Upload
harry-hamyasa
View
44
Download
1
Embed Size (px)
DESCRIPTION
tutorial
Citation preview
TUTORIAL
PERINATOLOGI
HIPOGLIKEMI DAN HIPOTERMI PADA NEONATUS
Oleh:
Venessa Pranata
Karolind Adriani
Pembimbing:
dr. Hj. Sukartini, Sp.A
LABORATORIUM/SMF ILMU KESEHATAN ANAK
FK UNMUL – RSUD A. W. SJAHRANIE
SAMARINDA
2012
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Appendisitis adalah peradangan yang terjadi pada Appendiks vermicularis,
dan merupakan penyebab abdomen akut yang paling sering pada anak-anak
maupun dewasa di seluruh dunia. Terdapat sekitar 250.000 kasus appendisitis
yang terjadi di Amerika Serikat setiap tahunnya dan terutama terjadi pada anak
usia 6-10 tahun. Kelompok umur kurang dari 2 tahun jarang mengalami
apendisitis. Appendisitis akut merupakan kasus bedah emergensi yang paling
sering ditemukan pada anak-anak dan remaja. Sakit perut sebagai keluhan utama
masih memberikan banyak kemungkinan sehingga diagnosis apendisitis akut
menjadi tidak mudah, terutama pada anak-anak.
. Hampir 1/3 anak dengan appendisitis akut mengalami perforasi setelah
dilakukan operasi. Meskipun telah dilakukan peningkatan pemberian resusitasi cairan
dan antibiotik yang lebih baik, appendisitis pada anak-anak, terutama pada anak usia
prasekolah masih tetap memiliki angka morbiditas yang signifikan
Diagnosis appendisitis akut pada anak kadang-kadang sulit. Diagnosis yang
tepat dibuat hanya pada 50-70% pasien-pasien pada saat penilaian awal. Angka
appendectomy negatif pada pediatrik berkisar 10-50%. Riwayat perjalanan
penyakit pasien dan pemeriksaan fisik merupakan hal yang paling penting dalam
mendiagnosis appendisitis.
Semua kasus appendisitis memerlukan tindakan pengangkatan dari appendiks
yang terinflamasi, baik dengan laparotomy maupun dengan laparoscopy. Apabila
tidak dilakukan tindakan pengobatan, maka angka kematian akan tinggi, terutama
disebabkan karena peritonitis dan shock.
1.2 Tujuan
Tujuan pembuatan laporan kasus tutorial ini adalah :
1. Menambah ilmu dan pengetahuan mengenai penyakit yang dilaporkan.
2. Membandingkan informasi yang terdapat pada literatur dengan kenyataan
yang terdapat pada kasus.
BAB II
LAPORAN KASUS
Identitas pasien :
• Ruang perawatan : Melati
• Nama : An. S
• Jenis kelamin : Laki-laki
• Umur : 9 Tahun
• Alamat : Jl. Trikora, Handil bakti, Palaran
• Anak ke : 3 dari 4 bersaudara
Identitas Orang Tua
• Nama Ayah : Tn. M
• Umur : 50 tahun
• Alamat : Jl. Trikora, Handil bakti, Palaran
• Pekerjaan : Bangunan
• Pendidikan Terakhir : SD
• Ayah perkawinan ke : 1
• Riwayat kesehatan ayah : sehat
• Nama Ibu : Ny. H
• Umur : 43 tahun
• Alamat : Jl. Trikora, Handil bakti, Palaran
• Pekerjaan : IRT
• Pendidikan Terakhir : SD
• Ibu perkawinan ke : 1
• Riwayat kesehatan ibu : sehat
Anamnesis
Anamnesis didapatkan dari alloanamnesis. Alloanamnesis dilakukan
terhadap ibu pasien pada tanggal 23 September 2012 pukul 13.00 WITA.
Keluhan Utama
Demam
R i wayat Penyakit Sekarang
Demam dialami pasien sejak 3 hari sebelum masuk RS siang hari saat
pasien pulang dari sekolahnya. Demam ini tanpa disertai menggigil dan terjadi
terus-menerus dan hanya turun jika diberi obat penurun panas. Demam juga
disertai dengan mimisan. Ibu pasien mengaku bahwa pasien memang sering
mimisan sejak dulu. Kemudian pasien dibawa ke klinik terdekat. Namun demam
pasien tidak kunjung reda malah bertambah tinggi. Selasa (16-10-2012) pagi
pasien dibawa ke RS Palaran dan dicurigai terkena DBD. Oleh karena itu, pasien
segera dirujuk ke IGD RS AWS. Pasien datang ke IGD dengan keluhan demam,
mimisan sebanyak 2 kali, muntah-muntah, disertai nyeri perut bagian tengah atas
sehingga pasien sulit bergerak. Keluhan nyeri perut ini baru saja dialami pasien
sejak siang harinya bersamaan dengan muntahnya. 2 hari kemudian saat pasien
dirawat di Ruang Melati, nyeri perut pasien pindah ke daerah kanan bawah.
Keluhan ini juga disertai dengan penurunan nafsu makan.
Riwayat Penyakit Dahulu :
Tidak pernah mengalami keluhan serupa sebelumnya
Riwayat Penyakit Keluarga
Tidak ada anggota keluarga yang mengalami keluhan serupa
Riwayat Kehamilan
• Pemeliharaan Prenatal
• Periksa di : praktek bidan
• Penyakit kehamilan : -
• Obat-obatan yang sering diminum : vitamin
Riwayat Kelahiran :
• Lahir di : rumah
• di tolong oleh : dukun kampung
• Berapa bulan dalam kandungan : 11 bulan
• Jenis partus : spontan
Pemeliharaan postnatal
• Periksa di : bidan
• Keluarga berencana : ya
• Memakai sistem : Hormonal (pil)
• Sikap dan kepercayaan : percaya
Pertumbuhan dan perkembangan anak :
• Berat badan lahir : 3000 gram
• Panjang badan lahir : 48 cm
• Miring : ibu lupa
• Tengkurap : ibu lupa
• Tersenyum : ibu lupa
• Duduk : ibu lupa
• Gigi keluar : ibu lupa
• Merangkak : ibu lupa
• Berdiri : 1 tahun
• Berjalan : 1 tahun
• Berbicara dua suku kata : 1,5 tahun
• Masuk TK : 5,5 tahun
• Masuk SD : 6,5 tahun
Riwayat Makan Minum anak :
• ASI : 0 hari
• Dihentikan : 1 tahun
• Alasan : -
• Susu sapi/buatan : 4 bulan
• Jenis susu buatan : -
• Takaran : -
• Frekuensi : -
• Buah : 1 bulan
• Bubur susu : -
• Tim saring : 4 bulan
• Makanan padat dan lauknya : ibu lupa
Riwayat Imunisasi :
ImunisasiUsia Saat Imunisasi
I II III IV
BCG 1 bulan //////// /////// ///////
Polio 1 bulan - - -
Campak - ///////// //////// ///////
DPT 2 bulan - - ///////
Hepatitis B 2 bulan - - ///////
Keadaan Sosial Ekonomi :
• Pasien tinggal dan dirawat oleh kedua orang tua.
• Konsumsi untuk keluarga pasien berasal dari penghasilan ayahnya sebagai
buruh bangunan
• Dalam satu hari keluarga pasien biasa makan tiga kali sehari dengan nasi,
lauk, pauk, dan buah
• Pasien dan keluarga tinggal di rumah kontrakan yang berdinding beton,
beratap genteng dan lantai semen berukuran 15 x 7 meter, berlantai satu, 3
kamar.
• Dalam satu rumah dihuni oleh enam orang, yaitu: ayah, ibu dan saudara/I
pasien.
• Kamar mandi dan toilet berada di dalam rumah.
• Sumber air: PDAM
• Listrik: PLN
• Pasien memiliki jaminan kesehatan JAMKESDA.
Pemeriksaan Fisik
Dilakukan pada tanggal : 23 September 2012 (pukul 15.00 WITA)
Antropometri
• Berat badan : 22 kg
• Panjang Badan : 132 cm
• BMI : 12,62 Kg/m2
• Lingkar Kepala : 52,5 cm
• Lingkar Lengan Atas : 16 cm
Tanda Vital
• Nadi : 90 x/menit (reguler, isi cukup, kuat angkat)
• Frekuensi napas : 36 x/menit
• Suhu aksiler : 36,7 ⁰C
Keadaan Umum
• Kesan sakit : Sakit sedang
• Kesadaran : compos mentis
• Status Gizi : gizi kurang
Rumus Behrman
BB ideal = (umur dalam tahun x 7)-5 : 2 = 29 kg
Status gizi = BB sekarang/BB ideal x 100% =
= 75,8 % (gizi kurang)
Kepala
• Rambut : hitam
• Mata : cowong (-), edema pre orbita (-/-), anemis (-), ikterik (-), pupil 3
mm / 3 mm, Reflek cahaya +/+
• Hidung : sumbat (-), bau (-), selaput putih (-)
• Telinga : Bersih, Bau (-), sakit (-)
• Mulut : lidah bersih, tonsil dan faring tidak
hiperemi
Leher
• pembesaran kelenjar : (-)
• kaku kuduk : (-)
Kulit
Kering dengan turgor kulit baik
Dada
• Inspeksi : diam simetris, gerak simetris, retraksi suprasternal
(-), retraksi interkostal (-)
• Palpasi : krepitasi (-)
• Perkusi : sonor
• Auskultasi : suara napas vesikuler, ronkhi (-/-), wheezing (-/-)
Jantung
• Inspeksi : Ictus Cordis tidak terlihat
• Palpasi : Ictus Cordis teraba pada ICS V MCL Sinistra
• Perkusi : Batas Kiri = ICS V MCL Sinistra
Batas Kanan = ICS IV PSL Dextra
• Auskultasi : S1/S2 tunggal, reguler, suara tambahan (-)
Abdomen
• Inspeksi : datar, (-)
• Palpasi : nyeri tekan mc.burney (+), rovsing sign (+), psoas
sign (+), obturator sign (-), organomegali (-)
• Perkusi : Timpani
• Auskultasi : Bising usus (+) kesan normal
Ekstremitas
• Akral Hangat, sianosis (-), edema -- --
Pemeriksaan refleks:
Refleks fisiologi :
• Refleks patella : +/+
• Refleks Achilles : +/+
• Refleks tendo biceps : +/+
• Refleks triceps : +/+
Pemeriksaan Penunjang
1. Darah Lengkap (bulan Oktober 2012)
Tanggal 16 17 18 19
Jam IGD 06.00 09.00 17.00 01.00 09.00 17.00 01.00
Hb 15,0 13,9 15 13,4 14 12,4 10,5 10,7
Ht 46,4% 42% 41,2% 40% 42% 37% 32% 33%
Trombosit 89.000 44.000 35.000 34.000 45.000 53.000 35.000 46.000
Leukosit 4000 4700 4000 5300 7900 11.200 8400 11.000
Tanggal 19 20 21 23
Jam 09.00 17.00 01.00 09.00 17.00 01.00 09.00
Hb 10,4 10,2 10,1 10,4 9,7 8,8 9,6 8,8
Ht 29% 31% 31% 29% 30% 27% 29% 27%
Trombosit 75.000 50.000 51.000 75.000 57.000 116.000 182.000 397.000
Leukosit 15200 12.500 16.300 15.200 14.900 19.100 25.300 18.200
Tanggal 17-10-2012, hasil laboratorium pukul 09.00 Dengue IgM dan IgG positif
Hasil USG 23 September 2012
Hasil : Kesan suspek efusi pleura dextra
“Ada cairan dekat daerah liver, supect pleura effusion dextra. Liver, gall bladder,
pancreas, spleen, kedua kidney, urinary bladder, dan caecum tidak tampak
kelainan. Tidak tampak adanya appendicitis atau batu pada traktus urinarius.
Tidak ada ascites intra abdomen et pelvis. Banyak udara dalam GIT.”
Diagnosis Kerja : post DHF dengan Appendisitis akut
Terapi : IVFD RL 20 tpm
Paracetamol 3x250 mg
Ranitidine 3X23 mg iv 50 mg
Pamol 3 X II cth
Vit. B complex 1 X 1 Tab
Inj Cefotaxime 3 x 500 mg iv
Appendictomy emergency
Prognosis : Bonam
Lembar Follow-Up
Tanggal Perjalanan Penyakit Pengobatan
22-10-2012
BB: 22 kg
S: nyeri perut (+), demam (-),
muntah (-), Mencret ± 10X
mulai kemarin
O : CM, nadi 72 kali/menit, RR
24 kali/menit, T: 36,30C,
anemis (-/-), ikt (-/-), rh (-/-),
wh (-/-). Nyeri tekan mc.
IVFD RL 20 tpm
Ranitidine 2X50 mg ivCefotaxime 3X500 mg ivDexametasone 4 mg ivParacetamol 3XII cthKonsul bagian radiologi :
USG abdomen susp. app
Nasi lauk pauk 3 x sehari
burney (+), psoas sign (-),
rovsing sign (-), obturator sign
(-).
23-09-2012
BB: 22 kg
S: nyeri perut (+), demam (-),
mencret (-)
O: CM, nadi 70 kali/menit, RR
36 kali/menit, T: 36,70C,
anemis (-/-), ikt (-/-), rh (-/-),
wh (-/-),Nyeri tekan mc. burney
(+), blumberg sign (+), psoas
sign (+), rovsing sign (-),
obturator sign (-).
Hasil USG 22/10/12 : Tidak
tampak adanya apendisitis
Terapi lanjut
Konsul bagian bedah anak
Appendectomy
emergency, persiapan op :
- prc 1 ui di PMI
- puasakan 4-6 jam
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
3.1. Apendisitis
I. Anatomi
Appendiks merupakan suatu organ limfoid seperti tonsil, payer patch
(analog dengan Bursa Fabricus) membentuk produk immunoglobulin. Appendiks
adalah suatu
struktur
kecil,
berbentuk seperti tabung yang berkait menempel pada bagian awal dari sekum.
Pangkalnya terletak pada posteromedial caecum. Pada Ileocaecal junction terdapat
Valvula Ileocecalis (Bauhini) dan pada pangkal appendiks terdapat valvula
appendicularis (Gerlachi). Panjang antara 7-10 cm, diameter 0,7 cm. Lumennya
sempit di bagian proksimal dan melebar di bagian distal. Appendiks terletak di
kuadran kanan bawah abdomen. Tepatnya di ileosecum dan merupakan pertemuan
ketiga taenia coli (taenia libera, taenia colica, dan taenia omentum). Dari topografi
anatomi, letak pangkal appendiks berada pada titik Mc Burney, yaitu titik pada
garis antara umbilicus dan SIAS kanan yang berjarak 1/3 dari SIAS kanan.
Gambar 1. Anatomi Valvula Ileocecalis
Appendiks vermiformis disangga oleh mesoapendiks (mesenteriolum)
yang bergabung dengan mesenterium usus halus pada daerah ileum terminale.
Mesenteriolum berisi a.Apendikularis (cabang a.ileocolica). Orificiumnya terletak
2,5 cm dari katup ileocecal. Mesoapendiknya merupakan jaringan lemak yang
mempunyai pembuluh appendiceal dan terkadang juga memiliki limfonodi kecil.
Gambar 2. Anatomi Appendiks
Struktur appendiks mirip dengan usus mempunyai 4 lapisan yaitu mukosa,
submukosa, muskularis eksterna/propria (otot longitudinal dan sirkuler) dan
serosa. Lapisan submukosa terdiri dari jaringan ikat dan jaringan elastic
membentuk jaringan saraf, pembuluh darah dan lymphe. Antara Mukosa dan
submukosa terdapat lymphonodes. Mukosa terdiri dari satu lapis collumnar
epithelium dan terdiri dari kantong yang disebut crypta lieberkuhn. Dinding dalam
sama dan berhubungan dengan sekum (inner circular layer). Dinding luar (outer
longitudinal muscle) dilapisi oleh pertemuan ketiga taenia colli pada pertemuan
caecum dan apendiks. Taenia anterior digunakan sebagai pegangan untuk mencari
appendiks.
Pada bayi, apendiks berbentuk kerucut, lebar pada pangkalnya dan
menyempit kearah ujungnya. Keadaan ini mungkin menjadi sebab rendahnya
insiden apendisitis pada usia itu. Pada 65 % kasus, apendiks terletak
intraperitoneal.
Kedudukan itu memungkinkan apendiks bergerak dan ruang geraknya bergantung
pada panjang mesoapendiks penggantungnya. Pada kasus selebihnya, apediks
terletak retroperitoneal, yaitu di belakang sekum, di belakang kolon asendens,
atau ditepi lateral kolon asendens. Gejala klinis apendisitis ditentukan oleh letak
apendiks.
Jenis posisi:
Promontorik : ujung appendiks menunjuk ke arah promontoriun sacri
Retrocolic : appendiks berada di belakang kolon ascenden (biasanya
retroperitoneal)
Antecaecal : appendiks berada di depan caecum.
Paracaecal : appendiks terletak horizontal di belakang caecum.
Pelvic descenden : appendiks menggantung ke arah pelvis minor
Retrocaecal : intraperitoneal atau retroperitoneal; appendiks berputar ke atas
ke belakang caecum.
Gambar 3. Posisi Apendiks
Appendiks dipersarafi oleh parasimpatis dan simpatis. Persarafan
parasimpatis berasal dari cabang nervus vagus yang mengikuti arteri mesenterika
superior dan arteri appendikularis, sedangkan persarafan simpatis berasal dari
nervus thorakalis X. Oleh karena itu, nyeri viseral pada appendisitis bermula di
sekitar umbilikus.
Pendarahan appendiks berasal dari arteri Appendikularis , cabang dari
a.Ileocecalis, cabang dari a. Mesenterica superior. A. Appendikularis merupakan
arteri tanpa kolateral. Jika arteri ini tersumbat, misalnya karena trombosis pada
infeksi, appendiks akan mengalami gangren.
3.2. Fisiologi
Appendiks menghasilkan lendir 1-2 ml perhari. Lendir itu normalnya
dicurahkan ke dalam lumen dan selanjutnya mengalir ke sekum. Hambatan aliran
lendir di muara appendiks tampaknya berperan pada patogenesis appendisitis.
Dinding appendiks terdiri dari jaringan lymphe yang merupakan bagian
dari sistem imun dalam pembuatan antibodi. Immunoglobulin sekretoar yang
dihasilkan oleh GALT (gut associated lymphoid tissue) yang terdapat di
sepanjang saluran cerna termasuk appendiks, ialah IgA. Imunoglobulin itu sangat
efektif sebagai pelindung terhadap infeksi. Namun demikian, pengangkatan
appendiks tidak mempengaruhi system imun tubuh karena jumlah jaringan
limfonodi di sini kecil sekali jika dibandingkan dengan jumlahnya di saluran
cerna dan di seluruh tubuh.
3.3 Etiologi
Appendisitis akut dapat disebabkan oleh beberapa sebab terjadinya proses
radang bakteria yang dicetuskan oleh beberapa faktor pencetus diantaranya
hiperplasia jaringan limfe, fekalith, tumor apendiks, dan cacing askaris yang
menyumbat. Ulserasi mukosa merupakan tahap awal dari kebanyakan penyakit
ini. namun ada beberapa faktor yang mempermudah terjadinya radang apendiks,
diantaranya :
1. Faktor sumbatan (obstruksi)
Faktor obstruksi merupakan faktor terpenting terjadinya appendisitis
(90%) yang diikuti oleh infeksi. Sekitar 60% obstruksi disebabkan oleh
hyperplasia jaringan lymphoid sub mukosa, 35% karena stasis fekal, 4% karena
benda asing dan sebab lainnya 1% diantaranya sumbatan oleh parasit dan cacing.
Obstruksi yang disebabkan oleh fekalith dapat ditemui pada bermacam-macam
appendisitis akut diantaranya ; fekalith ditemukan 40% pada kasus apendisitis
kasus sederhana, 65% pada kasus apendisitis akut ganggrenosa tanpa ruptur dan
90% pada kasus apendisitis akut dengan rupture.
2. Faktor Bakteri
Infeksi enterogen merupakan faktor pathogenesis primer pada apendisitis
akut. Adanya fekalith dalam lumen apendiks yang telah terinfeksi memperburuk
dan memperberat infeksi, karena terjadi peningkatan stagnasi feses dalam lumen
apendiks, pada kultur didapatkan terbanyak ditemukan adalah kombinasi antara
Bacteriodes fragililis dan E.coli, lalu Splanchicus, lacto-bacilus, Pseudomonas,
Bacteriodes splanicus. Sedangkan kuman yang menyebabkan perforasi adalah
kuman anaerob sebesar 96% dan aerob<10%.
3. Kecenderungan familiar
Hal ini dihubungkan dengan tedapatnya malformasi yang herediter dari
organ, appendiks yang terlalu panjang, vaskularisasi yang tidak baik dan letaknya
yang mudah terjadi appendisitis. Hal ini juga dihubungkan dengan kebiasaan
makanan dalam keluarga terutama dengan diet rendah serat dapat memudahkan
terjadinya fekalith dan mengakibatkan obstruksi lumen.
4. Faktor ras dan diet
Faktor ras berhubungan dengan kebiasaan dan pola makanan sehari-hari.
Bangsa kulit putih yang dulunya pola makan rendah serat mempunyai resiko lebih
tinggi dari negara yang pola makannya banyak serat. Namun saat sekarang,
kejadiannya terbalik. Bangsa kulit putih telah merubah pola makan mereka ke
pola makan tinggi serat. Justru Negara berkembang yang dulunya memiliki tinggi
serat kini beralih ke pola makan rendah serat, memiliki resiko apendisitis yang
lebih tinggi.
3.4. Patofisiologi
Appendisitis biasanya disebabkan oleh penyumbatan lumen apendiks oleh
hyperplasia folikel limfoid, fekalit, benda asing, striktur karena fibrosis akibat
peradangan sebelumnya, atau neoplasma.
Obstruksi lumen yang tertutup disebabkan oleh hambatan pada bagian
proksimalnya dan berlanjut pada peningkatan sekresi normal dari mukosa
appendiks yang distensi. Obstruksi tersebut mneyebabkan mucus yang diproduksi
mukosa mengalami bendungan. Makin lama mucus tersebut makin banyak,
namun elastisitas dinding appendiks mempunyai keterbatasan sehingga
menyebabkan peningkatan intralumen. Kapasitas lumen apendiks normal hanya
sekitar 0,1 ml. Jika sekresi sekitar 0,5 ml dapat meningkatkan tekanan intalumen
sekitar 60 cmH20.
Tekanan yang meningkat tersebut akan menyebabkan appendiks
mengalami hipoksia, menghambat aliran limfe, terjadi ulserasi mukosa dan invasi
bakteri. Infeksi menyebabkan pembengkakan apendiks bertambah (edema) dan
semakin iskemik karena terjadi trombosis pembuluh darah intramural (dinding
apendiks). Pada saat inilah terjadi apendisitis akut fokal yang ditandai oleh nyeri
epigastrium. Gangren dan perforasi khas dapat terjadi dalam 24-36 jam, tapi
waktu tersebut dapat berbeda-beda setiap pasien karena ditentukan banyak faktor.
Bila sekresi mukus terus berlanjut, tekanan akan terus meningkat. Hal
tersebut akan menyebabkan obstruksi vena, edema bertambah, dan bakteri akan
menembus dinding. Peradangan timbul meluas dan mengenai peritoneum
setempat sehingga menimbulkan nyeri didaerah kanan bawah. Keadaan ini disebut
dengan apendisitis supuratif akut.
Bila kemudian arteri terganggu akan terjadi infark dinding apendiks yang
diikuti dengan gangrene. Stadium ini disebut dengan apendisitis gangrenosa. Bila
dinding yang telah rapuh itu pecah, akan terjadi apendisitis perforasi.
Bila semua proses diatas berjalan lambat, omentum dan usus yang
berdekatan akan bergerak kearah apendiks hingga timbul suatu massa local yang
disebut infiltrate apendikularis. Peradangan apendiks tersebut dapat menjadi
abses atau menghilang.
Infiltrat apendikularis merupakan tahap patologi apendisitis yang dimulai
dimukosa dan melibatkan seluruh lapisan dinding apendiks dalam waktu 24-48
jam pertama, ini merupakan usaha pertahanan tubuh dengan membatasi proses
radang dengan menutup apendiks dengan omentum, usus halus, atau adneksa
sehingga terbentuk massa periapendikular. Didalamnya dapat terjadi nekrosis
jaringan berupa abses yang dapat mengalami perforasi. Jika tidak terbentuk abses,
apendisitis akan sembuh dan massa periapendikular akan menjadi tenang untuk
selanjutnya akan mengurai diri secara lambat.
Pada anak-anak, karena omentum lebih pendek dan apendiks lebih
panjang, dinding apendiks lebih tipis. Keadaan tersebut ditambah dengan daya
tahan tubuh yang masih kurang memudahkan terjadinya perforasi. Sedangkan
pada orang tua perforasi mudah terjadi karena telah ada gangguan pembuluh
darah.
Kecepatan rentetan peristiwa tersebut tergantung pada virulensi
mikroorganisme, daya tahan tubuh, fibrosis pada dinding apendiks, omentum,
usus yang lain, peritoneum parietale dan juga organ lain seperti vesika urinaria,
uterus tuba, mencoba membatasi dan melokalisir proses peradangan ini. Bila
proses melokalisir ini belum selesai dan sudah terjadi perforasi maka akan timbul
peritonitis. Walaupun proses melokalisir sudah selesai tetapi masih belum cukup
kuat menahan tahanan atau tegangan dalam cavum abdominalis, oleh karena itu
pendeita harus benar-benar istirahat (bedrest).
Apendiks yang pernah meradang tidak akan sembuh sempurna, tetapi akan
membentuk jaringan parut yang menyebabkan perlengketan dengan jaringan
sekitarnya. Perlengketan ini dapat menimbulkan keluhan berulang diperut kanan
bawah. Pada suatu ketika organ ini dapat meradang akut lagi dan dinyatakan
mengalami eksaserbasi akut.
3.5. Gejala Klinis
Gambaran klinis yang sering dikeluhkan oleh penderita, antara lain
1. Nyeri abdominal
Nyeri ini merupakan gejala klasik appendisitis. Mula-mula nyeri dirasakan
samar-samar dan tumpul yang merupakan nyeri viseral di daerah epigastrium atau
sekitar umbilicus. Setelah beberapa jam nyeri berpindah dan menetap di abdomen
kanan bawah (titik Mc Burney). Nyeri akan bersifat tajam dan lebih jelas letaknya
sehingga berupa nyeri somatik setempat. Bila terjadi perangsangan peritonium
biasanya penderita akan mengeluh nyeri di perut pada saat berjalan atau batuk.
2. Mual-muntah biasanya pada fase awal.
3. Nafsu makan menurun.
4. Obstipasi dan diare pada anak-anak.
5. Demam, terjadi bila sudah ada komplikasi, bila belum ada komplikasi biasanya
tubuh belum panas. Suhu biasanya berkisar 37,5º-38,5º C
Gejala appendisitis akut pada anak-anak tidak spesifik. Gejala awalnya sering
hanya rewel dan tidak mau makan. Anak sering tidak bisa melukiskan rasa
nyerinya. Karena gejala yang tidak spesifik ini sering diagnosis appendisitis
diketahui setelah terjadi perforasi.
Kelainan patologi Keluhan dan tanda
Peradangan awal
Apenditis mukosa
Radang di seluruh
Ketebalan dinding
Apendisitis komplet radang
Peritoneum parietale appendiks
Radang alat/jaringan yang
Menempel pada appendiks
Perforasi
Pendindingan (Infiltrat)
Tidak berhasil
Berhasil
Kurang enak ulu hati/daerah pusat,
mungkin kolik
nyeri tekan kanan bawah
(rangsaganan automik)
nyeri sentral pindah ke kanan bawah,
mual dan muntah
rangsangan peritoneum lokal (somatik)
nyeri pada gerak aktif dan pasif,
defans muskuler lokal
genitalia interna, ureter, m.psoas,
kantung kemih, rektum
demam sedang, takikardia,
mulai toksik, leukositosis
demam tinggi, dehidrasi,
syok, toksik
massa perut kanan bawah, keadaan
umum berangsur membaik
Abses demam remiten, keadaan umum toksik,
keluhan dan tanda setempat
3.6. Pemeriksaan Fisik
Demam biasanya ringan, dengan suhu sekitar 37,5-38,5°C. Bila suhu lebih
tinggi, mungkin sudah terjadi perforasi. Bisa terdapat perbedaan suhu aksilar dan
rektal sampai 1°C.
1. Inspeksi
Kadang sudah terlihat waktu penderita berjalan sambil bungkuk dan
memegang perut. Penderita tampak kesakitan. Pada inspeksi perut tidak
ditemukan gambaran spesifik. Kembung sering terlihat pada penderita dengan
komplikasi perforasi. Penonjolan perut kanan bawah bisa dilihat pada massa atau
abses appendikuler.
2. Palpasi
Dengan palpasi di daerah titik Mc. Burney didapatkan tanda-tanda
peritonitis lokal yaitu :
Nyeri tekan di Mc. Burney
Nyeri lepas
Defans muscular lokal. Defans muscular menunjukkan adanya rangsangan
peritoneum parietal.
Pada appendiks letak retroperitoneal, defans muscular mungkin tidak ada,
yang ada nyeri pinggang.
Nyeri rangsangan peritoneum tidak langsung :
Nyeri tekan bawah pada tekanan kiri (Rovsing)
Nyeri kanan bawah bila tekanan di sebelah kiri dilepaskan (Blumberg)
Nyeri kanan bawah bila peritoneum bergerak seperti nafas dalam, berjalan,
batuk, mengedan.
Appendisitis infiltrat atau adanya abses apendikuler terlihat dengan
adanya penonjolan di perut kanan bawah.
3. Auskultasi
Peristaltik usus sering normal. Peristaltik dapat hilang karena ileus
paralitik pada peritonitis generalisata akibat appendisitis perforata.
Pemeriksaan colok dubur akan didapatkan nyeri kuadran kanan pada jam
9-12. Pada appendisitis pelvika akan didapatkan nyeri terbatas sewaktu dilakukan
colok dubur. Pada apendisitis pelvika tanda perut sering meragukan, maka kunci
diagnosis adalah nyeri terbatas sewaktu dilakukan colok dubur. Colok dubur pada
anak tidak dianjurkan. Pemeriksaan uji psoas dan uji obturator merupakan
pemeriksaan yang lebih ditujukan untuk mengetahui letak apendiks. Uji psoas
dilakukan dengan rangsangan m. psoas lewat hiperekstensi atau fleksi aktif. Bila
apendiks yang meradang menempel di m.psoas, tindakan tersebut akan
menimbulkan nyeri. Uji obturator digunakan untuk melihat apakah apendiks yang
meradang kontak dengan m.obturator internus yang merupakan dinding panggul
kecil. Dengan gerakan fleksi dan endorotasi sendi panggul pada posisi terlentang,
pada apendisitis pelvika akan menimbulkan nyeri.
Psoas sign. Nyeri pada saat paha kanan pasien diekstensikan. Pasien
dimiringkan kekiri. Pemeriksa meluruskan paha kanan pasien, pada saat itu ada
hambatan pada pinggul / pangkal paha kanan. Dasar anatomi dari tes psoas.
Apendiks yang mengalami peradangan kontak dengan otot psoas yang meregang
saat dilakukan manuver (pemeriksaan).
Gambar 5. Tes Psoas sign
Tes Obturator. Nyeri pada rotasi kedalam secara pasif saat paha pasien
difleksikan. Pemeriksa menggerakkan tungkai bawah kelateral,
pada saat itu ada tahanan pada sisi samping dari lutut (tanda bintang),
menghasilkan rotasi femur kedalam. Dasar Anatomi dari tes obturator :
Peradangan apendiks dipelvis yang kontak dengan otot obturator internus yang
meregang saat dilakukan manuver.
Gambar 6. Tes Obturator sign
3.7. Pemeriksaan Penunjang
1. Pemeriksaan Laboratorium
a. Pemeriksaan darah : akan didapatkan leukositosis pada kebanyakan kasus
appendisitis akut terutama pada kasus dengan komplikasi, pada appendicular
infiltrat, LED akan meningkat.
b. Pemeriksaan urin : untuk melihat adanya eritrosit, leukosit dan bakteri di dalam
urin. Pemeriksaan ini sangat membantu dalam menyingkirkan diagnosis banding
seperti infeksi saluran kemih atau batu ginjal yang mempunyai gejala klinis yang
hampir sama dengan appendisitis.
2. Abdominal X-Ray
Digunakan untuk melihat adanya fecalith sebagai penyebab appendisitis.
Pemeriksaan ini dilakukan terutama pada anak-anak.
3. USG
Bila hasil pemeriksaan fisik meragukan, dapat dilakukan pemeriksaan
USG, terutama pada wanita, juga bila dicurigai adanya abses. Dengan USG dapat
dipakai untuk menyingkirkan diagnosis banding seperti kehamilan ektopik,
adnecitis dan sebagainya.
Berbagai gambaran appendisitis :
1. Non-perforated appendicitis
2. Perforated appendicitis tanpa abses atau purulent fluid
3. Perforated appendicitis with free fluid
4. Perforated
appendicitis
Keterangan : panah hitam menunjukkan apendiks yang sedikit berdilatasi, panah putih menunjukkan ujung dari apendiks. Tidak ditemukan adanya apendikolith atau cairan disekitar usus.
Keterangan : panah menunjukkan pembesaran apendiks, apendiks kehilangan bagian submucosanya, karena itu dicurigai adanya perforasi.
Keterangan : ditemukan cairan bebas (ff) yang mengelilingi usus (b)
Keterangan :
Kiri : panah kecil meunjukkan apendiks yang membesar berisi apendikolith (panah besar). Ditemukan juga diiding apendiks yang tidak simetris. Bagian posterior lebih runcing dibanding anterior dan apendiks kehilangan berbagai lapisannya. Temuan seperti ini dicurigai sebagai apendisitis yang mengalami perforasi
Kanan : A = kumpulan echovoid fluid menunjukkan gambaran abses yang berdekatan dengan apendiks yang abnormal. Apendiks kehilangan berbagai lapisan dindingnya, hanya ditemukan 1 lapisan echogenic submucosa (panah kecil)
4. Barium enema
Suatu pemeriksaan x-ray dengan memasukkan barium ke colon melalui
anus. Pemeriksaan ini dapat menunjukkan komplikasi-komplikasi dari
appendisitis pada jaringan sekitarnya dan juga untuk menyingkirkan diagnosis
banding. Appendicogram memiliki sensitivitas dan tingkat akurasi yang tinggi
sebagai metode diagnostik untuk menegakkan diagnosis appendisitis khronis.
Dimana akan tampak pelebaran/penebalan dinding mukosa appendiks, disertai
penyempitan lumen hingga sumbatan usus oleh fekalit.
5. CT-scan
Dapat menunjukkan tanda-tanda dari appendisitis. Selain itu juga dapat
menunjukkan komplikasi dari appendisitis seperti bila terjadi abses.
6. Laparoscopi
Suatu tindakan dengan menggunakan kamera fiberoptic yang dimasukan
dalam abdomen, appendiks dapat divisualisasikan secara langsung. Tehnik ini
dilakukan di bawah pengaruh anestesi umum. Bila pada saat melakukan tindakan
ini didapatkan peradangan pada appendiks maka pada saat itu juga dapat langsung
dilakukan pengangkatan appendiks.
Sistem skor Alvarado
Diagnosis appendisitis akut pada anak tidak mudah ditegakkan hanya
berdasarkan gambaran klinis, hal ini disebabkan sulitnya komunikasi antara anak,
orang tua dan dokter. Anak belum mampu untuk mendiskripsikan keluhan yang
dialami, suatu hal yang relatif lebih mudah pada umur dewasa. Keadaan ini
menghasilkan angka appendiktomi negatif sebesar 20% dan angka perforasi
sebesar 20-30%. Salah satu upaya meningkatkan kualitas dan kuantitas pelayanan
medis ialah membuat diagnosis yang tepat. Telah banyak dikemukakan cara untuk
menurunkan insidensi apendiktomi negatif, salah satunya adalah dengan
instrumen skor Alvarado. Skor Alvarado adalah sistem skoring sederhana yang
bisa dilakukan dengan mudah, cepat dan kurang invasif. Alfredo Alvarado tahun
1986 membuat sistem skor yang didasarkan pada tiga gejala , tiga tanda dan dua
temuan laboratorium. Klasifikasi ini berdasarkan pada temuan pra operasi dan
untuk menilai derajat keparahan apendisitis. Dalam sistem skor Alvarado ini
menggunakan faktor risiko meliputi migrasi nyeri, anoreksia, nausea dan atau
vomitus, nyeri tekan di abdomen kuadran kanan bawah, nyeri lepas tekan ,
temperatur lebih dari 37,20C, lekositosis dan netrofil lebih dari 75%. Nyeri tekan
kuadran kanan bawah dan lekositosis mempunyai nilai 2 dan keenam sisanya
masing-masing mempunyai nilai 1, sehingga kedelapan faktor ini memberikan
jumlah skor 10.
Skor Alvarado untuk diagnosis appendisitis akut:
Gejala dan tanda: Skor
Nyeri berpindah 1
Anoreksia 1
Mual-muntah 1
Nyeri fossa iliaka kanan 2
Nyeri lepas 1
Peningkatan suhu > 37,30C 1
Jumlah leukosit > 10x103/L 2
Jumlah neutrofil > 75% 1
__________________________________________________
Total skor: 10
Keterangan Alavarado score :
Dinyatakan appendisitis akut bila > 7 point
Modified Alvarado score tanpa observasi of Hematogram:
1 – 4 dipertimbangkan appendicitis akut
5 – 6 possible appendicitis tidak perlu operasi
7 – 9 appendicitis akut perlu pembedahan
Penanganan berdasarkan skor Alvarado :
1 – 4 : observasi
5 – 6 : antibiotic
7 – 10 : operasi dini
3.8. Diagnosis Banding
1. Gastroenteritis
Pada gastroenteritis, mual-muntah dan diare mendahului rasa sakit. Sakit
perut lebih ringan dan tidak berbatas tegas. Hiperperistaltik sering ditemukan.
Panas dan leukositosis kurang menonjol dibandingkan dengan appendisitis.
2. Limfadenitis mesenterica
Biasanya didahului oleh enteritis atau gastroenteritis. Ditandai dengan
nyeri perut yang samar-samar terutama disebelah kanan, dan disertai dengan
perasaan mual-muntah.
3. Ileitis akut
Berkaitan dengan diare dan sering kali riwayat kronis, tetapi tidak jarang
anorexia, mual, muntah. Jika ditemukan pada laparotomi, appendiktomi insidental
diindikasikan utntuk menghilangkan gejala yang membingungkan.
4. DHF
Pada penyakit ini pemeriksaan darah terdapat trombositopeni, leukopeni,
rumple leed (+), hematokrit meningkat.
5. Peradangan pelvis
Tuba fallopi kanan dan ovarium terletak dekat appendiks. Radang kedua
organ ini sering bersamaan sehingga disebut salpingo-ooforitis atau adnecitis.
Untuk menegakkan diagnosis penyakit ini didapatkan riwayat kontak sexual. Suhu
biasanya lebih tinggi daripada appendisitis dan nyeri perut bagian bawah lebih
difus. Biasanya disertai dengan keputihan. Pada colok vaginal jika uterus
diayunkan maka akan terasa nyeri.
6. Kehamilan ektopik
Ada riwayat terhambat menstruasi dengan keluhan yang tidak menentu.
Jika terjadi ruptur tuba atau abortus di luar rahim dengan perdarahan akan timbul
nyeri yang mendadak difus di daerah pelvis dan mungkin akan terjadi syok
hipovolemik. Pada pemeriksaan colok vagina didapatkan nyeri dan penonjolan di
cavum Douglas, dan pada kuldosentesis akan didapatkan darah.
7. Diverticulitis
Meskipun diverculitis biasanya terletak di perut bagian kiri, tetapi kadang-
kadang dapat juga terjadi di sebelah kanan. Jika terjadi peradangan dan ruptur
pada diverticulum gejala klinis akan sukar dibedakan dengan gejala-gejala
appendisitis.
8. Batu ureter atau batu ginjal
Adanya riwayat kolik dari pinggang ke perut menjalar ke inguinal kanan
merupakan gambaran yang khas. Hematuria sering ditemukan. Foto polos
abdomen atau urografi intravena dapat memastikan penyakit tersebut.
3.9. Tata Laksana
Bila diagnosis klinis sudah jelas maka tindakan paling tepat adalah
apendektomi dan merupakan satu-satunya pilihan yang terbaik. Penundaan
apendektomi sambil memberikan antibiotik dapat mengakibatkan abses atau
perforasi. Insidensi appendiks normal yang dilakukan pembedahan sekitar 20%.
Pada appendisitis akut tanpa komplikasi tidak banyak masalah.
Perjalanan patologis penyakit dimulai pada saat apendiks menjadi
dilindungi oleh omentum dan gulungan usus halus didekatnya. Mula-mula, massa
yang terbentuk tersusun atas campuran membingungkan bangunan-bangunan ini
dan jaringan granulasi dan biasanya dapat segera dirasakan secara klinis. Jika
peradangan pada apendiks tidak dapat mengatasi rintangan-rintangan sehingga
penderita terus mengalami peritonitis umum, massa tadi menjadi terisi nanah,
semula dalam jumlah sedikit, tetapi segera menjadi abses yang jelas batasnya.
Urut-urutan patologis ini merupakan masalah bagi ahli bedah. Masalah ini
adalah bilamana penderita ditemui lewat sekitar 48 jam, ahli bedah akan
mengoperasi untuk membuang apendiks yang mungkin gangrene dari dalam
massa perlekatan ringan yang longgar dan sangat berbahaya, dan bilamana karena
massa ini telah menjadi lebih terfiksasi dan vascular, sehingga membuat operasi
berbahaya maka harus menunggu pembentukan abses yang dapat mudah
didrainase.
Massa apendiks terjadi bila terjadi apendisitis gangrenosa atau
mikroperforasi ditutupi atau dibungkus oleh omentum dan atau lekuk usus halus.
Pada massa periapendikular yang pendidingannya belum sempurna, dapat terjadi
penyebaran pus keseluruh rongga peritoneum jika perforasi diikuti peritonitis
purulenta generalisata. Oleh karena itu, massa periapendikular yang masih bebas
disarankan segera dioperasi untuk mencegah penyulit tersebut. Selain itu, operasi
lebih mudah. Pada anak, dipersiapkan untuk operasi dalam waktu 2-3 hari saja.
Pasien dewasa dengan massa periapendikular yang terpancang dengan
pendindingan sempurna, dianjurkan untuk dirawat dahulu dan diberi antibiotik
sambil diawasi suhu tubuh, ukuran massa, serta luasnya peritonitis. Bila sudah
tidak ada demam, massa periapendikular hilang, dan leukosit normal, penderita
boleh pulang dan apendiktomi elektif dapat dikerjakan 2-3 bulan kemudian agar
perdarahan akibat perlengketan dapat ditekan sekecil mungkin. Bila terjadi
perforasi, akan terbentuk abses apendiks. Hal ini ditandai dengan kenaikan suhu
dan frekuensi nadi, bertambahnya nyeri, dan teraba pembengkakan massa, serta
bertambahnya angka leukosit.
Massa apendiks dengan proses radang yang masih aktif sebaiknya
dilakukan tindakan pembedahan segera setelah pasien dipersiapkan, karena
dikuatirkan akan terjadi abses apendiks dan peritonitis umum. Persiapan dan
pembedahan harus dilakukan sebaik-baiknya mengingat penyulit infeksi luka
lebih tinggi daripada pembedahan pada apendisitis sederhana tanpa perforasi.
Pada periapendikular infiltrat, dilarang keras membuka perut, tindakan
bedah apabila dilakukan akan lebih sulit dan perdarahan lebih banyak, lebih-lebih
bila massa apendiks telah terbentuk lebih dari satu minggu sejak serangan sakit
perut. Pembedahan dilakukan segera bila dalam perawatan terjadi abses dengan
atau pun tanpa peritonitis umum.
Bila pada waktu membuka perut terdapat periapendikular infiltrat maka
luka operasi ditutup lagi, apendiks dibiarkan saja. Terapi konservatif pada
periapendikular infiltrat :
1. Total bed rest posisi fawler agar pus terkumpul di cavum douglassi.
2. Diet lunak bubur saring
3. Antibiotika parenteral dalam dosis tinggi, antibiotik kombinasi yang aktif
terhadap kuman aerob dan anaerob. Baru setelah keadaan tenang, yaitu sekitar 6-8
minggu kemudian, dilakukan apendiktomi. Kalau sudah terjadi abses, dianjurkan
drainase saja dan apendiktomi dikerjakan setelah 6-8 minggu kemudian. Jika
ternyata tidak ada keluhan atau gejala apapun, dan pemeriksaan jasmani dan
laboratorium tidak menunjukkan tanda radang atau abses, dapat dipertimbangkan
membatalkan tindakan bedah.
Analgesik diberikan hanya kalau perlu saja. Observasi suhu dan nadi.
Biasanya 48 jam gejala akan mereda. Bila gejala menghebat, tandanya terjadi
perforasi maka harus dipertimbangkan appendiktomy. Batas dari massa
hendaknya diberi tanda (demografi) setiap hari. Biasanya pada hari ke5-7 massa
mulai mengecil dan terlokalisir. Bila massa tidak juga mengecil, tandanya telah
terbentuk abses dan massa harus segera dibuka dan didrainase.
Caranya dengan membuat insisi pada dinding perut sebelah lateral dimana
nyeri tekan adalah maksimum (incisi grid iron). Abses dicapai secara
ekstraperitoneal, bila apendiks mudah diambil, lebih baik diambil karena apendik
ini akan menjadi sumber infeksi. Bila apendiks sukar dilepas, maka apendiks
dapat dipertahankan karena jika dipaksakan akan ruptur dan infeksi dapat
menyebar. Abses didrainase dengan selang yang berdiameter besar, dan
dikeluarkan lewat samping perut. Pipa drainase didiamkan selama 72 jam, bila
pus sudah kurang dari 100 cc/hari, drai dapat diputar dan ditarik sedikit demi
sedikit sepanjang 1 inci tiap hari. Antibiotik sistemik dilanjutkan sampai minimal
5 hari post operasi. Untuk mengecek pengecilan abses tiap hari penderita di RT.
Penderita periapendikular infiltrat diobservasi selama 6 minggu tentang : LED,
Jumlah leukosit, Massa
Periapendikular infiltrat dianggap tenang apabila :
1. Anamesa : penderita sudah tidak mengeluh sakit atau nyeri abdomen
2. Pemeriksaan fisik :
o Keadaan umum penderita baik, tidak terdapat kenaikan suhu tubuh (diukur rectal
dan aksiler)
o Tanda-tanda apendisitis sudah tidak terdapat
o Massa sudah mengecil atau menghilang, atau massa tetap ada tetapi lebih kecil
dibanding semula.
o Laboratorium : LED kurang dari 20, Leukosit normal
Kebijakan untuk operasi periapendikular infiltrat :
1. Bila LED telah menurun kurang dari 40
2. Tidak didapatkan leukositosis
3. Tidak didapatkan massa atau pada pemeriksaan berulang massa sudah tidak
mengecil lagi.
Bila LED tetap tinggi ,maka perlu diperiksa
o Apakah penderita sudah bed rest total
o Pemakaian antibiotik penderita
o Kemungkinan adanya sebab lain.
d. Bila dalam 8-12 minggu masih terdapat tanda-tanda infiltrat atau tidak ada
perbaikan, operasi tetap dilakukan.
e. Bila ada massa periapendikular yang fixed, ini berarti sudah terjadi abses dan terapi
adalah drainase.
Pembedahannya adalah dengan appendiktomi, yang dapat dicapai melalui
insisi Mc Burney. Tindakan pembedahan pada kasus apendisitis akut dengan
penyulit peritonitis berupa apendektomi yang dicapai melalui laparotomi.7
Lapisan kulit yang dibuka pada Appendektomi :
1. Cutis 6. MOI
2. Sub cutis 7. M. Transversus
3. Fascia Scarfa 8. Fascia transversalis
4. Fascia Camfer 9. Pre Peritoneum
5. Aponeurosis MOE 10. Peritoneum
3.10. Komplikasi
Komplikasi yang paling sering ditemukan adalah perforasi, baik berupa
perforasi bebas maupun perforasi pada apendiks yang telah mengalami
pendindingan berupa massa yang terdiri atas kumpulan apendiks, sekum, dan
lekuk usus halus.
Perforasi dapat menyebabkan timbulnya abses lokal ataupun suatu
peritonitis generalisata. Tanda-tanda terjadinya suatu perforasi adalah :
nyeri lokal pada fossa iliaka kanan berganti menjadi nyeri abdomen
menyeluruh
Suhu tubuh naik tinggi sekali.
Nadi semakin cepat.
Defance Muskular yang menyeluruh
Bising usus berkurang
Perut distended
Akibat lebih jauh dari peritonitis generalisata adalah terbentuknya :
1. Pelvic Abscess
2. Subphrenic absess
3. Intra peritoneal abses local.
Peritonitis merupakan infeksi yang berbahaya karena bakteri masuk
kerongga abdomen, dapat menyebabkan kegagalan organ dan kematian.7
3.11. Prognosis
Dengan diagnosis yang akurat serta pembedahan tingkat mortalitas dan
morbiditas penyakit ini sangat kecil. Keterlambatan diagnosis akan meningkatkan
morbiditas dan mortalitas bila terjadi komplikasi. Serangan berulang dapat terjadi
bila appendiks tidak diangkat
BAB IV
PEMBAHASAN
Teori Fakta
Anamnesis dan pemeriksaan fisik :
1. Nyeri abdominal
Mula-mula nyeri dirasakan samar-
samar dan tumpul yang merupakan
nyeri viseral di daerah epigastrium atau
sekitar umbilicus. Setelah beberapa jam
nyeri berpindah dan menetap di
abdomen kanan bawah (titik Mc
Burney). Nyeri akan bersifat tajam dan
lebih jelas letaknya sehingga berupa
nyeri somatik setempat. Bila terjadi
perangsangan peritonium biasanya
penderita akan mengeluh nyeri di perut
pada saat berjalan atau batuk.
2. Mual-muntah biasanya pada fase
awal.
3. Nafsu makan menurun.
4. 4. Obstipasi dan diare pada anak-anak.
Pasien laki-laki 9 tahun menderita nyeri
perut yang awalnya didaerah
epigastrium kemudian berpindah ke
bagian kanan bawah. Keluhan juga
disertai dengan muntah dan diare.
Pasien juga mengalami demam
beberapa hari sebelumnya.
5. Demam
Pemeriksaan fisik khusus :
Psoas sign aktif / pasif (+), Nyeri tekan
mc.burney (+), blumberg sign (+),
obturator sign (+), rovsing sign (+),
reborn tenderness (+),
Skoring Alvarado
Berdasarkan skorig Alvarado :
1–4, dipertimbangkan appendisitis akut
5–6 mungkin appendicitis (tidak perlu
operasi)
7–9 pasti appendisitis akut perlu
pembedahan
Hasil pemeriksaan fisik ditemukan
nyeri tekan mc.burney (+), psoas sign
(+), obturator sign (-)
Gejala dan tanda :
Skor
Nyeri berpindah
Anoreksia
Mual-muntah
Nyeri fossa iliaka kanan
Nyeri lepas 1
Peningkatan suhu > 37,30C
Jumlah leukosit > 10x103/L
Jumlah neutrofil > 75% 1
___________________________
Total skor: 8
Pemeriksaan penunjang :
USG
Appensitis akut terlihat gambaran
distensi/dilatasi pada appendiks
Normal, tidak ada tanda-tanda
appendisitis akut
Penatalaksanaan :
1. Terapi medikamentosa simptomatis
IVFD RL 20 tpm
Ranitidine 2X50 mg ivCefotaxime 3X500 mg ivDexametasone 4 mg ivParacetamol 3XII cth
1
1
1
2
1
2
2. Semua kasus appendisitis
memerlukan tindakan pengangkatan
dari appendiks yang terinflamasi, baik
dengan laparotomy maupun dengan
laparoscopy
Pasca bedah :
dilakukan drainase abses dan kultur
pus, setelah itu diberikan antibiotic
post-op sesuai dengan hasil kultur
.
Hasil kultur (27-10-2012) Kuman : Escherichia coliPewarnaan Gram : Batang gram negatifAntibiotik sensitive :Amikasin, Ceftazidime, Meropenem, Sulbactam Cefoperazone, Ceftizoxime
Appendektomi dengan laparotomy (23-10-2012) karena telah terjadi komplikasi yaitu abses apendiks. Sampai hari ke-6 post-op masih didapatkan produksi pus.
Terapi post-op yang diberikan (23-29
Oktober 2012) :
- D5 ½ NS 20 TPM
- Ceftriaxone 700 mg iv
- Antrain 3 X 250 mg iv
- Metronidazole 3 X 100 mg
- transfusi PRC 200 cc
- memasang NGT
- memasang Draine Catheter
- Diet cair 6X25 cc
Prognosis :
Dengan diagnosis yang akurat serta
pembedahan tingkat mortalitas dan
morbiditas penyakit ini sangat kecil.
Keterlambatan diagnosis akan
meningkatkan morbiditas dan
mortalitas bila terjadi komplikasi.
Serangan berulang dapat terjadi bila
appendiks tidak diangkat
Dubia et Bonam:
- karena telah dilakukan appendektomi
dengan laparotomi serta drainase pus
e/c abses. Tinggal menunggu produksi
pus berhenti (dengan pemberian
antibiotic yang sensitive) serta
pemulihan luka pos laparotomi
BAB V
PENUTUP
1. Appendisitis adalah peradangan yang terjadi pada Appendiks vermicularis,
dan merupakan penyebab abdomen akut yang paling sering pada anak-anak
maupun dewasa di seluruh dunia.
2. Appendisitis akut dapat disebabkan oleh beberapa sebab terjadinya proses
radang bakteria yang dicetuskan oleh beberapa faktor pencetus diantaranya
hiperplasia jaringan limfe, fekalith, tumor apendiks, dan cacing askaris yang
menyumbat.
3. Gejalanya adalah Nyeri abdominal, Mual-muntah biasanya pada fase awal,
Nafsu makan menurun, Obstipasi dan diare pada anak-anak, Demam.
4. Prognosis pada penyakit ini ada jika diagnosis akurat serta pembedahan
tingkat mortalitas dan morbiditas penyakit ini sangat kecil. Keterlambatan
diagnosis akan meningkatkan morbiditas dan mortalitas bila terjadi
komplikasi.
Daftar pustaka
1. Kumar, V., Cotran, R. S., & Robbins, S. L. (2007). Buku Ajar Patologi (7 ed. Vol. 2).
2. Reksoprodjo, S. (2009). Kumpulan Kuliah Ilmu Bedah. Jakarta: Binarupa Aksara.
3. Schrock, T. (1991). Ilmu Bedah (7 ed.). Jakarta: EGC.
4. Sjamsuhidayat, R., & Jong, w. d. (2005). Buku Ajar Ilmu Bedah (2 ed.): EGC.