7
Tujuan EBM EBM bertujuan membantu klinisi memberikan pelayanan medis yang lebih baik agar diperoleh hasil klinis (clinical outcome) yang optimal bagi pasien, dengan cara memadukan bukti terbaik yang ada, keterampilan klinis, dan nilai- nilai pasien (Gambar 1). Penggunaan bukti ilmiah terbaik memungkinkan pengambilan keputusan klinis yang lebih efektif, aman, bisa diandalkan (reliable), efisien, dan cost- effective. Dua strategi digunakan untuk merealisasi tujuan EBM. Pertama, EBM mengembangkan sistem pengambilan keputusan klinis berbasis bukti terbaik, yaitu bukti dari riset yang menggunakan metodologi yang benar. Metodologi yang benar diperoleh dari penggunaan prinsip, konsep, dan metode kuantitatif epidemiologi. Pengambilan keputusan klinis yang didukung oleh bukti ilmiah yang kuat memberikan hasil yang lebih bisa diandalkan (BMJ Evidence Centre, 2010). Dengan menggunakan bukti-bukti yang terbaik dan relevan dengan masalah pasien atau sekelompok pasien, dokter dapat memilih tes diagnostik yang berguna, dapat mendiagnosis penyakit dengan tepat, memilih terapi yang terbaik, dan memilih metode yang terbaik untuk mencegah penyakit. Beberapa dokter mungkin berargumen, mereka telah menggunakan ―buktidalam membuat keputusan. Apakah bukti‖ tersebut merupakan bukti yang baik? Tidak. Bukti‖ yang diklaim kebanyakan dokter hanya merupakan pengalaman keberhasilan terapi yang telah diberikan kepada pasien sebelumnya, nasihat mentor/ senior/ kolega, pendapat pakar, ―buktiyang diperoleh secara acak dari artikel jurnal, abstrak, seminar, simposium. ―Buktiitu merupakan informasi bias yang diberikan oleh industri farmasi dan ―detailer obat. Sebagian dokter menelan begitu saja informasi tanpa menilai kritis kebenarannya, suatu sikap yang disebut gullibleyang menyebabkan dokter poorly-informed‖ dan tidak independen dalam membuat keputusan medis (Sackett dan Rosenberg, 1995; Montori dan Guyatt, 2008). Keadaan tersebut mendorong timbulnya gagasan pendekatan baru untuk menggunakan bukti yang terbaik dalam praktik klinis, disebut EBM (Hollingworth dan Jarvik, 2007). Praktik klinis EBM memberdayakan klinisi sehingga klinisi memiliki pandangan yang independen dalam membuat keputusan klinis, dan bersikap kritis terhadap klaim dan kontroversi di bidang kedokteran (Sackett dan Rosenberg, 1995; Gray, 2001; Guyatt et al., 2004). EBM memberikan pendekatan baru dalam praktik kedokteran klinis yang tidak dilakukan sebelumnya. Contoh, EBM mengajarkan bahwa pengambilan keputusan yang lebih baik tentang terapi bukan berbasis opini (opinion-based decision making, OBDM), atau kebijaksanan konvensional (conventional wisdom) yang tidak berbasis bukti, melainkan berbasis bukti (evidence-based decision making, EBDM), yaitu bukti efektivitas intervensi medis dari kajian sistematis (systematic review), atau randomized controlled trial (RCT), dengan double-blinding dan concealment, dengan ukuran sampel besar (Gambar 2).

Tujuan EBM

Embed Size (px)

DESCRIPTION

Hmm

Citation preview

Page 1: Tujuan EBM

Tujuan EBM

EBM bertujuan membantu klinisi memberikan pelayanan medis yang lebih baik agar diperoleh hasil klinis (clinical outcome) yang optimal bagi pasien, dengan cara memadukan bukti terbaik yang ada, keterampilan klinis, dan nilai- nilai pasien (Gambar 1). Penggunaan bukti ilmiah terbaik memungkinkan pengambilan keputusan klinis yang lebih efektif, aman, bisa diandalkan (reliable), efisien, dan cost- effective.

Dua strategi digunakan untuk merealisasi tujuan EBM. Pertama, EBM mengembangkan sistem pengambilan keputusan klinis berbasis bukti terbaik, yaitu bukti dari riset yang menggunakan metodologi yang benar. Metodologi yang benar diperoleh dari penggunaan prinsip, konsep, dan metode kuantitatif epidemiologi. Pengambilan keputusan klinis yang didukung oleh bukti ilmiah yang kuat memberikan hasil yang lebih bisa diandalkan (BMJ Evidence Centre, 2010). Dengan menggunakan bukti-bukti yang terbaik dan relevan dengan masalah pasien atau sekelompok pasien, dokter dapat memilih tes diagnostik yang berguna, dapat mendiagnosis penyakit dengan tepat, memilih terapi yang terbaik, dan memilih metode yang terbaik untuk mencegah penyakit.

Beberapa dokter mungkin berargumen, mereka telah menggunakan ―bukti‖ dalam membuat keputusan. Apakah ―bukti‖ tersebut merupakan bukti yang baik? Tidak. ―Bukti‖ yang diklaim kebanyakan dokter hanya merupakan pengalaman keberhasilan terapi yang telah diberikan kepada pasien sebelumnya, nasihat mentor/ senior/ kolega, pendapat pakar, ―bukti‖ yang diperoleh secara acak dari artikel jurnal, abstrak, seminar, simposium. ―Bukti‖ itumerupakan informasi bias yang diberikan oleh industri farmasi dan ―detailer obat‖. Sebagian dokter menelan begitu saja informasi tanpa menilai kritis kebenarannya, suatu sikap yangdisebut ―gullible‖ yang menyebabkan dokter ―poorly-informed‖ dan tidak independen dalam membuat keputusan medis (Sackett dan Rosenberg, 1995; Montori dan Guyatt, 2008).

Keadaan tersebut mendorong timbulnya gagasan pendekatan baru untuk menggunakan bukti yang terbaik dalam praktik klinis, disebut EBM (Hollingworth dan Jarvik, 2007). Praktik klinis EBM memberdayakan klinisi sehingga klinisi memiliki pandangan yang independen dalam membuat keputusan klinis, dan bersikap kritis terhadap klaim dan kontroversi di bidang kedokteran (Sackett dan Rosenberg, 1995; Gray, 2001; Guyatt et al., 2004). EBM memberikan pendekatan baru dalam praktik kedokteran klinis yang tidak dilakukan sebelumnya. Contoh, EBM mengajarkan bahwa pengambilan keputusan yang lebih baik tentang terapi bukan berbasis opini (opinion-based decision making, OBDM), atau kebijaksanan konvensional (conventional wisdom) yang tidak berbasis bukti, melainkan berbasis bukti (evidence-based decision making, EBDM), yaitu bukti efektivitas intervensi medis dari kajian sistematis (systematic review), atau randomized controlled trial (RCT), dengan double-blinding dan concealment, dengan ukuran sampel besar (Gambar 2).

OBDM= opinion-based decision making, conventional wisdom

EBDM= evidence- based

Page 2: Tujuan EBM

decision making

Tekanan lingkungan untuk pelayanan medis yang bermutu

Gambar 2 Perubahan paradigma pengambilan keputusan klinis dari berbasis opini ke bukti

EBM menggunakan bukti terbaik dalam praktik klinis. Tetapi apakah bukti terbaik saja cukup untuk pengambilan keputusan klinis dokter? Tidak. Dalam BMJ Sackett et al. (1996) mengingatkan ―...Without clinical expertise, practice risks becoming tyrannized by evidence, for even excellent external evidence may be inapplicable to or inappropriate for an individual patient‖. EBM tidak menempatkan peran bukti-bukti ilmiah terbaik sebagai ―tirani‖ yang menafikan peran penting kedua komponen lainnya. Penggunaan bukti ilmiah terbaik saja tidak cukup bagi dokter untuk memberikan pelayanan medik yang lebih baik. Sebab bukti- bukti terbaik belum tentu dapat atau tepat untuk diterapkan pada pasien di tempat praktik klinis.

Bukti ilmiah terbaik yang ada perlu dipadukan dengan keterampilan/ keahlian klinis dokter. Keterampilan klinis diperoleh secara akumulatif seorang klinisi melalui pendidikan, pengalaman klinis, dan praktik klinis. Keterampilan klinisi yang tinggi diwujudkan dalam berbagai bentuk, khususnya penentuan diagnosis yang lebih akurat dan efisien, pemilihan terapi yang lebih bijak, yang memperhatikan preferensi pasien. Pengalaman dan keterampilan klinis dokter merupakan komplemen penting bagi bukti- bukti, yang diperlukan untuk menghasilkan pelayanan medis yang efektif. Tetapi penggunaan pengalaman dan keterampilan klinis saja tidak menjamin pelayanan medis yang dapat diandalkan. Paradigma baru EBM mengajarkan, pembuatan keputusan klinis yang baik tidak cukup jika hanya didasarkan pada pengalaman klinis yang tidak sistematis, intuisi, maupun alasan patofisiologi, khususnya jika masalah klinis pasien yang dihadapi kompleks (Evidence-Based Medicine Working Group, 1992).

Kedua, EBM mengembalikan fokus perhatian dokter dari pelayanan medis berorientasi penyakit ke pelayanan medis berorientasi pasien (patient-centered medical care). Selama lebih dari 80 tahun sccara kasat mata terlihat kecenderunganbahwa praktik kedokteran telah terjebak pada paradigma ―reduksionis‖, yang memereteli pendekatan holistik menjadi pendekatan ―fragmented‖ dalam memandang dan mengatasi masalah klinis pasien. Dengan pendekatan reduksionis, bukti-bukti yang dicari adalah bukti yang berorientasi penyakit, yaitu ―surrogate end points‖, intermediate outcome, bukti-buktilaboratorium, bukannya bukti yang bernilai bagi pasien, bukti-bukti yang menunjukkan perbaikan klinis yang dirasakan pasien. EBM bertujuan meletakkan kembali pasien sebagai―principal‖ atau ―pusat‖ pelayanan medis. EBM mengembalikan fokus perhatian bahwatujuan sesungguhnya pelayanan medis adalah untuk membantu pasien hidup lebih panjang, lebih sehat, lebih produktif, dengan kehidupan yang bebas dari gejala ketidaknyamanan. Implikasi dari re-orientasi praktik kedokteran tersebut, bukti-bukti yang dicari dalam EBM bukan bukti-bukti yang berorientasi penyakit (Disease-Oriented Evidence, DOE), melainkan bukti yang berorientasi pasien (Patient-Oriented Evidence that Matters, POEM) (Shaugnessy dan Slawson, 1997).

Di samping itu, paradigma EBM mengingatkan kembali pentingnya hubungan antara pasien sebagai ‗principal‘ dan dokter sebagai ‗agent‘ yang dibutuhkan untuk penyembuhan.―Healing requires relationships—relationships which lead to trust, hope, and a sense of being known‖ (Scott et al., 2008). Praktik EBM menuntut dokter untuk

Page 3: Tujuan EBM

mengambil keputusan medis bersama pasien (shared decision making), dengan memperhatikan preferensi, keprihatinan, nilai-nilai, ekspektasi, dan keunikan biologis individu pasien. Sistem nilai pasien meliputi pertimbangan biaya, keyakinan agama dan moral pasien, dan otonomipasien, dalam menentukan pilihan yang terbaik bagi dirinya. Guyattt et al. (2004)mengingatkan dalam editorial BMJ, ―... Because clinicians' values often differ from those of

patients, even those who are aware of the evidence risk making the wrong recommendations if they do not involve patients in the decision making process ". Bukti klinis eksternal bisa memberikan informasi tentang pilihan yang lebih baik untuk suatu terapi, tetapi tidak bisa menggantikan hak pasien, sistem nilai pasien, preferensi pasien, dan harapan pasien, tentang cara yang baik untuk mengatasi masalah klinis pasien. Alasan rasional, bukti eksternal yang terbaik yang dihasilkan riset merupakan inferensi yang bersifat umum di tingkat populasi. Karena bersifat umum maka bukti tersebut tidak bisa mengabaikan keunikan masing-masing individu pasien ketika sebuah tes diagnostik atau terapi akan diterapkan pada masing-masing individu pasien.

Page 4: Tujuan EBM

Manfaat EBM

Ada beberapa alasan perlunya EBM, dua alasan utama sebagai berikut. Pertama, jumlah publikasi medis tumbuh sangat cepat, sehingga para dokter dan mahasiswa kedokteran kewalahan untuk mengidentifikasi bukti yang relevan, berguna, dan dapat dipercaya (Del Mar et al., 2004). Bukti riset yang dipublikasikan sangat banyak jumlahnya. Hampir dua juta artikel kedokteran diterbitkan setiap tahun. Padahal, “not all evidences are created equal”. Tidak semua artikel hasil riset memberikan bukti-bukti dengan kualitas dan validitas (kebenaran) yang sama. Suatu intervensi diagnostik maupun terapetik yang efektif dalam memberikan perbaikan klinis kepada pasien bisa pada saat yang sama mengandung risiko kerugian dan biaya bagi pasien. Selain itu tidak semua bukti dibutuhkan untuk pasien dalam praktik klinis. Karena itu para dokterdan tenaga kesehatan profesional lainnya perlu mengasah keterampilan untuk memilah dan memilih bukti-bukti terbaik yang bisa memberikan informasi yang relevan dan terpercaya, dengan cara yang efektif, produktif, dan efisien (cepat).

Teknologi informasi memberikan kontribusi besar bagi perkembangan EBM (Claridge dan Fabian, 2005). Komputer dan perangkat lunak database memungkinkan kompilasi sejumlah besar data. Internet memungkinkan akses data dan informasi secara masif dalam waktu singkat. Dalam dua dekade terakhir telah dilakukan upaya untuk mengembangkan, mensintesis, menata bukti-bukti pada berbagai database hasil riset, yang bisa digunakan secara online untuk membantu membuat keputusan klinis. MedLine (PubMed), danEmbase, merupakan contoh database hasil riset primer kedokteran yang telah dipublikasikan. Cochrane Library merupakan contoh database hasil riset sekunder (systematic-review/ meta-analysis) yang mensintesis hasil riset primer dengan topik sama.

Pada saat yang sama para ahli epidemiologi mengembangkan strategi untuk menemukan, mengevaluasi, dan menilai kritis tes diagnostik, terapi, dan aplikasi lainnya, untuk mendukung praktik EBM. Metode EBM memudahkan para dokter untuk mendapatkan informasi kedokteran yang dapat dipercaya dari database primer dan sekunder. Kegiatan EBM meliputi proses mencari dan menyeleksi bukti dari artikel hasil riset, menganalisis dan menilai bukti, dan menerapkan bukti kepada pasien.

Kedua, melunturnya “trust” (kepercayaan) masyarakat terhadap integritas pelayanan kedokteran dan praktisi yang memberikan pelayanan medis. Muncul keprihatinan para stakeholders tentang mutu pelayanan kesehatan. WHO dalam Laporan Tahunan Kesehatan Dunia 2008 ―Primary Health Care – Now More Than Ever‖, mengemukakan lima masalah serius pelayanan kesehatan di dunia: (1) inverse care; (2) impoverishing care; (3) fragmented care; (4) unsafe care; (5) misdirected care (WHO, 2008). Sistem pelayanan kesehatan yang ‗fragmented‘ membawa akibat yang tidak diinginkan: inefisiensi, ketidakefektifan, ketidakadilan, komoditisasi, komersialisasi, deprofesionalisasi, depersonalisasi, dan ketidakpuasan terhadap pelayanan kesehatan (Stange, 2009).

Institute of Medicine (IOM) dalam laporan bertajuk ―To Err Is Human‖ mengingatkan pentingnya mengatasi berbagai masalah pelayanan medis yang terjadi di negara maju dan negara berkembang (Khojania et al., 2002; Project HOPE, 2005). Berbagai masalah tersebut mencakup penggunaan prosedur diagnostik yang tidak memiliki nilai informasi, terapi yang tidak efektif, biaya pelayanan kesehatan yang tinggi, pelayanan berkualitas rendah, kesalahan dalam praktik medis (medical error), pelayanan medis yang tidak manusiawi, pengambilan keputusan klinis tanpa dasar bukti ilmiah riset yang kuat.

Page 5: Tujuan EBM

Berbagai masalah tersebut sebagian besar bisa diatasi jika dokter menerapkan prinsip EBM. Per definisi EBM merupakan pendekatan baru dalam memberikan pelayanan kesehatan

Page 6: Tujuan EBM

terdiri atas trilogi: (1) penggunaan bukti-bukti ilmiah terbaik, (2) keterampilan klinis, dan

(3) pemenuhan nilai dan ekspektasi pasien. Hasil penelitian menunjukkan, pendekatan EBMdapat meningkatkan kualitas pelayanan kesehatan dan mencegah kesalahan medis (Price,2000; Leape et al., 2002; Project HOPE, 2005).

Langkah EBM

Sebuah strategi yang efisien untuk menerapkan EBM adalah strategi ―push and pull‖. Dengan ―PUSH‖ (JUST IN CASE) dimaksudkan, bukti-bukti riset terbaik tentang masalah klinis pasien yang sering atau banyak dijumpai di tempat praktik secara proaktif dicari dan dipelajari SEBELUM pasien mengunjungi praktik klinis, lalu bukti-bukti tersebut disimpan ke dalam file atau memori dokter. Dengan ―PULL‖ (JUST IN TIME) dimaksudkan, bukti- bukti riset terbaik yang tersimpan dalam file atau memori dokter ―ditarik‖, diambil, dan digunakan KETIKA pasien mengunjungi praktik klinis. Intinya, praktik EBM terdiri atas lima langkah (Tabel 1) (Sackett, 1997; Straus et al., 2005).

Tabel 1 Lima langkah Evidence-Based MedicineLangkah 1 Rumuskan pertanyaan klinis tentang pasien, terdiri

atas empat komponen: Patient, Intervention, Comparison, dan Outcome

Langkah 2 Temukan bukti-bukti yang bisa menjawab pertanyaan itu. Salah

satu sumber database yang efisien untuk mencapai tujuan itu adalah PubMed Clinical Queries.

Langkah 3 Lakukan penilaian kritis apakah bukti-bukti benar (valid), penting (importance), dan dapat diterapkan di tempat praktik (applicability)

Langkah 4 Terapkan bukti-bukti kepada pasien. Integrasikan hasil penilaian kritis dengan keterampilan klinis dokter, dan situasi unik biologi, nilai-nilai dan harapan pasien

Langkah 5 Lakukan evaluasi dan perbaiki efektivitas dan efisiensi dalam menerapkan keempat langkah tersebut

Kelima langkah EBM bisa disingkat ―5A‖: asking, acquiring, appraising, applying, assessing.

Page 7: Tujuan EBM