Upload
merlyn-suarlembit
View
238
Download
4
Embed Size (px)
DESCRIPTION
NN
Citation preview
BUDAYA MAKASSAR
Di wilayah Sulawesi Selatan suku bangsa Makasar menempati daerah Kabupaten Takalar,
Jeneponto, Bantaeng, Pangkajene, Maros, Gowa, dan Kepulauan selayar.
Dalam kebudayaan Makasar, busana adat merupakan salah satu aspek yang cukup penting.
Bukan saja berfungsi sebagai penghias tubuh, tetapi juga sebagai kelengkapan suatu upacara
adat. Yang dimaksud dengan busana adat di sini adalah pakaian berikut aksesori yang
dikenakan dalam berbagai upacara adat seperti perkawinan, penjemputan tamu, atau hari-hari
besar adat lainnya. Pada dasarnya, keberadaan dan pemakaian busana adat pada suatu upacara
tertentu akan melambangkan keagungan upacara itu sendiri.
Melihat kebiasaan mereka dalam berbusana, sebenarnya dapat dikatakan bahwa busana adat
Makasar menunjukkan kemiripan dengan busana yang biasa dipakai oleh orang Bugis.
Meskipun demikian, ada beberapa ciri, bentuk maupun corak, busana yang khas milik
pendukung kebudayaan Makasar dan tidak dapat disamakan dengan busana milik masyarakat
Bugis.
Pada masa dulu, busana adat orang Makasar dapat menunjukkan status perkawinan, bahkan
juga status sosial pemakainya di dalam masyarakat. Hal itu disebabkan masyarakat Makasar
terbagi atas tiga lapisan sosial. Ketiga strata sosial tersebut adalah ono karaeng, yakni lapisan
yang ditempati oleh kerabat raja dan bangsawan; tu maradeka, yakni lapisan orang merdeka
atau masyarakat kebanyakan; dan atu atau golongan para budak, yakni lapisan orangorang
yang kalah dalam peperangan, tidak mampu membayar utang, dan yang melanggar adat.
Namun dewasa ini, busana yang dipakai tidak lagi melambangkan suatu kedudukan sosial
seseorang, melainkan lebih menunjukkan selera pemakainya.
Sementara itu, berdasarkan jenis kelamin pemakainya, busana adat Makasar tentu saja dapat
dibedakan atas busana pria dan busana wanita. Masing-masing busana tersebut memiliki
karakteristik tersendiri, busana adat pria dengan baju bella dada dan jas tutunya sedangkan
busana adat wanita dengan baju bodo dan baju labbunya. Busana adat pria Makasar terdiri
atas baju, celana atau paroci, kain sarung atau lipa garusuk, dan tutup kepala atau passapu.
Baju yang dikenakan pada tubuh bagian atas berbentuk jas tutup atau jas tutu dan baju belah
dada atau bella dada. Model baju yang tampak adalah berlengan panjang, leher berkrah, saku
di kanan dan kiri baju, serta diberi kancing yang terbuat dari emas atau perak dan dipasang
pada leher baju. Gambaran model tersebut sama untuk kedua jenis baju pria, baik untuk jas
tutu maupun baju bella dada. Hanya dalam hal warna dan bahan yang dipakai terdapat
perbedaan di antara keduanya. Bahan untuk jas tutu biasanya tebal dan berwarna biru atau
coklat tua. Adapun bahan baju bella dada tampak lebih tipis, yaitu berasal dari kain lipa sabbe
atau lipa garusuk yang polos, berwarna terang dan mencolok seperti merah, dan hijau.
Khusus untuk tutup kepala, bahan yang biasa digunakan berasal dari kain pasapu yang terbuat
dari serat daun lontar yang dianyam. Bila tutup kepala pada busana adat pria Makasar dihiasi
dengan benang emas, masyarakat menyebutnya mbiring. Namun jika keadaan sebaliknya atau
tutup kepala tidak berhias benang emas, pasapu guru sebutannya. Biasanya, yang
mengenakan pasapu guru adalah mereka yang berstatus sebagai guru di kampung. Pemakaian
tutup kepala pada busana pria mempunyai makna-makna dan simbol-simbol tertentu yang
melambangkan satus sosial pemakainya. Kelengkapan busana adat pria Makasar yang tidak
pernah lupa untuk dikenakan adalah perhiasan seperti keris, gelang, selempang atau rante
sembang, sapu tangan berhias atau passapu ambara, dan hiasan pada penutup kepala atau
sigarak. Keris yang senantiasa digunakan adalah keris dengan kepala dan sarung yang terbuat
dari emas, dikenal dengan sebutan pasattimpo atau tatarapeng. Jenis keris ini merupakan
benda pusaka yang dikeramatkan oleh pemiliknya, bahkan dapat digantungi sejenis jimat
yang disebut maili. Agar keris tidak mudah lepas dan tetap pada tempatnya, maka diberi
pengikat yang disebut talibannang. Adapun gelang yang menjadi perhiasan para pria
Makasar, biasanya berbentuk ular naga dan terbuat dari emas atau disebut ponto naga.
Gambaran busana adat pria Makasar lengkap dengan semua jenis perhiasan seperti itu,
tampak jelas pada seorang pria yang sedang melangsungkan upacara pernikahan. Lebih
tepatnya dikenakan sebagai busana pengantin pria.
Sementara itu, busana adat wanita Makasar terdiri atas baju dan sarung atau lipa. Ada dua
jenis baju yang biasa dikenakan oleh kaum wanita, yakni baju bodo dan baju labbu dengan
kekhasannya tersendiri. Baju bodo berbentuk segi empat, tidak berlengan, sisi samping kain
dijahit, dan pada bagian atas dilubangi untuk memasukkan kepala yang sekaligus juga
merupakan leher baju. Adapun baju labbu atau disebut juga baju bodo panjang, biasanya
berbentuk baju kurung berlengan panjang dan ketat mulai dari siku sampai pergelangan
tangan. Bahan dasar yang kerap digunakan untuk membuat baju labbu seperti itu adalah kain
sutera tipis, berwarna tua dengan corak bunga-bunga.
Kaum wanita dari berbagai kalangan manapun bisa mengenakan baju labbu.
Pasangan baju bodo dan baju labbu adalah kain sarung atau lipa, yang terbuat dari benang
biasa atau lipa garusuk maupun kain sarung sutera atau lipa sabbe dengan warna dan corak
yang beragam. Namun pada umumnya, warna dasar sarung Makasar adalah hitam, coklat tua,
atau biru tua, dengan hiasan motif kecilkecil yang disebut corak cadii.
Sama halnya dengan pria, wanita makasar pun memakai berbagai perhiasan untuk
melengkapi tampilan busana yang dikenakannya Unsur perhiasan yang terdapat di kepala
adalah mahkota (saloko), sanggul berhiaskan bunga dengan tangkainya (pinang goyang), dan
anting panjang (bangkarak). Perhiasan di leher antara lain kalung berantai (geno ma`bule),
kalung panjang (rantekote), dan kalung besar (geno sibatu), dan berbagai aksesori lainnya.
Penggunaan busana adat wanita Makasar yang lengkap dengan berbagai aksesorinya terlihat
pada busana pengantin wanita. Begitu pula halnya dengan para pengiring pengantin, hanya
saja perhiasan yang dikenakannya tidak selengkap itu.
BUDAYA TORAJA
1. TONGKONAN
Tongkonan adalah rumah tradisional Toraja yang berdiri di atas tumpukan kayu dan dihiasi
dengan ukiran berwarna merah, hitam, dan kuning. Kata “tongkonan” berasal dari bahasa
Toraja tongkon (“duduk”).
Tongkonan merupakan pusat kehidupan sosial suku Toraja. Ritual yang berhubungan dengan
tongkonan sangatlah penting dalam kehidupan spiritual suku Toraja oleh karena itu semua
anggota keluarga diharuskan ikut serta karena Tongkonan melambangan hubungan mereka
dengan leluhur mereka. Menurut cerita rakyat Toraja, tongkonan pertama dibangun di surga
dengan empat tiang. Ketika leluhur suku Toraja turun ke bumi, dia meniru rumah tersebut
dan menggelar upacara yang besar.
Pembangunan tongkonan adalah pekerjaan yang melelahkan dan biasanya dilakukan dengan
bantuan keluarga besar. Ada tiga jenis tongkonan. Tongkonan layuk adalah tempat kekuasaan
tertinggi, yang digunakan sebagai pusat “pemerintahan”. Tongkonan pekamberan adalah
milik anggota keluarga yang memiliki wewenang tertentu dalam adat dan tradisi lokal
sedangkan anggota keluarga biasa tinggal di tongkonan batu. Eksklusifitas kaum bangsawan
atas tongkonan semakin berkurang seiring banyaknya rakyat biasa yang mencari pekerjaan
yang menguntungkan di daerah lain di Indonesia. Setelah memperoleh cukup uang, orang
biasa pun mampu membangun tongkonan yang besar.
– UKIRAN KAYU
Bahasa Toraja hanya diucapkan dan tidak memiliki sistem tulisan. Untuk menunjukkan
konsep keagamaan dan sosial, suku Toraja membuat ukiran kayu dan menyebutnya Pa’ssura
(atau “tulisan”). Oleh karena itu,
ukiran kayu merupakan
perwujudan budaya Toraja.
Setiap ukiran memiliki nama
khusus. Motifnya biasanya adalah
hewan dan tanaman yang
melambangkan kebajikan,
contohnya tanaman air seperti
gulma air dan hewan seperti
kepiting dan kecebong yang melambangkan kesuburan. Gambar kiri memperlihatkan contoh
ukiran kayu Toraja, terdiri atas 15 panel persegi. Panel tengah bawah melambangkan kerbau
atau kekayaan, sebagai harapan agar suatu keluarga memperoleh banyak kerbau. Panel
tengah melambangkan simpul dan kotak, sebuah harapan agar semua keturunan keluarga
akan bahagia dan hidup dalam kedamaian, seperti barang-barang yang tersimpan dalam
sebuah kotak. Kotak bagian kiri atas dan kanan atas melambangkanhewan air, menunjukkan
kebutuhan untuk bergerak cepat dan bekerja keras, seperti hewan yang bergerak di
permukaan air. Hal Ini juga menunjukkan adanya kebutuhan akan keahlian tertentu untuk
menghasilkan hasil yang baik.
Keteraturan dan ketertiban merupakan ciri umum dalam ukiran kayu Toraja (lihat desain
tabel di bawah), selain itu ukiran kayu Toraja juga abstrak dan geometris. Alam sering
digunakan sebagai dasar dari ornamen Toraja, karena alam penuh dengan abstraksi dan
geometri yang teratur. Ornamen Toraja dipelajari dalam ethnomatematika dengan tujuan
mengungkap struktur matematikanya meskipun suku Toraja membuat ukiran ini hanya
berdasarkan taksiran mereka sendiri. Suku Toraja menggunakan bambu untuk membuat
oranamen geometris.
– UPACARA PEMAKAMAN
Dalam masyarakat Toraja, upacara pemakaman merupakan ritual yang paling penting dan
berbiaya mahal. Semakin kaya dan berkuasa seseorang, maka biaya upacara pemakamannya
akan semakin mahal. Dalam agama aluk, hanya keluarga bangsawan yang berhak menggelar
pesta pemakaman yang besar. Pesta pemakaman seorang bangsawan biasanya dihadiri oleh
ratusan orang dan berlangsung selama beberapa hari. Sebuah tempat prosesi pemakaman
yang disebut rante biasanya disiapkan pada sebuah padang rumput yang luas, selain sebagai
tempat pelayat yang hadir, juga sebagai tempat lumbung padi, dan berbagai perangkat
pemakaman lainnya yang dibuat oleh keluarga yang ditinggalkan. Musik suling, nyanyian,
lagu dan puisi, tangisan dan ratapan merupakan ekspresi duka cita yang dilakukan oleh suku
Toraja tetapi semua itu tidak berlaku untuk pemakaman anak-anak, orang miskin, dan orang
kelas rendah.
Upacara pemakaman ini kadang-kadang baru digelar setelah berminggu-minggu, berbulan-
bulan, bahkan bertahun-tahun sejak kematian yang bersangkutan, dengan tujuan agar
keluarga yang ditinggalkan dapat mengumpulkan cukup uang untuk menutupi biaya
pemakaman. Suku Toraja percaya bahwa kematian bukanlah sesuatu yang datang dengan
tiba-tiba tetapi merupakan sebuah proses yang bertahap menuju Puya(dunia arwah, atau
akhirat). Dalam masa penungguan itu, jenazah dibungkus dengan beberapa helai kain dan
disimpan di bawah tongkonan. Arwah orang mati dipercaya tetap tinggal di desa sampai
upacara pemakaman selesai, setelah itu arwah akan melakukan perjalanan ke Puya.
Bagian lain dari pemakaman adalah penyembelihan kerbau. Semakin berkuasa seseorang
maka semakin banyak kerbau yang disembelih. Penyembelihan dilakukan dengan
menggunakan golok. Bangkai kerbau, termasuk kepalanya, dijajarkan di padang, menunggu
pemiliknya, yang sedang dalam “masa tertidur”. Suku Toraja percaya bahwa arwah
membutuhkan kerbau untuk melakukan perjalanannya dan akan lebih cepat sampai di Puya
jika ada banyak kerbau. Penyembelihan puluhan kerbau dan ratusan babi merupakan puncak
upacara pemakaman yang diringi musik dan tarian para pemuda yang menangkap darah yang
muncrat dengan bambu panjang. Sebagian daging tersebut diberikan kepada para tamu dan
dicatat karena hal itu akan dianggap sebagai utang pada keluarga almarhum.
Ada tiga cara pemakaman: Peti mati dapat disimpan di dalam gua, atau di makam batu
berukir, atau digantung di tebing. Orang kaya kadang-kadang dikubur di makam batu berukir.
Makam tersebut biasanya mahal dan waktu pembuatannya sekitar beberapa bulan. Di
beberapa daerah, gua batu digunakan untuk meyimpan jenazah seluruh anggota keluarga.
Patung kayu yang disebut tau tau biasanya diletakkan di gua dan menghadap ke luar. Peti
mati bayi atau anak-anak digantung dengan tali di sisi tebing. Tali tersebut biasanya bertahan
selama setahun sebelum membusuk dan membuat petinya terjatuh.
– MUSIK DAN TARIAN
Suku Toraja melakukan tarian dalam beberapa acara, kebanyakan dalam upacara penguburan.
Mereka menari untuk menunjukkan rasa duka cita, dan untuk menghormati sekaligus
menyemangati arwah almarhum karena sang arwah akan menjalani perjalanan panjang
menuju akhirat. Pertama-tama, sekelompok pria membentuk lingkaran dan menyanyikan lagu
sepanjang malam untuk menghormati almarhum (ritual terseebut disebut Ma’badong). Ritual
tersebut dianggap sebagai komponen terpenting dalam upacara pemakaman. Pada hari kedua
pemakaman, tarian prajurit Ma’randing ditampilkan untuk memuji keberanian almarhum
semasa hidupnya. Beberapa orang pria melakukan tarian dengan pedang, prisai besar dari
kulit kerbau, helm tanduk kerbau, dan berbagai ornamen lainnya. Tarian Ma’randing
mengawali prosesi ketika jenazah dibawa dari lumbung padi menuju rante, tempat upacara
pemakaman. Selama upacara, para perempuan dewasa melakukan tarian Ma’katia sambil
bernyanyi dan mengenakan kostum baju berbulu. Tarian Ma’akatia bertujuan untuk
mengingatkan hadirin pada kemurahan hati dan kesetiaan almarhum. Setelah penyembelihan
kerbau dan babi, sekelompok anak lelaki dan perempuan bertepuk tangan sambil melakukan
tarian ceria yang disebut Ma’dondan.
Seperti di masyarakat agraris lainnya, suku Toraja bernyanyi dan menari selama musim
panen. Tarian Ma’bugi dilakukan untuk meraya
kan Hari Pengucapan Syukur dan tarian Ma’gandangi ditampilkan ketika suku Toraja sedang
menumbuk beras. Ada beberapa tarian peran
g, misalnya tarian Manimbong yang dilakukan oleh pria dan kemudian diikuti oleh tarian
Ma’dandan oleh perempuan. Agama Aluk mengatur kapan dan bagaimana suku Toraja
menari. Sebuah tarian yang disebut Ma’bua hanya bisa dilakukan 12 tahun sekali. Ma’bua
adalah upacara Toraja yang penting ketika pemuka agama mengenakan kepala kerbau dan
menari di sekeliling pohon suci.
Alat musik tradisional Toraja adalah suling bambu yang disebut Pa’suling. Suling berlubang
enam ini dimainkan pada banyak tarian, seperti pada tarian Ma’bondensan, ketika alat ini
dimainkan bersama sekelompok pria yang menari dengan tidak berbaju dan berkuku jari
panjang. Suku Toraja juga mempunyai alat musik lainnya, misalnya Pa’pelle yang dibuat dari
daun palem dan dimainkan pada waktu panen dan ketika upacara pembukaan rumah.
BAHASA
Bahasa Toraja adalah bahasa yang dominan di Tana Toraja, dengan Sa’dan Toraja sebagai
dialek bahasa yang utama. Bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional adalah bahasa resmi
dan digunakan oleh masyarakat, akan tetapi bahasa Toraja pun diajarkan di semua sekolah
dasar di Tana Toraja.
Ragam bahasa di Toraja antara lain Kalumpang, Mamasa, Tae’ , Talondo’ , Toala’ , dan
Toraja-Sa’dan, dan termasuk dalam rumpun bahasa Melayu-Polinesia dari bahasa
Austronesia. Pada mulanya, sifat geografis Tana Toraja yang terisolasi membentuk banyak
dialek dalam bahasa Toraja itu sendiri. Setelah adanya pemerintahan resmi di Tana Toraja,
beberapa dialek Toraja menjadi terpengaruh oleh bahasa lain melalui proses transmigrasi,
yang diperkenalkan sejak masa penjajahan. Hal itu adalah penyebab utama dari keragaman
dalam bahasa Toraja.
Denominasi ISO 639-3
Populasi (pada
tahun ) Dialek
Kalumpang kli 12,000 (1991)
Karataun, Mablei,
Mangki (E’da), Bone
Hau (Ta’da).
Mamasa Mqj 100,000 (1991)
Mamasa Utara,
Mamasa tengah,
Pattae’ (Mamasa
Selatan, Patta’
Binuang, Binuang,
Tae’, Binuang-Paki-
Batetanga-Anteapi)
Ta’e Rob 250,000 (1992)
Rongkong, Luwu
Timur Laut, Luwu
Selatan, Bua.
Talondo’ Tln 500 (1986)
Toala’ Tlz 30,000 (1983) Toala’, Palili’.
Torajan-Sa’dan Sda 500,000 (1990)
Makale
(Tallulembangna),
Rantepao (Kesu’),
Toraja Barat (Toraja
Barat, Mappa-Pana).
Ciri yang menonjol dalam bahasa Toraja adalah gagasan tentang duka cita kematian.
Pentingnya upacara kematian di Toraja telah membuat bahasa mereka dapat mengekspresikan
perasaan duka cita dan proses berkabung dalam beberapa tingkatan yang rumit. Bahasa
Toraja mempunyai banyak istilah untuk menunjukkan kesedihan, kerinduan, depresi, dan
tekanan mental. Merupakan suatu katarsis bagi orang Toraja apabila dapat secara jelas
menunjukkan pengaruh dari peristiwa kehilangan seseorang; hal tersebut kadang-kadang juga
ditujukan untuk mengurangi penderitaan karena duka cita itu sendiri.
BUDAYA MINAHASA
Seperti yang kita ketahui Minahasa mempunyai begitu banyak keragaman budaya yang ada.
Mulai dari Tarian,alat music, Makanan dan minuman.
Mapalus
Mapalus adalah bentuk gotong royong tradisional warisan nenek moyang orang Minahasa di
Kota Manado yang merupakan suatu sistem prosedur, metode atau tehnik kerja sama untuk
kepentingan bersama oleh masing-masing anggota secara bergiliran. Mapalus muncul atas
dasar kesadaran akan adanya kebersamaan, keterbatasan akan kemampuannya baik cara
berpikir, berkarya, dan lain sebagainya. Jadi, mapulus ini merupakan suatu bentuk
kebersamaan yg selalu di junjung oleh suku MINAHASA dalam menjalin kebersamaan
diantara masyarakat Minahasa.
Rumah Panggung Adat MINAHASA.
Rumah panggung atau wale merupakan
tempat kediaman para anggota rumah
tangga orang Minahasa di Kota Manado,
dimana didalamnya digunakan sebagai
tempat melakukan berbagai aktivitas.
Rumah panggung jaman dahulu
dimaksudkan untuk menghindari serangan
musuh secara mendadak atau serangan
binatang buas. Sekalipun keadaan sekarang tidak sama lagi dengan keadaan dahulu, tapi
masih banyak penduduk yang membangun rumah panggung berdasarkan konstruksi rumah
modern.
Pengucapansyukur
Pada masa lalu pengucapan syukur diadakan untuk menyampaikan doa atau mantra yang
memuji kebesaran dan kekuasaan para dewa atas berkat yang diberikan sambil menari dan
menyanyikan lagu pujian dengan syair yang mengagungkan. Saat ini pengucapan syukur di
Kota Manado dilaksanakan dalam bentuk ibadah di gereja. Pada hari H tersebut setiap rumah
tangga menyiapkan makanan dan kue untuk dimakan oleh anggota rumah tangga, juga
dipersiapkan bagi para tamu yang datang berkunjung.
Contoh pengucapan syukur sering kali dirangkaikan dengan IBADAH rukun, ucapan syukur
kadang di adakan seperti kalau ada yang berulang Tahun,Syukur atas Kesembuhan, atau
Berkat-berkat yang telah di terima keluarga tersebut. Tari Kabasaran
Tari kabasaran sering juga disebut tari cakalele, adalah salah satu seni tari tradisional orang
Minahasa yang banyak dimainkan oleh masyarakat Kota Manado, yang biasanya ditampilkan
pada acara-acara tertentu seperti menyambut tamu dan pagelaran seni budaya. Tari ini
menirukan perilaku dari para leluhur dan merupakan seni tari perang melawan musuh.
Tari Maengket.
Tari maengket adalah salah satu seni
tarian rakyat orang Minahasa. Tarian ini
disertai dengan nyanyian dan diiringi
gendang atau tambur yang biasanya
dilakukan sesudah panen padi sebagai
ucapan syukur kepada Sang Pencipta.Jadi,
Tari maengket ini merupakan tarian
rakyat untuk Hasil panen yg telah mereka dapatkan yang sejak dulu sudah di ciptakan untuk
ucapan syukur atas hasil panen.
Musik kolintang
Pada awalnya dibuat dari bahan yang
disebut wunut dari jenis kayu yang
disebut belar. Pada perkembangan
selanjutnya, kolintang mulai
menggunakan bahan kayu telor dan
cempaka. Orkes kolintang sebagai produk
seni musik tradisional bukan saja sebagai sarana hiburan, akan tetapi juga sebagai media
penerapan pendidikan musik yang dimulai dari anak-anak sekolah di Kota Manado.
Musik Bia
Bia adalah sejenis kerang atau keong yang hidup dilaut. Sekitar tahun 1941 seorang
penduduk Desa Batu Minahasa Utara menjadikan kerang/keong sebagai satu tumpukan
musik. Musik bia akhirnya telah menjadi salah satu seni musik tradisional yang turut
memberikan nilai tambah bagi masyarakat Kota Manado. Dengan hadirnya musik ini pada
pagelaran kesenian dan acara tertentu, telah menimbulkan daya tarik tersendiri bagi
wisatawan baik mancanegara maupun nusantara.