Upload
others
View
2
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
Vol 01, Ed 5, April 2021
URGENSI REVISI HPP GABAH DAN BERAS
Hal. 1
DAYA SAING, BIAYA LOGISTIK, SERTA EFISIENSI LAYANAN PANDU DAN TUNDA DI PELABUHAN
Hal. 3
HOLDING INDONESIA BATTERY CORPORATION (IBC) DAN TANTANGAN INDONESIA MENJADI PRODUSEN BATERAI DUNIA
Hal. 5
TINJAUAN DAMPAK PENGHAPUSAN FABA DALAM KATEGORI LIMBAH B3
Hal. 7
Penanggung Jawab
Dr. Asep Ahmad Saefuloh, S.E., M.Si.
Pemimpin Redaksi
Rastri Paramita, S.E., M.M.
Redaktur
Robby Alexander Sirait, S.E., M.E.
Dahiri, S.Si., M.Sc.
Adhi Prasetyo Satriyo Wibowo, S.M.
Rosalina Tineke Kusumawardhani, S.E.
Editor
Deasy Dwi Ramiayu, S.E.
Sekretariat
Husnul Latifah, S.Sos.
Memed Sobari
Musbiyatun
Hilda Piska Randini, S.I.P.
Budget Issue Brief Industri dan Pembangunan ini diterbitkan oleh Pusat Kajian Anggaran, Badan
Keahlian DPR RI. Isi dan hasil penelitian dalam tulisan-tulisan di terbitan ini sepenuhnya
tanggung jawab para penulis dan bukan merupakan pandangan resmi Badan Keahlian DPR RI.
Artikel 1 Urgensi Revisi HPP Gabah dan Beras ...................................................................................... 1
Artikel 2 Daya Saing, Biaya Logistik, Serta Efisiensi Layanan Pandu dan Tunda di
Pelabuhan ............................................................................................................................................ 3
Artikel 3 Holding Indonesia Battery Corporation (IBC) dan Tantangan Indonesia Menjadi Produsen Baterai Dunia ................................................................................................................. 5
Artikel 4 Tinjauan Dampak Penghapusan FABA dalam Kategori Limbah B3 ............................ 7
www.puskajianggaran.dpr.go.id puskajianggaran @puskajianggaran
1 Industri dan Pembangunan Budget Issue Brief Vol 01, Ed 5, April 2021
Pemerintah sangat berkepentingan dalam mengendalikan
harga dan pasokan gabah dan beras melalui kebijakan yang
mempunyai dampak langsung terhadap kesejahteraan petani.
Pada kondisi tertentu, intervensi pemerintah untuk menstabilkan
harga padi bermanfaat untuk meningkatkan efisiensi ekonomi
agribisnis padi dan sekaligus meningkatkan produksi padi dan
ketahanan pangan nasional. Dalam upaya mewujudkan stabilitas
harga dan melindungi tingkat kesejahteraan petani, salah satu
instrumen kebijakan harga yang diterapkan pemerintah adalah
kebijakan harga dasar dan harga maksimum, yang selanjutnya
konsep harga dasar disesuaikan menjadi Harga Pembelian
Pemerintah (HPP). Esensi dari penerapan HPP tersebut adalah
untuk memberikan insentif bagi petani padi dengan cara
memberikan jaminan harga di atas harga keseimbangan (price
market clearing), terutama pada saat panen raya. HPP untuk gabah
dan beras pada tahun 2020 telah mengalami kenaikan
dibandingkan dari tahun 2015 seperti yang terlihat pada Tabel 1.
Tabel 1. Perkembangan HPP Gabah dan Beras
Sumber: Inpres No 5 tahun 2015 dan Permendag 24/2020
Kenaikan HPP ini merupakan upaya pemerintah untuk
meningkatkan kesejahteraan petani. Namun, Serikat Petani
Indonesia (SPI) menilai HPP tersebut sudah tidak layak lagi
sehingga harus dinaikkan seiring dengan biaya produksi petani
saat ini. Bagitu juga Asosiasi Bank Benih dan Teknologi Tani
Indonesia (AB2TI) mengungkapkan bawa HPP paling tidak
Rp4.500 per kg, karena per April 2019 biaya usaha tani untuk
setiap 1 kg GKP adalah sebesar Rp4.523. Selain itu, harga gabah
sudah di atas HPP dengan rata-rata harga gabah kering panen
(GKP) di tingkat petani selama periode 2018-2020 sebesar
Rp4.855 per kg dan gabah kering giling (GKG) sebesar Rp5.462 per
kg. Sedangkan GKP di tingkat penggilingan sebesar Rp4.952 per kg
dan GKG sebesar Rp5.626 per kg.
Jenis\HPP HPP 2015 (Rupiah/Kg) HPP 2020 (Rupiah/Kg)
GKP di Petani 3.700 4.200
GKP di Penggilingan 3.750 4.250
GKG di Penggilingan 4.600 5.250
GKG di Bulog 4.650 5.300
Beras 7.300 8.300
Komisi IV
URGENSI REVISI HPP GABAH DAN BERAS
• HPP 2020 lebih tinggi dari HPP 2015
• Biaya usaha tani untuk setiap 1 kg GKP adalah sebesar Rp4.523.
• Harga gabah sudah di atas HPP 2020
• Rata-rata GKP di tingkat petani Rp4.855 per kg dan GKG Rp5.462 per kg.
• GKP di tingkat penggilingan Rp4.952 per kg dan GKG Rp5.626 per kg.
• Revisi HPP Gabah dan Beras. GKP di Petani Rp4.940 per kg, GKG di petani Rp6.164 per kg, GKP di penggilingan Rp5.035 per kg, GKG di penggilingan Rp6.275 per kg, GKG di Bulog Rp6.325 per kg, dan Beras Rp9.306 per kg.
HIGHLIGHT
INDUSTRI DAN PEMBANGUNAN
PUSAT KAJIAN ANGGARAN Badan Keahlian DPR RI
Penanggung Jawab : Dr. Asep Ahmad Saefuloh, S.E., M.Si. Redaktur: Robby Alexander Sirait · Rastri Paramita ·Dahiri · Adhi Prasetyo · Deasy Dwi Ramiayu. Rosalina Tineke Kusumawardhani Penulis: Dahiri dan Rosalina Tineke K
Industri dan Pembangunan Budget Issue Brief Vol 01, Ed 5, April 2021
www.puskajianggaran.dpr.go.id puskajianggaran @puskajianggaran
2
Tabel 2. Harga Gabah dan Beras (Rp/kg)
Sumber: BPS, diolah.
Selain persoalan biaya dan
perkembangan harga gabah dan beras,
biaya pengeluaran per kapita terus
mengalami kenaikan. Pengeluran per
kapita per bulan sebagai proksi biaya
hidup di perdesaaan pada tahun 2019
sudah mencapai Rp882.829. Sedangkan
jumlah per kapita untuk makanan
sebesar Rp490.754 per bulan. Apabila
keluarga petani memiliki dua orang
anak, maka biaya keluarga petani di desa
menjadi sebesar Rp2.747.166 per bulan.
Sedangkan pendapatan petani
masih terpaut jauh di bawah
pengeluarannya. dengan asumsi
memiliki lahan 1 hektar, produktivias
mengikuti nasional 5,11 ton per hektar,
GKP Rp4.200 sesuai HPP, dan biaya
produksi berdasarkan data BPS
Rp13.559.300 per hektar, maka
pendapatan petani perbulan sebesar
Rp1.975.700. Dengan demikian,
pendapatan petani masih belum mampu
menutupi biaya hidupnya atau masih
defisit sebesar Rp771.491 per bulan.
Kondisi ini akan semakin parah ketika
harga gabah di bawah HPP, dimana
defisit yang dialami petani akan semakin
besar. Sementara BPS sudah merilis
kasus harga gabah di bawah HPP per
Maret 2021 sudah mencapai 35,54
persen.
Berdasarkan persoalan-persoalan
yang telah di bahas di atas, maka revisi
HPP gabah dan beras urgent dan relevan
dilakukan oleh pemerintah. Menurut
penulis, HPP gabah dan beras yang
relevan sekurang-kurangnya harus
mampu memenuhi pengeluaran per
kapita perbulan rumah tangga petani
dengan asumsi 2 (dua) orang anak.
Kemudian perhitungan pengeluaran per
kapita harus disesuaikan dengan kondisi
perekonomian saat ini. Pengeluaran per
kapita per bulan terus mengalami
peningkatan setiap tahunnya.
Peningkatan pengeluaran per kapita per
bulan tahun 2016-2019 rata-rata
sebesar Rp55.854 dan makanan sebesar
Rp30.980, maka pengeluaran per kapita
per bulan untuk tahun 2021
diperkirakan menjadi Rp938.683 dan
makanan sebesar Rp521.734. Artinya
keluarga petani dengan memiliki dua
orang anak, maka biaya keluarga petani
di desa tahun 2021 diperkirakan sebesar
Rp2.920.833 per bulan.
Dengan asumsi di atas, GKP di
tingkat petani diperoleh sebesar
Rp4.804 per kg. Dengan HPP tersebut,
maka biaya pengeluaran per kapita
keluarga petani per bulan tahun 2021
dapat dipenuhi. Adapun rincian usulan
HPP diberikan dalam Tabel 3. Tabel 3. Usulan HPP Gabah dan Beras 2021
Sedangkan GKG di tingkat petani sebesar
Rp6.164 per kg. HPP GKG tersebut akan
berpotensi mendorong petani untuk
tidak menjual GKP, karena petani akan
lebih untung sebesar Rp20.000 per
kuintal. Kemudian, HPP ini perlu di
update tiap tahunnya mengingat
perkembangan biaya produksi usaha
tani dan pengeluaran per kapita
cenderung meningkat tiap tahunnya.
Tahun GKP di Petani GKG di Petani GKP di Penggilingan GKG di Penggilingan Beras
2016 4617,27 5458,49 4708,22 5565,72 9106,67
2017 4615,23 5499,65 4702,68 5595,80 8959,67
2018 4893,82 5501,24 4986,54 5609 9509,42
2019 4828,49 5463,46 4928,66 5579,61 9414,08
2020 4844,88 5567,25 4943,35 5691,18 9533,83
2021 4688,03 5283,78 4790,07 5397,97 9315
Rata-rata 4747,95 5462,31 4843,25 5573,21 9306,44
www.puskajianggaran.dpr.go.id puskajianggaran @puskajianggaran
Industri dan Pembangunan Budget Issue Brief Vol 01, Ed 5, April 2021
Salah satu determinan yang memengaruhi daya saing Indonesia
dengan negara lain dan kinerja perekonomian secara keseluruhan
adalah kinerja sistem logistik nasional. Pada 2018, peringkat
Logistic Performance Index (LPI) Indonesia meningkat menjadi
peringkat 46 dari peringkat 63 di 2016. Namun, jika
membandingkan antar negara di kawasan ASEAN, peringkat
Indonesia mengalami penurunan, yaitu dari posisi ke-4 pada 2016
menjadi posisi ke-5 pada 2018. Posisi ini berada di bawah
Singapura (7), Thailand (32), Vietnam (39) dan Malaysia (41).
Ketertinggalan ini tidak terlepas dari masih tingginya biaya
logistik di Indonesia dibanding negara ASEAN lainnya, biaya
logistik Indonesia termasuk yang tertinggi yaitu mencapai 23,2
persen dari Produk Domestik Bruto (RPJMN 2020-2024). Salah
satu yang memengaruhi tingginya biaya logistik ini adalah biaya
transportasi air. Sebagai rujukan, total biaya transportasi dalam
kurun waktu 2004-2011 berkontribusi 46,25 persen terhadap
biaya logistik nasional. Dari total biaya transportasi tersebut,
19,66 persennya bersumber dari biaya transportasi air (Bank
Dunia, 2013). Dengan kata lain, biaya transportasi air
berkontribusi 9,09 persen terhadap total biaya logistik nasional,
yang salah satunya adalah layanan di pelabuhan.
Menurut Direktur Utama PT Pelabuhan Indonesia II (Persero),
pelabuhan berkontribusi sekitar 1,4 persen terhadap biaya
logistik (CNN, 2021). Di sisi lain, kontribusi biaya dari pelayanan
pandu dan tunda terhadap total biaya pelayanan jasa kapal selama
di pelabuhan mencapai sekitar 40 persen sampai 50 persen
(Indonesia National Shipowners’ Association, 2019). Dengan
demikian, pelayanan pandu dan tunda sangat besar kontribusinya
terhadap biaya pelayanan di pelabuhan dan biaya logistik secara
keseluruhan, atau setara hampir 0,56-0,7 persen terhadap total
biaya logistik nasional.
Pada praktiknya, masih terdapat beberapa permasalahan dalam
layanan ini, yang gilirannya berimplikasi pada masih tingginya
biaya logistik. Permasalahan pertama adalah bentuk pasar
layanan pandu dan tunda bersifat monopoli. Pasal 30 Peraturan
Menteri Perhubungan Nomor 57 Tahun 2015 tentang Pemanduan
dan Penundaan Kapal (Permenhub 57/2015) menyebutkan
bahwa pelayanan pemanduan dan penundaan hanya dilakukan
oleh otoritas pelabuhan, kesyahbandaran dan otoritas pelabuhan
Komisi V
DAYA SAING, BIAYA LOGISTIK, SERTA EFISIENSI LAYANAN
PANDU DAN TUNDA DI PELABUHAN
• Pada 2018, kinerja logistik Indonesia masih tertinggal dibanding Singapura, Thailand, Vietnam dan Malaysia, yang salah satunya disebabkan oleh masih tingginya biaya logistik di Indonesia.
• Salah satu yang memengaruhi tingginya biaya logistik ini adalah kinerja layanan pandu dan tunda di pelabuhan yang masih dihadapkan pada beberapa masalah, antara lain a. Bentuk pasar layanan pandu dan
tunda bersifat monopoli, b. Ketentuan terkait ukuran kapal,
dan c. Kewajiban penggunaan kapal
tunda bagi kapal yang hendak melakukan perbaikan
• Guna mengurangi biaya logistik dalam rangka peningkatan daya saing perekonomian nasional, pemerintah perlu merevisi Permenhub 57/2015 dengan memberikan kesempatan swasta untuk memberikan layanan pandu dan tunda, serta melakukan penyesuaian batasan ukuran kapal yang diwajibkan dan kewajiban pengunaan kapal pandu di pelabuhan khusus.
HIGHLIGHT
INDUSTRI DAN PEMBANGUNAN
PUSAT KAJIAN ANGGARAN Badan Keahlian DPR RI
Penanggung Jawab : Dr. Asep Ahmad Saefuloh, S.E Redaktur: Robby Alexander Sirait · Rastri Paramita ·Dahiri · Adhi Prasetyo · Deasy Dwi Ramiayu · Rosalina Tineke Kusumawardhani Penulis: Emillia Octavia, Ricka Wardianingsih, & Robby Alexander Sirait
3
4 Industri dan Pembangunan Budget Issue Brief Vol 01, Ed 5, April 2021
www.puskajianggaran.dpr.go.id puskajianggaran @puskajianggaran
atau unit penyelenggara pelabuhan, kecuali di perairan wajib pandu atau perairan pandu luar
biasa yang belum tersedia jasa pemanduan dan penundaan. Ketentuan dalam beleid ini telah
menciptakan praktek monopoli atas layanan pandu dan tunda di pelabuhan. Adanya norma
pengaturan dalam pasal tersebut berimplikasi pada pelaku usaha lain tidak dapat masuk ke
dalam persaingan usaha yang sehat berkaitan dengan pemberian layanan pandu dan tunda. Hal
ini bertentangan dengan Pasal 17 ayat (2) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang
Larangan Praktek Monopoli Dan Persaingan Usaha Tidak Sehat (UU Monopoli). Selain itu, aturan
dalam pasal ini juga bertentangan dengan Pasal 198 ayat (3) Undang-Undang Nomor 17 Tahun
2008 tentang Pelayaran (UU Pelayaran) yang mengatur bahwa keterlibatan badan usaha
pelabuhan (swasta) diperbolehkan baik di pelabuhan yang telah menyediakan layanan maupun
yang belum menyediakan layanan tersebut.
Di sisi lain, bentuk pasar yang monopoli akan berimplikasi pada kakunya elastisitas
pembentukan tarif atau harga, yang pada akhirnya berdampak terhadap biaya jasa pelayanan
yang tidak efisien dan tidak kompetitif dibandingkan negara lain. Hal ini terbukti dari lebih
tingginya biaya jasa pandu dan tunda di Indonesia dibanding negara ASEAN lainnya. Indonesia
National Shipowners’ Association mencatat biaya pandu dan tunda di Indonesia mulai dari kapal
masuk hingga kapal keluar pelabuhan mencapai USD4.707, sementara di Singapura USD2.141,
Filipina USD2.370, Thailand USD1.953, dan Vietnam USD3.103 (Antara, 2021). Selain itu, praktik
monopoli dalam pelayanan pandu dan tunda juga berdampak pada kualitas pelayanan. Di
Pelabuhan Tanjung Priok misalnya, pelayanan pandu dan tunda kapal masih sering dikeluhkan
pelayaran karena adanya keterlambatan (Ocean Week, 2020). Akibat keterlambatan itu,
pengguna jasa dirugikan baik dari sisi waktu maupun biaya. Contoh lainnya adalah di pelabuhan
Tanjungbalai Karimun, dimana kapal milik Pelindo I yang melayani jasa pandu dan tunda
dianggap tidak sesuai dengan standar Undang-Undang Pelayaran (Batampos, 2019).
Masalah lainnya adalah ketentuan terkait ukuran kapal juga ikut memengaruhi biaya logistik
dari pelayanan pandu dan tunda. Berdasarkan Permenhub 57/2015, kapal yang wajib
menggunakan pelayanan pemanduan kapal pada perairan wajib pandu adalah minimal dengan
ukuran 500 GT. Sedangkan di negara lain, batasannya lebih besar, contohnya di Singapura dan
Filipina dengan ukuran kapal di atas 2.000 GT. Apabila batasan ukuran kapal dapat dinaikkan,
maka dapat mengurangi biaya kapal selama di pelabuhan yang berdampak pada berkurangnya
biaya logistik. Permasalahan lain adalah kewajiban penggunaan kapal tunda bagi kapal yang
hendak melakukan perbaikan. Di pelabuhan Batam, kapal yang hendak melakukan perbaikan ke
salah satu usaha galangan kapal dibebani biaya tunda oleh Badan Pengusahaan Batam (BP
Batam). Besarnya biaya tunda yang dibebankan kepada pemilik kapal ini dikeluhkan sejumlah
pengusaha agen pelayaran di Batam. Meskipun setiap usaha galangan memiliki kapal tunda,
tetapi dalam proses tunda tetap diwajibkan memakai kapal yang disiapkan oleh Kantor
Pelabuhan Batam walaupun kapal tunda tersebut tidak sesuai dari ukuran daya tarikan dan
tenaga mesinnya yang kecil.
Berdasarkan paparan di atas, pemerintah perlu merevisi Permenhub 57/2015 dengan
memberikan kesempatan swasta dalam penyelenggaraan layanan pandu dan tunda (baik
di pelabuhan yang telah menyediakan layanan maupun yang belum menyediakan layanan
tersebut), guna menciptakan harga layanan yang lebih efisien dan kompetitif, peningkatan mutu
layanan pandu dan tunda di pelabuhan, serta tidak bertentangan dengan UU Pelayaran dan UU
Monopoli. Kemudian, pemerintah juga perlu melakukan penyesuaian batasan ukuran
kapal yang diwajibkan dan kewajiban penggunaan kapal pandu di pelabuhan khusus.
Namun, penyesuaian tersebut tetap harus mempertimbangkan beberapa aspek khususnya
tingkat kepadatan lalu lintas di pelabuhan, perlengkapan kapal, kemampuan dari nakhoda serta
sistem navigasi pelayaran sehingga tetap mengutamakan faktor keselamatan dan keamanan.
www.puskajianggaran.dpr.go.id puskajianggaran @puskajianggaran
5 Industri dan Pembangunan Budget Issue Brief Vol 01, Ed 5, April 2021
Saat ini, terjadi peningkatan pada konsumsi nikel seiring dengan semakin berkembangnya industri mobil listrik.
Berdasarkan data Stastista (2020), terjadi peningkatan konsumsi nikel global yaitu dari 1,89 juta metrik ton di tahun 2015 menjadi
2,32 juta metrik ton pada tahun 2019. Indonesia yang merupakan
salah satu negara dengan cadangan nikel terbesar di dunia (sekitar
21% dari total cadangan dunia) tentunya memiliki potensi ekonomi yang besar jika pemerintah dapat melakukan hilirisasi
nikel yang nantinya diproduksi menjadi baterai lithium yang merupakan komponen utama mobil listrik. Adapun tiga daerah
dengan kandungan nikel terbesar adalah di Sulawesi Tenggara,
Maluku Utara dan Sulawesi Tengah. Selain bertujuan untuk mengendalikan penggunaan energi
fosil dan pengurangan emisi gas rumah kaca, lahirnya Peraturan Presiden Nomor 55 Tahun 2019 tentang Percepatan Program
Kendaraan Bermotor Listrik Berbasis Baterai untuk Transportasi Jalan juga bertujuan memicu pertumbuhan industri kendaraan
listrik di Indonesia. Sejalan dengan tujuan beleid tersebut, PT. Pertamina (Persero), PT. PLN (Persero), MIND ID dan PT Aneka
Tambang Tbk. telah menandatangani perjanjian tentang struktur kepemilikan Indonesia Battery Corporation (IBC) yang merupakan
perusahaan induk baterai kendaraan listrik, pada tanggal 16 Maret 2021. Masing-masing perusahaan tersebut akan memiliki porsi
kepemilikan sebesar 25% terhadap IBC. Holding baterai ini
nantinya tidak hanya fokus pada mobil listrik namun juga kendaraan roda dua.
Keterlibatan Indonesia dalam rantai pasok global di industri kendaraan listrik atau electric vehicle (EV) masih sangat kecil.
Kendala teknologi dan Sumber Daya Manusia (SDM), serta masih
lemahnya industri manufaktur baterai di Indonesia merupakan
hal mendasar yang perlu dibenahi. Hingga tahun 2025, baterai diprediksi akan memiliki porsi sekitar 35-40% di mobil listrik dan
sekitar 30% di motor listrik (IESR, 2020). Namun di sisi lain, belum terbentuknya fasilitas produksi di dalam negeri hingga saat ini
merupakan tantangan besar yang harus diselesaikan. Tantangan
yang tidak kalah penting adalah masih rendahnya kualitas SDM dan belum memadainya teknologi, yang pada gilirannya
berdampak rendahnya kualitas atau mutu produk yang dihasilkan. Padahal, teknologi dan SDM merupakan faktor penting untuk
menjadikan Indonesia sebagai
Komisi VI
HOLDING INDONESIA BATTERY CORPORATION (IBC) DAN
TANTANGAN INDONESIA MENJADI PRODUSEN BATERAI DUNIA
• Indonesia yang merupakan salah satu negara dengan cadangan nikel terbesar di dunia (sekitar 21% dari total cadangan dunia) tentunya memiliki potensi ekonomi yang besar jika pemerintah dapat melakukan hilirisasi nikel.
• PT. Pertamina (Persero), PT. PLN (Persero), Mining Industry Indonesia (MIND ID) dan PT. Aneka Tambang Tbk (Antam) telah menandatangani perjanjian tentang struktur kepemilikan Indonesia Battery Corporation (IBC), yaitu sebuah perusahaan induk baterai kendaraan listrik.
• Keterlibatan Indonesia dalam rantai pasok global industri kendaraan listrik masih sangat kecil. Kendala teknologi dan Sumber Daya Manusia (SDM), serta masih lemahnya industri manufaktur baterai di Indonesia merupakan hal mendasar yang perlu dibenahi.
HIGHLIGHT
INDUSTRI DAN PEMBANGUNAN
PUSAT KAJIAN ANGGARAN Badan Keahlian DPR RI
Penanggung Jawab : Dr. Asep Ahmad Saefuloh, S.E, M.Si. Redaktur: Robby Alexander Sirait · Rastri Paramita ·Dahiri · Adhi Prasetyo · Deasy Dwi Ramiayu · Rosalina Tineke Kusumawardhani Penulis: Ervita Luluk Zahara
Industri dan Pembangunan Budget Issue Brief Vol 01, Ed 5, April 2021
www.puskajianggaran.dpr.go.id puskajianggaran @puskajianggaran
6
produsen baterai dunia, selain ekosistem industri
baterai yang mendukung. Hingga saat ini,
penelitian tentang teknologi baterai pun masih
belum banyak dilakukan. Keterbatasan infrastruktur (seperti laboratorium) dan
besarnya kebutuhan pendanaan penelitian/riset
juga menjadi kendala dalam pengembangan industri baterai di tanah air. Untuk itu, diperlukan
dukungan pemerintah dalam pelaksanaan Research and Development (R&D) dengan
menyediakan sarana dan prasarana untuk R&D teknologi baterai termasuk sarana penyimpanan
energi di Indonesia serta penyediaan SDM yang berkompeten dalam mengembangkan industri ini.
Pentingnya teknologi dan SDM yang memadai ini (termasuk dukungan R&D dari pemerintah)
juga didasarkan pada proses produksi baterai
berbasis nikel laterit yang membutuhkan teknologi tinggi dan SDM yang mumpuni. Saat ini,
cadangan nikel dunia terdiri dari 60% nikel laterit dan 40% nikel sulfida (United States Geological
Survey, 2020). Perlu menjadi perhatian di mana nikel di Indonesia berjenis laterit yang
mengandung kadar nikel yang lebih rendah dibandingkan dengan nikel sulfida. Sementara
baterai berbasis nikel membutuhkan kemurnian
tinggi sehingga pengolahan nikel laterit ini lebih
sulit. Proses peleburan (smelting) dan pemurnian (refining) akan membutuhkan teknologi yang
lebih tinggi dan rumit serta energi yang lebih
banyak. Salah satu teknik peleburan nikel laterit adalah melalui smelter hidrometalurgi High
Pressure Acid Leaching (HPAL). Selain membutuhkan teknologi tingkat tinggi, rata-rata
proyek HPAL dunia hanya mencapai 80% kapasitas desainnya dalam waktu 4 tahun. Hal
tersebut menunjukkan bahwa sulit untuk mencapai skala produksi yang sesuai dengan
kapasitas desainnya. Selain itu, limbah pengolahan tambang yang disebut tailing,
mensyaratkan infrastruktur dan teknologi
tambahan agar dapat dikelola secara memadai dan memenuhi standar lingkungan dan sosial
(AEER, 2020). Di Indonesia, sudah terdapat proyek HPAL salah satunya PT. QMB New Energy
Materials yang memulai konstruksi pabrik pertama di tahun 2019 dan diperkirakan akan
mulai memproduksi di tahun 2021.
Terkait tindak lanjut dari rencana holding
baterai, pemerintah menargetkan akan bekerja
sama dengan perusahaan asing yaitu
Contemporary Amperex Technology Co., Ltd. (CATL) dan LG Chem. CATL dan LG Chem
berencana menginvestasikan USD20 miliar untuk
membangun pabrik komponen baterai kendaraan listrik. Bagi Indonesia, salah satu tujuan dilakukan
kerja sama dengan perusahaan asing tersebut adalah untuk transfer teknologi. Selama ini,
produsen cenderung enggan untuk melakukan transfer teknologi karena tidak ada kebijakan
yang mengharuskannya. Maka dari itu, kebijakan untuk mendukung pengembangan riset industri
baterai ini memerlukan langkah-langkah kongkrit. Jika kerja sama dengan CATL dan LG
Chem terlaksana, diperlukan kejelasan rencana
alih teknologi nantinya. Karena ke depannya, Indonesia harus dapat menguasai teknologi
secara mandiri. Peluang besar Indonesia sebagai penghasil
baterai dunia harus dapat dimanfaatkan sebaik mungkin. Pemerintah harus konsisten dengan
tahapan dan proses pembangunan ekosistem industri kendaraan listrik nasional. Kendaraan
listrik membutuhkan berbagai sarana pendukung
seperti sumber listrik dan perangkat
distribusinya, pengisi daya di rumah, pengisi daya komersial serta ketersediaan suku cadang. Untuk
itu, pemerintah harus dapat memastikan berbagai
kebutuhan pendukung tersebut dapat tersedia dengan baik. Selain itu, perlu terus dilakukan
edukasi kepada masyarakat secara luas selama proses transisi menjadi kendaraan bermotor
listrik. Mengingat proses untuk mencapai agar Indonesia menjadi produsen baterai dunia
memerlukan biaya, tenaga, dan waktu yang tidak sedikit, sehingga pemerintah harus benar-benar
serius dalam menjalankan kebijakan yang sudah ditetapkan ini. Selain itu, pemerintah juga harus
segera merumuskan regulasi mengenai standar
pengelolaan tailing mengingat akan semakin banyak smelter HPAL dibangun di Indonesia.
Regulasi ini sebaiknya dapat mencakup mengenai kewajiban untuk menerapkan teknologi terbaik,
pelarangan pembuangan tailing ke laut, serta memerhatikan dampak lingkungan bagi
keamanan masyarakat sekitar lokasi smelter HPAL.
www.puskajianggaran.dpr.go.id puskajianggaran @puskajianggaran
7 Industri dan Pembangunan Budget Issue Brief Vol 01, Ed 5, April 2021
Upaya penanganan limbah batubara telah mendesak
pemerintah untuk menghasilkan berbagai alternatif kebijakan,
salah satunya melalui pemanfaatan limbah bahan berbahaya dan
beracun (B3) berupa Fly Ash dan Bottom Ash (FABA) pada
Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU). Hal ini dengan
mempertimbangkan kondisi pada tahun 2019, dimana sebanyak
9,7 juta ton FABA dihasilkan dari 97 juta ton batubara yang
digunakan PLTU. Di tahun 2028 produksi FABA diproyeksikan
meningkat hingga 15,3 juta ton dari kebutuhan batubara yang
mencapai 153 juta ton untuk PLTU. Sementara itu, dalam Rencana
Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) 2021-2030,
penambahan pembangkit listrik dalam 10 tahun ke depan
mencapai 41 GigaWatt (GW), yang mana PLTU masih
mendominasi sekitar 36 persen atau 14-15 GW dari target
pemerintah. Besarnya potensi tersebut memerlukan adanya
akselerasi pemanfaatan untuk mengurangi permasalahan
lingkungan akibat jumlah timbunan FABA.
Berangkat dari uraian di atas, melalui sejumlah rangkaian
pengujian karakteristik, Pemerintah resmi mengeluarkan limbah
B3 FABA yang dihasilkan PLTU. Hal ini tertuang dalam Peraturan
Pemerintah Nomor 22 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan
Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Adapun yang
dikeluarkan dari kategori limbah B3 itu adalah FABA atau limbah
padat yang dihasilkan dari proses pembakaran batubara pada
PLTU, boiler, dan tungku industri untuk bahan baku atau
keperluan sektor konstruksi.
Menurut rencana, limbah FABA akan dimanfaatkan sebagai
substitusi bahan baku untuk material infrastruktur; substitusi
bahan baku untuk daerah tambang; dan substitusi bahan baku
untuk industri semen. Dikutip dalam Kementerian Lingkungan
Hidup dan Kehutanan, rencana pengelolaan limbah non B3 antara
lain: (i) Limbah non B3 khusus merujuk kepada Penetapan
Menteri yang selanjutnya dituangkan dalam Persetujuan
Lingkungan; (ii) Limbah non B3 terdaftar wajib dicantumkan
secara rinci dalam Persetujuan Lingkungan; dan (iii) Pengelolaan
Limbah non B3 tidak memerlukan persetujuan teknis.
Kebijakan ini tentunya menimbulkan dampak positif dan
negatif. Sisi positifnya, jika implementasi pengelolaannya berjalan
sesuai rencana, maka pembangunan infrastruktur dapat
Komisi VII
TINJAUAN DAMPAK PENGHAPUSAN FABA DALAM
KATEGORI LIMBAH B3
• Besarnya potensi jumlah limbah FABA memerlukan adanya akselerasi pemanfaatan untuk mengurangi permasalahan lingkungan, sehingga ditetapkan FABA sebagai limbah non B3.
• Dampak positifnya, kebijakan ini dapat menghemat anggaran pembangunan infrastruktur senilai Rp4,3 triliun hingga 2028 mendatang, meningkatkan pendapatan pekerja, memperluas peluang investasi, serta sebagai sumber energi baru terbarukan (EBT). Dari sisi negatifnya, rencana pengelolaan yang tidak perlu mendapatkan persetujuan teknis dan pengawasan lemah dapat memperbesar risiko pencemaran limbah terhadap kesehatan masyarakat dan lingkungan.
• Hal yang dapat dilakukan antara lain: perlunya mendorong Kementerian ESDM untuk menyusun SOP pengelolaan limbah FABA yang baik dan aman bagi lingkungan; dan memberlakukan persetujuan teknis tentang rencana pengelolaan limbah
HIGHLIGHT
PUSAT KAJIAN ANGGARAN Badan Keahlian DPR RI
Penanggung Jawab : Dr. Asep Ahmad Saefuloh, S.E., M.Si. Redaktur: Robby Alexander Sirait · Rastri Paramita · Dahiri · Adhi Prasetyo · Deasy Dwi Ramiayu · Rosalina Tineke Kusumawardhani Penulis: Deasy Dwi Ramiayu
INDUSTRI DAN PEMBANGUNAN
8 Industri dan Pembangunan Budget Issue Brief Vol 01, Ed 5, April 2021
www.puskajianggaran.dpr.go.id puskajianggaran @puskajianggaran
menghemat anggaran senilai Rp4,3
triliun hingga 2028 mendatang.
Pemanfaatan limbah B3 juga akan
memberi peluang kerja kepada 500 ribu
tenaga kerja usaha kecil dan mikro
batako dan paving block. Dengan
perhitungan kasar, industri tersebut
akan meningkatkan pendapatan pekerja
secara total senilai Rp25,3 triliun dalam
10 tahun mendatang. Selain itu, FABA
juga berpeluang untuk dijadikan
sumber Energi Baru Terbarukan (EBT)
di tengah perkembangan teknologi saat
ini, dimana FABA dapat dijadikan
sebagai substitusi bahan baku produk
industri. Pemanfaatan FABA sebagai
substitusi bahan baku maupun
substitusi sumber energi sejalan dengan
standar industri hijau yang bisa
berperan meningkatkan daya saing
sektor manufaktur, sesuai implementasi
program prioritas pada peta jalan
Making Indonesia 4.0.
Sementara itu, jika mengacu pada
rencana pengelolaan limbah FABA,
terdapat sebuah poin yang kontroversial,
yaitu tidak diperlukannya persetujuan
teknis atas pengelolaan limbah.
Walaupun rencana pengelolaannya
wajib dicantumkan dalam Persetujuan
Lingkungan, potensi kesalahan
pengelolaan tetap sulit dimitigasi.
Dengan skema sebelumnya saja,
kesalahan pengelolaan limbah FABA
yang dilakukan PLTU masih kerap
terjadi, misalnya di Cilacap, Jawa Tengah.
Adanya kesalahan pengelolaan limbah
yang kurang sesuai dengan ketentuan ini
telah memberikan dampak negatif
berupa kontaminasi limbah di
lingkungan serta gangguan kesehatan
bagi warga sekitar. Sehingga jika
persetujuan teknis dihapuskan, maka
bukan tidak mungkin kasus serupa
kembali terjadi.
Dampak terhadap lingkungan ini juga
menuai kontra di beberapa kalangan
investor. Sejumlah pengamat melihat
ancaman hambatan investasi masuk ke
Indonesia melalui kebijakan ini.
Pasalnya, investor saat ini sangat peduli
terhadap isu investasi yang ramah
lingkungan atau Environmental, Social,
and Governance (ESG). Sehingga
dikhawatirkan niatan pemerintah untuk
menarik investor justru akan
kontraproduktif, karena investor
melihat ada reputational risk yang tinggi
di Indonesia. Meskipun Pemerintah telah
mengklaim bahwa FABA di Indonesia
tidak berbahaya, namun tidak dapat
dipungkiri bahwa penghapusan FABA
dalam kategori B3 akan tetap
berdampak terhadap kesehatan
masyarakat maupun lingkungan.
Berdasarkan paparan di atas,
pemerintah seharusnya turut
menyiapkan kebijakan untuk mengatasi
dampak negatif dari penghapusan FABA
dalam kategori limbah B3. Untuk itu,
terdapat beberapa hal yang harus
diperhatikan pada penerapan kebijakan
penghapusan FABA ini. Pertama,
perlunya mendorong Kementerian
Energi dan Sumber Daya Mineral
(ESDM) untuk menyusun Standard
Operating Procedure (SOP) pengelolaan
limbah FABA yang baik dan aman bagi
lingkungan. Pemerintah juga harus
meningkatkan pengawasan terhadap
PLTU untuk selalu mengikuti standar
dan persyaratan teknis yang ditetapkan
dalam persetujuan dokumen
lingkungan nantinya. Kedua,
Pemerintah sebaiknya tetap perlu
memberikan persetujuan teknis akan
rencana pengelolaan limbah. Artinya,
kewenangan PLTU selaku penghasil
limbah tetap harus dibatasi oleh
pemerintah melalui persetujuan
pengelolaan limbah tersebut.