Upload
vutram
View
237
Download
5
Embed Size (px)
Citation preview
SURVEI POPULASI RELATIF BELALANG KEMBARA ORIENTAL
(Locusta migratoria manilensis Meyen) DALAM FAMILI ACRIDIDAE DAN
PENENTUAN FASE TRANSFORMASINYA PADA PERTANAMAN TEBU
(Skripsi)
Oleh
RENDY JULIAN SAPUTRA
FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS LAMPUNG
BANDAR LAMPUNG
2017
1
ABSTRAK
SURVEI POPULASI RELATIF BELALANG KEMBARA ORIENTAL
(Locusta migratoria manilensis Meyen) DALAM FAMILI ACRIDIDAE DAN
PENENTUAN FASE TRANSFORMASINYA PADA PERTANAMAN TEBU
Oleh
Rendy Julian Saputra
Belalang kembara (Locusta migratoria manilensis Meyen, Orthoptera: Acrididae)
adalah salah satu jenis hama yang sangat merusak pertanaman tebu dan
menyebabkan kerugian ekonomi. Hama ini memiliki tiga fase transformasi yang
khas, yaitu fase soliter, transisi (transient), dan gregarius. Untuk mengurangi
dampak serangan belalang kembara, maka diperlukan upaya untuk mengantisipasi
terjadinya ledakan populasi belalang kembara. Untuk itu dilaksanakan survei di
PT Gunung Madu Plantations (PT GMP) Lampung Tengah antara bulan Juli
sampai Agustus 2016 yang bertujuan untuk mengidentifikasi populasi relatif
belalang kembara dan belalang famili Acrididae lainnya yang ada pada
pertanaman tebu di PT GMP serta menganalisis fase transformasi belalang
kembara dengan pemeriksaan spesimen secara visual dan menghitung rasio antara
panjang femur-caput (F/C ratio) dan elitra-femur (E/F ratio). Pelaksanaan survei
dilakukan pada empat vegetasi pada areal pertanaman tebu, yaitu: tebu muda, tebu
tua, rumput, dan lahan bera. Hasil survei ditemukan berbagai jenis belalang famili
Acrididae yaitu dari sub-famili Oedipodinae, Acridinae, Catantopinae,
Cyrtachanthacridinae, dan Oxyinae. Sub-famili belalang kembara (Oedipodinae)
2
mendominasi daripada sub-famili belalang Acrididae lainnya. Berdasarkan kedua
metode penentuan fase transformasi yang digunakan mengindikasikan bahwa
mayoritas belalang kembara pada hamparan yang disurvei berada dalam fase
soliter.
Kata kunci: Acrididae, belalang kembara, fase tranformasi, populasi, rasio F/C
dan E/F
Rendy Julian Saputra
3
SURVEI POPULASI RELATIF BELALANG KEMBARA ORIENTAL
(Locusta migratoria manilensis Meyen) DALAM FAMILI ACRIDIDAE DAN
PENENTUAN FASE TRANSFORMASINYA PADA PERTANAMAN TEBU
Oleh
Rendy Julian Saputra
Skripsi
Sebagai Salah Satu Syarat untuk Mencapai Gelar
SARJANA PERTANIAN
Pada
Jurusan Agroteknologi
FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS LAMPUNG
BANDAR LAMPUNG
2017
7
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Gunung Madu, Lampung Tengah, Provinsi Lampung pada
tanggal 18 Juli 1994. Penulis merupakan anak kedua dari tiga bersaudara, dari
pasangan Bustami RA dan Firlia. Penulis telah menyelesaikan pendidikan di TK
Satyadharma Sudjana pada tahun 2000, SDN 1 Gunung Madu pada tahun 2006,
SMP Satyadharma Sudjana pada tahun 2009, dan SMAN 9 Bandar Lampung pada
tahun 2012. Pada tahun yang sama, penulis diterima sebagai mahasiswa Fakultas
Pertanian Universitas Lampung Jurusan Agroteknologi melalui jalur Seleksi
Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SNMPTN).
Penulis telah melaksanakan Praktik Umum pada tahun 2015 di Plant Group I, PT
Great Giant Pineapple, Terbanggi Besar, Lampung Tengah. Pada tahun 2016
penulis telah melaksanakan Kuliah Kerja Nyata (KKN) di Kampung Bujung
Tenuk, Kecamatan Menggala, Tulang Bawang. Selama menjadi mahasiswa,
penulis pernah menjadi asisten mata kuliah Bioekologi Hama Tanaman (2015)
dan Kewirausahaan (2015). Selain itu, penulis juga aktif dalam organisasi
Persatuan Mahasiswa Agroteknologi (PERMA AGT) sebagai anggota Bidang
Kaderisasi periode 2013-2014, Dewan Perwakilan Mahasiswa Fakultas Pertanian
(DPM FP) sebagai Ketua Umum periode 2014-2015 dan Forum Mahasiswa
Agroteknologi/ Agroekoteknologi Indonesia (FORMATANI) sebagai Koordinator
Bidang Pengembangan Organisasi dan Sumber Daya Manusia (POSDM) periode
2015-2017.
8
Tanpa mengurangi rasa syukur kepada Allah S.W.T Kupersembahkan karyaku untuk:
Keluarga tercinta
Papa, Mama, Kakak Shelvia, Adik Valenti dan seluruh keluarga besar yang selalu mendoakan yang terbaik dan senantiasa
mengharapkan keberhasilanku atas kasih sayang tulus, perhatian, dan dorongannya.
Teman-teman
Atas dukungan dan bantuannya sehingga karya kecil ini dapat selesai.
Fakultas Pertanian, Universitas Lampung Dimana penulis mendapat kesempatan menimba ilmu dan
berkesempatan bertemu dengan orang-orang hebat.
9
MOTTO
“Maka sesungguhnya bersama kesulitan ada kemudahan, sesungguhnya bersama kesulitan ada kemudahan.”
(QS. Al-Insyirah: 5-6)
“Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman diantara kamu dan orang-orang yang berilmu pengetahuan beberapa derajat.”
(QS. Al-Mujaadalah: 11)
“Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia baik bagimu. Dan boleh jadi kamu mencintai sesuatu, padahal ia buruk bagimu. Allah
mengetahui, sedangkan kamu tidak mengetahui.” (QS. Al-Baqarah: 216)
“Barangsiapa bersungguh-sungguh, sesungguhnya kesungguhannya itu adalah untuk dirinya sendiri.”
(QS. Al-Ankabut: 6)
10
“To every action there is always opposed an equal reaction.” (Isaac Newton)
“Barang siapa ingin mutiara, harus berani terjun di samudra yang dalam.”
(Soekarno)
“Tahu bahwa kita tidak tahu apa yang kita ketahui dan tahu bahwa kita tidak tahu apa yang tidak kita ketahui, itulah pengetahuan
sejati.” (Copernicus)
“Jika saya diberi waktu delapan jam untuk menebang pohon, saya akan menggunakan yang enam jam untuk mengasah kapak.”
(Abraham Lincoln)
“Bahkan jalan buntu pun masih menyediakan jalan keluar, jika kita mau putar balik.”
(Rendy Julian Saputra)
11
SANWACANA
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas segala rahmat, nikmat,
dan karunia yang senantiasa dicurahkan sehingga penulis dapat menyelesaikan
skripsi yang berjudul “SURVEI POPULASI RELATIF BELALANG
KEMBARA ORIENTAL (Locusta migratoria manilensis Meyen) DALAM
FAMILI ACRIDIDAE DAN PENENTUAN FASE TRANSFORMASINYA
PADA PERTANAMAN TEBU”.
Selama penelitian, penulis telah mendapatkan bantuan dari berbagai pihak. Oleh
karena itu dalam kesempatan ini penulis ingin mengucapkan banyak terimakasih
kepada :
1. Kedua orang tua, Bustami RA dan Firlia, serta keluarga yang selalu
memberikan kasih sayang, cinta, nasehat, motivasi dan doa kepada penulis,
sehingga penulis dapat menyelesaikan pendidikan di Universitas Lampung.
2. Bapak Prof. Dr. Ir. Hamim Sudarsono, M.Sc. selaku pembimbing utama yang
telah memberikan ilmu, bimbingan, nasehat, saran, masukan serta
mengarahkan penulis dengan penuh kesabaran selama penulis melakukan
penelitian dan penulisan skripsi hingga selesai.
3. Bapak Ir. Agus M. Hariri, M.P. selaku pembimbing kedua yang telah
memberikan dukungan, saran, pengertian, dan bimbingan kepada penulis
selama penelitian dan penyusunan skripsi hingga selesai.
12
4. Ibu Prof. Dr. Ir. Rosma Hasibuan, M.Sc., selaku pembahas atas segala saran
dan koreksi dalam penyempurnaan skripsi ini.
5. Bapak Prof. Dr. Ir. Purnomo, M.S., selaku Ketua Minat Studi Proteksi
Tanaman atas perhatian, saran, dan bantuan kepada penulis dalam
menyelesaikan pendidikan di Universitas Lampung.
6. Ibu Ir. Herawati Hamim, M.S. selaku pembimbing akademik yang senantiasa
membantu penulis dalam menyelesaikan pendidikan hingga penulisan skripsi.
7. Prof. Dr. Ir. Irwan Sukri Banuwa, M.Si., selaku Dekan Fakultas Pertanian
Universitas Lampung.
8. Prof. Dr. Ir. Sri Yusnaini, M.Si., selaku Ketua Jurusan Agroteknologi
Universitas Lampung.
9. Seluruh dosen Program Studi Agroteknologi yang telah memberikan ilmu
pengetahuan kepada penulis selama menempuh pendidikan di Universitas
Lampung.
10. Bapak Saefudin, S.P., selaku pembimbing lapang yang selalu memberikan
saran dan nasehat kepada penulis.
11. Mas Awal, sebagai pemandu di lapangan yang selalu siap membantu penulis
dalam proses penelitian.
12. Saudara-saudara Formatin Crew, terkhusus Abang-abang, Mbak-mbak, Adik-
adik, Riska C. Y., dan Nurul A. R., atas kebersamaan, nasehat, dan bantuan
yang selama ini diberikan kepada penulis.
13. Teman-teman seperjuangan Bang Agung, Riska, Nurul, Kiki, Ami, Mesva,
Endah, Tiara, Resti, Riyan, Tonny, Teguh, Budi, Maycel, Eko P., Eko P. P.,
Cahyo, Dimas, Aan, Yugo, Refki, Rendy, Fachri, Erik, Fandi, Diko, Fadli,
13
Mas Min, Mas Yadi,dan Mas Adi atas doa, dukungan, dan kebersamaan yang
tak terlupakan.
14. Mba Uum, Kang Jen, dan Pak Paryadi atas bantuan yang telah diberikan
kepada penulis.
15. Keluarga Besar Agroteknologi terkhusus Agroteknologi 2012 yang tidak dapat
penulis sebutkan satu-persatu.
Semoga Allah SWT membalas segala kebaikan yang telah dibeikan, dan semoga
skripsi ini dapat bermanfaat bagi kita semua. Aamiin.
Bandarlampung, Februari 2017
Penulis,
Rendy Julian Saputra
14
DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR TABEL ................................................................................................. i
DAFTAR GAMBAR ........................................................................................... . ii
I. PENDAHULUAN .......................................................................................... 1
1.1 Latar Belakang ......................................................................................... 1
1.2 Tujuan Penelitian ...................................................................................... 5
1.3 Kerangka Pemikiran ................................................................................. 6
1.4 Hipotesis ................................................................................................... 8
II. TINJAUAN PUSTAKA ................................................................................ 9
2.1 Sejarah Tanaman Tebu ............................................................................. 9
2.2 Belalang Kembara .................................................................................. 12
2.3 Belalang Famili Acrididae ...................................................................... 15
III. BAHAN DAN METODE ......................................................................... 16
3.1 Tempat dan Waktu Penelitian ................................................................ 16
3.2 Bahan dan Alat ....................................................................................... 16
3.3 Pelaksanaan Penelitian ........................................................................... 16
3.3.1 Penetapan Petak Sampel ................................................................. 17
3.3.2 Pengumpulan Spesimen .................................................................. 18
3.3.3 Identifikasi Spesimen ...................................................................... 19
3.3.4 Analisis Data ................................................................................... 19
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ................................................................ 21
4.1 Jenis-Jenis Belalang Famili Acrididae ................................................... 21
4.2 Fase Transformasi Belalang Kembara.................................................... 24
V. KESIMPULAN ............................................................................................ 32
DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................... 33
LAMPIRAN ......................................................................................................... 36
15
DAFTAR TABEL
Tabel Halaman
1. Ciri morfologis tiga fase dari populasi belalang kembara Afrika
(L. m. migratorioides) (LuongSkovmand, 1999) ....................................... 20
2. Jumlah individu pada sub-famili yang ditemukan per vegetasi.. ................. 22
3. Jumlah belalang kembara berdasarkan jenis kelamin per vegetasi .............. 25
4. Jumlah belalang kembara yang berada dalam fase soliter, transien,
dan gregarius berdasarkan hasil identifikasi visual...................................... 27
5. Jumlah belalang kembara berdasarkan fase transformasi secara
kuantitatif menurut kriteria Luong-Skovmand (1999) ................................. 27
6. Data curah hujan dan jumlah hari hujan pada wilayah PT GMP ................. 30
7. Jumlah individu pada sub-famili yang ditemukan pada petak
vegetasi tebu muda ....................................................................................... 39
8. Jumlah individu pada sub-famili yang ditemukan pada petak
vegetasi rumput ............................................................................................ 39
9. Jumlah individu pada sub-famili yang ditemukan pada petak
vegetasi tebu tua ........................................................................................... 39
10. Jumlah individu pada sub-famili yang ditemukan pada petak
vegetasi lahan bera ....................................................................................... 39
11. Jumlah belalang kembara berdasarkan jenis kelamin pada petak
sampel tebu muda......................................................................................... 40
12. Jumlah belalang kembara berdasarkan jenis kelamin pada petak
sampel rumput .............................................................................................. 40
13. Jumlah belalang kembara berdasarkan jenis kelamin pada petak
sampel tebu tua............................................................................................. 40
14. Jumlah belalang kembara berdasarkan jenis kelamin pada petak
sampel lahan bera ......................................................................................... 40
15. Fase transformasi belalang kembara berdasarkan pengukuran
secara individual .......................................................................................... 41
17
DAFTAR GAMBAR
Gambar Halaman
1. Pronotum belalang kembara pada fase: S. soliter; dan G. gregarius
(Kalshoven,1981) ......................................................................................... 14
2. Skema titik sampel vegetasi tebu muda, rumput, dan lahan bera ................ 18
3. Skema titik sampel vegetasi tebu tua ........................................................... 18
4. Grafik jumlah individu pada sub-famili yang ditemukan per vegetasi ........ 22
5. Grafik persentase populasi relatif belalang dalam famili Acrididae ............ 22
6. Sub-famili Oedipodinae (1); Sub-famili Acridinae (Acrida sp.) (2a);
Sub-famili Acridinae (Phlaeoba sp.) (2b); Sub-famili Catantopinae (3);
Sub-famili Cyrtachanthacridinae (4); Sub-famili Oxyinae (5)
(Foto: R. J. Saputra) ..................................................................................... 24
7. Belalang kembara betina (1); Belalang kembara jantan (2)
(Foto: R. J. Saputra) ..................................................................................... 25
8. Nimfa fase soliter (1a dan 1b); Nimfa fase gregarius (2); Imago
fase soliter (3); Imago fase gregarius (4) (Foto: R. J. Saputra) .................... 26
9. Grafik populasi belalang kembara berdasarkan identifikasi kriteria
Luong-Skovmand (1999) dan identifikasi visual ......................................... 29
10. Peta Perkebunan Tebu PT Gunung Madu Plantations ................................. 37
11. Kegiatan sampling dengan menggunakan jala ayun .................................... 37
12. Kegiatan identifikasi sampel di Laboratorium Hama Arthropoda ............... 38
13. Kegiatan perhitungan sampel di Laboratorium Hama Arthropoda .............. 38
1
SURVEI POPULASI RELATIF BELALANG KEMBARA ORIENTAL
(Locusta migratoria manilensis Meyen) DALAM FAMILI ACRIDIDAE DAN
PENENTUAN FASE TRANSFORMASINYA PADA PERTANAMAN TEBU
(Skripsi)
Oleh
RENDY JULIAN SAPUTRA
FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS LAMPUNG
BANDAR LAMPUNG
2017
2
I. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Salah satu jenis hama serangga yang merusak pertanaman tebu dan dapat
menyebabkan kerugian besar adalah belalang kembara (Locusta migratoria
manilensis Meyen, Orthoptera: Acrididae). Hama ini merusak tanaman dari jenis
rerumputan seperti padi, jagung, tebu, sereh, bambu, dan juga palem dan pisang.
Belalang kembara, termasuk di dalam Famili Acrididae, Ordo Orthoptera. Di
Indonesia, belalang kembara merupakan satu-satunya spesies belalang yang
mengalami fase transformasi dari sebanyak 51 spesies anggota famili Acrididae
yang tercatat sebagai hama di Indonesia (Luong-Skovmand, 1999).
Pada saat-saat tertentu, apabila kondisi iklim memungkinkan populasi
belalang kembara dapat berkembang pesat di beberapa daerah di Indonesia.
Daerah-daerah yang pernah mengalami ledakan populasi belalang kembara antara
lain: Kalimantan Tengah, Kalimantan Barat, Sulawesi, Lampung, Nusa Tenggara
Timur dan Sumatra bagian selatan (Tjandrakirana et al., 1994). Dari berbagai
daerah yang terdapat di Indonesia, salah satu daerah yang berpotensi terjadi
ledakan populasi adalah Provinsi Lampung.
Pada tahun 1997-2001, belalang kembara di Provinsi Lampung dilaporkan
menyebabkan kehilangan hasil padi padi, jagung dan palawija lainnya. Puncak
serangan belalang kembara di Lampung pernah terjadi pada bulan Mei 1998
mencapai luas 6.818 ha pada lahan padi dan jagung. Pada tanaman perkebunan,
2
serangan belalang kembara mencapai total luas serangan 9.213 ha dengan wilayah
terparah pada lahan tebu PTPN di Sungkai Utara, Sungkai Selatan, dan Kotabumi
(5.735 ha) diikuti oleh lahan tebu milik PT Gunung Madu Plantations (GMP)
seluas 2.163 ha (Sudarsono, 2003). Kerugian akibat letusan belalang kembara
selama 5 tahun (1998-2002) mencapai Rp 12 milyar (Untung et al., 2003).
Menurut Kalshoven (1981), belalang kembara memiliki tiga fase
transformasi yaitu fase soliter, transisi (transient), dan gregarius. Pada fase soliter,
populasi belalang kembara berada pada tingkat populasi rendah, cenderung
berperilaku individual dan tidak rakus. Pada fase ini belalang kembara
menimbulkan kerusakan, namun tingkat keparahannya tidak tinggi (Yunus, 2015).
Pada fase transient, populasi belalang kembara berada pada tingkat populasi yang
cukup tinggi dan membentuk kelompok-kelompok kecil. Sedangkan pada fase
gregarius populasi belalang kembara telah bergabung dan membentuk gerombolan
besar yang sangat merusak dan merugikan. Pada fase ini gerombolan belalang
kembara dapat bermigrasi besar-besaran dan menjadi sangat merusak (Yunus,
2015).
Salah satu indikator yang dapat digunakan untuk menentukan fase
transformasi belalang kembara adalah rasio antara panjang femur-caput (F/C
ratio) dan elitra-femur (E/F ratio). Penelitian Luong–Skovmand (1999) dengan
mempelajari belalang kembara Afrika (Locusta migratoria migratorioides R. &
F.) menunjukkan bahwa belalang kembara yang berada dalam fase gregarius
memiliki sayap yang lebih panjang sehingga belalang kembara memiliki rasio E/F
relatif lebih tinggi dibandingkan dengan fase transien atau soliter. Selanjutnya
penelitian yang dilaksanakan oleh Sudarsono et al. (2005) telah mengkonfirmasi
3
bahwa belalang kembara yang dipelihara dalam rumah kaca dalam kepadatan
tinggi (30 pasang per kurungan berukuran 45 x 45 x 90 cm) memiliki rasio E/F
2,26 + 0,004 dan merupakan ciri morfologis fase gregarius.
Jika suatu wilayah pertanian atau perkebunan berada dalam situasi waspada
terhadap kemungkinan terjadinya ledakan populasi belalang kembara, salah satu
kegiatan yang diperlukan untuk mengantisipasinya adalah dengan melakukan
sampling populasi belalang kembara pada hamparan pertanian. Berdasarkan
sampling ini selanjutnya diidentifikasi apakah populasi belalang kembara yang
ada pada suatu wilayah sudah berada pada fase transien, yaitu fase sebelum
terjadinya populasi gregarius. Apabila koloni-koloni pada suatu wilayah telah
berada dalam fase transien sebaiknya segera dilakukan tindakan pengendalian,
jika perlu secara kimiawi, untuk mencegah berkembangnya fase gregarius yang
sangat sulit dikendalikan.
Cara visual yang dapat digunakan untuk menentukan fase belalang kembara
adalah dengan memperhatikan ukuran tubuh, warna tubuh, panjang relatif sayap,
dan bentuk pronotumnya. Menurut Kalshoven (1981) pada fase soliter belalang
kembara berwarna agak hijau, bagian pronotumnya menonjol, ukuran badan lebih
besar, dan panjang sayap depannya relatif pendek. Untuk fase transien
pronotumnya datar dan panjang sayapnya lebih panjang daripada fase soliter.
Sedangkan fase gregarius belalang kembara berwarna jingga kekuningan dengan
bagian atas hitam, pronotum berbentuk seperti pelana dan sayapnya relatif lebih
panjang.
Sebagaimana diuraikan di atas, tindakan pengendalian belalang kembara
sebaiknya dilakukan ketika populasinya berada dalam fase transien atau sebelum
4
mencapai fase gregarius. Namun yang menjadi masalah, populasi belalang
kembara dalam fase transien lebih sulit ditentukan atau diidentifikasi jika
dibandingkan dengan fase gregarius yang secara morfologis sangat berbeda dan
jumlahnya jauh lebih banyak. Oleh karena itu, diperlukan metode yang handal
untuk mengidentifikasi keberadaan fase transien dalam suatu hamparan agar
tindakan pengendalian tidak terlambat. Jika belalang kembara sudah berada pada
fase gregarius, maka pengendalian sudah terlambat dan tidak efektif.
Identifikasi fase populasi belalang kembara dapat dilakukan dengan
pemeriksaan spesimen secara visual dengan memperhatikan ukuran tubuh, warna
tubuh, panjang relatif sayap, dan bentuk pronotumnya. Dengan metode ini,
seluruh belalang yang tertangkap diperiksa apakah termasuk spesies belalang
kembara dan selanjutnya dapat dikelompokkan berdasarkan morfologi dan
ukurannya: soliter (ukuran terbesar), transien (ukuran sedang), dan gregarius
(ukuran terkecil dengan warna coklat). Mengingat metode ini dilakukan secara
visual, terdapat kemungkinan adanya kekeliruan dalam hasil identifikasi dan
kurang akurat. Oleh karena itu, diperlukan metode identifikasi fase populasi
belalang kembara yang lebih bersifat kuantitatif, dalam hal ini menggunakan
indikator rasio F/C dan E/F yang dikembangkan oleh Luong-Skovmand (1999).
Dengan metode ini belalang kembara yang tertangkap ditentukan nilai rasio
Femur/Caput (F/C) dan Elitra/Femur (E/F) untuk menentukan fase belalang yang
ada.
Mengingat belalang kembara hanya merupakan salah satu jenis belalang
yang berasosiasi dengan tanaman tebu maka perlu juga diketahui jenis-jenis
belalang lain yang hidup pada pertanaman tebu. Selain itu, perlu diketahui juga
5
bagaimana proporsi relatif belalang kembara dibandingkan dengan belalang-
belalang Acrididae lainnya sehingga diperoleh gambaran informasi dominansi
relatif belalang kembara. Oleh karena itu, pada tahap awal pengembangan teknik
identifikasi fase transformasi populasi belalang kembara ini terdapat beberapa
pertanyaan pokok yang perlu diketahui jawabannya, yaitu:
(1) Jenis-jenis belalang Acrididae apakah yang berasosiasi dengan pertanaman
tebu pada lahan PT GMP Lampung Tengah ?
(2) Jenis belalang Acrididae apakah yang paling dominan pada hamparan tebu
PT GMP dan bagaimana proporsinya dibandingkan dengan jenis-jenis
belalang Acrididae lainnya ?
(3) Apakah identifikasi menggunakan identifikasi secara visual (berdasarkan
warna tubuh dan bentuk pronotum) memberikan hasil yang sama dengan
indikator rasio F/C dan E/F ( Luong-Skovmand, 1999) ?
1.2 Tujuan Penelitian
Berdasarkan permasalahan-permasalahan pokok di atas, penelitian ini
bertujuan untuk:
(1) Mengidentifikasi jenis-jenis belalang Acrididae (sampai dengan tingkat sub-
famili) yang terdapat pada hamparan pertanaman tebu di lahan PT GMP
Lampung Tengah.
(2) Mengetahui dominansi dan proporsi populasi jenis-jenis belalang Acrididae
yang terdapat pada hamparan pertanaman tebu di lahan PT GMP Lampung
Tengah.
(3) Mengetahui fase transformasi populasi belalang kembara kembara pada
hamparan tebu dengan menggunakan dua metode identifikasi, yaitu dengan
6
metode visual (berdasarkan warna tubuh dan bentuk pronotum) dan dengan
menggunakan indikator rasio F/C dan E/F (Luong-Skovmand, 1999).
1.3 Kerangka Pemikiran
Belalang merupakan salah satu serangga yang termasuk dalam ordo
Orthoptera. Pada umumnya jenis belalang yang banyak dijumpai pada lahan
pertanian adalah dari famili Acrididae. Menurut Kalshoven (1981), beberapa
spesies Acrididae penting di Indonesia adalah belalang kembara (L. m.
manilensis), belalang kayu (Valanga spp.), belalang patanga kembara
(Nomadacris succincta), belalang leher-genting (Gastamargus marmoratus),
belalang mancung (Acrida turita), belalang mancung biru (Tagasta marginella),
belalang mancung rumput (Atractomorpha crenulata), belalang setan (Aularches
miliaris), dan belalang garis hijau (Oxya spp.). Dari sekian banyaknya spesies
belalang Acrididae yang sering ditemukan, belalang kembara merupakan spesies
yang menjadi sorotan karena kemampuannya yang dapat menghancurkan
hamparan pertanaman saat terjadi ledakan populasi.
Beberapa spesies belalang yang hidup bersama di dalam suatu habitat akan
membentuk komunitas yang saling berinteraksi. Spesies yang akan memenangkan
kompetisi adalah spesies yang memiliki keunggulan sifat-sifat biologis dan
perilaku (Untung, 1996). Hal tersebut ditandai dengan meningkatnya populasi
relatif suatu spesies dibandingkan dengan spesies-spesies lainnya. Pada dasarnya
belalang memiliki sifat polifag, yaitu dapat memakan banyak jenis tanaman yang
dijadikan inangnya. Hal ini menyebabkan belalang dapat memperoleh sumber
makanan dari inang yang lain, jika tanaman inang yang sebelumnya telah habis.
Salah satu tanaman inang yang sangat digemari belalang adalah pertanaman tebu.
7
Selain pertanaman tebu, terdapatnya populasi gulma dari jenis rumput-rumputan
yang merupakan sumber makanan alternatif bagi belalang-belalang yang
berasosiasi pada suatu vegetasi. Oleh sebab itu, tentunya terjadi kompetisi dalam
perolehan sumber makanan yang berpengaruh terhadap kepadatan populasi suatu
spesies belalang yang salah satunya adalah populasi relatif belalang kembara.
Kepadatan populasi belalang kembara pada suatu hamparan pertanaman dapat
memacu terjadinya peningkatan populasi. Hal tersebut yang nantinya
menyebabkan terjadinya perubahan fase transformasi belalang kembara menjadi
ke tingkat yang lebih membahayakan.
Belalang kembara memiliki tiga fase transformasi yang dapat
membedakannya dengan belalang-belalang lain yaitu fase soliter, transien, dan
gregarius. Dalam penentuan fase transformasi belalang kembara terdapat dua
metode yang dilakukan yaitu berdasarkan identifikasi visual (berdasarkan warna
tubuh dan bentuk pronotum) dan indentifikasi berdasarkan indikator Luong-
Skovmand (1999). Penentuan fase transformasi menggunakan metode identifikasi
visual memungkinkan tingkat kekeliruan yang lebih besar dibandingkan dengan
identifikasi menggunakan kriteria Luong-Skovmand (1999) karena hanya
mengandalkan visual dan perkiraan. Untuk mengurangi tingkat kekeliruan dalam
identifikasi visual, pengamatan harus dilakukan dengan teliti dan seksama.
Sementara itu, metode identifikasi dengan indikator Luong-Skovmand (1999)
terbukti mampu menentukan fase transformasi belalang kembara lebih akurat dan
tingkat kekeliruannya lebih kecil dikarenakan pengukuran dan perhitungan
menggunakan alat bantu. Oleh sebab itu, kedua metode yang digunakan untuk
mengidentifikasi fase transformasi belalang kembara akan memberikan hasil fase
8
transformasi dengan nilai yang tidak berbeda atau mungkin hanya terdapat sedikit
perbedaan.
1.4 Hipotesis
Hipotesis yang diajukan pada penelitian ini adalah:
(1) Pada hamparan tebu di lahan PT GMP terdapat beberapa jenis belalang
Acrididae.
(2) Pada hamparan pertanaman tebu, jenis belalang kembara merupakan spesies
yang lebih dominan di antara jenis-jenis belalang Acrididae yang lain.
(3) Identifikasi fase transformasi belalang kembara menggunakan metode
identifikasi secara visual (berdasarkan warna tubuh dan bentuk pronotum
belalang kembara) akan memberikan hasil yang tidak berbeda dengan
metode indikator Luong-Skovmand (1999).
9
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Tanaman Tebu
Tanaman tebu (Saccharum officinarum L.) merupakan tanaman perkebunan
semusim. Tebu tumbuh di dataran rendah daerah tropika dan dapat tumbuh juga di
sebagian daerah subtropika. Manfaat utama dari tanaman tebu adalah sebagai bahan
baku pembuatan gula pasir (Yenti et al., 2011). Menurut Wijayanti (2008), tanaman
tebu tergolong dalam famili Graminae atau Poaceae yaitu rumput-rumputan.
Saccharum officinarum merupakan spesies paling penting dalam genus
Saccharum sebab kandungan sukrosanya paling tinggi dan kandungan seratnya
paling rendah.
Banyak ahli berpendapat bahwa tanaman tebu berasal dari Irian, dan
menyebar ke kepulauan Indonesia, Malaysia, Filipina, Thailand, Burma dan India.
Dari India kemudian dibawa ke Iran sekitar tahun 600 M dan selanjutnya oleh
orang-orang Arab dibawa ke Mesir, Maroko, Spanyol dan Zanzibar. Beberapa
peneliti berkesimpulan bahwa tanaman tebu berasal dari India, berdasarkan
catatan-catatan kuno dari negeri tersebut. Bala tentara Alexander the Great
mencatat adanya tanaman di negeri itu ketika mencapai India pada tahun 325 SM
(Tjokroadikoesoemo dan Baktir, 2005).
10
Klasifikasi tanaman tebu menurut Steenis et al. (2006), adalah sebagai
berikut :
Kerajaan : Plantae
Divisi : Magnoliophyta
Kelas : Liliopsida
Ordo : Poales
Famili : Poaceae
Genus : Saccharum
Spesies : Saccharum officinarum L.
Tanaman tebu mempunyai batang yang tinggi, tidak bercabang dan tumbuh
tegak. Tanaman yang tumbuh baik, tinggi batangnya dapat mencapai 35 m atau
lebih. Pada batang terdapat lapisan lilin yang berwarna putih dan keabu-abuan.
Lapisan ini banyak terdapat sewaktu batang masih muda. Ruas-ruas batang
dibatasi oleh buku-buku yang merupakan tempat duduk daun. Pada ketiak daun
terdapat sebuah kuncup yang disebut mata tunas. Bentuk ruas batang dan warna
batang tebu yang bervariasi merupakan salah satu ciri dalam pengenalan varietas
tebu (Wijayanti, 2008).
Tebu dapat tumbuh dari dataran rendah hingga dataran tinggi pada
ketinggian 1400 m di atas permukaan laut (dpl), tetapi pada ketinggian mulai
+1200 m (dpl) pertumbuhan tebu akan lambat. Curah hujan yang optimum untuk
tanaman tebu adalah 1.5002.500 mm per tahun dengan hujan tersebar merata.
Produksi yang maksimum dicapai pada kondisi yang memiliki perbedaan curah
hujan yang ekstrim antara musim hujan dan musim kemarau. Suhu yang baik
untuk tanaman tebu berkisar antara 240o C hingga 300
o C, dengan kelembaban
11
nisbi yang dikehendaki adalah 6570%, dan pH tanah 5,57,0. Kecepatan angin
yang optimum untuk pertumbuhan tebu kurang dari 10 km/jam, karena angin
dengan kecepatan lebih dari 10 km/jam akan merobohkan tanaman tebu (Tim
Penulis PTPN XI, 2010).
Brazil, India, China merupakan tiga negara terbesar penghasil tebu di dunia.
Pada tahun 2011, produksi tebu di Brazil mencapai 734 juta ton, diikuti India 342
juta ton dan China 115 juta ton. Sedangkan negara Indonesia berada pada posisi
sebelas dengan produksi tebu sebesar 24 juta ton (FAOSTAT, 2011).
Dari berbagai provinsi yang terdapat di Indonesia, salah satu provinsi yang
menjadi sentra budidaya tanaman tebu adalah Provinsi Lampung. Provinsi
Lampung pada tahun 2012 memiliki produksi tebu rakyat hanya berasal dari
empat kabupaten saja yaitu Kabupaten Lampung Utara dengan produksi mencapai
64,96% dari total produksi tebu di provinsi ini atau sebesar 23.392 ton gula
hablur, Kabupaten Lampung Tengah dengan produksi sebesar 6.221 ton
(17,28%), Kabupaten Way Kanan dengan produksi 5.270 ton (14,63%), dan
Kabupaten Tulang Bawang dengan produksi 1.127 ton (3,13%) (Cakrabawa dan
Nuryati, 2014).
Seiring dengan meningkatnya jumlah penduduk, berakibat pada
meningkatnya kebutuhan lahan dan pangan. Hal tersebut menyebabkan luas areal
usaha tani tebu sulit untuk dipertahankan karena harus bersaing dengan tanaman
pangan bahkan beralih fungsi menjadi non-pertanian. Selain itu, semakin
banyaknya masalah hama dan penyakit yang muncul, dapat menurunkan
produktivitas tanaman tebu. Salah satu hama penting pada pertanaman tebu adalah
12
Belalang kembara. Belalang jenis ini dapat menjadi penyebab menurunnya
produksi tebu secara drastis yang sangat sulit ditanggulangi.
2.2 Belalang Kembara
Pada tahun 1998 terjadi ledakan populasi hama belalang di beberapa
wilayah di Indonesia. Selama tahun 1998 Provinsi Lampung mengalami
kerusakan yang paling serius. Salah satu komoditas utama yang diserang oleh
belalang kembara adalah tanaman tebu (Sudarsono, 2003). Belalang kembara
yang termasuk dalam genus Locusta mempunyai beberapa sub-spesies yang
wilayah penyebarannya berbeda-beda. Struktur tubuh belalang kembara terdiri
dari tiga bagian yaitu kepala (caput), dada (thorax) dan perut (abdomen),
mempunyai satu pasang antena, dua pasang sayap dengan tiga pasang kaki
(Sitompul, 2005).
Klasifikasi belalang kembara menurut Kalshoven (1981), adalah sebagai
berikut:
Kingdom : Animalia
Filum : Arthropoda
Kelas : Insekta
Ordo : Orthoptera
Famili : Acrididae
Genus : Locusta
Species : Locusta migratoria manilensis Meyen
Belalang kembara, memakan daun-daun tanaman sehingga mengurangi luas
permukaan daun dan mengganngu fungsi fisiologis dari tanaman yang diserang.
Kerusakan daun ini berpengaruh terhadap produktivitas tanaman tersebut. Jika
13
serangan belalang ini dalam jumlah populasi yang tinggi, daun tanaman jagung
yang diserang akan habis dimakannya (Surachman dan Suryanto, 2007). Belalang
kembara menyerang daun, hanya menyisakan tulang daun dan batang, bahkan
pada kondisi tertentu memakan tulang daun dan batang sehingga dapat merusak
tanaman hingga 90% (Roe, 2000). Gejala serangan belalang tidak spesifik,
bergantung kepada tipe tanaman yang diserang dan tingkat populasi. Daun
biasanya bagian pertama yang diserang. Hampir keseluruhan daun habis termasuk
tulang daun, jika serangannya parah (Pabbage et al., 2007).
Ciri-ciri morfologi belalang kembara yaitu: terdiri dari tiga bagian yaitu
kepala (caput), dada (thorax) dan perut (abdomen), perutnya bersegmen,
mempunyai satu pasang antena, dua pasang sayap dengan tiga pasang kaki.
Antena agak pendek, tidak melebihi panjang tubuh. Sayap depan agak keras dan
sayap belakang tipis. Nimfa berwarna hijau, imago hijau dan sayapnya coklat.
Panjang tubuh belalang kembara yang didapatkan pada fase nimfa 2-4 cm dan
imago 4,6-6,8 cm (Oktaria et al., 2013). Menurut Kalshoven (1981), panjang
tubuh belalang kembara dewasa berkisar antara 4 sampai 7 cm.
Siklus hidup belalang kembara rata-rata 76 hari, sehingga dalam setahun
dapat menghasilkan 45 generasi di daerah tropis, terutama di Asia Tenggara. Di
daerah subtropis, serangga ini hanya menghasilkan satu generasi per tahun.
Belalang kembara mengalami tiga fase pertumbuhan populasi yaitu fase soliter,
fase transien, dan fase gregaria. Pada fase soliter, belalang hidup sendiri-sendiri
dan tidak menimbulkan kerusakan bagi tanaman. Pada fase gregaria, belalang
kembara hidup bergerombol dalam kelompok-kelompok besar, berpindah-pindah
tempat dan merusak tanaman secara besar-besaran. Perubahan fase dari soliter ke
14
gregaria dan dari gregaria kembali ke soliter dipengaruhi oleh iklim, melalui fase
yang disebut transien (Pabbage et al., 2007). Pada fase soliter bentuk belalang
kembara pronotumnya menonjol, dan ukuran tubuh cenderung lebih besar.
Sedangkan fase gregarius, pronotum berbentuk datar dan ukuran tubuhnya lebih
kecil (Gambar 1) (Kalshoven, 1981).
Gambar 1. Pronotum belalang kembara pada fase: S. soliter; dan G. gregarius
(Kalshoven, 1981).
Imago betina yang berwarna coklat kekuningan siap meletakkan telur
setelah 520 hari, tergantung kepada suhu lingkungan sekitar. Seekor betina
mampu menghasilkan 67 kantong telur yang diletakkan di dalam tanah dengan
jumlah telur 40 butir per kantong. Imago betina hanya membutuhkan satu kali
kawin untuk meletakkan telur-telurnya dalam kantong-kantong tersebut. Imago
jantan yang berwarna kuning mengkilap berkembang lebih cepat dibandingkan
dengan betina. Lama hidup dewasa adalah 11 hari (Pabbage et al., 2007).
15
2.3 Belalang Famili Acrididae
Belalang merupakan serangga herbivora yang termasuk dalam ordo
Orthoptera dan sub-ordo Caelifera. Orthoptera termasuk serangga terestrial dan
dapat hidup dimana saja di seluruh dunia kecuali di bagian terdingin dari
permukaan bumi, lebih dari 20.000 spesies yang sudah diketahui, Orthoptera
biasanya hidup pada habitat padang rumput yang diikuti dengan tumbuhan
kacang-kacangan dan tanaman lainnya dengan komunitas tumbuhan yang
beranekaragam dengan sedikit semak belukar dan pepohonan yang tidak terlalu
banyak (Resh dan Carde, 2003). Serangga ini memiliki alat mulut bertipe
mengginggit, antena lebih pendek dari tubuhnya dan juga memiliki ovipositor
pendek. Femur belakangnya umumnya panjang dan kuat yang cocok untuk
melompat. Jenis belalang yang sering ditemukan di daerah Asia Tenggara
khususnya Indonesia adalah belalang yang termasuk dalam famili Acrididae.
Menurut Mawardi et al. (2015), melaporkan bahwa Famili Acrididae
merupakan famili yang mendominasi di dalam suatu ekosistem di suatu wilayah.
Famili Acrididae yang banyak ditemui yaitu Acridinae dengan spesiesnya
Aiolopus thalassinus tamulus, Phlaeoba autennata dan Phlaeoba infumata;
Catantopinae dengan spesiesnya Apalacris varicornis, Traulia azureipennis dan
Xenocatantops humilis; Oedipodinae dengan spesiesnya Gastrimargus
marmoratus dan Gastrimargus musicus; Oxyinae dengan spesiesnya Oxya
japonica japonica dan Pseudoxya diminuta.
16
III. BAHAN DAN METODE
3.1 Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian dilaksanakan pada hamparan pertanaman tebu di lahan PT GMP,
kemudian proses identifikasi dilaksanakan di Laboratorium Hama Arthropoda,
Jurusan Proteksi Tanaman, Fakultas Pertanian, Universitas Lampung. Penelitian
dilaksanakan dari bulan Juli sampai dengan Agustus 2016.
3.2 Bahan dan Alat
Bahan yang akan digunakan dalam penelitian ini antara lain sampel belalang
kembara, sampel jenis-jenis belalang famili Acrididae dan alkohol 70%.
Sedangkan alat yang akan digunakan ialah jala ayun (sweep net), plastik,
mikroskop stereo, kaca pembesar (lup), buku kunci identifikasi, kamera,
penggaris dan alat tulis.
3.3 Pelaksanaan Penelitian
Sampling belalang kembara pada penelitian ini dilaksanakan pada empat
jenis hamparan vegetasi yang terdapat di lingkungan perkebunan tebu PT GMP
yaitu tebu muda, tebu tua, rumput, dan lahan bera. Vegetasi tebu muda yang
dipilih adalah vegetasi dengan umur tanaman tebu kurang dari tiga bulan dengan
kondisi tanah masih gembur, tajuk tanaman tidak sepenuhnya menutupi tanah, dan
cukup banyak ditumbuhi rumput di dalam pertanaman. Vegetasi tebu tua yang
dipilih adalah vegetasi dengan umur tanaman di atas enam bulan dimana kondisi
17
tanah sudah mulai padat dan rumput di sekitar pertanaman lebih rimbun daripada
di dalam pertanaman. Vegetasi rumput yang diamati adalah vegetasi yang
ditumbuhi rumput dan bukan merupakan lahan budidaya. Vegetasi lahan bera
yang dipilih berupa vegetasi yang terdiri dari berbagai macam tumbuhan yang
tumbuh pada lahan yang sedang tidak ditanami tebu atau diistirahatkan. Pada
keempat vegetasi yang dijadikan sampling tersebut dilakukan pengulangan
sebanyak tiga kali pada lokasi yang berbeda, sehingga total petak sampel yang
disampling adalah dua belas petak sampel.
3.3.1 Penetapan Petak Sampel
Pada penelitian ini, kegiatan sampling dilakukan antara bulan Juli hingga
bulan Agustus 2016. Metode penetapan titik sampel yang digunakan ialah metode
sampel terpilih (purposive sampling). Titik sampel ditentukan secara langsung dan
tidak secara acak. Pada penelitian ini, di setiap hamparan vegetasi ditentukan 10
titik sampel dengan masing-masing titik sampel berukuran 2x10 m. Pemilihan
titik sampel disesuaikan dengan kondisi hamparan pertanaman tebu dari berbagai
jenis vegetasi. Luas hamparan vegetasi yang disurvei berkisar 1-2 ha.
Pada vegetasi tebu muda, rumput dan lahan bera titik sampel yang
ditentukan berada di dalam petak sampel (Gambar 2). Khususnya pada vegetasi
tebu muda, tanaman tebu berumur kurang dari tiga bulan dengan tinggi tanaman
sekitar 0,5 m. Namun, pada vegetasi tebu tua titik sampel yang ditentukan hanya
terletak di bagian tepi hamparan vegetasi tebu tua (Gambar 3). Hal ini karena
tidak memungkinkan untuk melakukan sampling pada bagian dalam vegetasi tebu
tua yang sudah sangat rapat. Tanaman tebu pada vegetasi tebu tua berumur lebih
dari enam bulan dengan tinggi tanaman berkisar antara 1-1,5 m.
18
100 m
Gambar 2. Skema titik sampel vegetasi tebu muda, rumput, dan lahan bera.
100 m
Gambar 3. Skema titik sampel vegetasi tebu tua.
3.3.2 Pengumpulan Spesimen
Pengumpulan spesimen pada penelitian ini dilakukan pada pagi atau sore
hari dengan menggunakan jala ayun (sweep net) sebanyak 20 ayunan ganda pada
setiap titik sampel. Pengambilan sampel dilakukan dengan mengayunkan jala ayun
10 m
200 m
30 m
25 m 40 m
15 m
10 m
200 m
50 m
30 m
5 m
19
tiap melangkah sebanyak 1 kali ayunan ganda pada titik sampel yang telah ditetapkan
sebanyak 10 langkah. Serangga-serangga yang tertangkap dimasukkan kedalam
plastik kemudian diberi alkohol 70%. Kemudian, setiap hasil tangkapan diberi
label berdasarkan titik sampel untuk mempermudah dalam analisis.
3.3.3 Identifikasi Spesimen
Serangga yang diperoleh dipilah dan hanya diambil jenis belalang dari
famili Acrididae, kemudian identifikasi dilakukan dengan membandingkan
morfologi spesimen dengan Kalshoven (1981), Tan (2012) dan Tan dan
Kamaruddin (2014). Identifikasi dilakukan sampai tingkat sub-famili, untuk
membedakan jenis belalang kembara dengan jenis-jenis belalang lainnya. Proses
identifikasi dilakukan menggunakan kaca pembesar atau mikroskop stereo untuk
melihat perbedaan karakteristik antar spesies belalang.
3.3.4 Analisis Data
Untuk menentukan fase transformasi belalang kembara dilakukan dengan
dua metode yaitu dengan metode identifikasi secara visual (berdasarkan warna
tubuh dan bentuk pronotum) dan identifikasi berdasarkan indikator
LuongSkovmand (1999). Proses penentuan pada kedua metode hanya dilakukan
pada belalang kembara yang telah dewasa. Belalang kembara yang telah dewasa
dapat dilihat berdasarkan sayapnya yang telah tumbuh sempurna.
Pada penentuan dengan metode identifikasi secara visual, belalang
kembara dikelompokkan berdasarkan ukuran badan spesimen belalang.
Pengelompokan tersebut antara lain : ukuran terbesar (soliter), ukuran sedang
(transien), dan ukuran terkecil (gregarius). Selanjutnya dilakukan pengamatan
20
pada morfolgi bagian tubuh belalang terutama warna dan bentuk pronotumnya
menggunakan lup.
Sedangkan untuk mengetahui rasio F/C dan E/F dilakukan analisis dengan
mengukur panjang sayap depan (E), panjang femur tungkai belakang (F), dan
lebar maksimum kepala (C) pada setiap spesimen belalang kembara dewasa yang
didapat. Data ukuran (F), (E), dan (C) yang telah diperoleh digunakan untuk
menghitung rasio F/C dan E/F. Penghitungan nilai rasio F/C dan E/F diilakukan
dengan cara panjang femur tungkai belakang (F) dibagi dengan lebar maksimum
kepala (C) dan panjang sayap depan (E) dibagi dengan panjang femur tungkai
belakang (F) per masing-masing individu belalang kembara dewasa. Setelah
didapat nilai rasio F/C dan E/F per masing-masing individu kemudian dihitung
rata-rata rasio F/C dan E/F dari keseluruhan belalang kembara yang didapat
berdasarkan vegetasi yang telah ditentukan dan berdasarkan keseluruhan vegetasi.
Selanjutnya, nilai rasio F/C dan E/F tersebut digunakan untuk menentukan fase
populasi belalang kembara dengan menggunakan koefisien kriteria
LuongSkovmand (1999) seperti pada Tabel 1.
Tabel 1. Ciri morfologis tiga fase dari populasi belalang kembara Afrika (L.
m. migratorioides) (LuongSkovmand, 1999).
Rasio Bagian
Tubuh
Jenis
Kelamin
Fase Transformasi
Soliter Transien Gregarius
E/F Jantan 1,40 1,79 1,79 2,09 2,09
Betina 1,40 1,81 1,81 2,18 2,18
F/C Jantan 3,67 4,00 2,95 3,67 2,95
Betina 3,46 4,00 2,85 3,46 2,85
Keterangan: E = panjang sayap depan; F = panjang femur tungkai belakang;
C = lebar maksimum kepala.
32
V. KESIMPULAN
Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan di hamparan pertanaman tebu PT
GMP Lampung Tengah dapat disimpulkan bahwa:
1. Pada hamparan pertanaman tebu di lahan PT GMP Lampung Tengah
sekurang-kurangnya ditemukan lima sub-famili belalang yang termasuk
dalam famili Acrididae, yaitu: Oedipodinae, Acridinae, Catantopinae,
Cyrtachanthacridinae, dan Oxyinae.
2. Jenis belalang yang dominan pada hamparan pertanaman tebu yang disurvei
adalah sub-famili Oedipodinae yang di dalamnya terdapat spesies belalang
kembara. Jumlah spesimen setiap sub-famili yang ditemukan adalah:
Oedipodinae (212 ekor), Acridinae (147 ekor), Catantopinae (165 ekor),
Cyrtachanthacridinae (153 ekor), dan Oxyinae (11 ekor).
3. Berdasarkan penentuan fase belalang secara visual, belalang kembara yang
berada pada fase soliter, transien, dan gregarius berturut-turut adalah
90,32%; 8,87%; dan 0,81%. Sementara itu, hasil analisis berdasarkan
indikator Luong-Skovmand (1999) menghasilkan belalang kembara soliter
76,61%; transien 20,97%; dan gregarius 2,42%. Meskipun secara numerik
kedua metode tersebut memberikan hasil yang berbeda tetapi keduanya
menghasilkan kesimpulan yang sama, yaitu bahwa mayoritas belalang
kembara pada hamparan yang disurvei berada dalam fase soliter.
33
DAFTAR PUSTAKA
Cakrabawa, D. N. dan L. Nuryati. 2014. Outlook Komoditi Tebu. Pusat Data dan
Sistem Informasi Pertanian Sekretariat Jenderal. Kementerian Pertanian.
Jakarta. 64 hlm.
Ely, O. S., Njagi P. G. N., Bashir M. O., El-Amin S. E. T., dan Hassanali A. 2011.
Diel behavioral activity patterns in adult solitarious Desert locust,
Schistocerca gregaria (Forskål). Psyche. 2011: 1–9.
FAOSTAT. 2011. Production, Export, Import of Sugar Cane. http://www.fao.org.
Diakses pada 7 April 2016.
Grichanov, I. Y. 2009. Pests. Locusta migratoria L. - Migratory Locust, Asiatic
Locust. Interactive Agricultural Ecological Atlas of Russia and Neighboring
Countries, Economic Plants and their Diseases, Pests and Weeds.
http://www.agroatlas.ru. Diakses pada 11 Oktober 2016.
Hadi, D. S. 2011. Pengendalian Hama Belalang Kembara (Locusta migratoria
manilensis Meyen) dengan Pestisida Nabati di Sumba Timur, Nusa
Tenggara Timur. Prosiding Gelar Teknologi Hasil Penelitian. Kementrian
Kehutanan. Sumba Barat. 139-154 hlm. 30 November-1 Desember 2011.
Kalshoven, L. G. E. 1981. The Pests of crops in Indonesia. PT Ichtiar Baru-Van
Hoeve. Jakarta. 701 hlm.
Koesmaryono, Y., F.T. Hana, dan Yusmin. 2005. Analisis Hubungan Tingkat
Serangan Hama Belalang Kembara (Locusta migratoria manilensis Meyen)
dengan Curah Hujan. Jurnal Agromet. 19(2): 13-23.
Luong-Skovmand. 1999. Biology of the oriental migratory locust. Unpublished
paper presented in “Seminar for technology transfer of locust survey and
control. Lampung. 12-16 Juli 1999.
Mawardi, M., R. Yolanda, dan A. A. Purnama. 20115. Jenis-Jenis Belalang
(Orthoptera: Caelifera) di Dusun II Desa Tambusai Timur Kecamatan
Tambusai Kabupaten Rokan Hulu. Universitas Pasir Pengaraian. Riau. 7
hlm.
34
Oktaria, R., Jasmi, dan E. Safitri. 2013. Kepadatan Populasi Belalang Kembara
(Locusta migratoria L.) pada Tanaman Jagung di Kelurahan Pisang
Kecamatan Pauh Padang. Sekolah Tinggi Keguruan Dan Ilmu Pendidikan
(STKIP) PGRI. Sumatera Barat. 4 hlm.
Pabbage, M. S., A. M. Adnan, dan N. Nonci. 2007. Pengelolaan Hama Prapanen
Jagung. Balai Penelitian Tanaman Serealia. Maros. 274-304 hlm.
Resh, V.H. dan Carde, R.T. 2003. (eds) Encyclopedia of Insects. Elsevier Science,
Academic Press. San Diego. 1266 hlm.
Roe, A. H. 2000. Grasshopper and Their Control. Extension Entomology.
Department of Biology. University of Texas. Austin. 1–5 hlm.
Sitompul, S. S. 2005. Pengendalian Hama Belalang Kembara (Locusta
migratoria) dengan Menggunakan Gelombang Ultrasonik di Kalimantan
Barat. Disertasi. Program Pascasarjana Universitas Airlangga. Surabaya.
Steenis, V., G. D. Hoed, S. Bloeembergen, dan P. J. Eyma. 2005. Flora. Pradnya
Paramita. Jakarta. 114 hlm.
Sudarsono, H. 2003. Hama belalang kembara (Locusta migratoria manilensis
Meyen): fakta dan analisis awal ledakan populasi di Provinsi Lampung.
Jurnal HPT Tropika. 3(2): 5156.
Sudarsono, H., R. Hasibuan, dan D. Buchori. 2005. Biologi dan transformasi
belalang kembara Locusta migratoria manilensis Meyen (Orthoptera:
Acrididae) pada beberapa tingkat kepadatan populasi di laboratorium.
Jurnal HPT Tropika. 5(1): 2431.
Surachman, E. & A.W. Suryanto. 2007. Hama Tanaman Pangan, Hortikultura,
dan Perkebunan Masalah dan Solusinya. Kanisius: Yogyakarta.
Tambunan, H. dan A. W. Hapsoro. 2005. Belalang Kembara (Locusta migratoria,
manilensis). Dinas Pertanian Tanaman Pangan dan Hortikultura. Unit
Pelaksana Teknis Dinas Proteksi Tanaman. Kupang, Nusa Tenggara Timur.
8 hlm.
Tan, M. K. 2012. Orthoptera in the Bukit Timah and Central Catchment Nature
Reserves (Part 1): Suborder Caelifera. Raffles Museum of Biodiversity
Research. National University Singapore. Singapore. 40 hlm.
Tan, M. K. dan K. N. Kamarudin. 2014. Orthorptera of Fraser’s Hill, Peninsular
Malaysia. Lee Kong Chian Natural History Museum. National University
Singapore. Singapore. 88 hlm.
Tim Penulis PTPN XI. 2010. Panduan Teknik Budidaya Tebu. PT Perkebunan
Nusantara XI. Surabaya. 204 hlm.
35
Tjokroadikoesoemo, P. S. dan A. S. Baktir. 2005. Ekstraksi nira tebu (Skripsi).
Yayasan Pembangunan Indonesia Sekolah Tinggi Teknologi Industri.
Surabaya.
Tjandrakirana, V. J., Harsono L., Daniar T., dan Osid H. 1994. Belalang Kembara
Locusta migratoria dan Usaha Pengendaliannya. Dirjen Tanaman Pangan
dan Hortikultura. Direktorat Bina Perlindungan Tanaman. Jakarta. 27 hlm.
Untung, K. 1996. Pengantar Pengelolahan Hama Terpadu. Gajah Mada University
Press. Yogyakarta. 273 hlm.
Untung, K., F.X. Wagiman, dan S. Hardjastuti. 2003. Kajian Pengendalian Hama
Belalang Kembara dan Pemanfaatan Limbahnya di Kabupaten Sumba
Timur. Laporan Hasil Penelitian. Fakultas Pertanian UGM. Yogyakarta.
Wijayanti, W. A. 2008. Pengelolaan tanaman tebu (Saccharum officinarum L.) di
pabrik gula Tjoekir PTPN X, Jombang, Jawa Timur (Skripsi). Institut
Pertanian Bogor. Bogor.
Yenti, S. R., S. Herman, dan Zultiniar. 2011. Kinetika Proses Pembuatan Asam
Oksalat dari Ampas Tebu. Prosiding SNTK TOPI. Pekanbaru. 2932 hlm.
21-22 Juli 2011.
Yunus, B. 2015. Populasi hama utama pada tanaman padi (Skripsi). Universitas
Hasanuddin. Makassar.