View
55
Download
1
Embed Size (px)
Citation preview
UJIAN NASIONAL, INTEGRITAS dan KORUPSI
Syafiq Basri Assegaff
Tulisan ini dimuat pada portal media „Beritagar‟ 24 April 2016 -- https://beritagar.id/artikel/telatah/ujian-nasional-
integritas-dan-korupsi
Sesudah tiga jutaan siswa setingkat SMA, SMK dan Madrasah Aliyah di Tanah Air melaksanakan Ujian
Nasional awal April lalu, Mei ini adik-adik mereka setingkat SMP (dan sederajat) menyusul mengikuti
ujian itu.
Lazim pada setiap musim ujian seluruh guru, orangtua dan para siswa menjadi super sibuk mempersiapkan
diri. Tapi, sejak tahun lalu, setidaknya kita melihat dua perbedaan signifikan penyelenggaraan Ujian
Nasional (UN) dibanding tahun-tahun sebelumnya. Pertama, UN tak lagi menjadi acuan kelulusan siswa --
melainkan sebagai alat untuk membantu pemetaan pendidikan di Indonesia.
Pada tahun-tahun sebelumnya, kita ingat, penyelenggaraan UN selalu diwarnai persoalan, mulai dari
kebocoran soal dan kunci jawaban, contek-menyontek massal, dan praktek perdukunan, demi mencapai
angka kelulusan yang tinggi.
Kali ini, pelaksanaannya jauh lebih baik, untuk tidak dikatakan sempurna. Memang ada sedikit sekali
peristiwa „kebocoran‟ kunci jawaban yang dilakukan oknum sekolah, tapi ternyata jawaban (kunci)
bocoran yang beredar itu bukanlah kunci jawaban UN yang sebenarnya (Beritagar, 8 April 2016).
Tahun 2015 lalu juga sempat ada kebocoran di sebuah percetakan. Itu pun hanya terjadi pada 30 set
(variasi) soal dari 11.730 set yang ada, alias cuma 0,25 % dari seluruh soal. Kendati itu perkara „kecil‟, toh
Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Anies Baswedan tetap bertindak. Rupanya demi menimbulkan efek
jera bagi pelakunya dan agar tidak berulang kembali, selain melaporkan pihak pembocor kepada
kepolisian, pada hari yang sama (siang itu juga) Anies langsung meminta pihak Google Inc. untuk menutup
akses ke akun itu.
Bukti makin baiknya pelaksanaan UN dari tahun ke tahun juga tergambar dari kian sedikitnya pengaduan
pelaksanaan UN tahun ini, yakni berjumlah 184 pelapor. (Laporan itu dihimpun sejak dua hari menjelang
UN, hingga hari keempat pelaksanaan UN). Jumlah itu jauh di bawah laporan tahun 2015 yang berjumlah
365. Sementara dua tahun sebelumnya, 2014 dan 2013, jumlah laporan itu masih relatif tinggi, yakni 587
pelapor pada 2014 dan 622 (tahun 2013). (Baca Beritagar 8 April, 2016)
Kita tidak tahu, apa sebenarnya motivasi pembocoran soal atau kunci jawaban UN itu, sebab sulit rasanya
oknum tadi mencari keuntungan (uang) dengan menjual soal tersebut, berhubung orang sudah tahu bahwa
hal itu tidak menentukan kelulusan siswa.
Yang jelas, sekarang pembocoran model begitu bukan saja makin sulit dilakukan – sebab 927 ribuan di
antara peserta didik menjalani UN menggunakan komputer (UNBK) dengan sistem semi-online -- tetapi
juga karena kecurangan yang terjadi kini akan berakibat lebih serius, antara lain karena sekolah yang
ketahuan berlaku curang akan memperoleh Indeks Integritas Ujian Nasional (IIUN) yang rendah.
Dan adanya IIUN itulah beda kedua pelaksanaan UN dibanding tahun-tahun sebelumnya. IIUN sejatinya
merupakan hasil gambaran tingkat kejujuran sekolah, kabupaten dan kotamadya, serta provinsi dalam
melaksanakan dan menjawab soal-soal Ujian Nasional. Jadi dapat disimpulkan semakin tinggi nilai
indeksnya, maka semakin tinggi kejujuran sekolah, kabupaten, kotamadya, dan provinsi dalam
melaksanakan UN.
Berhubung tidak mudah mengukur kejujuran (integritas), pihak Kemendikbud menyiasatinya lewat taktik
„membalik‟ rumusnya dengan mengukur tingkat kecurangan. Kemudian, nilainya adalah angka total 100
dikurangi angka kecurangan.
Angka kecurangan sendiri dibagi dua, berdasarkan jawaban peserta didik dalam mengerjakan soal UN:
kecurangan antar individu (persentase contek-mencontek antar siswa, dan kecurangan sistemik/terorganisir
(yang berupa persentase keseragaman pola jawaban terhadap soal Ujian Nasional dalam satu sekolah). Nah,
total nilai IIUN merupakan tingkat persentase jawaban siswa yang tidak menunjukkan „pola kecurangan‟;
sehingga makin tinggi kecurangan, makin rendah nilai IIUN-nya.
Dari hasil IIUN tahun 2015 lalu, terdapat 7 provinsi dengan nilai IIUN tertinggi untuk tingkat SMA/
sederajat. Peringkat pertama indeks integritas tertinggi propinsi diperoleh DI Yogyakarta (79,52), disusul
secara berurutan oleh Bangka Belitung (77,79), Kalimantan Utara (74,14), Bengkulu (73,69), Nusa
Tenggara Timur (73,12), Kepulauan Riau (72,44), dan Gorontalo (67,78). Sementara rerata untuk IIUN
secara nasional adalah sebesar 63,28.
IIUN yang rendah, patut digarisbawahi, tentu akan menurunkan reputasi sekolah bersangkutan, karena
semua informasi tentang hasil UN dan IIUN seluruh sekolah akan dikirimkan kepada para pemangku-
kepentingan (termasuk Kepala Daerah), dan diumumkan secara luas kepada masyarakat lewat media.
Dengan begitu, para pemangku-kepentingan makin mudah mendapatkan informasi tentang kualitas sekolah
di wilayah mereka. Para orangtua siswa pun secara mudah bisa tahu sejauh apa mutu sekolah tempat anak
mereka belajar, sebab transparansi yang ditunjukkan oleh angka IIUN tadi seperti „menelanjangi‟ karakter
sekolah bersangkutan.
Membantu Perangi Korupsi.
Dan transparansi itu adalah kunci. Bahkan bukan saja kunci untuk menilik kondisi obyektif mutu kejujuran
sebuah sekolah, melainkan juga menjadi metode yang penting bagi upaya pendidikan anti-korupsi sejak
dini. Sebagaimana diketahui bahwa selama ini pendidikan di sekolah seolah terlepas dari upaya kita dalam
mencegah atau memberantas korupsi. Maka adalah sangat bijak untuk memulai tekad baru sejak dini
dengan mengajarkan anak-didik (dan sekaligus para guru dan pelaku pendidikan lainnya) agar menjunjung
integritas – sebab buruknya integritas adalah „sumber penyakit‟, yang di antara dua „gejala‟ utamanya
adalah korupsi dan kolusi.
Adapun transparansi, sebenarnya mirip dengan „vaksinasi‟, yang berguna untuk meningkatkan kekebalan
tubuh mencegah munculnya penyakit tadi. Memang tidak mudah bertindak transparan, meski ia merupakan
faktor utama suksesnya sebuah organisasi (seperti sekolah) dan unsur terpenting kerja sebuah tim seperti
pada organisme pendidikan. Sebabnya, tidak semua orang suka „mengunyah‟ informasi yang benar,
misalnya dengan “tidak berbohong” dan “tidak menyembunyikan apa yang dilakukan”.
Meski tidak gampang, sejatinya keberanian bersikap transparan merupakan tekad untuk mengungkapkan
„kebenaran yang tidak ingin didengar orang lain‟, yang, meskipun terasa pahit pada awalnya, kelak ia akan
menyublim menjadi peningkatan kepercayaan (trust) terhadap pelakunya.
Trust sendiri, menurut pakar komunikasi Watson (2005) yang dikutip Brad L. Rawlins dari Brigham
Young University, memiliki tiga elemen: kecakapan (capability) merefleksikan kompetensi atau keahlian;
sejauh mana seseorang melakukan hal-hal (kebaikan) yang menjadi perhatian utama pihak lain; dan
integritas (ketaatan pelaku dalam mentaati prinsip-prinsip yang diterima pihak yang mempercayainya).
Dalam kaitan itu, kita patut bersyukur bahwa lewat kebijakan baru Kemendikbud yang mengungkapkan
nilai IIUN itu kini sekolah-sekolah makin bisa memulihkan kepercayaan (trust) publiknya. Berkat itu pula,
agaknya kini makin sulit bagi oknum yang ingin melakukan korupsi atau kolusi untuk mencari celah
„menerobos‟ ke dalam sistem yang ada, karena kenyataan menunjukkan bahwa para pemimpin (mulai dari
Menteri Anies hingga Kepala Dinas Pendidikan dan Kepala Sekolah) secara tegas membuktikan bahwa
keterbukaan akan dinilai tinggi dan diberi penghargaan – langkah penting bagi upaya menyebarluaskan
kejujuran.
Walhasil, pelaksanaan UN yang disertai penilaian integritas boleh membuat kita optimis, bahwa makin hari
sekolah-sekolah makin serius turun-tangan dalam upaya mengembalikan harkat dan martabat bangsa yang
berintegritas.
Memang itu bukan tugas yang mudah, mengingat bahwa hasil IIUN tahun lalu masih jauh panggang dari
api. Tahun 2015 itu, dari total 52.163 sekolah setingkat SMP yang melaksanakan UN, misalnya, sekitar 50
persen di antaranya memiliki nilai UN tinggi tetapi nilai IIUN-nya rendah, dan 22 persen lainnya lebih
parah, karena mendapatkan nilai UN dan IIUN yang sama-sama rendah.
Tapi kita yakin makin tahun angka IIUN akan kian baik. Sebab kita sangat berharap, seperti dikatakan
Anies sendiri, negeri kita menjadi negeri tempat orang-orang yang membawa „vaksin‟ integritas bisa
berjalan tegap dan dapat menularkan prinsip-prinsipnya (kekebalan tubuh melawan penyakit korupsi) pada
lingkungannya. Apalagi karena kita percaya bahwa perang melawan korupsi harus dilakukan secara
kolektif, termasuk di rumah dan di sekolah, bahkan sejak anak-anak bangsa berumur belia.
###