Upload
vokhanh
View
260
Download
1
Embed Size (px)
Citation preview
3
II. TINJAUAN PUSTAKA
A. Aspergillus flavus
Aspergillus flavus pada sistem klasifikasi yang terdahulu merupakan spesies kapang
yang termasuk dalam divisi Tallophyta, sub-divisi Deuteromycotina, kelas kapang Imperfecti,
ordo Moniliales, famili Moniliaceae dan genus Aspergillus (Frazier dan Westhoff 1978). Sistem
klasifikasi yang lebih baru memasukkan genus Aspergillus dalam Ascomycetes berdasarkan
evaluasi ultrastruktural, fisiologis, dan karakter biokimia mencakup analisis sekuen DNA.
Kapang dari genus Aspergillus menyebar luas secara geografis dan bisa bersifat
menguntungkan maupun merugikan bergantung pada spesies kapang tersebut dan substrat yang
digunakan (Abbas 2005). Aspergillus memerlukan temperatur yang lebih tinggi, tetapi mampu
beradaptasi pada aw (water activity) yang lebih rendah dan mampu berkembang lebih cepat bila
dibandingkan dengan Penicillium (Hocking 2006). Genus ini, sekalipun memerlukan waktu
yang lebih lama dan intensitas cahaya yang lebih untuk membentuk spora, tetapi mampu
memproduksi spora yang lebih banyak sekaligus lebih tahan terhadap bahan-bahan kimia
(Hocking 2006; Pitt 2006). Hampir semua anggota dari genus Aspergillus secara alami dapat
ditemukan di tanah dimana kapang dari genus tersebut berkontribusi dalam degradasi substrat
anorganik. Spesies Aspergillus dalam industri secara umum digunakan dalam produksi enzim
dan asam organik, ekspresi protein asing serta fermentasi pangan. Koloni Aspergillus flavus pada
media Czapek’s agar dapat dilihat pada gambar 1.
Aspergillus flavus merupakan kapang saprofit di tanah yang umumnya memainkan
peranan penting sebagai pendaur ulang nutrisi yang terdapat dalam sisa-sisa tumbuhan maupun
binatang. Kapang tersebut juga ditemukan pada biji-bijian yang mengalami deteriorasi
mikrobiologis selain menyerang segala jenis substrat organik dimana saja dan kapan saja jika
kondisi untuk pertumbuhannya terpenuhi. Kondisi ideal tersebut mencakup kelembaban udara
yang tinggi dan suhu yang tinggi (Scheidegger dan Payne 2003). Sifat morfologis Aspergillus
Gambar 1. Koloni Aspergillus flavus pada media Czapek agar (Hedayati et al. 2007)
4
flavus yaitu bersepta, miselia bercabang biasanya tidak berwarna, konidiofor muncul dari kaki
sel, sterigmata sederhana atau kompleks dan berwarna atau tidak berwarna, konidia berbentuk
rantai berwarna hijau, coklat atau hitam (Smith dan Pateman 1977). Ruiqian et al. (2004)
menyatakan bahwa tampilan mikroskopis Aspergillus flavus memiliki konidiofor yang panjang
(400-800 µm) dan relatif kasar, bentuk kepala konidial bervariasi dari bentuk kolom, radial, dan
bentuk bola, hifa berseptum, dan koloni kompak (Gambar 2). Koloni dari Aspergillus flavus
umumnya tumbuh dengan cepat dan mencapai diameter 6-7 cm dalam 10-14 hari (Ruiqian et al.
2004). Kapang ini memiliki warna permulaan kuning yang akan berubah menjadi kuning
kehijauan atau coklat dengan warna inversi coklat keemasan atau tidak berwarna, sedangkan
koloni yang sudah tua memiliki warna hijau tua (Ruiqian et al. 2004; Hedayati et al. 2007).
Keberagaman ceruk ekologi yang dicakup oleh Aspergillus sub-genus Aspergillus bagian Flavi
(grup Aspergillus flavus) dipadukan dengan kemampuan beberapa spesiesnya untuk
memproduksi aflatoksin menjadikan grup Aspergillus flavus sebagai grup yang paling banyak
dipelajari hingga saat ini.
Gambar 2. Tampilan mikroskopis dari Aspergillus flavus (Hedayati et al. 2007)
Aspergillus flavus tersebar luas di dunia. Hal ini disebabkan oleh produksi konidia yang
dapat tersebar melalui udara (airborne) dengan mudah maupun melalui serangga. Komposisi
atmosfir juga memiliki pengaruh yang besar terhadap pertumbuhan kapang dengan kelembaban
sebagai variabel yang paling penting (Hedayati et al. 2007). Tingkat penyebaran Aspergillus
flavus yang tinggi juga disebabkan oleh kemampuannya untuk bertahan dalam kondisi yang
keras sehingga kapang tersebut dapat dengan mudah mengalahkan organisme lain dalam
mengambil substrat dalam tanah maupun tanaman (Bhatnagar 2000).
Aspergillus flavus dan Aspergillus parasiticus merupakan bagian grup Aspergillus yang
sudah sangat dikenal karena peranannya sebagai patogen pada tanaman dan kemampuannya
untuk menghasilkan aflatoksin pada tanaman yang terinfeksi (Abbas 2005). Kedua spesies
tersebut merupakan produsen toksin paling penting dalam grup Aspergillus flavus yang
5
mengkontaminasi produk agrikultur (Yu et al. 2002). Aspergillus flavus dan Aspergillus
parasiticus mampu mengakumulasi aflatoksin pada berbagai produk pangan meskipun tipe
toksin yang dihasilkan berbeda. Aspergillus sp. umumnya mampu tumbuh pada suhu 6-60°C
dengan suhu optimum berkisar 35-38°C. Aspergillus flavus dapat tumbuh pada Rh minimum
80% (aw minimum=0.80) dengan Rh minimum untuk pembentukan aflatoksin sebesar 83% (aw
minimum pembentukan aflatoksin=0.83). Rh minimum untuk pertumbuhan dan germinasi spora
adalah 80% dan Rh mininum untuk sporulasi adalah 85%. Kenaikan suhu, pH, dan persyaratan
lingkungan lainnya akan menyebabkan aw minimum bertambah tinggi (Makfoeld 1993).
Tampilan mikroskopis Aspergillus flavus dapat dilihat lebih jelas melalui mikroskop tiga dimensi
(Gambar 3).
Vujanovic et al. (2001) berpendapat bahwa Aspergillus flavus dapat tumbuh optimal
pada aw 0.86 dan 0.96. Sauer (1986) menyatakan bahwa Aspergillus flavus tidak akan tumbuh
pada kelembaban udara relatif di bawah 85% dan kadar air di bawah 16%. Aw minimum yang
dibutuhkan Aspergillus flavus untuk tumbuh adalah 0.80 (Richard et al. 1982). Aspergillus flavus menyebabkan penyakit dengan spektrum luas pada manusia, mulai
dari reaksi hipersensitif hingga infeksi invasif yang diasosiasikan dengan angioinvasion.
Sindrom klinis yang diasosiasikan dengan kapang tersebut meliputi granulomatous sinusitis
kronis, keratitis, cutaneous aspergillosis, infeksi luka, dan osteomyelitis yang mengikuti trauma
dan inokulasi (Hedayati et al. 2007). Semntara itu, Aspergillus flavus cenderung lebih
mematikan dan tahan terhadap antifungi dibandingkan hampir semua spesies Aspergillus yang
laiinya (Hedayati et al. 2007). Selain itu, kapang tersebut juga mengkontaminasi berbagai
produk pertanian di lapangan, tempat penyimpanan, maupun pabrik pengolahan sehingga
meningkatkan potensi bahaya dari Aspergillus flavus (Ruiqian et al. 2004; Hedayati et al. 2007).
Hedayati (2007) menyatakan bahwa penyebaran Aspergillus flavus yang merata sangat
dipengaruhi oleh iklim dan faktor geografis Pertumbuhan Aspergillus flavus dipengaruhi oleh
lingkungan seperti kadar air, oksigen, unsur makro (karbon, nitrogen, fosfor, kalium dan
Gambar 3. Tampilan mikroskopis 3-D dari Aspergillus flavus (Reddy et al. 2010)
6
magnesium) dan unsur mikro (besi, seng, tembaga, mangan dan molibdenum). Faktor lain yang
juga berpengaruh antara lain cahaya, temperatur, kelembaban dan keberadaan kapang lain.
Temperatur yang optimal untuk pertumbuhan Aspergillus flavus berkisar pada 30˚C dengan Rh ≥
95% (Onions et al. 1981). Secara umum kapang adalah organisme aerobik sehingga gas O2 dan
N2 akan menurunkan kemampuan kapang untuk membentuk aflatoksin. Efek penghambatan
oleh CO2 dipertinggi dengan menaikkan suhu atau menurunkan Rh dengan kadar O2 minimum
1% untuk pertumbuhan. Perlakuan dan analisis yang tepat sangat dibutuhkan untuk mencegah
penurunan produksi aflatoksin dalam lingkungan laboratorium.
B. Aflatoksin
Aflatoksin merupakan sekelompok toksin yang memiliki struktur molekul yang mirip
(Ruiqian et al. 2004). Aflatoksin ditemukan secara tidak sengaja pada insiden kematian seratus
ribu ekor kalkun di suatu peternakan di Inggris pada tahun 1960. Penyakit tersebut dikenal
dengan nama Turkey X Disease karena belum diketahui penyebabnya pada waktu itu (Yu et al.
2002). Penyebab penyakit tersebut ditemukan berupa sejenis toksin yang terdapat dalam tepung
kacang tanah pada ransum ternak. Pengujian yang melibatkan sampel ransum ternak
mengungkapkan keberadaan sejenis kapang (Goldbatt 1969; Ruiqian et al. 2004). Toksin
tersebut berasal dari kontaminasi Aspergillus flavus pada campuran ransum ternak tersebut.
Nama toksin tersebut diambil dari penggalan kata Aspergillus flavus toksin yang disingkat
menjadi aflatoksin karena Aspergillus flavus dan Aspergillus parasiticus merupakan spesies
dominan yang bertanggung jawab atas kontaminasi aflatoksin pada tanaman sebelum dipanen
maupun selama penyimpanan (Yu et al. 2004; Yusrini 2005). Aflatoksin memiliki karakteristik
seperti dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1. Karakteristik Berbagai Jenis Aflatoksina
Aflatoksin Rumus Molekul Berat Molekul Titik leleh (0C)
B1 C17H12O6 312 268-269
B2 C17H14O6 314 286-289
G1 C17H12O7 328 244-246
G2 C17H14O7 330 237-240
M1 C17H12O7 328 299
M2 C17H14O7 330 293
B2A C17H14O7 330 240
G2A C17H14O8 346 190 aSumber: http://www.icrisat.org/aflatoxin/aflatoxin.asp (2010)
Produksi aflatoksin merupakan sebuah konsekuensi dari kombinasi berbagai faktor
antara lain karakteristik biologis dan kimiawi spesies, substrat, dan lingkungan seperti iklim dan
faktor geografis. Faktor-faktor yang mempengaruhi meliputi temperatur, kelembaban, cahaya,
7
aerasi, pH, sumber karbon dan nitrogen, faktor stress, lipida, trace metal salt, tekanan osmosis,
potensi oksidasi-reduksi, dan komposisi kimiawi dari nutrien yang diberikan (Yu et al. 2002;
Ruiqian et al. 2004; Hedayati et al. 2007; Martins et al. 2008). Beberapa faktor-faktor tersebut
bisa mempengaruhi ekspresi gen yang meregulasikan produksi aflatoksin (aflR) maupun gen
struktural kemungkinan dengan mengubah ekspresi faktor-faktor transkripsi global yang
merespons sinyal dari lingkungan dan nutrisi (Yu et al. 2002). Yu et al. (2002) menyatakan
bahwa aflatoksin disintesis dari malonyl CoA dalam dua tahap. Tahap pertama ialah
pembentukkan hexaonyl CoA dilanjutkan tahap kedua berupa pembentukkan decaketide
anthraquinone. Beberapa seri reaksi oksidasi-reduksi (Gambar 4) yang sangat terorganisir
kemudian menghasilkan aflatoksin. Skema produksi aflatoksin yang umum diterima saat ini
ialah sebagai berikut.
hexanoyl CoA precursor —> norsolorinic acid, NOR —> averantin, AVN
—> hydroxyaverantin, HAVN —> averufin, AVF —>
hydroxyversicolorone, HVN—> versiconal hemiacetal acetate, VHA —>
versi-conal, VAL —> versicolorin B, VERB —> versicolorin A, VERA —
> demethyl-sterigmatocystin, DMST —> sterigmatocystin, ST —> O-
methylsterigmatocystin, OMST—> aflatoxin B1, AFB1 and aflatoxin G1,
AFG1.
Gambar 4. Skema produksi aflatoksin (Yu et al. 2002)
Biosintesis aflatoksin merupakan proses yang sangat kompleks (Gambar 5) dan diatur
oleh gen-gen yang tersusun dalam suatu kelompok gen. Yu et al. (2002) menyatakan bahwa efek
posisi kromosomal dan juga beberapa gen regulator akan bergantung pada kontrol nutrisi dan
lingkungan. D’Mello (2002) secara singkat menyatakan bahwa aflatoksin, seperti halnya patulin
dan fumonisin, memiliki jalur biosintesis polipeptida dengan metabolit primer berupa Asetil
koenzim-A.
8
Gambar 5. Jalur biosintesis aflatoksin dan sterigmatosistin (Yu et al. 2002)
Meskipun demikian, pentingnya produksi aflatoksin secara biologis maupun dalam
kaidah evolusi bagi kapang itu sendiri masih sangat sedikit dipahami. Aflatoksin merupakan
metabolit sekunder yang umumnya diasosiasikan dengan respon kapang terhadap lingkungan
yang membatasi pertumbuhan (Carvalho 2010).
9
Fente et al. (2001) menyatakan aflatoksin sebagai mikotoksin dengan sifat beracun dan
karsinogenik tinggi yang dihasilkan dari beberapa strain Aspergillus flavus, Aspergillus
parasiticus, dan Aspergillus nomius. Aflatoksin yang terutama dihasilkan oleh Aspergillus
flavus dan Aspergillus parasiticus merupakan metabolit fungi yang terjadi secara alami dan telah
lama dikenal sebagai kontaminan lingkungan yang signifikan (Wang et al. 2005). Kapang-
kapang tersebut umum dijumpai pada bahan pakan atau pangan yang mengalami proses
pelapukan (Diener dan Davis 1969) atau disimpan dalam kondisi kelembaban tinggi (Winn dan
Lane 1978) meskipun tidak semua kapang tersebut menghasilkan aflatoksin. Hal tersebut
mendorong munculnya metode untuk menyeleksi kemampuan kapang untuk memproduksi
aflatoksin. Aflatoksin diberi akhiran sesuai dengan penampakan fluorosensinya dibawah sinar
UV pada lempeng kromatografi lapisan tipis dengan silika gel yang disinari ultraviolet (Syarief
et al. 2003). Penampakan fluoresensi biru diberi akhiran B (blue) dan penampakan fluorosensi
hijau diberi akhiran G (green). Berdasarkan mobilitas pada kromatografi lapisan tipis, penamaan
aflatoksin diberi indeks angka tambahan menjadi B1, B2, G1, dan G2, masing-masing dengan
struktur molekul yang berbeda namun mirip (Gambar 6).
Gambar 6. Struktur molekul berbagai jenis aflatoksin (Lee et al. 2004)
10
Semakin kecil indeks angka tambahan tersebut, semakin cepat Rf (Rate of Flow) dari
spot sehingga rasio antara jarak spot dan eluen semakin besar. Steyn (1991) dan Miller (1994)
menyatakan bahwa aflatoksin B2 merupakan turunan dihidroaflatoksin B1, sedangkan aflatoksin
G2 merupakan turunan dihidroaflatoksin G1.
Goldblatt (1969) menyatakan bahwa aflatoksin M1 adalah 4-hidroksiaflatoksin B1 dan
aflatoksin M2 adalah 4-hidroksiaflatoksin B2. AFM1 dan AFM2 pertama kali diisolasi dari susu
yang dihasilkan oleh sapi yang diberi pakan yang terkontaminasi aflatoksin (Ruiqian et al. 2004).
Ruiqian et al. (2004) menyatakan bahwa molekul aflatoksin memiliki inti coumarin yang
berikatan dengan bifuran atau pentanon seperti pada AFB1 dan AFB2, atau lakton seperti pada
AFG1 dan turunannya AFG2. Aflatoksin merupakan grup komponen heterosiklik turunan
polikeptida dari furanocoumarins yang dapat berpendar dengan setidaknya 16 jenis toksin yang
sudah terkarakterisasi memiliki kaitan struktural yang umumnya digolongkan berdasarkan residu
dihidrofuran atau tetrahidrofuran yang tergabung ke coumarin moiety tersubstitusi (D’Mello
2002; Yu et al. 2002). Pembentukan aflatoksin terjadi pada kisaran suhu 11-41°C dengan suhu
untuk pembentukan aflatoksin maksimum sedikit di bawah suhu optimum untuk pertumbuhan
kapangnya yaitu 24-30°C. Suhu dan waktu optimum untuk pembentukan aflatoksin pada
Aspergillus flavus pada kacang tanah steril adalah 25°C selama 7-9 hari (Makfoeld 1993). Suhu
pertumbuhan minimum dan maksimum ini dipengaruhi oleh faktor lain seperti konsentrasi
oksigen, kadar air, nutrien dan lain-lain (Diener dan Davis 1969).
Aflatoksin B1 merupakan aflatoksin yang paling dominan dan mempunyai sifat racun
yang tinggi dan berbahaya (Diener dan Davis 1969) serta paling banyak ditemui dalam
konsentrasi tinggi baik pada pangan maupun pakan (Lee et al. 2004). Oleh karena itu,
kebanyakan penelitian yang telah dilakukan umumnya cenderung difokuskan untuk meneliti
aflatoksin B1.
Regulasi terkait akan aflatoksin telah menjadi perhatian pemerintah. Pemerintah
menetapkan batas maksimum kandungan aflatoksin B1 dan aflatoksin total pada produk olahan
jagung dan kacang tanah adalah masing-masing sebesar 20 ppb dan 35 ppb (Keputusan Kepala
BPOM RI No. HK.00.05.1.1405 tahun 2004). Beberapa negara uni-eropa menerapkan regulasi
batas maksimum jumlah aflatoksin sebesar 5 ppb (Yu et al. 2002).Lee et al. (2004) menyatakan
bahwa nilai LD50 dari aflatoksin ialah 0,5 mg/kg berat badan sehingga aflatoksin diketahui lebih
bersifat karsonogenik dibandingkan hampir semua karsinogen lainnya dan dikategorikan sebagai
karsinogen kelas I oleh International Agency for Research on Cancer (IARC).
Aflatoksin dapat bersifat toksigenik, mutagenik, teratogenik, karsinogenik, dan
immunosuppresif pada hewan percobaan (Yu et al. 2002). Aflatoksin mampu menyebabkan
penyakit dalam jangka panjang (kronis) dan penyakit jangka pendek (akut) bergantung pada
dosis dan frekuensi paparan aflatoksin. Salah satu efek yang paling sering terjadi ialah
kehilangan sintesis protein, termasuk sintesis antibodi sesuai dengan dosis paparan (Martins et
al. 2008). Aflatoksin umumnya mempengaruhi liver dan beberapa kasus terkontaminasi
aflatoksin telah terjadi pada kelompok masyarakat di berbagai negara, terutama negara tropis.
Meskipun demikian, kasus keracunan akut masih jarang terjadi sehingga kewaspadaan
masyarakat masih terbilang rendah. Syarief et al. (2003) menyatakan bahwa aflatoksin dapat
mengakibatkan kerusakan hati, organ tubuh yang sangat penting dan juga berperan dalam
detoksifikasi aflatoksin itu sendiri. Hasil penelitian sejauh ini menunjukkan bahwa telah terdapat
cukup bukti berupa hasil penelitian in vitro dan in vivo yang mendukung pandangan bahwa
manusia memiliki proses biokimia yang dibutuhkan oleh karsinogen yang diinduksi oleh
11
aflatoksin (Verma 2004). Aflatoksin yang dikonsumsi secara terus-menerus, walaupun dalam
jumlah kecil, mampu menyebabkan kanker hati. Hedayati et al. (2007) menyebutkan bahwa
sampai saat ini obat yang diketahui dapat menyembuhkan kontaminasi Aspergillus adalah
amphotericin B (AmB) dan itraconazole. Saat ini penggunaan voriconazole, posaconazole, dan
caspofungin juga telah diterima untuk pengobatan kontaminasi Aspergillus.
Meskipun belum ada laporan terinci mengenai kerugian ekonomi dikarenakan adanya
keengganan untuk melaporkan kasus kontaminasi aflatoksin, data penelitian menunjukkan
adanya dampak aflatoksin pada produksi pertanian dan peternakan di Indonesia (Bahri et al.
2003; Lilieanny et al. 2005) termasuk pada bahan pangan dan pakan (Aryantha et al. 2007).
Kontaminasi aflatoksin pada bahan pangan dan pakan menyebabkan adanya residu dalam tubuh
yang dapat menyebabkan keracunan pada manusia dan hewan ternak (Maryam et al. 1995;
Maryam, 1996; Devegowda et al. 1998; Maryam et al. 2003; Van Eijkeren et al. 2006; Diaz et
al. 2006). Data dari LIPI mengindikasikan bahwa 47% kecap yang didistribusikan di Jawa telah
terkontaminasi aflatoksin (Aryantha et al. 2007). Pitt dan Hocking (1997) memperkirakan bahwa
setiap tahun terjadi kematian 20.000 orang penderita kanker hati di Indonesia yang disebabkan
oleh aflatoksin.
Aflatoksin merupakan salah satu mikotoksin yang menjadi perhatian bagi produsen
produk dairy diantara lebih dari 200 jenis mikotoksin yang telah diidentifikasi. Hal tersebut
mendorong adanya regulasi untuk mencegah kontaminasi aflatoksin dalam produk pangan. Sejak
tahun 2003 diperkirakan terdapat lebih 100 negara yang memiliki regulasi terkait dengan
mikotoksin dengan total populasi mencakup 87 % penduduk dunia (Egmond et al. 2005). Berikut
ini ialah beberapa regulasi yang terkait dengan aflatoksin. Secara umum konsentrasi aflatoksin
dan akibat yang ditimbulkannya dapat dilihat pada Tabel 2.
Tabel 2. Konsentrasi aflatoksin dan akibat yang ditimbulkana
aSumber: www.ipm.iastate.edu (2010) bpart per billion
Pengaruh aflatoksin terhadap keamanan pangan menjadi nyata terkait dengan
kemampuannya untuk terakumulasi dalam bahan pangan. Kebanyakan kasus kontaminasi
aflatoksin pada pangan dan pakan yang telah dilaporkan di Indonesia umumnya berupa produk
berbasis kacang-kacangan dengan 80% produk kacang-kacangan yang dipercontohkan dapat
mengandung aflatoksin B1 dengan jumlah rataan sebesar 30 ppm.
Potensi bahaya dari aflatoksin dan kecenderungannya untuk menjadi residu pada
berbagai bahan pangan dan pakan menimbulkan kebutuhan akan batasan yang wajar mengenai
Konsentrasi aflatoksin
(ppb)b Efek yang ditimbulkan
20 Level maksimal yang diijinkan untuk manusia
50 Level maksimal yang diijinkan untuk hewan
100 Pertumbuhan lambat pada usia muda
200-400 Pertumbuhan lambat pada usia tua
>400 Kerusakan hati dan kanker
12
jumlah aflatoksin dalam suatu bahan pakan atau pangan. Hal ini berkaitan erat dengan isu
keamanan pangan yang semakin menjadi perhatian. Seluruh pihak yang berkepentingan
(stakeholder) perlu mengetahui tingkat cemaran aflatoksin melalui pengujian aflatoksin pada
komoditi bahan pangan dan pakan yang menjadi komoditas perdagangan. yang dapat dilihat
dalam Tabel 3. Penerapan standar yang aman akan menurunkan resiko terjadinya paparan
aflatoksin dari bahan pangan maupun pakan.
Tabel 3. Konsentrasi aflatoksin maksimum untuk berbagai penggunaana
Penggunaan Konsentrasi aflatoksin
(ppb)b
Susu (perusahaan susu) Tidak terdeteksi
Jagung yang belum pasti pengolahannya 20
Jagung untuk hewan muda 20
Jagung untuk pakan ternak lembu 20
Jagung untuk pakan sapi, babi, dan unggas dewasa 100
Jagung untuk pakan babi sebelum dipotong 200
Jagung untuk pakan lembu sebelum dipotong 300 aSumber: http://www.pubs.caes.uga.edu/ (2009) bpart per billion
Lee et al. (2004) menyatakan bahwa kontaminasi aflatoksin dapat terjadi di lapangan,
selama panen dan distribusi, dan dalam kondisi dimana kapang dimungkinkan untuk tumbuh.
Aflatoksin dapat menginduksi efek akut pada manusia dan kasus di lapangan terus terjadi
meskipun kesadaran masyarakat dunia akan toksisitas dan implikasinya terhadap kesehatan telah
semakin meningkat. Beberapa masalah yang ditimbulkan memiliki kesamaan, meskipun
demikian terdapat perbedaan dalam prioritas masalah yang dikhawatirkan (Shier et al. 2005).
Permintaan untuk pemyediaan metode pemantauan kontaminasi aflatoksin yang
sederhana, cepat, dan ekonomis dengan peralatan yang sederhana dalam cakupan regional
berkembang seperti Asia Tenggara, Timur Tengah, dan Afrika terus meningkat dikarenakan
tingginya insiden kanker hati (Lee et al. 2004). D’Mello (2002) menyatakan bahwa aflatoksin
banyak dijumpai pada kacang-kacangan di daerah Afrika Timur dan Barat, India, Taiwan,
Thailand, dan Filipina yang menyebabkan kanker hati, kwashiorkor, serosis, hepatitis akut, dan
sindrom Reye’s.
Perkembangan yang ada dalam lingkup regional pada akhirnya akan mempengaruhi
lingkup internasional. Regulasi aflatoksin pada perdagangan baik regional maupun internasional
merupakan perhatian berbagai pihak terkait baik konsumen, produsen, maupun penentu
kebijakan. Seiring meningkatnya perhatian akan isu keamanan pangan, kadar aflatoksin pada
komoditi ekspor-impor pangan dan pakan saat ini merupakan salah satu parameter utama
jaminan mutu dan keamanan produk. Berbagai regulasi mengenai aflatoksin yang dikeluarkan
mengindikasikan tanggapan pemerintah yang serius akan isu keamanan pangan dan pakan yang
disebabkan oleh kontaminasi aflatoksin. Aflatoksin merupakan salah satu miktoksin yang
diregulasikan oleh US. Food and Drug Administration (FDA) seperti dapat dilihat pada Tabel 4.
13
Tabel 4. Panduan FDA mengenai level aflatoksin yang dapat diterima pada pangan dan pakan.
Kandungan Aflatoksin
(ppb)a
Komoditas Spesies
0.5 (aflatoksin M1) Susu Manusia
20.0 Semua pangan kecuali
susu
Manusia
20.0 Pakan Ternak
100.0b Jagung Ternak lembu, ternak
babi, dan unggas dewasa
200.0b Jagung Karkas babi (>100 lbs.)
300.0b Jagung Karkas sapi/lembu
300.0b Biji kapas sebagai pakan Ternak apart per billion bpengecualian
Kontaminasi aflatoksin memberikan dampak yang besar baik di negara maju
maupun negara berkembang. Berikut ini (Tabel 5) ialah perbandingan dampak kontaminasi
aflatoksin bagi negara maju dan negara berkembang.
Tabel 5. Perbandingan dampak aflatoksin bagi negara maju dan negara berkembang1.
Faktor Negara maju Negara berkembang
Periode produksi
aflatoksin
Pra-panen Pasca-panen
Tanaman yang
terkontaminasi
Jagung, kacang tanah,
kacang pohon.
Jagung, kacang, kopra, jewawut,
tepung ubi jalar, dan tepung singkong
Perhatian pertama Biaya regulator untuk
pemantauan
Keracunan kronis, meliputi
hepatokarsinoma primer, penurunan
kekebalan tubuh, dan keracunan
akut.
Perhatian kedua Yield loss pada pakan
ternak
Yield loss pada pakan ternak
1Sumber: Shier et al. (2005)
Negara-negara maju umumnya telah memiliki instrumen yang memadai untuk
memantau level kontaminasi pada pangan dan pakan (Cardwell dan Henry 2005), namun tidak
demikian halnya untuk negara berkembang, terutama daerah-daerah pertanian yang miskin.
14
Negara maju juga telah memiliki sistem pengalihan produk-produk pertanian yang
terkontaminasi aflatoksin, sebagai contoh, jagung yang terkontaminasi masih dapat digunakan
untuk pakan sapi sesuai batasan yang diregulasikan. Hal tersebut berbeda dengan negara
berkembang yang masih belum memiliki diversitas pasar yang cukup sehingga produk-produk
pertanian yang terkontaminasi masih dapat ditemukan pada produk untuk konsumsi manusia dan
mengancam keamanan pangan. Binder et al. (2007) menyatakan bahwa terdapat indikasi yang
jelas dari kontaminasi aflatoksin yang tinggi pada sampel dari wilayah Asia Selatan dengan
kontaminasi aflatoksin tertinggi ditemukan di India (275 ppb). Level kontaminasi rata-rata ialah
52 ppb dengan nilai median 24 ppb. Perhatian utama tentang aflatoksin pada negara berkembang
umumnya terpusat pada efek toksik dan dampak kesehatan melalui konsumsi langsung produk-
produk pertanian yang terkontaminasi aflatoksin, terutama permasalahan keracunan kronis,
berbeda dengan negara maju yang umumnya berupa kerugian pasar akibat komoditi yang ditolak
(Binder et al. 2007). Perhatian akan keracunan kronis semakin meningkat seiring ditemukannya
bukti bahwa aflatoksin dapat bersinergi dengan polutan dari industri maupun toksin alami dari
lingkungan (Shier et al. 2005). Aflatoksin juga dilaporkan mampu mengurangi imunitas pada
ternak ayam dan dimungkinkan untuk mengurangi imunitas pada manusia karena toksisitas
kronis ditemukan mampu memodulasi sistem imun sehingga meningkatkan kecenderungan
infeksi (Oswald, et al. 1998; D’Mello 2002). Toksisitas akut bisa terjadi tiga minggu setelah
ingesti (Omaye 2004). D’Mello (2002) mengelompokkan aflatoksin sebagai salah satu dari
miktoksin yang tersebar melalui makanan (foodborne mycotoxins) yang umum dijumpai di
kacang-kacangan dan buah yang dikeringkan. Potensi bahaya aflatoksin menimbulkan kebutuhan
akan analisis aflatoksin yang dapat dilakukan dengan cepat dan akurat. Standar yang dibutuhkan
dalam analisis aflatoksin dapat diperoleh dari isolat lokal Aspergillus flavus penghasil aflatoksin.
Reddy et al. (2009) melakukan penelitian berupa seleksi isolat Aspergillus flavus potensial yang
diisolasi dari beras yang dapat dilihat pada Tabel 6.
Tabel 6. Produksi aflatoksin B1 oleh Aspergillus flavus yang diisolasi dari berasa.
Isolat Asal Sampel
Kandungan Aflatoksin B1 (ppb)
YESb medium AFPAc
medium
Crude rice grain
mediumd
DRAf 002 Tamil Nadu 6400 - 62000
DRAf 006 Tamil Nadu 4500 - 13000
DRAf 009 Tamil Nadu 40000 - 415000
DRAf 012 Maharashtra 5800 - 15000
DRAf 018 Maharashtra 5000 - 36000 aSumber: Reddy et al. (2009) bYES (Yeast Extract Sucrose) agar. cAFPA (Aspergillus flavus and parasiticus agar) dRice cultivar: Pusa Basmati 1
Penelitian yang dilakukan oleh Reddy et al. (2009) bertujuan untuk melihat potensi
isolat lokal Aspergillus flavus penghasil aflatoksin. Isolat lokal yang memiliki potensi tinggi
15
akan digunakan untuk menghasilkan standar murni. Aflatoksin termasuk toksin yang stabil
dalam pengaruh panas sehingga sangat sulit untuk dihancurkan apabila sudah terbentuk (Lee et
al. 2004). Reddy et al. (2010) menyatakan bahwa kontaminasi mikotoksin merupakan hal yang
tidak bisa dihindarkan. Praktek agronomi dan produksi saat ini tidak memungkinkan pencegahan
total terhadap keberadaan kontaminasi mikotoksin selama penanaman, panen, penyimpanan,
maupun selama proses produksi. Omaye (2004) menyatakan bahwa terdapat hubungan langsung
antara konsumsi makanan yang mengandung aflatoksin dan kanker hati dimana laki-laki lebih
berpeluang untuk terserang. Insiden kontaminasi aflatoksin sangat tinggi di India dan Afrika
dimana masyarakat terpaksa mengkonsumsi biji-bijian berkapang untuk bertahan hidup.
Sementara itu, dekontaminasi mikotoksin baik melalui penggunaan perlakuan panas
maupun bahan kimia membutuhkan peralatan dan biaya yang tidak sedikit disertai kemungkinan
penurunan nilai gizi dari produk yang terkontaminasi. Oleh karena itu, aplikasi Good
Agricultural Practices (GAP) dan Good Manufacturing Practices (GMP) menjadi sangat penting
dalam berbagai upaya pencegahan kontaminasi aflatoksin.
C. Kultivasi Kapang Pada Medium Cair
Mikroorganisme membutuhkan nutrisi sebagai sumber energi dan kondisi lingkungan
tertentu untuk proses pertumbuhan dan reproduksi. Secara alamiah mikroba akan beradaptasi
pada lingkungan yang paling sesuai untuk kebutuhan mikroba tersebut. Pada laboratorium,
kebutuhan akan lingkungan hidup yang sesuai untuk mikroba harus dapat dipenuhi oleh medium
kultur (Nazari 2010). Medium sintetis untuk kultur mikroba umumnya digunakan untuk berbagai
tujuan mulai dari identifikasi mikroorganisme yang belum diketahui hingga produksi mikroba
dalam jumlah besar untuk kepentingan bioteknologi.
Aspergillus sp. penghasil aflatoksin merupakan salah satu kapang yang telah diteliti
sejak lama dalam kondisi laboratorium. Berbagai media, baik media crude, semisintetis, maupun
media sintetis telah digunakan untuk membiakan Aspergillus sp. Media yang umum digunakan
bisa berupa media padat seperti SDA (Sucrose Dextrose Agar), PKA (Palm Kernel Agar), PDA
(Potato Dextrose Agar), dan media crude dari jagung, kacang, maupun beras. Media cair yang
umum digunakan antara lain media sintetis PDB (Potato Dextrose Broth) maupun media cair
sintetis kompleks yang secara spesifik mampu meningkatkan produksi aflatoksin seperti media
GAN (Glucose Ammonium Nitrate), AM (glucose-ammonium sulfate), SH (high salt), SL
(synthetic low salt), Czapek-dox medium, YES (Yeast Extract Sucrose), dan SLS (Sucrose Low
Salt) (Davis et al. 1966; Maggon et al. 1969; Reddy et al. 1971; Saxena et al. 1988; Nazari
2010). Media sintetis kompleks umumnya mengalami modifikasi dalam komposisinya untuk
mempelajari aspek korelasi antara komposisi media dan pertumbuhan mikroba yang dibiakan
serta menemukan komposisi medium yang paling tepat untuk suatu jenis mikroba tertentu yang
ditumbuhkan.
Pemilihan media untuk kultivasi strain Aspergillus flavus lokal yang digunakan akan
mempengaruhi pertumbuhan kapang dan produksi aflatoksin yang dihasilkan. Berbagai media
sintetis maupun semisintetis menunjukkan adanya produksi aflatoksin yang tinggi terutama
media YES (Yeast Extract Sucrose) dan GAN (Glucose Ammonium Nitrate) (Davis et al. 1966;
Reddy et al. 1971).
16
Davis et al. (1966) melaporkan tentang adanya produksi aflatoksin B1 dan G1 yang
tinggi pada medium YES (Yeast Extract Sucrose) yang mengandung 20% sukrosa dan 2%
ekstrak yeast.. Hasil percobaan Davis et al. (1966) dapat dilihat pada Tabel 7 di bawah.
Tabel 7. Produksi aflatoksin dari Aspergillus flavus pada medium YESa
Periode Inkubasi
(hari)
Kandungan Aflatoksin (ppb)*
Berat miselia
kering (g/100
mL)
B1 G1
2 0,9 1000 1000
3 2,1 4000 10000
5 3,8 20000 53000
7 3,5 20000 53000
12 4,2 20000 53000
15 3,8 18000 48000
18 4,1 16000 42000 asumber: Davis et al. (1966)
Sementara itu, Maggon et al. (1969) melakukan penelitian produksi aflatoksin pada
beberapa strain Aspergillus flavus menggunaan medium GAN. Medium GAN (Glucose
Ammonium Nitrate) merupakan medium stasioner sintetis yang mampu menunjukkan hasil
produksi aflatoksin yang tinggi pada beberapa strain Aspergillus flavus (Brian et al. 1961).
Meskipun demikian medium GAN memberikan hasil yang rendah pada beberapa strain tertentu
(Maggon et al. 1969). Hasil percobaan Moggan et al. (1969) dapat dilihat pada Tabel 8.
Tabel 8. Produksia aflatoksin Bb pada medium GANc
Strain
Kandungan Aflatoksin (ppb)*
Medium GAN Medium GAN+ 2%
medium groundnut
DU/KR 79 A 8300 18100
DU/KR 79 C 9300 21300
DU/KR 79 D 15100 28700
DU/KR 79 E 1300 0
DU/KR 79 F 0 6800
DU/KR 79 G 10900 15000
DU/KR 79 K 0 500 aProduksi aflatoksin merupakan nilai rata-rata dari dua set percobaan yang diukur setelah inkubasi selama 7 hari dengan suhu 25˚C (pH awal=7,00) bNilai aflatoksin merupakan nilai total dari aflatoksin B1 dan B2
17
cSumber: Moggan et al. (1969)
Nazari (2010) menyatakan bahwa banyak media sintentis telah tersedia secara
komersial termasuk media yang telah ditambahkan komponen khusus sehingga dapat
meningkatkan pertumbuhan mikroba yang diinginkan atau menghambat pertumbuhan mikroba
kompetitor
Media sintetis yang umum digunakan untuk pertumbuhan fungi seperti PDB juga
menunjukkan hasil positif dalam memproduksi aflatoksin meskipun jumlahnya pada umumnya
tidak tinggi (Reddy et al. 1971; Kusumaningtyas 2007). Media sintetis kompleks dan media
dengan ekstrak crude telah direkomendasikan untuk produksi aflatoksin dalam jumlah tinggi dari
Aspergillus (Reddy et al. 1971). Meskipun media sintetis dapat menunjukkan produksi aflatoksin
yang tinggi pada suatu strain, perubahan strain maupun komposisi media dapat secara signifikan
berpengaruh terhadap produksi aflatoksin.
D. Analisis Aflatoksin
a. ELISA
Berbagai teknik analisis seperti HPLC (High Performance Liquid
Chromatography), GC (Gas Chromatography), dan TLC (Thin Layer Chromatography)
secara umum tersedia untuk analisis aflatoksin (Sekhon et al. 1996). Meskipun demikian
metode analisis diatas dinilai kurang efisien dan cukup mahal karena membutuhkan clean
up sampel yang ekstensif dan instrumen yang mahal sehingga tidak cocok untuk keperluan
seleksi yang membutuhkan metode yang cepat dan peralatan sederhana sehingga bisa
dilakukan dengan cepat di lapangan (Sekhon et al. 1996; Rachmawati 2005). Metode
ELISA sudah menjadi metode seleksi umum yang diakui sebagai metode kuantitatif
dikarenakan memiliki spesifisitas dan sensitivitas yang tinggi dengan preparasi sampel
minimal, prosedur kerja yang cepat, dan mampu menseleksi sampel dalam jumlah banyak
(Patey et al. 1992; Sekhon et al. 1996; Wilson 2000; Zahn et al. 2009). Meskipun
demikian, metode ELISA memiliki kelemahan yaitu adanya reaksi silang dengan
komponen lain yang memiliki struktur molekul yang mirip (Wilson 2000).
ELISA adalah suatu teknik deteksi yang berdasarkan atas reaksi spesifik antara
antigen dan antibodi. Metode ini, mempunyai sensitifitas dan spesifisitas yang tinggi
dengan enzim sebagai indikator (Burgess 1995). Prinsip dasar analisis ELISA ialah
terjadinya kompetisi antara standar AFB1 atau sampel dengan enzim konjugat untuk
berikatan dengan antibodi affinitas tinggi yang teradsorpsi secara pasif pada plat mikro.
Enzim konjugat yang tidak berikatan dengan antibodi yang terlapis pada plat mikro akan
tercuci dan enzim yang mengikat antibodi pada plat mikro akan bereaksi dengan substrat
dan memberikan warna hijau kebiruan (Burgess 1995; Rachmawati 2005; Weck dan
Vanputte, 2006). Semakin tinggi AFB1 pada sampel atau standar, semakin sedikit enzim
konjugat yang berikatan dengan antibodi, maka warna yang terbentuk akan semakin pudar
(Stanker et al. 1995). Reaksi dihentikan dengan penambahan larutan penghenti dan
intensitas warna yang terbentuk diamati. Hasil analisis ditentukan secara kualitatif dengan
pandangan mata atau kuantitatif dengan membaca optical density (OD) pada ELISA-reader
(Burgess 1995). ELISA–Kit Aflavet menunjukkan respon antibodi spesifik terhadap
AFB
reak
lang
tahu
kit A
Pene
mem
spes
(AF
sam
ELI
deka
kebu
b. TL
B1, namun ma
ksi silang den
gsung dapat dil
Uji ELISA
un 1977 dengan
Aflavet dengan
elitian Veterin
miliki keuntun
sifisitas tinggi,
FB1 100%, AF
mpel (duplo) sek
SA untuk anal
ade terakhir k
utuhan analisis
C
asih terjadi se
ngan AFG1 ti
lihat pada Gam
Gambar 7
A untuk aflatok
n nilai sensitiv
n nilai sensitivi
ner (Balitvet)
ngan antara la
reprodusibel,
FB2 0,9%, AFG
kaligus atau 80
lisis aflatoksin
karena prosed
s disertai spesif
edikit reaksi s
idak begitu ny
mbar 7.
7. Format ELIS
ksin B1 pertam
vitas sebesar 4
itas 0,3 ng/mL
akan digunaka
ain waktu an
kisaran analisi
G1 3,1%, dan
0 sampel secar
n dan metabolit
durnya yang
fisitas dan sens
ilang dengan
yata. Secara
SA kompetitif l
ma kali dilaku
ng/mL sampel
sampel yang d
an dalam pene
nalisis yang c
is 0,3-30 ppb,
n AFG2 1,6%)
ra simplo (Rac
t lainnya terlah
sederhana dan
sitivitas yang ti
AFB2 dan AF
sederhana pr
langsung
ukan oleh Chu
l (Sekhon et al
dikembangkan
elitian ini. EL
cepat dengan
reaksi silang y
, dan mampu
chmawati et al.
h berkembang
n mudah bera
inggi (Lee et a
FG2, sedangk
rinsip kompet
u dan Ueno pa
l. 1996). ELISA
oleh Balai Bes
LISA kit Aflav
sensitivitas d
yang cukup ke
menganalisis
. 2004). Meto
pesat dalam d
adaptasi deng
al. 2004).
18
kan
tisi
ada
A-
sar
vet
dan
cil
40
ode
dua
gan
19
Kromatografi didefinisikan sebagai metode analisis dimana sebuah fase gerak
bergerak melewati fase stasioner sehingga campuran senyawa dapat dipisahkan dalam
komponen-komponennya. Penggunaan istilah TLC (Thin Layer Chromatografy) dimulai
oleh E. Stahl pada tahun 1956 yang berarti proses pemisahan secara kromatografis dimana
fase stasioner yang tersusun atas lempeng tipis yang dilapisi solid absorbent setebal kira-
kira 0,25 mm diaplikasikan pada fase gerak yang berupa cairan (Fried and Sherma 1999;
Hahn-Deinstrop 2007).
Prinsip dasar TLC adalah penempatan sampel uji pada fase stasioner yang berupa
lempeng tipis dan sampel akan bergerak sampai batas tertentu dengan bantuan fase gerak
karena adanya gaya kapiler. Selama perjalanan dari titik spotting hingga batas perambatan
akan terjadi pemisahan campuran senyawa uji karena adanya perbedaan sifat antara
senyawa-senyawa tersebut ketika berinteraksi dengan fase stasioner. Metode TLC umum
digunakan dalam berbagai analisis termasuk analisis aflatoksin karena metode ini
menggunakan pelarut dalam jumlah sedikit, waktu pengembangan yang singkat, fase gerak
dapat dengan mudah diganti, dan mampu menganalisis sampel secara simultan.
Sejak penemuan aflatoksin pada tahun 1961, metode TLC telah menjadi metode
pilihan untuk menganalisis aflatoksin maupun toksin lainnya. Meskipun aplikasinya dalam
publikasi akhir-akhir ini semakin menurun, metode TLC masih digunakan secara rutin dan
ekstensif di seluruh dunia.
Analisis aflatoksin menggunakan TLC dapat dilakukan secara kuantitatif dengan
menggunakan metode perbandingan dengan standar (Jones 1972). Aflatoksin merupakan
senyawa yang dapat berpendar sehingga intensitas fluoresensi sampel pada lempeng TLC
dapat diamati di bawah UV-reader pada panjang gelombang tertentu. Analisis dilakukan
dengan membandingkan intensitas fluoresensi sampel dengan sederetan fluresensi standar
dari berbagai konsentrasi dengan batas kesalahan 10-20%.
Metode TLC merupakan metode kromatografi yang lebih sederhana, ekonomis, dan
memiliki peralatan yang kurang canggih dibandingkan metode kromatografi lainnya,
namun banyaknya waktu dan tenaga kerja yang dibutuhkan serta keterbatasan dalam tingkat
akurasi membatasi penggunaannya dalam ranah penelitian (Lee et al. 2004; Ruiqian et al.
2004). Meskipun demikian metode TLC masih sering digunakan terutama apabila sampel
yang dianalisis bisa merusak kolom pada LC (Liquid Chromatography) atau GC (Gas
Chromatograhy), sampel bersifat non-volatil atau memiliki volatilitas yang rendah, dan
sampel dalam jumlah banyak harus dianalisis secara simultan dan cost-effective dalam
periode waktu yang terbatas (Hahn-Deinstrop 2007).
c. HPLC
HPLC (High Performance Liquid Chromatography) merupakan salah satu metode
analisis yang paling sering digunakan. HPLC menggunakan fase gerak cair untuk
memisahkan komponen-komponen dalam campuran dengan fase stasioner yang bisa berupa
cairan maupun padatan. Komponen-komponen tersebut dilarutkan dalam pelarut dan
kemudian dialirkan dengan tekanan tinggi melewati kolom kromatografi. Fase stasioner
didefinisikan sebagai material yang terimobilisasi dalam kolom. Interaksi antara larutan
sampel dengan fase gerak dan fase stasioner bisa dimanipulasi melalui beragam pilihan
20
pelarut maupun fase stasioner. Hal tersebut menjadikan metode HPLC sebagai metode
dengan kegunaan yang luas dalam analisis.
HPLC pada dasarnya merupakan sebuah proses adsorpsi yang dinamis (Skoog et al.
2007). Molekul analit yang bergerak melewati packing bead yang berongga akan
berinteraksi dengan titik-titik adsorpsi permukaan. Interaksi yang terjadi umumnya
ditentukan oleh jenis HPLC. Pada HPLC Reversed Phase (RP) interaksi terjadi secara
hidrofobik. Pada HPLC Normal Phase interaksi dominan terjadi secara polar dalam bentuk
interaksi dipol-dipol dimana molekul polar akan tertahan pada fase stasioner sedangkan
molekul yang non-polar akan terbawa oleh fase gerak. Sementara itu, HPLC dengan
pertukaran ion akan terjadi interaksi ionik. Semua jenis interaksi diatas bersifat kompetitif.
Molekul analit akan berkompetisi dengan molekul eluen pada titik-titik adsoprsi.
HPLC Reversed Phase (RP) merupakan jenis yang paling banyak digunakan dalam
analisis mencakup hampir 90% dari semua aplikasi kromatografi. Metode HPLC
membutuhkan prosedur clean up yang ekstensif dan proses derivatisasi untuk
meningkatkan sensitivitas deteksi serta tenaga kerja terlatih untuk mengoperasikannya (Lee
et al. 2004).
Metode HPLC memiliki beberapa keunggulan antara lain mampu menangani
senyawa yang stabilitasnya terhadap suhu terbatas, mampu memisahkan senyawa yang
serupa dengan resolusi yang baik, waktu yang diperlukan untuk pemisahan relatif singkat,
hasil analisis kuantitatif mampu memberikan presisi yang tinggi dan teknik analisisnya
yang peka. Skema kerja alat HPLC dapat dilihat pada gambar 8.
Gambar 8. Skema kerja alat HPLC.
Reservoir merupakan tempat menghilangkan udara ataupun gas yang terkandung
dalam pelarut untuk menghilangkan kemungkinan terjadinya resolusi yang buruk dengan
menggunakan bantuan pompa vakum. Sistem pompa juga digunakan untuk mengalirkan
pelarut sebagai fase gerak ke seluruh sistem. Sampel uji dinjeksikan ke dalam kolom
menggunakan injektor berupa katup injeksi. Injeksi dilakukan secara langsung ke dalam
kolom menggunakan syringe untuk memperoleh efisiensi yang tinggi. Kolom merupakan
21
tempat fase stasioner terimobilisasi. Efisiensi kolom akan dipengaruhi oleh besarnya
partikel fase diam. Semakin kecil ukuran fase diam, semakin besar efisiensi kolom. Deteksi
pada alat HPLC dilakukan oleh detektor. Detektor harus memiliki sensitivitas yang tinggi,
bersifat inert untuk jangka konsentrasi tertentu dan dapat mendeteksi eluen tanpa
mempengaruhi resolusi kromatogram. Hasil deteksi kemudian diolah menjadi data
kromatogram dalam rekorder dan disimpan dalam sistem data.
Metode HPLC merupakan salah satu metode analisis aflatoksin yang paling banyak
dilakukan. Metode ini berguna dalam penentuan kemurnian dan perhitungan kandungan
aflatoksin dalam sampel secara kuantitatif, serta mampu mendeterminasi kandungan
aflatoksin dalam sejumlah sampel dengan lebih akurat (Ruiqian et al. 2004).
III. BAHAN DAN METODOLOGI PENELITIAN