Tugas Teknologi an Tanaman III

  • Upload
    l

  • View
    199

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

Pengaruh Residu Herbisida Paraquat + Diuron terhadap Pertumbuhan dan Hasil Baby Corn

BAB I PENDAHULUANPengelolaan dengan menggunakan hebisida umumnya dipraktekkan petani terutama di daerah-daerah yang sukar mencari tenaga kerja, mahalnya upah tenaga kerja dan pada lahan pertanian yang cukup luas. Pemakaian herbisida yang tepat dan benar untuk mengendalikann gulma mempunyai keuntungan seperti daya berantas yang labih baik, hemat waktu dan hemat biaya bila dibandingkan dengan penyiangan dengan tangan. Namun banyak juga pengaruh negative dari herbisida seperti adanya residu yang menyebabkan tanaman menjadi keracunan bahkan bias juga kematian bila residu yang ditinggalkan kedalam tanah berjumlah banyak dan persistensinya lama. Daya persentasi herbisida didalam tanah berbeda-beda. Ada jens-jenis herbisida yang mempunyai daya persistensi yang cukup lama di dalam tanah. Selama herbisida masih ada maka selama itu gulma-gulma tertentu dikendalikan. Sebaliknya tanaman yang peka akan keracunan, tumbuh kerdil, kekuning-kuningan, bahkan dalam kondisi ekstrim tanaman bisa mati(Pane, A. Sudirman dan E.S.Noor,1988). Herbisida Diuron, 3-(3,4-Dichlorophenil)-1 dimethylurea adalah satu golongan urea yang banyak digunakan untuk mengendalikan berbagai macam gulma. Herbisida ini mampu mengendalikan gulma rumput, berdaun lebar dsan teki baik semusim maupun tahunan. Umumnya diaplikasikan secara pra tanam dan pra tumbuh ( Ashton dan Craft,1981). Namun belum diketahui barapa lama persentasinya di dalam tanah dan pengaruh residunya terhadap tanaman utama. Herbisida paraquat (1,1 dimethyl 1-4,4bipiridinium) merupakan salah satu herbisida kontak non selektif yang dapat diberikan secara pra tanam dan pra tumbuh. Herbisida ini dapat terikat kuat pada komponen tanah

setelah aplikasi dan dapat membunuh biji gulma yang sedang berkecambah apabila kontak dengan herbisida ini ( Ashton dan Craft,1981). Namun belum diketahui juga seberapa lama persistensinya di dalam tanah dan pengaruh residunya terhadap tanaman utama. Baby corn (jagung muda) sudah lama dikenal oleh masyarakat Indonesia sebagai sayuran. Karena rasanya lezat dan kandungan proteinnya tinggi, maka Baby corn di gemari. Pengelolaan Baby corn sama dengan pengelolaan jagung biasa. Pengelolaan secara khusus biasanya dalam luasan yang cukup luas. Penanaman jagung dalam skala luas menyebabkan banyak petani menggunakan herbisida dalam pengendalian gulmanya terutama pada pengelolaan tanah pertama. Perlakuan yang demikian dikhawatirkan akan memberikan efek residu pada tanaman yang ditanam. Berdasarkan pemikiran diatas maka perlu dilakukan penelitian untuk mengetahui pengaruh residu herbisida diuron dan paraquat terhadap pertumbuhan dan hasil Baby corn gaung herbisidaC7.

BAB II BAHAN DAN METODE

Percobaan dilakukan di Kelurahan Tanjung Mulia Manna. Pada bulan FebruariMaret 2002. Percobaan ini menggunakan Rancangan Acak Kelompok Lengkap ( RAKL) satu factor perlakuan yang residu dari berbagai dosis herbisida Paracol ( bahan aktif Paraquat + Diuron). Taraf percobaan tersebut adalah: Tanpa Residu ( R0), residu pada dosis 1,0 1 ha-1 (R1), residu pada dosis 1,5 1 ha-1 (R2), residu pada dosis 2,0 1 ha-1 (R3), residu pada dosis 2,5 1 ha-1 (R4), residu pada dosis 3,0 1 ha-1 (R5). Setiap perlaukan di ulang tiga kali. Luas petak percobaan dari masing-masing perlakuan adalah 2m x 3,5 m atau 7m2. Antar petak percobaan berjarak 0,5 m dan jarak antar blok percobaan1,0m 2. Tanah diolah secara minimum yaitu membersihkan gulma gulma yang tumbuh dengan menggunakan cangkul atau kored tanpa membalikkan tanah. Sebelum tanah disemprot dengan herbisida terlebih dahulu petak-petak percobaan dibatasi dengan tali rafia. Kemudian lahan percobaan disemprot sesuai dengan perlakuan dengan menggunakan knapsack sprayer. Kemudian dibuat bedengan sesuai ukuran petakan. Satu minggu setelah penyemprotan benih jagung ditanaman dengan cara ditugal. Jarak tanam 75x25 cm. masing-masing lobang tanam dimasukkan benih jagung dua butir perlubang. Pupuk yang diberikan adalah urea dengan dosis 300 kg ha-1, SP36 kg ha-1 dan KCl 150 kg ha-1. Pupuk urea ,SP 36 dan KCl diberikan dua kali yaitu sebagai pupuk dasar. Setengah bagian lagi diberikan saat munculnya bunga. Pupuk diberikan dengan cara larikan diantara jagung. Perubahan yang diamati meliputi: tingkat keracunan, Tinggi Tanaman, Berat baby corn per tanaman, Panjang baby corn, Spesies gulma dominan, Berat kering gulma.

BAB III HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL 1.Tingkat keracunan jagungUji perbandingan berganda Duncan(DMRT) pada peubah tingkat keracunan jagung umur satu minggu disajikan pada Tabel 1. Table 1. uji Perbandingan berganda Duncan pada peubah tingkat keracunan jagung umur satu minggu ( data ditransformasikan dengan X+0,5) Perlakuan Tanpa residu (control) Residu pada dosis 1,0 l/ha Residu pada dosis 1,5 l/ha Residu pada dosis 2,0 l/ha Residu pada dosis 2,5 l/ha Residu pada dosis 3,0 l/ha Tingkat keracunan 0.707 a 0.707 a 1.052 b 1.581 c 1.581 c 1.871 d

Ket:Angka-angka yang diikuti oleh huruf yang sama dalam satu kolom berbeda tidak nyata pada taraf uji DMRT 0,05.

Uji perbandingan berganda Duncan (DMRT) pada peubah tingkat keracunan jagung umur dua minggu disajikan pada table 2.

Table 2. uji Perbandingan berganda Duncan pada peubah tingkat keracunan jagung umur dua minggu ( data ditransformasikan dengan X+0,5) Perlakuan Tanpa residu (control) Residu pada dosis 1,0 l/ha Residu pada dosis 1,5 l/ha Residu pada dosis 2,0 l/ha Residu pada dosis 2,5 l/ha Residu pada dosis 3,0 l/ha Tingkat keracunan 0.707 a 0.707 a 0.707 a 0.707 a 1.462 b 1.871 c

2.Tinggi tanamanUji perbandingan berganda Duncan (DMRT) pada peubah tinggi tanaman disajikan pada Tabel 3. Tabel 3. Uji perbandingan berganda Duncan (DMRT) terhadap tinggi tanaman Perlakuan Tanpa residu (control) Residu pada dosis 1,0 l/ha Residu pada dosis 1,5 l/ha Residu pada dosis 2,0 l/ha Residu pada dosis 2,5 l/ha Residu pada dosis 3,0 l/ha Tinggi Tanaman (cm) 236.3 c 242.7 c 192.0 b 184.0 b 97.0 a 84.3 a

Ket:Angka-angka yang diikuti oleh huruf yang sama dalam satu kolom berbeda tidak nyata pada taraf uji DMRT 0.05.

3.Berat baby corn pertanamanUji perbandingan berganda Duncan (DMRT) terhadap peubah berat baby corn per petak disajikan pada tabel 4.

Tabel 4. Uji perbandingan berganda Duncan terhadap peubah berat baby corn per tanaman Perlakuan Tanpa residu (control) Residu pada dosis 1,0 l/ha Residu pada dosis 1,5 l/ha Residu pada dosis 2,0 l/ha Residu pada dosis 2,5 l/ha Residu pada dosis 3,0 l/ha Berat Baby Corn(g) 22,5 d 21,1 d 19,4 c 18,2 c 13,7 b 10,9 a

Ket:Angka-angka yang diikuti oleh huruf yang sama dalam satu kolom berbeda tidak nyata pada taraf uji DMRT 0.05.

4. Panjang Baby CornUji perbandingan berganda Duncan (DMRT) disajikan pada tabel 5. Tabel 5. Uji perbandingan berganda Duncan (DMRT) terhadap peubah panjang baby corn. Perlakuan Tanpa residu (control) Residu pada dosis 1,0 l/ha Residu pada dosis 1,5 l/ha Residu pada dosis 2,0 l/ha Residu pada dosis 2,5 l/ha Residu pada dosis 3,0 l/ha Panjang Baby Corn(cm) 12.77 d 12.43 cd 11.53 b 10.73 b 7.87 a 7.40 a

Ket:Angka-angka yang diikuti oleh huruf yang sama dalam satu kolom berbeda tidak nyata pada taraf uji DMRT 0.05.

5. Berat Berangkas Kering JagungUji perbandingan berganda Duncan (DMRT)disajikan pada tabel 6. Tabel 6 menunjukkan bahwa berat berangkasan kering tanaman jagung terendah adalah perlakuan R5 dan berbeda tidak nyata dengan perlakuan R4. Berat berangkasan kering tertinggi adalah pada perlakuan R1 dan tidak berbeda nyata dengan perlakuan R0. Data ini juga menunjukkan bahwa semakin tinggi dosis herbisida doberikan semakin rendah berat berangkasan kering juga. Tabel 6.Uji perbandingan Berganda Duncan (DMRT) pada peubah berat berangkasan kering jagung. Perlakuan Tanpa residu (control) Residu pada dosis 1,0 l/ha Residu pada dosis 1,5 l/ha Residu pada dosis 2,0 l/ha Residu pada dosis 2,5 l/ha Residu pada dosis 3,0 l/ha Berat (g) 568.3 a 616.7 b 410.0 b 296.7 b 89.0 a 73.0 a

Ket:Angka-angka yang diikuti oleh huruf yang sama dalam satu kolom berbeda tidak nyata pada taraf uji DMRT 0.05.

6. Berat kering gulmaHasil uji perbandingan berganda Duncan (DMRT) terhadap peubah ini disajikan pada Tabel 7. Tabel 7.Uji perbandingan Berganda Duncan (DMRT) pada peubah berat kering gulma (Data ditransformasi dengan X+0,5) Perlakuan Tanpa residu (control) Berat (g) 4.94 a

Residu pada dosis 1,0 l/ha Residu pada dosis 1,5 l/ha Residu pada dosis 2,0 l/ha Residu pada dosis 2,5 l/ha Residu pada dosis 3,0 l/ha

3.62 b 3.86 b 0.70 c 0.70 c 0.70 c

Ket:Angka-angka yang diikuti oleh huruf yang sama dalam satu kolom berbeda tidak nyata pada taraf uji DMRT 0.05.

7. Spesies gulma dominanHasil analisis Summed Dominanced Ratio (SDR) untuk melihat spesies gulma yang dominan pada pertanaman jagung disajikan pada tabel 8. Hasil analisis SDR ( Tabel 8) memperlihatkan bahwa spesies gulma dominan utama adalah rumput Eleusine indica, kemudian diikuti oleh teki Cyperus killingia. Dua spesies tersebut menguasai lahan pertanaman jagung sebesar 61.5%. Sedangkan gulma Phylantus debilis ,Euphorbia hirta dan Axonophus compressus relative hamper sama SDRnya. Variasi spesies gulma yang menempati pertanaman jagung sangat sedikit yaitu enam spesies. Tabel 8. Hasil analisis Summed Dominanced Ratio ( SDR ) gulma pada per tanaman jagung. Perlakuan Phylantus debilis Eleusine indica Cyperus killingia Euphorbia hirta Axonophus compressus Cynodon dactylon SDR ( % ) 12.5 39.4 22.1 11.9 12.6 1.4

PEMBAHASANGejala keracunan yang terlihat ternyata pada umur satu minggu dan dua minggu tanaman jagung. Tingkat keracunan semakin tinggi dengan semakin tinggi dosis herbisida Paracol yang diberikan (table 1 dan 2). Pada umur jagung 1 minggu gejala keracunan telah nampak pada dosis paracol 1,5 l/ha dan gejala keracunan tertinggi pada paracol dosis 3,0 l/ha. Gejala keracunan yang terlihat adalah daun terlihat pucat dan kurang normal, kurus, memanjang, agak tipis dan lemas. Gejala seperti ini besar kemungkinan disebabkan oleh residu herbisida paraquat. Asthon dan Craft (1981) menyebutkan bahwa herbisida paraquat dapat menyebabkan kelayuan dan kekeringan daun yang dimulai dari gangguan membran, layu, nekrotis, dan akhirnya kematian daun. Selanjutnya disebutkan bahwa paraquat dapat menekan senyawa-senyawa fotosintesis dan hasil respirasi sehingga daun tidak normal, keras memanjang, tipis, dan lemas. Pada umur jagung dua minggu, gejala keracunan pada umur satu minggu mulai membaik. Pada perlakuan R2 dan R3 sudah tidak memperlihatkan gejala keracunan lagi. Gejala keracunan masih terlihat pada perlakuan R4 (dosis 2,5 l/ha) dan R5 (dosis 3,. l/ha). Hal ini kemungkinan disebabkan oleh tingginya dosis herbisida. Pengaruh keracunan diawal pertumbuhan berdampak pada peubah tingi tanaman (table 3) meskipun residu herbisida sudah tidak ada lagi didalam tanah. Penghambatan diawal tanam mempengaruhi pertumbuhan selanjutnya. Table 3 memperlihatkan semakin tinggi dosis herbisida yang diberikan semakin terhambat pertumbuhan tinggi tanaman. Mess (1960), menyebutkan bahwa paraquat mempengaruhi system fotosintesa yang mengakibatkan fotosintesa sedikit terbentuk atau tidak terbentuk. Lebih lanjut dijelaskan oleh Mess (1960), bahwa dalam system fotosintesis paraquat menghambat reaksi Hill yaitu reaksi pada pemecahan senyawa H20 menjadi H2 dan O2, sehingga sedikit atau terbentuk NADHP atau ATP Ashton dan Craft (1981) menyebutkan Diuron juga menghambat proses fotosintesis yaitu melalui penghambatan atau (memblok) fotosistem II sekaligus mengisolasi fotosistem I dari fotosistesis II.

Pengaruh keracunan diawal pertumbuhan juga menyebabkan berat berangkasan kering tanaman jagung hibrida C7 mnjadi terhambat pula. Perubahan tinggi tanaman dan berat kering merupakan perubahan yang menunjukkan pertumbuhan tanaman. Jelas bahwa semakin tinggi dosis herbisida paracol yang diberikan semakin tinggi pula hambatan terhadap pertumbuhan jagung hibrida C7. Pengendalian gulma dengan menggunakan paracol juga menghambat hasil tanaman jagung. Table 4 dan 5 memperlihatkan bahwa semakin tinggi dosis herbisida diaplikasikan semakin rendah berat baby corn dan panjang baby corn. Table 4 dan 5 tersebut juga memberikan keterangan bahwa dosis herbisida yang bisa ditolerir adalah pada dosis 1,0 l/ha (R1). Hambatan fotosintesis yang terjadi diawal pertumbuhan akibat pemberian herbisida pra tumbuh paracol juga berakibat pada hasil atau produksi baby corn. Antara pertumbuhan vegetative dan reproduktif ada korelasi yang positif. Pertumbuhan vegetative yang terhambat juga berakibat pada hasil (pertumbuhan reproduktif) yang terhambat pula (Harjadi, 1979). Hambatan tersebut menyebabkan produksi rendah dan ukuran buah kecil. Disebutkan lebih lanjut bahwa pada fase vegetatif yaitu pada fase perkembangan akar, batang, dan daun, karbohidrat yang merupakan hasil fotosintesis dipergunakan. Pada fase reproduksi, karbohidrat sebagian besar ditimbun dan tanaman menyimpan sebagian besar karbohidrat yang dibentuknya. Bila pertumbuhan vegetatif terhambat maka karbohidrat yang terbentuk pada biji dan buah menjadi sedikit. Akibatnya berat buah atau hasil maupun ukurannya juga rendah. Tabel 7 memperlihatkan bahwa berat kering gulma tertinggi pada perlakuan control. Hal ini dimengerti mengingat tidak ada pengaruh herbisida pada perlakuan tersebut. pada perlakuan residu pada dosis herbisida 1,0 l/ha (R1) berat kering gulma turun secara drastis yaitu dari 21,96 gram menjadi 12,6 gram per 2500 cm 2. Perlakuan residu herbisida 1,5 l/ha berbeda tidak nyata terhadap perlakuan R1.hal ini menunjukkan bahwa penambahan dosis herbisida dari 1,0 l/ha menjadi 1,5 l/ha berbeda tidak nyata pengaruhnya terhadap berat kering gulma.

Perlakuan residu herbisida dengan dosis 2,0 l/ha menyebabkan gulma tidak ada yang tumbuh pada pertanaman jagung. Demikian juga dengan penambahan dosis menjadi 2,5 l/ha dan 3,0 l/ha. Sukma dan Yakup (1991) menyebutkan bahwa hakekat manajemen pengendalian gulma adalah menekan pertumbuhan gulma sampai tidak mengganggu pertumbuhan tanaman pokok, bukan pemberantasan gulma (eradikasi). Dari data tersebut dapat dikatakan penggunaan herbisida paracol 1,5 l/ha sudah cukup karena tidak mengganggu produksi (berat dan panjang baby corn) sedangkan berat kering gulma sudah tertekan. Tabel 8 memperlihatkan bahwa jenis gulma yang tumbuh di pertanaman jagung pada penelitian ini hanya 6 spesies gulma. Gulma yang paling dominan adalah gulma Eleusine indica dan Cyperus killingia. Dua spesies ini adalah jenis rumput (poales) dan teki (cyperaceae) yang berdaun sempit, sama dengan tanaman jagung itu sendiri. Sukma dan Yakup (1991) menyebutkan ada kecenderungan gulma yang berkompetisi dengan tanaman utama memiliki morfologi yang mirip. Kalau tanaman utama berdaun sempit dan berakar serabut maka gulmanya cenderung berdaun sempit dan akar serabut juga. Dalam aspek pengendalian gulma, bila kita mengendalikan gulma berdaun sempit saja (Eleusine indica, Cyperus killingia, Axonophus compressus, dan Cyynodon dactylon) telah mampu menekan gulma sebesar 75,59%. Summed Dominanced Ratio (SDR) tujuannya untuk mengetahui gulma dominan dan seberapa besar dominannya. Informasi tersebut sangat dibutuhkan dalam perencanaan pengendalian gulma dengan menggunakan pestisida.

BAB IV KESIMPULAN

Residu herbisida diuron dan paraquat berpengaruh sangat nyata terhadap pertumbuhan jagung hibrida C7 dan hasil baby cornnya Dosis herbisida diuron dan paraquat (paracol) yang dapat ditolerir adalah pada dosis 1,0 l/ha Semakin tinggi dosis herbisida diuron dan paraquat semakin rendah pertumbuhan hasil jagung dalam bentuk baby corn Gulma dominan pada pertumbuhan pertanaman jagung adalah gulma Eleusine indica dan Cyperus killingia

DAFTAR PUSTAKA

Anwar, Risvan. 2002. Pengaruh Residu Herbisida Paraquat+Diuron terhadap Pertumbuhan dan Hasil Baby Corn. Available at http://bdpunib.org/akta/artikelakta/2002/35.PDF (Di akses pada tanggal 13 Mei 2010 ).