206
1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Geguritan Dharmawisesa merupakan salah satu bentuk karya sastra puisi Bali tradisional yang di ba ngun berdasa rkan  pupuh-pupuh. Geguritan tersebut dik arang ole h I Gus ti Ketut Kon toran ( Almarhum ), ya ng ber ala mat di  Banjar  Bona Kangin Gianyar, Kecamatan Blahbatuh, Gianyar Bali. Si pengarang sangat  banyak mentranormasikan a!aran"a!aran dan nilai"nilai luhur agama #indu yang  patut untuk diamalkan sehari"hari. A!aran tentang nilai-nilai pendidikan agama mendapat porsi yang lebih banyak daripada a!aran"a!aran lainnya di dalam karya sastra tersebut. A!aran tentang tu!uan hidup dan pandangan hidu p merupakan suatu u saha untuk men!aga keseimbangan kehidupan, karena pada kenyataannya, bah$a tu!uan  beragama adalah menu!u keseimbangan. %ang dimaksud tidak sa!a ber$u!ud kes eimban gan is ik (!a sma ni) sa! a, namun !ug a men cakup kes eimban gan ya ng  bersiat rohani. &i dalam a!aran agama #indu, moksa dan jagadht a merupakan $u!ud da ri keseimbanga n hidup terseb ut dan merup akan tu!uan ut ama dari umat #ndu. &alam kitab W åhaspatitattwa sloka ' dinyatakan sebagai salah satu di antara tu!uh bent uk pelaksan aan dharma. Adapun kutip an  sloka tersebut sebagai  berikut  *Sila ngaraning mangraks àcara rahayu, yaj ña ngaraning manghanakên homa, tapa ngaraning umat ìndriya nya , tan wi n h ring wi ûayanya, dana nga raning wwh, prawrajya nga ran ing wiku anasaka !hik ûu nga raning 1

Tesis Bu Sayang

Embed Size (px)

Citation preview

BAB I

PAGE 205

BAB IPENDAHULUAN1.1 Latar Belakang Masalah

Geguritan Dharmawisesa merupakan salah satu bentuk karya sastra puisi Bali tradisional yang dibangun berdasarkan pupuh-pupuh. Geguritan tersebut dikarang oleh I Gusti Ketut Kontoran ( Almarhum ), yang beralamat di Banjar Bona Kangin Gianyar, Kecamatan Blahbatuh, Gianyar Bali. Si pengarang sangat banyak mentranformasikan ajaran-ajaran dan nilai-nilai luhur agama Hindu yang patut untuk diamalkan sehari-hari. Ajaran tentang nilai-nilai pendidikan agama mendapat porsi yang lebih banyak daripada ajaran-ajaran lainnya di dalam karya sastra tersebut.

Ajaran tentang tujuan hidup dan pandangan hidup merupakan suatu usaha untuk menjaga keseimbangan kehidupan, karena pada kenyataannya, bahwa tujuan beragama adalah menuju keseimbangan. Yang dimaksud tidak saja berwujud keseimbangan fisik (jasmani) saja, namun juga mencakup keseimbangan yang bersifat rohani. Di dalam ajaran agama Hindu, moksa dan jagadhta merupakan wujud dari keseimbangan hidup tersebut dan merupakan tujuan utama dari umat Hndu. Dalam kitab Whaspatitattwa sloka 25 dinyatakan sebagai salah satu di antara tujuh bentuk pelaksanaan dharma. Adapun kutipan sloka tersebut sebagai berikut :

Sila ngaraning mangrakscara rahayu, yaja ngaraning manghanakn homa, tapa ngaraning umatndriyanya, tan winh ring wiayanya, dana ngaraning wwh, prawrajya ngaraning wiku anasaka bhiku ngaraning dikita, yoga ngaraning magaw samadhi nahan pratykaning dharma ngaranya(Putra- Sadia, 1998 : 21 ).Terjemahannya:

Perbuatan mulia, yajna, tapa, dana punia, meninggalkan keluarga dan hidup dari sedekah, yoga, inilah secara singkat yang disebut dharma. ila artinya, melakukan perbuatan yang baik, yajna artinya melakukan pemujaan api, tapa artinya menjadi wiku yang melakukan tapa bratha, bhiku artinya seorang yang didikita, yoga berarti melakukan meditasi, itulah beberapa macam ciri dharma.

Uraian sloka di atas memberikan penekanan pada dharma, bahwa dharma dapat berarti kewajiban, kebajikan, dan kebenaran. Secara spesisifik geguritan dharmawisesa memuat hal-hal yang berkaitan dengan tujuan hidup umat Hindu yang terkonsep di dalam Catur Purusa Artha.Konsep tersebut dapat dirumuskan sebagai berikut ini: 1) Asih, yaitu mengasihi dan menyayangi sesama makhluk hidup, sesama ciptaan Hyang Widhi, Manusia hendaknya saling harga menghargai, cinta mencintai, hornat menghormati, dan mengamalkan ajaran tat twam asi terhadap semua makhluk, agar terwujud kerukunan, kedamaian, dan keharmonisan dalam kehidupan serta terwujudnya masyarakat yang sejahtera.

2) Punia, yaitu kemauan dan keikhlasan untuk berdana punia dalam bentuk pemberian sedekah, untuk mewujudkan rasa cinta kasih terhadap sesama hidup dengan cara saling tolong menolong agar bermanfaat bagi orang lain.

3) Bhakti, yaitu bersujud dengan keiklasan dan kerendahan hati kehadapan Hyang Widhi dalam bentuk ibadah dan pelaksanaan upacara yajna. 4) Menumbuhkan rasa kasih sayang pada sesama dan kepedulian terhadap orang lain, dengan mengamalkan ajaran catur paramitha, yaitu maitri, karuna, mudita, upeksa.(1) Maitri, artinya kasih sayang kepada semua makhluk, dengan mengembangkan rasa dan sikap persaudaraan untuk menuju kesejahteraan dunia yang disebut jagadhita. (2) Karuna, adalah sikap yang selalu berusaha menghilangkan penderitaan semua makhluk, sehingga setiap perkataan selalu dijaga agar tidak menyakiti orang lain.(3) Mudita, adalah selalu berpikiran baik dan mau menerima petunjuk orang lain.Berusaha untuk menjadikan orang lain senang dan bahagia.(4) Upeksa, dapat mempertimbangka mana yang baik dan mana pula yang tidak baik, ilhlas dan tidak mengharapakan imbalan berupa harta benda dan juga menghindari pujian dan sanjungan.

Inti dari ajaran catur paramitha adalah cinta kasih terhadap semua makhluk. Ajaran cinta kasih dapat mengangkat martabat manusia menjadi makhluk mulia di dunia ini, oleh karena itu, ajaran Catur Purusa Artha dan Catur Paramitha wajib hukumnya dan harus dilakukan oleh seluruh umat manusia, lebih-lebih umat yang beragama Hindu. Kitab sici Manawa Dharmasastra menegaskan kewajiban manusia yang harus dilakukan menurut tingkatan jaman atau yuga.Tahapan jaman itu terdiri dari kerta yuga, treta yuga, dwapara yuga dan kali yuga. Mengenai perbedaan kewajiban tiap yuga tersebut dapat dikutip dari sloka kitab suci Manawa Dharmasastra seperti di bawah ini:

Anye krtayuga dharmastre

tayam dwapare pare

Anye kaliyuge nrrnam

yugahrasanu rupatah ( Manawa Dharmasastra, I.85)Terjemahannya :

Kewajiban manusia di jaman kerta yuga berbeda dari kewjiban-kewajiban yang ditentukan di jaman treta yuga, di jaman dwapara yuga, demikian pula di jaman kali yuga

Selanjutnya Manawa Dharmasastra I.86 menjelaskan sebagai berikut:

Tapah param krtayuge

tretayam jnanam ucyate

dwapare yajna ewahur

dana ekam kalay yuga.

Terjemahannya:

Di jaman krta yuga, tapa adalah sangat mulia,di dalam jaman trta yuga ilmu pengetahuan yang sangat utama, di jaman dwa para yuga melaksanakan yajna besar adalah mulia, namun pada jaman kali yuga danalah yang sangat mulia.

Dari uraian kitab suci di atas dapat dijelaskan bahwa setiap orang wajib melaksanakan dharma. Dari uraian di atas peneliti sangat tertarik untuk mengkaji geguritan tersebut ke dalam karya ilmiah dengan alasan bahwa geguritan Dharmawisesa merupakan salah satu karya sastra yang mampu mentranformasikan nilai-nilai luhur ajaran agama Hindu yang masih relevan sampai saat ini, dan ajaran tersebut perlu diamalkan di dalam kehidupan sehari-hari untuk dapat menjaga keseimbangan dan kedamaian hidup. Geguritan Dharmawisesa menggambarkan secara gamblang dan menguraikan ajaran tentang pegangan hidup dan pandangan hidup yang perlu dikaji secara mendalam untuk dapat diangkat menjadi karya ilmiah, dan sepanjang pengetahuan penulis belum ada peneliti lain yang mengkaji nilai-nilii pendidikan agama Hindu yang terkandung di dalam geguritan Dharmawisesa. Dengan terwujudnya penelitian ini diharapkan geguritan Dharmawisesa mendapat tempat di hati masyarakat Bali seperti geguritan yang lain.1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang di atas, maka hal-hal yang menjadi permasalahan dalam penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut :1) Bagaimakah bentuk geguritan Dharmawisesa ?2) Bagaimanakah struktur geguritan Dharmawisesa ?3) Nilai-nilai pendidikan apa saja yang terkandung dalam geguritan Dharmawisesa?

1.3 Tujuan Penelitian

Setiap aktivitas penelitian senantiasa berorientasi pada tujuan yang jelas dan terarah sebagai target yang hendak dicapai agar dapat membimbing peneliti dalam menjawab problema yang dikemukakan dalam rumusan masalah di atas.

Tujuan penelitian ini dapat dibedakan menjadi dua bagian, yaitu tujuan umum dan tujuan khusus.1.3.1 Tujuan Umum

Secara umum penelitian ini bertujuan untuk memahami secara mendalam geguritan Dharmawisesa terutama kajian bentuk, struktur dan nilai-nilai pendidikan agama Hindu yang terkandung di dalamnya.1.3.2 Tujuan Khusus

Secara khusus penelitian ini bertujuan sebagai berikut :

1) Untuk mengetahui bentuk geguritan Dharmawisesa.2) Untuk mengetahui struktur geguritan Dharmawisesa.3) Untuk mengungkap nilai-nilai pendidikan agama Hindu yang terkandung di dalam geguritan Dharmawisesa.1.4 Manfaat Penelitian1.4.1 Manfaat Teoretis

Secara teoretis penelitian ini diharapkan seperti di bawah ini:

1) Dapat menambah wawasan keilmuan yang berkaitan dengan tranformasi dana punia dalam geguritan Dharmawisesa. 2) Wawasan keilmuan yang dimaksud terutama mengenai langkah-langkah dalam mengkaji struktur, tranformasi dana punia dan nilai-nilai pendidikan agama Hindu yang terkandung di dalam geguritan Dharmawisesa. 3) Hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai salah satu referensi bagi penelitian berikutnya untuk mengkaji lebih mendalam dalam aspek yang lain dalam geguritan Dharmawisesa, sehingga khasanah kebudayaan Bali tradisional tumbuh dan berkembang sesuai dengan perkembangan jaman.1.4.2 Manfaat Praktis

Secara praktis hasil hasil penelitian ini diharapkan bermanfaat sebagai berikut ini:

1) Sebagai masukan bagi umat Hindu, terutama di dalam memotivasi generasi muda Hindu untuk mempelajari geguritan sebagai salah satu upaya untuk menumbuhkembangkan penghayatan terhadap ajaran agama Hindu.2) Di samping itu penelitian ini sebagai upaya untuk pelestarian, dan pengembangan produk seni sastra tradisional supaya tetap ajeg dan berkesinambungan yang telah diwariskan oleh para leluhur.3) Bermanfaat bagi para pengarang geguritan pemula, pedoman membuat padalingsa suatu pupuh dalam geguritan Dharmawisesa dapat dijadikan acuan pokok untuk membangun geguritan baru.

BAB II

KAJIAN PUSTAKA, DESKRIPSI KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN MODEL PENELITIAN2.1 Kajian Pustaka

Kajian mengenai teks geguritan Dharmawisesa belum ada akhli yang mengkaji atau meneliti secara mendalam baik tentang kajian filosopinya ataupun nilai-nilai pendidikan yang relevan dan masih patut dijadikan pedoman ethika moral oleh para pendidik di dalam dunia pendidikan khususunya pendidikan agama Hindu. Namun demikian, terjemahan naskah yang awalnya ditulis di atas daun lontar, kini sudah ditransliterasi ke dalam huruf latin, sehingga sangat mudah dibaca. Di samping itu, beberapa hasil penelitian dan referensi yang dijumpai dipergunakan juga sebagai bahan perbandingan dan sebagai acuan dalam penelitian ini. Untuk itu, akan dipaparkan beberapa tulisan yang berkaitan dengan permasalahan yang dibahas di dalam penelitian ini sebagai berikut.

Ni Nengah Suparti dalam penelitiannya yang berjudul nilai-nilai pendidikan ke-Tuhanan dalam Geguritan Kawi Swara, disebutkan tentang ajaran-ajaran ke-Tuhanan yakni ajaran-ajaran yang kongkrit dan abstrak yakni:Eda suud malajahin/ jani maningkahang awak/ tuture resep-resepang/inget-ingetang di manah/ bilih yan sadia-kasadian/ican Ida Sang Hyang Tuduh/ mangicenin panyupatan//Terjemahannya:

Janganlah putus asa dalam belajar/dipergunakan untuk memperbaiki diri, ajaran kebaikan agar selalu diingat, dijadikan pedoman hidup, apabila ada keberuntungsn, atas rahmat Tuhan memberkati keselamatan.

Bertolak dari uraian di atas. bahwa ilmu pengtahuan dapat menuntun bertingkah laku yang sopan, menghargai dan menghormati orang lain. Geguritan Dukuh Sukla, oleh I Ketut Suba dalam penelitiannya yang berjdul: Nilai-nilai Pendidikan Agama Hindu dalam Geguritan Dukuh Sukla telah memaparkan pokok-pokok ajaran agama Hindu yaitu tentang Panca Sradha sebagai berikut:Singgih Wanten Sanghyang Widhi/ madan wariga, Sami marika munggah/ salwiring apa-apane/ yening ala miwah ayu/ yadian mati lawan urip/ sami wariga pamatute ditu// punika patut nikayang/ mangda titian uning ngresepang ne mangkin/ patut nimbal tembang durma//Terjemahannya:

Begini/ ada Tuhan/ wariga namanya/ semua ada di sana/ berbagai macam/ tentang hal yang baik ataupu jelek/ mati maupun hidup// semua wariga/ adalah sebagai ukuran/ itu yang patut diajarkan/ agar saya mengetahui sekarang/ sampai pada pupuh Durma//

Dari kutipan di atas, digambarkan dengan jelas keEsaan Sang Hyang Widhi dan untuk bagaimana mendekatkan diri kehadapan Beliau. Semua ciptaan Beliau ada baik dan buruknya, tetapi saling melengkapi.I Putu Sukarma dalam Geguritan Gunatama, serta nilai-nilai yang terkandung di dalamnya, telah memaparkan ajaran reinkarnasi atau kelahiran kembali akibat karma, sebagai berikut:

I Gunatama nunasang/ tingkah awaknyane jani/ tumbuh dumadya manusa/ apang tahu linging tutur/ katuturane ring swarga/ sing ya mati/ niskalannya apang tatas//

Terjemahannya:I Gunatama mohon penjelasan/ mengenai hal yang harus dikerjakannya/ lahir menjadi manusia/ hendaknya mengetahui tentang ajaran/ dikisahkan masih di sorga, jika meninggal kelak/ agar mengetahui dengan jelas alam akhirat.

Dari kutipan tersebut di atas, terjadi dialog yang melukiskan seorang murid dengan seorang guru spiritual tentang hal-hal yang patut dipelajari kelak setelah lahir kembali ke dunia. Ni Luh Nyoman Suprapti dalam penelitiannya berjudul : Nilai-nilai Pendidikan dalam Geguritan Luh Raras sebagai sumber daya pendidikan tata susila wanita Hindu telah memaparkan konsep ideal seorang wanita yakni sebagai kutipan berikut ini:

Tuhu teken awak/ murnama tilem mabresih/ lewihte dewasa melah/ mangastu ayu/ batah pra ada pada/ mituutin/ buku tuara ada pada//

Terjemahannya:Sangat telaten dengan diri/ setiap hari purnama dan bulan mati/ membersikah diri/ lebih-lebih pada hari suci/ senantiasa memelihara kesucian/ para remaja yang mengikuti/ bagaikan tiada yang menyamai//

Berdasarkan kutipan di atas, maka dapat dinyatakan bahwa Luh Laras adalah simbul wanita ideal, karena Luh Laras selalu memberikan contoh kepada kaum remaja di dalam menentukan sikap harus mandiri dan bertanggungjawab.

Dari beberapa referensi hasil penelitian tersebut di atas, maka Geguritan Dharma Wisesa memiliki relevansi dengan penelitian di atas, karena Geguritan Dharma Wisesa sarat dengan Nilai-nilai Pendidikan agama Hindu yang relevan diajarkan sampai pada saat ini. Adapun nilai- nilai yang akan dikaji adalah: 1) Nilai Pendidikan Tattwa, 2) Nilai Penidikan Tata Susila, 3) Nilai Pendidikan Tat Twam Asi, dan 4) Nilai Pendidikan Budi Pekerti.2.2 Deskripsi Konsep2.2.1 Nilai

Kata nilai sering dipergunakan dalam kehidupan sehari-hari baik di sekolah maupun di masyarakat. Penggunaan kata nilai dalam suatu disiplin ilmu seperti ilmu ekonomi, ilmu alam, ilmu sosial dan budaya akan memiliki arti yang berbeda sesuai dengan penggunaannya. Di sekolah, misalnya dalam proses belajar-mengajar istilah nilai dipergunakan sebagai ukuran untuk mengetahui proses belajar siswa yang dinyatakan dalam bentuk angka. Nilai atau angka yang diberikan kepada anak didik bervariasi sesuai dengan hasil evaluasi yang diperoleh dari hasil penilaian guru. Nilai dalam hal ini merupakan suatu alat motivasi yang memberikan rangsangan kepada anak didik untuk mempertahankan atau bahkan meningkatkan prestasi belajar mereka di masa mendatang.

Penggunaan kata nilai dalam konteks di atas bila diperhatikan mengandung pengertian sebagai angka kepandaian terhadap kemampuan anak.

Dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia disebutkan pengertian nilai sebagai berikut :

1.Harga (dalam arti taksiran harga), misalnya tak ada ukuran yang tentu untuk menentukan nilai intan.

2. Harga sesuatu (uang ), misalnya jika diukur atau ditukarkan dengan yang lain misalnya nilai-nilai dolar Amerika mengalami kegoncangan.

3. Angka kepandaian, biji, ponten, misalnya sekurang-kurangnya nilai tujuh untuk ilmu pasti.

4. Kadar, mutu, banyak sedikitnya isi : misalnya makanan yang tinggi nilai kalori dan proteinnya ; suatu karangan ilmiah yang tinggi nilainya.

5. Sifat (hal-hal) penting atau berguna bagi kemanusian, misalnya nilai-nilai agama yang perlu kita indahkan (Poerwadarminta, 1984:677).

Pengertian nilai sebenarnya sangat tekait dengan filsafat, karena filsafat memiliki cabang ilmu yang menyelidiki tentang hakekat nilai dan valuasi (perkiraan, pandangan tentang nilai) yaitu aksiologi. Aksiologi berasal dari bahasa latin yang berasal dari kata aksios dan logos. Aksios artinya nilai, sedangkan logos berarti ilmu. Aksiologi berarti ilmu tentang nilai. Istilah itu kiranya kurang tepat karena filsafat dengan ilmu berbeda dalam aspek formalnya. Oleh karena itu istilah aksiologi tersebut di atas lebih tepat disebut filsafat nilai. (Ghoni,tt:12).

Filsafat nilai berarti ilmu yang mempelajari hakekat nilai. Hakekat nilai sering dihubungkan dengan kebaikan dan dipandang dua sudut, yaitu dari subyek yang menilai dan obyek itu sendiri. Dalam kamus Filsafat tentang teori nilai (theori of Value) diuraikan yakni :

Pada umumnya teori-teori nilai dapat dibagi ke dalam teori yang menghubungkan nilai dengan minat atau kepentingan dan mengandaikan nilai-nilai mempunyai segi obyektif dan dikenal oleh intuisi. Tergantung pada teori nilai-nilai dipandang sebagai kognitif atau non kognitif, obyektif atau subyektif, absolute atau relative, natural dan non natural, esensialistik atau sksistensialistik, dan dapat dibenarkan atau tidak dapat dibenarkan. (Lorens, 2000:721).

Dalam GBHN diungkapkan tentang pengertian nilai sebagai berikut :

Nilai yang dalam bahasa Inggris value termasuk filsafat menilai berarti : menimbang yaitu kegiatan manusia menghubungkan sesuatu dengan sesuatu. Untuk selanjutnya mengambil keputusan-keputusan nilai dapat mengatakan ; berguna atau tidak berguna, benar atau tidak benar, baik atau tidak baik, religius atau tidak religius, hal ini dihubungkan dengan unsur-unsur yang ada pada manusia yaitu jasmani, yaitu cipta, rasa, karsa dan kepercayaan. (Dardji Darmodiharjo dkk, 1998:55).

Bertens dalam bukunya yang berjudul Etika, menyebutkan bahwa nilai sekurang-kurangnya memiliki tiga ciri berikut :

1.Nilai berkaitan dengan subyek kalau kalau tidak ada subyek yang menilai maka tidak ada nilai juga.

2.Nilai tampi dalam suatu konteks praktis dimana suatu subyek ingin membuat sesuatu.

3.Nilai-nilai yang menyangkut sifat-sifat yang ditambah oleh subyek pada sifat-sifat yang dimiliki obyek pada dirinya. Rupanya hal itu harus dikatakan karena obyek yang sama bagi berbagai subyek dapat menimbulkan nilai yang berbeda-beda. (Bartens, 1997:14).

Nilai dapat muncul apabila ada hubungan antara obyek yang dinilai dengan subyek yang menilai. Meskipun ada obyek yang mengandung nilai tetapi bila tidak ada subyek yang menilai dan menanggapinya, maka obyek tersebut tidak bernilai. Suatu obyek akan mengandung nilai setelah adanya hubungan obyek dengan subyek. Dengan kata lain bahwa obyek tersebut bebas nilai selama obyek tersebut belum berhubungan dengan subyeknya, belum dapat perhatian dari subyek dan subyeknya belum memberikan penilaian terhadap obyeknya. Nilai merupakan suatu yang bagi kita, sesuatu yang disukai, sesuatu yang dicari, sesuatu yang diinginkan, yang menyenangkan, singkatnya sesuatu yang baik. (Bartens, 1997:14).

Bagi manusia nilai dijadikan landasan, alasan atau motivasi dalam segala perbuatannya. Nilai dijabarkan dalam bentuk norma, kaidah atau ukuran di mana norma itu merupakan aturan atau standar, sehingga segala sesuatu yang mempunyai nilai kebenaran, keindahan, kebaikan dianjurkan dan sebaliknya bila tidak benar, tidak indah dan tidak baik akan dicela. Menyimak uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa, geguritan dharmawisesa memiliki nilai kebenaran, keindahan, kebajikan, kebaikan yang dijadikan pedoman untuk berperilaku berdasarkan norma-norma tata krama dari sudut pandang ajaran agama Hindu.2.2.2 Pendidikan Agama Hindu

Fungsi pendidikan agama Hindu tertuang dengan jelas dan terarah dalam buku Himpunan Keputusan Seminar Kesatuan Tafsir terhadap Aspek - Aspek agama Hindu I - IV, diterbitkan oleh : Proyek Pengadaan Prasarana dan Sarana Kehidupan Beragama tersebar di 8 (delapan) Kabupaten Dati II, diperbanyak oleh Pemerintah Kabupaten Badung, adalah sebagai berikut ini :

1) Pendidikan agama Hindu di luar sekolah terdiri dari :

(1) Pengertian pendidikan agama Hindu.

(2) Guna dan tujuan pendidikan agama Hindu.

(3) Materi dan sarana pendidikan agama Hindu.

(4) Pelaksanaan pendidikan agama Hindu.

2) Pendidikan agama Hindu di sekolah, terdiri dari

(1) Pengertian pendidikan agama Hindu.

(2) Guna dan tujuan pendidikan agama Hindu.

(3) Didaktik dan metodik pendidikan agama Hindu.

(4) Materi Pendidikan agama Hindu.

(5) Sarana Pendidikan agama Hindu.(1992-1993:22).

Lebih lanjut dijabarkan sebagai berikut ini :

Pendidikan agama Hindu di luar sekolah merupakan suatu upaya untuk membina pertumbuhan jiwa masyarakat, dengan ajaran agama Hindu itu sendiri sebagai pokok materi. Guna dan tujuan pendidikan agama Hindu di luar sekolah meliputi: (a) menanamkan ajaran agama Hindu menjadi keyakinan dan landasan segenap kegiatan umat Hindu dalam semua prikehidupannya, (b) ajaran agama Hindu mengarahkan petumbuhan kemasyarakatan umat Hindu,sehingga serasi dengan Pancasila dasar Negara Republik Indonesia , (c) menyerasikan dan menyeimbangkan pelaksanaan bagian-bagian ajaran agama Hindu dalam masyarakat antara tattwa, susila, dan yaja, (d) untuk mengembangkan hidup rukun antara umat barbagai agama.

Materi pendidikan agama Hindu bersumber pada Veda Smti dan Itihasa, yang pelaksanaannya sesuai dengan tempat, waktu, dan tujuan (desa, kala, patra), sedangkan sarana-sarana dalam pengembangan pendidikan agama Hindu mencakup hal-hal seperti berikut ini: (a) penyuluhan-penyuluhan, (b) lembaga-lembaga masyarakat, seperti Desa, Banjar, Subak dan lain-lainnya, (c) perpustakaan, (d) penerbitan-penerbitan (majalah-majalah, harian-harian, brosure-brosure, dan lain-lain), (e) mass media-mass media (radio,wayang, film, TV,dan lain-lain)

3) Pelaksanaan pendidikan agama Hindu di masyarakat ditangani oleh:

(1) Parisada Hindu Dharma.

(2) Departemen Agama.

(3) Eksponen-eksponen agama Hindu dalam masyarakat ( 1992-1993: 24).

Pendidikan Agama Hindu di sekolah ialah suatu upaya untuk membina pertumbuhan jiwa raga anak didik sesuai dengan ajaran agama Hindu. Sedangkan tujuan pendidikan agama Hindu di sekolah meliputi; 1) membentuk manusia Pancasilais yang astiti bhakti (bertaqwa) kepada Sang Hyang Widhi Wasa,Tuhan Ynag Maha Esa, 2) membentuk moral, etika dan spiritual anak didik sesuai dengan ajaran agama Hindu.

Didaktik dan metodik pendidikan agama Hindu meliputi hal-hal berikut ini; 1) pendidikan agama Hindu di sekolah hendaknya disesuaikan dengan tingkat perkembangan jiwa anak didik, 2) pendidikan agama Hindu dikorelasikan dengan bidang-bidang pendidikan lainnya, 3) memberikan contoh-contoh tentang kehidupan beragama yang baik. Materi pembelajaran pendidikan agama Hindu di sekolah bersumber pada Veda Sruti, Smti, dan Itihasa, yang pelaksanaannya disesuaikan dengan kondisi di masing-masing jenjang pendidikan.

Sarana pendidikan agama Hindu meliputi hal-hal seperti berikut ini :

1) Kurikulum.

2) Buku-buku .

3) Perpustakaan.

4) Guru-guru (1992-1993:25).

Menyimak uaraian di atas dapat disimpulkan, bahwa kata pendidikan mengAndung makna beragam, bahkan Mudyahardjo(2006:3-10) membagi definisi pendidikan menjadi tiga bagian, yaitu : (1) definisi maha luas, (2) definisi sempit, (3) definisi luas terbatas.

Definisi Maha Luas : Pendidikan adalah hidup, pendidikan adalah segala lingkungan dan sepanjang hidup, pendidikan adalah segala situasi hidup yang mempengaruhi pertumbuhan individu (Mudyahardjo,2006:3).

Definisi Sempit : Pendidikan adalah sekolah. Pendidikan adalah pengajaran yang diselenggarakan di sekolah sebagai lembaga pendidikan formal. Pendidikan adalah segala pengaruh yang diupayakan di sekolah terhadap anak dan remaja yang diserahkan kepadanya agar mempunyai kemampuan yang sempurna dan kesadaran penuh terhadap hubungan-hubungan dan tugas sosial terhadap hubungan-hubungan dan tugas sosial mereka (Mudyahardjo,2006:6).

Definisi Luas Terbatas : Pendidikan adalah usaha sadar yang dilakukan oleh keluarga, masyarakat, dan pemerintah, melalui kegiatan bimbingan, pengajaran dan atau latihan yang berlangsung di sekolah dan di luar sekolah sepanjang hayat, untuk mempersiapkan peserta didik agar dapat memainkan peranan dalam berbagai lingkungan hidup secara tepat dimasa yang akan datang. Pendidikan adalah pengalaman-pengalaman belajar terprogram dalam pendidikan formal, non formal, dan informal di sekolah, dan di luar sekolah yang berlangsung seumur hidup yang bertujuan optimalisasi pertimbangan kemampuan individu, agar dikemudian hari dapat memainkan peranan hidup (Mudyahardjo,2006:10).

2.2.3 Geguritan Kata geguritan berasal dari kata dasar gurit yang berarti gubah, karang, sadur. Geguritan berarti saduran cerita yang berbentuk tembang atau pupuh (Warna,1990 : 254). Dalam sastra Bali Tradisional, geguritan dikelompokkan ke dalam ranah sekar alit. Sekar dalam bahasa Bali di samping berarti bunga juga berarti tembang sebagaimana terlihat dalam istilah sekar alit, sekar madya, dan sekar ageng (Sugriwa, 1977:6;2007:259). Dengan demikian, geguritan adalah karya sastra Bali yang dalam proses pembuatan dan pembacaannya ditentukan menurut kaidah sekar alit yang disebut pada lingsa: pola puisi Bali Tradisional yang terikat oleh (1) jumlah suku kata dalam satu baris; (2) bunyi akhir dalam satu baris; dan (3) jumlah baris dalam satu bait. Nama tembangnya cukup banyak, di antaranya Sinom, Ginada, Pangkur, Pucung, Ginanti, Dangdang, Mas Kumambang, Semarandana, Magatruh, Durma, dan yang lain-lainnya.

Geguritan dibedakan dengan peparikan walaupun proses pembentukan dan pembacaannya sama-sama ditentukan menurut pola padalingsa. Akan tetapi, menurut isinya geguritan lebih bersifat karangan murni, sedangkan paparikan adalah karya saduran ( Warna, 1990: 501 ). Sebagai karya saduran, paparikan mengambil sumber langsung dari karya sebelumnya.

Berdasarkan pandangan di atas, geguritan Dharmawisesa dalam penelitian ini dipahami sebagai geguritan, yakni salah satu puisi Bali tradisional yang termasuk kelompok ragam sekar alit. Geguritan Dharmawisesa dipahami sebagai geguritan karena teks yang menjadi bangun geguritan Dharmawisesa dominan digubah menurut kaidah sekar alit dan isinya secara intertekstualitas tidak bersumber langsung dari teks-teks sebelumnya. Selanjutnya akan dijelaskan mengenai kata dharmawisesa, adalah sebagai berikut ini:

2.2.4 Dharmawisesa

Kata Dharmawisesa terdiri dari dua kata, yaitu kata dharma dan kata wisesa. Dalam Kamus Istilah Agama Hindu dijelaskan, kata dharma ( s ) berasal dari kata (dhr, yang artinya menjinjing, memegang ) 1. kebajikan, kesucian, kebenaran; 2. kewajiban, hukum.( Pemerintah Propinsi Bali, 2002 : 29 ). Menurut Mantra dalam Bukunya Tata Susila Hindu Dharma, mengutip sloka-sloka kitab suci Manawa Dharmasastra yang berkaitan dengan arti dharma dapat diuraikan seperti di bawah ini :

Dharma berarti keadilan, melakukan perbuatan dharma adalah sama dengan melakukan perbuatan yang benar. Perbuatan itu dapat dikatakan mendorong pikiran berbuat adil di dalam masyarakat. Berbuat keadilan adalah mendapatkan teman yang tidak pernah menjatuhkan orang. Dan apabila semua yang lainnya mengasingkan dia, teman yang setia ini akan tetap setia sampai mati.( 1993 : 24 ).Bantas ( 2007 ) mengutip beberapa pengertiam dharma dalam beberapa kitab menjelaskan seperti di bawah ini :1) Dharma berarti agama.

Dalam hubungan kehidupan kerohanian, kata dharma diartikan agama baik di Indonesia maupun di India. Sebagai contoh dapat dikemukakan maha wakya : Moksartham Jagadhitaya ca iti dharma, yang artinya dharma atau agama itu ialah alat untuk mencapai moksa dan kesejahteraan hidup mahluk. Dharma atau agama merupakan jalan untuk pergi ke sorga, bagaikan perahu yang merupakan alat bagi pedagang untuk menyeberangi lautan, sesuai dengan ucapan sloka Sarasamuscaya 14 yang berbunyi sebagai berikut :

ikang dharma ngaranya henuning mara ring swarga ika kadi gatining perahu, an henuning banyaga umentasing tasik ,

Terjemahannya:

Yang disebut dharma, adalah merupakan jala untuk pergi ke sorga; sebagai halnya perahu, sesungguhnya adalah merupakan alat bagi orang dagang untuk mengarungi lautan ( Kadjeng, tt.11).

2) Dharma berarti Tuhan

Di dalam kakawin Sutasoma terdapat kata dharma yang berarti sebutan untuk Tuhan. Kakawin tersebut adalah gubahan dari Mpu Tan Tular, yang bait kakawinnya dapat diuraikan seperti di bawah ini :

Rwaneka dhatu winuwus wara budha wiswa,

Bhinneki rakwa ringapan kena parwanosen,

mangkang jinatwa kalawan siwa tattwa tunggal,

bhinneka tunggal ika tan hana dharma mangrwa.

Terjemahannya:

Dua sebutan Tuhan dinyatakan sebagai Adhi Budha dan Siwa, konon itu berbeda, tetapi sampai kapanpun tidak dapat dibedakan, demikianlah Adhi Budha dan Siwa adalah tunggal. Berbeda itu tetapi tunggal itu tidaklah ada Tuhan yang kedua,( Bantas, 2007 : 4.30 ).

3) Dharma berarti kebenaran

Dalam hubungan ini dapat dikutipkan sloka Bhagawadgita sebagai berikut :

Atha chet twam imam dharmayam sam gramam na karishast,

tatah swadharmam kirtim chahitwa papam awapsyasi, ( Bhagawadgita, II. 33 ).

Terjemahannya :

Jika engkau tidak berperang menegakkan kebenaran ini , meninggalkan

kewajiban dan kehormatanmu, maka dosa papalah bagimu .

Selanjutnya di dalam kakawin Ramayana Sargah 24, pada 31, dijelaskan sebagai berikut :

Prihen temen dharma dhumaranang sarat,

saraga sang sadhu sireka tutana,

tan artha tan kama pidonya tan yasa,

ya sakti sang sajjana dharma raksaka

Terjemahannya:

Utamakan dengan benar peraturan-peraturan untuk mengatur negara, sebagai halnya sang pandita beliaulah itu yang sepatutnya untuk ditauladani, tidak mengutamaka harta, demikian juga kenikmatan hidup yang tidak di dapat dari usaha, keutamaan orang bijaksana kebenaran ( dharma ) yang beliau di pegang teguh .

4) Dharma berarti kewajiban

Swadharmam api cha veksya,

na vikampitum arhasi,

dharmyad dhi yuddhach chhreyo nyat

kahatriyasya na wvidyate ( Bhagawadgita, II. 31). Terjemahannya :

Apalagi sadar akan kewajibanmu, engkau tidak boleh gentar, bagi ksatria tidak ada kebahagiaan lebih besar daripada bertempur menegakkan kebenaran.

5) Dharma berarti hukum atau peraturan

Dharma adalah hukum yang mengatur kehidupan secara alami menurut peredaran alam semesta. Kata dharma berarti hukum atau peraturan yang mengatur kehidupan, atau memelihara alam semesta beserta semua makhluk. Dharma yang berarti hukum atau peraturan dapat dilihat dari kitab Santiparwa, 109. 11 ) seperti berikut ini :

Dharanad dharma ityahur, dharmena widhetah prajah.Terjemahannya, Dharma dikatakan datang dari kata darana yang berarti memangku, memikul, menjunjung, atau mengatur. Dengan dharma seluruh alam diatur dan dipelihara.

Dari uraian pengertian dharma di atas, dapat disimpulkan betapa luas dan universalnya pengertian dari dharma, karena seluruh alam semesta dengan segala isinya di atur oleh dharma, semua tunduk dengan hukum abadi dharma itu. Dalam kaitannya dengan penelitian ini dharma yang dimaksud adalah kebenaran, kewajiban, mentaati aturan-aturan, dan swa dharma seseorang di dalam mengabdikan dirnya sebagai insan Tuhan yang agamais dan bersosialisa dengan masyarakat lingkungannya untuk menuju keseimbangan jasmani ( jagadhita) dan kesempurnaan rokhani ( moksa ).

Dalam Kamus Istilah Agama Hindu dijelaskan bahwa kata wisesa ( s ) berarti perbedaan, lain daripada yang lain ( 2002 : 134 ). Sedangkan di dalam Kamus Jawa - Kuna Indonesia 2 P - Y, kata wisesa berariti : ( Skt. perbedaan; tanda khas; kekhususan; jenis; macam; jasa yang khas; keunggulan; ) berbeda dari yang lain, dengan kwalitasnya yang khas; penting, unggul, terkemuka, terbaik, ulung, yang terpenting, yang tertinggi, menjadi penguasa yang tertinggi (Zoetmulder, 2000 : 1450 ). Dari beberapa pengertian wisesa tersebut dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan wisesa di dalam penelitian ini sebuah karangan atau karya sastra tradisional yang berbentuk tembang yang mempunyai kwalitas yang khas, penting dan unggul untuk digali dan dikaji untuk dapat diungkapkan dalam kajian akademik.

Kata Dharmawisesa berarti sebuah karya sastra tradisional yang berbentuk geguritan atau tembang yang isinya memuat tentang ajaran - ajaran agama yang universal terutama ajaran agama Hindu, hukum Hindu, kewajiban-kewajiban yang harus diimplementasikan oleh umat Hindu dalam kehidupan nyata, seperti melakukan dana punia, dan ajaran-ajaran tentang filsafat kehidupan menurut pandangan Hindu.2.3 Landasan Teori 2.3.1 Teori Struktural Sastra

Kata sastra berasal dari Bahasa Sanskerta, yakni dari akar kata s-, dalam kata kerja turunan berarti mengarahkan, mengajar, memberi petunjuk atau intruksi. Sementara itu akhiran kata tra biasanya menunjukan pada alat atau sarana. Oleh karena itu, stra dapat berarti alat mengajar, kitab suci, sastra, ilmu pengetahuan (Teeuw, 1984:23; Zoetmulder, 1995:1052; Monier, 1999:1060).

Dalam perkembangannya, ruang lingkup arti istilah sastra lebih dipersempit. Sastra hanya mencakup bidang seni, yakni seni yang menggunakan bahasa sebagai medianya. Sastra merupakan sebuah ciptaan, sebuah kreasi yang bersifat otonom dengan ciri koherensi (Luxemburg, 1986:5). Pada tahap tertentu karya sastra sama dengan teks agama. Perbedaannya, sastra merupakan kebenaran imajinatif, sedangkan agama merupakan keyakinan (Ratna, 2004:45).

Dalam kebudayaan Bali, kedua arti sastra tersebut masih digunakan. Dalam Kamus Bali-Indonesia (Warna, 1990:615) kata sastra diberi arti pengetahuan, ajaran. Dharma sastra berarti ajaran agama; niti sastra berarti ajaran tentang ketatanegaraan. Sastra juga berarti huruf: sastra Bali berarti huruf Bali.

Dharma sastra dalam arti ajaran agama juga diistilahkan dengan sastra agama. Sebagai sebuah subkepustakaan Hindu, dharma sastra adalah kelompok buku yang berisi tentang tuntunan atau aturan-aturan hidup. Istilah sastra agama sering disepadankan maknanya dengan frasa rasgama (Arjuna Wiwaha XII:6) yang oleh Wiryamartana (1990:141) diberi arti inti sari agama. Istilah sastra agama dan rasgama adalah istilah yang dijawakan dari kosakata Sanskerta gamastra karya-karya suci, gamarasa esensi karya-karya atau teks-teks suci (Monier, 1999:129; Zoetmulder, 1990:12).

Dalam tradisi Bali, mereka yang gemar membaca, terutama membaca teks yang terdapat dalam lontar disebut anak nyastra orang berilmu, yakni mereka yang senang membaca dan berbuat kebajikan kepada sesamanya (Ngurah Bagus, 980;7).Anak nyastra ini memberi perhatian secara khas dan intens, khususnya kepada lontar. Lontar dipandang bernilai sakral dan dibaca menurut konvensinya. Termasuk di dalamnya lontar-lontar sastra: kakawin, parwa, kidung, geguritan, dan lain-lainnya. Bagi mereka, membaca sastra sering berarti belajar agama. Artinya, mereka belajar kebenaran keyakinan dari olah teks sastra yang termaksud dalam judul Geguritan Magending Sambilang Malajah, Malajah Sambilang Magending karya Ida Bagus Rai (Agastya, 2006:52) bernyanyi sambil belajar, belajar sambil bernyanyi. Secara didaktis, judul tersebut mengisyaratkan cara belajar yang sejalan dengan fungsi sastra: menghibur, mengajar, dam sekaligus mengimbau (Teeuw, 19884:51). Cara belajar yang dianjurkan tersebut oleh Bagus (Agastya, ed, 2006:51) disebut dengan metode sintesis dalam pendidikan agama.

Dengan memperhatikan kebenaran sastra Bali tradisional tersebut, maka arti luas dan sempit istilah sastra sama-sama diacu dalam penelitian ini. Sastra dalam arti sempit karena secara struktural teks geguritan Dharmawisesa adalah salah satu karya sastra Bali yang tergolong sekar alit yang disebut geguritan. Sebaliknya dalam arti luas, jika ditinjau dari isi wacananya, geguritan Dharmawisesa dominan berisi wacana agama yang secara intertekstualitas berasal dari teks-teks suci agama Hindu. Dengan demikian, dapat diasumsikan bahwa geguritan Dharmawisesa dengan metode sintesis mewacanakan dua kebenaran keyakinan. Konsep-konsep kebenaran keyakinan inilah yang dipersonifikasikan secara imajinatif menjadi rupa, karakter, dan laku tokoh dalam geguritan Dharmawisesa.

Menyimak teori tersebut di atas maka, teori struktural sastra sangat tepat dipergunakan untuk membedah permasalahan yang dirumuskan pada rumusan permasalahan kedua, yaitu bagaimana struktur teks geguritan Dharmawisesa? 2.3.2 Teori Semiotika

Analisis struktural tidak dapat dipisahkan dengan analisis semiotik, karena karya sastra merupakan struktur tanda-tanda yang bermakna. Tanda-tanda dimaksud mempunyai makna sesuai dengan konvensi ketandaan. Karya sastra merupakan sistem semiotik tingkat kedua yang menggunakan bahan bahasa sebagai sistem semiotik tingkat pertama (Pradopo, 2003:108). Disebut sebagai sitem semiotik tingkat kedua atau jenis bahasa sekunder (Segers, 2000:14), karena karya sastra dengan petandanya seperti metafora, konotasi, dan ciri-ciri penafsiran ganda lainnya bukanlah bahasa biasa, melainkan sistem komunikasi yang telah sarat dengan pesan kebudayaannya (Ratna, 2004:111).

Semiotik adalah suatu disiplin yang menyelidiki semua bentuk komunikasi yang terjadi dengan sarana tanda-tanda dan berdasarkan pada sistem tanda (Segers,2000:4). Tanda adalah sembarang apa yang mengatakan tentang sesuatu yang lain daripada dirinya sendiri (Ratna,2004:112). Studi semiotik sastra adalah usaha untuk menganalisis sebuah sistem tanda-tanda dan arena, itu menentukan konvensi-konvensi apa yang memungkinkan karya sastra mempunyai arti (Preminger dalam Pradopo,2003:109). Sebagai sebuah ilmu, semiotik mempelajari sistem tanda dan segala yang berhubungan dengannya ; cara berfungsinya, hubungannya dengan tanda-tanda lain, pengirimannya, dan penerimaanya oleh mereka yang menggunakannya (Van Zoest,1992:5) berdasarkan kode-kode tertentu. Kode-kode dimaksud dipilih oleh pengarang dan diketahui oleh pembaca. Oleh karena itu, kode memungkinkan pembaca untuk mengawasandikan tanda-tanda tekstual dan mengaitkan makna dengan materi teks (Segers,2000:17). Kode tersebut tampak pada tindak komunikasi manusia lewat bahasa. Arti bahasa ini ditingkatkan menjadi makna karua sasta oleh konvensi tambahan. Oleh karena itu, untuk mendapatkan makna karya sastra, haruslah diketahui konvensi-konvensi tambahan yang memungkinkan diproduksinanya makna. Konvensi dimaksud sesuai dengan sifat sastra secara umum dan secara khusus sesuai dengan jenis sastra (Pradopo,2003:109).

Karya sastra merupakan aktivitas bahasa yang tidak langsung dan bersifat hypogramik. Aktivitas dimaksud bersifat dialektik antara teks dan pembaca, dan dialektik antara tataran mimetik dan tataran semiotik. Sementara itu, ketidaklangsungannya diakibatkan oleh tida hal. Pertama, penggantian arti, yaitu pada umumnya kata-kata kiasan menggantikan arti sesuatu yang lain, lebih-lebih metafora dan metimini. Dalam penggantian arti ini suatu kata berarti yang lain. Kedua, penyimpangan arti, yaitu perubahan arti akibat ambiguitas, kontradiksi, atau nonsense. Ketiga, penciptaan arti akibat ruang teks berlaku sebagai prinsip pengorganisasian untuk membuat tanda-tanda ke luar dari hal-hal ketatabahasaan yang sesungguhnya secara linguistik tidak ada artinya. Misalnya, simetri, rima, enjabemen, atau equivalensi makna diantara persamaan-persamaan posisi dalam bait.

Teori semiotik dipergunakan untuk membedah rumusan permasalahan pertama dalam penelitian ini.2.3.3 Teori Nilai

Kata nilai sering dipergunakan dalam kehidupan sehari-hari baik di sekolah maupun di masyarakat. Penggunaan kata nilai dalam suatu disiplin ilmu seperti ilmu ekonomi, ilmu alam, ilmu sosial dan budaya akan memiliki arti yang berbeda sesuai dengan penggunaannya. Di sekolah, misalnya dalam proses belajar-mengajar istilah nilai dipergunakan sebagai ukuran untuk mengetahui proses belajar siswa yang dinyatakan dalam bentuk angka. Nilai atau angka yang diberikan kepada anak didik bervariasi sesuai dengan hasil evaluasi yang diperoleh dari hasil penilaian guru. Nilai dalam hal ini merupakan suatu alat motivasi yang memberikan rangsangan kepada anak didik untuk mempertahankan atau bahkan meningkatkan prestasi belajar mereka di masa mendatang.

Penggunaan kata nilai dalam konteks di atas bila diperhatikan mengandung pengertian sebagai angka kepandaian terhadap kemampuan anak. Dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia disebutkan pengertian nilai sebagai berikut :

1. Harga (dalam arti taksiran harga), misalnya tak ada ukuran yang tentu untuk menentukan nilai intan.

2. Harga sesuatu (uang), misalnya jika diukur atau ditukarkan dengan yang lain misalnya nilai-nilai dolar Amerika mengalami kegoncangan.

3. Angka kepandaian, biji, ponten, misalnya sekurang-kurangnya nilai tujuh untuk ilmu pasti.

4. Kadar, mutu, banyak sedikitnya isi : misalnya makanan yang tinggi nilai kalori dan proteinnya ; suatu karangan ilmiah yang tinggi nilainya.

5. Sifat (hal-hal) penting atau berguna bagi kemanusian, misalnya nilai-nilai agama yang perlu kita indahkan (Poerwadarminta, 1984:677).

Pengertian nilai sebenarnya sangat tekait dengan dengan filsafat, karena filsafat memiliki cabang ilmu yang menyelidiki tentang hakekat nilai dan valuasi (perkiraan, pandangan tentang nilai) yaitu aksiologi. Aksiologi berasal dari bahasa latin yang berasal dari kata aksios dan logos. Aksios artinya nilai, sedangkan logos berarti ilmu. Aksiologi berarti ilmu tentang nilai. Istilah itu kiranya kurang tepat karena filsafat dengan ilmu berbeda dalam aspek formalnya. Oleh karena itu istilah aksiologi tersebut di atas lebih tepat disebut filsafat nilai. (Ghoni,tt:12).

Filsafat nilai berarti ilmu yang mempelajari hakekat nilai. Hakekat nilai sering dihubungkan dengan kebaikan dan dipandang dua sudut, yaitu dari subyek yang menilai dan obyek itu sendiri.

Dalam GBHN diungkapkan tentang pengertian nilai sebagai berikut :

Nilai yang dalam bahasa Inggris value termasuk filsafat menilai berarti : menimbang yaitu kegiatan manusia menghubungkan sesuatu dengan sesuatu. Untuk selanjutnya mengambil keputusan-keputusan nilai dapat mengatakan ; berguna atau tidak berguna, benar atau tidak benar, baik atau tidak baik, religius atau tidak religius, hal ini dihubungkan dengan unsur-unsur yang ada pada manusia yaitu jasmani, yaitu cipta, rasa, karsa dan kepercayaan.(Dardji Darmodiharjo dkk, 1998:55).

Bertens dalam bukunya yang berjudul Etika, menyebutkan bahwa nilai sekurang-kurangnya memiliki tiga ciri berikut :1. Nilai berkaitan dengan subyek kalau kalau tidak ada subyek yang menilai maka tidak ada nilai juga.

2. Nilai tampil dalam suatu konteks praktis dimana suatu subyek ingin membuat sesuatu.

3. Nilai-nilai yang menyangkut sifat-sifat yang ditambah oleh subyek pada sifat-sifat yang dimiliki obyek pada dirinya. Rupanya hal itu harus dikatakan karena obyek yang sama bagi berbagai subyek dapat menimbulkan nilai yang berbeda-beda. (Bartens, 1997:14).

Nilai dapat muncul apabila ada hubungan antara obyek yang dinilai dengan subyek yang menilai. Meskipun ada obyek yang mengandung nilai tetapi bila tidak ada subyek yang menilai dan menanggapinya, maka obyek tersebut tidak bernilai. Suatu obyek akan mengandung nilai setelah adanya hubungan obyek dengan subyek. Dengan kata lain bahwa obyek tersebut bebas nilai selama obyek tersebut belum berhubungan dengan subyeknya, belum dapat perhatian dari subyek dan subyeknya belum memberikan penilaian terhadap obyeknya. Nilai merupakan suatu yang bagi kita, sesuatu yang disukai, sesuatu yang dicari, sesuatu yang diinginkan, yang menyenangkan, singkatnya sesuatu yang baik. (Bartens, 1997:14).

Bagi manusia nilai dijadikan landasan, alasan atau motivasi dalam segala perbuatannya. Nilai dijabarkan dalam bentuk norma, kaidah atau ukuran dimana norma itu merupakan aturan atau standar, sehingga segala sesuatu yang mempunyai nilai kebenaran, keindahan, kebaikan dianjurkan dan sebaiknya bila tidak benar, tidak indah dan tidak baik akan dicela.

Geguritan Dharmawisesa penuh dengan kandungan nilai, baik nilai agama, nilai budaya dan nilai pendidikan agama Hindu. Nilai pendidikan akgama Hindu tidak terlepas dari nilai-nilai pendidikan secara umum .

Pendidikan secara umum adalah usaha yang dilakukan dengan sadar oleh orang dewasa kepada anak yang belum dewasa. Yang dimaksud dewasa adalah orang yang bertanggung jawab secara jasmani dan rohani serta berdiri sendiri yang dapat dari proses pendidikan. Dari proses pendidikan itu sendiri manusia akan dapat lebih dibudayakan. Untuk mendapatkan pengertian yang lebih jelas tentang pengertian pendidikan, berikut akan dikemukakan pendapat para ahli sebagai berikut :

Menurut Brodjonegoro dalam Suwarno (1992: 1-2) pendidikan berasal dari beberapa bahasa yaitu :

a. Bahasa Yunani ; Paedagogiek atau teori pendidikan berasal dari perkataan pats yang berarti anak, dan gogos yang berarti penutur, dengan demikian paedagogiek berarti ilmu menuntun anak.

b. Bahasa Belanda : Opveoding yang pada permulaannya berarti membesarkan dengan makanan, jadi membesarkan anak dalam arti jasmaniah. Dalam artian luas, opveoding berarti tindakan untuk membesarkan anak dalam arti mematangkan perasaan, pikiran, kemauan dan watak sang anak.

c. Bahasa Jawa : Pangualwentah yang berarti mengolah, jadi mengolah kejiwaannya, ialah mematangkan perasaan, pikiran, kemauan dan watak sang anak.

d. Bahasa Romawi : (termasauk bahasa Inggris) ada istilah educare yang artinya mengeluarkan dan menuntun. Istilah ini menunjukkan untuk merealisasikan innerijk anteng atau potensi anak, yang dibawa waktu dilahirkan di dunia. Jadi educare berarti membangunkan kekuatan terpendam atau mengaktifkan kekuatan potensial yang dimiliki anak.

e. Bahasa Jerman : Erzichung hampir sama artinya dengan educare. Jadi mengeluarkan dan menuntun.

Dari pengertian pendidikan tersebut di atas, maka Brodjonegoro dalam Suwarno (1992: 2) merumuskan pengertian, bahwa pendidikan atau mendidik adalah tuntunan kepada manusia yang belum dewasa untuk menyiapkan diri agar dapat memenuhi sendiri tugas hidupnya atau dengan secara singkat pendidikan adalah tuntunan kepada pertumbuhan manusia mulai lahir sampai tercapainya kedewasaan, dalam arti jasmaniah dan rohaniah.

Pada dasarnya pendidikan merupakan rangkaian tugas mendidik, yang berlangsung karena adanya kegiatan proses belajar mengajar antara seseorang dengan orang lain. Di mana salah satu pihak selaku anak didik atau orang yang di didik dan dipihak lain di sebut sebagai pendidik atau orang yang di didik dan pihak lain sebagai pendidik atau orang yang mendidik, orang yang memberikan bimbingan (tuntunan), atau orang yang memberikan bantuan. Berdasarkan hal itu muncul definisi, bahwa pendidikan adalah bantuan atau bimbingan yang diberikan dengan sengaja oleh orang yang dewasa kepada anak dalam pertumbuhan jasmani maupun rohaninya untuk mencapai tingkat kedewasaan.

Menurut tokoh Pendidikan Nasional Ki Hajar Dewantara, dalam Suwarno (1992: 3) menyatakan bahwa :

Pendidikan diartikan sebagai daya upaya untuk memberikan tuntunan pada segala kelemahan kodrat yang ada pada anak-anak agar mereka menjadi baik sebagai manusia maupun sebagai anggota masyarakat. Dapatlah mencapai keselamatan dan kebahagiaan hidup lahir dan bathin yang setinggi-tingginya, serta mencintai sikap rendah hati terhadap ilmu.

Konsep Pendidikan Ki Hajar Dewantara tersebut dapat diartikan sebagai peletak dasar kodrat yang pertama dan utama dalam proses pendidikan. Dimana orang tua mempunyai kewajiban untuk mengabdikan diri pada anak-anaknya dengan cinta kasih pada sesama mahluk dan memberikan kebebasan untuk mengembangkan bakat dan minat dalam hal apapun dalam artian yang positif yang sesuai dengan alam budaya Indonesia.

Lebih lanjut Ki Hajar Dewantara menyebutkan bahwa pendidikan adalah daya upaya untuk memajukan budi pakerti, pikiran yang tumbuh dari anak. Berdasarkan definisi tersebut, dapat diuraikan secara garis besarnya, yaitu daya berarti kekuatan, sedangkan upaya adalah usaha. Jadi daya upaya adalah kekuatan untuk berusaha dan di sebut juga sebagai usaha yang sungguh-sungguh yang disertai dengan rasa tanggung jawab. Budi pakerti maksudnya adalah sikap/prilaku. Sedangkan pikiran adalah kemampuan intelektual dan tubuh sama artinya dengan tingkat kedewasaan secara lahir dan bathin.

Selanjutnya pengertian pendidikan yang tertuang dalam Undang-undang No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional , bahwa :

Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara.

Dalam kaitannya dengan pendidikan agama Hindu, maka di dalam buku Himpunan Keputusan Seminar Kesatuan Tafsir Terhadap Aspek-aspek Agama Hindu I-IX, menyebutkan bahwa pendidikan agama Hindu dapat dibedakan atas dua bagian dasar yaitu :1. Pendidikan agama Hindu di luar Sekolah adalah merupakan suatu upaya untuk membina pertumbuhan jiwa masyarakat, dengan ajaran agama Hindu itu sebagai pokok materi.

2. Pendidikan agama Hindu di Sekolah adalah suatu upaya membina pertumbuhan jiwa raga anak didik sesuai dengan ajaran agama Hindu (PHDI Pusat, 2000: 23-24).

Pendidikan agama Hindu memberikan tuntunan dalam menempuh kehidupan dan mendidik masyarakat, bagaimana hendaknya berpendirian, berbuat atau bertingkah laku supaya tidak bertentangan dengan dharma, etika dan agama. Agama dapat menyempurnakan manusia dalam meningkatkan hidup baik secara material maupun spiritual. Materi pokok pendidikan agama Hindu bersumber dari kitab suci Weda dan telah dijabarkan dalam pustaka-pustaka Hindu yang lainnya, dan semua itu mengajarkan tentang dharma yang harus diingat dan dilaksanakan oleh umat Hindu, seperti yang telah disebutkan dalam kitab Sarasamuscaya, sloka 40, sebagai berikut :

Kunang kengetakena sassing kajar de sang hyang Sruti dharma ngaranika,sakajar de sang hyang smerti, kuneng dharma ta ngaranika, sistecara kunag, acaranika sang sista, dharma ta ngaranika, cista ngaran sang hyangsetyawati, sang apta, sang patirtan, sang panadahan upadesa sangksepa ikakatiga, dharma ngaranira.

Terjemahannya :

Maka yang patut diingat adalah segala apa yang diajarkan oleh sruti, disebut dharma, semua yang diajarkan smerti, pun dharma pula namanya itu, demikian pula tingkah laku yang cista, disebut juga dharma, cista artinya orang yang berkata jujur yang setia pada kata-katanya, orang yang dapat memberikan ajaran-ajaran atau nasehat-nasehat, singkatnya ketiga-tiganya itu disebut dharma (Kadjeng, 2005: 33-34).

Pendidikan agama Hindu merupakan kaidah-kaidah atau norma-norma yang menuntun manusia selalu berbuat baik demi tercapainya hidup rukun secara damai dan membentuk manusia yang mulia serta selalu astiti bhakti kepada Ida Sang Hyang Widhi Wasa dengan penuh pengabdian dan pengorbanan yang sesuai dengan ajaran agama Hindu. Jadi pendidikan agama itu tidak lain daripada bimbingan atau tuntunan yang dibrikan pada seseorang untuk menunjukkan perkembangan budi pakerti dalam menanamkan rasa cinta kepada ajaran agama dan mau berbuat sesuai dengan ajaran agama.

Lebih lanjut dikatakan, yang menjadi konsepsi pendidikan agama Hindu adalah memberikan dan menciptakan pendidikan agar peserta didik dapat mengembangkan kesehatan jasmaninya, ketenangan rohaninya dengan moral yang tinggi dan mental yang tangguh, serta memberikan peserta didik untuk mengembangkan keterampilannya sampai menjadi seorang yang professional (Wiana, 1997: 65).

Dari uraian tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa pendidikan agama Hindu adalah penerepan ajaran-ajaran yang diwahyukan oleh Ida Sang Hyang Widhi Wasa yang kekal abadi serta mengandung petunjuk-petunjuk tentang perbuatan baik yang patut dilaksanakan oleh umat Hindu dan menghindari perbuatan yang tercela dan menjauhkan diri dari perbuatan yang melanggar norma-norma keagamaan, sehingga tercapai kesempurnaan hidup jasmani dan rohaniBerdasarkan uraian di atas, teori nilai dipergunakan untuk membedah rumusan permasalahan ketiga di dalam penelitian ini.2.4 Model PenelitianPada dasarnya model penelitian mengandung kaitan antar berbagai konsep atau variabel yang dipergunakan sebagai kerangka pemikiran penulis untuk memperjelas alur dan proses penelitian. Sehubungan dengan hal itu, Uma Sekaran dalam Redana (2006:99) menjelaskan bahwa kerangka berpikir dapat diartikan sebagai model konseptual mengenai bagaimana teori berhubungan dengan berbagai faktor atau variabel yang telah yang telah dikenali (diidentifikasi) sebagai masalah yang penting sekali. Penentuan suatu variabel atau faktor dipertimbangkan untuk diteliti, karena merupakan salah satu penyebab timbulnya masalah, benar-benar didasarkan pada teori yang relevan.

Model penelitian atau kerangka berpikir pada hakikatnya merupakan bagian dari penelitian yang menggambarkan alur pikiran pneliti, dalam memberikan penjelasan kepada orang lain, mengapa dia mempunyai anggapan seperti yang diutarakan dalam penelitian tersebut. Sebuah model penelitian atau kerangka berpikir dikatakan baik, apabila memuat beberapa hal seperti berikut ini. Uma Sekaran dalam Burhan Bungin (1992:213).

1. Variabel-variabel yang diteliti harus dijelaskan.

2. Diskusi dalam kerangka berpikir harus dapat menunjukkan dan menjelaskan pertautan/hubungan antar variabel yang diteliti, dan ada teori yang mendasari.

3. Diskusi juga harus dapat menunjukkan dan menjelaskan apakah hubungan antar variabel positif atau negatif, berbentuk simetris, kausal atau timbal balik (interaktif).

4. Kerangka berpikir tersebut, selanjutnya perlu dinyatakan dalam bentuk diagram (paradigma penelitian atau model penelitian), sehingga pihak lain dapat memahami kerangka berpikir yang dikemukakan dalam penelitian.

Model penelitian atau pun kerangka berpikir berguna dalam menjelaskan tentang alasan atau argumentasi bagi rumusan hipotesis (dasar perumusan hipotesis), dan merupakan tempat peneliti memberikan penjelasan tentang hal-hal yang berhubungabn dengan variabel pokok, sub variabel pokok masalah yang ada dalam penelitian.

Berangkat dari pengertian tersebut, penulis mencoba membuat model penelitian sekaligus sebagai peta konsep tentang geguritan Dharmawisesa. Peta konsep tersebut dapat dilihat dalam gambar 2.1 seperti di bawah ini:

Gambar 2.1 Model Penelitian Keterangan :

Ajaran dalam agama Hindu dapat ditemukan dalam berbagai bentuk tulisan, satu diantaranya dapat dijumpai dalam naskah geguritan Dharmawisesa. Munculnya naskah geguritan Dharmawisesa dapat dipandang sebagai kolaborasi nilai budaya lokal dengan nilai-nilai budaya asing yaitu India. Geguritan Dharmawisesa dapat dicermati dari segi bentuk, struktur, dan nilai-nilai pendidikan agama Hindu yang terkandung di dalam geguritan tersebut, dengan tujuan untuk mencapai kehidupan masyarakat yang moksartham jagadhitaya ca iti dharma. BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 Rancangan Penelitian

Dalam penelitian ini mempergunakan pendekatan kualitatif.3.2 Lokasi PenelitianSesuai dengan judul penelitian ini, maka seting penelitian telah ditetapkan secara tegas dan jelas Geguritan Dharmawisesa karya I Gusti Aji Kontoran Banjar Bona Kangin Kecamatan Blabatuh Kabupaten Gianyar selama 6 bulan yaitu dari bulan Juli 2012 sampai Januari 2013. Dengan ditetapkannya lokasi penelitian ini, akan memudahkan dalam menentukan informan dan dalam proses pengumpulan data penelitian. Alasan pemilihan dan penetapan lokasi ini adalah, karena lokasinya tidak terlalu jauh dari tempat peneliti, di samping itu Geguritan Dharmmawisesa ini cukup menarik dan unik untuk dibahas dan diteliti secara mendalam melalui kegiatan penelitian secara akademik. 3.3 Jenis dan Sumber Data3.3.1 Jenis Data

Jenis data yang dikumpulkan dalam penelitian ini meliputi data primer dan data sekunder yang diperoleh melalui upaya-upaya sebagai berikut; a) Penelitian lapangan (field research) yakni peneliti langsung ke lapangan untuk mendapatkan data primer. b) Peneliti Kepustakaan (library research ) yaitu penelitian untuk mendapatkan data sekunder dari sejumlah sumbernya yang berupa hasil penelitian sebelumnya yang objeknya sama atau sejenis dan literature-literatur yang ada kaitannya dengan pokok permasalahan. Dalam penelitian ini jenis data yang dikumpulkan adalah data kualitatif. Emzir (2007:87) menjelaskan bahwa sumber data utama dalam penelitian kualitatif adalah kata-kata atau tindakan, selebihnya adalah data tambahan seperti dokumen, foto dan sebaginya. Dari pendapat Emzir tersebut, data yang akan dijaring dalam penelitian ini adalah data tentang: a) bentuk geguritan Dharmawisesa, b) struktur geguritan Dharmawisesa , c) Nilai-nilai pendidikan agama Hindu yang terkandung di dalam geguritan Dharmawisesa.3.3.2 Sumber DataMenurut sumbernya, data penelitian dibedakan menjadi dua jenis data, yaitu data primer dan data sekunder. Data primer adalah data yang diperoleh secara langsung dari sumber aslinya (dari tangan pertama), sedangkan data yang diperoleh dari sumber yang kedua disebut data sekunder (Surakhmad, 1985:163). Data Primer penelitian ini berupa naskah lontar Geguritan Dharmawisesa.Sumber data sekunder akan didapat dari sumber tertulis ditinjau dari segi sumber data, bahan tambahan yang bersumber dari sumber tertulis dapat dibagi atas sumber buku dan majalah ilmiah, sumber berupa arsip, dokumen pribadi dan dokumen resmi (Moeloeng, 2005:159). Sehubungan dengan hal itu, penelitian ini didukung oleh beberapa sumber kepustakaan, seperti geguritan Sucita Subudi, geguritan Tamtam, geguritan Basur, geguritan Jayaprana dan sebagainya.3.4 Penentuan Informan

Dalam penentuan informan teknik yang dipergunakan adalah Sampling Purposive. Sampling Purposive adalah teknik penentuan sampel (informan) dengan pertimbangan tertentu. (Sugiyono, 2008:124). Lebih lanjut diuraikan, misalkan akan melakukan peneltian makanan, maka sampel sumber datanya adalah orang yang akhli makanan, atau penelitian tentang kondisi politik di suatu daerah maka sampel sumber datanya adalah orang yang akhli politik di suatu daerah. Sampel ini lebih cocok dipergunakan dalam penelitian kualitatif, atau penelitian-penelitian yang tidak melakukan generalisasi.

Berdasarkan uraian di atas, maka teknik penentuan informan yang dipergunakan di dalam penelitian ini adalah Sampling Purposive karena peneliti memiliki kedekatan dengan objek yang diteliti yaitu Nilai-nilai pendidikan yang terkandung dalam Geguritan Dharmawisesa.3.5 Teknik Pengumpulan Data

Penelitian ini bertujuan untuk memperoleh data yang akurat, transparan dan lengkap mengenai bentuk , struktur , danNilai-Nilai Pendidikan Agama Hindu yang terkandung dalam geguritan Dharmawisesa. Sehubungan dengan hal tersebut, maka data dan informasi yang telah dikumpulkan akan dianalisis secara deskriptif kualitatif. Data yang dikumpulkan berupa data primer dan data sekunder.

Teknik pengumpulan data yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah : 1) Wawancara, 2) Studi Dokumen atau Studi Pustaka3.5.1 Wawancara

Wawancara digunakan sebagai teknik pengumpulan data apabila peneliti ingin studi pendahuluan untuk menemukan permasalahan yang harus diteliti, dan juga peneliti ingin mengetahui hal-hal yang lebih mendalam dari responden.. Teknik pengumpulan data ini mendasarkan diri pada laporan tentang diri sendiri, atau self-report, atau setidak-tidaknya pada pengetahuan dan atau keyakinan pribadi.

Sugiyono mengemukakan bahwa, anggapan yang perlu dipegang oleh peneliti dalam menggunakan metode interview, dan juga kuesioner (angket) adalah sebagai berikut :

1) Bahwa subjek (respondent) adalah orang yang paling tahu tentang dirinyasendiri.

2) Bahwa apa yang ditanyakan oleh subjek kepada peneliti adalah benar dan dapatdipercaya.

3) Bahwa interpretasi subjek tentang pertanyaan-pertanyaan yang diajukan peneliti

kepadanya adalah sama dengan apa yang dimaksudkan oleh peneliti.

(Sugiyono,2008:138).

Wawancara dapat dilakukan secara terstuktur maupun tidak terstruktur, dan dapat dilakukan melalui tatap muka (face to face) maupun dengan menggunakan telepon. Teknik wawancara berstruktur, yaitu teknik wawancara yang menggunakan pedoman wawancara yang disusun secara rinci sehingga menyerupai cheek-list. Pewawancara tinggal memberi tanda cheek ( ) pada nomor sesuai pertanyaan.

Teknik wawancara tidak berstruktur yaitu suatu teknik yang menggunakan pedoman wawancara yang hanya memuat garis-garis besar yang akan ditanyakan (Arikunto, 1991:183).

Dari uraian di atas, penelitian ini mempergunakan teknik wawancara tidak berstruktur. Wawancara tidak berstruktur dikenal juga dengan istilah wawancara mendalam, wawancara intensif, wawancara kualitatif, wawancara etnografis atau wawancara terbuka. Wawancara tidak berstruktur ini bersifat luwes. Susunan pertanyaannya dan susuna kata-katanya dalam setiap pertanyaan dapat diubah pada saat wawancara, disesuaikan dengan kebutuhan saat kebutuhan saat wawancara berlangsung. Dalam hal ini informan akan mendapat kesempatan yang seluas-luasnya untuk bercerita atau pertanyaan yang diajukan oleh penulis (pewawancara). Demikian pula pertanyaan tidak ditentukan jumlahnya, akan tetapi sebelumnya telah disiapkan pertanyaan pokok yang merupakan pedoman wawancara. Dengan wawancara mendalam ini diharapkan agar peneliti dapat mengambil peran pihak yang diteliti, yaitu intim menyelam ke dalam dunia psikologis dan sosial mereka. Pada kesempatan ini informan diharapkan lebih banyak memberikan penafsiran sendiri terhadap pengalaman yang mereka lakukan, bukan penafsiran oleh peneliti atau orang lain. Dengan cara seperti itu diharapkan makna objektif dalam penelitian kualitatif dapat diwujudkan (Arikunto, 1991:189).3.5.2 Studi Dokumen

Studi pustaka atau dokumentasi merupakan salah satu teknik pengumpulan data yang bersumber dari tulisan-tulisan, surat-surat, buku-buku pedoman, laporan resmi, catatan harian, laporan hasil rapat (Arikunto,1991:121). Setelah data terkumpul, kemudian dicocokkan dengan pokok permasalahan pada penelitian ini. Dokumen-dokumen yang penulis dapatkan dilapangan berupa buku-buku yang berkaitan dengan Geguritan. Dokumen berupa naskah geguritan Dharmawisesa yang telah dialihaksarakan dari lontar ke buku oleh Dinas Kebudayaan Provinsi Bali Tahun 2010. 3.6 Instrumen Penelitian

Dalam penelitian kualitatif, peneliti adalah instrument utama dan dibantu oleh informan yang dianggap mengetahui dan memahami permasalahan yang diteliti. Pengertian dasar instrumen penelitian adalah menjawab pertanyaan dalam hal bagaimana dan apa yang dilakukan oleh peneliti untuk memperoleh data di lapangan, di samping itu, instrumen penelitian merupakan bagian paling rumit dalam proses penelitian (Burhan Bungin, 2005:94). Instrumen penelitian yang dipergunakan di dalam penelitian ini adalah teknik non tes yang berupa wawancara, dalam hal ini dipergunakan pedoman wawancara. Wawancara dilakukan terhadap para nara sumber atau informan yang dianggap menguasai permasalahan yang dibahas di dalam peneltian ini.3.7 Teknik Analisis Data

Metode analisis data adalah cara pengolahan data yang dilakukan dengan cara mempergunakan suatu teknik analisa data tertentu sehingga diperoleh suatu sintesa. Analisisn data merupakan proses mencari data, mengatur secara sistematis transkrip wawancara, catatan lapangan, dan bahan-bahan lain,yang telah terhimpun. Tujuannya untuk memperoleh pengetahuan mengenai data tersebut dan mengkomunikasikan apa yang telah ditemukan. Oleh karena dalam penelitian ini berwujud kata-kata, kalimat, dan paragraph yang dinyatakan dalam bentuk narasi yang bersifat deskriptif sebagai cirri khas dari penelitian kualitatif, maka dilakukan analisis kualitatif dengan teknik deskrptif, dengan tiga jalur kegiatan yang merupakan satu kesatuan yaitu: (1) reduksi data, (2) penyajian data, (3) penerikan kesimpulan atau veryvikasi (Bogdan dan Biklen dalam Moelong, 2005).

Data yang dikumpulkan berwujud data kualitatif. Sedangkan data dianlisis dengan melakukan serangkaian kegiatan, yakni reduksi data, menyajikan, manafsirkan, dan menarik simpulan. Rangkaian tersebut dapat dilihat dalam diagram sebagai berikut: Bagan 3.1 Komponen-Komponen Analisis Data Model Interaktif

Sumber : Miles dan Haberman ( 1992:20)

Berdasarkan bagan tersebut, proses pengolahan data dilakukan melalui proses interaktif dan siklus, antara tahapan: pengumpulan data, reduksi data, penyajian data dan kesimpulan atau verifikasi data. Data yang diperoleh dari lapangan dan sumber pustaka (data collection) dianalisis dengan cara reduksi yaitu dirangkum, dipilih hal-hal yang pokok, difokuskan pada hal-hal yang penting berdasarkan rumusan masalah yang dikaji, kemudian dicari tema dan polanya. Tahap reduksi tersebut akan dijadikan dasar dalam pengumpulan data selanjutnya, sampai dipandang memadai untuk menggambarkan dan menemukan jawaban terhadap rumusan masalah yang dikaji.Data yang telah direduksi, kemudian disajikan (data disply) dalam bentuk uraian (narasi), bagan, dan hubungan antara katagori tentang bentuk, struktur dan nilai-nilai pendidikan agama Hindu yang terkandung dalam Geguritan Dharmawisesa. Penyajian data akan memudahkan untuk memahami apa yang terjadi, merencanakan kerja selanjutnya berdasarkan apa yang telah dipahami. Penyajian data dalam penelitian ini merupakan proses penyajian sekumpulan informasi yang komplek ke dalam kesatuan bentuk yang sederhana, selektif, sehingga mudah dipahami maknanya. Data yang diperoleh selama penelitian dipaparkan, kemudian dicari tema-tema yang terkandung di dalamnya sehingga jelas maknanya.

Tahapan selanjutnya adalah menarik kesimpulan dan verifikasi. Bertitik tolak pada penyajian data maka dapat ditarik kesimpulan terhadap rumusan masalah yang dikaji. Kesimpulan yang dikemukakan diverifikasi berdasarkan teori dan konsep yang digunakan dalam membedah masalah penelitian. Dengan demikian kesimpulan merupakan jawaban terhadap masalah penelitian, dan diperkuat melalui verifikasi penelitian. Penarikan kesimpulan setelah melalui proses analisis data, baik analisis selama pengumpulan data maupun analisis setelah pengumpulan, maka dilakukan penarikan kesimpulan.1. Bagaimanakah bentuk geguritan Dharmawisesa?2. Bagaimakah struktur geguritan Dharmawisesa?3. Nilai-nilai Pendidikan apa saja yang terkandung dalam geguritan Dharmawisesa?BAB IVSALINAN NASKAH GEGURITAN DHARMAWISESAOng Awignam Astu Nama Sidem

Pupuh Durma I

1. Durmita pengataging kali yuga, tan mari punang wiyadi, tekng perangadbuta, oreg praja mandala, tarwinilang kang wibogi, bagna mepasah, durgama ikang bumi.

2. Wareg angel Ida Sanghyang Kalantaka, niwakang danda pati, mwang lara wiyoga, ring sang masadana, moha murka duskreti, kang kinalampahan, palaanya mangke pinanggih.

3. Lwir baskra sinaputan andakara, moga pepet ring ngawiyati, tar panon tikang rat, mangkana budining ngwang, wuta tekaping kaprihatin, mwang kadurnayan, patute nora kaeksi.

4. Amboking ngwng tumuwuh ring kaliyuga, tri gunane mandadi, dadiyannya trimala, trimal ngwijilang, mijil tri moda ning hati, hati apanas, panase ngerugang bumu.

5. Suastiastu kanugraha pari purna, sang ngamaca tatwa iki, bilihnya kahidepa, terus tekning laksana, sepatuduh iking aji, nora ya simpang, dirge yusa maka lewih.

6. Yeki gagelaran nira sangamenget, inget ring raga jati, jetinikang dharma, dharmane mawak sunia, nyunia ritelenging hati, hati sukarah, pasrahe puput nampi.

7. Nasapi masmitan nira Sanghyang suksma, sang nuksmeng budi mahning, eninge dadi manon, tinon rupan sang manon, satinone sai eling, elinge tunggal, tunggale tan ana malih.

8. Antawan ingisun Ida Sanghyang Dharma, kalih hyang Saraswati, nadah warndnyana, mwang pehning wara mreta, pangruwat papa klesadi, swaatang rat, pari purna tang laksmi.

9. Singgih pukulu hyang muniwara, Byasa lan Wararuci, asung anugraha, panyudaning dasa mala, sakeng peh adnyana sandi, kang kalinggayanang, ri sara samuscayaji.

10. Luir wakyan sanghyang Astadasa Parwa, ngampehang malaning hati, mawak bayu bajra, madagi panoning ngwang, manuduh enu aradin, ngungsira dharma, kasampurnan pati urip.

11. Mangke kareping nguang apuniyang kata, ngantin de baca tasni, maweh si katunan, dumadak kahidepa, sedaging punang pakreti, nging ampurayang, kimuda ma bek ririh.

12. Tambayan nikang kata duk anurat, suryan nira alindi, wariyagung punika, ireng paksame tunggal, sadad ikang cita rasmia, yusaning loka, Indonesia ne andiri.

13. Kawit dwija karanga murtining bumia, ring manenang prajeng Kadiri, aran Aji Saka, subagiang tri lokia, purnan nikang jagat iki, sangkan kinucap, Isaka tahun ireki.

14. Kewarna ta Begawan Wesampeyana, mitututri sang Aji, prabu Janamejaya, lingikang Mahabrata, kotamane tanpa tanding, patut resepang, paguanin sahi gulik.

15. Uduh anaku saluir warah-warah, pidartan catur wargi, separi polahin, katekaning ambeknia, suba ada mungguh dini, pragat makejang, sekancane ada dini.

16. Yang wilang tumuwuhe makejang, sok ijadma manusaki, Ada milu nuturang sakeng ya nulad, nging yan tan mungguh iriki, lianan masih nora, wenten atetiron, ruruh ring aksara sami, pragat makejang, tong ada buin ngelangkungin.

17. Yan wilang sarwa tumuwuhe makejang sok ijadma manuseki, dadi bannya nyupat, dosa lawan salahnin, antuk ayunin pekardi, patut arepang, palan anake numadi.

18. Krana eda ya sanget manyebteng, diastu nista tur miskin, tumbuh dadi jadma, dingelahe day a bangga, keneh gede ajum mangengkig, apanga sama, pitwi candela yoni.

19. Sangkan ya kinucap paling utama, lewihe bannya uning, nglebur papa nraka, darsanane karma melah, sapolah mangawe asih, ento presida, utamane dadi alih.

20. Jadma ane tan madwe kerti melah, taban lara ring kepatin, pejah pwa y sira, sama tekening wang lara, lunga mareng dura desi, tanpa ubad, slampah laku sedih kingking.

21. Sangkan jani saenun uripe serakang, dimatine enyen takonin, japi keweh saratang, ane abot plajahang, jujurang swargane lewih, apang ja sida, mangde tan malih numadi.

22. Twah jani sedeng ngardi karmane melah, riwekas palane kabukti, satelah palaning karma, manumadi kita mwah, wesanan karmane ngiring, bekel toadannya, jele melah wantah kepanggih.

23. Wesana tegene satsat dadi sekar, tamsah ambune ngiring, swarga miwah nraka, milu nutug menyadma, yan karmane ring kepatin, nora mepala, twah ne jani kabukti.

24. Sangkannya kedharmane malu serekang, uripe kadi tatit, maklep asaksana, yan kasep sengka pisan, wastu tibeng ngaweci, lintang sangsara, ambah swargane gawenin.

25. Ana janna tan ngarepang dharma sedana, teleb ring suka lan pipis, loba ambeknia, lenan ada buin janma, presida kawenang ring darmi, tan ngentas papa, kabancana maka kalih.

26. Krana bapa melid nguduh lan mainget, arta lan sukena lewih, ne masedana darma, eda pido ring kedarwan, ambulto bapa nuturin, ndatan karenga, kedarmane twah ya ketil.

27. Yan misadiayang arta lan kasukan, kedarman anggon nyalarin, ayu kepangguha, pan saking darma sedana, temungarta lan suka lewih, sangkan pucukang, darmane malu jalanin.

28. Mekadi pemargan ida sang pandita, sang darmika keastuti mwang kinalemira, sangkan ida nemu suka, tan ngalemne suka sugih, dadi angkara, danane nyukaning ati.

29. Kadarmane maka ambah mareng swarga, sana lawan benawi, jalanan bandega, margannia ngentasing segara, ento pagehang melajahin, anake darma, amangguh kasukan lewih.

30. Sang yatna nagrdi arta miwah kasukan, lan kamoksane malih, ika tan pepala, bina ring sang keyatnan, maring darma sedana yukni, ento mepala, diastu wawu ring hati.

31. Sekadi pemargan Ida Sanghyang Surya, rikalan ida mijil, ngampehang petengning rat, mangkana sesamania, sang maulah darma jati, iyu nyapuhang, saluir papane basmi.

32. Salwir wang twi nista madia motana, jawat ayu kang kinardi, sateleb ring manah nia, dadia ta mresideyang, sasinadianing ngati, manuting lampah, sarat agung dengan alit.

33. Kotaman darmane saking lila arsa, nto pejalane lewih, miwah maka sraya, denira sang pandita, tikang darma dadi margi, ambah mentasa, maring tri bwana iki.

34. Ana wang pageh budinnia nara ginggang, ngambel sedananing darmi, iya madan bagia, tan keneng lara wigna, prade iya nglalu mati, mwang kaniseka, mangka ling sang maha yati.

35. Kadi angganing metengin tebu punika, liu ane sareng swarga numadi, sangkan bagus maguna, sugih miwah mewangsa, suka wirya tandang lewih, keto palannia, wesanan karmane ngiring.

36. Janma tikang ngelaksanyang karma melah, sakeng swarga numadi, sangkan bagus maguna, sugih miwah mewangsa, suka wirya tan lewih, keto palannia, wesanan karmane ngiring.

37. Saluir genah sane mangresresing manah, mekadi ebet alas pingit, jurang srebi sema sana, lwir madianing paparangan, tan ana baya ngrewedin, ri sang darmika, kemban don karmania sahi.

38. Ikang rabi sooa pianak luh melah-melah, tur sandang ban nganggoin, bisa ngetus hati liang, dulurin ngelah umah melah, kayangan purane becik, wibuhing boga, raja brana wastradi.

39. Punika makejang dadi ya gelah anak, paweh punia sang kari bina ring tang wadwa, lan kesaning tegakan, bakti ya teka mangungsi, mareng sang dana, lwir sumur katak mangungsi.

40. Awinan pakatonan ida sang menget, pageh rasa tan keneng pati, olihnia ngertiang, pagaweruh laning arta, ngingyan mangertiyang mangertiyang darmi, kton tinadah, mretiyune takut ya lari.

41. Yaning kita tatas mangweruhana, tan mari ngemban sahi, tur nunggang ulunnia, kala Mretiyu punika, tan aarsa menadah wiyakti, mingkinte janma, sang pageh ring darmajati.

42. Sangkan jani sarekang mungpung enu bajang, kadarmane gawenin, arta lan kabisan, sawireh nora sama, enyantua rered sami, dadi metu ala, kasidiane punah sami.

43. Siyos malih ene madan upasaman, si rare manggeh wiyakti, jatin upasama, dituasane wetu beda, srining awake tan kari ento ranayang, elingang duke enu cerik.

44. Separi tingkahing ngadadi janma, rare anom kinanti, anom ngantiyang tuwa, sampun katemu tikang tuwa, ndatan simpang ring kepatin, suba ya pragat, manggane darma prewreti.

45. Apan ida sanghyang Mretiyu ta sira, masrati sarwa wiyadi uripe kasaya, dadiya pati tang praptia, aja lupeng patitis, karmane suba, nuntun kita ring pengungsi.

46. Twah mula ene patut pantes arepang, uli jani elengin, darma medana ne buat, pan urip tan keneng olah, sapa weruh wekaning pati, wilanging uripnia, pada tan keneng pinasti.

47. Yan mati brayane mengateh teked di sema, sane tumus mangiring, pegawene suba, sangkan ayune gawenang, dadi ajak kayang mati, ya mengaterang, nuju tongose lewih.

48. Tingkah nyane iya ikadang warga, yang kita suba mati, enu ne mawak ala, punika yan saihang, tan bina ring pipis clebing, twah asaksana, brayane girang nyungkomin.

49. Suwud keto lawut matulak makejang, tan panolih kaori, ditu enyen ne gawah, sangkan darmanae serekang, iya dadi anggon kanti, tan bisa lempas, kejagat bukti-bukti.

50. Darmane mawak ayu lan wibawa, suka lilaning hati, manah papolosan, pageh ring suka duhk, ika ngaran tamba jati, pemrayascita, pamupug wisyane mandi.

51. Ana malih mangete ring samiyadnyana, weruheng tatua lan aji, ika ngaren enak, lan aingsa ngarannia, sang roma ngemati-mati, tan taman kroda, byakta ngaran suka lewih.

52. Yantunggal punika sanghyang ngagama, nora ta sangsaya mami, nyengguh ayu ika, swarga pawarga pala, katah misadya angungsi, mabina paksa, pada seyos pengarti.

53. Nto kranadadi iya kalolitan, tan manggeh ring kejatin nuju unggwan nira, ana ring gua Gahwara, ida sanghyang ayu lewih, ento paguruang, rising weruhang kejatin.

54. Sangkan ida bannya tulak ring wongatuwa, mingkin patut takonin, reh tikanang darma, sama lawaning ula, pejalane tan pinasti, eweh ngrasayang, ane ngaran darma jati.

55. Sruti araning sanghyang Catur Wedha, Smerti hyang darma aji, ida premana akna, turut mewarahira, saka luirraning pemargi, yang tuhu satya, aleph yang darma prewreti.

56. Sang hyang Wedha ngadakang catur warna, tuingkahing utpati, saupa cara swang, samangkana tikang rat, miwah sang catur asrami, maka luir ira, mekdi sang Brahmacari.

57. Grahasta wanaprasta lan biksuka, punika kawikon lewih, tataging tri pada, mewastu wus dadia, wastu ya sdengana malih, wastu yangken dadia, sakeng Wedha tekannia sami.

58. Sanghyang Wedha pari purnakna sira, masedana kekalih, Sanghyang Itiyasa, lawan sanghyang purana, takut ida kurang aji, sangkan tinulak, hyang dateng ngemarani.

59. Ane patut ingetang saluir pewarah, pituduh sanghyang Sruti, lan hyang Smreti mwah, punika ngaran darma, malih warah sang katrini, sang Sipta lan Apta, mwang warah sang Satyawadi.

60. Apan oweh nuturang ne madan darma, kena bannya ndayanin lwir kehanan darma, ento da nglempasang, sedaging punang pekardi, ene mewastu jle melah, saking lampah manah munyi.

61. Saka luir yaning tan mapwara suka, yen mewastu sebet brangti, mantukeng awakta, ne keto eda nyalanang, arepe ring won glen sami, manisaruma, lila lega legaweng ati.

62. Tingkah ida sang tiga mekadi sang Sista, sang Apta lan Satyawadi, Jitendriya sira, satya tuhuningabener punika lingganing darmi, sasolahira, makejang patut sedeng iring.

63. Sanghyang darma masusupan mider sagenah, nging tan ana ngangkenin, miwah ne keangkenan, tan sira kapo ida, lawan ikang asing-asing, lwir babinjat, aketo yn upami.

64. Dening iya twara menawang bapa, dadi tan ana ngangkenin mwang akuinnya bapa, eweh ban ngerasayang, Hyang darma suksma pingit, liwating sengka, brate matungtung pati.

65. Suba telah daging sane kasengguh darma, resepang sepal di hati, eda baanga ilang, pedasang sahi ingetang, samunyin bapane nguni, sikut diawak, satingkah mangunasih.

66. Melid bapa cecel comel manuturang, ene mepwara sebet brangti, eda niwakang ring liyan, aja lupeng wiweka, sangapageh ngambel darmi, sapolahira, nora keneng lara wiyadi.

67. Pretingkahing wang pretakjana, tan darma stata ya sedih semanah tan sida, idupe mawara pejah, yang mati nagih numadi, sakit, tan pegat, saksat padang ring kepatin.

68. Wang para ceda ri prewretining darma, sakeng punggung durbudi, teleb ya maring orta, ne mewastu tan darma, sanga milu menyarengin, nora luputa, tibeng lara sakit hati.

69. Ambek nikang wang kinucapekan muda, tleb ring sane tan darmi, margan Yamanilok, ya numitis menadiya, sarwa buron lawan paksi, malih awekas, mandadi nista lara sedih.

70. Yan mamwat kasugiyane utama, I bapa nyepel manik, kayu tegese pula, saratang ya mepageh, dadi lui ngelah mas manik, tan bisa ilang, anggon bekel mati urip.

71. Jawat tiwas jani tur kasengsaran, pageheng darma prewreti, ento mas manik melah, kasugiyan sang pandita, saratang satunggun urip, tong bisa ilang, kebaya dening maling.

72. Kewala nyak mangugu tur ngidepang, tuduh darma prewreti, dyastu kakurangan, apa krana tong maan, sambilang iya mengalih, jangan lan toya, dening lewih labane ngiring.

73. Katah manyujurang masucian ring alas, tukad nyane dalem mahning, sumarin hyang ulan, tan paguna tan wibawa, akeh karya kurang bukti, panjangan yusa, wastu kaseping kerti.

74. Darma sedanane patut jalanang, sambilang ya mengalih, sangu miwah karya, kadi lembu upama, mider ngedeng tenggala ring carik, olih nyambet padang, anggona legnati.

75. Liwat sawat eweh lingganing hyang darma, perama suksma awingit, lwir sekadi tampak, iwak melakweng toya, pineta juga de sang Resi, lejeh apageh, upasema den amerih.

Pupuh Pangkur II

1. Sauntat tikang kedarman, mangke kajara tikang catur warni, brahmana ikang pembayun, tumuting ksatriya, lasing wesya tiga anak puniku, dwijati kapw t sir tegesnia ping ro manyadmi.

2. Ri kalanira magurua, diksa brata sang skara wus kreti, sampun weruh ring patinnipun, ya aran ping rwa anyadma ikang sudra ekajati puniku, tan wenang brata sangskara kalih lawan brahmacari.

3. Kedarman ikang Brahmana, mengajiwa meyadnya dana punia di, matirt lan mapitutur, mwang wikwaningayadnya, lawan menanggapa dana ring ayu, pupating sapta darma, bratanira roar siki.

4. Pretekanikanang brata, darma satya tapa dama yadnya erih, wimatsaritwa puniku, titiksa anasuya, dana dreti ksama saminipun, punika dahat pawitra, pasucian Brahmana jati.

5. Darma satya tegese pagwan, tapa aran sarira sang sosani, manesin sariran ipun, miyerin kawisayan, mwang dama upasama dening turur, yadnya ika demen mamuja, mademang erang ngaran erih.

6. Wimatasaritwa wastannya, nora iri lan titiksa twara pedih, anasuyane puniku, tan nyakitin lan midanda, dana bares miwah dreti puniku, iya ngaran mapeningan, ksama sami panas tis.

7. Ksatrya ulahira, ujiya sanghyang Wedha lanamalih, nitya gniotra puniku, miwah mogawe yadnya, ngraksa jagat ring panjak priksa ngrungu, ring kadang warga ya dana, yan keto swarga kepanggih.

8. Ulahnira sang wesia, mengajia maring sang brahmana jati, ring ksatria tumungkul, ring dana kala medana, lan dina melah miwah demen matetulung, suka lila mengastawa, ring ida Sanghyang Triagni.

9. Sanghyang Triagni arannya, api tetelu luir Ahawaniyagni, punika anggon mapunpun, lan ngaran Garaspatya, gni saksi ing pewarangan puniku, Citagni pangeseng sawa, yaning tuhu manggih swargi.

10. Isudra melaksana baktya, sumewa ring sang tiga munggweng aria, nggawe tustan sang katelu, mangkana ambeking sudra, dadi supat papa nkrakannia lebur, amanggih kasida karyan, keto patut sang eka jati.

11. Cihnaning amanggih ala, ratu awedi brahmana sarwa baksadi sang wesya megawe mayus, sudra prih tinangkilan, dening ida sang triwangsa puniku, miwah pandita dursila, menak mambek nist tani.

12. Sang brahmana mangalyang, istri jalir degag tan papakkering, lan wana prasta puniku, mataki-taki kamoksan, dereng telas semarania kasor rampung, nundenang iya markertya, ngulah ketuwon memargi.

13. Mwang nistaning sang petirtan, sok amangguh pewarah tan tekengati, miwah jro tatan peratu, grahsta tanasi maweka, mwang jagat punika tan kapirungu, makejang amanggih dukita, sarwa alane ngalilit.

14. Darsanan sang catur janma, arjawa tegese pepatutan yekti, lan anresabgaya teges ipun, iya nora nresangsya, sakit kadang da twara ngarungu, eda ngulah lega padidiyan, atma tan suka para malih.

15. Tang dama nglemekin awak, indriya nigraha tegese puniki, ngoret indriya apanga kukuh, daging sane petang soroh, dakatin sang catur janma ayu, sakeng wecanan betara, Sanghyang Manu ane nguni.

16. Tikang yogya kakawas, aingsa lan satya wecana malih, sitan nyakitin tumuwuh, tan ngrusak sarwa prania, sikelan uning maleh-maleh kayun, sanga ngawangge makatiga, sida mangguh suka lewih.

17. Mretyu yogya kakawasa, aingsa lan satya wecna malih, sitan nykitin tumuwuh, tan ngrusak sarwa prania, sikelan uning maleh-maleh kayun, sanga ngangge makatiga, sida mangguh suka lewih.

18. Kunang tekang tan nressengse, iya iku pengarep ikang darmi, kelan tegesing ksameku, iya mawak kesaktian, mengenting sangkan mareng awak ya weruh, tatag maring atma tatwa, mengarn adnyan pingit.

19. Si satya punika ngaran, mistuning brata pada dibya lewih, alaning nressanga ika, iya gedegin janma, sang polos somah masih tan ngarungu, liur alangin telaga nya, gni ageng kelawan duri.

20. Kotaman nikanang dama, kepesaman mewastu iya eling, mituturin manah ipun, sangkan leweihan ring dana, tikang dana, kerti sekala iku, palania ring ucap pada, ikang dama langkung lewih.

21. Ana malih kacrita, ndatan mandus ane madan maresih, sang nganggo dama puniku, mandus mabresih ngaran, sinanguh danta, padyusaning wiku, masucian waya bbyantara mangkana ling nikang resi.

22. Kunang laksananing danta, tar linyok tan ngirang anamu suka lewih, yan nraka nora sungsut, enaknia weuheng tatwa, sida banny munggelin manah ipun, dening iya nganggo dama, sira danta ngaraneki.

23. Tikang indriya arania, swarg nraka wluya maka jati, kayeki kraman ipun, yan bisa ngret indriya, suba jati swrga lewih kepangguh, yan bakat lumbar tuwutang, dadi arakane kepnggih.

24. Palanikang ngaret indriya, dirge yusa upa lasana becik ring yoga pageh manulus, sakti tur sida yasa, lawan malih manggih tang darma patut, sugih katekanikang arta, sulabaning mangret budi.

25. Karma pata ngaranira, pangret indriya adasa yan wilangin, dagingnia ring manah tatelu, dagingikang wak patpat, lawan kaya pangisine buin tetelu, genp adas katahira, pretekania siki-siki.

26. Lampahing manah kajara, aywa dengki ngedotang gelah anak malih, maring sato pangda bendu, ane medeng gugu depang, karma pala tegese buah pengaweku, keto yan mengamong manah, sane tiga apang eling.

27. Wak ngaran ujar lampahina, eda ngucapang sarwa ala tan yukti, ujar banggras puniku, mwang ujar mamisuna, eda ngalinyok, keto sang ngamong wuwus, maka catur tan kucapang, ingetan bilang mamunyi.

28. Kaya ngaran tikang ulah, eda nylanin saluir amati mati, eda ngerusak sekancan ipun, ngadu keparadaran, eda nyalanang tingkahe maka tetelu, dyastu yang maring naapkala, twi maring pangipian ugi.

29. Sang tatasin pngawikan, tikang ujar mwang mnah ulah malih, maka tetelu anggennya ngetus, mengalap asihning wang, tansah ayu patut laning alus, angge ring kaya wak manah, biasa apang eling sahi.

30. Sangkan sengka ban ngrasayang, ne manguna ring kaya wak manah sahi, reh kewehe deremg kepangguh, rasane iwat susah, yaning sampun ngecapang rasaning seduk, nora keweh ya mekenta, pineh rasanireng hati.

31. Dagingipun ikang manah, maka andel ikang adnyan jati dadi jalaran satuhu, majalan tikang ujar, lumkasikang prewretinipun, awinn tikanng manah, araning predana jati.

32. Apan sangkanikang manah, dadi kawit indrinyane ya sami, maprewereti ya puniku, ring suba asuba karma, pangkan jani manahe eret ya malu, pineh timbang menyalanang apanga ya mapala becik.

33. Nihan kramanikang manah, swabawania sebete lunga teke malih, katah anggen-anggenipun, wetu sesangi sangsaya, makawaknia sang sida mangret kayun, sira ta amanggih suka, mangre ring para loka lwih.

34. Mwang katuturaning manah, tikang mata punika kewangsitin, amulet ring sarwa wastu, manah kartinikang mata, yan kalesa nora makanti pandulu, iya mulat nora pedas, pan manah ene sengeh jati.

35. Nihan mara kegetanta, pekatotaning stri desania piningit, ikta yogya winuwus, mwang ana laki ateles, lan angruwek rahasyaning istri iku, tingkah ikang laki ika apa bedanika kalih.

36. Kabancana wang denika, dadi simanggah dudu puniki, maka jati karanaipun, sakeng katunan manah, kawit wantah sakeng manah puniku, ika ngaraning predana, semngkana tekang jati.

37. Ana mukasawa ngaran, madya mata apan tutuk puniki, asilih silih kramanipun, kamilauwaning kania, katonika norana bedanipun, nilu lawan mukasawa, yan nilu araning janmi.

38. Gedeng yaning kimud jeben, demen yaning pongah tan ngubdeng hati, punika mancana ipun, maka sedan aran, ikang janma gawenin ane patut, kertinira mareng jagat, manah tikang mawak aglis.

39. Kehananing wastu tunggal, idepning wang mabina beda sami, luir susunikanang ibu, dudu aptining anak, moneng ibu lan aptening bapaeku, sakeng manah gawe beda, siyos janma len penampi.

40. Kene drestania swang-swang, minakadi wang biksuka brayadi, paribajraka puniku, len tang kamukasawa, kasmaran teleb ya maring anak luh, bina malih asu alas, maka telu mabina kapti.

41. Mulat istri ayu rupa, pada dudu kaptinirang katrini, wangke ling paribadjreku, pan menget ring nitya tatwa ling kamuka teka sih arsa ya lulut, mangsa keeping sregala, manah tang wetu beda sami.

42. Maran kengeta ya juga, sudin manah tinutikang prewreti sahananing sarwa wastu, lwir tingkahing sang bapa, nesek rabi angoras anak ipun, tan mangkana arepira, manah kriyo beda jati.

43. Ana mangke kramaning wang, iya edot tekening glah anak prih, dengki ring kasukanipun, lwirning janma mangkana asaksana sukannya dadi lacur, yan misadya suka lana eda aketo ngamong budi.

44. Wenten mangkin sedeng elingang, budi tuhu asih ring sarwa prani, manahedengki ya rarung, eda ngangen lan ngedotang, ngame-ame ne mwastu nora tuhu, ane nora lan tan sida, eda nyinggahang dihati.

45. Sangkan tegul eret pagehang, pancendriya miwah manahta malih, eda ngalumbar manurut, anak ya ila-ila, wastu kupet norana labanipun, mepwara ya dadi ala, ngrusak wesana sejati.

46. Ane iri tekening anak, sugih emas surupa lan wirya lewih, sane kasub lan wangsa agung, miwah sane kinalemang, ri samangkana dadiya metu iripun, ika janma kasangsaran, lara tan keneng usadi.

Pupuh Sinom III

1. Sinom Pakelingin manah, sasolahaning dumadi, satekanireng mrecepade, ksamawan dadiya margi, tegesire maka jati, sng kelan upasameku, aneng rat ya pinuja, kajerihin wong sabumi, tur kasungsung, kasub ring manusa pada.

2. Ksama ika inucap, mas manic kasugian lewih, bisa ngasorang indriya, becik tan ana ngelangkungin, dana peta ngaraning, tan simpang ring marga ayu, separan masedana, nora milih dina becik, suba luwung, pati urip manggih sadya.

3. Tan ana sang ksemawan, saksat sanghyang Pritiwi, nora na manggehang mitra, klawan satrunnia malih, sang ida ninggalin pedih, maseda ksameku, kadi kramaning hyang ulan, mninggalang aling-aling, budi luhur, manggeh utamaning janma.

4. Kapitwi nikang manusa, samusuhne kasor sami, yaning kroda ngematiyang, asing bani ngamusuhin, sedawanikang urip, nora pegat ngelah satru, yan enu nuwukang kroda, sane tanpa satru taji, turingayu, wantah sang ninggal.

5. Ana kinumdenta nira, pandita purusotmi, tang kroda sida denira, japi panas mangsul dadi, tan lara papa malih, tan nirayasa sang mangipun, tan sebarang wang nyidayang, sangkan ida sakti lewih, tur kawuwus, sida mangguh kopesaman.

6. Tingkahing sang kepesaman, asih maring sarwa murip, samasameng awakira, sanjare alus manis, nora ya menyakitin, miwah tan kehanan bendu, punika ne ngerageyang, sarwa kasukane lewih, sangkan mangguh, suka nulus maring jagat.

7. Kunong tikang gengning kroda, asring mengadakang kali, separan mangguh dukita, sapo