Upload
ratnaindriyani
View
23
Download
0
Embed Size (px)
DESCRIPTION
lp
Citation preview
A. Pengertian
Pterigium berasal dari kata Yunani “pterygos” yang berarti “sayap
kecil” (Aminlari dkk, 2010). Pterigium adalah suatu pertumbuhan dari epitel
konjungtiva bulbaris dan jaringan ikat subkonjungtiva yang bersifat
degeneratif dan invasif yang terdapat dicelah kelopak mata bagian medial
atau nasal berbentuk segitiga, dengan puncaknya mengarah kebagian tengah
dari kornea. Pterigium ini lebih sering tumbuh di bagian nasal daripada
dibagian temporal, namun dapat juga terjadi pertumbuhan nasal dan temporal
pada satu mata disebut double pterigium. Pterigium dapat mengenai kedua
mata dengan derajat pertumbuhannya yang berbeda (Erry dkk, 2011).
B. Etiologi
Pterigium diduga disebabkan iritasi kronis akibat debu, cahaya sinar
matahari, dan udara yang panas. Etiologinya tidak diketahui dengan jelas dan
diduga merupakan suatu neoplasama, radang, dan degenerasi (Ilyas, 2009).
C. Epidemiologi
Distribusi pterygium tersebar di seluruh dunia, tetapi lebih banyak di
daerah dengan sinar matahari yang tinggi dan udara yang kering serta tingginya
angin dan debu yang merupakan karakteristik dari daerah di sekitar
khatulistiwa.(Saerang, 2013)
Prevalensinya lebih tinggi pada laki-laki daripada perempuan, karena
laki-laki lebih banyak melakukan aktivitas di luar ruangan sehingga lebih
sering berhubungan dengan faktor risiko terjadi pterigium seperti sinar
ultraviolet, debu, angin dan udara yang kering . Jarang sekali orang menderita
pterygia umurnya di bawah 20 tahun. Untuk pasien umurnya diatas 40 tahun
mempunyai prevalensi yang tertinggi, sedangkan pasien yang berumur 20-40
tahun dilaporkan mempunyai insidensi pterygia yang paling tinggi. (Erry dkk,
2011).
D. Patofisiologi
Ada beberapa teori penyebab terjadinya pterigium, salah satunya teori
penyinaran sinar ultraviolet, terutama UV-B. (Aminlari dkk, 2010).
Pterigium ini biasanya bilateral, karena kedua mata mempunyai
kemungkinan yang sama untuk kontak dengan sinar ultraviolet, debu dan
kekeringan. Semua kotoran pada konjungtiva akan menuju ke bagian nasal,
kemudian melalui pungtum lakrimalis dialirkan ke meatus nasi inferior
(Soewono dkk, 2006).
E. Gejala dan Tanda
Pasien yang menderita pterygia sering mempunyai berbagai macam
keluhan, yang mulai dari tidak ada gejala yang berat, mata kering sampai mata
menjadi merah sekali, pembengkakan mata, mata gatal, iritasi, dan pandangan
kabur disertai dengan jejas pada konjungtiva yang membesar dan kedua mata
terserang penyakit ini. (Aminlari dkk, 2010). Pada selaput bias mata terdapat
gumpalan bening dan terasa perih jika diberi obat tetes mata. (Inascrs, 2011).
Derajat pertumbuhan pterigium ditentukan berdasarkan bagian kornea
yang tertutup oleh pertumbuhan pterigium, dan dapat dibagi menjadi 4
(Gradasi klinis menurut Youngson )
1. Derajat 1: Jika pterigium hanya terbatas pada limbus kornea
2. Derajat 2: Jika pterigium sudah melewati limbus kornea tetapi tidak lebih
dari 2 mm melewati kornea
3. Derajat 3: Jika pterigium sudah melebihi derajat dua tetapi tidak melebihi
pinggiran pupil mata dalam keadaan cahaya normal (diameter pupil sekitar
3-4 mm)
4. Derajat 4: Jika pertumbuhan pterigium sudah melewati pupil sehingga
mengganggu penglihatan (Inascrs, 2011).
F. Penatalaksanaan
Bila pterygium meradang dapat diberikan steroid atau suatu tetes mata
dekongestan. Pengobatan pterygium adalah dengan sikap konservatif atau
dilakukan pembedahan bila terjadi gangguan penglihatan akibat terjadinya
astigmatisme ireguler atau pterygium yang telah menutupi media penglihatan.
Lindungi mata dengan pterygium dari sinar matahari, debu dan udara
kering dengan kacamata pelindung. Bila terdapat tanda radang berikan air mata
buatan dan bila perlu dapat diberi steroid. Bila terdapat delen (lekukan kornea)
beri air mata buatan dalam bentuk salep. Bila diberi vasokontriktor maka perlu
kontrol 2 minggu dan bila terdapat perbaikkan maka pengobatan dihentikan.
(Soewono dkk, 2006).
G. Diagnosa Keperawatan
Preoperasi
1. Gangguan sensori perseptual berhubungan dengan gangguan penerimaan
sensori akibat pterigium.
2. Ansietas berhubungan dengan kurangnya pengetahuan tentang prosedur
invasive (bedah) yang akan dilaksanakan.
Post operasi
1. Perubahan kenyamanan (nyeri) berhubungan dengan trauma jaringan
sekunder terhadap operasi transplantasi kornea.
2. Resiko terhadap infeksi berhubungan dengan prosedur (invasif) bedah.
3. Resiko terhadap injury (cidera) yang berhubungan dengan perubahan
ketajaman penglihatan.
4. Perubahan dalam pesepsi sensori (perseptual) sehubungan dengan luka post
operasi.
H. PATHWAYS
Sinar matahari, debu dan udara panas
Pterigium
Perubahan bentuk kornea Pembuluh darah
melebar
Mata kering Iritasi
Mata merah
Pembedahan
Ggn. Sensori penglihatan
Resiko tinggi infeksi
Ggn. Rasa nyaman : Nyeri
DAFTAR PUSTAKA
Aminlari, A., Singh, R., liang, D., 2010. Management of Pterygium 37–38.
Erry, Mulyani, U.A., Susilowati, D., 2011. Distribusi dan Karakterisitik Pterigium
di Indonesia. Buletin Penelitian Sistem Kesehatan, Buletin Penelitian Sistem
Kesehatan 14, 84–49.
Ilyas, S., 2009. Ikhtisar Ilmu Penyakit Mata. Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia, Jakarta.
Saerang, J.S.M., 2013. Vascular Endothelial Growth Factor Air Mata sebagai
Faktor Risiko Tumbuh Ulang Pterygium. J Indon Med Assoc Volum: 63, 100–
105.
Soewono, W., Oetomo, M.M., Eddyanto, 2006. Pterigium, in: Pedoman Diagnosis
dan Terapi Bag/SMF Ilmu Penyakit Mata Edisi III 2006. pp. 102–104.