21
1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.Latar Belakang Penyakit TB paru merupakan penyakit menular langsung yang disebabkan oleh bakteri Mycobacterium tuberculosis dan merupakan penyakit infeksi kronis menular yang menjadi masalah kesehatan dan perhatian dunia. Diperkirakan sepertiga penduduk dunia telah terinfeksi oleh bakteri ini. Ada beberapa hal yang menjadi penyebab semakin meningkatnya penyakit TB paru di dunia antara lain karena kemiskinan, maningkatnya penduduk dunia, perlindungan kesehatan yang tidak mencukupi, kurangnya biaya untuk berobat, serta adanya epidemi HIV terutama di Afrika dan Asia. Asia Tenggara menanggung bagian yang terberat dari beban TB paru global yakni sekitar 38% dari kasus TBC dunia. Jumlah penderita TB di Indonesia adalah sekitar 5,8 % dari total jumlah penderita TB dunia (Depkes, 2010) Bakteri Mycobacterium tuberculosis menyerang sebagian besar perempuan usia produktif (15-50). Penyebab kematian perempuan akibat TB paru lebih banyak dari pada akibat kehamilan, persalinan dan nifas (Depkes, 2007).

TB paru PH

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: TB paru PH

1

BAB 1

PENDAHULUAN

1.Latar Belakang

Penyakit TB paru merupakan penyakit menular langsung yang disebabkan

oleh bakteri Mycobacterium tuberculosis dan merupakan penyakit infeksi kronis

menular yang menjadi masalah kesehatan dan perhatian dunia. Diperkirakan

sepertiga penduduk dunia telah terinfeksi oleh bakteri ini. Ada beberapa hal yang

menjadi penyebab semakin meningkatnya penyakit TB paru di dunia antara lain

karena kemiskinan, maningkatnya penduduk dunia, perlindungan kesehatan yang

tidak mencukupi, kurangnya biaya untuk berobat, serta adanya epidemi HIV

terutama di Afrika dan Asia. Asia Tenggara menanggung bagian yang terberat

dari beban TB paru global yakni sekitar 38% dari kasus TBC dunia. Jumlah

penderita TB di Indonesia adalah sekitar 5,8 % dari total jumlah penderita TB

dunia (Depkes, 2010)

Bakteri Mycobacterium tuberculosis menyerang sebagian besar perempuan

usia produktif (15-50). Penyebab kematian perempuan akibat TB paru lebih

banyak dari pada akibat kehamilan, persalinan dan nifas (Depkes, 2007).

Laporan TB dunia oleh WHO tahun 2006, pernah menempatkan Indonesia

sebagai penyumbang terbesar nomor tiga di dunia setelah India dan Cina dengan

jumlah kasus baru sekitar 539.000 jiwa dengan jumlah 101.000 jiwa per tahun.

Sedangkan pada tahun 2009 Indonesia menduduki peringkat ke lima di dunia

setelah India, Cina, South Afrika dan Nigeria dengan jumlah prevalensi

285/100.000 penduduk (Sepertiga dari jumlah tersebut terdapat di sekitar

Puskesmas, pelayanan rumah sakit/klinik pemerintah dan swasta, praktik swasta

dan sisanya belum terjangkau unit pelayanan kesehatan (Depkes, 2010).

Di Sumatera Utara pada tahun 2008 ditemukan sebanyak 14.158 orang

penderita TB Paru dan 264 orang diantaranya meninggal dunia. Sebagian besar

penderita TB Paru tersebut berusia 17 – 54 tahun (kelompok usia produktif)

Page 2: TB paru PH

2

dengan persentase jumlah mencapai 70%. Seorang penderita dengan BTA positif

dapat menularkan kepada 10 – 15 orang setiap tahunnya. Kondisi ini

menyebabkan tingginya angka penderita TB Paru di Sumatera Utara. Sedangkan

prevalensi TB di kota medan pada tahun 2008 sebanyak 30.74%. (Depkes, 2010)

Untuk menanggulangi kasus TB Paru di Indonesia pada tanggal 24 Maret

1999 mencanangkan dimulainya Gerakan Terpadu Nasional Penanggulangan TB

(Gerdunas TB) sebagai wahana untuk pemberantasan TB Paru. Penanggulangan

TB Paru dilaksanakan dengan strategi Directly Observed Treatment Shortcourse

(DOTS) atau pengawasan langsung menelan obat, yang dilaksanakan di

puskesmas juga melibatkan rumah sakit. DOTS adalah strategi program

pemberantasan tuberkulosis paru yang direkomendasikan oleh WHO tahun 1995.

(Depkes, 2007).

Page 3: TB paru PH

3

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Tuberkulosis

2.1.1. Definisi

Tuberkulosis adalah penyakit yang disebabkan oleh infeksi

Mycobacterium tuberculosis complex. Suspek TB adalah seseorang dengan gejala

atau tanda TB. Gejala umum TB paru adalah batuk produktif lebih dari dua

minggu yang disertai gejala pernapasan (sesak napas, nyeri dada, hemoptisis) ada

atau tidak gejala tambahan (tidak nafsu makan, penurunan berat badan, keringat

malam dam mudah lelah. Kasus TB pasti adalah pasien TB dengan ditemukan

Mycobacterium tuberculosis complex yang diidentifikasikan dari spesimen klinik

dan kultur.(Isbaniyah, 2011)

2..1.2 Cara Penularan dan Resiko Penularan TB Paru

Sumber penularan adalah penderita TB BTA positif. Pada waktu batuk

atau bersin, penderita menyebarkan kuman ke udara dalam bentuk percikan dahak

(droplet nuclei). Sekali batuk dapat menghasilkan sekitar 3000 percikan dahak.

Umumnya penularan terjadi dalam ruangan dimana percikan dahak berada dalam

waktu yang lama. Ventilasi dapat mengurangi jumlah percikan, sementara sinar

matahari langsung dapat membunuh kuman. Percikan dapat bertahan selama

beberapa jam dalam keadaan yang gelap dan lembab.Daya penularan seorang

penderita ditentukan oleh banyaknya kuman yang dikeluarkan dari parunya.

Makin tinggi derajat kepositifan hasil pemeriksaan dahak, makin menular

penderita tersebut. Faktor yang kemungkinkan seseorang terpajan kuman TB

ditentukan oleh konsentrasi percikan dalam udara dan lamanya menghirup udara

tersebut.

Risiko tertular tergantung dari tingkat pajanan dengan percikan dahak.

Penderita TB paru dengan BTA positif memberikan kemungkinan risiko

penularan lebih besar dari penderita TB paru dengan BTA negatif. Risiko

penularan setiap tahunnya di tunjukkan dengan Annual Risk of Tuberculosis

Infection (ARTI) yaitu proporsi penduduk yang berisiko terinfeksi TB selama satu

tahun. ARTI sebesar 1%, berarti 10 (sepuluh) orang diantara 1000 penduduk

Page 4: TB paru PH

4

terinfeksi setiap tahun. ARTI di Indonesia bervariasi antara 1-3%. Infeksi TB

dibuktikan dengan perubahan reaksi tuberkulin negative menjadi positif (Depkes,

2007).

2.1.3. Diagnosis

A. Gejala Klinis

1. Gejala respiratori:

a) Batuk ≥ 2 minggu

b) Batuk darah

c) Sesak napas

d) Nyeri dada

Gejala respiratori ini sangat bervariasi, dari mulai tidak ada gejala

sampai gejala yang cukup berat tergantung dari luas lesi. Kadang

pasien terdiagnosis pada saat medical check-up. Bila bronkus belum

terlibat dalam proses penyakit, maka pasien mungkin tidak ada gejala

batuk. Batuk yang pertama terjadi karena iritasi bronkus dan

selanjutnya batuk diperlukan untuk membuang dahak ke luar.

(Isbaniyah, 2011)

2. Gejala sistemik:

a) Demam

b) Gejala sistemik lain adalah malaise, keringat malam, anoreksia,

dan berat badan menurun.

c) Gejala TB ekstraparu

Gejala TB ekstraparu tergantung dari organ yang terlibat , misalnya

pada limfadenitis TB akan terjadi pembesaran yang lambat dan

tidak nyeri dari kelenjar getah bening. Pada meningitis TB akan

terlihat gejala meningitis. Pada pleuritis TB terdapat gejala sesak

napas dan kadang nyeri dada pada sisi yang rongga pleuranya

terdapat cairan. (Isbaniyah, 2011)

B. Pemeriksaan Fisis

Page 5: TB paru PH

5

Pada pemeriksaan fisis kelainan yang akan dijumpai tergantung dari organ

yang terlibat. Pada TB paru, kelainan yang didapat tergantung luas kelainan

struktur paru. Pada permulaan (awal) perkembangan penyakit umumnya tidak

(atau sulit sekali) menemukan kelainan. Kelainan paru pada umumnya terletak di

lobus superior terutama daerah apeks dan segmen posterior (S1 dan S2), serta

daerah apeks lobus inferior (S6). Pada pemeriksaan fisis dapat ditemukan antara

lain suara napas bronchial, amforik, suara nafas melemah, ronki basah, tanda-

tanda penarikan paru, diafragma dan mediastinum. (Isbaniyah, 2011)

Pada pleuritis TB, kelainan pemeriksaan fisis tergantung dari banyaknya

cairan di rongga pleura. Pada perkusi ditemukan redup atau pekak, pada auskultasi

suara napas yang melemah sampai tidak terdengar pada sisi yang terdapat cairan.

(Isbaniyah, 2011)

Pada limfadenitis TB, terlihat pembesaran kelenjar getah bening, tersering

di daerah leher, kadang di daerah ketiak. Pembesaran kelenjar tersebut dapat

menjadi cold abscess. (Isbaniyah, 2011)

C. Pemeriksaan Bakteriologi

1. Bahan pemeriksaan

Pemeriksaan bakteriologi untuk menemukan kuman TB mempunyai arti yang

sangat penting dalam menegakkan diagnosis. Bahan untuk pemeriksaan

bakteriologi ini dapat berasal dari dahak, cairan pleura, liquor cerebrospinal,

bilasan bronkus, bilasan lambung, kurasan bronkoalveolar (broncoalveolar

lavage/BAL), urin, feses, dan jaringan biopsi (termasuk biopsi jarum

halus/BJH). (Isbaniyah, 2011)

2. Cara pengumpulan dan pengiriman bahan

Cara pengambilan dahak 2 kali dengan minimal satu kali dahak pagi hari.

Bahan pemeriksaan hasil Biopsy Jarum Hasil (BJH), dapat dibuat sediaan

apus kering di gelas objek, atau untuk kepentingan kultur dan uji kepekaan

dapat ditambahkan NaCl 0.9% 3-5 ml sebelum dikirim ke laboratorium

mikrobiologi dan patologi anatomi. (Isbaniyah, 2011)

3. Cara pemeriksaan dahak dan bahan lain

Page 6: TB paru PH

6

Pemeriksaan bakteriologi dari specimen dahak dan bahan lain (cairan pleura,

liquor serebrospinal, bilasan bronkus, bilasan lambung, BAL, urin, feses, dan

jaringan biopsi, termasuk BJH) dapat dilakukan dengan cara: mikroskopis dan

biakan. (Isbaniyah, 2011)

Pemeriksaan mikroskopis:

Mikroskopis biasa : pewarnaan Ziehl-Nielsen

Microssopis fluoresens : pewarnaan auramin-rhodamin

Menurut rekomendasi WHO, interpretasi pemeriksaan mikroskopis dibaca

dengan skala International Union Against Tuberculosis and Lung Disease

(IUATLD).

1. Skala IUATLD:

1) Tidak ditemukan BTA dalam 100 lapang pandang disebut negatif.

2) Ditemukan 1-9 BTA dalam 100 lapang pandang, ditulis jumlah

kuman yang ditemukan.

3) Ditemukan 10-99 BTA dalam 100 lapang pandang, disebut ++

(2+).

4) Ditemukan >10 BTA dalam 1 lapang pandang, disebut +++ (3+).

D. Pemeriksaan Radiologi

Gambaran radiologi yang dicurigai sebagai lesi TB aktif adalah:

1. Bayangan berawan/nodular di segmen apikal dan posterior lobus atas

paru dan segmen superior lobus bawah.

2. Kavitas, terutama lebih dari satu, dikelilingi oleh bayangan opak

berawan dan nodular.

3. Bayangan bercak milier.

4. Efusi pleura unilateral (umumnya) atau bilateral (jarang).

Gambaran radiologi yang dicurigai lesi TB inaktif

1. Fibrotik

2. Kalsifikasi

3. Schwarte atau penebalan pleura. (Isbaniyah, 2011)

2.1.4. Penatalaksanaan

Page 7: TB paru PH

7

Dahulu TBC sukar sekali disembuhkan karena belum dikenal obat yang

dapat memusnahkan Mycobacterium. Basil ini lambat sekali pertumbuhannya dan

sangat ulet, karena dinding selnya mengandung kompleks lipida-glikolipida serta

lilin (wax) yang sulit ditembus zat kimia. Mycobacterium tidak mengeluarkan

enzim ekstra seluler maupun toksin. Penyakit bisa berkembang karena kuman

mampu untuk memperbanyak diri di dalam sel-sel fagosit dan tahan terhadap

enzim-enzim pencernaan. (Rahardja, 2008)

Terapi kuno hanya terbatas pada penanggulangan gejala penyakit.

Pengobatan dibantu pula dengan istirahat lengkap dan diet sehat. Dianjurkan

mengkonsumsi banyak lemak dan vitamin A untuk membentuk jaringan lemak

baru yang dapat menyelubungi kuman dan meningkatkan daya tahan tubuh.

(Rahardja, 2008)

Terapi modern dilakukan dengan tuberkulostatikan dan pasien pada

umumnya dapat dirawat jalan. Sebagian penderita malahan dapat bekerja

sebagaimana biasanya. Lazimnya setelah 4-6 minggu tidak ada bahaya infeksi

lagi, walaupun sering di dalam sputumnya masih terdapat basil TBC. (Rahardja,

2008; Istiantoro, 2008)

Pengobatan TBC paru terdiri dari 2 fase, yaitu fase terapi intensif dan fase

pemeliharaan. Fase intensif merupakan terapi dengan isoniazid yang

dikombinasikan dengan rifampisin dan pirazinamida selama 2 bulan. Untuk

prevensi resistensi ditambahkan lagi etambutol.(Katzung, 2004)

Fase pemeliharaan menggunakan isoniazid bersama rifampisin selama 4

bulan lagi, sehingga seluruh masa pengobatan mencakup 6 bulan. Obat yang

dipakai:

1. Jenis obat utama (lini 1) yang digunakan adalah:

a. Rifampisin

b. INH

c. Pirazinamid

d. Streptomisin

Page 8: TB paru PH

8

e. Etambutol

2. Jenis obat tambahan lainnya (lini 2):

a. Kanamisin

b. Amikasin

c. Kuinolon

d. Obat lain masih dalam penelitian; makrolid, amoksilin + asam klavulanat

Beberapa obat berikut ini belum tersedia di Indonesia antara lain:

1) Kapreomisin

2) Sikloserino PAS (dulu tersedia)

3) Derivat rifampisin dan INH

4) Thioamides (ethionamidedanprothionamide)

2.1.5. Panduan Pengobatan

Rejimen pengobatan TB di program pengendalian TB nasional telah

menggunakan paket Fixed Dose Combination (FDC), meskipun demikian, bentuk

paket CombiPak masih tetap disediakan bagi pasien dengan efek samping obat.

Ketersediaan semua jenis obat TB lini pertama merupakan bagian dari lima

strategi utama DOTS, dan seharusnya dijamin oleh pemerintah dalam jumlah

Page 9: TB paru PH

9

yang memadai untuk memenuhi kebutuhan di Indonesia dengan persediaan untuk

buffer stock. (Kemenkes RI. 2011)

Efek samping Penyebab Tatalaksana

Tidak nafsu makan, mual,

sakit perutRifampisin

Obat diminum malam

sebelum tidur

MINOR OAT DITERUSKAN

Nyeri sendi Pirazinamid Beri aspirin/ allopurinol

Kesemuran s/d rasa

terbakar di kakiINH

Beri vitamin B6

(piridoksin) 1 x 100 mg

perhari

Warna kemerahan pada air

seniRifampisin

Beri penjelasan, tidak

perlu diberi apa-apa

MAYOR HENTIKAN OBAT

Gatal dan kemerahan pada

kulitSemua jenis

Beri antihistamin dan

dievaluasi

Tuli Streptomisin Streptomisin dihentikan

Gangguan keseimbangan

(vertigo & nistagmus)Streptomisin Streptomisin dihentikan

Ikterik / hepatitis imbas

obat (penyebab lain

disingkirkan)

Sebagian besar OAT

Hentikan semua OAT

sampai ikterik menghilang

dan boleh diberikan

hepatoprotektor

Muntah dan confusion Sebagian besar OATHentikan semua OAT dan

lakukan uji fungsi hati

Gangguan penglihatan Etambutol Hentikan etambutol

Kelainan sistemik,

termasuk syok dan purpuraRifampisin Hentikan rifampisin

2.1.6. Kategori Resistensi

Terdapat empat jenis kategori resistensi terhadap obat TB :

Page 10: TB paru PH

10

1. Mono-resistance: kekebalan terhadap salah satu OAT

2. Poly-resistance: kekebalan terhadap lebih dari satu OAT, selain kombinasi

isoniazid dan rifampisin.

3. Multidrug-resistance (MDR) : kekebalan terhadap sekurang-kurangnya

isoniazid dan rifampicin.

4. Extensive drug-resistance (XDR) : TB-MDR ditambah kekebalan terhadap

salah salah satu obat golongan fluorokuinolon, dan sedikitnya salah satu

dari OAT injeksi lini kedua (kapreomisin, kanamisin, dan amikasin).

(Soepandi, 2010)

2.1.7. Hasil Pengobatan Pasien TB BTA positif

Hasil pengobatan seorang penderita dapat dikategorikan: sembuh,

pengobatan lengkap, meninggal, pindah (Transfer Out), default (lalai)/ Drop Out

dan gagal. Sembuh yaitu penderita telah menyelesaikan pengobatannya secara

lengkap dan pemeriksaan ulang dahak (follow-up) hasilnya negatif pada akhir

pengobatan dan pada satu pemeriksaan follow-up sebelumnya. Pengobatan

Lengkap adalah penderita yang telah menyelesaikan pengobatannya secara

lengkap tetapi tidak memenuhi persyaratan sembuh atau gagal. Meninggal adalah

penderita yang meninggal dalam masa pengobatan karena sebab apapun. Pindah

adalah penderita yang pindah berobat ke unit dengan register TB 03 yang lain dan

hasil pengobatannya tidak diketahui. Default (Putus berobat) adalah penderita

yang tidak berobat 2 bulan berturut-turut atau lebih sebelum masa pengobatannya

selesai. Gagal adalah penderita yang hasil pemeriksaan dahaknya tetap positif atau

kembali menjadi positif pada bulan kelima atau lebih selama pengobatan.

2.1.8. Komplikasi

Pada pasien TB dapat terjadi beberapa komplikasi, baik sebelum

pengobatan atau dalam masa pengobatan maupun setelah selesai pengobatan.

Beberapa komplikasi yang mungkin timbul adalah :

1. Batuk darah

2. Pneumotoraks

Page 11: TB paru PH

11

3. Gagal napas

4. Gagal jantung

Pada keadaan komplikasi harus dirujuk ke fasilitas yang memadai. (Isbaniyah,

2011)

2.1.9. Pencegahaan

Upaya pencegahan dan pemberantasan TB Paru dilakukan dengan

pendekatan DOTS ( Directly Observed Treatment Shortcource Chemotherapy)

atau pengobatan TB Paru dengan pengwasan langsung oleh Pengawas Menelan

Obat (PMO). Kegiatan ini meliputi upaya penemuan penderita dengan

pemeriksaan dahak disarana pelayanan kesehatan yang ditindaklanjuti dengan

paket pengobatan.

Fokus utama DOTS (Directly Observed Treatment Shortcourse) adalah

penemuan dan penyembuhan penderita, prioritas diberikan kepada penderita TB

tipe menular. Strategi ini akan memutuskan penularan TB dan dengan demikian

menurunkan insidens TB di masyarakat. Menemukan dan menyembuhkan

penderita merupakan cara terbaik dalam upaya pencegahan penularan TB. WHO

telah merekomendasikan strategi DOTS sebagai strategi dalam penanggulangan

TB sejak tahun 1995. Bank Dunia menyatakan strategi DOTS sebagai salah satu

intervensi kesehatan yang paling efektif. Integrasi ke dalam pelayanan kesehatan

dasar sangat dianjurkan demi efisiensi dan efektifitasnya (Depkes, 2007).

Strategi DOTS terdiri dari 5 komponen yaitu:

a. Komitmen politik dari para pengambil keputusan termasuk dukungan dana.

b. Penemuan penderita dengan pemeriksaan dahak secara mikroskopis.

c. Pengobatan dengan paduan Obat Anti Tuberkulosis (OAT) jangka pendek

dengan pengawasan langsung oleh Pengawas Menelan Obat (PMO).

d. Jaminan tersedianya OAT jangka pendek secara teratur, menyeluruh dan

tepat waktu dengan mutu terjamin.

e. Sistem pencatatan dan pelaporan yang mampu memberikan penilaian

terhadap hasil pengobatan penderita dan kinerja program secara

keseluruhan.

Page 12: TB paru PH

12

Tujuan DOTS:

1. Mencapai angka kesembuhan yang tinggi

2. Mencegah putus berobat

3. Mengatasi efek samping obat jika timbul

4. Mencegah resistensi

Salah satu komponen DOTS adalah pengobatan paduan OAT jangka pendek

dengan pengawasan langsung oleh PMO. Untuk menjamin kesembuhan dan

keteraturan pengobatan diperlukan seorang PMO.

Persyaratan untuk menjadi PMO yaitu seseorang yang dikenal, dipercaya

dan disetujui, baik oleh petugas kesehatan maupun penderita, selain itu harus

disegani dan dihormati oleh penderita, seseorang yang tinggal dekat dengan

penderita, bersedia membantu penderita dengan sukarela dan bersedia dilatih atau

mendapat penyuluhan bersama-sama dengan penderita.

Seorang PMO mempunyai tugas untuk mengawasi penderita TB agar

menelan obat secara teratur sampai selesai pengobatan, memberi dorongan kepada

penderita agar mau berobat teratur, mengingatkan penderita untuk periksa ulang

dahak pada waktu yang telah ditentukan, memberi penyuluhan pada anggota

keluarga penderita TB yang mempunyai gejala-gejala mencurigakan TB untuk

segera memeriksakan diri ke Unit Pelayanan Kesehatan, dan tugas seorang PMO

bukanlah untuk mengganti kewajiban penderita mengambil obat dari unit

pelayanan kesehatan. (Depkes, 2010)

Secara umum, hal yang dapat dilakukan untuk mencegah penularanTB ialah:

Tinggal di rumah. Jangan pergi kerja atau sekolah atau tidur di kamar

dengan orang lain selama beberapa minggu pertama pengobatan untuk tbc

aktif.

Ventilasi ruangan. Kuman TBC menyebar lebih mudah dalam ruang

tertutup kecil di mana udara tidak bergerak. Jika ventilasi ruangan masih

Page 13: TB paru PH

13

kurang, membuka jendela dan menggunakan kipas untuk meniup udara

dalam ruangan luar.

Tutup mulut menggunakan masker. Gunakan masker untuk menutup

mulut kapan saja ketika di diagnosis tb merupakan langkah pencegahan

TBC secara efektif. Jangan lupa untuk membuangnya secara tepat

Meludah hendaknya pada tempat tertentu yang sudah diberi desinfektan

(air sabun)

Imunisasi BCG diberikan pada bayi berumur 3-14 bulan

Mengusahakan sinar matahari dan udara segar masuk secukupnya ke

dalam tempat tidur

Menjemur kasur, bantal,dan tempat tidur terutama pagi hari

Semua barang yang digunakan penderita harus terpisah begitu juga

mencucinya dan tidak boleh digunakan oleh orang lain

Makanan harus tinggi karbohidrat dan tinggi protein

Page 14: TB paru PH

14

DAFTAR PUSTAKA

Depkes. (2007). Pedoman Nasional Penanggulangan Tuberkulosis. Jakarta.

Depkes. (2009). Profil Kesehatan Indonesia 2008. Jakarta.

Depkes. (2010). Pengendalian TB di Indonesia mendekati target Millenium

Development Goals (MDGs).

Isbaniyah F et al, eds. Tuberkulosis: Diagnosis & Penatalaksanaan di Indonesia.

Jakarta: Perhimpunan Dokter Paru Indonesia, 2011.

Istiantoro, Y. H. 2008. Tuberkulostatik dan Leprostatik. In: Gunawan, S. G., ed.

Farmakologi dan Terapi. Jakarta: FKUI, 613-637

Katzung, BG. 2004. Obat Antituberkulosis. Dalam: Farmakologi Dasar dan

Klinik Buku 3. Jakarta: Salemba Medika.

Kemenkes RI. 2011. Strategi Nasional Pengendalian TB Di Indonesia 2010-2014

(Perhimpunan Dokter Paru Indonesia, 2006. Tuberkulosis: Pedoman Diagnosis &

Penatalaksanaan di Indonesia. Avaiable from ;

http://www.klikpdpi.com/konsensus/tb/tb.html

Rahardja, K. 2008. Tuberkulostatika. Obat-Obat Penting. Jakarta: Elex Media

Komputindo, 154-163.

Soepandi, P. Z. 2010. Diagnosis dan Faktor yang MempengaruhiTerjadinya TB-

MDR. Departemen Pulmonologi & Ilmu kedokteran Respirasi FKUI-RS

Persahabatan, Jakarta.