
didatangi oleh tiga orang staf dinas dan diminta menghadap sang kepala dinas. Permintaan itu
tidak digubris. Upayanya membongkar kolusi dalam praktek pengawasan limbah pabrik terus
dilakukan bersama para pegiat KPL. ”Keyakinan bahwa yang dilakukan ini adalah benar serta
akan membawa dampak baik terhadap Kota Majalaya dan warganya, membuat saya bertekad
terus melangkah, apalagi saya mendapat dukungan penuh dari suami” ujar warga Kampung
Kondang Majalaya yang oleh para pegiat K3L akrab dipanggil Bu Haji ini. Di tingkat yang lebih
luas, Wulan terlibat di Perkumpulan Inisiatif sebagai Kepala Divisi Penguatan Inisiatif Lokal.
10. Euis Widia. Meski tidak secara khusus mendalami wacana gender, kodratnya sebagai perempuan
tak menghalangi Euis untuk melakukan kegiatan yang beresiko.
Perempuan lajang kelahiran 19 November 1977 ini dikenal sebagai salah
satu pegiat Komunitas Peduli Lingkungan (KPL) Majalaya yang aktif
menentang praktek pencemaran oleh pelaku industri di Majalaya.
Langkahnya ini sempat menuai reaksi balik dari pihak industri maupun
aparat pemerintah yang merasa terganggu. Namun anggota organisasi
Generasi Muda Majalaya (GMM) ini tetap bergeming. ”Jika kita berhenti maka tidak akan pernahada keadilan terhadap para korban pencemaran dan Kota Majalaya tidak akan pernah bisa
menghadirkan kondisi lingkungan yang sehat bagi warganya” papar dara lulusan SMEA
Muhammadiyah Majalaya tahun 1996 ini.
11. Atep Kamaludin Alramadhan. Disela kesibukannya mempersiapkan ujian Seleksi Penerimaan
Mahasiswa Baru (SPMB), Akmal, masih menyempatkan diri untuk
menulis. Lelaki muda yang lahir pada tanggal 13 Maret 1986 ini,
merupakan salah satu anggota Komunitas Peduli Lingkungan (KPL)
Majalaya. Kesadarannya untuk melakukan advokasi terhadap pesoalan
lingkungan hidup tumbuh karena posisinya sebagai korban langsung dari
pencemaran industri di Majalaya. Kesadaran itu semakin berkembang
setelah mengikuti Pelatihan Pendamping Masyarakat Bidang Lingkungan Hidup yangdiselenggarakan oleh KPL. Akmal pun mulai mengembangkan kesadaran yang sama di kalangan
Gerakan Pramuka yang selama ini di binanya. ”Dasa Darma Pramuka sesungguhnya mengajarkan
hal yang sama, namun penerapannya saja yang masih tertinggal jauh”, ujar Alumnus SMK Karya
Pembangunan 1 Majalaya ini.
12. M. Jefry Rohman. Kiprahnya dalam persoalan lingkungan hidup setelah terlibat sebagai panitia
Pameran Lingkungan Hidup Tingkat Jawa Barat yang diselenggarakan oleh
Warga Peduli Lingkungan Hidup (WPL) pada tahun 2003. Semenjak itu
lelaki bujang kelahiran Bandung, 8 Agustus 1977 ini merasa tergerak untuk
terlibat dalam advokasi permasalahan lingkungan hidup. Pada tahun 2005
bersama pegiat lingkungan dari beberapa komunitas yang concern dengan
persoalan Citarum mendirikan Pusat Sumber Daya Komunitas (PSDK) yang berkedudukan di Baleendah Kabupaten Bandung. Hingga kini lulusan
Madrasah Tsanawiyah Al Ikhlas Bojongkunci Kecamatan Pameungpeuk ini
masih dipercaya sebagai koordinator. Isu Persampahan merupakan bidang yang menjadi perhatian
khusus. Dalam dinamika advokasi persampahan di Cekungan Bandung dia terlibat aktif
mendampingi warga Citatah yang menolak pembangunan Tempat Pembuangan Akhir (TPA)
Sampah pada awal tahun 2006.
13. Rival Zaelani. Para pegiat K3L Cekungan Bandung sering memanggilnya Si Bungsu. Mungkin
karena perawakannya kecil mungil dan tingkahnya yang terkesan
innocent . Namun dibalik kesan itu, Rival termasuk pemuda yang
memiliki peran penting dalam dinamika di kampungnya. Jabatannya
adalah sebagai Ketua Karang Taruna Desa Rancamanyar Kecamatan
7/16/2019 Sulitnya Mencari Keadilan
http://slidepdf.com/reader/full/sulitnya-mencari-keadilan 139/139
Baleendah Kabupaten Bandung. Tumbuh dan berkembang di pemukiman yang berhadapan
langsung dengan Sungai Citarum membuat lelaki kelahiran Bandung 24 Mei 1983 dan
mahasiswa Jurusan Syariah Sekolah Tinggi Agama Islam (STAI) Yamisa Baleendah ini sangat
akrab dengan permasalahan Citarum sehari–hari. Pendangkalan, banjir, bau limbah dan sampah
adalah pemandangan yang hadir setiap hari di hadapan matanya. Kondisi tersebut membawanya
terlibat dalam pengembangan program Kawasan Bersih Warga Mandiri (KBWM) di Desa
Rancamanyar. Program ini bertujuan membangun keswadayaan masyarakat dalam mengangkut,
memilah dan mengelola sampah. Bukan hanya itu, bersama kawan sejawatnya di karang taruna
Rival tengah melakukan penelitian partisipatif tentang persoalan lingkungan hidup di desanya.
”Menurut Rival mah, Karang Taruna itu tidak hanya identik dengan penyelenggaraan pesta
agustusan saja. Lebih jauh lagi harus terlibat dalam menyelesaikan permasalahan–permasalahan
lain yang ada di desa, termasuk soal kerusakan lingkungan hidup” ujarnya.