Upload
hoangquynh
View
212
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
9
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA DAN PENGEMBANGAN
HIPOTESIS
Family Firms
Keterlibatan keluarga dalam bisnis perusahaan
merupakan perbedaan utama antara perusahaan
keluarga dan perusahaan non keluarga. Ensley dan
Pearson (2005) menyimpulkan bahwa keterlibatan
anggota keluarga dalam tim manajemen perusahaan
dapat meningkatkan kepercayaan dan kemampuan,
rasa memiliki dalam tim, serta arah strategik
perusahaan dan mengurangi konflik yang terjadi.
Villalonga dan Amit (2009) mendefinisikan perusahaan
keluarga (Family Firms) sebagai suatu bentuk
perusahaan dengan kepemilikan dan manajemen yang
dikelola dan dikontrol oleh pendiri atau anggota
keluarganya baik yang tergolong keluarga inti maupun
perluasannya (baik yang memiliki hubungan darah
atau ikatan perkawinan). Jorissen, et al. (2002) dalam
penelitiannya mengklasifikasikan perusahaan
merupakan perusahaan keluarga ketika keluarga
memiliki mayoritas saham.
Keluarga merupakan suatu kelas khusus dari
large shareholding yang memiliki struktur insentif yang
unik, kekuasaan yang kuat dalam perusahaan dan
10
motif yang kuat untuk menetapkan keputusan
keuangan penting (Anderson, et al., 2003). Theories of
The Firms menyatakan dua karakteristik utama yang
membedakan perusahaan keluarga dan perusahaan
non keluarga dalam membuat keputusan. Pertama,
perusahaan yang dikendalikan oleh keluarga memiliki
keinginan kuat untuk mempertahankan kontrol yang
memungkinkan keluarga menikmati manfaat pribadi.
Kedua, terkait dengan kesejahteraan investor dan risiko
sumber daya manusia, dalam hal ini perusahaan
keluarga cenderung lebih risk averse dibandingkan
perusahaan non keluarga. Dengan demikian,
perusahaan yang dikendalikan keluarga dapat
memaksimalkan nilai perusahaan dan kepentingan
pribadi.
Perbedaan struktur kepemilikan dapat
menyebabkan kinerja perusahaan keluarga berpotensi
menimbulkan keuntungan dan kerugian (Anderson dan
Reeb, 2003a). Struktur kepemilikan merupakan faktor
paling penting untuk menentukan sifat dari agency
problem. Dua aspek kunci dari struktur kepemilikan
perusahaan adalah konsentrasi dan komposisi
(Capulong et al., 2000). Tingkat konsentrasi
kepemilikan dalam suatu perusahaan menentukan
distribusi kekuasaan antara manajer dan pemegang
saham. Ketika kepemilikan menyebar, kontrol
11
pemegang saham cenderung lemah sehingga mereka
memiliki insentif yang rendah untuk memantau
manajer karena masalah free rider (pemegang saham
tersebar tidak tertarik dalam memonitor karena mereka
hanya memiliki sebagian kecil saham dan akan
menanggung semua biaya monitor sehingga
keuntungan yang mereka terima berkurang).
Akibatnya, kontrol yang efektif berakhir di tangan
manajemen. Di sisi lain, ketika kondisi kepemilikan
terkonsentrasi, pemegang saham dapat memainkan
peran penting dalam mengawasi manajemen. Aspek
kunci kedua adalah komposisi, yang terkait dengan
peningkatan pengendalian pemegang saham. Seorang
pemegang saham dapat menjadi individu, keluarga atau
kelompok keluarga, bank, perusahaan asuransi, dan
sebagainya. Keluarga akan lebih tertarik pada manfaat
kontrol dan going concern perusahaan, sedangkan
pemegang saham cenderung tertarik pada keuntungan
saja. Dengan demikian, setiap jenis large shareholdings
memiliki insentif dan motivasi yang berbeda
(Holderness dan Sheehan, 1988).
Pengaruh keluarga memberikan keuntungan yang
kompetitif bagi perusahaan. Pertama, perusahaan
keluarga lebih fokus pada going concern perusahaan
dari pada sekedar nilai pasar saham sedangkan
perusahaan non keluarga lebih fokus pada peningkatan
12
kinerja perusahaan Kedua, perusahaan keluarga
memiliki insentif dan kontrol yang kuat untuk
memantau manajer agar dapat mengurangi masalah
free rider sehingga dapat mengurangi konflik keagenan
dan memaksimalkan nilai perusahaan. Hal ini
konsisten dengan argumen Gorton dan Kahl (1999)
bahwa keluarga adalah monitor yang lebih baik dari
jenis large shareholding lainnya (pemerintah, pemegang
saham institusional, bank). Mereka menyatakan
keluarga berurusan dengan uang mereka sendiri dalam
perusahaan yang mereka kendalikan sehingga mereka
bisa memonitor para manajer. Ketiga, perusahaan
keluarga memiliki informasi yang lebih baik mengenai
kondisi perusahaan, sehingga dapat membuat
keputusan investasi atau lainnya dengan lebih baik
dari pada perusahaan non keluarga. Keempat, keluarga
memiliki reputasi (adanya kepercayaan dari
stakeholder) sehingga perusahaan menjadi lebih efisien.
Dengan demikian perusahaan yang dikendalikan
keluarga memiliki struktur insentif yang
mengakibatkan biaya agensi lebih rendah.
Disisi lain, pengaruh kepemilikan keluarga
berpotensi menyebabkan pihak keluarga menggunakan
insentif dan kekuasaannya untuk menguntungkan
pihak keluarga dengan mengorbankan para stakeholder
(adanya agency problem) sehingga menyebabkan
13
menurunnya kinerja perusahaan (Shleifer dan Vishny,
1997; Anderson dan Reeb, 2003a). Pertama,
perusahaan yang dikendalikan keluarga lebih
mengutamakan pertumbuhan dan going concern
perusahaan. Kedua, keluarga sebagai pemegang saham
mayoritas selalu memastikan bahwa manajemen
perusahaan harus berasal dari pihak keluarga atau
manajer profesional yang dapat memenuhi kebutuhan
pemilik. Ketiga, keluarga mampu mengambil alih
kekayaan dari perusahaan melalui kompensasi yang
berlebihan seperti pada rencana rekapitalisasi yang
dilakukan Ford Motor meningkatkan hak suara
keluarga tanpa memberikan kompensasi kepada
pemegang saham lainnya (Schack dalam Anderson dan
Reeb 2003a), RPT (Cheung, et al., 2004), dan special
dividends. DeAngelo dan DeAngelo (1985) menyatakan
bahwa keinginan keluarga untuk special dividends
dapat berdampak pada penurunan kinerja perusahaan.
Perusahaan harus melakukan ekspansi modal
perusahaan dikarenakan dana yang tersedia berkurang
akibat adanya special dividends.
Selanjutnya, studi yang dilakukan oleh Gomez-
Mejia et al. (2001) dan Schulze, et al. (2001)
menyatakan bahwa bisnis keluarga sebenarnya
menanggung biaya agen yang lebih tinggi dibandingkan
dengan perusahaan non-keluarga, hal ini dikarenakan
14
keluarga tidak mau memecat anggota keluarga yang
tidak potensial yang menyebabkan adanya
entrenchment. Mereka juga berpendapat bahwa
masalah keagenan di perusahaan keluarga lebih sulit
untuk dikelola karena self-control dan masalah lain
yang disebabkan oleh altruisme. Altruisme
memungkinkan keluarga untuk mengorbankan
konsumsi mereka untuk kesejahteraan keturunan
mereka. Dengan demikian peran keluarga dalam
memilih manajer dan direktur dari pihak keluarga
membuat pihak ketiga sulit untuk mendapatkan
kontrolnya sehingga pihak ketiga kurang tertarik dan
mengakibatkan penurunan nilai perusahaan.
Morck et al. (1999) dalam penelitiannya di Kanada
juga menyatakan bahwa kepemilikan keluarga
mengarah pada kinerja keuangan yang buruk. Kendali
keluarga oleh ahli waris menyebabkan pertumbuhan
lebih lambat karena inefisiensi yang disebabkan oleh
entrenchment, hambatan tinggi terhadap kontrol di luar
dan investasi yang rendah. Faccio, et al. (2001)
melaporkan bahwa kepemilikan keluarga di Asia Timur
menimbulkan adanya agency conflict sehingga
menghambat kinerja perusahaan. Banyak perusahaan
keluarga menggunakan struktur kontrol piramida yang
memungkinkan keluarga untuk mengontrol banyak
perusahaan tanpa terlalu banyak investasi dari
15
kekayaan mereka sendiri dalam perusahaan (fenomena
konglomerasi). Claessens et al. (2002) juga menyelidiki
peran struktur piramida di perusahaan Asia Timur.
Mereka menemukan bahwa nilai perusahaan jatuh
ketika hak kontrol dari pemegang saham keluarga
melebihi arus kas kepemilikan sehingga menyebabkan
adanya entrenchment. Lins (2003) juga menemukan
bahwa pengaruh dari struktur piramida itu lemah di
negara-negara dengan perlindungan hukum yang lebih
baik. Hal ini juga konsisten dengan penelitian yang
dilakukan oleh Lemmon dan Lins (2003). Mereka
menemukan bahwa kepemilikan keluarga di
kebanyakan perusahaan di Asia Timur menurunkan
kinerja perusahaan.
Berdasarkan beberapa penelitian, kinerja
perusahaan keluarga di Amerika Serikat lebih baik
daripada perusahaan keluarga di Asia. Hal ini
dikarenakan benefit perusahaan keluarga di AS lebih
besar daripada cost-nya (McConaughy, et al., 1998;
Gorton dan Kahl, 1999; Anderson dan Reeb, 2003a;
Villalonga dan Amit., 2006) dan AS merupakan negara
yang memiliki perlindungan hukum yang sangat kuat
(Burkart, Panunzi, dan Shleifer, 2003) sehingga
mencegah perusahaan keluarga untuk melakukan
tindakan yang dapat merugikan para stakeholder,
shareholder, maupun perusahaan. Sedangkan
16
perusahaan keluarga di Asia, cost-nya lebih besar dari
benefit (Faccio, et al., 2001; Claessens, et al., 2002;
Lemmon dan Lins, 2003). Hal ini dikarenakan, Asia
merupakan salah satu negara berkembang yang
memiliki perlindungan hukum yang lemah (La Porta, et
al., 1999; Lins, 2003) sehingga perusahaan keluarga
cenderung melakukan tindakan-tindakan yang
merugikan para stakeholder dan minority shareholder
(Morck et al., 1999; Gomez-Mejia et al., 2001; Schulze,
et al., 2001). Dengan demikian, kinerja perusahaan
keluarga di Asia mengalami penurunan.
Struktur kontrol di Asia menciptakan masalah
insentif yang sama pada perusahaan keluarga di
Indonesia sebagai salah satu negara berkembang.
Keluarga biasanya menggunakan benefit pemegang
saham minoritas untuk hal-hal yang mereka inginkan
dan mengurangi nilai perusahaan. La Porta, et al.
(1999) menemukan bahwa Indonesia memiliki
konsentrasi kepemilikan tertinggi dan tingkat
perlindungan hukum atas pemegang saham minoritas
yang rendah. Claessens, et al. (1999a) juga menemukan
bahwa sebanyak 67,1% perusahaan perusahaan-
perusahaan di Indonesia dikendalikan oleh keluarga
dan hanya 0,6% saja yang secara langsung memiliki
kepemilikan yang tersebar. Selain itu, Indonesia
menunjukkan struktur kepemilikan piramid yang
17
terbesar yaitu 66.9% dan sekitar 4/5 perusahaaan
memiliki manajer yang merupakan anggota pemegang
saham mayoritas.
Related Party Transaction
Dalam Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan
No.7 (IAI,2007), Related Party adalah pihak-pihak yang
dianggap memiliki hubungan istimewa bila satu pihak
mempunyai kemampuan untuk mengendalikan pihak
lain atau mempunyai pengaruh signifikan atas pihak
lain dalam mengambil keputusan keuangan dan
operasional. Sedangkan Related Party Transaction
merupakan suatu pengalihan sumber daya atau
kewajiban antara pihak-pihak yang mempunyai
hubungan istimewa, tanpa menghiraukan apakah
suatu harga diperhitungkan. Hubungan istimewa
dengan suatu pihak dapat mempunyai dampak atas
posisi keuangan dan hasil usaha perusahaan pelapor.
Transaksi antara pihak-pihak yang mempunyai
hubungan istimewa juga dapat dilakukan dengan harga
yang berbeda dibanding dengan transaksi serupa yang
dilakukan antara pihak-pihak yang tidak mempunyai
hubungan istimewa.
Berikut merupakan pihak-pihak yang mempunyai
hubungan istimewa menurut PSAK No. 7 :
18
a) Perusahaan yang melalui satu atau lebih perantara
(intermediaries), mengendalikan atau dikendalikan
oleh, atau berada di bawah pengendalian bersama,
dengan perusahaan pelapor (termasuk holding
companies, subsidiaries, dan fellow subsidiaries).
b) Perusahaan asosiasi, yang merupakan suatu
perusahaan yang investornya mempunyai pengaruh
yang signifikan dan bukan merupakan anak
perusahaan maupun joint venture dari investornya
(PSAK No. 40, IAI, 2007).
c) Perorangan yang memiliki, baik secara langsung
maupun tidak langsung, suatu kepentingan hak
suara di perusahaan pelapor yang berpengaruh
secara signifikan, dan anggota keluarga dekat dari
perorangan tersebut (yang dimaksud dengan
anggota keluarga dekat adalah mereka yang dapat
diharapkan memengaruhi atau dipengaruhi
perorangan tersebut dalam transaksinya dengan
perusahaan pelapor).
d) Karyawan kunci, yaitu orang-orang yang mempunyai
wewenang dan tanggung jawab untuk
merencanakan, memimpin, dan mengendalikan
kegiatan perusahaan pelapor yang meliputi anggota
dewan komisaris, direksi, dan manajer dari
19
perusahaan serta anggota keluarga dekat orang-
orang tersebut.
e) Perusahaan dimana kepentingan substansial dalam
hak suara dimiliki baik secara langsung maupun
tidak langsung, oleh setiap orang yang diuraikan
dalam poin (c) atau (d), atau setiap orang tersebut
mempunyai pengaruh signifikan atas perusahaan
tersebut. Ini mencakup perusahaan-perusahaan
yang dimiliki anggota dewan komisaris, direksi, atau
pemegang saham utama dari perusahaan-
perusahaan yang mempunyai anggota manajemen
kunci yang sama dengan perusahaan pelapor.
Jenis RPT dalam PSAK No. 7 adalah pembelian
atau penjualan barang, pembelian atau penjualan
properti dan aset lain, pemberian atau penerimaan
jasa, pengalihan riset dan pengembangan, pendanaan
(termasuk pemberian pinjaman dan penyetoran modal
baik secara tunai maupun dalam bentuk natura),
garansi dan penjaminan (collateral) dan kontrak
manajemen.
Tiga karakteristik menurut Kohlbeck dan Mayhew
(2004) yang memotivasi dewan direksi untuk memulai
RPT. Pertama, RPT merupakan bagian dari perjanjian
kompensasi manajemen atau dewan direksi. Misalnya,
perusahaan yang terikat dalam RPT dapat menyediakan
20
kompensasi kas yang lebih rendah untuk menunjukkan
keuntungan apabila bergabung (Murphy dalam
Kohlbeck dan Mayhew,2004). Kedua, tingkat
kompensasi stock option yang lebih tinggi dapat
memunculkan keinginan untuk melakukan RPT.
Ketiga, kepemilikan perusahaan dapat menciptakan
insentif dan kesempatan untuk memulai RPT. Loon et
al. (2009) juga menyatakan bahwa dengan adanya RPT,
pertama Related Party akan terhindar dari hambatan
atau keterlambatan yang biasa terjadi dengan pihak
ketiga. Kedua, RPT memberikan kemudahan dalam
bertransaksi, seperti pihak-pihak yang berhubungan
dapat berbagi informasi dan pengetahuan yang relevan
bagi perkembangan perusahaan. Ketiga, RPT
memudahkan perusahaan dalam memperoleh pinjaman
yang dapat digunakan untuk investasi.
Terdapat dua hipotesis yang bertolak belakang
mengenai RPT (Gordon, et al., 2004). Hipotesis pertama,
RPT merupakan transaksi yang dapat menciptakan
sebuah nilai yaitu pertimbangan dalam perolehan
efisiensi (efficient transaction) sebagaimana yang
menjadi keinginan perusahaan. Khanna dan Palepu
(1997;1999) menyatakan bahwa RPT akan membantu
perusahaan untuk beroperasi lebih efisien dengan
meminimalkan biaya transaksi melalui hubungan
bisnis yang kuat terutama di negara yang sedang
21
berkembang. Sebuah perusahaan dapat menerima
bantuan keuangan melalui pasar keuangan internal
mereka, kelompok bisnis dapat mengalokasikan modal
antara perusahaan-perusahaan dalam kelompok yang
dapat meningkatkan manfaat ekonomi, terutama ketika
pendanaan eksternal langka dan tidak pasti.
Hipotesis kedua menyatakan bahwa RPT dapat
mengakibatkan conflict of interest melalui aktivitas
tunneling (Johnson, et al., 2000). Tunneling merupakan
pengambilalihan kekayaan yang dilakukan pemegang
saham mayoritas terhadap pemegang saham minoritas
yang secara langsung mengekspropriasi pemegang
saham minoritas. Djankov, La Porta, Lopez-de-silane
dan Shleifer (2008) menyatakan bahwa RPT dapat
memberikan kesempatan pemegang saham mayoritas
melakukan aktivitas tunneling. Transaksi tersebut
dapat dilakukan dengan cara menjual aset atau
sekuritas dengan harga yang lebih rendah atau lebih
tinggi dari harga pasar, tidak membagikan dividen
maupun mempertahankan anggota keluarga yang
sudah tidak kompeten untuk menduduki posisi penting
di perusahaan.
Bertrand, Mehta dan Mullainathan (2000)
menemukan bukti di India bahwa pemegang saham
mayoritas menggunakan RPT untuk mengalihkan
sumberdaya dari perusahaan yang memiliki hak arus
22
kas yang rendah dengan perusahaan yang memiliki hak
arus kas yang lebih tinggi dengan menggunakan
struktur kepemilikan piramida. Cheung, et al. (2004)
juga menunjukkan bahwa pasar bereaksi negatif
terhadap informasi mengenai RPT karena RPT
cenderung digunakan untuk mengambil alih pemegang
saham minoritas. Chen, et al (2009) menunjukkan
bahwa ketika perusahaan di Cina dikendalikan oleh
Related Party, semakin tinggi tingkat RPT maka
semakin buruk kinerja operasional perusahaan. Munir
dan Gul (2010) mengungkapkan bahwa RPT yang
dilakukan oleh perusahaan keluarga digunakan secara
oportunis untuk mengambil alih pemegang saham
minoritas. Wen- Yi Lin, et al (2010) dalam penelitiannya
di Taiwan juga menunjukkan bahwa kinerja
perusahaan berhubungan negatif dengan RPT yang
digunakan untuk ekspropriasi.
Pengaruh Family Control terhadap Related Party
Transaction
Sebagian besar perusahaan di dunia seperti Eropa
Barat, Asia Selatan dan Asia Timur, Timur Tengah,
Amerika Latin dan Afrika dikendalikan oleh keluarga
(La Porta, et al., 1998; Claessens, et al., 1999; Faccio
dan Lang, 2002). Claessens, et al (1999) menemukan
lebih dari 50 persen perusahaan publik di negara-
23
negara Asia Timur dikendalikan oleh keluarga. Faccio
dan Lang (2002) juga mencatat bahwa sekitar 50%
perusahaan publik di Eropa Barat dikendalikan oleh
keluarga. Perusahaan yang dikontrol oleh keluarga juga
lazim di Australia (Mroczkowski dan Tanewski, 2005).
Pemilik saham keluarga yang memegang kontrol
cenderung bukan hanya memaksimalkan nilai
perusahaan namun juga keuntungan keluarga
(Burkart, Panunzi, & Shleifer (2003) dan Bertrand,
Mehta dan Mullainathan (2000)) dan memiliki
kemungkinan mengambil alih hak dari pemegang
saham minoritas dengan menggunakan sumber daya
perusahaan untuk kebutuhan pribadi. Keluarga yang
memegang kendali tersebut juga dapat mengalokasikan
dana untuk proyek yang tidak memberikan keuntungan
pada perusahaan namun memberikan keuntungan
pribadi (LaPorta et al., 1998). Deng et al. (2008) juga
mengungkapkan bahwa pemegang saham mayoritas di
China melakukan ekspropriasi melalui RPT (penjualan
aset, transfer pricing barang dan jasa,dll).
Ekspropriasi merupakan masalah utama yang
terjadi di perusahaan-perusahaan di 9 negara di Asia
Timur (Claessens et al.,2000). Mereka menyatakan
bahwa perusahaan yang dikendalikan oleh keluarga
melakukan ekspropriasi (RPT) terhadap pemegang
24
saham minoritas melalui struktur kepemilikan piramid,
cross-holding dan perangkapan manajemen oleh
pemilik. Claessens et al., (1999a) menyatakan bahwa
Indonesia memiliki struktur kepemilikan piramid yang
terbesar yaitu 66.9% dari sampel perusahaan Indonesia
dan kedua terbesar dalam perangkapan manajemen
dan pemilik, setelah Malaysia, yaitu 84.6% dari sampel
perusahaan Indonesia. Claessens et al., (2002)
menemukan bahwa pada tahun 1996, dominasi
keluarga yang menyebabkan adanya perbedaan
kepemilikan dan kontrol dari perusahaan-perusahaan
di Indonesia. Besarnya hak kontrol dari keluarga yang
melebihi hak arus kas kepemilikan menyebabkan
perusahaan cenderung melakukan RPT. Dyanti et al.,
(2012) dalam penelitiannya pada 102 perusahaan di
Indonesia Tahun 2003-2007 menemukan bahwa
kepemilikan keluarga dapat mempengaruhi intensi
perusahaan untuk melakukan RPT dalam hal
ekspropriasi.
Berdasarkan penjelasan dan penelitian
sebelumnya, peneliti berpendapat bahwa family firm di
Indonesia memiliki motivasi yang lebih kuat untuk
melakukan RPT sebagai transaksi yang
mengekspropriasi pemegang saham minoritas. Dengan
demikian, hipotesis yang diajukan adalah sebagai
berikut :
25
H1: Family Firm melakukan Related Party
Transaction yang lebih besar dibandingka Non-
Family Firm.
Kinerja Perusahaan
Kinerja perusahaan merupakan hasil yang dicapai
suatu perusahaan dengan mengelola sumber daya yang
ada dalam perusahaan seefektif dan seefisien mungkin
guna mencapai tujuan yang telah ditetapkan
manajemen (Stoner et al., 1996:9). Terdapat dua jenis
ukuran kinerja yang dapat digunakan untuk mengukur
kinerja suatu perusahaan yaitu market performance
menggunakan Tobin’s Q dan operating performance
menggunakan ROA
Market Performance
Tobin’s Q diperkenalkan pertama kali oleh James
Tobin pada tahun 1969. James Tobin adalah ekonom
Amerika yang berhasil meraih nobel di bidang ekonomi
dengan mengajukan dugaan bahwa nilai pasar suatu
perusahaan seharusnya sama dengan biaya
penggantian aktiva perusahaan tersebut sehingga
menciptakan keadaan ekuilibrium. Tobin’s Q
merupakan indikator untuk mengukur kinerja suatu
perusahaan yang dapat menunjukan proforma
manajemen dalam mengelola aktiva perusahaan dari
sisi potensi nilai pasar suatu perusahaan. Nilai Tobin’s
26
Q dapat menggambarkan suatu kondisi peluang
investasi yang dimiliki perusahaan (Lang, et al.,1989)
atau potensi pertumbuhan perusahaan (Tobin, 1969).
Namun, nilai Tobin’s Q menjadi kurang relevan
untuk mengetahui kondisi peluang investasi ketika
kondisi pasar tidak stabil. Doug Henwood dalam
bukunya Wall Street, menyatakan bahwa Tobin’s Q
gagal memprediksi investasi secara akurat. Doug
Henwood juga menjelaskan bahwa makalah yang
dikeluarkan oleh Tobin dan Brainard pada tahun 1977,
Tobin’s Q pada periode 1960-1974 dapat menjelaskan
investasi secara akurat. Namun pada tahun-tahun
berikutnya dimana terjadi market bearish, nilai Tobin’s
Q tidak dapat menggambarkan keadaan investasi yang
ada.
Operating Performance
Return on Asset (ROA) dapat digunakan untuk
mengukur profitabilitas aktiva secara keseluruhan.
Semakin besar nilai ROA, maka semakin baik
kemampuan perusahaan memanfaatkan aktiva yang
dimilikinya untuk menghasilkan laba, begitu
sebaliknya (Kieso, et al 2002 : 223).
Menurut Grullon, et al. (2005), Return on Assets
(ROA) adalah ukuran kinerja akuntansi yang tepat yang
dapat digunakan untuk mengukur kinerja suatu
perusahaan dibandingkan Return on Equity (ROE).
27
Pertama, ROA tidak sensitif terhadap adanya
perubahan struktur modal karna ROA diukur dengan
menggunakan EBITDA (Earning Before Interest Taxes
Depreciation Amortization) sedangkan ROE sebaliknya.
Kedua, ROA tidak terpengaruh oleh faktor khusus
seperti pajak penghasilan yang dapat mengaburkan
nilai. Pendapat Grullon juga didukung oleh pernyataan
Barber dan Lyon (1996) bahwa ROA merupakan alat
ukur terbaik untuk menilai kinerja perusahaan dalam
berbagai situasi.
Pengaruh Perbedaan Related Party Transaction
antara Family Firms vs Non-Family Firms terhadap
Kinerja Perusahaan
RPT merupakan transaksi yang dapat
meningkatkan efisiensi suatu perusahaan (Gordon, et
al., 2004; Khanna dan Palepu, 1997). Namun, di sisi
lain RPT juga digunakan oleh perusahaan sebagai alat
untuk melakukan tunneling yang berpotensi
menimbulkan conflict of interest (Johnson, et al., 2000;
Cheung, et al., 2008). Gordon, et al. (2004) menyatakan
bahwa RPT yang dilakukan perusahaan lebih
cenderung menimbulkan conflict of interest sehingga
mengakibatkan penurunan kinerja perusahaan. Faccio,
et al. (2001) dan Cheung, et al. (2004) dalam
28
penelitiannya juga menunjukkan bahwa kinerja
perusahaan berhubungan negatif dengan RPT.
Berbeda dengan kondisi perusahaan keluarga di
Amerika Serikat yang menggunakan kontrol untuk
meningkatkan kinerja perusahaan (Anderson dan Reeb,
2003a; McConaughy, et al. 1998). Keterlibatan keluarga
(family control) dalam perusahaan-perusahaan di Asia
menimbulkan conflict of interest antara pemegang
saham mayoritas dan pemegang saham minoritas
(Claessens, et al., 2002; Chen, et al., 2009; Munir dan
Gul (2010); Wen-Yi Lin, et al., 2010) yang lebih kuat,
sehingga menurunkan kinerja perusahaan. Keluarga
menggunakan kontrol dan kepemilikan saham yang
dimiliki untuk mencapai kepentingan mereka sendiri
dengan mengorbankan para stakeholder dan minority
shareholder (Capulong et al., 2000, Shleifer dan Vishny,
1997 dalam Djankov, et al., 2008). Salah satu cara
ekspropriasi yang digunakan adalah melalui RPT. RPT
digunakan oleh perusahaan keluarga untuk melakukan
ekspropriasi kekayaan pemegang saham minoritas.
Melalui RPT, keluarga dapat dengan mudah
memperoleh keuntungan pribadi sehingga hal ini
mengakibatkan penurunan kinerja perusahaan.
Berdasarkan uraian diatas, peneliti berpendapat
bahwa RPT dalam hal ekspropriasi yang lebih
29
didominasi oleh keluarga dapat mengakibatkan
penurunan kinerja perusahaan di Indonesia. Dengan
demikian, hipotesis yang diajukan adalah sebagai
berikut:
H2: Pengaruh negatif Related Party Transaction
terhadap kinerja perusahaan yang lebih kuat
pada family firms.
30