Upload
karmilahn
View
20
Download
8
Embed Size (px)
Citation preview
5
BAB II
LANDASAN TEORI
II.1 Tinjauan Pustaka
II.1.1 ISPA
II.1.1.1 Definisi ISPA
ISPA merupakan singkatan dari Infeksi Saluran Pernafasan Akut. Istilah
ini didapat dari istilah dalam bahasa Inggris Acute Respiratory Infections
(ARI). Penyakit infeksi akut yang menyerang salah satu bagian atau lebih dari
saluran nafas mulai dari hidung (saluran atas) hingga alveoli (saluran bawah)
termasuk jaringan adneksanya seperti sinus, rongga telinga tengah dan pleura.
Infeksi akut adalah infeksi yang berlangsung sampai dengan 14 hari. Batas 14
hari ini diambil untuk menunjukan proses akut, meskipun untuk beberapa
penyakit yang dapat digolongkan dalam ISPA berlangsung lebih dari 14 hari.
(Silalahi, 2004)
ISPA adalah radang akut saluran pernafasan atas maupun bawah yang
disebabkan oleh infeksi bakteri, virus, maupun riketsia tanpa disertai radang
parenkim paru. (Alsagaff dan Mukty, 2006)
II.1.1.2 Etiologi ISPA
Penyakit ISPA dapat disebabkan oleh berbagai penyebab seperti bakteri,
virus, micoplasma, jamur dan lain-lain. ISPA bagian atas umumnya
disebabkan oleh virus, sedangkan ISPA bagian bawah dapat disebabkan oleh
bakteri , virus dan micoplasma. Umumnya ISPA bagian bawah disebabkan
oleh bakteri, keadaan tersebut mempunyai manifestasi klinis yang berat
sehingga menimbulkan beberapa masalah dalam penanganannya. Bakteri
penyebab ISPA antara lain genus Streptococcus, Staphylococcus,
5
6
Pneumococcus, Hemofilus, Bordetella, dan Corynebacterium. Virus penyebab
ISPA antara lain golongan Mexovirus, Adenovirus, Coronavirus,
Pikornavirus, Mikoplasma, Herpesvirus, dan lain-lain (Depkes RI, 2000). .
II.1.1.3 Faktor Risiko ISPA
Secara umum terdapat 3 faktor risiko ISPA (Depkes RI, 2001), yaitu :
1. Faktor lingkungan rumah
a. Pencemaran udara dalam rumah
b. Ventilasi rumah
c. Kepadatan hunian rumah
2. Faktor individu anak
a. Umur anak
b. Berat badan lahir
c. Status gizi
d. Status Imunisasi
3. Faktor perilaku
II.1.1.4 Klasifikasi ISPA
Klasifikasi ISPA dibedakan atas 2 kelompok yaitu (DepKes RI, 2001) :
a. Untuk kelompok umur kurang 2 bulan terdiri dari :
1. Pneumonia berat ditandai dengan adanya napas cepat yaitu frekuensi
pernafasan sama atau lebih dari 60 kali per menit atau adanya tarikan
yang kuat pada dinding dada bagian bawah.
2. Bukan pneumonia yaitu penderita balita dengan batuk dan pilek
disertai atau tidak dengan gejala lain seperti berdahak / berlendir dan
demam, yang tidak menunjukkan gejala peningkatan frekuensi nafas
dan tidak ada tarikan dinding dada.
7
b. Untuk kelompok umur 2 bulan sampai kurang 5 tahun terdiri dari :
1. Pneumonia berat yaitu berdasarkan pada adanya batuk atau kesukaran
bernafas disertai nafas sesak atau tarikan dinding dada bagian bawah.
Dikenal pula diagnosis pneumonia sangat berat yaitu batuk atau
kesukaran bernafas yang disertai adanya gejala sianosis sentral dan
anak tidak dapat minum.
2. Pneumonia yaitu berdasarkan pada adanya batuk dan atau kesukaran
bernafas disertai adanya nafas cepat sesuai umur. Batas nafas cepat
pada anak usia 2 bulan sampai < 1 tahun adalah 50 kali atau lebih
permenit sedangkan untuk anak usia 1 sampai < 5 tahun adalah 40 kali
atau lebih per menit.
3. Bukan Pneumonia. Mencakup kelompok penderita balita dengan batuk
dan pilek disertai atau tidak dengan gejala lain seperti berdahak /
berlendir dan demam, tidak menunjukkan gejala peningkatan frekuensi
nafas dan tidak menunjukkan adanya tarikan dinding dada bagian
bawah. Klasifikasi bukan pneumonia mencakup penyakit-penyakit
ISPA lain diluar pneumonia seperti batuk pilek biasa (common cold,
faringitis, tonsilitis)
II.1.1.5 Penularan, Pencegahan dan Pemberantasa ISPA
Menurut WHO 1990, pencemaran udara diduga menjadi pencetus
infeksi virus pada saluran nafas bagian atas. ISPA dapat ditularkan melalui air
ludah, darah, bersin, udara pernafasan yang mengandung kuman yang terhirup
oleh orang sehat
ISPA dapat terjadi karena transmisi organisme melalui Air Conditioner
(AC), droplet dan melalui tangan yang dapat menjadi jalan masuk bagi virus.
Mikroorganisme menginfiltrasi lapisan epitel, jika epitel terkikis maka
jaringan limfoid superficial bereaksi sehingga terjadi pembendungan radang
8
dengan infiltrasi leukosit polimorfonuklear. Pada saat terjadi ISPA yang
disebabkan oleh virus, hidung akan mengeluarkan ingus yang dapat
menghasilkan superinfeksi bakteri, yang menyebabkan bakteri patogen masuk
ke dalam rongga-rongga sinus (WHO, 2008).
Pencegahan dapat dilakukan sebagai berikut (Benih, 2008) :
Imunisasi
Menjaga keadaan gizi agar tetap baik
Menjaga kebersihan perorangan dan lingkungan
Mencegah anak berhubungan dengan penderita ISPA
Pemberantasan yang dilakukan adalah (DepKes RI, 2002) :
Penyuluhan kesehatan yang terutama ditujukan pada para ibu.
Penatalaksanaan kasus yang rasional
Imunisasi balita
II.I.I.6 Tanda-tanda bahaya ISPA
Penyakit saluran pernafasan dapat menimbulkan gejala-gejala menjadi
lebih berat dan dapat terjadi kegagalan pernapasan atau meninggal. Kegagalan
pernapasan yang berat membutuhkan penatalaksanaan yang lebih rumit.
Tanda-tanda bahaya dapat dilihat berdasarkan tanda-tanda klinis dan
laboratoris (DepKes RI, 1992) yaitu :
Tanda-tanda klinis yaitu :
Pada sistem respiratorik adalah: tachypnea, napas tak teratur, retraksi
dinding thorak, napas cuping hidung, sianosis, suara napas lemah, grunting
expiratoir dan wheezing.
Pada sistem kardial adalah: tachycardia, bradycardia, hypertensi,
hypotensi dan cardiac arrest.
9
Pada sistem serebral adalah : gelisah, mudah terangsang, sakit kepala,
bingung, kejang dan koma.
Pada hal umum adalah : letih dan berkeringat banyak.
Tanda-tanda laboratoris yaitu :
Hipoksemia
Hipercapnia
Asidosis (metabolik dan atau respiratorik)
II.1.1.7 Penatalaksanaan ISPA
Kriteria penderita ISPA dalam penatalaksanaannya adalah balita dengan
gejala batuk dan kesukaran bernafas. Pola tatalaksana penderita ini terdiri dari 3
bagian (DepKes RI, 1991), yaitu :
a. Pemeriksaan
Pemeriksaan dilakukan untuk mengidentifikasi gejala yang ada pada
penderita. Menghitung frekuensi napas bila baju anak tebal, mungkin perlu
membuka sedikit untuk melihat gerakan dada dan ntuk melihat tarikan dada
bagian bawah, baju anak harus dibuka sedikit.
b. Penentuan ada tidaknya tanda bahaya
Tanda bahaya, pada bayi umur kurang dari 2 bulan adalah tidak bisa
minum, kejang, kesadaran menurun, stridor, wheezing, demam atau dingin.
Tanda bahaya pada umur 2 bulan sampai kurang dari 5 tahun adalah tidak bisa
minum, kejang, kesadaran menurun, stridor dan gizi buruk
10
c. Pengobatan
Pengobatan ISPA dibedakan atas :
Pneumonia berat : dirawat di rumah sakit, diberikan antibiotik parenteral,
oksigen dan sebagainya.
Pneumonia : diberi obat antibiotik kotrimoksasol peroral, bila tidak mungkin
diberi kotrimoksasol. Pemberian kontrimoksasol yang tidak memberikan
perbaikan, dapat dipakai obat antibiotik pengganti yaitu ampisilin,
amoksisilin atau penisilin prokain.
Bukan pneumonia : tanpa pemberian obat antibiotic boleh dirawat di rumah,
misalnya batuk dapat menggunakan obat yang tidak mengandung zat yang
merugikan seperti kodein, dekstrometorfan dan, antihistamin. Bila demam
diberikan obat penurun panas yaitu parasetamol.
Penemuan dini penderita pneumonia dengan penatalaksanaan kasus
yang benar merupakan strategi untuk mencapai dua dari tiga tujuan program
yaitu turunnya kematian karena pneumonia dan turunnya penggunaan
antibiotik dan obat batuk yang kurang tepat pada pengobatan penyakit ISPA
(DepKes RI, 1992).
II.1.2 Pengetahuan
II.1.2.1 Definisi pengetahuan
Pengetahuan merupakan hasil dari tahu, dan terjadi setelah orang
melakukan penginderaan terhadap suatu objek tertentu. Penginderaan terjadi
melalui panca indera manusia, yakni indera penglihatan, pendengaran,
penciuman, rasa, dan raba. (Notoatmodjo, 2007).
11
II.1.2.2 Tingkat pengetahuan
Menurut Notoatmodjo (2007), pengetahuan yang tercakup dalam
domain kognitif mempunyai 6 tingkatan, yakni :
a. Tahu (know)
Tahu diartikan sebagai mengingat suatu materi yang telah dipelajari
sebelumnya. Pengetahuan tingkat ini adalah mengingat kembali (recall)
terhadap suatu yang spesifik dari seluruh bahan yang dipelajari atau
rangsangan yang sudah diterima. Oleh sebab itu, tahu ini merupakan
tingkat pengetahuan yang paling rendah. Kata kerja untuk mengukur
bahwa orang tahu tentang apa yang dipelajari antara lain menyebutkan,
menguraikan, mendefinisikan, menyatakan, dan sebagainya.
b. Memahami (comprehension)
Memahami diartikan sebagai suatu kemampuan menjelaskan secara
benar tentang objek yang diketahui dan dapat menginterpretasikan materi
tersebut secara benar. Seseorang yang telah paham terhadap objek atau
materi harus dapat menjelaskan, menyebutkan contoh, menyimpulkan,
meramalkan dan sebagainya terhadap objek yang dipelajari.
c. Aplikasi (application)
Aplikasi diartikan sebagai kemampuan untuk menggunakan materi
yang telah dipelajari pada situasi atau kondisi sebenarnya. Aplikasi disini
dapat diartikan aplikasi atau penggunaan hukum-hukum, rumus, metode,
prinsip dan sebagainya dalam konteks atau situasi yang lain.
d. Analisis (analysis)
Analisis adalah suatu kemampuan untuk menjabarkan materi atau
suatu objek ke dalam komponen-komponen, tetapi masih dalam suatu
struktur organisasi tersebut dan masih ada kaitannya satu sama lain.
Kemampuan analisa dilihat dari penggunaan kata kerja : dapat
menggambarkan (membuat bagan), membedakan, memisahkan,
mengelompokan dan sebagainya.
12
e. Sintesis (synthesis)
Sintesis menunjuk pada suatu kemampuan untuk meletakkan atau
menghubungkan bagian-bagian dalam suatu bentuk keseluruhan yang baru.
Sintesis merupakan suatu kemampuan untuk menyusun formulasi baru dari
formulasi-formulasi yang sudah ada. Kemampuan ini misalnya : dapat
menyusun, dapat merencanakan, dapat meringkaskan, dapat menyesuaikan
dan sebagainya terhadap suatu teori atau rumusan-rumusan yang telah ada.
f. Evaluasi (evaluation)
Evaluasi ini berkaitan dengan kemampuan untuk melakukan justifikasi
atau penilaian terhadap suatu materi atau objek. Penilaian-penilaian itu
berdasarkan suatu kriteria yang ditentukan sendiri atau menggunakan
kriteria-kriteria yang telah ada.
II.1.2.3 Faktor-faktor yang mempengaruhi pengetahuan
Menurut Notoatmodjo (2003) faktor internal dan faktor eksternal yang
mempengaruhi terbentuknya pengetahuan yaitu :
a.Intelegensi
Intelegensi merupakan kemampuan yang dibawa sejak lahir, yang
memungkinkan seseorang berbuat sesuatu dengan cara tertentu. Orang
berfikir menggunakan inteleknya atau pikirannya. Cepat atau tidaknya dan
terpecahkan tidaknya suatu masalah tergantung dengan kemampuan
intelegensinya. Salah satu faktor yang mempengaruhi penerimaan pesan
dalam komunikasi adalah taraf intelegensi seseorang sehingga dapat
dikatakan bahwa orang-orang yang lebih intelegen akan lebih mudah
menerima suatu pesan.
b.Pendidikan
Tugas dari pendidikan adalah memberikan atau meningkatkan
pengetahuan, menimbulkan sifat positif, serta memberikan atau
meningkatkan kemampuan masyarakat atau individu tentang aspek-aspek
yang bersangkutan, sehingga dicapai suatu masyarakat yang berkembang.
13
Sistem pendidikan nonformal dan formal yang bejenjang diharapkan
mampu meningkatkan pengetahuan melalui pola tertentu.
c.Pengalaman
Menurut teori determinan perilaku yang disampaikan oleh WHO,
menganalisa bahwa yang menyebabkan seseorang itu berperilaku tertentu
salah satunya disebabkan karena adanya pemikiran dan perasaan dalam diri
seseorang yang terbentuk dalam pengetahuan, persepsi, sikap,
kepercayaan-kepercayaan, dan penilaian-penilaian seseorang terhadap
objek tersebut, dimana seseorang mendapatkan pengetahuan baik dari
pengalaman pribadi maupun pengalaman orang lain.
d.Informasi
Teori depedensi mengenai efek komunikasi massa, disebutkan bahwa
media massa dianggap sebagai sistem informasi yang memiliki peranan
penting dalam proses pemeliharaan, perubahan dan konflik dalam tatanan
masyarakat., kelompok , dan individu dalam aktivitas sosial dimana media
massa ini nantinya akan mempengaruhi fungsi kognitif, afektif dan
behaviorial. Pada fungsi kognitif diantaranya adalah berfungsi untuk
menciptakan atau menghilangkan ambiguitas, pembentukan sikap,
perluasan sistem, keyakinan masyarakat dan penegasan atau penjelasan
nilai-nilai tertentu.
e.Kepercayaan
Komponen kognitif berisi kepercayaan seseorang, mengenai apa yang
berlaku sebagai objek sikap, sekali kepercayaan itu telah terbentuk, maka
ia akan menjadi dasar pengetahuan seseorang mengenai apa yang dapat
diharapkan dari objek tertentu.
f.Umur
Umur dapat mempengaruhi seseorang, semakin cukup umur tingkat
kemampuan dan kematangan seseorang akan lebih matang dalam berfikir
dan menerima informasi.
14
g.Sosial budaya
Sosial termasuk di dalamnya pandangan agama, kelompok etnis dapat
mempengaruhi proses pengetahuan khususnya dalam penerapan nilai-nilai
keagamaan untuk memperkuat super egonya.
h.Status sosial ekonomi
Status sosial ekonomi berpengaruh terhadap tingkah lakunya .
Individu yang berasal dan keluarga yang berstatus sosial ekonominya baik
dimungkinkan lebih memiliki sifat yang positif memandang diri dan masa
depannya dibandingkan mereka yang berasal dari keluarga dengan status
ekonomi rendah.
Pengukuran pengetahuan dapat dilakukan dengan wawancara atau
kuesioner yang menanyakan tentang isi materi yang ingin diukur dari subjek
penelitian atau responden. (Notoatmodjo, S. 2007)
II.1.3 Pengertian rumah sehat
Menurut Notoatmodjo (2003), rumah adalah bangunan yang berfungsi sebagai
tempat tinggal atau hunian dan sarana pembinaan keluarga. Rumah yang sehat
menurut Winslow dan APHA (American Public Health Association) harus
memenuhi persyaratan (Dinas Pekerjaan Umum, 2006) yaitu :
a. Memenuhi Kebutuhan Fisiologis
1) Pencahayaan yang cukup, baik cahaya alam maupun buatan.
Pencahayaan yang memenuhi syarat sebesar 60 120 lux. Luas jendela
yang baik minimal 10 % - 20 % dari luas lantai.
2) Ventilasi yang cukup untuk proses pergantian udara dalam ruangan.
Kualitas udara dalam rumah yang memenuhi syarat adalah bertemperatur
ruangan sebesar 1830C dengan kelembaban udara sebesar 40 - 70 %.
Ukuran ventilasi memenuhi syarat yaitu 10 % luas lantai.
3) Tidak terganggu oleh suara dari dalam maupun luar rumah.
4) Cukup tempat bermain belajar untuk anak-anak.
15
b. Memenuhi Kebutuhan Psikologis
1) Tiap anggota keluarga terjamin ketenangan dan kebebasannya.
2) Memenuhi ruang tempat berkumpul keluarga.
3) Lingkungan sesuai, homogen, tak ada perbedaan tingkat yang drastis.
4) Jumlah kamar tidur dan pengaturannya disesuaikan dengan umur dan
jenis kelaminnya. Ukuran tempat tidur anak yang berumur kurang 5
tahun minimal 4.5 m2 dan yang lebih dari 5 tahun minimal 9 m2.
5) Mempunyai WC dan kamar mandi.
c. Pencegahan Penularan Penyakit
1) Tersedia air minum yang cukup dan memenuhi syarat kesehatan.
2) Tidak memberi kesempatan nyamuk, lalat atau binatang lain bersarang.
3) Pembuangan kotoran / tinja dan limbah memenuhi syarat kesehatan.
4) Pembuangan sampah pada tempatnya.
5) Luas kamar tidur minimal 8.5 m2 perorang dan tinggi langit 2.75 m.
6) Tempat masak, menyimpan makanan hendaknya bebas dari pencemaran
atau gangguan binatang serangga atau debu.
d. Pencegahan Terjadinya Kecelakaan
1) Cukup ventilasi untuk pertukaran dengan udara segar.
2) Cukup cahaya dalam ruangan agar tidak terjadi kecelakaan.
3) Rumah dijauhkan dari pohon besar yang rapuh atau mudah runtuh.
4) Jarak rumah dengan jalan harus mengikuti peraturan garis rooi.
5) Lantai rumah selalu basah (kamar mandi) jangan licin / lumutan.
6) Bangunan terbuat dari bahan tahan api.
7) Bahan beracun disimpan rapi, jangan sampai terjangkau anak-anak.
8) Rumah jauh dari lokasi industri yang mencemari lingkungan.
16
Menurut Kepmenkes RI 1999 menyatakan rumah adalah bangunan yang
berfungsi sebagai tempat tinggal atau hunian dan sarana pembinaan keluarga. Rumah
sehat adalah proporsi rumah yang memenuhi kriteria sehat minimum komponen
rumah dan sarana sanitasi dari 3 komponen yaitu rumah, sarana sanitasi dan perilaku
di satu wilayah kerja pada kurun waktu tertentu.
Menurut Dinkes (2005), Minimum yang memenuhi kriteria sehat pada masing-
masing parameter adalah sebagai berikut :
1) Minimum dari kelompok komponen rumah adalah langit-langit, dinding, lantai,
jendela kamar tidur, jendela ruang keluarga, ventilasi, sarana pembuangan asap
dapur, dan pencahayaan.
2) Minimum dari kelompok sarana sanitasi adalah sarana air bersih,jamban (sarana
pembuangan kotoran), Sarana Pembuangan Air Limbah (SPAL), dan sarana
pembuangan sampah.
Perilaku sanitasi rumah adalah usaha kesehatan masyarakat yang
menitikberatkan pada pengawasan terhadap struktur fisik yang digunakan sebagai
tempat berlindung yang mempengaruhi derajat kesehatan manusia. Sarana sanitasi
tersebut antara lain ventilasi, suhu, kelembaban, kepadatan hunian, penerangan alami,
konstruksi bangunan rumah, sarana pembuangan sampah, sarana pembuangan
kotoran manusia, dan penyediaan air. Sanitasi rumah erat kaitannya dengan angka
kesakitan penyakit menular, terutama ISPA. Lingkungan perumahan sangat
berpengaruh pada terjadinya dan tersebarnya ISPA (Azwar, 1990).
Rumah tidak sehat dapat menjadi reservoir penyakit bagi seluruh lingkungan,
jika kondisi tidak sehat bukan hanya pada satu rumah tetapi pada kumpulan rumah
(lingkungan pemukiman). Timbulnya permasalahan kesehatan di lingkungan
pemukiman disebabkan karena tingkat kemampuan ekonomi masyarakat yang
rendah, karena rumah dibangun berdasarkan kemampuan keuangan penghuninya
(Notoatmodjo, 2003).
17
II.1.4 Sanitasi Rumah dibagi atas :
II.1.4.1 Ventilasi
Menurut Sukar (1996), ventilasi adalah proses pergantian udara segar
ke dalam dan mengeluarkan udara kotor dari suatu ruangan tertutup secara
alamiah maupun buatan. Berdasarkan kejadiannya ventilasi dibagi menjadi
dua yaitu:
a. Ventilasi alamiah, ventilasi alamiah berguna untuk mengalirkan udara di
dalam ruangan yang terjadi secara alamiah melalui jendela, pintu dan
lubang angin. Selain itu ventilasi alamiah dapat juga menggerakan udara
sebagai hasil sifat porous dinding ruangan, atap dan lantai.
b. Ventilasi buatan, ventilasi buatan dapat dilakukan dengan menggunakan
alat mekanis maupun elektrik. Alat-alat tersebut diantaranya adalah
kipas angin, exhauster dan AC.
Menurut Dinata (2007), syarat ventilasi yang baik adalah sebagai berikut:
1) Luas lubang ventilasi tetap minimal 5% dari luas lantai ruangan,
sedangkan luas lubang ventilasi insidentil (dapat dibuka dan ditutup)
minimal 5% dari luas lantai. Jumlah keduanya menjadi 10% dari luas
lantai ruangan.
2) Udara yang masuk harus bersih, tidak dicemari asap dari sampah atau
pabrik, knalpot kendaraan, debu, dan lain-lain.
3) Aliran udara diusahakan cross ventilation dengan menempatkan lubang
ventilasi berhadapan antar dua dinding. Aliran udara ini jangan sampai
terhalang oleh barang-barang besar, misalnya lemari, dinding, sekat, dan
lain-lain.
Menurut Dinata (2007), secara umum penilaian ventilasi rumah dapat
dilakukan dengan cara membandingkan antara luas ventilasi dan luas lantai
rumah. Berdasarkan indikator penghawaan rumah, luas ventilasi yang
memenuhi syarat kesehatan adalah lebih dari sama dengan 10% dari luas
18
lantai rumah dan luas ventilasi yang tidak memenuhi syarat kesehatan adalah
kurang dari 10% dari luas lantai rumah. Ventilasi rumah dapat memberikan
kontribusi terciptanya kelembaban dan temperature yang memungkinkan bibit
penyakit akan mati atau berkembang biak.
II.1.4.2 Pencahayaan Alami
Cahaya matahari sangat penting, karena dapat membunuh bakteri-
bakteri patogen di dalam rumah, misalnya bakteri penyebab penyakit ISPA
dan TBC. Rumah yang sehat harus mempunyai jalan masuk cahaya yang
cukup. Jalan masuk cahaya (jendela) luasnya sekurang-kurangnya 15% - 20%
dari luas lantai yang terdapat di dalam ruangan rumah (Azwar, 1990).
Pencahayaan alami menurut Suryanto (2003), dianggap baik jika
besarnya antara 60120 lux dan buruk jika kurang dari 60 lux atau lebih dari
120 lux. Hal yang perlu diperhatikan dalam membuat jendela, perlu
diusahakan agar sinar matahari dapat langsung masuk ke dalam ruangan, dan
tidak terhalang oleh bangunan lain. Fungsi jendela di sini, di samping sebagai
ventilasi juga sebagai jalan masuk cahaya. Lokasi penempatan jendela pun
harus diperhatikan dan diusahakan agar sinar matahari lebih lama menyinari
16 lantai (bukan menyinari dinding), maka sebaiknya jendela itu harus di
tengah-tengah tinggi dinding (tembok).
II.1.4.3 Kelembaban
Kelembaban rumah yang tinggi dapat mempengaruhi penurunan daya
tahan tubuh seseorang dan meningkatkan kerentanan tubuh terhadap penyakit
terutama penyakit infeksi. Kelembaban juga dapat meningkatkan daya tahan
hidup bakteri. Menurut Suryanto (2003), kelembaban dianggap baik jika
memenuhi 40-70% dan buruk jika kurang dari 40% atau lebih dari 70%.
Kelembaban berkaitan erat dengan ventilasi, karena ventilasi yang tidak
baik akan mempengaruhi suhu udara dalam rumah. Sebuah rumah yang
memiliki kelembaban udara yang tinggi memungkinkan adanya tikus, kecoa
19
dan jamur yang semuanya memiliki peran besar dalam patogenesis penyakit
pernafasan (Krieger dan Higgins, 2002).
II.1.4.4 Kepadatan Penghuni Rumah
Jumlah kamar tidur dan pengaturannya disesuaikan dengan umur dan
jenis kelaminnya. Ukuran tempat tidur anak yang berumur lebih kurang 5
tahun minimal 4.5 m2 dan yang lebih dari 5 tahun minimal 9 m2. Kepadatan
hunian ditentukan dengan cara jumlah kamar tidur dibagi dengan jumlah
penghuni (sleeping density), yaitu (Winslow dan APHA dalam Dinas
Pekerjaan Umum, 2006) :
- Baik, bila kepadatan lebih atau sama dengan 0,7
- Cukup, bila kepadatan antara 0,5 - 0,7
- Kurang, bila kepadatan kurang dari 0,5
Luas rumah yang sempit dengan jumlah anggota keluarga yang
banyak menyebabkan rasio penghuni dengan luas rumah tidak seimbang
yang dapat memungkinkan bakteri atau virus menular melalui pernafasan.
II.1.4.5 Lantai
Lantai rumah dapat mempengaruhi terjadinya penyakit ISPA karena
lantai di rumah yang tidak memenuhi standar merupakan media yang baik
untuk perkembangbiakan bakteri atau virus penyebab ISPA. Lantai yang baik
adalah lantai yang dalam keadaan kering dan tidak lembab. Bahan lantai harus
kedap air dan mudah dibersihkan. lantai perlu diplester dan akan lebih baik
kalau dilapisi ubin atau keramik yang mudah dibersihkan (Ditjen PPM dan
PL, 2002).
II.1.4.6 Dinding
Dinding rumah yang baik menggunakan tembok, tetapi dinding rumah
di daerah tropis khususnya di pedesaan banyak yang berdinding papan, kayu
dan bambu. Hal ini disebabkan masyarakat pedesaan perekonomiannya
20
kurang. Rumah yang berdinding tidak rapat seperti papan, kayu dan bambu
dapat menyebabkan penyakit pernafasan yang berkelanjutan seperti ISPA,
karena dapat menyebabkan penumpukan banyak debu yang menjadi media
berkembang biaknya bakteri atau virus bila terhirup oleh penghuni rumah.
Jenis dinding mempengaruhi terjadinya ISPA, karena dinding yang sulit
dibersihkan akan menyebabkan penumpukan debu, sehingga akan dijadikan
sebagai media yang baik bagi berkembangbiaknya kuman (Suryanto, 2003).
Akumulasi penempelan debu pada saluran pernafasan menyebabkan
elastisitas paru menurun.
II.1.4.7 Atap
Salah satu fungsi atap rumah yaitu melindungi masuknya debu dalam
rumah. Atap rumah yang baik agar tidak mengganggu saluran pernafasan
adalah menggunakan genting dan diberi plafon atau langit-langit agar debu
tidak langsung masuk ke dalam rumah (Nurhidayah, 2007). Partikel debu
dapat menjadi pemicu yang menyebabkan iritasi pada saluran pernafasan,
saluran nafas yang teriritasi akan mudah terinfeksi mikrooganisme penyebab
ISPA. Menurut Suryanto (2003), atap berfungsi sebagai jalan masuknya
cahaya alamiah menggunakan genteng kaca. Genteng kaca pun dapat dibuat
secara sederhana, yaitu dengan melubangi genteng biasanya dilakukan pada
waktu pembuatannya, kemudian lubang genteng ditutup dengan pecahan kaca.
II.1.4.8 Asap Dapur / Bahan Bakar Memasak
Gangguan saluran pernapasan yang diderita masyarakat selain
disebabkan oleh infeksi kuman juga disebabkan adanya pencemaran udara
yang terdapat dalam rumah, kebanyakan karena asap dapur. Pencemaran
udara dalam rumah yang berasal dari aktivitas penghuninya antara lain :
pengguna bahan bakar biomassa untuk memasak maupun memanaskan
ruangan, asap rokok, pengguna insektisida semprot maupun bakar dan
penggunaan bahan bangunan sintesis seperti cat dan asbes (Sukar, 1996).
21
Jenis bahan bakar yang digunakan untuk kegiatan memasak sehari-hari
berkaitan erat dengan kualitas udara dalam rumah. Asap yang dihasilkan dari
hasil pembakaran kayu / arang akan lebih banyak bila di bandingkan hasil
pembakaran gas / minyak tanah. Banyaknya asap yang dihasilkan ini apabila
tidak mudah keluarkan dapat menjadi media pertumbuhan bakteri dan virus
bila terhirup anak balita menyebabkan gangguan pernafasan (Tulus, 2008).
Secara umum efek pencemaran udara terhadap saluran pernafasan dapat
menyebabkan pergerakan silia hidung menjadi lambat dan kaku bahkan dapat
berhenti sehingga tidak dapat membersihkan saluran pernafasan akibat iritasi
oleh bahan pencemar. Produksi lendir akan meningkat sehingga menyebabkan
penyempitan saluran pernafasan dan rusaknya sel pembunuh bakteri di
saluran pernafasan. Kesulitan bernafas akibat benda asing tertarik dan bakteri
lain tidak dapat dikeluarkan dari saluran pernafasan. Keadaan tersebut akan
memudahkan terjadinya infeksi saluran pernafasan. (Mukono, 1997)
II.1.4.9 Merokok
Asap rokok yang diisap oleh perokok adalah asap mainstream
sedangkan asap dari ujung rokok yang terbakar dinamakan asap sidestream.
Polusi udara yang diakibatkan oleh asap sidestream dan asap mainstream
yang sudah terekstrasi. Manusia yang menghisap asap inilah yang dinamakan
perokok pasif atau perokok terpaksa (Adningsih, 2003).
Banyaknya jumlah perokok akan sebanding dengan banyaknya
penderita gangguan kesehatan. Beberapa penelitian memperlihatkan bahwa
perokok pasiflah yang mengalami risiko lebih besar daripada perokok
sesungguhnya (Dachroni, 2003).
Banyaknya jumlah perokok dalam rumah akan memperbesar risiko
anggota keluarga untuk menderita gangguan pernapasan. Asap rokok tersebut
akan meningkatkan resiko ISPA khususnya pada balita. Anak-anak yang
orang tuanya perokok lebih mudah terkena penyakit saluran pernapasan
seperti flu, pneumonia dan penyakit saluran pernapasan lainnya. Asap rokok
22
merangsang pembentukan lendir sehingga bakteri tidak dapat dikeluarkan,
sebagai penyebab bronchitis kronis. Keadaan tersebut menyebabkan
lumpuhnya serat elastin di jaringan paru yang mengakibatkan daya pompa
paru berkurang, udara tertahan di paru-paru dan mengakibatkan pecahnya
kantong udara (Dachroni, 2002). Asap rokok juga dapat menurunkan
kemampuan makrofag membunuh bakteri (Alsagaff dan Mukty, 2006).
II.2 KERANGKA TEORI
Bagan 1
Faktor Risiko ISPA
pada Balita
Faktor sanitasi rumah : - Ventilasi rumah - Kepadatan hunian rumah - Jenis lantai, dinding dan atap rumah - Pencemaran udara dalam rumah
Faktor individu anak : - Umur anak kurang dari 5 tahun - Berat badan lahir - Status imunisasi - Status gizi
Faktor perilaku : - Perawatan penunjang oleh ibu balita - Pengamatan perkembangan penyakit balita - Pencarian pertolongan pada pelayanan kesehatan
ISPA
Faktor lain yang mempengaruhi : - Tingkat pengetahuan ibu - Tingkat sosial dan ekonomi - Tingkat jangkauan pelayanan kesehatan
23
II.3 KERANGKA KONSEP
Bagan 2
Variabel Independen
Variabel dependen
II.4 HIPOTESIS
- Ada hubungan tingkat pengetahuan ibu terhadap kejadian ISPA pada balita
- Ada hubungan sanitasi rumah rumah terhadap kejadian ISPA pada balita
Pengetahuan Ibu
Penyakit ISPA : a. Pengertian b. Penyebab c. Faktor risiko d. Tanda dan gejala e. Cara pencegahan f. Cara pemberantasan
Sanitasi Rumah : a. Ventilasi b. Kepadatan penghuni c. Bahan lantai, dinding, dan atap d. Bahan bakar memasak e. Merokok dalam rumah
Insiden ISPA
Sanitasi Rumah