Upload
muhmammad-nur-hasbi
View
219
Download
0
Embed Size (px)
DESCRIPTION
ilmuu sosial budaya daerah
Citation preview
TUGAS
ILMU SOSIAL BUDAYA DASAR
KEBUDAYAAN MINANG KABAU
SUMATERA BARAT
Di buat untuk memenuhi tugas mata kuliah Ilmu Sosial Budaya Dasar Universitas
Sriwijaya
Oleh:
Muhammad Nur Hasbi (03081005045)
UNIVERSITAS SRIWIJAYA
2011
Satu hal yang sangat penting adalah bahwa bagi orang Minang, adat itu adalah
suatu Limbago, atau lembaga, dan mengandung unsur-unsur yang merupakan
lembaga juga. Penghulu adalah lembaga, urang sumando adalah lembaga. Demikian
juga perkawinan, suku, hukum, semuanya adalah lembaga. Dalam pepatah dikatakan:
Adat diisi, limbago dituang.
Jadi adat adalah sesuatu yang diisi, dipenuhi dan dilaksanakan, sedangkan
lembaga adalah suatu jabatan, suatu aturan dasar atau undang-undang yang dibentuk
dan ditetapkan untuk jangka waktu yang lama. Lembaga tidak boleh sering diubah
atau diganti, lembaga harus permanen -- dikiaskan dengan logam cor atau besi tuang.
I. ASAL BUDAYA MINANG KABAU
SEJARAH MINANGKABAU1. Kerajaan Pertama di Gunung Merapi
1. Maharaja yang Bermahkota
Dikatakan pula oleh Tambo, bahwa dalam pelayaran putera-putera Raja
Iskandar Zulkarnain tiga bersaudara, dekat pulau Sailan mahkota emas mereka jatuh
ke dalam laut. Sekalian orang pandai selam telah diperintahkan untuk mengambilnya.
Tetapi tidak berhasil, karena mahkota itu dipalut oleh ular bidai di dasar laut. Ceti
Bilang Pandai memanggil seorang pandai mas. Tukang mas itu diperintahkannya
untuk membuat sebuah mahkota yang serupa. Setelah mahkota itu selesai dengan
pertolongan sebuah alat yang mereka namakan "camin taruih" untuk dapat menirunya
dengan sempurna. Setelah selesai tukang yang membuatnya pun dibunuh, agar
rahasia tidak terbongkar dan jangan dapat ditiru lagi. Waktu Sri Maharaja Diraja
terbangun, mahkota itu diambilnya dan dikenakannya diatas kepalanya. Ketika
pangeran yang berdua lagi terbangun bukan main sakit hati mereka melihat mahkota
itu sudah dikuasai oleh si bungsu. Maka terjadilah pertengkaran, sehingga akhirnya
mereka terpisah.
Sri Maharaja Alif meneruskan pelayarannya ke Barat. Ia mendarat di Tanah Rum,
kemudian berkuasa sampai ke Tanah Perancis dan Inggris. Sri Maharaja Dipang
membelok ke Timur, memerintah negeri Cina dan menaklukkan negeri Jepang.
2. Galundi Nan Baselo
Sri Maharaja Diraja turun sedikit ke bawah dari puncak Gunung Merapi
membuat tempat di Galundi Nan Baselo. Lebih ke baruh lagi belum dapat ditempuh
karena lembah-lembah masih digenangi air, dan kaki bukit ditutupi oleh hutan rimba
raya yang lebat. Mla-mula dibuatlah beberapa buah taratak. Kemudian diangsur-
angsur membuka tanah untuk dijadikan huma dan ladang. Teratak-teratak itu makin
lama makin ramai, lalu tumbuh menjadi dusun, dan Galundi Nan Baselo menjadi
ramai. ri Maharaja Diraja menyuruh membuat sumur untuk masing-masing isterinya
mengambil air. Ada sumur yang dibuat ditempat yang banyak agam tumbuh dan pada
tempat yang ditumbuhi kumbuh, sejenis tumbuh-tumbuhan untuk membuat tikar,
karung, kembut dsb. Ada pula ditempat yang agak datar. Ditengah-tengah daerah itu
mengalir sebuah sungai bernama Batang Bengkawas. Karena sungai itulah lembah
Batang Bengkawas menjadi subur sekali. eratus-ratus tahun kemudian setelah Sri
Maharaja Diraja wafat, bertebaranlah anak cucunya kemana-mana, berombongan
mencari tanah-tanah baru untuk dibuka, karena air telah menyusut pula. Dalam tambo
dikatakan "Tatkalo bumi barambuang naiak, aia basintak turun". eturunan Sri
Maharaja Diraja dengan "Si Harimau Campa" yang bersumur ditumbuhi agam
berangkat ke dataran tinggi yang kemudian bernama "Luhak Agam" (luhak = sumur).
Disana mereka membuka tanah-tanah baru. Huma dan teruka-teruka baru dikerjakan
dengan sekuat tenaga. Bandar-bandar untuk mengairi sawah-sawah dikerjakan
dengan sebaik-baiknya.
Keturunan "Kambing Hutan" membuka tanah-tanah baru pula di daerah-
daerah Gunung Sago, yang kemudian diberi nama "Luhak 50 Koto" (Payakumbuh)
dari luhak yang banyak ditumbuhi kumbuh.Keturunan "Anjing yang Mualim" ke
Kubang Tigo Baleh (Solok), keturunan "Kucing Siam" ke Candung-Lasi dan anak-
anak raja beserta keturunannya dari si Anak Raja bermukim tetap di Luhak Tanah
Datar. Lalu mulailah pembangunan semesta membabat hutan belukar, membuka
tanah, mencencang melateh, meneruka, membuat ladang, mendirikan teratak,
membangun dusun, koto dan kampung.
3. Kedatangan Sang Sapurba
Tersebutlah kisah seorang raja bernama Sang Sapurba. Di dalam tambo
dikatakan "Datanglah ruso dari Lauik". Kabarnya dia sangat kaya bergelar Raja
Natan Sang Sita Sangkala dari tanah Hindu. Dia mempunyai mahkota emas yang
berumbai-umbai dihiasai dengan mutiara, bertatahkan permata berkilauan dan ratna
mutu manikam.Mula-mula ia datang dari tanah Hindu. Ia mendarat di Bukit
Siguntang Maha Meru dekat Palembang. Disana dia jadi menantu raja Lebar Daun.
Dari perkawinannya di Palembang itu dia memperoleh empat orang anak, dua laki-
laki yaitu Sang Nila Utama, Sang Maniaka; dua perempuan yaitu Cendera Dewi dan
Bilal Daun.Pada satu hari Sang Sapurba ingin hendak berlayar menduduki Sungai
Indragiri. Setelah lama berlayar, naiklah dia ke darat, akhirnya sampai di Galundi
Nan Baselo. Waktu itu yang berkuasa di Galundi Nan Baselo ialah Suri Dirajo,
seorang dari keturunan Sri Maharaja Diraja. Suri Diraja tekenal dengan ilmunya yang
tinggi, ia bertarak di gua Gunung Merapi. Karena ilmunya yang tinggi dan
pengetahuannya yang dalam, ia jadi raja yang sangat dihormati dan disenangi oleh
penduduk Galundi Nan Baselo dan di segenap daerah. Ia juga bergelar Sri Maharaja
Diraja, gelar yang dijadikan gelar keturunan raja-raja Gunung Merapi.
Anak negeri terheran-heran melihat kedatangan Sang Sapurba yang serba
mewah dan gagah. Orang banyak menggelarinya "Rusa Emas", karena mahkotanya
yang bercabang-cabang. Oleh karena kecerdikan Suri Dirajo, Sang Sapurba dijadikan
semenda, dikawinkan dengan adiknya bernama Indo Julito. Sang Sapurba adalah
seorang Hindu yang beragama Hindu. Dia menyembah berhala. Lalu diadakan tempat
beribadat di suatu tempat. Tempat ini sampai sekarang masih bernama Pariangan
(per-Hiyang-an = tempat menyembah Hiyang / Dewa). Dan disitu juga terdapat
sebuah candi buatan dari tanah tempat orang-orang Hindu beribadat. Ada juga yang
mengatakan tempat itu adalah tempat beriang-riang.
4. Raja yang Hanya Sebagai Lambang
Sang Sapurba lalu dirajakan dengan memangku gelar Sri Maharaja Diraja
juga. Tetapi yang memegang kendali kuasa pemerintahan tetap Suri Dirajo sebagai
orang tua, sedangkan sang sapurba hanya sebagai lambang.
Untuk raja dengan permaisurinya dibuatkan istana "Balairung Panjang" tempatnya
juga memerintah. Istana ini konon kabarnya terbuat dari : tonggaknya teras jelatang,
perannya akar lundang, disana terdapat tabuh dari batang pulut-pulut dan gendangnya
dari batang seleguri, getangnya jangat tuma, mempunyai cenang dan gung, tikar daun
hilalang dsb.
Karena Pariangan makin lama makin ramai juga Sang Sapurba pindah ke
tempat yang baru di Batu Gedang. Seorang hulubalang yang diperintahkan melihat-
lihat tanah-tanah baru membawa pedang yang panjang. Banyak orang kampung yang
mengikutinya. Mereka menuju ke arah sebelah kanan Pariangan. Terdapatlah tanah
yang baik, lalu dimulai menebang kayu-kayuan dan membuka tanah-tanah baru.
Selama bekerja hulubalang itu menyandarkan pedang yang panjang itu pada sebuah
batu yang besar. Banyak sekali orang yang pindah ke tempat yang baru itu. Mereka
berkampung disitu, dan kampung baru tempat menyandarkan pedang yang panjang
itu, sampai sekarang masih bernama Padang Panjang.Lama kelamaan Padang Panjang
itu jadi ramai sekali. Dengan demikian Pariangan dengan Padang Panjang menjadi
sebuah negeri, negeri pertama di seedaran Gunung Merapi di seluruh Batang
Bengkawas, yaitu negeri Pariangan Padang Panjang. Untuk kelancaran pemerintahan
perlu diangkat orang-orang yang akan memerintah dibawah raja. Lalu bermufakatlah
raja dengan orang-orang cerdik pandai. Ditanam dua orang untuk Pariangan dan dua
orang pula untuk Padang Panjang. Masing-masing diberi pangkat "penghulu" dan
bergelar "Datuk". · Dt. Bandaro Kayo dan Dt. Seri Maharajo untuk Pariangan · Dt.
Maharajo Basa dan Dt. Sutan Maharajo Basa untuk Padang Panjang. Orang-orang
yang berempat itulah yang mula-mula sekali dijadikan penghulu di daerah itu. Untuk
rapat dibuat Balai Adat. Itulah balai pertama yang asal sebelum bernama
Minangkabau di Pariangan.
5. Sikati Muno
Seorang orang jahat yang datang dari negeri seberang tiba pula di daerah itu.
Karena tubuhnya yang besar dan tinggi bagai raksasa ia digelari orang naga "Sikati
Muno" yang keluar dari kawah Gunung Merapi.Rakyat sangat kepadanya dan
didongengkan mereka, bahwa naga itu tubuhnya besar dan panjangnya ada 60 depa
dan kulitnya keras. Ia membawa bencana besar yang tidak terperikan lagi oleh
penduduk. Kerjanya merampok dan telah merusak kampung-kampung dan dusun-
dusun. Padi dan sawah diladang habis dibinasakannya. Orang telah banyak yang
dibunuhnya, laki-laki, perempuan dan gadis-gadis dikorbankannya.
Keempat penghulu dari Pariangan-padang Panjang diutus Suri Drajo
menghadap Sang Sapurba di Batu Gedang tentang kekacauan yang ditimbuklan oleh
Sikati Muno. Untuk menjaga prestisenya sebagai seorang semenda, Sang Sapurba
lalu pergi memerangi Sikati Muno. Pertarungan hebat pun terjadi berhari-hari
lamanya. Pedang Sang Sapurba sumbing-sumbing sebanyak seratus sembilan puluh.
Akhirnya naga Sikati Muno itu mati dibunuh oleh Sang Sapurba dengan sebilah keris.
Keris tersebut dinamakan "Keris Sikati Muno", keris bertuah, tak diujung pangkal
mengena, jejak ditikam mati juga.
Sejak itu amanlah negeri Pariangan-Padang Panjang, dan semakin lama
semakin bertambah ramai. Oleh sebab itu Sang Sapurba memerintahkan lagi mencari
tanah-tanah baru. Pada suatu hari raja sendiri pergi keluar, melihat-lihat daerah yang
baik dijadikan negeri. Dia berangkat bersama-sama dengan pengiring-pengiringnya.
Ia sampai pada suatu tempat mata air yang jernih keluar dari bawah pohon tarab.
Sang Sapurba berpikir, tanah itu tentu akan subur sekali dan baik dijadikan negeri.
Lalu diperintahkannyalah membuka tanah-tanah baru ditempat itu. Sampai sekarang
tanah itu dinamakan Sungai Tarab. Kemudian hari jadi termasyhur, tempat
kedudukan "Pamuncak Koto Piliang" Dt. Bandaharo di Sungai Tarab. Selain itu raja
menemui pula setangkai kembang teratai di daerah itu, kembang yang jadi pujaan
bagi orang-orang Hindu. Raja menyuruh mendirikan sebuah istana di tempat itu.
Setelah istana itu siap raja lalu pindah bertahta dari Pariangan-Padang Panjang ke
tempat yang baru itu, yang kemudian dinamakan negeri Bungo Satangkai, negeri
yang kedua sesudah Pariangan-Padang Panjang.
Kerajaan minangkabau baru
Pusat erajaan kembali lagi ke Pariangan Padang Panjang disebut awal masa
kerajaan Minangkabau Baru. Sejak inilah diciptakan dan dikukuhkan aturan adat
Minangkabau yang kita amalkan sampai sekarang. Walaupun telah bergnati musim
adat Minangkabau tetap terpakai disebut; Tidak lakang oleh panas, tidak lapuk oleh
hujan. Siapapun diantara putra-putri Minangkabau yang dengan sengaja melanggar
aturan adat itu, akan tersisih hidupnya dalam keluarga sendiri.
Tahun 1127, Sultan Sri Maharaja Diraja menikah dengan puti Indo Jelita,
yakni adik kandung dari Datuk Suru Dirajo. Setelah 14 tahun menikah, ternyata
belum juga mendapat keturunan. Maka atas sepakat dewan kerajaan, Sultan Sri
Maharaja Diraja menikah lagi dengan Puti Cinto Dunia. Setelah dua tahun menikah
dengan Puti Cinto Dunia, tidak ada juga tanda-tanda kehamilan Puti tsb. Maka Sultan
menikah lagi dengan Puti Sedayu.
Atas rahmat Tuhan, tahun 1147, lahirlah Sultan Paduko Basa dari permaisuri
Puti Indo Jelito, yang kemudian diangkat sebagai Raja Minangkabau, bergelar Datuk
Ketemanggungan. Tahun itu juga lahir pula Warmandewa dari Puti Cinto Dunia,
yang kemudian bergelar Datuk Bandaharo Kayo. Tahun 1148, lahir lagi Reno Shida
dari Puti Sedayu, yang kemudian bergelar Datuk Maharajo Basa. Dengan demikian
telah 3 orang putra Raja, masing-masing dari tiga orang ibu.
Tahun 1149, Sultan sri Maharaja Diraja mangkat dan waktu itu anak raja yang
tertua masih berusia 2 tahun. Atas sepakat dewan kerajaan, Ibu Suri Puti Indo Jelito,
langsung memegang tampuk kerajaan Minangkabau sementara menunggu Sutan
Paduko Basa menjadi dewasa. Tugas harian dilaksanakan oleh tiga pendamping raja
yakni Datuk Suri Dirajo, Cetri Bilang Pandai dan Tantejo Gurano.
Karena kasih sayang Datuk Suri Puti Indo Jelito menjanda, lalu dinikahkan
dengan Cetri Bilang Pandai. Dari perkawinannya itu melahirkan 5 orang anak :
Jatang Sutan Balun bergelar Datuk Perpatih Nan Sabatang (lahir 1152)
Kalap Dunia bergelar Datuk Suri Maharajo nan Banego-nego (lahir 1154)
Puti Reno Judah lahir 1157, kemudian dibawa oleh Datuk Perpatih Nan Sabatang ke
Lima Kaum untuk keturunan kemenakannya nan menjadi penghulu
Puti Jamilan lahir 1159, kemudian dibawa Datuk Ketemanggungan ke Sungai Tarab
dan ke Bunga Setangkai untuk keturunannya nanti menjadi raja dan penghulu
Mambang Sutan lahir th 1161, setelah berumur 4 th bergelar Datuk Suri Dirajo
menggantikan gelar mamaknya (abang dari Puti Indo Jelito)
Mambang Sutan merupakan kemenakan pertama di Minangkabau yang
menerima gelar dari mamaknya. Tahun 1165 yakni sewaktu Sutan Paduko Basa telah
berumur 18 tahun, beliau diangkat sebagai penghulu bergelar Datuk
Ketumanggungan, sekalipun menduduki tahta kerajaan Minangkabau, pengganti raja
yang telah 16 tahun mengemban tugas dari ibunya Puti Indo Jelito. Selain itu, semua
anak laki-laki Sultan Sri Maharaja Diraja dinobatkan pula menjadi penghulu.
Tahun 1174 kerajaan Minangkabau baru memperluas daerah adatnya ke Sungai
Tarab, Lima Kaum dan Padang Panjang. Masing-masing daerah diduduki oleh
seorang penghulu anak dari tiga orang istri Sultan Sri Maharaja Diraja. Karena
kepadatan penduduk daerah Pariangan maka tahun 1186-1192 diadakan perpindahan
penduduk, maka terbentuklah Luhak Nan Tigo.
Pada masing-masing luhak dibentuk beberapa kelarasan dan pada kelarasan
dibentuk pula beberapa suku. Adapun suku dalam daerah kerajaan Minangkabau
diatur menurut garis keturunan ibu. Siapapun bapak dari seorang anak atau apapun
pangkat bapaknya, namun suku anaknya menurut suku ibunya. Untuk mengukuhkan
berdirinya suku, maka harta pusaka dari nenek, diwariskan kepada ibun dan dari ibu
diwariskan pula kepada anak perempuan. Aturan adat yang demikian disebut
Matrilinial. Hanya dua daerah di dunia ini yang memakai aturan Matrilinial. Satu
didaerah pedalaman Hindia, asal nenek moyangnya dahulu 2000 tahun sebelum
masehi. Dan satu lagi berkembang di Sumbar. Bagi perempuan harta pusaka bukan
untuk kepentingan pribadi, tapi untuk jaminan hidup keturunan suku.
Pada tahun 1292, cicit dari Puti Jamilan, bernama Putri Dara Jingga yang
pemangku Putri Mahkota, dinikahkan dengan Mahisa Anabrang, Panglima kerajaan
Singhasari, keluarga dari Raja Kartanegara. Sebelum menikah terlebih dahulu Mahisa
di-islamkan. Tahun 1293 Puti Dara Jingga sedang hamil, pergi mengikuti suaminya
pulang ke Singhasari yang dipanggil oleh raja Pertama Majapahit (Raden Wijaya).
Putri Dara Jingga membawa adik seayah dengannya yaitu Puti Dara Petak untuk
pengasuh anaknya yang akan lahir. Beberapa bulan dikerajaan Majapahit yang
mengambil alih kerajaan Singhasari itu, lahirlah anak dari Puti Dara Jingga yang
diberi nama Adityawarman.
Puti Dara Petak, dinikahi oleh Raja Majapahit (Raden Wijaya). Puti Dara
Petak berubah nama menjadi Diyan Sri Tribuaneswari. Walaupun telah menjadi istri
Raja Majapahit, Puti Dara Petak tetap mengasuh Adityawarman di kerajaan
Majapahit.Karena Datuk Ketumanggungan telah sangat tua, maka tahun 1295, Puti
Dara Jingga dipanggil pulang ke Minangkabau untuk menjadi Raja di Minangkabau
dengan panggilan Bundo Kanduang. Anak Bundo Kanduang yang bernama
Adityawarman tetap tinggal dikerajaan Majapahit, karena Puti Dara Petak tidak mau
melepasnya pulang, ingin terus mengasuh anak kakaknya.
Setelah Bunda Kandung menjadi Raja Minangkabau, memanglah Datuk
Ketumanggungan mangkat dalam usia 149 tahun dan disusul oleh meninggalnya
Datuk Perparih Nan Sebatang dalam usia 146 tahun.Si Kambang Bendahari (dayang-
dayang utama dari Bunda Kandung) dinikahkan dengan Selamat Panjang Gobang
(1292) yakni seorang diplomat utusan dari kerajaan Cina (khubilai Khan). Sebelum
menikah terlebih dahulu Selamat Panjang Gombak di-Islamkan. Perkawinan itu
melahirkan seorang anak bernama Cindur Mato th 1294. Cindur Mato diasuh ilmu
perang oleh Mahisa Anabrangyang yang teringat akan anak kandungnya
Adityawarman jauh di Majapahit. Selain itu Cindur Mato dididik ilmu silat pula oleh
ayah kandungnya Selamat Panjang Gombak. Maka menjadilah Cindur Mato seorang
pendekar yang tangguh dan Panglima kerajaan Minangkabau yang tiada tandingan
dizamannya.
Adityawarman sendiri yang Putra Mahkota Kerajaan Minangkabau, dididik
ilmu perang dan ilmu kerjaan oleh Majapahit. Adityawarman pernah menjadi
Wirdamatri yang merupakan predikat setaraf dengan Mpu Nala dan Maha Patih.
Karena itu Adityawarman salah seorang Tri Tunggal Kerajaan Majapahit.Setelah
dewasa pulanglah Adityawarman menemui Bundo Kandung dan kawin dengan Puti
Bungsu (anak mamaknya Rajo Mudo) dari Ranah Sikalawi-Taluk Kuantan, sebelum
menikah Adityawarman yang menganut Budha, terlebih dahulu di-Islamkan.
Pada tahun 1347 Adityawarman dinobatkan menjadi Raja Minangkabau
bergelar Dang Tuanku (Sutan Rumandung). Pernikahan Adityawarman dengan Puti
Bungsu melahirkan anak yang bernama Ananggawarman.
Gahah Mada pernah marah kepada Adityawarman karena tidak mau takluk
kepada Majapahit. Tapi Adityawarman tidak segan kepada Gajah Mada, karena
mereka sependidikan. Gajah Mada mencoba menyerang Minangkabau pada th 1348,
tapi gagal, malah Adityawarman pernah membantu Majapahit menaklukkan Bali.
Sewaktu Minangkabau dibawah pimpinan Ananggawarman tahun 1375-1417,
pertahanan kerajaan Minangkabau telah sangat kuat. Patih Wikrawardhana dikerajaan
Majapahit, masih mencoba menyerang kerajaan Minangkabau tahun 1409, tapi tetap
tidak berhasil. Itu merupakan serangan yang terakhir terhadap Minangkabau.
Kalau dizaman Datuk Ketumanggungan dan Datuk Perpatih Nan Sabatang,
kerajaan Minangkabau terkenal dengan aturan adat dan filsafahnya, maka dizaman
Bundo Kanduang, Adityawarman dan Ananggawarman kerajaan Minangkabau
terkenal dengan keahlian Cindur Mato sebagai panglima perangnya.
Sesudah Ananggawarman tidak terdengar lagi kegiatan Raja Minangkabau,
mungkin karena raja dan penghulunya tidak lagi membuat ubahan, baik untuk
kerajaan, maupun untuk rakyat yang memang telah sempurna dibentuk oleh cerdik
pandai terdahulu.
Demikian sempurnanya aturan adat dikerjakan Minangkabau sangat pula
membantu pelaksanaan aturan adat itu, karena adat Minangkabau disusun bersendi
syarak (agama Islam) dan syarak bersendi Kitabullah.
Adat Nagari dan Keturunan Orang Minangkabau
ADAB
Adapun adab yang pertama, patut kita berkasih-kasihan antara sesama hamba Allah dengan sahabat kenalannya, dengan kaum kerabatnya serta sanak saudaranya.
Adapun adab yang kedua, hormat kepada ibu dan bapak, serta guru dan raja, mamak dan ninik serta orang mulia-mulia.
Adapun adab yang ketiga, yang tua wajib dimuliakan , yang muda patut dikasihi, sesama remaja dibasa-basikan (dipersilakan / dilayani dengan baik).
Adapun adab yang keempat, adab berkorong dan berkampung, adab berkaum kerabat, jika sukacita sama-sama ketawa, kalau dukacita sama-sama menangis. Bertolong-tolongan pada jalan kebaikan, jangan bertolong-tolongan pada jalan maksiat, atau jalan aniaya, jangan memakai khizit dan khianat serta loba dan tamak, tidak usah berdengki-dengkian sesama hamba Allah, pada jalan yang patut-patut; janganlah memandang kepada segala manusia, dengan cara bermasam muka, itulah dia yang bersama adat yang patut, yang kita pakaikan setiap hari.
TERTIB
Adapun tertib kepada raja-raja dan orang-orang besar serta kepada alim ulama; kepada ibu dan bapak; dan kepada ninik mamak dan orang tua-tua dengan orang mulia-mulia; jikalau menyambut barang sesuatu hendaklah meletakkan tangan kanannya diatas tangan kirinya.
Sewaktu mengunjukkan barang sesuatu, duduk menghadap dengan cara bersimpuh,
jika berjalan mengiring di belakang; jikalau sama-sama minum dan makan, hendaklah kemudian daripadanya, jangan meremas-remas nasi, jangan mengibas-ngibaskan tangan kearah belakang atau samping kanan belakang sehingga besar sekali kemungkinan ada orang lain atau sekurang-kurangnya dinding rumah akan kejipratan air bekas pembasuh tangan yang masih melengket dijari-jari tangan. Selain dari itu lebihkanlah menekurkan kepala daripada menengadah kepadanya dan apabila berkata-kata hendaklah dengan suara yang lemah lembut.
SIFAT PEREMPUAN
Adapun setiap wanita itu hendaklah dia berhati sabar; menurut perintah suaminya, serta ibu bapaknya; baikpun ninik mamaknya; kalau dia berkata-kata hendaklah merendahkan diri terhadap mereka itu. Dan wajib baginya untuk mempelajari ilmu dan tertib sopan, serta kelakuan yang baik-baik; menghindarkan segala macam perangai yang akan menjadi cela kepadanya, atau kepada suaminya, atau kepada kaum kerabatnya, yang timbul oleh karena tingkah laku dan perangainya yang kurang tertib, hemat cermat. Kalau dia sudah bersuami, hendaklah dia berhati mukmin terhadap suaminya itu.PERANGAI
Adapun perangai yang wajib, berlaku atas segala makhluk, baik laki-laki maupun perempuan; ialah menuntut ilmu, dan mempelajari adat dan hormat, dan merendahkan dirinya pada tempatnya juga, dan wajib dia berguru, sifat berkata-kata yang "mardesa" (tertib sopan; hemat cermat) bagaimana bunyi yang akan baik, didengar oleh telinga si pendengar, serta dengan perangai yang lemah lembut juga dilakukan, dengan halus budi bahasanya, karena kita berlaku hormat kepada orang-orang besar dan orang-orang mulia dan orang-orang tua, supaya terpelihara daripada umpat dan caci; itulah kesempurnaan perbasaan bagi orang baik-baik, yang terpakai dalam nagari atau dalam alam ini.
HUTANG BAGI ORANG TUA-TUA
Adapun yang menjadi hutang bagi orang tua-tua dan cerdik pandai serta orang mulia-mulia dan segala arif bijaksana yaitu harus baginya mengingatkan kepada segala ahlinya, dan kepada segala orang nan percaya kepadanya, dan segala kaumnya, yang tidak ikut melakukan perangai dan tertib yang baik-baik.
Maka hendaklah dibantahi; segala kelakuan mereka itu, yang bersalahan dengan kebenaran juga, memberi petunjuk ia akan segala kaumnya itu, supaya dia melakukan segala perangai yang baik-baik dan membuangkan segala perangai yang kurang baik itu, supaya mudah sekalian mereka itu mengetahui akan keindahan dan kemuliaan
yang terpakai oleh orang besar-besar yang membawa kepada jalan kebajikan, dan kesempurnaan hidupnya, supaya ingat segala anak kemenakannya itu kepada yang baik, dan lembut hatinya yang keras itu, karena hati lebih keras dari batu dan besi. Apabila sudah berkata-kata dengan orang tua-tua dan orang cerdik pandai itu; dengan ilmunya dan pengetahuannya yang sempurna, tidak boleh tidak akan lembutlah orang yang keras-keras itu oleh muslihatnya, dan kendorlah yang tegang itu, sebab kepandaiannya berkata-kata, melakukan nasihat nan baik-baik itu. Karena itu wajiblah bagi orang yang tua-tua dan cerdik pandai itu akan menajak segala kaum keluarganya dan orang yang percaya kepadanya, dengan perkataan yang lemah lembut juga, serta tutur kata yang baik-baik, akan menarik hati sekalian mereka itu, karena sekalian jalan kebajikan, memberi sukahatinya mendengarkan; serta wajib juga kepada orang tua-tua dan cerdik pandai itu, akan bercerita dan memberi ingat kepada segala kaum kerabatnya, apapun cerita dan kabar; baik maupun buruk; menceritakan kabar-kabar yang dahulu kala, yang dilihat dan didengarnya, dengan menyatakan kesan-kesannya yang baik ataupun yang jelek. Supaya menjadi pengajaran dan peringatan juga untuk semua ahli baitnya; yakni kabar-kabar yang kira-kira cocok dengan pendapat dan pikiran si pendengar. Demikianlah yang wajib dipakaikan oleh orang tua-tua dan cerdik pandai serta arif bijaksana;"menyigai-nyigaikan"(sigai=diusut, diselidiki sebaik-baiknya; di dalam ini berbarti mendengarkan/menghampirkan dirinya) artinya, janganlah dia mengatakan jauhnya dengan mereka itu, melainkan wajib dia menyatakan hampirnya juga, supaya tertambah-tambah kasih sayangnya, kaum kerabatnya itu dan murah baginya melakukan segala nasihat dan petunjuk yang dilakukannya kepada sekalian orang.
ADAT BERKAUM BERKELUARGA
Apabila ada kerja dalam kampung atau dalam suku dan nagari, baik "kerja yang baik" (kerja yang menyukakan hati) maupun "kerja yang tidak baik" (dukacita, kematian, musibah dan kerugian yang mendadak); jikalau suka sama-sama ketawa, kalau duka sama-sama menangis; jika pergi karena disuruh, jika berhenti karena dilarang; artinya semua perbuatan hendaklah dengan sepengetahuanpenghulu-penghulunya juga, serta orang tua-tuanya dan sanak saudaranya yang patut-patut. Demikianlah adat orang berkaum keluarga dan beranak berbapak, beripar besan, berindu bersuku. Itulah yang dipertalikan dengan adat lembaga, yang "persaluk urat, yang berjumbai akar, berlembai pucuk" (bertali kerabat) namanya, menyerunduk sama bongkok, melompat sama patah; kalau ke air sama basah, jika ke api sama letup, itulah yang dinamakan "semalu sesopan", kalau kekurangan tambah-menambah, jika "senteng bilai-membilaia', yang berat sama dipikul dijunjung dan yang ringan sama dijinjing.
Adat penghulu kepada anak kemenakan, baik dalam pekerjaan yang baik maupun didalam pekerjaan yang tidak baik. Apabila sesuatu persoalan anak kemenakan disampaikan kepada penghulu dan orang tua-tua wajiblah bagi beliau itu; bila kusut
diselesaikan, bila keruh diperjernih, menghukum dengan jalan keadilan, beserta dengan orang tua-tuanya disana.
Adapun yang dikatakan tua disana, ialah orang yang cerdik pandai, orang yang berakal juga, yang akan menimbang buruk dengan baik, tinggi dengan rendah, supaya menjadi selesai seisi kampungnya itu.
Jika tidak putus oleh penghulu-penghulu dan orang tua-tua didalam masing-masing kampung mengenai apa-apa yang diperselisihkan oleh anak buahnya; wajiblah kepada penghulu-penghulu dan orang tua-tua tersebut untuk membawa "serantau hilir, serantau mudik" (sepanjang sungai kesana kemari mencarikan air yang jernih, sayak yang landai" (keadilan) katian (timbangan dengan ukuran berat sekati) yang genab; supaya diperoleh kata kebenaran dan aman segala kaum keluarganya.
Adat orang menjadi "kali" (Tuan Kadi; penghulu nikah), pendeta dan alim ulama, imam, khatib dan bilal serta maulana; hendaklah dia mengetahui benar-benar segala aturan agama (syarat; syariat Islam) di dalam surau dan mesjid-mesjidnya atau didalam segala majelis perjamuan, dan pada tempat yang suci-suci baikpun di dusun-dusun atau di medan majelis orang banyak, hendaklah selalu dia melakukan perangai nan suci dan hormat, supaya menjadi suluh, kepada segala isi nagari dan yang akan diturut, oleh segala murid-muridnya. Wajib dia mengatur segala penjagaan nan bersalahan, dalam mesjid dan surau dan didalam majelis perjamuan yang akan menjadi cacat dan cela bagi ketertiban agamanya, yang boleh membinasakan tertib kesopanan orang-orang "siak" (santri) dan alim ulama yang sempurna.
ADAT LAKI-LAKI KEPADA WANITA YANG SUDAH DINIKAHINYA
Wajib laki-laki itu memberi nafkah lahir dan bathin kepada istrinya dan memberi tempat kediaman serta memberi minum dan makannya serta pakaian sekurang-kurangnya dua persalin setahun; dan wajib pula bagi perempuan itu berperangai yang sempurna kepada segala ahli-ahli (karib bait) suaminya dengan perangai yang hormat dan tertib sopan seperti adab kepada suaminya juga. Demikianlah pula wajiblah bagi lelaki tsb berperangai nan sopan, kepada segala kaum kerabat anak istrinya seperti dia melakukannya terhadap kaum kerabatnya sendiri yang patut-patut. Cara bagaimana hormatnya istri kepada ibu bapaknya dan ninik mamaknya begitu pulalah hendaknya dia menghormati dan mempunyai rasa malu terhadap ibu bapak dan ninik mamak istrinya itu. Yakni dengan basa-basi yang lemah lembut dan hendaklah dia memberi petunjuk akan anak istrinya yang alpa dalam menghormati kaum kerabatnya dan ibu bapak serta ninik mamaknya yang sepatutnya dihormatinya, supaya istrinya itu berlaku baik dan beradat yang sempurna terhadap kepada ahli-ahlinya (karib baitnya). Wajib pula suami melarang istrinya berperangai yang salah menurut adab dan tertib yang sopan dan santun, supaya istrinya itu tetap menurut jalan yang baik-baik dan
sopan; begitulah yang sebaik-baiknya yang dilakukan oleh segala suami terhadap istrinya masing-masing.
MILIK
Ada berbagai milik; ada milik raja, ada milik penghulu, ada milik kadi, ada milik dubalang dan pegawai, ada milik imam dan khatib dan ada pula milik orang banyak. Masing-masing milik tsb tidak boleh dikuasai oleh yang bukan pemiliknya.
Adapun yang menjadi milik raja itu adalah memerintah dan menghukum segala perselisihan hamba rakyatnya yang disampaikan kepadanya dan menjaga kesentosaan nagari, dan mengetahui dia akan perangai sekalian orang-orang yang dibawah kekuasaannya serta berhubungan dengan pembantunya dan apabila pembantu-pembantunya bersalah maka diapun akan menghukum mereka itu juga supaya nagari menjadi sempurna dan rakyat menjadi sentosa.
Adapun milik penghulu itu adalah menjaga akan kesentosaan dan keselamatan anak buahnya; baik yang ada dalam kampung dalam suku, dalam nagari, pada tempat masing-masing, dan wajib baginya menentukan batas dan "bintalak" (pasupadan; sempadan) milik anak buahnya didalam pegangan masing-masingnya; dan yang lain-lainnya yang akan memberi kebajikan kepada segala anak buahnya.
Adapun milik tuan Kardi itu adalah menghukumkan menurut jalan hukum dan syariat agama nabi kita Muhammad dan menentukan sah dan batal, pasal dan bab, dalil dan maknanya, setiap hukum agama dikeluarkannya (diterapkannya).
Adapun milik pegawai dan hulubalang, menjelaskan apa-apa yang dititahkan penghulu-penghulu; "menakik" yang keras, "menyudu" yang lunak; berdasarkan jalan kebenaran juga.
Adapun milik bagi orang banyak itu, wajib kita menutur segala titah dan perintah penghulu-penghulu, orang tua-tuanya; memelihara akan pekerjaannya masing-masing; dengan yakin menjalankan titah rajanya dan disampaikan kepadanya; Tuan Kadinya dan ibu bapaknya serta sanak saudaranya.
Adapun milik bagi harta benda itu, seperti sawah ladang, emas perak kerbau sapi, ayam itik dan lain-lainnya, wajib tergenggam pada yang punya milik masing-masing juga, tidaklah harus dimiliki oleh bukan pemiliknya.
HAK
Adapun hak itu tidaklah tetap terpegang, kepada yang empunya hak untuk selamanya;
hak yang terpegang ditangan yang empunya masing-masing adalah hak milik namanya. Dan apabila haknya itu dipegang oleh orang lain, maka dinamai "Haknya saja" tetapi yang memiliki orang lain.
Itulah undang-undang yang terpakai dalam nagari di Alam Minangkabau ini yang sepatutnya engkau ketahui terlebih dahulu. Tentukan (usut dan periksa) benarlah dahulu semuanya yang hamba sebut tadi; yang dipakai didalam nagari ini; agar jelas pegangan masing-masing, agar berbeda orang dengan awak; baik jauh maupun dekat.
Hubungan Individu dan Kelompok
Manusia secara alami tidak mungkin hidup sendiri. Setiap individu membutuhkan
orang lain untuk bisa hidup. Sudah menjadi hukum alam dan merupakan takdir Tuhan
bahwa manusia tidak dapat hidup sendiri tanpa orang lain. Manusia membutuhkan
manusia lain untuk hidup bersama dan bekerjasama. Ia telah ditentukan harus hidup
berkelompok dan hidup bermasyarakat.
Kelompok kecil dalam masyarakat Minang adalah suku, sedangkan kelompok
terbesar, terlihat dari kacamata adat Minang adalah nagari. Suku sebagai kelompok
terkecil, seyogianya harus dipahami dan dihayati betul oleh orang-orang Minang.
Kalau tidak akan mudah sekali tergelincir pada pengertian bahwa keluarga terkecil
adalah keluarga batih yang terdiri dari ayah-ibu dan anak-anak. Pengertian yang
keliru inilah yang sering membawa pecahnya kekeluargaan Minang, karena mamak
rumah, dunsanak ibu, bahkan Penghulu suku tidak lagi dianggap keluarga.
Selain itu sifat dasar masyarakat Minang adalah "kepemilikan bersama". Tiap
individu menjadi milik bersama dari kelompoknya. Sebaliknya tiap kelompok itu
menjadi milik dari semua individu yang menjadi anggota kelompok itu. Rasa saling
memiliki ini menjadi sumber dari timbulnya rasa setia kawan (solidaritas) yang
tinggi, rasa kebersamaan, rasa tolong menolong. Tiap individu akan mencintai
kelompok sukunya dan setiap anggota dari satu suku akan selalu mengayomi atau
melindungi setiap individu.
Kehidupan individu terhadap kelompok sukunya bagaikan kehidupan ikan dengan air.
Ikan adalah individu sedangkan air adalah suku tempat hidup. Bila si ikan
dikeluarkan dari air, maka ia akan segera mati. Dari sini lahirlah pepatah yang
berbunyi :
Suku yang tidak bisa dianjak Malu yang tidak bisa dibagi.
Dengan melihat hubungan individu dengan kelompoknya seperti digambarkan diatas,
maka jelas antara individu dan kelompoknya akan saling mempengaruhi. Individu
yang berwatak baik, akan membentuk masyarakat yang rukun dan damai. Sebaliknya
kelompok yang tertata rapi, akan melahirkan individu-individu yang tertib dan
berdisiplin baik.
Dengan demikian nenek moyang orang Minang, telah memberikan kriteria tertentu
yang dianggap ideal untuk menjadi sifat-sifat orang-orang Minang.