Upload
others
View
0
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
OKTOBER 2017
Dokumen ini disusun oleh tim konsultan Management Systems International untuk dikaji oleh United
States Agency for International Development.
USAID/INDONESIA
KAJIAN DAMPAK PERUBAHAN IKLIM DAN
TUTUPAN LAHAN TERHADAP KETERSEDIAAN
AIR DI KABUPATEN MOJOKERTO – JAWA TIMUR
USAID/Indonesia Kajian Dampak Perubahan Iklim dan Tata Guna Lahan Terhadap Ketersedian Air di Kabupaten Mojokerto – Jawa Timur i
USAID/Indonesia
Kajian Dampak Perubahan Iklim dan
Tata Guna Lahan Terhadap Ketersedian
Air di Kabupaten Mojokerto – Jawa
Timur
Indonesia Monitoring & Evaluation Support Project
PERNYATAAN
Pandangan dan pendapat penulis didalam dokumen ini tidak mencerminkan pandangan dan pendapat dari United
States Agency for International Development ataupun Pemerintah Amerika Serikat.
USAID/Indonesia Kajian Dampak Perubahan Iklim dan Tata Guna Lahan Terhadap Ketersedian Air di Kabupaten Mojokerto – Jawa Timur ii
EXECUTIVE SUMMARY Climate change has been proven by multiple scientific studies. In Indonesia, climate change is indicated by
increasing temperatures of between 0.2-0.3 0C per decade, as well as changes in annual rainfall patterns,
which are predicted to increase in the main islands and decrease by approximately 15% in the southern parts
of the country. Temperature and rainfall changes have also occurred in Mojokerto District, where temperatures
have risen by 0.20C per decade since 1941, and average annual rainfall decreased by 11% when comparing
the periods 1941-1980 and 1987-2011. These changes can create water crises, especially with water demand
increasing for both domestic and non-domestic sectors. Moreover, the land-use change rate in this district has
been increasing due to growing industry and housing sectors – factors that will exacerbate the water supply
crisis. This assessment examines the impacts of climate change on water resources in Mojokerto and how land-
use change management can be used as an adaptation strategy to reduce the negative impacts in the district.
The assessment measured climate change impacts on water resources by calculating water balances in 32
sub-catchments in Mojokerto using the GenRiver model. Instead of using 11% as a projection of rainfall
decrease, this model used 10% for practical calculation. There were no significant differences between the two
projections. Water balance data were integrated with three land-use scenarios to analyze base flow and quick
flow in each scenario. The first scenario, Business as Usual (BAU), was based on actual land-use changes in
1996, 2001, 2006, and 2016. The second, Spatial Planning scenario was based on the Mojokerto District
Spatial Plan 2012- 2030. The third, Environmental Carrying Capacity (ECC) scenario was designed based on
Stalling’s land capability classification. In addition, the assessment analyzed the level of hazards and risks of
drought, flooding, and landslides in the three scenarios with additional data such as daily rainfall between 1996-
2015, soil characteristics, and watershed morphometrics.
Water balance predictions by the GenRiver model showed that the ECC scenario produces higher base flow
(input for groundwater) and lower quick flow (surface runoff) compared to BAU and Spatial Planning scenarios.
The Spatial Planning scenario has the lowest base flow and the highest quick flow. The model also explains
that different geological and hydrological formations in northern and southern Mojokerto influence the volume
of river discharge, base flow, and quick flow in the three scenarios. Based on 2015 river discharge data,
discharge volume is four times greater in southern Mojokerto, a volcanic area, compared to the northern area,
which is limestone. In 2030, the difference between the two areas is predicted to be two times larger.
Additionally, the ECC scenario decreases the level of hazard and the risks of drought, flood, and landslide. On
the other hand, the BAU scenario increases hazard levels of drought and flood from low and moderate to high,
while the Spatial Planning scenario increases the hazard levels of drought and flood from high to very high.
Moreover, the risk levels of drought and flood are increased in the BAU and Spatial Planning scenarios.
Regarding landslides, the Spatial Planning scenario decreases the risk level, while the BAU scenario increases
risk.
Based on these findings, the assessment makes the following recommendations to reduce the negative impacts
of climate change on water resources:
• Revitalize the roles of Forum Penyehatan Fungsi DAS (Watershed Revitalization Forum), enhancing
stakeholder participation in watershed management.
• Increase the capacity of local communities in watershed management, through field school.
• Develop feasible watershed management action plans.
In addition, the assessment notes 14 recommended technical methods to prevent flood, drought and landslide:
(1) forest biodiversity conservation, (2) assisted natural regeneration, (3) reforestation, (4) agroforestry, (5)
crescent dikes, (6) infiltration trenches, (7) silt pits/gully plugs, (8) bund terraces with bulkheads and silt pit
terraces, and bench terraces with beds and bulkheads, (9) small dams and check dams, (10) soil biopores,
(11) infiltration wells in rural areas, (12) infiltration wells in urban areas, (13) irrigation water efficiency, and
(14) raw water efficiency in domestic and industrial sectors.
USAID/Indonesia Kajian Dampak Perubahan Iklim dan Tata Guna Lahan Terhadap Ketersedian Air di Kabupaten Mojokerto – Jawa Timur iii
RINGKASAN EKSEKUTIF
Perubahan iklim merupakan isu yang dihadapi oleh masyarakat dunia pada saat ini. Namun, dampak dari
fenomena tersebut berbeda-beda di berbagai wilayah. Di Indonesia, perubahan iklim ditandai dengan
peningkatan suhu antara 0.2-0.30C setiap dekade dan peningkatan curah hujan tahunan di seluruh pulau
utama kecuali di bagian selatan yang diproyeksikan menurun sebesar 15%. Kondisi yang sama terjadi di
Kabupaten Mojokerto dimana curah hujan menurun sebesar 11% dan suhu meningkat sebesar 0.20C
setiap dekade. Perubahan ini dapat mengancam ketersediaan sumberdaya air di Mojokerto. Di
kabupaten ini, pertumbuhan sektor industri dan kebutuhan permukiman meningkat, sehingga
meningkatkan laju perubahan tutupan lahan. Mojokerto diprediksi mengalami kekurangan suplai air
untuk memenuhi kebutuhan domestik dan industri yang pada saat ini sekitar 0.14 m3/dtk dan
diproyeksikan akan terus meningkat, sehingga pada tahun 2030 menjadi 0.73 m3/dtk. Perubahan iklim,
disertai perubahan tata guna lahan yang tidak mempertimbangkan daya dukung lingkungan dapat
menimbulkan krisis ketersediaan air. Kajian ini bertujuan mengetahui seberapa jauh perubahan iklim
dan tata guna lahan mempengaruhi ketersediaan sumberdaya air di Kabupaten Mojokerto, serta strategi
adaptasi yang tepat.
Untuk mengetahui ketersediaan air, kajian ini menghitung neraca air di 32 sub-Dareah Aliran Sungai
(DAS) di Mojokerto menggunakan model GenRiver, dengan proyeksi penurunan hujan 10%. Penentuan
nilai penurunan curah hujan dari 11% menjadi 10% untuk penghitungan skenario neraca air ini
didasarkan pada kepraktisan perhitungan dimana pembulatan nilai tidak berpengaruh pada hasilnya.
Kajian juga mengidentifikasi ancaman, kerentanan dan risiko kekeringan, banjir dan tanah longsor
melalui analisis neraca air dan tata guna lahan. Data tata guna lahan terdiri dari data perubahan
penggunaan lahan aktual tahun 2001, 2006, 2016 (penggunaan lahan Bussiness as Usual – BAU),
penggunaan lahan berdasarkan Rencana Tata Ruang dan Wilayah (RTRW) Kabupaten Mojokerto 2012-
2030, dan penggunaan lahan berdasarkan arahan Kelas Kemampuan Lahan (KKL). Data sekunder
berupa data curah hujan dan debit harian periode 1996 – 2014, data tanah serta morfometri DAS.
Hasil analisis dipresentasikan dalam bentuk peta-peta yang diolah dengan menggunakan tool ArcGIS 10
dan analisis berbagai Citra Landsat OLI 30 m pada band 4 dan 5.
Analisis neraca air memprediksi bahwa penggunaan lahan berdasarkan skenario KKL menunjukkan
jumlah baseflow (aliran dasar sebagai input groundwater) yang lebih besar dan jumlah quickflow (aliran
cepat dipermukaan tanah) yang lebih kecil, dibandingkan dengan skenario BAU dan RTRW Kabupaten
Mojokerto. Skenario RTRW menghasilkan volume baseflow terendah dan quickflow tertinggi. Perbedaan
formasi geologi dan hidrologi antara daerah utara dan selatan mempengaruhi debit sungai, baseflow dan
quickflow pada berbagai skenario penggunaan lahan tersebut. Berdasarkan data debit tahun 2015, daerah
selatan yang merupakan daerah pegunungan vulkanik rata-rata menghasilkan debit sungai empat kali
lebih besar dibandingkan daerah utara yang merupakan daerah berkapur. Pada tahun 2030, rata-rata
debit sungai didaerah selatan diperkirakan delapan kali lebih besar dibandingkan daerah utara.
Selanjutnya, kajian menunjukkan bahwa skenario penggunaan lahan KKL dapat menurunkan ancaman
dan risiko kekeringan, banjir, dan longsor. Skenario BAU dapat meningkatkan ancaman kekeringan dan
banjir dari rendah-sedang menjadi tinggi, sedangkan skenario RTRW menjadikan tingkat ancaman
kekeringan dan banjir dari tinggi menjadi sangat tinggi. Lebih lanjut, risiko kekeringan dan banjir turun
pada skenario KKL dan naik pada skenario BAU dan RTRW. Selain itu, skenario KKL dan RTRW dapat
menurunkan risiko longsor, dan sebaliknya, skenario BAU meningkatkan risiko longsor.
Rekomendasi untuk mengatasi dampak perubahan iklim terhadap kondisi sumberdaya air di Kabupaten
Mojokerto diantaranya membentuk dan memfungsikan ‘Forum Penyehatan Fungsi DAS’, meningkatkan
partisipasi parapihak, dan menyusun rencana aksi yang sesuai dengan kondisi masyarakat baik dari sisi
ketersediaan waktu, kemampuan pembiayaan, kemudahan rencana aksi dan teknologi yang ditawarkan,
dan dapat mengikuti kondisi sosial serta budaya masyarakat setempat dalam pengelolaan DAS melalui
sekolah lapang. Terdapat 14 rekomendasi teknis yang dapat dilakukan untuk mengatasi kekeringan,
banjir dan tanah longsor di wilayah Kabupaten Mojokerto yaitu: (1) Pengkayaan dan Konservasi
Biodiversitas Hutan (PKB), (2) Pengembalian Fungsi Hutan melalui permudaan alam hutan (PAH), (3)
USAID/Indonesia Kajian Dampak Perubahan Iklim dan Tata Guna Lahan Terhadap Ketersedian Air di Kabupaten Mojokerto – Jawa Timur iv
Pengembalian fungsi hutan melalui reboisasi, penghijauan hutan (RPH), (4) Pengembalian fungsi hutan
melalui Agroforestri (hutan rakyat dan kebun campuran) (AFK), (5) Pematang Bulan Sabit (crescent
dykes) (PBS), (6) Saluran peresapan air (SPA), (7) Rorak/ parit buntu (RPB), (8) Teras Gulud bersekat
dan berorak dan Teras Bangku dengan bedengan bersekat (TGB), (9) embung dan chek dam (ECD),
(10) Biopori tanah (BPT), (11) Sumur resapan pedesaan individual (SRD), (12) Sumur resapan
perumahan / perkotaan individual (SRP), (13) efisiensi air irrigasi (EAI), (14) efisiensi pemanfaatan air
baku di rumah tangga dan industri (EPA).
USAID/Indonesia Kajian Dampak Perubahan Iklim dan Tata Guna Lahan Terhadap Ketersedian Air di Kabupaten Mojokerto – Jawa Timur v
AKRONIM
APIK Adaptasi Perubahan Iklim dan Ketangguhan
BAU Business As Usual
BAPPEDA Badan Perencanaan Pembangunan Daerah
BMKG Badan Metereologi Klimatologi dan Geofisika
BPBD Badan Penanggulangan Bencana Daerah
BMG Badan Meteorologi & Geofisika
DAS Daerah Aliran Sungai
DDL Daya Dukung Lahan
DEM Digital Elevation Model
ENSO El Nino Southren Oscillation
FAO Food and Agriculture Organization
GIS Geographical Information System
GOI Government of Indonesia
KKL Kelas Kemampuan Lahan
IDW Inverse Distance Weight
MESP Monitoring and Evaluation Support Project
NDVI Normalized Difference Vegetation Index
NGO Non-Government Organization
PDAM Perusahaan Daerah Air Minum
RTRW Rencana Tata Ruang dan Wilayah
USAID United States Agency for International Development
WHO World Health Organization
USAID/Indonesia Kajian Dampak Perubahan Iklim dan Tata Guna Lahan Terhadap Ketersedian Air di Kabupaten Mojokerto – Jawa Timur vi
DAFTAR ISI
Executive Summary .................................................................................................................... II
Ringkasan Eksekutif ....................................................................................................................III
Akronim ..................................................................................................................................... V
Daftar Isi ................................................................................................................................... VI
Daftar Gambar ........................................................................................................................ VIII
Daftar Tabel .............................................................................................................................. IX
1. PENDAHULUAN .................................................................................................................... 1
1.1. LATAR BELAKANG .................................................................................................................................. 1
1.2. PERTANYAAN PENELITAN ...................................................................................................................... 2
1.3. TUJUAN PENELITIAN .............................................................................................................................. 2
2. KAJIAN LITERATUR .............................................................................................................. 2
2.1. SUPPLY-SIDE PRESSURE FACTOR ............................................................................................................. 3
2.2. DEMAND-SIDE PRESSURE FACTOR ......................................................................................................... 4
3. METODOLOGI ....................................................................................................................... 4
3.1. LOKASI KAJIAN ...................................................................................................................................... 4
3.2. KERANGKA ANALISIS DAN LIMITASI ....................................................................................................... 5
3.3. DATA DAN METODE ANALISIS ............................................................................................................... 6
4. HASIL DAN PEMBAHASAN .................................................................................................. 8
4.1. PERUBAHAN VARIABEL IKLIM ................................................................................................................. 8
4.2. SKENARIO TUTUPAN LAHAN ............................................................................................................... 10
4.3. NERACA AIR ........................................................................................................................................ 14
4.4. ANCAMAN SUMBERDAYA AIR ............................................................................................................... 16
4.5. KERENTANAN SUMBERDAYA AIR ......................................................................................................... 19
4.6. RISIKO SUMBERDAYA AIR ..................................................................................................................... 22
5. KESIMPULAN ....................................................................................................................... 24
6. REKOMENDASI .................................................................................................................... 25
Daftar Pustaka .......................................................................................................................... 26
Lampiran 1: Peta Administrasi Kabupaten Mojokerto........................................................................ 29
Lampiran 2: Kerangka Analisis ...................................................................................................... 30
Lampiran 3: Data ....................................................................................................................... 31
Lampiran 4: Peta Penggunaan Lahan Aktual Hasil Interpretasi Citra Satelit 8 Oli .................................... 32
Lampiran 5: Peta Perubahan Tutupan Lahan 1996, 2002, 2006 Dab 2016 .............................................. 33
Lampiran 6: Peta Skenario Rtrw Kabupaten Mojokerto 2012-2030 ..................................................... 34
Lampiran 7: Peta Kemampuan Lahan Yang Mengindikasikan Daya Dukung Lahan Kabupaten Mojokerto ..... 35
Lampiran 8: Peta Arahan Tutupan Lahan Atas Dasar DDDL Kabupaten Mojokerto ................................ 36
Lampiran 9: Peta Pembagian Subdas di Kabupaten Mojokerto............................................................. 37
Lampiran 10: Peta Ancaman Kekeringan Tahun 1996,2001, 2006 dan 2016 ........................................... 38
Lampiran 11: Peta Potensi Ancaman Kekeringan Skenario RTRW dan DDDL Tahun 2030 ...................... 39
Lampiran 12: Peta Ancaman Banjir Tahun 1996, 2001, 2006 Dan 2016 ................................................ 40
USAID/Indonesia Kajian Dampak Perubahan Iklim dan Tata Guna Lahan Terhadap Ketersedian Air di Kabupaten Mojokerto – Jawa Timur vii
Lampiran 13: Peta Potensi Ancaman Banjir Skenario RTRW dan DDDL Tahun 2030.............................. 41
Lampiran 14: Peta Ancaman Longsor Tahun 1996, 2001, 2006 dan 2016 .............................................. 42
Lampiran 15: Peta Potensi Ancaman Longsor Skenario RTRW dan DDDL Tahun 2030 ......................... 43
Lampiran 16: Lokasi Mata Air di Kabupaten Mojokerto ..................................................................... 44
Lampiran 17: Hasil Uji Kualitas Air ................................................................................................ 45
Lampiran 18: Peta Sebaran Risiko Kekeringan Tahun 1996, 2001, 2006, 2016 ....................................... 46
Lampiran 19: Peta Sebaran Potensi Risiko Kekeringan Skenario RTRW dan DDDL ................................ 47
Lampiran 20: Peta Sebaran Risiko Banjir Tahun 1996, 2001, 2006 dan 2016 .......................................... 48
Lampiran 21: Peta Sebaran Risiko Banjir Skenario Rtrw dan DDDL 2030 ............................................. 49
Lampiran 22: Peta Risiko Longsor Tahun 1996, 2001, 2006 dan 2016 .................................................. 50
Lampiran 23: Peta Sebaran Risiko Longsor Skenario RTRW dan DDDL 2030 ....................................... 51
Lampiran 24: Strategi Adaptasi Berdasarkan Iwrm ............................................................................ 52
Lampiran 25: Teknologi Adaptasi dampak Perubahan Iklim Terhadap Kondisi Sumberdaya Air di Mojokerto ..... 58
Lampiran 26: Neraca Air Pada Setiap Subdas di Kabupaten Mojokerto ................................................. 75
USAID/Indonesia Kajian Dampak Perubahan Iklim dan Tata Guna Lahan Terhadap Ketersedian Air di Kabupaten Mojokerto – Jawa Timur viii
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1. Kerangka Kerja Dampak Perubahan Iklim dan Tutupan Lahan Terhadap Ketersediaan
Air di Mojokerto ................................................................................................................... 5
Gambar 2. Tren Temperatur Tahunan di Stasiun Klimatologi Mojosari, Kabupaten Mojokerto ....... 9
Gambar 3. Perbandingan Rata-Rata Curah Hujan di Stasiun Pacet Kabupaten Mojokerto antara
tahun 1890 - 1941 dengan Tahun 1987 – 2011 ........................................................................ 9
Gambar 4. Jumlah Kejadian Hujan Ekstrim (> 100 mm hari-1) di Beberapa Stasiun Hujan di
Kabupaten Mojokerto ......................................................................................................... 10
Gambar 5. Proyeksi Tutupan Lahan sebagai Bussiness as Usual (BAU) Tahun 2030 ....................... 11
Gambar 6. Prediksi penurunan debit air sungai akibat penurunan hujan 10% pada tahun 2030 di tiga
skenario penggunaan lahan .................................................................................................. 14
Gambar 7. Prediksi Debit Sungai, Baseflow dan Quickflow Akibat Penuruhan Curah Hujan 10% pada
Tiga Skenario Penggunaan Lahan .......................................................................................... 15
Gambar 8. Prediksi Debit Sungai Akibat Penuruhan Curah Hujan 10% pada Tiga Skenario
Penggunaan Lahan Tahun 2015 dan 2030 .............................................................................. 15
Gambar 9. Neraca Air Tanah (NAT) Kabupaten Mojokerto bagian Selatan (IUWASH-USAID, 2012)
.......................................................................................................................................... 20
Gambar 10. Persentase Penurunan Debit Andalan Sungai Brangkal dan Sungai Bangsal (IUWASH-
USAID, 2012) ..................................................................................................................... 21
USAID/Indonesia Kajian Dampak Perubahan Iklim dan Tata Guna Lahan Terhadap Ketersedian Air di Kabupaten Mojokerto – Jawa Timur ix
DAFTAR TABEL Tabel 1. Jenis dan Sumber Data ...................................................................................................................... 6 Tabel 2. Luasan penggunaan lahan aktual (2016) di Kabupaten Mojokerto ...................................... 10 Tabel 3. Perubahan lusan tutupan lahan tahun 1996, 2001, 2006 dan 2016 ...................................... 11 Tabel 4. Luas Penggunaan Lahan Berdasarkan RTRW 2012-2030 Kabupaten Mojokerto ........... 12 Tabel 5. Luas Penggunaan Lahan Berdasarkan RTRW yang Disesuaikan ........................................... 12 Tabel 6. Luas Arahan Tutupan Lahan Atas Dasar DDL ......................................................................... 13 Tabel 7. Perbandingan Tutupan Lahan Aktual, dan Skenario BAU, RTRW dan DDL .................... 13 Tabel 8. Baseflow dan Quicflow Tahun 2015 dan 2030 pada Tiga Skenario Penggunaan Lahan
di Daerah Utara dan Selatan .......................................................................................................... 16 Tabel 9. Potensi ancaman kekeringan di Kabupaten Mojokerto tahun 1996, 2001, 2006 dan
2016 ..................................................................................................................................................... 16 Tabel 10. Luasan Ancaman Kekeringan pada Tiga Skenario Penggunaan Lahan............................... 17 Tabel 11. Luas Lahan yang Berpotensi Mengalami Ancaman Banjir di Kabupaten Mojokerto
tahun 1996, 2006, dan 2016 ......................................................................................................... 17 Tabel 12. Luas Ancaman Banjir Berdasarkan Skenario Tata Guna Lahan Aktual (2016),
BAU, RTRW, dan DDL ................................................................................................................. 18 Tabel 13. Ancaman Tanah Longsor di Kabupaten Mojokerto Tahun 1996, 2006, dan 2016 ....... 18 Tabel 14. Luas Ancaman Tanah Longsor Berdasarkan Skenario Tata Guna Lahan Aktual
(2016), BAU, RTRW dan DDL .................................................................................................... 18 Tabel 15. Risiko Kekeringan di Kabupaten Mojokerto tahun 1996, 2006 dan 2016 ...................... 22 Tabel 16. Luas Risiko Kekeringan Berdasarkan Tata Guna Lahan Aktual (2016), BAU,
RTRW dan tutupan lahan atas dasar DDL ................................................................................ 22 Tabel 17. Luasan Risiko banjir Tahun 1996, 2001 dan 2016 di Kabupaten Mojokerto .................. 23 Tabel 18. Luas Risiko Banjir Berdasarkan Tata Guna Lahan Aktual (2016), BAU, RTRW
dan tutupan lahan atas dasar DDL .............................................................................................. 23 Tabel 19. Luasan Risiko Longsor di Kabupaten Mojokerto tahun 1966, 2006 dan 2016 .............. 23 Tabel 20. Luas Risiko Longsor Berdasarkan Tata Guna Lahan Aktual (2016), BAU, RTRW
dan tutupan lahan atas dasar DDL .............................................................................................. 24
USAID/Indonesia Kajian Dampak Perubahan Iklim dan Tata Guna Lahan Terhadap Ketersedian Air di Kabupaten Mojokerto – Jawa Timur 1
1. PENDAHULUAN
1.1. Latar belakang
Perubahan iklim merupakan isu yang dihadapi oleh masyarakat dunia saat ini. Dampak perubahan iklim,
yang dipicu oleh kenaikan suhu sehingga mengakibatkan pergeseran pola curah hujan, dapat
menyebabkan perubahan frekuensi banjir atau kekeringan, ketersediaan air, dan fluktuasi debit air
musiman (Kovats et al., 2014; Vormoor et al., 2015; Bates et al., 2017). Perubahan tersebut dapat
berakibat buruk pada sektor pertanian, energi, transportasi, dan sektor sosial, yang bergantung pada
sumber daya air. Di Indonesia telah terjadi peningkatan rata-rata suhu tahunan sekitar 0.30C, penurunan
curah hujan sebesar 2% - 3%, perubahan pola curah hujan, dan perubahan musim hujan dimana musim
hujan meningkat di selatan Indonesia dan menurun di bagian utara (Hulme dan Sheard, 1999; Boer and
Faqih, 2004). Curah hujan tahunan di beberapa bagian di Indonesia mengalami penurunan dan
diproyeksikan akan terus menurun selama masa musim kemarau dan dapat menyebabkan kekeringan
berkepanjangan, sedangkan di wilayah lain diproyeksikan curah hujan meningkat namun kejadian
hujannya semakin sedikit sehingga dapat menyebabkan intensitas hujan yang tinggi dan selanjutnya dapat
menyebabkan banjir (Case et al., 2007). Wilayah Indonesia juga dipengaruhi oleh siklus El Nino Southren
Oscillation (ENSO) (ibid), yang diproyeksikan akan lebih sering terjadi (Tsonis et al., 2005). Selain
perubahan iklim, kekeringan, banjir dan tanah longsor juga dipengaruhi penurunan daya dukung lahan
akibat meningkatnya tekanan terhadap lahan (Rejekiningrum, 2014). Selama ini, pola pembangunan
nasional menunjukkan perubahan penggunaan lahan yang mengakibatkan hilangnya tutupan lahan hutan,
sehingga menurunkan daya dukung lingkungan yang selanjutnya meningkatkan terjadinya banjir dan
kekeringan, disertai bencana ikutan seperti longsor, dan berbagai gangguan kesehatan (Pawitan, 2014)
Salah satu wilayah di Indonesia yang berisiko mengalami kelangkaan air adalah Kabupaten Mojokerto,
Provinsi Jawa Timur, yang memiliki sumber air dari mata air-mata air di Daerah Aliran Sungai (DAS) di
Kabupaten Mojokerto. Variabilitas iklim dan perubahan penggunaan lahan atau tutupan lahan
merupakan dua faktor utama yang mempengaruhi hidrologi DAS, yang terkait dengan ketersediaan
sumber daya air dan keberlanjutan ekosistem lokal (Chen et al., 2012, Molina-Navarro et al., 2014;
Wang et al., 2014; Zhang et al., 2016). Variabilitas iklim juga membawa perubahan yang berbeda pada
rezim hidrologi dan mempengaruhi pola spasial dan temporal sumber daya air di suatu wilayah (Khoi
and Suetsugi, 2014). Perubahan penggunaan lahan, yang sebagian besar disebabkan oleh aktivitas
manusia, mempengaruhi proses hidrologi seperti evapotranspirasi, intersepsi dan infiltrasi, yang
menghasilkan perubahan aliran permukaan dan bawah permukaan tanah (Wang et al., 2014; Niraula et
al., 2015). Di Kabupaten Mojokerto, laju pertumbuhan penduduk yang relatif tinggi mengakibatkan
meningkatnya alih fungsi lahan untuk memenuhi kebutuhan pemukiman dan pengembangan industri,
serta meningkatkan kebutuhan air. Penggunaan dan tingkat kebutuhan air didorong oleh laju
pertumbuhan penduduk, konsumsi makanan, kebijakan ekonomi (termasuk harga air), teknologi, gaya
hidup, dan pandangan masyarakat tentang nilai ekosistem air tawar (IPCC, 2013). Oleh karena itu,
selain oleh perubahan iklim, ketersediaan dan fungsi air dipengaruhi faktor oleh non-iklim.
Badan Pusat Penanggulangan Bencana (BPBD) Kabupaten Mojokerto (2014) menyatakan bahwa
ancaman sumberdaya air diantaranya meliputi banjir, tanah longsor, dan kekeringan. Kekeringan sering
terjadi di wilayah utara Kabupaten Mojokerto, banjir sering terjadi di daerah hilir bagian selatan,
sedangkan longsor di daerah hulu bagian selatan. Berdasarkan analisis neraca air yang dilakukan Bapeda
Jatim (2010), sumberdaya air di Kabupaten Mojokerto saat ini diperdiksi masih surplus, dimana potensi
air permukaan dan air tanah sekitar 1.291, 11 juta m3, sedangkan kebutuhan air untuk pertanian sebesar
348,48 juta m3, industri sebesar 6.31 juta m3 dan kebutuhan air domestik sebesar 156,36 juta m3
sehingga total kebutuhan sebesar 511.15 juta m3 atau 39.59% dari air yang tersedia. Namun, PT Indra
Karya (2010) memprediksi bahwa Kabupaten Mojokerto mengalami kekurangan suplai air untuk
memenuhi kebutuhan domestik dan industri yang pada saat ini sekitar 0.14 m3/dtk dan diproyeksikan
akan terus meningkat, sehingga pada tahun 2030 menjadi 0.73 m3/dtk.
Analisis tersebut sejalan dengan penelitian IUWASH-USAID tahun 2012 dimana pada tahun tersebut
terjadi peningkatan kebutuhan air bersih di Kabupaten Mojokerto. Peningkatan ini dipengaruhi oleh
USAID/Indonesia Kajian Dampak Perubahan Iklim dan Tata Guna Lahan Terhadap Ketersedian Air di Kabupaten Mojokerto – Jawa Timur 2
tingginya tingkat pertumbuhan penduduk yang saat itu mencapai 1.2%. Namun demikian, ketersediaan
air di PDAM pada saat itu hanya dapat memenuhinya sampai pertengahan tahun meskipun curah hujan
tahunan tergolong tinggi yaitu sekitar 2500 – 3000 mm, kecuali di bagian utara Mojokerto. Untuk
menutupi kekurangan air tersebut, digunakan sumber air dangkal dan sumur bor. Namun, meskipun
kebutuhan air bersih masih terpenuhi, perubahan curah hujan dan suhu akan mempengaruhi penyediaan
air bersih oleh PDAM. Penelitian tersebut juga memprediksi penurunan curah hujan sekitar 11% dan
peningkatan suhu udara sekitar 0.20C per dekade (IUWASH-USAID, 2012). Perubahan suhu dan curah
hujan tersebut dapat menurunkan volume air hujan yang terinfiltrasi dan merusak infrastruktur PDAM
akibat longsor dan banjir.
Berdasarkan kondisi tersebut, kajian ini dilakukan untuk menganalisis dampak perubahan iklim dan
tutupan lahan terhadap kondisi hidrologi dan tata air di Kabupaten Mojokerto. Kajian difokuskan pada
isu kelangkaan air, banjir dan tanah longsor yang dinyatakan sebagai bentuk ganggungan, kerentanan
dan risiko (kekeringan, banjir dan longsor) yang digunakan untuk mengidentifikasi strategi adaptasi.
Sementara itu, strategi adaptasi disusun berdasarkan pendekatan dan informasi dari multi pihak yang
terdiri dari masyarakat lokal, pemerintah, dan peneliti.
1.2. Pertanyaan Penelitan
Untuk mencapai tujuan kajian, USAID-Indonesia, APIK, dan MESP menetapkan tiga pertanyaan besar
sebagai acuan dalam kajian ini, yaitu:
1. Seberapa jauh faktor iklim mempengaruhi kondisi sumber daya air?
2. Bagaimana perubahan tutupan lahan dapat dipergunakan sebagai langkah adaptasi perubahan
iklim terkait dampaknya terhadap kondisi sumber daya air?
3. Bagaimana strategi adaptasi masyarakat dan pembuat kebijakan saat ini terkait dampak
perubahan iklim terhadap kondisi sumberdaya air?
1.3. Tujuan Penelitian
Kajian ini bertujuan untuk memberikan informasi berbasis akademis mengenai pengaruh variabel iklim
terhadap ketersediaan air di Mojokerto. Kajian ini juga berupaya untuk melihat faktor-faktor diluar
iklim terhadap ketersediaan air guna merumuskan strategi adaptasi yang tepat. Keluaran yang
diharapkan dari kajian ini adalah:
1. Dampak faktor iklim dan non iklim terhadap ketersediaan air
2. Strategi adaptasi terhadap ketersediaan air
Kajian diharapkan memberikan manfaat bagi masyarakat dan pemerintah setempat melalui masukan
alternatif teknologi adaptif terutama dalam hal management tutupan lahan sebagai solusi permasalahan
sumberdaya air atas dampak dari fenomena perubahan iklim. Di sisi lain, hasil kajian diharapkan dapat
menjadi masukan bagi program USAID-Indonesia Adaptasi Perubahan Iklim dan Ketangguhan (APIK)
untuk meningkatkan kapasitas masyarakat dan pemerintah dalam menyusun strategi adaptasi dampak
perubahan iklim terhadap ketersediaan air di Kabupaten Mojokerto.
2. KAJIAN LITERATUR
Tekanan terhadap kondisi sumberdaya air dan pengelolaannya dipengaruhi oleh permasalahan yang
kompleks yang dipengaruhi oleh faktor iklim dan non iklim. Perubahan iklim hanya merupakan salah
satu faktor (Gleick, 1998). Untuk mengkaji dampak perubahan iklim, digunakan pendekatan yang
dikembangkan oleh Arnell (1999) yang memasukkan baik faktor iklim dan non-iklim dalam tekanan
terhadap kondisi sumber daya air. Tekanan terhadap sumberdaya air dipengaruhi oleh tekanan terhadap
peyediaan (supply-side pressure) dan tekanan terhadap permintaan (demand-side pressure) (ibid.).
Perubahan iklim merupakan salah satu supply-side pressure bagi kondisi sumberdaya air melalui
mekanisme penurunan dan peningkatan jumlah ketersediaan air. Namun demikian, perubahan iklim
USAID/Indonesia Kajian Dampak Perubahan Iklim dan Tata Guna Lahan Terhadap Ketersedian Air di Kabupaten Mojokerto – Jawa Timur 3
tidak bekerja sendiri untuk menjadi supply-side pressure bagi sumberdaya air, kerusakan lingkungan juga
berperan cukup besar. Tanah longsor dan erosi menjadi salah satu sumber yang mengurangi fungsi
ketersediaan air melalui pencemaran bahan sedimen selain bahan kimia. Demand-side pressure terdiri
dari pertumbuhan dan konsentrasi atau penyebaran penduduk yang mendorong permintaan kebutuhan
air domestik, industri dan pertanian khususnya untuk irigasi. Dalam hal ini dikatakan bahwa perubahan
iklim mempunyai dua sisi dimana dapat berpengaruh baik pada supply-side maupun demand-side pressure.
2.1. Supply-side Pressure Factor
Penurunan dan peningkatan ketersediaan air yang disebabkan oleh perubahan iklim dipicu oleh
pemanasan global. Pemanasan global sering diartikan sebagai pemanasan permukaan bumi karena
pengaruh aktivitas manusia. Dampak yang disebabkan oleh pemanasan global berasal dari adanya
gangguan aliran energi dari sistem iklim dengan berubahnya komposisi atmosfer dan khususnya karena
adanya efek rumah kaca. Salah satu konsekuensi dari pemanasan global adalah naiknya suhu yang
menyebabkan semakin tingginya evaporasi baik di atas permukaan lahan maupun air. Evaporasi sebagai
salah satu komponen dalam siklus hidrologi, jika mengalami perubahan akan memberikan dampak
terhadap kondisi hidrologi dan sumberdaya air. Dilaporkan bahwa perubahan yang terjadi terkait
kondisi iklim yang tidak seimbang menyebabkan residu energy sebesar 0.6% pada akhir tahun 2000 yang
kemudian diserap dan menyebabkan pemanasan lautan, mencairkan es dan menyebabkan perubahan
iklim. Kondisi tersebut menjadikan bumi berada pada ketidakseimbangan energi yang berdampak pada
terganggunnya siklus air atau hidrologi (Trenberth, 2011).
Perubahan iklim juga dipicu oleh perubahan penutupan lahan. Perubahan penutupan lahan dalam hal ini
termasuk lahan pertanian, penggundulan hutan (deforestation), penghutanan kembali (afforestation) dan
pembentukan gurun (desertification) dan urbanisasi. Tipe penutupan lahan yang berbeda (tanaman
pohon, semusim, daerah pertanian tadah hujan dan daerah irigasi) dikatakan dapat mempengaruhi
variabel-variabel iklim seperti radiasi, proporsi cahaya yang diterima oleh permukaan bumi, panas laten,
suhu permukaan bumi, kelembaban dan lain sebagainya (Mahmood et al., 2014). Allard and Carleton
(2010) juga menyatakan bahwa pengurangan tinggi kanopi pohon telah mengurangi tingkat kekasaran
aerodinamik yang berperangaruh diantaranya pada tingkat kelembaban dan suhu serta pembentukan
awan. Keberadaan awan dalam hal ini sangat menentukan tingkat presipitasi yang berdampak pada
kondisi hidrologi atau sumberdaya air. Dari sisi iklim, tidak dapat dipungkiri bahwa perubahan tata guna
lahan mempunyai peran penting terhadap ketesediaan air. Menurut Kochendorfer and Hubbart (2010),
perubahan tutupan dan penggunaan lahan serta perubahan iklim merupakan dua faktor utama yang
mendorong terjadinya perubahan aliran dasar baseflow. Baseflow merupakan aliran air permukaan
(stream flow) sebagai hasil dari presipitasi yang masuk ke dalam tanah melalui proses infiltrasi (National
Oceanic and Atmospheric Administration, 2012).
Tekanan dan permasalahan sumberdaya air merupakan hal yang kompleks, sehingga selain faktor iklim,
kondisi sumberdaya air juga dipengaruhi oleh faktor lain semisal kondisi tanah. Dalam hal ini, sifat fisik
tanah berperan penting dalam partisi atau pembagian air hujan yang jatuh di atas permukaan lahan. Di
sisi lain, sifat fisik tanah pun sangat ditentukan oleh penutupan lahan yang ada di atasnya, sehingga ada
hubungan dua arah antara penggunaan lahan dan sifat fisik tanah dalam menentukan ketersediaan
sumberdaya air. Islam (2000) menyatakan bahwa perubahan penggunaan lahan secara signifikan
menurunkan porositas total tanah dan kemantapan agregat, serta meningkatkan kepadatan permukaan
tanah. Kualitas tanah memburuk pada kondisi diolah dengan penurunan sebesar -44%, sementara itu
pada tanah yang ditanami kembali (revegetation) terjadi peningkatan kualitas tanah antara 6-16%. Hal
yang sama dikemukakan oleh Celik (2005) yang menemukan adanya perubahan yang signifikan terhadap
kepadatan tanah pada beberapa tutupan lahan dimana lahan-lahan dengan penutupan yang minimal atau
diolah mempunyai nilai kepadatan tanah yang lebih tinggi dibandingkan penutupan lahan lainnya seperti
padang rumput dan hutan. Kepadatan tanah berkaitan erat dengan seberapa besar streamflow dapat
terinfiltrasi menjadi baseflow sehingga membantu meningkatkan ketersediaan air bawah tanah. Neris et
al. (2012) melakukan penelitian pada berbagai tutupan lahan (tanaman semusim, hutan pinus dan hutan
alami) pada tanah Andisol dan menemukan bahwa tingkat infiltrasi tertinggi berturut-turut berada pada
tutupan lahan hutan alami (796 mmh-1), hutan pinus (188 mmh-1) dan tanaman semusim (67 mmh-1).
USAID/Indonesia Kajian Dampak Perubahan Iklim dan Tata Guna Lahan Terhadap Ketersedian Air di Kabupaten Mojokerto – Jawa Timur 4
Agregasi tanah, kemantapan agregat, kandungan bahan organik dan kepadatan tanah dikatakan sebagai
fakor penentu tingkat infiltrasi pada berbagai tutupan lahan tersebut.
Perubahan kondisi fisika tanah akibat perubahan tutupan lahan mempengaruhi tata air DAS. Appolonio
et al. (2016) menyatakan adanya korelasi yang baik antara luas daerah banjir dan perubahan penggunaan
lahan dari hutan menjadi lahan kosong. Widianto et al. (2008) menyatakan bahwa rasio debit musim
kemarau dan penghujan di DAS Sumber Brantas mengalami penurunan seiring dengan penuruanan luas
hutan sebanyak 74% karena terjadinya perubahan tutupan lahan menjadi lahan pertanian dan
penggunaan yang lain antara tahun 1989 sampai dengan 2006. Penurunan rasio debit musim kemarau
dan penghujan mengindikasikan adanya kelangkaan air pada musim kemarau dan kelebihan air pada
musim hujan. Konversi lahan hutan menjadi lahan pertanian yang disebabkan oleh aktivitas manusia
memuncukan kerusakan lahan yang dilaporkan oleh Huang et al, (2015) telah meningkatkan hasil
sedimen pada skala daerah aliran sungai yang bersumber dari proses erosi di lokasi penelitian yang
mereka lakukan. Studi tentang pengaruh penutupan lahan dan perubahan iklim juga telah dilakukan oleh
Mwangi et al. (2016) yang menyatakan bahwa penutupan lahan memberikan kontribusi sebesar 97.5%
terhadap perubahan debit sungai sementara sisanya sebesar 2.5% dipengaruhi oleh perubahan iklim
dalam hal ini adalah perubahan curah hujan dan evapotranspirasi.
2.2. Demand-side Pressure Factor
Tekanan ketersediaan air oleh faktor permintaan air telah disebutkan sebelumnya dikarenakan
pertambahan jumlah penduduk serta penyebarannya yang mendorong peningkatan kebutuhan air
domestik (rumah tangga), industri dan irigasi. Tekanan dari pertumbuhan penduduk, produksi
pertanian, dan pertumbuhan ekonomi merupakan faktor pendorong yang kuat bagi risiko terjadinya
konfilk penggunaan air, yang dipresentasikan dari keragaman iklim yang saat ini terjadi (Bohmelt et al.,
2014). Studi yang dilakukan oleh Claessens et al. (2006) menyebutkan bahwa urbanisasi disamping
faktor iklim menyebabkan meningkatknya permintaan masyarakat terhadap ketersediaan air. Hussain
et al. (2011) melakukan studi tentang supply, demand dan proyeksi kebutuhan air pada skala daerah
aliran sungai dan menemukan bahwa kelangkaan air semakin meningkat. Strategi pengelolaan
sumberdaya air perlu dikembangkan melalui penggunaan metode irigasi dengan efisiensi yang tinggi.
Peningkatan luas lahan teririgasi dikatakan oleh Surendran et al. (2015) meningkatkan defisit air pada
keseluruhan alokasi air pada lokasi yang diteliti. Hal ini sejalan dengan apa yang ditemukan oleh Pierleoni
et al. (2014) yang menyatakan bahwa penggunaan model untuk simulasi ketersediaan air menunjukkan
adanya defisit air pada skala mingguan di lokasi penelitian. Stategi manajemen pengelolaan sumberdaya
air yang lebih konprehensif dan efisien perlu dikembangkan untuk mencukupi kebutuhan air dengan
berbagai macam alternatif penyelesaian permasalahan. McDonald et al. (2014) menyatakan bahwa
penggunaan air tersedia harus lebih diefisienkan melalui pengurangan kebocoran sistem air di
pemukiman, meningkatkan penggunaan dari air daur ulang dan meningkatkan efisiensi irigasi. Selain
untuk memenuhi permintaan air, pengelolaan sumberdaya air yang efisien diharapkan dapat mengurangi
risiko konflik penggunaan air.
3. METODOLOGI
3.1. Lokasi Kajian
Kajian dilaksanakan di seluruh wilayah Kabupaten Mojokerto dengan total luas area 994,8 km2.
Kabupaten Mojokerto terdiri dari 18 Kecamatan dan 304 desa (Lampiran 1) dan terbagi menjadi 32
DAS. Kabupaten Mojokerto yang terletak antara 1110 20’ 13’’ sampai 1110 40’ 47’’ Bujur Timur dan
antara 70 18’ 35’’ sampai 70 18’ 47’’ Lintang Selatan. Kabupaten ini berjarak sekitar 46 Km dari ibu
kota Porvinsi Jawa Timur. Secara geografis, wilayah ini berbatasan dengan Kabupaten Jombang di
sebelah barat, Kabupaten Lamongan dan Gresik di sebelah utara, Kabupaten Sidoarjo dan Pasuruan di
sebelah timur dan Kabupaten Malang di sebelah selatan. Wilayah Kabupaten Mojokerto terbagi menjadi
dua wilayah yang berbeda karakteristik geologinya, dimana di bagian utara merupakan wilayah
perbukitan kapur dengan tingkat kesuburan tanah relatif kurang subur, dan di bagian selatan merupakan
USAID/Indonesia Kajian Dampak Perubahan Iklim dan Tata Guna Lahan Terhadap Ketersedian Air di Kabupaten Mojokerto – Jawa Timur 5
daerah vulkanik yang subur. Ketinggian daerah-daerah yang berada di wilayah kabupaten ini berkisar
pada 500 m dpl, dengan lokasi tertinggi terletak di daerah pegunungan dengan ketinggian lebih dari 700
m dpl. Sekitar 30% dari seluruh wilayah Mojokerto kemiringan tanahnya lebih dari 15o, sedangkan
sisanya merupakan wilayah dataran dengan tingkat kemiringan lahan kurang dari 15o. Letak ketinggian
kecamatan-kecamatan di wilayah Mojokerto rata-rata berada di bawah 600 m dari permukaan laut,
kecamatan yang memiliki ketinggian tertinggi adalah Kecamatan Trawas.
3.2. Kerangka Analisis dan limitasi
Kajian ini dilakukan dengan kerangka kerja tingkat ancaman dan tingkat kerentanan perubahan iklim
dan perubahan tutupan lahan (Gambar 1 dan Lampiran 2). Tingkat ancaman dan kerentanan diketahui
dengan melakukan GIS untuk menetapkan baik baseline maupun proyeksi risiko perubahan iklim dan
perubahan tutupan lahan. Hasil analis risiko ini digunakan untuk analis penetapan strategi dan kebijakan
serta tindakan adaptasi yang dipandang perlu untuk mengantisipasi perubahan iklim dan tutupan lahan.
Sesuai dengan isu strategis terkait kondisi sumberdaya air di wilayah studi, maka analisis ancaman,
kerentanan dan risiko dilakukan terhadap kelangkaan air (kekeringan), banjir dan tanah longsor.
Gambar 1. Kerangka Kerja Dampak Perubahan Iklim dan Tutupan Lahan Terhadap Ketersediaan Air di
Mojokerto
Catatan: stimulan tingkat Ancaman (H) adalah Landuse dan keragaman curah hujan, serta risiko (R), dan Kerentanan
(V); dimodifikasi dari Abdurrahman et al., 2012.
Dalam kajian ini diterapkan beberapa asumsi dan penyederhanaan masalah. Terdapat dua asumsi, yaitu
iklim driven dan non-iklim driven. Driver iklim yang paling dominan untuk ketersediaan air adalah curah
hujan, suhu, dan evapotranspirasi (IPCC, 2013). Curah hujan yang dimaksud adalah data curah hujan
bulanan atau harian apabila data bulanan tidak tersedia. Stimulan suhu, perubahan evaporasi, kecepatan
angin, radiasi matahari diasumsikan mempengaruhi pola hujan yang menentukan kondisi ketersediaan
air masa depan di Kabupaten Mojokerto. Dampak kenaikan permukaan air laut tidak dipertimbangkan
karena Kabupaten Mojokerto tidak memiliki pantai. Terkait non-iklim driven, diasumsikan bahwa
sumber daya air, baik secara kuantitas maupun kualitas, dipengaruhi oleh perubahan penggunaan lahan
atau perubahan tutupan lahan, konstruksi dan pengelolaan waduk, emisi polutan, dan pengolahan air
dan pengelolaan air limbah. Selain itu, penggunaan air didorong oleh perubahan populasi, konsumsi
makanan, kebijakan ekonomi (termasuk penetapan harga air), teknologi, gaya hidup, dan pandangan
masyarakat terhadap nilai ekosistem air tawar. Asumsi non-iklim driven lainnya adalah:
1. Kepadatan penduduk
Populasi rumah tangga diperoleh berdasarkan asumsi bahwa populasi masing-masing rumah
tangga sama di setiap desa, serta rumah sebagai tempat tinggal penduduk adalah bangunan
dengan luas kurang dari 500 m2. Untuk proyeksi ke tahun 2030, diasumsikan bahwa distribusi
penduduk mengikuti perencanaan pembangunan daerah yang dituangkan dalam Rencana Tata
USAID/Indonesia Kajian Dampak Perubahan Iklim dan Tata Guna Lahan Terhadap Ketersedian Air di Kabupaten Mojokerto – Jawa Timur 6
Ruang Wilayah (RTRW) Kabupaten Mojokerto. Perkembangan pembangunan juga
diindikasikan dengan perencanaan jalan dan perencanaan permukiman masyarakat. Asumsi
pembangunan dilakukan atas dasar: 1) Pertumbuhan penduduk hanya terjadi di daerah
perencanaan pemukiman; 2) Keberadaan jalan menunjukkan bahwa permukiman siap
dikembangkan; dan 3) tingkat pertumbuhan penduduk diproyeksikan atas data kepadatan
penduduk saat ini.
2. Penggunaan lahan
Penggunaan lahan saat ini sebagai baseline didasarkan pada penggunaan lahan tahun 2016 dari
citra satelit. Sementara itu, kondisi penggunaan lahan 2030 diambil dari Perencanaan Tata
Ruang 2030 dari BAPPEDA Kabupaten Mojokerto.
3. Peran infrastruktur
Kondisi infrastruktur masa depan sulit diproyeksikan, namun dapat diasumsikan berdasarkan
RTRW 2012-2030. Kelas infrastruktur diseragamkan dengan menggunakan jenis infrastruktur
dalam RTRW tersebut.
4. Kebutuhan air
Kebutuhan air di dari dua komponen, yaitu kebutuhan penduduk atau kebutuhan air domestik
dan kebutuhan air non-domestik. Berdasarkan standar WHO, kebutuhan air domestik adalah
kebutuhan air 150 liter / orang / hari dan non-domestik sekitar 9.000-14.000 m3/tahun/ha
(FAO). Kebutuhan air non-domestik terbagi menjadi kebutuhan untuk pertanian dan
perkebunan, tetapi sulit untuk memprediksi kebutuhan air pada tahun 2030 karena, antara lain,
kesulitan dalam menetapkan proyeksi industri masa depan yang dibangun di Kabupaten
Mojokerto. Alternatifnya, digunakan RTRW 2012-2030 di Kabupaten Mojokerto sebagai
acuan.
5. Sumber air
Ada enam sumber air utama yang digunakan oleh penduduk di Kabupaten Mojokerto: 1) air
kemasan / botol air (dari perusahaan air minum kemasan), 2) air ledeng dari PDAM atau
HIPAM, 3) sumur galian, 4) mata ir, 5) sungai / danau, 6) air hujan (Survei Potensi Desa, 2008).
Sumberdaya air di wilayah Kabupaten Mojokerto didominasi oleh mata air di daerah hulu dan
air bawah tanah di daerah dataran dan kawasan perbukitan kapur.
6. Kesejahteraan penduduk
Kesejahteraan sosial hanya dilihat dari dua sisi, jenis rumah dan pendapatan masyarakat.
Dengan asumsi ini, kesejahteraan sosial dapat dihitung secara temporer (kondisi awal dan
proyeksi) dan ditarik secara spasial. Saat ini, jenis rumah dan pendapatan masyarakat didasarkan
pada data yang ada. Namun dalam proyeksi, kesejahteraan sosial tidak dipertimbangkan karena
program pemerintah diasumsikan memiliki kinerja yang maksimal.
3.3. Data dan Metode Analisis
Analisis ancaman baik terhadap kekeringan, banjir dan tanah longsor dilakukan dengan menganalisis
potensi ancaman iklim dan potensi ancaman fisik. Potensi ancaman iklim dianalisis melalui proyeksi
kondisi iklim sampai dengan tahun 2030 yang diprediksi berpengaruh terhadap tingkat kekeringan,
banjir dan longsor. Sementara itu, potensi ancaman fisik dianalisis melalui perubahan tutupan lahan.
Data yang diperlukan untuk melakukan analisis ancaman disajikan pada Tabel 1 dan Lampiran 3.
Tabel 1. Jenis dan Sumber Data
No Data Sumber data Kegunaan
1 Curah hujan harian Dinas Pengairan, PJT-I, BMKG
Karangploso
Hazard/Kerentanan Banjir,
Longsor dan Kekeringan
2 Debit sungai PSAWS Buntung Peketingan Rasional formula, GenRive
3 Penggunaan Lahan Citra Landsat 1996, 2001, 2006, 2016 Perubahan penggunaan lahan
USAID/Indonesia Kajian Dampak Perubahan Iklim dan Tata Guna Lahan Terhadap Ketersedian Air di Kabupaten Mojokerto – Jawa Timur 7
No Data Sumber data Kegunaan
4 Geologi /Geomorfologi
Peta geomorfolgi, DEM Landsystem, morfometri DAS
5 Jenis Tanah Peta jenis tanah GenRiver
6 Mata air / sumber air
Survei dan data sekunder DAS Brantas Ketersediaan air
3.3.1. Ancaman, Kerentanan dan Risiko Kekeringan
Data yang digunakan untuk menyusun peta ancaman kekeringan terdiri dari 3 indikator yaitu indikator
iklim dan lingkungan, tanah dan kerapatan vegetasi. Indikator iklim meliputi suhu dan curah hujan;
indikator tanah didapatkan dari bahan induk (peta geologi 1:100.000), bahan kasar, kelerengan (DEM
SRTM 30 m), kelas kedalaman tanah, drainase, tekstur dan bahan organik. Sedangkan parameter
terakhir adalah Indeks Kerapatan Vegetasi yang diolah dengan PCI Geomatica 10 menggunakan Citra
Landsat 8 OLI 30 m pada band 4 dan band 5.
Kerentanan kekeringan memerlukan data penggunaan lahan pada masing-masing tahun pengambilan
citra (1996, 2001, 2006, dan 2016), RTRW, Kelas Kemampuan Lahan (KKL) dan peta jarak lahan dari
sungai, untuk menganalisis kerentanan kekeringan. Peta kerentanan kekeringan kemudian ditampalkan
dengan skoring kebutuhan air dan peta ancaman kekeringan untuk memperoleh peta risiko kekeringan.
3.3.2. Ancaman, Kerentanan dan Risiko Banjir
Garis besar tahapan spasial untuk banjir terdiri dari beberapa langkah kerja antara lain ancaman
(Hazard) banjir, kerentanan (Vulnerability) banjir dan Capacity yang kemudian digunakan untuk menyusun
risiko banjir. Langkah tersebut mengacu pada penghitungan debit puncak aliran permukaan (Q max)
pada berbagai skenario penggunaan lahan menggunakan Metode Persamaan Rasional (Wicaksono et.
al. 2009). Metode Persamaan Rasional ialah Q = k.C.I.A.
Analisis banjir dilakukan menggunakan ArcGIS 10 dengan input Citra Landsat 8 OLI tahun 1996, 2001,
2006, 2016 di menggunakan unsupervised classification menggunakan PCI Geomatica 10 yang telah
melalui proses stacking dan koreksi radiometrik. Selanjutnya konversi ke dalam Tiff agar bisa diolah
menggunakan Arc GIS yang selanjutnya diberi skor didalamnya. Nilai I didapatkan dari kriging nilai
infiltrasi pada peta berskala kecil, slope (3D analyst) yang kemudian ditampalkan untuk mendapatkan
koefisien aliran (C). Curah hujan didapatkan dari interpolasi IDW (Inverse Distance Weight)
menggunakan beberapa stasiun curah hujan (tahun 1996, 2001, 2006 dan 2016).
3.3.3. Ancaman, Kerentanan dan Risiko Longsor
Pemahaman longsor di kawasan Kabupaten Mojokerto perlu dikaji secara menyeluruh dan
mempertimbangkan seluruh aspek yang memicu dan memberikan kontribusi terhadap proses tersebut
di alam. Hal ini dapat dilakukan dengan memanfaatkan model yang mampu memahami kondisi aktual di
lapangan untuk mensimulasikan dalam bentuk diagram alur yang jelas dan memberikan hasil yang cukup
akurat. Salah satu metode spasial yang akan dipergunakan dalam penelitian ini menggunakan ArcGIS
10. Sama dengan banjir, tahapan analisis spasial longsor dilakukan melalui Ancaman (Hazard),
kerentanan (Vulnerability) dan Capacity yang kemudian digunakan untuk menyusun Risk atau Risiko
longsor.
3.3.4. Analisis Neraca Air dengan Model Genriver dan Deliniasi Sub-DAS
Model GenRiver dipergunakan secara terpisah untuk memprediksi kondisi neraca air pada proyeksi
perubahan iklim (penurunan hujan 10%) dan perubahan penggunaan lahan serta skenario penggunaan
yang telah ditetapkan. Skenario penggunaan lahan yang dipergunakan adalah penggunaan lahan tahun
2016 (BAU-Bussiness as Ussual), RTRW Kabupaten Mojokerto 2012-2030, dan penggunaan lahan
berdasarkan arahan kemampuan lahan yang di berdasarkan Daya Dukung Lahan (DDL). Genriver
merupakan model yang dikembangkan berdasarkan preses hidrologi yang terjadi dalam level plot yang
kemudian dikembangkan dalam level catchment, berdasarkan pada perhitungan-perhitungan empiris.
USAID/Indonesia Kajian Dampak Perubahan Iklim dan Tata Guna Lahan Terhadap Ketersedian Air di Kabupaten Mojokerto – Jawa Timur 8
Model ini dapat dipergunakan sebagai alat untuk memahami perubahan karakteristik aliran sungai
terhadap perubahan penggunaan lahan yang terjadi pada tingkat plot, subcatchment dan catchment. Inti
dari model ini adalah kondisi water balance pada level plot yang dipengaruhi oleh curah hujan, tipe
penutupan lahan dan sifat-sifat tanahnya. Pada level plot ini akan terjadi proses-proses aliran air seperti
aliran permukaan sesaat setelah terjadinya hujan (surface quick flow), aliran air dalam tanah (soil quick
flow) sehari setelah terjadinya hujan dan aliran air dari groundwater stock (base flow) yang dilepaskan
perlahan ke saluran-saluran drainase.
Neraca air di wilayah studi dianalisis dalam lingkup subdas, sehingga diperlukan data luas DAS, panjang
sungai dan data morfometri DAS lainnya. Oleh karenanya, dilakukan deliniasi subdas. Deleniasi subdas
ditujukan untuk membatasi bagian-bagian DAS pada level yang luasannya lebih kecil. Pembatasan wilayah
DAS sampai pada tingkat subdas diharapkan dapat memberikan informasi neraca air pada level subdas.
DAS secara fisik dibatasi oleh topografi yang berasal dari hulu (titik outlet) tertentu hingga hilir. Saat
ini, membatasi DAS atau sub-DAS dilakukan dengan berbagai software seperti ArcGIS dengan ekstensi
khususnya ArcHydro. Data yang dibutuhkan adalah Digital Elevation Model (DEM) 30 m di Kabupaten
Mojokerto.
3.3.5. Normalized Difference Vegetation Index (NDVI)
Analisis ini dilakukan sebagai rangkaian tutupan lahan dengan menggunakan Citra satelit yang telah
ditentukan. Normalized Difference Vegetation Index (NDVI) adalah suatu indikator numerik yang
menggunakan visible dan near-infrared untuk meng keberadaan warna hijau daun. Pada penelitian ini
NDVI digunakan untuk melihat tingkat kerapatan vegetasi suatu tempat yang diindikasi dengan nilai 1
hingga -1. Semakin mendekati angka 1, tingkat kerapatan semakin tinggi. NDVI ini menggunakan bahan
citra landsat 8 OLI dengan resolusi 30 m. Citra diproses menggunakan PCI Geomatica 10 dan ArcGIS
10 untuk mendapatkan nilai numerik dari perhitungan indeks vegetasi.
4. HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1. Perubahan Variabel Iklim
Berdasarkan analisis data iklim periode 1996-2004 dari Stasiun Mojosari, terjadi peningkatan suhu
bulanan rata-rata sebesar 0,30C (Gambar 2), yang disertai penurunan curah hujan di Kabupaten
Mojokerto. Berdasarkan data tersebut, BMKG memperkirakan penurunan curah hujan sebesar 10%
pada periode 2075-2099. Sementara itu, analisis data dari Stasiun Pacet menunjukkan penurunan curah
hujan tahunan 11%, sedangkan rata-rata hujan tahunan turun dari 2995 mm pada periode 1941-1980
menjadi 2381 di periode 1987-2011 (Gambar 3). Namun, penurunan curah hujan ini diikuti dengan
meningkatnya kejadian hujan ekstrim (Gambar 4). Penurunan curah hujan dapat menurunkan
ketersediaan air, sedangkan peningkatan hujan ekstrim dapat meningkatkan kejadian banjir dan longsor.
USAID/Indonesia Kajian Dampak Perubahan Iklim dan Tata Guna Lahan Terhadap Ketersedian Air di Kabupaten Mojokerto – Jawa Timur 9
Gambar 2. Tren Temperatur Tahunan di Stasiun Klimatologi Mojosari, Kabupaten Mojokerto
Gambar 3. Perbandingan Rata-Rata Curah Hujan di Stasiun Pacet Kabupaten Mojokerto antara tahun 1890 -
1941 dengan Tahun 1987 – 2011
USAID/Indonesia Kajian Dampak Perubahan Iklim dan Tata Guna Lahan Terhadap Ketersedian Air di Kabupaten Mojokerto – Jawa Timur 10
Gambar 4. Jumlah Kejadian Hujan Ekstrim (> 100 mm hari-1) di Beberapa Stasiun Hujan di Kabupaten
Mojokerto
4.2. Skenario Tutupan Lahan
Untuk mengetahui dampak perubahan iklim dan tata guna lahan, kajian ini menganalisis ketersediaan air
pada tiga skenario yaitu penggunaan lahan tahun 2030 berdasarkan BAU, RTRW dan KKL. Skenario
BAU di susun berdasarkan penggunaan lahan aktual tahun 1996-2016. Skenario RTRW disusun
berdasarkan RTRW Kabupaten Mojokerto 2012-2030. Sementara skenario KKL disusun berdasarkan
parameter DDL yang dikembangkan oleh J.H. Stallings (1957). Ketiga skenario ini juga digunakan untuk
menganalisis ancaman kekeringan, banjir dan longsor pada masing-masing skenario penggunaan lahan.
4.2.1. Penggunaan Lahan Tahun 1996 - 2016
Citra Landsat 8 OLI tahun 1996, 2001, 2006 dan 2016 dipergunakan sebagai dasar penentuan
perubahan penggunaan lahan di wilayah studi. Analisis penggunaan lahan pada citra terbaru (2016)
digunakan sebagai kondisi penggunaan lahan saat ini. Dalam penentuan tipe penggunaan lahan, dilakukan
verifikasi lapangan di 22 titik pengamatan dengan pembagian berdasarkan lokasi sub-DAS, jenis tanah
dan hasil interpretasi citra Satelit Landsat 8 OLI. Tutupan lahan terbagi menjadi tujuh kategori yaitu
hutan alami, hutan produksi, kebun campuran/agroforestri, pemukiman, sawah, tegalan dan tubuh air
(Lampiran 4 dan Tabel 2). Tingkat akurasi analisis penggunaan lahan terhadap citra satelit yang
dibandingkan dengan kondisi aktual dilapangan mencapai nilai 77,27%. Hal ini berarti bahwa analisis
penentuan penggunaan lahan yang dilakukan di laboratorium telah sesuai dengan kondisi lapangan
dengan tingkat ketepatan sebesar 77,27% dan kesalahan sebesar 22,73%.
Tabel 1. Luasan penggunaan lahan aktual (2016) di Kabupaten Mojokerto
Penggunaan Lahan tahun 2016 Luas (Ha)
Hutan alami 23.115
Hutan Produksi 3.285
Kebun campuran / Agroforestri 3.679
Pemukiman 14.356
Sawah 44.663
Tegalan 13.247
Tubuh Air 420
Grand Total 102.669
4.2.2. Penggunaan Lahan Sekenario BAU
Skenario penggunaan lahan tahun 2030 versi BAU disusun berdasarkan laju perubahan tutupan lahan
tahun 1996, 2001, 2006 dan 2016. Pada tahun-tahun tersebut, tutupan lahan didominasi oleh sawah
yang ditunjukkan dengan warna biru pada peta di Lampiran 5. Namun, sepanjang tahun tersebut terjadi
perubahan tutupan lahan dimana tutupan hutan alami/lindung, hutan produksi dan kebun
USAID/Indonesia Kajian Dampak Perubahan Iklim dan Tata Guna Lahan Terhadap Ketersedian Air di Kabupaten Mojokerto – Jawa Timur 11
campuran/agroforestri menyempit, sedangkan tutupan lahan untuk pemukiman meningkat. Luas hutan
lindung relatif tetap, tetapi tutupan lahannya menurun dari 23.904 Ha pada tahun 1996 menjadi 23.115
Ha pada 2016. Pada periode yang sama, tutupan hutan produksi berkurang dari 5.345 Ha menjadi 3.285
Ha, sedangkan tutupan kebun campuran menurun dari 4438 Ha menjadi 3679 Ha. Selanjutnya, lahan
permukiman bertambah hampir dua kali lipat, dari 8.795 Ha di tahun 1996 menjadi 14.365 Ha di 2016
(Tabel 3). Luas tutupan lahan sawah, tegalan dan tubuh air mengalami fluktuasi yang tidak sama.
Fluktuasi lahan sawah dengan tegalan dimungkinkan karena adanya kesulitan citra satelit untuk
membedakan lahan sawah dan lahan tegal. Luas tutupan lahan sawah yang semula 45.912 Ha pada tahun
1996 meningkat hingga 50.011 Ha pada tahun 2001, menurun pada tahun 2006 menjadi 36.554 Ha,
tetapi naik menjadi 44.663 Ha pada 2016. Tutupan lahan tegalan tahun 1996 seluas 14.138 Ha,
meningkat seluas 23.472 Ha di tahun 2006, lalu menurun seluas 13.247 Ha di tahun 2016. Luasan
tutupan lahan untuk tubuh air berfluktuasi, dari 234 Ha di 1996 menjadi 151 di 2001, kemudian naik
pada 2006 dan tahun 2016 seluas seluas 420 Ha. Perubahan tutupan lahan tersebut mengindikasikan
peningkatan tutupan lahan permukiman dan sawah, yang menurunkan luas tutupan tegalan dan kebun
campuran.
Tabel 3. Perubahan lusan tutupan lahan tahun 1996, 2001, 2006 dan 2016
Tutupan Lahan Luas (Ha)
1996 2001 2006 2016
Hutan Lindung 23.904 23.790 24.220 23.115
Hutan Produksi 5.345 4.844 3.207 3.285
Kebun Campuran/AF 4.438 4.099 4.056 3.679
Pemukiman 8.795 10.379 10.838 14.356
Sawah 45.912 50.011 36.554 44.663
Tegalan 14.138 13,590 23.472 13.247
Tubuh Air 234 151 418 420
Total 102.766 102.766 102.766 102.766
Data tutupan lahan tersebut diproyeksikan untuk memperoleh kecenderungan tutupan lahan pada
tahun 2030 melalui regresi yang dikombinasikan dengan aplikasi GIS, dengan asumsi pemerintah
Kabupaten Mojokerto menjalan pengelolaan tutupan lahan yang sama dari saat ini hingga tahun 2030.
Berdasarkan perhitungan tersebut, diprediksi bahwa tutupan lahan hutan lindung dan hutan produksi
menurun 119 ha tahun-1, penutupan kebun campuran menurun 30 ha tahun-1, tegalan dan lahan Sawah
tren menurun 110 ha tahun-1, sedang tutupan pemukiman tren meningkat dengan laju pertambahan
217 ha tahun-1.
Gambar 5. Proyeksi Tutupan Lahan sebagai Bussiness as Usual (BAU) Tahun 2030
USAID/Indonesia Kajian Dampak Perubahan Iklim dan Tata Guna Lahan Terhadap Ketersedian Air di Kabupaten Mojokerto – Jawa Timur 12
4.2.3. Penggunaan Lahan Sekenario RTRW
Skenario tutupan lahan RTRW disusun berdasarkan RTRW Kabupaten Mojokerto tahun 2012-2030
(Lampiran 6). Dokumen ini membagi penggunaan lahan kedalam 12 kategori (Tabel 4). Untuk
memudahkan, keduabelas kategori tersebut disesuaikan dengan tujuh kategori penggunaan lahan versi
aktual (Lihat Poin 1). Hasil penyesuaian dapat dilihat pada Tabel 5.
Tabel 4. Luas Penggunaan Lahan Berdasarkan RTRW 2012-2030 Kabupaten Mojokerto
No. Penggunaan Lahan Luas (Ha)
1 Hortikultura 305
2 Hutan Lindung 1.418
3 Hutan Produksi 6.578
4 Industri 14.773
5 Kawasan Resapan Air 767
6 LP2B 27.50
7 Perkebunan 672
8 Permukiman Perdesaan 9.870
9 Permukiman Perkotaan 12.961
10 Pertanian 7.540
11 RTH Perkotaan 4.018
12 Taman Hutan Raya 14.181
Total 102.766
Tabel 5. Luas Penggunaan Lahan Berdasarkan RTRW yang Disesuaikan
No. Penggunaan Lahan Luas (Ha)
1 Hutan Alami 19.644
2 Hutan Produksi 8.407
3 Kebun campuran/Agroforestri 604
4 Permukiman 39.017
5 Sawah 29.688
6 Tegalan 4.630
7 Tubuh Air 755
Total 102.766
Hutan lindung, RTH perkotaan dan taman hutan raya, dikategorikan sebagai hutan alami. Kategori hutan
produksi dan perkebunan tetap sama. Lahan industri, permukiman perdesaan dan permukiman
perkotaan, dikategorikan sebagai permukiman. Lahan hortikultura, LP2B dan pertanian, dikategorikan
lahan tegalan. Kawasan resapan air dikategorikan sebagai lahan tubuh air. Setelah penyesuaian, terlihat
bahwa sebagian besar luasan RTRW digunakan untuk kawasan permukiman dan sawah, yaitu seluas
39.017 Ha dan 29.688 Ha, hutan seluas 19.644 Ha, hutan produksi seluas 8.407 Ha, kebun seluas 604
Ha dan tubuh air seluas 755 Ha.
4.2.4. Penggunaan Lahan Sekenario DDL
Sementara itu, skenario penggunaan lahan berdasarkan Daya Dukung Lahan (DDL) di melalui klasifikasi
kemampuan lahan untuk mengarahkan tata guna lahan yang ramah lingkungan (Lampiran 7 dan Lampiran
USAID/Indonesia Kajian Dampak Perubahan Iklim dan Tata Guna Lahan Terhadap Ketersedian Air di Kabupaten Mojokerto – Jawa Timur 13
8). Hasil analisis berupa luas arahan berbagai tutupan lahan untuk Kabupaten Mojokerto berdasarkan
DDL (Tabel 6).
Tabel 6. Luas Arahan Tutupan Lahan Atas Dasar DDL
Jenis Tutupan Lahan Luas (Ha)
Hutan alami 24.220
Hutan Produksi 16.146
Kebun 7.815
Pemukiman 11.063
Sawah 37.121
Tegalan 5.719
Tubuh Air 682
Total 102.766
Penyusunan tata ruang wilayah berdasarkan arahan tutupan lahan atas dasar DDL sangat
direkomendasikan untuk mewujudkan pembangunan ramah lingkungan. Berdasarkan DDL, tutupan
lahan yang sesuai masih didominasi oleh tutupan lahan sawah (37121,28 Ha). Jika mengacu pada
skenario DDL ini, maka kondisi tutupan lahan saat ini (2016) termasuk kondisi yang kurang ramah
lingkungan. Pemukiman yang ada saat ini melebihi daya dukung lingkungan yang dimiliki, demikian halnya
untuk sawah dan tegalan. Sedangkan luasan lahan untuk hutan lindung, hutan produksi, kebun dan tubuh
air masih kurang.
4.2.5. Perbandingan Luas Tutupan Lahan Berdasarkan Ketiga Skenario
Perbandingan luas tutupan lahan berdasarkan skenario BAU, RTRW dan DDL dijelaskan pada Tabel 7.
Tabel 7. Perbandingan Tutupan Lahan Aktual, dan Skenario BAU, RTRW dan DDL
Luas lahan (ha) pada tahun
Jenis Tutupan Lahan 2016 2030 BAU 2030 RTRW KKL
Hutan 23.115 23.115 19.644 24.220
Hutan Produksi 3.285 3.285 8.407 16.146
Kebun 3.679 3.550 604 7.815
Pemukiman 14.356 16.009 39.017 11.063
Sawah 44.663 43.894 29.688 37.121
Tegalan 13.247 12.492 4.630 5.719
Tubuh Air 420 420 775 682
Total 102.766 102.766 102.766 102.765
Tabel 7 menunjukkan perbedaan tutupan lahan yang cukup signifikan pada ketiga skenario. Skenario
BAU dan RTRW memiliki kesamaan, yakni adanya peningkatan luasan area pemukiman yang
diasumsikan berasal dari lahan kebun, sawah dan tegalan. Skenario BAU masih mempertahankan luasan
area hutan, hutan produksi dan tubuh air. Perubahan terlihat pada peningkatan luas lahan untuk
pemukiman dari 14.356 Ha menjadi 16.009 Ha. Skenario BAU kurang tepat jika diterapkan karena
belum sesuai dengan DDL. Sementara itu, skenario RTRW 2030 menunjukkan peningkatan luas hutan
produksi, tetapi luas hutan alami menurun, dari data ini diasumsikan terjadi alih guna hutan alami
menjadi hutan produksi. Kebun campuran, sawah dan tegalan juga mengalami penuruan yang diduga
dialihkan untuk keperluan pemukiman dan pengembangan industri yang meningkat dari 14.355 Ha
menjadi 39.017 Ha dibandingkan tahun 2016. Pada skenario RTRW, luas hutan lindung, hutan produksi
dan kebun sangat kurang jika dibandingkan dengan skenario DDL. Luas hutan lindung versi RTRW
adalah 19.644 Ha, sedangkan DDL seluas 24.220 Ha. Hutan produksi RTRW adalah 8.407 Ha yang
meskipun lebih tinggi dibandingkan versi tahun 2016, tetapi belum sesuai dengan arahan DDL yaitu
USAID/Indonesia Kajian Dampak Perubahan Iklim dan Tata Guna Lahan Terhadap Ketersedian Air di Kabupaten Mojokerto – Jawa Timur 14
sebesar 16.146 Ha. Areal pemukiman yang direncanakan pada RTRW melebihi batas kemampuan lahan,
yaitu 39.017 Ha, sedangkan arahan skenario DDL adalah 11.063 Ha.
4.3. Neraca Air
Perhitungan neraca air dilakukan di 32 sub-DAS menggunakan model GenRiver. Lokasi sub-DAS dan
hasil perhitungan dapat dilihat pada Lampiran 9 dan Lampiran 26. Prediksi neraca air dengan model
GenRiver menunjukkan penurunan debit air sungai karena penurunan curah hujan 10% pada tahun
2030. Penurunan jumlah hujan sebesar 10% didasarkan pada kondisi penurunan hujan yang terjadi di
wilayah studi berdasarkan hasil kajian sebelumnya yang memprediksikan terjadinya penurunan hujan
sebesar 11%. Penentuan nilai 10% dilakukan berdasarkan kepraktisan dan pembulatan angka, dimana
hasil prediksi tidak berbeda jauh dengan penurunan hujan 11%. Prediksi debit air tersebut berlaku untuk
tiga skenario penggunaan lahan yaitu BAU, DDL, dan RTRW (Gambar 6). Hasil prediksi debit air sampai
dengan tahun 2030 menunjukkan data hasil debit air yang semakin menurun mulai dari tahun 2001
sampai dengan 2030 diketiga skenario tersebut. Tingkat penurunan debit air tersebut salah satunya
disebabkan oleh jumlah curah hujan yang menurun mulai tahun 2015 sampai dengan tahun 2030.
Gambar 6. Prediksi penurunan debit air sungai akibat penurunan hujan 10% pada tahun 2030 di tiga skenario
penggunaan lahan
Skenario BAU memiliki tingkat penurunan debit sungai terendah yaitu 480.01 juta m3, dibandingkan
skenario berdasarkan DDL sebesar 499,05 juta m3, dan RTRW 523,34 juta m3. Penurunan debit sungai
dapat menurunkan risiko banjir, sebaliknya peningkatan debit sungai meningkatkannya. Dilihat dari total
neraca air pada akhir tahun 2030, meskipun debit sungai pada skenario DDL lebih tinggi dibandingkan
dengan skenario BAU, namun jumlah baseflow-nya lebih tinggi dibandingkan dua skenario lainnya.
Sebaliknya, pada penggunaan lahan RTRW, peningkatan jumlah debit sungai yang besar ternyata diikuti
dengan penurunan jumlah baseflow. Selain itu, skenario RTRW menghasilkan aliran baseflow yang paling
sedikit dibandingkan dengan dua skenario lainnya. Hal ini dikarenakan air hujan yang turun di atas
permukaan lahan pada skenario RTRW lebih banyak yang mengalir di atas permukaan lahan (surface
flow atau soil quick flow) menuju ke sungai dibandingkan yang meresap ke dalam tanah menjadi baseflow
(aliran dasar). Baseflow sebagai aliran dasar yang merupakan sumber bagi air bawah tanah merupakan
komponen penting dalam partisi air hujan yang jatuh di permukaan bumi. Pada kondisi tertentu, Baseflow
dapat keluar lagi ke permukaan tanah membentuk mata air atau mengalir keluar menuju sistem sungai.
Semakin besar baseflow maka cadangan air bawah tanah juga semakin besar, sehingga debit mata air
semakin besar.
Peningkatan baseflow pada penggunaan lahan berdasarkan arahan DDL membawa konsekuensi
penurunan jumlah quick flow. Quick flow merupakan penjumlahan dari surface flow dan soil quick flow
yang keduanya merupakan aliran cepat di atas permukaan lahan yang tidak sempat terserap masuk ke
dalam tanah untuk menjadi baseflow. Jika dibandingkan dengan penggunaan lahan lainnya, prediksi quick
0 500 1000 1500 2000 2500
2001
2006
2015
2030
Debit Sungai (Juta m3)
Tah
un
LandUseRTRW
LandUse KKL
USAID/Indonesia Kajian Dampak Perubahan Iklim dan Tata Guna Lahan Terhadap Ketersedian Air di Kabupaten Mojokerto – Jawa Timur 15
flow tertinggi pada tahun 2030 dihasilkan oleh skenario RTRW diikuti oleh BAU dan terendah dihasilkan
oleh penggunaan lahan skenario DDL.
Gambar 7. Prediksi Debit Sungai, Baseflow dan Quickflow Akibat Penuruhan Curah Hujan 10% pada Tiga
Skenario Penggunaan Lahan
Kondisi geologi dan hidrologi yang berbeda antara daerah utara dan selatan memberikan hasil yang
berbeda pula terhadap debit sungai, baseflow dan quickflow pada ketiga skenario penggunaan lahan.
Daerah selatan menghasilkan jumlah debit sungai yang cukup besar dibandingkan daerah utara pada
keseluruhan tahun dan penggunaan lahan. Daerah selatan rata-rata menghasilkan debit sungai dengan
jumlah lebih besar dengan perbandingan debit selatan lebih besar empat kali dibandingkan debit di
daerah utara pada tahun 2015. Sementara itu pada tahun 2030, rata-rata prediksi debit sungai didaerah
selatan lebih besar sekitar delapan kali dibandingkan daerah utara. Selanjutnya, skenario penggunaan
lahan BAU, DDL dan RTRW pada tahun 2030 memberikan hasil jumlah debit sungai yang besar secara
berturut-turut pada lahan dengan penutupan BAU, RTRW dan KKL.
Gambar 8. Prediksi Debit Sungai Akibat Penuruhan Curah Hujan 10% pada Tiga Skenario Penggunaan Lahan
Tahun 2015 dan 2030
Nilai baseflow dan quickflow daerah utara dan selatan pada tahun 2015 dan 2030 menunjukkan hasil yang
sama dengan nilai debit, dimana nilainya lebih tinggi di daerah selatan. Dapat disimpulkan bahwa
penurunan hujan 10% telah menurunkan baseflow dan quickflow pada tahun 2030 baik di daerah utara
maupun selatan. Sedangkan pengaruh penggunaan lahan tahun 2015 menunjukkan bahwa RTRW
menghasilkan debit baseflow terendah dan debit quickflow tertinggi dibandingkan kedua skenario
penggunaan lahan lainnya di kedua daerah. Prediksi kondisi tahun 2030 dengan penurunan hujan 10%
menunjukkan hal yang sama. Keseluruhan kondisi yang terjadi di daerah selatan tersebut, terjadi di
daerah utara dengan tren yang sama. Penggunaan lahan berdasarkan DDL terlihat menunjukkan hasil
0
200
400
600
800
1000
1200
1400
Debit Sungai Baseflow Quickflow
Jum
lah
(ju
ta m
3)
LandUse BAU LandUse KKL LandUse RTRW
USAID/Indonesia Kajian Dampak Perubahan Iklim dan Tata Guna Lahan Terhadap Ketersedian Air di Kabupaten Mojokerto – Jawa Timur 16
yang terbaik dalam mengkonservasi kondisi air melalui peningkatan baseflow dan penurunan quickflow
(Tabel 8).
Tabel 8. Baseflow dan Quicflow Tahun 2015 dan 2030 pada Tiga Skenario Penggunaan
Lahan di Daerah Utara dan Selatan
Land Use Baseflow (juta m3) Quickflow (juta m3)
2015 2030 2015 2030
Mojokerto Selatan
BAU 675.13 562.58 690.95 494.51
KKL 675.58 604.05 690.96 439.60
RTRW 667.94 468.57 691.22 543.47
Mojokerto Utara
BAU 110.39 45.84 199.54 93.19
KKL 110.77 73.08 199.51 61.23
RTRW 110.24 34.97 199.55 98.67
4.4. Ancaman sumberdaya air
Ancaman terhadap sumberdaya air terdiri dari kekeringan, banjir dan longsor yang dijelaskan di bawah
ini. Sebagai catatan, potensi ancaman skenario BAU tidak dapat dipetakan karena hasil analisis berupa
data non-spasial.
4.4.1. Ancaman Kekeringan
Berdasarkan curah hujan, tutupan lahan dan kebutuhan air, sejak tahun 1996 hingga 2016 telah terjadi
peningkatan luas ancaman kekeringan dari sedang ke tinggi di Kabupaten Mojokerto (Tabel 9, Lampiran
10)
Analisis ancaman kekeringan menunjukkan tren peningkatan luasan ancaman kekeringan dari tahun
1996 sampai 2016 untuk kategori sangat tinggi, tinggi dan sangat rendah. Untuk total kelas kekeringan
tinggi dan sangat tinggi ancaman kekeringan meningkat dari tahun 1991 sejumlah 29,9% menjadi 47,2%
pada 2016, meskipun pada tahun 2006 sempat menurun pada nilai 26,3%.
Tabel 9. Potensi ancaman kekeringan di Kabupaten Mojokerto tahun 1996, 2001, 2006
dan 2016
Kelas
Ancaman
Luas Lahan (ha) pada tahun
1996 2001 2006 2016
Sangat Tinggi 6.604 13.821 8.686 7.356
Tinggi 24.153 19.296 18.392 41.126
Sedang 31.058 29.571 34.361 18.735
Rendah 26.075 25.107 26.108 19.751
Sangat Rendah 14.875 14.971 15.217 15.798
Total 102.766 102.766 102.766 102.766
Berdasarkan tren 1996-2016 diproyeksikan luasan ancaman kekeringan berdasarkan tiga skenario yaitu
BAU, RTRW dan KKL seperti dijelaskan pada Tabel 10 dan Lampiran 11.
USAID/Indonesia Kajian Dampak Perubahan Iklim dan Tata Guna Lahan Terhadap Ketersedian Air di Kabupaten Mojokerto – Jawa Timur 17
Tabel 10. Luasan Ancaman Kekeringan pada Tiga Skenario Penggunaan Lahan
Kelas Ancaman Luas lahan (ha)
2016 2030 (RTRW) BAU DDL
Sangat Tinggi 7.356 41.047 6.866 1.291
Tinggi 41.126 16.932 48.647 30.960
Sedang 18.735 20.377 13.146 30.814
Rendah 19.751 8.469 16.057 31,086
Sangat Rendah 15.798 15.942 18.049 576
Total 102.766 102.766 104.766 104.766
Pada skenario penggunaan lahan BAU, ancaman kekeringan meningkat dari rendah-sedang menjadi
tinggi. Sementara, pada skenario RTRW, perubahan iklim menggeser tingkat ancaman dari tinggi
menjadi sangat tinggi. Apabila diterapkan skenario DDL, ancaman kekeringan akan turun, di bandingkan
dengan skenario tutupan lahan saat ini (2016). Tingkat ancaman kekeringan tinggi sampai dengan sangat
tinggi untuk kondisi tutupan lahan saat ini adalah 47% dari total luas lahan Kabupaten Mojokerto.
Sekenario BAU dan RTRW dapat meningkatkan ancaman kekeringan tinggi sampai dengan sangat tinggi
adalah 56% dan 54 % dari total luas lahan, sedangkan penerapan skenario DDL dapat menurunkan
ancaman hingga 31% dari total luas lahan tersebut.
4.4.1. Ancaman Banjir
Sejak tahun 1996 hingga 2016, di Kabupaten Mojokerto, ancaman banjir hanya sedikit. Lahan yang
mengalami ancaram banjir tinggi sampai dengan sangat tinggi beriksar 1% sampai dengan 5% dari total
luas lahan. Ancaman banjir terjadi di sepanjang Sungai Kromong. Walaupun sedikit wilayah yang
mengalami ancaman, namun kejadian bajir tahun 2004 menelan korban jiwa dan merusak infrastruktur,
dimana pada saat itu curah hujan mencapai 182 mm hari-1. Ancaman banjir tingkat sedang ditandai
dengan genangan. Luas ancaman dapat dilihat pada Tabel 11 dan sebarannya pada Lampiran 12.
Tabel 11. Luas Lahan yang Berpotensi Mengalami Ancaman Banjir di Kabupaten
Mojokerto tahun 1996, 2006, dan 2016
Kelas
Ancaman
Luas Lahan (Ha)
1991 2001 2006 2016
Sangat Tinggi 21 583 26 27
Tinggi 963 4.369 2.611 4.105
Sedang 13.333 12.141 13.002 18.124
Rendah 52.391 52.948 52.915 58.043
Sangat Rendah 36.058 32.725 34.212 22.466
Total 102.766 102.766 102.766 102.765
Tren ancaman banjir tahun 1996-2016 diproyeksikan untuk mengetahui luas ancaman berdasarkan
ketiga skenario, BAU, RTRW, dan DDL. Hasil analisis menunjukkan bahwa perubahan iklim dengan
sekenario BAU, RTRW, dan DDL tidak terlalu mempengaruhi ancaman banjir dibanding kondisi saat
ini (Luas di Tabel 12 dan sebaran di Lampiran 13). Tingkat ancaman banjir di katagori tinggi sampai
dengan sangat tinggi kondisi tutupan lahan saat ini adalah 4% dari total luasan lahan Kabupaten
Mojokerto. Skenario BAU, RTRW dan DDL untuk ancaman banjir tinggi s/d sangat tinggi secara
berturut turut juga 6%, 4% dan 4 % dari total luasan lahan Kabupaten Mojokerto.
USAID/Indonesia Kajian Dampak Perubahan Iklim dan Tata Guna Lahan Terhadap Ketersedian Air di Kabupaten Mojokerto – Jawa Timur 18
Tabel 12. Luas Ancaman Banjir Berdasarkan Skenario Tata Guna Lahan Aktual (2016),
BAU, RTRW, dan DDL
Kelas
Ancaman
Luas Lahan (Ha)
2016 2030 (RTRW) BAU KKL
Sangat Tinggi 27 16 67 21
Tinggi 4.105 4.096 5.853 4.300
Sedang 18.124 18.197 19.203 16.492
Rendah 58.043 59.819 59.825 57.188
Sangat Rendah 22.466 20.637 17.818 24.764
Total 102.766 102.766 102.766 102.766
4.4.3. Ancaman Tanah Longsor
Ancaman tanah longsor di Kabupaten Mojokerto menunjukkan bahwa sejak tahun 1996 hingga 2016
terjadi peningkatan luas ancaman tanah longsor untuk kelas tinggi hingga sangat tinggi, sebesar 10% dari
total wilayah Kabupaten Mojokerto (Luas di Tabel 13 dan sebaran di Lampiran 14). Luas ancaman
longsor untuk kelas longsor tinggi hingga sangat tinggi meningkat dari tahun 1991 sekitar 3 % dari total
luas, dan meningkat pada tahun 2001, 2006, dan 2016 secara berturut turut 10%, 8% dan 10% dari total
luas.
Tabel 13. Ancaman Tanah Longsor di Kabupaten Mojokerto Tahun 1996, 2006, dan 2016
Kelas
Ancaman
Luas Lahan (Ha)
1996 2001 2006 2016
Sangat Tinggi 82 945 1.024 830
Tinggi 2.500 9.366 7.707 8.949
Sedang 15.434 9.094 9.557 23.894
Rendah 14.836 14.593 14.598 42.887
Sangat Rendah 69.914 68.768 69.881 26.206
Total 102.766 102.766 102.766 102.766
Tren yang terjadi sejak tahun 1996 hingga 2016 selanjutnya digunakan untuk menyusun luas dan sebaran
ancaman berdasarkan skenario BAU, RTRW, dan DDL. Perubahan iklim dengan sekenario BAU,
RTRW, dan DDL tidak terlalu mempengaruhi ancaman tanah longsor dibanding kondisi saat ini (Luas
ancaman di Tabel 14 dan seberan di Lampiran 15).
Tabel 14. Luas Ancaman Tanah Longsor Berdasarkan Skenario Tata Guna Lahan Aktual
(2016), BAU, RTRW dan DDL
Kelas
Ancaman
Luas Lahan (Ha)
2016 RTRW 2030 BAU KKL
Sangat Tinggi 830 1.259 1.091 43
Tinggi 8.949 8.844 12.957 7.753
Sedang 23.894 10.660 24.844 9.920
Rendah 42.887 10.541 49.917 16.486
Sangat Rendah 26.206 71.462 13.956 68.564
Total 102.766 102.766 102.766 102.766
USAID/Indonesia Kajian Dampak Perubahan Iklim dan Tata Guna Lahan Terhadap Ketersedian Air di Kabupaten Mojokerto – Jawa Timur 19
Tingkat ancaman tanah longsor di katagori tinggi hingga sangat tinggi kondisi tutupan lahan saat ini
adalah 10% dari total luasan lahan Kabupaten Mojokerto. Sekenario BAU dan RTRW dan DDL untuk
ancaman banjir tinggi sampai dengan sangat tinggi secara berturut turut juga 14%, 10% dan 8 % dari
total luasan lahan Kabupaten Mojokerto.
4.5. Kerentanan Sumberdaya Air
Kerentanan sumberdaya air dipengaruhi oleh berbagai faktor seperti kebutuhan air, ketersediaan dan
kondisi mata air, yang dipengaruhi oleh tata guna lahan dan tingkat penggunaan air. Penggunaan air
didorong oleh perubahan populasi, konsumsi makanan, kebijakan ekonomi (termasuk penetapan harga
air), teknologi, gaya hidup, dan pandangan masyarakat terhadap nilai ekosistem air tawar (IPCC, 2013).
Dalam kajian ini, untuk memberikan gambaran tingkat penggunaan air, hanya dijelaskan secara makro
dari sisi pertumbuhan populasi dan ekonomi. Penggunaan air akan menentukan jumlah kebutuhan air.
4.5.1. Populasi dan Pertumbuhan Ekonomi
Penduduk Kabupaten Mojokerto pada tahun 2014 tercatat sebanyak 1,186,497 jiwa dengan komposisi
penduduk laki-laki sebanyak 597.463 jiwa dan penduduk perempuan sebanyak 589.034 jiwa, dengan
seks rasio mendekati 100%, dimana jumlah penduduk perempuan dan laki-laki relatif sama. Pada tahun
2014, kepadatan penduduk rata-rata Kabupaten Mojokerto adalah 1,824 orang/km2. Kecamatan dengan
kepadatan tertinggi adalah Sooko (3,444 jiwa/km2), Mojosari (3,125 jiwa/km2), Gedeg (2,779 jiwa/km2).
Sebaran penduduk di wilayah kabupaten Mojokerto relatif merata. Kecamatan dengan jumlah penduduk
terbanyak adalah Jetis, disusul dengan Kemlagi, Gedek, Mojosari dang Ngoro. Hal ini dapat dipahami,
karena di Kecamatan Jetis, Kemlagi, Gedeg dan Ngoro sekitarnya terdapat banyak industri. Kecamatan
Mojosari memiliki jumlah penduduk banyak, karena sebagian kantor pemerintahan kabupaten
Mojokerto terletak di Kecamatan ini.
Sensus penduduk tahun 2010 menjelaskan bahwa pertumbuhan penduduk selama 10 tahun terakhir
sekitar 1.2% per tahun lalu meningkat pada tahun 2014 sekitar 2.04%. Kecamatan yang memiliki
pertumbuhan jumlah penduduk tertinggi adalah Sooko (1.67), Jetis (1.60) dan Ngoro (1.55).
Pertumbuhan jumlah penduduk yang tinggi di Sooko terjadi karena kecamatan tersebut berbatasan
langsung dengan Kota Mojokerto. Sedangkan pertumbuhan jumlah penduduk yang tinggi di Kecamatan
Jetis dan Ngoro dipengaruhi pertumbuhan industri yang tinggi di wilayah ini.
Pada akhir tahun 2010 tingkat kesejahteraan penduduk Mojokerto mengalami peningkatan rata-rata
sebesar 0.39% (BPS, 2011). Hal ini terindikasi dengan menurunnya jumlah penduduk pra-sejahtera dari
49,349 kepala keluarga pada tahun 2009 menjadi 47,657 kepala keluarga pada akhir tahun 2010.
Besarnya jumlah penduduk pra-sejahtera ini merupakan salah satu permasalahan sosial yang cukup
serius di Kabupaten Mojokerto hingga saat ini (ibid).
Kegiatan sektor pertanian masih mendominasi perekonomian di Kabupaten Mojokerto, namun dalam
lima tahun terakhir sektor industri menunjukkan peningkatan. Pertumbuhan ekonomi 2014 di
Kabupaten Mojokerto mengalami perlambatan, kecuali sektor industri pengolahan naik 7.05%, dan
sektor akomodasi, makanan dan minuman naik 9.90%.
4.5.2. Penggunaan Lahan
Pertumbuhan penduduk dan industri (Lihat 4.5.1) telah menaikkan kebutuhan lahan untuk, diantaranya,
pemukiman, kawasan industri dan hotel di Kabupaten Mojokerto. Tren peningkatan untuk
pengembangan pemukiman dan kawasan industri dengan laju pertambahan 217 ha tahun-1.
Pertambahan ini menggeser tutupan lahan hutan lindung dan hutan produksi menurun 119 ha tahun-1,
penutupan kebun campuran tren menurun 30 ha tahun-1, tegalan dan lahan Sawah tren menurun 110
ha tahun-1. Rincian laju perubahan tutupan lahan dapat dilihat pada Bagian 4.2.2.
USAID/Indonesia Kajian Dampak Perubahan Iklim dan Tata Guna Lahan Terhadap Ketersedian Air di Kabupaten Mojokerto – Jawa Timur 20
4.5.3. Kebutuhan Air
Di wilayah Mojokerto bagian utara, potensi air tanah tergolong rendah. Potensi air tanah yang tergolong
sedang hanya dijumpai di sekitar Sungai Surabaya. Batuan penyusun wilayah ini berupa batuan berbutir
halus (lempung, pasir halus, pasir tufan) yang berumur Tersier (Pliosen), sehingga sudah terlitifikasi.
Batuan jenis ini tergolong bukan aquifer yang baik, sehingga sebagian wilayah ini digolongkan daerah
non cekungan air tanah atau daerah yang langka air tanah sehingga kurang dapat memenuhi kebutuhan
air bagi masyarakat (IUWASH-USAID, 2012). Mengingat Wilayah Mojokerto bagian utara tergolong
langka air, maka uraian selanjutnya hanya menguraikan wilayah Kabupaten Mojokerto bagian selatan.
Di wilayah Kabupaten Mojokerto bagian selatan, neraca air tanah antara ketersediaan dan kebutuhan
air masyarakat selama satu tahun masih menunjukkan surplus (IUWASH-USAID, 2012). Namun bulan
Juni hingga bulan Oktober mengalami defisit, dimana jumlah pengambilan lebih besar dibandingkan
dengan jumlah infiltrasi ke dalam akuifer. Puncak dari defisit ini terjadi pada bulan Agustus, mencapai
6536.65 juta liter (Gambar 9). Sebaliknya, musim hujan di bulan Desember hingga bulan Maret jumlah
infiltrasi ke dalam akuifer meningkat tajam, sehingga pada bulan-bulan ini neraca air tanah di wilayah
Kabupaten Mojokerto bagian selatan mengalami surplus dengan rata-rata 14146.52 juta liter (ibid).
4.5.4. Ketersediaan Air dan Kondisi Mata Air
IUWASH-USAID (2012) memproyeksikan bahwa jika dibandingkan dengan hasil perhitungan debit
andalan sungai tahun 2012 sebagai penyedia kebutuhan air, pada tahun 2022 akan terjadi penurunan
debit sungai andalan rata-rata sekitar 3% (Gambar 9). Total volume air dalam setahun yang bisa
dimanfaatkan sebagai sumber air baku sekitar 1010.8 juta meter kubik. Akibat adanya perubahan iklim
yang dicerminkan dari penurunan jumlah curah hujan, volume air diperkirakan menurun menjadi sekitar
985.13 juta meter kubik. Artinya terjadi penurunan volume air sungai yang bisa dimanfaatkan sekitar
25.67 juta meter kubik (ibid). Volume infiltrasi total dalam satu tahun juga mengalami penurunan yaitu
dari semula sebesar 345.98 juta meter kubik pada tahun 2012 menjadi sekitar 338.67 juta meter kubik
pada tahun 2022. Berkurangnya volume infiltrasi yang merupakan input bagi cadangan air tanah ini
dikhawatirkan akan menyebabkan permasalahan suplai air minum di Mojokerto (ibid).
Perhitungan tersebut berdasarkan simulasi dampak perubahan iklim terhadap debit andalan pada DAS
terbesar ‘Brangkal’ dan DAS terkecil ‘Bangsal’ di Kabupaten Mojokerto. Pada tahun 2012, debit andalan
tertinggi DAS Brangkal terjadi pada bulan Februari (42.76 m3/detik), sedangkan debit terendah terjadi
pada bulan Agustus (0.14 m3/detik) (ibid). Tahun 2022 dibulan yang sama, debit terbesar menjadi
41.67% dan terendah 0.12 m3/detik. Untuk DAS Bangsal, pada tahun 2012 debit andalan tertinggi pada
bulan Februari sebesar 6.16 m3/detik, menurun menjadi 6.00 m3/detik pada tahun 2022, sedangkan
debit terendah bulan Agustus tidak mengalami perubahan yaitu tetap sebesar 0.02 m3/detik. Dari
Gambar 10, terlihat persentase penurunan debit andalan DAS Brangkal dan DAS Bangsal, dimana
penurunan yang paling tinggi terjadi pada bulan Agustus yaitu sebesar 11% - 12% (ibid).
Gambar 9. Neraca Air Tanah (NAT) Kabupaten Mojokerto bagian Selatan (IUWASH-USAID, 2012)
USAID/Indonesia Kajian Dampak Perubahan Iklim dan Tata Guna Lahan Terhadap Ketersedian Air di Kabupaten Mojokerto – Jawa Timur 21
Gambar 10. Persentase Penurunan Debit Andalan Sungai Brangkal dan Sungai Bangsal (IUWASH-USAID,
2012)
Disisi lain, selain sungai sebagai penyedia air baku, mata air juga dimanfaatkan untuk berbagai
kepentingan, terutama untuk PDAM, HIPAM dan irigasi serta untuk kepentingan industri. Mata air di
wilayah kabupaten Mojokerto dapat dikelompokkan menjadi 3, yakni yang terletak di lereng Gunung
Penanggungan (Pacet - Trawas), lereng Gunung Welirang (Ngoro - Pungging) dan Gunung Anjasmoro
(Gondang – Kutorejo). IUWASH-USAID (2012) telah mendata mata air yang diperoleh dari berbagai
sumber disajikan di Lampiran 16.
Di lain pihak, masyarakat Kabupaten Mojokerto di dataran rendah banyak memanfaat air tanah dangkal.
Kisaran kedalaman muka air tanah di sumur gali (air tanah dangkal/bebas) adalah antara 3 sampai 12 m
dari muka tanah setempat. Berdasarkan hasil pengamatan di lapangan diketahui, bahwa kisaran
ketinggian muka air tanah di lokasi penelitian adalah antara 2 – 500 m dari permukaan laut (ibid).
Ketinggian muka air tanah di lokasi penelitian ini dikelompokkan dalam 3 (tiga) wilayah, yaitu:
• Wilayah utara, Pada daerah ini ketinggian muka air tanah berkisar antara 15 – 50 m dari
permukaan laut, dengan arah aliran ke selatan.
• Wilayah tengah, Ketinggian muka air tanah di daerah ini berkisar antara 2 – 20 m dari
permukaan laut, dengan arah aliran air tanah dangkal menuju Utara, (Sungai sedar dan Sungai
Porong).
• Wilayah selatan, di daerah ini ketinggian muka air tanah berkisar antara 40 – 500 m dari
permukaan laut, dengan arah aliran air tanah tanah dangkal relatif ke arah Utara – Barat laut
dan Timur laut.
4.5.6. Kualitas Mata Air
Kualitas air sungai diperoleh berdasarkan uji kualitas air yang dilakukan tahun 2012. Contoh air diambil
dari Sungai Marmoyo, Kromong, Bangsal, dan Brangkal (IUWASH-USAID, 2012). Pengambilan contoh
air dilakukan pada tanggal 13 dan 14 Agustus 2012, antara jam 08.00 – 14.00 saat kondisi cuaca cerah.
Contoh air sungai diuji dan di mengunakan acuan standar B, yaitu standar untuk air bersih (Permenkes
No.416/1990) menunjukkan 28 dari 31 zat yang diujikan berada dalam batas standar baku air bersih,
tetapi beberapa zat seperti phospat, sulfida dan seng berada diluar batas (Lampiran 17). Tingkat
kandungan zat tersebut terbesar ditemui di Sungai Marmoyo. Sumber phospat kemungkinan dari limbah
domestik dan perkebunan/pertanian yang mengalir ke sungai. Kandungan phospat berlebih dapat
memicu pertumbuhan enceng gondok. Namun tanaman ini dapat digunakan sebagai media mengurangi
kandungan phospat dalam air sungai (foto-remediasi). Kandungan sulfida berlebih dapat menyebabkan
gangguan pada mata dan mengaratkan logam. Unsur seng dapat merubah rasa air menadji pahit dan
sepat, serta menimbulkan rasa mual.
USAID/Indonesia Kajian Dampak Perubahan Iklim dan Tata Guna Lahan Terhadap Ketersedian Air di Kabupaten Mojokerto – Jawa Timur 22
4.6. Risiko Sumberdaya Air
4.6.1. Risiko Kekeringan
Risiko kekeringan untuk kelas tinggi hingga sangat tinggi, dari tahun 1996 hingga 2006 menurun dari
17% menjadi 13% dari total luas lahan. Namun, tahun 2016 naik menjadi 15% dari total luas lahan (Luas
risiko di Tabel 15 dan sebaran di Lampiran 18). Risiko kekeringan tertinggi terjadi di bagian utara yang
merupakan kawasan kapur. Perubahan yang realtif besar terjadi untuk kelas sedang yang menurun dari
dari 29% menjadi 19% sejak tahun 1996 hingga 2006, tetapi tahun 2016 naik menjadi 43% yang tersebar
hampir merata di Kabupaten Mojokerto.
Tabel 15. Risiko Kekeringan di Kabupaten Mojokerto tahun 1996, 2006 dan 2016
Kelas
Risiko
Luas Lahan (Ha)
1996 2001 2006 2016
Sangat Tinggi 8.575 4.275 3.369 6.333
Tinggi 9.119 11.327 9.757 8.766
Sedang 29.727 19.640 22.969 44.590
Rendah 34.255 44.588 41.029 24.169
Sangat Rendah 21.089 22.935 25.642 18.908
Total 102.766 102.766 102.766 102.766
Risiko kekeringan dengan skenario BAU menunjukkan penurunan untuk kelas sangat tinggi dari 6,2%
pada tahun 2016 menjadi menjadi 3,7%. Kelas risiko tinggi relatif stabil jika dibandingkan antara tahun
2016 dan tahun 2030. Hal yang menarik adalah peningkatan risiko kekeringan di tingkat sedang pada
tahun 2016 sebesar 43,4% menjadi 50,5% pada skenario BAU. Sementara itu, berdasarkan skenario
RTRW, pada tahun 2030 risiko kekeringan kelas sangat tinggi berpotensi naik menjadi 11% dari 3,7%
versi BAU. Apabila skenario DDL diterapkan maka terjadi penurunan risiko kekeringan pada kelas
sangat tinggi menjadi 2,3% dari 3,7% versi BAU. Luas risiko kekeringan skenario RTRW dan KKL dapat
dilihat pada Tabel 16 dan sebarannya pada Lampiran 19.
Tabel 16. Luas Risiko Kekeringan Berdasarkan Tata Guna Lahan Aktual (2016), BAU,
RTRW dan tutupan lahan atas dasar DDL
Kelas
Risiko
Luas Lahan (Ha)
2016 RTRW 2030 BAU KKL
Sangat Tinggi 6.333 11.991 3.838 2390,47 Tinggi 8.766 4.278 8.411 9771,74 Sedang 44.590 32.670 51.916 29614,27
Rendah 24.169 37.251 19.424 43614,73
Sangat Rendah 18.908 16.576 19.177 17374,34 Total 102.766 102.766 102.766 102.766
4.6.2. Risiko Banjir
risiko banjir tahun 1996 hingga 2016 menunjukkan peningkatan banjir dari kelas rendah ke sedang.
Luasan banjir pada kelas sangat tinggi meningkat dari tahun 1996 (0,08%) ke tahun 2001, kemudian
menurun pada tahun 2006 dan meningkat kembali pada tahun 2016 (6%). Sedangkan pada kelas tinggi,
terjadi penurunan dari tahun 2001 hingga 2006 dari 4,4% menjadi 2,9%, kemudian meningkat drastis
pada tahun 2016 menjadi 14,4%. Luas risiko banjir dijelaskan pada Tabel 17 dan sebarannya pada
Lampiran 20.
USAID/Indonesia Kajian Dampak Perubahan Iklim dan Tata Guna Lahan Terhadap Ketersedian Air di Kabupaten Mojokerto – Jawa Timur 23
Tabel 2. Luasan Risiko banjir Tahun 1996, 2001 dan 2016 di Kabupaten Mojokerto
Kelas Luas (Ha)
1996 2001 2006 2016
Sangat Tinggi 84,85 3.320,71 183,87 6.168,10
Tinggi 2.972,92 4.540,06 3.022,30 14.799,54
Sedang 15.475,28 15.208,34 17.155,62 47.375,81
Rendah 48.680,58 48.305,30 49.005,96 30.548,47
Sangat Rendah 35.551,92 31.391,14 33.397,80 3.873,62
Total 102.765,55 102.765,55 102.765,55 102.765,55
Sementara itu, penerapan skenario BAU menunjukkan tren peningkatan risiko banjir pada kelas sangat
tinggi dari 6,0% ke 6,4% dan kelas tinggi dari 14,4% ke 17,6%. Penerapan skenario RTRW menunjukkan
penurunan luas risiko banjir kelas sangat tinggi dari 6,0% (pada tahun 2016) menjadi 5.8%, namun
demikian pada kelas tinggi tinggi meningkat dari 14,4% menjadi 14,6% dari total luas wilayah. Apabila
skenario DDL diterapkan, maka risiko banjir menurun. Luas risiko banjir dapat dilihat pada Tabel 18
dan sebarannya pada Lampiran 21.
Tabel 18. Luas Risiko Banjir Berdasarkan Tata Guna Lahan Aktual (2016), BAU, RTRW
dan tutupan lahan atas dasar DDL
Luas Lahan (Ha)
Kelas 2016 RTRW 2030 BAU KKL
Sangat Tinggi 6.168,10 5.974,96 6.540,97 1908,88
Tinggi 14.799,54 15.039,05 18.068,40 2878,49
Sedang 47.375,81 48.379,09 56.709,30 18276,18
Rendah 30.548,47 30.430,06 25.795,05 52548,20
Sangat Rendah 3.873,62 2.942,39 0 27153,77
Total 102.765,55 102.765,55 102.765,55 102.765,55
Skenario BAU meningkatkan risiko banjir dari sedang-tinggi menjadi sangat tinggi, skenario RTRW
menggeser tingkat riskio dari sedang menjadi tinggi, sedangkan skenario DDL menurunkan risiko banjir
dari kelas sangat tinggi, tinggi dan sedang menjadi rendah dan sangat rendah.
4.6.1. Risiko Tanah Longsor
Pada kelas sangat tinggi risiko longsor tahun 1996 sebesar 1% lalu menurun hingga 0,15% tahun 2016.
Sedangkan pada kelas tinggi naik dari 1,8% pada tahun 1996 menjadi 2,2 %tahun 2016. Luas risiko
longsor pada kelas sangat tinggi dan tinggi lebih rendah dari ancaman longsor. Hal ini dikarenakan pada
daerah dengan ancaman longsor tinggi namun jumlah populasi penduduk yang rendah (faktor
kerentanan). Luas risiko longsor dapat dilihat pada Tabel 19 dan sebarannya pada Lampiran 22.
Tabel 19. Luasan Risiko Longsor di Kabupaten Mojokerto tahun 1966, 2006 dan 2016
Kelas Luas Lahan (Ha)
1996 2001 2006 2016
Sangat Tinggi 1.229,95 862,37 761,11 160,96
Tinggi 1.899,72 2.303,38 2.163,05 2.892,45
Sedang 11.889,75 12.540,73 9.211,97 9.025,32
Rendah 34.420,37 35.042,66 36.338,12 48.359,54
Sangat Rendah 53.325,76 52.016,41 54.291,30 42.327,28
Total 102.765,55 102.765,55 102.765,55 102.765,55
USAID/Indonesia Kajian Dampak Perubahan Iklim dan Tata Guna Lahan Terhadap Ketersedian Air di Kabupaten Mojokerto – Jawa Timur 24
Pada penggunaan lahan aktual tahun 2016, kelas tinggi dan sangat tinggi mempunyai luasan yang hampir
sama jika dibandingkan dengan RTRW 2030. Namun penerapan RTRW dapat menekan risiko longsor
seperti halnya dengan skenario daya dukung lahan. Pada kelas sangat tinggi, penerapan RTRW 2030
dapat menekan longsor yang semula sejumlah 0,2% pada tahun 2016 menjadi 0.1%, sedangkan pada
kelas tinggi dari 2.8% menjadi 2,2% dari total wilayah kajian. Perubahan iklim dengan BAU sedikit
meningkatkan risiko longsor di kategori tinggi - sangat tinggi berturut-turut menjadi 0,3% dan 3,2%.
Penerapan RTRW dapat menurunkan risiko longsor rendah dari 47.1% pada tahun 2016 menjadi 17,7%.
Sedangkan penerapan penggunaan lahan sesuai dengan daya dukung lahan dapat menurunkan longsor
di banding penggunaan lahan saat ini pada semua kategori (Tabel 20, Lampiran 23). Oleh karenanya,
penggunaan lahan yang sesuai dengan daya dukung lahannya merupakan acuan terbaik untuk menekan
bahaya longsor.
Tabel 20. Luas Risiko Longsor Berdasarkan Tata Guna Lahan Aktual (2016), BAU,
RTRW dan tutupan lahan atas dasar DDL
Kelas Luas Lahan (Ha)
2016 RTRW 2030 BAU KKL
Sangat Tinggi 160,96 100,83 348,40 152,12 Tinggi 2.892,45 2.292,71 3.292,70 1948,76 Sedang 9.025,32 13.497,34 7.060,74 11534,55
Rendah 48.359,54 18.231,36 53.017,74 19038,42 Sangat Rendah 42.327,28 68.643,30 39.742,77 70091,71
Total 102.765,55 102.765,55 102.765,55 102.765,55
5. KESIMPULAN
Hasil kajian dampak perubahan iklim di Kabupaten Mojokerto terkait kondisi sumberdaya air
memberikan beberapa kesimpulan yaitu:
1. Kabupaten Mojokerto telah mengalami perubahan iklim yang ditunjukkan dengan
peningkatan suhu sebesar 0,20C tiap dekade, penurunann curah hujan sebesar 11%, dan
peningkatan jumlah hujan ekstrim dari tahun 1996 sampai dengan 2015.
2. Pertumbuhan penduduk, industri dan perkembangan perumahan telah mengakibatkan
perubahan penggunaan lahan di Kabupaten Mojokerto. Dari tahun 1996 sampai dengan
2016, hutan lindung telah berkurang sebanyak 798 Ha dengan laju penurunan sebesar 39,5
Ha/tahun, hutan produksi berkurang seluas 2060 Ha dengan laju penurunan sebesar 103
Ha/tahun. Kebun campuran mempunyai jumlah penurunan dan laju pengurangan hampir
sama dengan hutan lindung. Sementara sawah dan tegal juga mengalami penurunan luas dan
laju penurunan berturut-turut 1,249 Ha dan 62,5 Ha/tahun serta 891 Ha dan 44,6 Ha/tahun.
Perkembangan luas pemukiman terekam sangat cepat dengan laju pertambahan luas sebesar
278 Ha/tahun dengan total peningkatan dari tahun 1996 sampai 2016 adalah seluas 5.561
Ha. Penambahan luas pemukiman dalam hal ini sebagian besar berasal dari pengurangan
lahan sawah dan hutan produksi.
3. Skenario perubahan iklim yang ditandai dengan penurunan jumlah hujan sebesar 10%
menghasilkan jumlah hasil air yang menurun pada keseluruhan sekenario penggunaan lahan.
Sementara itu, skenario penggunaan lahan berdasarkan BAU menghasilkan debit sungai
terendah diikuti oleh skenario berdasarkan DDL dan RTRW. Aliran dasar (baseflow) sebagai
input untuk groundwater paling besar dihasilkan oleh skenario penggunaan lahan berdasarkan
DDL dan paling kecil oleh skenario RTRW. Sebaliknya, penggunaan lahan RTRW
menghasilkan aliran permukaan (quick flow) paling besar dan terkecil dihasilkan oleh
penggunaan lahan berdasarkan DDL.
4. Daerah utara Kabupaten Mojokerto yang dipisahkan oleh sungai Brantas dari daerah selatan
lebih mengalami kekeringan (baik air permukaan maupun bawah permukaan) dibandingkan
dengan daerah selatan. Prediksi debit sungai pada tahun 2030 di daerah utara hanya sejumlah
12,5% dari daerah selatan.
USAID/Indonesia Kajian Dampak Perubahan Iklim dan Tata Guna Lahan Terhadap Ketersedian Air di Kabupaten Mojokerto – Jawa Timur 25
5. Skenario penggunaan lahan berdasarkan DDL dapat menurunkan ancaman dan risiko
kekeringan, banjir, dan longsor. Skenario BAU dapat meningkatkan ancaman kekeringan dan
banjir dari rendah-sedang menjadi tinggi, sedangkan skenario RTRW menjadikan tingkat
ancaman kekeringan dan banjir dari tinggi menjadi sangat tinggi. Lebih lanjut, risiko
kekeringan dan banjir turun pada skenario KKL dan naik pada skenario BAU dan RTRW.
Selain itu, skenario KKL dan RTRW dapat menurunkan risiko longsor, dan sebaliknya,
skenario BAU meningkatkan risiko longsor.
6. Rekomendasi untuk mengatasi dampak perubahan iklim terhadap kondisi sumberdaya air di
Kabupaten Mojokerto adalah memfungsikan Forum Penyehatan Fungsi DAS, meningkatkan
partisipasi parapihak, dan menyusun rencana aksi yang fleksibe. melalui sekolah lapang.
Terdapat 14 ekomendasi teknis yang dapat dilakukan untuk mengatasi kekeringan, banjir
dan tanah longsor di wilayah Kabupaten Mojokerto yaitu (1) Pengkayaan dan Konservasi
Biodiversitas Hutan (PKB), (2) Pengembalian Fungsi Hutan melalui permudaan alam hutan
(PAH), (3) Pengembalian fungsi hutan melalui reboisasi, penghijauan hutan (RPH), (4)
Pengembalian fungsi hutan melalui Agroforestri (hutan rakyat dan kebun campuran) (AFK),
(5) Pematang Bulan Sabit (crescent dykes) (PBS), (6) Saluran peresapan air (SPA), (7) Rorak/
parit buntu (RPB), (8) Teras Gulud bersekat dan berorak dan Teras Bangku dengan
bedengan bersekat (TGB), (9) embung dan chek dam (ECD), (10) Biopori tanah (BPT), (11)
Sumur resapan pedesaan individual (SRD), (12) Sumur resapan perumahan/perkotaan
individual (SRP), (13) efisiensi air irrigasi (EAI), (14) efisiensi pemanfaatan air baku di rumah
tangga dan industri (EPA).
6. REKOMENDASI
Berdasarkan temuan dalam kajian, berikut adalah rekomendasi untuk mengurangi dampak negatif dari
perubahan iklim dan alih guna terhadap ketersediaan sumber daya air:
1. Strategi adaptasi mengacu pada AR4 yang mengatur Manajemen Daerah Aliran Sungai Terpadu
(Integrated Watershed Resources Manajement / IWRM). Langkah-langkah adaptasi
berdasarkan IWRM ini dijelaskan dalam Lampiran 24.
2. Sasaran lokasi adaptasi tersebut ditetapkan adalah: (1) Kawasan Taman Hutan Raya (Tahura)
R Soeryo, (2) Kawasan Hutan Perhutani, (3) Kawasan Kebun Campuran / Agroforestri, (4)
Kawasan Tegalan, (5) Kawasan Lahan Sawah, (6) Kawasan Pemukiman, (7) Kawasan Perkotaan,
dan (8) Kawasan Industri.
3. Jenis program adaptasi yang direkomendasikan dimasing-masing desa dan kecamatan yang
diperdiksi berisiko terhadap perubahan iklim dan dampak perubahan lahan tinggi dan sangat
tinggi meliputi:
1) Pengkayaan dan Konservasi Biodiversitas Hutan (PKB)
2) Pengembalian Fungsi Hutan melalui permudaan alam hutan (PAH)
3) Pengembalian fungsi hutan melalui reboisasi, penghijauan hutan (RPH)
4) Pengembalian fungsi hutan melalui Agroforestri (hutan rakyat dan kebun campuran) (AFK),
5) Pematang Bulan Sabit (crescent dykes) (PBS),
6) Saluran peresapan air (SPA),
7) Rorak/ parit buntu (RPB)
8) Teras Gulud bersekat dan berorak, dan Teras Bangku dengan bedengan bersekat (TGB)
9) Embung dan chek dam (ECD)
10) Biopori tanah (BPT)
11) Sumur resapan pedesaan individual (SRD)
12) Sumur resapan perumahan / perkotaan individual (SRP),
13) Efisiensi air irrigasi (EAI)
14) Efisiensi pemanfaatan air baku di rumah tangga dan industri (EPA).
Deskripsi macam adaptasi dan contoh pelaksanaan teknis di lapangan di sajikan di Lampiran 25.
USAID/Indonesia Kajian Dampak Perubahan Iklim dan Tata Guna Lahan Terhadap Ketersedian Air di Kabupaten Mojokerto – Jawa Timur 26
DAFTAR PUSTAKA
Allard, J., and Carleton, A., 2010. Mesoscale associations between midwest land surface properties and
convective cloud development in the warm season. Physical Geography. 31(2), 07-136.
Apollonio, c., Balacco, G., Novelli, A., Tarantino, E., Piccinni, A.F., 2016. Land Use Change Impact on
Flooding Areas: The Case Study of Cervaro Basin (Italy). Sustainability 8 (996).
doi:10.3390/su8100996.
Arnell, N.W., 1999. Climate change and global water resources. Global Environmental Change 9, 31-
49.
Bates, B.C.; Kundxewicz, Z.W.; Wu, S.; Palutikof, J.P. 2017. Climate Change and Water; Technical
Paper of the Intergovernmental Panel on Climate Change; IPCC Secretariat: Geneva,
Switzerland, 2008. Water: 9, 204 16 of 18
Bernauer, T., Bohmelt, Tobias, Buhaug, H., Gleditsch, N.P., Trigaldos, T., Wischnath, G., Demand,
supply, and restraint: Determinants of domestic water conflict and cooperation. Global
Environmental Change 29, 337–348.
Boer, R., Faqih, A., 2004. Current Future Rainfall Variability in Indonesia. In an Integrated Assessment
of Climate Change Impact, Adaptation and Vulnerability in Watershed Area and Communities
in Southeast Asia, Report from AIACC Project No. AS21 (Annex C, 95 – 126). International
START Secretariat, Washington, District of Columbia.
http://sedac.ciesin.org/aiacc/progress/FinarRept_AIACC_AS21.pdf.
Case M., F. Ardiansyah, and E. Spector. 2007. Climate Change in Indonesia: Implications for Humans
and Nature. http://wwf.panda.org/?118240/Climate-Change-in-Indonesia-Implications-for-
Humans-and-Nature.
Celik, I., 2005. Land-use effect on organic matter and physical properties of soil in southern
Mediterranean highland of Turkey. Soil and Tillage Research. 83 (2), 270 – 277.
Chen H, Xu C-Y, Guo S. 2012. Comparison and evaluation of multiple GCMs, statistical downscaling
and hydrological models in the study of climate change impacts on runoff. J Hydrol.; 434:36–45.
doi: 10.1016/j.jhydrol.2012.02.040
Claessens, L., Hopkinson, C., Rastetter, E., Vallino, J., 2006. Effect of historical changes in land use and
climate on the water budget of an urbanizing watershed. Water Resources 42,
doi:10.1029/2005WR004131
Cruz, R.V., Harasawa, H., Lal, M., Wu, S., Anokhin, Y., Punsalmaa, B., Honda, Y., Jafari, M., Li, C., Huu
Ninh, N., 2007. Asia Climate Change 2007: Impacts, Adaptation and Vulnerability. Contribution
of Working Group II to the Fourth Assessment Report of the Intergovernmental Panel on
Climate Change, M.L. Parry, O.F. Canziani, J.P. Palutikof, P.J. van der Linden and C.E. Hanson,
Eds., Cambridge University Press, Cambridge, UK, 469-506.
Gleick, P.H., 1998. The World's Water: The Biennial Report on Freshwater Resources 1998 -1999.
Island Press, San Francisco.
Huang, T.C.C., Lo, K.F.A., 2015. Effects of Land Use Change on Sediment and Water Yields in Yang
Ming Shan National Park, Taiwan. Environments 2, 32 – 42.
Hulme, M., Sheard, N., 1999. Climate Change Skenarios for Indonesia. Climatic Research Unit,
Norwich, UK, 6pp.
Hussain, I., Hussain, Z., Sial, M.H., Akram, A., Farhan, M.F., 2001. Water balance, supply, and demand
and irrigation efficiency of Indus Basin. Pakistan Economic and Social Review 49 (1), 13 – 38.
USAID/Indonesia Kajian Dampak Perubahan Iklim dan Tata Guna Lahan Terhadap Ketersedian Air di Kabupaten Mojokerto – Jawa Timur 27
IPCC. 2013a, The Physical Science Basis: Working Group I Contribution to the Fifth Assessment
Report of the Intergovernmental Panel on Climate Change. 2013.
IPCC, 2013b. Summary for Policymakers. In: Climate Change 2013: The Physical Science Basis.
Contribution of Working Group I to the Fifth Assessment Report of the Intergovernmental
Panel on Climate Change [Stocker, T.F., D. Qin, G.-K. Plattner, M. Tignor, S.K. Allen, J.
Boschung, A. Nauels, Y. Xia, V. Bex and P.M. Midgley (eds.)]. Cambridge University Press,
Cambridge, United Kingdom and New York, NY, USA.
IPPC, 2014. Climate Change 2014 Synthesis Report Summary for Policymakers,
https://www.ipcc.ch/pdf/assessment-report/ar5/syr/AR5_SYR_FINAL_SPM.pdf.
Islam, K.R., Weil, R.R., 2000. Land use effects on soil quality in a tropical forest ecosystem of
Bangladesh. Agriculture, Ecosystems and Environment 79 (2000) 9–16.
Kochendorfer, J.P., Hubbart, J.A., 2010. The roles of precipitation increases and rural land-use changes
in streamflow trens in the upper Mississippi River basin. Earth Interactions 14 (20), 1-12.
Khoi DN, T. Suetsugi. 2014. The responses of hydrological processes and sediment yield to land use
and climate change in the Be River Catchment, Vietnam. Hydrol Process.; 28(3):640–52.
Kovats, R.S.; Valentini, R.; Bouwer, L.M.; Georgopoulou, E.; Jacob, D.; Martin, E.; Rounsevell, M.;
Soussana, J. Climate Change 2014: Impacts, Adaptation, and Vulnerability. Part B: Regional
Aspects. Contribution of Working Group II to the Fifth Assessment Report of the
Intergovernmental Panel on Climate Change; Cambridge Univ. Press: Cambridge, UK,: pp. 1267–
1326.
Mahmood, R., Pielke Sr., R.A., Hubbard, K., Niyogi, D., Dirmeyer, P., 2014. Land cover changes and
their biogeophysical effects on climate. Int. J. Climatol. 34, 929 - 953.
McDonald, R.I., Weber, K., Padowski, J., Florke, M., Schneider, C., Green, P.A., Gleeson, T., Eckman,
S., Lehner, B., Balk, D., Boucher, T., Grill, G., Montgomery, M., 2014. Water on an urban planet:
Urbanization and the reach of urban water infrastructure. Global Environmental Change 27, 96–
105.
Molina-Navarro E, Trolle D, Martínez-Pérez S, Sastre-Merlín A, Jeppesen E. 2014. Hydrological and
water quality impact assessment of a Mediterranean limno-reservoir under climate change and
land use management skenarios. J Hydrol.; 509:354–66. doi: 10.1016/j.jhydrol.2013.11.053
Mwangi H.M., Julich S., Patil S.D., McDonald M.A., Feger K.H. Relative contribution of land use change
and climate ariability on discharge of upper Mara River, Kenya. Journal of Hydorlogy: Regional
Studies. Vo. 5: 244 – 260. 2016.
National Oceanic and Atmospheric Administration (NOAA), 2012, National Weather Service
Glossary: National Oceanic and Atmospheric Administration Web page at
http://weather.gov/glossary/. (Accessed May 1, 2012.).
Nayor, R.L., Battisti, D.S., Vimont, D.J., Falcon, W.P., Burke, M.S., 2007. Assessing risks of climate
variability and climate change for Indonesian rice agriculture. Proceedings of the National
Academy of Sciences of the United States of America 104 (19): 7752-7757.
Neris, J., Jimenez, C., Morillas, J.F.G., Tejedo, T., 2012. Vegetation and land-use effects on soil
properties and water infiltration of Andisols in Tenerife (Canary Islands, Spain). Catena 98, 55
– 62.
Niraula R, Meixner T, Norman LM. 2015. Determining the importance of model calibration for
forecasting absolute/relative changes in streamflow from LULC and climate changes. J Hydrol.;
522:439–51. doi: 10.1016/j.jhydrol.2015.01.007
USAID/Indonesia Kajian Dampak Perubahan Iklim dan Tata Guna Lahan Terhadap Ketersedian Air di Kabupaten Mojokerto – Jawa Timur 28
Pawitan, H., 2014. Perubahan Penggunaan Lahan dan Pengaruhnya terhadap Hidrologi DAS.
https://www.researchgate.net/publication/237486643.
PEACE (Pelangi Energi Abadi Citra Enviro). 2007. Indonesia and Climate Change: Current Status and
Policies. 90 pp. Available online:
http://siteresources.worldbank.org/INTINDONESIA/Resources/
Environment/ClimateChange_Full_EN.pdf
Pierleoni, A., Camici, S., Brocca, L., Moramarco, T., Casadei, S., 2014. Climate change and decision
support systems for water resource management. Procedia Engineering 70, 1324 – 1333.
Raman, S.V.V., S. Iniyan, and R. Goic, 2012. A review of climate change, mitigation and adaptation.
Renewable and Sustainable Energy Reviews Journal. Volume 16, Issue 1, Pages 878-897.
Rejekiningrum, P. 2014. Dampak Perubahan Iklim terhadap Sumberdaya Air: Identifikasi, Simulasi, dan
Rencana Aksi. Jurnal Sumberdaya Lahan Vol. 8 No. 1: 1–15.
Stallings, J.H., 1957. Soil Conservation (Premice-Hall, Englewood cliffs. 1957). 51 – 61. In U.S.
Department of Agriculture. Soil and men. 1938. 79.
Surendran, U., Sushanth, C.M., Mammen, G., Joseph. E.J., 2015. Modelling the crop water requirement
using FAO-CROPWAT and assessment of water resources for sustainable water resource
management: A case study in Palakkad district of humid tropical Kerala, India. Aquatic Procedia,
1211 – 1219.
Trenberth, K.E., 2011. Global Change and Climate: Water cycles and climate change. Handbook of
Global. Environmental Change. Springer. DOI: HB_GlobalEnvChange_30
Tsonis, A.A., Elsner, J.B., Hunt, A.G., and Jagger, T. H. 2005. Unfolding the relation between global
temperature and ENSO. Geophysical Research Lettters. Vol 32, L09701, doi:10.1029/
2005GL022875.
WHO (World Health Organization). 2007. Emergency and Humanitarian Action News Update,
February and March 2007. World Health Organization, Regional Office for South-East Asia.
Available online:
http://www.searo.who.int/LinkFiles/Newsletter_EHA_February_and_March_2007.pdf
Vormoor, K.; Lawrence, D.; Heistermann, M.; Bronstert, 2015. A. Climate change impacts on the
seasonality and generation processes of floods—Projections and uncertainties for catchments
with mixed snowmelt/rainfall regimes. Hydrol. Earth Syst. Sci.: 19, 913–931.
Wang R, Kalin L, Kuang W, Tian H. 2014. Individual and combined effects of land use/cover and climate
change on Wolf Bay watershed streamflow in southern Alabama. Hydrol Process; 28(22):5530–
46. doi: 10.1002/hyp.10057
World Bank, 2017. Laporan Lingkungan Indonesia (Country Environmental Analysis atau CEA): Policy
Brief, Adaptasi terhadap Perubahan Iklim. Kantor Bank Dunia Jakarta.
Widianto, Suprayogo, D., Sudarto, Lestariningsih, I.D., 2008. Rapid Hydrological Appraissal (RHA) in
Brantas Hulu Watershed, East Java, Indonesia.
http://worldagroforestry.org/regions/southeast_asia/publications?t=1&do=view_pub_detail&pu
b_no=WP0152-11
Zhang L., Z. Nan, Y. Xu, and S. Li, 2016. Hydrological Impacts of Land Use Change and Climate
Variability in the Headwater Region of the Heihe River Basin, Northwest China. PLoS ONE 11
(6): e0158394. doi:10.1371/journal.pone.0158394
USAID/Indonesia Kajian Dampak Perubahan Iklim dan Tata Guna Lahan Terhadap Ketersedian Air di Kabupaten Mojokerto – Jawa Timur 29
LAMPIRAN 1: PETA ADMINISTRASI KABUPATEN
MOJOKERTO
USAID/Indonesia Kajian Dampak Perubahan Iklim dan Tata Guna Lahan Terhadap Ketersedian Air di Kabupaten Mojokerto – Jawa Timur 30
LAMPIRAN 2: KERANGKA ANALISIS
Research Questions Data Metode analisis data Keluaran (output)
Seberapa jauh factor iklim
mempengaruhi kondisi sumber
daya air?
• Data hujan dan debit harian
• Penggunaan lahan aktual Membandingkan perbedaan data hujan sebagai indicator perubahan iklim terhadap kondisi
hidrologi (debit sungai, baseflow)
Gambaran gangguan, kerentanan dan risiko kelangkaan air, banjir, dan tanah
longsor di wilayah studi.
Bagaimana perubahan tutupan
lahan dapat dipergunakan sebagai
langkah adaptasi perubahan iklim
terkait dampaknya terhadap
kondisi sumber daya air?
• Perubahan tutupan lahan (pada berbagai tahun)
• Penutupan lahan sesuai dengan tingkat kemampuan lahan
• Penutupan lahan
Menguji dampak tutupan lahan satu dengan
lainnya terhadap kondisi kelangkaan air, banjir dan tanah longsor dengan menggunakan
model Genriver dan tool GIS
Strategi adaptasi dengan menggunakan
skenario tutupan lahan.
Bagaimana masyarakat (local
community and policy maker)
beradaptasi dengan dampak
perubahan iklim terhadap kondisi
sumberdaya air?
• Data social dari kuesioner
• Data social dari FGD Analisis kualitatif terhadap data social
ekonomi dan masyarakat
Strategi adaptasi terhadap kelangkaan
air, banjir dan tanah longsor menurut skenario masyarakat local dan pengambil
kebijakan.
USAID/Indonesia Kajian Dampak Perubahan Iklim dan Tata Guna Lahan Terhadap Ketersedian Air di Kabupaten Mojokerto – Jawa Timur 31
LAMPIRAN 3: DATA
Variabel Data Jenis data Metode
pengumpulan data
Sumber data Alat yang
diperlukan
Lokasi
pengumpulan data
Durasi
1. Debit sungai
dan mata air
(base flow)
Hujan Data harian, minimal
selama 20 tahun (1996
- 2016)
Pengumpulan data
sekunder
BMKG Alat transportasi
untuk mencapai
penyedia data
PJT I
Stasiun pengukur
debit di lapangan
3 minggu
Debit sungai Data harian, minimal
selama 20 tahun (1996
- 2016)
Pengumpulan data
sekunder
Stasiun pengukuran
debit pada outlet yang
mewakili lokasi DAS
Brangkal
Alat transportasi
untuk mencapai
penyedia data
PJT I
Stasiun pengukur
debit di lapangan
3 minggu
Suhu • Data suhu harian
minimal selama 20
tahun (1996 - 2016),
• Data 4 skenario iklim
dari BMKG
Pengumpulan data
sekunder
BMKG terkait Alat transportasi
untuk mencapai
lokasi stasiun
pengukur (BMKG)
Beberapa stasiun
pengukuran mewakili
lokasi DAS Brangkal
2 minggu
Perubahan
penutupan
lahan
Luasan perubahan
penutupan lahan tahun
1996 – 2006,
2006 - 2016
GIS pada peta
penutupan lahan
Citra landsat tahun
1996, 2006, dan 2016
Komputer dan
software GIS • Bakosurtanal
• Lab PSISDL Jurusan
Tanah FPUB
10 – 14
hari
Batas DAS,
sub DAS,
jenis tanah
Luas Digitasi dan
overlapping peta
Peta DEM dan tematik
lainnya (jenis tanah,
landsystem)
Komputer dan
software GIS • Bakosurtanal
• Lab PSISDL Jurusan
Tanah FPUB
3 hari
Sifat fisik
tanah
Infiltrasi, bulk density,
permeabilitas tanah
pada setiap subdas
Data sekunder yang
dilengkapi data
primer, analisis
laboratorium
Hasil penelitian
terdahulu dan
pengambilan sampel
dilapangan dan
pengukuran di
laboratorium
Alat survey dan
pengambilan serta
pengukuran sampel
Lapangan (lokasi
penelitian)
10 hari
2. Survei sosial Persepsi
(pendapat)
masyarakat
tentang
kondisi
sumberdaya
air
Kualitatif data wawancara dan
kuesioner, data
sekunder
Primer dari responden Kuesioner,
enumerator
Lokasi penelitian 3 minggu
Water usage Data kuantitatif tentang
penggunaan air
Wawancara PDAM, HIPAM Kuesioner Lokasi penelitian 3 minggu
USAID/Indonesia Kajian Dampak Perubahan Iklim dan Tata Guna Lahan Terhadap Ketersedian Air di Kabupaten Mojokerto – Jawa Timur 32
LAMPIRAN 4: PETA PENGGUNAAN LAHAN AKTUAL
HASIL INTERPRETASI CITRA SATELIT 8 OLI
USAID/Indonesia Kajian Dampak Perubahan Iklim dan Tata Guna Lahan Terhadap Ketersedian Air di Kabupaten Mojokerto – Jawa Timur 33
LAMPIRAN 5: PETA PERUBAHAN TUTUPAN LAHAN 1996, 2002, 2006 DAB 2016
1996 2001
2006 2016
USAID/Indonesia Kajian Dampak Perubahan Iklim dan Tata Guna Lahan Terhadap Ketersedian Air di Kabupaten Mojokerto – Jawa Timur 34
LAMPIRAN 6: PETA SKENARIO RTRW KABUPATEN
MOJOKERTO 2012-2030
USAID/Indonesia Kajian Dampak Perubahan Iklim dan Tata Guna Lahan Terhadap Ketersedian Air di Kabupaten Mojokerto – Jawa Timur 35
LAMPIRAN 7: PETA KEMAMPUAN LAHAN YANG
MENGINDIKASIKAN DAYA DUKUNG LAHAN
KABUPATEN MOJOKERTO
USAID/Indonesia Kajian Dampak Perubahan Iklim dan Tata Guna Lahan Terhadap Ketersedian Air di Kabupaten Mojokerto – Jawa Timur 36
LAMPIRAN 8: PETA ARAHAN TUTUPAN LAHAN ATAS
DASAR DDL KABUPATEN MOJOKERTO
USAID/Indonesia Kajian Dampak Perubahan Iklim dan Tata Guna Lahan Terhadap Ketersedian Air di Kabupaten Mojokerto – Jawa Timur 37
LAMPIRAN 9: PETA PEMBAGIAN SUBDAS DI KABUPATEN MOJOKERTO
USAID/Indonesia Kajian Dampak Perubahan Iklim dan Tata Guna Lahan Terhadap Ketersedian Air di Kabupaten Mojokerto – Jawa Timur 38
LAMPIRAN 10: PETA ANCAMAN KEKERINGAN TAHUN 1996,2001, 2006 DAN 2016
USAID/Indonesia Kajian Dampak Perubahan Iklim dan Tata Guna Lahan Terhadap Ketersedian Air di Kabupaten Mojokerto – Jawa Timur 39
LAMPIRAN 11: PETA POTENSI ANCAMAN KEKERINGAN SKENARIO RTRW DAN DDL
TAHUN 2030
USAID/Indonesia Kajian Dampak Perubahan Iklim dan Tata Guna Lahan Terhadap Ketersedian Air di Kabupaten Mojokerto – Jawa Timur 40
LAMPIRAN 12: PETA ANCAMAN BANJIR TAHUN 1996, 2001, 2006 DAN 2016
USAID/Indonesia Kajian Dampak Perubahan Iklim dan Tata Guna Lahan Terhadap Ketersedian Air di Kabupaten Mojokerto – Jawa Timur 41
LAMPIRAN 13: PETA POTENSI ANCAMAN BANJIR SKENARIO RTRW DAN DDL
TAHUN 2030
USAID/Indonesia Kajian Dampak Perubahan Iklim dan Tata Guna Lahan Terhadap Ketersedian Air di Kabupaten Mojokerto – Jawa Timur 42
LAMPIRAN 14: PETA ANCAMAN LONGSOR TAHUN 1996, 2001, 2006 DAN 2016
USAID/Indonesia Kajian Dampak Perubahan Iklim dan Tata Guna Lahan Terhadap Ketersedian Air di Kabupaten Mojokerto – Jawa Timur 43
LAMPIRAN 15: PETA POTENSI ANCAMAN LONGSOR SKENARIO RTRW DAN DDL
TAHUN 2030
USAID/Indonesia Kajian Dampak Perubahan Iklim dan Tata Guna Lahan Terhadap Ketersedian Air di Kabupaten Mojokerto – Jawa Timur 44
LAMPIRAN 16: LOKASI MATA AIR DI KABUPATEN
MOJOKERTO
No Nama Mata Air, Lokasi
Koordinat H Q
x y m lt/dt
1 Ma.Urang-urang,Ds.Jatijejer,Kec.Pacet 673500 9157500 400 2
2 Ma.Klinggih,Ds.Kemlokogede,Kec.Trawas 674500 9151200 900 3
3 Ma. Padusan,Kp.Padusan Kec Pacet 668800 9150800 700 2
4 Ma. Umbulan,Kp.Pedurean,Kec Pacet 669300 9151000 600 200
5 Ma. Putuk, Ds.Banaran, Kec.Jatirejo 665150 9142950 285 2
6 Ma.Ubalan,Ds.Bleberan,Kec.Pacet 650700 9157400 180 10
7 Ma.Mantingan,Ds. Bleberan,Kec Jatirejo 658800 9155200 250 5
8 Ma.Sumbersedon,Ds.Wotanmasjedong,Kec.Ngoro, 667800 9167800 225 6
9 Ma.Wotan masjedong,Kec.Ngoro, 677700 9161500 235 9
10 Ma.Sumbergentung,Kec.Ngoro 677900 9160500 375 2.5
11 Ma.Balekambang,Kec.Trawas 675800 9159700 440 8
12 Ma.Sumbersoko,Kec.Seloliman 675700 9158800 475 19
13 Ma.Seloliman,Kec.Trawas 675500 9158500 480 1
14 Ma.Brungan,Ds.Kedungudu,Kec.Trawas 676200 9155800 590 155
15 Ma.Janten,Ds.Janten,Kec Trawas 675500 9153100 700 2
16 Ma.Sukosari-1,Kec.Trawas 673900 9155100 105 2
17 Ma.Sukosari-2,Kec Trawas 673900 9154200 650 2
18 Ma.Trawas,Kec.Trawas 674500 9151400 950 1
19 Ma.Sumbergembolo,Kec.Trawas 674000 9150400 900 8
20 Ma.Sumberbulus,Ds.Celaket,Kec.Pacet 673000 9149300 925 1.5
21 Ma.Sumberpancung,Ds.Celaket,Kec.Pacet 673300 9149300 925 2
22 Ma.Celaket,Ds.Celaket,Kec.Pacet 672700 9150000 950 2.8
23 Ma.Gentoi,Ds.Celaket,Kec.Pacet 673700 9149600 925 15
24 Ma.Airpanas,Ds.Padusan,Kec.Pacet 670700 9150200 750 3
25 Ma.Watuklenceng,Ds.Padusan,Kec.Pacet 671800 9149400 1000 60
26 Ma.Sumberslowok,Ds.Slowok,Kec.Pacet 669700 9150200 900 12
27 Ma.Kembengan,Ds.Cempokolimo,Kec.Pacet 671400 9150800 775 1.4
28 Ma.Sumberbendo,Kec.Pacet 671400 9050900 850 25
29 Ma.Sumbersari,Ds.Kepatihan,Kec.Pacet 668700 9156700 375 1
30 Ma.Sumberdepok,Kec Pacet 668700 9157000 360 1
31 Ma.Sumberjubel,Ds.Belor,Kec.Pacet 672700 9152500 725 35
32 Ma.Sumberubalan,Ds.Bulakkunci,Kec.Pacet 672300 9153700 625 1
33 Ma.Sumberkembar,Kec Pacet 670700 9157400 375 1.5
34 Ma.Jubel, Ds. Jampinan, Kec.Pacet 660800 9153900 650 18
35 Ma.Cangkring,Ds.Ngoro,Kec.Ngoro 665800 9148150 875 3
36 Ma.Baung, Kec.Pacet 667700 9148950 875 6.5
37 Ma Bendo Lor, Ds Wonoploso, Gondang 8
38 Ma Sintru, Ds Jakadukuh, Kec Gondang 7
39 Ma Ngembul, Ds. Ngembeh, Kec Gondang 7
40 Ma Ngambeh, Ds Ngambeh, Kec Dlanggu 20
41 Ma Borang 1, Ds Sumbersono, Kec Dlanggu 5
42 Ma Borang 2, Ds Sumbersono, Kec Dlanggu 5
43 Ma Sambikuning, Ds Tangunan, Kec Dlanggu 21
44 Ma Ngrayung, Ds. Ngrayung, Kec Kutorejo 3
45 Ma Pelangi, Kec. Pacet 25.5
46 Ma Mojo, Kec. Pacet 12
47 Ma Wonolopo, Kec. Pacet 46.7
48 Ma Gondang, Kec. Gondang 7
49 Ma Dlundung, Kec. Trawas 12
USAID/Indonesia Kajian Dampak Perubahan Iklim dan Tata Guna Lahan Terhadap Ketersedian Air di Kabupaten Mojokerto – Jawa Timur 45
LAMPIRAN 17: HASIL UJI KUALITAS AIR
No ParameterStandar
Baku Mutu
S.
Kromong
S.
BrangkalS. Bangsal
S.
Marmoyo
1 Temperatur Deviasi 3 24.6 24.6 24.5 24.6
2 pH 6 7 7.1 7.2 7
3 DO 4 4.9 5.8 5.2 5.9
4 BOD 3 2.15 2.3 2.35 2.80
5 COD 25 4.807 5.305 4.819 6.054
6 TSS 50 5.4 5.5 5.3 11.8
7 TDS 1000 276.4 283.8 320.6 397.2
8 Fluorida 1.5 0.087 0.170 0.946 0.851
9 Nitrat 10 0.070 0.097 0.406 0.250
10 Nitrit 0.06 0.002 0.064 0.003 0.002
11 Amonia
Bebas- 0.013 0.011 0.013 0.012
12 Phospat Total 0.2 0.050 0.277 0.153 0.383
13 Boron 1 0.260 0.119 0.173 0.139
14 Sulfida 0.002 0.004 0.006 0.010 0.007
15 Fenol 0.001 tt***) tt***) tt***) tt***)
16 Deterjen
(MBAS)0.2 0.049 0.048 0.072 0.059
17 Sianida 0.02 tt tt tt Tt
18 Minyak dan
Lemak1 <3.4 <3.4 <3.4 <3.4
19 Krom +6 0.05 <0.012 <0.012 <0.012 <0.012
20 Klorin Bebas 0.03 tt tt tt Tt
21 Arsen 1 tt tt tt Tt
22 Kadmium 0.01 tt tt tt Tt
23 Tembaga (Cu) 0.02 tt tt tt Tt
24 Krom Total - tt tt tt Tt
25 Raksa 0.002 tt tt tt Tt
26 Timbal 0.03 tt tt tt Tt
27 Selenium 0.05 tt tt tt tt
28 Seng 0.05 0.087 0.280 0.041 0.033
29 Kobalt 0.2 tt tt tt Tt
30 Total Coliform 5000 75 75 150 93
31 Coli tinja 1000 23 20 39 39
USAID/Indonesia Kajian Dampak Perubahan Iklim dan Tata Guna Lahan Terhadap Ketersedian Air di Kabupaten Mojokerto – Jawa Timur 46
LAMPIRAN 18: PETA SEBARAN RISIKO KEKERINGAN TAHUN 1996, 2001, 2006, 2016
USAID/Indonesia Kajian Dampak Perubahan Iklim dan Tata Guna Lahan Terhadap Ketersedian Air di Kabupaten Mojokerto – Jawa Timur 47
LAMPIRAN 19: PETA SEBARAN POTENSI RISIKO KEKERINGAN SKENARIO RTRW DAN
DDL
USAID/Indonesia Kajian Dampak Perubahan Iklim dan Tata Guna Lahan Terhadap Ketersedian Air di Kabupaten Mojokerto – Jawa Timur 48
LAMPIRAN 20: PETA SEBARAN RISIKO BANJIR TAHUN 1996, 2001, 2006 DAN 2016
USAID/Indonesia Kajian Dampak Perubahan Iklim dan Tata Guna Lahan Terhadap Ketersedian Air di Kabupaten Mojokerto – Jawa Timur 49
LAMPIRAN 21: PETA SEBARAN RISIKO BANJIR SKENARIO RTRW DAN DDL 2030
USAID/Indonesia Kajian Dampak Perubahan Iklim dan Tata Guna Lahan Terhadap Ketersedian Air di Kabupaten Mojokerto – Jawa Timur 50
LAMPIRAN 22: PETA RISIKO LONGSOR TAHUN 1996, 2001, 2006 DAN 2016
1991 2001
2006 2016
USAID/Indonesia Kajian Dampak Perubahan Iklim dan Tata Guna Lahan Terhadap Ketersedian Air di Kabupaten Mojokerto – Jawa Timur 51
LAMPIRAN 23: PETA SEBARAN RISIKO LONGSOR SKENARIO RTRW DAN DDL 2030
USAID/Indonesia Kajian Dampak Perubahan Iklim dan Tata Guna Lahan Terhadap Ketersedian Air di Kabupaten Mojokerto – Jawa Timur 52
LAMPIRAN 24: STRATEGI ADAPTASI BERDASARKAN
IWRM
Penyusunan strategi adaptasi terhadap kelangkaan air akibat perubahan iklim berdasarkan
direkomendasikan dalam AR4 dimana tercantum Manajemen Daerah Aliran Sungai Terpadu (Integrated
Watershed Resources Manajement / IWRM).
1. Manajemen Sumberdaya Air dan Pembangunan Sosial-ekonomi Masyarakat
Manajemen sumberdaya air Status sehat diilustrasikan di sini, dengan timbangan manajemen DAS di
posisi tengah (Gambar 1). Dalam menjalankan Forum Penyehatan DAS direkomendasikan untuk
membentuk Pokja-Pokja yang membidangi beberapa akspek. Forum Penyehatan DAS di tingkat
Kabupaten Mojokerto selenjutnya bergabung dalam Forum DAS tingkat propinsi yang saat ini telah di
bentuk dalam wadah Forum DAS Brantas dan Sampean.
Gambar 1. Definisi DAS Sehat
Para pihak dalam DAS di Kabupaten Mojokerto perlu membentuk dan memfungsikan peran “Forum
Penyehatan DAS” secara partisipatif dengan menjalankan prinsip-prinsip:
• Bertanggung-jawab pada publik dan para pihak, memiliki dasar hukum yang jelas, dukungan
finansial yang cukup dan bekerja atas dasar rencana.
• Memiliki tujuan dan sasaran yang jelas atas dasar kesepakatan para pihak, menetapkan peran
dan mendelegasikan tanggung jawab secara adil untuk mencapai efisiensi pelaksanaan rencana
DAS.
• Mendapatkan kepercayaan dari para pihak dalam mengelola DAS.
• Menghindari tumpang-tindih mandat ataupun kekosongan kewenangan/ tanggungjawab.
• Fleksible dan adaptif untuk memberi peluang keterlibatan multipihak
• Menyediakan informasi yang jelas pada para pihak terkait dengan kondisi ekosistem dan
hubungan yang ada antara ekosistem dengan aktivitas manusia dan kebutuhannya.
• Dalam penetapan tujuan dan sasaran, badan manajemen DAS perlu memperhatikan peran
pengetahuan dan kebijakan.
USAID/Indonesia Kajian Dampak Perubahan Iklim dan Tata Guna Lahan Terhadap Ketersedian Air di Kabupaten Mojokerto – Jawa Timur
53
2. Partisipasi Multi-stakeholder dalam Forum Penyehatan DAS
para pihak menunjukkan bahwa perhatian terhadap fungsi sumberdaya air di Kabupaten Mojokerto
relatif tinggi, namun diantara para pihak masih belum jelas integrasi target-target pengelolaan
manajemen sumberdaya air yang digarap serta indikator kinerja yang dihasilkan dalam memperbaiki
kondisi hidrologi DAS. Setiap para pihak merencanakan dan melakukan tindakan pengelolaan DAS
secara sektoral yang disesuaikan dengan kepentingan dan mandat masing-masing instansi. Rencana dan
tindakan manajemen sumberadaya air oleh setiap instansi ini bisa berbeda tetapi tidak jarang terjadi
tumpang-tindih kegiatan maupun sasaran yang dituju. Koordinasi sudah sangat sering diwacanakan
bahkan pertemuan koordinasi antar pihak juga sudah menjadi agenda bersama, namun istilah koordinasi
masih sebatas pertemuan belum sampai pada tindakan nyata. Sampai sejauh ini perencanaan dan
tindakan manajemen sumberdaya air belum didasarkan pada integrasi kesepakatan para pihak dalam
menetapkan prioritas manajemen sumberdaya air untuk penyehatan DAS.
Dalam kepentingan dan peran para pihak manajemen sumberdaya air dipisahkan antara para pihak dari
luar (tingkat Provinsi dan Pusat) dan para pihak dari dalam wilayah di Kabupaten Mojokerto. Hasil di
sajikan di Lampiran 6.1.
Kegiatan perencanaan dan manajemen sumberdaya air yang terkait dengan para pihak tingkat Provinsi
Jawa Timur dan tingkat pusat baik langsung maupun tidak langsung ternyata cukup banyak dilakukan di
Kab. Mojokerto ini. Beberapa para pihak di tingkat Provinsi Jawa Timur yang terkait dengan manajmen
sumberdaya air adalah Badan Pengendalian Dampak Lingkungan Daerah (Bapedalda), Dinas Kehutanan,
Dinas Pekerjaan Umum Pengairan, Dinas Kesehatan, Dinas Enerji dan Sumberdaya Mineral. Sementara
itu beberapa dinas dan instansi lain yang secara tidak langsung juga sering berhubungan dengan isu
manajemen sumberdaya air adalah Dinas Pertanian, Dinas Peternakan dan Badan Pemberdayaan
Masyarakat (Bapemas). Kelompok berikutnya adalah instansi atau lembaga pusat yang beroperasi di
daerah seperti Balai Besar Wilayah Sungai (BBWS) Kali Brantas, Perum Jasa Tirta I (PJT), Perum
Perhutani KPH Mojokerto, dan Balai Pengelolaan DAS Brantas (BP DAS). Pihak lain yang berperan
dalam bidang ini di wilayah Mojokerto adalah LSM PPLH Mojokerto dan LSM Pusdakota Surabaya.
Sebenarnya masih ada pihak luar lain yang juga berperan yakni dari Perguruan Tinggi seperti Universitas
Brawijaya (UB), Universitas Surabaya (UBAYA), ITS dan UNAIR.
Identifikasi terhadap para pihak yang berperan dalam kegiatan perencanaan dan sumberdaya air
Kabupaten Mojokerto menghasilkan sederet para pihak baik dari lembaga pemerintah maupun non-
pemerintah di Kab Mojokerto (Lampiran 6.2.).
Para pihak yang terkait dengan manajemen sumberdaya air dari lembaga pemerintah adalah lembaga
legislatif (DPRD), Bupati Mojokerto dan jajarannya, Badan Perencanaan Pembangunan Daerah
(Bappeda), Dinas Pertanian dan Kehutanan, Dinas Lingkungan Hidup, Dinas Bina Marga dan Pengairan,
Dinas Kesehatan, Dinas Cipta Karya dan Pemukiman, Kantor Pemberdayaan Masyarakat dan Kantor
Koperasi dan UKM, PDAM Kab Mojokerto, dan MUSPIKA (Musyawarah Pimpinan Kecamatan).
Daftar para pihak non-pemerintah yang berperan aktif dalam konteks manajemen sumberdaya air di
wilayah Kab Mojokerto adalah LSM PPLH Mojokerto, (dari kelompok LSM), dari kelompok petani
seperti Kelompok Tani Tahura (KTT), Lembaga Masyarakat Desa Hutan (LMDH), IPPHTI, Gapoktan,
dan KTNA, HIPA serta dari kelompok pengusaha HIPPAM, Persatuan Hotel dan Restoran Indonesia
(PHRI) / Hotel Sativa.
3. Rencana Aksi yang Fleksibel dalam Manajemen DAS
Perencanaan dibidang manajemen sumberdaya alam dan khususnya manajemen sumberdaya air dapat
ditetapkan sebagai perencanaan strategis atau perencanaan operasional. Rencana strategis memberikan
arahan pembanguan jangka panjang terkait dengan kebijakan yang memadai untuk mengelola
sumberdaya alam dan manusia dan memberikan masukan dan pertimbangan bagi rencana jangka
menengah dan rencana sektoral yang lebih detil di wilayah DAS. Rencana strategis manajemen
sumberdaya alam didekati dengan batasan ekologis DAS, sedang perencanaan pembangunan yang
dikendalikan oleh kepentingan ekonomi dan politik dikelola dengan batasan administratif, dan kedua
USAID/Indonesia Kajian Dampak Perubahan Iklim dan Tata Guna Lahan Terhadap Ketersedian Air di Kabupaten Mojokerto – Jawa Timur
54
batasan tersebut perlu disinergikan. Sinergitas ini tentunya Peran BAPEDA Kabupaten Mojokerto
sangat penting dan strategis.
Penyelarasan perencanaan pembanguan dengan perencanaan Manajemen DAS Terpadu semestinya
mengacu Peraturan Menteri Kehutanan RI Nomor: P. 39/Menhut-II/2009, tentang Pedoman
Penyusunan Rencana Manajemen DAS Terpadu. Perencanaan merupakan salah satu tahapan dari
Manajemen DAS Terpadu. Rencana Managemen DAS terpadu dalam peraturan ini dipandang sebagai
rencana jangka panjang 15 (lima belas) tahun yang rentang waktu rencananya disesuaikan dengan
rencana pembangunan daerah bersangkutan. Kabupaten Mojokerto yang merupakan bagian dari DAS
Brantas, rencana jangka panjang ini telah tertuang dalam dua dokumen yang disusun (1) Balai Pengelola
Sumber Daya Air BPSDA) dan (2) Balai Rehabilitasi Lahan dan Konservasi Tanah (BRLKT). Yang dapat
diacu dalam manajemen sumberdaya air. Rencana DAS Terpadu ini bersifat strategis yang akan
dijabarkan dalam rencana jangka menengah 5 (lima) tahun bersifat semi detail pada tingkat sektor di
setiap DAS. Rencana manajemen DAS Terpadu diarahkan sebagai rencana multi pihak yang disusun
dengan pendekatan partisipatif. Untuk itu rencana ini dirancang memuat berbagai kepentingan dan
tujuan, serta sasaran yang harus diselesaikan melalui pendekatan multi disiplin, yang diintegrasikan
dalam satu sistem perencanaan. Dalam konteks ini, masalah-masalah yang dihadapi oleh setiap
instansi/pihak diupayakan untuk diatasi bersama dengan kerangka pencapaian tujuan bersama. Rencana
Strategis Manajemen DAS Terpadu ini digunakan salah satu acuan, masukan dan pertimbangan bagi
kabupaten/kota dalam penyusunan Rencana Pembangunan Jangka Panjang (RPJP), Rencana
Pembangunan Jangka Menengah (RPJM), dan Rencana Kegiatan Pemerintah Daerah (RKPD) (Gambar
3-2).
Gambar 2. Posisi rencana manajemen DAS terpadu dalam pembangunan daerah
4. Hubungan Forum Penyehatan DAS dan Fasilitator dalam Implementasi Rencana Aksi
Badan manajemen DAS perlu mendapatkan komitmen dan fasilitasi dari pemerintah, kalangan industri
dan swasta untuk membantu kemitraan kelompok DAS (Gambar 6.3). Mereka diharapkan memberi
dukungan (a) dana untuk operasional manajemen dan pemberdayaan kelompok yang berbasis
masyarakat dan (b) bantuan teknis kepada kelompok berbasis masyarakat.
USAID/Indonesia Kajian Dampak Perubahan Iklim dan Tata Guna Lahan Terhadap Ketersedian Air di Kabupaten Mojokerto – Jawa Timur
55
Gambar 3. Model kemitraan para pihak dalam menanggung biaya bersama untuk penyehatan DAS
5. Sekolah Lapangan Lingkungan sebagai Jalan Implementasi Rencana Aksi di Tingkat
Lokal
Sekolah lapangan lingkungan ini dapat dirancang dalam tiga proses utama yaitu: (1) Pemilihan lokasi
sekolah lapangan dengan konsep “Development Pathway” diharapkan dapat menentukan lokasi yang
tepat, (2) Proses Sekolah lapangan sebagai salah satu bentuk pendekatan, untuk memfasilitasi perubahan
perilaku masyarakat secara efektif dan efisien, (3) Monitoring dan evaluasi secara partisipatif untuk
menjaga kualitas kegiatan dan pencapaian keluaran.
Pemilihan lokasi sekolah lapangan dengan konsep “Development Pathway” merupakan proses analisis
tumpang-susun beberapa data spasial berdasarkan kriteria-kriteria yang disusun oleh para pakar dan
masyarakat secara partisipatif dengan memanfaatkan aplikasi GIS. Proses ini bermanfaat dalam
melakukan pemilihan DAS, Sub DAS dan DAS Mikro, serta Desa - kelompok Desa prioritas untuk
kegiatan managemen sumberdaya air. Berdasarkan peta dan karakterisasi DAS Mikro serta identifikasi
potensi dan permasalahan dapat dibuat rancangan manajemen. Pada tahap ini harus dicari alternatif
pemecahan masalah sebanyak mungkin melalui pengalamannya sendiri, bertanya kepada orang lain yang
lebih tahu & ahli, membaca literatur dan sebagainya. Pada tahap ini perlu memperhatikan rancangan
yang lebih tinggi tingkatnya (misalnya rancangan DAS, Sub DAS, Kabupaten, dst). Rancangan
pengembangan dan manajemen DAS mikro ini dituangkan dalam sebuah peta dengan skala 1: 500 sampai
1 : 1000. Inti dari pendekatan DAS mikro adalah pemberdayaan masyarakat agar mampu memahami
potensi dan permasalahan yang dihadapi serta menyusun rencana untuk mengatasi problem tersebut
yang difasilitasi seorang fasilitator. Pendanaan implementasi Rancangan DAS Mikro dapat didukung dari
dana desa.
Tujuan sekolah lapangan adalah (1) peningkatan kapasitas kelompok masyarakat sebagai agen
perubahan, (2) penerapan Program Pemerintah berbasis lokal, (3) perubahan perilaku masyarakat
sebagai dasar aksi nyata di lapangan, (4) Penguatan jaringan kerjasama antara masyarakat dengan
pemerintah dan pihak lain. Cakupan lokasi diupayakan gabungan dari beberapa DAS Mikro yang
merupakan kepemilikan satu kelompok masyarakat dengan batas ekologi yang spesifik (Dusun,
Gabungan dusun, Desa), Peserta sekolah lapangan sekitar 25 orang yang dipilih masyarakat setempat
dalam setiap Desa. Kisaran waktu pelaksanaan sekolah lapangan adalah satu siklus program dari
perencanaan – pengembangan (1 tahun). Proses belajar dalam sekolah lapangan ini merupakan satu
siklus belajar lewat pengalaman (mengalami-mengungkapkan-menganalisis-memutuskan-menerapkan),
dengan materi belajar disesuaikan kebutuhan masyarakat dan hasil indentifikasi masalah. Ada delapan
tahapan dalam sekolah lapangan yaitu (1) pengumpulan data sekunder, observasi lapangan dan pemetaan
sosial, (2) pelaksanaan ToT fasiliator lokal, (3) pelaksanaan sekolah lapangan untuk melakukan
assessment perikehidupan masyarakat yang berkelanjutan, (4) menyusun rencana aksi manajemen, (5)
USAID/Indonesia Kajian Dampak Perubahan Iklim dan Tata Guna Lahan Terhadap Ketersedian Air di Kabupaten Mojokerto – Jawa Timur
56
menginisiasi implementasi rencana rintisan, (6) “Field Day” untuk memahami keberhasilan dan
kekurangan dari rencana aksi rintisan, (7) implementasi rencana aksi oleh masyarakat atas dukungan
dari para pihak termasuk pemerintah, (8) workshop evaluasi kegiatan.
Monitoring dan evaluasi secara partisipatif untuk menjaga kualitas kegiatan dan pencapaian keluaran
dilakukan secara partisipatif. Kegiatan monitoring dan evaluasi dapat dilakukan melalui (1) Lokakarya
Teknis, (2) pengembangan Matrik Kualitas, (3) penyusunan Laporan Perkembangan (Biweekly Update,
Quatery Report, Annual Report), (4) Penilaian Kinerja dan Keluaran (PMP Outcomes), dan (5)
Pengembangan Program (Succes Story, Study Dampak, Mini base line, Longitudinal Study). Kegiatan ini
diharapkan dapat didokumentasikan sehingga dapat dimanfaatkan sebagai learning proses kelompok
dan dapat digunakan sebagai landasan pengembangan inovasi dan penguatan jaringan.
6. Proses Negoisasi Manajemen DAS
Untuk keberlanjutan pasokan sumberdaya air dibutuhkan pengembangan sistem dukungan negosiasi.
Jeanes at al. (2006) menawarkan konsep sepuluh tahap Sistem Dukungan Negosiasi untuk membantu
para pihak untuk memperbaiki mosaik penggunaan lahan dari prespektif fungsi DAS yang mengalami
degradasi untuk menuju praktek penggunaan lahan yang sehat (profitable, sustainable) (Tabel 6-1).
Tabel 1. Sepuluh tahap Sistem Dukungan Negosiasi (Jeanes et al. 2006)
Tahapan Pendekatan dukungan negosiasi DAS
1 Karakterisasi. (hujan, kepadatan penduduk, status migrasi, usaha pertanian
utama) dan diagnosis issue utama dan masalahnya terkait dengan fungsi hidrologi
DAS dan perikehidupan (termasuk sumber air minum). Untuk itu dokumen ini
dapat sebagai data dasar karakterisasi
2 Penilaian Bentang Lahan, kemiringan, penggunaan lahan dan zonasi vegetasi,
toposequen tanah dari punggung bukit ke sungai. Untuk itu dokumen ini dapat
digunakan sebagai informasi kondisi bentang lahan yang dikemudian hari dapat
lebih disempurnakan sesuai dengan kemajuan informasi lanjutan yang diperoleh.
3 Pemahaman aliran air dan kosekuensi aliran lateral (pengangkutan dan
pemerangkapan) tanah, unsur hara, polutan dll. Intersepsi, transpirasi, aliran
permukaan, aliran dalam tanah, aliran bawah tanah, mata air, dll. Apa yang diangkut
aliran air (tanah, unsur hara, garam-garam, polutan, bahan organic, limbah
domestik …) dan apa yang dapat di filter. Untuk itu dokumen ini dapat digunakan
sebagai informasi kondisi sistem hidrologi wilayah Kab Mojokerto yang
dikemudian hari dapat lebih disempurnakan sesuai dengan kemajuan informasi
lanjutan yang diperoleh.
4 Deskripsi sistem penggunaan lahan terkait dengan keluaran hasil pengelolaan
sumberdaya lahan / keuntungan pemanfaatan sumberdaya lahan dan dampak-
dampaknya terhadap sumberdaya air.
5 Deskirpsi multi fungsi semberdaya lahan yang saat ini masih dikelola secara
sektoral diarahkan untuk dikelola secara terintegrasi sehingga dapat
mempertemukan fungsi produksi dan fungsi lingkungan.
6 Pemahaman tradeoffs antara fungsi agronomis relatif (RAF) dan fungsi ekonomi
pemanfaatan sumberdaya air dan fungsi lingkungan relatif (REF), sebagai contoh
dalam bentuk jumlah penduduk yang kecukupan pendapatan per km2 sebagai RAF
dan jumlah penduduk dengan kecukupan air bersih sebagai REF indikator –
dibangun dari tahapan 4.
USAID/Indonesia Kajian Dampak Perubahan Iklim dan Tata Guna Lahan Terhadap Ketersedian Air di Kabupaten Mojokerto – Jawa Timur
57
7 Mosaik bentang lahan (dibangun dari tahapan 5) dalam kontek aliran air dan
“externalities” untuk pembuatan keputusan manajemen sumberdaya air;
keberadaan aturan dan insentif (‘carrots and sticks’) di tingkat masyarakat
dan pemerintah; apakah moasik bentang lahan memiliki konfigurasi yang stabil
untuk memenuhi sebuah kebutuhan sumberdaya air di masa depan
8 praktek pola dan penggunaan lahan yang ada serta kebutuhan rencana aksi
berdasarkan prespektif para pihak (termasuk gender dan pemerataan).
9 Pemahaman masalah yang ada dan konflik pada tingkat pengetahuan lokal,
pengetahuan kebijakan dan dan kajian ilmiah: apakah ada keragaman
presepsi dan prespektif pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya air atau apakah
ada kebutuhan untuk menyatukan pandangan dan rencana aksi sebagai tahapan
dalam negosiasi.
10 Kelanjutan kesepakatan negosiasi dan implementasi rencana aksi, diikuti
dengan kegiatan monitoring dan dampaknya terhadap kerentanan sumberdaya air
di Kab Mojokerto
7. Resolusi Konflik untuk Membangkitkan Kesadaran Kasyarakat
Alokasi dan distribusi air antar sektor dan wilayah semakin kompleks dengan potensi konflik semakin
meningkat, antar masyarakat. Pihak yang berpotensi terlibat dalam konflik terbagi menjadi empat
kelompok yaitu pemerintah, masyarakat, pihak swasta dan lembaga swadaya masyarakat. Perbedaaan
orientasi kepentingan antar pihak membuat beragamnya hubungan yang terjadi berupa kerjasama dan
konflik yang melibatkan beberapa pihak dalam pemanfaatan sumberdaya air. Beberapa rekomendasi
dalam resolusi konflik pemanfaatan sumberdaya air:
1. Penyelesaian konflik antar kelompok tani dalam perebutan air dilakukan dengan melakukan
mediasi yang melibatkan aparat pemerintah dan keamanan tempat terjadinya konflik.
2. Untuk kasus konflik antara masyarakat dan perusahaan swasta, konflik muncul karena
privatisasi menyebabkan akses masyarakat terhadap sumber air menjadi terbatas serta
kuantitas, kualitas dan kontinuitas air menjadi turun. Intensitas konflik pemanfaatan
sumberdaya air meningkat pada saat musim kemarau. Penyelesaian konflik yang dilakukan
dengan cara mediasi dan arbitrase yang difasilitasi pemerintah daerah.
3. Kontestasi untuk mendapatkan akses terhadap sumber daya air mengemuka sebagai isu
kekeringan dan kesulitan untuk mendapatkan air. Konflik tidak saja melibatkan masyarakat dan
perusahaan tetapi mendorong aktor lain seperti Lembaga Swadaya Masyarakat untuk ikut
memanfaatkan situasi demi kepentingan masing-masing.
USAID/Indonesia Kajian Dampak Perubahan Iklim dan Tata Guna Lahan Terhadap Ketersedian Air di Kabupaten Mojokerto – Jawa Timur
58
LAMPIRAN 25: TEKNOLOGI ADAPTASI DAMPAK
PERUBAHAN IKLIM TERHADAP KONDISI SUMBERDAYA
AIR DI MOJOKERTO
1. Pengkayaan dan Konservasi Biodiversitas Hutan (PKB)
Untuk kegiatan manajemen sumberdaya air di kawasan yang saat ini memiliki tutupan hutan tentunya
dapat dilakukan dengan upaya mempertahankan dan meningkatkan biodiversitas lahan hutan. Dalam
merancang program pengkayaan dan biodiversitas hutan diharapkan mengacu prinsip-prinsip sebagai
berikut:
• Program diharapkan menerapkan konservasi berdasar ancaman: Program program
pengkayaan dan biodiversitas hutan diharapkan dapat dengan jelas mengidentifikasi ancaman
(pada semua skala) terhadap biodeversitas dan menguraikan rencana penanggulangannya.
Program diharapkan menerapkan aktivitas-aktivitas yang dapat menurunkan, menghilangkan
atau mengurangi ancaman didasarkan pada akar masalah yang ada.
• Program sebaiknya lebih adaptif. Pada saat merancang awal aktivitas program diharapkan
selalu terkait dengan kebutuhan konservasi, yang biasanya komplek dan secara terus menerus
dilakukan. Program diharapkan tersetruktur sedemikian rupa yang dapat dimonitor
kemajuannya, menghasilkan jadwal informasi pengelolaan, dan penyesuaian program bila
diperlukan.
• Program dihaparkan fokus pada lokasi prioritas untuk untuk konservasi
biodeversitas.
• Program diharapkan berorientasi terhadap hasil. Program dihaparkan secara jelas
menguraikan asumsi, rational, metode untuk mencapai hasil yang direncanakan. Kita diharapkan
menguraikan bagaimana dampak program pada biodeversitas dapat diukur dan dimonitor.
Kegiatan untuk mengukur kuantitas atau kualitas habitat diharapkan bila diperlukan.
• Program diharapkan mengarah kekeberlanjutan.
• Program diharapkan partisipatif
• Program diharapkan memperkuat kapasitas lokal.
• Program diharapkan menyertakan komponen pembelajaran dan penyebaran dari hasil
pembelajaran tersebut.
• Program dihaparkan baik mendukung kegiatan konservasi dan pengembangan atau mengisi gap
krusial yang spesifik.
Untuk itu program yang dapat dikembangkan dapat berupa:
• Manajemen Kawasan Lindung (Portected area management)
• Konservasi berbasis masyarakat (Community-based conservation)
• Pemanfaatan berkelanjutan terhadap sumberdaya alam (Sustainable use of natural resources)
• Keterkaitan antar sektor dalam Konservasi Biodiversitas (Cross-sectoral linkages to
biodiversity conservation)
• Pengembangan dan Reformasi Kebijakan (Policy development and reform)
• Pengembangan Jasa Lingkungan untuk Konservasi (Economic incentives for conservation)
Untuk melakukan kegiatan tersebut tentunya lebih lanjut perlu dilakukan aktivitas:
1. Pemetaan habitat (Habitat Mapping) dan Pemetaan Sumber air di desa terpilih terhadap aspek-
aspek:
a. Penetapan kondisi dan pentingnya biodiversitas terhadap sumberdaya air
b. Kemanfaatan sumberdaya hutan yang dikonservasi:
• Kemanfaatan langsung: sumberdaya biotic untuk memenuhi kebutuhan masyarakat
yang meliputi: pangan, bahan bakar, serat, obat-obatan yang member keuntungan
biotheknologi.
• Layanan ekosistem: pembentukan tanah, rekreasi, siklus unsur hara tanah,
pengaturan air dan penyediaan air bersih, pengatur iklim (temperature dan curah
USAID/Indonesia Kajian Dampak Perubahan Iklim dan Tata Guna Lahan Terhadap Ketersedian Air di Kabupaten Mojokerto – Jawa Timur
59
hujan), habitat flora fauna, pencegah banjir dan badai, bahan mentah dan makanan,
sumber daya genetik, penyeimbang udara atmosfir, melepaskan air secara perlahan,
c. Nilai non-material: spiritual, keindahan, pendidikan, rekerasi, sejarah hidup,
keuntungan keilmuan,
2. Issue pengelolaan dalam berbagai skala: Skala desa sampai kabupaten, dimulai dari sumber air
(Zone 1), Zone2 and Zone 3
3. Penyertaan pemangku kepentingan.
4. Analisis ancaman dan peluang konservasi (spesies, proses ekologi atau keseluruhan sistem
hutan)
a. Macam ancaman untuk hutan di Kab Mojokerto:
• Konversi habitat alami ke tanaman semusim, pemukiman atau kegiatan manusia lainnya.
• Overexploitasi: panen tak terkendali dari spesies yang bernilai.
• Introduced nonnative species, termasuk invasive species dan hama penyakit.
• Polusi lahan, air dan udara, dan
• Macro-environmental changes: perubahan iklim, banjir dll.
b. Akar masalah, contoh:
• Inequality dan kemiskinan
• Perubahan demografi, migrasi, dan konflik
• Kebijakan Publik dan bangunan kebijakan
• Tekanan pasar lokal dan global,
• Perubahan cepat budaya dan sosial (termasuk krisis kesehatan umum)
c. Prioritas encaman:
• Yang paling mendesak mengarah pada ancaman
• Peluang keberhasilan untuk mengurangi ancaman
• Luasan yang dipengaruhi terhadap ancaman
• Kelayakan yang ditujukan pada ancaman (sebagai contoh: budaya, politik, ekonomi),
dan
• Tingkat kesepakatan diantara para pemangku kepentingan tentang ancaman.
5. Memilih prioritas Konservasi
6. Membuat Rencana Aksi dan Merancang aktivitas
7. Monitoring, evaluasi, dan pengelolaan secara adaptif.
2. Pengembalian Fungsi Hutan melalui permudaan alam (PAH)
Pemeliharaan Permudaan Alam (PPA) = Assisted Natural Regeneration atau disingkat dengan ANR,
adalah usaha penghutanan kembali dengan memanfaatkan anakan alami yang ada. Anakan alami tersebut
memperoleh perawatan dari masyarakat guna mempercepat pertumbuhannya. Oleh karena itu cara ini
juga bisa disebut dengan Permudaan Alam yang Dipercepat (PAD) atau Accelerated Natural
Regenaration. Cara penghutanan kembali melalui pendekatan PPA ini mudah disesuaikan dengan kondisi
setempat, dimana: (1) Menggunakan permudaan alam yang bibitnya berasal dari pepohonan di hutan
alam (anakan alam atau pembibitan dan pertunasan secara alami). (2) “Membantu” permudaan alam
dengan mencegah bencana kebakaran semak belukar, dan membantu mengusahakan anakan pepohonan
untuk tumbuh lebih cepat (Gambar 7.8). (3) Menanam pepohonan guna menambah populasi pepohonan
bila diperlukan atau diinginkan (pengkayaan) (Gambar 7.9).
USAID/Indonesia Kajian Dampak Perubahan Iklim dan Tata Guna Lahan Terhadap Ketersedian Air di Kabupaten Mojokerto – Jawa Timur
60
Gambar 1. Permudaan alam di areah semak belukar (Kathleen et al. 2000)
Gambar 2. Pengkayaan dengan pohon (Kathleen et al. 2000)
Permudaan alam ini memanfaatkan keberadaan pohon pionir di kawasan hutan yang mengalami
degradasi. Pepohonan pionir adalah pohon-pohon yang sudah ada dan tumbuh secara alami di semak
belukar dari proses deforestasi. Pepohonan pionir ini sudah berkembang dengan baik dan mampu
beradaptasi dengan kondisi lingkungan setempat. PPA juga mendorong permudaan alam baru dari bibit
yang berasal dari biji pepohonan di hutan alam sekitarnya. Berdasarkan ke dua hal tersebut di atas: PPA
menghindari masalah ketidak-sesuaian antara jenis pepohonan yang bisa ditanam pada suatu lahan
dengan memanfaatkan keberadaan pepohonan yang sudah ada secara alami. Tindakan ini dapat
membantu melindungi keaneka-ragaman hutan alami (asli).
3. Pengembalian fungsi hutan melalui reboisasi dan penghijauan (RTH)
Rencana tindak vegetatif ini adalah salah satu upaya untuk mencapai tujuan untuk mendapatkan kondisi
tata air DAS yang optimal dan kondisi lahan yang produktif sesuai dengan daya dukung dan daya
tampung lingkungan DAS. Di dalam konservasi sumberdaya air di Kab Mojokerto, kegiatan-kegiatan
vegetatif ini termasuk dalam program restorasi/reklamasi/konservasi pada hutan konservasi, hutan
Lindung, hutan produksi dan kawasan budidaya diluar hutan. Kegiatan vegetatif ini merupakan suatu
bentuk kegiatan untuk meresapkan air hujan kedalam tanah melalui media tanaman (vegetasi) sehingga
jumlah air yang menjadi limpasan permukaan akan berkurang sampai dengan jumlah yang diinginkan.
Selain itu juga merupakan salah satu upaya untuk menekan erosi, longsor dan sedimentasi. Kegiatan ini
dilakukan jika di lahan yang secara daya dukungnya adalah diperuntukkan sebagai kawasan hutan, namun
USAID/Indonesia Kajian Dampak Perubahan Iklim dan Tata Guna Lahan Terhadap Ketersedian Air di Kabupaten Mojokerto – Jawa Timur
61
kondisi saat ini masih digunakan tanaman semusim atau semak belukar sehingga sesuai untuk dilakukan
penanaman. Termasuk dalam jenis kegiatan ini adalah penanaman vegetasi tetap, penghijauan,
agroforestry dan pmbuatan kebun bibit desa.
Reboisasi merupakan cara yang cocok untuk menurunkan erosi dan aliran permukaan, terutama jika
dilakukan pada bagian hulu daerah tangkapan air untuk mengatur resapan air kedalam tanah. Secara
lebih luas, reboisasi dapat diartikan sebagai usaha untuk memulihkan dan menghutankan kembali tanah
yang mengalmi kerusakan fisik, kimia, maupun biologi; baik secara alami maupun oleh ulah manusia.
Tanah yang rusak tersebut dapat berupa hutan gundul/rusak, belukar, padang ilalang, atau tanah
terlantar lainnya. Tanaman yang digunakan biasanya tanaman yang bisa mencegah erosi, baik dari segi
habitus maupun umur, juga diutamakan tanaman keras yang bernilai ekonomis, baik kayunya maupun
hasil samping lainnya, misalnya getah, akar dan minyak.
Dalam kaitannya dengan usaha konservasi sumberdaya tanah dan air, tanaman yang dipilih hendaknya
mempunyai persyaratan sebagai berikut:
• Mempunyai sistem perakaran yang kuat, dalam dan luas, sehingga membentuk jaringan altar
yang rapat.
• Pertumbuhannya cepat, sehingga mampu menutup tanah dalam waktu singkat.
• Mempunyai nilai ekonomis, baik kayunya maupun hasil lainnya.
• Dapat memperbaiki kualitas/kesuburan dan hidrologi tanah.
4. Pengembalian fungsi hutan melalui AgroforestriM hutan rakyat dan kebun campuran
(AFK)
Pengembalian fungsi hutan yang di sinergikan tarik ulur antara fungsi ekonomi dan fungsi ekologi
termasuk perbaikan hidrologi tanah adalah melalui sistem agroforestri atau wana tani. Agroforestri di
wilayah Perhutani dikenal dengan hutan kemasyarakatan dan lahan di hak milik juga dikenal dengan
hutan rakyat, kebun campuran atau bahkan pekarangan bila dekat dengan rumah. Dalam pengertian
sederhana agroforestri adalah membudidayakan pepohonan pada lahan pertanian. Akhir-akhir ini de
Foresta dkk (1997), mengelompokkan agroforestri ini menjadi 2: (1) sistem agroforestri sederhana dan
(2) sistem agroforestri kompleks.
o Sistem agroforestri sederhana. Perpaduan satu jenis tanaman tahunan dan satu atau beberapa
jenis tanaman semusim. Jenis pohon yang ditanam bisa bernilai ekonomi tinggi seperti kelapa,
karet, cengkeh, jati, dll.; atau bernilai ekonomi rendah seperti dadap, lamtoro, kaliandra.
Tanaman semusim biasanya padi, jagung, palawija, sayur-mayur, rerumputan dll; atau jenis
tanaman lain seperti pisang, kopi, coklat. Contoh: budidaya pagar (alley cropping) lamtoro
dengan padi atau jagung, pohon kelapa ditanam pada pematang mengelilingi sawah dsb.
o Sistem agroforestri kompleks. Suatu sistem pertanian menetap yang berisi banyak jenis
tanaman (berbasis pohon) yang ditanam dan dirawat oleh penduduk setempat, dengan pola
tanam dan ekosistem menyerupai dengan yang dijumpai di hutan. Sistem ini mencakup sejumlah
besar komponen pepohonan, perdu, tanaman musiman dan atau rumput. Penampakan fisik dan
dinamika di dalamnya mirip dengan ekosistem hutan alam baik primer maupun sekunder. Sistim
agroforestri kompleks ini dibedakan atas (a) pekarangan berbasis pepohonan dan (b) agroforest
kompleks.
o Pekarangan, biasanya terletak di sekitar tempat tinggal dan luasnya hanya sekitar 0.1 –
0.3 ha; dengan demikian sistem ini lebih mudah dibedakan dengan hutan. Contoh:
kebun talun, karang kitri dsb.
o Agroforest kompleks, merupakan hutan masif yang merupakan mosaic (gabungan) dari
beberapa kebun berukuran 1-2 ha milik perorangan atau berkelompok, letaknya jauh
dari tempat tinggal bahkan terletak pada perbatasan desa, dan biasanya tidak dikelola
secara intensif. Contoh: agroforest (atau kebun) campuran.
USAID/Indonesia Kajian Dampak Perubahan Iklim dan Tata Guna Lahan Terhadap Ketersedian Air di Kabupaten Mojokerto – Jawa Timur
62
Untuk adaptasi perubahan iklim dalam rangka perbaikan hidrologi bentang lahan, pengembangan
agroforestri menuju agrofoerstri multistrata sangat dianjurkan. Sistem agroforestri multistrata paling
tidak mempunyai tiga lapisan tajuk yang berasal dari tumpangsari berbagai tanaman yang mempunyai
ketinggian yang berbeda (Gambar 7.9). Lapisan yang lebih atas akan menaungi lapisan dibawahnya.
Tegakan tua dari agroforestri kompleks hampir tidak menyisakan cukup cahaya pada permukaan tanah
sehingga menyebabkan alang-alang tidak mungkin tumbuh.
Gambar 3. Lapisan tajuk multistrata dari system agroforestry multistrata (Kathleen et al. 2000)
Keaneka ragaman tanaman dalam agroforestri multistrata dapat mengurangi risiko kegagalan. Jika satu
tanaman gagal atau harganya turun, petani masih mempunyai jenis tanaman lain untuk keperluan
hidupnya atau untuk sumber pendapatan kontan. Karena petani masih mempunyai berbagai tanaman
lainnya yang bercampur, maka lahan agroforestri ini tidak akan diabaikannya.
Dalam pengembangan agroforestri perlu mempertimbangkan:
Ekologi. Untuk kombinasi jenis tanaman apapun yang akan dipilih dalam sistem agroforestri, harus
dipertimbangkan bagaimana pertumbuhan dan perubahan tajuk berlapis tersebut sesuai dengan
perkembangan waktu.
Setiap tahun, beberapa tanaman menjadi kurang produktif, sementara ada tanaman yang tumbuh dan
menaungi tanaman lainnya. Supaya dibuat rencana perkembangan sistem agroforestri tajuk berlapis
sedemikian rupa sehingga:
o Tanaman yang ditanam pertama adalah tanaman yang mampu beradaptasi dengan cahaya penuh.
o Sistem penanaman pertama merupakan upaya pengendalian rerumputan.
o Tanaman yang bisa memberikan penaungan ditanam lebih dulu dari tanaman yang tahan atau
yang perlu penaungan.
o Tanaman yang mampu menyuburkan tanah ditanam sebelum tanaman yang perlu kondisi tanah
yang lebih baik.
o Tanaman yang memerlukan cahaya penuh tidak ditanam dimana tanaman lain akan menaunginya
sebelum mereka dewasa.
o Pohon yang berukuran sedang atau besar akan memerlukan ruangan untuk tumbuh dan
diusahakan agar nantinya tidak berdesak-desakan. Supaya dibayangkan lebar tajuk pohon jika
tanaman tersebut dewasa. Perlu dipertimbangkan apakah pohon-pohon sekitarnya juga tumbuh
tinggi dan melebar, dan jika hal ini akan terjadi, pohon ini harus ditebang atau jangan ditanam.
o Semua ruangan-tumbuh harus dimanfaatkan: tanaman akan menyesuaikan diri baik secara
vertikal (tinggi, medium dan pendek), maupun secara horizontal (semua sudut akan diisi), dan
bahkan dibagian bawah tanah (tanaman berakar dalam dan berakar dangkal).
Ekonomi. Setiap sistem usahatani memerlukan perencanaan untuk penganeka-ragaman hasil
(diversifikasi) dan menyebarkan penggunaan tenaga kerja dan pendapatan sehingga relatif merata
USAID/Indonesia Kajian Dampak Perubahan Iklim dan Tata Guna Lahan Terhadap Ketersedian Air di Kabupaten Mojokerto – Jawa Timur
63
sepanjang tahun. Tanaman pertama harus bisa menghasilkan makanan atau pendapatan dalam waktu 3
– 4 bulan (contoh ketela rambat). Dalam hal ini dapat dipilih
5. Pematang Bulan Sabit (crescent dykes) (PBS)
Cara ini biasa diterapkan untuk tanaman tahunan pada lahan berlereng. Pematang berbentuk bulan sabit
dibuat pada lereng bawah dari pohon (Gambar 7.10). Pematang ini akan menahan aliran air sehingga
cadangan air tanah meningkat. Diameter setengah lingkaran ini bisa berkisar dari 1-1,5 m.
Gambar 3. Pematang bulan sabit untuk meningkatkan infiltrasi air ke dalam tanah (Fahmuddin dan
Widianto, 2006).
6. Saluran Peresapan (SPA)
Saluran ini digali untuk menampung air aliran permukaan dan meningkatkan infiltrasi. Biasanya tanah
yang digali di saluran ini dibuang di lereng bawah. Saluran ini pendek dan dibuat mengikuti kontur
(Gambar 7.11).
Gambar 4. Saluran peresapan (Fahmudin dan Widianto, 2006)
USAID/Indonesia Kajian Dampak Perubahan Iklim dan Tata Guna Lahan Terhadap Ketersedian Air di Kabupaten Mojokerto – Jawa Timur
64
7. Rorak/Parit Buntu (RPB)
Rorak merupakan bangunan konservasi tanah berupa lubang panjang untuk menangkap aliran
permukaan dan tanah yang tererosi. Selain untuk menangkap aliran permukaan dan tanah yang tererosi,
rorak juga berfungsi sebagai tempat dekomposisi jika rorak diisi oleh serasah atau sampah organik.
Dengan demikian rorak juga akan meningkatkan kesuburan tanah. Ukuran rorak dapat bervariasi,
dengan panjang 1 – 5 m, lebar 50 cm, dan dalam 60 cm. Ukuran ini sangat tergantung dengan kondisi
lokasi. Beberapa rorak bahkan berukuran 1x1x1 meter. Rorak dibuat berbaris memotong lereng
dengan jarak antar rorak diusahakan sama (3 – 10 m). Makin curam lereng, jarak antar rorak makin
dekat.
Calon lokasi lahan yang akan diterapkan rorak ditetapkan dengan mempertimbangkan beberapa faktor
berikut: a) lahan potensial kritis atau lebih buruk, b) aliran permukaan dan erosi tinggi, c) kemiringan
lahan > 5%, d) penggunaan lahan kebun/perkebunan.
Berdasarkan pertimbangan tersebut di atas, maka lokasi penempatan rorak yang di prioritaskan adalah
lokasi pekarangan, kebun campuran, tegalan dan hutan dengan tutupan tajuk tidak rapat yang ada di
daerah hulu DAS yang umumnya mempunyai bentuk wilayah berombak-bergelombang dan bahkan
berbukit.
8. Teras Gulud bersekat dan berorak dan Teras Bangku dengan bedengan bersekat
(TGP)
Teras gulud bersaluran merupakan tumpukan tanah yang memanjang mengikuti kontur atau memotong
lereng dan di sebelah atas lereng guludan dibuat saluran. Guludan berukuran panjang dan tinggi sekitar
20 - 30 cm, sedangkan saluran dibuat berukuran lebar dan dalam juga sekitar 20 – 30 cm. Teras gulud
berfungsi untuk menghambat aliran permukaan sedangkan saluran berfungsi untuk menampung dan
meresapkan air. Teras gulud sebaiknya dilengkapi dengan saluran yang diisi sampah organik (sisa
tanaman/serasah) yang bertujuan untuk:
o mencegah longsornya dinding saluran serta melindungi permukaan resapan dari tumbukan air
hujan dan penyumbatan pori oleh sedimen halus
o dapat memperbaiki kondisi fisik tanah sekitar saluran dan meningkatkan daya resap saluran
o mengembalikan unsur hara karena campuran kompos dan sedimen yang tertampung dalam
saluran cukup gembur sehingga mudah diangkat dari saluran untuk dikembalikan ke bidang
pertanaman setelah panen
o mengumpulkan sisa tanaman yang baru dipanen, sehingga dapat memudahkan persiapan lahan
untuk musim tanam berikutnya. Untuk menjaga agar teras yang dibuat tetap stabil, penanaman
rumput-rumputan perlu dilakukan
Penetapan lahan untuk penerapan teras gulud ditetapkan dengan mempertimbangkan beberapa faktor
berikut: (i) potensial kritis atau lebih buruk (ii) aliran permukaan dan erosi tinggi (iii) kemiringan lahan
> 5 % dan (iv) penggunaan lahan ladang/tegalan atau semak belukar.
Guludan bersekat dibuat dengan cara meninggikan tanah membentuk guludan yang tingginya 30-50 cm
dengan arah guludan memotong lereng. Pada parit-parit, guludan tersebut dibuat sekat-sekat dari
guludan tanah kecil. Guludan utama ditanami tanaman produktif. Dengan cara demikian air hujan akan
tertahan dalam lembah-lembah guludan yang akhirnya dapat meresap ke dalam tanah. Model dari
guludan bersekat dapat dilihat pada Gambar 7.12.
USAID/Indonesia Kajian Dampak Perubahan Iklim dan Tata Guna Lahan Terhadap Ketersedian Air di Kabupaten Mojokerto – Jawa Timur
65
Gambar 5. Model guludan bersekat sebagai sumur resapan (http://civiliana.blogsot.com/2012/07)
Guludan berorak prinsipnya sama dengan guludan bersekat. Cara pembuatannya sama dengan guludan
yang memotong lereng, ketinggian guludan antara 30-50 cm. Pada Iembah, di antara guludan dibuat
galian berupa rorak-rorak yang ukuranya 30-50 cm serta jarak antara lubang 5-10 m. Model dari guludan
berorak dapat dilihat pada Gambar 7.13.
Gambar 6. Model guludan berorak sebagai sumur resapan (www.civiliana.blogspot.com/2012/07/)
Parit di lahan pertanian juga dapat dijadikan sumur atau tempat resapan air hujan (Gambar 7.14). Agar
dapat berfungsi juga untuk meresapkan air hujan, harus dibuat sekat-sekat pada parit-parit tersebut.
Dengan demikian, air hujan dapat ditampung dan diresapkan ke dalam tanah. Model ini cocok
diterapkan pada lahan kering.
USAID/Indonesia Kajian Dampak Perubahan Iklim dan Tata Guna Lahan Terhadap Ketersedian Air di Kabupaten Mojokerto – Jawa Timur
66
a). pada lahan datar.
b). pada lahan miring.
Gambar 7. Model parit bersekat (www.civiliana.blogspot.com/2012/07/)
Pada lahan miring dibuat teras dengan parit bersekat di bawahnya. Kedalaman parit adalah 40-50 cm,
sedangkan sekatnya dibuat dengan ketinggian 20-30 cm sehingga air tetap dapat melimpas bila
kebanyakan tanpa mengganggu tanaman.
9. Embung dan Chek Dam (ECD)
Embung merupakan bangunan konservasi air berbentuk kolam untuk menampung air hujan dan air
limpasan (runoff) atau air rembesan dari lahan tadah hujan sebagai cadangan kebutuhan air pada musim
kemarau. Air yang ditampung tersebut dapat digunakan untuk keperluan pertanian atau peternakan di
musim kemarau dan keperluan lainnya.
Embung dibuat di luar kawasan, di daerah kritis dan kekurangan air, topografi bergelombang dengan
kemiringan < 30%, air tanah dalam-sangat dalam, dengan penggunaan tanah kosong atau semak belukar
pada tanah yang bertekstur halus agar biaya kontruksi (pemadatan) dapat ditekan. Embung sebaiknya
dibuat pada tempat yang lebih tinggi dari daerah pemukiman/peternakan yang akan disuplai air tetapi
merupakan daerah yang agak cekung dimana aliran permukaan banyak mengalir dari wilayah di atasnya.
Hal ini dimaksudkan agar sistem distribusinya tidak memerlukan energi tambahan (pompa) tetapi
memanfaatkan gaya gravitasi. Areal tangkapan tidak perlu dibuat khusus tapi merupakan areal alami
diatas embung.
Embung (Gambar 7.15) adalah kolam buatan penampung air hujan dan aliran permukaan. Kata ‘embung’
sebenarnya berasal dari bahasa Lombok yang artinya kolam penampung air; namun dewasa ini embung
lebih banyak berkembang di NTT.
USAID/Indonesia Kajian Dampak Perubahan Iklim dan Tata Guna Lahan Terhadap Ketersedian Air di Kabupaten Mojokerto – Jawa Timur
67
Gambar 8. Embung sebagai penampung air hujan dan aliran permukaan
http://civiliana.blogspot.com/2012/07/sumur-resapan-untuk-daerah-pedesaan.html#ixzz2DD5VPdhW dan Fahmudin dan
Widianto, 2006)
Sebuah cekungan berbentuk kolam dipersiapkan dengan bantuan alatalat berat (bulldozer, traktor),
dilengkapi dengan saluran pemasukan (inlet) dan pembuangan (outlet). Selama musim hujan embung
akan terisi oleh air aliran permukaan yang berasal dari tampungan mikro (DAS Mikro) di bagian hulunya.
Air yang tertampung dapat digunakan selama musim kemarau.
Efektifitas embung dapat diduga berdasarkan atas dimensi atau ukuran embung. Di dalam petunjuk
teknis RLPS-Dephut, volume embung dapat diasumsikan dapat menampung 1000 m3 atau setara dengan
2000 mm jika embung mempunyai dimensi luas 500 m2 dengan kedalaman 2 meter (Gambar 7.16).
Kapasitas embung ada yang berkisar antara 20.000 m3 (100 m x 100 m dengan kedalaman 2 m) hingga
60.000 m3. Dengan kapasitas ini, embung dapat menjamin pengadaan air selama 9 bulan kering untuk
satu perkampungan kecil dengan 100 kepala keluarga asalkan tanahnya tidak terlalu porous (mudah
melewatkan air). Di berbagai tempat ditemukan juga embung dengan ukuran yang lebih kecil, misalnya
1.200 m3 (30 m x 20 m x 2 m) yang tentunya mempunyai kemampuan yang lebih rendah mengatasi
kekurangan air. Dengan ukuran ini embung dapat menyediakan air untuk kebutuhan sehari-hari (minum,
mandi, cuci), minuman ternak dan usaha tani berskala kecil di pekarangan. Embung berukuran lebih
kecil, misalnya 200 sampai 500 m3 juga sering ditemukan, namun hanya akan mampu menyediakan air
untuk areal sangat terbatas.
Gambar 9. Embung sebagai sumber air
Sumber: http://civiliana.blogspot.com/2012/07/sumur-resapan-untuk-daerah-pedesaan.html#ixzz2DD5VPdhW
Chek dam adalah suatu bangunan yang di bangun pada alur-alur sungai dengan kontruksi dari bahan
urugan tanah dan diperkuat dengan lapisan kedap air (Gambar 7.17). Desain ini tidak jauh berbeda
dengan sabo dam yang dilakukan dalam rangka menghasilkan suatu bangunan fungsional yang optimal
dengan total biaya minimum. Untuk pemilihan lokasi check dam ini memperhatikan topografi dan
USAID/Indonesia Kajian Dampak Perubahan Iklim dan Tata Guna Lahan Terhadap Ketersedian Air di Kabupaten Mojokerto – Jawa Timur
68
tempat pengambilan tanah sebagai bahan timbunan yang tidak jauh dari tempat lokasi perencanaan.
Lokasi material urugan ini diusahakan terdapat di bagian hulu dimana check dam ini akan dibangun.
Bangunan check dam ini diletakkan setelah sabo dam, berarti sedimen yang masuk ke dalam tampungan
sedimen check dam merupakan sisa dari sedimen yang tertampung pada sabo.
Gambar 10. Potongan memanjang konstruksi cek dam (PT. Indra Karya, 2010)
Pada umumnya, tubuh check dam akan dimanfaatkan sekaligus sebagai pelimpah dengan melapisi tubuh
check dam dengan pasangan, atau saluran pelimpah ditempatkan pada tanah asli di sebelah kiri atau
kanan tubuh check dam. Untuk mengindari gerusan air dalam tubuh check dam maka permukaan dalam
tubuh check dam harus di tanami gebalan rumput.
10. Biopori (BPT)
Lubang resapan biopori adalah lubang silindris yang dibuat secara vertikal ke dalam tanah dengan
diameter 10-30 cm dan kedalaman sekira 100 cm, atau dalam kasus tanah dengan permukaan air tanah
dangkal, tidak sampai melebihi kedalaman muka air tanah (Gambar 7.18). Lubang diisi dengan sampah
organik untuk memicu terbentuknya biopori. Biopori adalah pori-pori berbentuk lubang (terowongan
kecil) yang dibuat oleh aktivitas fauna tanah atau akar tanaman. Lubang resapan biopori merupakan
teknologi tepat guna dan ramah lingkungan untuk meningkatkan daya resapan air dalam mengantisipasi
kelangkaan air. Kehadiran lubang resapan biopori secara langsung akan menambah bidang resapan air,
setidaknya sebesar luas kolom atau dinding lubang.
Dengan aktivitas fauna tanah pada lubang resapan maka biopori akan terbentuk dan senantiasa
terpelihara keberadaannya. Karena itu bidang resapan ini akan selalu terjaga kemampuannya dalam
meresap air. Dengan demikian kombinasi antara luas bidang resapan dengan kehadiran biopori secara
bersama-sama akan meningkatkan kemampuan dalam meresapkan air. Lubang resapan biopori
"diaktifkan" dengan memberikan sampah organik ke dalamnya. Sampah ini akan dijadikan sebagai
sumber energi bagi organisme tanah untuk melakukan kegiatannya melalui proses dekomposisi. Sampah
yang telah didekomposisi ini dikenal dengan kompos. Melalui proses itu maka lubang resapan biopori
selain berfungsi sebagai bidang peresap air juga sekaligus sebagai "pabrik" pembuat kompos. Kompos
dapat dipanen pada setiap periode tertentu dan dapat dimanfaatkan sebagai pupuk organik pada
berbagai jenis tanaman, seperti tanaman hias, sayuran, dan jenis tanaman lainnya.
Adapun cara pembuatan lubang biopori:
1. Buat lubang silindris secara vertikal ke dalam tanah dengan diamater 10 cm. Kedalaman
kurang lebih 100 cm atau tidak sampai melampaui muka air tanah bila air tanahnya dangkal.
Jarak antarlubang antara 50 - 100 cm.
2. Mulut lubang dapat diperkuat dengan semen selebar 2-3 cm dengan tebal 2 cm di sekeliling
mulut lubang.
3. Isi lubang dengan sampah organik yang berasal dari sampah dapur, sisa tanaman, dedaunan
atau pangkasan rumput.
4. Sampah organik perlu selalu ditambahkan kedalam lubang yang isinya sellau berkurang dan
menyusup akibat proses pelapukan.
USAID/Indonesia Kajian Dampak Perubahan Iklim dan Tata Guna Lahan Terhadap Ketersedian Air di Kabupaten Mojokerto – Jawa Timur
69
5. Kompos yang terbentuk dalam lubang dapat diambil pada setiap akhir musim kemarau
dengan pemeliharaan lubang resapan.
Gambar 11. Biopori di bawah pohon
Sumber: www.facebook.com /note.php?note_id =94129957324
11. Sumur Resapan Pedesaan Individual (SRD)
Fungsi hutan di kawasan pedesaan dapat digantikan dengan menggunakan sumur resapan komunal .
Beberapa model sumur resapan individu untuk daerah pedesaan antara lain adalah sumur resapan dari
bambu dan sumur resapan dengan lubang kerikil serta lubang resapan biopori (LRB) (Gambar 7.19).
Sumur tidak akan melambatkan tetesan air hujan sebelum mencapai tanah, namun akan meningkatkan
kapasitas resapantanah di sekitar sumur.
Gambar 12. Sumur resapan individu
Sumber: http://civiliana.blogspot.com/2012/07/sumur-resapan-untuk-daerah-pedesaan.html#ixzz2DD5VPdhW
Fungsi sumur ini bukan sebagi sumur resapan biasa, namun memiliki fungsimengkondisikan tanah
disekitar sumur mampu secara optimal meresapkan air. Bila kita membangun sumur secara komunal
USAID/Indonesia Kajian Dampak Perubahan Iklim dan Tata Guna Lahan Terhadap Ketersedian Air di Kabupaten Mojokerto – Jawa Timur
70
dalam suatu kawasan, kita dapat memperoleh daerah resapan yang luas, dan semakin besar air hujan
yangterpanen dan seolah-olah petani menciptakan sebuah waduk bawah tanah yangsangat luas yang
mampu menyediakan airt bagi tanaman serta mencegah banjir bandang.
Sumur resapan ini dibuat dari anyaman bambu, dengan diameter 80 cm dankedalaman 2,5 – 3 meter
(Gambar 7.20). Diletakkan dekat dengan sistem saluran air, dengan jarak antar sumur sekitar 20 meter.
Sumur- sumur ini sebaiknya disiapkan padamusim kemarau di lahan tadah hujan dataran rendah.
Gambar 13. Sumur resapan dangkal dari bambu
Sumber: Adi Widjaja, M.Sc., http://www.scribd.com/doc/112139730/Skema-Sumur-Resapan-Dangkal
Untuk lokasi yang sulit mendapatkan bambu, tetapi banyak batu atau kerikil dapat dibuat sumur resapan
dari kerikil. Kerikil yang digunakan dapat berukuran 2-20 mm (Gambar 7.21). Alternatif lainnya adalah
batuan yang besar dipecahkan menjadi ukuran kerikil. Jumlah kerikil yang dibutuhkan sekitar 2 m3.
Cara pembuatan sumur resapan ini seperti model sumur resapan bambu, hanya lubang yang telah dibuat
kemudian diisi kerikil. Air dari atap diarahkan menuju sumur resapan tersebut. Cara ini lebih mudah
dan sederhana, tetapi daya tampungnya sedikit dan ada kemungkinan tertutupi. Untuk memudahkan
dalam pembuatan, di bawah ini diuraikan langkah-langkahnya.
USAID/Indonesia Kajian Dampak Perubahan Iklim dan Tata Guna Lahan Terhadap Ketersedian Air di Kabupaten Mojokerto – Jawa Timur
71
Gambar 14. Sumur resapan dengan kerikil
Sumber http://civiliana.blogspot.com/2012/07/sumur-resapan-untuk-daerah-pedesaan.html#ixzz2DD5VPdhW
12. Sumur Resapan Perumahan / Perkotaan Indivdual (SRP)
Upaya pengendalian limpasan permukaan bertujuan untuk menurunkan volume limpasan permukaan,
mengendalikan daya rusak limpasan permukaan dan memperbaiki kualitas aliran permukaan. Program
dan kegiatan sipil teknis berbasis lahan dalam pengelolaan sumberdaya air di Kab Mojokerto salah
satunya adalah pembuatan daerah resapan berupa sumur resapan perumahan / perkotaan individual.
Sumur resapan bertujuan untuk menurunkan volume limpasan permukaan dan meresapkan air ke zona
bawah tanah sehingga cadangan air bawah tanah bertambah (Gambar 7.22).
Gambar 15. Sumur resapan di pemukiman untuk cadangan air bawah tanah
Sumber: blog.beswandjarum.com/
Bangunan sumur resapan adalah salah satu rekayasa teknik konservasi air berupa bangunan yang dibuat
sedemikian rupa sehingga menyerupai bentuk sumur gali dengan kedalaman tertentu yang berfungsi
sebagai tempat menampung air hujan yang jatuh di atas atap rumah atau daerah kedap air dan
meresapkannya ke dalam tanah.
USAID/Indonesia Kajian Dampak Perubahan Iklim dan Tata Guna Lahan Terhadap Ketersedian Air di Kabupaten Mojokerto – Jawa Timur
72
Sumur resapan berfungsi memberikan imbuhan air secara buatan dengan cara menginjeksikan air hujan
ke dalam tanah. Sasaran lokasi adalah daerah peresapan air di kawasan budidaya, permukiman,
perkantoran, pertokoan, industri, sarana dan prasarana olah raga serta fasilitas umum lainnya.
Manfaat sumur resapan adalah:
1. Mengurangi aliran permukaan sehingga dapat mencegah / mengurangi terjadinya banjir dan
genangan air.
2. Mempertahankan dan meningkatkan tinggi permukaan air tanah.
3. Mengurangi erosi dan sedimentasi
4. Mengurangi / menahan intrusi air laut bagi daerah yang berdekatan dengan kawasan pantai
5. Mencegah penurunan tanah (land subsidance)
6. Mengurangi konsentrasi pencemaran air tanah.
Bentuk dan jenis bangunan sumur resapan dapat berupa bangunan sumur resapan air yang dibuat
segiempat atau silinder dengan kedalaman tertentu dan dasar sumur terletak di atas permukaan air
tanah. Berbagai jenis konstruksi sumur resapan adalah:
1. Sumur tanpa pasangan di dinding sumur, dasar sumur tanpa diisi batu belah maupun ijuk
(kosong)
2. Sumur tanpa pasangan di dinding sumur, dasar sumur diisi dengan batu belah dan ijuk.
3. Sumur dengan susunan batu bata, batu kali atau bataki di dinding sumur, dasar sumur diisi
dengan batu belah dan ijuk atau kosong.
4. Sumur menggunakan buis beton di dinding sumur
5. Sumur menggunakan blawong (batu cadas yang dibentuk khusus untuk dinding sumur).
Konstruksi-konstruksi tersebut memiliki keunggulan dan kelemahan masing-masing, pemilihannya
tergantung pada keadaaan batuan / tanah (formasi batuan dan struktur tanah).
Pada tanah / batuan yang relatif stabil, konstruksi tanpa diperkuat dinding sumur dengan dasar sumur
diisi dengan batu belah dan ijuk tidak akan membahayakan bahkan akan memperlancar meresapnya air
melalui celah-celah bahan isian tersebut.
Pada tanah / batuan yang relatif labil, konstruksi dengan susunan batu bata / batu kali / batako untuk
memperkuat dinding sumur dengan dasar sumur diisi batu belah dan ijuk akan lebih baik dan dapat
direkomendasikan.
Pada tanah dengan / batuan yang sangat labil, konstruksi dengan menggunakan buis beton atau blawong
dianjurkan meskipun resapan air hanya berlangsung pada dasar sumur saja.
Bangunan pelengkap lainnya yang diperlukan adalah bak kontrol, tutup sumur resapan dan tutup bak
kontrol, saluran masuklan dan keluaran / pembuangan (terbuka atau tertutup) dan talang air (untuk
rumah yang bertalang air).
Ditjen Cipta Karya Departemen Pekerjaaan Umum menetapkan data teknis sumur resapan air sebagai
berikut : (1) Ukuran maksimum diameter 1,4 meter, (2) Ukuran pipa masuk diameter 110 mm, (3)
Ukuran pipa pelimpah diameter 110 mm, (4) Ukuran kedalaman 1,5 sampai dengan 3 meter, (5) Dinding
dibuat dari pasangan bata atau batako dari campuran 1 semen : 4 pasir tanpa plester, (6) Rongga sumur
resapan diisi dengan batu kosong 20/20 setebal 40 cm, (7) Penutup sumur resapan dari plat beton tebal
10 cm dengan campuran 1 semen : 2 pasir : 3 kerikil.
Berkaitan dengan sumur resapan ini terdapat SNI No: 03- 2453-2002 tentang Tata Cara Perencanaan
Sumur Resapan Air Hujan untuk Lahan Pekarangan. Standar ini menetapkan cara perencanaan sumur
resapan air hujan untuk lahan pekarangan termasuk persyaratan umum dan teknis mengenai batas muka
air tanah (mat), nilai permeabilitas tanah, jarak terhadap bangunan, perhitungan dan penentuan sumur
resapan air hujan. Air hujan sdslsh sir hujan yang ditampung dan diresapkan pada sumur resapan dari
bidang tadah.
Persyaratan umum yang harus dipenuhi antara lain sebagai berikut:
1. Sumur resapan air hujan ditempatkan pada lahan yang relatif datar;
2. Air yang masuk ke dalam sumur resapan adalah air hujan tidak tercemar;
USAID/Indonesia Kajian Dampak Perubahan Iklim dan Tata Guna Lahan Terhadap Ketersedian Air di Kabupaten Mojokerto – Jawa Timur
73
3. Penetapan sumur resapan air hujan harus mempertimbangkan keamanan bangunan sekitarnya;
4. Harus memperhatikan peraturan daerah setempat;
5. Hal-hal yang tidak memenuhi ketentuan ini harus disetujui Instansi yang berwenang.
Persyaratan teknis yang harus dipenuhi antara lain adalah sebagai berikut:
1. Ke dalam air tanah minimum 1,50 m pada musin hujan;
2. Struktur tanah yang dapat digunakan harus mempunyai nilai permebilitas tanah ≥ 2,0 cm/jam.
3. Jarak penempatan sumur resapan air hujan terhadap bangunan adalah: (a) terhadap sumur air
bersih 3 meter, sumur resapan tangki septik 5 meter dan terhadap pondasi bangunan 1 meter.
13. Efisiensi pemanfaatan air irrigasi (EAI)
Irigasi merupakan pengguna air yang terbesar (lebih dari 85%) di Indonesia termasuk di Kab. Mojokerto.
Di lapangan, ada beberapa contoh situasi di mana air yang terbuang melalui praktek-praktek
pengelolaan air dalam sistem irrigasi yang buruk. Ini termasuk:
• Jumlah air diterapkan melebihi dari kebutuhan tanaman
• Kurang seragamnya aplikasi air
• Tingkat curah hujan lebih tinggi dari tingkat infiltrasi tanah
• Rusak atau tidak berfungsi jaringan dan peralatan irrigasi
• Limpasan permukaan masih tinggi
Dengan adanya isu kerentanan air saat ini, pemberian air irrigasi yang tepat, akurat dan sesuai sasaran
kebutuhan tanaman sehingga memberikan efisiensi irrigasi yang tinggi adalah suatu kebutuhan. Irrigasi
yang baik adalah aplikasi air irrigasi yang efisien dengan jumlah air yang tepat dengan pemberian air pada
tanaman pada waktu yang tepat dan di tempat yang tepat. Untuk itu dalam pemberian air irrigasi ke
lahan, petani atau HIPPA perlu mempertimbangkan:
• Akurasi rancangan lahan irrigasi termasuk sistem irigasinya
• Karakteristik, jumlah, laju aliran dan kualitas pasokan air
• Penilian sistem Pertanian yang diterapkan– Perkiraan kebutuhan air
• Faktor Pembatas Ketersediaan Air – dan implikasinya pada lahan
• Strategi untuk mengatasi kekeringan
• Jenis dan sifat Tanah serta kedalaman zona akar
• Jadwal Irigasi
• Target kinerja Sistem
• Isu Kualitas air
• Biaya air
• Dampak terhadap lingkungan sebagai akibat praktek irigasi
• Ketrampilan dan pelatihan petani untuk pemanfaatan air yang efisien
• Strategi untuk mengadopsi teknologi baru
• Evaluasi sistem manajemen dan efisiensi irrigasi secara berkala
• Prosedur perawatan
• Dokumentasi perbaikan sistem irigasi
Efisiensi irigasi harus menjadi prioritas bagi petani dan Dinas Pertanian. Ada beberapa persyaratan
utama yang harus berhasil dicapai dalam rangka untuk memastikan irigasi yang efisien. Persyaratan
utama efisiensi irigasi adalah:
• Rancangan sistem irigasi berkualitas tinggi
• Pemasangan sistem sesuai dengan kualitas rancangan
• Standar tinggi dalam pemeliharaan hardware di sistem / peralatan irrigasi
• Presisi manajemen dan kontrol (penjadwalan) dari sistem irigasi
USAID/Indonesia Kajian Dampak Perubahan Iklim dan Tata Guna Lahan Terhadap Ketersedian Air di Kabupaten Mojokerto – Jawa Timur
74
14. Efisiensi Pemanfaatan air baku di rumah tangga dan industry (EPA)
Kelangkaan air yang terjadi di Kab Mojokerto dimasa mendatang dapat dikarenakan pemborosan dalam
pemakaian air. Dengan melakukan efisiensi penggunaan air, tentunya akan sangat membantu dalam hal
mengatasi krisis air yang terjadi dikemduian hari. Efisiensi yang dilakukan dapat dilakukan dalam proses
penggunaan termasuk perubahan perilaku masyarakat dalam berhemat air, seperti penerapan
pengaturan pemakaian maupun proses pasca penggunaan seperti mendaur ulang limbah air untuk
digunakan kembali.
Metode mendaur ulang air limbah (BPTP, 2012)‚ yaitu pengolahan air limbah hingga menjadi air bersih
yang juga bisa digunakan untuk air minum. Teknologi yang digunakan yaitu biofiltrasi-ultrafiltrasi-RO.
Teknologi ini dapat menghasilkan air bersih siap pakai tanpa bahan kimia. Biaya produksi air bersih
dengan menggunakan teknologi ini pun lebih murah yaitu sekitar Rp 650-1000/L, dibandingkan dengan
menggunakan sistem konvensional yang membutuhkan biaya produksi sekitar Rp 1800-2500/L. Sebagai
contoh jika teknologi pengolahan air bersih ini diterapkan di suatu rumah tangga atau kantor, dengan
kebutuhan air sebanyak 200 m3/hari, dengan alat daur ulang kita mampu melakukan efisiensi air bersih
hingga 30% atau 60 m3/hari. Jika asumsi Rp. 10. 000/ m3Â nya, maka kita dapat menghemat Rp 180
juta per tahun. Selain penghematan rupiah yang bisa kita lakukan, kita pun dapat membantu mengatasi
krisis. Bayangkan jika semua kantor, industri maupun pemukiman penduduk dapat menerapkan
teknologi ini, maka banyak air yang dapat diselamatkan agar tidak terbuang percuma. Teknologi serupa
adalah bangunan wetland yang memanfaatan mikroorganisme dan tanaman dalam menjernihkan air.
USAID/Indonesia Kajian Dampak Perubahan Iklim dan Tata Guna Lahan Terhadap Ketersedian Air di Kabupaten Mojokerto – Jawa Timur 75
LAMPIRAN 26: NERACA AIR PADA SETIAP SUBDAS DI KABUPATEN MOJOKERTO
Sub-DAS No.1
BAU
Tahun Hujan (mm)
Debit sungai
(mm)
Baseflow
(mm)
Soil Quick Flow
(mm)
Surface Quick Flow
(mm)
Quick Flow
(mm)
2001 783 766.38 272.36 0 494.02 494.02
2006 2081 1981.26 532.6 0.01 1448.64 1448.65
2015 1301 1183.62 489.25 0 694.38 694.38
2030 440.52 409 123.83 0 285.19 285.19
KKL
Tahun Hujan (mm)
Debit sungai
(mm)
Baseflow
(mm)
Soil Quick Flow
(mm)
Surface Quick Flow
(mm)
Quick Flow
(mm)
2001 783 766.38 272.36 0 494.02 494.02
2006 2081 1836.73 1510.85 18.38 307.54 325.92
2015 1301 1186.12 492.06 0.01 694.05 694.06
2030 440.52 380.21 311.21 0 69.01 69.01
RTRW
Tahun Hujan (mm)
Debit sungai
(mm)
Baseflow
(mm)
Soil Quick Flow
(mm)
Surface Quick Flow
(mm)
Quick Flow
(mm)
2001 783 766.38 272.36 0 494.02 494.02
2006 2081 2005.62 380.28 0 1625.38 1625.38
2015 1301 1182.71 488.25 0.01 694.44 694.45
2030 440.52 393.38 86.99 0 306.36 306.36
USAID/Indonesia Kajian Dampak Perubahan Iklim dan Tata Guna Lahan Terhadap Ketersedian Air di Kabupaten Mojokerto – Jawa Timur 76
SubDAS No.2
BAU
Tahun Hujan (mm)
Debit sungai
(mm)
Baseflow
(mm)
Soil Quick Flow
(mm)
Surface Quick Flow
(mm)
Quick Flow
(mm)
2001 783.18 761.75 264.68 0 497.05 497.05
2006 2080.88 1957.97 594.08 0.01 1363.88 1363.89
2015 1301.01 1162.57 501.61 0 660.96 660.96
2030 447.46 409.77 138.55 0 271.19 271.19
KKL
Tahun Hujan (mm)
Debit sungai
(mm)
Baseflow
(mm)
Soil Quick Flow
(mm)
Surface Quick Flow
(mm)
Quick Flow
(mm)
2001 783.18 761.75 264.68 0 497.05 497.05
2006 2080.88 1791.61 1669.36 26.38 95.87 122.25
2015 1301 1165.29 504.66 0 660.58 660.58
2030 440.52 374.63 339.69 0 34.94 34.94
RTRW
Tahun Hujan (mm)
Debit sungai
(mm)
Baseflow
(mm)
Soil Quick Flow
(mm)
Surface Quick Flow
(mm)
Quick Flow
(mm)
2001 783.18 761.75 264.68 0 497.05 497.05
2006 2080.88 1969.98 516.13 0.01 1453.81 1453.82
2015 1301 1162.2 501.18 0.06 660.98 661.04
2030 440.52 379.78 104.19 0 275.56 275.56
USAID/Indonesia Kajian Dampak Perubahan Iklim dan Tata Guna Lahan Terhadap Ketersedian Air di Kabupaten Mojokerto – Jawa Timur 77
SubDAS No.3
BAU
Tahun Hujan (mm)
Debit sungai
(mm)
Baseflow
(mm)
Soil Quick Flow
(mm)
Surface Quick Flow
(mm)
Quick Flow
(mm)
2001 783 767.02 238.91 0 528.11 528.11
2006 2080.23 1993.13 535.02 0.01 1458.1 1458.11
2015 1301 1208.9 460.72 0 748.23 748.23
2030 440.37 415.38 117.26 0 298.1 298.1
KKL
Tahun Hujan (mm)
Debit sungai
(mm)
Baseflow
(mm)
Soil Quick Flow
(mm)
Surface Quick Flow
(mm)
Quick Flow
(mm)
2001 783 767.02 238.91 0 528.11 528.11
2006 2080.23 1924.38 1002.25 3.29 918.83 922.12
2015 1301 1210.39 462.37 0.03 748.07 748.1
2030 440.37 397.33 201.51 0 195.83 195.83
RTRW
Tahun Hujan (mm)
Debit sungai
(mm)
Baseflow
(mm)
Soil Quick Flow
(mm)
Surface Quick Flow
(mm)
Quick Flow
(mm)
2001 783 767.02 238.91 0 528.11 528.11
2006 2080.23 2011.43 419.65 0 1591.73 1591.73
2015 1301 1208.24 460.02 0 748.27 748.27
2030 440.37 401.66 80.63 0 321.04 321.04
USAID/Indonesia Kajian Dampak Perubahan Iklim dan Tata Guna Lahan Terhadap Ketersedian Air di Kabupaten Mojokerto – Jawa Timur 78
SubDAS No.4
BAU
Tahun Hujan (mm)
Debit sungai
(mm)
Baseflow
(mm)
Soil Quick Flow
(mm)
Surface Quick Flow
(mm)
Quick Flow
(mm)
2001 1974 1848.46 477.63 0 1370.82 1370.82
2006 1604.22 1520 461.8 0 1058.26 1058.26
2015 1413.8 1337.71 368.66 0 969.11 969.11
2030 898.27 816.94 235.33 0 581.66 581.66
KKL
Tahun Hujan (mm)
Debit sungai
(mm)
Baseflow
(mm)
Soil Quick Flow
(mm)
Surface Quick Flow
(mm)
Quick Flow
(mm)
2001 1974 1848.46 477.63 0 1370.82 1370.82
2006 1604.22 1518.49 473.99 0 1044.47 1044.47
2015 1413.8 1337.8 368.74 0 969.11 969.11
2030 898.27 820.62 241.82 0 578.81 578.81
RTRW
Tahun Hujan (mm)
Debit sungai
(mm)
Baseflow
(mm)
Soil Quick Flow
(mm)
Surface Quick Flow
(mm)
Quick Flow
(mm)
2001 1974 1848.46 477.63 0 1370.82 1370.82
2006 1604.22 1527.35 401.88 0 1125.45 1125.45
2015 1413.8 1337.25 368.15 0 969.11 969.11
2030 898.27 785.73 198.63 0 587.03 587.03
USAID/Indonesia Kajian Dampak Perubahan Iklim dan Tata Guna Lahan Terhadap Ketersedian Air di Kabupaten Mojokerto – Jawa Timur 79
SubDAS No.5
BAU
Tahun Hujan (mm)
Debit sungai
(mm)
Baseflow
(mm)
Soil Quick Flow
(mm)
Surface Quick Flow
(mm)
Quick Flow
(mm)
2001 783 762.4 256.66 0 505.77 505.77
2006 2080.76 1971.6 553.13 0.02 1418.56 1418.58
2015 1401 1318.1 425.02 0 893.16 893.16
2030 440.47 406.02 124.69 0 281.34 281.34
KKL
Tahun Hujan (mm)
Debit sungai
(mm)
Baseflow
(mm)
Soil Quick Flow
(mm)
Surface Quick Flow
(mm)
Quick Flow
(mm)
2001 783 762.4 256.66 0 505.77 505.77
2006 2080.76 1903.53 1018.13 2.65 882.73 885.38
2015 1401 1319.28 426.16 0 893.16 893.16
2030 440.47 383.8 210.54 0 173.24 173.24
RTRW
Tahun Hujan (mm)
Debit sungai
(mm)
Baseflow
(mm)
Soil Quick Flow
(mm)
Surface Quick Flow
(mm)
Quick Flow
(mm)
2001 783 762.4 256.66 0 505.77 505.77
2006 2080.76 1983.75 476.21 0.01 1507.56 1507.57
2015 1401 1317.79 424.75 0 893.16 893.16
2030 440.47 388.02 94.14 0 293.89 293.89
USAID/Indonesia Kajian Dampak Perubahan Iklim dan Tata Guna Lahan Terhadap Ketersedian Air di Kabupaten Mojokerto – Jawa Timur 80
SubDAS No.6
BAU
Tahun Hujan (mm)
Debit sungai
(mm)
Baseflow
(mm)
Soil Quick Flow
(mm)
Surface Quick Flow
(mm)
Quick Flow
(mm)
2001 1622 1537.53 434.81 0 1102.69 1102.69
2006 2012.3 1907.03 709.58 0.54 1196.87 1197.41
2015 1364 1315.19 459.28 0 855.94 855.94
2030 1169.3 1102.25 434.9 0 667.34 667.34
KKL
Tahun Hujan (mm)
Debit sungai
(mm)
Baseflow
(mm)
Soil Quick Flow
(mm)
Surface Quick Flow
(mm)
Quick Flow
(mm)
2001 1622 1537.53 434.81 0 1102.69 1102.69
2006 2012.3 1900.95 752.14 0.96 1147.81 1148.77
2015 1364 1315.35 459.43 0 855.94 855.94
2030 1169.3 1101.98 460.35 0 641.59 641.59
RTRW
Tahun Hujan (mm)
Debit sungai
(mm)
Baseflow
(mm)
Soil Quick Flow
(mm)
Surface Quick Flow
(mm)
Quick Flow
(mm)
2001 1622 1537.53 434.81 0 1102.69 1102.69
2006 2012.3 1924.12 591.73 0.05 1332.3 1332.35
2015 1364 1314.7 458.75 0 855.94 855.94
2030 1169.3 1073.73 349.64 0 724.14 724.14
USAID/Indonesia Kajian Dampak Perubahan Iklim dan Tata Guna Lahan Terhadap Ketersedian Air di Kabupaten Mojokerto – Jawa Timur 81
SubDAS No.7
BAU
Tahun Hujan (mm)
Debit sungai
(mm)
Baseflow
(mm)
Soil Quick Flow
(mm)
Surface Quick Flow
(mm)
Quick Flow
(mm)
2001 2004 1882.74 554.39 0 1328.36 1328.36
2006 1673.6 1584.66 531.73 0.24 1052.67 1052.91
2015 1690.8 1613.42 501.83 0 1111.57 1111.57
2030 1148.6 1055.6 339.7 0 715.84 715.84
KKL
Tahun Hujan (mm)
Debit sungai
(mm)
Baseflow
(mm)
Soil Quick Flow
(mm)
Surface Quick Flow
(mm)
Quick Flow
(mm)
2001 2004 1882.74 554.39 0 1328.36 1328.36
2006 1673.6 1582.84 547.46 0.31 1035.03 1035.34
2015 1690.8 1613.58 501.97 0 1111.57 1111.57
2030 1148.6 1055.47 349.7 0 705.72 705.72
RTRW
Tahun Hujan (mm)
Debit sungai
(mm)
Baseflow
(mm)
Soil Quick Flow
(mm)
Surface Quick Flow
(mm)
Quick Flow
(mm)
2001 2004 1882.74 554.39 0 1328.36 1328.36
2006 1673.6 1591.1 475.88 0 1115.18 1115.18
2015 1690.8 1612.99 501.4 0 1111.57 1111.57
2030 1148.6 993.86 249.15 0 744.72 744.72
USAID/Indonesia Kajian Dampak Perubahan Iklim dan Tata Guna Lahan Terhadap Ketersedian Air di Kabupaten Mojokerto – Jawa Timur 82
SubDAS No.8
BAU
Tahun Hujan (mm)
Debit sungai
(mm)
Baseflow
(mm)
Soil Quick Flow
(mm)
Surface Quick Flow
(mm)
Quick Flow
(mm)
2001 1798 1750.22 361.22 0 1389.04 1389.04
2006 1742.69 1684.58 383.19 0 1301.34 1301.34
2015 1495.3 1439.81 320.36 0 1119.4 1119.4
2030 1026.98 964.76 224.8 0 739.98 739.98
KKL
Tahun Hujan (mm)
Debit sungai
(mm)
Baseflow
(mm)
Soil Quick Flow
(mm)
Surface Quick Flow
(mm)
Quick Flow
(mm)
2001 1798 1750.22 361.22 0 1389.04 1389.04
2006 1742.69 1683.36 392.21 0 1291.14 1291.14
2015 1495.3 1439.84 320.41 0 1119.4 1119.4
2030 1026.98 967.7 230.82 0 736.94 736.94
RTRW
Tahun Hujan (mm)
Debit sungai
(mm)
Baseflow
(mm)
Soil Quick Flow
(mm)
Surface Quick Flow
(mm)
Quick Flow
(mm)
2001 1798 1750.22 361.22 0 1389.04 1389.04
2006 1742.69 1684.52 383.22 0 1301.31 1301.31
2015 1495.3 1439.81 320.36 0 1119.4 1119.4
2030 1026.98 917.46 218.85 0 698.57 698.57
USAID/Indonesia Kajian Dampak Perubahan Iklim dan Tata Guna Lahan Terhadap Ketersedian Air di Kabupaten Mojokerto – Jawa Timur 83
SubDAS No. 9
BAU
Tahun Hujan (mm)
Debit sungai
(mm)
Baseflow
(mm)
Soil Quick Flow
(mm)
Surface Quick Flow
(mm)
Quick Flow
(mm)
2001 1795.5 1678.34 443.09 0 1235.22 1235.22
2006 1742.24 1638.16 410.42 0 1227.79 1227.79
2015 1495.3 1417.47 332.49 0 1084.88 1084.88
2030 1054.58 965.52 221.92 0 743.55 743.55
KKL
Tahun Hujan (mm)
Debit sungai
(mm)
Baseflow
(mm)
Soil Quick Flow
(mm)
Surface Quick Flow
(mm)
Quick Flow
(mm)
2001 1795.5 1678.34 443.09 0 1235.22 1235.22
2006 1742.24 1635.26 429.8 0 1205.53 1205.53
2015 1495.3 1417.6 332.61 0 1084.88 1084.88
2030 1054.58 962.85 232.49 0 730.4 730.4
RTRW
Tahun Hujan (mm)
Debit sungai
(mm)
Baseflow
(mm)
Soil Quick Flow
(mm)
Surface Quick Flow
(mm)
Quick Flow
(mm)
2001 1795.5 1678.34 443.09 0 1235.22 1235.22
2006 1742.24 1643.22 376.43 0 1266.83 1266.83
2015 1495.3 1417.24 332.28 0 1084.88 1084.88
2030 1054.58 890.2 194.95 0 695.25 695.25
USAID/Indonesia Kajian Dampak Perubahan Iklim dan Tata Guna Lahan Terhadap Ketersedian Air di Kabupaten Mojokerto – Jawa Timur 84
SubDAS No.10
BAU
Tahun Hujan (mm)
Debit sungai
(mm)
Baseflow
(mm)
Soil Quick Flow
(mm)
Surface Quick Flow
(mm)
Quick Flow
(mm)
2001 2012.2 1830.4 665.9 0 1164.37 1164.37
2006 1869 1753.18 476.04 0 1276.73 1276.73
2015 1588.8 1480.27 422.48 0 1057.58 1057.58
2030 1379.76 1228.05 394.09 0 833.8 833.8
KKL
Tahun Hujan (mm)
Debit sungai
(mm)
Baseflow
(mm)
Soil Quick Flow
(mm)
Surface Quick Flow
(mm)
Quick Flow
(mm)
2001 2012.2 1830.4 665.9 0 1164.37 1164.37
2006 1869 1752.22 484.38 0 1267.32 1267.32
2015 1588.8 1480.35 422.56 0 1057.58 1057.58
2030 1379.76 1232.76 401.72 0 830.89 830.89
RTRW
Tahun Hujan (mm)
Debit sungai
(mm)
Baseflow
(mm)
Soil Quick Flow
(mm)
Surface Quick Flow
(mm)
Quick Flow
(mm)
2001 2012.2 1830.4 665.9 0 1164.37 1164.37
2006 1869 1755.88 452.08 0 1303.26 1303.26
2015 1588.8 1480.05 422.23 0 1057.58 1057.58
2030 1379.76 1146.41 297.6 0 848.75 848.75
USAID/Indonesia Kajian Dampak Perubahan Iklim dan Tata Guna Lahan Terhadap Ketersedian Air di Kabupaten Mojokerto – Jawa Timur 85
SubDAS No. 11
BAU
Tahun Hujan (mm)
Debit sungai
(mm)
Baseflow
(mm)
Soil Quick Flow
(mm)
Surface Quick Flow
(mm)
Quick Flow
(mm)
2001 1981.28 1810.23 698.76 0.41 1118.99 1119.4
2006 1796.56 1699.84 643.83 0.74 1056.21 1056.95
2015 1405.94 1308.62 518.86 0 790.38 790.38
2030 1232.55 1140.37 435.26 0 705.14 705.14
KKL
Tahun Hujan (mm)
Debit sungai
(mm)
Baseflow
(mm)
Soil Quick Flow
(mm)
Surface Quick Flow
(mm)
Quick Flow
(mm)
2001 1981.28 1811.91 650.94 0.23 1168.91 1169.14
2006 1796.56 1702.57 591.13 0.56 1111.83 1112.39
2015 1405.94 1308.16 518.47 0 790.49 790.49
2030 1232.55 1105.41 379.98 0 725.46 725.46
RTRW
Tahun Hujan (mm)
Debit sungai
(mm)
Baseflow
(mm)
Soil Quick Flow
(mm)
Surface Quick Flow
(mm)
Quick Flow
(mm)
2001 1981.28 1810.23 698.76 0.41 1118.99 1119.4
2006 1796.56 1704.16 592.97 0.36 1111.83 1112.19
2015 1405.94 1308.16 518.47 0 790.49 790.49
2030 1232.55 1105.41 379.98 0 725.46 725.46
USAID/Indonesia Kajian Dampak Perubahan Iklim dan Tata Guna Lahan Terhadap Ketersedian Air di Kabupaten Mojokerto – Jawa Timur 86
SubDAS No.12
BAU
Tahun Hujan (mm)
Debit sungai
(mm)
Baseflow
(mm)
Soil Quick Flow
(mm)
Surface Quick Flow
(mm)
Quick Flow
(mm)
2001 1973.06 1781.68 710.55 0.28 1076.16 1076.44
2006 1667.33 1544.35 526.5 0.26 1032.65 1032.91
2015 1458.8 1339.86 568.35 0.26 762.56 762.82
2030 1177.48 1053.5 455.42 0 594.75 594.75
KKL
Tahun Hujan (mm)
Debit sungai
(mm)
Baseflow
(mm)
Soil Quick Flow
(mm)
Surface Quick Flow
(mm)
Quick Flow
(mm)
2001 1973.06 1781.68 710.55 0.28 1076.16 1076.44
2006 1667.33 1543.67 533.89 0.3 1024.48 1024.78
2015 1458.8 1339.95 568.41 0.26 762.56 762.82
2030 1177.48 1055.49 462.39 0 589.65 589.65
RTRW
Tahun Hujan (mm)
Debit sungai
(mm)
Baseflow
(mm)
Soil Quick Flow
(mm)
Surface Quick Flow
(mm)
Quick Flow
(mm)
2001 1973.06 1781.68 710.55 0.28 1076.16 1076.44
2006 1667.33 1547.72 492.66 0.08 1070.51 1070.59
2015 1458.8 1339.54 568.12 0.25 762.56 762.81
2030 1177.48 1011.56 412.82 0 595.46 595.46
USAID/Indonesia Kajian Dampak Perubahan Iklim dan Tata Guna Lahan Terhadap Ketersedian Air di Kabupaten Mojokerto – Jawa Timur 87
SubDAS No.13
BAU
Tahun Hujan (mm)
Debit sungai
(mm)
Baseflow
(mm)
Soil Quick Flow
(mm)
Surface Quick Flow
(mm)
Quick Flow
(mm)
2001 1886 1710.38 683.48 0.24 1036.75 1036.99
2006 1531.94 1414.65 549.12 0.09 877.72 877.81
2015 1567.25 1446.47 578.1 0.24 863.22 863.46
2030 1264.9 1144.35 481.62 0 661 661
KKL
Tahun Hujan (mm)
Debit sungai
(mm)
Baseflow
(mm)
Soil Quick Flow
(mm)
Surface Quick Flow
(mm)
Quick Flow
(mm)
2001 1886 1710.38 683.48 0.24 1036.75 1036.99
2006 1531.94 1414.5 551.31 0.1 875.27 875.37
2015 1567.25 1446.48 578.13 0.24 863.22 863.46
2030 1264.9 1145.81 484.25 0 659.85 659.85
RTRW
Tahun Hujan (mm)
Debit sungai
(mm)
Baseflow
(mm)
Soil Quick Flow
(mm)
Surface Quick Flow
(mm)
Quick Flow
(mm)
2001 1886 1710.38 683.48 0.24 1036.75 1036.99
2006 1531.94 1417.11 522.72 0 906.9 906.9
2015 1567.25 1446.16 577.84 0.24 863.22 863.46
2030 1264.9 1116.64 448.35 0.04 666.65 666.69
USAID/Indonesia Kajian Dampak Perubahan Iklim dan Tata Guna Lahan Terhadap Ketersedian Air di Kabupaten Mojokerto – Jawa Timur 88
SubDAS No.14
BAU
Tahun Hujan (mm)
Debit sungai
(mm)
Baseflow
(mm)
Soil Quick Flow
(mm)
Surface Quick Flow
(mm)
Quick Flow
(mm)
2001 1953.84 1804.41 775.17 0.62 1013.02 1013.64
2006 1965.6 1821.13 726.15 0.99 1105.62 1106.61
2015 1349 1231.2 486.74 0 749.9 749.9
2030 1220.2 1108.84 449.96 0 657.8 657.8
KKL
Tahun Hujan (mm)
Debit sungai
(mm)
Baseflow
(mm)
Soil Quick Flow
(mm)
Surface Quick Flow
(mm)
Quick Flow
(mm)
2001 1953.84 1804.41 775.17 0.62 1013.02 1013.64
2006 1965.6 1817.16 777.11 1.46 1049.23 1050.69
2015 1349 1231.52 487.03 0 749.9 749.9
2030 1220.2 1097.21 468.52 0 627.56 627.56
RTRW
Tahun Hujan (mm)
Debit sungai
(mm)
Baseflow
(mm)
Soil Quick Flow
(mm)
Surface Quick Flow
(mm)
Quick Flow
(mm)
2001 1953.84 1804.41 775.17 0.62 1013.02 1013.64
2006 1965.6 1821.78 718.11 0.94 1114.39 1115.33
2015 1349 1231.12 486.7 0 749.9 749.9
2030 1220.2 1090.37 427.31 0 662.05 662.05
USAID/Indonesia Kajian Dampak Perubahan Iklim dan Tata Guna Lahan Terhadap Ketersedian Air di Kabupaten Mojokerto – Jawa Timur 89
SubDAS No.15
BAU
Tahun Hujan (mm)
Debit sungai
(mm)
Baseflow
(mm)
Soil Quick Flow
(mm)
Surface Quick Flow
(mm)
Quick Flow
(mm)
2001 1873.69 1733.53 677.22 0.18 1049.98 1050.16
2006 1713.64 1610.63 623.65 0.33 989.09 989.42
2015 1762 1655.15 554.96 0 1102.17 1102.17
2030 1342.58 1243.25 475.05 0 768.11 768.11
KKL
Tahun Hujan (mm)
Debit sungai
(mm)
Baseflow
(mm)
Soil Quick Flow
(mm)
Surface Quick Flow
(mm)
Quick Flow
(mm)
2001 1873.69 1733.53 677.22 0.18 1049.98 1050.16
2006 1713.64 1610.29 626.95 0.37 985.47 985.84
2015 1762 1655.16 555.01 0 1102.17 1102.17
2030 1342.58 1242.54 477.71 0 764.83 764.83
RTRW
Tahun Hujan (mm)
Debit sungai
(mm)
Baseflow
(mm)
Soil Quick Flow
(mm)
Surface Quick Flow
(mm)
Quick Flow
(mm)
2001 1873.69 1733.53 677.22 0.18 1049.98 1050.16
2006 1713.64 1613.85 591.04 0.16 1024.99 1025.15
2015 1762 1655.07 554.79 0.01 1102.38 1102.39
2030 1342.58 1188.9 423.06 0 765.96 765.96
USAID/Indonesia Kajian Dampak Perubahan Iklim dan Tata Guna Lahan Terhadap Ketersedian Air di Kabupaten Mojokerto – Jawa Timur 90
SubDAS No.16
BAU
Tahun Hujan (mm)
Debit sungai
(mm)
Baseflow
(mm)
Soil Quick Flow
(mm)
Surface Quick Flow
(mm)
Quick Flow
(mm)
2001 1429 1364.55 375.33 0 989.2 989.2
2006 1611.18 1533.6 503.08 0 1030.53 1030.53
2015 1749 1675.86 491.33 0 1184.46 1184.46
2030 1081.96 1028.41 307.71 0 720.71 720.71
KKL
Tahun Hujan (mm)
Debit sungai
(mm)
Baseflow
(mm)
Soil Quick Flow
(mm)
Surface Quick Flow
(mm)
Quick Flow
(mm)
2001 1429 1364.55 375.33 0 989.2 989.2
2006 1611.18 1533.21 507.92 0 1025.33 1025.33
2015 1749 1675.91 491.42 0 1184.45 1184.45
2030 1081.96 1027.08 310.53 0 716.52 716.52
RTRW
Tahun Hujan (mm)
Debit sungai
(mm)
Baseflow
(mm)
Soil Quick Flow
(mm)
Surface Quick Flow
(mm)
Quick Flow
(mm)
2001 1429 1364.55 375.33 0 989.2 989.2
2006 1611.18 1540.85 437.81 0 1103.07 1103.07
2015 1749 1675.32 490.83 0 1184.47 1184.47
2030 1081.96 991.04 267.11 0 723.92 723.92
USAID/Indonesia Kajian Dampak Perubahan Iklim dan Tata Guna Lahan Terhadap Ketersedian Air di Kabupaten Mojokerto – Jawa Timur 91
SubDAS No.17
BAU
Tahun Hujan (mm)
Debit sungai
(mm)
Baseflow
(mm)
Soil Quick Flow
(mm)
Surface Quick Flow
(mm)
Quick Flow
(mm)
2001 1429 1369.59 355.13 0 1014.41 1014.41
2006 1611 1521.13 581.91 0.3 938.99 939.29
2015 1749 1664.65 585.71 0.19 1078.7 1078.89
2030 1081.85 1020.27 366.53 0 653.66 653.66
KKL
Tahun Hujan (mm)
Debit sungai
(mm)
Baseflow
(mm)
Soil Quick Flow
(mm)
Surface Quick Flow
(mm)
Quick Flow
(mm)
2001 1429 1369.59 355.13 0 1014.41 1014.41
2006 1611 1518.95 602.61 0.36 915.98 916.34
2015 1749 1664.81 585.89 0.19 1078.68 1078.87
2030 1081.85 1015.3 379.56 0 635.74 635.74
RTRW
Tahun Hujan (mm)
Debit sungai
(mm)
Baseflow
(mm)
Soil Quick Flow
(mm)
Surface Quick Flow
(mm)
Quick Flow
(mm)
2001 1429 1369.59 355.13 0 1014.41 1014.41
2006 1611 1536.36 444.6 0 1091.74 1091.74
2015 1749 1663.46 584.45 0.18 1078.77 1078.95
2030 1081.85 977.32 279.87 0 697.42 697.42
USAID/Indonesia Kajian Dampak Perubahan Iklim dan Tata Guna Lahan Terhadap Ketersedian Air di Kabupaten Mojokerto – Jawa Timur 92
SubDAS No.18
BAU
Tahun Hujan (mm)
Debit sungai
(mm)
Baseflow
(mm)
Soil Quick Flow
(mm)
Surface Quick Flow
(mm)
Quick Flow
(mm)
2001 1876.31 1753.83 644.53 0.03 1109.21 1109.24
2006 1835.34 1715.64 675.55 0.73 1039.31 1040.04
2015 1762 1645.41 578.29 0.06 1067.04 1067.1
2030 1324.45 1211.38 488.06 0 723.35 723.35
KKL
Tahun Hujan (mm)
Debit sungai
(mm)
Baseflow
(mm)
Soil Quick Flow
(mm)
Surface Quick Flow
(mm)
Quick Flow
(mm)
2001 1876.31 1753.83 644.53 0.03 1109.21 1109.24
2006 1835.34 1713.2 699.56 0.86 1012.78 1013.64
2015 1762 1645.54 578.46 0.07 1067 1067.07
2030 1324.45 1170.53 501.52 0 669.14 669.14
RTRW
Tahun Hujan (mm)
Debit sungai
(mm)
Baseflow
(mm)
Soil Quick Flow
(mm)
Surface Quick Flow
(mm)
Quick Flow
(mm)
2001 1876.31 1753.83 644.53 0.03 1109.21 1109.24
2006 1835.34 1726.31 568.55 0.21 1157.53 1157.74
2015 1762 1644.62 577.46 0.06 1067.06 1067.12
2030 1324.45 1147.37 398.56 0 748.85 748.85
USAID/Indonesia Kajian Dampak Perubahan Iklim dan Tata Guna Lahan Terhadap Ketersedian Air di Kabupaten Mojokerto – Jawa Timur 93
SubDAS No.19
BAU
Tahun Hujan (mm)
Debit sungai
(mm)
Baseflow
(mm)
Soil Quick Flow
(mm)
Surface Quick Flow
(mm)
Quick Flow
(mm)
2001 1918.25 1732.32 742.26 0.44 989.65 990.09
2006 1859.74 1772.42 640.62 0.74 1131.03 1131.77
2015 1749 1671.92 499.19 0 1172.74 1172.74
2030 1190 1046.24 507.04 0 539.28 539.28
KKL
Tahun Hujan (mm)
Debit sungai
(mm)
Baseflow
(mm)
Soil Quick Flow
(mm)
Surface Quick Flow
(mm)
Quick Flow
(mm)
2001 1918.25 1732.32 742.26 0.44 989.65 990.09
2006 1859.74 1760.18 782.04 1.94 976.15 978.09
2015 1749 1672.75 500.07 0.01 1172.65 1172.66
2030 1190 1000.52 527.77 0 472.74 472.74
RTRW
Tahun Hujan (mm)
Debit sungai
(mm)
Baseflow
(mm)
Soil Quick Flow
(mm)
Surface Quick Flow
(mm)
Quick Flow
(mm)
2001 1918.25 1732.32 742.26 0.44 989.65 990.09
2006 1859.74 1772.91 634.32 0.68 1137.89 1138.57
2015 1749 1671.83 499.1 0 1172.74 1172.74
2030 1190 1018.12 387.03 0 631.02 631.02
USAID/Indonesia Kajian Dampak Perubahan Iklim dan Tata Guna Lahan Terhadap Ketersedian Air di Kabupaten Mojokerto – Jawa Timur 94
SubDAS No.20
BAU
Tahun Hujan (mm)
Debit sungai
(mm)
Baseflow
(mm)
Soil Quick Flow
(mm)
Surface Quick Flow
(mm)
Quick Flow
(mm)
2001 2650 2371.12 1105.35 3.83 1248.11 1251.94
2006 2494.23 2235.36 1281.39 19.04 925.85 944.89
2015 2061 1857.27 1049.87 4.14 799.57 803.71
2030 1308.27 1093.38 752.76 0.16 340.29 340.45
KKL
Tahun Hujan (mm)
Debit sungai
(mm)
Baseflow
(mm)
Soil Quick Flow
(mm)
Surface Quick Flow
(mm)
Quick Flow
(mm)
2001 2650 2371.12 1105.35 3.83 1248.11 1251.94
2006 2494.23 2221.62 1429.05 24.87 758.61 783.48
2015 2061 1858.35 1050.73 4.23 799.57 803.8
2030 1308.27 1084.71 830.47 0.49 253.57 254.06
RTRW
Tahun Hujan (mm)
Debit sungai
(mm)
Baseflow
(mm)
Soil Quick Flow
(mm)
Surface Quick Flow
(mm)
Quick Flow
(mm)
2001 2650 2371.12 1105.35 3.83 1248.11 1251.94
2006 2494.23 2262.42 995.03 8.47 1249.64 1258.11
2015 2061 1854.76 1047.66 4.12 799.57 803.69
2030 1308.27 1043.69 577.9 0 465.56 465.56
USAID/Indonesia Kajian Dampak Perubahan Iklim dan Tata Guna Lahan Terhadap Ketersedian Air di Kabupaten Mojokerto – Jawa Timur 95
SubDAS No.21
BAU
Tahun Hujan (mm)
Debit sungai
(mm)
Baseflow
(mm)
Soil Quick Flow
(mm)
Surface Quick Flow
(mm)
Quick Flow
(mm)
2001 1778 1687.62 487.89 0 1199.67 1199.67
2006 2107.85 2015.62 823.3 2.38 1189.99 1192.37
2015 1749 1638.02 645.61 0.23 992.22 992.45
2030 1581.97 1460.78 589.35 0.16 871.31 871.47
KKL
Tahun Hujan (mm)
Debit sungai
(mm)
Baseflow
(mm)
Soil Quick Flow
(mm)
Surface Quick Flow
(mm)
Quick Flow
(mm)
2001 1778 1687.62 487.89 0 1199.67 1199.67
2006 2107.85 1981.93 1271.54 15.17 695.19 710.36
2015 1749 1640.23 647.99 0.23 992.06 992.29
2030 1581.97 1464.38 857.25 1.77 605.4 607.17
RTRW
Tahun Hujan (mm)
Debit sungai
(mm)
Baseflow
(mm)
Soil Quick Flow
(mm)
Surface Quick Flow
(mm)
Quick Flow
(mm)
2001 1778 1687.62 487.89 0 1199.67 1199.67
2006 2107.85 2021.25 754.09 1.69 1265.53 1267.22
2015 1749 1637.58 645.15 0.22 992.23 992.45
2030 1581.97 1416.77 535.83 0 880.88 880.88
USAID/Indonesia Kajian Dampak Perubahan Iklim dan Tata Guna Lahan Terhadap Ketersedian Air di Kabupaten Mojokerto – Jawa Timur 96
SubDAS No.22
BAU
Tahun Hujan (mm)
Debit sungai
(mm)
Baseflow
(mm)
Soil Quick Flow
(mm)
Surface Quick Flow
(mm)
Quick Flow
(mm)
2001 1778 1698.23 637.59 0.04 1060.64 1060.68
2006 2108 2040.61 783.86 1.95 1254.91 1256.86
2015 1749 1643.97 617.34 0.16 1026.38 1026.54
2030 1582.04 1468.13 563.84 0.03 904.25 904.28
KKL
Tahun Hujan (mm)
Debit sungai
(mm)
Baseflow
(mm)
Soil Quick Flow
(mm)
Surface Quick Flow
(mm)
Quick Flow
(mm)
2001 1778 1698.23 637.59 0.04 1060.64 1060.68
2006 2108 1998.76 1331.76 16.18 650.81 666.99
2015 1749 1646.75 620.24 0.18 1026.22 1026.4
2030 1582.04 1443.08 904.27 1.02 537.84 538.86
RTRW
Tahun Hujan (mm)
Debit sungai
(mm)
Baseflow
(mm)
Soil Quick Flow
(mm)
Surface Quick Flow
(mm)
Quick Flow
(mm)
2001 1778 1698.23 637.59 0.04 1060.64 1060.68
2006 2108 2038.44 810.96 2.14 1225.34 1227.48
2015 1749 1644.16 617.54 0.16 1026.36 1026.52
2030 1582.04 1450.21 581.88 0 868.29 868.29
USAID/Indonesia Kajian Dampak Perubahan Iklim dan Tata Guna Lahan Terhadap Ketersedian Air di Kabupaten Mojokerto – Jawa Timur 97
SubDAS No.23
BAU
Tahun Hujan (mm)
Debit sungai
(mm)
Baseflow
(mm)
Soil Quick Flow
(mm)
Surface Quick Flow
(mm)
Quick Flow
(mm)
2001 2134.5 1954.85 1244.71 9.38 655.56 664.94
2006 2049.8 1752.98 1032.83 9.1 729.33 738.43
2015 1775 1559.74 827.52 1.81 729.43 731.24
2030 1605.71 1397.02 780.01 0.94 613.51 614.45
KKL
Tahun Hujan (mm)
Debit sungai
(mm)
Baseflow
(mm)
Soil Quick Flow
(mm)
Surface Quick Flow
(mm)
Quick Flow
(mm)
2001 2134.5 1954.85 1244.71 9.38 655.56 664.94
2006 2049.8 1742.11 1126.72 12.53 619.1 631.63
2015 1775 1560.51 828.1 1.86 729.43 731.29
2030 1605.71 1348.58 850.5 2.67 492.99 495.66
RTRW
Tahun Hujan (mm)
Debit sungai
(mm)
Baseflow
(mm)
Soil Quick Flow
(mm)
Surface Quick Flow
(mm)
Quick Flow
(mm)
2001 2134.5 1954.85 1244.71 9.38 655.56 664.94
2006 2049.8 1774.34 833.41 3.84 958.77 962.61
2015 1775 1557.8 826.14 1.74 729.43 731.17
2030 1605.71 1338.16 602.71 0 733.34 733.34
USAID/Indonesia Kajian Dampak Perubahan Iklim dan Tata Guna Lahan Terhadap Ketersedian Air di Kabupaten Mojokerto – Jawa Timur 98
SubDAS No.24
BAU
Tahun Hujan (mm)
Debit sungai
(mm)
Baseflow
(mm)
Soil Quick Flow
(mm)
Surface Quick Flow
(mm)
Quick Flow
(mm)
2001 3522 3242.84 2067.07 44.22 1072.02 1116.24
2006 2880.66 2575.27 1634.67 35.73 907.9 943.63
2015 2061 1857.03 1212.72 10.8 614.63 625.43
2030 1682.92 1371.69 995.12 6.87 369.43 376.3
KKL
Tahun Hujan (mm)
Debit sungai
(mm)
Baseflow
(mm)
Soil Quick Flow
(mm)
Surface Quick Flow
(mm)
Quick Flow
(mm)
2001 3522 3242.84 2067.07 44.22 1072.02 1116.24
2006 2880.66 2560.61 1797.17 42.42 718.08 760.5
2015 2061 1858.71 1213.97 10.92 614.63 625.55
2030 1682.92 1351.9 1066.4 12.38 272.83 285.21
RTRW
Tahun Hujan (mm)
Debit sungai
(mm)
Baseflow
(mm)
Soil Quick Flow
(mm)
Surface Quick Flow
(mm)
Quick Flow
(mm)
2001 3522 3242.84 2067.07 44.22 1072.02 1116.24
2006 2880.66 2614.47 1125.17 16.66 1488.24 1504.9
2015 2061 1851.66 1208.71 10.45 614.63 625.08
2030 1682.92 1273.31 697 0.51 575.36 575.87
USAID/Indonesia Kajian Dampak Perubahan Iklim dan Tata Guna Lahan Terhadap Ketersedian Air di Kabupaten Mojokerto – Jawa Timur 99
SubDAS No.25
BAU
Tahun Hujan (mm)
Debit sungai
(mm)
Baseflow
(mm)
Soil Quick Flow
(mm)
Surface Quick Flow
(mm)
Quick Flow
(mm)
2001 3522 3136.1 2486.1 64.87 582.1 646.97
2006 2880.99 2529.61 1835.25 46.07 649.11 695.18
2015 2061 1803.35 1465.29 21.66 314.04 335.7
2030 1683.04 1328.81 1117.77 14.05 196.87 210.92
KKL
Tahun Hujan (mm)
Debit sungai
(mm)
Baseflow
(mm)
Soil Quick Flow
(mm)
Surface Quick Flow
(mm)
Quick Flow
(mm)
2001 3522 3136.1 2486.1 64.87 582.1 646.97
2006 2880.99 2515.42 1925.4 49.69 541.31 591
2015 2061 1804.17 1466.09 21.67 314.04 335.71
2030 1683.04 1311.13 1153.58 19.26 138.25 157.51
RTRW
Tahun Hujan (mm)
Debit sungai
(mm)
Baseflow
(mm)
Soil Quick Flow
(mm)
Surface Quick Flow
(mm)
Quick Flow
(mm)
2001 3522 3136.1 2486.1 64.87 582.1 646.97
2006 2880.99 2599.82 1214.82 21.41 1363.82 1385.23
2015 2061 1798.72 1460.8 21.76 314.04 335.8
2030 1683.04 1217.86 756.66 3.01 458.23 461.24
USAID/Indonesia Kajian Dampak Perubahan Iklim dan Tata Guna Lahan Terhadap Ketersedian Air di Kabupaten Mojokerto – Jawa Timur 100
SubDAS No.26
BAU
Tahun Hujan (mm)
Debit sungai
(mm)
Baseflow
(mm)
Soil Quick Flow
(mm)
Surface Quick Flow
(mm)
Quick Flow
(mm)
2001 1847 1756 1401.31 27.4 268.39 295.79
2006 2313.12 1920.05 1612.81 32.04 287.39 319.43
2015 2061 1707.77 1399.6 19.56 306.87 326.43
2030 1670.77 1419.57 1187.43 14.51 217.23 231.74
KKL
Tahun Hujan (mm)
Debit sungai
(mm)
Baseflow
(mm)
Soil Quick Flow
(mm)
Surface Quick Flow
(mm)
Quick Flow
(mm)
2001 1847 1756 1401.31 27.4 268.39 295.79
2006 2313.12 1904.25 1722.49 37.69 154.95 192.64
2015 2061 1708.47 1400.11 19.65 306.87 326.52
2030 1670.77 1417.31 1273.76 19.43 123.77 143.2
RTRW
Tahun Hujan (mm)
Debit sungai
(mm)
Baseflow
(mm)
Soil Quick Flow
(mm)
Surface Quick Flow
(mm)
Quick Flow
(mm)
2001 1847 1756 1401.31 27.4 268.39 295.79
2006 2313.12 1936.64 1484.34 26.86 439.23 466.09
2015 2061 1707.05 1399.06 19.56 306.87 326.43
2030 1670.77 1401.55 1075.78 11.18 314.2 325.38
USAID/Indonesia Kajian Dampak Perubahan Iklim dan Tata Guna Lahan Terhadap Ketersedian Air di Kabupaten Mojokerto – Jawa Timur 101
SubDAS No.27
BAU
Tahun Hujan (mm)
Debit sungai
(mm)
Baseflow
(mm)
Soil Quick Flow
(mm)
Surface Quick Flow
(mm)
Quick Flow
(mm)
2001 1847 1712.78 1270.58 19.57 411.82 431.39
2006 2313.01 1976.42 1442.11 25.46 512 537.46
2015 1775 1471.78 1081.59 7.84 384 391.84
2030 1605.53 1332.62 1019.62 7.59 305.38 312.97
KKL
Tahun Hujan (mm)
Debit sungai
(mm)
Baseflow
(mm)
Soil Quick Flow
(mm)
Surface Quick Flow
(mm)
Quick Flow
(mm)
2001 1847 1712.78 1270.58 19.57 411.82 431.39
2006 2313.01 1970.48 1481.06 26.77 465.99 492.76
2015 1775 1471.96 1081.74 7.89 384 391.89
2030 1605.53 1312.16 1036.08 9.68 266.3 275.98
RTRW
Tahun Hujan (mm)
Debit sungai
(mm)
Baseflow
(mm)
Soil Quick Flow
(mm)
Surface Quick Flow
(mm)
Quick Flow
(mm)
2001 1847 1712.78 1270.58 19.57 411.82 431.39
2006 2313.01 2013.07 1146.43 15.05 853.7 868.75
2015 1775 1470.33 1080.41 7.7 384 391.7
2030 1605.53 1276.37 803.32 2.48 470.46 472.94
USAID/Indonesia Kajian Dampak Perubahan Iklim dan Tata Guna Lahan Terhadap Ketersedian Air di Kabupaten Mojokerto – Jawa Timur 102
SubDAS No.28
BAU
Tahun Hujan (mm)
Debit sungai
(mm)
Baseflow
(mm)
Soil Quick Flow
(mm)
Surface Quick Flow
(mm)
Quick Flow
(mm)
2001 1847 1795.84 545.5 0.02 1248.15 1248.17
2006 2313 2167.16 721.6 0.28 1445.12 1445.4
2015 1775 1650.22 558.57 0.02 1091.62 1091.64
2030 1605.53 1491.04 538.42 0 952.57 952.57
KKL
Tahun Hujan (mm)
Debit sungai
(mm)
Baseflow
(mm)
Soil Quick Flow
(mm)
Surface Quick Flow
(mm)
Quick Flow
(mm)
2001 1847 1795.84 545.5 0.02 1248.15 1248.17
2006 2313 2142.66 951.31 0.69 1191.02 1191.71
2015 1775 1651.16 559.47 0.03 1091.62 1091.65
2030 1605.53 1393.97 639.16 0.14 754.71 754.85
RTRW
Tahun Hujan (mm)
Debit sungai
(mm)
Baseflow
(mm)
Soil Quick Flow
(mm)
Surface Quick Flow
(mm)
Quick Flow
(mm)
2001 1847 1795.84 545.5 0.02 1248.15 1248.17
2006 2313 2171.49 682.71 0.2 1488.33 1488.53
2015 1775 1650.03 558.37 0.02 1091.62 1091.64
2030 1605.53 1477.11 508.33 0 968.81 968.81
USAID/Indonesia Kajian Dampak Perubahan Iklim dan Tata Guna Lahan Terhadap Ketersedian Air di Kabupaten Mojokerto – Jawa Timur 103
SubDAS No.29
BAU
Tahun Hujan (mm)
Debit sungai
(mm)
Baseflow
(mm)
Soil Quick Flow
(mm)
Surface Quick Flow
(mm)
Quick Flow
(mm)
2001 1951 1635.46 1440.63 10.54 184.04 194.58
2006 2312.8 1924.93 1616.64 33.37 275.62 308.99
2015 1528 1254.87 1041.23 12.09 201.05 213.14
2030 1331.37 1035.83 938.9 8.52 85.49 94.01
KKL
Tahun Hujan (mm)
Debit sungai
(mm)
Baseflow
(mm)
Soil Quick Flow
(mm)
Surface Quick Flow
(mm)
Quick Flow
(mm)
2001 1951 1635.46 1440.63 10.54 184.04 194.58
2006 2312.8 1912.66 1691.67 37.2 184.79 221.99
2015 1528 1255.57 1041.87 12.14 201.05 213.19
2030 1331.37 1032.68 968.62 10.51 50.66 61.17
RTRW
Tahun Hujan (mm)
Debit sungai
(mm)
Baseflow
(mm)
Soil Quick Flow
(mm)
Surface Quick Flow
(mm)
Quick Flow
(mm)
2001 1951 1635.46 1440.63 10.54 184.04 194.58
2006 2312.8 1983.19 1190.58 17.77 774.61 792.38
2015 1528 1251.41 1038.11 11.78 201.05 212.83
2030 1331.37 945.69 663.33 2.36 278.12 280.48
USAID/Indonesia Kajian Dampak Perubahan Iklim dan Tata Guna Lahan Terhadap Ketersedian Air di Kabupaten Mojokerto – Jawa Timur 104
SubDAS No.30
BAU
Tahun Hujan (mm)
Debit sungai
(mm)
Baseflow
(mm)
Soil Quick Flow
(mm)
Surface Quick Flow
(mm)
Quick Flow
(mm)
2001 2684.5 2285.57 2074.19 49.45 146.63 196.08
2006 2010.58 1614.83 1542.14 35.65 30.74 66.39
2015 1638.5 1316.2 1238.87 22.01 50.57 72.58
2030 1450.59 1062.59 1012.48 8.45 41.51 49.96
KKL
Tahun Hujan (mm)
Debit sungai
(mm)
Baseflow
(mm)
Soil Quick Flow
(mm)
Surface Quick Flow
(mm)
Quick Flow
(mm)
2001 2684.5 2285.57 2074.19 49.45 146.63 196.08
2006 2010.58 1614.82 1542.73 35.67 30.08 65.75
2015 1638.5 1316.2 1238.87 22.01 50.57 72.58
2030 1450.59 1060.73 1011.24 8.76 40.58 49.34
RTRW
Tahun Hujan (mm)
Debit sungai
(mm)
Baseflow
(mm)
Soil Quick Flow
(mm)
Surface Quick Flow
(mm)
Quick Flow
(mm)
2001 2684.5 2285.57 2074.19 49.45 146.63 196.08
2006 2010.58 1615.26 1538.52 35.5 34.91 70.41
2015 1638.5 1316.2 1238.87 22.01 50.57 72.58
2030 1450.59 1055.81 1001.12 8.34 46.25 54.59
USAID/Indonesia Kajian Dampak Perubahan Iklim dan Tata Guna Lahan Terhadap Ketersedian Air di Kabupaten Mojokerto – Jawa Timur 105
SubDAS No.31
BAU
Tahun Hujan (mm)
Debit sungai
(mm)
Baseflow
(mm)
Soil Quick Flow
(mm)
Surface Quick Flow
(mm)
Quick Flow
(mm)
2001 2693.5 2291.55 2075.81 48.99 166.77 215.76
2006 2596.98 2142.05 1874.94 48.6 218.44 267.04
2015 2061 1756.08 1540.7 27.24 188.13 215.37
2030 1778.87 1354.95 1193.46 17 144.45 161.45
KKL
Tahun Hujan (mm)
Debit sungai
(mm)
Baseflow
(mm)
Soil Quick Flow
(mm)
Surface Quick Flow
(mm)
Quick Flow
(mm)
2001 2693.5 2291.55 2075.81 48.99 166.77 215.76
2006 2596.98 2138.94 1899 50.07 189.95 240.02
2015 2061 1756.26 1540.88 27.24 188.13 215.37
2030 1778.87 1346.83 1201.34 19.4 126.09 145.49
RTRW
Tahun Hujan (mm)
Debit sungai
(mm)
Baseflow
(mm)
Soil Quick Flow
(mm)
Surface Quick Flow
(mm)
Quick Flow
(mm)
2001 2693.5 2291.55 2075.81 48.99 166.77 215.76
2006 2596.98 2168.07 1681.16 40.5 446.41 486.91
2015 2061 1754.9 1539.45 27.31 188.13 215.44
2030 1778.87 1306.57 1076.05 14.21 216.28 230.49
USAID/Indonesia Kajian Dampak Perubahan Iklim dan Tata Guna Lahan Terhadap Ketersedian Air di Kabupaten Mojokerto – Jawa Timur 106
SubDAS No.32
BAU
Tahun Hujan (mm)
Debit sungai
(mm)
Baseflow
(mm)
Soil Quick Flow
(mm)
Surface Quick Flow
(mm)
Quick Flow
(mm)
2001 783 764.25 274.33 0 488.73 488.73
2006 2081 1956.81 572.86 0.06 1393.67 1393.73
2015 1401 1313.11 444.11 0 869.74 869.74
2030 440.52 406.02 132.97 0 273.16 273.16
KKL
Tahun Hujan (mm)
Debit sungai
(mm)
Baseflow
(mm)
Soil Quick Flow
(mm)
Surface Quick Flow
(mm)
Quick Flow
(mm)
2001 783 764 274 0 489 489
2006 2081 1808 1577 19 218 238
2015 1401 1315 446 0 870 870
2030 441 372 319 0 53 53
RTRW
Tahun Hujan (mm)
Debit sungai
(mm)
Baseflow
(mm)
Soil Quick Flow
(mm)
Surface Quick Flow
(mm)
Quick Flow
(mm)
2001 783 764 274 0 489 489
2006 2081 1991 364 0 1637 1637
2015 1401 1312 443 0 870 870
2030 441 390 83 0 306 306