27
PENGUJIAN EFEK ANTIINFLAMASI I. Tujuan I.1 Untuk mampu memahami azas dasar percobaan aktivitas antiinflamasi dan memperoleh petunjuk- petunjuk yang praktis. I.2 Untuk dapat menunjukkan beberapa kemungkinan dan batasan yang merupakan sifat teknik percobaan. II. Prinsip Berdasarkan penyuntikan secara subkutan karagenan pada telapak kaki belakang tikus yang menyebabkan udem yang dapat diinhibisi oleh obat antiinflamasi yang diberikan sebelumnya. III. Teori Dasar Inflamasi merupakan suatu respon protektif normal terahdap luka jaringan yang disebabkan oleh trauma fisik, zat kimia yang merusak, atau zat-zat mikrobiologik. Inflamasi adalah usaha tubuh untuk menginaktivasi atau merusak organisme yang menyerang, menghilangkan zat iritan, dan mengatur zat perbaikan jaringan. Inflamasi juga merupakan proses yang vital untuk semua organisme dan berperan baik dalam mempertahankan kesehatan maupun dalam terjadinya

teodas antiinflamasi 1

Embed Size (px)

DESCRIPTION

praktikum farmakologi

Citation preview

PENGUJIAN EFEK ANTIINFLAMASI

I. Tujuan1.1 Untuk mampu memahami azas dasar percobaan aktivitas antiinflamasi dan memperoleh petunjuk-petunjuk yang praktis.1.2 Untuk dapat menunjukkan beberapa kemungkinan dan batasan yang merupakan sifat teknik percobaan.

II. PrinsipBerdasarkan penyuntikan secara subkutan karagenan pada telapak kaki belakang tikus yang menyebabkan udem yang dapat diinhibisi oleh obat antiinflamasi yang diberikan sebelumnya.

III. Teori DasarInflamasi merupakan suatu respon protektif normal terahdap luka jaringan yang disebabkan oleh trauma fisik, zat kimia yang merusak, atau zat-zat mikrobiologik. Inflamasi adalah usaha tubuh untuk menginaktivasi atau merusak organisme yang menyerang, menghilangkan zat iritan, dan mengatur zat perbaikan jaringan. Inflamasi juga merupakan proses yang vital untuk semua organisme dan berperan baik dalam mempertahankan kesehatan maupun dalam terjadinya berbagai penyakit yang dicetuskan oleh pelepasan mediator kimiawi dari jaringan yang rusak dan migrasi sel. Mediator kimiawi spesifik bervariasi dengan tipe proses peradangan dan meliputi amin, seperti histamin dan 5-hidroksitriptamin; lipid, seperti prostaglandin; peptida kecil, seperti bradikinin; dan peptida besar, seperti interleukin. Penemuan variasi yang luas diantara mediator kimiawi telah menerangkan paradoks yang tampak bahwa obat-obat anti inflamasi dapat mempengaruhi kerja mediator utama yang penting pada satu tipe inflamasi tetapi tanpa efek pada proses inflamasi yang tidak melibatkan mediator target obat (Mycek, M.J., dkk., 2001).

Fenomena inflamasi meliputi kerusakan mikrovaskular, meningkatnya permeabilitas kapiler dan migrasi leukosit ke jaringan radang. Radang dapat dibagi dua yaitu : a. Radang akutb. Radang kronikRadang akut adalah respon yang cepat dan segera terhadap cedera yang didesain untuk mengirimkan leukosit ke daerah cedera. Leukosit membersihkan berbagai mikroba yang menginvasi dan memulai proses pembongkaran jaringan nekrotik. Terdapat dua komponen utama dalam proses radang akut, yaitu perubahan penampang dan struktural dari pembuluh darah serta emigrasi dari leukosit. Perubahan penampang pembuluh darah akan mengakibatkan meningkatnya aliran darah dan terjadinya perubahan struktural pada pembuluh darah mikro akan memungkinkan protein plasma dan leukosit meninggalkan sirkulasi darah. Leukosit yang berasal dari mikrosirkulasi akan melakukan emigrasi dan selanjutnya berakumulasi di lokasi cedera.Segera setelah jejas, terjadi dilatasi arteriol lokal yang mungkin didahului oleh vasokonstriksi singkat. Sfingter prakapiler membuka dengan akibat aliran darah dalam kapiler yang telah berfungsi meningkat dan juga dibukanya anyaman kapiler yang sebelumnya inaktif. Akibatnya anyaman venular pasca kapiler melebar dan diisi darah yang mengalir deras. Dengan demikian, mikrovaskular pada lokasi jejas melebar dan berisi darah terbendung. Kecuali pada jejas yang sangat ringan, bertambahnya aliran darah (hiperemia) pada tahap awal akan disusul oleh perlambatan aliran darah, perubahan tekanan intravaskular dan perubahan pada orientasi unsur-unsur berbentuk darah terhadap dinding pembuluhnya. Perubahan pembuluh darah dilihat dari segi waktu, sedikit banyak tergantung dari parahnya jejas. Dilatasi arteriol timbul dalam beberapa menit setelah jejas. Perlambatan dan bendungan tampak setelah 10-30 menit.Peningkatan permeabilitas vaskuler disertai keluarnya protein plasma dan sel-sel darah putih ke dalam jaringan disebut eksudasi dan merupakan gambaran utama reaksi radang akut. Vaskulatur-mikro pada dasarnya terdiri dari saluran-saluran yang berkesinambungan berlapis endotel yang bercabang-cabang dan mengadakan anastomosis. Sel endotel dilapisi oleh selaput basalis yang berkesinambungan.Pada ujung arteriol kapiler, tekanan hidrostatik yang tinggi mendesak cairan keluar ke dalam ruang jaringan interstisial dengan cara ultrafiltrasi. Hal ini berakibat meningkatnya konsentrasi protein plasma dan menyebabkan tekanan osmotik koloid bertambah besar, dengan menarik kembali cairan pada pangkal kapiler venula. Pertukaran normal tersebut akan menyisakan sedikit cairan dalam jaringan interstisial yang mengalir dari ruang jaringan melalui saluran limfatik. Umumnya, dinding kapiler dapat dilalui air, garam, dan larutan sampai berat jenis 10.000 dalton.Eksudat adalah cairan radang ekstravaskuler dengan berat jenis tinggi (di atas 1.020) dan seringkali mengandung protein 2-4 mg% serta sel-sel darah putih yang melakukan emigrasi. Cairan ini tertimbun sebagai akibat peningkatan permeabilitas vaskuler (yang memungkinkan protein plasma dengan molekul besar dapat terlepas), bertambahnya tekanan hidrostatik intravaskular sebagai akibat aliran darah lokal yang meningkat pula dan serentetan peristiwa rumit leukosit yang menyebabkan emigrasinya.Penimbunan sel-sel darah putih, terutama neutrofil dan monosit pada lokasi jejas, merupakan aspek terpenting reaksi radang. Sel-sel darah putih mampu memfagosit bahan yang bersifat asing, termasuk bakteri dan debris sel-sel nekrosis, dan enzim lisosom yang terdapat di dalamnya membantu pertahanan tubuh dengan beberapa cara. Beberapa produk sel darah putih merupakan penggerak reaksi radang, dan pada hal-hal tertentu menimbulkan kerusakan jaringan yang berarti.Dalam fokus radang, awal bendungan sirkulasi mikro akan menyebabkan sel-sel darah merah menggumpal dan membentuk agregat-agregat yang lebih besar daripada leukosit sendiri. Menurut hukum fisika aliran, massa sel darah merah akan terdapat di bagian tengah dalam aliran aksial, dan sel-sel darah putih pindah ke bagian tepi (marginasi). Mula-mula sel darah putih bergerak dan menggulung pelan-pelan sepanjang permukaan endotel pada aliran yang tersendat tetapi kemudian sel-sel tersebut akan melekat dan melapisi permukaan endotel.Emigrasi adalah proses perpindahan sel darah putih yang bergerak keluar dari pembuluh darah. Tempat utama emigrasi leukosit adalah pertemuan antar-sel endotel. Walaupun pelebaran pertemuan antar-sel memudahkan emigrasi leukosit, tetapi leukosit mampu menyusup sendiri melalui pertemuan antar-sel endotel yang tampak tertutup tanpa perubahan nyata.Setelah meninggalkan pembuluh darah, leukosit bergerak menuju ke arah utama lokasi jejas. Migrasi sel darah putih yang terarah ini disebabkan oleh pengaruh-pengaruh kimia yang dapat berdifusi disebut kemotaksis. Hampir semua jenis sel darah putih dipengaruhi oleh faktor-faktor kemotaksis dalam derajat yang berbeda-beda. Neutrofil dan monosit paling reaktif terhadap rangsang kemotaksis. Sebaliknya limfosit bereaksi lemah. Beberapa faktor kemotaksis dapat mempengaruhi neutrofil maupun monosit, yang lainnya bekerja secara selektif terhadap beberapa jenis sel darah putih. Faktor-faktor kemotaksis dapat endogen berasal dari protein plasma atau eksogen, misalnya produk bakteri (Anonim, 2009).Setelah leukosit sampai di lokasi radang, terjadilah proses fagositosis. Meskipun sel-sel fagosit dapat melekat pada partikel dan bakteri tanpa didahului oleh suatu proses pengenalan yang khas, tetapi fagositosis akan sangat ditunjang apabila mikroorganisme diliputi oleh opsonin, yang terdapat dalam serum (misalnya IgG, C3). Setelah bakteri yang mengalami opsonisasi melekat pada permukaan, selanjutnya sel fagosit sebagian besar akan meliputi partikel, berdampak pada pembentukan kantung yang dalam. Partikel ini terletak pada vesikel sitoplasma yang masih terikat pada selaput sel, disebut fagosom. Meskipun pada waktu pembentukan fagosom, sebelum menutup lengkap, granula-granula sitoplasma neutrofil menyatu dengan fagosom dan melepaskan isinya ke dalamnya, suatu proses yang disebut degranulasi. Sebagian besar mikroorganisme yang telah mengalami pelahapan mudah dihancurkan oleh fagosit yang berakibat pada kematian mikroorganisme. Walaupun beberapa organisme yang virulen dapat menghancurkan leukosit (Mutschler, E., 1991).Radang kronis dapat diartikan sebagai inflamasi yang berdurasi panjang (berminggu-minggu hingga bertahun-tahun) dan terjadi proses secara simultan dari inflamasi aktif, cedera jaringan, dan penyembuhan. Perbedaannya dengan radang akut, radang akut ditandai dengan perubahan vaskuler, edema, dan infiltrasi neutrofil dalam jumlah besar. Sedangkan radang kronik ditandai oleh infiltrasi sel mononuklir (seperti makrofag, limfosit, dan sel plasma), destruksi jaringan, dan perbaikan (meliputi proliferasi pembuluh darah baru/angiogenesis dan fibrosis).Radang kronik dapat timbul melalui satu atau dua jalan. Dapat timbul menyusul radang akut, atau responnya sejak awal bersifat kronik. Perubahan radang akut menjadi radang kronik berlangsung bila respon radang akut tidak dapat reda, disebabkan agen penyebab jejas yang menetap atau terdapat gangguan pada proses penyembuhan normal. Ada kalanya radang kronik sejak awal merupakan proses primer. Sering penyebab jejas memiliki toksisitas rendah dibandingkan dengan penyebab yang menimbulkan radang akut. Terdapat 3 kelompok besar yang menjadi penyebabnya, yaitu infeksi persisten oleh mikroorganisme intrasel tertentu (seperti basil tuberkel, Treponema palidum, dan jamur-jamur tertentu), kontak lama dengan bahan yang tidak dapat hancur (misalnya silika), penyakit autoimun. Bila suatu radang berlangsung lebih lama dari 4 atau 6 minggu disebut kronik. Tetapi karena banyak kebergantungan respon efektif tuan rumah dan sifat alami jejas, maka batasan waktu tidak banyak artinya. Pembedaan antara radang akut dan kronik sebaiknya berdasarkan pola morfologi reaksi.Karagenan merupakan suatu mukopolisakarida yang diperoleh dari rumput laut merah Irlandia (Chondrus crispus). Karagenan juga merupakan suatu zat asing (antigen) yang bila masuk ke dalam tubuh akan merangsang pelepasan mediator radang seperti histamin sehingga menimbulkan radang akibat antibodi tubuh bereaksi terhadap antigen tersebut untuk melawan pengaruhnya. Karagenan terbagi atas tiga fraksi, yaitu kapaa karagenan, iota karagenan, dan lambda karagenan. Karegenan diberi nama berdasarkan persentase kandungan ester sulfatnya, yaitu kappa karagenan mengandung 25-30%, iota karagenan 28-35%, dan lambda karagenan 32-39%. Larut dalam air panas (700C), air dingin, susu dan dalam larutan gula sehingga sering digunakan sebagai pengental/penstabil pada berbagai makanan/minuman (Lumbanraja, L.B., 2009).a. Kappa karagenanKappa karegenan berasal dari spesies Euchema cottonii, Euchema striatum, Euchema speciosum. Bahan ini larut dalam air panas. Kappa karagenan mengekstraksi D-galaktosa yang mengandung 6 ester sulfat dan 3,6-anhidro-D-galaktosa yang mengandung 2 ester sulfat.

b. Iota karagenanIota karagenan berasal dari spesies Euchema spinosuum, Euchema isiforme, dan Euchema uncinatum. Bahan ini larut dalam air dingin. Iota karagenan mengekstraski D-galakatosa yang mengandung 4 ester sulfat dan 3,6-anhidro-D-galaktosa yang mengandung 2 ester sulfat.

c. Lambda karagenanLambda karagenan berasal dari genus Chondrus dan Gigartina. Lambda karagenan larut dalam air dingin. Berbeda dengan kappa karagenan dan iota karagenan, lambda karagenan memiliki disulfat-D-galaktosa (Lumbanraja, L.B., 2009).

Gambaran makroskopik peradangan akut, tanda-tanda pokok peradangan mencakup kemerahan (rubor), panas (kalor), nyeri (dolor), bengkak (tumor), dan gangguan fungsi (fungsio laesa).a. Rubor (kemerahan)Biasanya merupakan hal pertama yang terlihat di daerah yang mengalami peradangan. Sering dengan munculnya reaksi peradangan, arterior yang memasok darah tersebut berdilatasi sehingga memungkinkan lebih banyak darah mengalir kedalam mikrosirkulasi darah lokal.b. Kolor (panas)Kolor atau panas terjadi bersamaan dengan kemerahan pad reaki peradangan akut. Daerah peradangan dikulit menjadi lebih hangat dibanding dengan sekelilingnya karena lebih banyak darah (pada suhu 370C) dialirkan dari dalam tubuh kepermukaan daerah yang terkena dibandingkan dengan daerah yang normal.

c. Dolor (nyeri)Pada suatu nyeri peradangan tampaknya ditimbulkan dalam berbagai cara. Perubahan pH lokal atau konsentrasi lokal ion-ion tertentu dapat merangsang ujung-ujung saraf. Hal yang sama, pelepasan zat-zat kimia bioaktif lain dapat merangsang saraf. Selain itu, pembengkakan jaringan yang meradang menyebabkan peningkatan tekanan lokal yang tidak diragukan lagi dapat menimbulkan nyeri.d. Tumor (pembengkakan)Pembengkakan lokal yang dihasilkan oleh cairan dan sel-sel yang berpindah dari aliran darah kejaringan intestisial. Campuran cairan dan sel-sel ini yang tertimbun didaerah peradangan disebit eksudat.e. Fungsio laesa (perubahan fungsi)Perubahn fungsi merupaka bagian yang lazim pada reaksi peradangan. Sepintas mudah dimengerti, bagian yang bengkak, nyeri disertai sirkulasi abnormal dan lingkungan kimiawi lokal yang abnormal, seharusnya berfugsi secara abnormal.

Penyebab-penyebab peradangan meliputi agen-agen fisik, kimia, reaksi imunologik, dan infeksi oleh organism-organisme patogenik. Infeksi tidak sama dengan peradangan dan infeksi hanya merupakan salah satu penyebab peradangan. (Price dan Wilson, 2005).

Kerusakan atau perubahan yang terjadi pada sel dan jaringan akibat adanya noksi akan membebaskan berbagai mediator dan substansi radang. Pengurangan peradangan dengan obat-obat antiinflamasi sering mengakibatkan perbaikan rasa sakit selama periode yang bermakna. Obat-obat AINS yang digunakan untuk penyakit rematik mempunyai kemampuan untuk menekan gejala peradangan. Beberapa obat ini juga mempunyai efek antipiretik dan analgesik, tetapi efek antiinflamasinya membuat obat-obat ini bermanfaat dalam menanggulangi kelainan rasa nyeri yang berhubungan dengan intensitas proses peradangan (Lumbanraja, 2009).

Inflamasi bisa dianggap sebagai rangkaian kejadian komplek yang terjadi karena tubuh mengalami injury, baik yang disebabkan oleh bahan kimia atau mekanis atau proses self-destructive (autoimun). Walaupun ada kecenderungan pada pengobatan klinis untuk memperhatikan respon inflammatory dalam hal reaksi yang dapat membahayakan tubuh, dari sudut pandang yang lebih berimbang sebenarnya inflamasi adalah penting sebagai sebuah respon protektif dimana tubuh berupaya untuk mengembalikan kondisi seperti sebelum terjadi injury (preinjury) atau untuk memperbaiki secara mandiri setelah terkena injury. Respon inflammatory adalah reaksi protektif dan restoratif dari tubuh yang sangat penting karena tubuh berupaya untuk mempertahankan homeostasis dibawah pengaruh lingkungan yang merugikan (Lutfianto, 2009)

Apabila jaringan cedera misalnya karena terbakar, teriris atau karena infeksi kuman, maka pada jaringan ini akan terjadi rangkaian reaksi yang memusnahkan agen yang membahayakan jaringan atau yang mencegah agen menyebar lebih luas. Reaksi-reaksi ini kemudian juga menyebabkan jaringan yang cedera diperbaiki atau diganti dengan jaringan baru. Rangkaian reaksi ini disebut radang (Anonim, 2009).

Agen yang dapat menyebabkan cedera pada jaringan, yang kemudian diikuti oleh radang adalah kuman (mikroorganisme), benda (pisau, peluru, dsb.), suhu (panas atau dingin), berbagai jenis sinar (sinar X atau sinar ultraviolet), listrik, zat-zat kimia, dan lain-lain. Cedera radang yang ditimbulkan oleh berbagai agen ini menunjukkan proses yang mempunyai pokok-pokok yang sama, yaitu terjadi cedera jaringan berupa degenerasi (kemunduran) atau nekrosis (kematian) jaringan, pelebaran kapiler yang disertai oleh cedera dinding kapiler, terkumpulnya cairan dan sel (cairan plasma, sel darah, dan sel jaringan) pada tempat radang yang disertai oleh proliferasi sel jaringan makrofag dan fibroblas, terjadinya proses fagositosis, dan terjadinya perubahan-perubahan imunologik (Anonim, 2009).Mekanisme terjadinya radang Terjadinya inflamasi adalah reaksi setempat dari jaringan atau sel terhadap suatu rangsang atau cedera. Setiap ada cedera, terjadi rangsangan untuk dilepaskannya zat kimi tertentu yang akn menstimulasi terjadinya perubahan jaringan pada reaksi radang tersebut, diantaranya adalah histamin, serotonin, bradikinin, leukotrin dan prostaglandin. Histamin bertanggungjawab pada perubahan yang paling awal yaitu menyebabkan vasodilatasi pada arteriol yang didahului dengan vasokonstriksi awal dan peningkatan permeabilitas kapiler. Hal ini menyebabkan perubahan distribusi sel darah merah. Oleh karena aliran darah yang lambat, sel darah merah akan menggumpal, akibatnya sel darah putih terdesak ke pinggir. Makin lambat aliran darah maka sel darah putih akan menempel pada dinding pembuluh darah makin lama makin banyak. Perubahan permeabilitas yang terjadi menyebabkan cairan keluar dari pembuluh darah dan berkumpul dalam jaringan. Bradikinin bereaksi lokal menimbulkan rasa sakit, vasodilatasi, meningkatakan permeabilitas kapiler. Sebagai penyebab radang, prostaglandin berpotensi kuat setelah bergabung dengan mediator lainnya (Lumbanraja, 2009)

Obat Antiinflamasi terbagi atas 2, yaitu :1. Golongan SteroidContoh: Hidrokortison, Deksametason, Prednisone2. Golongan AINS (non steroid)Contoh: Parasetamol, Aspirin, Antalgin atau Metampiron, Asam Mefenamat, IbuprofenMekanisme kerjaNoGolongan ObatMekanisme Kerja

1SteroidMenghambat enzim fosfolipase A2 sehingga tidak terbentuk asam arakhidonat. Tidak adanya asam arakhidonat berarti tidak terbentuknya prostaglandin.

2AINS (Non Steroid)Cara kerja NSAIDs untuk sebagian besar berdasarkan hambatan sintesa prostaglandin, dimana kedua jenis cyclo-oxygenase diblokir. NSAIDs ideal hendaknya hanya menghambat COX-2 (peradangan) dan tidak COX-1 (perlindungan mukosa lambung), lagi pula menghambat lipo-oxygenase (pembentukan leukotrien). Walaupun dilakukan daya upaya intensif sejak akhir tahun 1980-an hingga kini obat ideal demikian belum ditemukan. Dewasa ini hanya tersedia tiga obat dengan kerja agak selektif, artinya lebih kuat menghambat COX-2 daripada COX-1, yakni COX-2 inhibitors agak baru nabumeton dan meloxicam. Dari obat baru celecoxib diklaim tidak menghambat COX-1 sama sekali pada dosis bias, tetapi efek klinisnya mengenai iritasi mukosa lambung masih perlu dibuktikan. Banyak riset sedang dilakukan pula untuk mengembangkan antagonis leukotrien yang dapat digunakan sebagai obat anti radang pada rema dan asma (Tan, 2002).

IV. Alat dan Bahan4.1 Alat4.1.1 Plethysmometer air raksa4.1.2 Jarum suntik4.2 Bahan4.2.1 Larutan karagenan 1% dalam air suling4.2.2 Larutan gom arab 2%4.2.3 Ibu Profenum4.2.4 Dexametason4.2.5 Tikus putih BB 150 200g

V. ProsedurMasing masing tikus dikelompokkan dan ditimbang bobot badannya, kemudian diberikan tanda pengenal. Diberikan tanda batas kaki belakang kiri untuk setiap tikus dengan menggunakan sidol agar keika kaki dimasukkan ke dalam air raksa selalu sama.pada tahap awal volume kaki diukur dan dinyatakan sebagai volume dasar.Pada setiap kali pengukuran volume, tinggi cairan air raksa pada alat diperiksa dan dicatat sebelum dan sesudah pengukuran, usahakan jangan sampai ada air raksa yang tertumpah.Tikus diberikan larutan obat secara intraperitonial 15 menit kemudian setelah telapak kaki diukur volume pembengkakan dengan alat plethysmometer dengan mencatat kenaikan air raksa pada alat tersebut (Vo). Selanjutnya diberikan 0,05ml larutan karagenan yang diberikan secara subkutan pada tikus.Volume kaki yang telah diberikan karagenan maka diukur volume pembengkakannya selama 15 menit, 30 menit, 45 menit, dan juga 60 menit. Catat perbedaan volume kaki untuk setiap pengukuran (Vt). Hasil-hasil pengmatan dicantumkan dalam tabel untuk setiap kelompok. Table harus berisi % kenaikan volume kaki setiap jam untuk masing masing tikus. Perhitungan % kenaikan volume kaki dilakukan dengan membandingkan terhadap volume dasar sebelum disuntikkan dengan karagenan.Selajunjutnya, utuk setiap kelompok dihitung % rata rata dan dibandingkan dengan % yang diperoleh kelompok yang diberi obat terhadap kelompok kontrol pada jam yang sama. Persentase radang dihitung dengan rumus . % inhibisi radang dihitung dengan rumus x 100%. Digambarkan dalam bentuk grafik persentase inhibisi radang terhadap waktu.

VI. Data Pengamatan6.1 Tabel perubahan volume air raksa

KelompokTikusT=15T=30T=45T=60Jumlah

Kontrol NegatifVoVtVoVtVoVtVoVt

10,50,510,50,510,50,510,50,51

20,50,510,50,510,50,520,50,52

30,50,510,50,510,50,510,50,51

Jumlah1,51,531,51,531,51,541,51,5411,86

Rata rata0,50,510,50,510,50,5130,50,513

KelompokTikusT=15T=30T=45T=60Jumlah

Uji 1 (Ibu Profenum)VoVtVoVtVoVtVoVt

10,530,550,530,550,530,560,530,54

20,530,560,530,560,530,570,530,54

30,530,540,530,550,530,570,530,54

Jumlah1,591,651,591,661,591,71,591,6212,99

Rata rata0,530,550,530,5530,530,5660,530,54

KelompokTikusT=15T=30T=45T=60Jumlah

Uji 2 (Dexametason)VoVtVoVtVoVtVoVt

10,490,520,490,510,490,510,490,51

20,510,520,500,510,500,510,500,51

30,500.510,500,510,500,510,500,51

Jumlah1,51,551,491,531,491,531,491,5312,11

Rata-rata0,50,5160,4960,510,4960,510,4960,51

6.2 Tabel % Radang% Radang = .KelompokTikus% RadangJumlahRata rata

T=15T=30T=45T=60

Kontrol Negatif12%2%2%2%8%2%

22%2%4%4%12%3%

32%2%2%2%8%2%

Uji 1 (Ibu Profenum)13,77%3,77%5,66%1,88%15,08%3,77%

25,66%5,66%7,54%1,88%20,74%5,185%

31,88%3,77%7,54%1,88%15,07%3,76%

Uji 2 (Dexametason)16,12%5,10%4,08%4,08%19,38%4,84%

21,96%2%2%2%7,96%1,99%

32%2%2%2%8%2%

Jumlah27,39%28,3%36,82%21,72%108,23%

Rata rata3,043%2,92%3,868%2,19%12,023%

6.3 % Inhibisi Radang

Reaksi Radang =

6.3.1 Uji 1= x 100% = -88.5 %= x 100% = -72.83 %= x 100% = -88 %

6.3.2 Uji 2= x 100% = -142 %= x 100% = 33,67 % = x 100% = 0 %

Tests of Normality

KelompokUjiShapiro-Wilk

StatisticdfSig.

Persentase Radangkontrol negatif.7503.000

ibuprofen.7553.012

dexamethason.9703.666

a. Lilliefors Significance Correction

Nilai sig < 0.05 sehingga data diasumsikan tidak berdistribusi normal, sehingga pengujian ANOVA tidak bisa dilanjutkan. Sisa nya tambahin lagi dhel..

VII. PembahasanPada praktikum kali ini dilakukan percobaan pengujian efek antiinflamasi, percobaan ini bertujuan untuk mengetahui besarnya aktivitas farmakologi dari ibuprofen dan dexamethason sebagai obat antiinflamasi yang dapat menghambat udem pada hewan percobaan yang telah diinduksi oleh karagenan. Selain itu, percobaan ini juga bertujuan untuk membandingkan efektivitas farmakologi dari ibuprofen dan dexamethason sebagai obat antiinflamasi pada tikus. Prinsip dasar dari percobaan ini adalah dengan penyuntikan karagenan secara subkutan pada telapak kaki belakang tikus putih yang menyebabkan udem yang dapat diinhibisi oleh obat antiinflamasi (ibuprofen dan dexamethason) yang telah diberikan sebelumnya.Inflamasi itu sendiri diidentifikasikan sebagai suatu reaksi lokal organisme terhadap suatu iritasi atau keadaan non fisiologik.Hewan percobaan yang digunakan dalam percobaan ini adalah tikus karena tikus memiliki luas permukaan kaki yang lebih besar dibanding mencit, sehingga akan mempermudah pengukuran dan mudah untuk disuntik secara subkutan. Selain itu, tikus lebih resisten terhadap infeksi, sehingga dapat diketahui obat uji yang lebih berperan dalam memberikan efek antiinflamasi. Tikus (hewan percobaan) yang digunakan dalam percobaan ini dibagi kedalam 3 kelompok dengan perlakuan yang berbeda-beda. Pertama-tama semua tikus yang akan digunakan dalam percobaan ditimbang terlebih dahulu, penimbangan tersebut dilakukan dengan tujuan untuk menentukan dosis obat atau larutan kontrol yang akan diberikan pada masing-masing tikus. Kemudian pada kaki kiri bagian belakang masing-masing tikus diberikan tanda batas dengan spidol, agar pemasukan kaki ke dalam air raksa setiap kali selalu sama, sehingga analisis data yang dilakukan lebih akurat. Kaki kiri belakang tikus dipakai karena pada kaki belakang tikus tidak terdapat banyak bulu, sehingga efek inflamasinya secara fisik dapat diamati lebih jelas karena bulu pada tikus dapat menghambat pengamatan volume inflamasi yang terbentuk.Percobaan ini dilakukan menggunakan alat yang bernama plethysmometer air raksa untuk mengindikasikan terjadinya inflamasi pada kaki belakang kiri tikus, dengan pengukuran persentase besarnya radang pembengkakan. Pengukuran volume ini dilakukan menggunakan air raksa sebagai cairannya karena air raksa memiliki sifat yang sensitif jika ada pergerakan atau sedikit guncangan, sehingga akurasi data dapat tercapai. Selain itu, air raksa memiliki sifat kohesi yang besar sehingga tidak menempel pada kulit kaki tikus, semua kelebihan air raksa ini diharapkan dapat meningkatkan keakuratan pembacaan volume pada alat. Perlakuan yang diberikan pada tikus kelompok kontrol (-) adalah pemberian suspense PGA secara intraperitonial, kemudian 15menit kemudian disuntikan karagenan secara subkutan, lalu diamati pembengkakan yang terjadi setiap 15menit selama 60menit. Suspense PGA berfungsi sebagai injeksi untuk control atau sebagai blanko, dan juga sebagai pelarut dari kedua obat yang diuji. Sedangkan karagenan berfungsi sebagai inflamantor, dan disuntikan secara subkutan pada telapak kaki kiri bawah tikus untuk memperoleh efek local yang cepat. Pengamatan setiap 15menit selama 60menit dilakukan dengan tujuan untuk mengukur besarnya inflamasi yang terjadi pada kaki tikus akibat injeksi karagenan. Tikus kontrol ini berguna untuk membandingkan antara volume inflamasi pada kaki kiri bawah tikus yang tidak diberi obat antiinflamasi dengan volume inflamasi pada kaki kiri bawah tikus yang diberi obat antiinflamasi. Sedangkan perlakuan yang diberikan pada tikus kelompok uji 1 adalah pemberian ibuprofen secara intraperitonial. Ibuprofen merupakan obat antiinflamasi yang bekerja dengan cara menghambat enzim siklooksigenase (cox-1 dan cox-2) ataupun menhambat secara selektif cox-2 saja sehingga tidak terbentuk mediator-mediator nyeri yaitu prostaglandin dan tromboksan. Dan perlakuan yang diberikan pada tikus kelompok uji 2 adalah pemberian dexamethason secara intraperitonial. Dexamethason merupakan obat antiinflamasi yang bekerja dengan cara menghambat enzim fosfolipase A2 sehingga tidak terbentuk asam arakhidonat, tidak adanya asam arakhidonat berarti tidak terbentuknya prostaglandin.Mekanisme radang itu sendiri diawali dari terjadinya kerusakan membrane sel akibat rangsangan mekanis, kimia dan fisika kemudian menuju fosfolipida (membrane sel) dan terdapat enzim fosfolipase yang akan mengeluarkan asam arakidonat. Dengan adanya enzim siklooksigensae maka asam arakidonat akan dirubah menjadi prostaglandin. Siklooksigenase mensintesa siklik endoperoksida yang akan dibagi menjadi dua produk COX 1 dan COX 2. COX 1 berisi tromboksan protasiklik (yang dapat menghambat produksi asam lambung yang berfungsi untuk melindugi mukosa lambung). COX 2 (asam meloksikam) berisi prostaglandin (penyebab peradangan). Sedangkan lipooksigenase akan mengubah asam hidroperoksida yang merupakan precursor leukotrien LTA (senyawa yang dijumpai pada keadaan antifilaksis) kemudian memproduksi LBT 4 (penyebab peradangan) dan LTC4,LTD4 dan LTE4.Berdasarkan dari hasil percobaan yang telah dilakukan diperoleh hasil bahwa % radang yang paling besar terdapat pada tikus kelompok uji 1 atau kelompok tikus yang diberikan ibuprofen, hasil tersebut menunjukan kesalahan karena seharusnya % radang yang paling besar terdapat pada tikus kelompok kontrol (-) karena tikus kelompok kontrol (-) tidak diberikan obat antiinflamasi yang akan menginhibisi terjadinya radang yang disebabkan oleh karagenan. Hal tersebut mungkin saja disebabkan karena kesalahan dalam pemberian obat yang tidak benar sehingga proses absorbsi obat uji menjadi terambat. Kesalahan juga bisa disebabkan dalam pemberian keragenan secara subkutan, dimana pemeberian dilakukan pada telapak atau selaput kaki tikus sehingga keragenan tidak bisa masuk semua kedalam kulit telapak tikus. Hal lainnya adalah kesalahan dalam membaca skala dan bagian kaki yang tercelup pada saat pengukuran pertama dan selanjutnya tidak sama.

VIII. Kesimpulan

IX. Daftar PustakaMutschler, Ernst. 1991. Dinamika Obat. Edisi kelima. Bandung: Penerbit ITB.Mycek, M.J. 1995. Farmakologi Ulasan Bergambar edisi 2. Jakarta: Widya Medika.Tan, H.T. 2002. Obat-Obat Penting, Khasiat, Penggunaan dan Efek-Efek Sampingnya. Jakarta: PT.Elex Media Komputindo.