25
Teori-Teori Bermain Klasik Dan Modern Menurut Soeparno (1987:60) menyatakan bahwa “permainan merupakan suatu aktivitas untuk memperoleh suatu keterampilan tertentu dengan cara yang menggembirakan.” Sedangkan menurut Rofi’uddin et al. (1999:248) menyatakan bahwa “permainan adalah bentuk paling matang dari bentuk bermain, yaitu bentuk bermain sensori motor, bermain fisik, bermain simbolik.” Berdasar dari pendapat tersebut, dapat disimpulkan bahwa permainan merupakan aktivitas yang lebih kompleks dari bermain. Bermain memiliki cakupan yang lebih sederhana dari permainan. Mengenai bermain, ada beberapa teori yang menjelaskan tentang bermain. Menurut Tedjasaputra (2001:1) menyatakan bahwa “teori yang mempelajari tentang bermain dibagi dua, yaitu teori klasik dan teori modern.” Sedangkan menurut Resmini dan Hartati (2007:170) menyatakan bahwa: teori permainan terdiri dari teori klasik dan teori dinamik. Teori klasik meliputi teori surplus energi, relaksasi, pralatihan, dan rekapitulasi. Sedangakan teori dinamik meliputi teori konstruktivisme, dan teori psikodinamik. Berdasarkan dari hal tersebut dapat dijelaskan tentang teori dalam bermain sebagai berikut. a) Teori Klasik (1) Teori Plato, Aristoteles, dan Frõbel

Teori Bermain

Embed Size (px)

DESCRIPTION

tgs Kuliah

Citation preview

Page 1: Teori Bermain

Teori-Teori Bermain Klasik Dan Modern

Menurut Soeparno (1987:60) menyatakan bahwa “permainan merupakan suatu aktivitas

untuk memperoleh suatu keterampilan tertentu dengan cara yang menggembirakan.”

Sedangkan menurut Rofi’uddin et al. (1999:248) menyatakan bahwa “permainan adalah

bentuk paling matang dari bentuk bermain, yaitu bentuk bermain sensori motor, bermain

fisik, bermain simbolik.”

            Berdasar dari pendapat tersebut, dapat disimpulkan bahwa permainan merupakan

aktivitas yang lebih kompleks dari bermain. Bermain memiliki cakupan yang lebih sederhana

dari permainan.

            Mengenai bermain, ada beberapa teori yang menjelaskan tentang bermain. Menurut

Tedjasaputra (2001:1) menyatakan bahwa “teori yang mempelajari tentang bermain dibagi

dua, yaitu teori klasik dan teori modern.” Sedangkan menurut Resmini dan Hartati

(2007:170) menyatakan bahwa:

teori permainan terdiri dari teori klasik dan teori dinamik. Teori klasik meliputi teori

surplus energi, relaksasi, pralatihan, dan rekapitulasi. Sedangakan teori dinamik meliputi teori

konstruktivisme, dan teori psikodinamik.

            Berdasarkan dari hal  tersebut dapat dijelaskan tentang teori dalam bermain sebagai

berikut.

a)        Teori Klasik

(1)     Teori Plato, Aristoteles, dan Frõbel

            Menurut Tedjasaputra (2001:1) “Plato dianggap sebagai orang pertama yang

menyadari pentingnya nilai praktis dari bermain.” Aristoteles dan Frõbel sama-sama

berpendapat bahwa bermain sebagai kegiatan yang mempunyai nilai praktis. Artinya bermain

digunakan sebagai media untuk meningkatkan keterampilan dan kemampuan tertentu pada

anak.

(2)     Teori Suplus Energi

Penggagas teori suplus energi adalah Herbert Spencer. Menurut Spencer (2001:2)

menyatakan bahwa :

kegiatan bermain seperti melompat, bergulingan yang menjadi ciri khas kegiatan anak

kecil maupun anak binatang perlu dijelaskan secara berbeda. Spencer berpendapat bahwa

Page 2: Teori Bermain

bermain terjadi akibat energi yang berlebihan dan ini hanya berlaku pada manusia serta

binatang dengan tingkat evaluasi tinggi.

(3)     Teori Relaksasi

            Teori relaksasi merupakan lawan dari teori suplus energi. Teori ini mengajukan dalil

bahwa bermain adalah untuk memulihkan energi yang sudah terkuras saat bekerja. Penggagas

teori relakasasi adalah Morrizt Lazarus. Menurut Lazarus (2001:3) menyatakan bahwa

“bermain merupakan lawan dari bekerja dan merupakan cara yang ideal untuk memulihkan

tenaga.”

(4)     Teori Rekapitulasi

            Penggagas teori rekapitulasi adalah G. Stanley Hall. Dasar teori ini merupakan teori

evoulusi dari Charles Darwin. Teori ini berpendapat bahwa anak merupakan mata rantai

evolusi dari binatang sampai menjadi manusia.

            Menurut Tedjasaputra (2001:4) menyatakan bahwa

teori rekapitulasi berhasil memberi penjelasan lebih rinci mengenai tahapan kegiatan

bermain yang mengikuti urutan sama seperti evolusi makhluk hidup. sebagai contoh,

kesenangan anak untuk bermain. air dapat dikaitkan dengan kegiatan nenek moyangnya,

spesies ikan yang mendapat kesenangan di dalam ait

 (5)     Teori Praktis/Pralatihan

            Penggagas teori ini adalah Karl Groos. Dasar teori ini adalah prinsip seleksi alamiah

yang dikemukakan oleh Charles Darwin. Menurut Groos (Tedjasaputra,2001:5), menyatakan

bahwa :

Binatang dapat mempertahankan hidupnya karena dia mempunyai keterampilan yang

diperoleh melalui bermain. Bayi baru lahir dan bintatang mewarisi sejumlah instingtif yang

tidak sempurna dan insting ini penting guna mempertahankan hidup. Contoh bahwa bermain

dapat meningkatkan keterampilan dan merupakan kegiatan insting, dapat damati pada anak

kucing yang lari mengejar dan menangkap bola sebagai latihan menangkap mangsanya. bayi

menggerak-gerakan jari, tangan, kaki tiada lain sebagai latihan untuk mengkontrol tubuh.

Bayi berceloteh untuk melatih otot-otot lidah yang dibutuhkan untuk bicara.

b)        Teori Modern

(1)     Teori Psikoanalisis

Penggagas dari teori psikoanalisis adalah Sigmund Freud. Menurut Freud

(Tedjasaputra, 2001:7) menyatakan bahwa :

Page 3: Teori Bermain

                        bermain sama seperti fantasi atau lamunan. Melalui bermain seseorang dapat

memproteksikan harapan-harapan maupun konflik pribadi. Bermain memegang peran penting

dalam perkembangan emosi anak. Anak dapat mengeluarkan semua perasaan negatif, seperti

pengalaman yang tidak menyenangkan/traumatik, dan harapan-harapan yang tidak terwujud

dalam realita melalui bermain. Sebagai contoh, setelah mendapat hukuman fisik dari guru,

anak dapat menyalurkan perasaan marahnya dengan bermain pura-pura memukul boneka.

Berdasarkan pernyataan tersebut dapat disimpulkan bahwa teori ini berdasar pada

anggapan bahwa bermain dapat mencapai tahap psikologi bagi sesorang dalam memunculkan

imajinasi atau fantasinya.

(2)   Teori Kognitif

Para tokoh yang tergabung dalam teori kognitif antara lain Jean Piaget, Vygotsky,

Bruner, Sutton Smith serta Singer, masing-masing memberikan pandangannya mengenai

bermain.

Menurut Piaget (Tedjasaputra, 2001:8)  tentang bermain yang didasarkan pada teori

perkembangan intelektual anak, menyatakan bahwa :

Bermain sejalan dengan tahap perkembangan kognisinya, kegiatan ini mengalami

perbuahan dari tahap sensori-motor, bermain khayal sampai kepada bermain sosial yang

disertai aturan permainan. Bermain bukan saja mencerminkan tahap perkembangan kognisi

anak, tetapi juga memberikan sumbangan terhadap perkembangan kognisi itu sendiri. Dalam

proses belajar perlu adaptasi dan adaptasi membutuhkan keseimbangan antara dua proses

yang saling menunjang asimlasi dan akomodasi. Bermain merupakan keadaan dimana

asimilasi lebih dominan dari pada akomoadasi. Sebagai contoh, pada episode bermain peran

yang dilakukan seorang anak bersama teman-temannya, Terjadi beberapa transformasi

simbolik seperti pura-pura menggunakan balok sebagai telur. Dari permainan itu anak tidak

belajar keterampilan baru, namun dia belajar mempraktekan keterampilan apa yang telah

dipelajari sebelumnya.

Sedangkan menurut Vigotsky (Tedjasaputra, 2001:10) menyatakan bahwa:

bermain didasarkan pada ketidakmampuan anak kecil berpikir abstrak. Bermain adalah

self helf tool. Misalnya, seorang anak yang rewel dan menangis kalau disuruh tidur, dalam

situasi bermain pura-pura, dia akan naik ke temapt tidur tanpa menangis. Dalam bermain,

anak mampu mengendalikan dirinya karena kerangkan bermain berada dibawah kontrol anak

atau yang dilakukan dalam situasi imajiner.  Bermain identik dengan kaca pembesar yang

Page 4: Teori Bermain

dapat menelaah kemampuan baru dari anak yang bersifat potensial sebelum diaktualisasikan

dalam situasi lain, khususnya dalam kondisi formal.

Selain itu bermain menurut teori Bruner (Tedjasaputra, 2001:10), menyatakan bahwa

“bermain sebagai sarana mengembangkan kreativitas dan fleksibilitas. Dalam bermain, yang

lebih penting bagi anak adalah makna bermain dan bukan hasil akhirnya.”  Selanjutnya

menurut Sutton Smith (Tedjasaputra, 2001:12) menyatakan bahwa “bermain merupakan

adaptive variability. Variabilitas bermain memegang faktor kunci dalam perkembangan

manusia.”

(3)     Teori Singer

Menurut Jerome Singer (Tedjasaputra, 2001:12) menyatakan bahwa ‘bermain

memberikan suatu cara bagi anak untuk memajukan kecepatan masuknya stimulus, baik dari

dunia luar maupun dari dalam yaitu aktivitas otak yang secara konstan memainkan kembali

dan merekam pengalaman.’

(4)     Teori Arrousal Modulation Theory

Teori Arrousal Modulation Theory dikembangkan oleh Berlyne (1960) dan

dimodifikasi oleh Ellis (1973). Menurut Tedjasaputra (2001:13) menyatakan bahwa “teori ini

menekankan pada anak yang bermain sendirian atau anak yang suka menjelajah objek di

lingkungannya.” Sedangkan menurut Ellis (Tedjasaputra, 2001:13) menyatakan bahwa :

bermain sebagai aktivitas mencari rangsang yang dapat meningkatkan arrousal secara

optimal. Bermain menambah stimulasi dengan menggunakan objek dan tindakan baru serta

tidak biasa. Contoh kalau anak bosan main perosotan dari atas ke bawah, dia dapat

meningkatkan stmiulas dengan berjalan menaiki papan perosotan dari bawah ke atas.

(5)     Teori Bateson

Menurut Bateson (Tedjasaputra, 2001:14) tentang bermain menyatakan bahwa

‘bermain bersifat paradoksial karena tindakan yang dilakukan anak saat bermain tidak sama

artinya dengan apa yang mereka maksudkan dalam kehidupan nyata.’

Bermain dan permainan memiliki keterkaitan satu sama lain. Hanya saja yang

membedakan antara keduanya adalah aturan. Sebagaimana menurut Rofi’uddin dan Zuhdi

(1999:256) menyatakan bahwa “ciri utama permainan yang membedakan dengan bermain

adalah adanya peraturan.” 

Page 5: Teori Bermain

KAJIAN PUSTAKA

Rofi’uddin, A., dan Zuhdi, D. (1999). Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia di Kelas Tinggi.

Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

Soeparno, (1988). Media Pengajaran Bahasa. Yogyakarta: PT Intan Pariwara.

Tedjasaputra, M.S. (2001). Bermain, Mainan, dan Permainan. Jakarta : Grasindo

Page 6: Teori Bermain

BAB I 

PENDAHULUAN

 

Bermain dan anak merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Aktivitas

bermain dilakukan anak dan aktivitas anak selalu menunjukkan kegiatan bermain. Bermain

dan anak sangat erat kaitannya. Oleh karena itu, salah satu prinsip pembelajaran di

pendidikan anak usia dini adalah bermain dan belajar.

Pada usia anaka – anak fungsi bermain berpengaruh besar sekali bagi perkembangan

anak. Jika pada orang dewasa sebagian besar perbuatannya diarahkan pada pencapaian tujuan

dan prestasi dalam bentuk kegiatan kerja, maka kegiatan anaka sebagian besar dalam bentuk

bermain.

Permainan adlah kesibukan ynag dipilih sendiri oleh tujuan umpamanya saja, jika

anak bayi berusaha menyentak-nyentakkan tangan dan kakinya dengan tidak henti-hentinya

meremas-remas jari-jari, dan teruis menerus menggoyang-goyangkan badannya.

Gerakan-gerakan tersebut dilakukan demi gerkan itu sendiri, dalam iklim psikis

bermain-main yang mengasyikkan dan menyenangkan hati. Kegiatan bermain bayi-bayi dan

anak-anak kecil itu lebih tepat jika disebutkan sebagai usaha mencoba-coba dan melatih diri.

Sekalipun kita menyangka anak itu Cuma bermain-main dengan rasa acuh tak acuh

saja, namun, pada hakikatnya kegiatan tadi disertai intensitas kesadaran, minat penuh, dan

usaha yang keras. Gerak-gerak bermain anaka itu disebabkan oleh :

  Kelebihan tenaga yang teradapat pada dirinya dan dikemudian hari digerakkan

  Dorongan belajar guna melatih semua fungsi jasmani dan rohani.

 

Dengan jalan bermain anak melakukan eksperimen-eksperimen tertentu dan

bereksplorasi, sambil mengetes kesanggupannya. Melalui permainan anak mendapatkan

macam-macam pengalaman yang menyenangkan, sambil menggiatkan usaha belajar dan

melaksanakan tugas-tugas perkembangan. Semua pengalamannya via kegiatan bermain-main

akan memberi dasar yang kokoh kuat bagi pencapaian macam-macam keterampilan. Yang

sangat diperlukan bagi pemecahan kesulitan hidup dikemudian hari.

Dalam makalah ini akan dibahas teori bermain bagi akan menurut beberapa teori.

 

Page 7: Teori Bermain

 

Page 8: Teori Bermain

BAB II 

PEMBAHASAN

TEORI BERMAIN MENURUT AHLI

Bermain pada awalnya belum mendapat perhatian khusus dari para ahli ilmu jiwa,

karena terbatasnya pengetahuan tentang psikologi perkembangan anak dan kurangnya

perhatian mereka pada perkembangan anak. Salah satu tokoh yang dianggap berjasa untuk

meletakkan dasar tentang bermain adalah Plato, seorang filsuf Yunani. Plato dianggap

sebagai orang pertama yang menyadari dan melihat pentingnya nilai praktis dari bermain.

Menurut Plato, anak-anak akan lebih mudah mepelajari aritmatika dengan cara membagikan

apel kepada anak-anak. Juga melalui pemberian alat permainan miniature balok-balok kepada

anak usia tiga tahun pada akhirnya akan mengantar anak tersebut menjadi seorang ahli

bangunan.

Ada beberapa teori yang menjelaskan arti serta nilai permainan, yaitu sebagai

berikut[1] :

1.      Teori Rekreasi yang dikembangkan oleh Schaller dan Nazaruz 2 orang sarjana Jerman

diantara tahun 1841 dan 1884. Mereka menyatakan permainan itu sebagai kesibukan

rekreatif, sebagai lawan dari kerja dan keseriusan hidup. Orang dewasa mencari kegiatan

bermain-main apabila ia merasa capai sesudah berkerja atau sesudah melakukan tugas-tugas

tertentu. Dengan begitu permainan tadi bisa “ me-rekriir ” kembali kesegaran tubuh yang

tengah lelah.

2.      Teori Pemunggahan ( Ontlading Stheorie ) menurut sarjana Inggris Herbert Spencer,

permainan disebabkan oleh mengalir keluarnya enegi, yaitu tenaga yang belum dipakai dan

menumpuk apad diri anak itu menuntut dimanfaatkan atau dipekerjakan. Sehubungan dengan

itu energi tersebut “mencair” dan “menunggah” dalam bentuk permainan.

Teori ini disebut juga sebagai teori “kelebihan tenaga” ( krachtoverschot-theorie ). Maka

permainan merupakan katup-pengaman bagi energi vital yang berlebih-lebihan.

3.      Teori atavistis sarjana Amerika Stanley Hall dengan pandangannya yang biogenetis

menyatakan bahwa selama perkembangannya, anak akan mengalami semua fase

kemanusiaan. Permainan itu merupakan penampilan dari semua factor hereditas ( waris, sifat

keturunan ): yaitu segala pengalaman jenis manusia sepanjang sejarah akan diwariskan

kepada anak keturunannya, mulai dari pengalaman hidup dalam gua-gua, berburu,

menangkap ikan, berperang, bertani, berhuma, membangun rumah sampai dengan

Page 9: Teori Bermain

menciptakan kebudayaan dan seterusnya. Semua bentuk ini dihayati oleh anak dalam bentuk

permainan-permainannya.

4.      teori biologis, Karl Groos, sarjana Jerman ( dikemudian hari Maria Montesori juga

bergabung pada paham ini ) : menyatakan bahwa permainan itu mempunyai tugas biologis,

yaitu melatih macam-macam fungsi jasmani dan rohani. Waktu-waktu bermain merupakan

kesempatan baik bagi anak untuk melakukan penyesuaian diri terhadap lingkunagn hidup itu

sendiri.

Sarjana William Stren menyatakan permainan bagi anak itu sama pentingnya dengan taktik

dan manouvre- manouvre dalam peperangan , bagi orang dewasa. Maka anak manusia itu

memiliki masa remaja yang dimanfaatkan dengan bermain-main untuk melatih diri dan

memperoleh kegembiraan.

5.      Teori Psikologis Dalam, menurut teori ini, permainan merupakan penampilan dorongan-

dorongan yang tidak disadari pada anaka – anak dan orang dewasa. Ada dua dorongan yang

paling penting menurut  Alder ialah : dorongan berkuasa, dan menurut Freud ialah dorongan

seksual atau libidi sexualis. Alder berpendapat bahwa, permaina memberikan pemuasann atau

kompensasi terhadap perasaan- perasaan diri yang fiktif. Dalam permainan juga bisa

disalurkan perasaan-perasaan yang lemah dan perasaan- perasaan rendah hati.

6.      Teori fenomenologis, professor Kohnstamm, seorang sarjana Belanda yang mengembangkan

teori fenomenologis dalam pedagogic teoritis,nya menyatakan, bahawa permaina merupakan

satu, fenomena/gejala yang nyata. Yang mengandung unsure suasana permainan. Dorongan

bermain merupakan dorongan untuk menghayati suasana bermain itu, yakni tidak khusus

bertujuan untuk mencapai prestasi-prestasi tertentu, akan tetapi anak bermain untuk

permainan itu sendiri. Jadi, tujuan permainan adalah permaianan itu sendiri.

Pertengahan sampai akhir abad 19 teori evolusi sedang berkembang sehingga

pembahasan teori bermain banyak dipengaruhi oleh paham tersebut. Bermain memiliki fungsi

untuk memulihkan tenaga sesorang setelah bekerja dan merasa jenuh. Pendapat ini

dipertanyakan karena pada anak kecil yang tidak bekerja tetap melakukan kegiatan bermain.

Jadi penjelasan mengenai kenapa terjadi kegiatan bermain pada makhluk hidup belum dapat

dijawab secara memuaskan.

Sebelum terjadi Perang Dunia ke-1, ada beberapa tokoh yang dapat dikategorikan

dalam teori klasik. Mereka berusaha menjelaskan mengapa muncul perilaku bermain serta

apa tujuan dari bermain. Ellis (dalam Johnson et al, 1999) menyebutnya sebagai armchair

theories karena teori itu dibangun berdasarkan refleksi filosofis dan bukan melalui riset

Page 10: Teori Bermain

eksperimental. Teori klasik mengenai bermain dapat dikelompokkan dalam dua bagian, yaitu

(1) surplus energi dan teori rekreasi, serta (2) teori rekapitulasi dan praktis. Friedrich Schiller

seorang penyair berkebangsaan Jerman (abad 18) dan Herbert Spencer seorang filsuf Inggris

(abad 19) mengajukan teori surplus energi untuk menjelaskan mengapa ada perilaku bermain.

Herbert Spencer di dalam bukunya Principles of Psychology, pertengahan abad 19 (dalam

Millar, 1972) mengemukakan bahwa kegiatan bermain seperti berlari, melompat, bergulingan

yang menjadi ciri khas kegiatan anak kecil maupun anak binatang perlu dijelaskan secara

berbeda.

Spencer berpendapat bermain terjadi akibat energi yang berlebihan dan ini hanya

berlaku pada manusia serta binatang dengan tingkat evolusi tinggi. Pada binatang yang

mempunyai tingkat evolusi lebih rendah, misalnya serangga, katak energi tubuh lebih

dimanfaatkan untuk mempertahankan hidup. Ketrampilan kelompok binatang dengan tingkat

evolusi rendah sangat terbatas sehingga harus banyak menguras tenaga untuk

mempertahankan hidup. Energi lebih ini dapat diumpamakan sebagai sistem kerja air atau gas

yang akan menekan ke semua arah untuk mencari penyaluran. Tekanan akan lebih kuat dan

butuh penyaluran yang lebih banyak bila volume air atau gas sudah melebihi daya

tampungnya.

Pada masa tersebut teori surplus energi mempunyai pengaruh besar terhadap

psikologi, namun teorinya dirasakan kurang tepat dan mendapat tantangan. Sebagai contoh,

anak akan cepat-cepat akan menyelesaikan tugas kalau dijanjikan boleh bermain setelah

tugasnya selesai. Bayi yang sudah mengantuk seringkali tetap ingin bermain dengan

mainannya. Dari kedua contoh tersebut, jelas tergambar bahwa bermain merupakan suatu

insentif, dan bukan muncul akibat kelebihan energi.

Abad 19, teori evolusi mempunyai pengaruh besar terhadap studi tentang anak. Apa

yang dikemukakan Herbert Spencer dirasakan terlalu spekulatif tetapi pendapat Charles

Darwin di dalam bukunya Origin of Species (dalam Millar, 1972) tidak dapat diabaikan

begitu saja. Bahwa manusia merupakan hasil evolusi dari makhluk yang lebih rendah

akhirnya merangsang dan mendorong minat para ilmuwan untuk mempelajari perkembangan

manusia sejak bayi sampai menjadi dewasa. Kalau sebelumnya pendekatan yang dilakukan

untuk mempelajari perilaku manusia bersifat spekulatif, maka sejak saat itu dilakukan lebih

ilmiah, melalui metode observasi. Para ayah, termasuk darwin membuat pencatatan atas

perkembangan anak-anak mereka.

G. Stanley Hall, seorang profesor Psikologi dan paedagogi berminat terhadap teori

evolusi dan bidang pendidikan, dia juga mempelajari perkembangan anak. G. Stanley Hall

Page 11: Teori Bermain

meninjau bermain dari teori rekapitulasi, dan gagasannya adalah sebagai berikut: ”anak

merupakan mata rantai evolusi dari binatang sampai menjadi manusia”. Artinya anak

menjalankan semua tahapan evolusi, mulai dari protozoa (hewan bersel satu) sampai menjadi

janin. Sejak konsepsi atau bertemunya sel telur dengan sperma sampai anak lahir, melampaui

beberapa tahap perkembangan yang serupa dengan urutan perkembangan dari species ikan

sampai menjadi species manusia. Dengan demikian, perkembangan sesorang akan

mengulangi perkembangan ras tertentu sehingga pengalaman-pengalaman ’nenek

moyangnya’ akan tertampil didalam kegiatan bermain pada anak (dalam Millar, 1972 dan

johnson et al, 1999). Teori rekapitulasi berhasil memberi penjelasan lebih rinci mengenai

tahapan kegiatan bermain yang mengikuti urutan sama seperti evolusi makhluk hidup.

Sebagai contoh, kesenangan anak untuk bermain air dapat dikaitkan dengan kegiatan ’nenek

moyangnya’, species ikan yang mendapat kesenangan di dalam air. Anak yang berkeinginan

untuk memanjat pohon dan berayun dari satu dahan ke dahan lain sebagai cerminan

kebiasaan monyet dan perilaku bermain jenis ini muncul sebelum anak terlibat dalam

kegiatan bermain kelompok. Anak usia 8 – 12 tahun, anak senang berkemah, berperahu,

memancing, berburu bersama sekelompok teman dan ini merupakan cermin kebiasaan

masyarakat primitif. Teori yang diajukan G. Stanley Hall tentu saja mempunyai kelemahan,

tetapi setidaknya dapat di anggap mempunyai peran besar karena berhasil mendorong minat

ilmuwan lain untuk mempelajari perilaku anak dalam berbagai tahap usia.

Teori praktis yang diajukan oleh Karl Groos, seorang filsuf yang meyakini bahwa

bermain berfungsi untuk memperkuat instink yang dibutuhkan guna kelangsungan hidup di

masa mendatang. Dasar teori Groos adalah prinsip seleksi alamiah yang dikemukakan oleh

Charles Darwin. Binatang dapat mempertahankan hidupnya karena dia mempunyai

ketrampilan yang diperoleh melalui bermain. Bayi yang baru lahir dan juga binatang

mewarisi sejumlah instink yang tidak sempurna dan instink ini penting guna

mempertahankan hidup. Bermain bermanfaat bagi yang masih muda dalam melatih dan

menyempurnakan instinknya. Jadi tujuan bermain adalah sebagai sarana latihan dan

mengelaborasi ketrampilan yang diperlukan saat dewasa nanti.

Contoh bahwa bermain berfungsi sebagai sarana melatih ketrampilan untuk bertahan

hidup dapat kita amati pada anak-anak kucing yang lari mengejar dan menangkap bola

sebagai latihan menangkap mangsanya. Bayi menggerak-gerakkan jari, tangan, kaki tiada lain

sebagai latihan untuk mengkontrol tubuh. Bayi berceloteh untuk melatih otot-otot lidah yang

dibutuhkan untuk bicara.

Page 12: Teori Bermain

Teori yang dikemukakan Gross mengandung kelemahan, tetapi sekaligus memberi

sumbangan karena kegiatan bermain yang dulunya dianggap tidak berguna, pada

kenyataannya mempunyai manfaat secara biologis, paling tidak untuk mempertahankan

hidup. Selain itu pendapat bahwa bermain merupakan sarana melatih ketrampilan tertentu

masih bisa diterima.

Tabel: Teori-teori Klasik

No Teori Penggagas Tujuan Bermain

1 Surplus

Energi

Schiller/Spencer Mengeluarkan energi

berlebihan

2 Rekreasi Lazarus Memulihkan tenaga

3 Rekapitulasi Hall Memunculkan instink

nenek moyang

4 Praktis Groos Menyempurnakan

instink

Pentingnya Bermain Untuk Anak Usia Dini

Bermain merupakan kegiatan yang tidak pernah lepas dari anak. Keadaan ini menarik

minat peneliti sejak abad ke 17 untuk melakukan penelitian tentang anak dan bermain.

Peneliti ingin menunjukkan sejauhmana bermain berpengaruh terhadap anak, apakah hanya

sekedar untuk mendapatkan pengakuan dan penerimaan sosial atau sekedar untuk mengisi

waktu luang.

Pendapat pertama tentang bermain oleh Plato mencatat bahwa anak akan lebih mudah

memahami aritmatika ketika diajarkan melalui bermain. Pada waktu itu Plato mengajarkan

pengurangan dan penambahan dengan membagikan buah apel pada masing-masing anak.

Kegiatan menghitung lebih dapat dipahami oleh anak ketika dilakukan sambil bermain

dengan buah apel. Eksperimen dan penelitian ini menunjukkan bahwa anak lebih mampu

menerapkan aritmatika dengan bermain dibandingkan dengan tanpa bermain.

Pendapat selanjutnya oleh Aristoteles, ia mengatakan bahwa ada hubungan yang

sangat erat antara kegiatan bermain anak dengan kegiatan yang akan dilakukan anak dimasa

yang akan datang. Menurut Aristoteles, anak perlu dimotivasi untuk bermain dengan

permainan yang akan ditekuni di masa yang akan datang. Sebagai contoh anak yang bermain

balok-balokan, dimasa dewasanya akan menjadi arsitek. Anak yang suka menggambar maka

akan menjadi pelukis, dan lain sebagainya.

Page 13: Teori Bermain

Akhir abad 19, Herbart Spencer, mengemukakan bahwa anak bermain karena anak

memiliki energi yang berlebihan. Teori ini sering dikenal dengan teori Surplus Energi yang

mengatakan bahwa anak bermain (melompat, memanjat, berlari dan lain sebagainya)

merupakan manifestasi dari energi yang ada dari dalam diri anak. Bermain menurut Spencer

bertujuan untuk mengisi kembali energi seseorang anak yang telah melemah.

Sigmund Freud berdasarkan Teori Psychoanalytic mengatakan bahwa bermain

berfungsi untuk mengekspresikan dorongan implusif sebagai cara untuk mengurangi

kecemasan yang berlebihan pada anak. Bentuk kegiatan bermain yang ditunjukan berupa

bermain fantasi dan imajinasi dalam sosiodrama atau pada saat bermain sendiri. Menurut

Freud, melalui bermain dan berfantasi anak dapat mengemukakan harapan-harapan dan

konflik serta pengalaman yang tidak dapat diwujudkan dalam kehidupan nyata, contoh, anak

main perang-perangan untuk mengekspresikan dirinya, anak yang meninju boneka dan pura-

pura bertarung untuk menunjukkan kekesalannya.

Teori Cognitive-Developmental dari Jean Piaget, juga mengungkapkan bahwa

bermain mampu mengaktifkan otak anak, mengintegrasikan fungsi belahan otak kanan dan

kiri secara seimbang dan membentuk struktur syaraf, serta mengembangkan pilar-pilar syaraf

pemahaman yang berguna untuk masa datang. Berkaitan dengan itu pula otak yang aktif

adalah kondisi yang sangat baik untuk menerima pelajaran.

Berdasarkan kajian tersebut maka bermain sangat penting bagi anak usia dini karena

melalui bermain mengembangkan aspek-aspek perkembangan anak. Aspek tersebut ialah

aspek fisik, sosial emosional dan kognitif. Bermain mengembangkan aspek fisik/motorik

yaitu melalui permainan motorik kasar dan halus, kemampuan mengontrol anggota tubuh,

belajar keseimbangan, kelincahan, koordinasi mata dan tangan, dan lain sebagainya. Adapun

dampak jika anak tumbuh dan berkembang dengan fisik/motorik yang baik maka anak akan

lebih percaya diri, memiliki rasa nyaman, dan memiliki konsep diri yang positif .

Pengembangan aspek fisik motorik menjadi salah satu pembentuk aspek sosial emosional

anak.

Bermain mengembangkan aspek sosial emosional anak yaitu melalui bermain anak

mempunyai rasa memiliki, merasa menjadi bagian/diterima dalam kelompok, belajar untuk

hidup dan bekerja sama dalam kelompok dengan segala perbedaan yang ada. Dengan

bermain dalam kelompok anak juga akan belajar untuk menyesuaikan tingkah lakunya

dengan anak yang lain, belajar untuk menguasai diri dan egonya, belajar menahan diri,

mampu mengatur emosi, dan belajar untuk berbagi dengan sesama. Dari sisi emosi, keinginan

yang tak terucapkan juga semakin terbentuk ketika anak bermain imajinasi dan sosiodrama.

Page 14: Teori Bermain

Aspek kognitif berkembang pada saat anak bermain yaitu anak mampu meningkatkan

perhatian dan konsentrasinya, mampu memunculkan kreativitas, mampu berfikir divergen,

melatih ingatan, mengembangkan prespektif, dan mengembangkan kemampuan berbahasa.

Konsep abstrak yang membutuhkan kemampuan kognitif juga terbentuk melalui bermain,

dan menyerap dalam hidup anak sehingga anak mampu memahami dunia disekitarnya

dengan baik.

Bermain memberi kontribusi alamiah untuk belajar dan berkembang, dan tidak ada satu

program pun yang dapat menggantikan pengamatan, aktivitas, dan pengetahuan langsung

anak pada saat bermain.

Salah satu cara anak mendapatkan informasi adalah melalui bermain. Bermain

memberikan motivasi instrinsik pada anak yang dimunculkan melalui emosi positif. Emosi

positif yang terlihat dari rasa ingin tahu anak meningkatkan motivasi instrinsik anak untuk

belajar. Hal ini ditunjukkan dengan perhatian anak terhadap tugas. Emosi negative seperti

rasa takut, intimidasi dan stress, secara umum merusak motivasi anak untuk belajar. Rasa

ingin tahu yang besar, mampu berpikir fleksibel dan kreatif merupakan indikasi umum anak

sudah memiliki keinginan untuk belajar. Secara tidak langsung bermain sangat berpengaruh

terhadap keberhasilan anak untuk belajar dan mencapai sukses. Hal ini sesuai dengan teori

bermain yang dikemukakan oleh James Sully, bahwa bermain berkait erat dengan rasa senang

pada saat melakukan kegiatan (Mayke S Tedjasaputra; 2001)

Aktifitas bermain yang belajar memberikan jalan majemuk pada anak untuk melatih

dan belajar berbagai macam keahlian dan konsep yang berbeda. Anak merasa mampu dan

sukses jika anak aktif dan mampu melakukan suatu kegiatan yang menantang dan kompleks

yang belum pernah ia dapatkan sebelumnya. Oleh karena itu pendidik seharusnya

memberikan materi yang sesaui, lingkungan belajar yang kondusif, tantangan, dan

memberikan masukan pada anak untuk menuntun anak dalam menerapkan teori dan

melakukan teori tersebut dalam kegiatan praktek.

Ciri Utama Bermain

Pentingnya arti bermain bagi anak mendorong seorang tokoh psikologi dan filsafat

terkenal Johan Huizinga untuk ikut merumuskan teori bermain. Ia mengemukakan bahwa

bermain adalah hal dasar yang membedakan manusia dengan hewan. Melalui kegiatan

bermain tersebut terpancar kebudayaan suatu bangsa. Namun beberapa orang tidak dapat

membedakan kegiatan bermain dengan kegiatan tidak bermain. Pendidikan prasekolah yang

menerapkan prinsip pendidikan anak dengan belajar yang bermain, mengalami kerancuan

Page 15: Teori Bermain

dalam makna. Untuk itu perlu diklasifikasikan antara kegiatan bermain dengan kegiatan yang

bukan bermain.

Menurut Rubin, Fein, & Vandenverg dalam Hughes ada 5 ciri utama bermain yang

dapat mengidentifikasikan kegiatan bermain dan yang bukan bermain[2] :

1. Bermain didorong oleh motivasi dari dalam diri anak. Anak akan melakukannya

apabila hal itu memang betul-betul memuaskan dirinya. Bukan untuk mendapatkan

hadiah atau karena diperintahkan oleh orang lain.

2. Bermain dipilih secara bebas oleh anak. Jika seorang anak dipaksa untuk bermain,

sekalipun mungkin dilakukan dengan cara yang halus, maka aktivitas itu bukan lagi

merupakan kegiatan bermain. Kegiatan bermain yang ditugaskan oleh guru TK

kepada murid-muridnya, cenderung akan dilakukan oleh anak sebagai suatu

pekerjaan, bukan sebagai bermain. Kegiatan tersebut dapat disebut bermain jika anak

diberi kebebasan sendiri untuk memilih aktivitasnya.

3. Bermain adalah suatu kegiatan yang menyenangkan. Anak merasa gembira dan

bahagia dalam melakukan aktivitas bermain tersebut, tidak menjadi tegang atau stress.

Biasanya ditandai dengan tertawa dan komunikasi yang hidup.

4. Bermain tidak selalu harus menggambarkan hal yang sebenarnya. Khususnya pada

anak usia prasekolah sering dikaitkan dengan fantasi atau imajinasi mereka. Anak

mampu membangun suatu dunia yang terbuka bagi berbagai kemungkinan yang ada,

sesuai dengan mimpi-mimpi indah serta kreativitas mereka yang kaya.

5. Bermain senantiasa melibatkan peran aktif anak, baik secara fisik, psikologis, maupun

keduanya sekaligus.

Page 16: Teori Bermain

BAB III 

KESIMPULAN

Anak dan bermain tidak dapat dipisahkan. Dorongan alamiah anak adalah bermain.

Beberapa manfaat diperoleh dari kegiatan bermain yaitu dapat mengembangkan aspek

perkembangan anak. Tahapan perkembangan anak juga dapat menjadi ciri dalam kegiatan

bermain anak, sehingga kegiatan bermain dapat diprediksi dan dijadikan acuan dalam

perkembangan anak. Ketika pentingnya bermain dapat dipahami oleh pendidik maka

pendidik dapat mengupayakan kegiatan bermain menjadi lebih utama dalam kegiatan belajar

untuk anak. Upaya lain yang dapat dilakukan pendidik adalah dengan merancang lingkungan

yang kondusif untuk anak bermain, dan menjadi fasilitator serta motivator untuk anak ketika

anak sedang bermain.

Page 17: Teori Bermain

DAFTAR PUSTAKA

Elizabeth H, Perkembangan Anak. Jakarta : Erlangga, 1978

http://marthachristianti.wordpress.com/2008/03/11/anak-bermain/

http://sugiparyanto-sugiparyanto.blogspot.com/2009/01/sejarah-perkembangan-teori-

bermain.html

Kartono, Kartini,Psikologi Anak, Bandung : Bandar Maju : 1995

Mayke S. Tedjasaputra, 2001. Bermain, Mainan, dan Permainan. Jakarta: Penerbit PT

Gramedia Widiasarana Indonesia.

Mayke Sugianto, Bermain, Mainan dan Permainan, Jakarta : Dirjen Pendidikan Tinggi, 1995