23
UAS Kebijakan Energi Nasional, Semester Ganjil Tahun 2012-2013 Pertanyaan : Menurut pendapat saudara dan berdasarkan teori yang Saudara ketahui, seperti apakah kondisi energi di Indonesia. Haruskah penyelesaian permasalahan energi sepenuhnya menjadi tanggung jawab Pemerintah? Seperti apakah kebijakan energi nasional sebaiknya disusun dan bagaimana implementasinya. Bandingkan kebijakan energi nasional kita dengan salah satu kebijakan energi Negara lain yang saudara anggap berhasil. (Uraian kebijakan dapat didasarkan pada kelembagaan, paradigma, jenis energi, serta aspek-aspek lain seperti azas dan tujuan pemanfaatan sumber daya energi, status teknologi, hambatan dan strategi pengelolaannya). KEBIJAKAN ENERGI NASIONAL: BELAJAR DARI KISAH SUKSES PENGEMBANGAN ENERGI DI NORWEGIA DAN NEGARA-NEGARA LAINNYA Asrofi 1. Latar Belakang Isu ketahanan energi (energy security) menjadi semakin relevan saat ini, terutama disebabkan peranannya yang sangat vital bagi pertumbuhan ekonomi dan pembangunan. Ketahanan energi, diukur dari beberapa aspek, yaitu aspek ketersediaan, daya ungkit ekonomi, keterjangkauan, keberlanjutan dan kemandirian (sejauh mana sumber daya lokal dimanfaatkan dan dilibatkan dalam proses penyediaan energi tersebut). Aspek ketersediaan dalam arti sejauh mana kita mampu menyediakan energi guna mencukupi kebutuhan untuk pembangunan nasional dan tersedianya infrastruktur energi yang menjangkau segenap lapisan masyarakat dan sektor-sektor pembangunan. Daya ungkit ekonomi dalam arti sejauh mana energi tersebut kita digunakan untuk hal-hal yang produktif dan meningkatkan nilai tambah. Keterjangkauan dalam arti diterima oleh masyarakat dalam kuantitas, kualitas dan harga yang terjangkau. Keberlanjutan dalam arti sumber energi harus dapat dijamin ketersediaan pasokannya secara jangka panjang dan berkelanjutan dengan meminimalisir dampak terhadap lingkungan. Dalam hal ini ketergantungan terhadap sumber energi yang tidak terbarukan harus dikurangi dan pemanfaatan sumber-sumber energi terbarukan harus lebih diperluas. Sedangkan kemandirian dalam

UAS Kebijakan Energi Nasional

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: UAS Kebijakan Energi Nasional

UAS Kebijakan Energi Nasional, Semester Ganjil Tahun 2012-2013

Pertanyaan :Menurut pendapat saudara dan berdasarkan teori yang Saudara ketahui, seperti apakah kondisi energi di Indonesia. Haruskah penyelesaian permasalahan energi sepenuhnya menjadi tanggung jawab Pemerintah? Seperti apakah kebijakan energi nasional sebaiknya disusun dan bagaimana implementasinya. Bandingkan kebijakan energi nasional kita dengan salah satu kebijakan energi Negara lain yang saudara anggap berhasil. (Uraian kebijakan dapat didasarkan pada kelembagaan, paradigma, jenis energi, serta aspek-aspek lain seperti azas dan tujuan pemanfaatan sumber daya energi, status teknologi, hambatan dan strategi pengelolaannya).

KEBIJAKAN ENERGI NASIONAL: BELAJAR DARI KISAH SUKSES PENGEMBANGAN ENERGI DI NORWEGIA DAN NEGARA-NEGARA

LAINNYA

Asrofi

1. Latar Belakang

Isu ketahanan energi (energy security) menjadi semakin relevan saat ini,

terutama disebabkan peranannya yang sangat vital bagi pertumbuhan ekonomi

dan pembangunan. Ketahanan energi, diukur dari beberapa aspek, yaitu aspek

ketersediaan, daya ungkit ekonomi, keterjangkauan, keberlanjutan dan

kemandirian (sejauh mana sumber daya lokal dimanfaatkan dan dilibatkan

dalam proses penyediaan energi tersebut). Aspek ketersediaan dalam arti sejauh

mana kita mampu menyediakan energi guna mencukupi kebutuhan untuk

pembangunan nasional dan tersedianya infrastruktur energi yang menjangkau

segenap lapisan masyarakat dan sektor-sektor pembangunan. Daya ungkit

ekonomi dalam arti sejauh mana energi tersebut kita digunakan untuk hal-hal

yang produktif dan meningkatkan nilai tambah. Keterjangkauan dalam arti

diterima oleh masyarakat dalam kuantitas, kualitas dan harga yang terjangkau.

Keberlanjutan dalam arti sumber energi harus dapat dijamin ketersediaan

pasokannya secara jangka panjang dan berkelanjutan dengan meminimalisir

dampak terhadap lingkungan. Dalam hal ini ketergantungan terhadap sumber

energi yang tidak terbarukan harus dikurangi dan pemanfaatan sumber-sumber

energi terbarukan harus lebih diperluas. Sedangkan kemandirian dalam arti

sejauh mana sumber daya lokal dimanfaatkan dan dilibatkan dalam proses

penyediaan energi tersebut.

Pertambahan penduduk dan gencarnya industrialisasi dunia di tengah

keterbatasan sumber daya energi khususnya energi fosil, menyebabkan

ketidakseimbangan permintaan dan penawaran. Diperkirakan hingga tahun 2030

konsumsi energi dunia masih tergantung kepada energi minyak bumi yang tidak

Page 2: UAS Kebijakan Energi Nasional

terbarukan. Dalam konteks kawasan, Asia Pasifik dengan pertumbuhan

ekonominya yang dinamis hanya memiliki cadangan minyak yang sedikit dan

menyebabkan kebutuhan minyak kawasan banyak tergantung pada kawasan

lain.

Dalam batas tertentu keadaan ini juga dialami Indonesia. Kondisi energi

Indonesia saat ini masih  mengandalkan pada migas. Cadangan minyak bumi

dalam kondisi menurun, walaupun ekploitasi cadangan gas bumi cenderung

meningkat. Untuk energi baru dan terbarukan, meskipun Indonesia memiliki

potensi beragam, namun pengelolaan dan penggunaannya belum optimal.

Berbagai potensi energi tersebut antara lain: sumber energi nabati, gas, panas

bumi, energi nuklir, energi surya, energi angin dan energi laut. Di sisi lain,

Indonesia yang dulu merupakan negara pengekspor minyak saat ini telah

berubah menjadi negara pengimpor minyak. Tantangan Pemerintah ke depan

adalah memperkuat ketahanan energi nasional melalui berbagai perangkat

kebijakan yang ditujukan untuk mendorong pengembangan energi baru dan

terbarukan guna mencapai tingkat bauran energi yang ditargetkan,

meningkatkan efisiensi dan konservasi energi serta memperkuat peran

Pemerintah sebagai regulator kebijakan energi.

Pemerintah Indonesia telah menempuh sejumlah kebijakan untuk memperkuat

ketahanan energi nasional antara lain melalui: pengembangan kebijakan energi

yang bertumpu pada kebutuhan, menekan subsidi minyak bumi seminimal

mungkin, pembaharuan kebijakan energi guna memperkuat good-governance di

sektor energi nasional dan memperkuat kerangka legislasi dan kebijakan

diversifikasi energi melalui pengembangan energi baru dan terbarukan dan

energi alternatif. Selain itu, Indonesia harus mengejar ketertinggalannya di

dalam ilmu pengetahuan dan teknologi terutama yang berhubungan dengan

pengelolaan sumber energi baru dan terbarukan.  Proses alih teknologi dimaksud

mendesak dilakukan dalam waktu yang relatif cepat dan dapat dicapai melalui

kerjasama strategis dengan mitra dari negara lain tanpa mengganggu

kepentingan nasional.

Indonesia juga mendorong peningkatan kerjasama internasional di sektor energi

terbarukan (antara lain: hydro power, wind power, geothermal dan energi nuklir)

dalam rangka memperkuat ketahanan energi termasuk mengurangi

ketergantungan terhadap minyak bumi. Indonesia turut berpartisipasi aktif

dalam berbagai forum energi internasional baik di bawah kerangka PBB maupun

di luar PBB untuk meningkatkan kapasitas pengelolaan kebijakan energi serta

Page 3: UAS Kebijakan Energi Nasional

mendorong dialog di antara negara produsen, konsumen, maupun negara

perantara energi.  Prinsip ini antara lain diwujudkan melalui: intensifikasi

kerjasama dengan International Energy Agency (IEA) melalui penandatanganan

MOU dan menjadi Observer pada Energy Charter. Selain itu Indonesia juga aktif

berpartisipasi pada pembahasan energi pada forum G-20. Dalam rangka

pengembangan energi terbarukan, terutama dalam hal kerja sama untuk

pengembangan infrastruktur dan investasi di bidang tersebut, Indonesia saat ini

tengah mengupayakan keanggotaan di International Renewable Energy Agency

(IRENA).

2. Mengapa Norwegia?

Kisah seorang visioner Norwegia bermula pada tahun 1964. Karena sumber

energi yang dimiliki Norwegia demikian lemah dan tipis, serta hampir tak ada

penopang energi untuk ekonomi mereka maka Norwegia mengajukan sebuah

visi baru sumber energi di laut yang sangat menantang, ”Melakukan eksplorasi

energi di laut dalam sehingga pada saatnya Norwegia mampu mengeksplorasi

laut dalam di titik manapun di planet ini”. Visi “gila” pada jaman itu ditangkap

oleh berbagai sumber pendanaan dari negara mitra Norwegia, antara lain

Perancis. Program itu bukan hanya menyelamatkan ekonomi namun memasuki

abad ke-21 mengantarkan Norwegia menjadi negara paling kaya di Skandinavia,

di Eropa, dan bahkan di dunia. Sehingga mereka berani membuat suatu klaim:

“Oil and gas resources in the North Sea have made Norway one of the richest

countries in the world”. Karena prestasi Norwegia inilah, dunia disadarkan oleh

suatu tema pendekatan ekonomi baru atau istilah: “Knowledge based

economy”. Ekonomi tumbuh berbasis pengetahuan. Suatu demonstrasi

pemanfaatan pengetahuan untuk menundukkan keganasan laut dalam di

Antartika dan dimanfaatkan untuk kepentingan ekonomi bangsa Norway.

Pada Desember 2012, Norwegia secara resmi menyetujui target energi

terbarukan 67,5% pada tahun 2020 dengan komisi Uni Eropa. Target ini adalah

yang tertinggi di Uni Eropa. Target ini ditopang oleh energi terbarukan yang

dipanen dari lepas pantai (offshore). Sektor energi lepas pantai di Norwegia

ditandai dengan tenaga kerja berkualifikasi tinggi yang berakar pada kuatnya

tradisi pelayaran dan kemudian pada kekuatan migas dari laut dalam.

Kompetensi ini sekarang sedang ditransfer ke sektor energi terbarukan lepas

pantai.

Page 4: UAS Kebijakan Energi Nasional

3. Lesson Learned dari Norwegia

Dapat disimpulkan faktor-faktor kunci keberhasilan pengembangan energi

Norwegia adalah sebagai berikut:

a) Visi yang jauh ke depan dan tujuan yang SMART (Specific, Measurable, Attainable, Realistic, and Timely). Visi ini bukan sekedar on paper tetapi tersosialisasikan dan terinternalisasikan sehingga melembaga dalam setiap kebijakan yang diambil. Tujuan yang SMART memberi arahan yang jelas dan efektif pada setiap tahap kebijakan energi baik dalam tataran perencanaan, perumusan, implementasi, maupun monitoring dan evaluasi.

b) Fokus pada kekuatan yang dimiliki (Strength-based approach). Norwegia fokus pada potensi sumber daya alam di laut. Pada tahun

2010, Norwegian Water and Energy Directorate (NVE) mengadakan studi kelayakan awal (preliminary FS) untuk mengidentifikasi seleksi awal 15 area yang potensial bagi pengembangan energi angin lepas pantai. Studi tersebut dilanjutkan dengan Strategic Environmental Assessment dengan tujuan untuk menganalisis tren teknologi dan ekonomi untuk memilah dan menentukan skala prioritas dari ke-15 area tersebut. Semua pemangku kepentingan (di antaranya Ministry of Petroleum and Energy, Norwegian Water Resources and Energy Directorate, Statnett - onshore national grid owner, grid operator and grid regulator, Innovation Norway, The Research Council, Enova - a public enterprise owned by the Royal Norwegian Ministry of Petroleum and Energy, INTPOW - sebuah LSM, Investinor - a government funded venture firm, Eksport Finans - export credit institution for Export Financing, GIEK - offers guarantees in connection with Norwegian export and investments abroad) dilibatkan secara aktif untuk mendukungnya.

Fokus pada penguasaan kompetensi SDM. Penguasaan pada sektor energi di lepas pantai berakar pada ketangguhan pelaut bangsa Viking.

c) Framework yang holistik. Kebijakan energi mengikuti kaidah holistik, dari hulu ke hilir sepanjang rantai nilai (value chain). Kebijakan energi bersifat membumi dengan orientasi kepada pasar (demand side) dan rantai pasok (supply side), baik dalam skala lokal (daerah sampai nasional), regional (Skandinavia sampai Uni Eropa) maupun global (world wide).

d) Good governance. Norwegia menempati ranking ke-8 dari 210 negara dalam Worldwide Governance Index yang dikeluarkan World Bank pada tahun 2011 sementara Indonesia menempati ranking 136. Indeks tersebut mencakup aspek Voice and Accountability, Political Stability and Absence of Violence, Government Effectiveness, Regulatory Quality, Rule of Law, dan Control of Corruption. Perkembangan tata kelola di Indonesia lebih bersifat prosedural, sementara di Norwegia sudah di level substansi.

e) Diplomasi energi.

Page 5: UAS Kebijakan Energi Nasional

Transfer teknologi. Negara kecil di Eropa ini mewajibkan transfer teknologi dalam 16 tahun sejak kesepakatan ditandatangani dan jangka waktu kontrak. Hasilnya, sekarang Norwegia merupakan salah satu negara terbaik dalam dalam eksplorasi mineral dan pengeboran minyak dan gas di laut dalam.

Aliansi energi. Norwegia aktif dalam aliansi dengan pemangku kepentingan penting dalam bidang energi. Misalnya menjalin aliansi dengan Swedia untuk penyediaan energi terbarukan berbasis air, aliansi dengan Jepang dalam energi terbarukan, serta aliansi dengan Jerman dan Inggris untuk memperkuat electricity grid dan ketahanan energi di Eropa bagian utara.

4. Berkaca Pada Pengalaman Norwegia dan Negara Lainnya

Negara lain banyak yang lebih berhasil daripada Indonesia dalam mengelola kekayaan energinya. Agar tidak salah urus, negeri ini jangan tabu belajar dari pengalaman negara lain yang terbukti efektif.

A. Memulai dari penguatan visi bersama melalui kepemimpinan yang efektif

Jika visi energi di Norwegia demikian terinternalisasikan, tidak halnya dengan visi energi di Indonesia. Hal ini tercermin dari:

masih tersanderanya kebijakan energi oleh vested interest kebijakan energi nasional tidak konvergen pada satu muara yang sama antara satu sektor kebijakan dengan sektor lainnya seolah tidak terkait

satu sama lain

Kondisi seperti ini jelas tidak kondusif bagi ketahanan energi nasional. Padahal energi menyangkut hajat hidup orang banyak, meliputi semua pemangku kepentingan dan bersifat multi disiplin. Mengingat ke depan situasi energi makin kompleks serta memiliki peran yang makin krusial dan strategis maka hal pertama yang harus segera dimiliki adalah kepemimpinan di bidang energi yang visioner, sinergistik, strategis dan transformasional. Kepemimpinan (leadership) di bidang energi yang efektif, yaitu kepemimpinan yang mampu:

menentukan arah perubahan menuju gambaran masa depan yang dicita-citakan

mengkomunikasikan dan membangun jaringan kerjasama internal dan eksternal.

mengantisipasi perubahan lingkungan, menciptakan sense of urgency dan menentukan prioritas perubahan yang harus dilakukan, serta memberdayakan anggota organisasi untuk melakukan perubahan

mengorkestrasi semua pemangku kepentingan dan sumber daya lainnya menuju pencapaian visi bersama.

Tiga poin pertama dapat direalisasikan melalui perumusan, sosialisasi & internalisasi serta mengawal target yang SMART. Pada 2005, Pusat Penelitian Modernisasi China menerbitkan peta jalan Modernisasi China untuk abad ke-21.

Page 6: UAS Kebijakan Energi Nasional

Isinya: tahun 2025 GDP China menyamai Jepang. Tahun 2050 China jadi negara maju secara moderat. Tahun 2080 China menjadi negara maju, sama dengan AS. Tahun 2100 China menjadi negara paling maju di dunia, melampaui AS. Atas dasar peta jalan itu, China bergerak menuju masyarakat yang lebih baik secara bersama (xiaokang). Kita, sejak era reformasi, tahapan pembangunan seperti orde baru (GBHN), tidak mendapatkan titik tekanan. Sesuai dengan jamannya, kita perlu buku putih garis pembangunan berkelanjutan. Apalagi dengan pembatasan masa jabatan presiden lewat amandemen. Ganti presiden, ganti lagi kebijakan. Maka perlu arah kebijakan yang konsisten dan punya visi jauh kedepan. (Kemal, 2010)

B. Menjabarkan Visi dan Target ke dalam Rujukan Bersama

Salah satu bentuk media komunikasi paling mendasar adalah rumusan grand design (peta jalan) yang progresif sebagai rujukan (common refference). Lewat road map yang progresif, disinilah national and character building akan kita temukan lagi (sistem). Kepercayaan diri atas kemampuan bangsa pun akan terbentuk kembali. Simultan tapi progresif. Rumusan yang komprehensif, tidak hanya normatif tetapi juga substantif dan dikuatkan dengan ketetapan hukum. Produk hukum yang dapat berperan sebagai payung, yang dibuat tidak untuk dilanggar tetapi:

Menjamin kepastian upaya/usaha (legal bases for all) Menjamin keadilan bagi semua pemangku kepentingan Menjadi rujukan bersama dengan satu pengertian yang sama (bukan multi

tafsir) Menyatukan semua upaya menuju pencapaian tujuan bersama (goal

congruence) Ruhnya adalah keberpihakan pada kepentingan nasional Menjadi dokumen yang mengikat tetapi menjamin adanya ruang

fleksibilitas bagi perubahan (living document)

Poin-poin tersebut hanya dapat dilaksanakan dalam kerangka tata kelola yang baik (good governance), yang setidaknya harus ditegakkan oleh empat pilar: prinsip kepastian hukum, transparansi, akuntabilitas dan profesionalisme. Tanpa tata kelola yang baik, tujuan yang dicita-citakan hanya tinggal mimpi yang tak akan dapat dicapai.

C. Tata Kelola Yang Baik

Visi dan roadmap hanya akan menjadi dokumen semata tanpa diberlakukannya tata kelola yang baik.

Perubahan rezim dari orde baru ke orde reformasi memungkinkan masyarakat mengkritisi secara terbuka pengelolaan energi nasional. Beberapa isu yang sering mengemuka antara lain:

pemerintah terlalu mengistimewakan investor maupun pengusaha asing melalui UU PMA hasil amandemen UUD yang ke empat.

Page 7: UAS Kebijakan Energi Nasional

terkait dengan sistem kontrak karya, eksplorasi dan pengolahan sumber energi yang kurang menguntungkan bagi kepentingan nasional. Sistem kontrak kerjasama antara pemerintah dengan para pengusaha lokal maupun asing selama ini disinyalir terjadi penyelewengan baik oleh pengusaha maupun pejabat pemerintah sendiri. Sinyalemen penyelewengan itu antara lain terkait masalah cost recovery atau pengembalian seluruh biaya operasi para kontraktor migas yang sebagiannya merupakan perusahaan asing. Banyak pengeluaran yang tak terkait langsung dengan biaya produksi migas seharusnya menjadi tanggungan masing-masing pengusaha kontraktor migas, malah dibebankan dan menjadi tanggungan pemerintah. Meski cost recovery cenderung naik dari tahun ke tahun, tetapi produksi dan lifting minyak dalam negeri justru berbalik arah mengalami penurunan.

adanya oknum pemerintah yang menjadi komprador kepentingan asing yang sering menghubungkan kepentingan pengusaha baik lokal maupun asing yang merugikan kepentingan nasional.

aksi menimbun BBM maupun gas dan menyelundukannya secara ilegal ke luar negeri baik yang dilakukan oleh swasta maupun pemerintah.

aspirasi daerah yang kurang terakomodir dalam kebijakan energi nasional. Sumatera Selatan merupakan salah satu daerah yang berkeinginan menjadi lumbung energi nasional. Keinginan ini pertama kali disampaikan oleh Gubernur Sumsel saat itu, Syahrial Oesman, kepada Presiden RI Susilo Bambang Yudhoyono ketika meresmikan PLTGU Borang pada 9 November 2004. Dengan dukungan Presiden, Program Provinsi Sumsel sebagai lumbung energi nasional diharapkan dapat dilaksanakan bersama-sama oleh semua stakeholder, baik Pemerintah Pusat, Pemprov, Pemkab/kota, BUMN, swasta, akademisi, LSM, maupun masyarakat. Pengembangan potensi sumber daya energi yang akan menjadikan Provinsi Sumsel sebagai lumbung energi nasional dilakukan melalui perencanaan dan pentahapan pembangunan keenergian yang disusun dalam suatu Master PlanProvinsi Sumatera Selatan sebagi Lumbung Energi Nasional Tahun 2006-2025. Master Plan ini akan digunakan sebagai dasar acuan bagi Pemrov Sumsel untuk merumuskan kebijakan, strategi, dan program pembangunan daerah, serta sebagai masukan bagi Pemerintah Pusat dalam merumuskan kebijakan, strategi, dan program pengembangan energi nasional. Faktanya, aspirasi ini sudah hampir satu dasawarsa tidak mewujud.

Lemahnya koordinasi di kalangan pemerintah dalam kebijakan energi. Dalam rancangan Kebijakan Energi Nasional (KEN) 2025 yang dibuat Dewan Energi Nasional (DEN) disebutkan bahwa kebutuhan gas akan menurun menjadi 19,7 persen. Padahal dalam Peraturan Presiden (Perpres) nomor 5 tahun 2006 disebutkan bahwa bauran energi gas harus menjadi lebih dari 30 persen. Kepada pers, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Jero Wacik meminta kebijakan energi nasional tersebut dikaji ulang, dengan mengemukakan bahwa peran gas harus naik setiap tahun agar bauran energi gas bumi bisa mencapai 30 persen di 2025. Padahal, Menteri ESDM adalah Ketua Harian DEN itu sendiri.

Page 8: UAS Kebijakan Energi Nasional

Saat ini Indonesia belum memiliki konsep ketahanan energi nasional. Pasalnya, selama ini pemerintah masih bertindak reaktif hanya ketika terjadi gejolak energi. "Kita memang belum punya konsep ketahanan energi nasional. Benar-benar hidup adhoc dari hari ke hari," ujar Plt Kepala Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan Bambang Brodjonegoro.

Disamping itu, terdapat lima tantangan dalam pengelolaan energi nasional, yaitu:

Nilai subsudi energi yang besar dan kerap kali melebihi patokan yang sudah diterapkan sehingga menyebabkan anggaran negara menjadi kurang fleksibel untuk pembiayaan lainnya.

Ketidakseimbangan antara kebutuhan dengan pasokan, dimana kebutuhan energi dalam 5 tahun terakhir tumbuh rata-rata 8% per tahun, sementara kemampuan pasokan energi kita masih terbatas.

Berdasarkan bauran energi nasional di tahun 2011, ketergantungan terhadap sumber energi berbasis fosil dalam bauran energi nasional masih tinggi, yaitu minyak bumi sekitar 48%, gas alam 21% dan batubara 27%.

Pemanfaatan sumber energi alternatif khususnya energi terbarukan masih belum maksimal disebabkan berbagai hambatan dari sisi infrastruktur dan aspek keekonomian.

Masih adanya beberapa kendala regulasi dalam pengembangan pengusahaan energi, seperti adanya tumpang tindih kebijakan dan kewenangan, serta penerapankebijakan fiskal.

Atas semua persoalan energi yang dihadapi, mendesak untuk dilakukannya advokasi kebijakan energi nasional secara terbuka. Ke depan, pengelolaan energi tidak bisa lagi dijalankan secara serampangan dan sektoral. Pengelolaan energi nasional jangan sampai reaktif dan sesaat. Kebijakan energi yang tidak tepat dan tidak didasarkan kepada kepentingan nasional, bersifat sporadis dan tidak dihasilkan dari pemikiran serius bukannya memperkuat ketahanan energi namun sebaliknya dapat mengancam ketahanan energi yang pada gilirannya mengancam ketahahanan nasional. Pemerintah harus benar-benar memprioritaskan pengelolaan energi nasional yang komprehensif dan berkelanjutan. Pengelolaan energi harus terencana dan terpadu, dengan mengindahkan tahapan-tahapan tertentu misalnya, pemetaan penyebaran, kebutuhan dan konsumsi energi perwilayah secara komprehensif. Pengelolaan energi harus didasari atas prinsip keterbukaan / transparansi dan akses yang seluasnya terhadap masyarakat. Dengan dasar dan prinsip-prinsip tersebut di atas, pengelolaan energi nasional menjadi lebih terarah dan dapat menyentuh rasa keadilan bagi semua pihak khususnya bagi rakyat miskin. Sebab, persoalan energi bukan persoalaan biasa, melainkan persoalan hidup matinya rakyat.

Kekayaan alam sebagai aset publik harus dikelola oleh pemerintah melalui cara yang transparan, efektif dan efisien, serta mampu menjawab rasa keadilan. Keterlibatan masyarakat di setiap jenjang dalam proses pengambilan keputusan terutama menyangkut alokasi sumber daya dan dalam mendefinisikan dampak-

Page 9: UAS Kebijakan Energi Nasional

dampak pada kelompok masyarakat yang lebih peka, merupakan salah satu faktor yang menentukan keberadaan good governance. Sehingga tercipta sistem yang padu dan saling mendukung dalam kebijakan pada bidang energi.

Masyarakat yang terlibat dalam kegiatan pengelolaan sumber daya alam akan menjadi semacam aktivitas pendukung pengelolaan (co-management) yang terdiri atas suara rakyat dan disertai tindakan-tindakan responsif pemerintah. Hal yang sama berlaku pada aspek pemberdayaan hukum. Yang dibutuhkan adalah peraturan dan kebijakan, dan sistem peradilan yang independen, otoritatif dan profesional. Hukum atau peraturan yang jelas dan tidak debatable menciptakan iklim yang kondusif bagi investasi. Peraturan yang tidak sinergis antara pemerintah pusat dan daerah membuat ketidakpastian makin melebar bagi dunia investasi. Sebagai contoh UU No. 41 tahun 1999 sempat memancing ricuh antara kalangan usaha pertambangan dengan pemerhati lingkungan. UU yang membatasi penambangan di hutan lindung tersebut dianggap kurang tegas diimplementasikan. Sejumlah perusahaan tambang tetap beroperasi di hutan lindung dengan alasan sudah menandatangani kontrak kerja jauh sebelum UU tersebut ditetapkan. (Fauzi, 2008)

Urutan dari kebijakan energi nasional terbuka tersebut adalah sebagai berikut; pertama, keterbukaan dalam pengelolaan energi nasional (termasuk kontrak karya, eksplorasi, eksploitasi, distribusi & pemanfaatannya). Kedua, adanya pemetaan penyebaran, pemanfaatan, kebutuhan dan target efisiensi energi di seluruh wilayah Indonesia. Ketiga, akses masyarakat terhadap energi. Keempat, kepastian penyediaan energi bagi masyarakat tidak mampu. Kelima, harga energi yang terbagi dalam pengelompokan. Kebijakan harga energi seyogyanya tidak terlalu mengikuti mekanisme pasar semata namun pemerintah harus ikut menetapkan secara administratif dengan mempertimbangkan efisiensi di segala aspek. Keenam, riset komersialisasi dan pemanfaatan teknologi energi. Ketujuh, riset komersialisasi dan pemanfaatan teknologi sumber–sumber energi terbarukan. Kedelapan, merumuskan blue-print Pengelolaan Energi Nasional (PEN) sebagai wujud Ketahanan Energi Nasional (KEN) yang berdampak nyata pada perekonomian nasional guna mendukung pembangunan nasional yang berkelanjutan, sesuai dengan visi-misi Dewan Energi Nasional (DEN). (Ghopur, 2013)

Kegiatan eksplorasi dan eksploitasi perlu ditata dengan tujuan:

Pendapatan negara haruslah lebih besar daripada pendapatan kontraktor. Pemasukan negeri ini masih bisa dipacu jika bisa meniru langkah Brasil. Negeri di Amerika Selatan ini meminta 85 persen pendapatan pertambangan untuk negara dan sisanya untuk kontraktor. Venezuela bahkan lebih berani. Semua perusahaan tambang emas dimiliki negara untuk digunakan bagi kepentingan rakyat.

Negara pemilik sumber energi baik energi fosil maupun renewable energy mendapatkan porsi yang lebih besar dibandingkan Kontraktornya. Untuk menjamin ketersediaan pasokan di dalam negeri, kewajiban DMO

Page 10: UAS Kebijakan Energi Nasional

“Domestic Market Obligation” harus ditegakkan dengan perspektif jangka panjang, jangan hanya per satu tahun.

Cost Recovery dapat diajukan dengan cara yang transparan, akuntabel sehingga tidak menjadi ajang korupsi

Kontraktor melakukan transfer teknologi atau “know how” kepada “local staff” dalam jangka waktu yang segera

Pembelian barang-barang yang berasal dari negara pemilik sumber energi atau “local content” dapat mencapai 70% kecuali Indonesia tidak memiliki barang yang dibutuhkan

Kontraktor tidak memaksakan izin dimana sumber energi ada umpamanya hutan atau tempat yang dapat merusak lingkungan

Kontraktor segera melakukan perbaikan baik hutan yang berdampak atau lingkungan yang potensi menjadi rusak

Agar Kontraktor dapat melakukan “Community Development” bagi masyarakat setempat “local community” dengan cara mengajak mereka menjadi staf dengan mendidiknya serta memberikan bantuan modal bagi usaha kecil menengah atau fasilitas umum dan ibadah

Agar Kontraktor meningkatkan “corporate social responsibility” atau CSR bagi masyarakat setempat dan membangun masyarakat setempat secara terukur.

Agar Kontraktor tidak terlibat atau intervensi dalam lobby atau pengaturan perundang-undangan negara setempat. Dan menghargai Hukum dan Peraturan Perundang-undangan yang dibuat sepanjang memang hasil dari Pemikiran asli Pemerintah dan DPR.

Agar Kontraktor tidak memaksakan kehendak untuk meneruskan ladang atau sumber energinya apabila masa kontrak sudah habis sesuai dengan kesepakatan awal dan dapat memberikan kesempatan kepada perusahaan nasional untuk menggantikannya.

Agar Kontraktor atau sebuah negara lain tidak terlibat dalam “dirty politics” , kudeta atau penggulingan Pemerintahan yang sah semata hanya mengincar sumber-sumber energinya saja.

Agar Kontraktor tidak menghalalkan segala cara demi mendapatkan sumber-sumber energi yang ada

(Siraj El Munir Bustami, 2013)

D. Pergeseran menuju paradigma yang berkelanjutan

Knowledge-base Economy

Transisi pembangunan dunia saat ini di mulai dari ekonomi pertanian (pre industrial age di sektor pertanian) ke ekonomi industri (the industrial age di sektor manufaktur) ke ekonomi produksi masal (post industry di sektor jasa skala besar era 90’an) hingga saat ini berada pada tahap ekonomi pengetahuan yang bertopang pada sektor teknologi dan modal manusia. Era perkembangan ekonomi pengetahuan ditandai dengan adanya inovasi di bidang teknologi dan kompetisi global yang membutuhkan inovasi pada produk – produk baru dan proses baru. Norwegia dengan visi energinya yang spektakuler telah menjadi

Page 11: UAS Kebijakan Energi Nasional

contoh sukses pembangunan ekonomi berbasis pengetahuan (knowledge base economy), yang mentransformasi dari krisis energi (net energy importer), kemandirian energi, sampai menjadi negara maju sekaligus pemasok energi global (net energy exporter). Hal ini berkebalikan dengan fenomena kutukan sumber daya alam (resources curse) pada negara-negara yang kaya sumber daya tetapi justru ekonominya tidak berkembang (di mana Indonesia disinyalir berpotensi untuk masuk kategori ini). Jika negara dengan kategori terakhir cenderung menjual sumber daya energi mentah sebagai komoditas, maka negara dengan paham knowlegde-based economy menjual produk atau jasa energi dengan nilai tambah yang besar.

Hanya butuh sembilan tahun (1978-1987) saja, China menoreh income perkapita dua kali lipat. Inggris butuh waktu 100 tahun, Amerika Serikat 47 tahun, Jepang 34 tahun, dan Korea Selatan 11 tahun. Deng Xiaoping pada 1978 mengatakan, ”Bila China ingin memodernisasi pertanian, industri, dan pertahanan, yang harus dimodernisasi lebih dahulu adalah sains dan teknologi serta menjadikannya kekuatan produktif”. Jadi ada penekanan sains dan teknologi. Majunya Korea Selatan, Jepang, Taiwan tak lepas dari sentuhan sains dan teknologi dari produk yang di ekspor (Kemal, 2010).

Pada prinsipnya, negara dengan paham knowlegde-based economy berbasiskan pengetahuan dan diimplementasikan dalam industri berteknologi dan tenaga kerja kompeten sebagai sumber ekonomi pengetahuan negara. Salah satu penopang dalam penerapan konsep knowledge-based economy menurut World Bank yaitu kebijakan dan regulasi ekonomi dan industri untuk memicu pertumbuhan pengetahuan / teknologi baru serta entrepreneurship nasional.

Produksi energi di Indonesia sebagian besar dilakukan oleh perusahaan asing. Statistik British Petroleum mengungkapkan penguasaan cadangan migas oleh perusahaan asing masih dominan. Saat ini porsi nasional hanya 25%, sementara 75% dikuasai asing. Dari total 225 blok migas yang dikelola kontraktor kontrak kerja sama non-Pertamina, 120 blok dioperasikan perusahaan asing. Hanya 28 blok yang dioperasikan perusahaan nasional.  Selanjutnya, sekitar 77 blok dioperasikan perusahaan patungan asing dan lokal. Padahal target pemerintah, pada 2025 porsi operator oleh perusahaan nasional mencapai 50%. Dan sekitar 70% produksi batubara kita dikuasai asing. Dominasi inilah yang membuat pemerintah kelimpungan membangun kebijakan energi yang pro rakyat. Negara ini tersandera oleh kontrak karya dari perusahaan multinasional semacam Shell, Exxon Mobile, Petronas, Petro China, dan perusahaan asing lainnya. (Thaib & Teja, 2012)

Mereka mendapatkan perlakuan dan insentif khusus. Orientasi mereka adalah pada ekspor. Dengan meningkatnya kebutuhan energi dalam negeri dan tuntutan politis yang lebih besar dari pelaku domestik, perlakuan dan insentif khusus pada perusahaan asing, terutama di bidang migas, dikurangi. Sementara itu, pelaku domestik belum dapat menggantikannya secara memadai. Konsekuensinya, kegiatan eksplorasi menurun dan produksi minyak juga terus menurun. Akibatnya, bukan saja berkaitan dengan permasalahan pasokan

Page 12: UAS Kebijakan Energi Nasional

energi, tapi juga penerimaan pemerintah dari migas cenderung menurun. Produksi migas harus dioptimalkan, terutama untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri. Kita harus realistis untuk tetap memberikan insentif yang memadai bagi perusahaan asing di bidang energi. Secara bersamaan, kita juga harus mendukung perusahaan domestik untuk dapat berkembang dengan baik di bidang energi dengan insentif dan pengarahan yang jelas (Juoro, 2013).

Dengan demikian kontrak yang ada ( kontrak konsesi, kontrak karya, ataupun kontrak sharing produksi) harus ditinjau kembali disesuaikan dengan dengan paradigma ini, apalagi kontrak baru. Dengan orientasi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat, seperti diamanatkan konstitusi. Antara lain dengan mendorong proses alih teknologi seperti yang dilakukan Norwegia, penguasaan kompetensi di sektor hulu dan sektor-sektor lain dalam rantai nilai yang memberikan nilai tambah besar, program hilirisasi untuk pengembangan industri yang bernilai tambah dan juga pengembangan kewirausahaan di bidang energi.

Ekonomi Pengetahuan Hijau (Green Knowledge Economy)

Di abad ke‐21, paradigma pembangunan mulai bergeser ke arah pemikiran yang berkelanjutan, dimulai sejak 1960-an melalui berbagai upaya pemikiran yang terus berkembang dan berubah di dunia pada saat itu. Kebijakan konsep pembangunan yang bersifat ekspansif diupayakan berubah seperti yang tertuang dalam konsep kesepahaman agenda abad 21 global, yakni ke arah pembangunan yang memikirkan asas pembangunan berkelanjutan (sustainable development), yakni pembangunan yang memperhatikan kebutuhan saat ini tanpa mengurangi hak bagi pemenuhan kebutuhan generasi mendatang.

Ekonomi Kesejahteraan merupakan pertumbuhan ekonomi yang ditujukan untuk kesejahteraan semua anggota masyarakat, dan dapat dicapai melalui teknologi yang inovatif berdampak minimum terhadap lingkungan. Lingkungan berkelanjutan merupakan etika lingkungan non antroposentris yang menjadi pedoman hidup masyarakat, sehingga mereka selalu mengupayakan kelestarian dan keseimbangan lingkungan, pentingnya peranan konservasi sumberdaya alam, dan mengutamakan peningkatan kualitas hidup non material. Keadilan sosial, merupakan perwujudan dari nilai-nilai keadilan dan kesetaraan akses terhadap sumberdaya alam dan pelayanan publik, menghargai diversitas budaya dan kesetaraan jender.

Konsep pembangunan berkelanjutan mengintegrasikan aspek – aspek seperti ekonomi, sosial, dan lingkungan sebagai kesatuan holistik. Dalam upaya mewujudkan konsep pembangunan berkelanjutan, perlu adanya integrasi antara Ekonomi Pengetahuan (Knowledge Economy) dan Ekonomi Hijau (Green Economy). Penggabungan dua konsep ini dapat menghasilkan paradigma baru berupa Ekonomi Pengetahuan Hijau (Green Knowledge Economy). Konsep dasarnya adalah melakukan upaya “penghijauan” terhadap konsep ekonomi yang sudah ada (eksisting) melalui produk dan proses inovasi dengan mengutamakan kesejahteraan yang berkeadilan (sosial inclusion), efisiensi penggunaan sumber daya alam dan pengolahan pencemaran lingkungan. Prinsip Eknomoni Pengetahuan Hijau antara lain : mempertahankan nilai guna, nilai

Page 13: UAS Kebijakan Energi Nasional

intrinsik dan kualitas, mengikuti aliran alam, sampah (waste) menjadi bahan bagi proses lainnya, dan keanekaragaman serta kreativitas.

Dalam paradigma ini, tercakup:

Supply side:o Pembatasan terhadap upaya eksploitasi sumber daya energi agar

tidak eksesif.o Menyimpan dan menghemat cadangan domestik untuk kebutuhan

jangka panjango Intensifikasi dengan mengeksploitasi dan memproduksi energi yang

hemat dan efisien, dan sekaligus menekan emisi gas rumah kaca. Antara lain melalui adopsi teknologi tepat guna, pemanfaatan sumber energi setempat dan pengolahan lebih lanjut di dalam negeri. Di antaranya dengan secepatnya memperbanyak dan meningkatkan kualitas kilang-kilang BBM dan jika memungkinkan kilang-kilang tersebut dibangun tersebar di seluruh Indonesia pada lokasi-lokasi yang strategis sehingga distribusi BBM bisa lebih merata di seluruh Indonesia. Brasil dapat dijadikan benchmark dalam hal ini. Dengan produksi minyak 2,7 juta barel per hari, sebanyak tiga belas kilang minyak di negara tersebut sedang ditambah sehingga pada tahun 2020 mengolah 3,1 juta barel minyak per hari.

o Ekstensifikasi eksplorasi dan proses eksploitasi ke area-area baru (misalkan mengoptimalkan potensi energi di laut dalam)

o Diversifikasi energi dengan mendorong produksi dan ketersediaan energi di dalam negeri dengan pasokan yang cukup dan harga yang terjangkau dari energi baru dan terbarukan yang lebih ramah lingkungan, punya multiplier efek, nilai tambah dan penyerapan tenaga kerja tinggi dan subsidi berkurang. Meskipun masih banyak kendala seperti: biaya tinggi, siklus alam yang kadang berubah-ubah dengan cepat serta teknologi, Indonesia harus mampu mengatasinya.

o Merevitalisasi industri biofuel dan menggalakkan pemakaiannya dan mempercepat pengembangan energi baru dan terbarukan (EBT) selain biofuel seperti energi surya, angin, hidrogen, air dan hibrida. Campur tangan pemerintah yang lebih besar dalam sektor industri biofuel sebagaimana BBM. Pemerintah harus cukup terlibat jauh dalam penyediaan bahan baku (biomassa), pembangunan biorefinery, distribusi dan penetapan harga biofuel. Sebagai benchmark dapat diambil Brasil. Berbasis lahan tebu yang luas dan sejarah industri gula yang panjang, dibangunlah pengolahan gula ke etanol yang komprehensif sehingga menjadikan Brasil sebagai produsen terbesar etanol di dunia. Lebih dari 10 juta mobil di negara tersebut menggunakan konverter sehingga dapat menggunakan etanol yang lebih ramah lingkungan. Kebijakan Arnold Schwarzenegger sebagai Gubernur California yang sangat

Page 14: UAS Kebijakan Energi Nasional

mendorong kemajuan energi terbarukan, patut ditiru di Indonesia. Mantan aktor laga itu mendorong mobil listrik, menyubsidi sebagian biaya pemasangan solar cell di rumah penduduknya dan penggunaan smart grid,sehingga pemilik rumah dapat menjadi net produsen listrik dan menjual kelebihannya berperan besar dalam peningkatan penggunaan energi surya.

o Menyadarkan semua pemangku kepentingan dari mitos bahwa Indonesia adalah negara yang kaya energi.

o mengeliminir penyelundupan energio membangun infrastruktur energi yang efisien dan dan pemerataan

pembangunan untuk kesejahteraan (penguatan domestik). Penerimaan sektor energi merupakan penerimaan kedua terbesar setelah perpajakan. Pemerintah Australia bisa menjadi contoh karena menggunakan uang hasil pajak dari sektor pertambangan untuk diinvestasikan kembali dalam bentuk penyediaan infrastruktur dan sumber daya lain. Dengan cara ini, hasil tambang yang merupakan salah satu pemasukan utama Australia bisa dinikmati seluruh warga dan mendukung pertumbuhan ekonomi Australia secara berkelanjutan.

o Kolaborasi dengan pemangku kepentingan dalam proyek rintisan. Contohnya pilot project "Sumba Iconic Island" yang hanya akan memanfaatkan energi baru terbarukan baik energi air, bayu, surya, sampai gelombang laut untuk seluruh wilayah pulau Sumba yang dimulai setidaknya tahun 2013 kerja sama antara pemerintah, khususnya KESDM dengan LSM (HIVOS).

o menerapkan prinsip-prinsip partisipasi, konservasi, adil, transparan dan non komoditi dalam pengadaan energi. Antara lain melalui penguatan pembangunan infrastuktur EBT yaitu dengan cara menerbitkan regulasi untuk penerapan Feed-In-Tariff (FIT) untuk harga jual listrik panas bumi dan EBT lainnya.

o Kebijakan harga energi, terutama gas dan batu bara, antara ekspor dan dalam negeri juga harus diselaraskan dengan harga pasar dan kebutuhan dalam negeri. Harganya tidak setinggi harga dunia, tetapi tetap menguntungkan bagi pemasok energi di dalam negeri.

o Diplomasi energi untuk menjamin ketahanan energi nasional. Antara lain melalui kegiatan promosi investasi di bidang energi (untuk energi baru dan terbarukan, Indonesia menawarkan konsep investasi bersama), renegosiasi kontrak dengan pihak asing (kontrak karya aset energi di dalam neger, kontrak penjualan gas ke negara lain), dan diplomasi dengan negara-negara penghasil minyak (eksportir) agar pasokan minyak jangka panjang tetap terjamin (Indonesia menawarkan konsep cadangan bersama antar negara seperti yang dilakukan negara Asia Tenggara dalam skema ASEAN Petroleum Security Agreement untuk diperluas ke Asia).

Demand side:o mengatur pola konsumsi energi

Page 15: UAS Kebijakan Energi Nasional

o meningkatkan budaya hemat energi. keberhasilan banyak negara maju dalam kebijakan penghematan energi ditentukan oleh keberhasilan mereka dalam melakukan penghematan energi pada sistem infrastruktur energi dan sistem pengawasannya. Indonesia patut mencotoh keberhasilan ini dengan segera membuat Standard Operational Procedure hemat energi bagi bangunan komersial, industri dan perumahan.

o Diversifikasi energi dengan menurunkan kebergantungan pada migas dan meningkatkan peran sumber energi baru dan terbarukan yang lebih ramah lingkungan.

o meluruskan kebijakan subsidi energy. Subsidi energi membengkak besar mencapai sekitar Rp 300 triliun pada 2013 melebihi belanja modal dan bantuan sosial yang sangat dibutuhkan dalam mendorong pembangunan dan pengurangan kemiskinan. Kuota BBM selalu terlampaui karena dengan subsidi BBM, konsumsi terus meningkat tajam, belum lagi terjadinya penyelundupan BBM. Besarnya subsidi ini mempunyai implikasi luas pada perekonomian. Besarnya impor minyak dan BBM memberikan sumbangan besar pada defisit neraca perdagangan (ekspor dikurangi impor). Bagaimanapun, subsidi BBM harus dikurangi. Jika tidak, komplikasi pada perekonomian akan semakin besar. Pengurangan subsidi BBM ini sebaiknya dilakukan secara bertahap dan dikompensasi dengan subsidi langsung kepada golongan miskin untuk transportasi, pendidikan, kesehatan, dan kesempatan kerja. Lebih baik kita melakukannya sekarang secara bertahap daripada menunggu pada saat harga minyak tinggi dan penyesuaian harga BBM juga harus tinggi seperti 2005.

o Penggunaan energi yang optimal secara ekonomi, dengan mendorong kegiatan ekonomi produktif

o pemilihan dan penggunaan teknologi energi tepat guna dan efisien. Urgensi bagi efisiensi didasarkan pada fakta bahwa Indonesia—dilihat dari pencapaian PDB-nya—merupakan negara yang sangat boros dalam pemakaian energi, mengalahkan Thailand dan Malaysia.

5. Kelembagaan Bidang Energi

Energi memiliki domain yang luas (politik, ekonomi, sosial budaya, pertahanan dan kemanan) dan meliputi beragam pemangku kepentingan. Para pemangku kepentingan utama di bidang energi adalah:

Pemerintah (pemerintah pusat: kementerian/lembaga, pemda) Lembaga legislatif Komunitas ristek (lembaga litbang/ristek pemerintah/BUMN/swasta,

universitas) Komunitas industri (Industri pemasok energi, industri pendukung, industri

pengguna energi; BUMN, swasta) Masyarakat (pengguna energi, produsen energi)

Page 16: UAS Kebijakan Energi Nasional

LSM

Karena karakteristik tersebut permasalahan energi tidak bisa sepenuhnya dibebankan menjadi tanggung jawab pemerintah semata, tetapi menjadi tanggung jawab bersama para pemangku kepentingan. Tanpa dukungan dari para pemangku kepentingan lainnya, hal itu akan sulit untuk diwujudkan. Dengan demikian diperlukan kerja sama yang baik antara pemerintah dan elemen-elemen pemangku kepentingan lainnya untuk menyelesaiakan permasalahan energi nasional. Perlu good will dari semua pihak, pemerintah, stakeholder dan konsumen untuk melaksanakan secara sungguh-sungguh undang-undang, kesepakatan, kebijakan terkait energi.

Sesuai amanat konstitusi, pemerintah menjadi perangkat negara yang menjadi pemegang mandat untuk mengampu pengelolaan energi nasional. Dalam kapasitas ini, pemerintah bertindak selaku regulator kebijakan energi nasional, penguasa atas aset energi, fasilitator bagi implementasi kebijakan energi nasional dan pengontrol dari pelaksanaan kebijakan energi yang dibuatnya.

Dalam pelaksanaannya, masing-masing peran pemerintah ini diampu oleh lembaga yang terpisah tetapi untuk memastikan goal congruence harus terkoordinir dan sinergistik. Untuk itu diperlukan dirigen yang mengorkestrasi masing-masing pemain agar tercapai “harmoni nada dan irama”. Untuk menjamin efektivitas perannya, yang bertindak selaku dirigen seyogyanya minimal menteri koordinator.

Tata kelembagaan dalam pengelolaan migas nasional juga masih dalam perdebatan. Dengan adanya UU Migas (UU no. 12 tahun 2001), Pertamina yang di UU sebelumnya diberi kuasa sebagai pemegang monopoli kini hanya bertindak sebagai pemain biasa. Sebagai regulator,dibentuklah BP (Badan Pelaksana) Migas yang berstatus Badan Hukum Milik Negara. Yang paling banyak dipertanyakan adalah keberadaan BP migas yang justru membuat industri migas tidak efisien. Hal ini berbeda dengan yang ditempuh Brasil dengan Petrobasnya. Petrobras memegang hak monopoli eksplorasi dan produksi serta aktivitas terkait, termasuk penjualan, distribusi ritel dan produk derivatifnya di Brasil selama 1954 sampai 1997. Kompetisi baru dibuka untuk perusahaan asing ketika Petrobras sudah kuat dan justru akan memacu efisiensinya. Putusan MK Nomor 36/PUU-X/2012 berujung pada pembubaran BP Migas dan sebagai gantinya pemerintah membentuk Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Migas (SKK Migas).

Di sektor kelistrikan ada wacana pemerintah untuk meliberalkan sektor kelistrikan, termasuk proses pembangunan pembangkit listrik, distribusi dan penjualan listrik. Ironisnya, pemerintah percaya liberalisasi ini akan menjadi faktor pendorong elektrifikasi di Indonesia. Dalam kasus banyak negara, liberalisasi justru berdampak buruk, seperti kenaikan tarif listrik. Di California, AS, liberalisasi listrik berakhir dengan cerita pedih. Di tangan swasta, harga listrik bisa naik kapan saja. Bahkan, dalam kasus Enron, perusahaan swasta bisa memanipulasi keadaan, termasuk mematikan aliran listrik, untuk mendorong kenaikan tarif.

Page 17: UAS Kebijakan Energi Nasional

Energi sangat vital bagi pembangunan bangsa. Karena itu, pemerintah mestinya punya politik energi, yang berlandaskan pada pasal 33 UUD 1945. Dengan demikian, kekayaan energi nasional bisa benar-benar digunakan untuk kesejahteraan rakyat. Hanya saja, sampai sekarang Indonesia belum mampu membangun perusahaan migas dan mineral lainnya yang kompetitif, menguasai teknologi eksplorasi, mengembangkan dan meningkatkan kualitas produk seperti Shell dari Belanda, BP dari Inggris dan Petronas dari Malaysia.

Pemenuhan terhadap kebutuhan energi akan terwujud jika pengelolaan sumber daya energi dilakukan dengan benar, mendahulukan kepentingan umum dan profesional, meningkatkan mutu serta mempertimbangkan laba rugi dalam cakupan luas. Ketersediaan sumber energi sebegai sebuah produk merupakan rangkaian proses produksi yang membentuk rantai pasok, pada akhirnya menjadi sebuah industri. Ketersediaan industri dapat terpenuhi bila pemerintah membangun industri migas yang kompetitif dan memegang kendali penuh atas industri. Untuk membangun industri migas yang kompetitif dapat dimulai dengan restrukturisasi internal perusahaan sebagai berikut:

Meningkatkan kinerja perusahaan pemerintah dengan membangun manajemen yang solid,dan meningktakan sumber daya manusia.

Membangun industri baja, dan konstruksi lainnya yang bermuatan teknologi untuk meningkatkan eksloprasi dan pengolahan migas.

Membangun holding atau induk perusahaan migas pemerintah. Mengintegrasikan seluruh perusahaan migas, memingkatkan koordinasi antar lini produksi untuk membentuk ratai pasok yang efisien dan industri yang kuat.

Pemerintah dapat mengintervensi langsung melalui kebijakan untuk membentuk industri migas yang kuat. Keadaan yang kondusif dalam restrukturisasi industri adalah keadaan yang kompetitif dan kondusif, dalam artian persaingan tetap ada dan berjalan wajar, yang dapat tercipta dengan:

Membuka peluang masuk bagi pihak swasta, untuk mengembangkan industri hilir pada industri migas.

Melakukan partenership atau joint venture dengan pihak swasta asing untuk mengembangkan industri hilir industri migas.

Melakukan pengawasan terhadap perusahaan di industri migas supaya mentaati regulasi yang dibuat oleh pemerintah.

Melakukan marger perusahaan-perusahaan kecil migas supaya lebih efisien dan tidak merusak lingkungan.

6. Daftar Pustaka

Bustami, Siraj E.M. Strategi Kebijakan Energi Indonesia. http://hukumenergisumberdayamineral.wordpress.com/ 22 Januari 2013

Energi dari Laut Dalam Indonesia Pilihan yang Tak Boleh Diabaikan. 02 Mei 2012.

http://www.sainsindonesia.co.id/index.php?

Page 18: UAS Kebijakan Energi Nasional

option=com_content&view=article&id=68:energi-dari-laut-dalam-indonesia-

pilihan-yang-tak-boleh-diabaikan&catid=14&Itemid=112. 9 Februari 2013.

Fauzi, Dwi A. 25 November 2008. Good Governance Menuju Ketahanan Energi. http://poligg.blogspot.com/2008/11/good-governance-menuju-ketahanan-energi.html 9 Februari 2013.

Ghopur, Abdul. Benarkah Indonesia Krisis Energi? Kompasiana. 11 Januari 2013.

Ghopur, Abdul. Paradoks Negeri Kaya Energi. Kompasiana. 29 Januari 2013.

INTPOW. 2012. Offshore Wind Norway: Market and Supply Chain, 2012.

Jero Wacik minta kebijakan energi nasional dikaji ulang. Harian Umum Merdeka. 29 Januari 2013. http://www.merdeka.com/uang/jero-wacik-minta-kebijakan-energi-nasional-dikaji-ulang.html 9 Februari 2013.

Juoro, Umar. Komplikasi Kebijakan Energi. Harian Umum REPUBLIKA, 28 Januari

2013.

Kemal. 2010. Political Will dan Konsistensi Arah Kebijakan.

http://politik.kompasiana.com/2010/05/14/political-will-dan-konsistensi-arah-

kebijakan-140339.html 9 Februari 2013

Mewujudkan Sumsel sebagai Lumbung Energi Nasional. 6 Februari 2013.

http://energitoday.com/2013/02/06/mewujudkan-sumsel-sebagai-lumbung-

energi-nasional/ 9 Februari 2013.

Strategi Indonesia dalam Ketahanan Energi Nasional. 19 Oktober 2012.

http://indonesianvoices.com/index.php/nasionalberita/1327-strategi-indonesia-

dalam-ketahanan-energi-nasional. 9 Februari 2013.

Thaib, Mathiyas, Hendri Teja. 30 Maret 2012. Kenaikan BBM : Pertarungan

Pemimpin Ber-mindset Produktif vs Konsumtif. http://www.alomet.net/?

p=1238 9 Februari 2013.

Worldwide Governance Indicator. 2011.

http://info.worldbank.org/governance/wgi/index.asp 9 Februari 2013.