Upload
others
View
19
Download
1
Embed Size (px)
Citation preview
1 Universitas Indonesia
Surau Nagari Lubuk Bauk dan Surau Gadang Bintungan Sumatera Barat : Tinjauan Gaya Bangunan dan Makna Ornamen
Ivo Giovanni, Isman Pratama Nasution
Departemen Arkeologi, Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, Universitas Indonesia
E-mail: [email protected]
Abstrak
Artikel ini membahas bangunan surau di Sumatera Barat yaitu Surau Nagari Lubuk Bauk dan Surau Gadang Bintungan. Tujuannya adalah untuk melihat pengaruh adat pada bangunan surau berdasarkan tinjauan arsitektur dan makna ornamennya. Selain itu, dilakukan perbandingan antara surau dengan bangunan tradisional Minangkabau lainnya, yaitu rumah gadang dengan menggunakan metode deskriptif analitis. Hal ini dilakukan agar unsur-unsur adat yang terlihat pada surau dapat diuraikan dengan jelas, sehingga dapat diketahui makna dari setiap unsur adat tersebut dan peran surau bagi masyarakat Minangkabau pada saat surau tersebut dibangun. Berdasarkan kajian ini dapat diketahui bahwa Surau Nagari Lubuk Bauk dan Surau Gadang Bintungan memiliki bangunan yang berbeda. Surau Nagari Lubuk Bauk memiliki bentuk yang bertingkat, karena hal ini dipengaruhi oleh aliran adat Koto Piliang yang menganut paham aristokrasi, sedangkan Surau Gadang Bintungan tidak bertingkat karena dipengaruhi oleh aliran adat Bodi Caniago, yang menganut paham demokrasi. Selain itu ragam hias ornamen yang terdapat pada surau ini juga memiliki makna yang mengandung pesan moral yang dapat dijadikan sebagai pedoman hidup bagi masyarakat Minangkabau. Kata Kunci: Adat Minangkabau, Bangunan tradisional, Surau Gadang Bintungan, Surau Nagari Lubuk Bauk.
Surau Nagari Lubuk Bauk and Surau Gadang Bintungan of West Sumatra: A study of Architectural Style and the Meaning of the Ornament.
Abstract
This article discusses about surau (little Mosque) in West Sumatra, namely Surau Nagari Lubuk Bauk and Surau Gadang Bintungan. The aim of this article is to see the tradition influences in the buildings, based on their architectures and the meaning of ornaments. Besides, this article also compares the suraus with the other traditional Minangkabau buildings – Rumah Gadang, by using descriptive – analytical method. The aim of the method is to see custom or tradition elements in the suraus. Moreover, by using the method, this article also explores the deeper meaning of the elements and the role of the suraus for Minangkabau society at that time. Based on the study, Surau Nagari Lubuk Bauk and Surau Gadang Bintungan have different architecture. Surau Nagari Lubuk Bauk consists of several floors, because it is influenced by aristocratic Koto Piliang tradition. Meanwhile, Surau Gadang Bintungan is a one-floor building, because it is influenced by democratic tradition of Bodi Caniago. Besides, many decorative ornaments found in the surau also contain moral messages and living guide for Minangkabau people.
Keywords: Minangkabau Custom, Surau Nagari Lubuk Bauk, Surau Gadang Bintungan, Traditional Building.
Surau Nagari ..., Ivo Giovanni, FIB UI, 2016
2
Universitas Indonesia
Pendahuluan
Sumatera Barat yang lebih dikenal dengan nama Minangkabau merupakan daerah yang
mempunyai tatanan adat dan agama yang kuat. Sejak awal abad ke- 16 sampai pada awal abad ke
19, di daerah ini sudah terdapat hubungan yang harmonis antara kaum adat dan kaum agama
dalam menjalankan hukum adat dan syariat agama (Poesponegoro, dkk, 2008: 48).Di
Minangkabau agama dan adat mempunyai peran yang sangat besar dalam pembentukan
kepribadian seseorang (Natsir, 2012: 39). Hal ini dapat dilihat dalam kehidupan sehari-hari. Jika
ada orang minangkabau yang prilakunya menyimpang, maka ia dikatakan tidak beradat dan tidak
beragama. Oleh karena itu, adat dan agama menentukan kredibilitas seseorang di wilayah
Minangkabau.
Keselarasan antara adat dan agama ini kemudian juga diterapkan dalam bentuk suatu gaya
bangunan. Salah satu bangunan yang memperlihatkan adanya indikasi keselarasan adat dan
agama di Minangkabau adalah surau. Surau merupakan penyebutan bagi sejenis masjid
berukuran kecil untuk menampung jemaah dalam jumlah yang cukup terbatas (Nasution,
2011:1). Secara sederhana, surau dapat dipahami sebagai tempat bagi orang-orang Islam
melakukan ibadah shalat berjamaah kecuali sholat jumat, namun di samping itu surau juga
berfungsi sebagai tempat anak laki-laki melakukan kegiatan-kegiatan keagamaan dan juga
belajar membaca Al-Quran (Kamal, 2009: 23). Di Minangkabau, surau merupakan dasar utama
dalam menerapkan adat basandi syarak, syarak basandi kitabullah (Abidin, 2007 : 19)
Surau merupakan salah satu lembaga pendidikan yang mempunyai fungsi dan peranan
yang cukup penting di Minangkabau. Pada awalnya surau pada masyarakat Minangkabau
berfungsi sebagai tempat penyembahan arwah nenek moyang, fungsi ini kemudian berlangsung
cukup lama bahkan hingga kedatangan Islam ke Minangkabau. Fungsi surau sebagai tempat
penyembahan ini, mencerminkan bahwa pada saat itu masyarakat sudah melakukan ibadah ritual,
dan menyadari bahwa ada suatu kekuasaan yang mengatur alam semesta, sehingga muncullah
suatu bentuk kepercayaan yang kemudian disebut sebagai agama, walaupun yang pada saat itu
hanyalah agama tradisional (Azra, 2012: 150).
Surau Nagari ..., Ivo Giovanni, FIB UI, 2016
3
Universitas Indonesia
Dampak masuknya Islam ke Minangkabau, tidak mengakibatkan fungsi surau mengalami
perubahan, namun fungsi surau bertambah. Namun demikian, penyebutan kata “surau” terhadap
bangunan ini tidak mengalami perubahan dan tidak memiliki perbedaan, baik sebelum setelah
Islam masuk di Minangkabau.
Dalam perkembangannya, surau berfungsi sebagai tempat shalat sehari-hari, tempat
mengaji, dan belajar agama Islam. (Azra, 2012: 152). Di samping sebagai tempat ibadah, surau
sebagai lembaga pendidikan tertua di Minangkabau juga digunakan sebagai tempat lembaga
pendidikan dan pengajaran serta kegiatan sosial budaya seperti tempat musyawarah, tempat
mengajarkan adat, sopan santun, ilmu beladiri (silat Minang) dan juga sebagai tempat bermalam
bagi anak laki-laki yang telah remaja ataupun duda. Perkembangan tersebut dimulai sejak Syekh
Burhanuddin mendirikan surau di daerah Tanjung Medan, Ulakan, Pariaman pada abad ke 17
setelah kembali dari belajar agama dari Syekh Ab’dur Rauf Singkel di Aceh (Boestami, dkk,
1981: 19-22). Surau pada masa Syekh Burhanuddin dan murid-muridnya juga berfungsi sebagai
pusat tarekat, yaitu tarekat Syattariyah, yang diterima Syekh Burhanuddin saat belajar pada
Syekh Ab’dur Rauf Singkel. Selain itu di surau-surau lain juga dipelajari tarekat yang lain seperti
tarekat Naqsabandiyah. Pada masa Syekh Burhanuddin, Surau Ulakan mencapai tingkat otoritas
keagamaan tertinggi, sehingga tidak ada ulama yang berani mempertanyakannya (Azra, 2012:
152). Murid yang datang dari berbagai daerah ke surau Burhanuddin, diberikan kebebasan untuk
mengembangkan ilmu-ilmu adat yang mereka bawa dari daerah asal, hal ini kemudian ikut
mempercepat terjadinya akulturasi budaya Minangkabau dengan Islam (Kamal, 2009: 33)
Umar Junus (dalam Koentjaraningrat, 1971: 260) mengatakan bahwa akulturasi antara
agama Islam dengan adat Minangkabau pada awalnya yaitu pada abad ke-19 Masehi sempat
memunculkan pertentangan antara paham lama dengan paham baru. Paham baru mengatakan
bahwa agama Islam yang telah dijalankan di Minangkabau telah menjadi satu dengan adat,
sehingga telah kehilangan hal-hal yang utama dari Islam, mereka kemudian berusaha
memurnikan agama Islam dengan sebuah reformasi, dan ini kemudian menimbulkan reaksi dari
golongan lama yang akhirnya berujung pada Perang Paderi. Selama Perang Paderi banyak surau
yang hancur dan juga tidak sedikit ulama yang turut terbunuh, tetapi perlahan surau bangkit
kembali, untuk kemudian menghadapi tantangan gelombang kedua pembaruan Islam di
Minangkabau yang mulai muncul pada abad ke-20 (Azra, 2012: 154).
Surau Nagari ..., Ivo Giovanni, FIB UI, 2016
4
Universitas Indonesia
Seiring dengan perkembangan zaman, fungsi dan peranan surau ini kemudian perlahan-
lahan mengalami kemunduran. Keberadaan surau mulai terancam ketika Belanda mendirikan
sekolah nagari (volkschoolen) di berbagai desa sejak tahun 1825 (Azra, 2012: 155). Pada saat itu
minat para remaja untuk menuntut ilmu di surau mengalami penyusutan yang begitu drastis.
Anak-anak remaja merasa lebih tertarik untuk belajar di sekolah-sekolah nagari yang didirikan
oleh Belanda, karena menurut mereka hal-hal yang diajarkan di surau tidak sesuai lagi dengan
arus modernisasi yang masuk ke Sumatera Barat. Kemudian semenjak saat itu pamor surau
mengalami kemunduran yang begitu hebat. Dalam masa kemerdekaan, hanya beberapa surau
yang masih bertahan, dan fungsinya sebagai lembaga sosial dan kebudayaan kemudian menjadi
sekedar tempat belajar Al-Quran saja.
Adanya perubahan sistem sosial kemasyarakatan pada masyarakat Minangkabau
membuat surau mulai mengalami pergeseran fungsi. Kedudukan surau di dalam nagari tidak
sama lagi seperti pada awal didirikannya. Adanya perubahan sistem sosial budaya masyarakat
Minangkabau seperti perubahan keluarga luas (extended family) ke keluarga inti (nuclear family)
turut mempengaruhi fungsi surau dalam masyarakat (Kamal,2009: 38). Fungsi surau sebagai
tempat bermalam bagi para remaja laki-laki dan duda mulai hilang seiring dengan terbentuknya
keluarga inti. Adanya perubahan-perubahan seperti hal tersebut mengakibatkan fungsi surau
seperti pada awal didirikannya turut bergeser.
Beberapa surau tua yang masih berdiri di Sumatera Barat hingga saat ini adalah Surau
Nagari Lubuk Bauk, di Kecamatan Batipuh, Kabupaten Tanah Datar, dan Surau Gadang
Bintungan di Nagari Padang Bintungan, Kecamatan Nan Sabaris, Kabupaten Padang Pariaman,
Sumatera Barat. Bangunan surau di Sumatera Barat pada umumnya memiliki bagian-bagian yang
juga terdapat pada rumah tradisional Minangkabau. Hal ini dapat dilihat dari beberapa bagian
dari bangunan fisik surau itu sendiri seperti atap, dinding, serta dasar bangunan. Bagian-bagian
itulah yang membedakan bangunan surau dengan masjid di Minangkabau. Salah satu contohnya
adalah bangunan surau memiliki kolong yang sama seperti rumah gadang. Maka dari itu, surau
mempunyai tangga naik di depan pintu masuk (Syamsidar, 1991: 47). Beberapa dari bangunan
tersebut memiliki atap yang berbentuk gonjong seperti yang terdapat pada atap rumah gadang
Keunikan lainnya yang terdapat pada surau adalah adanya ragam hias berupa ukiran-
ukiran yang biasa terdapat pada bangunan rumah adat Minangkabau, yang dapat ditemukan pada
Surau Nagari ..., Ivo Giovanni, FIB UI, 2016
5
Universitas Indonesia
bagian dinding, tiang, atap (gonjong), serta rumah bedug. Ragam ukiran biasanya
menggambarkan motif-motif ukir yang diambil dari alam, berupa flora, fauna, peralatan sehari-
hari dan makanan (Hasan, 2004: 81). Selain motif-motif tersebut, motif ukiran berupa mahkota
Belanda juga terdapat pada salah satu bagian bangunan, hal ini menjadi salah satu alasan penting
kajian ini dilakukan.
Melihat pentingnya fungsi dan peranan surau di Sumatera Barat serta adanya indikasi-
indikasi yang menunjukkan terdapatnya percampuran antara adat dan agama dalam bangunan
surau yang mencerminkan kondisi sosial lingkungan pada saat itu, membuat kajian mengenai
tinjauan gaya bangunan dan makna ornamen surau menjadi sangat penting. Makna ornamen
yang dihasilkan dari kajian ini diharapkan dapat menunjukkan bentuk pengaruh adat
Minangkabau pada surau.
Permasalahan Penelitian
Setiap bangunan di Minangkabau, baik itu rumah tradisional, balai adat, maupun
bangunan keagamaan seperti surau, mempunyai nilai-nilai budaya yang khas. Dalam setiap
komponen bangunan tersebut terdapat kiasan-kiasan tertentu. Kiasan tersebut memiliki makna
tersendiri yang mengacu kepada setiap nilai-nilai kehidupan yang dianut oleh masyarakatnya.
Sebagaimana pepatah Minangkabau mengatakan bahwa alam takambang jadi guru, masyarakat
Minangkabau menjadikan alam sebagai tempat belajar, karena alam beserta segala fenomenanya
senantiasa menggambarkan kearifan, sehingga segala hal yang terdapat di alam dijadikan sebagai
teladan dalam kehidupan sehari-hari, termasuk dalam perkembangan arsitekturnya (Salih, 1985:
125). Masyarakat Minangkabau membangun sebuah bangunan berdasarkan apa yang mereka
pelajari pada alam. Sehingga bangunan tradisional di Minangkabau kaya akan makna kehidupan
di dalamnya. Selain rumah gadang dan balai adat, bangunan tradisional lain yang juga
mengandung makna dan nilai tersendiri adalah surau. Sebagai bangunan keagamaan surau di
Sumatera Barat tidak hanya berfungsi sebagai tempat beribadah saja, namun juga terdapat
indikasi bahwa surau juga memiliki fungsi sebagai lembaga adat.
Untuk melihat adanya indikasi-indikasi yang menunjukkan bahwa surau juga memiliki
fungsi sebagai lembaga adat di Minangkabau, maka diperlukan telaah mengenai kebudayaan
Surau Nagari ..., Ivo Giovanni, FIB UI, 2016
6
Universitas Indonesia
materi yang terdapat pada bangunan tersebut, sehingga menimbulkan suatu pernyataan yang
harus dikaji, yaitu bagaimana bentuk gaya bangunan dan makna ornamen pada Surau Nagari
Lubuk Bauk dan Surau Gadang Bintungan?
Tujuan dan Manfaat Penelitian
Tujuan utama dari tulisan ini adalah untuk mengetahui bentuk arsitektur dan makna
ornament surau yang ada pada Surau Nagari Lubuk Bauk dan Surau Gadang Bintungan
penelitian ini juga bertujuan untuk mengungkap kehidupan sosial budaya masyarakat
Minangkabau berdasarkan makna ornamen pada surau tersebut.
Metode Penelitian
Pada penelitian arkeologi terdapat tujuh tahapan penelitian yaitu formulasi, implementasi,
pengumpulan data, pengolahan data, analisis, interpretasi, dan publikasi (Sharer & Ashmore,
2003: 156-160). Penelitian ini lebih memfokuskan kepada tiga tahapan dari ketujuh tahap
metode penelitian tersebut, yaitu pengumpulan data, pengolahan data, dan analisis.
Pada tahap pengumpulan data, data yang dikumpulkan berdasarkan data pustaka dan
survey lapangan. Pada tahap survey dilakukan perekaman data secara verbal dan piktorial. Untuk
perekaman data secara verbal, data lapangan yang diambil merupakan deskripsi bentuk dari
Surau Nagari Lubuk Bauk. Aspek-aspek bentuk dan ukuran terdiri atas bagian pondasi, badan,
dan atap surau. Aspek yang diambil pada bagian kaki berupa sandi, lantai, dan tangga. Pada
bagian badan, aspek yang diambil adalah bagian-bagian berupa dinding, jendela, pintu, dan
tiang. Pada bagian atap, dilihat bentuk-bentuk dari setiap motif ukiran yang ada. Kemudian
setelah itu dilakukan perekaman data secara piktorial berupa foto dan gambar dari aspek-aspek
tersebut, kemudian dari aspek-aspek ini dilihat lagi datanya di dalam literatur yang menunjang
serta mendukung data-data yang di dapat di lapangan. Selain data mengenai surau, pada
penelitian ini juga dikumpulkan data pendukung berupa bangunan-bangunan lain yang memiliki
relevansi dengan data utama, seperti rumah gadang.
Surau Nagari ..., Ivo Giovanni, FIB UI, 2016
7
Universitas Indonesia
Pada tahap pengolahan data dilakukan deskripsi terhadap data-data yang telah
dikumpulkan. Pendeskripsian dilakukan terhadap bagian-bagian yang terdapat pada bangunan
surau, mulai dari bagian atap, badan, kaki, hingga ornamen-ornamen yang terdapat pada surau.
Selain itu juga dideskripsikan bangunan-bangunan yang menjadi data pendukung pada penelitian
ini.
Pada tahap analisis, data-data yang didapatkan dari lapangan dan literatur kemudian di
analisis secara bertahap, analisis yang dilakukan dalam penelitian ini adalah analisis khusus.
Analisis khusus menitikberatkan pada ciri-ciri fisik bangunan. Analisis khusus dilakukan
terhadap jenis-jenis atribut yang terdapat pada Surau Nagari Lubuk Bauk dan Surau Gadang
Bintungan. Atribut-atribut yang dikaji antara lain adalah atribut bentuk, teknologi, dan gaya.
Analisis pada atribut bentuk dilakukan terhadap bagian dasar, badan, dan atap. Analisis pada
bagian dasar dilakukan terhadap bagian tiang dan tangga. Analisis pada bagian badan dilakukan
terhadap komponen pintu, lantai, jendela, tangga, dan mihrab. Analisis pada bagian atap
dilakukan terhadap komponen atap dan menara. Selain itu juga dilakukan pengamatan terhadap
denah serta ragam hias bangunan. Pada atribut teknologi dilakukan analisis terhadap bahan
bangunan. Selain itu juga diamati penggunaan teknologi konstruksi bangunan yang
menggunakan pasak. Pada atribut gaya dilakukan analisis terhadap ragam hias yang terdapat
pada kedua bangunan surau tersebut. Ragam hias yang terdapat pada bangunan ini adalah ukiran-
ukiran yang terdapat pada komponen atap, tiang, dinding, serta bangunan pendukung surau yaitu
bedug dan kolam.
Pembahasan
Dalam upaya menguraikan gaya bangunan surau dan makna ornamennya, maka terlebih
dahulu diuraikan gambaran ringkas mengenai kedua surau, kemudian diuraikan pula gaya
bangunan surau serta perbandingannya terhadap bangunan tradisional lain di Minangkabau, yaitu
rumah gadang. Setelah itu dilakukan analisis terhadap makna ornamen yang terdapat pada surau.
Surau Nagari ..., Ivo Giovanni, FIB UI, 2016
8
Universitas Indonesia
Surau Nagari Lubuk Bauk terletak di Kecamatan Batipuh, Kabupaten Tanah Datar,
Sumatera Barat. Secara astronomis surau ini terletak pada S 00º 28’ 37.8” E 100° 27’ 31,4”.
Surau ini memiliki gaya bangunan yang khas dan merupakan surau yang memiliki ciri khas
bangunan Koto Piliang, yaitu atap gonjong dan bangunannya yang bertingkat. Surau ini berdenah
bujursangkar dengan luas 154 m2 dan terdiri atas tiga lantai dengan satu menara yang terletak
diatas gonjong dan berbentuk segi delapan. Bangunan surau merupakan bangunan panggung
dengan tinggi kolong 140 cm yang ditopang oleh 30 tiang kayu penyangga yang berdiri di atas
umpak batu.Bangunan ini bertingkat tiga dan memiliki tiga lantai yang makin ke atas, bentuk dan
ukurannya makin kecil.Bangunan ruang utama atau lantai I memiliki denah segi empat dengan
ukuran 12x12 m, dandi sisi baratnya terdapat mihrab berukuran 4 x 2,50 m.
Foto 1. Surau Nagari Lubuk Bauk
Bangunan tingkat II berdenah segi empat dengan ukuran 10 x 7,50 meter. Di lantai II
terdapat tangga untuk naik ke lantai III. Bangunan tingkat III memiliki denah persegi empat
dengan ukuran 3,50 x 3,50 meter. Pada empat sisi bangunan lantai III terdapat empat serambi
dengan atap gonjong. Diatas bangunan lantai III terdapat menarayang berdenah segi delapan
dengan dinding kayu dan jendela-jendela yang diberi kaca disetiap sisinya. Bagian atas menara
diberi kemuncak yang terdiri dari bulatan-bulatan kecil, yang makin ke atas semakin mengecil
dan diakhiri oleh bagian yang runcing. Atap bangunan terbuat dari seng dan bersusun tiga. Atap
pertama dan kedua berbentuk limasan, sedangkan atap ketiga berbentuk gonjong.
Surau Nagari ..., Ivo Giovanni, FIB UI, 2016
9
Universitas Indonesia
Pada bangunan ini terdapat ragam hias yang ditemukan di atap bangunan berupa
gonjong, yang biasa dijumpai pada rumah gadang Minangkabau. Selain itu, juga dijumpai ukir-
ukiran pada dinding bangunan, tempat bedug, serta tiang utama bangunan.
Surau Gadang Bintungan didirikan pada tahun 1909, oleh Syekh Abdurrahman
Bintungan Tinggi. Syekh Abdurrahman mendirikan surau ini setelah belajar ilmu agama dari
Syekh Burhanuddin, seorang tokoh agama yang terkenal pada masa itu. Surau didirikan diatas
tanah harta pusaka tinggi milik kaumnya sendiri yaitu Suku Panyalai. Tanah ini merupakan hak
waris dari istri Syekh Abdurrahman, yaitu Hj. Siti Malai yang diterima dari dua orang
mamaknya.
Foto 2. Surau Gadang Bintungan
Surau Gadang Bintungan memiliki ciri yaitu bangunannya tidak bertingkat dan atapnya
berupa atap tumpang tanpa gonjong. Bangunan ini dibuat dari kayu, kecuali bangunan kulah
yang biasa digunakan sebagai tempat berwudhu dan juga tangga yang terdapat di depan
bangunan surau. Bangunan utama surau berbentuk bujur sangkar dengan ukuran 11,5 x 11,5 m.
Dinding bangunan terbuat dari bahan papan yang dirancang dengan sistem menyiku. Lantai
bangunan juga terbuat dari papan. Bangunan surau ini tidak bertingkat dan hanya memiliki satu
lantai saja.
Pada surau ini terdapat berbagai jenis ragam hias berupa ukiran-ukiran yang menghiasi
beberapa bagian dari bangunan seperti tiang, dinding, dan atap. Pada bagian barat bangunan
Surau Nagari ..., Ivo Giovanni, FIB UI, 2016
10
Universitas Indonesia
terdapat mihrab dengan atap gonjong Bangunan utama sendiri memiliki atap bertumpang tiga
menyerupai piramida.
Perbandingan Gaya Bangunan Surau dengan Rumah Gadang.
Bagian-bagian arsitektur pada kedua surau dapat menunjukkan perbedaan aliran
kelarasan yang mempengaruhi bangunan tersebut. Perbedaan itu dapat dilihat pada bentuk atap,
badan,dan ragam hias. Pada bagian atap perbedaannya dapat dilihat dari bentuk atap, atap pada
Surau Nagari Lubuk Bauk memiliki bentuk atap bertingkat dengan gonjong diatasnya. Gonjong
pada atap surau ini berjumlah 4 buah dengan arah hadap yang berbeda. Gonjong yang
merupakan lambang adat ini, merepresentasikan kedudukan para pembantu raja kerajaan
Pagaruyung, yaitu Basa Ampek Balai, yang terdiri atas Tuan Titah di Sungai Tarab, Tuan
Makhudum di Sumaniak, Tuan Indomo di Saruaso, dan Tuan Khadi di Padang Ganting. Basa
Ampek Balai ini mempunyai tugas dan wewenangnya masing-masing. Diatas gonjong ini
terdapat bangunan berbentuk segi delapan yang dahulunya berfungsi sebagai menara azan.
Adanya bangunan yang berfungsi sebagai menara ini pada bagian atas gonjong membuktikan
bahwa adat dan agama di Minangkabau merupakan sesuatu yang sejalan, dan tidak bertentangan
sama sekali, sesuai dengan ungkapan adat “Adat basandi syarak, syarak basandi kitabullah, adat
mangato, syarak mamakai.” Berbeda dengan Surau Nagari Lubuk Bauk, atap pada Surau
Gadang Bintungan tidak memiliki gonjong, kecuali pada bagian atap mihrab. Atap pada Surau
Gadang Bintungan berbentuk atap tumpang tiga. Atap tumpang tiga ini melambangkan
kekuasaan rajo tigo selo, yaitu institusi tertinggi dalam tambo adat Pagaruyung yang disebut
sebagai limbago adat. Rajo tigo selo ini terdiri atas Rajo Alam, Rajo Adat, dan Rajo Ibadat.
Perbedaan aliran kelarasan pada kedua bangunan ini tampak juga pada bagian badan
bangunan surau. Surau Nagari Lubuk Bauk mempunyai bangunan bertingkat dengan 4 lantai,
yang menyiratkan paham aristokrat yang dianut oleh kelarasan Koto Piliang. Sedangkan Surau
Gadang Bintungan hanya memiliki satu lantai saja yang menyiratkan paham demokrasi yang
dianut oleh kelarasan Bodi Caniago.
Dalam kelarasan Koto Piliang yang menganut paham aristokrat, bentuk bangunan yang
bertingkat adalah sesuai dengan susunan tingkatan penguasa yang ada pada kelarasan tersebut.
Sedangkan dalam kelarasan Bodi Caniago memiliki paham demokrasi, bentuk bangunan yang
Surau Nagari ..., Ivo Giovanni, FIB UI, 2016
11
Universitas Indonesia
tidak bertingkat memperlihatkan bahwa pada kelarasan ini kedudukan setiap orang itu sama dan
tidak memiliki strata, hal ini sesuai dengan ungkapan adat “duduak sahamparan, tagak
sapamatang.”
Di dalam surau, biasanya terdapat kamar yang merupakan ruangan yang digunakan
sebagai tempat bermalam bagi remaja laki-laki maupun duda di Minangkabau. Kamar juga
menjadi salah satu komponen yang menjadi perbedaan mendasar antara surau dengan masjid.
Jika surau memiliki kamar, maka masjid sama sekali tidak memiliki kamar. Dengan demikian
kamar merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan dari surau, karena kamar bersinggungan
langsung dengan ruangan utama pada surau. Kamar ini biasanya juga digunakan sebagai tempat
tidur dan menetap bagi para ulama atau mubaligh yang belajar di surau tersebut.
Selain itu, keberadaan kamar dalam sebuah surau dapat menjadi penanda atau
perlambang dari sebuah surau. Kamar pada Surau Nagari Lubuk Bauk terletak di lantai II
bangunan pada bagian sebelah kiri. Sedangkan pada Surau Gadang Bintungan tidak terdapat
kamar. Namun disekitar surau tersebut, terdapat surau-surau ketek (kecil) yang merupakan
tempat tinggal murid-murid. Dengan demikian Surau Gadang Bintungan merupakan surau
gadang (besar) karena surau ini memiliki jumlah murid yang cukup banyak sehingga tidak
tertampung di dalam surau dan harus membuat surau-surau ketek di sekitar Surau gadang nya.
Surau gadang pada umumnya memiliki denah berbentuk persegi, sedangkan surau ketek
memiliki denah persegi panjang. Bangunan surau ketek ini memiliki bentuk yang kurang lebih
sama dengan rumah gadang, hanya saja pada bangunan ini ditambahkan mihrab pada bagian
bawahnya, hal inilah yang membedakan bangunan tersebut dari rumah gadang.
Komponen bangunan surau yang lain seperti pintu dan jendela juga memiliki kesamaan
bentuk dengan pintu dan jendela yang terdapat di rumah gadang, yaitu pintu dan jendela dengan
daun kembar. Selain itu, bangunan surau dan rumah gadang sama-sama memiliki kolong, baik
pada surau Nagari Lubuk Bauk maupun Surau Gadang Bintungan. Kolong pada Surau Nagari
Lubuk Bauk dan kolong pada rumah gadang biasanya ditutupi dengan susunan bilah bambu yang
disebut jarajak. Sedangkan kolong pada Surau Gadang Bintungan tidak diberi jerajak. Hal ini
dapat menjadi indikasi adanya pengaruh adat pada surau masa Islam dan mempunyai relasi
dengan kelarasan yang dianut masing-masing surau.
Surau Nagari ..., Ivo Giovanni, FIB UI, 2016
12
Universitas Indonesia
Dalam hal fungsi penggunaan ruang pada kolong bangunan terdapat perbedaan fungsi,
yaitu kolong rumah gadang digunakan sebagai tempat pemeliharaan ternak. Sedangkan fungsi
kolong pada surau digunakan sebagai gudang penyimpanan benda-benda yang tidak terpakai.
Tabel 1. Perbandingan Gaya Bangunan Surau dengan Rumah Gadang
Variabel Bangunan Ciri-Ciri Fisik
Surau Nagari Lubuk Bauk Surau Gadang Bintungan Rumah Gadang
Pondasi
-‐ Tonggak Macu
-‐ Sondak Langik
-‐ Kolong
-‐ Sandi
Segi Delapan.
-
Dinding Kolong di beri jerajak.
Batu pipih dengan permukaan yang datar.
Segi Delapan. Balok memanjang diakhiri dengan ujung yang bulat. Dinding Kolong tanpa jerajak.
Batu pipih dengan permukaan yang datar.
Segi Delapan.
Balok memanjang diakhiri dengan ujung yang bulat. Dinding Kolong di beri jerajak.
Batu pipih dengan permukaan yang datar.
Surau Nagari ..., Ivo Giovanni, FIB UI, 2016
13
Universitas Indonesia
Badan -‐ Pintu
-‐ Jendela
-‐ Lantai
-‐ Kamar
-‐ Mihrab
Berbentuk persegi panjang dengan daun kembar.
Berbentuk persegi panjang dengan daun kembar.
Bertingkat, terdiri atas 4 lantai. Mempunyai sebuah kamar, sebagai tempat tidur laki-laki yang tidak mempunyai tempat di rumah gadang. Berbentuk persegi panjang.
Berbentuk persegi panjang dengan daun kembar.
Berbentuk persegi panjang dengan daun kembar.
Tidak bertingkat. Tidak memiliki kamar. Berbentuk persegi panjang.
Berbentuk persegi panjang dengan daun kembar.
Berbentuk persegi panjang dengan daun kembar.
Tidak bertingkat, namun pada rumah gadang dari kelarasan Koto Piliang diberi anjuang. Memiliki beberapa kamar yang digunakan sebagai tempat tinggal perempuan dan sumando di rumah gadang tersebut.
-
Atap Atap bertingkat dengan gonjong pada bagian atas.
Atap Tumpang Tiga.
Atap gonjong.
Surau Nagari ..., Ivo Giovanni, FIB UI, 2016
14
Universitas Indonesia
Berdasarkan analisis terhadap ciri-ciri fisik dari Surau Nagari Lubuk Bauk dan Surau
Gadang Bintungan, sebagaimana tersaji dalam tabel 1 di atas, diperoleh gambaran mengenai
gaya bangunan dari masing-masing kedua surau tersebut. Secara umum gaya bangunan surau
adalah bangunan bertiang kolong dengan denah segi empat dan memiliki ruang yang didalamnya
terdapat tempat untuk sholat dan belajar agama dan memiliki atap yang bertingkat-tingkat.
Kadangkala, surau dilengkapi dengan kamar yang digunakan sebagai tempat menginap bagi laki-
laki Minangkabau. Atap bangunan surau memiliki atap bertingkat dan kadangkala dihiasi dengan
bentuk atap gonjong.
Selain itu, kedua surau telah dibandingkan pula dengan rumah gadang untuk menelusuri
unsur-unsur lokal pada surau tersebut. Berdasarkan studi analogi terhadap kedua komponen pada
surau dan rumah gadang, sebagaimana terlihat pada tabel 1 diatas dapat dilihat adanya
persamaan dan perbedaan unsur-unsur yang ada pada kedua surau tersebut dengan rumah
gadang.
Analisis Ragam Hias pada Surau dan Maknanya
Ragam Hias Minangkabau berpedoman kepada sifat-sifat alam agar dipelajari dan
direnungkan oleh manusia, karena alam telah memberikan tanda-tanda yang bisa dipelajari oleh
manusia. Sifat-sifat alam inilah yang diabstraksikan ke dalam bentuk ornamen atau ragam hias,
dengan bentuk motif bunga, daun-daunan, atau akar-akaran (Marah, 1987: 35). Berikut adalah
motif-motif ornamen yang terdapat pada Surau Nagari Lubuk Bauk dan Surau Gadang
Bintungan:
Tabel 2. Daftar Ragam Hias yang Terdapat Pada Surau.
Nama Ornamen Surau Nagari Lubuk Bauk
Surau Gadang Bintungan
1. Flora
-Sikambang Manih
-Sikambang Perak
-Aka Cino
-Aka Cino Sagagang
V
V
V
-
V
-
-
-
V
V
Surau Nagari ..., Ivo Giovanni, FIB UI, 2016
15
Universitas Indonesia
-Pucuak Rabuang
-Kaluak Paku
V V
2. Fauna
-Limpapeh
-Kuciang Lalok
-Tupai Managun
V
-
-
-
V
V
3. Benda Hias Sehari-hari
-Saluak Laka
-Jarek Takambang
-Saik Galamai
-Mangkuto
-Carano Kanso
V
V
V
V
-
V
-
-
V
V
Keterangan:
V : Ada
- : Tidak ada
Berdasarkan analisis identifikasi terhadap ragam hias yang ada pada Surau Nagari Lubuk
Bauk dan Surau Gadang Bintungan, dapat diungkapkan keberadaan macam-macam ornamen
yang ada pada kedua surau tersebut (lihat tabel 2) dan macam-macam ornamen yang tidak
dijumpai pada surau lainnya. Secara umum ada tiga jenis ornamen yang dijumpai pada kedua
surau yaitu flora, fauna, dan benda sehari-hari. Macam-macam ornamen tersebut memiliki
bentuk dan warna yang khas Minangkabau seperti Aka Cino, Sikambang Manih, Limpapeh,
Saluak Laka, dan lain-lain.
Setiap ornamen memiliki makna yang mengandung nilai-nilai mendidik yaitu dengan
membawakan pesan-pesan yang bila dihayati dapat dijadikan pedoman dan teladan hidup.
Sebagaimana diuraikan oleh Marah (1987) bahwa melalui ukiran ornamen ini dapat dilihat
bagaimana bijaksananya orang-orang tua dahulu dalam memberikan nasehat dan pelajaran
kepada generasi dibawahnya.
Beberapa contoh motif ragam hias yang terdapat di Surau Nagari Lubuk Bauk dan Surau
Gadang Bintungan dan maknanya dapat diuraikan di bawah berikut ini:
Surau Nagari ..., Ivo Giovanni, FIB UI, 2016
16
Universitas Indonesia
a. Motif Sikambang Manih
Motif Sikambang Manih ini terletak pada atap gonjong dan atap mihrab bagian
belakang.Motif ini melambangkan kemeriahan, keramahan, serta kesopanan.
Foto 3. Ukiran Sikambang Manih di Foto 4. Motif Sikambang Manih Surau Nagari Lubuk Bauk (Sumber: Hasan, Hasmurdi, 2004)
Adanya motif ini di surau menunjukkan bahwa di surau, anak-anak tidak hanya belajar
agama dan adat saja namun mereka juga dididik dalam hal berprilaku dan bersopan
santun. Hal ini berguna bagi mereka ketika mereka beranjak dewasa dan mulai bergaul di
tengah-tengah masyarakat.
b. Motif Kaluak Paku
Motif ini terdapat pada bagian atap bedug dan dinding luar Surau Nagari Lubuk Bauk
serta Atap Mihrab Surau Gadang Bintungan. Motif kaluak paku melambangkan budi
pekerti yang baik, yang harus dimiliki oleh setiap anggota masyarakat. Gelung ujung
daun pakis yang belum mekar diambil sebagai motif karena keindahan dan kegemulaian
bentuk ujung daun tersebut (Marah, 1987: 25).
Foto 5. Ukiran Kaluak Paku Foto 6. Motif Kaluak Paku di Surau Nagari Lubuk Bauk (Sumber: Risman, Marah, 1984)
Motif ini juga melambangkan gambaran hidup yang baik, hal ini sesuai dengan
pendidikan yang diajarkan di surau, yang tidak hanya mengajarkan perihal agama saja,
Surau Nagari ..., Ivo Giovanni, FIB UI, 2016
17
Universitas Indonesia
namun juga mendidik seseorang agar bertingkah laku yang baik dalam kehidupan
bermasyarakat.
c. Motif Limpapeh
Motif limpapeh ini terdapat pada atap bedug Surau Nagari Lubuk Bauk. Keberadaan
motif ini pada surau untuk mengingatkan bahwa seorang anak gadis, haruslah berpandai-
pandai dalam menjaga diri. Apabila ia mempunyai budi pekerti yang baik, maka dia tidak
saja hanya akan membawa kebangaan bagi rumahnya sendiri, namun juga akan menjadi
kebanggaan bagi negerinya, bangsanya (Marah, 1987: 26).
Foto 7. Ukiran Limpapeh Foto 8. Motif Limpapeh di Surau Nagari Lubuk Bauk (Sumber: Risman, Marah, 1984)
Limpapeh merupakan sejenis serangga yang mirip dengan kupu-kupu, hanya saja tidak
memiliki warna yang mencolok. Di Minangkabau limpapeh merupakan sebutan bagi
kaum wanita atau anak gadis yang mendiami sebuah rumah gadang. Limpapeh memberi
makna bahwa apabila dalam sebuah rumah gadang ada seorang gadis yang cantik atau
seorang wanita, maka rumah tersebut akan terlihat semarak. (Marah, 1987: 26). Tidak
hanya rumah, namun kampung orang tersebut juga akan terlihat semarak, seperti yang
diungkapkan dalam kata-kata adat, “limpapeh rumah nan gadang, sumarak anjuang
dalam nagari.”
d. Motif Jarek Takambang
Jarek atau jerat melambangkan sistem pemerintahan yang dituangkan Datuk
Katumanggungan (Navis, 1984: 185). Motif jarek takambang ini terdapat pada bagian
atap gonjong Surau Nagari Lubuk Bauk. Jarek merupakan sejenis jerat untuk menangkap
burung. Cara memakainya dengan merentangkannya ditempat yang akan dilalui burung.
Hal ini sesuai dengan sistem pemerintahan yang dijalankan oleh Datuak
Surau Nagari ..., Ivo Giovanni, FIB UI, 2016
18
Universitas Indonesia
Katumanggungan yaitu dengan menjebak orang yang bersalah atau melanggar hukum
untuk membuktikan kesalahannya, untuk kemudian baru diadili.
Foto 9. Ukiran Jarek Takambang Foto 10. Motif Jarek Takambang di Surau Nagari Lubuk Bauk (Sumber: Hasan, Hasmurdi, 1984)
Motif ini melambangkan adanya garis pemisah antara yang sah dengan yang batil, antara
yang baik dengan yang buruk. Motif ini membuat percampuran adat dan agama pada
Surau Nagari Lubuk Bauk terlihat nyata. Orang Minangkabau berpedoman kepada
ajaran-ajaran agama dan fatwa-fatwa adat mengenai masalah kehidupan, pedoman yang
tertinggi terletak pada agama, bila dalam agama kurang diperoleh pedoman yang jelas,
barulah dipedomani berdasarkan adat yang berlaku (Marah, 1987: 24).
Ukuran baik dan buruk di Minangkabau tidak hanya berdasarkan ukuran secara pribadi
saja, tapi harus obyektif dan disetujui oleh banyak orang, sesuai dengan kata-kata adat
“lamak dek awak, katuju dek urang”. Ajaran inilah yang terkandung dalam motif jarek
takambang yang mengandung arti agar setiap orang jangan selalu berbuat karena
kemauannya sendiri saja tetapi juga harus ingat akibat dari perbuatannya tersebut.
Kesimpulan
Sumatera Barat merupakan daerah yang terkenal kuat akan adat dan agamanya. Adat dan
agama pada daerah ini tidak bertentangan dan saling mendukung satu sama lain. Keselarasan
antara adat dan agama ini diterapkan dalam bentuk bangunan yaitu surau. Surau merupakan
sebuah lembaga keagamaan di Minangkabau yang fungsinya tidak hanya terbatas sebagai tempat
ibadah saja, namun juga sebagai tempat pendidikan. Pada masanya surau digunakan sebagai
tempat belajar bagi remaja laki-laki. Hal-hal yang diajarkan di surau tidak terbatas pada hal
keagamaan saja, namun juga hal-hal lain seperti seni beladiri, pendidikan mengenai adat di
Minangkabau, dan tentu saja di surau setiap orang dididik untuk menjadi pribadi yang
Surau Nagari ..., Ivo Giovanni, FIB UI, 2016
19
Universitas Indonesia
mempunyai tingkah laku yang baik sebagai bekal untuk bergaul ditengah-tengah masyarakat
nanti.
Selain remaja, surau juga diperuntukkan bagi laki-laki dewasa yang tidak mempunyai
istri, serta laki-laki yang telah berumur. Hal ini karena pengaruh sistem matrilineal yang dianut
oleh masyarakat Minangkabau, yang menentukan bahwa laki-laki tidak mempunyai hak untuk
tinggal di rumah gadang kaumnya, karena pada dasarnya rumah gadang merupakan tempat
tinggal yang dikhususkan bagi perempuan, sehingga karena itulah perempuan di Minangkabau
disebut sebagai “limpapeh rumah nan gadang.” Laki-laki yang sudah berumur dan tidak
mempunyai istri akan tinggal di surau, dan di suraulah kemudian mereka bersosialisasi dengan
para remaja yang belajar di surau, dengan bertukar pikiran mengenai hal-hal yang terjadi di
sekitarnya.
Bangunan surau memiliki beberapa kemiripan dengan bangunan tradisional lain di
Minangkabau yaitu rumah gadang. Kemiripan ini dapat dilihat dari bahan yang digunakan,
bentuk konstruksi dan ciri-ciri fisik dari bangunan tersebut. Selain itu, ragam hias yang
digunakan pada bangunan surau pada dasarnya diambil dari motif ragam hias yang terdapat di
rumah gadang.
Surau Nagari Lubuk Bauk dan Surau Gadang Bintungan merupakan dua surau di
Sumatera Barat dengan gaya bangunan yang berbeda. Gaya bangunan pada kedua bangunan ini
mengikuti aliran adat yang berkembang di Minangkabau yaitu aliran adat dari kelarasan Koto
Piliang yang dibawa oleh Datuk Katumanggungan dan kelarasan Bodi Caniago yang dibawa oleh
Datuk Parpatih Nan Sabatang. Kedua aliran adat ini memiliki sistem pemerintahan yang
berbeda, perbedaan ini juga diterapkan kepada bangunan yang menganut salah satu diantara
kedua paham tersebut. Hal ini dapat dilihat dari ciri-ciri fisik dan gaya bangunannya
sebagaimana yang telah diuraikan.
Motif ragam hias pada kedua bangunan ini juga dapat dikelompokkan atas tiga bagian
yaitu motif hias flora, motif hias fauna, dan motif hias yang terinspirasi dari benda sehari-hari.
Masing-masing motif ragam hias ini memiliki makna yang diungkapkan melalui ungkapan adat
Minangkabau. Makna yang terkandung pada ragam hias ini mempunyai pesan yang jika dihayati
dapat dijadikan sebagai pedoman dan teladan hidup. Berdasarkan hal ini dapat dilihat bagaimana
Surau Nagari ..., Ivo Giovanni, FIB UI, 2016
20
Universitas Indonesia
bijaksananya orang-orang dahulu dalam memberikan pelajaran serta nasehat kepada generasi
dibawahnya. Mereka menggunakan seni ukir tradisional Minangkabau sebagai media
penyampaian pesan moral kepada setiap orang yang melihat dan mengamati ragam hias tersebut,
khususnya pada bangunan surau.
DAFTAR REFERENSI
Abidin, H. Mas’oed. 2007. Surau Kito. Padang: Pusat Pengkajian Islam dan Minangkabau
Sumatera Barat.
Azra, Azyamurdi. 2012. Pendidikan Islam: Tradisi dan Modernisasi di Tengah Tantangan
Milenium III. Jakarta : Kencana Prenada Media Group.
Boestami, dkk. 1981. Aspek Arkeologi Islam Tentang Makam dan Surau Syekh Burhanuddin
Ulakan. Padang: Proyek Pemugaran dan Pemeliharaan Peninggalan Sejarah dan
Purbakala Sumatera Barat.
Haris, Tawalinuddin. 2010. Masjid-masjid di Dunia Melayu Nusantara dalam Suhuf Jurnal
Kajian Al-Quran dan Kebudayaan Vol 3, No 2. Jakarta: Balitbang Kemenag RI
Hasan, Hasmurdi. 2004. Ragam Rumah Adat Minangkabau: Falsafah, Pembangunan, dan
Kegunaan. Jakarta: Yayasan Citra Pendidikan Indonesia
Kamal, Tamrin. 2009. Studi Terhadap Aktualisasi Fungsi Surau Pada Masyarakat Minangkabau
di Era Otonomi Daerah: Kasus Kota Padang. Padang: Pusat Penelitian IAIN Imam
Bonjol.
Koentjaraningrat. 1971. Manusia dan Kebudayaan di Indonesia. Jakarta: Djambatan.
Marah, Risman. 1987. Ragam Hias Minangkabau. Jakarta: Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan Jenderal Kebudayaan.
Nasution, Isman Pratama. 2011. Mesjid dan Pengembangannya dalam Kajian Arkeologi.
Makalah pada Seminar Pengembangan Kajian Arkeologi Islam: Pandangan Prof. Dr.
(HC) Uka Tjandrasasmita.
Surau Nagari ..., Ivo Giovanni, FIB UI, 2016
21
Universitas Indonesia
Natsir, MHD. 2012. Jurnal Ilmiah Ilmu Pendidikan Volume XII No.12 November 2012: Peranan
Surau Sebagai Lembaga Pendidikan Islam Tradisional di Padang Pariaman Sumatera
Barat (Surau Syekh Burhanuddin). Padang: Pedagogi.
Navis, A.A. 1984. Alam Terkembang Jadi Guru, Adat dan Kebudayaan Minangkabau. Jakarta:
Grafitipers.
Poesponegoro, M.D, dkk. 2008. Sejarah Nasional Indonesia III : Edisi Pemutakhiran. Jakarta:
Balai Pustaka.
Rochym, Abdul. 1983. Mesjid Dalam Karya Arsitektur Nasional Indonesia. Bandung: Angkasa.
______________1983. Sejarah Arsitektur Islam, Sebuah Tinjauan. Bandung: Angkasa.
Rony, Aswil ,dkk. 2002. Masjid dan Surau Tua di Sumatera Barat. Padang: Museum Daerah
Sumatera Barat.
Salih, M. Sudarso. 1985. Sejarah Ketatanegaraan Kerajaan Pagaruyung: Ditinjau dari Segi
Arceo & Sosiologi. Purwokerto: Pribumi Offset
Sharer, R.J., dan Ashmore, W. 2003. Archaeology Discovering Our Past. New York: Mc Graw
Hill.
Sugiyanti, Sri., dkk. 1999. Masjid Kuno Indonesia. Jakarta: Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan.
Syafwandi. 1993. Arsitektur Tradisional Minangkabau. Jakarta: Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan.
Syamsidar, B.A, 1991. Arsitektur Tradisional Daerah Sumatera Barat. Jakarta: Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan.
Surau Nagari ..., Ivo Giovanni, FIB UI, 2016