Upload
dzul050702
View
23
Download
0
Embed Size (px)
DESCRIPTION
history
Citation preview
The News Sejarah Islam Di Bengkulu Monday, 11 August 2008 04:22 Sejarah Singkat Islam di
Bengkulu
Membicarakan masuknya Islam di Bengkulu tidak terlepas dari membicarakan masuknya Islam
di Indonesia. Ada beberapa tahapan yang dapat menjelaskan tentang masuknya Islam ke
Indonesia. Tahap pertama, abad 7 masehi (abad 1 hijriah). Pada tahun 30 Hijri atau 651 Masehi,
hanya berselang sekitar 20 tahun dari wafatnya Rasulullah SAW, Khalifah Utsman ibn Affan RA
mengirim delegasi ke Cina untuk memperkenalkan Daulah Islam yang belum lama berdiri.
Dalam perjalanan yang memakan waktu empat tahun ini, para utusan Utsman ternyata sempat
singgah di Kepulauan Nusantara. Beberapa tahun kemudian, tepatnya tahun 674 M, Dinasti
Umayyah telah mendirikan pangkalan dagang di pantai barat Sumatera. Inilah perkenalan
pertama penduduk Indonesia dengan Islam. Sejak itu para pelaut dan pedagang Muslim terus
berdatangan, abad demi abad. Mereka membeli hasil bumi dari negeri nan hijau ini sambil
berdakwah.Lambat laun penduduk pribumi mulai memeluk Islam meskipun belum secara besar-
besaran. Aceh, daerah paling barat dari Kepulauan Nusantara, adalah yang pertama sekali
menerima agama Islam. Bahkan di Acehlah kerajaan Islam pertama di Indonesia berdiri, yakni
Pasai.
Berita dari Marcopolo menyebutkan bahwa pada saat persinggahannya di Pasai tahun 692
H/1292 M, telah banyak orang Arab yang menyebarkan Islam. Begitu pula berita dari Ibnu
Batutah, pengembara Muslim dari Magribi, yang ketika singgah di Aceh tahun 746 H/1345 M
menuliskan bahwa di Aceh telah tersebar mazhab Syafi'i. Adapun peninggalan tertua dari kaum
Muslimin yang ditemukan di Indonesia terdapat di Gresik, Jawa Timur. Berupa komplek makam
Islam, yang salah satu diantaranya adalah makam seorang Muslimah bernama Fathimah binti
Maimun. Pada makamnya tertulis angka tahun 475 H/1082 M, yaitu pada jaman Kerajaan
Singasari. Diperkirakan makam-makam ini bukan dari penduduk asli, melainkan makam para
pedagang Arab.Tahap kedua, abad ke 14 Masehi.
Sampai dengan abad ke-8 H/14 M, belum ada pengislaman penduduk pribumi Nusantara secara
besar-besaran. Baru pada abad ke-9 H/14 M, penduduk pribumi memeluk Islam secara massal.
Para pakar sejarah berpendapat bahwa masuk Islamnya penduduk Nusantara secara besar-
besaran pada abad tersebut disebabkan saat itu kaum Muslimin sudah memiliki kekuatan politik
yang berarti. Yaitu ditandai dengan berdirinya beberapa kerajaan bercorak Islam seperti Kerajaan
Aceh Darussalam, Malaka, Demak, Cirebon, serta Ternate.
Para penguasa kerajaan-kerajaan ini berdarah campuran, keturunan raja-raja pribumi pra Islam
dan para pendatang Arab. Pesatnya Islamisasi pada abad ke-14 dan 15 M antara lain juga
disebabkan oleh surutnya kekuatan dan pengaruh kerajaan-kerajaan Hindu/ Budha di Nusantara
seperti Majapahit, Sriwijaya dan Sunda. Thomas Arnold dalam The Preaching of Islam
mengatakan bahwa kedatangan Islam bukanlah sebagai penakluk seperti halnya bangsa Portugis
dan Spanyol. Islam datang ke Asia Tenggara dengan jalan damai, tidak dengan pedang, tidak
dengan merebut kekuasaan politik.
Islam masuk ke Nusantara dengan cara yang benar-benar menunjukkannya sebagai rahmatan
lil'alamin.Dengan masuk Islamnya penduduk pribumi Nusantara dan terbentuknya pemerintahan-
pemerintahan Islam di berbagai daerah kepulauan ini, perdagangan dengan kaum Muslimin dari
pusat dunia Islam menjadi semakin erat. Orang Arab yang bermigrasi ke Nusantara juga semakin
banyak. Yang terbesar diantaranya adalah berasal dari Hadramaut, Yaman. Dalam Tarikh
Hadramaut, migrasi ini bahkan dikatakan sebagai yang terbesar sepanjang sejarah Hadramaut.
Tahap ketiga, abad ke 17 Masehi. Setelah bangsa-bangsa Eropa Nasrani berdatangan dan dengan
rakusnya menguasai daerah demi daerah di Nusantara, hubungan dengan pusat dunia Islam
seakan terputus. Terutama di abad ke 17 dan 18 Masehi. Penyebabnya, selain karena kaum
Muslimin Nusantara disibukkan oleh perlawanan menentang penjajahan, juga karena berbagai
peraturan yang diciptakan oleh kaum kolonialis. Setiap kali para penjajah - terutama Belanda -
menundukkan kerajaan Islam di Nusantara, mereka pasti menyodorkan perjanjian yang isinya
melarang kerajaan tersebut berhubungan dagang dengan dunia luar kecuali melalui mereka.
Maka terputuslah hubungan umat Islam Nusantara dengan umat Islam dari bangsa-bangsa lain
yang telah terjalin beratus-ratus tahun.
Keinginan kaum kolonialis untuk menjauhkan umat Islam Nusantara dengan akarnya, juga
terlihat dari kebijakan mereka yang mempersulit pembauran antara orang Arab dengan
pribumi.Semenjak awal datangnya bangsa Eropa pada akhir abad ke-15 Masehi ke kepulauan
subur makmur ini, memang sudah terlihat sifat rakus mereka untuk menguasai. Apalagi mereka
mendapati kenyataan bahwa penduduk kepulauan ini telah memeluk Islam, agama seteru
mereka, sehingga semangat Perang Salib pun selalu dibawa-bawa setiap kali mereka
menundukkan suatu daerah.
Dalam memerangi Islam mereka bekerja sama dengan kerajaan-kerajaan pribumi yang masih
menganut Hindu/Budha. Satu contoh, untuk memutuskan jalur pelayaran kaum Muslimin, maka
setelah menguasai Malaka pada tahun 1511, Portugis menjalin kerjasama dengan Kerajaan
Sunda Pajajaran untuk membangun sebuah pangkalan di Sunda Kelapa. Namun maksud Portugis
ini gagal total setelah pasukan gabungan Islam dari sepanjang pesisir utara Pulau Jawa bahu
membahu menggempur mereka pada tahun 1527 M.
Pertempuran besar yang bersejarah ini dipimpin oleh seorang putra Aceh berdarah Arab Gujarat,
yaitu Fadhilah Khan Al-Pasai, yang lebih terkenal dengan gelarnya, Fathahillah. Sebelum
menjadi orang penting di tiga kerajaan Islam Jawa, yakni Demak, Cirebon dan Banten,
Fathahillah sempat berguru di Makkah. Bahkan ikut mempertahankan Makkah dari serbuan
Turki Utsmani.Kedatangan kaum kolonialis di satu sisi telah membangkitkan semangat jihad
kaum muslimin Nusantara, namun di sisi lain membuat pendalaman akidah Islam tidak merata.
Hanya kalangan pesantren (madrasah) saja yang mendalami keislaman, itupun biasanya terbatas
pada mazhab Syafi'i. Sedangkan pada kaum Muslimin kebanyakan, terjadi percampuran akidah
dengan tradisi pra Islam. Kalangan priyayi yang dekat dengan Belanda malah sudah terjangkiti
gaya hidup Eropa.
Kondisi seperti ini setidaknya masih terjadi hingga sekarang. Terlepas dari hal ini, ulama-ulama
Nusantara adalah orang-orang yang gigih menentang penjajahan. Meskipun banyak diantara
mereka yang berasal dari kalangan tarekat, namun justru kalangan tarekat inilah yang sering
bangkit melawan penjajah. Dan meski pada akhirnya setiap perlawanan ini berhasil ditumpas
dengan taktik licik, tetapi sejarah telah mencatat jutaan syuhada Nusantara yang gugur pada
berbagai pertempuran melawan Belanda. Sejak perlawanan kerajaan-kerajaan Islam di abad 16
dan 17 seperti Malaka (Malaysia), Sulu (Filipina), Pasai, Banten, Sunda Kelapa, Makassar,
Ternate, hingga perlawanan para ulama di abad 18 seperti Perang Cirebon (Bagus rangin),
Perang Jawa (Diponegoro), Perang Padri (Imam Bonjol), dan Perang Aceh (Teuku Umar).Islam
di Provinsi Bengkulu diperkirakan mulai masuk pada sekitar tahun 1500-an dan saat itu
Bengkulu masih berupa pemerintahan dalam bentuk kerajaan-kerajaan kecil. Islam di Bengkulu
berkembang pada tahun 1600 – 1700-an.
Islam di Bengkulu masuk melalui beberapa jalur, di antaranya melalui Sumatera Barat, Sumatera
Selatan (Palembang), dan interaksi antara kerajaan-kerajaan yang ada di Bengkulu dengan
kerajaan Banten Islam di tanah Jawa.Informasi mengenai sejarah awal masuknya Islam di
Bengkulu diperoleh dari berbagai sumber yang menunjukkan terdapat beberapa pintu masuk
Agama Islam ke Bengkulu. Menurut sumber yang ada Islam masuk ke Bengkulu terjadi dengan
adanya interaksi kerajaan Banten dengan Bengkulu. Dikatakan bahwa Raja pertama Kerajaan
Sungai Serut yang bernama Ratu Agung menurut kepercayaan rakyat adalah Dewa dari Gungung
Bungkuk yang sakti, tetapi kepercayaan ini tidak dapat diterima karena tidak masuk akal.
Ratu Agung lebih tepat dikatakan berasal dari Banten dengan alasan bila kita memperhatikan
sejarah Banten yang memberitakan bahwa Sultan Hasanudin (1546-1570), putra Sunan Gunung
Jati yang kawin dengan Pangeran Ratu Nyawa (putri Sultan Demak), mempunyai seorang putra
yang bernama Ratu Agung. Sebagai seorang pangeran yang merangkap pedagang yang
mengumpul lada di Sungai Serut ia membina satu kerajaan Sungai Serut yang mengumpulkan
hasil bumi dari pedalaman, terutama lada untuk Banten.
Pendapat ini diperkuat dengan adanya peristiwa bahwa yang menggantikan Sultan Hasanudin
(raja pertama Banten) bukan putranya Ratu Agung, tetapi Pangeran Yusuf (1570-1580),
Muhammad Pangeran Sedangrana (1580-1596), Abdul Kadir (1596-1651) dan Abdul Fatah
Sultan Ageng (1651-1682). Peristiwa pemakaman Ratu Agung secara Islam disebut dalam
Tambo Bengkulu. Di dalam Tambo dikatakan bahwa Bilal, Khatib dan Qadi hadir di wafatnya
Ratu Agung. Beliau dimakamkan di Bengkulu Tinggi yang sekarang dikenal dengan nama
Keramat Batu Menjolo.Diketahui dari sejarah bahwa Kerajaan Islam Banten sebagai kerajaan
maritim sejak awal abad XVI menduduki tempat penting dalam perdagangan di pantai Barat
Sumatera melalui selat Sunda. Malahan pada akhir abad XVI Banten merupakan bandar terbesar
di sebelah barat pulau Jawa, sebagai pusat perdagangan internasional, yang mana hadir para
pedagang Portugis, Belanda, Inggris, Arab, Turki dll. Banten sebagai kerajaan pesisir
mementingkan pelayaran dan perdagangan yang mana raja dan keluarga turut mengambil peran.
Kerajaan Sungai Serut ini diperkirakan muncul pertengahan abad XVI, karena menurut sejarah
Banten, karangan Hossein Djajadiningrat, Sultan Banten Hasanuddin pernah melakukan
perjalanan bersama Ratu Balo dan Ki Jongjo ke Lampung, Indrapura, Selebar dan Bengkulu.
Sultan Banten Hasanuddin kawin dengan seorang putri dari Sultan Indrapura dan menerima
hadiah perkawinan daerah pantai barat Sumatera sejauh Air Itam ke Utara. Dengan perkawinan
ini, dimulailah pengaruh Kerajaan Banten atas daerah pesisir barat Sumatera tersebut.Rakyat
kerajaan Sungai Serut disebut Rejang Sabah (suku bangsa Rejang yang berasal dari Lebong di
dataran tinggi Bukit Barisan yang menyebar ke pesisir) karena banyak jumlahnya daripada suku
Lembak yang minoritas.
Ratu Agung sebagai raja pertama (1550-1570) mempunyai anak 7 orang yaitu Raden Jili, Monok
Mincur, Lemang Batu, Taju Rumpun, Rindang Papan, Anak Dalam Muara Bengkulu, dan Putri
Gading Cempaka. Pada pemerintahan Anak Dalam (1570-1615) wilayahnya meluas ke utara
sampai ke dusun-dusun di tepi Air Lais dan Air Ketahun dan ke selatan sampai ke Air
Lempuing.Pada zaman Anak Dalam ini pula pada akhir abad XVI telah berdatangan para
pedagang Aceh ke Bandar kecil Sungai Serut dan bermukim di bukit dekat pantai, yang sampai
sekarang dikenal dengan sebutan Bukit Aceh, untuk membeli lada dan hasil bumi lainnya.
Menurut tambo Bengkulu, putra Sultan Aceh yang juga pedagang melihat Putri Gading Cempaka
yang cantik itu, dan peristiwa ini disampaikan kepada ayahnya Sultan Iskandar Muda (1607-
1636). Demi memperkuat pengaruhnya, beliau menyetujui putranya meminang putri disertai oleh
satu pasukan, tetapi ditolak oleh Anak Dalam. Sebagai akibat penolakan itu, putra Sultan Aceh
memerintahkan penglima pasukan laut memerangi Anak Dalam. Sekalipun perang ini tidak
seimbang, rakyat tetap mempertahankan dengan sungguh-sungguh daerahnya sehingga banyak
memakan korban yang bergelimpangan di Sungai Serut dan hanyut ke hulu sungai. Raja Anak
Dalam melarikan diri ke pedalaman (Gunung Bungkuk) dan kerajaannya musnah.
Peristiwa ini terjadi sekitar tahun 1615, dan mulai sejak peristiwa itu Sungai Serut berubah nama
menjadi Sungai Bengkulu (Bengkahulu berasal dari kata-kata bangkai ke hulu).Dengan peristiwa
di atas, maka orang-orang Rejang di Luak Pesisir (Rejang Sabah) kehilangan rajanya dan
berkeliaran tanpa pimpinan kesatuan mereka. Sekalipun denmikian, setiap dusun masih dikepalai
seorang pemimpin yang dipilih rakyatnya dan bertugas memimpin serta menegakkan adat
istiadat yang berlaku di dusun sebagai masyarakat hukum adat dan semua adat istiadat itu
diketahui mereka secara lisan turun temurun.
Data yang diperoleh dari Abdullah Siddik ini berbeda menurut data yang dikemukakan Hakim
Benardie dalam bukunya Sejarah Maritim Indonesia. Menurut Hakim, Ratu Agung yang
dinyatakan sebagai Raja Bengkulu atau tepatnya raja kecil (akuwu) Kerajaan Sungai Serut
bukanlah keturunan langsung dari Sultan Hasanudin.Babad dan kronik Jakarta ada menyebut
keberadaan Ratu Agung yang juga dikenal dengan sebutan Ratu Dewata merupakan salah
seorang pewaris tahta Kesultanan Banten (pewaris belum tentu keturunan langsung raja).
Ratu Agung atau Ratu Dewata memerintah Jakarta 941-950 H atau 1535-1543 M menggantikan
penguasa kesultanan Kalapa Vasal Banten (Jakarta sekarang) Ratu Sami`am (Sami`nan) yang
memerintah negeri Kalapa 918-941 H atau 1512-1535 M.Setelah Ratu Agung (Raja Jakarta vasal
Banten) ini turun tahta, selanjutnya diangkat kembali menjadi Raja (akuwu) di negeri Bengkulu
(1543-1575). Namun tidak ada sumber sejarah yang menyebutkan, kapan awal pemerintahan
Ratu Agung alias Ratu Dewata ini berkuasa, kronik hanya menyebutkan setelah turun tahta dari
akuwu Jakarta, raja ini menjadi akuwu pula di Bengkulu.
Tidak ada keterangan apa nama kerajaan yang dipimpinnya itu. Benarkah nama kerajaan itu
adalah Kerajaan Sungai Serut?Nama Sungai Serut baru ditemui dalam kronik Bengkulu yang
berkaitan dengan Ratu Agung, raja negeri Bengkulu. Namun ada juga yang menyebut kerajaan
Sungai Serut ini dengan nama Kerajaan Diatas Angin, sebagaimana dalam babad Tanah Sunda,
Babad Sarabon (Cirebon), dan Babad Banten. Kerajaan Diatas Angin adalah istilah yang
digunakan untuk menunjukkan tempat keberadaan suatu kerajaan yang berada di posisi di atas,
sebagaimana posisi di dalam peta bola dunia.
Kerajaan kecil itu berada di bagian utara dari Kesultanan Banten dan Kerajaan Sarabon vasal
Banten.Selanjutnya dalam kronik Tanah Sunda, Banten dan Jakarta diceritakan bahwa Ratu
Agung pernah memerintah Jakarta vasal Banten dan Bengkulu vasal Banten. Pada akhir
pemerintahannya, dia melarikan diri (mengasingkan diri) ke negeri Palimbam (Sriwijaya atau
Palembang sekarang) dan kemungkinan meninggal di sana, tetapi ada juga yang menyebut
akuwu ini melarikan diri ke Sarabon, meninggal di sana dan dimakamkan di Gunung Sembung.
Hingga saat ini belum ada keterangan atau naskah yang menyebutkan bahwa hijrahnya raja
Bengkulu Ratu Agung ke Palembang dikarenakan mengasingkan diri, dan atau diasingkan.
Turunnya Ratu Agung dari akuwu di Bengkulu kemungkinan besar ia mendapat tekanan dari
para pedagang Belanda yang tergabung dalam Vereenig de Oost Indiache Compagnie (VOC).
Para pedagang itu sudah menguasai perdagangan di negeri Banten sejak pertengahan abad ke 16.
Dugaan ini diperkuat dan dibuktikan dengan datangnya ekspedisi Kerajaan Belanda pertama
1595 M yang dipimpin Cornelis de Houtman dan menguasai beberapa daerah penghasil rempah
di Nusantara.Beberapa data yang dikemukakan Hakim ini berbeda dengan data dari Abdullah
Siddik. Siddik menyatakan bahwa Sultan Hasanuddin adalah keturunan dari Sunan Gunung Jati
atau Fatahillah. Sedang menurut Hakim Sultan Hasanuddin bukan keturunan Sunan Gunung Jati.
Sultan Hasanuddin merupakan Raja Banten yang pertama dan Fatahillah atau Sunan Gunung Jati
merupakan panglima perangnya ketika itu, dan nanti akhirnya menggantikan Hasanudin sebagai
Raja Banten kedua setelah Hasanudin meninggal. Begitu pula terjadi perbedaan data mengenai
Ratu Agung yang menyatakan bahwa Ratu Agung adalah anak Sultan Hasanudin Raja Banten.
Sedang menurut Hakim tidak ada data yang tegas yang menunjukkan Ratu Agung keturunan
langsung dari Sultan Hasnudin. Mengenai informasi tentang wafatnya Ratu Agung yang
dinyatakan dimakamkan di Bengkulu Tinggi dengan dihadiri Bilal, Khatib dan Qadi.
Menurut Hakim Benardie, Ratu Agung mengasingkan atau diasingkan ke Palembang dan
dimakamkan di sana.Selain berhubungan dengan Kerajaan Sungai Serut, Kerajaan Banten juga
memiliki hubungan dengan Kerajaan Selebar. Menurut suatu riwayat Kerajaan Selebar berasal
dari Kerajaan Jenggalo yang didirikan oleh seorang pemberani dan bijaksana yang namanya
tidak disebut. Ada riwayat lain yang menyatakan bahwa Kerajaan Selebar dibina oleh Rangga
Janu, salah satu Kerabat Mojopahit. Menurut sejarah dengan runtuhnya Kerajaan Mojopahit
karena penaklukan kerajaan Demak antara 1518-1521 oleh Adipati Unus, beberapa bangsawan
Mojopahit yang juga pedagang menuju Bengkulu.
Di abad inilah diperkirakan kedatangan Rangga Janu dan adiknya Rangga Beru ke daerah Bia
Paku di wilayah Kerajaan Jenggalo, dan bermukim. Kemudian menyusul adiknya Rio (Ario)
bina yang pandai memikat hati raja, sehingga ia dijadikan kepala daerah Bia Paku dan diberi
gelar Rio Kajang Sebidang. Setelah Raja jenggalo meninggat, rakyat memilih Rangga Janu
sebagai penggantinya karena tindak tanduknya yang bijaksana. Peristiwa ini terjadi sekitar tahun
1565. Beliaulah yang memindahkan kedudukan pemerintahannya ke Bandar Selebar yang
letaknya lebih strategis dan menguntungkan niaga di teluk Selebar yang aman dari gelombang
ganas Samudera Hindia. Dengan ini mulailah dikenal Kerajaan Selebar dengan rajanya Rangga
Janu, bergelar Depati Payung Negara.Hal ini disimpulkan dari peristiwa perjalanan Sultan
Banten Hasanudin ke Lampung Indrapura, Selebar meliputi dusun-dusun yang terbentang mulai
dari Sungai Lempuing sampai ke sungai Ngalam, dan rakyatnya terdiri dari suku Lembak dan
Serawai yang berkebun lada.
Gelar Pengeran bagi kepala Masyarakat Hukum Adat di wilayah diberi oleh Raja Selebar. Dari
sejarah Banten, diketahui bahwa Banten sebagai bandar dagang internasional pada tahun 1545
berkembang pesat, tempat persinggahan para pedagang Eropa, Asia dan Nusantara. Daerah ini
harus mempunyai persediaan lada yang banyak, karena pada waktu itu lada adalah komoditi
perdagangan utama. Maka itu, Sultan Hasanudin pernah mengadakan perjalanan ke Selebar
karena ladanya.
Dalam zaman pemerintahan beliau inilah Kerajaan Selebar mulai dimasukkan ke dalam
pengaruh (vasal) Banten dan turut berkembang maju.Pada sekitar tahun 1620, pantai selatan
barat Sumatera sampai perbatasan kerajaan Indrapura betul-betul berada di bawah pengaruh
Sultan Banten, yang tiap tahun mengirim utusannya (Jenang) ke Selebar untuk bukan saja
mengumpulkan lada, tetapi turut menyelesaikan perselisihan yang timbul, dan bila perlu
mengangkat kepada dusun yang disebut Proatin.
Pada tahun 1668 M (1079 H) Depati Bangsa Radin, putra Depati Payung Negara, dari Selebar
berkunjung ke Banten menghadap Sultan Agung Tirtayasa (Sultan Abdullah Abdulfatah, 1651-
1682). Ia mendapat surat dari Sultan Banten yang tertulis di atas loyang pengakuan sebagai raja
kerajaan Selebar dengan gelar Pangeran Nata Di Raja. Seterusnya menurut riwayat, Pangeran
Nata Di Raja inilah yang kawin dengan Putri Kemayan, anak perempuan dari Sultan Agung
Tirtayasa, disertai 12 tentara Banten yang turut serta kembali ke Selebar.Selain berhubungan
dengan kerajaan Banten Bengkulu juga berhubungan dengan kerajaan Minangkabau di
Pagaruyung.
Sebagaimana diketahui bahwa Kerajaan Sungai Serut dihancurkan oleh Kerajaan Aceh, dan
rajanya Anak Dalam menghilang di Gunung Bungkuk sehingga orang Rejang Sabah berkeliaran
tanpa raja. Pemerintahan Depati Tiang Empat di Lebong berselisih paham siapa yang akan
menggantikan Anak Dalam sebagai Raja Ulu Bengkulu. Masalah ini dimusyawarahkan bersama,
dan terdapat kata sepakat untuk mengirim utusan ke Raja Minangkabau di Pagaruyung untuk
mendapat pentunjuk mengenai bagaimana cara memcahkan persoalan tersebut. Raja Pagaruyung
mengirim utusan Baginda Maharaja Sakti dari Sungai Tarab untuk menyelesaikan soal bekas
Kerajaan Sungai Serut Ulu Bengkulu.
Pengiriman itu diperkirakan sekitar tahun 1625. Berkat kebijaksanaan Baginda Maharaja Sakti,
maka dapatlah diatasi segala kesulitan antara para Depati tiang Empat. Sebagai penghargaan atas
tindakan beliau yang arif dan bijaksana itu, dimintalah kepada beliau supaya sudi menjadi Raja
Ulu Bengkulu. Permintaan itu beliau terima dengan baik. Baginda Maharaja Sakti dinobatkan
menjadi raja Ulu Bengkulu (1625-1630) sebagai tempat kedudukannya, raja baru ini memilih
muara Sungai Lemau, dekat dusun Pondok Kelapa yang sekarang, bukannya muara Sungai
Bengkulu tempat kedudukan Kerajaan Sungai Serut yang terdahulu. Diriwayatkan bahwa
Baginda Maharaja Sakti mendapat berita beradanya Anak Dalam Muara Bengkulu dengan adik-
adiknya di Gunung Bungkuk, termasuk adiknya bungsunya Putri Gading Cempaka. Maka
dikirimlah utusan ke Gunung bungkuk untuk melamar Putri Gading Cempaka. Lamaran diterima
dengan baik, dan akhirnya Baginda Maharaja Sakti menikah dengan Putri Gading Cempaka.
Pada masa pemerintahan Baginda Maharaja Sakti, hukum adat ditata, dibangun adat serta
lembaga Bengkulu, dan diperluas penanaman lada yang pada waktu itu merupakan barang
dagangan utama. Pada tahun 1079 H (1668 M) menurut sejarah, Bagindo Sebayam yang
memakai gelar Tuan Pati Bangun Negara, Putra Baginda Maharaja Sakti bersama-sama dengan
Depati Bangsa Radin dari kerajaan Selebar pergi ke Banten untuk menyatakan kerajaan mereka
di bawah lindungan kerajaan Banten yang dipimpin Sultan Agung Tirtayasa yang pada masa itu
pengaruhnya sampai ke pesisir Bengkulu. Dari Sultan Agung Tirtayasa, Tuan Pati Bangun
Negara dari Kerajaan sungai Lemau mendapat piagam pengakuan yang dibuat dari tembaga
sebagai raja dari kerajaan Sungai Lemau dengan gelar Pangeran Raja Muda. Selain kerajaan
Sungai Serut, Selebar dan Sungai Lemau terdapat kerajaan kecil lain yang dinamakan dengan
kerajaan Sungai Itam yang rakyatnya terdiri dari suku Lembak dan berkedudukan di muara
sungai Itam.
Menurut naskah Melayu, pendiri kerajaan ini adalah Senggaran Pati, seorang yang berasal dari
Lembak Beliti, Dusun, Dusun Taba Pingin Pucuk Palembang. Oleh Sultan Palembang ia
dijatuhkan hukuman seumur hidup dengan tugas mengasuh dan menjaga tempat pemandian
keluarga raja di Sungai Musi, karena difitnah berbuat zina dengan anak gadis pamannys dan
membunuh pamannya. Dengan tugas tersebut maka Senggana Pati terkenal dengan nama
Aswanda. Karena kelalaiannya, maka pada suatu ketika putri Sultan Palembang, Sinar
Rembulan, disambar buaya besar dan pemuda Aswanda ditugaskan mencari serta membunuh
buaya itu. Ia berhasil melaksanakan tugasnya, kemudian melarikan diri ke kerajaan Sungai
Lemau dan meminta suaka. Pada masa itu kerajaan Sungai Lemau diperintah oleh Bagindo
Sebayam.Karena Aswanda berkelakuan baik dan berasal pula dari keturunan bangsawan ia
diambil menantu oleh Bagindo Sebayam dan diberi sebagian wilayah kerajaannya, yaitu daerah
pesisir yang terbentang antara sungai Itam dan sungai Bengkulu, ke hulu sampai sungai Renah
Kepahyang danke hilir sampai ke pinggir laut. Peristiwa ini diperkirakan terjadi pada tahun
1650.Para keturunan Aswanda menyangkal asal usul leluhurnya seperti yang dinyatakan di
dalam naskah Melayu, dan menganggap bahwa leluhurnya berasal dari Majapahit atau
Pagaruyung. Pernyataan itu dapat diterima karena pada masa keruntuhan kerajaan Majapahit
(1513-1528) para bangsawan Majapahit terpencar dan ada yang masuk ke daerah pedalaman
Palembang, tetapi tidak datang dari Pagaruyung. Ditinjau dari sudut sejarah, yaitu di abad XVII,
dapat diterima asal usul Senggana Pati (Aswanda) dari Majapahit yang datang menetap di
wilayah pedalaman kerajaan Palembang. Yang memerintah kerajaan Sungai Itam sebagai raja
pertama adalah Aswanda dengan gelar Depati Bangsa Raja (1650-1686).
Dalam pemerintahan Depati Bangsa Raja inilah EIC dengan kapal layar niaganya yang besar tiba
di muara Sungai Bengkulu. Menurut Bloome penduduk di pesisir ini telah menganut agama
Islam, karena waktu mereka datang itu tepat blan puasa, penduduk sedang berpuasa. Selain itu,
jika mereka bersumpah, mereka mempergunakan Kitab Suci Al-qur’an.Kerajaan Anak Sungai
terletak di bagian utara wilayah Bengkulu sekarang wilayahnya terdiri dari lembah-lembah
Sungai Menjunto di utara sampai Air Urai di Selatan. Sultannya bernama Encik Redik,
keturunan dari raja-raja di Pariaman dengan gelar Sultan Saidi syarif dan berkedudukan di
Menjuto. Kerajaan ini meliputi daerah-daerah Negeri Empat Belas Kota (Muko-muko), Negeri
Lima Kota (Bantal), Negeri Proatin nan kurang satu enam puluh (Seblat) dan Ketahun.Secara
tradisional kerajaan Anak Sungai dianggap sebagai rantau dari Kerajaan Minangkabau, dan pada
permulaan abad XVII merupakan provinsi dari kerajaan Indrapura di bawah Sultan Muzaffar
Syah (1620-1660). Rakyatnya terdiri dari penduduk asli dusun yang terkenal dengan sebutan
Suku Anak Sungai, anak pesisir yang menetap di sutu membuka ladang padi sambil berkebun
lada, yaitu sejumlah kecil orang Palembang dan Jambi. Adapun mayoritasnya adalah orang-
orang Padang Darat yang banyak berdiam di pasar sebagai pedagang.Pemerintahnya berpola
Melayu, yaitu kedaulatan politik berada pada sultan Menjuto dan dibantu oleh beberapa menteri.
Penduduknya beragama Islam. Pada tiap-tiap dusun ada pemimpinya, yaitu Proatin, yang secara
sukarela tunduk kepada sultan, sedangkan terhadap menteri, secara teori, pada waktu tertentu
mereka memberi penghormatan dan upeti.Menteri Negeri Empat Belas Kota atau Muko-Muko
mempunyai kedudukan tertinggi yang mengurus hal ihwal negara, Menteri Lima Kota atau
Bantal mengurus keamanan dalam negeri, sedangkan para Proatin mengurus dusunnya masing-
masing.
Sebagaimana diketahui dalam sejarah, pada permulaan abad ke XVII, Kerajaan Indrapura berada
di bawah pengaruh kerajaan Aceh sampai akhir pemerintahan sultan Iskandar Muda, di mana
pengaruh Aceh mulai terasa berkurang, terutama di bawah Sultan Iskandar Sani dan istrinya Ratu
Tajaul Alam (1641-1675). Dengan demikian maka Sultan Indrapura, Muhammad Syah (1660-
1691) putra Sultan Muzaffar Syah, merasa agak leluasa mengadakan perdagangan dengan para
pedagan Eropa seperti VOC Belanda dan EIC Inggris.
Pada tahun 1663 Kerajaan Indrapura membuat perjanjian dagang dengan VOC. Pada
pertengahan abad XVII, kerajaan Anak Sungai masih di bawah kerajaan Indrapura, yang
wakilnya berkedudukan di Menjuto dengan menyandang gelar Raja Adil, yaitu Tuanku Sungut,
kemenakan laki-laki Sultan Muhammad Syah.Selama abad XVII timbul hasrat pada rakyat
kerajaan Anak Sungai untuk memisahkan diri dari kekuasan Sultan Indrapura. Keinginan ini
disokong Raja Adil. Maka timbullah kerusuhan politik di wilayah Anak Sungai yaitu gerakan
memisahkan diri dari kekuasaan Indrapura yang dipimpin kerabat Sultan Muhammad Syah yang
mewakilinya di wilayah Anak Sungai. Yaitu Tuanku Sungut dan Tuanku Di Bawa Pauk (Raja
Kecil Besar). Seterusnya diketahui bahwa keributan yang muncul dengan bantuan EIC dapat
diselesaikan buat sementara dengan adanya kantor dagang dan pos pertahanan Inggris di
Menjuto pada tahun 1686.Pada tahun 1691, Raja Mansur kemenakan Sultan Muhammad Syha
dan juga saudara laki-laki Raja Perempuan yang kawin dengan panglima Raja dari Padan, atas
bantuan VOC (Belanda) menjadi Sultan Indrapura, sedangkan Sultan Muhammad Syah
melarikan diri ke Menjuto. Di Menjuto beliau tidak diterima dengan baik, tetapi didaulat oleh
penguasa kerajaan Anak Sungai, Raja Itam, anak Encik Redik, keturunan Raja Pariaman.
Putera Raja Itam bernama Gulemat yang masih di bawah umur diangkat sebagai pengganti
ayahnya yang meninggal di tahun 1695.Kematian Raja Itam ini dipakai sebagai kesempatan
terbaik oleh Sultan Muhammad Syah dan wakilnya Raja Adil untuk menuntuk kembali Kerajaan
Anak Sungai sebagai Provinsi Kerajaan Indrapura, tetapi Inggris menolak tuntutan mereka
seepenuhnya dan tetap melindungi Gulemat. Sementara itu pada tahun 1693 Inggris menarik diri
dari Indrapura karena Sultan Indrapura, Raja Mansur yang menjatuhkan Sultan Muhammad Syah
atas bantuan Belanda (VOC) menetapkan seorang putranya, Merah Bangun, sebagai wakilnya
(Ratu Adil) di Menjuto.Melihat keadaan demikian Inggris berkompromi dengan mengakui
Merah Bangun dan Gulemat sebagai penguasa bersama atas wilayah Anak Sungai dan pada
tanggal 16 September 1695 EIC mengakui pemerintahan bersama mereka.Seterusnya diketahui
bahwa Raja Adil tidak senang dengan sikap Inggris di Menjuto, yaitu sikap Charles Barwell
yang mencoba mempertahankan status quo dengan cara membagikan daerah-daerah. Raja adil
mempunyai pengawasan bebas atas Menjuto, dan Gulemat tetap menguasai daerah-daerah lain
dan Kerajaan Anak Sungai.Pembagian tersebut tidak menyelesaikan masalah dan pada tahun
1699, Raja Adil menarik diri dari pemerintahan dan meninggalkan Gulemat sebagai penguasa
tunggal Kerajaan Anak Sungai. Merah Bangun pindah berkedudukan di Muko-Muko, dan
menentang Gulemat. Demikian juga raja Makota, ayah tiri Gulemat, menentang Gulemat dan
berhasil menguasai Menjuto pada tahun 1716. satu-satunya anak yang hidup, yaitu Raja Kecil
Besar gelar Tuanku di Bawa Pauk, menjadi Penguasa Menjuto yang diakui oleh EIC sebagai
Sultan Kecil Muhamad Syah (1716-1728).Pada tahun 1728 , Raja Kecil Besar meletakkan
jabatannya secara sukarela. Berdasarkan hasil musyawarah, para Proatin telah mengajukan
permohonan kepada Sultan IndraPura agar putranya Merah Bangun yang berkedudukan di
Muko-Muko diperkenankan untuk dinobatkan menjadi Sultan Muko-Muko yang otonom. Pada
bulan Agustus 1728 Merah Bangun dinobatkan oleh Sultan Indrapura sebagai Sultan Muko-
Muko pertama dan berdiri sendiri, berkedudukan di Muko-Muko dengan gelar Sultan Gendam
Mersah (1728-1752).Dari data-data yang telah dikemukakan sebelmnya dapat dijelaskan bahwa
beberapa kerajaan kecil yang terdapat di wilayah Bengkulu yang memiliki hubungan dengan
kerajaan Banten yang merupakan Kerajaan Islam yang besar ketika itu, merupakan jalan
masuknya Islam di Bengkulu. Masuknya Islam di Bengkulu pada masa ini dapat dibenarkan
karena kerajaan-kerajaan kecil yang ada di Bengkulu merupakan daerah yang tunduk (vasal)
kepada kerajaan Banten. Selain itu Raja Banten juga ada mengirim utusan dan memberikan
pengakuan terhadap para raja kecil tersebut dengan memberi mereka gelar yang dari namanya
dapat diterima mereka sudah memeluk agama Islam. Ditambah lagi dengan adanya bukti-bukti
sejarah yang menunjukkan itu adalah peninggalan sejarah umat Islam.Selain kerajaan Banten
kerajaan kecil yang ada di Bengkulu juga memiliki hubungan dengan kerajaan Pagaruyung.
Hubungan yang terjadi tidak sekedar hubungan dagang, tetapi lebih dari itu yaitu dalam bentuk
adanya permohonan bantuan untuk menyelesaikan masalah, yang nantinya utusan raja
Pagaruyung tersebut menjadi seorang raja di wilayah Bengkulu. Kerajaan Pagaruyung juga
merupakan salah satu kerajaan Islam ketika itu. Dengan demikian, maka utusan yang dikirim
juga merupakan seorang muslim yang akhirnya menjadi raja sekaligus menjadi penyebar Islam
di Bengkulu.Berdasarkan data-data tersebut dapat dinyatakan bahwa sejarah kedatangan Islam di
Bengkulu paling tidak merupakan sumbangan dari dua Kerajaan Islam yang sudah ada dan
berkembang pada saat itu yaitu Banten dan Pagaruyung. Sebagai pembahasan yang cukup
penting diulas di sini menurut penulis adalah peninggalan budaya yang menurut pengakuan
masyarakat Bengkulu merupakan budaya asli daerah Bengkulu yang diidentikan dengan agama
Islam. Perayaan tersebut adalah tabot.Sebuah kebudayaan yang dinilai sebagai bentuk dari
kemunculan Islam di Bengkulu adalah Tabot.
Tabot dinilai sebagai bentuk kebudayaan Islam yang dibawa para penyiar Islam yang datang ke
Bengkulu. Namun, menurut penelitian Hakim Benardie tabot bukanlah budaya Islam yang
dibawa para penyiar Islam di Bengkulu. Menurutnya pasang surut bahasa yang berkembang di
suatu daerah akan sangat membantu dan memperkaya bagi peneliti sejarah, sebagaimana pasang
surutnya bahasa Melayu Kota Bengkulu itu sendiri dan kesenian rakyat tradisional yan
dimainkan pada musim ketam. Sayangnya kesenian ini hilang dan tenggelam dengan datangnya
kolonial Inggris, dan masuknya kesenian Tabot pada awal abad ke 18 yang dibawa oleh tentara
Inggris yang umumnya berasal dari etnik Shimphahi di kaki gunung Himalaya India.Pembawa
kesenian tabot itu bukanlah orang-orang yang beragama Hindu atau Budha yang baik, dan bukan
pula orang Islam. Mereka adalah tentara sewaan dan budak tentara Inggris (Gurca) yang dibawa
ke Nusantara.
Gurca ini mengenal berbagai kebudayaan di India dan Persia. Kesenian inilah yang
dikembangkannya di Bengkulu dan Pariaman Sumatera Barat.Tarian tabot semula hanya
berbentuk tarian rakyat dalam rangka menghormati dewa bumi dan dewi padi (dewi Sri sebagai
dewi kemakmuran) pada masyarakat tani Hindu. Si penari berlenggang lenggok lemah gemulai
memuja sambil menjunjung sebuah miniatur pagoda setinggi 120 cm (sekarang mungkin yang
disebut Gerga) di dalamnya terdapat sepasang patung dewa bumi dan dewi Sri, sementara pada
empat sisi miniatur pagoda terdapat lampu damar. Tarian ini diiringi dengan pukulan gendang
yang kencang sehingga terdengar ke seluruh penjuru negeri.Masyarakat bengkulu yang haus
hiburan sangat menyukainya, sehingga tidak jarang pada pesta perayaan perkawinanpun mereka
mengundang penari-penari tabot semalam suntuk. Atraksi juga dimeriahkan dengan orang-orang
yang berjalan di atas bara api, ditusuk dengan besi dan tidur di atas paku.
Sementara pedagang kue yang ikut hadir berjualan telah membuat semakin menyemarakkan
pesta hajat tersebut.Kesenian ini pada akhirnya domodifikasi dan dimanfaatkan kolonial Inggris
dan Belanda sehingga bentuknya berubah seperti apa yang kita lihat sekarang. Tabot itu sendiri
di Persia tempat Hasan dan Husain cucu Nabi Muhammad saw wafat di Karbel, tidak dikenal
orang sama sekali. Secara jujur kita dapat melihat dari berbagai proses pensakralan dalam prosesi
pembuatan tabot serta ritual pembuangannya di Bengkulu, yang diklaim sebagai salah satu
kesenian budaya daerah.
Dari prosesi ritual tabot akan terlihat jelas bagaimana kentalnya budaya Hindu dan Budha
melekat dan dibungkus dengan kemasan Islam.Silahkan cermati secara sungguh-sungguh
bagaimana prosesi ritual tabot di Kampung Berkas dan kampung Kepiri. Di sana terdapat
bangunan Stupa (Tangkup sebagaimana yang terdapat di Candi Borobudur), dan pada hari
perayaannya stupa tersebut diberi kelambu secara khusus. Benda sakral seperti ini juga terdapat
di salah satu di sudut (sisi) Benteng Marlborough menghadap ke pelabuhan laut lama, juga
terdapat sebuah Gerga Batu di Kampung Berkas.Oleh karena itu, tidak tepat kalau tabot
dikatakan merupakan kesenian budaya asli daerah Bengkulu.
Tabot merupakan alat (mediasi) kesenian yang dibungkus secara religius oleh kolonial Inggris
dalam menggalang kekuatan rakyat dari ancaman Belanda. Ancaman yang dimaksud adalah
gangguan perdagangan rempah yang dilakukan Belanda (VOC) terhadap Inggris (EIC) seperti
lada, kopi, cengkeh, pala, kopra pada awal abad ke 18.Untuk menghimpun kekuatan agar rakyat
tetap setia pada Inggris maka diciptakan kesenian rakyat yang berbau sosial religius berupa tabot.
Kesenian tabot ini berbaur dengan kesenian-kesenian rakyat lainnya sehingga lebih menarik
perhatian masyarakat luas Bengkulu, dan ditambah lagi dengan iringan gendang (dol dan
tamtam).
Dengan menghidupkan kesenian rakyat tabot itu ternyata misi perdagangan Inggris (EIC) yan
dibantu penguasanya di Bengkulu berhasil, dan usaha perdagangan dapat berjalan lancar,
sekaligus dapat mencegah masuknya Belanda (VOC).Pergantian pemerintahan pada tahun 1824
(dari Inggris ke Belanda) tidak mempengaruhi kesenian tabot sama sekali. Kesenian ini sudah
terlanjur disukai sebagian masyarakat Bengkulu yang dilestarikan oleh etnis Shimphahi dan
Benggali.
Mereka ini pada umumnya daulu adalah mantan narapidana Inggris yang dibawa dari Madras
India dan Madagaskar Afrika ke Bengkulu untuk dijadikan budak-budak pekerja dan sebagaian
di antaranya dijadikan serdadu Inggris.PenutupInteraksi awal masyarakat Bengkulu dengan
Islam dapat diketahu melalui beberapa jalur, antara lain melalui jalur Minangkabau (Kerajaann
Pagaruyung) yaitu dengan adanya pengaruh kerajaan Pagaruyung di Mukomuko, dan jalur
kerjasama beberapa kerajaan seperti Sungai Serut dan Selebar dengan Banten. Jalur-jalur masuk
dan berkembangnya Islam di Bengkulu, membuat corak tersendiri dalam aplikasi keberagamaan
masyarakat Bengkulu.
Mencermati beberapa data yang ada tentang sejarah Islam di Bengkulu, maka perlu dilakukan
suatu kajian yang serius dan sungguh-sungguh tentang proses masuknya Islam ke Bengkulu, dan
perkembangan Islam di Bengkulu, serta para penyiar agama Islam di Bengkulu. Sehingga dengan
demikian sejarah masuknya Islam di Bengkulu yang selama ini masih kurang didapatkan
informasinya secara luas dan tepat dapat dikurangi. Begitu juga perlu diadakan penelitian yang
intensif terhadap peninggalan sejarah Islam agar dapat membantu menjelaskan mengenai
keberadaan Islam di Bengkulu dari masa awal masuknya hingga masa sekarang.Last Updated
(Wednesday, 19 May 2010 16:45) © MTQN XXIII BENGKULU 2010 - Dinas Perhubungan dan
Kominfo Provinsi Bengkulu.