Upload
agustian-ian-s
View
49
Download
0
Embed Size (px)
DESCRIPTION
health
Citation preview
TETANUS
1. Definisi
Tetanus adalah penyakit yang ditandai oleh spasme otot yng tidak terkendali
akibat neurotoksin kuat, yaitu tetanospasmin, yang dihasilkan bakteri ini. Penyakit ini
sering fatal, terutama pada umur sangat muda atau sangat lanjut, dan dapat dicegah
dengan imunisasi. (Sylvia Y. Muliawan, 2009)
2. Etiologi
Tetanus merupakan penyakit infeksi akibat toksin kuman clostridium tetani.
Clostridium tetani merupakan basil berbentuk batang yang bersifat anaerob,
membentuk spora (tahan pana), garam-psitif, mengeluarkan eksotoksin yang bersifat
neurotoksin (yang efeknya menguragi aktivitas kendali SSP), dan patogenesis
bersimbiosis dengan mikroorganisme piogenik.
Basil ini banyak ditemukan pada kotoran kuda, usus kuda, dan tanah yang banyak
dipupuk kotorankuda. Penyakit tertentu banyak terdapat pada luka dalam, luka tusuk,
luka dengan jaringan mati (corpus alienum) karena merupakan kondisi yang baik
untuk poliferasi kuman anaerob. Luka dengan infeksi piogenik dimana bakteri
piogenik mengonsumsi eksogen pada luka sehingga suasana menjadi anaerob yang
penting bagi tumbuhnya basil tetanus. (Fransisca, 2008)
3. Manifestasi Klinis
Rasa nyeri punggung dan perasaan tidak nyaman di seluruh tubuh merupakan
gejala awal penyakit ini. Satu hari kemudian baru terjadi kekakuan otot. Beberapa
penderita juga mengalami kesulitan menelan. Gangguan terus dialami penderita
selama infeksi tetanus masih berlangsung.
Gejala awal berlanjut dengan kejang yang disertai nyeri otot pengunyah
(Trismus). Gejala tahap kedua ini disertai sedikit rasa kaku di rahang, yang meningkat
sampai gigi mengatup dengan ketat, dan mulut tidak bisa dibuka sama sekali.
Kekakuan ini bisa menjalar ke otot-otot wajah, sehingga wajah penderita akan terlihat
menyeringai (Risus Sardonisus), karena tarikan dari otot-otot di sudut mulut. Selain
itu, otot-otot perut pun menjadi kaku tanpa disertai rasa nyeri. Kekakuan tersebut akan
semakin meningkat hingga kepala penderita akan tertarik ke belakang.
(Ophistotonus). Keadaan ini dapat terjadi 48 jam setelah mengalami luka. Pada tahap
ini, gejala lain yang sering timbul yaitu penderita menjadi lambat dan sulit bergerak,
termasuk bernafas dan menelan makanan. Penderita mengalami tekanan di daerah
dada, suara berubah karena berbicara melalui mulut atau gigi yang terkatub erat, dan
gerakan dari langit-langit mulut menjadi terbatas.
Daya rangsang dari sel-sel saraf otot semakin meningkat, maka terjadilah kejang
refleks. Biasanya hal ini terjasi beberapa jam setelah adanya kekakuan otot. Kejang
otot ini bisa terjadi spontan tanpa rangsangan dari luar, bisa pula karena adanya
rangsangan dari luar. Misalnya cahaya, sentuhan, bunyi-bunyian dan sebagainya.
Pada awalnya, kejang ini hanya berlangsung singkat, tapi semakin lama akan
berlangsung lebih lama dan dengan frekuensi yang lebih sering.
Selain dapat menyebabkan radang otot jantung (mycarditis), tetanus dapat
menyebabkan sulit buang air kecil dan sembelit. Pelukaan lidah, bahkan patah tulang
belakang dapat terjadi akibat adanya kejang otot hebat. Pernafasan pun juga dapat
terhenti karena kejang otot ini, sehingga beresiko kematian. Hal ini disebabkan karena
sumbatan saluran nafas, akibat kolapsnya saluran nafas, sehingga refleks batuk tidak
memadai, dan penderita tidak dapat menelan.
4. Stadium
Menurut Harry (2011), berdasarkan gejala klinisnya tetanus dibagi menjadi
stadium klinis pada anak dan dewasa.
a. Stadium pada anak
- Stadium 1: gejala klinis trismus (3cm), belum ada kejang rangsang, dan belum
ada kejang spontan
- Stadium 2: gejala klinis trismus (3cm), ada kejang rangsang, dan belum ada
kejang spontan
- gejala klinis trismus (3cm), ada kejang rangsang, dan ada kejang spontan
b. Stadium pada orang dewasa
- Stadium 1: trismus
- Stadium 2: opisthonomus (otot-otot perut menjadi kaku tanpa disertai rasa
nyeri. Kekakuan tersebut akan semakin meningkat hingga kepala penderita
akan tertarik ke belakang)
- Stadium 3: kejang rangsang
- Stadium 4: kejang spontan
5. Patofisiologi
Clostridium tetani masuk kedalam tubuh manusia melalui luka. Semua jenis luka
dapat terinfeksi olah kuman tetanus. Sebagian besar dari pasien tetanus, port d’entree
terdapat pada daerah kaki terutama luka tusuk. Infeksi tetanus juga dapat terjadi
malalui uterus sesudah persalinan atau abortus provokatus. Pada bayi lahir,
Clostridium tetani dapat melalui umbilikus setelah tali pusat dipotong tanpa
memperhatikan kaidah asepsis antisepsis. selain itu, otitis media atau gigi berlubang
juga bisa menjadi jalan masuk. bentuk spora akan berubah menjadi vegetatif bila
lingkungannya memungkinkan dan kemudian mengeluarkan eksotoksin. kuman
tetanus sendiri tetap tinggal didaerah luka, tidak ada penyebaran kuman. kuman ini
membentuk dua macam eksotoksin yaitu tetanolisin dan tetanospasmin. Tetanolisin
dalam percobaan dapat menghancurkan sel darah merah tetapi tidak menimbulkan
tetanus secara langsung melainkan menambah optimal kondisi lokal untuk
berkembangya bakteri. tetanospasmin terdiri dari protein yang bersifat toksik terhadap
sel saraf. toksin ini diabsorbsi oleh end organ saraf di ujung saraf motorik dan
diteruskan melalui saraf sampai ganglion dan susunan saraf pusat. bila mencapai
susunan saraf pusat dan terikat dengan sel saraf, toksin tersebut tidak dapat
dinetralkan lagi. saraf yang terpotong atau berdegenerasi, lambat menyerap toksin,
sedangkan saraf sensorik sama sekali tidak menyerap.
pada keadaan anaerobik, spora bakteri ini akan bergerminasi menjadi sel vegettif
bila dalam lingkungan yang anaerob. toksin akan diproduksi dan menyebar ke seluruh
bagian tubuh melalui peredaran darah dan limpa. toksin tersebut akan beraktivitas
pada tempat-tempat tertentu seperti pusat sistem saraf termasuk otak. gejala klinis
timbul sebagai dampak eksotoksin pada sinaps ganglion spinal dan neuromuscular
junction serta saraf otonom. toksin dari tempat luka menyebar ke motor endplate dan
setelah masuk lewat ganglioside dijalarkan secara intraaxonal ke dalam sel saraf tepi,
kemudian ke kornu anterior sumsum tulang belakang. hingga akhirnya menyebar ke
SSP. gajala klinis yang ditimbulkan dari eksotoksin terhadap susunan saraf tepi dan
pusat tersebut adalah dengan memblik pelepasan dari neurotransmitter sehingga
terjadi kontraksi otot yang tak terkontrol. neuron ini menjadi tidak mampu untuk
melepaskan neurotransmitter. neuron yang melepaskan gamma aminobutyric acid
(GABA) dan glisin, neurotransmitter inhibitor utama, sangat sensitif terhadap
tetanospasmin yang dapat menyebabkan kegagalan penghambatan refleks renspon
motorik terhadap sensoris. kakakuan mulai pada tempat masuknya kuman atau pada
otot massester (trismus), pada saat toksin masuk ke sumsum tulang belakang terjadi
kekakuan yang berat, pada ektremitas, otot-otot bergari pada dada, perut dan mulai
timbul kejang. bila toksin sudah mulai memasuki korteks serebri, maka akan
mengalami kejang umum yang spontan. tetanospasmin juga berpengaruh pada saraf
otonom, sehingga terjadi gangguan pernapasan, metabolisme, hemodinamika,
hormonal, sluran cerna, saluran kemih, dan neuromuskular. spasme laring, hipertensi,
aritmia, hiperfleksi, dan hiperhidrosis merupakan penyulit akibat gangguan sistem
saraf otonom. cara kerja tetanospasmin yaitu:
a. toksin menghalangi neuromuscular transmission dengan cara menghambat
pelepasan asetilkolin dari terminal nerve otot.
b. karakteristik spasme dari tetanus terjadi karena toksin mengganggu fungsi dari
refleks synaptik si spinal cord
c. kejang pada tetanus, mungkin disebabkan peningkatan toksin oleh cerebral
ganglioside.
penderita akan mengalami gangguan dari Autonomic Nervous System (ANS)
dengan gejala berkeringat, hipertensi yang fluktuasi, periodisiti takikardi, aritmia,
peningkatan katekolamin dalam urin. timbulnya kegagalan mekanisme inhibisi yang
normal, menyebabkan meningkatnya aktivitas dari neuron yang menyarafi otot
masester sehingga terjadi trismus. otot masester adalah otot yang paling sensitif
terhadap toksin tersebut. akibatnya dari tetanus adalah rigid paralysis(kehilangan
kemampuan untuk bergerak) pada voluntary muscle, sering disebut lockjaw karena
biasanya pertama kali muncul pada otot rahang.
6. Pemeriksaan diagnostik
1. Pemeriksaan bakteoroligik dan serologik
2. Pemeriksaan laboratorium
7. Penatalaksanaan
6.1 Penceghan
a. Bersihkan port d’entree, dengan larutan H2O2 3%
b. Antitetanus Serum (ATS) 1500 U/IM
c. Toksoid Tetanus (TT), dengan memerhatikan status imunisasi
d. Antimikroba pada keadaan yang berisiko peloferasi kuman Clostridium tetani
seperti pada patah tulang terbuka dan lainnya.
6.2 Pengobatan
Pada dasarnya, penatalaksanaan tetanus bertujuan:
a. Eliminasi kuman
1. debridement
Untuk menghilangkan suasana anaerob, dengan cara membuang jaringan
yang rusak, membuang benda asing, merawat luka/infeksi, membersihkan
liang telinga/otitis media, caires gigi.
2. antibiotika
Penisilna prokain 50.000-100.000 ju/kg/hari IM, 1-2 hari, minimal 10 hari.
Antibiotika lain ditambahkan sesuai dengan penyulit yang timbul.
b. Netralisasi toksin
Toksin yang dapat dinetralisir adalah toksin yang belum melekat di
jaringan. Dapat diberikan ATS 5000-100.000 KI
c. Perawatan suporatif
Perawatan penderita tetanus harus intensif dan rasional:
1. Nutrisi dan cairan
- Pemberian cairan IV sesuaikan jumlah dan jenisnya dengan keadaan
penderita, seperti sering kejang, hiperpireksia dan sebagainya.
- Beri nutrisi tinggi kalori, bil a perlu dengan nutrisi parenteral
- Bila sounde naso gastrik telah dapat dipasang (tanpa memperberat
kejang) pemberian makanan peroral hendaknya segera dilaksanakan.
2. Menjaga agar nafas tetap efisien
- Pemebrsihan jalan nafas dari lendir
- Pemberian xat asam tambahan
- Bila perlu, lakukan trakeostomi (tetanus berat)
3. Mengurangi kekakuan dan mengatasi kejang
Antikonvulsan diberikan secara tetrasi, disesuaikan dengan kebutuhan
dan respon klinis. Pada penderita yang cepat memburuk (serangan makin
sering dan makin lama), pemberian antikonvulsan dirubah seperti pada
awal terapi yaitu mulai lagi dengan pemberian bolus, dilanjutkan dengan
dosis rumatan. Pengobatan rumat dengan fenobarbital dosis maintenance
: 8-10 mg/kg BB dibagi 2 dosis pada hari pertama, kedua diteruskan 4-5
mg/kg BB dibagi 2 dosis pada hari berikutnya. bila dosis maksimal telah
tercapai namun kejang belum teratasi , harus dilakukan pelumpuhan obat
secara totoal dan dibantu denga pernafasan maknaik (ventilator)
4. Pengobatan penunjang saat serangan kejang adalah:
- Semua pakaian ketat dibuka
- Posisi kepala sebaiknya miring untuk mencegah aspirasi isi lambung
- Usahakan agar jalan napas bebasu ntuk menjamin kebutuhan oksigen
- Pengisapan lendir harus dilakukan secara teratur dan diberikan
oksigen
8. Komplikasi
Komplikasi yang mungkin muncul adalah pneumonia, anoksia, aspirasi, dan
fraktur vertebra.
9. Prognosis
masa inkubasi penyakit ini adalah 1 – 54 hari, rata-rata 8hari. semakin lama
penangan antitoksin, maka semakin pendek masa inkubasinya dan semakin buruk
pula prognosisnya. (Harry, 2011). jika letak luka semakin dekat dengan SSP maka
semakin pendek masa inkubasinya sehingga prognosisnya memburuk. angka
kematian bervariasi bergantung pada berat penyakit, umur penderita, dan ketesediaan
penunjang medis yang memadai. (Sylvia, 2009)
Suasana yang memungkinkan organisme anaerob Colostridium tetani.
port d’entree antara lain luka tusuk, luka bakar otitis media, perawatan tali pusar yang buruk, luka gigit, dan lain-lain.
Colostridium tetani mengeluarkan toksin yang d absorbsi ujung saraf motorik dan melalui sumbu silindrik ke SSP
Tetanospasmin beredar malalui aliran darah dan limpa dan masuk ke intrakranial
Perubahan intrakranial
Penekanan area fokal kortikal kejang tonik
umum, kejang rangsang (visual,
suara, gerak), kejang spontan,
kejang abdomen, dan retensi urin
Peningkatan permeabilitas darah
otak
Kesulitan membuka mulut (trismus), kaku
kuduk (episiotonus), kaku dinding perut, dan
kaku tulang belakang
Susah menelan
Asupan nutrisi yang tak adekuat
Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan
Perubahan eliminasi urin dan
alvi
Penurunan reflek batuk
Perubahan mobilitas
fisik
Perubahan pola
eliminasi urin dan
alvi
[
Bersihan jalan nafas tak efektif
Gangguan ADL
Gangguan Mobilitas
fisik
Proses inflamasi di jaringan otak,
peningkatan suhu tubuh
hipertermi
Resiko tinggi cedera
Penurunan tingkat kesadaran
Koma
WOC
Daftar pustaka
Tanujaya, E. 2008. Buku Ajar Asuhan Keperawatan Klien dengan Gangguan Sistem
Persyarafan. Jakarta: Salemba Medika
Batticaca, Fransisca B. 2008. Asuhan Keperawatan pada Klien dengan Gangguan Sistem
Persyarafan. Jakarta: Salemba Medika
Muliawan, Sylvia Y. 2009. Bakteri Anaerob yang Erat Kaitannya dengan Problem di Klinik:
Diagnosis dan Penatalaksanaanya. Jakarta: EGC