32
SURAT KABAR Guru Belajar | 1 Guru Belajar 10 April 2016 Menularkan Kegemaran Belajar Edisi 3 Tahun I | GuruBelajar.org ANAK KECIL DISIPLIN? BISA! Guru Elvira bercerita tentang perubahan yang dialaminya. Perubahan yang berdampak pada kedisiplinan pelajarnya MEMBANTU ANAK MENYELESAIKAN KONFLIK Bila konflik dengan teman, apakah anak cukup minta maaf? Simak kisah Guru Lany Rh TATA ATUR RUANG KELAS Kisah Guru Pramudia membangun keteraturan untuk menumbuhkan perilaku teratur pelajarnya TIGA PRINSIP DISIPLIN Kedisiplinan ternyata bukan tentang pemahaman pelajar tentang aturan, tapi pemahaman guru tentang pelajarnya. Simak Kisah Guru Maria ini Kesadaran & Disiplin Kita seringkali terlalu cepat menuntut kedisiplinan, tapi terlalu lambat menumbuhkan kesadaran pada anak. Sadar atau tidak, kita sebagai pendidik seringkali banyak dan sering menuntut anak-anak untuk berdisiplin. Hari pertama masuk kelas, kita sudah berharap anak- anak tahu dan paham peraturan. Karena itu kita menuntut mereka untuk berperilaku sesuai aturan. Kita menuntut anak-anak seolah anak adalah robot yang sekali diberi instruksi akan langsung jalan. Kita seringkali abai dan tidak sabar membangun kesadaran anak-anak tentang pentingnya berdisiplin. Anak-anak itu manusia sebagaimana juga kita yang butuh waktu untuk belajar mengembangkan suatu perilaku. Kita, anak-anak maupun pendidik, belajar bila apa yang dipelajari relevan dengan kebutuhan dan kehidupan kita. Kita belajar bisa merasa berdaya untuk melakukan tindakan. Kisah-kisah guru pada Surat Kabar Edisi Ketiga ini menceritakan berbagai upaya menumbuhkan kedisiplinan dari kesadaran dalam diri anak. Disiplin bukan karena patuh pada perintah, takut kena hukuman atau mengejar ganjaran. Disiplin yang tumbuh dari kesadaran anak-anak kita. Itulah Disiplin Positif. Dengan disiplin positif, anak-anak akan lebih mencintai belajar, lebih tangguh menghadapi kesulitan, keterampilan berpikirnya berkembang hingga bisa mencapai prestasi akademik lebih baik. Lebih jauh lagi, disiplin positif mendukung terbentuknya interaksi dan budaya sekolah yang positif. Semoga kisah-kisah pada edisi kali ini dapat memicu kesadaran kita untuk membangun kesadaran anak-anak sejak dini. Mari belajar bersama! [email protected] Facebook: KapusGuruCikal Twitter: @KampusGuruCikal

Surat Kabar Guru Belajar Edisi 3 - kampusgurucikal.com · disiplin baik di rumah maupun di sekolah seringkali salah kaprah. ... diberi kepercayaan untuk mengajar di Kelompok B (usia

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: Surat Kabar Guru Belajar Edisi 3 - kampusgurucikal.com · disiplin baik di rumah maupun di sekolah seringkali salah kaprah. ... diberi kepercayaan untuk mengajar di Kelompok B (usia

SURAT KABAR Guru Belajar | 1

Guru Belajar 10 April 2016

Menularkan Kegemaran BelajarEdisi 3 Tahun I | GuruBelajar.org

ANAK KECIL DISIPLIN? BISA!

Guru Elvira bercerita tentang perubahan yang dialaminya. Perubahan yang berdampak pada kedisiplinan pelajarnya

MEMBANTU ANAK MENYELESAIKAN

KONFLIK Bila konflik dengan teman, apakah anak cukup minta

maaf? Simak kisah Guru Lany Rh

TATA ATUR RUANG KELAS

Kisah Guru Pramudia membangun keteraturan

untuk menumbuhkan perilaku teratur pelajarnya

TIGA PRINSIP DISIPLIN Kedisiplinan ternyata bukan tentang pemahaman pelajar

tentang aturan, tapi pemahaman guru tentang

pelajarnya. Simak Kisah Guru Maria ini

Kesadaran & DisiplinKita seringkali terlalu cepat menuntut kedisiplinan, tapi terlalu lambat menumbuhkan kesadaran pada anak.

Sadar atau tidak, kita sebagai pendidik seringkali banyak dan sering menuntut anak-anak untuk berdisiplin. Hari pertama masuk kelas, kita sudah berharap anak-anak tahu dan paham peraturan. Karena itu kita menuntut mereka untuk berperilaku sesuai aturan.

Kita menuntut anak-anak seolah anak adalah robot yang sekali diberi instruksi akan langsung jalan. Kita seringkali abai dan tidak sabar membangun kesadaran anak-anak tentang pentingnya berdisiplin.

Anak-anak itu manusia sebagaimana juga kita yang butuh waktu untuk belajar mengembangkan suatu perilaku. Kita, anak-anak maupun pendidik, belajar bila apa yang dipelajari relevan dengan kebutuhan dan kehidupan kita. Kita belajar bisa merasa berdaya untuk melakukan tindakan.

Kisah-kisah guru pada Surat Kabar Edisi Ketiga ini menceritakan berbagai upaya menumbuhkan kedisiplinan dari kesadaran dalam diri anak. Disiplin bukan karena patuh pada perintah, takut kena hukuman atau mengejar ganjaran. Disiplin yang tumbuh dari kesadaran anak-anak kita. Itulah Disiplin Positif.

Dengan disiplin positif, anak-anak akan lebih mencintai belajar, lebih tangguh menghadapi kesulitan, keterampilan berpikirnya berkembang hingga bisa mencapai prestasi akademik lebih baik. Lebih jauh lagi, disiplin positif mendukung terbentuknya interaksi dan budaya sekolah yang positif.

Semoga kisah-kisah pada edisi kali ini dapat memicu kesadaran kita untuk membangun kesadaran anak-anak sejak dini. Mari belajar bersama!

[email protected] Facebook: KapusGuruCikal Twitter: @KampusGuruCikal

Page 2: Surat Kabar Guru Belajar Edisi 3 - kampusgurucikal.com · disiplin baik di rumah maupun di sekolah seringkali salah kaprah. ... diberi kepercayaan untuk mengajar di Kelompok B (usia

SURAT KABAR Guru Belajar | 2

Anak Kecil Disiplin?Ternyata Bisa…Seringkali kita berpikir “namanya juga anak-anak” sehingga memaklumi ketika anak-anak tidak disiplin. Tapi praktik dari hasil sebuah pelatihan membawa Bu Elvira pada kesimpulan bahwa ternyata bisa menumbuhkan kedisiplinan pada pelajar TK. Bagaimana caranya?

Saya adalah seorang guru Taman Kanak-Kanak di TK YPS LAWEWU, salah satu Taman Kanak-Kanak di kota Sorowako. Untuk dapat mencapai sekolah kami tidaklah susah, hanya memerlukan waktu sekitar 45 menit menggunakan pesawat dari Kota Makassar atau 12 jam menggunakan bus atau kendaraan pribadi. Sebagai guru di tempat yang boleh dikatakan sangat jauh dari ibu kota provinsi Sulawesi Selatan, saya bersyukur karena masih dianugerahi banyak akses untuk dapat berhubungan dengan daerah-daerah lain yang ada di Indonesia.

Saat ini saya diberikan kepercayaan untuk menjadi wali kelas di kelompok B dengan usia peserta didik 5-6 tahun. Peserta didik dengan usia 5-6 tahun tentunya memiliki karakteristik tertentu, diantaranya : menunjukkan keingintahuan yang besar dan aktif, dapat mengatur gerakan badan dengan lebih baik dan lebih luwes, motorik kasar dan halus berkembang lebih baik, perkembangan bahasa berlangsung dengan cepat untuk membantu anak untuk mengemukakan pikirannya,

menunjukkan lebih banyak kemampuan sosial, mulai dapat mengontrol emosinya sendiri, dan masih banyak karakteristik lainnya.

Semua karakteristik tersebut tentunya ingin dikembangkan dengan baik oleh sekolah kami agar nantinya dihasilkan peserta didik yang mandiri, percaya diri, disiplin, bertanggungjawab, bekerjasama, dan cinta lingkungan sesuai dengan visi sekolah kami.

Salah satu hal yang saya anggap penting untuk mencapai visi tersebut adalah dengan penerapan disiplin kepada peserta didik saya. Disiplin adalah suatu cara untuk membantu anak agar dapat mengembangkan pengendalian diri. Disiplin dapat mencakup pengajaran, bimbingan, atau dorongan yang dilakukan oleh orang tua dan guru kepada anak atau peserta didiknya. Menerapkan disiplin kepada anak bertujuan agar anak dapat belajar sebagai makhluk sosial sekaligus agar anak mencapai pertumbuhan serta perkembangan yang optimal.

Sama PentingnyaSama pentingnya, belajar antri dengan belajar matematika

Sama pentingnya, belajar membuang sampah dengan belajar menulis

Sama pentingnya, belajar menghargai teman dengan belajar berhitung

Guru Belajar 10 April 2016

Menularkan Kegemaran Belajar

Page 3: Surat Kabar Guru Belajar Edisi 3 - kampusgurucikal.com · disiplin baik di rumah maupun di sekolah seringkali salah kaprah. ... diberi kepercayaan untuk mengajar di Kelompok B (usia

SURAT KABAR Guru Belajar | 3

Namun, seringkali dalam penerapan disiplin baik di rumah maupun di sekolah seringkali salah kaprah. Disiplin sering kali digambarkan sebagai peraturan yang bersifat kaku, tegas, dan sarat dengan hukuman. Bahkan masih jelas dalam ingatan saya, tipe pendidikan di jaman saya SD hingga Perguruan Tinggi kalau tidak mengerjakan tugas atau tidak memperhatikan pelajaran guru, maka bersiaplah untuk terkena hukuman fisik entah itu dijemur di bawah tiang bendera, berdiri dengan satu kaki dengan kedua tangan bersilangan memegang telinga, berlari keliling lapangan, bahkan mendapat lemparan penghapus papan tulis atau pukulan penggaris kayu. Di rumah pun demikian apabila tidak melaksanakan tugas rumah ataupun pulang bermain dengan keadaan baju kotor pasti akan terkena hukuman fisik. Dari pengalaman saya ini, bukannya membawa rasa kapok, namun seringkali membuat saya atau anak-anak lain yang mengalami hal yang sama untuk mencoba-coba lagi.

Dunia Taman Kanak-Kanak yang saya geluti saat ini adalah dunia yang penuh dengan canda tawa dan kegembiraan dari peserta didik usia 4-6 tahun. Dalam menghadapi peserta didik dengan rentang usia tersebut, saya selaku guru tidak mungkin berlaku tegas dan kasar seperti yang saya ceritakan sebelumnya dalam menegakkan

aturan di dalam kelas. Tentunya saya sebagai guru Taman Kanak-Kanak dituntut untuk dapat memberikan pengajaran atau bimbingan kepada peserta didik dengan lembut dan

penuh kasih sayang layaknya seorang ibu kepada anak-anaknya.

Pada awalnya untuk mengatur keadaan atau suasana tertib di dalam kelas saya biasa membuat aturan kelas. Aturan kelas tersebut kemudian saya sosialisasikan kepada peserta didik saya di awal masuk tahun ajaran baru. Pada saat saya masih diberikan kepercayaan untuk mengajar di Kelompok A (usia 4-5 tahun) dari tahun 2007 ‒ 2015, biasanya saya mensosialisasikan aturan tersebut pada minggu kedua atau ketiga tahun ajaran baru, setelah peserta didik saya sudah sedikit tenang dan beradaptasi dengan lingkungan barunya. Biasanya aturan tersebut dapat bertahan untuk dilaksanakan oleh peserta didik saya selama 2-3 minggu saja, selanjutnya lebih banyak saya yang mengingatkan mereka.

Awalnya saya anggap ‘yah maklumlah namanya saja anak-anak terkadang memang selalu diingatkan’, namun setelah beberapa tahun hal yang sama terjadi lagi. Dalam pikiran saya mulai mencari

tahu kira-kira apa yang salah tapi saya belum menemukan jawabannya. Beberapa trik juga saya lakukan termasuk memberi reward, namun lagi-lagi peserta didik hanya

menaati peraturan di saat ada ‘iming-iming’

pemberian reward. Saat saya diberi kepercayaan untuk mengajar

di Kelompok B (usia 5-6 tahun) di pertengahan tahun 2015, saya kembali membuat aturan kelas bagi peserta didik saya. Namun, kembali hal yang hampir sama terjadi kembali.

Hingga akhirnya pada bulan Januari lalu ada tawaran dari Kampus Guru Cikal yang bekerjasama dengan Komunitas Guru Belajar Sorowako untuk mengikuti “Pelatihan Disiplin Positif”. Merasa tergerak hati ini untuk mengikuti pelatihan ini. Apalagi diadakannya di Sorowako, dekat dari rumah dan pembicaranya langsung dari Kampus Guru Cikal Jakarta. Besar harapan saya untuk menimba ilmu yang banyak mengenai disiplin di pelatihan ini, agar semua pertanyaan saya beberapa tahun terakhir dapat terjawab. Pelatihan ini berlangsung selama dua hari. Selama dua hari pelatihan ini berlangsung tak pernah terasa mengantuk sama sekali, bahkan semakin sore semakin bersemangat. Apalagi ditambah

Guru Belajar 10 April 2016

Menularkan Kegemaran Belajar

Page 4: Surat Kabar Guru Belajar Edisi 3 - kampusgurucikal.com · disiplin baik di rumah maupun di sekolah seringkali salah kaprah. ... diberi kepercayaan untuk mengajar di Kelompok B (usia

SURAT KABAR Guru Belajar | 4

dengan banyaknya permainan dan bertukar cerita dengan guru-guru sekitar Luwu Timur yang juga ikut dalam pelatihan ini.

Setelah mengikuti pelatihan pikiran saya mulai terbuka. Disiplin ternyata bukan masalah penegakan peraturan yang selalu sibuk saya lakukan di awal tahun pembelajaran. Disiplin positif menekankan pada perilaku positif, dengan mengajarkan dan menguatkan (reinforce) perilaku yang baik, sehingga dalam setiap lini dalam pembelajaran kita bisa terapkan disiplin positif ini. Disiplin positif ini pula memiliki tujuan jangka panjang dan harus disadari sebagai sesuatu yang dimotivasi oleh diri peserta didik secara mandiri dan iklas. Apabila seorang peserta didik dalam dirinya telah tumbuh disiplin positif, maka tanpa diminta pun ia akan melakukan perilaku positif.

Dalam pelatihan ini kami dikenalkan dengan kesepakatan bersama untuk menggantikan istilah aturan kelas. Bahkan langkah-langkah untuk membuat kesepakatan bersama ini kami latih bersama. Disiplin positif juga tidak mengenal istilah hukuman, karena hukuman itu dapat meyakiti secara fisik maupun psikis dan seringkali tidak relevan dengan pelanggaran yang dilakukan bahkan terkadang dikenakan kepada orang-orang yang sebenarnya tidak terlibat di dalam pelanggaran tersebut.

Hal inilah yang coba saya terapkan setelah menjalani pelatihan ‘disiplin positif’. Dimulai dengan membuat kesepakatan bersama dengan peserta didik saya. Terkadang kita berpikir anak seusia mereka (5-6 tahun) akan sulit untuk diajak berdiskusi

membuat kesepakatan bersama, namun ternyata pendapat ini keliru. Mereka bahkan memiliki pola pikir sendiri yang menurut saya ‘mengagumkan’.

Sebagai permulaan saya mengamati perilaku positif apa yang kira-kira menjadi proritas saya agar kelas saya menjadi lebih tenang dan tertib. Akhirnya setelah mengamati beberapa waktu, saya memutuskan untuk mengajak peserta didik saya untuk membuat kesepakatan mengenai perilaku mau mendengarkan orang lain yang sedang berbicara. Mengajak anak seusia mereka untuk berdiskusi tentunya memerlukan strategi yang berbeda dari kita orang dewasa. Saya memutuskan menggunakan metode bercerita.

Secara klasikal saya coba memperdengarkan suatu cerita

kepada mereka. Cerita ini sebenarnya cukup sederhana mengenai seorang anak yang bepergian dengan mamanya. Di tengah jalan mamanya memberi pesan kepadanya untuk menunggu mamanya di suatu tempat karena

mamanya akan pergi sebentar ke atm, namun karena anak tersebut asik bermain dengan gadget barunya, ia pun akhirnya tidak mendengar apa yang dipesankan oleh mamanya saat sedang berbelanja di suatu mall. Akhirnya si anak panik mencari mamanya karena ia tidak

mendengar pesan yang disampaikan oleh mamanya.

Belum lagi cerita ini selesai, sudah banyak peserta didik saya berkomentar sambil memasang wajah kesal ‘ih…tidak mendengarnya itu anak deh! Padahal sudah tadi mamanya pesan duduk di kursi berwarna biru yang ada di pintu keluar!’ ada pula yang berceloteh ‘rusak telinganya bu guru’ ada juga yang mengatakan dengan logat kental daerah Sorowako ‘siapa suruh main gadget terus jadi hilang mi mamanya!’ Kadang tergelitik hendak tertawa lebar saat mendengar celotehan mereka, namun tidak saya lakukan dan justru mulai berpikir untuk membuat pertanyaan pancingan yang dapat mengarah pada perilaku positif yang saya harapkan muncul di dalam diri peserta didik saya.

Guru Belajar 10 April 2016

Menularkan Kegemaran Belajar

Page 5: Surat Kabar Guru Belajar Edisi 3 - kampusgurucikal.com · disiplin baik di rumah maupun di sekolah seringkali salah kaprah. ... diberi kepercayaan untuk mengajar di Kelompok B (usia

SURAT KABAR Guru Belajar | 5

Setelah menyelesaikan cerita, saya mulai memancing peserta didik dengan pertanyaan berikut : Apa sih gunanya telinga? Kenapa sih anak di dalam cerita tadi menangis mencari mamanya? Apa yang sebaiknya dilakukan oleh anak tersebut saat mamanya sedang berbicara? Setelah mereka menjawabnya saya kemudian mulai menggiring keadaan mereka pada suasana kelas yang sering berisik saat ibu guru atau salah seorang temannya sedang berbicara di depan kelas.

Dan mulailah saya mengatakan bahwa apa yang terjadi di dalam cerita tadi hampir mirip dengan kejadian di kelas kita setiap harinya. Seringkali ibu guru berbicara tapi anak-anak sibuk juga bercerita dengan temannya atau saat temannya sedang bercerita ada saja yang sibuk menganggu temannya. Saya mencoba mengajak mereka merasakan apa yang dirasakan ibu guru atau teman mereka yang sedang berbicara, namun tidak didengarkan. Berbagai tanggapan muncul.

Saya selaku ibu guru pun menampung semua tanggapan tersebut dan membantu merumuskan kesepakatan bersama apa yang dapat dihasilkan dari semua tanggapan mereka. Dari proses ini akhirnya lahir kesepakatan bersama di dalam kelas bahwa siapapun yang berbicara harus didengarkan dan bila ada yang mau diungkapkan hendaklah mengangkat

tangan terlebih dahulu dan meminta ijin berbicara. Setelah ada kesepakatan tersebut, ibu guru kemudian membantu untuk membuat displaynya dan semua

peserta didik termasuk ibu guru memberikan cap jempol pada display tersebut sebagai tanda bahwa perilaku positif tersebut merupakan hasil kesepakatan bersama semua penghuni kelas.

Syukurlah sejak dimulainya kesepakatan tersebut sekitar dua bulan ini saya tidak sesering dulu lagi mengingatkan mereka, bahkan sudah banyak ‘asisten ibu guru’ yang rajin mengingatkan teman-temannya apabila ada yang mulai menunjukkan gejala pelanggaran terhadap kesepakatan bersama yang telah dibuat.

Pada minggu ini kebetulan kami memasuki tema alat komunikasi

tradisional salah satunya adalah sub tema ‘lonceng’. Sebagai alat komunikasi, maka lonceng dapat digunakan untuk menyampaikan pesan. Untuk itu kembali saya mengajak peserta didik saya untuk berdiskusi bagaimana lonceng ini dapat membantu kita untuk

menyampaikan pesan mengenai kesepakatan bersama yang telah kita buat sebelumnya. Akhirnya muncul ide mereka untuk membuat bunyi-bunyian tertentu untuk beberapa pesan yang menyangkut perilaku positif yang sudah kita sepakati bersama.

Jadi sekarang kami tidak perlu berlelah-lelah lagi

untuk berteriak apabila terjadi perilaku negatif yang dapat

mengganggu ketertiban kelas. Cukup dengan membunyikan lonceng, maka perhatian peserta didik akan cepat teralih dengan sibuk menerjemahkan pesan rahasia dibalik bunyi tersebut, sehingga tanpa diminta dengan kata-kata mereka akan kembali teringat dan melakukan perilaku positif yang telah kita sepakati bersama.

Kami juga membuat kesepakatan bersama untuk selalu mengantri pada saat masuk/keluar kelas, mengambil tugas, mencuci tangan, mengambil makanan, dan naik atau turun bus. Kalau awalnya mereka harus selalu diteriaki karena suka berlari mendahului temannya yang sudah berbaris terlebih dahulu saat akan naik ke atas bis, sekarang

Guru Belajar 10 April 2016

Menularkan Kegemaran Belajar

Page 6: Surat Kabar Guru Belajar Edisi 3 - kampusgurucikal.com · disiplin baik di rumah maupun di sekolah seringkali salah kaprah. ... diberi kepercayaan untuk mengajar di Kelompok B (usia

SURAT KABAR Guru Belajar | 6

Guru Belajar 10 April 2016

Menularkan Kegemaran Belajar

mereka dapat berbaris lebih rapi bahkan sudah dapat mengingatkan teman-temannya yang mungkin kelupaan untuk mengantri. Apabila ada yang menyerobot barisan temannya, maka dengan senang hati ia harus bersabar untuk naik paling akhir ke atas bus setelah semua teman-temannya naik.

Selain itu saat bertemu dengan sampah-sampah plastik ataupun kertas mereka mulai memungutnya, yah walaupun hanya beberapa peserta didik yang melakukannya, namun itu sudah merupakan kemajuan yang cukup berarti bagi perkembangan mereka. Kalaupun ada yang mengaku lupa untuk membuang sampah di tempat sampah, maka kami bersepakat bahwa yang melakukannya harus dengan senang hati memungut sampahnya ditambah dengan memungut lima sampah plastik atau kertas yang ada di sekitarnya, kemudian membuangnya di tempat sampah.

Bagi mereka yang dengan setia menjalankan kesepakatan bersama tak lupa untuk saya apresiasi. Apresiasinya dapat berupa kalimat penyemangat, kalimat yang menunjukkan penghargaan, dan juga perhatian seperti senyuman ataupun tanda jempol. Pemberian reward mulai saya kurangi agar nantinya mereka tidak melakukan suatu perilaku positif karena adanya ‘iming-iming’ reward atau hadiah. Kalaupun saya terkadang memberikan tanda cap bintang atau kupu-kupu itu karena mereka saya lihat konsisten melakukan perilaku

positif tersebut, itupun disertai dengan konfirmasi atas perilaku positif yang telah dilakukannya.

Selain dalam membuat kesepakatan bersama di dalam dan di luar kelas, disiplin positif ini juga sangat membantu saya dalam menyelesaikan beberapa permasalahan antar peserta didik seperti : rebutan mainan, bertengkar akibat ada yang usil,memukul atau menendang teman bermain, dan sebagainya. Kalau dulu saat menemui permasalahan tersebut saya hanya menyelesaikannya dengan cara ceramah dan mengakhirinya dengan meminta mereka bersalaman. Kalau sekarang setiap menemui permasalahan seperti itu, maka saya akan meminta peserta didik saya untuk duduk bersama dan bertanya mengapa permasalahan tersebut dapat terjadi. Tentunya apabila ada dua orang yang terlibat, maka sebagai ibu guru yang baik saya wajib mendengarkan kedua versi dari orang-orang yang terlibat di dalamnya.

Setelah mengetahui akar permasalahannya, saya akan memberikan beberapa pertanyaan lagi seperti : Apakah kalian senang apabila diperlakukan seperti demikian? Apakah perilaku tersebut adalah perilaku positif? Bagaimana ya agar masalah seperti itu tidak terjadi lagi? Apakah bisa berperilaku positif? Kapan kamu dapat memulainya? Dengan pertanyaan-pertanyaan tersebut, maka akan memberdayakan anak, sehingga akan timbul refleksi atau evaluasi atas perilaku yang mereka lakukan.

Memang belum banyak yang saya terapkan mengenai disiplin positif ini, namun paling tidak saya sudah mulai merasakan kemudahan dalam mengontrol ketenangan kelas dan merasakan banyak perubahan dalam diri peserta didik saya. Saya berencana pada saat pengambilan mid semester kedua yang sebentar lagi akan berlangsung ini, hal ini dapat saya sampaikan ke orang tua peserta didik sehingga paling tidak ada kesamaan pola asuh antara di sekolah dan rumah, mengingat waktu peserta didik di sekolah paling banyak hanya 2 jam setiap hari dan sisa waktu mereka habiskan di rumah bersama orang tua, saudara, dan teman-temannya. Semoga dengan kerjasama dari orang tua, maka perilaku positif akan terus bertumbuh dan berkembang di dalam diri peserta didik sepanjang hayat mereka, bahkan dapat ditularkan ke orang-orang di sekitar mereka.

Elvira Malino

Guru TK YPS Lawewu, Soroako

Page 7: Surat Kabar Guru Belajar Edisi 3 - kampusgurucikal.com · disiplin baik di rumah maupun di sekolah seringkali salah kaprah. ... diberi kepercayaan untuk mengajar di Kelompok B (usia

SURAT KABAR Guru Belajar | 7

Guru Belajar 10 April 2016

Menularkan Kegemaran Belajar

DiferensiasiMemahami Pelajar untuk Belajar Bermakna dan Menyenangkan

Penerbit: Literati & Kampus Guru Cikal Penulis: Najelaa Shihab & Komunitas Guru Belajar Editor: Bukik Setiawan dan Siti Nur Andini ISBN: 978-602-8740-52-4 Tebal: VI + 252 halaman Dimensi: 14 x 21 cm

Tertarik mendapatkan buku ini? Klik di http://bit.ly/BukuDiferensiasi

Sebagaimana rekan-rekan guru ketahui, Komunitas Guru Belajar sudah menerbitkan satu buku yang berjudul Diferensiasi, Memahami Pelajar untuk Belajar Bermakna dan Menyenangkan pada akhir tahun 2015. Buku ini semula dicetak terbatas tapi karena banyak peminat akan dicetak banyak dan disebarkan melalui toko buku. Nantikan ya

Kabar gembiranya, kami mengundang rekan-rekan guru belajar untuk juga menulis buku. Topik buku kedua ini sama dengan topik Surat Kabar Edisi Ketiga kali ini yaitu Disiplin Positif.

Mengapa penting menulis buku tentang Disiplin Positif? Karena berdasarkan pengamatan di lapangan dan masukan dari rekan guru, agenda

menumbuhkan kedisiplinan pada pelajar masih menjadi tantangan besar buat banyak guru. Banyak guru yang masih kesulitan dan kehabisan energi hanya untuk membangun kedisiplinan pelajarnya.

Semua tulisan yang terbit di Surat Kabar ini akan masuk dalam proses penyusunan buku Disiplin Positif, langsung diterima maupun melalui revisi lanjutan.

Kami mengundang rekan guru yang lain untuk terlibat dalam penulisan buku Disiplin Positif. Kami juga mengundang pelajar dan orangtua untuk ikut menulis pengalaman belajarnya terkait disiplin positif. Tentu menarik memahami disiplin positif dari sisi pandang pelajar dan orangtua.

Silahkan rekan guru untuk mengajak pelajar dan orangtua pelajar Anda :)

Tertarik untuk menulis pengalaman anda terkait Disiplin Positif? Simak caranya

1. Unduh panduan Penulisan #PraktikCerdas di http://bit.ly/MenulisKGB

2. Tuliskan sesuai panduan dan simpan dalam file dengan nama: Buku #PraktikCerdas "Nama Penulis"

3. Emailkan file beserta foto diri dan foto aktivitas dengan subyek email: Buku #PraktikCerdas "Nama Penulis" ke [email protected]

Naskah paling lambat kami terima pada Selasa, 14 Juni

2016. Silahkan masukkan reminder batas waktu tersebut agar ingat untuk menulis dan

mengirimkannya :)

Yuk menulis buku Disiplin Positif

Page 8: Surat Kabar Guru Belajar Edisi 3 - kampusgurucikal.com · disiplin baik di rumah maupun di sekolah seringkali salah kaprah. ... diberi kepercayaan untuk mengajar di Kelompok B (usia

SURAT KABAR Guru Belajar | 8

Anak berusia 6-8 tahun sedang membangun kemampuan komunikas inya . Pada us ia in i perkembangan kosakatanya pada umumnya sudah sangat baik. Anak-anak sudah mulai menerapkannya pada lingkungan sebaya, dan mulai mengembangkan kemampuan komunikasi ini secara fungsional. Di antaranya untuk menyampaikan pendapat dan menyelesaikan masalah.

Saya akan mengambil salah satu fungsi komunikasi yang dikembangkan di sekolah pada usia ini, yaitu tentang menyelesaikan masalah. La tar be lakangnya ada lah pengalaman kejadian sehari-hari di kelas yang saya ampu. Dalam kegiatan sekolah, baik i tu kegiatan belajar ataupun saat bermain, anak-anak kerap menemukan perselisihan satu sama lain. Saat berselisih dengan temannya, pada umumnya anak akan mencari gurunya untuk mengadukan masa l ahnya . Hukumnya sama di mata anak, saya adalah korban dan oleh karena itu saya benar, sementara teman saya bersalah. Hahaha, lucu bukan?

Mungkin bagi sebagian besar kita yang dewasa cerita itu membuat gemas , seka l i gus mengkhawatirkan. Akan ada banyak keributan, dari berantem sampai menangis. Mungkin juga akan terjadi pertengkaran bersifat fisik yang berbahaya bagi anak. Kemudian seringkali ketika kondisi ini terjadi, orang dewasa di sekitar anak yang bertengkar akan langsung melerai, dan meminta keduanya bermaafan. Bagi anak-anak mungkin kadang mudah, toh sebentar kemudian

mereka akan ”lupa” pada pertengkarannya dan bermain kembali. Namun sebaiknya anak belajar untuk menyelesaikan masalahnya dengan cara yang baik dan adil.

Di kelas saya yang berisi anak-anak kecil, saya biasakan untuk belajar saling mendengar, dan bergantian berbicara. Hal ini berlaku untuk semua kegiatan, baik pada saat belajar, apalagi saat menyelesaikan masalah. Saat pertengkaran sudah sampai ke saya atau ”tertangkap tangan” oleh saya

sebagai gurunya, anak-anak akan cenderung langsung mengulurkan tangan tanda bermaafan. Ini k e b i a s a a n b a g u s , b i s a menyelesaikan masalah pada saat i tu, tapi sayang sekali j ika diterapkan tanpa dialog.

Usia 6-8 tahun saya anggap sudah mulai mengerti maksud lawan b i c a r a , d a n s u d a h b i s a mendengarkan secara lebih aktif. Oleh karenanya saya biasanya m em i n t a a n a k - a n a k y a n g berselisih untuk mencari tempat yang cukup aman dari jangkauan orang lain sehingga mereka bisa berbincang tanpa gangguan. Hal ini penting untuk menunjukkan bahwa kepent ingan mereka d iharga i me la lu i pember ian

privacy. Tempat ini tidak harus berada di ruangan khusus atau jauh sekali, cukup agak berjarak dari kelompok teman-temannya yang lain.

Anak-anak yang berselisih harus belajar bergantian bicara. Saat seorang anak berbicara, yang lain tidak boleh menginterupsi, dan harus belajar untuk

Guru Belajar 10 April 2016

Menularkan Kegemaran Belajar

Lany Rh Guru SD Yayasan Pendidikan Jayawijaya, Kuala Kencana.

Penggerak KomunitasGuru Belajar Timika.

Inilah Cara Membantu Anak Menyelesaikan Konflik Bila ada anak bertengkar dengan anak yang lain, maka guru biasanya meminta mereka saling minta maaf. Tapi benarkah cukup dengan minta maaf maka konfliknya akan selesai? Simak kisah Guru Lany berikut ini

Page 9: Surat Kabar Guru Belajar Edisi 3 - kampusgurucikal.com · disiplin baik di rumah maupun di sekolah seringkali salah kaprah. ... diberi kepercayaan untuk mengajar di Kelompok B (usia

SURAT KABAR Guru Belajar | 9

mendengarkan temannya. Bagi anak yang sedang berselisih, tidak mudah untuk bergantian bicara. Mereka akan cenderung langsung ”melawan” maksud temannya jika tidak sesuai dengan versi ceritanya sendiri. Untuk mereka, ini seperti sedang mempertahankan diri. Di sini perlu peran orang lain yang lebih dewasa untuk mengendalikan situasi. Anak-anak perlu diarahkan kembali ke tujuan awal, saling mendengar dan bergantian berbicara.

Setelah masing-masing yang berselisih menyampaikan versi ceritanya, barulah masalah dikaji secara adil. Dicari akar permasalahannya, lalu reaksi masing-masing anak dibahas. Jika memungkinkan, reaksi tersebut harus disertai dengan alasan mengapa mereka memunculkan reaksi tersebut. Anak-anak selalu spontan dalam bereaksi. Untuk itulah kadang pada anak yang lebih kecil, alasan munculnya reaksi ini perlu dipaparkan oleh orang yang lebih dewasa. Nada saya pada anak-anak usia ini biasanya seperti orang bertanya, misalnya ”Jadi kamu memukul karena tidak didengar oleh temanmu?” Atau, ”Kamu marah karena dia ambil mainan dan tidak bilang dulu sama kamu?” Sebisa mungkin saya menghindari penggunaan kalimat pernyataan, karena seakan-akan saya yang paling tahu alasan si anak. Saya sebagai orang dewasapun berusaha menghargai hak anak untuk memililki perasaan dan pendapatnya sendiri.

Penyelesaian masalah baru dicari setelah masing-masing anak yang berselisih memahami permasalahannya secara lebih luas, bukan hanya berdasar pandangan pribadinya.

Untuk anak yang lebih kecil, biasanya saya akan membantu mengurai satu per satu lagi kemungkinan penyelesaian masalahnya. Tapi untuk anak yang lebih besar dan sudah bisa membuat penjelasan sendiri, saya akan langsung meminta masing-masing memberi ide untuk penyelesaian masalahnya.

Dalam perselisihan, masing-masing pihak memiliki andil yang sama. Oleh karena itu saya mencoba menanamkan pada anak-anak untuk belajar memahami sudut pandang dan kondisi orang lain. Misalnya saja anak yang direbut mainannya, diapun berperan dalam perselisihan ini, sebagai anak yang tidak mengajak si anak yang merebut mainan atau tidak berbagi. Namun jika memang salah satu anak yang berselisih memang sudah bersikap sangat baik, nantinya anak ini diharapkan akan belajar berempati pada temannya yang belum bisa menyampaikan permintaan dengan baik, lalu bisa membentuk perilaku yang lebih sensitif terhadap kebutuhan orang lain.

Permintaan maaf dilakukan paling akhir, saat masing-masing sudah menyadari perannya dalam perselisihan. Maing-masing anak diharuskan menyatakan secara lisan. Bentuk “ritual” yang biasa terjadi pada anak kelas kecil misalnya seperti ini, “Maaf ya aku tadi sudah mengambil mainanmu tanpa meminta ijin. Lain kali aku tidak akan begitu lagi, aku janji akan jadi teman yang baik.” Kemudian temannya akan menjawab, ”Iya aku maafkan, aku juga janji akan

berbagi mainan sama kamu. Maaf ya tadi aku tidak tahu kalau kamu juga mau mainan itu.”

Guru Belajar 10 April 2016

Menularkan Kegemaran Belajar

Page 10: Surat Kabar Guru Belajar Edisi 3 - kampusgurucikal.com · disiplin baik di rumah maupun di sekolah seringkali salah kaprah. ... diberi kepercayaan untuk mengajar di Kelompok B (usia

SURAT KABAR Guru Belajar | 10

Guru Belajar 10 April 2016

Menularkan Kegemaran Belajar

Ada bermacam cara mereka menyampaikan permintaan maaf dan penerimaan terhadap temannya. Aturan yang saya terapkan sederhana, jika masing-masing pihak sudah saling mengerti lalu bisa berteman lagi, mereka boleh kembali pada aktifitas kelas. Namun memang penerapannya sering tidak sederhana dan makan banyak waktu. Perlu kesabaran besar untuk menemani anak-anak melakukan prosesi penyelesaian masalah tersebut.

Untuk tahap awal, saya biasanya akan berada di depan mereka saat mereka membicarakan masalah mereka. Saya berperan untuk mendengarkan masalah mereka dengan teliti, dan membantu mengendalikan situasi agar mereka betul-betul saling bergantian mendengar dan berbicara. Biasanya saya akan lakukan ini pada anak kelas 1 yang memang masih sering merasa harus menang sendiri. Tapi peran yang guru seperti ini tidak hanya terbatas untuk kelas-kelas awal, pada anak yang sudah besarpun kadang masih perlu dilakukan pendampingan jika yang berselisih tidak bisa saling memberi kesempatan pada temannya.

Sedikit demi sedikit saya berusaha memberi ruang privacy pada anak-anak. Jika awalnya saya selalu berada bersama pihak yang sedang berselisih, berikutnya saya akan membuat jarak. Saya akan berada di área yang cukup dekat untuk bisa mendengar proses dialog mereka, namun tidak berhadapan langsung. Selanjutnya untuk anak-anak yang dirasa sudah mampu berbincang dengan adil, saya akan memberi privacy lebih besar dengan tidak mendengar langsung pembicaraan mereka. Saya hanya perlu bisa melihat mereka agar bisa memastikan mereka aman secara fisik. Namun setelah selesai, saya tetap akan menanyakan penyelesaian beserta alasannya pada mereka.

Penyelesaian yang bisa ”lolos” dan saya terima adalah yang bisa menunjukkan bahwa masing-masing pihak sudah saling mengerti perannya dalam

perselisihan. Misalnya anak menyampaikan seperti ini, ”Saya tadi mau bermain balok, dan membutuhkan banyak sekali balok. Dan saya tidak mau berbagi dengan teman saya, padahal dia mau membuat bangunan juga. Jadi dia mengambil dari saya tanpa meminta ijin. Saya sudah memaafkan dia karena ambil tanpa ijin, tapi saya juga harus berbagi.”

Untuk anak yang belum bisa menjelaskan dengan lengkap seperti itu, saya berperan untuk memperjelas dengan format bertanya. Saya mengusahakan pernyataan muncul dari anak tersebut, dan bukan karena saya yang meminta.

Cara ini saya gunakan untuk mengajarkan pada anak mengenai sikap menghargai, empati, serta pentingnya berdialog untuk mencari titik temu di antara pihak yang berbeda cerita dan cara pandang. Biasanya, semakin mendekati akhir tahun, anak-anak semakin sedikit memerlukan dampingan yang melekat saat menyelesaikan masalah. Masing-masing sudah tahu pola penyelesaiannya, dan bisa menerapkan pada saat mereka mengahadapi masalah dengan temannya.

Anak tidak harus hanya menghafal nilai-nilai yang perlu ditanamkan, namun bisa langsung praktek dan merasakan sendiri hasil kerjanya. Anak-anak lain yang tidak ikut berselisih dan tidak diperbolehkan ikut campur saat mereka berproses, dapat ikut belajar dengan cara

penyampaian refleksi. Penyampaiannya bisa dilakukan oleh anak-anak yang

berselisih, atau saya yang mendampingi mereka.

Refleksi akan berisi cerita yang lebih jernih tentang peristiwa dan cara penyelesaiannya. Saat menyampaikan refleksi di depan kelas ini, kadang ada anak lain yang

memberi usulan cara penyelesaian yang

berbeda dari yang disampaikan temannya juga.

Dan ini semakin memperkaya pengetahuan anak mengenai penyelesaian

masalah dengan teman.

Page 11: Surat Kabar Guru Belajar Edisi 3 - kampusgurucikal.com · disiplin baik di rumah maupun di sekolah seringkali salah kaprah. ... diberi kepercayaan untuk mengajar di Kelompok B (usia

SURAT KABAR Guru Belajar | 11

Sepakat? Yes!!Kesepakatan menyebabkan siswa-siswa terlibat secara langsung dan menimbulkan rasa tanggung jawab dari setiap siswa untuk melaksanakan kesepakatan tersebut.

Suatu hal yang sulit bagi seorang guru untuk mengontrol peserta didik selama 24 jam. Bahkan guru tidak mungkin terus mengontrol dan mengawasi sikap dan perilaku siswa pada beberapa aktifitas di sekolah. Apakah mereka melaksanakan tugas dan tanggungjawab mereka dengan baik dengan atau tanpa diawasi oleh guru? Bagaimana cara untuk membangun kesadaran peserta didik untuk disiplin? Simak cerita sederhana berikut!

Saya adalah seorang guru bahasa inggris di sebuah SMP di kabupaten Luwu Timur, Sulawesi Selatan. Kabupaten Luwu Timur merupakan kabupaten bungsu diantara 24 kabupaten di Sulawesi Selatan. Kabupaten yang baru menginjak usia sekitar 13 tahun adalah kabupaten yang paling terjauh dari ibu kota provinsi Sulawesi selatan dengan jarak ± 500 km.

Pertama, saya ingin menceritakan tentang kondisi sekolah dan sekitarnya. Hal yang tidak biasa bagi saya adalah akses peserta didik untuk bisa sampai kesekolah. Pada daerah saya, kita tidak bisa menemui angkutan umum seperti yang ada pada daerah lain sehingga banyak peserta didik menyewa sebuah mobil atau bus secara bersama-sama jika pemerintah setempat tidak menyediakannya. Kondisinya adalah mereka datang dan pulang ke

sekolah harus tepat waktu dan berombongan. Apabila terlambat, maka mereka harus rela berjalan kaki untuk berangkat atau pulang sekolah.

Menumbuhkan sikap disiplin dan tanggungjawab kepada peserta didik tidak bisa terlaksana dengan secepat kilat seperti membalikkan telapak tangan. Perlu waktu yang bertahap untuk bisa mewujudkan hal tersebut. Guru berkewajiban untuk membimbing mengarahkan dan mencontohkan kepada peserta didik untuk memiliki kesadaran berdisiplin dari dalam diri mereka (disiplin positif).

Pada awalnya, saya mendapatkan kesulitan untuk untuk mengontrol peserta didik saya. Apabila saya mengawasi mereka, biasanya mereka akan melaksanakan tugas dan tanggungjawab mereka dengan baik, akan tetapi apabila saya tidak mengawasi mereka, mereka sering acuh tak acuh terhadap tugas dan tanggungjawab mereka. Pada akhirnya saya sering memberikan hukuman kepada peserta didik yang tidak tidak melaksanakan tugas mereka. Ternyata hukuman tersebut tidak membawa dampak yang positif. Hukuman tersebut tidak memotivasi peserta didik saya untuk disiplin.

Sebagai contoh yang sering saya hadapi adalah menyangkut jadwal kebersihan bagi seluruh siswa.

Hampir setiap hari siswa perempuan melapor kepada saya bahwa beberapa anak laki laki tidak melaksanakan tugas membersihkan mereka. Tugas membersihkan biasanya dibebankan hanya kepad siswa perempuan. Peserta didik laki-laki sering merasa gengsi untuk membersihkan kelas mereka.

Dalam bidang pembelajaran adalah tugas untuk mengulang pelajaran yang telah dipelajari pada satu pertemuan. Saya biasanya selalu menasehati mereka untuk mengulang pelajaran setelah sampai dirumah dan pasti saya selalu mengecek pada pertemuan berikutnya. Misalnya tema pertemuan ke II adalah “family”. Pada pertemuan tersebut peserta didik mempelajari sejumlah kosakata yang berkaitan dengan tema tersebut. Pada pertemuan berikutnya, saat saya mengecek ulang kosakata tersebut mereka rata rata tidak menguasainya karena mereka tidak mengulanginya di rumah. Mereka biasanya jujur kepada saya bahwa mereka tidak mengulang pelajaran keteika mereka telah pulang ke rumah. Pada akhirnya, mereka tidak mampu menguasai semua materi yang telah diajarkan di sekolah karena tidak mengulangi di rumah.

Setelah saya mengamati kondisi peserta didik, saya berpendapat

Guru Belajar 10 April 2016

Menularkan Kegemaran Belajar

Page 12: Surat Kabar Guru Belajar Edisi 3 - kampusgurucikal.com · disiplin baik di rumah maupun di sekolah seringkali salah kaprah. ... diberi kepercayaan untuk mengajar di Kelompok B (usia

SURAT KABAR Guru Belajar | 12

bahwa tantangan bagi saya adalah bagaimana menumbuhkan kesadaran bagi peserta didik untuk disiplin dalam dalam belajar dan mengerjakan tanggungjawab mereka. Saya selalu yakin bahwa, ketika motivasi belajar dan tanggungjawab mereka telah tumbuh dari dalam diri mereka (internal motivation), maka saya tidak perlu untuk mengawasi mereka secara terus menerus. Mereka akan melaksanakan tugas dan tanggungjawab mereka dengan penuh kesadaran.

Pada bulan februari 2016, saya mendapatkan kesempatan untuk mengikuti sebuah pelatihan tentang disiplin positif yang diadakan Kampus Guru Cikal dan Komunitas Guru Belajar Soroako. Pelatihan tersebut sangat bermanfaat bagi saya untuk membantu peserta didik saya menumbuhkan perilaku disiplin mereka.

Poin yang sangat berkesan saat pelatihan tersebut adalah cara menumbuhkan sikap disiplin dalam diri peserta didik agar biasa tumbuh dari dalam diri mereka. Poin tersebut adalah mengubah peraturan kelas menjadi kesepakatan bersama. Seperti biasa di dalam kelas saya, membuat peraturan adalah hak saya sebagai seorang guru. Akan tetapi, membuat kesepakatan bersama di kelas adalh metode yang sangat ampuh untuk menumbuhkan internal motivation peserta didik dalam melaksanakan tugas dan tanggung jawab mereka dengan baik. Mengapa? Membuat kesepakatan bersama adalah melibatkan semua siswa untuk menentukan sendiri hal yang boleh dilakukan dan tidak boleh dilakukan sehingga ada ikatan emosional dari mereka terhadap hasil kesepakatan tersebut.

Metode kesepakatan tersebut saya aplikasikan di kelas saya. Sebagai permulaan, saya menerapkan pada hal hal yang sederhana terlebih dahulu.

1. Tugas piket membersihkan kelas.

Secara umum, saya yang menentukan peserta didik harus membersihkan suatu bagian dan hari tertentu. Kemudian, saya membuat dan siswa saya membuat

kesepakatan bersama tentang jadwal kebersihan kelas. Saya meminta setiap siswa untuk menentukan masing-masing hari membersihkan dan bagian kelas yang siap mereka bersihkan. Setelah itu, kami menyepakati bersama tentang jadwal membersihkan tersebut.

Hasil yang terlihat adalah siswa siswa secara umum melaksanakan tugas mereka walaupun tanpa saya awasi. Mereka merasa malu jika tidak mengerjakan tugas dan tanggung jawab mereka karena mereka yang telah memilih secara pribadi. Selain itu, kesepakatan tersebut menjadi media kontrol bagi saya untuk mengidentifikasi siswa yang tidak melaksanakan tugas karena terlihat dari bagian kelas yang tidak dibersihkan dengan tanggung

jawab siapa.

2. Tugas mengulang kosakata bahasa inggris

Dalam hal disiplin belajar kosakata bahasa inggris, jika sebelum sebelumnya saya selalu menentukan kata kata yang harus di kuasai pada pertemuan berikutnya, ternyata kebanyakan siswa tidak melaksanakan dengan baik. Saya kemudian meminta kesepakan masing masing siswa untuk memilih sendiri kosakata yang mereka ingin kuasai pada suatu pertemuan dengan jumlah yang telah disepakati.

Hasil yang terlihat adalah hampir lebih 90% siswa melaksanakan tugas tersebut dengan baik. Mereka secara sadar menghafal kosakata yang telah mereka tentukan sendiri sesuai tema pembelajaran.

Membuat kesepakatan bersama di dalam kelas adalah metode yang sangat cocok untuk menumbuhkan kesadaran disiplin belajar siswa yang berasal dari dalam diri pribadi siswa. Kesepakatan tersebut menyebabkan siswa-siswa terlibat secara langsung dalam membuat peraturan. Ide-ide dalam kesepakatan berasal dari siswa secara langsung sehingga menimbulkan rasa tanggung jawab dari setiap siswa untuk melaksanakan kesepakatan tersebut.

Demikian praktek disiplin positif yang telah saya lakukan di kelas saya semoga bisa menjadi inspirasi bagi pembaca. Sepakat? Yes!

Guru Belajar 10 April 2016

Menularkan Kegemaran Belajar

Abdul Salam, S.PdGuru Bahasa InggrisSMP Negeri 4 Malili

Page 13: Surat Kabar Guru Belajar Edisi 3 - kampusgurucikal.com · disiplin baik di rumah maupun di sekolah seringkali salah kaprah. ... diberi kepercayaan untuk mengajar di Kelompok B (usia

SURAT KABAR Guru Belajar | 13

Page 14: Surat Kabar Guru Belajar Edisi 3 - kampusgurucikal.com · disiplin baik di rumah maupun di sekolah seringkali salah kaprah. ... diberi kepercayaan untuk mengajar di Kelompok B (usia

SURAT KABAR Guru Belajar | 14

Saved by the Bell Pssst…..seorang guru menyuruh muridnya untuk tenang. Semuanya diam, tapi sebentar ramai kembali. Pernah mengalami kondisi itu? Pak Eka pernah mengalami. Ini kisahnya

Saya harus berpikir kalau berbincang masalah disiplin. Seperti memperbincangkan makanan yang disuka tetapi tidak enak. Mengapa demikian? Tentu orang sangat senang jika semua berjalan sesuai dengan ketentuan, teratur, tertib, semua serba tepat. Namun sayangnya peserta didik dalam kelas serasa sulit sekali diajak disiplin. Baik dalam mengerjakan tugas belajar maupun dalam mengikuti pelajaran di kelas. Jadilah ia, sesuatu yang disuka tetapi terasa pahit menelannya. Itupula yang akan saya ceritakan dalam tulisan ini.

Kejadiannya sudah setahun berlalu, tetapi masih sangat membekas bagi saya. Mendapatkan tugas mengajar di kelas lima pelajaran IPS seperti memperoleh misi penting yang berat. Kelas ini dikenal oleh guru sebagai kelas yang atraktif, tenaganya tidak pernah habis seperti batu baterai merk terkenal yang terus memompa energi hingga akhir kelas. Hampir semua guru angkat tangan kalau diminta untuk masuk ke kelas ini.

Kelas berisik

Guru kesulitan setiap memulai pelajaran, peserta didik akan ribut terus sehinga guru kesal. Bahkan ketika pelajaran sudah berjalan,

suara berisik akan terus terdengar. Guru semakin frustasi dengan kondisi ini. Kalau guru kesal dan marah di kelas itu, bukannya menjadi tertib, mereka tenang sebentar kemudian ribut kembali. Saya dan teman-teman guru merasa kehabisan cara untuk mengatasi ini. Apalagi dalam hal ini, saya bukan wali kelasnya, saya hanya mengajar lima jam pelajaran di kelas itu. Saya juga baru kali pertama mengajar kelas tersebut, rasanya lengkap sudah penderitaan ini.

Dengan keadaan seperti itu, maka setiap mengawali pembelajaran selalu memulai dengan menenangkan kelas terlebih dahulu. Karena menenangkan kelas butuh waku sehingga waktu belajar menjadi berkurang karena

terpotong ritual itu. Dan setiap guru

menyampaikan instruksi maka peserta didik akan berulangkali meminta guru mengutarakan lagi instruksi yang sudah disampaikan.

Kondisi kelas yang seperti ini tidak

nyaman bagi guru dan peserta didik sendiri karena

masing-masing akan meminta haknya. Guru meminta hak untuk didengar sementara mereka meminta hak untuk diberikan arahan. Artinya bagaimana menciptakan iklim kelas yang nyaman dan aman untuk belajar. Guru tidak terancam dengan “keberisikan” peserta didik, sementara mereka tidak tertekan guru yang kesal dan marah-marah.

Save by the bell

Awalnya guru mengarahkan peserta didik untuk tenang dengan

Guru Belajar 10 April 2016

Menularkan Kegemaran Belajar

Page 15: Surat Kabar Guru Belajar Edisi 3 - kampusgurucikal.com · disiplin baik di rumah maupun di sekolah seringkali salah kaprah. ... diberi kepercayaan untuk mengajar di Kelompok B (usia

SURAT KABAR Guru Belajar | 15

dengan menggunakan tanda “Ssssttt”, kelas bisa sepi sebentar kemudian gaduh kembali. Sepertinya anak-anak mengerti tanda itu namun mereka tidak memahami mengapa mereka perlu tenang untuk bisa menangkap pesan guru. Begitu seterusnya hingga seperti ritual saja, peserta didik juga suah menebak kalau kelas gaduh sebentar lagi akan ada yang berbunyi “Sssstt”.

Masalah utama saya di kelas yang baru ini adalah membangun hubungan dan kedekatan dengan semua peserta didik. Tanpa hubungan yang dekat, sulit terbentuk kepercayaan diantara kami. Saya memulai dengan menyapa peserta didik yang bertemu dengan saya. Dengan begitu, tidak ada lagi jarak dengan saya sehingga suatu saat saya meminta perhatian mereka tidak mengalami kesulitan.

Untuk menenangkan saya menggunakan lonceng kecil yang bunyinya cukup nyaring tapi tidak terlalu keras. Saya akan membunyikan lonceng itu jika kelas gaduh, perlahan hingga mengeras bila tidak juga surut kegaduhannya. Setelah tenang saya langsung memberikan arahan kegiatan belajar. Begitu seterusnya hingga mereka mengerti jika saya membutuhkan ketenangkan kelas karena akan menyampaikan sesuatu maka saya akan membunyikan lonceng.

Ternyata menggunakan lonceng kecil untuk menenangkan kelas perlahan berhasil menciptakan iklim kelas yang kondusif. Tetapi ada juga peserta didik yang iseng

membunyikan bell sekenanya sehingga kadang-kadang mengecoh. Sebab itu saya selalu menyimpan lonceng kecil itu ditempat yang tidak mudah dijangkau peserta didik.

Lama-kelamaan penggunaan lonceng ini semakin berkurang, karena mereka mulai menyadari kebutuhan saya kalau ingin menyampaikan sesuatu. Cukup saya berdiri, diam sejenak dan suasana langsung tenang. Terkadang dibantu dengan pertanyaan, apakah sudah siap pelajarannya dimulai? Dilanjutkan dengan pertanyaan tambahan “Bagaimana yah siapnya”. Dalam mengajukan pertanyaan seperti itu saya juga berusaha menahan diri agar tidak terburu-buru mengajukan pertanyaan lanjutan. Artinya memberi waktu kepada mereka untuk memikirkan jawaban.

Tetap luwes

Meski saya menghendaki kelas nyaman dan aman untuk belajar, sedari awal menghindari pola hukuman sebagai pendekatan. Misalnya saja, yang membuat keributan diberikan sanksi. Bentuknya bisa berupa skorsing keluar kelas atau yang lainnya. Walaupun cara seperti itu cukup menggoda karena secara instan langsung ada efeknya. Namun tidak dapat berlaku bagi jangka panjang. Ada dampak yang lebih besar yang perlu kita perhatikan yaitu rasa tidak suka.

Strategi ini membutuhkan waktu yang lama, jika dibandingkan dengan pendekatan hukuman. Tetapi resikonya lebih kecil bagi perkembangan peserta didik. Mereka lebih memahami apa yang guru inginkan, bertanggung jawab terhadap diri sendiri dan orang lain. Dan yang lebih penting lagi adalah

Guru Belajar 10 April 2016

Menularkan Kegemaran Belajar

Page 16: Surat Kabar Guru Belajar Edisi 3 - kampusgurucikal.com · disiplin baik di rumah maupun di sekolah seringkali salah kaprah. ... diberi kepercayaan untuk mengajar di Kelompok B (usia

SURAT KABAR Guru Belajar | 16

secara tidak langsung belajar respek terhadap orang lain.

Saya secara perlahan merasakan perbedaan yang terjadi saat memulai dan menjalankan pembelajaran dikelas. Sebelum menggunakan lonceng untuk tanda supaya kelas tenang dan meminta perhatian betapa peserta didik sulit diarahkan. Mereka juga tidak mengerti apa perlunya ketenangan ketika guru menyampaikan instruksi. Akan tetapi dengan pendekatan kepada siswa sehingga mereka merasa akrab dengan saya, menggunakan penanda lonceng yang mudah dan efektif membantu mereka mengenali kapan untuk berlaku tenang.

Mudah dan cepat

Menggunakan strategi ini mudah digunakan dan praktis, tidak perlu mengeluarkan enrgi yang banyak mengeluarkan instruksi ini dna itu. Cukup gerakan pangkal lonceng perlahan saja akan mengeluarkan dentingan yang membuat peserta didik paham. Guru tidak lagi kesal, kelas semakin kondusif untuk belajar. Kekuranganya ketika kita tergantung dengan lonceng tersebut maka bisa jadi kita kesulitan mengendalikan kelas. Perlu dicari cara agar ada proses transisi dari penanda bunyi denting lonceng hingga mereka mampu mengendalikan sediri dirinya untuk siap belajar tanpa diminta oleh guru.

Kadang denting bel bisa menyelamatkan guru dari kekesalan, seperti saya ini, “Saved by The Bell”.

Tentang Surat Kabar Ini

Guru Belajar 10 April 2016

Menularkan Kegemaran Belajar

Guru Belajar adalah surat kabar dua bulanan yang

diterbitkan Komunitas Guru Belajar dengan misi Menularkan Kegemaran Belajar. Surat Kabar ini menyajikan praktik

cerdas pengajaran (#PraktikCerdas).

Apa pentingnya Surat Kabar ini? Ada banyak #PraktikCerdas yang dilakukan banyak guru tidak terpublikasikan.

Akibatnya, #PraktikCerdas itu tidak dapat dipelajari oleh guru yang lain. Dengan Surat Kabar ini harapannya, para

guru bisa berbagi dan saling belajar sebagai sesama praktisi pendidikan.

Dewan Redaksi: Najelaa Shihab Bukik Setiawan

GuruBelajar.org Grup Facebook: Komunitas

Guru Belajar

Eka WardanaGuru IPS & PKn di SDIT Al Quds Bogor

dan Penggerak Guru Belajar Bogor

Page 17: Surat Kabar Guru Belajar Edisi 3 - kampusgurucikal.com · disiplin baik di rumah maupun di sekolah seringkali salah kaprah. ... diberi kepercayaan untuk mengajar di Kelompok B (usia

SURAT KABAR Guru Belajar | 17

Tata Atur Ruang KelasBila ingin pelajar teratur, maka guru perlu merancang keteraturan bagi pelajar maupun dirinya sendiri termasuk melibatkan tata atur ruang kelas.

Sebuah pertanyaan menggelitik diajukan rekan saya sesama pengajar musik tingkat sekolah dasar, katanya: “Murid jaman sekarang harus punya perjanjian kelas/esensial (classroom essential agreements) dulu ya baru bisa menuruti guru?”

Pertanyaan di atas menjadi krusial mengingat ini diajukan oleh guru yang bertanggung jawab mengembangkan kemampuan peserta didik. Selain mengenai ‘siapa’, pertanyaan ini juga menyoroti “adanya” dua pemahaman yang bertolak belakang. Rekan saya beranggapan bahwa ruang kelas seyogyanya adalah sebagaimana kami dulu di sekolah, murid menaati guru tanpa komentar. Sementara di lain pihak para murid beranggapan bahwa mereka juga memiliki hak untuk mengatur ruang kelas karena mereka berpartisipasi aktif di dalam ruang kelas.

Dinamika ruang kelas sebagaimana dua sudut pandang di atas menampilkan krusialnya tata atur ruang kelas sebagai fondasi pelaksanaan kegiatan belajar mengajar. Menyitir Robert J Marzano:

Nevertheless, a strong case can be made that effective instructional strategies and good classroom curriculum design are built on the foundation of effective classroom management (2003: 4)

Tidak kurang, argumentasi sahih dapat diajukan bahwa strategi instruksi efektif dan rancangan kurikulum kelas yang berkualitas dibangun di atas fondasi tata atur ruang kelas yang efektif (2003: 4)

Lebih jauh lagi, melalui penelitian monumentalnya Pembelajaran Tersimak (Visible Learning) pedagogis Australia, John Hattie mendudukkan perilaku kelas dalam peringkat 6 dari 138 aspek yang mempengaruhi perkembangan kemampuan peserta didik.

Ruang Kelas: Dulu dan Kini

Dalam video kuliah TEDnya, budayawan pendidikan Ken Robinson memaparkan bagaimana persekolahan dibangun untuk memuaskan nafsu Revolusi Industri, termasuk di dalamnya keteraturan dan disiplin. Tidak usah berbicara hukuman dan penalti, bahkan berbaris dan lonceng masuk pun secara menggugah dapat dikaitkan dengan bagaimana buruh pabrik juga menjalani hal yang sama.

Lebih jauh keteraturan semakin menemukan tantangannya di dalam perkembangan teknologi. Menyitir film dokumenter Waiting For Superman, keterbatasan akses terhadap informasi menjadikan guru di abad 20 adalah sosok super,

andalan di dalam ruang kelas, tempat pelarian. Hal sebaliknya terjadi di abad 21 akses informasi di mana-mana, anak-anak pra usia sekolah bahkan sudah fasih mengoperasikan gawai. Singkat kata guru tidak bisa lagi mengandalkan kelengkapan informasi sebagai legitimasinya di depan kelas. Guru harus tanggap budaya. Guru harus senantiasa fasih akan perubahan zaman dan menggunakannya untuk menata dan mengatur ruang kelas.

Refleksi Tata Atur Ruang Kelas

Sebagai pengampu mata pelajaran seni musik, maka seyogyanya saya juga mendayagunakan musik untuk menata dan mengatur ruang kelas. Dengan sistem kelas berjalan guru kelas telah memastikan bahwa murid akan selalu berbaris di luar ruangan sebelum jam musik. Nah, sejak saat inilah tata atur ruang kelas saya terapkan. Murid-murid saya telah cukup reflektif untuk memahami dua kondisi:

1. Pintu ruangan terbuka, ada rekaman karya musik terdengar

Murid-murid akan masuk dan akan menyebar sesuai ketertarikan mereka. Reaksi mereka dapat dipetakan sebagaimana umur. Murid usia 4-7 tahun akan bergerak ke sana kemari mencoba mengikuti aliran

Guru Belajar 10 April 2016

Menularkan Kegemaran Belajar

Page 18: Surat Kabar Guru Belajar Edisi 3 - kampusgurucikal.com · disiplin baik di rumah maupun di sekolah seringkali salah kaprah. ... diberi kepercayaan untuk mengajar di Kelompok B (usia

SURAT KABAR Guru Belajar | 18

musik. Murid 8-11 tahun akan terbagi antara yang masih mengikuti musik (bergerak dan/atau bernyanyi) dan yang bergerombol dengan kelompok sahabatnya. Murid 12 tahun ke atas akan selalu bergerombol dengan kelompok sahabatnya. Tiga respon yang berbeda terhadap musik, namun satu respon yang sama saat musik perlahan dimatikan. Mereka mengalihkan perhatian kepada pusat perubahan suara, yaitu guru yang mengecilkan suara musik. Fokus, pelajaran siap dimulai.

2. Pintu ruangan terbuka, hanya keheningan yang terdengar.

Murid-murid akan menunggu saya keluar. Saat saya keluar, mereka semua siap dan masuk dalam keadaan tenang menunggu instruksi berikutnya.

Variasi tata atur masuk kelas sebagaimana di atas menjadi penting mengingat otak pelajar adalah otak yang sedang berkembang. Dengan pre-frontal korteks (pengatur kebijaksanaan pengambilan keputusan) sebagai bagian yang paling terakhir berkembang, maka pelajar senantiasa membutuhkan dinamika dalam keseharian mereka. Dinamika menjadi sebuah kepastian, bukan semata rutinitas yang membebani.

Dalam keseharian ruang kelas, mempraktikkan yang dipaparkan oleh Jerrison Harper Lee (pengampu metode Dalcroze) dan Jean Ashworth Bartle, saya selalu membiarkan musik yang berbicara kepada murid-murid. Suara tamborin sebagai penanda tenang, suara gemerincing bel sebagai penanda sisa waktu 5 menit, lagu tema masuk kelas, lagu tema selesai kelas dan waktu refleksi. Suara saya hanya saya gunakan saat menjelaskan dan mendelegasikan tugas kepada kelas, dan memberikan masukan atau penilaian kepada kelompok atau seorang murid. Sebagaimana penjelasan Lucy Green:

…..the role of the teachers was to stand back, observe, diagnose, guide, suggest and model, attempt to take on pupils’ perspectives, and help pupils to achieve the objectives that they had set for themselves (2008: 152)

....peran para guru adalah mundur, mengamati, mendiagnosa, membimbing, menyarankan dan meneladankan, melihat dari sudut pandang murid, dan menolong murid mencapai sasaran yang murid telah canangkan (2008: 152)

Tantangan: Perencanaan dan Dwipekan Perkenalan

Semua praktik di atas memiliki tantangan yang tidak kecil. Dengan jatah tatap muka sekitar 40 ‒ 90 menit per pekan maka saya wajib menggunakan waktu perencanaan semaksimal mungkin. Namun tidak ada yang lebih membantu manajemen ruang kelas selain dari pada dwipekan perkenalan.

Dwipekan perkenalan selalu saya laksanakan tiap tahun, dan sebagaimana namanya di diadakan di dua tatap muka pertama. Tujuan dari pada dua pekan ini adalah semata-mata menanamkan budaya di atas kepada para murid.

Pekan pertama ditujukan untuk pengenalan budaya kelas. Murid-murid yang tiba dengan berbaris rapih saya ajak masuk dan dalam suasana kondusif saya undang mereka berefleksi, ‘Apa yang biasanya kita lakukan saat mendengar musik di dalam ruangan?’. Berbagai jawaban terdengar, mulai dari bersenandung, menari, bernyanyi, hingga mengobrol. Berbagai jawaban tersebut mengerucut menjadi satu jawaban saat pertanyaan diubah menjadi ‘Apa yang harus kita lakukan saat mendengar keheningan di dalam ruangan?’, diam. Setelah mereka mengerti perihal tersebut saya undang mereka untuk mempraktikkannya langsung di dalam berbaris di depan dan memasuki kelas.

Urutan yang sama saya ulang kembali dalam memperkenalkan musik sebagai bagian rutinitas kelas. Dialog lantas latihan. Untuk tanda berhenti dan membereskan kelas misalnya, kepada murid usia 9 ‒ 11 tahun, saya ajak refleksi mengenai apakah membantu mereka bila lagu yang sedang mereka pelajari juga mereka dengar di waktu selain latihan. Tentu saja semua menjawab ‘iya’ sehingga kita setujui bahwa jika ada rekaman lagu yang sedang dilatih berarti itu tandanya kelas harus sudah dibereskan. Sementara untuk murid

Guru Belajar 10 April 2016

Menularkan Kegemaran Belajar

Page 19: Surat Kabar Guru Belajar Edisi 3 - kampusgurucikal.com · disiplin baik di rumah maupun di sekolah seringkali salah kaprah. ... diberi kepercayaan untuk mengajar di Kelompok B (usia

SURAT KABAR Guru Belajar | 19

usia 12 ‒ 14 tahun saya langsung menyinggung jiwa muda mereka dengan bertanya ‘Mana yang lebih kalian suka dengarkan, suara saya menyanyikan lagu favorit kalian atau rekaman lagu favorit kalian?’. Tentu saja serempak semua menjawab rekaman lagu favorit, selanjutnya mereka saya pecah dalam kelompok 3-4 orang untuk memilih satu lagu yang akan dimainkan di setiap penghujung kelas.

Pekan kedua ditujukan untuk penguatan praktik budaya kelas tersebut. Untuk semua tanda musik atau hening saya akhiri dengan refleksi jempol singkat. Misal untuk berbaris di kelas, seusai semua masuk dan duduk tenang, saya langsung saja menyerocos (untuk murid usia 9-11 tahun):

1. Jempol menunjuk ke atas (Top): saya paham apa yang harus dilakukan baik saat musik atau hening terdengar, dan saya berhasil melakukannya.

2. Jempol ke samping (So-So): saya paham/terkadang lupa apa yang harus dilakukan saat musik atau hening terdengar, namun saya terkadang lupa/tadi melakukannya.

3. Jempol ke bawah (O - O): saya masih belom paham apa yang boleh/harus dilakukan saat musik atau hening terdengar dan saya tidak melakukan apa-apa.

Untuk berbaris seusai refleksi umumnya masih saya berikan kesempatan latihan sekali lagi dengan kondisi yang berbeda. Jadi bila sebelum refleksi masuk kelas dalam hening, sesudah refleksi saya mainkan musik pengantar; dan juga sebaliknya.

Strategi yang berbeda saya terapkan ke dalam rutinitas musik yang lain. Misal untuk tanda mendengarkan saya motivasi setiap murid untuk saling mengingatkan dengan sopan dan halus kepada temannya yang mungkin silap tanda. Sementara untuk waktu berberes kelas, karena 70% KBM dilakukan dalam kerja kelompok, dalam lembar kerja terdapat kolom tanggung jawab anggota yang harus diisi mengenai tugas spesifik mereka saat waktu berberes (membereskan spidol, membereskan meja, mengumpulkan lembar kerja, dll). Dan lembar ini otomatis dapat digunakan sebagai catatan kilat (anecdotal notes) perkembangan sosial murid.

Latihan berbaris, tanda bunyi berhenti dan sisa 5 menit, pemilihan lagu akhir, dan refleksi lagu tema; semua hal ini dilakukan di dwipekan awal. Dengan adanya dwipekan ini di sisa tahun ajaran yang tersedia murid-murid hanya perlu berkonsentrasi memahami dan meningkatkan kemampuannya saja, bukan lagi mendisiplinkan perilakunya.

REFERENSI

Bartle, Jean Ashworth (2003). Sound Advice ‒ Becoming A Better Children Choir Conductor: New York: Oxford University Press Green, Lucy (2008). Music, Informal Learning, and The School: A New Classroom Pedagogy. Hampsire: Ashgate Publishing Ltd. Marzano, Robert J., Marzano, Jana S., Pickering, Debra J (2003). Classroom Management That Works: Research-Based Strategies for Every Teacher. Virginia: ASCD Wood, Chip (1994). Yardstick. Greenfield: Northeast Foundation for Children

SITUS INTERNET visible-learning.org

Guru Belajar 10 April 2016

Menularkan Kegemaran Belajar

JC Pramudia Natal- Guru musik untuk TK-SMP Sekolah ACG Jakarta

(Whole School Music Teacher).

Page 20: Surat Kabar Guru Belajar Edisi 3 - kampusgurucikal.com · disiplin baik di rumah maupun di sekolah seringkali salah kaprah. ... diberi kepercayaan untuk mengajar di Kelompok B (usia

SURAT KABAR Guru Belajar | 20

Page 21: Surat Kabar Guru Belajar Edisi 3 - kampusgurucikal.com · disiplin baik di rumah maupun di sekolah seringkali salah kaprah. ... diberi kepercayaan untuk mengajar di Kelompok B (usia

SURAT KABAR Guru Belajar | 21

Tiga Prinsip DisiplinKedisiplinan ternyata bukan tentang pemahaman pelajar tentang aturan, tapi pemahaman guru tentang pelajarnya. Pada tulisan ini, Guru Maria menguraikan tiga karakteristik pelajar yang perlu dipahami untuk menumbuhkan kedisiplinan dari dalam diri.

Berdasarkan pengamatan saya, kebiasaan disiplin sebenarnya sudah dimulai dari proses pendidikan di rumah, yaitu di tengah-tengah keluarga. Sebagai guru, dengan mudahnya saya mengenali anak-anak yang datang dari keluarga yang tingkat disiplinnya longgar maupun anak-anak yang sudah terbiasa dengan disiplin tingkat tinggi saat KBM berlangsung. Sebuah fakta yang tidak bisa dikesampingkan oleh seorang guru; murid-murid di kelasnya pastilah datang dari berbagai latar belakang keluarga yang berbeda-beda. Hal ini mengakibatkan tingkat disiplin setiap murid pun berbeda, sebagai akibat dari metode disiplin yang diterapkan di rumahnya masing-masing.

Di lapangan, saya kerap menemui ‘gap’ ketika bertukar-pikir dengan para orang tua murid. Beberapa orang tua justru menyarankan hukuman fisik bagi anak mereka saat anak mereka berbuat “nakal”, - sebuah istilah yang kerap digunakan oleh para orang tua. Namun, ada juga kalangan orang tua yang menentang keras adanya hukuman fisik. Sudah bukan zaman-nya lagi, itulah pendapat yang kerap dikemukakan. Namun, ada juga orang tua yang tidak memperbolehkan anaknya dihukum fisik oleh gurunya, namun jika di

rumah tetap memberlakukan hukuman fisik. “Senakal-nakalnya anak saya, biar saya saja (orang tuanya) yang boleh memukulnya di rumah nanti. Bukan dipukul oleh gurunya di sekolah.” begitulah kata salah seorang orang tua murid pada saya. Memang, metode disiplin di rumah memang berada di bawah kewenangan orang tua murid

masing-masing. Sebagai guru, wewenang saya hanya saat para murid tersebut berada di sekolah.

Saya pernah merasakan menjadi murid yang dididik oleh guru-guru

yang kerap menerapkan disiplin berupa hukuman fisik. Saat saya menjadi guru, saya berkomitmen untuk tidak mengulangi metode disiplin seperti itu. Jika flash-back dengan pengalaman ketika menjadi seorang murid yang kerap khawatir (bahkan ketakutan!) akan ‘ancaman’ hukuman fisik dari guru, yang ada hanyalah timbul perasaan yang tidak

mengenakkan sehingga enggan untuk diingat-ingat kembali. Jika saya saja enggan mengenang kenangan KBM yang seperti itu, bagaimana saya bisa “berselera” mengenang pelajaran yang pernah dibawakan oleh sang guru? Jauh api dari panggang.

Prinsip “Sebab-Akibat” dalam Mendisiplinkan

Ketimbang memakai sistem ‘hukuman’, saya lebih suka menggunakan prinsip ‘SEBAB-AKIBAT’. Hal ini terinspirasi dari prinsip disiplin yang dibahas oleh Scott Turansky dan Joanne Miller dalam bukunya yang telah diterjemahkan dengan judul “8 Cara Mengatasi Anak Nakal” dan

gaya mendisiplin Jo Frost dalam acara reality show “Nanny 911” yang pernah ditayangkan oleh salah satu TV swasta di Indonesia.

Guru Belajar 10 April 2016

Menularkan Kegemaran Belajar

Maria Theressa Parsono, S.Si, M.PdScience Private Tutor (untuk siswa

kelas 7) - @hommel_edu

Page 22: Surat Kabar Guru Belajar Edisi 3 - kampusgurucikal.com · disiplin baik di rumah maupun di sekolah seringkali salah kaprah. ... diberi kepercayaan untuk mengajar di Kelompok B (usia

SURAT KABAR Guru Belajar | 22

Menurut saya, prinsip ini sangat relevan dengan kehidupan seseorang, tak peduli usia berapa pun. Dalam menjalani kehidupan, kita harus memilih dari sekian banyak pilihan yang tersedia di depan mata kita. Setiap pilihan yang diambil, pastilah ada ‘akibat’ yang harus kita tanggung. Ada konsekuensi di balik setiap pilihan. Di setiap konsekuensi, ada ‘harga’ yang harus dibayar. Jika kita memilih tidur larut malam, konsekuensinya kita akan kelelahan saat bangun pagi, atau malah justru terlambat bangun. Jika kita memilih tidur awal, konsekuensinya kita melewatkan acara favorit yang ditayangkan larut malam. Jadi sebenarnya, semua hal yang kita alami tergantung dari pilihan mana yang kita ambil.

“Keterampilan Memilih”, itulah yang ingin saya ajarkan pada murid-murid saya. Untuk itu, saya menerapkan sistem ‘konsekuensi’ dalam KBM. Setiap kali saya memberikan tugas dan menetapkan batas waktu pengumpulannya, saya menjelaskan mengenai konsekuensi dari setiap pilihan yang mungkin diambil para murid. Pilihan pertama, mau mengumpulkan tugas sebelum batas waktu? Konsekuensinya, memperoleh nilai sesuai ketentuan dan juga nilai ekstra, TAPI butuh usaha keras mengatur waktu di antara keharusan mengerjakan tugas mata pelajaran yang lain. Pilihan kedua, mau mengumpulkan tugas

tepat waktu? Konsekuensinya, memperoleh nilai sesuai ketentuan, TAPI butuh usaha juga untuk mengatur waktu. Pilihan ketiga, mau mengumpulkan tugas setelah batas

waktu yang telah ditentukan? Konsekuensinya, ada pengurangan nilai. Atau, pilihan keempat, tidak mau mengumpulkan tugas? Konsekuensinya, tak ada nilai sama sekali.

Beda Murid, Beda Pilihan

Dalam suatu kelas, kemajemukan murid tentu saja merupakan hal yang tak terhindarkan. Keunikan setiap murid dalam kelas memungkinkan terjadinya perbedaan pilihan yang diambil. Contohnya saja seperti kasus pengumpulan tugas yang dipaparkan di atas. Bagaimana jika ada murid yang justru bersikap apatis? Tidak mau mengumpulkan tugas? Tak peduli dengan nilai berapa pun yang ia akan peroleh? Apakah kita sebagai guru hanya membiarkannya saja, karena itulah

pilihan yang ia ambil? Insting seorang guru pastilah tidak akan membiarkan hal tersebut terjadi. Namun, jika tidak bertindak hati-hati, banyak guru yang justru malah

kebablasan menjadi otoriter dan ngotot memaksa siswa untuk melakukan hal-hal yang sebenarnya bukan pilihannya. Bukannya mereguk nikmatnya hasil dari disiplin positif, yang ada justru malah memicu ‘perang dingin’ antara guru dan murid. Si murid cenderung merasa terpaksa melakukan hal yang (menurutnya) tak sesuai dengan keinginan hatinya.

Untuk menerapkan disiplin yang positif yang efektif, perlu adanya sistem pendukung yang mumpuni. Setelah beberapa kali ‘mencicipi’ merancang KBM di berbagai lingkungan sekolah berbeda; mulai dari sekolah nasional, nasional plus dan sekolah internasional, saya pun mulai mengenali fenomena serupa dalam sebuah KBM. Fenomena ini tidak hanya saya temui di kalangan murid TK-SD saja, namun saya temui juga pada siswa SMP dan SMA.

Fenomena #1. Murid suka didengar pendapatnya

Untuk menciptakan suasana KBM yang kondusif perlu adanya aturan kelas yang jelas. Dalam membuat aturan-aturan kelas yang efektif, saya banyak terbantu dengan metode-

Guru Belajar 10 April 2016

Menularkan Kegemaran Belajar

Murid suka didengar pendapatnya

Saat murid ikut dilibatkan dalam menyusun kesepakatan kelas, maka

mereka akan merasa menjadi bagian dalam kegiatan belajar mengajar.

Mereka belajar untuk berkomitmen dalam melakukan aturan yang telah

menjadi kesepakatan bersama.

Page 23: Surat Kabar Guru Belajar Edisi 3 - kampusgurucikal.com · disiplin baik di rumah maupun di sekolah seringkali salah kaprah. ... diberi kepercayaan untuk mengajar di Kelompok B (usia

SURAT KABAR Guru Belajar | 23

metode yang dibagikan oleh Harry K. Wong, seorang pendidik yang terkenal dengan bukunya “The First Days of School: How to be an Effective Teacher and New Teacher Induction”. Misalnya aturan “5 Jari” untuk menjaga KBM berlangsung lancar tanpa gangguan berarti. Acungkan 1 jari jika ingin ke toilet, acungkan 2 jari jika kelas terlalu ribut, acungkan 3 jari jika ingin bertanya pada guru, dan sebagainya. Atau, aturan tentang prosedur dan tenggat waktu pengumpulan tugas.

Alih-alih bersikap otoriter dengan berkata “aturan 5 jari harus dilaksakan” atau “tugas harus dikumpulkan tepat jam sekian”, saya senantiasa menjelaskan maksud dan tujuan dari dibuatnya aturan tersebut terlebih dahulu. Setelah itu, saya pun mengajak murid untuk berdiskusi dan menyampaikan keberatan, sekiranya ada murid yang merasa keberatan dengan aturan tersebut. Jika alasannya masuk akal, tentunya, tentu saja akan saya lempar kembali dalam diskusi kelas. Jika alasannya dibuat-buat dan terlalu mengada-ada, saya pun menggunakan otoritas saya sebagai guru untuk menolak keberatan itu.

Adakalanya diskusi bisa berjalan alot, namun bisa juga sebaliknya. Saat proses diskusi inilah, saya melatih para murid untuk menjadi problem-solver. Saat tercapai kesepakatan, saya bisa melihat raut

wajah yang puas dari setiap murid yang terlibat. Setelah tercapai suatu kesepakatan, tibalah saatnya mendiskusikan bentuk konsekuensinya jika terjadi pelanggaran.

Saat murid ikut dilibatkan dalam menyusun kesepakatan kelas, maka mereka akan merasa menjadi bagian dalam KBM. Mereka belajar untuk berkomitmen dalam melakukan aturan yang telah menjadi kesepakatan bersama. Tak perlu lagi ancaman atau hukuman yang “memaksa” mereka tunduk pada aturan. Sistem komunikasi yang efektif sangat membantu siswa dalam menerapkan pola disiplin yang positif. Memang butuh banyak waktu untuk proses diskusi ini. Sebagai guru, saya pun harus bijak dan cermat menyusun rencana pembelajaran sedemikian rupa. Tapi, bukankah proses ini juga merupakan bagian dari proses belajar yang tak kalah pentingnya dari ‘mengejar materi’?

Fenomena #2. Murid perlu didukung dengan konsistensi

Saya akan sedikit berbagi pengalaman pribadi saat saya menjadi seorang murid SMP. Suatu ketika, guru Sejarah memberikan

tugas yang harus dikumpulkan pada waktu dan jam tertentu. Menurut guru tersebut, jika tugas tidak dikumpulkan tepat waktu, konsekuensinya ia tidak akan menerima lagi dan memberikan nilai. Saya pun berusaha menyelesaikan dan mengumpulkan tugas tersebut tepat waktu. Namun, alangkah kecewanya saya ketika melihat banyak di antara teman saya yang

berusaha mendekati guru tersebut keesokkan harinya. Akhirnya, guru saya pun menerima tugas-tugas yang terlambat dikumpulkan itu.

Setelah saya menjadi guru dan merenungkan kembali peristiwa tersebut, saya pun menarik pelajaran. Perkataan guru yang tidak konsisten menimbulkan kekecewaan mendalam bagi murid. Akibatnya, murid jadi tak percaya lagi pada “sistem”, dalam hal ini “aturan” yang telah disepakati bersama. Ketidakpercayaan murid pada kesepakatan awal, mengakibatkan terciptanya ruang-ruang untuk membuat pelanggaran. Sistem disiplin positif yang dibangun pun akhirnya lambat laun jadi goyah. Aturan yang dijalankan tanpa konsistensi menyebabkan

Guru Belajar 10 April 2016

Menularkan Kegemaran Belajar

Murid Gemar Bersosialisasi

Saya percaya, pergaulan yang buruk merusak kebiasaan yang baik,

sebaliknya pergaulan yang baik mengubah kebiasaan yang buruk.

Page 24: Surat Kabar Guru Belajar Edisi 3 - kampusgurucikal.com · disiplin baik di rumah maupun di sekolah seringkali salah kaprah. ... diberi kepercayaan untuk mengajar di Kelompok B (usia

SURAT KABAR Guru Belajar | 24

murid merasa tidak nyaman berada dalam proses KBM. Sistem disiplin yang dijalankan secara konsisten memberikan kenyamanan bagi siswa.

Fenomena #3. Murid gemar bersosialisasi

Mengacu kembali pada kasus “pilihan mengumpulkan tugas” yang dipaparkan sebelumnya. Jika ada murid yang enggan mengumpulkan tugas (karena ia memilih seperti itu), lantas apakah kita mengangapnya sebagai murid yang tidak disiplin? Di sisi lain, sebagai guru, tentulah kita memiliki tanggung jawab moral supaya si murid nilainya tidak kosong di rapor. Kini masalahnya,

lebih mengarah pada tanggung-jawab si murid. Lalu bagaimana solusinya?

Saya menerapkan Metode Pembelajaran Kolaborasi untuk mengajarkan murid supaya lebih bertanggungjawab. Dalam proses KBM, saya sengaja memberika porsi sedikit lebih besar untuk aktivitas belajar kelompok ketimbang aktivitas belajar secara perorangan (individual). Saya percaya, pergaulan yang buruk merusak kebiasaan yang baik, sebaliknya pergaulan yang baik mengubah kebiasaan yang buruk.

Dalam proses belajar berkolaborasi, saya menciptakan sistem yang “memaksa” setiap anggota kelompok

harus bekerja sama satu sama lain untuk memperoleh hasil yang maksimal. Sistem ini pun secara “tak langsung” memicu murid yang kesadaran tanggung jawab masih minim. Jika hal tersebut tidak hanya menyangkut dirinya sendiri, melainkan menyangkut orang lain juga (dalam hal ini, teman-teman sekelompoknya), akankah ia terus memilih untuk bersikeras tak mau mengumpulkan tugasnya? Lambat laun, si murid pun akan terpengaruh dengan pilihan-pilihan yang diusung oleh teman-teman sekelompoknya. Mana ada kelompok yang seluruh anggotana apatis? Sistem kolaborasi membantu siswa untuk saling menularkan kebiasaan positif.

Guru Belajar 10 April 2016

Menularkan Kegemaran Belajar

Murid Perlu Didukung Dengan Konsistensi

Aturan yang dijalankan tanpa konsistensi menyebabkan murid merasa tidak nyaman berada

dalam proses KBM. Sistem disiplin yang dijalankan secara konsisten memberikan

kenyamanan bagi siswa.

Page 25: Surat Kabar Guru Belajar Edisi 3 - kampusgurucikal.com · disiplin baik di rumah maupun di sekolah seringkali salah kaprah. ... diberi kepercayaan untuk mengajar di Kelompok B (usia

SURAT KABAR Guru Belajar | 25

Belajar Tanpa SyaratAnak belajar untuk mendapat iming-iming itu sudah ketinggalan jaman. Jaman sekarang yang dibutuhkan adalah anak belajar tanpa syarat. Tapi maukah guru menyiapkannya?

Setiap awal tahun ajaran, saya selalu mengajak anak-anak untuk membuat peraturan kelas untuk mereka patuhi selama mereka berada di dalam kelas. Karena murid-murid saya masih sangat muda, peraturan yang kami buat sangat sederhana seperti bersikap baik dan sopan.

Apakah anak-anak akan selalu mematuhi peraturan kelas yang telah dibuat bersama-sama? Di kelas, biasanya murid saya cukup banyak hingga 22 anak. Masing-masing punya kebiasaan yang berbeda saat di kelas dan cara mengikuti peraturan yang berbeda pula. Selain itu, anak-anak usia 4-6 tahun tidak dapat duduk tenang dan menyimak lebih lama dari 15 menit. Berbekal sistem ‘reward and punishment’ seperti ‘kalau kalian bisa seperti ini, maka akan mendapatkan stempel bintang’, untuk mempertahankan peraturan kelas tetap berjalan dan memastikan proses pembelajaran berlangsung lancar.

Di awal, saya merasa sangat mudah dengan sistem pemberian hadiah ini. Sistem stempel bintang ataupun reward ini memang berhasil pada beberapa bulan pertama. Ketika pertanyaan apakah dapat bintang bila mereka melakukan ini atau itu muncul dari anak-anak saat proses

belajar, saya mulai meragukannya karena biasanya hal ini terjadi bukan hanya di satu kelas saja. Fokus murid-murid saya ada pada reward itu.

Saya membaca buku Ki Hadjar Dewantara bagian I Pendidikan di awal tahun 2015. Saat membacanya walaupun belum tuntas, banyak ajaran Ki Hadjar Dewantara yang melawan sistem pendidikan yang diterapkan di sekolah zaman Hindia Belanda yang diwarisi ke sekolah kita zaman sekarang. Pada bagian awal, saya menemukan tulisan ini:

“Dasar-dasar pendidikan Barat yaitu perintah, hukuman. Dalam prakteknya, didikan sedemikian itu berlaku sebagai perkosaan atas kehidupan batin anak-anak. Anak-anak rusak budi pekertinya, disebabkan selalu hidup di bawah paksaan dan hukuman yang sering tiada setimpal dengan kesalahannya.

Kalau menjadi orang tua, ia tiada akan dapat bekerja kalau tiada dipaksa, kalau tiada perintah. Kalau kita meniru saja cara yang semacam itu, tiadalah kita akan dapat mendidik orang yang punya

kepribadian.”

Pemberian hadiah dan hukuman ini berhasil agar anak berperilaku baik hanya saja semakin terbiasa anak-anak terlihat kurang semangat bila tidak ada iming-iming bahkan bagi beberapa anak, stempel satu bintang tidak cukup. Akan sebanyak apa sih stempel bintang untuk memuaskan mereka? Akan sebanyak apa stempel bintang yang diperlukan agar mereka berperilaku baik terus

menerus? Bagi beberapa anak yang lain, stempel bintang sudah tidak menarik lagi, jadinya bila mereka mendapatkannya mereka senang tetapi bila tidak mendapatkan ataupun kehilangan mereka seakan tidak peduli lagi. Stempel bintang sebagai hadiah tidak dapat membuat mereka berperilaku sesuai yang diinginkan lagi.

Saya mulai mencoba untuk mengubah kebiasaan di kelas. Papan reward masih terpasang di kelas. Strategi yang saya ubah adalah tanpa iming-iming. Saya dan rekan guru di kelas berusaha untuk tidak memberikan iming-iming seperti

Guru Belajar 10 April 2016

Menularkan Kegemaran Belajar

Pemberian hadiah dan hukuman ini berhasil agar anak berperilaku baik hanya saja semakin terbiasa anak-

anak terlihat kurang semangat bila tidak ada iming-iming bahkan bagi

beberapa anak, stempel satu bintang tidak cukup.

Page 26: Surat Kabar Guru Belajar Edisi 3 - kampusgurucikal.com · disiplin baik di rumah maupun di sekolah seringkali salah kaprah. ... diberi kepercayaan untuk mengajar di Kelompok B (usia

SURAT KABAR Guru Belajar | 26

sebelumnya. Reaksi pertama yang muncul dari anak-anak cukup beragam, seperti ada yang menanyakan apakah nanti dapat stempel bintang? Kami mencoba tidak mengulangi seperti sebelumnya kalau mereka bersikap yang baik akan diberi stempel bintang, namun sebagai gantinya bila ada perilaku baik yang muncul, kami sampaikan bahwa yang dilakukannya itu baik.

Selain tanpa iming-iming, kami terus menerus berdiskusi ringan dengan anak-anak seperti kenapa kalau ingin berbicara harus bergantian, mengapa kita harus mendengarkan orang lain yang sedang berbicara, mengapa harus sabar menunggu giliran berbicara, ataupun mengapa kita harus antri.

Setelah mengikuti Pelatihan Disiplin Positif yang di adakan Kampus Guru Cikal dan Komunitas Guru Belajar di awal tahun 2016, saya langsung melakukan perbaikan peraturan kelas walaupun satu semester telah dilalui. Diawali dengan membuat tabel T untuk salah satu poin dalam peraturan kelas kami, yaitu bersikap baik. Kami seperti memulai dari awal, walaupun sudah dilakukan berulang-ulang.

Kali ini, saya memulai dengan pertanyaan ke murid-murid saya,”Adakah yang tahu, bersikap baik itu seperti apa ya?” Beberapa anak mengangkat tangan dan satu

persatu saya persilakan untuk menyampaikan pendapat mereka. Hasilnya seperti ini: mendengarkan (orang lain yang sedang berbicara), angkat tangan kalau mau bicara, duduk tenang, bereskan mainan

kalau sudah bermain, antri. Kesemuanya saya tuliskan di kolom yang ada tanda ‘v’ mewakili perilaku yang tampak seperti bersikap baik.

Ketika ada anak yang berkata,”Tidak memukul teman”, saya bertanya balik,”Tidak memukul teman. Kalau memukul teman itu, apakah juga termasuk sikap yang baik?” Mudah ditebak, anak-anak akan menjawab ‘Tidak’ secara bersamaan. “Kalau begitu, kita tuliskan di sini ya,” kata saya sambil menuliskan memukul teman pada kolom yang ada tanda ‘X’ mewakili perilaku yang tidak tampak seperti bersikap baik. Murid-murid saya lalu menyebutkan perilaku yang tidak tampak bersikap baik lainnya seperti mengejek teman, mengambil barang teman, dan sejenisnya.

Peraturan kelas atau kesepakatan bersama di kelas yang dibuat memang lebih menekankan pada hubungan antara setiap anak di

kelas. Hasilnya, setiap perilaku positif yang tampak seperti perilaku baik, saya dan rekan guru di kelas memberikan konfirmasi bahwa perilakunya sudah sesuai. Saat perilaku yang tidak tampak seperti

perilaku baik seperti mengejek teman, biasanya saya langsung menanyakan pada anak tersebut, apakah yang barusan dilakukannya termasuk sikap yang baik? Apakah dia merasa senang kalau temannya

yang mengejek dia? Kira-kira kalau dia yang diejek apa yang akan dilakukannya? Anak perlu tahu bahwa setiap tindakan yang dilakukannya ada konsekuensi yang harus diterimanya.

Disiplin adalah modal utama untuk belajar dan untuk berhasil hidup berdampingan dengan orang lain. Walaupun murid-murid saya masih kecil, saya senang sekali mengajak mereka untuk berdiskusi ringan termasuk ketika berbicara mengenai perilaku dan konsekuensinya. Sepertinya topik yang berat ya, tetapi kami biasa melakukannya.

Seperti ketika mengingatkan kembali mengapa kita harus antri saat hendak mencuci tangan di kelas, karena setiap hari antri untuk mencuci tangan sebelum makan, mereka sudah tahu alasan mengapa harus antri: kran air untuk cuci tangan hanya satu di kelas

Guru Belajar 10 April 2016

Menularkan Kegemaran Belajar

Page 27: Surat Kabar Guru Belajar Edisi 3 - kampusgurucikal.com · disiplin baik di rumah maupun di sekolah seringkali salah kaprah. ... diberi kepercayaan untuk mengajar di Kelompok B (usia

SURAT KABAR Guru Belajar | 27

Seperti ketika mengingatkan kembali mengapa kita harus antri saat hendak mencuci tangan di kelas, karena setiap hari antri untuk mencuci tangan sebelum makan, mereka sudah tahu alasan mengapa harus antri: kran air untuk cuci tangan hanya satu di kelas sementara anak-anak ada lebih banyak, waktu cuci tangannya bersamaan dan semua anak ingin segera cuci tangan jadi harus bergantian. Mereka pernah mengalami hal yang tidak enak kalau tidak antri, harus berebutan, cuci tangan tidak bersih, hingga baju basah. Dari sini pun mereka belajar konsekuensi dari setiap tindakan mereka.

Ujian kedisiplinan ketika ruang belajar mereka di tempat umum, tempat di mana anak-anak tidak hanya bersama teman sekelas, teman sekolah tetapi bersama orang-orang lain yang mereka baru temui di tempat umum seperti bandara, bank, dan lain sebagainya. Tantangannya mengajak anak-anak yang banyak adalah memastikan setiap anak tetap aman dan terlibat dalam kegiatan. Seperti ketika kami mengunjungi salah satu bank di kota

kecil kami, mereka belajar antri dengan tertib mulai ketika naik ke bus, turun dari bus, masuk ke bank, menyetor uang ke teller bank, menyeberangi jalan di zebra cross, praktek langsung berkomunikasi lisan yang baik dengan orang dewasa lainnya, dan tentu saja sabar menunggu.

Seperti asal kata disiplin yaitu ‘to teach’, disiplin mengajarkan anak-anak banyak hal. Dasar-dasar untuk menjadi pribadi yang tahu aturan ketika bersama dengan orang lain, membedakan mana yang benar dan mana yang salah, belajar mengatur emosi, dan terutama tahu kalau setiap yang mereka lakukan ada konsekuensinya. Jadi sebenarnya disiplin itu tidak perlu diberi iming-iming hadiah atau ancaman.

Mungkin pertanyaan selanjutnya adalah apakah ini berhasil kepada setiap anak? Bagi saya, setiap anak adalah manusia juga, mereka berkembang melalui proses, ada yang berkembang baik lebih cepat ataupun sebaliknya, tetapi dengan proses yang baik tentunya hasilnya akan baik juga. Yang penting guru tetap konsisten tanpa iming-iming ataupun ancaman agar anak didik

mau mengikuti aturan dan terlibat dalam kegiatan di kelas, mau memberikan kesempatan anak didik untuk menyampaikan apa yang mereka rasakan dan pendapat mereka, dan terutama mau untuk terus belajar.

Guru Belajar 10 April 2016

Menularkan Kegemaran Belajar

Hesti Wulandari Andi Djiwa

Guru TK YPS, Penggerak Komunitas Guru Belajar

Soroako.

Page 28: Surat Kabar Guru Belajar Edisi 3 - kampusgurucikal.com · disiplin baik di rumah maupun di sekolah seringkali salah kaprah. ... diberi kepercayaan untuk mengajar di Kelompok B (usia

SURAT KABAR Guru Belajar | 28

Sekali Lagi, Kesepakatan KelasKesepakatan terkesan sederhana, tapi justru kesepakatan sangat efektif untuk menumbuhkan kesadaran pada anak-anak. Siap mencoba?

Hari Selasa tanggal 30 Maret 2016 lalu, saya mengunjungi Early Childhood Care and Development Resource Center (ECCD-RC), sebuah lembaga di Jogjakarta yang bergerak di bidang informasi dan pelayanan anak usia dini. Layanan PAUD di lembaga ini bernama Labschool Rumah Citta. Saya berkesempatan melakukan observasi di salah satu kelas TK kecil, dengan siswa berumur 4‒5 tahun. Sebelum observasi saya menandatangani pernyataan kesepakatan memenuhi persyaratan observasi dan pendokumentasian proses kelas. Tujuan utama kesepakatan ini adalah untuk menjaga privacy anak-anak dan membatasi penyebaran informasi yang direkam hanya untuk keperluan pembelajaran.

Berbicara mengenai kesepakatan, di dalam proses kelas yang saya amati, pendidik dan anak-anak selalu mengulang-ulang kata kunci kesepakatan. Kelas dimulai setelah anak-anak melakukan senam bersama lintas kelas di ruang tengah yang berfungsi sebagai hall dan menghubungkan beberapa kelas di PAUD tersebut. Semua orang dewasa (pendidik dan pendamping) berbaur dengan anak sehingga anak tidak terlalu membedakan peran masing-masing meskipun fokus kerjanya berbeda.

Di awal kelas anak-anak diingatkan tentang isi dari kesepakatan yang sudah dibuat bersama oleh anak-

anak dan pendidik. Cara penyampaiannya berupa dialog, pendidik lebih banyak mengemukakan pertanyaan dan anak-anak menjawabnya.

Misalnya saat pendidik bertanya, “Bagaimana caranya kita bermain bersama hari ini?” Anak-anak akan menjawab menggunakan salah satu butir kesepakatan, “Sayang teman.” Menurut salah satu pendidiknya, butir kesepakatan ini sebelumnya berasal dari usulan seperti tidak boleh memukul teman, tidak mendorong teman, dan lainnya. Kalimat anak-anak ini kemudian dikemas secara positif dengan menghilangkan kata ‘jangan’. Sehingga muncullah kalimat pendek namun bermakna besar bagi anak-anak, “Sayang teman”. Kalimat

tersebut digunakan berulang oleh anak-anak.

Menarik sekali mendengarkan pernyataan anak-anak yang bernada memberitahu, bukan sekedar menjawab pertanyaan orang lain yang ingin tahu. Nada itu menunjukkan semacam kebanggaan bahwa apa yang disampaikannya adalah identifikasi penting yang berasal dari diri mereka �

Salah satu anak yang berani dan bisa membaca maju ke lokasi display kelas dan membacakan keseluruhan kesepakatan. Pendidik mengingatkan bahwa kesepakatan dibuat bersama, bukan hanya berasal dari pendidik, dan karena itu harus dijalani oleh semua yang terlibat di kelas. Tiap butir kesepakatan mereka penting dilakukan sepanjang berkegiatan bersama. Namun saya tertarik

dengan penempatan “Sayang teman” sebagai butir pertama. Kalimat pendek itu menyiratkan banyak hal yang sebetulnya bisa dijabarkan menjadi banyak bentuk perilaku lain yang diharapkan terbentuk pada anak-anak. Semua kalimat lain juga dibuat menggunakan kalimat positif berupa ajakan, dan bukan larangan.

Kegiatan utama hari itu adalah bermain balok dan kolam pasir. Anak-anak harus memilih salah satu, sementara pilihan lainnya tetap dilakukan namun pada keesokkan harinya. Menurut pendidiknya,

Guru Belajar 10 April 2016

Menularkan Kegemaran Belajar

Lany Rh Guru SD Yayasan Pendidikan Jayawijaya, Kuala Kencana.

Penggerak KomunitasGuru Belajar Timika.

Page 29: Surat Kabar Guru Belajar Edisi 3 - kampusgurucikal.com · disiplin baik di rumah maupun di sekolah seringkali salah kaprah. ... diberi kepercayaan untuk mengajar di Kelompok B (usia

SURAT KABAR Guru Belajar | 29

kegiatan mereka rata-rata dilakukan dalam beberapa hari untuk memberi kesempatan pada anak memilih kegiatan yang disukainya. Meskipun sebenarnya tiap anak tetap mendapat kesempatan untuk melakukan semua kegiatan yang disediakan.

Dari kegiatan memilih ini anak-anak belajar untuk menempatkan prioritas, dan berbagi kesempatan dengan temannya. Kembali lagi, saat memilih dan sebelum betul-betul melakukan kegiatan tersebut, anak-anak diingatkan tentang kesepakatan dan (kali ini) aturan di masing-masing tempat permainan. Bagaimanapun, setiap tempat mempunyai karakter dan tuntutan berbeda. Misalnya di kolam pasir bisa menggunakan air meskipun dalam jumlah tertentu. Sementara di tempat main balok, sekalipun mereka bilang sedang membangun hotel dengan kolam renang besar, tentu tidak dibolehkan menambahkan air ke dalamnya. Menariknya, semua peraturan tersebut dibungkus dengan kata ”kesepakatan”. Bahasa mudahnya untuk anak-anak umur 4-5 tahun ini adalah apa yang sebaiknya dan tidak sebaiknya dilakukan saat berkegiatan.

Kegiatan main pasir dan balok di lembaga ini dilakukan di area khusus. Di masing-masing tempat kegiatan, anak-anak tampak senang bereksplorasi sambil berbincang dengan teman-teman dan pendidik.

Dalam percakapan, mereka tampak seperti betul-betul menjadi tenaga teknik yang melakukan proyek penting. Pada waktu yang sudah disepakati, mereka menghentikan kegiatan dan masing-masing

bercerita tentang apa yang dibuatnya. Pendidik merekam masing-masing anak saat bercerita dalam bentuk video. Sementara anak yang lain berada di posisi yang baik dan tidak menghalangi proses rekaman untuk mendengarkan temannya bercerita.

”Aku membangun hotel, dengan menara di sebelah sini, lalu yang ini pagarnya, besar sekali. Sebelah sini ada kolam ikan buat bermain-main.” Setiap seorang anak selesai bercerita, anak yang lain mempunyai kesempatan untuk memberikan komentar, atau bertanya. Setelah cerita tersebut, ada anak yang bertanya, ”Katanya bikin kolam, mana airnya?” Lalu dijawab, ”Lah kan ini main balok, tidak bisa dikasih air betulan.” Kemudian mereka merapikan kembali semua

perlengkapan yang digunakan. Kegiatan merapikan ini pun dimasukkan sebagai bagian dari ”kesepakatan”.

Sekembalinya ke kelas, mereka melakukan refleksi kegiatan hari itu.

Kebetulan pada saat itu ada 3 anak yang mungkin masih terbawa dengan kesenangan berkegiatan sehingga berisik sendiri dan tidak mengikuti proses percakapan di lingkaran dengan baik. Ketiganya diminta untuk mengambil tempat berjarak dari lingkaran dan terpisah satu sama lain agar berkesempatan untuk merenungkan perilakunya. Lagi-lagi, saat melakukan strategi ini, pendidik menggunakan kata ”kesepakatan” sambil

mengingatkan bagian butir kesepakatan yang sesuai, yaitu ”Ketika ada yang berbicara, yang lain mendengarkan”. Imbas dari pembahasan kejadian ini dalam lingkaran dengan cara melibatkan anak-anak adalah terbangunnya rasa tanggung jawab setiap anak. Masing-masing mengerti kewajiban dan konsekuensi dari kesepakatan yang sudah dirumuskan bersama.

Kelas hari itu berjalan aman dan damai, sekalipun terjadi insiden. Masing-masing anak dan pendidik yang terlibat tampat berpegang bahwa setiap bagian kegiatan mereka dilakukan sesuai kesepakatan yang dibuat bersama. Termasuk pada saat terjadi hal yang tidak diharapkan seperti insiden tersebut. Ketika peraturan yang biasa

Guru Belajar 10 April 2016

Menularkan Kegemaran Belajar

Page 30: Surat Kabar Guru Belajar Edisi 3 - kampusgurucikal.com · disiplin baik di rumah maupun di sekolah seringkali salah kaprah. ... diberi kepercayaan untuk mengajar di Kelompok B (usia

SURAT KABAR Guru Belajar | 30

diterapkan dibungkus dalam bentuk kesepakatan, setiap orang yang terlibat tampak menyatu dengan tujuan belajar hari itu dan tujuan pembentukan perilaku.

Anak-anak ditempatkan sebagai tokoh utama dalam pembelajaran, termasuk dalam pembuatan kesepakatan. Sehingga mereka merasakan keterlibatan dan perilaku yang mereka tunjukkan tampak sebagai bagian dari tanggung jawab mereka sendiri, bukan sekedar menjalankan peraturan yang berlaku di kelas. Demikian pula pendidik dan warga kelas lainnya, setiap yang terlibat bersama-sama menjaga agar kesepakatan dapat berjalan.

Dari pembelajaran saya hari itu, saya mencoba mengevaluasi kelas saya sendiri. Saya juga menggunakan metode kesepakatan kelas untuk membuat peraturan bersama. Namun selama ini saya merasa kesepakatan yang kami buat belum sepenuhnya berjalan seperti yang diharapkan.

Kelas saya terdiri dari 19 anak berusia 7-8 tahun. Bahasa yang kami gunakan dalam peraturan kelas diambil dari kalimat yang disebutkan anak-anak, dengan sedikit modifikasi untuk pembelajaran membuat kalimat yang baik. Saya berusaha menempatkan lembar kesepakatan ini di bagian kelas yang diakses anak-anak setiap hari. Namun saya sendiri masih merasa bahwa butir-butir kesepakatan yang kami buat masih tampak seperti peraturan yang berlakunya memerlukan kontrol saya sebagai guru kelas.

Misalnya saja pada butir ”tahu waktu bermain dan belajar”. Saat didiskusikan, anak-anak tahu kapan saatnya harus fokus belajar, dan kapan bisa bermain. Bermain di sini termasuk melakukan permainan-

permainan yang tidak berhubungan dengan kegiatan yang sedang berlangsung. Seperti keasyikan anak-anak dengan kartu-kartu karakter, masih berlanjut saat seharusnya sedang fokus mengerjakan tugas. Atau pada saat diskusi, beberapa anak masih memain-mainkan karet yang digunakan dalam permainan sebelumnya. Aktifitas bermain di luar kegiatan ini tentunya bukan karena permasalahan sensori atau kesulitan belajar yang lain, namun lebih ke masalah perilaku.

Saya menyediakan waktu khusus untuk membahas ulang kesepakatan yang kami buat sebelumnya. Awalnya kami merefleksi masing-masing point dalam kesepakatan kelas kami. Dilanjutkan dengan

diskusi perlu tidakna suatu butir kesepakatan tetap dimasukkan, atau perlu diambil. Yang terjadi justru ada beberapa tambahan butir kesepakatan, seperti ”berpikir dulu sebelum bertindak”. Selanjutnya,

masing-masing anak diminta membuat lembar komitmen, di mana anak memilih 1 atau 2 butir saja sebagai fokus tujuan yang akan dicapainya.

Agaknya saya perlu menciptakan situasi untuk menjadikan kesepakatan kami betul-betul berlaku sebagai kesepakatan dan bukan semata sebagai peraturan kelas. Cara pendidik di kelas obervasi saya cukup menginspirasi dan bisa saya adaptasi beberapa bagian untuk diterapkan dengan beberapa modifikasi sesuai dengan karakter kelas dan kondisi anak. Kali ini, saya merasa beruntung mempunyai

kalender sekolah yang memungkinkan saya belajar dari sekolah lain tanpa harus meninggalkan kelas.

Catatan :

Terimakasih padat tim Early Childhood Care and Development Resource Center (ECCD-RC), Pusat Informasi dan Pelayanan Anak Usia Dini, Jogjakarta

Guru Belajar 10 April 2016

Menularkan Kegemaran Belajar

Page 31: Surat Kabar Guru Belajar Edisi 3 - kampusgurucikal.com · disiplin baik di rumah maupun di sekolah seringkali salah kaprah. ... diberi kepercayaan untuk mengajar di Kelompok B (usia

SURAT KABAR Guru Belajar | 31

Pendidikan budi pekerti mengajarkan juga keharusan manusia yang cerdas dan berbudi,

untuk dapat memerintah dirinya sendiri, menahan hawa nafsunya, serta pula menetapkan garis tata

tertib untuk dirinya sendiri.

Ki Hajar Dewantara (Buku Belajar dari Ki Hajar Dewantara)

Mendidik budi pekerti anak sama pentingnya dengan mendidik aspek akademisnya. Semisal, mendidik anak untuk antri sama pentingnya dengan mengajari anak matematika. Tantangannya, bagaimana perilaku antri bersandar pada kesadaran diri anak, bukan karena faktor eksternal seperti takut dapat hukuman atau ingin mendapat ganjaran.

Untuk menjawab tantangan itu, kami mengundang rekan-rekan guru untuk menulis di Surat Kabar Guru Belajar edisi keempat mengenai Pendidikan Budi Pekerti. Tuliskan pengalaman anda menumbuhkan budi pekerti pelajar anda. Topik budi pekerti bisa diterapkan dalam lingkup yang luas mulai dari mengembangkan kebiasaan membaca, perilaku jujur, menghargai perbedaan, tangguh menghadapi kesulitan, ketekunan belajar dan perilaku positif lainnya.

Rekan guru bisa memilih satu sudut pandang dari beragam sudut pandang dalam pendidikan budi pekerti. Bisa menuliskan pengalaman merancang pendidikan budi pekerti melalui kurikulum, pengalaman melaksanakan pendidikan budi pekerti atau bahkan pengalaman melakukan penilaian budi pekerti.

Tulisan rekan guru akan diterbitkan di Surat Kabar Edisi Keempat yang akan terbit pada 10 Juni 2016. Jadi tunggu apalagi, segera kirimkan tulisan Anda dengan cara sebagai berikut:

1. Unduh panduan Penulisan #PraktikCerdas di http://bit.ly/MenulisKGB

2. Tuliskan sesuai panduan dan simpan dalam file dengan nama #PraktikCerdas "Nama Penulis"

3. Emailkan file beserta foto diri dan foto aktivitas dengan subyek email #PraktikCerdas "Nama Penulis" ke [email protected] paling lambat kami terima tanggal 20 Januari 2016

Yuk belajar menulis sekaligus berbagi pelajaran pada guru di seluruh nusantara!

Guru Belajar 10 April 2016

Menularkan Kegemaran Belajar

Undangan Menulis di Surat Kabar Guru Belajar Edisi IV

Pendidikan Budi Pekerti

Komunitas Guru BelajarGuru Belajar adalah komunitas pendidik yang diinisiasi oleh Kampus Guru Cikal untuk berdiskusi dan berbagi praktik cerdas pengajaran dan pendidikan melalui Facebook dan Temu Pendidik. Praktik cerdas yang sudah dikurasi akan dipublikasikan di situs GuruBelajar.org, dalam bentuk surat kabar, buku atau media pembelajaran.

Prinsip Nilai Kami1. Mewujudkan pelajar sepanjang hayat. Kami bercita-

cita menumbuhkan pemahaman, pengetahuan, keterampilan dan sikap yang positif agar setiap insan terus mau dan mampu belajar.

2. Memberdayakan semua pelaku dan peran. Kami sadar bahwa perubahan hanya akan terjadi pada mereka yang merdeka, yang berada dalam lingkungan yang mendukung setiap insan untuk menjadi penggerak.

3. Menghargai keragaman. Kami yakin keunikan adalah kekuatan, yang harus didorong dan dimaknai, dihormati dan dirayakan.

4. Berkolaborasi dengan terbuka. Kami sadar bahwa kami bagian kecil dari jaringan perjuangan, yang akan berdampak optimal hanya bila berbagi tanggungjawab dengan semua yang peduli.

5. Mempraktekkan standar terbaik. Kami bekerja keras untuk menjadi teladan dalam setiap aksi, selalu menggunakan ilmu dan bukti dengan sepenuh hati.

Komunitas Guru Belajar mempunyai kegiatan berkala tiap 2 bulan yang disebut Temu Pendidik dan Temu Pendidik Nusantara yang diadakan tiap tahun. Dalam Temu Pendidik, guru berbagi praktik cerdas pengajaran dan pendidikan melalui presentasi bercerita.

Apa kelebihan Temu Pendidik? 1. Singkat

Temu Pendidik berdurasi maksimal 2 jam agar mudah diselenggarakan dan diikuti semua guru.

2. PraktisTemu Pendidik memfasilitasi guru berbagi pengalaman praktis dalam mengatasi tantangan di kelas/sekolah.

3. KonkretTemu Pendidik memfasilitasi guru untuk membicarakan rencana konkret untuk dilakukan di kelasnya.

Tertarik bergabung? Daftarkan email anda di GuruBelajar.org

Bergabung di Grup FB Komunitas Guru Belajar

Page 32: Surat Kabar Guru Belajar Edisi 3 - kampusgurucikal.com · disiplin baik di rumah maupun di sekolah seringkali salah kaprah. ... diberi kepercayaan untuk mengajar di Kelompok B (usia

SURAT KABAR Guru Belajar | 32

Guru Belajar 10 April 2016

Menularkan Kegemaran Belajar

Meski telah banyak upaya, citra guru tetaplah sebagai Oemar Bakrie. Citra yang melemahkan semangat. Citra itu yang ingin diubah #UntukGuru, Kontes Desain Motif Baju Guru bagi pelajar dan mahasiswa usia 17 – 21 tahun.

Apa yang terbayang pertama kali ketika mendengar kata guru? Bagi banyak orang, guru kerap diasosiasikan dengan Oemar Bakrie, lagu karya Iwan Fals yang diluncurkan pada tahun 1981. Pada zamannya, citra guru Oemar Bakrie memang bermakna. Guru naik sepeda butut menggambarkan kondisi guru yang serbakekurangan, baik kesejahteraan maupun kualitas.

Berbagai upaya telah dilakukan untuk meningkatkan kesejahteraan maupun kualitas guru. Kampus Guru Cikal sebagai salah satu pihak yang peduli telah mengadakan pelatihan guru dan menginisiasi Komunitas Guru Belajar yang secara berkala mengadakan Temu Pendidik. Inisiatif yang dilandasi keyakinan bahwa guru pada dasarnya mau dan mampu belajar.

Sayangnya di lapangan, citra guru sebagai Oemar Bakrie sering kali melemahkan semangat banyak guru untuk mengembangkan kualitas diri. Guru acap dipersepsikan sebagai sosok yang membosankan, ketinggalan zaman, dan enggan belajar. Citra yang melemahkan semangat itu sudah waktunya diubah dengan citra yang lebih memberdayakan.

Berdasarkan pemikiran itu, Tim Kampus Guru Cikal berkeinginan untuk berkolaborasi dengan komunitas desainer. Kami menemui Mel Ahyar yang menyambut gembira tawaran

kolaborasi tersebut. Pada pertemuan pertama, ide yang muncul adalah lomba desain seragam guru. Tapi, Mel memberi saran untuk menemui desainer yang ahli dalam merancang seragam.

Kami pun menemui Era Soekamto untuk mengelaborasi ide lomba desain seragam guru. Era bercerita panjang lebar mengenai

pengalamannya menjadi juri di sebuah lomba desain seragam. Kami baru tahu bahwa mendesain seragam tergolong pekerjaan yang sulit, bahkan bagi mereka yang sudah belajar desain sekalipun. Berbeda dengan mendesain baju untuk perseorangan, mendesain seragam berarti harus mempertimbangkan karakteristik semua pemakainya.

Lebih jauh lagi, Era Soekamto menekankan pada ide perubahan citra guru. Tidak bisa hanya sekadar mengubah seragam guru, tapi perlu merancang ulang simbol yang menggambarkan citra guru. Ia mengusulkan kontes desain motif yang mengundang para pelajar untuk mewujudkan imajinasinya tentang guru ideal. Usulan ini kami bawa pulang untuk dibahas lebih lanjut.

Hingga kemudian pada pertemuan ketiga yang dihadiri Mel Ahyar dan Era Soekamto yang menajamkan usulan desain motif. Kami fokus pada konsekuensi dari usulan tersebut. Apa manfaat praktis dari motif yang terpilih? Pertemuan yang dimulai sore hari pun berlanjut hingga malam. Kami bersepakat dengan sebuah mimpi besar yang diwujudkan dalam bentuk kegiatan yang bermanfaat praktis.

Kabar gembiranya adalah Mel Ahyar dan Era Soekamto bersedia mendesain baju guru. Motif yang terpilih dari kontes akan diaplikasikan pada desain rancangan mereka. Untuk itu, desainer motif yang menang akan dibimbing oleh Era Soekamto dan Mel Ahyar untuk membuat variasi motif hingga aplikasi motif tersebut menjadi baju guru.

Baju guru tersebut akan dilelang pada pemerintah daerah, yayasan pendidikan, dan sekolah. Dana hasil lelang nantinya akan digunakan untuk membiayai Temu Pendidik dan Pelatihan Guru di berbagai daerah yang diadakan oleh Komunitas Guru Belajar.

Meski berawal dari perubahan citra guru, hasil akhirnya tetap berdampak pada perubahan secara subtansial: menstimulasi dan memberi kesempatan pada guru untuk meningkatkan kompetensinya. Image inspire action!

Tertarik? Klik http://bit.ly/UntukGuru2016

Sumber tulisan: http://pestapendidikan.com/berita/image-inspires-action/

Images Inspires Actions!