122
1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Hemodialisis (HD) merupakan tindakan untuk menggantikan sebagian dari fungsi ginjal. Tindakan ini rutin dilakukan pada penderita penyakit ginjal kronik (PGK) atau chronic kidney disease (CKD) stadium V atau gagal ginjal kronik (GGK). Penderita GGK semakin meningkat jumlahnya, di Amerika pada tahun 2009 diperkirakan terdapat 116395 orang penderita GGK yang baru. Lebih dari 380000 penderita GGK menjalani hemodialisis reguler (USRDS, 2011). Pada tahun 2011 di Indonesia terdapat 15353 pasien yang baru menjalani HD dan pada tahun 2012 terjadi peningkatan pasien yang menjalani HD sebanyak 4268 orang sehingga secara keseluruhan terdapat 19621 pasien yang baru menjalanai HD. Sampai akhir tahun 2012 terdapat 244 unit hemodialisis di Indonesia (IRR, 2013). Tindakan HD saat ini mengalami perkembangan yang cukup pesat, namun masih banyak penderita mengalami masalah medis saat menjalani HD. Komplikasi yang sering terjadi pada penderita yang menjalani HD adalah gangguan hemodinamik (Landry dan Oliver, 2006). Tekanan darah umumnya menurun dengan dilakukannya ultrafiltrasi (UF) atau penarikan cairan saat HD. Hipotensi intradialitik terjadi pada 20-30% penderita yang menjalani HD reguler (Tatsuya et al., 2004). Penelitian terhadap pasien dengan HD reguler yang dilakukan di Denpasar, mendapatkan kejadian hipotensi intradialitik sebesar 19,6% (Agustriadi, 2009). 1

Unud-5vbvbnm Dyekandarini Sppd-kgh PDF

Embed Size (px)

DESCRIPTION

unud

Citation preview

Page 1: Unud-5vbvbnm Dyekandarini Sppd-kgh PDF

1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Hemodialisis (HD) merupakan tindakan untuk menggantikan sebagian dari

fungsi ginjal. Tindakan ini rutin dilakukan pada penderita penyakit ginjal kronik

(PGK) atau chronic kidney disease (CKD) stadium V atau gagal ginjal kronik

(GGK).

Penderita GGK semakin meningkat jumlahnya, di Amerika pada tahun 2009

diperkirakan terdapat 116395 orang penderita GGK yang baru. Lebih dari 380000

penderita GGK menjalani hemodialisis reguler (USRDS, 2011). Pada tahun 2011

di Indonesia terdapat 15353 pasien yang baru menjalani HD dan pada tahun 2012

terjadi peningkatan pasien yang menjalani HD sebanyak 4268 orang sehingga

secara keseluruhan terdapat 19621 pasien yang baru menjalanai HD. Sampai akhir

tahun 2012 terdapat 244 unit hemodialisis di Indonesia (IRR, 2013).

Tindakan HD saat ini mengalami perkembangan yang cukup pesat, namun

masih banyak penderita mengalami masalah medis saat menjalani HD.

Komplikasi yang sering terjadi pada penderita yang menjalani HD adalah

gangguan hemodinamik (Landry dan Oliver, 2006). Tekanan darah umumnya

menurun dengan dilakukannya ultrafiltrasi (UF) atau penarikan cairan saat HD.

Hipotensi intradialitik terjadi pada 20-30% penderita yang menjalani HD reguler

(Tatsuya et al., 2004). Penelitian terhadap pasien dengan HD reguler yang

dilakukan di Denpasar, mendapatkan kejadian hipotensi intradialitik sebesar

19,6% (Agustriadi, 2009).

1

Page 2: Unud-5vbvbnm Dyekandarini Sppd-kgh PDF

2

Gangguan hemodinamik saat HD juga bisa berupa peningkatan tekanan

darah. Dilaporkan Sekitar 5-15% dari pasien yang menjalani HD reguler tekanan

darahnya justru meningkat saat HD. Kondisi ini disebut hipertensi intradialitik

(HID) atau intradialytic hypertension (Agarwal and Light, 2010; Agarwal et al.,

2008). Pada penelitian kohort yang dilakukan pada pasien HD didapatkan 12,2%

pasien HD mengalami HID (Inrig et al., 2009). Penelitian yang dilakukan di

Denpasar mendapatkan hasil yang berbeda yaitu 48,1% dari 54 penyandang HD

mengalami paradoxical post dialytic blood pressure reaction (PDBP) (Raka

Widiana dan Suwitra, 2011).

Hipertensi intradialitik adalah suatu kondisi berupa terjadinya peningkatan

tekanan darah yang menetap pada saat HD dan tekanan darah selama dan pada

saat akhir dari HD lebih tinggi dari tekanan darah saat memulai HD. Tekanan

darah penderita bisa normal saat memulai HD, tetapi kemudian meningkat

sehingga pasien menjadi hipertensi saat dan pada akhir HD. Bisa juga terjadi pada

saat memulai HD tekanan darah pasien sudah tinggi dan meningkat pada saat HD,

hingga akhir dari HD. Peningkatan tekanan darah ini bisa berat sampai terjadi

krisis hipertensi (Chazot dan Jean, 2010).

Hipertensi intradialitik merupakan komplikasi HD yang saat ini mendapat

perhatian, karena episode HID akan mempengaruhi adekuasi HD. Beberapa

penelitian mandapatkan bahwa HID mempengaruhi morbiditas dan mortalitas

pasien yang menjalani HD reguler. Mortalitas meningkat jika tekanan darah

pasca HD meningkat yaitu bila sistolik ≥ 180 mmHg dan diastolik ≥ 90 mmHg

(rr =1,96 dan 1,73 berturut-turut). Pada pasien yang mengalami peningkatan

Page 3: Unud-5vbvbnm Dyekandarini Sppd-kgh PDF

3

tekanan darah sebesar 10 mmHg saat HD didapatkan peningkatan risiko rawat

inap di rumah sakit dan kematian (Inrig et al., 2009).

Pada pasien dengan gagal jantung biasanya dengan tekanan darah yang

rendah, saat HD juga terjadi peningkatan tekanan darah. Peningkatan tekanan

darah pada pasien ini tidak mencapai level hipertensi seperti pada pasien yang

tidak gagal jantung. Peningkatan tekanan darah ini juga meningkatkan risiko

kematian dengan peningkatan 10 mmHg saat HD, walaupun tekanan darah sistolik

(TDS) pra HD ≤ 120 mmHg (Inrig et al., 2009).

Mekanisme terjadinya HID pada penderita dengan HD reguler sampai saat ini

belum sepenuhnya diketahui. Banyak faktor yang diduga sebagai penyebab HID

seperti aktivasi sistem renin angiotensin aldosteron system (RAAS) karena

diinduksi oleh hipovolemia saat dilakukan ultrafiltrasi (UF), overaktif dari

simpatis, variasi dari ion K+ dan Ca

2+ saat HD, viskositas darah yang meningkat

karena diinduksi oleh terapi eritropoeitin (EPO), fluid overload, peningkatan

cardiac output (COP), obat antihipertensi yang ditarik saat HD dan vasokonstriksi

yang diinduksi oleh endothelin-1 (ET-1). Di antara berbagai faktor tersebut yang

paling umum diketahui sebagai penyebab HID adalah stimulasi RAAS oleh

hipovolemia yang disebabkan oleh UF yang berlebihan saat HD dan variasi dari

kadar elektrolit terutama kalsium dan kalium (Chazot dan Jean, 2010).

Pada saat HD dilakukan UF untuk menarik cairan yang berlebihan di darah,

besarnya UF yang dilakukan tergantung dari penambahan berat badan (BB) antara

waktu HD dan target BB kering penderita. BB kering adalah BB di mana

penderita merasa nyaman, tidak ada sesak dan tidak ada tanda-tanda kelebihan

cairan. Pada penyandang HD reguler 2 kali seminggu, kenaikan BB antar waktu

Page 4: Unud-5vbvbnm Dyekandarini Sppd-kgh PDF

4

HD disarankan tidak melebihi 2 kg sehingga UF yang dilakukan saat HD sekitar 2

liter (Nissenson and Fine, 2008). Guideline K/DOQI 2006 menyatakan bahwa

kenaikan BB interdialitik sebaiknya tidak melebihi dari 4,8% BB kering

(K/DOQI, 2006). Umumnya kenaikan BB penderita antar waktu HD melebihi 2

kg bahkan mencapai 5 kg, sehingga pada kondisi ini dilakukan UF lebih dari 2 L.

Pada HD dengan excessive UF atau UF berlebih, banyak timbul masalah baik

gangguan hemodinamik maupun gangguan kardiovaskular (Nissenson and Fine,

2008). Pada saat dilakukan UF terjadi hipovolemia yang kemudian merangsang

aktivitas RAAS sehingga bisa menimbulkan kejadian HID (Chazot and Jean,

2010).

Asumsi yang berbeda dikemukakan oleh Chou et al., yang melakukan

penelitian terhadap 30 pasien yang prone terhadap HID dan 30 orang kontrol,

didapatkan bahwa pada kelompok HID tidak didapatkan perubahan yang

bermakna dari kadar katekolamin, dan renin tetapi didapatkan peningkatan dari

resistensi vaskular sistemik dan penurunan keseimbangan rasio nitric oxide dan

endothelin-1 (NO/ET-1) (Chou et al., 2006).

Aktivitas dari sel endotel mempunyai peranan penting terhadap terjadinya

variasi tekanan darah selama HD. Perubahan volume cairan, dan rangsangan fisik

maupun hormonal menyebabkan produksi dari faktor-faktor yang melibatkan

kontrol tekanan darah pada sel endotel. Vasoaktif yang terpenting adalah NO

suatu vasodilator otot polos, Asymmetric dimethylarginin (ADMA) yang

merupakan inhibitor endogen dari NO synthase (NOS) dan ET-1 suatu

vasokonstriktor yang kuat. Zat-zat ini mempunyai efek yang penting terhadap

aktivitas simpatis, vasokonstriksi perifer dan kontrol tekanan darah khususnya

Page 5: Unud-5vbvbnm Dyekandarini Sppd-kgh PDF

5

termasuk kejadian HID (Locatelli et al., 2010). Disfungsi endotel dapat

menyebabkan perubahan terhadap tekanan darah saat HD, baik hipotensi maupun

hipertensi intradialitik. Perubahan ini berhubungan dengan keterkaitan antara

endotel, sistem saraf simpatis dan kontrol dari resistensi vaskular perifer (Raj et

al., 2002). Terdapat perbedaan perubahan kadar NO dan ET-1 saat HD antara

kontrol dan penderita yang prone terhadap hipertensi. Pada saat HD berakhir pada

penderita HID terjadi peningkatan signifikan dari kadar ET-1 dan penurunan

signifikan pada rasio NO/ET-1 dibandingkan dengan kontrol (Chou et al., 2006).

Pada penelitian lain juga ditemukan bahwa pada individu dengan HID terjadi

peningkatan yang signifikan dari kadar ET-1 setelah HD (Shafei et al., 2008).

Pada penelitian cohort case control 25 pasien HD reguler yang mengalami

episode HID, didapatkan hubungan antara HID dan disfungsi endotel. Pada

penelitian ini didapatkan bahwa disfungsi endotel dapat menjelaskan sebagian

penyebab kejadian HID (Inrig et al., 2011).

Penelitian-penelitian di atas menunjukkan bahwa terjadi interaksi antara

disfungsi endotel dengan kejadian HID, tetapi penyebab dari terjadinya disfungsi

endotel pada pasien dengan HID belum sepenuhnya dapat dipahami. Banyak hal

yang belum dapat diterangkan baik patofisiologi, mekanisme dan strategi terapi

yang tepat pada HID. Dari uraian di atas kami ingin mencari hubungan antara UF

yang berlebih saat HD dengan terjadinya episode HID melalui keterlibatan

disfungsi endotel. Disfungsi endotel ditandai dengan peningkatan konsentrasi ET-

1, atau peningkatan kadar ADMA atau penurunan kadar NO serum saat HD.

Page 6: Unud-5vbvbnm Dyekandarini Sppd-kgh PDF

6

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan hal-hal tersebut di atas dapat dirumuskan masalah sebagai

berikut:

1. Apakah peningkatan kadar ET-1 serum saat HD berkaitan dengan

meningkatnya risiko kejadian HID pada pasien dengan HD regular?

2. Apakah perubahan kadar ADMA serum saat HD berkaitan dengan

meningkatnya risiko kejadian HID pada pasien dengan HD regular?

3. Apakah penurunan kadar NO serum saat HD berkaitan dengan

meningkatnya risiko kejadian HID pada pasien dengan HD regular?

4. Apakah UF yang berlebih saat HD berkaitan dengan meningkatnya risiko

kejadian HID pada pasien dengan HD regular?

5. Apakah UF berlebih saat HD berkaitan dengan meningkatnya risiko

kejadian HID melalui penurunan kadar NO serum ?

6. Apakah UF berlebih saat HD berkaitan dengan meningkatnya risiko

kejadian HID melalui peningkatan kadar ET-1 serum?

7. Apakah UF yang berlebih saat HD berkaitan dengan meningkatnya risiko

kejadian HID melalui perubahan kadar ADMA serum?

1.3 Tujuan Penelitian

Berdasarkan uraian latar belakang dan rumusan masalah di atas dapat

dirumuskan tujuan penelitian sebagai berikut :

1.3.1 Tujuan umum

Tujuan umum penelitian ini adalah: Untuk membuktikan UF berlebih

berperan dalam patogenesis terjadinya HID melalui disfungsi endotel yang

Page 7: Unud-5vbvbnm Dyekandarini Sppd-kgh PDF

7

ditandai dengan peningkatan ET-1 atau peningkatan ADMA atau

penurunan NO, pada pasien GGK yang menjalani HD reguler.

1.3.2 Tujuan khusus

Untuk membuktikan bahwa:

1. Pada pasien dengan HD regular, peningkatan kadar ET-1 serum saat HD

berkaitan dengan meningkatnya risiko kejadian HID.

2. Pada pasien dengan HD regular, perubahan kadar ADMA serum saat HD

berkaitan dengan meningkatnya risiko kejadian HID.

3. Pada pasien dengan HD regular, penurunan kadar NO serum saat HD

berkaitan dengan meningkatnya risiko kejadian HID.

4. Pada pasien dengan HD regular, UF yang berlebih saat HD berkaitan

dengan meningkatnya risiko kejadian HID.

5. Pada pasien dengan HD regular, UF berlebih saat HD berkaitan dengan

meningkatnya risiko kejadian HID melalui penurunan kadar NO serum.

6. Pada pasien dengan HD regular, UF berlebih saat HD berkaitan dengan

meningkatnya risiko kejadian HID melalui peningkatan kadar ET-1 serum.

7. Pada pasien dengan HD regular, UF yang berlebih saat HD berkaitan

dengan meningkatnya risiko kejadian HID melalui perubahan kadar

ADMA serum.

Page 8: Unud-5vbvbnm Dyekandarini Sppd-kgh PDF

8

1.4 Manfaat Penelitian

1.4.1 Manfaat akademis

Jika pada penelitian ini terbukti bahwa UF yang berlebih saat HD

berperan dalam terjadinya HID melalui disfungsi endotel pada penyandang

HD reguler, maka dapat memberikan kontribusi ilmiah berkaitan dengan UF

yang berlebih sebagai dasar patogenesis HID melalui keterlibatan disfungsi

endotel.

1.4.2 Manfaat praktis

Secara praktis, jika terbukti UF yang berlebih saat HD berperan dalam

kejadian HID melalui disfungsi endotel (ditandai dengan meningkatnya

kadar ADMA, atau meningkatnya kadar ET-1 atau menurunnya kadar NO)

pada pasien HD reguler maka usaha-usaha untuk menekan HID melalui

penentuan UF yang tepat saat HD dapat digunakan oleh para klinisi dalam

penanganan kasus HID.

Page 9: Unud-5vbvbnm Dyekandarini Sppd-kgh PDF

9

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

2.1 Penyakit Ginjal Kronik

2.1.1 Epidemiologi

Penyakit ginjal kronik (PGK) atau Chronic Kidney disease (CKD) menjadi

problem kesehatan yang besar di seluruh dunia. Perubahan yang besar ini

mungkin karena berubahnya penyakit yang mendasari patogenesis dari PGK.

Beberapa dekade yang lalu penyakit glomerulonefritis merupakan penyebab

utama dari PGK. Saat ini infeksi bukan merupakan penyebab yang penting dari

PGK. Dari berbagai penelitian diduga bahwa hipertensi dan diabetes merupakan

dua penyebab utama dari PGK (Zhang dan Rothenbacher, 2008).

Penyakit ginjal kronik tahap 5 (terminal) prevalensinya semakin meningkat di

seluruh dunia. Penderita PGK yang mendapat pengobatan terapi pengganti ginjal

diperkirakan 1,8 juta orang. Terapi pengganti ginjal mencakup dialisis dan

transplantasi ginjal dan lebih dari 90% di antaranya berada di negara maju

(Suhardjono, 2006).

2.1.2 Batasan

Penyakit Ginjal Kronik menurut Kidney Disease Improving Global Outcomes

(KDIGO) adalah abnormalitas fungsi atau struktur ginjal yang berlangsung lebih

dari 3 bulan dengan implikasi pada kesehatan yang ditandai dengan adanya satu

atau lebih tanda kerusakan ginjal seperti yang terdapat pada Tabel 2.1 di bawah

ini (KDIGO, 2013).

9

Page 10: Unud-5vbvbnm Dyekandarini Sppd-kgh PDF

10

Tabel 2.1 Kriteria PGK (kerusakan fungsi atau struktur ginjal yang berlangsung lebih dari 3 bulan)

(KDIGO, 2013)

Petanda kerusakan ginjal

(satu atau lebih))

Albuminuria (AER ≥ 30 mg/24 jam;

ACR ≥ 30 mg/g [≥ 3 mg/mmol])

Abnormalitas pada sedimen urin

Gangguan elektrolit dan abnormalitas yang berhubungan dengan

kerusakan tubulus

Abnormalitas pada pemeriksaan histologi

Abnormalitas struktural pada pemeriksaan imaging

Riwayat transplantasi ginjal

Penurunan LFG LFG < 60 ml/min/1.73 m2 (kategori LFG G3a–G5)

2.1.3 Stadium PGK

Penyakit ginjal kronik dibagi menjadi 6 stadium seperti Tabel 2.2 di bawah

ini (KDIGO, 2013).

Tabel 2.2 Kategori LFG pada PGK (KDIGO, 2013)

Kategori LFG LFG (ml/min/1.73 m2) Batasan

G1

≥ 90

Normal atau Tinggi

G2 60–89 Penurunan ringan

G3a 45–59 Penurunan ringan sampai sedang

G3b 30–44 Penurunan sedang sampai berat

G4 15–29 Penurunan berat

G5 <15 Gagal ginjal

2.2 Hemodialisis

Prevalensi penderita PGK yang mendapat terapi pengganti ginjal di negara

berkembang saat ini meningkat dengan cepat, seiring dengan kemajuan

ekonominya. Prevalensi penderita penyakit ginjal tahap akhir (PGTA) yang

menjalani HD rutin meningkat dari tahun ke tahun. Di seluruh dunia saat ini

hampir setengah juta penderita GGK menjalani tindakan HD untuk

memperpanjang hidupnya (Nissenson and Fine, 2008).

Page 11: Unud-5vbvbnm Dyekandarini Sppd-kgh PDF

11

Hemodialisis adalah suatu usaha untuk memperbaiki kelainan biokimiawi

darah yang terjadi akibat terganggunya fungsi ginjal, dilakukan dengan

menggunakan mesin hemodialisis. Hemodialisis merupakan salah satu bentuk

terapi pengganti ginjal (renal replacement therapy/RRT) dan hanya menggantikan

sebagian dari fungsi ekskresi ginjal. Hemodialisis dilakukan pada penderita PGK

stadium V dan pada pasien dengan AKI (Acute Kidney Injury) yang memerlukan

terapi pengganti ginjal. Menurut prosedur yang dilakukan HD dapat dibedakan

menjadi 3 yaitu: HD darurat/emergency, HD persiapan/preparative, dan HD

kronik/reguler (Daurgirdas et al., 2007).

2.2.1 Indikasi hemodialisis

Indikasi HD dibedakan menjadi HD emergency atau HD segera dan HD

kronik. Hemodialis segera adalah HD yang harus segera dilakukan.

A. Indikasi hemodialisis segera antara lain (Daurgirdas et al., 2007):

1. Kegawatan ginjal

a. Klinis: keadaan uremik berat, overhidrasi

b. Oligouria (produksi urine <200 ml/12 jam)

c. Anuria (produksi urine <50 ml/12 jam)

d. Hiperkalemia (terutama jika terjadi perubahan ECG, biasanya K >6,5

mmol/l )

e. Asidosis berat ( pH <7,1 atau bikarbonat <12 meq/l)

f. Uremia ( BUN >150 mg/dL)

g. Ensefalopati uremikum

h. Neuropati/miopati uremikum

Page 12: Unud-5vbvbnm Dyekandarini Sppd-kgh PDF

12

i. Perikarditis uremikum

j. Disnatremia berat (Na >160 atau <115 mmol/L)

k. Hipertermia

2. Keracunan akut (alkohol, obat-obatan) yang bisa melewati membran dialisis.

B. Indikasi Hemodialisis Kronik

Hemodialisis kronik adalah hemodialisis yang dikerjakan berkelanjutan

seumur hidup penderita dengan menggunakan mesin hemodialisis.

Menurut K/DOQI dialisis dimulai jika GFR <15 ml/mnt. Keadaan pasien

yang mempunyai GFR <15ml/menit tidak selalu sama, sehingga dialisis dianggap

baru perlu dimulai jika dijumpai salah satu dari hal tersebut di bawah ini

(Daurgirdas et al., 2007):

a. GFR <15 ml/menit, tergantung gejala klinis

b. Gejala uremia meliputi; lethargy, anoreksia, nausea, mual dan muntah.

c. Adanya malnutrisi atau hilangnya massa otot.

d. Hipertensi yang sulit dikontrol dan adanya kelebihan cairan.

e. Komplikasi metabolik yang refrakter.

2.2.2 Prinsip dan cara kerja hemodialisis

Hemodialisis terdiri dari 3 kompartemen: 1) kompartemen darah, 2)

kompartemen cairan pencuci (dialisat), dan 3) ginjal buatan (dialiser). Darah

dikeluarkan dari pembuluh darah vena dengan kecepatan aliran tertentu, kemudian

masuk ke dalam mesin dengan proses pemompaan. Setelah terjadi proses dialisis,

darah yang telah bersih ini masuk ke pembuluh balik, selanjutnya beredar di

Page 13: Unud-5vbvbnm Dyekandarini Sppd-kgh PDF

13

dalam tubuh. Proses dialisis (pemurnian) darah terjadi dalam dialiser (Daurgirdas

et al., 2007).

Prinsip kerja hemodialisis adalah komposisi solute (bahan terlarut) suatu

larutan (kompartemen darah) akan berubah dengan cara memaparkan larutan ini

dengan larutan lain (kompartemen dialisat) melalui membran semipermeabel

(dialiser). Perpindahan solute melewati membran disebut sebagai osmosis.

Perpindahan ini terjadi melalui mekanisme difusi dan UF. Difusi adalah

perpindahan solute terjadi akibat gerakan molekulnya secara acak, utrafiltrasi

adalah perpindahan molekul terjadi secara konveksi, artinya solute berukuran

kecil yang larut dalam air ikut berpindah secara bebas bersama molekul air

melewati porus membran. Perpindahan ini disebabkan oleh mekanisme

hidrostatik, akibat perbedaan tekanan air (transmembrane pressure) atau

mekanisme osmotik akibat perbedaan konsentrasi larutan (Daurgirdas et al.,

2007).

Pada mekanisme UF konveksi merupakan proses yang memerlukan gerakan

cairan disebabkan oleh gradient tekanan transmembran (Daurgirdas et al., 2007).

Page 14: Unud-5vbvbnm Dyekandarini Sppd-kgh PDF

14

Gambar 2.1

Skema Mekanisme Kerja Hemodialisis

(Bieber dan Himmelfarb, 2013)

2.2.3 Komplikasi hemodialisis

Hemodialisis merupakan tindakan untuk menggantikan sebagian dari fungsi

ginjal. Tindakan ini rutin dilakukan pada penderita penyakit ginjal kronik (PGK)

stadium V atau gagal ginjal kronik (GGK). Walaupun tindakan HD saat ini

mengalami perkembangan yang cukup pesat, namun masih banyak penderita

yang mengalami masalah medis saat menjalani HD. Komplikasi yang sering

terjadi pada penderita yang menjalani HD adalah gangguan hemodinamik.

Tekanan darah umumnya menurun dengan dilakukannya UF atau penarikan cairan

saat HD. Hipotensi intradialitik terjadi pada 5-40% penderita yang menjalani HD

Page 15: Unud-5vbvbnm Dyekandarini Sppd-kgh PDF

15

reguler. Namun sekitar 5-15% dari pasien HD tekanan darahnya justru meningkat.

Kondisi ini disebut hipertensi intradialitik atau intradialytic hypertension (HID)

(Agarwal dan Light, 2010).

Komplikasi HD dapat dibedakan menjadi komplikasi akut dan komplikasi

kronik (Daurgirdas et al., 2007).

2.2.3.1 Komplikasi akut

Komplikasi akut adalah komplikasi yang terjadi selama hemodialisis

berlangsung. Komplikasi yang sering terjadi adalah: hipotensi, kram otot, mual

muntah, sakit kepala, sakit dada, sakit punggung, gatal, demam, dan menggigil

(Daurgirdas et al., 2007; Bieber dan Himmelfarb, 2013). Komplikasi yang cukup

sering terjadi adalah gangguan hemodinamik, baik hipotensi maupun hipertensi

saat HD atau HID. Komplikasi yang jarang terjadi adalah sindrom disekuilibrium,

reaksi dialiser, aritmia, tamponade jantung, perdarahan intrakranial, kejang,

hemolisis, emboli udara, neutropenia, aktivasi komplemen, hipoksemia

(Daurgirdas et al., 2007).

Page 16: Unud-5vbvbnm Dyekandarini Sppd-kgh PDF

16

Tabel 2.3 Komplikasi Akut Hemodialisis (Bieber dan Himmelfarb, 2013)

Komplikasi Penyebab

Hipotensi

Penarikan cairan yang berlebihan, terapi antihipertensi,

infark jantung, tamponade, reaksi anafilaksis

Hipertensi Kelebihan natrium dan air, ultrafiltrasi yang tidak adekuat

Reaksi Alergi Reaksi alergi, dialiser, tabung, heparin, besi, lateks

Aritmia Gangguan elektrolit, perpindahan cairan yang terlalu

cepat, obat antiaritmia yang terdialisis

Kram Otot Ultrafiltrasi terlalu cepat, gangguan elektrolit

Emboli Udara Udara memasuki sirkuit darah

Dialysis disequilibirium Perpindahan osmosis antara intrasel dan ekstrasel

menyebabkan sel menjadi bengkak, edema serebral.

Penurunan konsentrasi urea plasma yang terlalu cepat

Masalah pada dialisat / kualitas air

Chlorine Hemolisis oleh karena menurunnya kolom charcoal

Kontaminasi Fluoride Gatal, gangguan gastrointestinal, sinkop, tetanus, gejala

neurologi, aritmia

Kontaminasi bakteri / endotoksin Demam, mengigil, hipotensi oleh karena kontaminasi dari

dialisat maupun sirkuti air

2.2.3.2 Komplikasi kronik

Adalah komplikasi yang terjadi pada pasien dengan hemodialisis kronik.

Komplikasi kronik yang sering terjadi dapat dilihat pada Tabel 2.4 di bawah ini.

(Bieber dan Himmelfarb, 2013).

Tabel 2.4 Komplikasi kronik hemodialisis (Bieber dan Himmelfarb, 2013)

Penyakit jantung

Malnutrisi

Hipertensi / volume excess

Anemia

Renal osteodystrophy

Neurophaty

Disfungsi reproduksi

Komplikasi pada akses

Gangguan perdarahan

Infeksi

Amiloidosis

Acquired cystic kidney disease

Page 17: Unud-5vbvbnm Dyekandarini Sppd-kgh PDF

17

2.3 Hipertensi Intradialitik

2.3.1 Batasan

Hipertensi dialitik sering ditemukan pada pasien-pasien yang menjalani HD

rutin, walaupun komplikasi HD ini sudah dikenal sejak beberapa tahun lalu

namun sampai saat ini belum ada batasan yang jelas mengenai HID. Berbagai

penelitian mengemukakan definisi yang berbeda-beda. Beberapa penelitian

mendefinisikan HID adalah peningkatan mean arterial blood pressure (MABP)

15 mmHg atau lebih selama atau sesaat setelah HD selesai (Amerling et al., 1995;

Mees, 1996). Hipertensi intradialitik juga didefinisikan sebagai adanya hipertensi

yang mulai sejak jam kedua atau ketiga saat sesi HD, setelah dilakukan UF atau

peningkatan tekanan darah saat HD yang resisten terhadap UF (Cirit et al., 1995).

Sementara peneliti lain mengemukakan HID adalah suatu kondisi berupa

terjadinya peningkatan tekanan darah yang menetap pada saat HD dan tekanan

darah selama dan pada saat akhir dari HD lebih tinggi dari tekanan darah saat

memulai HD (Chazot dan Jean, 2010). Berikut definisi HID pada beberapa

penelitian:

a. Suatu peningkatan mean arterial blood pressure (MAP) ≥15 mmHg selama

atau segera setelah HD (Amerling et al., 1995).

b. Suatu peningkatan tekanan darah sistolik (TDS) >10 mmHg dari pre ke post

HD (Inrig et al., 2007; Inrig et al., 2009).

c. Suatu peningkatan tekanan darah yang resisten terhadap UF (Cirit et al.,

1995).

d. Perburukan dari hipertensi sebelumnya atau terjadinya hipertensi setelah terapi

ESA (Sarkar et al., 2005).

Page 18: Unud-5vbvbnm Dyekandarini Sppd-kgh PDF

18

e. Peningkatan tekanan darah selama atau segera setelah HD dan menyebabkan

hipertensi post HD (post HD ≥130/80 mmHg (KDOQI, 2006).

2.3.2 Prevalensi

Hipertensi intradialitik merupakan komplikasi yang cukup sering dijumpai

pada pasien yang menjalani HD rutin, dengan prevalensi 5-15% (Locatelli et al.,

2010). Pada penelitian kohort pasien HD selama 2 minggu ditemukan HID

sebesar 8% (Amerling et al., 1995). Penelitian kohort yang terbaru mendapatkan

prevalensi HID sebesar 12,2% (Inrig et al., 2009). Penelitian yang dilakukan di

Denpasar mendapatkan hasil yang berbeda yaitu 48,1% dari 54 penyandang HD

mengalami Paradoxical post dialytic blood pressure reaction (PDBP) (Raka

Widiana dan Suwitra, 2011).

2.3.3 Etiologi dan patofisiologi

Mekanisme terjadinya HID pada penderita dengan HD reguler sampai saat ini

belum sepenuhnya diketahui. Banyak faktor yang diduga sebagai penyebab HID

seperti volume overload, aktivasi sistem renin angiotensin aldosteron system

(RAAS) karena diinduksi oleh hipovolemia saat dilakukan UF, overaktif dari

simpatis, variasi dari ion K+ dan Ca

2+ saat HD, viskositas darah yang meningkat

karena diinduksi oleh terapi eritropoeitin (EPO), UF yang berlebih saat HD, obat

antihipertensi terekskresikan saat HD dan adanya disfungsi endotel (Locatelli et

al., 2010).

Page 19: Unud-5vbvbnm Dyekandarini Sppd-kgh PDF

19

2.3.3.1 Volume overload

Cairan ekstrasel yang berlebihan (overload) menyebabkan meningkatnya

cardiac output (COP) merupakan salah satu penyebab yang penting dari

meningkatnya tekanan darah. Hipervolumia (fluid overload) diyakini berperan

dalam patogenesis HID (Locatelli et al., 2010).

Pada penelitian yang dilakukan terhadap 7 pasien yang mengalami hipertensi

saat HD, di dapatkan gambaran dilatasi pada jantung. Pada pasien ini tekanan

darah meningkat saat dilakukan UF. Pasien ini kemudian diterapi dengan

melakukan UF berulang yang intensif untuk menurunkan berat badan keringnya

dan dilakukan monitor terhadap fungsi jantung. Semua pasien menunjukkan

perbaikan tekanan darah, tekanan darah menjadi normal tanpa pemberian obat

antihipertensi. Pada pemeriksaan ekokardiografi didapatkan perbaikan dari

parameter fungsi jantung. Dari hasil tersebut peneliti menyimpulkan bahwa

tekanan darah paradoksal meningkat dengan UF biasanya karena overhidrasi dan

dilatasi jantung, dan disarankan untuk melakukan UF yang intensif pada pasien-

pasien seperti ini (Cirit et al., 1995).

Peneliti lain melakukan penelitian terhadap 6 pasien yang mengalami HID

yang resisten terhadap obat antihipertensi. Pemeriksaan ekokardiografi dilakukan

sebelum dan saat HD. Pada saat dilakukan UF sedang didapatkan perbaikan

fungsi sistolik jantung, tetapi MABP dan indeks jantung juga meningkat. UF yang

lebih agresive menghasilkan tekanan darah yang normal pada semua pasien dan

indeks jantung juga menjadi normal. Peneliti menjelaskan fenomena ini dengan

kurva Frank-Starling. Pasien pada awalnya berada pada bagian yang menurun dari

kurva, dengan UF sedang pasien berpindah ke kiri dan ke atas kurva, dengan

Page 20: Unud-5vbvbnm Dyekandarini Sppd-kgh PDF

20

peningkatan indeks jantung, COP dan tekanan darah. Dengan UF lebih jauh,

pasien pindah ke bagian yang bawah pada bagian kurva yang meningkat dengan

tekanan darah menjadi normal (Gunal et al., 2002).

Penemuan dari 2 penelitian ini mengindikasikan bahwa tekanan darah

meningkat paradoksal saat UF mungkin disebabkan oleh karena peningkatan COP

karena adanya overhidrasi dan dilatasi jantung, dan disarankan dilakukan UF yang

intensif untuk menurunkan berat badan kering pasien (Cirit et al., 1995; Gunal et

al., 2002; Chou et al., 2006). Peneliti lain mengemukakan bahwa HID mungkin

berhubungan dengan delayed post HD hypotension. Sehingga bila dilakukan UF

yang agresif pasien yang rawat jalan harus dimonitor ketat dengan mengunakan

ambulatory blood pressure monitoring (ABPM) (Chou et al., 2006).

Hal yang penting harus dilakukan pasien adalah untuk menurunkan konsumsi

garam dan air, diantara sesi HD. Hal ini untuk menurunkan peningkatan BB antar

sesi HD, sehingga menurunkan kecepatan UF per jam saat HD berikutnya.

Meningkatkan waktu terapi HD mungkin sangat berguna untuk menurunkan

kecepatan UF per jam saat HD. Pembatasan dari konsumsi garam dan penurunan

dari volume cairan ekstrasel akan menormalkan tekanan darah saat HD pada

pasien dengan hipertensi. Penurunan konsumsi garam 100-120 mmol per hari

berhubungan dengan penurunan tekanan darah dan menurunkan peningkatan BB

antar HD (Locatelli et al., 2010).

Pengontrolan terhadap volume overload adalah hal yang paling penting dalam

mencegah dan menangani pasien dengan HID (Locatelli et al., 2010).

Page 21: Unud-5vbvbnm Dyekandarini Sppd-kgh PDF

21

2.3.3.2 RAAS activation

Mekanisme lain yang berperan terhadap kejadian HID adalah aktivasi dari

RAAS dan oversekresi renin dan angiotensin II yang diinduksi oleh UF saat HD.

Aktivasi dari RAAS dan oversekresi renin dan angiotensin II menyebabkan

peningkatan yang tiba-tiba dari resistensi vaskular dan meningkatkan tekanan

darah (Chou et al., 2006).

Penelitian terhadap 30 pasien yang prone terhadap HID dengan 30 kontrol

pasien HD yang matched umur dan jenis kelamin, didapatkan kadar renin rata-rata

sebelum dan sesudah HD sama pada kelompok pasien yang prone tehadap HID.

Sebaliknya rata-rata kadar renin setelah HD meningkat signifikan pada kelompok

kontrol. Disimpukan bahwa aktivasi RAAS bukan merupakan penyebab utama

dari HID (Chou et al., 2006).

2.3.3.3 Sympathetic overactivity

Pasien dengan PGK umumnya sudah terjadi sympathetic overactivity,

ditandai dengan peningkatan konsentrasi katekolamin plasma pada pasien PGK.

Hal ini mungkin disebabkan oleh menurunnya kliren renal terhadap katekolamin

dan langsung oleh karena aktivitas saraf simpatis. Sympathetic overactivity pada

PGK menjadi normal setelah dilakukan nefrektomi, hal ini diduga karena signal

dari ginjal yang sakit berperan dalam aktivasi simpatis (Locatelli et al., 2010).

Hipertensi intradialitik berhubungan dengan peningkatan stroke volume dan

vasokonstriksi perifer, sehingga mungkin sympathetic overactivity berperan dalam

onset HID. Pada penelitian lain didapatkan kadar norepinefrin meningkat

signifikan setelah HD pada pasien kontrol, bukan pada pasien yang prone

Page 22: Unud-5vbvbnm Dyekandarini Sppd-kgh PDF

22

terhadap HID (Chou et al., 2006). Evaluasi akurat dari aktivitas simpatis dengan

microneurografi pada pasien dengan HID belum dilakukan sehingga mekanisme

sympathetic overactivity dalam HID belum didukung oleh evidence-based

percobaan klinis (Locatelli et al., 2010).

2.3.3.4 Perubahan kadar elektrolit

Komposisi yang adekuat dari dialisat dan kontrol terhadap variasi kadar

elektrolit sangat penting pada terapi HD. Kadar elektrolit pasien seperti sodium,

kalium, kalsium dan perubahan dari elektrolit saat HD sangat penting sebab erat

hubungannya dengan kontraktilitas jantung, resistensi vaskular perifer dan kontrol

tekanan darah.

Penarikan sodium saat dialisis sangat penting karena berperan dalam menjaga

stabilitas kardiovaskular saat HD dan mencegah overhidrasi saat dialisis dan HID.

Penarikan sodium yang adekuat bisa dicapai dengan memilih kecepatan UF dan

konsentrasi sodium dialisat yang tepat. Untuk mempertahankan keseimbangan

sodium, berat badan kering dan konsentrasi sodium saat akhir dialisis harus

dipertahankan konstan (Locatelli et al., 2010).

Perubahan kadar kalium saat HD dapat memberikan dampak klinis yang

penting. Hipokalemia dapat mencetuskan autonomic dysfunction dan

mempengaruhi inotropik jantung. Walaupun hipokalemia dapat menyebabkan

vasokonstriktor secara langsung, tidak ada data yang mendukung pengaruh

konsentrasi kalium pada dialisat terhadap kejadian HID (Locatelli et al., 2010).

Pada penelitian yang dilakukan terhadap 30 pasien prone terjadi HID

didapatkan bahwa kadar kalium dialisat tidak berhubungan dengan kejadian HID,

Page 23: Unud-5vbvbnm Dyekandarini Sppd-kgh PDF

23

tidak ada perbedaan antara kadar kalium plasma pre dan post HD pada pasien

dengan HID maupun tanpa HID (Chou et al., 2006). Kalium tidak beperan dalam

kejadian HID, tapi perubahan kadar kalium yang tajam dapat memicu aritmia

(Locatelli et al., 2010).

Ion kalsium memegang peranan penting dalam proses kontraktilitas otot polos

dan miosit jantung. Beberapa penelitian pada pasien dengan HD memperlihatkan

bahwa perubahan kadar kalsium ion memiliki efek hemodinamik melalui

perubahan dalam kontraktilitas otot jantung dan perubahan dalam reaktifitas

vaskular (Felner, 1993).

Hemodialisis dengan konsentrasi dialisat kalsium yang rendah (1,25 mmol/l)

berhubungan dengan penurunan yang besar pada tekanan darah dibandingkan

dengan dialisis dengan konsentrasi kalsium dialisat yang tinggi (1,75 mmol/l).

Perbedaan ini berhubungan dengan penurunan kontraktilitas ventrikel kiri pada

cairan dialisat dengan kadar kalsium yang rendah. Kadar kalsium dialisat yang

tinggi juga berhubungan dengan penurunan compliance arteri dan peningkatan

kekakuan arteri. Peranan dari dialisat dengan kalsium tinggi dalam patogenesis

HID belum sepenuhnya ditemukan (Locatelli et al., 2010). Penelitian lain tidak

menemukan perubahan yang relevan dalam konsentrasi kalsium plasma sebelum

dan sesudah dialisis pada pasien dengan maupun tanpa HID (Chou et al., 2006).

2.3.3.5 Eliminasi obat saat hemodialisis

Beberapa obat termasuk obat anti hipertensi ditarik saat prosedur

hemodialisis. Penarikan dari obat anti hipertensi saat HD bisa menyebabkan HID.

Golongan obat CCB tidak ditarik saat prosedur hemodialisis, sedangkan sebagian

Page 24: Unud-5vbvbnm Dyekandarini Sppd-kgh PDF

24

besar dari penghambat ACE secara komplit ditarik saat dialisis (Daugirdas et al.,

2007). Pengetahuan akan obat yang di tarik saat HD sangat penting, sehingga

terapi bisa disesuaikan pada pasien yang mengalami HID. Tetapi penting diingat

bahwa penarikan obat anti hipertensi saat HD, tidak berperan di dalam konsep dari

HID (Locatelli et al., 2010).

2.3.3.6 Terapi erythropoiesis-stimulating agents

Sejak diperkenalkannya erythropoiesis-stimulating agents (ESA) sebagai

terapi anemia pada pasien PGK lebih dari 20 tahun yang lalu, prevalensi

hipertensi pada pasien HD meningkat. Peningkatan dari hematokrit dan viskositas

darah serta peningkatan dari konsentrasi ET-1, dan peningkatan resistensi

vaskular perifer mungkin berperan dalam kondisi ini (Krapf dan Hulter, 2009).

2.3.3.7 Ultrafiltrasi

Ultrafiltrasi merupakan salah satu komponen dari peresepan HD. Penentuan

besarnya UF harus optimal dengan tujuan untuk mencapai kondisi pasien

euvolemik dan normotensi Pada saat HD dilakukan UF untuk menarik cairan yang

berlebihan di darah, besarnya UF yang dilakukan tergantung dari penambahan

berat badan (BB) penderita antar waktu HD dan target BB kering penderita

(K/DOQI, 2006).

Berat badan kering didefinisikan sebagai berat badan dimana volume cairan

optimal. Penentuan BB kering ini harus akurat, tetapi pada klinik HD tidak selalu

tersedia alat untuk menentukan BB kering yaitu multiple frequency bioimpedance

spectroscopy. Oleh karena itu penentuan BB kering dilakukan secara klinis

Page 25: Unud-5vbvbnm Dyekandarini Sppd-kgh PDF

25

melalui evaluasi tekanan darah, tanda-tanda overload cairan dan toleransi pasien

terhadap UF saat HD untuk mencapai target BB (K/DOQI, 2006).

Definisi berat badan kering menurut Argawal adalah berat badan setelah

dialisis yang terendah yang dapat ditoleransi oleh pasien yang dicapai dengan

perubahan secara bertahap BB setelah dialisis, dan terdapat gejala yang minimal

dari hipovolemia atau hipervolemia (Agarwal dan Weir, 2010)

Pada penderita dengan HD reguler 2 kali seminggu, kenaikan BB antar waktu

HD disarankan tidak melebihi 2 kg sehingga UF yang dilakukan saat HD sekitar 2

liter (Nissenson dan Fine, 2008). Tetapi umumnya kenaikan BB penderita antar

waktu HD melebihi 2 kg bahkan mencapai 5 kg. Guideline K/DOQI 2006

menyatakan bahwa kenaikan BB interdialitik sebaiknya tidak melebihi dari 4,8%

BB kering. Sebagai contoh pada pasien dengan BB 70 kg, kenaikan BB

interdialitik sebaiknya tidak lebih dari 3,4 kg (K/DOQI, 2006). Pada kondisi

kenaikan BB yang berlebih ini banyak timbul masalah saat tindakan HD, karena

saat HD akan dilakukan dilakukan UF yang melebihi 4,0% BB kering. Saat HD

bila dilakukan UF yang berlebihan akan timbul masalah baik gangguan

hemodinamik maupun gangguan kardiovaskular (Nissenson and Fine, 2008). Pada

saat dilakukan UF terjadi hipovolemia yang kemudian merangsang aktivitas

RAAS sehingga bisa menimbulkan kejadian HID (Chazot dan Jean, 2010).

Pasien dengan terapi hemodialisis memiliki morbiditas dan mortalitas

tinggi yang mungkin berhubungan dengan efek hemodinamik karena UF yang

cepat. Flyte dkk. meneliti efek kecepatan UF terhadap mortalitas dan

cardiovascular disease (CVD). Kecepatan UF dibagi menjadi 3 kategori yaitu

<10 /ml/jam/kgBB, 10-13 ml/jam/kgBB, dan >13 ml/jam/kgBB. Dari penelitian

Page 26: Unud-5vbvbnm Dyekandarini Sppd-kgh PDF

26

ini didapatkan bahwa UF yang lebih cepat pada pasien HD berhubungan dengan

risiko yang lebih besar terhadap berbagai sebab kematian dan kematian karena

CVD (Flythe et al., 2011).

Tabel 2.5

Patofisiologi Hipertensi Intradialitik (Chazot dan Jean, 2010)

1. Kelebihan volume

2. Overaktifitas sistem saraf simpatis

3. Aktivasi sistem renin angiotensin aldosteron

4. Kelainan sel endotel

5. Faktor spesifik hemodialisis

a. Net sodium gain

b. High ionized calcium

c. Hipokalemia

6. Obat-obatan

o Erythropoietin stimulating agents (ESA)

o Removal of antihypertensive medications

7. Vascular stiffness

2.3.3.8 Fisiologi endotel

Endotel adalah satu lapisan sel yang paling dalam yang melapisi seluruh

pembuluh darah dalam tubuh. Fenotipe dari endotel bervariasi tergantung dari

struktur dan fungsi pembuluh darah di lokasi yang berbeda (Aird, 2007). Sebagai

contoh antara glomerulus dan kapiler peritubulus, fungsi endotel sangat berbeda

karena fungsi glomerulus dan peritubulus sangat berbeda. Karena itu integritas

dari lapisan endotel sangat penting dalam mempertahankan fungsi vaskular.

Sebagai contoh dalam pengontrolan tonus vasomotor dan permeabilitas.

Walaupun terdapat perbedaan fungsi endotel dalam kompartemen pembuluh darah

yang berbeda, tetapi umumnya endotel mampu mensintesis dan mensekresikan

berbagai faktor yang mempengaruhi tonus dan pertahanan pembuluh darah

(Fliser, 2011). Endotel memproduksi berbagai faktor relaksasi, yang paling utama

Page 27: Unud-5vbvbnm Dyekandarini Sppd-kgh PDF

27

dan banyak dikenal adalah nitric oxide (NO). Nitric oxide adalah gas pokok yang

menstimulasi relaksasi dan menghambat proliferasi otot polos pembuluh darah,

mencegah perlekatan dan migrasi leukosit ke dinding arteri, dan mencegah adhesi

dan agregasi platelet ke endotel. Prostacyclin endothelium-derived

hyperpolarizing factor juga merupakan vasorelaksan yang penting, yang nantinya

berperan sebagai vasodilator pada hipertensi resisten (Fliser, 2011).

2.3.3.9 Disfungsi endotel

Disfungsi endotel/Endothelial cell dysfunction (ECD) adalah

ketidakmampuan dari sel endotel untuk mengatur beberapa atau semua fungsinya.

Hal ini akan menyebabkan ketidakseimbangan antara (Ding dan Triggle, 2005):

a. faktor relaksasi dan konstriksi

b. mediator prokoagulan dan antikoagulan

c. vascular growth-inhibiting and growth-promoting substances.

Disfungsi endotel bisa diduga dengan pemeriksaan secara tidak langsung,

yaitu dengan memeriksa berbagai marker atau petanda antara lain melalui

pemeriksaan flow-mediated vasodilation setelah dilakukan iskemia transien

(Correti, 2002) dan evaluasi terhadap perubahan resistensi vaskuler pada arteri

besar maupun kecil setelah diberikan rangsangan fisiologis. Cara ini pada

dasarnya menganalisis kapasitas pengeluaran NO oleh endotel setelah berbagai

stimulus. Pemeriksaan indirek untuk estimasi dari disfungsi endotel yang lain

adalah dengan melakukan pengukuran permeabilitas vaskuler dari makromolekul

(Vervoort, 1999), pengukuran faktor vasoaktif (vasokontriktor/vasodilator) yaitu

NO, EDHF, endotelin-1, ROS, angiotensin-II (Bassenge dan Zanzinger, 1992;

Page 28: Unud-5vbvbnm Dyekandarini Sppd-kgh PDF

28

Fliser, 2011), aktifitas protrombin prokoagulan, dan marker inflamasi (VCAM-1,

ICAM-1 dan E-selectin) (Hwang, 1997), dan pemeriksaan sitokin (IL-1beta, IL-6

dan TNF-alfa), serta pemeriksaan CRP (Spranger, 2003; Pradhan, 2001).

Disfungsi endotel akan menyebabkan berbagai komplikasi antara lain

meningkatkan ekspresi dari molekul adhesi, sehingga menyebabkan peningkatan

adhesi dari lekosit ke sel endotel dan akhirnya mengaktifkan status prokoagulan,

aktivasi trombosit dan faktor pembeku, menghambat pengeluaran NO. Hal ini

akan menyebabkan ketidaksempurnaan dari pertumbuhan pembuluh darah dan

remodelling di dalam dinding pembuluh darah (Fliser, 2011).

Penelitian yang luas pada ECD umumnya meneliti mekanisme yang

bertanggung jawab terhadap penurunan bioafailibitas dari NO, dimana akan

menyebabkan penuruan dari produksi NO atau peningkatan dari degradasi NO.

Karena luasnya permukaan tubuh endotel memiliki peranan yang penting

pada penyakit hipertensi dan diabetes. Pada penyakit ini endotel bisa mengalami

perubahan stuktur dan fungsi sehingga menyebabkan kehilangan peranannya

sebagai barier proteksi. Disfungsi endotel pada awalnya menyebabkan

aterosclerosis dan gambaran yang utama dari kondisi ini adalah kerusakan dari

bioavailabilitas dari NO. Jika berlangsung lama disfungsi endotel akan

menyebabkan terjadinya apoptosis, yang pada akhirnya akan menyebabkan

disintegrasi dari struktur maupun fungsi endotel. Hal ini akan menyebabkan

aktivasi dari lekosit dan trombosit dan menyebabkan kerusakan dinding pembuluh

darah (Hansson, 2005).

Page 29: Unud-5vbvbnm Dyekandarini Sppd-kgh PDF

29

2.3.3.10 Disfungsi endotel pada PGK

Pada pasien CKD terjadi disfungsi endotel tapi mekanismenya belum

sepenuhnya diketahui. Ada tiga mekanisme potensial yang berkontribusi terhadap

terjadinya disfungsi endotel yaitu : adanya stres oksidatif, defisiensi L-arginin

dan ADMA (Martens dan Edwards, 2011).

Salah satu penyebab terjadinya disfungsi endotel yang banyak diteliti

adalah stres oksidatif. Stres oksidatif adalah adanya gangguan dari keseimbangan

antara produksi radikal bebas dan ekskresinya oleh antioksidan endogen (Guzik

dan Harrison, 2006). Stres oksidatif menyebabkan terjadinya gangguan jalur NO

pada sel endotel dan akhirnya menyebabkan terjadinya disfungsi endotel. Stres

oksidatif sering ditemukan pada pasien dengan gangguan ginjal sedang sampai

berat (Oberg, 2004) dan juga pada pasien yang menjalani hemodialisis (Yilmaz,

2006). Mekanisme terjadinya disfungsi endotel melalui stres oksidatif pasien PGK

terutama terjadi melalui jalur eNOS dan NO (Gambar 2.2).

Gambar 2.2 Skema mekanisme reactive oxygen species (ROS) menurunkan NO

(Martens dan Edrwads, 2011)

Defisiensi L-arginin merupakan salah satu faktor yang berkontribusi

terhadap terjadinya disfungsi endotel pada pasien PGK. L-arginin diperlukan pada

Page 30: Unud-5vbvbnm Dyekandarini Sppd-kgh PDF

30

sintesis NO. L-arginin disintesis terutama di tubulus proksimal ginjal dan sintesis

ini menurun dengan menurunnya massa ginjal. Gambar 2.3 Menunjukkan

mekanisme potensial terjadinya defisiensi L-arginin pada pasien PGK.

Gambar 2.3 Mekanisme potensial defisiensi L-arginin pada PGK (Martens dan

Edrwads, 2011)

Salah satu faktor yang berkontribusi terhadap terjadinya disfungsi endotel

pada pasien PGK terbentuknya inhibitor NOS endogen yaitu ADMA dan L-

NMMA (Kielstein, 2005, Baylis, 2006). Produksi ADMA 10 kali lipat dari L-

NMMA dan meningkat pada pasien PGK. Kadar plasma ADMA merupakan

predictor dari progression menjadi gagal ginjal pada pasien PGK. ADMA

diklasifikasikan sebagai toksin uremik dan ADMA juga dihubungkan dengan

terganggunya fungsi endotel. ADMA adalah suatu kompetitor inhibitor dari

eNOS.

Disfungsi endotel pada pasien PGK memiliki 2 peranan penting, pertama

DE merupakan tahap yang penting dalam perkembangan CVD, kedua DE pada

kapiler glomerulus menyebabkan progresivitas dari PGK. Pada pasien PGK

Page 31: Unud-5vbvbnm Dyekandarini Sppd-kgh PDF

31

hubungan antara ECD pada pembuluh darah perifer dan pembuluh darah ginjal

belum diteliti lebih jauh. Walaupun banyak penelitian meneliti mengenai

bioavaibilitas dari NO pada PGK, tetapi belum banyak yang meneliti

keseimbangan antara vasokonstriktor dan vasodilator pada PGK (Fliser, 2011).

Pada Gambar 2.4 di bawah terlihat mekanisme penurunan NO karena peningkatan

dari assymetric N G, NG - dimethylarginine pada pasien dengan penyakit ginjal

kronik.

Gambar 2.4

Mekanisme dari penurunan nitric oxide karena peningkatan dari assymetric

N G, NG - dimethylarginine pada chronic kidney disease (Sibal et al., 2010)

2.4 Disfungsi Endotel pada Pasien Hemodialisis

Hemodialisis merupakan tindakan untuk menggantikan sebagian dari fungsi

ginjal. Tindakan ini rutin dilakukan pada penderita PGK stadium V atau GGK.

Page 32: Unud-5vbvbnm Dyekandarini Sppd-kgh PDF

32

Tindakan HD saat ini mengalami perkembangan yang cukup pesat, namun masih

banyak penderita mengalami masalah medis saat menjalani HD. Komplikasi yang

sering terjadi pada penderita yang menjalani HD adalah gangguan hemodinamik

(Landry dan Oliver, 2006). Tekanan darah umumnya menurun dengan

dilakukannya UFatau penarikan cairan saat HD. Hipotensi intradialitik terjadi

pada 5-40% penderita yang menjalani HD reguler, namun sekitar 5-15% dari

pasien HD tekanan darahnya justru meningkat. Kondisi ini disebut hipertensi

intradialitik (HID) atau intradialytic hypertension (Agarwal dan Light, 2010;

Agarwal et al., 2008).

Aktivitas dari sel endotel mempunyai peranan penting terhadap terjadinya

variasi tekanan darah selama HD. Perubahan volume cairan, dan rangsangan fisik

maupun hormonal menyebabkan produksi dari faktor-faktor yang melibatkan

kontrol tekanan darah pada sel endotel. Vasoaktif yang terpenting adalah nitric

oxide (NO) suatu vasodilator otot polos, Asymmetric dimethylarginin (ADMA)

yang merupakan inhibitor endogen dari nitric oxide synthase dan endothelin-1

(ET-1) suatu vasokonstriktor yang kuat. Zat-zat ini mempunyai efek yang penting

terhadap aktivitas simpatis, vasokonstriksi perifer dan kontrol tekanan darah

khususnya termasuk kejadian HID (Locatelli et al., 2010).

Aktivitas dari sel endotel mungkin juga berperan penting di dalam variasi

tekanan darah saat HD. Perubahan volume cairan saat HD dan cetusan hormonal

menyebabkan produksi faktor-faktor yang terlibat di dalam kontrol tekanan darah

di dalam sel endotel (Raj et al., 2002; Flythe et al., 2011). Substansi vasoaktif

yang paling penting adalah nitric oxide (NO) suatu vasodilator otot polos,

asymmetric dimethylarginine (ADMA), suatu inhibitor endogen dari sintesis NO,

Page 33: Unud-5vbvbnm Dyekandarini Sppd-kgh PDF

33

dan endothelin-1 (ET-1) suatu vasokonstriktor. Substansi ini mempunyai efek

penting pada aktivitas simpatis, vasokonstriksi perifer dan kontrol tekanan darah

(Locatelli et al., 2010).

Penelitian–penelitian yang baru menunjukkan adanya peranan dari disfungsi

endotel dalam terjadinya ketidakstabilan hemodinamik saat HD (Morris et al.,

2001). Disfungsi endotel dapat menyebabkan perubahan dalam tekanan darah

selama HD, termasuk HID atau hipotensi (Raj et al., 2002). Perubahan ini

berhubungan dengan interaksi antara endotel, sistem saraf simpatis dan

pengontrolan dari resistensi vaskular perifer (Locatelli et al., 2010).

Pada penelitian pasien PGK yang mengalami hipotensi saat HD, HID dan

tekanan darah stabil saat HD didapatkan penurunan kadar ADMA yang mirip

sebelum dan sesudah HD pada ketiga kelompok pasien tadi. Kadar NO tidak

berhubungan dengan perubahan tekanan darah saat HD. Sebaliknya kadar ET-1

menurun setelah dialisis pada kelompok pasien dengan hipotensi dan meningkat

pada kelompok pasien dengan HID (Raj et al., 2002).

Penelitian lain terhadap 30 pasien yang prone HID dengan kontrol didapatkan

hasil yang berbeda dengan penelitian sebelumnya. Terdapat perbedaan perubahan

kadar NO dan ET-1 setelah HD antara kelompok kontrol dan kasus. Pada akhir

HD pasien dengan HID terjadi peningkatan yang bermakna dari ET-1 dan

penurunan yang bermakna dari rasio NO/ET-1 dibandingkan dengan pasien

kontrol (Chou et al., 2006). Penelitian lain juga menemukan ET-1 meningkat

secara bermakna pada pasien dengan HID (Shafei et al., 2008).

Penemuan-penemuan ini mengindikasikan bahwa interaksi antara NO,

ADMA dan ET-1 memiliki peranan dalam mengontrol tekanan darah dan

Page 34: Unud-5vbvbnm Dyekandarini Sppd-kgh PDF

34

resistensi vaskular perifer, dan mungkin terlibat didalam konsep dari HID

(Bussemarker et al., 2002). Tidak ada data yang menunjukkan efek dari disfungsi

endotel pada pasien HID. Di bawah ini akan dibahas mengenai petanda ECD yaitu

NO, ADMA dan ET-1.

2.4.1 Nitric oxide

Nitric oxide adalah antagonis natural dari katekolamin. Nitric oxide

merupakan agen yang labil, sangat aktif dengan masa hidup yang pendek. Nitric

oxide disintesis oleh enzim Nitric Oxide Synthase (NOS), dikeluarkan oleh sel

endotel ke sirkulasi (Fliser et al., 2003).

Pada penelitian in vitro didapatkan bahwa aktivitas NOS meningkat saat

darah diekspose pada membran dialiser. Kondisi uremia dilaporkan menghambat

sintesa NO. Aktivitas NOS juga berkurang dengan adanya ADMA (Shafei et al.,

2008; Xiao et al., 2001).

Nitric oxide dibentuk di berbagai lokasi, produksi lokal menentukan aktifitas

fisiologisnya. Pada PGK terjadi disfungsi endotel yang ditandai dengan

menurunnya produksi NO oleh endotel. Ada berbagai mekanisme terjadinya

penurunan NO pada gangguan ginjal seperti defisiensi L-arginin, peningkatan

NOS inhibitor seperti ADMA, dan menurunnya aktifitas dari enzim NOS. Berikut

ini skema dari pembentukan NO dan berbagai mekanisme yang menyebabkan

defisiensi NO pada PGK (Baylis, 2008).

Page 35: Unud-5vbvbnm Dyekandarini Sppd-kgh PDF

35

Gambar 2.5

Skema biosintesis nitric oxide (NO) dan berbagai mekanisme yang mungkin menyebabkan

defisiensi NO (Baylis, 2008)

2.4.2 Asymmetric dimethylarginine (ADMA)

Asymmetric Dimethylarginine adalah inhibitor kompetitif endogen dari NOS.

ADMA menurunkan produksi dari NO, menyebabkan meningkatnya resistensi

perifer dan meningkatnya tekanan darah. Pada PGK terjadi akumulasi ADMA.

Konsentrasi ADMA dalam plasma berbanding terbalik dengan GFR. Peningkatan

kadar ADMA dihubungkan dengan disfungsi endotel dan sebagai prediktor

progresivitas PGK dan kematian pada pasien dengan PGK. Penelitian

epidemiologis menunjukkan adanya hubungan antara ADMA dan hipertensi,

hiperkolesterol, dan DM. Adanya disfungsi endotel unumnya ditandai dengan

penurunan bioavaibilitas NO (Abedini et al., 2010).

Gambar 2.6 di bawah ini menunjukkan skema produksi dan degradasi ADMA

(Baylis, 2008).

Page 36: Unud-5vbvbnm Dyekandarini Sppd-kgh PDF

36

Gambar 2.6

Biochemical pathway produksi dan degradasi ADMA (Baylis, 2008)

2.4.3 Endothelin-1 (ET-1)

Endothelin-1 pertama kali ditemukan oleh Yanasigawa pada tahun 1988.

Endothelin-1 di produksi oleh sel endotel, merupakan famili peptida yang terdiri

dari 21 asam amino. Endothelin 1 merupakan vasokonstriktor endogen yang

paling kuat dan predominan pada sistem kardiovaskular. Aktifitas ET-1 terjadi

melalui ikatan dengan reseptor. Ada 2 jenis reseptor, yaitu ETAR (Endothelin A

Receptor) dan ETBR (Endothelin B Receptor). Reseptor ET-1 tersebar pada

berbagai jaringan dan sel. Di dalam pembuluh darah ETAR dan ETBR terletak di

dalam otot polos pembuluh darah, menyebabkan efek vasokonstriksi pembuluh

darah. ETBRS juga ditemukan ditemukan dalam sel endotel pembuluh darah,

diaktifasi terutama oleh NO menyebabkan vasodilatasi. Sebagai tambahan ETBRS

mempunyai peran penting dalam ekskresi ET-1 di sirkulasi. Waktu paruh plasma

dari ET-1 adalah 1 menit, dengan pengeluaran melaui reseptor dan bukan reseptor.

ET-1 berikatan dengan reseptor ETBR dan mengalami internalisasi dan degradasi.

Page 37: Unud-5vbvbnm Dyekandarini Sppd-kgh PDF

37

Pengeluaran yang lain adalah melalui sirkulasi paru, limpa dan ginjal. Penurunan

jumlah maupun blokade dari resoptor ETBR akan menurunkan ekskresi dari ET-1,

sehingga meningkatkan jumlah dari ET-1 tanpa peningkatan produksinya (Dhaun

et al., 2008).

Dalam pembuluh darah yang normal, ET-1 mempertahankan tonus vaskular

melalui ETAR, dengan keseimbangan aktifitas ETAR menyebabkan vasodilatasi.

Jika ada gangguan pembuluh darah ET-1 memicu hipertensi dan penyakit

kardiovaskular melalui berbagai mekanisme. Pada ginjal yang sehat, ETBR

memegang peranan dalam tonus vasodilatasi, ETAR mempunyai sedikit peran

dalam tonus pembuluh darah ginjal. Peningkatan aliran darah dalam medula dan

efek langsung dari ETBR menyebabkan natriuresis dan diuresis. Pada PGK, ETAR

menyebabkan vasokonstriksi renal menyebabkan retensi air dan garam sehingga

mengakibatkan hipertensi. Pada orang sehat insulin merangsang pengeluaran dari

ET-1 dan NO. Pada resistensi insulin terjadi gangguan pengeluaran NO, tetapi

produksi ET -1 meningkat. Selengkapnya dapat di lihat pada Gambar 2.7 di

bawah ini (Dhaun et al., 2008; Shafei et al., 2008).

Page 38: Unud-5vbvbnm Dyekandarini Sppd-kgh PDF

38

Gambar 2.7

Peranan ET-1 pada hipertensi, data dari penelitian pada manusia (Dhaun et al., 2008)

Sistem ET-1 secara luas berperan dalam CVD dan PGK. Endothelin-1

berperan dalam patogenesis hipertensi dan kekakuan pembuluh darah, dan

merupakan faktor risiko yang baru pada penyakit kardiovaskular (McIntyre,

2009). Endothelin-1 berperan dalam terjadinya disfungsi endotel dan

aterosklerosis (Dhaun et al., 2008).

Page 39: Unud-5vbvbnm Dyekandarini Sppd-kgh PDF

39

Gambar 2.8

Peranan Endothelin 1 pada PGK dan CVD. Ilustrasi oleh Josh Gramling-Gramling Medical

Illustration (Dhaun et al., 2006)

Sebagai respon terhadap UF saat HD, rangsangan hormonal dan mekanis, sel

endotel mensintesis dan mengeluarkan faktor humoral yang berperan terhadap

homeostasis tekanan darah (Mc Gregor et al., 2003). Ketidakseimbangan

endothelial-derived hormone seperti NO suatu vasodilator otot polos, dan ET-1,

suatu vasokonstriktor bisa menyebabkan hipotensi ataupun hipertensi saat HD

(Inrig, 2010a).

Berbagai mekanisme bertanggung jawab terhadap meningkatnya produksi

dari ET-1 pada PGK. Sintesis ET-1 oleh ginjal dipicu oleh sitokin, growthfactor,

kemokin, faktor vasoaktif, hormon dan reactive oxygen species (ROS), kolesterol

dan substansi lainnya. Intake protein berlebihan merangsang tubulus proksimalis

memproduksi ET-1, suatu kondisi yang sangat penting dalam progresi penyakit

Page 40: Unud-5vbvbnm Dyekandarini Sppd-kgh PDF

40

ginjal. Gambar 2.9 di bawah ini menunjukkan pengaturan produksi ET-1 pada

pembuluh darah dan ginjal (Kohan, 2010).

Gambar 2.9

Pengaturan produksi ET-1 di dalam pembuluh darah dan ginjal (Kohan, 2010)

Endothelin-1 bisa menginduksi terjadinya memberikan efek ke pembuluh

darah dan sel ginjal menyebabkan terjadinya hipertensi dan penyakit ginjal kronik,

dapat dilihat pada Gambar 2.10 di bawah ini:

Page 41: Unud-5vbvbnm Dyekandarini Sppd-kgh PDF

41

Gambar 2.10

Efek ET-1 pada pembuluh darah dan sel ginjal menyebabkan hipertensi, aterosklerosis dan CKD

(Kohan, 2010)

Endothelin–1 bisa menginduksi kehilangan nefron dari podosit. Diet tinggi

protein melalui induksi asidosis metabolik menyebabkan penurunan LFG pada

tikus dengan penurunan massa ginjal. Diet tinggi protein menyebabkan kerusakan

tubulointerstitial. Penelitian yang terbaru menemukan bahwa kromogranin A yang

dikeluarkan oleh saraf simpatis dan sel kromafin merangsang sel glomerulus

mengeluarkan ET-1 dan menurunkan LFG (Kohan, 2010).

Page 42: Unud-5vbvbnm Dyekandarini Sppd-kgh PDF

42

2.5. Penanganan Hipertensi Intradialitik

Penanganan dari HID dapat dilihat pada Gambar 2.11 di bawah ini.

Gambar 2.11

Algoritma Penanganan HID Berdasarkan Derajat Hipertensi (Chazot dan Jean, 2010)

Penanganan pertama terhadap HID adalah membatasi peningkatan berat

badan antar dialisis dan menurunkan secara bertahap berat badan kering. Hal ini

bisa dicapai melalui konseling melalui diet, pembatasan konsumsi garam dan UF

yang agresif saat HD. Penentuan cairan yang akan ditarik saat HD memerlukan

panduan dengan alat yang non invasif seperti bioimpedance, inferior vena cava

ultrasonography, atau monitor volume darah (Peixoto, 2007). Penarikan cairan

ini harus hati-hati untuk menghindari instabilitas hemodinamik. Diperlukan HD

yang lebih lama dan sering untuk untuk menghindari komplikasi dari UF yang

berlebihan saat HD. Secara teori memperpanjang waktu dialisis dan penentuan

Page 43: Unud-5vbvbnm Dyekandarini Sppd-kgh PDF

43

UFR yang tepat sangat diperlukan dalam penanganan HID (Chazot dan Jean,

2010; Weir dan Jones, 2010).

Penambahan sodium saat HD akan meningkatkan plasma refilling yang akan

meningkatkan COP, oleh karena itu peresepan cairan dialisat yang tinggi sodium

harus dihindari. Begitu juga peresepan dialisat yang tinggi kalsium akan

meningkatkan resistensi perifer dan COP sehingga harus dihindari (Inrig, 2010a).

Beberapa obat disarankan dalam penanganan HID untuk mencegah krisis

hipertensi antara lain calcium channel blockers (CCB) tetapi keamanan obat ini

pada kondisi HID belum diteliti (Chazot dan Jean, 2010). Minoxidil, merupakan

vasodilator yang kuat juga dapat diberikan pada kondisi ini. Obat ini bekerja

dengan efek pada c AMP, menghasilkan vasodilatasi dengan cara relaksasi

langsung otot polos arteriolar. Walaupun minoxidil diindikasikan pada HID, tetapi

obat ini sangat jarang digunakan (Rizzioli et al., 2009). Obat obat anti hipertensi

seperti ace inhibitor sudah digunakan dalam penanganan HID, obat ini tidak

difiltrasi saat HD sehingga bisa digunakan untuk pasien HID (Inrig, 2010b)

Page 44: Unud-5vbvbnm Dyekandarini Sppd-kgh PDF

44

BAB III

KERANGKA BERPIKIR, KONSEP DAN HIPOTESIS PENELITIAN

3.1 Kerangka Berpikir

Berdasarkan kajian kepustakaan di atas maka dapat dibuat kerangka

berpikir sebagai berikut: Pada pasien HD yang menjalani HD reguler sering

terjadi volume overloaded, kelebihan cairan dalam tubuh ini akan dikeluarkan saat

HD melalui preses ultrafiltrasi (UF). UF yang berlebihan saat HD bisa

meninbulkan komplikasi saat HD, yaitu HID. Ultrafiltrasi ini mempengaruhi

keseimbangan antara NO, ET-1, dan ADMA. Ultrafiltrasi yang berlebihan saat

HD akan menyebabkan aktivasi sistem saraf simpatis, aktivasi RAAS,

peningkatan COP sehingga bisa menyebabkan kenaikan tekanan darah saat HD.

Hipertensi intradialisis juga dipengaruhi oleh beberapa hal yaitu perubahan

elektrolit saat HD, antara lain natrium, kalium dan kalsium. Faktor lain yang ikut

berperan dalam terjadinya HID adalah eliminasi obat antihipertensi saat HD,

terapi eritropoeitin, penyakit kardiovaskuler dan DM. Hubungan antara volume

overloaded, perubahan elektrolit saat HD, eliminasi obat antihipertensi saat HD,

terapi eritropoeitin dan kejadian HID sudah diteliti sebelumnya. Peranan besarnya

volume UF saat HD dan HID sampai saat ini belum diketahui. Belakangan ini

penelitian menunjukkan bahwa terjadi interaksi antara disfungsi endotel dengan

kejadian HID, tetapi penyebab dari terjadinya disfungsi endotel pada pasien

dengan HID belum sepenuhnya dapat dipahami. Belum diketahui apakah ada

peranan dari UF yang berlebihan saat HD dengan disfungsi endotel. Pada

44

Page 45: Unud-5vbvbnm Dyekandarini Sppd-kgh PDF

45

penelitian ini kami ingin meneliti mengenai peranan UF yang berlebih saat HD

dan HID melalui keterlibatan NO, ADMA dan ET-1.

3.2 Konsep Penelitian

Kerangka konsep penelitian adalah kerangka hubungan antar variabel.

Hubungan ini mencerminkan fenomena yang akan dicari jawabannya melalui

penelitian. Manifestasi konsep adalah variabel, sehingga menjadi lebih konkret

dan dapat diukur. Pada penelitian ini dicari hubungan antara besarnya UF saat

hemodialisis dengan kejadian HID. Penelitian ini terfokus pada peran UF saat HD

sebagai faktor risiko yang berpengaruh terhadap kejadian HID melalui perubahan

kadar ET-1, ADMA dan NO serum. Peningkatan kadar ET-1 serum, peningkatan

kadar ADMA serum dan penurunan kadar NO serum merupakan petanda dari

disfungsi endotel.

Berdasarkan uraian di atas dapat dibuat kerangka konsep penelitian sebagai

berikut:

Page 46: Unud-5vbvbnm Dyekandarini Sppd-kgh PDF

46

Gambar 3.1

Kerangka Konsep Penelitian

3.3 Hipotesis Penelitian

Hipotesis-hipotesis penelitian disusun berdasarkan kajian pustaka secara

deduktif dan konsep dasar penelitian yang diwujudkan dalam suatu kerangka

konsep penelitian di atas. Hipotesis penelitian merupakan jawaban sementara

terhadap masalah-masalah penelitian dan dirumuskan seperti di bawah ini:

1. Pada pasien dengan HD regular, peningkatan kadar ET-1 serum saat HD

berkaitan dengan meningkatnya risiko kejadian HID.

2. Pada pasien dengan HD regular, perubahan kadar ADMA serum saat HD

berkaitan dengan meningkatnya risiko kejadian HID.

ULTRAFILTRASI

BERLEBIH SAAT HD

NO ↓, ADMA ↑, ET-1 ↑

HIPERTENSI INTRADIALITIK

(HID)

• Dialisat

• Mesin HD

• Membran dialiser

• Umur

• Jenis Kelamin

• Kadar Hb

• Obat-obat antihipertensi

• Kadar Na, K, Ca serum

• Terapi eritropoetin

Page 47: Unud-5vbvbnm Dyekandarini Sppd-kgh PDF

47

2. Pada pasien dengan HD regular, penurunan kadar NO serum saat HD

berkaitan dengan meningkatnya risiko kejadian HID.

3. Pada pasien dengan HD regular, UF yang berlebih saat HD berkaitan

dengan meningkatnya risiko kejadian HID.

4. Pada pasien dengan HD regular, UF berlebih saat HD berkaitan dengan

meningkatnya risiko kejadian HID melalui penurunan kadar NO serum.

5. Pada pasien dengan HD regular, UF berlebih saat HD berkaitan dengan

meningkatnya risiko kejadian HID melalui peningkatan kadar ET-1

serum.

6. Pada pasien dengan HD regular, UF yang berlebih saat HD berkaitan

dengan meningkatnya risiko kejadian HID melalui perubahan kadar

ADMA serum.

Page 48: Unud-5vbvbnm Dyekandarini Sppd-kgh PDF

48

BAB IV

METODE PENELITIAN

4.1 Rancangan Penelitian

Rancangan penelitian kasus-kontrol digunakan dalam penelitian ini untuk

mengetahui hubungan antara UF saat HD terhadap kejadian HID, dan hubungan

antara perubahan ET-1, NO dan ADMA pre dan post HD dengan besarnya UF

yang dilakukan saat HD. Pasien PGK stadium V yang menjalani HD reguler yang

memenuhi kriteria inklusi dan tidak memenuhi kriteria eksklusi, dilakukan

pemeriksaan NO, ET-1, ADMA sebelum dan sesudah tindakan satu sesi HD.

Untuk menentukan kasus dan kontrol seluruh sampel diikuti secara prospektif

sebanyak 6 kali sesi HD. Setiap HD dilakukan pencatatan UF yang dilakukan.

Ultrafiltrasi dicatat dari 6 sesi HD berturutan dan dicari rata-ratanya. Tekanan

darah pre HD, selama HD dan post HD selama 6 sesi HD dicatat. Sampel

kemudian dikelompokkan menjadi 2 kelompok yaitu kasus dan kontrol.

Kelompok kasus yaitu kelompok penyandang HD reguler yang mengalami HID,

dan kelompok kontrol yaitu kelompok penyandang HD reguler yang tidak

mengalami kejadian HID. Hipertensi intradialitik didefinisikan bila terjadi

peningkatan tekanan darah sistolik sesudah HD ≥ 10 mmHg dibandingkan dengan

TDS pre HD, pada minimal 4 dari 6 sesi HD berturut-turut. Faktor risiko, yaitu

adanya disfungsi endotel yang ditandai dengan peningkatan ET-1 atau

peningkatan ADMA atau penurunan NO post HD, serta volume UF saat HD

ditelusuri dan dianalisis secara retrospektif. Rancangan penelitian digambarkan

(Gambar 4.1) sebagai berikut:

48

Page 49: Unud-5vbvbnm Dyekandarini Sppd-kgh PDF

49

Gambar 4.1

Rancangan Penelitian Kasus- Kontrol

Penelitian dimulai dengan mengidentifikasikan sampel penelitian, pada HD

yang pertama dilakukan pemeriksaan laboratorium dan fisik pre dan post HD.

Sampel kemudian diikuti secara prospektif selama 6 kali HD berturut-turut.

Setelah HD yang ke enam ditentukan kelompok dengan efek (kelompok kasus)

dan mencari subjek yang tidak mengalami efek (kelompok kontrol). Yang

dimaksud dengan efek positif adalah kejadian hipertensi intradialitik yang

didefinisikan dengan peningkatan tekanan darah sistolik lebih sesudah HD ≥ 10

mmHg dibandingkan dengan TDS sebelum HD, pada minimal 4 kali dari 6 sesi

HD berturut-turut. Faktor risiko positif adalah peningkatan ET-1, peningkatan

ADMA-1, penurunan NO dan UF yang berlebih (> 4,8% BB) saat hemodialisis.

Faktor risiko dianalisis secara retrospepektif pada kedua kelompok kemudian

dibandingkan.

HD 6 kali

berturut-

turut

( dicatat

UF dan TD

saat HD)

Sampel

Penyandang

HD reguler

HD ( lab. pre, dan

post HD: ET-1,

ADMA, NO)

Faktor Risiko (+)

Faktor Risiko (+)

Faktor Risiko (-)

Faktor Risiko (-)

Kasus HID (+)

Kontrol

HID (-)

Analisis secara

Retrospektif Penelitian

dimulai dari sini Penentuan kasus dan kontrol

Page 50: Unud-5vbvbnm Dyekandarini Sppd-kgh PDF

50

4.2. Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian dilakukan di Unit Hemodialis, RSUP Sanglah Denpasar.

Pemeriksaan bahan penelitian dilakukan di laboratorium yang terakreditasi.

Dengan menggunakan protokol penelitian diperkirakan memerlukan waktu sekitar

6 bulan untuk mencapai jumlah sampel pemeriksaan, analisis dan penulisan.

4.3 Penentuan Sumber Data

4.3.1 Populasi penelitian

a. Populasi target (target population) penelitian ini adalah semua penyandang

HD reguler yang menjalani HD di Unit HD rumah sakit di Bali.

b. Populasi terjangkau (accessible population) penelitian ini adalah semua

penyandang HD reguler yang menjalani HD di RSUP Sanglah Denpasar.

c. Sampel (intended sampling) adalah sampel yang dipilih dengan teknik

consecutive sampling dari populasi terjangkau penelitian.

d. Subjek yang benar-benar diteliti (actual study subjects) adalah subjek yang

benar-benar mau ikut penelitian dan mengisi formulir informed consent.

4.3.2 Kriteria inklusi

Penderita GGK berumur antara 18-60 tahun yang menjalani HD reguler di

unit HD di Denpasar.

a. Penderita adalah penduduk suku bangsa Indonesia serta bersikap kooperatif.

b. Penderita dalam kondisi stabil, dan sudah menjalani HD reguler minimal 3

bulan.

Page 51: Unud-5vbvbnm Dyekandarini Sppd-kgh PDF

51

c. Penderita sudah mencapai berat badan kering yang ditentukan oleh dokter

konsultan ginjal dan hipertensi.

4.3.3 Kriteria eksklusi:

a. Penyakit gagal jantung tak terkompensasi.

b. Anemia berat.

c. Sepsis

d. Keganasan

e. Diabetes mellitus

4.3.4 Sampel

Adalah semua penyandang HD reguler di unit HD di RSUP Sanglah

Denpasar, suku bangsa Indonesia, berumur antara 18-60 tahun. Sudah menjalani

HD minimal 3 bulan, dalam kondisi stabil serta memenuhi kriteria inklusi dan

eksklusi.

4.3.5 Besaran sampel

Besaran sampel ditentukan dengan rumus sebagai berikut (Madiyono dkk.,

2010)

1. ADMA

zα = 1,96; Zβ = 0,842; (X1-X2) = 0,5; s = 0,75

n = 35

2

21 )(

)(221

+==

XX

szznn

βα

Page 52: Unud-5vbvbnm Dyekandarini Sppd-kgh PDF

52

Pada penelitian ini direncanakan power sebesar 80%, yaitu Zα = 1,96; Zβ = 0,842;

(X1-X2) = 0,5; simpang baku (s) = 0,75. Maka jumlah sampel yang diperlukan

untuk pemeriksaan ADMA adalah 35 sampel.

2. NO

zα = 1,96; Zβ = 0,842; (X1-X2) = 0,5; s = 0,75

n = 63

Pada penelitian ini direncanakan power sebesar 80%, yaitu Zα = 1,96; Zβ = 0,842;

(X1-X2) = 4; simpang baku (s) = 8. Maka jumlah sampel yang diperlukan untuk

pemeriksaan NO adalah 63 sampel.

3. Endothelin-1

α = 1,96

OR = 3

P1 = OR x P2 / ((1-P2) + (ORxP2)) = 0,6

P2 = 0,4

n = 110

Ditetapkan zα =1,96, sehingga besarnya dan rasio odds yang diperkirakan

sebesar 3 dengan rasio kelompok HID terhadap kontrol =1, proporsi Endothelin-1

yang meningkat sebesar 0,4 sehingga didapatkan jumlah sampel sebanyak 110

orang.

2

21 )(

)(221

+==

XX

szznn

βα

2

2211

2

)]1[ln(

]}//1//[1{

e

PQPQzn

+=

α

Page 53: Unud-5vbvbnm Dyekandarini Sppd-kgh PDF

53

Dengan demikian jumlah sampel minimal yang diperlukan dalam

penelitian ini adalah 110 orang untuk kedua kelompok penelitian.

4.3.6 Teknik penentuan sampel

Sampel dipilih dengan teknik consecutive sampling dari populasi terjangkau

penelitian yang menjalani HD reguler di rumah sakit di Denpasar. Populasi

terjangkau adalah penderita HD reguler yang memenuhi kriteria inklusi dan tidak

memenuhi kriteria eksklusi, dipilih sebagai sampel penelitian, hingga jumlah

sampel minimal terpenuhi. Dari sampel yang dikehendaki disaring lagi penderita

yang tidak menolak mengikuti penelitian sehingga diperoleh subyek yang benar-

benar diteliti (actual study subjects)

4.4 Variabel Penelitian

4.4.1 Identifikasi variabel

Variabel penelitian adalah karakteristik sampel penelitian yang diukur, baik

secara numeric atau katagorikal. Variabel-variabel tersebut ditentukan menurut

rancangan penelitian yang direncanakan.

4.4.2 Klasifikasi variabel

a. Variabel bebas adalah volume UF saat HD, perubahan kadar NO, ET-1

dan ADMA serum.

b. Variabel tergantung adalah efek yaitu HID.

c. Variabel kendali adalah umur, jenis kelamin, penyakit ginjal dasar,

penyakit penyerta, obat-obatan, faktor HD (dialisat, lama sesi HD, lama

terapi HD, dan KT/V, kecepatan aliran darah), faktor membran (luas

Page 54: Unud-5vbvbnm Dyekandarini Sppd-kgh PDF

54

permukaan, volume priming, koefisien UF, kliren in-vitro). Variabel–

variabel di atas memenuhi kriteria sebagai variabel perancu sehingga harus

dikendalikan (disebut variabel kendali).

d. Variabel rambang adalah suku bangsa asli Indonesia, variabel ini secara

biomedik dianggap sama pengaruhnya terhadap kelompok kasus maupun

kontrol.

4.4.3 Definisi operasional variabel

a. Konsentrasi ADMA adalah kadar ADMA dalam serum yang diukur

dengan quantittatif sandwich enzyme immunoassay (ELISA) satuannya

µmol/l. Pengukuran 2 kali, pre dan post HD. Pemeriksaan dilakukan di

laboratorium Prodia Denpasar dengan reagen Cat. No. 17 EA 201-96. Alat

: Microplate reader produk Biorad 680, tahun 2008.

b. Konsentrasi NO adalah kadar nitric oxide dalam serum yang diukur

dengan Colory metri/ Cayman satuannya µM. Pengukuran 2 kali, pre dan

post HD. Pemeriksaan dilakukan di laboratorium Prodia Denpasar dengan

reagen Cat. No. 780001. Alat: Microplate reader produk Biorad 680,

tahun 2008.

c. Konsentrasi ET-1 adalah kadar endotelin 1 dalam serum yang diukur

dengan ELISA satuannya pq/ml. Pengukuran 2 kali, pre dan post HD.

Pemeriksaan dilakukan di laboratorium Prodia Denpasar dengan reagen

Cat. No.: DET 100. Alat: Microplate reader produk Biorad 680, tahun

2008.

Page 55: Unud-5vbvbnm Dyekandarini Sppd-kgh PDF

55

d. Ultrafiltrasi adalah jumlah cairan yang ditarik oleh mesin HD selama satu

sesi HD, satuannya liter. Ultrafiltrasi terlihat pada monitor masing-masing

mesin HD.

e. Ultrafiltrasi Rate (UFR) adalah jumlah cairan yang ditarik oleh mesin per

kilogram berat badan perjam (cc/kg/jam).

f. Ultrafiltrasi berlebih adalah jumlah cairan yang ditarik oleh mesin HD

selama satu sesi HD lebih dari 4,8% BB kering (misal >3,4 kg pada

pasien dengan BB kering 70 kg) (K/DOQI, 2006).

g. Penyakit ginjal kronik adalah kerusakan ginjal yang terjadi selama 3 bulan

atau lebih. Kerusakan ginjal ditandai dengan gangguan struktural atau

fungsional dari ginjal yang desertai atau tanpa disertai penurunan LFG

(K/DOQI, 2006).

h. Gagal ginjal kronik adalah menurunnya LFG kurang dari 15 ml/menit/1.73

m2 luas permukaan tubuh yang disertai dengan tanda dan gejala uremia

dan memerlukan terapi pengganti ginjal (K/DOQI, 2006)

i. Diabetes melitus ditegakkan dengan riwayat DM sebelumnya.

j. CHF adalah penyakit jantung kongestif yang didiagnosis berdasarkan

anamnesis, pemeriksaan fisik, laboratorium, dan foto thorak. Diagnosis

ditetapkan oleh divisi Kardiologi RSUP Sanglah.

k. Hipertensi intradialitik didefinisikan bila terjadi peningkatan tekanan darah

sistolik (TDS) sesudah HD ≥10 mmHg dibandingkan dengan TDS

sebelum HD, pada minimal 4 kali dari 6 sesi HD berturut-turut. Tekanan

darah diukur dengan alat sphygmomanometer mercuri dan dilakukan oleh

perawat hemodialisis yang sudah terlatih.

Page 56: Unud-5vbvbnm Dyekandarini Sppd-kgh PDF

56

l. Kadar Hb diperiksa di laboratorium RSUP Sanglah dengan alat technicon

H-1 dengan metode flow-cytometry.

m. Usia ditentukan dari tanggal kelahiran sampai saat penelitian berdasarkan

kartu tanda penduduk (KTP) atau kartu keluarga.

n. Jenis kelamin, penduduk suku bangsa Indonesia dan tempat tinggal

penderita atau kontrol ditentukan dengan pemeriksaan badan (kalau

diperlukan) dan KTP atau kartu keluarga.

o. Hemodialisis adalah terapi pengganti ginjal dengan cara memisahkan

darah dari bahan-bahan uremik melalui membran dialisat, dengan

memakai mesin HD merk Nipro.

p. Lama terapi hemodialisis adalah waktu antara terapi HD pertama dan HD

saat penelitian.

q. Lama sesi HD adalah waktu yang diperlukan saat dilakukan 1 sesi HD,

satuannya menit.

r. Hemodialisis stabil adalah bila HD telah dijalani selama 3 bulan atau

lebih. Pada periode ini, pasien umumnya mengalami komplikasi yang

minimal selama HD, berat badan kering sebagai berat badan target

umumnya telah tercapai dan kualitas hidup pasien umumnya telah pulih.

s. Infeksi akut: adanya gejala dan tanda infeksi akut yang dapat diketahui

dari klinis dan pemeriksaan fisik, serta adanya peningkatan sel darah putih.

t. Sepsis: penderita yang memenuhi kriteria Systemic Inflammatory

Response Syndrome (SIRS) dengan sumbert infeksi yang jelas. Kriteria

terpenuhi bila didapatkan 2 atau lebih kriteria di bawah ini (Balk dan

Casey, 2000):

Page 57: Unud-5vbvbnm Dyekandarini Sppd-kgh PDF

57

a) Demam (temperature >380C) atau hipotermi (temperature <36

0C).

b) Takipneu (frekuensi nafas >24 kali / menit.

c) Takikardia (denyut jantung >90 kal / menit).

d) Leukositosis (hitung sel darah putih >12000/uL).

e) Leukopenia (hitung sel darah putih <4000/uL).

u. Keganasan: penderita diketahui menderita keganasan dari anamnesis,

pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang dan melihat catatan medis

pasien.

4.5 Bahan Penelitian

Bahan atau materi penelitian yang dipakai dalam penelitian ini adalah untuk

pemeriksaan laboratorium yaitu darah (plasma dan serum, bahan antikoagulan

disesuaikan dengan masing-masing metode pemeriksaan). Sebelum pengambilan

darah, pasien puasa selama 10 jam. Darah diambil sesaat sebelum HD untuk

pemeriksaan NO, ADMA, ET-1, DL, albumin, gula darah, Na, K, Ca, BUN dan

SC dan 2 menit sebelum HD berakhir (setelah kecepatan aliran darah diturunkan

50 ml/menit) untuk pemeriksaan: NO, ADMA, ET-1, Na, K, Ca, BUN dan SC.

Metode pemeriksaan selengkapnya seperti di bawah ini:

a. Darah lengkap:

Pemeriksaan ini dilakukan dengan menggunakan alat technicon H-1 dengan

metode flow-cytometry.

b. Gula darah

Pemeriksaan gula darah menggunakan alat Hitachi 911 automated analayzer

(Boehringer Mannheim), dengan metode hexokinase.

Page 58: Unud-5vbvbnm Dyekandarini Sppd-kgh PDF

58

c. Albumin diperiksa dengan bromocresol purple.

d. Pemeriksaan kalium, natrium dengan metode selective elektroda direk,

kalsium dengan metode kalorimetri.

e. Pemeriksaan NO dengan metode pemeriksaan: calorimetri/cayman.

f. Pemeriksaan ET-1

Prinsip pemeriksaan: Menggunakan teknik kuantitatif sandwich enzyme

immunoassay Antibodi monoclonal spesifik untuk ET-1. Metode pemeriksan :

ELISA/R & D system.

g. Pemeriksaan ADMA dengan enzyme immunoassay, ELISA/DBL.

4.6 Instrumen Penelitian

a. Kuesioner dan rekaman medis yang dipakai untuk mendapatkan data-data

tentang faktor demografi, etiologi penyakit, penyakit penyerta, data

laboratorium dan terapi pasien.

b. Timbangan badan dan tinggi badan menggunakan skala tinggi badan dan

timbangan digital merk Seca Digital Scale.

c. Alat ukur tekanan darah yaitu sphygmomanoter mercuri merk Riester.

d. Stetoscope untuk melakukan pemeriksaan tekanan darah menggunakan

merk Riester.

e. Mesin HD menggunakan mesin merk Nipro jenis Surdial 55.

f. Membran dialiser yang dipakai jenis Selulosa (diasetat hollow fiber)

dengan ukuran FB130-150 TGA tahun produksi 2009, dengan luas

permukaan membran sebesar 1,5 m2.

Page 59: Unud-5vbvbnm Dyekandarini Sppd-kgh PDF

59

4.7 Prosedur Penelitian

Semua sampel diberikan penjelasan rinci dan menandatangani informed

consent. Sebelum dilaksanakan penelitian, dikonsultasikan lebih dahulu dengan

Komisi Etik Penelitian dan Pengembangan FK UNUD-RSUP Sanglah untuk

mendapat surat keterangan kelaikan etik. Kuesioner diisi setelah penentuan

intended study subject. Sampel darah untuk pemeriksaan laboratorium diambil

setelah pasien puasa 10 jam. Pemeriksaan ET-1, NO dan ADMA, dilakukan

sebelum dan sesudah 1 sesi HD, Pemeriksaan laboratorium lainnya yaitu DL,

albumin, gula darah dan SC, dilakukan sebelum satu sesi HD, sedangkan

pemeriksaan Na, K, Ca, BUN dilakukan sebelum dan sesudah satu kali sesi HD.

Sampel kemudian diikuti sebanyak 6 kali HD berturut-turut. Sebelum dan

sesudah HD dilakukan penimbangan berat badan. Saat HD dilakukan pengukuran

tekanan darah dan nadi setiap setengah jam, pencatatan besarnya UF, kecepatan

UF, kecepatan putaran mesin, obat yang diberikan dan semua kejadian saat HD

berlangsung. Setelah ke 6 sesi HD selesai, ditentukan kelompok yang mengalami

HID (kasus) dan kelompok yang tidak mengalami HID (kontrol). Kemudian

dilakukan analisis secara retrospektif untuk mencari faktor risiko, yaitu

membandingkan besarnya perubahan kadar ET-1, ADMA, NO pre dan post HD,

pada kelompok HID dan kontrol, membandingkan rerata UF pada kelompok HID

dan kontrol, kemudian dilakukan analisis statistik.

Page 60: Unud-5vbvbnm Dyekandarini Sppd-kgh PDF

60

Kriteria inklusi & eksklusi

Gambar 4.2

Alur Penelitian kasus-kontrol

Intended study subjek

Populasi terjangkau

Sampel (consequtive)

Informed consent

HID (+)

HID (-)

Kasus

Kontrol

Selisih NO,

ET-1,

ADMA pre

dan post

HD

Hip

ert

en

si I

ntr

ad

iali

tik

Re

rata

UF

Analisis Statistik

Simpulan

TD

TD

TD

TD

TD

TD

UF

UF

UF

UF

UF

UF

HD II

HD III

HD IV

HD V

HD VI

HD I

Lab. Pre-HD (NO, ET-1, ADMA)

(DL, BUN, SC, Na, K, Ca, BS, Alb)

HD

Lab. Post HD (NO, ET-1, ADMA)

(BUN, Ca, K, Na)

Page 61: Unud-5vbvbnm Dyekandarini Sppd-kgh PDF

61

4.8 Analisis Data

Setelah data terkumpul, terlebih dahulu dilakukan pemeriksaan kelengkapan

data. Data yang tidak lengkap, dicoba dilengkapi dengan menghubungi kembali

penderita. Analisis yang dilakukan adalah prospektif–retrospektif –path analysis.

Untuk menjawab permasalahan penelitian dilakukan serangkaian tahapan analisis

data sebagai berikut:

a. Uji normalitas Kosmogorov-Smirnov, digunakan menguji apakah data-data

penelitian berdistribusi normal atau tidak.

b. Analisis deskriptif, menggambarkan karakteristik umum dan distribusi

frekuensi berbagai variabel yaitu: umur, jenis kelamin, tekanan darah, BB,

kadar Na, K, Ca, NO, ADMA, dan ET-1 serum.

c. Uji kai-kuadrat, menguji perbedaan variabel dengan skala

nominal/kategorikal pada kedua kelompok tsb, yaitu jenis kelamin, dll

d. Analisis regresi logistik, menghitung risiko, yaitu rasio odds dari variabel

UF terhadap HID, dan mengendalikan variabel perancu terhadap

hubungan tersebut. Rasio odds yang dihasilkan merupakan adjusted rasio

odds yang sudah terbebas dari efek perancu.

e. Taksiran rasio odds ( odd ratio/OR) yang disajikan dalam bentuk interval

keyakinan 95%, diharapkan diperoleh nilai rasio odds dari UF lebih dari 1,

dengan interval keyakinan ( Convidance Interval/CI) melewati 1.

f. Untuk melihat hubungan langsung antara UF dan HID serta hubungan

tidak langsung antara UF dan HID melalui perubahan kadar NO, ADMA,

ET-1 serum saat HD dilakukan analisis jalur (path analysis).

Page 62: Unud-5vbvbnm Dyekandarini Sppd-kgh PDF

62

g. Analisis statistik di atas menggunakan nilai p<0,05 sebagai batas

kemaknaan dan memakai perangkat lunak statistika, yaitu SPSS for

Window version 15.

Page 63: Unud-5vbvbnm Dyekandarini Sppd-kgh PDF

63

BAB V

HASIL PENELITIAN

Penelitian ini lakukan pada bulan Agustus sampai November 2012, setelah

mendapat persetujuan dari Unit Penelitian dan Pengembangan Fakultas

Kedokteran Universitas Udayana/RSUP Sanglah Denpasar dengan Surat Kelaikan

Etik (Ethical Clearance) dan Surat Ijin Penelitian dari Direktur SDM dan

Pendidikan RSUP Sanglah Denpasar.

Subjek dalam penelitian ini adalah pasien yang sudah menjalani HD

reguler minimal selama 3 bulan dan dalam kondisis stabil, yang memenuhi

kriteria inklusi dan eksklusi. Sebanyak 112 pasien HD reguler diikutkan dalam

penelitian ini. Variabel yang dianalisis dalam penelitian ini adalah: UF sebagai

variabel bebas; NO, ADMA, ET-1 sebagai variabel antara dan kejadian HID

sebagai variabel tergantung.

Seratus dua belas subjek penelitian terdiri dari 54,5% (61/112) laki-laki

dengan rerata umur 44 tahun, diikuti sebanyak 6 kali HD berturut-turut dan

didapatkan 32,1% (36/112) mengalami HID. Semua subjek penelitian datanya

lengkap dan dapat dianalisis.

63

Page 64: Unud-5vbvbnm Dyekandarini Sppd-kgh PDF

64

5.1 Karakteristik data

Tabel 5.1

Karakteristik dasar subjek penelitian dari kelompok HID dan Non HID

Karakteristik HID (n=36)

Rerata ± SB

Non HID (n=76)

Rerata ± SB

Nilai p

Umur (tahun) 43,2±9,54 43,7±9,38 0.92

Jenis Kelamin (%)

Laki 47,2 57,9 0.42

Perempuan 52,8 42,1

Lama HD (bulan) 34,50±33,15 34,86±29,4 0.78

Etiologi (%)

Chronic Pyelonephritis 61,1 57,9

0.75 Chronic Glomerulonephritis 38,9 39,5

Nefrosklerosis - -

Hemoglobin (g/dl) 8,2±1,6 8,3±1,31 0.43

Albumin serum (mg/dl) 3,9±0,6 3,8±0,53 0.60

Gula Darah Puasa (mg/dl) 86,7±10,2 89,16±20,12

CaP product 56,27±18,30 54,8±17,3 0.49

Tinggi Badan (cm) 155,72±8,41 157,8±6,4 0.06

Berat Badan Kering (kg) 54,34±13,35 56,4±10,48 0.15

Indeks Massa Tubuh (kg/m2) 22,26±4,37 22,61±3,5 0.59

Terapi Anti Hipertensi (%)

ACE Inhibitor 69,4 66,7 0.31

CCB 11,1 9,7 0.59

Beta Blocker 22,2 38,9 0.00

Clonidin 30,6 27,8 0.45

ARB 19,4 13,9 0.12

Terapi Erythropoetin (%)

Ya 16,7 16,7 0.90

Tidak 50,6 13,3

Dari Tabel 5.1 di atas terlihat bahwa rerata umur pasien adalah 43,75±9,39

tahun. Lama HD 34,75±30,51 bulan. Etiologi dari PGK yang terbanyak adalah

pyelonefritis kronis. Rerata kadar Hemoglobin adalah 8,34±1,40 g/dl. Rerata

kadar albumin serum adalah 3,87±0,54 mg/dl. Hasil perkalian antara calsium dan

Page 65: Unud-5vbvbnm Dyekandarini Sppd-kgh PDF

65

phosphat (CaP product) rata-rata adalah 55,29±17,59. Setelah dihitung didapatkan

rata-rata IMT pasien adalah 22,49±3,78 kg/m2. Pada kelompok pasien dengan

HID maupun kontol sebagian besar pasien mendapat terapi ace inhibitor sebagai

obat anti hipertensi. Terdapat perbedaan yang bermakna dalam terapi dengan

betabloker dimana pada kelompok yang tidak mengalami HID lebih banyak yang

mendapat terapi betabbloker dibandingkan dengan kelompok HID (38,9 vs 22,2; p

=0,00). Tidak terdapat perbedaan dalam terapi erythropoietin pada kedua

kelompok.

5.2 Profil tekanan darah selama HD

Pada pengamatan subjek penelitian, dilakukan pengukuran tekanan darah

selama HD pada 6 sesi HD berturut-turut. Profil tekanan darah sampel selama

pengamatan 6 kali HD berturut-turut dapat dilihat pada Tabel 5.2 di bawah ini.

Tabel 5.2

Profil tekanan darah subyek penelitian dari kelompok HID dan Non HID

Sesi

HD

Tekanan

Darah

Pre HD Post HD

Kelompok Selisih

Kelompok

Nilai

p

Kelompok Selisih

Kelompok

Nilai

p HID

(Rerata ±

SB)

Non HID

(Rerata ±

SB)

HID

(Rerata ±

SB)

Non HID

(Rerata ±

SB)

HD-1 Sistolik 142,5±22,89 143,28±24,02 -0.79 0.87 147,2±24,56 144,21±21,92 3.01 0.52

Diastolik 84,72±10,27 85,65±9,42 -0.10 0.95 88,33±12,07 85,65±8,3 2.68 0.17

HD-2 Sistolik 140,55±23,89 142,10±9,42 -1.55 0.73 148,05±23,52 144,73±21,25 3.31 0.46

Diastolik 84,72±10,27 86,84±9,26 -2.12 0.28 87,22±10,31 86,97±8,48 0.25 0.89

HD-3 Sistolik 141,38±19,29 141,97±23,26 -0.58 0.89 148,05±20,67 141,57±19,73 6.48 0.11

Diastolik 85,55±12,05 85,52±9,14 0.02 0.98 87,5±12,27 86,84±8,82 0.66 0.75

HD-4 Sistolik 138,05±21,20 141,28±24,54 -3.13 0.51 140,55±30,75 140,15±25,86 0.39 0.94

Diastolik 85,27±10,27 85,92±11,33 -0.64 0.77 86,38±8,3 86,97±10,58 -0.58 0.77

HD-5 Sistolik 143,33±29,17 141,44±22,43 1.89 0.71 144,44±23,83 140,92±20,86 3.52 0.42

Diastolik 85,83±8,74 85,13±10,39 0.70 0.72 87,22±10,03 87,10±10,04 0.11 0.95

HD-6 Sistolik 138,33±20,77 139,34±20,74 -1.00 0.81 146,66±24,14 138,55±19,03 8.11 0.05

Diastolik 83,33±9,85 85,13±8,71 -1.79 0.33 86,66±9,56 85,52±8,06 1.14 0.51

Rerata Sistolik 140,69±16,69 141,55±16,97 -0.86 0.80 145,83±18,52 141,69±16,11 4.14 0.23

Diastolik 85,04±6,49 85,70±6,13 -0.65 0.60 87,22±8,22 86,51±5,71 0.72 0.59

Page 66: Unud-5vbvbnm Dyekandarini Sppd-kgh PDF

66

Pada pengamatan HD 1,2,4 dan 5 rerata TDS sampel baik pre HD maupun post

HD pada kelompok HID lebih tinggi daripada kelompok Non HID, sedangkan

pada pengamatan HD 3 dan HD 6 rerata TDS pre HD pada kelompok HID sedikit

lebih rendah pada kelompok HID. Setelah dilakukan analisis tidak didapatkan

perbedaan yang bermakna antara TDS dan TDD pre HD maupun post HD antara

kelompok HID dan non HID.

5.3 Profil Ultrafiltrasi selama HD

Pada pengamatan selama 6 kali HD berturutan dilakukan pencatatan

volume UF selama HD pertama sampai ke enam. Rata-rata besaran UF yang

dilakukan dapat dilihat pada Tabel 5.3 di bawah ini.

Tabel 5.3

Volume UF kelompok HID dan Non HID

Hemodialisis

(HD)

Volume UF (L) Selisih

Kelompok

Nilai p

HID

(Rerata ± SB)

Non HID

(Rerata ± SB)

HD-1 3,37±1,00 2,54±1,16 0,83 0,00

HD-2 3,33±1,16 2,55±1,06 0,78 0,01

HD-3 3,51±1,05 2,54±1,15 0,98 0,00

HD-4 3,52±1,19 2,41±1,14 1,11 0,00

HD-5 3,68±1,03 2,47±1,23 1,20 0,00

HD-6 3,97±1,22 2,48±1,15 1,49 0,00

Rerata HD 1-6 3,56±0,91 2,50±0,98 1,27 0,00

Pada Tabel 5.3 di atas terlihat bahwa pada HD 1 sampai 6, dan secara

rerata UF pada kelompok HID lebih besar daripada kelompok non HID.

Page 67: Unud-5vbvbnm Dyekandarini Sppd-kgh PDF

67

5.4 Perubahan kadar Na, K dan Ca saat HD

Pada subjek penelitian dilakukan pemeriksaan kimia darah sebelum dan

sesudah HD, pada sesi HD 1. Hasil pemeriksaan kadar kalium, natrium dan

kalsium serum sebelum dan sesudah HD I, dapat dilihat pada Tabel 5.4 di bawah

ini.

Tabel 5.4

Kadar Natrium, Kalium dan Kalsium pre dan post HD 1

Kelompok HID (Rerata ± SB) Kelompok Non HID (Rerata ± SB) Selisih

Kelompok

Nilai

p Pre

HD

Post HD

Selisih

(post-

pre HD)

Pre HD

Post HD

Selisih

(Post-

pre HD)

Natrium

(mmol/L)

136,33

±

2,62

137,08

±

3,98

0,75

±

3,75

135,84

±

2,76

136,22

±

3,61

0,38

±

3,78

0,37 0,63

Kalium

(mmol/L)

5,58

±

0,97

3,49

±

0,87

-2,08

±

1,04

5,11

±

0,80

3,40

±

0,60

-1,70

±

0,85

-0,38 0,05

Kalsium

(mol/dL)

8,92

±

0,94

11,03

±

1,08

2,1

±

1,49

9,13

±

,05

10,61

±

1,07

1,47

±

1,46

0,63 0,03

Dari Tabel 5.4 di atas terlihat bahwa selisih kadar serum Na, K dan Ca

post HD dan pre HD pada kelompok HID lebih besar daripada kelompok non

HID. Setelah dilakukan analisis, didapatkan bahwa selisih kadar Natrium tidak

berbeda antara kelompok HID dan non HID, sedangkan selisih kadar K dan Ca

pada kelompok HID dan non HID berbeda bermakna.Terjadi peningkatan kadar

serum kalsium post HD pada kedua kelompok yaitu HID dan non HID,

peningkatan yang lebih besar tampak pada kelompok HID. Hal yang sebaliknya

terjadi pada kadar kalium, terjadi penurunan kadar kalium post HD pada kedua

kelompok dengan penurunan lebih besar pada kelompok HID.

Page 68: Unud-5vbvbnm Dyekandarini Sppd-kgh PDF

68

5.5 Perubahan kadar NO, ADMA dan ET-1 saat HD

Hasil pemeriksaan kadar NO, ADMA dan ET-1 serum pre dan post HD 1

dapat dilihat pada Tabel 5.5 di bawah ini.

Tabel 5.5

Kadar NO, ADMA, dan ET-1 sebelum dan sesudah HD 1

Kadar

serum

Kelompok HID (Rerata ± SB) Kelompok Non HID (Rerata ± SB) Selisih

Kelompok

Nilai

p Pre HD

Post HD

Selisih

(Post-pre

HD)

Pre HD Post HD Selisih

(Post-pre

HD)

NO (µM)

13,62

±

5,47

3,80

±

1,4

-9,8

±

4,79

8,15

±

3,27

3,93

±

2,22

-4,22

±

2,77

-5.59 0,0

ADMA

(µm/L)

0,81

±

0,23

0,47

±

0,14

-0,33

±

0,22

0,78

±

0,24

0,95

±

0,51

0,27

±

0,20

-0.06 0,16

ET-1

(pq/ml)

2,14

±

1,25

2,37

±

1,12

0,18

±

0,41

2,39

±

1,19

2,58

±

1,35

0,18

±

0,70

0.00 0,99

Pada Tabel 5.5 di atas terlihat bahwa terjadi penurunan kad(Rerata ± SB)ar

NO post HD pada kedua kelompok. Penurunan NO lebih besar pada kelompok

HID dibandingkan dengan kelompok non HID (-9,8±4,79 vs -4,22±2,77 µM).

Hal yang berbeda terjadi pada kadar serum ADMA, Pada kelompok HID terjadi

penurunan kadar serum ADMA post HD sedangkan pada kelompok non HID

terjadi peningkatan kadar serum ADMA (-0,33±0,22 vs 0,27±0,20 µm/L), tetapi

selisih ADMA ini tidak berbeda antara kelompok HID dan non HID. Hal yang

berbeda terlihat pada kadar serum ET-1, terjadi peningkatan kadar serum ET-1

post HD yang hampir sama pada kelompok HID dan non HID (0,18±0,41 vs

0,18±0,70 pq/ml), tetapi peningkatan ini tidak berbeda antara kelompok HID dan

non HID.

Page 69: Unud-5vbvbnm Dyekandarini Sppd-kgh PDF

69

5.6 Hubungan antara perubahan kadar NO, ET-1, ADMA dan HID

Untuk melihat hubungan antara perubahan kadar serum NO, ET-1, ADMA

saat HD dengan kejadian HID serta hubungan antara volume UF yang dilakukan

saat HD dengan kejadian HID, dilakukan analisis regresi, dan untuk

menghilangkan pengaruh beberapa variabel pengganggu terhadap hubungan

tersebut, dilakukan pengontrolan terhadap variabel tersebut, yaitu variabel jumlah

obat antihipertensi yang diminum, dan perubahan kadar Na dan kalsium post dan

pre HD. Hasil analisis dapat dilihat pada Tabel 5.6 di bawah ini.

Tabel 5.6

Hubungan antara NO, ADMA, ET-1, volume UF dengan kejadian HID

Variabel Bebas Unadjusted

OR

IK 95% Nilai

P

Adjusted

OR

IK 95% Nilai

P

NO

(setiap peningkatan 1 µm/L)

0,59

0,48-0,72

0,00

0,60

0,49-0,73

0,00

ADMA

(setiap peningkatan 1 µm/L)

0,26 0,04-1,67 0,16 0,15 0,02-1,19 0,07

ET-1

(setiap peningkatan 1 pg/ml)

1,00 0,53-2,89 0,99 0,94 0,49-1,794 0,85

Volume UF (setiap 1 liter

meningkat)

4,28 2,41-7,62 0,00 5,17 2,64-10,11 0,00

UF berlebih ( Volume UF >

4,8% BB Kering)

Setiap 1% meningkat

100,45 21,05-479,33 0,00 167,19 27,56-1013,91 0,00

Keterangan :

Adjusted OR setelah dilakukan pengontrolan terhadap:

1. Jumlah obat anti hipertensi yang dikonsumsi

2. Selisih natrium post - pre HD

3. Selisih Ca post - pre HD

Dari Tabel 5.6 di atas terlihat bahwa koefisien regresi NO memiliki tingkat

signifikansi <0,001 nilai ini lebih kecil dari 0,05, ini berarti hipotesis penelitian

yang menyatakan NO memiliki pengaruh yang signifikan terhadap HID diterima.

Nilai OR dari NO adalah 0,59, ini berarti bahwa jika variabel bebas lainnya tetap

atau tidak berubah, maka setiap peningkatan 1 µmol/L NO akan menyebabkan

kejadian HID sebesar 59%. Pengaruh ini tetap signifikan setelah dilakukan

Page 70: Unud-5vbvbnm Dyekandarini Sppd-kgh PDF

70

pengontrolan terhadap variabel perancu yaitu jumlah obat antihipertensi yang

diminum dan perubahan kadar Na dan Ca selama HD ( nilai p=0,001, nilai

adjusted OR = 0,6 (95% CI 0,49-0,73).

Dari Tabel 5.6 di atas terlihat bahwa koefisien regresi ADMA memiliki

tingkat signifikansi 0,16, nilai ini lebih besar dari 0,05, ini berarti hipotesis

penelitian yang menyatakan ADMA memiliki pengaruh yang signifikan terhadap

HID ditolak. Pengaruh ini tetap tidak signifikan setelah dikontrol dengan terhadap

variabel perancu yaitu jumlah obat antihipertensi yang di minum dan perubahan

kadar Na dan Ca selama HD (nilai p=0,07) dengan adjusted OR 0,15 (95% CI

0,02-1,19). Walaupun pengaruh ini tidak signifikan tetapi terdapat kecenderungan

bahwa setiap peningkatan 1 µm/L ADMA akan menyebabkan kejadian HID

sebanyak 15%.

Hal yang sama terlihat pada kadar serum ET-1. Dari Tabel 5.6 di atas terlihat

bahwa koefisien regresi ET-1 memiliki tingkat signifikansi 0,99, nilai ini lebih

besar dari 0,05, ini berarti hipotesis penelitian yang menyatakan ET-1 memiliki

pengaruh yang signifikan terhadap HID ditolak. Pengaruh ini tetap tidak

signifikan setelah dikontrol terhadap variabel perancu yaitu jumlah obat

antihipertensi yang diminum dan perubahan kadar Na dan Ca selama HD (nilai

p=0,85 adjusted OR 0,94 (95% CI 0,49-1,79)).

Dari Tabel 5.6 di atas terlihat bahwa koefisien regresi volume UF memiliki

tingkat signifikansi <0,001 nilai ini lebih kecil dari 0,05, ini berarti hipotesis

penelitian yang menyatakan volume UF memiliki pengaruh yang signifikan

terhadap HID diterima. Nilai OR dari volume adalah 4,28, ini berarti bahwa jika

Page 71: Unud-5vbvbnm Dyekandarini Sppd-kgh PDF

71

variabel bebas lainnya tetap atau tidak berubah, maka setiap peningkatan 1 liter

UF akan menyebabkan kejadian HID sebesar 4,28 kali. Pengaruh ini tetap

signifikan setelah dilakukan pengontrolan terhadap variabel perancu yaitu jumlah

obat antihipertensi yang diminum dan perubahan kadar Na dan Ca selama HD

(nilai p=0,001, nilai adjusted OR = 5,17 (95% CI 2,64-10,11).

Dari Tabel 5.6 di atas terlihat pula bahwa koefisien regresi UF berlebih ( UF

>4,8% BB kering) memiliki tingkat signifikansi <0,001 nilai ini lebih kecil dari

0,05, ini berarti hipotesis penelitian yang menyatakan UF berlebih memiliki

pengaruh yang signifikan terhadap HID diterima. Nilai OR dari UF berlebih

adalah 100,45 ini berarti bahwa jika variabel bebas lainnya tetap atau tidak

berubah, maka setiap peningkatan 1 persen UF diatas BB kering akan

menyebabkan kejadian HID sebesar 100 kali. Pengaruh ini tetap signifikan setelah

dilakukan pengontrolan terhadap variabel perancu yaitu jumlah obat antihipertensi

yang diminum dan perubahan kadar Na dan Ca selama HD (nilai p=0,001, nilai

adjusted OR = 167,19 (95% CI 27,56-1013,91).

5.7 Analisis Jalur (Path analysis)

Untuk melihat hubungan kausal efek dari perubahan kadar NO, ET-1 dan

ADMA serta volume UF yang saat HD terhadap kejadian HID, dilakukan analisis

jalur. Pada analisis jalur ini variabel eksogen adalah: NO, ADMA, ET-1 dan

volume UF sedangkan variabel endogen adalah kejadian HID. Berdasarkan dari

teori dan telaah kepustakaan yang ada maka dibuatkan model seperti di bawah ini

(Gambar 5.1).

Page 72: Unud-5vbvbnm Dyekandarini Sppd-kgh PDF

72

Gambar 5.1

Model Struktural/Path Diagram

Setelah dilakukan analisis terhadap model struktural/path diagram

didapatkan df (Degree of freedom) = 3, artinya overidentified, maka estimasi dan

penilaian model dapat dilakukan, atau model struktural dapat diproses lebih lanjut.

Pada result terdapat kalimat minimum was achieved, dan probability level=0,28,

menunjukkan bahwa AMOS telah berhasil mengestimasi varians dan kovarians

yang ada. Pada bagian CMIN terlihat P = 0,3 menunjukkan model dapat dianggap

fit dengan data yang ada. Pada bagian RMR dan GFI, terlihat bahwa angka GFI

0,9 dan AGFI 0,9 mendekati 1, juga disertai dengan angka RMR 0,1 yang relatif

kecil (mendekati 0), semua ini mendukung pernyataan bahwa model struktural

sudah fit dengan data yang ada, secara keseluruhan model struktural dapat

dianggap fit sehingga dapat dilakukan analisis jalur.

NO

Endothelin-1

ADMA

z2

z1

z3

z4

Hipertensi

Intradialitik Volume

Ultrafiltrasi

Page 73: Unud-5vbvbnm Dyekandarini Sppd-kgh PDF

73

5.7.1 Hasil Analisis Jalur

Gambar 5.2

Hasil analisis jalur model struktural

Berdasarkan Gambar 5.2 di atas maka didapatkan efek langsung terhadap

HID sebagai berikut; efek UF terhadap HID adalah 0,16 (16%), efek NO terhadap

HID adalah 0,05 (5%), efek ET-1 terhadap HID adalah 0,02 (2%), efek ADMA

terhadap HID adalah 0,11 (11%). Sementara itu efek langsung dari UF terhadap

variabel lain adalah sebagai berikut: efek UF terhadap NO adalah 1,37 (137%),

efek UF terhadap ADMA adalah 0,03 (3%), efek UF terhadap ET-1 adalah 0,06

(6%). Di sini terlihat bahwa UF memiliki efek paling kuat terhadap NO,

sedangkan variabel yang paling kuat berpengaruh terhadap HID adalah UF. Efek

total yang paling kuat terhadap HID adalah efek dari UF (24%).

16.97

-0.05

0.11

0.16

0.38

0.02

-0.11

0.04

-0.03

0.06

1.17

-1.37

NO

Endothelin-

1

ADMA

z2

z1

z3

z4

Hipertensi

Intradialitik Volume

Ultrafiltrasi

Page 74: Unud-5vbvbnm Dyekandarini Sppd-kgh PDF

74

5.7.2 Hubungan antar konstruk

Besarnya efek masing-masing variabel bebas terhadap variabel tergantung

dinyatakan dengan critical ratio (CR). Nilai CR didapatkan dari nilai estimasi

yang dibagi dengan standard errornya (SE). Semakin tinggi nilai CR maka

efeknya semakin signifikan. Setelah dilakukan analisis dengan AMOS, hubungan

antar konstruk dapat dilihat pada Tabel 5.7 berikut ini.

Tabel 5.7

Hubungan antara 2 variabel konstruk

No Variabel Regression weight Standardize

regression

weight Estimate CR p

1

Vol. UF � ADMA

-0,26

-1,35

0,18

-0,13

2 Vol. UF � ET-1 0,04 0,70 0,48 0,07

3 Vol. UF � NO -1,23 -3,70 *** -0,34

4 Vol. UF � HID 0,18 5,74 *** 0,40

5 NO � HID -0,06 -7,08 *** -0,49

6 ET-1 � HID -0,02 -0,25 0,80 0,02

7 ADMA � HID -0,14 -0,97 0,33 -0,06

Dari Tabel 5.7 di atas dapat disimpulkan bahwa:

a) Terdapat hubungan yang signifikan antara volume UF dengan NO (CR -

3,70; p <0,01).

b) Terdapat hubungan yang signifikan antara volume UF dengan HID (CR

5,74; p <0,01).

c) Terdapat hubungan yang signifikan antara NO dengan HID (CR -7,08; p

<0,01).

Page 75: Unud-5vbvbnm Dyekandarini Sppd-kgh PDF

75

d) Tidak ada hubungan yang signifikan antara volume UF dengan ADMA,

antara volume UF dengan ET-1, antara ET-1 dengan HID, antara ADMA

dengan HID.

Untuk melihat seberapa erat hubungan antar konstruk, dapat dilihat pada

nilai Standardized regression weight. Dari analisis didapatkan bahwa faktor

loading NO terhadap HID = 0,5. Hal ini berarti bahwa NO dapat menjelaskan

kejadian HID. Ada korelasi yang erat antara NO dengan HID. Faktor loading

volume UF terhadap NO serta faktor loading volume UF terhadap HID masing-

masing 0,3 dan 0,4 berurutan. Hal ini menunjukkan bahwa terdapat hubungan

yang cukup erat antara volume UF dengan NO serta volume UF dengan HID.

Tabel 5.8 di bawah ini menunjukkan besarnya hubungan antar variabel konstruk

(ADMA, NO, ET-1 dan UF) dengan HID sebagai variabel tergantung.

Tabel 5.8

Hubungan antar variabel konstruk dengan HID sebagai variabel tergantung

Efek NO � HID ET-1 � HID ADMA � HID UF � HID

Efek Total

-0,05

-0,02

-0,12

0,24

Efek langsung -0,05 -0,02 -0,12 0,16

Efek tidak

langsung

0,00 0,00 0,00 0,07

Dari Tabel 5.8 di atas terlihat bahwa volume UF mempunyai efek total

dan efek langsung yang paling kuat terhadap kejadian HID.

Page 76: Unud-5vbvbnm Dyekandarini Sppd-kgh PDF

76

Tabel 5.9 di bawah ini menunjukkan menunjukkan besarnya hubungan

antara variabel konstruk UF sebagai variabel bebas dan ADMA, NO, ET-1sebagai

variabel tergantung.

Tabel 5.9

Hubungan antar variabel konstruk dengan UF sebagai variabel bebas

Efek UF � NO UF � ADMA UF � ET-1 UF � HID

Efek total -1,37 -0,03 0,06 0,24

Efek langsung -1,37 -0,03 0,06 0,16

Efek tidak

langsung

0,00 0,00 0,00 0,07

Dari Tabel 5.9 di atas terlihat bahwa efek total dan efek langsung yang

paling kuat adalah efek volume UF terhadap NO, diikuti dengan efek volume UF

terhadap HID.

Dari Gambar 5.2 dan Tabel 5.9 di atas terlihat bahwa terdapat hubungan

langsung yang signifikan dan erat antara volume UF dengan HID (CR 5,74; p

<0,01, efek langsung 16% dan efek total 24%). Terdapat hubungan yang

signifikan antara volume UF dengan NO (CR -3,70; p<0,01, efek langsung

137%). Terdapat hubungan langsung antara NO terhadap HID (CR -7,08; p<0,01,

efek langsung 5%).

Dengan demikian dapat dikatakan bahwa UF dan NO mempunyai efek

yang signifikan terhadap HID, NO mempunyai efek yang paling signifikan

terhadap HID (CR -7,08), dibandingkan dengan UF (CR 5,74). Sementara itu UF

juga mempunyai efek yang signifikan terhadap NO (CR -3,70). Jadi dari gambar

Page 77: Unud-5vbvbnm Dyekandarini Sppd-kgh PDF

77

tersebut pula dapat dilihat hubungan tidak langsung antara volume UF dengan

HID melalui perubahan kadar NO serum.

Page 78: Unud-5vbvbnm Dyekandarini Sppd-kgh PDF

78

BAB VI

PEMBAHASAN

Hipertensi intradialitik merupakan komplikasi yang cukup sering dijumpai

pada pasien yang menjalani HD reguler. Pada penelitian ini ditemukan hampir

sepertiga pasien yang menjalani HD reguler mengalami HID. Mekanisme

terjadinya HID sampai sekarang belum jelas, sehingga menyulitkan dalam

penatalaksanaan HID dan selanjutnya menyebabkan HD menjadi tidak adekuat

serta akhirnya meningkatkan morbiditas dan mortalitas. Penelitian yang dilakukan

oleh Inrig et al., menemukan bahwa pada pasien dengan HD reguler yang

mengalami HID terdapat disfungsi endotel (Inrig et al., 2011). Penelitian yang

kami lakukan mendukung penemuan tersebut yaitu terbukti adanya hubungan

antara penurunan kadar NO serum dengan kejadian HID. Penurunan NO serum

menunjukkan keterlibatan disfungsi endotel dalam kejadian HID. Temuan baru

dari penelitian ini adalah terbukti adanya hubungan antara UF yang berlebihan

saat HD dengan penurunan kadar NO dan kejadian HID. Pada penelitian ini juga

didapatkan hubungan langsung antara volume UF dan HID, penurunan kadar NO

dengan HID serta hubungan tidak langsung antara volume UF dengan HID

melalui penurunan kadar NO.

6.1 Normalitas Data

Data karakteristik variabel pada populasi penelitian ini meliputi : NO,

ADMA, ET-1, dan UF sebagai variabel bebas. Variabel tersebut telah diuji

normalitasnya dengan Uji Normalitas Kolmogorov-Smirnov pada tingkat

78

Page 79: Unud-5vbvbnm Dyekandarini Sppd-kgh PDF

79

kemaknaan α = 0,05. Hasil pengujian variabel ADMA pre dan post HD, NO pre

HD, UF berdistribusi normal oleh karena p>0,05. Sedangkan kadar NO post HD,

ET-1 pre dan post HD tidak berdistribusi normal karena nilai p<0,05.

6.2 Karakteristik pasien dengan HID

Pada penelitian ini karakteristik subjek yang mengalami HID tidak jauh

berbeda dengan kelompok non HID, tetapi pada kelompok HID didapatkan BB

kering pasien lebih rendah daripada kontrol. Penelitian pada tahun 1995

mendapatkan bahwa pasien dengan HD reguler yang mengalami peningkatan

tekanan darah saat UF umumnya pasien dengan overhidrasi dan dilatasi jantung

(Cirit et al., 1995). Pada penelitian kohort yang dilakukan oleh Inrig tahun 2009,

didapatkan bahwa pada pasien yang mengalami HID memiliki BB kering yang

lebih rendah, peningkatan BB interdialitik lebih rendah, serum albumin, phospor

lebih rendah daripada pasien yang tidak mengalami HID (Inrig et al., 2009). Tidak

terdapat perbedaan pemakaian antihipertensi ace inhibitor, CCB, clonidine dan

ARB pada kedua kelompok. Pada penelitian ini kami dapatkan pada kelompok

kontrol lebih banyak yang memakai obat betabloker dibandingkan dengan

kelompok HID. Pada kedua kelompok ini obat betabloker yang digunakan adalah

bisoprolol. Bisoprolol merupakan obat yang sebagian besar tidak terdialisis,

sehingga pada pasien yang memakai obat ini tekanan darah saat HD lebih

terkontrol. Pemakaian obat ini dapat sebagai pilihan terapi pada pasien yang

mengalami HID.

Page 80: Unud-5vbvbnm Dyekandarini Sppd-kgh PDF

80

6.3 Prevalensi pasien HID

Proporsi dari kejadian HID pada pasien dengan HD reguler tidak diketahui

dengan pasti (Rubinger et al., 2012). Penelitian-penelitian sebelumnya

melaporkan dalam jumlah yang bervariasi. Belakangan ini proporsi kejadian HID

cenderung meningkat. Pada penelitian ini ditemukan kejadian HID sebesar 32,1%.

Pada penelitian lain dilaporkan kejadian HID Sekitar 5-15% dari pasien yang

menjalani HD reguler. Pada penelitian kohort yang dilakukan pada 1748 pasien

HD dimana HID didefinisikan bila terdapat peningkatan TDS post dialisis > 10

mmHg dan dilakukan pengamatan pada 3 sesi HD berturutan, didapatkan 12,2%

pasien HD mengalami HID (Inrig et al., 2009). Penelitian kohort retrospektif

terhadap 22.955 tindakan HD didapatkan prevalensi HID sebesar 21,3 per 100

tindakan, dengan median prosentase sebesar 17,8% (Van Buren et al., 2012).

Pada penelitian lain yang dilakukan pada tahun 2012, Rubinger et al., melaporkan

kejadian HID yang tinggi, yaitu sebesar 52% (57/108). Pada penelitian ini

definisi HID adalah bila terjadi peningkatan TDS post HD sebesar ≥10 mmHg

atau hipertensi yang resisten terhadap UF yang terjadi setelah HD (Rubinger et

al., 2012). Prevalensi yang berbeda-beda ini mungkin disebabkan karena

perbedaan metode pengamatan dan perbedaan definisi HID yang dipakai. Salah

satu kesulitan mendefinisikan HID adalah karena sampai saat ini belum ada target

tekanan darah saat HD yang pasti, masalah ini masih menjadi perdebatan para

ahli (Levin et al., 2012).

Page 81: Unud-5vbvbnm Dyekandarini Sppd-kgh PDF

81

6.4 Perubahan kadar NO pada HD

Pada penelitian ini didapatkan rerata kadar NO pre HD pada kelompok

HID lebih tinggi daripada kelompok kontrol. Post HD terjadi penurunan NO pada

kedua kelompok. Pada kelompok HID didapatkan penurunan NO yang lebih

banyak daripada kelompok kontrol. Hasil ini menyerupai hasil yang didapatkan

pada penelitian yang dilakukan oleh Chou et al., 2006 didapatkan kadar NO yang

jauh lebih tinggi yaitu pada kelompok yang prone hipertensi. Post HD juga

didapatkan penurunan NO pada kedua kelompok. Pada penelitian ini juga

didapatkan penurunan NO yang jauh lebih besar pada kelompok hipertensi

dibandingkan kelompok kontrol (Chou et al., 2006).

6.5 Hubungan antara kadar NO serum dan HID

Nitric oxide adalah antagonis natural dari katekolamin. Nitric oxide disintesis

oleh enzim Nitric Oxide Synthase (NOS), dikeluarkan oleh sel endotel ke

sirkulasi. Pada penelitian in vitro didapatkan bahwa aktivitas NOS meningkat saat

darah diekspose pada membran dialiser (Fliser et al., 2003).

Dengan ditemukannya hubungan antara kadar NO serum dengan kejadian

HID, penelitian ini mendukung hasil penelitian sebelumnya. Penelitian oleh Chou

et al., membandingkan antara 30 pasien dengan HID dan 30 orang kontrol, pada

pasien yang prone terhadap hipertensi terdapat peningkatan resistensi pembuluh

darah sistemik dan penurunan signifikan NO relatif terhadap ET-1 pada saat akhir

HD (Chou et al., 2006).

Nitric oxide dibentuk di berbagai lokasi, produksi lokal menentukan

aktivitas fisiologisnya. Pada PGK terjadi disfungsi endotel yang ditandai dengan

Page 82: Unud-5vbvbnm Dyekandarini Sppd-kgh PDF

82

menurunnya produksi NO oleh endotel. Penelitian ini juga mendukung teori

bahwa salah satu mekanisme terjadinya HID adalah karena adanya disfungsi

endotel yang salah satunya ditandai dengan penurunan kadar serum NO.

Penurunan kadar serum NO pada pasien saat HID, dan adanya hubungan

antara NO dan kejadian HID menunjukkan peranan disfungsi endotel dalam

patogenesis HID. Penurunan NO menyebabkan terjadi gangguan vasodelatasi otot

polos, sehingga terjadi vasokonstriksi yang berperan dalam peningkatan tekanan

darah saat HD.

6.6 Perubahan kadar ADMA serum saat HD

Pada penelitian ini didapatkan rata-rata kadar ADMA predialisis lebih

tinggi pada kelompok HID dibandingkan kelompok kontrol. Post HD terjadi

penurunan ADMA pada kelompok HID, sedangkan pada kelompok kontrol justru

terjadi peningkatan ADMA.

Pada penelitian yang dilakukan oleh Young et al., terhadap pasien CKD

stadium 3 dan 4 didapatkan kadar ADMA 0.70 ± 0.25 µmol/L (Young et al.,

2009). Hasil ini sedikit lebih tinggi daripada kadar ADMA pada pasien dengan

HD reguler yang kami dapatkan (0,33±0,22 µM/L). Pada penelitian terhadap 227

pasien CKD didapatkan kadar ADMA serum 0.46 ± 0.12 µmol/L (Fliser et al.,

2004).

Hasil yang berbeda didapatkan pada penelitian oleh Raj et al., didapatkan

kadar ADMA pada pasien dengan HD reguler jauh lebih tinggi daripada pada

penelitian ini yaitu 105.3 ± 25.2 µM/L. Tidak jelas mengapa pada penelitian ini

didapatkan kadar ADMA serum pasien dengan HD reguler sangat tinggi.

Page 83: Unud-5vbvbnm Dyekandarini Sppd-kgh PDF

83

6.7 Hubungan antara kadar ADMA dan HID

Pada penelitian ini tidak terbukti adanya hubungan yang signifikan antara

ADMA dan kejadian HID. Pengaruh ini tetap tidak signifikan setelah dilakukan

adjusted terhadap jumlah obat antihipertensi yang di minum dan perubahan kadar

Na dan Ca saat HD.

Penelitian epidemiologis menunjukkan adanya hubungan antara ADMA

dan hipertensi, hiperkolesterol, dan DM (Abedini et al., 2010). Asymmetric

Dymethylarginine adalah inhibitor kompetitif endogen dari NOS, menyebabkan

meningkatnya resistensi perifer dan meningkatnya tekanan darah. Pada penelitian

ini tidak terbukti adanya hubungan antara ADMA dan kejadian HID, bahkan

terjadi hal yang sebaliknya yaitu kecenderungan setiap peningkatan ADMA

menyebabkan penurunan kejadian HID, walaupun hubungan ini tidak signifikan.

Pada penelitian yang dilakukan oleh Raj et al., terhadap 27 pasien dengan

HD reguler, dievaluasi peranan NO dan ADMA terhadap variasi tekanan darah

intradialisis. Pada penelitian ini didapatkan kadar NO tidak signifikan berkorelasi

dengan perubahan MAP, dan kadar ADMA tidak berbeda pada kelompok pasien

dengan hipotensi intradialisis maupun hipertensi intradialisis (Raj et al., 2002).

Pada penelitian ini ADMA tidak terbukti berperan terhadap kejadian HID

mungkin disebabkan oleh kadar ADMA yang ditemukan pada penelitian ini lebih

rendah daripada penelitian-penelitian sebelumnya. Rerata ADMA pada penelitian

ini adalah 0,33±0,25 µM/L sedangkan Raj et al menemukan kadar ADMA adalah

105,3±25,2 µM/L.

Page 84: Unud-5vbvbnm Dyekandarini Sppd-kgh PDF

84

6.8 Perubahan kadar ET-1 pada HD

Pada penelitian ini didapatkan rata-rata kadar ET-1 predialisis maupun

post HD lebih rendah pada kelompok HID dibandingkan kelompok kontrol. Post

HD terjadi peningkatan kadar serum ET-1 yang hampir sama pada kelompok HID

dan non HID. Hasil ini sedikit berbeda dengan yang didapatkan pada penelitian

sebelumnya. Pada saat HD berakhir pada penderita HID terjadi peningkatan

signifikan dari kadar ET-1 dibandingkan dengan kontrol (Chou et al., 2006).

Pada penelitian yang dilakukan terhadap 44 pasien HD reguler ditemukan

bahwa kadar ET-1 pada pasien HD lebih tinggi daripada kontrol orang sehat. Pada

individu dengan HID terjadi peningkatan yang signifikan dari kadar ET-1 setelah

HD (Shafei et al., 2008). Hasil ini berbeda dengan yang kami dapatkan dimana

kadar ET-1 baik pre maupun post HD pada semua kelompok jauh lebih rendah.

6.9 Hubungan antara kadar ET-1 dan HID

Pada penelitian yang kami lakukan terjadi peningkatan kadar ET-1 post

HD pada kedua kelompok, dan tidak didapatkan hubungan yang bermakna antara

kadar ET-1 dan kejadian HID. Pada penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh

Chou et al., didapatkan kadar ET-1 pre maupun post HD lebih tinggi pada

kelompok yang prone terhadap hipertensi (Chou et al., 2006). Penelitian lain

mendapatkan kadar ET-1 menurun secara signifikan pada kelompok hipotensi

intradialisis, dan meningkat signifikant pada kelompok HID (Raj et al., 2002).

Pada penelitian yang dilakukan oleh Shafei et al., 2008 didapatkan peningkatan

yang signifikan kadar ET-1 post HD pada kelompok pasien dengan rebound

hipertensi saat HD, disimpulkan bahwa perubahan ET-1 mungkin terlibat pada

Page 85: Unud-5vbvbnm Dyekandarini Sppd-kgh PDF

85

pathogenesis dari rebound hipertensi dan hipotensi saat HD (Shafei et al., 2008).

Hasil ini berbeda dengan penelitian yang kami lakukan yaitu tidak didapatkan

adanya hubungan yang signifikan antara perubahan kadar serum ET-1 dan

kejadian HID. Hal ini mungkin disebabkan karena kadar ET-1 pre maupun post

HD kelompok HID justru lebih rendah daripada kelompok kontrol.

6.10 Hubungan antara volume UF dengan kadar ET-1, NO, dan ADMA

Penelitian ini merupakan penelitian pertama yang mencari hubungan

antara volume UF saat HD dengan perubahan kadar ET-1, NO dan ADMA. Pada

penelitian ini dengan analisis jalur didapatkan hubungan yang signifikan antara

volume UF dengan NO (nilai p <0,01) dan tidak ada hubungan antara volume UF

dengan ADMA dan ET-1. Pada saat dilakukan UF yang berlebih terjadi

penurunan NO sehingga mungkin hal ini menyebabkan tidak terjadi respon

vasodelatasi yang diperantarai oleh NO, sehingga hal ini mungkin dapat

menjelaskan sebagian dari terjadinya HID melalui keterlibatan endotel. Penemuan

ini mendukung teori yang menyatakan disfungsi endotel sebagai salah satu

etiologi dari HID. Belum ada penelitian yang menjelaskan bagaimana mekanisme

UF yang berlebih menyebabkan penurunan NO.

6.11 Hubungan antara volume UF dengan HID

Volume UF selama HD 1 sampai HD 6 pada kelompok HID lebih besar

daripada dan non HID. Pada kelompok HID saat terjadi peningkatan TDS post

HD pada hampir semua sesi HD. Sedangkan pada kelompok non HID pada

sebagian besar sesi HD terjadi penurunan TDS post HD, yaitu pada sesi HD (HD

Page 86: Unud-5vbvbnm Dyekandarini Sppd-kgh PDF

86

3,4,5,dan 6), sedangkan pada HD 1 dan HD 2 terjadi sedikit peningkatan TDS

post HD. Umumnya dengan ultrafiltrasi terjadi penurunan tekanan darah, pada

sebagian kasus justru terjadi peningkatan tekanan darah. Penelitian ini merupakan

penelitian pertama yang mencari hubungan antara volume UF dan UF yang

berlebih terhadap kejadian HID.

Pada penelitian ini didapatkan volume UF dan UF yang berlebih memiliki

pengaruh yang signifikan terhadap kejadian HID. Saat dilakukan UF yang

berlebih, terjadi penarikan cairan dalam jumlah yang banyak dari kompartemen

darah, hal ini mungkin menyebabkan terjadi aktivasi simpatis yang menyebabkan

kenaikan tekanan darah saat HD.

Rubinger et al., pada penelitiannya terhadap 108 pasien dengan HD reguler

mendapatkan terjadi overaktivitas simpatis pada pasien yang mengalami HID.

Overaktivitas simpatis merupakan mekanisme yang penting yang menjelaskan

kejadian HID. Pencetus dari terjadinya peningkatan aktivitas simpatis pada pasien

dengan HD masih perlu di teliti lebih jauh (Rubinger et al., 2012).

Penelitian kohort retrospektif terhadap 22195 tindakan HD pada Januari-

Agustus 2010, menghubungkan HID (didefinisikan sebagai peningkatan TDS pre

HD ke post HD sebesar 10 mmHg) dengan ultrafiltration rate yaitu volume UF

dibagi dengan lama sesi HD (menit) mendapatkan pada pasien dengan HID

mendapatkan kecepatan filtrasi yang lebih rendah daripada yang tanpa HID (10,4

vs 12,2 ml/menit, p 0,02) (Van Buren et al., 2012).

Pada penelitian yang dilakukan oleh Kovacik et al., terhadap 23 pasien

dengan HD reguler mendapatkan volume UF berhubungan kuat dengan tekanan

Page 87: Unud-5vbvbnm Dyekandarini Sppd-kgh PDF

87

nadi postdialisis (Kovacik et al., 2003). Belum diteliti mengenai hubungan antara

volume UF dengan kejadian HID.

6.12 Analisis Jalur (Path analysis)

Untuk melihat hubungan kausal efek dari perubahan kadar NO, ET-1 dan

ADMA serta volume UF yang dilakukan terhadap kejadian HID, dibuat model

struktural dan dianalisis dengan analisis jalur menggunakan program AMOS.

Variabel eksogen atau independent adalah: NO, ADMA dan ET-1 sedangkan

variabel endogen atau dependent adalah HID. Setelah analisis didapatkan

hubungan yang signifikan antara volume UF saat HD dengan kadar serum NO,

antara volume UF saat HD dengan HID, dan antara kadar serum NO dengan

HID. Tidak ada hubungan antara, ET-1 dengan HID, antara ADMA dengan HID,

volume UF dengan ADMA, dan volume UF dengan ET-1.

Setelah dilakukan analisis keeratan hubungan (Standardized Regression

weight) didapatkan ada korelasi yang erat antara NO dengan HID, dan terdapat

hubungan yang cukup erat antara volume UF dengan NO serta volume UF dengan

HID. Pada penelitian ini didapatkan juga bahwa volume UF saat HD memiliki

efek total dan efek langsung yang paling kuat terhadap kejadian HID. Juga

didapatkan bahwa volume UF memiliki efek total dan langsung paling kuat

terhadap kadar serum NO dan kejadian HID berturutan. Sehingga dengan analisis

jalur dapat disimpulkan hubungan antara NO, ADMA, ET-1, UF dan HID sebagai

berikut: bahwa terdapat hubungan langsung yang signifikan dan erat antara

volume UF saat HD dengan kejadian HID. Terdapat hubungan yang signifikan

antara volume UF saat HD dengan kadar serum NO. Terdapat hubungan

Page 88: Unud-5vbvbnm Dyekandarini Sppd-kgh PDF

88

langsung antara kadar serum NO dengan kejadian HID dan terdapat hubungan

tidak langsung antara volume UF saat HD dengan kejadian HID melalui

perubahan kadar serum NO.

Penelitian sebelumnya meneliti mengenai keterlibatan endotel dalam

patofisiologi terjadinya HID. Penelitian ini menganalisis fungsi endotel pada

pasien dengan HID didapatkan penurunan sel progenitor endoter dan fase dilatasi

dari arteri brakial lebih rendah dibandingkan dengan kontrol , hal ini menegaskan

bahwa disfungsi endotel terjadi pada pasien HID (Inrig et al., 2011)

Pada penelitian yang kami lakukan mendapatkan keterlibatan salah satu

marker disfungsi endotel yaitu NO, dalam terjadinya HID. Penemuan ini

mendukung penelitian sebelumnya mengenai keterlibatan disfungsi endotel dalam

terjadinya HID. Dalam penelitian ini ditemukan pula bahwa salah satu faktor yang

menyebabkan penurunan NO adalah UF yang berlebihan saat hemodialisis.

Dengan path analysis ini dapat dijelaskan patogenesis terjadinya HID

yaitu melalui perubahan kadar NO dan UF yang berlebihan saat HD.

Dari temuan ini sangat bermanfaat bagi penderita yang sering mengalami

HID untuk penentuan UF yang tepat saat HD sehingga dapat mencegah kejadian

HID. Disarankan pula untuk pasien-pasien yang overload tidak dilakukan

penurunan atau penarikan cairan yang berlebihan dalam satu sesi HD, disarankan

penurunan BB bertahap dalam beberapa kali HD. Dengan menurunnya kejadian

HID nantinya akan meningkatkan adekuasi HD dan selanjutnya akan menurunkan

mortalitas dan morbiditas pasien yang menjalani HD reguler.

Page 89: Unud-5vbvbnm Dyekandarini Sppd-kgh PDF

89

6.13 Keterbatasan Penelitian

1. Penelitian ini dilakukan di ruang hemodialisis Divisi Ginjal dan Hipertensi,

Bagian Ilmu Penyakit Dalam, RSUP Sanglah Denpasar, dengan merekrut

penderita secara konsekutif, bukan secara random.

2. Penentuan berat kering penderita adalah secara klinis, tidak menggunakan

alat yang dapat mengukur volume cairan dalam tubuh.

3. Pengukuran tekanan darah penderita adalah secara manual, bukan

automatik.

4. Penentuan kelompok kasus dan kontrol hanya berdasarkan pengamatan

hanya 6 kali HD berturut-turut.

6.14 Kebaruan Penelitian

Dari penelitian yang telah kami lakukan, maka dapat diuraikan bahwa

kebaruan dari penelitian ini adalah:

1. Ultrafiltrasi mempunyai peranan terhadap kejadian HID.

2. Peran itu mungkin diperantarai oleh penurunan kadar NO serum.

Mekanisme HID ini belum pernah didapatkan pada penelitian sebelumnya.

Page 90: Unud-5vbvbnm Dyekandarini Sppd-kgh PDF

90

BAB VII

SIMPULAN DAN SARAN

7.1 Simpulan

Dari penelitian yang telah dilakukan, maka dapat disimpulkan bahwa:

1. Ultrafiltrasi yang berlebih saat HD berperan terhadap kejadian HID, ini

dibuktikan dengan adanya hubungan yang signifikan antara UF yang

berlebih dengan kejadian HID.

2. Peranan UF yang berlebih terhadap kejadian HID diperantarai oleh

penurunan kadar NO serum saat HD. Hal ini terbukti dari adanya

hubungan langsung antara kadar NO serum dengan kejadian HID dan

hubungan tidak langsung antara volume UF saat HD dengan kejadian HID

melalui penurunan kadar NO.

3. Perubahan kadar ADMA dan ET-1 tidak berperan dalam kejadian HID.

Hal ini diperkirakan disebabkan karena rerata kadar ADMA dan ET-1

pada penelitian ini lebih rendah daripada penelitian-penelitian sebelumnya.

7.2 Saran

Dengan keterbatasan penelitian yang dilakukan, maka sebagai penelitian

lanjutan dapat dilakukan hal-hal sebagai berikut:

1. Perlu dilakukan penelitian mengenai hubungan antara HID dan disfungsi

endotel melalui pemeriksaan marker disfungsi endotel yang lebih akurat.

2. Usaha-usaha untuk menekan HID melalui penentuan UF yang tepat saat HD

dapat digunakan oleh para klinisi dalam penanganan kasus HID.

90

Page 91: Unud-5vbvbnm Dyekandarini Sppd-kgh PDF

91

DAFTAR PUSTAKA

Abedini, S., Meinitzer, A., Holme, I., Ma¨rz, M., Weihrauch, G., Fellstrøm, B.,

Jardine, A., and Holdaas, H. 2010. Asymmetrical Dimethylarginine is

Associated with Renal and Cardiovascular Outcomes and All-cause Mortality

in Renal Transplant Recipients. Kid Int, 77: 44–50.

Aird, W.C., 2007. Phenotypic Heterogeneity of the Endothelium : I. Structure,

Function, and Mechanisms. Circ Res,100:158-73.

Agarwal, R., and Light, R.P. 2010. Intradialytic Hypertension is a Marker of

Volume Excess. Nephrol Dial Transplant, 25(10): 3355–61.

Agarwal, R., and Weir, M.R. 2010. Dry-Weight: A Concept Revisyed in an Effort

to Avoid Medication-Directed Approaches for Blood Pressure Control in

Hemodialysis Patients. Clin J am Soc Nephrol, 5:1255-60.

Agarwal, R., Metiku, T., Tegegne, G., Light, R.P., Bunaye, Z., Bekele, D.M., and

Kelley, K. 2008. Diagnosing Hypertension by Intradialytic Blood Pressure

Recordings. Clin J Am Soc Nephrol, 3: 1364–72.

Agustriadi, O. 2009. ʻʻHubungan antara Perubahan Volume Darah Relatif dan

Episode Hipotensi Intradialitik Selama Hemodialisis pada Gagal Ginjal

Kronikʼʼ (karya akhir). Denpasar: Universitas Udayana.

Amerling, R.C.G., Dubrow, A., Levin, N.W., Psheroff, R., 1995. Complications

During Hemodialysis. Stamford, CT: Appleton and Lange.

Balk, R.A., Casey, L.C. 2000. Sepsis and Septic Shock. Critical Care Clinics.

Bassenge, E., Zanzinger, J. 1992. Nitrates in different vascular beds, nitrate

tolerance, and interactions with endothelial function. Am J Cardiol; 70:23B-

9B.

Baylis, C. 2006. Arginine, arginine analogs and nitric oxide production in chronic

kidney disease,” Nature Clinical Practice. Nephrology;2(4): 209–20.

Baylis, C. 2008. Nitric Oxide Deficiency in Chronic Kidney Disease. Am J

Physiol Renal Physiol, 294:F1-F9.

Beiber, S.D. dan Himmelfarb, J. 2013. Hemodialysis. In: Schrier’s Disease of the

Kidney. 9th

edition. Coffman, T.M., Falk, R.J., Molitoris, B.A., Neilson, E.C.,

Schrier, R.W. editors. Lippincott Williams & Wilkins. Philadelphia:2473-

505.

Bussemarker, E., Passauer, J., Reimann, D., Schulze, B., Reichel, W., and Gross,

P. 2002. The Vascular Endothelin System is not Overactive in Normotensive

Hemodialysis Patients. Kid Int, 62: 940-48.

Chazot, C., and Jean, G. 2010. Intradialytic Hypertension: It Is Time to Act.

Nephron Clin Pract;115:c182–88.

Page 92: Unud-5vbvbnm Dyekandarini Sppd-kgh PDF

92

Chou, K.J., Lee, P.T., Chen, C.L., Chiou, C.W., Hsu, C.Y., Chung, H.M., Liu,

C.P., and Fang, H.C. 2006. Physiological changes during hemodialysis in

patients with intradialysis hypertension. Kid Int;69: 1833–38.

Cirit, M., Akicek, F., Terzioglu, E., Soydas, C., Ok, E., Ozbasli, C.F., Basci, A.,

Mees, D. 1995. Paradoxical rise in blood pressure during ultrafiltration in

dialysis patients. Nephrol Dial Transplant;10:1417-20.

Corretti, M.C., Anderson, T.J., Benjamin, E.T. 2002. Guidelines for the

ultrasound assessment of endothelial-dependent flow-mediated vasodilation

of the brachial artery: a report of the International Brachial Artery Reactivity

Task Force. J Am Coll Cardiol;39:257-65.

Daugirdas, J.T., Blake, P.G., Ing, T.S. 2007. Handbook of Dialysis. 4th

ed.

Phildelphia. Lipincott William & Wilkins.

Dhaun, N., Goddard, J., Webb, D.J. 2006. The Endothelin System and Its

Antagonis in Chronic Kidney Disease. J Am Soc Nephrol;17:943-55

Dhaun, N., Goddard, J., Kohan, D.E., Pollock, D.M., Schiffrin, E.L., Webb, D.J.

2008. Role of Endothelin-1 in Clinical Hypertension : 20 Years On.

Hypertension; 52:452-59.

Ding, H., Triggle, C.R. 2005. Endothelial cell dysfunction and the vascular

complications associated with type 2 diabetes: assessing the health of the

ium. Vasc Health Risk Manag;1:55-71.

Felner, S.K. 1993. Intradialytic Hypertension: II. Semin Dial;6:371-73.

Fliser, D., Kielstein, J.T., Haller. H., BodeBoGer, S.M. 2003. Asymmetric

dimethylarginine: A cardiovascular risk factor in renal disease? Kid

Int;63(84):. S37–40.

Fliser, D., Kronenberg, F., Kielstein, J.T., Morath, C., BodeBoger, S.M.,

Haller,H., and Ritz, E. 2004. Asymmetric Dimethylarginine and Progression

of Chronic Kidney Disease: The Mild to Moderate Kidney Disease Study. J

Am Soc Nephrol 16: 2456–61.

Fliser, D. 2011. The dysfunctional endothelium in CKD and in cardiovascular

disease: mapping the origin(s) of cardiovascular problems in CKD and of

kidney disease in cardiovascular conditions for a research agenda, Kid Int

Supplements;1: 6–9

Flythe, J.E., Kimmel, S.E., and Brunelli, S.M. 2011. Rapid fluid removal during

dialysis is associated with cardiovascular morbidity and mortality. Kid

Int;79:250–57.

Gunal, A.I., Karaca, I., Celiker, H., Iikay. E., and Duman, S. 2002. Paradoxical

rise in blood pressure during ultrafiltration is caused by increased cardiac

output. J Nephrol.15, 42-7.

Guzik, T.J., dan Harrison, D.G. 2006. Vascular NADPH oxidases as drug targets

for novel antioxidant strategies. Drug Discovery Today; 11 (11-12): 524–33.

Hansson, G.K. Inflammation, atherosclerosis, and coronary artery disease. N Engl

J Med 2005; 352: 1685–95

Page 93: Unud-5vbvbnm Dyekandarini Sppd-kgh PDF

93

Hwang, S.J., Ballantyne, C.M., Sharrett, A.R.1997. Circulating adhesion

molecules VCAM-1, ICAM-1, and E-selectin in carotid atherosclerosis and

incident coronary heart disease cases: the Atherosclerosis Risk in

Communities (ARIC) study. Circulation;96:4219-25.

Indonesian Renal Registry (IRR), 2013. 5th Report of Indonesian Renal Registry

2011. Perhimpunan Nefrologi Indonesia (PERNEFRI).

Inrig, J.K., Oddone, E.Z., Hasselblad, V., Gillespie, B., Patel, U.D., Reddan, D.,

Toto, R., Himmelfarb, J., Winchester, J.F., Stivelman, J., Lindsay, R.M., and

Szczech, L.A. 2007. Association of intradialytic blood pressure changes with

hospitalization and mortality rates in prevalent ESRD patients. Kid Int : 71;

454–61.

Inrig, J.K., Patel, U.D., Toto, R.D., Szczech, L.A. 2009. AssLeeociation of Blood

Pressure Increases During Hemodialysis With 2-Year Mortality in Incident

Hemodialysis Patients: A Secondary Analysis of the Dialysis Morbidity and

Mortality Wave 2 Study. Am J Kidney Dis, November ; 54(5): 881–90.

Inrig JK. 2010a. Intradialytic Hypertension: A Less-Recognized Cardiovascular

Complication of Hemodialysis. Am J Kidney Disease;55:580-89.

Inrig, JK. 2010b. Antihypertensive agents in hemodialysis patients; a current

perspective. Semin Dial;23:290-97.

Inrig, J.K., Buren, P.V., Kim, C.,Vongpatanasin, W., Povsic, T.J., Toto, R.D.,

2011. Intradialytic Hypertension and its Association with Endothelial Cell

Dysfunction. Clin J Am Soc Nephrol (8): 2016-24.

K/DOQI: Clinical Practice Guidelines on Hypertension and Antihypertensive

Agent in Chronic Kidney Disease. In Guideline 2 In: Evaluation of Patient

with CKD or Hypertension. CKD 2006: 1-18.

KDIGO, 2013. Clinical Practice Guideline for the Evaluation and Management of

Chronic Kidney Disease. Kid Int Supplements (3); 18-27.

Kielstein, J.T., dan Zoccali, C. 2005. Asymmetric dimethylarginine: a

cardiovascular risk factor and a uremic toxin coming of age?. Am J Kid Dis;

46(2): 186–202.

Krapf, R., Hulter, H.N. 2009. Arterial hypertension induced by erythropoietin and

erythropoiesis-stimulating agents (ESA). Clin J Am Soc Nephrol.

Feb;4(2):470-80

Kohan, D.E. 2010. Endothelin, Hypertension, and Chronic Kidney Disease: New

Insight. Curr Opin Nephrol Hypertens; 19(2):134-39.

Kovacic, L., Roguljic, V., Kovacic, B., Bacic, T., Bosnjak. 2003. Ultrafiltration

Volume is Associated with Changes in Different Blood Pressure Clinical

Parameters in Chronically Hemodialyzed Patients. The Internet Journal of

Internal Medicine. 3; 2:10.5580/2f3

Landry, D.W., and Oliver, J.A. 2006. Blood pressure instability during

hemodialysis. Kid Int: 69, 1710–11.

Page 94: Unud-5vbvbnm Dyekandarini Sppd-kgh PDF

94

Levin NW, Kotanko P, Eckardt KU, et al. 2012. Blood pressure in chronic kidney

disease stage 5D-report from a Kidney Disease Improving Global Outcomes

controversies conference. Kidney Int; (77)273-84.

Locatelli, F., Cavalli, A., and Tucci, B. 2010. The growing problem of

intradialytic Hypertension. Nephrol; 6: 41–8.

Madiyono, B. 2010. In: Sastroasmoro S dan Ismael S., editors. Dasar-dasar

Metodologi Penelitian Klinis. 3rd

. Ed. Sagung Seto.p 302-31.

Martens, C.R., dan Edwards, D.O. 2011. Peripheral Vascu;ar Dysfunction in

Chronic Kidney Disease. Cardiology Research and Practice;2011:1-9.

McGregor, D.O., Buttimore, A.L., Lynn, K.L., Yandle, T., and Nicholls, M.G.,

2003. Effects of long and short hemodialysis on endothelial function: A short-

term study. Kid Int(63); 709–71.

McIntyre, C.W. 2009. Effects of hemodialysis on cardiac function. Kid Int : 76,

371–75.

Mees, D. 1996. Rise in blood pressure during hemodialysis-ultrafiltration: a

“paradoxical” phenomenon? Int J Artif Organs;19:569-70.

Morris, S.T., McMurray, J., Spiers, A., and Jardine, A.G. 2001. Impaired

endothelial function in isolated human uremic resistance arteries. Kid Int; 60:

1077–82.

Nissenson, A.R., and Fine, R.N. 2008. Handbook of Dialysis Therapy. 4th ed.

Saunders Elsevier. Philadelphia.

Oberg, B.P., McMenamin, E, Lucas, F.L. 2004. Increased prevalence of oxidant

stress and inflammation in patients with moderate to severe chronic kidney

disease. Kid Int;. 65(3): 1009–16.

Peixoto AJ. 2007. Can “diagnostic marker” predict blood pressure response in

hypertensive dialysis patients? Semin Dial;20:411-15.

Pradhan, A.D., Manson, J.E., Rifai, N. 2001. C-ractive protein, interleukin-6 and

risk to developing type 2 diabetes mellitus. JAMA;286:327-34.

Raj, D., Vincent, B., Simpson, K., Sato, E., Jones, K.L., Welbourne, T.C., Levi,

M.V., Blandon, P., Zager, P., and Robbins, R.A. 2002. Hemodynamic

changes during hemodialysis: Role of nitric oxide and endothelin. Kid Int;61:

697–704.

Raka, W.I.G., dan Suwitra, K. 2011. Paradoxical post dialytic blood pressure

reaction and association with dialysis modality. Buku Proceeding The 5th

Scientific meeting on hypertension - InaSH 2011.

Rizzioli, E., Incasa, E., Gamberini, S., and Manfredini, R. 2009. Management of

intradialytic hypertension: old problem, old drug? Intern Emerg Med; 4:271–

72

Rubinger, D., Backenroth, R., Sapoznikov, D. 2012. Sympathetic Activation and

Baroreflex Fuction during Intradialytic Hypertensive Episodes. PloS ONE;

7(5): 1-12

Page 95: Unud-5vbvbnm Dyekandarini Sppd-kgh PDF

95

Sarkar, SR., Kaitwatcharachai, C., Levin, N.W. 2005. Complications during

hemodialysis. McGraw-Hill Professional.

Shafei, E.M., El-Nagar, G.F., Selim, M.F., Sorogy. 2008. Is There a role for

Endothelin-1 in the hemodynamic changes during hemodialysis? Clin Exp.

Nephrol. 12.370-5.

Sibal, L., Agarwal, S.C., Home, P.D. 2010. The role of asymmetric

dimethylarginine (ADMA) in endothelial dysfunction and cardiovascular

disease . C urr Cardiol Rev; 6 : 82– 90.

Spranger, J., Kore, A., Mohlig, M. Inflammatory cytokines and the risk to develop

type 2 diabetes: results of the the prospective population-based European

Prospective Investigation into Cancer and Nutrition (EPIC)-Postdam Study.

Diabetes;52:812-7.

Suhardjono. 2006. Proteinuria Pada Penyakit Ginjal Kronik: Mekanisme dan

Pengelolaannya. Peranan Stres Oksidatif dan Pengendalian Faktor Risiko

pada Progresi Penyakit Ginjal Kronik serta Hipertensi, JNHC 2006; 1-7.

Tatsuya, S., Tsubakihara, Y., Fujii, M., Imai, E. 2004. Hemodialysis-associated

hypotension as an independent risk factor for two-year mortality in

hemodialysis patients. Kidney Int; 66:1212–20.

United States Renal Data System (USRDS). 2011. Annual Data Report: Atlas of

Chronic Kidney Disease and End-Stage Renal Disease in the United States,

National Institutes of Health, National Institute of Diabetes and Digestive and

Kidney Diseases, Bethesda, MD, 2011.

Van Buren, P.N., Kim ,C., Toto, R.D., Inrig, J.K. 2012. The Prevalance of

Persistent Intradialytic Hypertension in a Hemodialysis Population with

Extended Follow up. Int J Artif Organs. 2012;35(12):1031-8

Vervoort, G., Lutterman, J.A., Smits, P. 1999. Transcapillary escape rate of

albumin is increased and related to haemodynamic changes in normo-

albuminuric type 1 diabetic patients. J Hypertens; 17(12):1911-6.

Weir, M.R., and Jones, H. 2010. Drug Therapy for Hypertension in Hemodialysis

Patients. US Nephrology:5(1):45–7

Xiao, S., Wagner, L., Schmidt, R.J., and Baylis, C. 2001. Circulating endothelial

nitric oxide synthase inhibitory factor in some patients with chronic renal

disease. Kid Int; 59: 1466–72.

Yilmaz, M.I., Saglam, M., Caglar, K. 2006. The determinants of endothelial

dysfunction in CKD: oxidative stress and asymmetric dimethylarginine. Am J

Kid Dis; 47(1):42–50.

Young, J.M., Terrin, N., Wang, X., Greene., T., Beck., G.J., Kusek, J.W, Collins.,

A.J, Sarnak, M.J., and Menon, V. 2009. Asymmetric Dimethylarginine and

Mortality in Stages 3 to 4 Chronic Kidney Disease. Clin J Am Soc Nephrol;4:

1115–20.

Page 96: Unud-5vbvbnm Dyekandarini Sppd-kgh PDF

96

Zhang, Q.L., and Rothenbacher, D. 2008. Prevalence of chronic kidney disease in

population-based studies: Systematic review. BMC Public Health; 8:117;1-

13.

Page 97: Unud-5vbvbnm Dyekandarini Sppd-kgh PDF

97

Lampiran 1. Persetujuan (Informed Consent)

PENJELASAN YANG DISAMPAIKAN KEPADA PENDERITA SEBELUM

MENANDATANGANI FORMULIR PERSETUJUAN IKUT SERTA

DALAM PENELITIAN

Pendahuluan

Persetujuan (Informed Consent) pada hakekatnya adalah untuk menghargai hak

individu untuk memperoleh penjelasan yang cukup dan tepat berkaitan dengan

penelitian yang akan dilaksanakans ebelum yang bersangkutan / calon peserta

penelitian membuat keputusan yang benar.

Informed consent seyogyanya mengandung hal-hal penting sebagai berikut:

1. Penjelasan rinci dengan mempergunakan bahasa yang mudah dimengerti

berkaitan dengan penelitian yang akan dilaksanakan.

2. Adanyan jaminan bahwa penderita mendapatkan kebebasan untuk

memutuskan apakah ikut serta aau menolak, oleh karena secara moral maupun

legal penderita memiliki hak untuk itu.

Penelitian ini tentang :

PERANAN ULTRAFILTRASI TERHADAP

HIPERTENSI INTRADIALITIK DAN HUBUNGANNYA

DENGAN PERUBAHAN KADAR: ENDOTHELIN-1,

ASYMMETRIC DIMETHYLARGININ DAN NITRIC OXIDE

Latar Belakang

Hemodialisis (HD) merupakan tindakan untuk menggantikan sebagian dari

fungsi ginjal. Tindakan ini rutin dilakukan pada penderita penyakit ginjal kronik

(PGK) stadium V atau gagal ginjal kronik (GGK).

Penderita GGK semakin meningkat jumlahnya, tahun 2005 diperkirakan

mengenai 2 juta orang, dan tahun 2010 diperkirakan meningkat menjadi 2,5 juta

orang. Saat ini hampir setengah juta penderita GGK menjalani tindakan

hemodialisis (HD) untuk memperpanjang hidupnya (Nissenson dan Fine, 2008).

Page 98: Unud-5vbvbnm Dyekandarini Sppd-kgh PDF

98

Tindakan HD saat ini mengalami perkembangan yang cukup pesat, namun

masih banyak penderita mengalami masalah medis saat menjalani HD.

Komplikasi yang sering terjadi pada penderita yang menjalani HD adalah

gangguan hemodinamik. Tekanan darah umumnya menurun dengan dilakukannya

ultrafiltrasi (UF) atau penarikan cairan saat HD. Hipotensi intradialitik terjadi

pada 5-40% penderita yang menjalani HD reguler, namun sekitar 5-15% dari

pasien HD tekanan darahnya justru meningkat. Kondisi ini disebut hipertensi

intradialitik atau intradialytic hypertension /HID (Agarwal dan Weir, 2010;

Davenport et al., 2008).

Hipertensi intradialitik adalah suatu kondisi berupa terjadinya peningkatan

tekanan darah yang menetap pada saat HD dan tekanan darah selama dan pada

saat akhir dari HD lebih tinggi dari tekanan darah saat memulai HD (Chazot,

2010). Tekanan darah penderita bisa normal saat memulai HD, tetapi kemudian

meningkat sehingga pasien menjadi hipertensi saat dan pada akhir HD. Bisa juga

terjadi pada saat memulai HD tekanan darah pasien sudah tinggi dan meningkat

pada saat HD hingga akhir dari HD. Peningkatan tekanan darah ini bisa berat

sampai terjadi krisis hipertensi. Frekuensi dari HID dilaporkan sekitar 10% pada

pasien HD. Pada penelitian kohort yang dilakukan pada pasien HD didapatkan

12,2% pasien HD mengalami HID. Episode HID mempengaruhi survival pasien,

mortalitas meningkat jika tekanan darah post HD meningkat yaitu sistolik ≥ 180

mmHg dan diastolik ≥ 90 mmHg (rr =1,96 dan 1,73 berturut-turut). Pada pasien

dengan peningkatan tekanan darah 10 mmHg saat HD didapatkan peningkatan

risiko rawat inap di rumah sakit dan kematian (Inrig et al., 2009).

Pada pasien dengan gagal jantung biasanya dengan tekanan darah yang

rendah, saat HD juga terjadi peningkatan tekanan darah. Peningkatan tekanan

darah pada pasien ini tidak mencapai level hipertensi seperti pada pasien yang

tidak gagal jantung. Peningkatan tekanan darah ini juga meningkatkan risiko

kematian dengan peningkatan 10 mmHg saat HD, walaupun tekanan darah sistolik

pra HD ≤ 120 mmHg (Inrig et al., 2009).

Mekanisme terjadinya HID pada penderita dengan HD reguler sampai saat ini

belum sepenuhnya diketahui. Banyak faktor yang diduga sebagai penyebab HID

seperti aktivasi sistem renin angiotensin aldosteron system (RAAS) karena

Page 99: Unud-5vbvbnm Dyekandarini Sppd-kgh PDF

99

diinduksi oleh hipovolemia saat dilakukan ultrafiltrasi (UF), overaktif dari

simpatis, variasi dari ion K+ dan Ca

2+ saat HD, viskositas darah yang meningkat

karena diinduksi oleh terapi eritropoeitin (EPO), fluid overload, peningkatan

cardiac output (COP), obat antihipertensi yang ditarik saat HD dan

vasokonstriksi yang diinduksi oleh endothelin-1 (ET-1). Di antara berbagai faktor

tersebut yang paling umum diketahui sebagai penyebab HID adalah stimulasi

RAAS oleh hipovolemia yang disebabkan oleh UF yang berlebihan saat HD dan

variasi dari kadar elektrolit terutama kalsium dan kalium (Chazot, 2010).

Pada saat HD dilakukan UF untuk menarik cairan yang berlebihan di darah,

besarnya UF yang dilakukan tergantung dari penambahan berat badan (BB)

penderita antar waktu HD dan target BB kering penderita yaitu BB di mana

penderita merasa nyaman, tidak ada sesak dan tidak ada tanda-tanda kelebihan

cairan. Pada penderita dengan HD reguler 2 kali seminggu, kenaikan BB antar

waktu HD disarankan tidak melebihi 2 kg sehingga UF yang dilakukan saat HD

sekitar 2 liter. Tetapi umumnya kenaikan BB penderita antar waktu HD melebihi

2 kg malah sampai 5 kg. Ultrafiltrasi yang dilakukan sesuai dengan kenaikan BB

interdialitik, sehingga pada kondisi ini dilakukan UF lebih dari 2 kg. Pada HD

dengan excessive UF atau UF berlebih banyak timbul masalah baik gangguan

hemodinamik maupun gangguan kardiovaskular (Nissenson dan Fine, 2008). Pada

saat dilakukan UF terjadi hipovolemia yang kemudian merangsang aktivitas

RAAS sehingga bisa menimbulkan kejadian HID (Chazot, 2010).

Asumsi yang berbeda dikemukan oleh Chou dkk yang melakukan penelitian

terhadap 30 pasien yang prone terhadap HID dan 30 orang kontrol, didapatkan

bahwa pada kelompok HID tidak didapatkan perubahan yang bermakna dari kadar

katekolamin, dan renin tetapi didapatkan peningkatan dari resistensi vaskular

sistemik dan penurunan kesimbangan rasio nitric oxide dan endothelin-1

(NO/ET-1) (Chou et al., 2006).

Aktivitas dari sel endotel mempunyai peranan penting terhadap terjadinya

variasi tekanan darah selama HD. Perubahan volume cairan, dan rangsangan fisik

maupun hormonal menyebabkan produksi dari faktor-faktor yang melibatkan

kontrol tekanan darah pada sel endotel. Vasoaktif yang terpenting adalah nitric

oxide (NO) suatu vasodilator otot polos, Asymmetric dimethylarginin (ADMA)

Page 100: Unud-5vbvbnm Dyekandarini Sppd-kgh PDF

100

yang merupakan inhibitor endogen dari nitric oxide synthase dan endothelin-1

(ET-1) suatu vasokonstriktor yang kuat. Zat-zat ini mempunyai efek yang penting

terhadap aktivitas simpatis, vasokonstriksi perifer dan kontrol tekanan darah

khususnya termasuk kejadian HID (Locatelli et al, 2010). Disfungsi endotel dapat

menyebabkan perubahan terhadap tekanan darah saat HD, baik hipotensi maupun

hipertensi intradialitik Perubahan ini berhubungan dengan keterkaitan antara

endotel, sistem saraf simpatis dan kontrol dari resistensi vaskular perifer (Raj et

al., 2002). Terdapat perbedaan perubahan kadar NO dan ET-1 saat HD antara

kontrol dan penderita yang prone terhadap hipertensi. Pada saat HD berakhir

pada penderita HID terjadi peningkatan signifikan dari kadar ET-1 dan penurunan

signifikan pada rasio NO/ET-1 dibandingkan dengan kontrol (Chou et al., 2006).

Pada penelitian lain juga ditemukan bahwa pada individu dengan HID terjadi

peningkatan yang signifikan dari kadar ET-1 setelah HD (Shafey et al., 2008).

Pada penelitian Cohort case control 25 pasien HD reguler yang mengalami

episode HID, didapatkan hubungan antara HID dan disfungsi endotel. Pada

penelitian ini didapatkan bahwa disfungsi endotel dapat menjelaskan sebagian

penyebab kejadian HID (Inrig et al., 2011).

Penelitian-penelitian di atas menunjukkan bahwa terjadi interaksi antara

disfungsi endotel dengan kejadian HID, tetapi penyebab dari terjadinya disfungsi

endotel pada pasien dengan HID belum sepenuhnya dapat dipahami. Banyak hal

yang belum dapat diterangkan baik patofisiologi, mekanisme dan strategi terapi

yang tepat pada HID. Dari uraian di atas kami ingin mencari hubungan antara UF

yang berlebih saat HD dengan terjadinya episode HID melalui keterlibatan

disfungsi endotel. Kami ingin mengetahui hubungan antara UF yang berlebih saat

HD dengan disfungsi endotel pada pasien yang mengalami HID. Disfungsi

endotel ditandai dengan peningkatan konsentrasi ET-1 dan ADMA serta

penurunan NO serum.

Rumusan Masalah :

Berdasarkan hal-hal tersebut diatas dapat dirumuskan masalah sebagai

berikut yaitu:

Page 101: Unud-5vbvbnm Dyekandarini Sppd-kgh PDF

101

1. Apakah peningkatan kadar ET-1 serum saat HD berkaitan dengan

meningkatnya risiko kejadian HID pada pasien dengan HD regular?

2. Apakah perubahan kadar ADMA serum saat HD berkaitan dengan

meningkatnya risiko kejadian HID pada pasien dengan HD regular?

3. Apakah penurunan kadar NO serum saat HD berkaitan dengan

meningkatnya risiko kejadian HID pada pasien dengan HD regular?

4. Apakah UF yang berlebih saat HD berkaitan dengan meningkatnya risiko

kejadian HID pada pasien dengan HD regular?

5. Apakah UF berlebih saat HD berkaitan dengan meningkatnya risiko

kejadian HID melalui penurunan kadar NO serum ?

6. Apakah UF berlebih saat HD berkaitan dengan meningkatnya risiko

kejadian HID melalui peningkatan kadar ET-1 serum?

7. Apakah UF yang berlebih saat HD berkaitan dengan meningkatnya risiko

kejadian HID melalui perubahan kadar ADMA serum?

Tujuan Penelitian

Tujuan umum

Tujuan umum penelitian ini adalah : Untuk mengetahui peranan UF dalam

patogenesis terjadinya HID melalui disfungsi endotel (ditandai dengan

menurunnya NO atau meningkatnya ET-1 atau meningkatnya ADMA) pada

pasien gagal ginjal kronik yang menjalani hemodialisis reguler.

Tujuan khusus

Untuk membuktikan :

1. Pada pasien dengan HD regular, peningkatan kadar ET-1 serum saat HD

berkaitan dengan meningkatnya risiko kejadian HID.

Page 102: Unud-5vbvbnm Dyekandarini Sppd-kgh PDF

102

2. Pada pasien dengan HD regular, perubahan kadar ADMA serum saat HD

berkaitan dengan meningkatnya risiko kejadian HID.

3. Pada pasien dengan HD regular, penurunan kadar NO serum saat HD

berkaitan dengan meningkatnya risiko kejadian HID.

4. Pada pasien dengan HD regular, UF yang berlebih saat HD berkaitan

dengan meningkatnya risiko kejadian HID.

5. Pada pasien dengan HD regular, UF berlebih saat HD berkaitan dengan

meningkatnya risiko kejadian HID melalui penurunan kadar NO serum.

6. Pada pasien dengan HD regular, UF berlebih saat HD berkaitan dengan

meningkatnya risiko kejadian HID melalui peningkatan kadar ET-1 serum.

7. Pada pasien dengan HD regular, UF yang berlebih saat HD berkaitan

dengan meningkatnya risiko kejadian HID melalui perubahan kadar

ADMA serum.

Manfaat Penelitian

Manfaat akademis

Jika pada penelitian ini terbukti bahwa UF yang berlebih saat HD berperan

dalam terjadinya HID melalui disfungsi endotel (ditandai dengan meningkatnya

kadar ADMA atau meningkatnya ET-1 atau menurunnya NO) pada penyandang

HD reguler, maka dapat memberikan kontribusi ilmiah berkaitan dengan UF yang

berlebih sebagai dasar patogenesis HID melalui disfungsi endotel.

Manfaat praktis

Secara praktis, jika terbukti UF yang berlebih saat HD sebagai faktor risiko

kejadian HID melalui disfungsi endotel (ditandai dengan meningkatnya kadar

ADMA atau meningkatnya ET-1 atau menurunnya NO) pada pasien HD reguler

maka usaha-usaha untuk menekan disfungsi endotel melalui penentuan UF yang

tepat dapat digunakan oleh para klinisi dalam penanganan kasus HID.

Page 103: Unud-5vbvbnm Dyekandarini Sppd-kgh PDF

103

Tatalaksana penelitian :

1. Prosedur yang dilaksanakan pada penderita sesuai dengan protap rutin dan

penunjang lainnya maupun pengelolaan / perawatan

2. Prosedur tambahan pada penelitian ini adalah pengambilan darah vena untuk

pemeriksaan ADMA, NO dan ET-1

Pembiayaan terkait :

Poin 1 : adalah ditanggung penderita

Poin 2 : adalah ditanggung peneliti

Risiko selama prosedur penelitian berlangsung :

Akibat langsung dari penelitian ini (pengambilan darah vena) tidak ada, hanya

berupa rasa sakit saat pengambilan sampel darah

Hal-hal lain yang juga perlu mendapatkan perhatian :

1. Meskipun prosedur penelitian telah dilaksanakan secara cermat, apabila terjadi

risiko atau ketidaknyamanan selama penelitian berlangsung yang diakibatkan

langsung oleh pengambilan darah maka akan dirundingkan bersama.

2. Penelitian ini bersifat sukarela maka penderita dapat mengundurkan diri jika

terdapat hal-hal lain yang dirasakan merugikan.

3. Hasil penelitian sepenuhnya akan dipakai untuk kepentingan keilmuan, tidak

untuk kepentingan publikasi (media masa).

4. Penjelasan ini, serta surat persetujuan dibuat rangkap dua; satu untuk penderita

dan satu untuk peneliti.

Penutup :

Untuk dapat berlangsungnya penelitian dengan baik, maka mutlak diperlukan

kerjasama yang baik antara penderita / keluarga dan peneliti.

Page 104: Unud-5vbvbnm Dyekandarini Sppd-kgh PDF

104

Surat Persetujuan

Ikut Serta dalam Penelitian

Yang bertanda tangan di bawah ini :

Nama : .....................................................................................

Umur : .....................................................................................

Jenis Kelamin : .....................................................................................

Etnia : .....................................................................................

Pekerjaan : .....................................................................................

Alamat : .....................................................................................

No. KTP : .....................................................................................

No.Telp/HP : .....................................................................................

Nama Pendamping : .....................................................................................

No. Tel/HP Pendamping : .....................................................................................

Setelah mendapatkan keterangan secukupnya dan memahami serta menyadari manfaat

maupun risiko penelitian tentang :

PERANAN ULTRAFILTRASI TERHADAP

HIPERTENSI INTRADIALITIK DAN HUBUNGANNYA

DENGAN PERUBAHAN KADAR: ENDOTHELIN-1,

ASYMMETRIC DIMETHYLARGININ DAN NITRIC OXIDE

Dengan sukarela menyetujui diikutsertakan dalam penelitian tersebut serta mematuhi

segala ketentuan penelitian yang sudah dipahami, dengan catatan apabila suatu saat

merasa dirugikan dalam bentuk apapun, berhak membatalkan persetujuan ini.

Denpasar, 2012

Mengetahui

Penanggung jawab penelitian

( ……………………………… )

Yang menyetujui

Peserta penelitian

(………………………….)

Saksi Pihak Peneliti

(……………………………… )

Saksi Pihak Peserta Penelitian

(……………………………… )

Lampiran 2

Page 105: Unud-5vbvbnm Dyekandarini Sppd-kgh PDF

105

Prosedur pemeriksaan ADMA (Asymmetric Dimethylarginine) produk DLD

Diagnostics) Cat. No. 17 EA 201-96 Konsentrasi ADMA adalah kadar ADMA dalam serum yang diukur

dengan quantittatif sandwich enzyme immunoassay (ELISA) satuannya µmol/l.

1. Metode : ELISA ( Enzym Link Immuno Assay)

Alat : Micro reader panjang gelombang 450 nm

Reagensia : ADMA

Sampel : Serum 0.5 CC , Stabilitas sampel 6 bulan pada suhu – 70 o C

2. Prinsip : Quantitative sandwich enzyme immunoassay technique

Monoclonal antibodi spesifik untuk ADMA di precoated ke dalam Microplate

precoated antibodi

Serum + enzyme linked poliklonal ( rabbit anti-ADMA antiserum ) �

Reaksi Ag – Ab. Pencucian (untuk melepaskan ikatan antigen / free antigen

berlebih ) + anti-rabbit / peroxidase, inkubasi conjugate solution, Inkubasi

Pencucian, + Substrate TMB/peroxidaase � komplek warna + Stop solution

Antibodi yang terikat pada solid phase ADMA dibaca pada panjang

gelombang 450 nm. Jumlah antibodi yang terikat pada phase solid ADMA

jumlahnya berbanding terbalik dengan konsentrasi ADMA dalam sampel.

3. Langkah Pemeriksaan:

a. Persiapkan reagen

- Larutan Pencuci: 50 ml larutan buffer pencuci diencerkan dengan

aqua dest hingga 500 ml.

- Reagen penyeimbang : reagen penyeimbang dilarutkan dengan 5 mL

aquadest, dicampur perlahan dan diletakkan di atas roll mixer selama

30 menit. Selama pencampuran diusahakan agar tidak terbentuk

gelembung.

- Reagen Asilasi : satu botol reagen ini dilarutkan dengan

dimetilformamida (DMF) dan dikocok selama 5 menit di atas orbital

shaker. Reagen yang dibuat harus baru sebelum digunakan.

b. Persiapan sampel

- Ke dalam plate reaksi dimasukkan 20 µL larutan standar A sampai F,

20 µL kontrol 1 dan 2 serta 20 µL sampel pasien.

Page 106: Unud-5vbvbnm Dyekandarini Sppd-kgh PDF

106

- Setiap sumur pada plate reaksi diisi dengan 25 µL larutan penyangga

asilasi.

- Setiap sumur pada plate reaksi diisi dengan 25 µL larutan

penyeimbang.

- Plate reaksi diletakkan di atas shaker selama 10 menit.

- Setiap sumur pada plate reaksi diisi dengan 25 µL larutan asilasi yang

baru dibuat.

- Inkubasi dilakukan di atas shaker selama 30 menit pada suhu ruang

(20oC).

- Sebanyak 1.5 mL larutan penyeimbang dilarutkan ke dalam 9 mL

aquadest, dicampur dan dipipet 100 µL ke dalam setiap sumur reaksi.

- Inkubasi dilakukan selama 45 menit pada suhu ruang di atas shaker.

c. Prosedur ELISA ADMA.

- Standar, kontrol dan sampel yang telah dipreparasi dipipet masing-

masing 50 µL ke dalam sumur strip mikrotiter yang telah dilabel.

- Setiap sumur reaksi diisi dengan 50 mL antiserum ADMA dan

dishaker sebentar.

- Mikroteter strip ditutup dengan plastik perekat dan diinkubasi selama

15-20 jam pada suhu 2 – 8oC.

- Larutan dalam mikrotiter dihisap dengan mesin pencuci atomatis

dengan menggunakan larutan pencuci yang telah dibuat dan dibilas

sebanyak 4 kali.

- Setiap sumur reaksi ditambahkan 100 µL enzim konjugat, selanjutnya

diinkubasi selama 60 menit pada temperatur ruang di atas orbital

shaker.

- Dicuci dan dibilas 4 kali dengan larutan pencuci.

- Setiap sumur reaksi diisi dengan 100 µL substrat dan diinkubasi

selama 20 – 30 menit pada temperatur ruang dan di atas orbital shaker.

- Ditambahkan 100 mL larutan stop ke dalam setiap sumur reaksi.

- Larutan dibaca dengan reader ELISA (photometer) pada panjang

gelombang 450 nm dan panjang gelombang reference 620 nm.

d. Interprestasi

- Hasil Bisa diinterpretasikan setelah data hasil pemeriksaan ADMA

diolah SPSS sesuai spesimen dari subyek yang diteliti

Page 107: Unud-5vbvbnm Dyekandarini Sppd-kgh PDF

107

Lampiran 3

Prosedur Pemeriksaan Human Endothelin-1 (R&D systems)

Cat No. : BBE 5 Konsentrasi ET-1 adalah kadar endotelin satu dalam serum yang diukur

dengan ELISA satuannya pq/ml. Pemeriksaan Human Endothelin 1 (R&D

systems) dengan menggunakan Cat. No. : DET 100.

1. Metode : ELISA

Alat : Micro reader panjang gelombang 450 nm

Reagensia : Endothelin - 1

Sampel : Serum 0.5 CC , Stabilitas sampel 6 bulan pada suhu - 70 o C

2. Prinsip Pemeriksaan Pemeriksaan ini menggunakan teknik quantitatif sandwich enzyme

immuno-assay. Sebelumnya antibody monoklonal spesifik untuk ET 1 telah

di-coated dalam microplate. Standard, sample, control, dan conjugate dipipet

ke dalam well dan keberadaan ET 1 akan disandwich (dipasangkan) oleh

immobilized antibody dengan antibody enzyme-linked monoklonal spesifik

untuk ET 1. Setelah dilakukan pencucian untuk menghilangkan substansi-

substansi yang tidak terikat dan atau reagen antibody-enzyme, selanjutnya

larutan substrat ditambahkan ke dalam well dan kemudian terbentuklah

pembentukan warna yang sebanding dengan jumlah ET 1 yang terikat.

Pembentukan warna dihentikan dan kemudian intensitas warna diukur.

3. Penanganan Reagen - Wash Buffer

Encerkan 20 mL wash buffer konsentrat ke dalam Aquabidest untuk

persiapan 500 mL Wash Buffer.

- Calibrator Diluent RD5-48

Larutkan 5 ml calibrator diluent RD5-48 dalam Aquabidest sehingga

larutan akhir 25 ml.

- Larutan Substrate

Color Reagen A dan Color Reagen B di campur dengan perbandingan

volume yang sama. Dibuat 15 menit sebelum digunakan. Lindungi dari

sinar matahari.

- Endothelin-1 Standard

Larutkan Endothelin-1 Standard dengan 1 mL aquabidest. Larutan

tersebut merupakan Larutan stock standard dengan konsentrasi 250 pg/ml.

Biarkan minimal 15 menit dengan pengocokan.

Page 108: Unud-5vbvbnm Dyekandarini Sppd-kgh PDF

108

Pipet 900 µL Calibrator Diluent masukkan ke dalam masing-masing tabung.

Gunakan larutan stok untuk mendapatkan serial larutan seperti gambar di

bawah ini.

4. Prosedur Kerja

1. Siapkan semua reagen, sampel, dan standard.

2. Tambahkan 150 µl Assay Diluent RD1-105 ke dalam well.

3. Tambahkan 75 µl standard, kontrol, dan sampel ke dalam masing-masing

well, campur dengan baik. Pastikan penambahan reagen tak terputus dan

selesai dalam waktu 10 menit.

4. Tutup plate dengan plate sealer yang tersedia dan inkubasi pada suhu

kamar selama 1 jam dengan shaker.

5. Buang isi dari tiap well dan cuci dengan menambahkan 400 µl Wash Buffer

ke dalam masing-masing well. Ulangi proses tersebut sebanyak 3 kali (total

pencucian sebanyak 4 kali). Setelah pencucian terakhir, buang isi dari well,

buang sisa Wash Buffer dengan mengetuk-ngetukkan plate secara terbalik

pada lap kertas yang bersih.

6. Segera tambahkan 200 µl Conjugate ke dalam masing-masing well. Tutup

plate dengan plate sealer baru, inkubasi pada suhu kamar selama 3 jam

dengan shaker.

7. Ulangi proses no. 5

8. Segera tambahkan 200 µl Substrate Solution ke dalam masing-masing

well. Tutup plate dengan plate sealer baru, inkubasi pada suhu kamar

selama 30 menit, lindungi dari cahaya.

9. Tambahkan 50 µl Stop Solution ke dalam masing-masing well.

10. Tentukan optical density dari tiap well dalam waktu 30 menit

menggunakan microplate reader pada panjang gelombang 450 nm dan

panjang gelombang koreksi pada 540 nm atau 570 nm.

Page 109: Unud-5vbvbnm Dyekandarini Sppd-kgh PDF

109

Lampiran 4

Pemeriksaan NITRIC OXIDE (NO) (Cayman) Konsentrasi NO adalah kadar nitric oxide dalam serum yang diukur

dengan Colory metri/ Cayman satuannya µM.

Prosedur pemeriksaan Nitrate / Nitrite, Cat. No. 7 80001

1 . Metode : Colorimetric Assay

Alat : Micro reader panjang gelombang 450 nm

Reagensia : Nitrate/Nitrite Cayman

Nitarte reductase

1. Prinsip : Nitrate( NO3- ) Nitrite ( NO2-)

di + Sulfanilamide(Griess Reagen I) & N-ethylenediamine (Gries Regaenn

II) � Azo compound product ( deep purple).

Ukur absorbent dari azo compound secara photomethrik pada panjang

gelombang 450 nm. Konsentrasi Nitrite (NO2-) yg terukur sebanding dengan

azo compound yg terbentuk.

2. Langkah Pemeriksaan:

a. Pengambilan spesimen

5 cc darah vena tanpa antikogulan yang diambil secara aseptic, biarkan

darah membeku. Kemudian disentrifuse 3000 RPM/10 menit. Pisahkan

serum dimasukkan ke dalam 3 cup fezer masing – masing 500 ul,

kemudian diberi label dan disimpan di frezer (-20 oC). Sampel serum

dikirim ke LITBANG Laboratorium Riset Eksoterik Pusat Prodia Pusat di

Jakarta disimpan di suhu – 70 o C.

b. Penanganan Reagen

1. Assay Buffer Encerkan Assay Buffer vial sampai 100 ml dengan air Ultrapure.

2. Nitrate Reductase (vial #2) Larutkan isi vial dengan 1.2 ml Assay Buffer. Tetap dalam ice

selama digunakan. Simpan di -20°C jika tidak digunakan.

3. Enzyme Cofactors (vial #3) Larutkan isi vial dengan 1.2 ml Assay Buffer. Tetap dalam ice

selama digunakan. Simpan di -20°C jika tidak digunakan.

4. Nitrate Standard (vial #4) Larutkan isi vial dengan 1.0 ml Assay Buffer. Simpan di 4°C jika

tidak digunakan (jangan dibekukan).

Page 110: Unud-5vbvbnm Dyekandarini Sppd-kgh PDF

110

5. Nitrite Standard (vial 5) Larutkan isi vial dengan 1.0 ml Assay Buffer. Simpan di 4°C jika

tidak digunakan (jangan dibekukan).

6. Griess reagent R1 and R2 (vial 6 dan 7) Tidak perlu penambahan air atau Assay Buffer. Vial sudah siap

untuk digunakan. Simpan di 4°C jika tidak digunakan (jangan

dibekukan).

c. Prosedur Kerja

1. Tambahkan 200 µl air atau Assay Buffer ke dalam well.

2. Tambahkan 80 µl sampel/larutan sampel ke dalam well. Jumlah

volume final disesuaikan sampai 80 µl dengan Assay Buffer

solution.

3. Tambahkan 10 µl enzyme cofactor mixture (vial 3) ke dalam well.

4. Tambahkan 10 µl Nitrate reduktase mixture (vial 2) ke dalam well.

5. Tutup plate dengan plate cover, inkubasi pada suhu kamar selama 1

jam.

6. Tambahkan 50 µl Griess Reagent R1 (vial 6) ke dalam well.

7. Segera Tambahkan 50 µl Griess Reagent R2 (vial 7) ke dalam well.

8. Biarkan terjadi perubahan warna selama 10 menit pada suhu ruang.

Plate tidak perlu ditutup.

9. Tentukan absorbansi pada panjang gelombang 540 nm atau 550 nm.

Page 111: Unud-5vbvbnm Dyekandarini Sppd-kgh PDF

111

Lampiran 5. Uraian Jadwal Kegiatan

Jadwal Penelitian dilakukan pada bulan September 2012 sampai Oktober 2012

Uraian Jadwal kegiatan Rencana Penelitian

NO. Kegiatan Bulan

7 8 9 10 11 12 1 2 3 4

1. Survey x

2 Sosialisasi penelitian x x

3 Persiapan alat-alat penelitian x x

4 Persiapan subyek penelitian x x

5 Pelaksanaan Penelitian x x

6 Pengolahan dan Analisis Data x x x

7 Pembuatan laporan hasil penelitan x x

Page 112: Unud-5vbvbnm Dyekandarini Sppd-kgh PDF

112

Lampiran 6.

Rincian Biaya

Biaya yang akan dikeluarkan dalam penelitian ini adalah:

a. Biaya Bahan dan Alat

1) Kit pemeriksaan NO, ET-1, ADMA Rp. 93.000.000,00@

Rp. 14.400.000,00

2) Pemeriksaan Na, K, Ca Rp 42.000.000,00

b. Biaya Operasional Rp. 6.300.000,00

1) Honor Pembantu peneliti 6 orang

@ 50.000 selama 21 hari

c. Biaya ATK

1) 20 rim kertas A4 berat 80 gram Rp. 600.000,00

2) Alat-alat tulis Rp. 200.000,00

3) Foto kopi kuesioner Rp. 200.000,00

d. Biaya tidak terduga Rp. 2.750.000,00

Total biaya Rp. 145.050.000,00

Total biaya yang dibutuhkan dalam penelitian ini sebesar Rp. 145.050.000,00

Page 113: Unud-5vbvbnm Dyekandarini Sppd-kgh PDF

113

Lampiran 7.

KUESIONER PENELITIAN

PERANAN ULTRAFILTRASI TERHADAP

HIPERTENSI INTRADIALITIK DAN HUBUNGANNYA

DENGAN PERUBAHAN KADAR: ENDOTHELIN-1,

ASYMMETRIC DIMETHYLARGININ DAN NITRIC OXIDE

I. IDENTITAS

1. Nama : ....................................................................

2. Sex : ....................................................................

3. Umur : ....................................................................

4. Suku Bangsa : ....................................................................

5. Alamat : ....................................................................

6. Nomor telp. : ....................................................................

7. Pendidikan : ....................................................................

8. Pekerjaan : ....................................................................

9. Nama pendamping : ....................................................................

10. No. Telp Pendamping .................................................................... :

II. ANAMNESIS

1. Riwayat Penyakit:

a. HD pertama kali : ……………………………. (Tgl/Bln/Tahun)

b. Lama HD : ……………………………. (bulan)

c. Jadwal HD : …………………………….

d. Riwayat Penyakit :

i. DM : ya/tidak

ii. Penyakit Jantung : ya/tidak

iii. Batu saluran kemih : ya/tidak

iv. Hipertensi : ya/tidak

v. MRS dalam 6 bulan terakhir : ya/tidak

2. Riwayat sosial

a. Minum kopi : ya/tidak

b. Merokok : ya/tidak

c. Minum alkohol : ya/tidak

Page 114: Unud-5vbvbnm Dyekandarini Sppd-kgh PDF

114

III. PEMERIKSAAN FISIK Pre HD

Diperiksa tanggal : ……………………………… Oleh : ………………………………

BB Kering : ……………………………..Kg

BB saat ini : ……………………………. Kg

Tinggi Badan : ……………………………. cm

Lingkar Pinggang : …………………………….. cm

Tekanan Darah : …………………………….. mmHg

Frekuensi Pernafasan : …………………………….. x/mnt

Denyut nadi : …………………………….. x/menit

Keadaan Umum : ( ) Baik ( ) Sedang ( ) Buruk

Sianosis : ( ) ada ( ) Tidak ada

Anemia : ( ) ada ( ) Tidak ada

Telinga : ( ) ada kelainan ( ) Tidak ada kelainan

Hidung : ( ) ada kelainan ( ) Tidak ada kelainan

Gigi mulut : ( ) ada kelainan ( ) Tidak ada kelainan

Tenggorokan : ( ) ada kelainan ( ) Tidak ada kelainan

Leher : ( ) ada kelainan ( ) Tidak ada kelainan

JVP : ……………………………………..

JANTUNG

• Auskultasi :

a. S1 : ( ) ada kelainan ( ) Tidak ada kelainan

b. S2 : ( ) ada kelainan ( ) Tidak ada kelainan

c. Murmur : ( ) ada ( ) Tidak ada

• Thrill : ( ) ada ( ) Tidak ada

• Ictus cordis : intercostals ……………….. kiri / kanan, garis …………..

PARU

• Suara nafas : …………………/…………………..

• Ronchi : …………………/…………………..

• Whexxing : …………………/…………………..

ABDOMEN

• Hepar : ( ) Tidak teraba ( ) Teraba

• Limpa : ( ) Tidak teraba ( ) Teraba

• Asites : ( ) ada ( ) Tidak ada

EKSTREMITAS

• Edema : ( ) ada ( ) Tidak ada

• AV shunt : ( ) ada ( ) Tidak ada

Bila ada, Lokasi : …………………………….

Page 115: Unud-5vbvbnm Dyekandarini Sppd-kgh PDF

115

IV. ELEKTROKARDIOGRAM

( ) Normal

( ) Q Waves, lokasi: ....................................................................................

( ) ST Elevasi, lokasi: ................................................................................

( ) ST Depresi, lokasi: ..................................................................................

( ) T Inversi, lokasi: ....................................................................................

V. FOTO ROTGENT THORAK

( ) Normal

( ) sembab paru

( ) Kardiomegali

( ) Efusi Pleura

VI. USG GINJAL

( ) contracted kidney ( ) Batu Ginjal

( ) Policystic kidney ( ) Hideonefrosis

VII. PEMERIKSAAN LABORATORIUM

No. Jenis Pemeriksaan Nilai

Pre HD Post HD

1. Hemoglobin (mg%)

2. BUN (mg/dl)

3. SC (mg/dl)

4. Albumin (mg/dl)

5. Gula Darah (mg/dl)

6. Natrium

7. Calsium ion

8 Kalium (meq/L)

9. ET-1 (pq/ml)

10. ADMA (µmol/L)

11. NO (µM)

VIII. DIAGNOSIS

…………………………………………………………………………………………………………

…………………………………………………………………………………………………………

…………………………………………………………………………………………………………

Page 116: Unud-5vbvbnm Dyekandarini Sppd-kgh PDF

116

IX. TERAPI

1. Asam Folat ( ) Ya ( ) Tidak

2. Calsium carbonat ( ) Ya ( ) Tidak

3. Lantanum ( ) Ya ( ) Tidak

4. Keto acid ( ) Ya ( ) Tidak

5. Captopril ( ) Ya , Dosis ……………………….. ( ) Tidak

6. Lisinopril ( ) Ya , Dosis ……………………….. ( ) Tidak

7. Ramipril ( ) Ya , Dosis ……………………….. ( ) Tidak

8. losartan ( ) Ya , Dosis ……………………….. ( ) Tidak

9. Irbesartan ( ) Ya , Dosis ……………………….. ( ) Tidak

10. Candesartan ( ) Ya , Dosis ……………………….. ( ) Tidak

11. Betabloker ( ) Ya , Dosis ……………………….. ( ) Tidak

12. Clonidin ( ) Ya , Dosis ……………………….. ( ) Tidak

13. Diuretik ( ) Ya , Dosis ……………………….. ( ) Tidak

14. CCB ( ) Ya , Dosis ……………………….. ( ) Tidak

15. Statin ( ) Ya , Dosis ……………………….. ( ) Tidak

16. Allupurinol ( ) Ya , Dosis ……………………….. ( ) Tidak

17. Eritropoetin

a. Ya Jenis ……………….. Dosis ………………

b. Tidak

18. Besi Parenteral

a. Ya Jenis …………….. Dosis ……………….

b. Tidak

X. PENGAMATAN PENDERITA

a. Data pengamatan 6 kali HD

HD BERAT BADAN TEKANAN DARAH ULTRAFILTRASI

PRE HD POST HD PRE HD POST HD

1.

2.

3.

4.

5.

6.

Page 117: Unud-5vbvbnm Dyekandarini Sppd-kgh PDF

117

b. Data kejadian selama HD (pengamatan 6 kali HD)

TINDAKAN

HD

PENGAMATAN

(MENIT)

Berat

badan

UFR UF QD QD

1 0 (Pre HD)

30

60

90

120

150

180

210

240

Post HD

2. Pre HD

30

60

90

120

150

180

210

240

Post HD

3 Pre HD

30

60

90

120

150

180

210

240

Post HD

Page 118: Unud-5vbvbnm Dyekandarini Sppd-kgh PDF

118

TINDAKAN

HD

PENGAMATAN

(MENIT)

Berat

badan

UFR UF QD QD

4. Pre HD

30

60

90

120

150

180

210

240

Post HD

5. Pre HD

30

60

90

120

150

180

210

240

Post HD

6. Pre HD

30

60

90

120

150

180

210

240

Post HD

Page 119: Unud-5vbvbnm Dyekandarini Sppd-kgh PDF

119

XI. Hipertensi Intradialitik : ( ) Ya ( ) Tidak

XII. Perubahan hasil laboratorium pre – post HD

No Pemeriksaan Tetap Meningkat Menurun

1 Endothelin-1

2 Nitric Oxide

3 ADMA

4 Natrium

5 Calsium ion

Page 120: Unud-5vbvbnm Dyekandarini Sppd-kgh PDF

120

Lampiran 8.

Penelitian Yang Berhubungan dengan

HID Yang Memiliki Kemiripan Dengan Rencana

Penelitian

No. Journal Judul Peneliti Metode penelitian Kesimpulan

1. Clin J Am

Soc Nephrol

6: 2016–

2024, 2011

Intradialytic

Hypertension

and its

Association

with

Endothelial

Cell

Dysfunction

Jula K.

Inrig,et al

Penelitian case-control cohort

study , sampel 25 pasien

hemodialisis

(HD) tanpa HID (kontrol ) dan

25 pasien HD dengan HID

Intradialytic

hypertension is

associated with

endothelial cell

dysfunction

2. Kidney

International

(2006) 69,

1833–1838

Physiological

changes

during

hemodialysis

in patients

with

intradialysis

hypertension

K-J Chou

et al

Penelitian case control.

Sampel 30 pasien HD yang

prone terhadap HID, dan

kontrol 30 pasien HD yang

tidak prone terhadap HID

The physiological

changes in intradialysis

hypertension patients

were characterized by

inappropriately increased

PVR through

mechanisms that did not

involve sympathetic

stimulation or renin

activation but might be

related with altered

NO/ET1 balance.

3. Kidney International,

Vol. 63 (2003),

pp. 709–715

Effects of long

and short

hemodialysis

on endothelial

function:

A short-term

study

David O.

Mcgregor

et al ,

randomized crossover-

controlled trial

sampel : 8 pasien dengan HD

reguler

hemodialysis caused a

temporary improvement

in endothelial dependent

vasodilation,

may have been due in

part to a reduction in

plasma ET-1

,and t Hcy and an

increase in

adrenomedullin

concentration across

hemodialysis

4. Kidney

International,

Vol. 61 (2002),

pp. 697–704

Hemodynamic

changes

during

hemodialysis:

Role of nitric

oxide and

endothelin

Dominic

S.C. Raj et

al

The serumnitrate_nitrite (NT),

fractional exhaled

NOconcentration (FENO), l-

arginine (L-Arg), NGNG-dimethyl-

l-arginine (ADMA) and

endothelin (ET-1) profiles were

stud ied in 27 end-stage renal

disease (ESRD) patients on HD

and- 6 matched controls.

Pre-dialysis FENO is

elevated in patients with

dialysis-induced

hypotension and may be a

more reliable than NT as a

marker for endogenous

NOactivity in dialysis

patients. Altered NO/ET-1

balance may be involved in

the pathogenesis of rebound

hypertension and

hypotension during dialysis.

Page 121: Unud-5vbvbnm Dyekandarini Sppd-kgh PDF

121

Lampiran 9. Surat Ijin Penelitian

Page 122: Unud-5vbvbnm Dyekandarini Sppd-kgh PDF

122

Lampiran 10. Ethical Clearance