Upload
boziker
View
73
Download
15
Embed Size (px)
DESCRIPTION
Syeh Siti Jenar
Citation preview
TANYA JAWAB DENGAN SYEH SITI JENAR
Ajaran Syekh Siti Jenar dikenal sebagai ajaran ilmu kebatinan. Suatu ajaran yang menekankan
aspek kejiwaan dari pada aspek lahiriah yang kasat mata. Intinya ialah konsep tujuan hidup. Titik
akhir dari ajaran Siti Jenar ialah tercapainya manunggaling kawula-Gusti. Yaitu bersatunya antara
roh manusia dengan Dzat Allah. Paham inilah yang hampir sama dengan ajaran para zuhud, wali
dan orang-orang khowash. Zuhud banyak dijumpai dalam dunia tasawuf. Mereka merupakan
orang-orang atau kelompok yang menjauhkan diri dari kemewahan dan kesenangan duniawi.
Sebab mereka mempunyai tujuan hidup yang lebih utama, yakni ingin mencapai kesucian jiwa
atau roh.
Inti ajaran Syeh Siti Jenar adalah pencapaian spiritualitas yang tinggi dalam penyatuan antara
makhluk dengan Dzat Pencipta, yang lebih populer disebut sebagai manunggaling kawula-Gusti.
Bagian-bagian dari ajaran itu adalah meliputi penguasaan hidup, pengetahuan tentang pintu
kehidupan, tentang kematian, tempat kelak sesudah ajal, hidup kekal tak berakhir, dan tentang
kedudukan Yang Mahaluhur. Paham yang hampir senada dengan falsafah Jawa kuno.
Suatu ketika Syeh Siti Jenar mengajarkan ilmu kepada para murid-muridnya. Syeh Siti Jenar
berkata,”Manusia harus berpegang pada akal, meyakini pula dua puluh sifat yang dimiliki Allah”.
Antara lain yakni; wujud, tak berawal, tak berakhir, berlainan dengan barang baru, berkuasa,
berkehendak, berpengetahuan, memiliki ilmu secara hakikat dan sebagainya. Para santri
mengajukan pertanyaan- pertanyaan sebagai berikut;
M (murid) ; Apakah wujud dari Tuhan itu dapat dimiliki oleh manusia ?”
S (Syeh Jenar) ; Memang, sifat wujud itu bisa dimiliki manusia dan itulah inti dari ajaran ini.
Selama manusia mampu menjernihkan kalbunya, maka ia akan mempunyai sifat-sifat itu. Sifat
tersebut pun sudah kumiliki. Kalian bisa melakukannya dengan mengamalkan apa yang hendak
kuajarkan. Allah adalah satu-satunya yang wajib disembah. Dia tidak tampak dan tidak
berbentuk. Tidak terlihat oleh mata. Sedangkan alam dan segala isinya merupakan cerminan dari
wujud Allah yang tampak. Seseorang bisa meyakini adanya Allah karena ia melihat pancaran
wujudNya melalui jagad raya ini. Allah tidak berawal dan berakhir, memiliki sifat langgeng, tak
mengalami perubahan sedikitpun. Allah berada di mana-mana, bukan ini dan bukan itu. Dia
berbeda dengan segala wujud barang baru yang ada di dunia.
M ; Wahai Kanjeng Syeh, jelaskan kepada kami tentang hakikat kodrat !”
S ; Kodrat adalah kekuasaan pribadi Tuhan. Tak ada yang menyamainya. KekuatanNya tanpa
sarana. kehadiranNya berasal dari ketiadaan, luar dan dalam tiada berbeda. Tak dapat
ditafsirkan. Jika engkau menghendaki sesuatu maka pasti kalian rencanakan matang-matang dan
pasti pikirkan berulang-ulang. Itupun masih sering meleset. Namun Allah tidak demikian, bila
menghendaki sesuatu tak perlu dipersoalkan terlebih dahulu.
M ; Kalau begitu Allah tidak memerlukan sesuatu ?
S ; Benar Allah tidak memerlukan sesuatu. Karena itu jika kalian hidup tanpa memerlukan
sesuatu, tanpa butuh harta benda, tanpa butuh jabatan, tanpa butuh pujian, maka kalian akan
merasakan hidup yang sesungguhnya. Kalian akan memiliki sifat Allah tersebut.
M ; Kalau manusia menghindari sesuatu dan merasa tidak memerlukan apapun, apakah
akhirnya dapat disamakan dengan Allah ?
S ; Tidak ! walaupun manusia hidup tanpa bergantung sama sekali kepada duniawi, namun ia
tetap berbeda dengan Allah. Tidak bisa disamakan dengan Tuhan. Allah adalah pencipta dan
kalian adalah yang diciptakan. Allah berdiri sendiri, tanpa memerlukan bantuan. Hidupnya tanpa
roh, tidak merasa sakit dan kesedihan, Allah muncul sekehendaknya.
M ; Jika Allah berkehendak, maka apakah kehendak seseorang itu karena kemauan Allah ?
S ; Untuk sampai pada jawaban itu, kita harus membedakan seseorang mana. Manusia itu
dibedakan menjadi beberapa tingkatan. Ada yang awam, ada yang khowash. Orang awam hanya
beribadah secara syariat, tanpa dapat memelihara kalbu, maka ia masih jauh bisa berhubungan
dengan Allah. Sedangkan orang-orang khowash, termasuk para nabi, rasul, dan waliyullah,
mereka beribadah secara utuh. Bahkan sampai pula pada tingkatan hakikat. Kalau kalbunya
sudah bersih dari duniawi dan menyatu dengan cahaya Ilahi, maka kehendak dan kemauannya
itu berasal dari Allah. Perbuatannya adalah perbuatan Allah. Maka jangan heran jika ada orang
yang diberi karomah sehingga segala ucapannya menjadi bertuah.
M ; Kalau begitu, ibadahnya orang yang sudah khowash itu merupakan kehendak Allah ?
S ; Benar ! mereka mempunyai kejernihan akal budi. Memiliki kebersihan jiwa dan ilmu. Shalat
lima waktu dan berzikir merupakan kehendak yang sangat dalam. Bukan kehendak nafsunya,
namun kehendak Allah. Semangatnya sedemikian besar. Mereka shalat tidak mengharapkan
pahala, tetapi merupakan suatu kewajiban (diri) dan pengabdian. Badan haluslah yang
mendorong untuk menjalankan.
M ; Banyak orang melakukan shalat tetapi tidak menyentuh kepada Yang Disembah. Ini
bagaimana ?
S ; Memang banyak orang yang secara lahiriah tampak khusuk shalatnya. Bibirnya sibuk
mengucapkan zikir dan doa-doa, namun hatinya ramai oleh urusan duniawi mereka. Islam yang
demikian ini ibarat kelapa, mereka hanya makan serabutnya. Padahal yang paling nikmat adalah
buah/daging kelapa dan air kelapanya. Mereka sembahyang lima waktu sebatas lahiriah saja.
Tidak berpengaruh sama sekali kepada akal budinya. Padahal sembahyang itu diharapkan dapat
mencegah keji dan munkar namun mereka tak mampu melakukannya dalam kehidupan sehari-
hari. Kalaupun hakikat shalatnya itu membekas pada budinya itupun hanya sedikit. Buat apa
sembahyang lima kali jika perangainya buruk ? masih suka mencuri dan berbohong. Untuk apa
bibir lelah berzikir menyebut asma Allah, jika masih berwatak suka mengingkari asma. Kadang-
kadang pula mereka berharap pahala. Shalatnya saja belum tentu dihargai oleh Allah, tetapi
buru-buru meminta balasan,…..aneh!
M ; Wahai Syeh, ada hadits Rasulullah yang menyebutkan bahwa amal hamba yang pertama
kali diperhitungkan adalah sembahyang. Jika sembahyangnya baik, maka semua dianggap
baik. Ini bagaimana ?
S ; Itu perlu ditafsirkan. Tidak boleh dipahami secara dangkal makna dari hadits tersebut. Hadits
itu mengandung logika sebagai berikut; Orang yang tekun mengerjakan sembahyang dengan
sempurna, maka perilaku, budi pekerti dan kalbunya juga harus terpengaruh menjadi baik. Sebab
sembahyang yang dilakukan dengan jiwa yang bersih akan berpengaruh pula bagi cabang
kehidupan lainnya. Lebih lanjut Syeh Siti Jenar mengatakan; sebaliknya hadits itu tidak berlaku
bagi orang yang tekun mengerjakan sembahyang tetapi hatinya masih kotor, tersimpan
keinginan-keinginan nafsu misalnya ingin dipuji orang lain, terdapat ujub dan sombong, serta
budinya menyimpang dan menabrak tatanan yang dilarang.
M ; Apakah ada tuntunan mengenai pakaian seseorang yang sedang melakukan sembahyang ?
S ; Sesungguhnya aku (Syeh Siti Jenar) tidak sependapat jika ada orang yang mengenakan pakaian
gamis dan meniru-niru pakaian orang Arab dalam melakukan shalat. Jika selesai shalat, jubah
atau gamis itu dilepaskan. Sedangkan shalat orang tersebut tidaklah menyentuh hatinya.
Meskipun berlama-lama merunduk di masjid, namun masih mencintai duniawi. Sembahyang
yang pakaiannya kedombrangan, merunduk di masjid berlama-lama sampai lupa anak istri.
Sedangkan ia masih menyintai duniawi dan mengumbar nafsu manusiawinya. Bahkan dalam
kehidupan sehari-hari, ia seringkali menyusahkan orang lain. Maka orang yang demikian itu tidak
terpengaruh oleh sembahyang yang dilakukan. Biasanya tipe orang seperti itu sibuk menghitung
pahala. Dia sangat keliru dan bodoh. Pahala yang masih jauh tetapi diperhitungkan. Sungguh,
sedikit pun tak akan dapat dicapainya.
M ; Dzat Yang Luhur dan Sejati itu sesungguhnya siapa, wahai Syekh ?
S ; Gusti Allah. Gusti Allah adalah Dzat yang tinggi dan terhormat. Ia memiliki dua puluh sifat,
semua timbul atas kehendakNya. Ia mampu mencurahkan ilmu kebesaran, kasampurnan,
kebaikan, keramahan, kekebalan dalam segala bentuk, memerintah umat. Dapat muncul di
segala tempat dan sakti sekali. Aku (Syekh Siti Jenar) merasa wajib dan menuruti kehendakNya.
Sebagaimana ajaran jabariyah, dengan kesungguhan dan konsekuen, selalu kuat cita-citanya,
kokoh tak tergoyahkan terhadap sesuatu yang tidak suci, berpegang teguh kepadaNya selama
hidup, tak akan menyembah terhadap ciptaanNya, baik dalam wujud maupun dalam pengertian.
M ; Mengapa Kanjeng Syekh dianggap oleh para wali sebagai wali murtad ?
S ; Karena ajaranku tidak mudah dipahami orang awam.
M ; Bagaimana ajaran Kanjeng Syeh yang dianggap sesat ?
S ; Aku adalah penjelmaan dari Dzat Luhur, yang memiliki semangat, sakti, dan kekal akan
kematian. Dengan hilangnya dunia Gusti Allah telah memberi kekuasaan kepadaku dapat
manunggal denganNya, dapat langgeng mengembara melebihi kecepatan peluru. Bukannya akal,
bukannya nyawa, bukan penghidupan yang tanpa penjelasan dari mana asalnya dan kemana
tujuannya.
M ; Apa hubungannya antara kanjeng Syeh Siti Jenar dengan Allah, yang kau sebut sebagai Dzat
sejati ?
S ; Dzat yang sejati menguasai wujud penampilanku. Karena kehendakNya maka wajarlah jika aku
tidak mendapat kesulitan. Aku bisa berkelana ke mana-mana. Tidak merasa haus dan lelah, tanpa
sakit dan lapar, karena ilmu kelepasan diri, tanpa suatu daya kekuatan. Semua itu disebabkan
jiwaku tiada bandingannya. Secara lahiriah memang tidak berbuat sesuatu, tetapi tiba-tiba sudah
berada di tempat lain. Gusti Kang Murbeng Dumadi (Allah) yang kuikuti, kutaati siang malam,
yang kuturut segala perintahNya. Tiada menyembah Tuhan lain, kecuali setia terhadap suara hati
nuraniku. Allah Mahasuci.
M ; Wahai Syeh jelaskan apa yang di maksud bahwa Allah itu Maha Suci?
S ; Allah Mahasuci itu hanyalah sebatas istilah saja. Merupakan nama saja. Sebenarnya hal itu
dapat disamakan dengan bentuk penampilanku. Jika kalian melihatku, maka tampak dari luar
sebagai warangka (kerangka), sedangkan di dalamnya adalah kerisnya (intinya) Hyang Agung,
yang tak ada bedanya dengan kerangka. Tuhan itu wujud yang tidak dapat dilihat dengan mata,
tetapi dilambangkan seperti bintang yang bersinar cemerlang. Sifat-sifatNya berwujud samar-
samar bila dilihat, warnanya indah sekali seperti cahaya.
M ; Di manakah Tuhan berada ? kami membayangkan Dia ada di langit ke 7 dan bersemayam
di atas singgasana layaknya raja.
S ; Siti Jenar mendadak tertawa. Setelah tertawanya reda, ia berkata, “Itu salah besar, itu
kebodohan. Sesungguhnya Tuhan tidak berada di langit ketujuh dan tidak bertahta di singgasana
atau arsy (Kursi). Bila kalian membayangkan demikian, maka hati kalian sudah musyrik. Berdosa
besar. Karena kalian menyamakan Dia dengan raja atau dengan penguasa.
M ; Kami jadi bingung, Kanjeng Syekh, lantas Tuhan itu ada di mana ?
S ; Kalau kalian bertanya demikian, maka jawabnya mudah. Gusti Allah itu tidak kemana-mana,
tetapi ada di mana-mana.
M ; Kami semakin tak mengerti. Bisakah Kanjeng Syeh memberi penjelasan yang lebih
gamblang ?
S ; Gusti Allah itu berada pada dzat yang tempatnya tidak jauh. Dia bersemayam di dalam tubuh
kita. Tetapi hanya orang yang khowash, orang yang terpilih dapat melihat. Tentunya dengan mata
batin. Hanya mereka yang dapat merasakannya.
M ; Apakah Allah itu berupa roh atau sukma ?
S ; Bukan roh dan bukan sukma. Allah adalah wujud yang tak dapat dilihat oleh mata, tetapi
dilambangkan seperti bintang-bintang bersinar cemerlang. Sudah kukatakan tadi, warnanya
indah sekali. Ia memiliki dua puluh sifat seperti; sifat ada, tak berawal, tak berakhir, berbeda
dengan barang-barang yang baru, hidup sendiri dan tidak memerlukan bantuan dari sesuatu,
berkuasa, berkehendak, mendengar, melihat, berilmu, hidup dan berbicara. Sifat Gusti Allah yang
duapuluh itu terkumpul menjadi satu wujud mutlak yang disebut dengan Dzat. Sifat duapuluh itu
juga menjelma pada diriku. Karena itu aku yakin tidak akan mengalami sakit dan sehat, punya
budi kebenaran, kesempurnaan, kebaikan dan keramahan. Roh ku memiliki sifat duapuluh itu,
sedangkan ragaku yang lahiriah memiliki sifat nur Muhammad.
M ; Wahai Syekh, bukankah Muhammad SAW itu seorang nabi. Apakah Syekh mengaku
sebagai Nabi ? Sedangkan dikatakan bahwa setelah nabi Muhammad, di dunia ini tidak ada
kenabian lagi ?
S ; Jangan salah menafsirkan kata-kataku. Jika salah, maka kau akan sesat dan timbul fitnah. Tentu
saja memfitnah diriku. Begini, bahwa rohku adalah roh Ilahi. Karena aku pun memiliki sifat
duapuluh. Sedangkan badan wadag ku, jasadku ini, adalah jasad Muhammad. Dari segi lahiriah
Muhammad adalah manusia. Namun manusia Muhammad berbeda dengan orang kebanyakan.
Muhammad memiliki jasad yang kudus, yang suci. Aku dan dia sama-sama merasakan kehidupan,
merasakan manfaat panca indera. Dan panca indra itu hanyalah meminjam. Jika sudah diminta
kembali oleh Pemiliknya akan berubah menjadi tanah yang busuk, berbau, hancur dan najis. Nabi
atau wali, jika sesudah kematian jasadnya menjadi tak bermanfaat. Bahkan berbau, kotor, najis,
busuk dan hancur. Warangka jika sudah ditinggalkan kerisnya maka tiada guna.
M ; Jika seseorang sudah mati, berarti selesai sudah kehidupannya ?
S ; Siapa bilang begitu ? Tidak ! meskipun jasadnya mati, tetapi sebenarnya ia tidaklah mati.
Karena itu, kalian semua harus mengerti bahwa dunia ini sesungguhnya bukanlah kehidupan.
Buktinya ada mati. Di dunia ini, kehidupan disebut kematian. Coba rasakan ! Aku mengajarkan
kepada kalian untuk tidak menyintai dunia ini dan tidak terpesona terhadap keindahannya.
Carilah kebenaran dan kebahagiaan sejati demi kehidupan mendatang, kehidupan setelah
kematian. Kalian akan berarti jika telah menemui kematian dan hidup sesudah itu. Engkau harus
memilih hidup yang tak bisa mati. Dan hidup yang tak bisa mati itu hanya kalian rasakan setelah
nyawa terlepas dari badan. Kehidupan itu akan dapat dirasakan dengan tanpa gangguan seperti
sekarang ini. Ketahuilah, hidup yang sesungguhnya adalah setelah nyawa lenyap dari badan.
M ; Agar dapat meraih kehidupan dalam kemuliaan sejati kelak, dalam kehidupan di dunia ini
dibutuhkan kebenaran dan kebahagian sejati. Bagaimanakah cara mendapatkannya Kanjeng
Syekh ?
S ; Jiwa manusia adalah suara hati nurani. suara hati nurani merupakan ungkapan Dzat Allah yang
harus ditaati perintahnya. Maka ikutilah hati nuranimu.
M ; Bagaimana caranya meyakinkan bahwa suatu bisikan adalah suara hati nurani yang
sesungguhnya ?
S ; Kalian harus cermat, karena hati nurani berbeda dengan akal budi, jiwa itu milik Allah,
sedangkan akal milik manusia. Akal bersifat manusiawi, karena itu kadang-kadang akal tak
mampu menemukan keajaiban Allah. Kehendak, angan-angan, ingatan, merupakan suatu akal
yang tak kebal atas kegilaan. Suatu ketika akal bisa menjadi bingung sehingga membuat
seseorang lupa diri. Akal seringkali tidak jujur. Siang malam membuat kepalsuan demi
memakmurkan kepentingan pribadi.
M ; Bukankah manusia menjadi lebih mulia jika dibandingkan dengan makhluk lainnya, karena
manusia diberi akal oleh Allah ?
S ; Ya, itulah yang membedakan. Tapi jangan lupa bahwa akal seringkali tidak jujur. Sering bersifat
dengki, suka memaksa, melanggar aturan, jahat, suka disanjung-sanjung, sombong, yang ahirnya
membuat manusia justru tidak berharga samasekali. Lebih hina dari makhluk lainnya.
M ; Jadi kita harus menggunakan akal sesuai dengan jiwa atau kehendak Allah ?
S ; Ya, benar. Jika seseorang mampu mengendalikan akalnya dengan ajaran Allah, dengan
kebenaran, dan dengan jiwa yang bersih, maka ia bermanfaat. Menjadikan diri lebih mulia.
M ; Apa yang menghalangi seseorang sehingga gagal dalam dalam menempuh manunggaling
kawula-Gusti ?
S ; Jangan mementingkan kehidupan duniawi. Sebab kehidupan duniawi yang kalian jalani penuh
kotoran. Akal kalian mudah tercemar dengan kotoran sifat dan mudah dikuasai oleh nafsu,
sehingga menghalangi kalian untuk bisa menuju pada tahap manunggaling kawula-Gusti.
M ; Di dunia ini ada yang cantik, tampan dan gagah. Bagaimana kedudukan orang-orang
tersebut jika kelak telah terlepas rohnya ?
S ; Kalian jangan menyintai dan mengagumi bentuk yang cantik, tampan atau gagah. Sebab
sebenarnya badan wadag (jasad) laksana sangkar yang mengurung jiwa. Badan wadag
merupakan beban yang memberatkan dan menyakitkan roh kalian.
M ; Wahai Syekh, benarkah sesudah kematian ada surga neraka ?
S ; Para wali memang mengajarkan demikian. Inilah ajaran yang justru menurutku menyesatkan
karena terlalu dangkal. Para wali hanya mengajarkan “serabut” atau kulitnya, tidak sampai pada
isinya; tidak sampai pada hakikat yang sebenarnya. Para wali mengajarkan bahwa surga dan
neraka hanya dijumpai kelak setelah kiamat. Adanya di akherat. Dan orang-orang awam menelan
mentah-mentah keterangan itu. Siksa kubur hanya dijumpai dan dirasakan badan wadag ketika
di tanam di kuburan. Para wali memang bertujuan baik, tetapi diputus sampai di situ. Mereka
enggan menjelaskan lebih dalam dan lebih sampai pada makna yang hakiki.
M ; Kalau menurut Syekh bagaimana ?
S ; Begini, untuk menemui dan merasakan surga dan neraka maka seseorang tidak harus
menunggu sampai mati atau sampai datangnya kiamat. Di dunia ini saja kita sudah dapat
merasakan surga dan siksa neraka. Karena sesungguhnya surga dan neraka itu berada di dalam
jiwa kalian. Berada di dalam jiwa setiap manusia yang bernafas. Jika jiwa manusia telah bersih
dari gangguan hawa nafsu dan dapat menyatu dengan Gusti Allah, maka di dunia ini ia akan
merasakan suatu kenikmatan surga. Jika budi kalian, misalnya menolong orang lemah, lalu hati
menjadi ikhlas dan puas, maka itulah yang disebut surga. Sedangkan neraka, perwujudannya
adalah jika hawa nafsu telah menguasai diri seseorang. Kemudian jiwanya meronta dan merasa
bersalah. Maka dia tentu tersiksa. Ia tidak bisa tidur, gelisah pikirannya, sedih dan bermacam-
macam rasa tak enak. Itulah yang dinamakan neraka.
M ; Jadi surga dan neraka di akherat tidak berlaku ? maksud kami tidak ada ?
S ; Surga dan neraka di hari kiamat, di akherat kelak, sudah diterangkan dalam Al Quran. Itu
perkara gaib dan erat kaitannya dengan iman. Kalian harus meyakininya.
M ; Untuk apa meyakini ? bukankah jika di dunia berbudi baik dan beriman kepada Allah sudah
merasakan surga. Sedangkan surga dan neraka di akhirat hanyalah bersifat menakut-nakuti
manusia agar tidak berbuat buruk ?
S ; Pendapatmu memang cerdas dan kritis. Namun kalian tidak usah mempertanyakan, apakah
kelak di akhirat ada surga dan neraka. Itu urusan Gusti Allah. Kalian harus meyakini. Karena
meyakini hari akhir merupakan rukun iman. Sekali lagi, untuk mendapatkan surga pun kalian tak
perlu menunggu datangnya hari akhir. Meskipun seseorang sembahyang seribu kali setiap hari,
toh akhirnya mati juga. Walaupun badanmu kau tutupi dengan kain surban dan jubah, namun
akhirnya menjadi debu juga. Maka jiwalah yang paling penting. Jika keadaan jiwa seperti Tuhan,
maka surga akan didapatkannya. Kenikmatan luar biasa akan dirasakan.
M ; Wahai Syeh, sesungguhnya yang menjadi pikiranku adalah sebelum ada dunia ini, apakah
sudah ada dunia lainnya. Atau setelah kiamat, apakah Tuhan membuat dunia baru lagi seperti
sekarang ?
S ; Sebelum dunia ada, apakah ada dunia lain, itu hanya Allah yang tahu. Tetapi sekarang kita
berada di dunia ini menempati ruang dan waktu. Dunia ini asalnya adalah baru. Kemudian
mengalami kerusakan dan kelak akhirnya menjadi hancur. Lenyap tak berharga. Setelah kiamat,
apakah Tuhan membuat dunia baru untuk keduakalinya ? Tidak !
M ; Wahai Syekh, kalau begitu dunia erat kaitannya dengan raga kita, sedangkan jiwa erat
kaitannya dengan alam akhirat ?
S ; Benar, dunia itu erat kaitannya dengan raga. Raga mempunyai sifat seperti alam semesta, yang
semula baru kemudian rusak. Sedangkan jiwa tidak akan mengenal kerusakan karena jiwa
merupakan penjelmaan Dzat Allah. Ketahuilah bahwa raga adalah barang pinjaman yang suatu
saat akan diminta oleh Pemiliknya. Ketahuilah wahai murid-muridku. Raga ini sesungguhnya
sangkar yang membelenggu dan menyulitkan jiwa. Agar jiwa menjadi bebas, maka suatu saat
kelak, kalian akan kuajarai bagaimana cara melepas jiwa dari raga. Ilmu melepas jiwa artinya
bahwa kematian adalah titik awal kehidupan yang sebenarnya. Jika seseorang raganya mati,
maka jiwanya menjadi merdeka, bebas dan tidak terkungkung lagi. Sebab raga berhubungan erat
dengan alam semesta. Sedangkan jiwa berhubungan erat dengan Dzat Tuhan. selamanya jiwa tak
akan bisa mati atau rusak.
M ; Apakah yang dimaksud jalan kehidupan, wahai Syekh ?
S ; Jalan kehidupan adalah jalan menuju kepada hidup yang sebenar-benarnya, setelah engkau
mengalami kematian. Jika seorang bayi lahir, maka bukanlah awal kehidupan, namun merupakan
awal “kehidupan palsu” seperti yang kalian rasakan saat ini. Inilah yang sesungguhnya kematian
sejati.
M ; Jika demikian badan ini tidak bisa merasakan kehidupan yang sebenar-benarnya ?
S ; Ya, tidak bisa. Kehidupan sejati tidak dapat dirasakan oleh raga, karena jika raga mati akan
tetapi dapat dirasakan oleh jiwa. Membusuk menjadi tanah.
M ; Bagaimana jika sekarang ini seseorang berbuat dosa. Apakah jiwanya ikut
bertanggungjawab. Sedangkan yang melakukan dosanya adalah raga.
S ; Tetap ikut bertanggungjawab, karena jiwa yang menyatu ke dalam raga tidak bisa mencegah
hawa nafsunya serta akal yang suka berbuat buruk.
M ; Maaf saya belum paham Syekh.
S ; Ketahuilah, setiap orang yang lahir di dunia ini maka jiwanya menyatu dengan akal. Selain akal
dalam diri manusia juga ada hawa nafsu. Ketika seseorang berbuat buruk, berarti raganya
didorong dan dipengaruhi oleh hawa nafsu dan akalnya. Akal dan nafsu memang suka berbuat
buruk. Apabila jiwa mencegah (melalui hati nurani), maka raga tidak akan berbuat buruk. Akan
tetapi jika jiwa membiarkannya, maka raga tetap melakukannya. Karena itu bagaimanapun juga
jiwalah yang akan mempertanggungjawabkan perbuatan baik dan buruk raganya.
M ; Tadi Syekh mengatakan jiwa adalah penjelmaan dzat Tuhan. Mengapa kadang-kadang jiwa
mau mencegah dan kadang membiarkannya ?
S ; Perlu kalian semua ingat, bahwa di dalam raga ini terdapat nafsu-nafsu. Jika nafsu kuat
menguasai, maka jiwa menjadi terbelenggu. Karena itulah mengapa aku katakan bahwa
kehidupan sekarang ini adalah kematian. Sedangkan setelah ajal merupakan awal kehidupan.
Sesudah kematian maka seseorang akan mencapai kebebasan jiwanya.
Ajaran Syekh Siti Jenar memang agak beda dengan ajaran para wali sanga. Siti Jenar mengajarkan
bahwa Tuhan adalah Zat yang mendasari adanya manusia, hewan, tumbuhan dan segala yang
ada. Keberadaan segala di dunia ini tergantung pada adanya Zat. Tanpa ada Zat Yang Mahakuasa,
maka mustahil sesuatu yang wujud itu ada. Ajaran ini tidak pernah disampaikan oleh para Wali
Sanga. Mereka menyadari bahwa umatnya masih terlalu awam terhadap Islam, sehingga
memberi materi yang ringan dan praktis saja.