Upload
others
View
3
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
VALIDASI BASA NUKLEOTIDA GEN 16S rRNA
SEBAGAI DASAR PENGELOLAAN SUMBERDAYA MIMI
(Carcinoscorpius rotundicauda Lattreille, 1802)
DARI PERAIRAN PULAU JAWA DAN MADURA
YUNITA NUGRAHENI
DEPARTEMEN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN
FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2017
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI
DAN SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi yang berjudul “Validasi Basa
Nukleotida Gen 16S rRNA sebagai Dasar Pengelolaan Sumberdaya Mimi
(Carcinoscorpius rotundicauda Lattreille, 1802) dari Perairan Pulau Jawa dan
Madura” adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan
belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Semua
sumber data informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan
maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan
dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Bogor, September 2017
Yunita Nugraheni
C24130043
ABSTRAK
YUNITA NUGRAHENI. Validasi Basa Nukleotida Gen 16S rRNA sebagai
Dasar Pengelolaan Sumberdaya Mimi (Carcinoscorpius rotundicauda Lattreille,
1802) dari Perairan Pulau Jawa dan Madura. Dibimbing oleh NURLISA ALIAS
BUTET dan YUSLI WARDIATNO.
Mimi (Carcinoscorpius rotundicauda) merupakan hewan fosil yang hidup
di perairan estuari dan bermangrove yang telah mengalami diversifikasi sejak
zaman paleogene (65-23 Mya). Keberadaan spesies ini termasuk dalam kategori
data deficient (2015) yang dinyatakan oleh IUCN. Maka dari itu, perlu adanya
identifikasi mimi (C. rotundicauda) melalui pendekatan biomolekuler agar
diketahui informasi identitas molekuler mimi. Tujuan penelitian ini adalah untuk
mengidentifikasi urutan basa nukleotida spesifik gen 16S rRNA dan mengkaji
hubungan kekerabatan mimi C. rotundicauda dari Perairan Pulau Jawa dan
Madura. Metode yang digunakan yaitu DNA barcoding. Penggunaan marka gen
16S rRNA menghasilkan panjang nukleotida sebesar 451 bp. Konstruksi pohon
filogeni memperlihatkan perbedaan yang jelas antara genus Carcinoscorpius
dengan genus Tachypleus dimana terdapat 28 situs nukleotida spesifik sebagai
penciri spesies.
Kata kunci : 16S rRNA, genetik, mimi, molekuler, pesisir
ABSTRACT
YUNITA NUGRAHENI. Validation Nucleotide Based of Genes 16S rRNA as
The Basic for Resources Management Horseshoe Crabs (Carcinoscorpius
rotundicauda Lattreille, 1802) from Coastal Java and Madura Island. Supervised
by NURLISA ALIAS BUTET and YUSLI WARDIATNO.
Horseshoe crab (Carcinoscorpius rotundicauda) is a living fossil animal
inhabiting estuary and mangrove areas and diversifying since the time of
paleogene (65-23 Mya). The existence of this species belongs to the category of
data deficient (2017) declared by IUCN. Therefore, it is necessary to identify
horseshoe crab (C. rotundicauda) through a biomolecular approach to find out the
molecular identity information of the horseshoe crab. The purpose of this
research was to identify the sequence of nucleotide bases specific to 16S rRNA
gene and to discover the relationship of horseshoe crab (C. rotundicauda) from
coastal Java and Madura Island. The method used is DNA barcoding. The use of
a 16S rRNA gene marker resulted in a 451 bp nucleotide length. The construction
of phylogeny trees shows a clear distinction between Carcinoscorpius and
Tachypleus there were 28 specific nucleotide sites as species identifiers.
Key words : 16S rRNA, coastal, genetics, horseshoe crabs, moleculer
Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Perikanan
pada
Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan
VALIDASI BASA NUKLEOTIDA GEN 16S rRNA
SEBAGAI DASAR PENGELOLAAN SUMBERDAYA MIMI
(Carcinoscorpius rotundicauda Lattreille, 1802)
DARI PERAIRAN PULAU JAWA DAN MADURA
YUNITA NUGRAHENI
DEPARTEMEN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN
FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2017
PRAKATA
Puji dan syukur Penulis panjatkan kepada Allah SWT, atas segala karunia-
Nya sehingga Penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Validasi Basa
Nukleotida Gen 16S rRNA sebagai Dasar Pengelolaan Sumberdaya Mimi
(Carcinoscorpius rotundicauda Lattreille, 1802) dari Perairan Pulau Jawa
dan Madura”. Skripsi ini disusun dan diajukan sebagai salah satu syarat untuk
memperoleh gelar Sarjana Perikanan di Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan,
Institut Pertanian Bogor. Penulis menyampaikan terima kasih kepada:
1. Institut Pertanian Bogor (IPB) yang telah memberikan kesempatan untuk
menempuh studi di Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan.
2. Beasiswa BIDIK MISI yang telah memberikan dana pendidikan selama
perkuliahan.
3. Direktur Jendral Pendidikan Tinggi, Kementrian Pendidikan dan
Kebudayaan atas biaya penelitian melalui Biaya Operasional Perguruan
Tinggi Negeri (BOPTN), Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN).
4. Prof Dr Ir Yusli Wardiatno MSc sebagai pembibing akademik yang telah
memberikan saran selama perkuliahan.
5. Dr Ir Nurlisa A Butet MSc sebagai ketua komisi pembimbing dan Prof
Dr Ir Yusli Wardiatno MSc sebagai anggota komisi pembimbing yang
telah memberi arahan dan masukan dalam penulisan skripsi ini.
6. Dr Ali Mashar Spi MSi selaku penguji luar dan Dr Ir Zairion MSc selaku
perwakilan Program Studi MSP yang telah memberikan arahan dan
masukan dalam penyempurnaan tulisan ini.
7. Keluarga Besar Yamu: Ibu Asminten, Bapak Munali, Mbak Mona, Mas
Witono, Mas Joko, Mbak Viyani, Mbak Novi, Mas Hafid, Nayyara, Izaz,
Ghania, Azza, Hafsah, Arsy, Mbak Chotimah, Pakdhe Mat, Makdhe Seh,
Mas Abidin, Mbak Umaroh, Kak Bagus, Mbak Lisa, Iwan, Bek Ar, Nina,
Dini, Iyung, Mbok Mi, Pakdhe Nan, Mbak Wami, Yana, dan Yanti yang
selalu mendoakan, menyemangati serta mendukung segala impian
penulis selama perjalanan hidup dan penyusunan karya ilmiah ini.
8. Patner Penelitian: Bang Agus, Kak Yuyun, Kak Lusita, Ravido, Kukuh
dan Diajeng yang telah memberikan kesempatan untuk bergabung dan
membantu penelitian ini.
9. Best Support: Hendra Saputra, Fajar N Armadani, Miftakhun Naja, Dian
P Sari, Wiyarti Rimadiyani, Kustiyani, Vebrin Lazuardani, Delima R K,
Teman-teman SMADAPALA 24, MSP 50, A2 Lorong 4, FORMALA
dan Keluarga CEMARA.
Semoga skripsi ini bermanfaat.
Bogor, September 2017
Yunita Nugraheni
DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL viii
DAFTAR GAMBAR viii
DAFTAR LAMPIRAN viii
PENDAHULUAN 1
Latar Belakang 1 Perumusan Masalah 2 Tujuan Penelitian 3 Manfaat Penelitian 3
METODE 3 Waktu dan Lokasi 3 Pengumpulan Data 4 Analisis Bioinformatika 5
HASIL DAN PEMBAHASAN 6 Hasil 6 Pembahasan 12
KESIMPULAN DAN SARAN 12
Kesimpulan 14 Saran 15
DAFTAR PUSTAKA 15 LAMPIRAN 19
RIWAYAT HIDUP 22
DAFTAR TABEL
1 Matriks jarak genetik fragmen gen 16S rRNA pada Carcinoscorpius
rotundicauda, Tachypleus gigas, dan Tachypleus tridentatus
berdasarkan metode paireise distance 11
DAFTAR GAMBAR
1 Diagram alir perumusan masalah validasi basa nukleotida gen 16S
rRNA mimi di perairain Pulau Jawa dan Madura 2
2 Lokasi pengambilan contoh 3
3 Jenis mimi Carcinoscorpius rotundicauda 7
4 Daerah persebaran mimi di Asia 7
5 Struktur morfologi mimi Carcinoscorpius rotundicauda 8
6 Perbedaan antara mimi jantan (a) dan mimi betina (b) berdasarkan ciri
morfologi 9
7 Pengujian hasil isolasi DNA total darah mimi Carcinoscorpius
rotundicauda pada gel agarosa 1,2% 9
8 Elektroforesis DNA hasil pre-test produk PCR pada gel agarosa 1,2% 10 9 Konstruksi pohon filogeni berdasarkan gen 16S rRNA pada
Carcinoscorpius rotundicauda, Tachypleus gigas, dan Tachypleus
tridentatus 11
DAFTAR LAMPIRAN
1 Hasil BLAST n gen 16S rRNA Carcinoscorpius rotundiauda 19 2 Situs nukleotida spesifik gen 16S rRNA mitokondria Carcinoscorpius
rotundicauda berdasarkan sekuen 451 bp yang dibandingkan dengan
outgroup 20
3 Situs nukleotida mutasi gen 16S rRNA Carcinoscorpius rotundiauda 20
4 Dokumentasi penelitian selama di lapang dan laboratorium 21
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Mimi atau belangkas merupakan salah satu jenis Arthropoda yang
mempunyai bentuk tubuh yang cembung dan karapas berbentuk sepatu kuda yang
tertutup cephalothorax, sehingga disebut juga dengan kepiting tapal kaki kuda
(horseshoe crabs) atau kepiting raja (king crabs) (John et al. 2012; Yang dan Ko
2015). Sampai saat ini masih terdapat empat spesies mimi dari tiga genera yang
hidup di alam yaitu Limulus poliphemus, Tachypleus gigas, Tachypleus
tridentatus dan Carcinoscorpius rotundicauda (Pati et al. 2015), dan tiga spesies
terakhir dapat ditemukan di Indonesia. Mimi juga merupakan salah satu biota
yang dilindungi (SK Menteri Kehutanan No 12/KPS-II/1987 untuk spesies T.
tridentatus dan C. rotundicauda dan PP RI No.7/1999 untuk spesies T. gigas)
(Rubiyanto 2012). Beberapa penelitian tentang mimi dapat ditemukan dalam
bidang kajian seperti ekologi mimi (Botton ML 2009), kompetisi reproduksi dan
seleksi seksusal mimi (Brockmann dan Smith 2009), distribusi dan kelimpahan
mimi (Taylor et al. 2011), kebiasaan makan mimi (John et al. 2012), pemanfaatan
mimi untuk merawat kesehatan dentin (Sutrisman et al. 2014), ketersediaan dan
kelimpahan mimi (Pati et al. 2015), kajian morfologi dan genetika mimi (Meilana
et al. 2016), serta biodiversitas dan distribusi mimi (Mashar et al. 2017).
Mimi merupakan hewan yang memiliki peran penting, baik secara ekologi
maupun ekonomi. Secara ekologi, mimi memiliki peranan dalam penyeimbang
rantai makanan dan sumber protein bagi spesies burung pantai yang bermigrasi
(Dietl et al. 2000), dan juga sebagai bioturbator serta mengendalikan hewan
bentik invertebrata (John et al. 2012). Secara ekonomi, di negara Indonesia belum
dimanfaatkan secara maksimal, seperti di Jawa Barat mimi ditangkap untuk
diambil telurnya dan di Kepulauan Riau serta Surabaya ditangkap untuk diambil
sebagai tambahan lauk dan dijual dalam keadaan hidup (Meilana et al. 2016).
Selain itu, sebagian masyarakat di perairan Tungkal Jambi juga memanfaatkan
mimi sebagai umpan untuk menangkap ikan sembilang (Euristhmus microceps)
(Rubiyanto 2012).
Beberapa negara terutama Amerika Serikat, Cina, dan Jepang, ekstrak darah
mimi digunakan untuk mendiagnosa penyakit meningitis dan gornohoe pada
wanita. Darah mimi juga dimanfaatkan sebagai bahan baku pada industri, karena
ekstrak plasma darahnya (haemocyte lysate) banyak digunakan dalam studi
biomedis, farmasi dan ilmu lingkungan (Kumar et al. 2015). Menurut Yeo et al.
(1996) haemolymph dari C. rotundicauda dapat menetralisir Tetrodotoxin (TTX),
sedangkan menurut Ding et al. (2005) sel darah dari C. rotundicauda dan serta
Carcinoscorpius Amoebocyt Lysate (CAL) dapat digunakan sebagai imun aktif
saat terjadi infeksi.
Pemanfaatan yang berlebih dan terus menerus dapat mengakibatkan potensi
kepunahan serta penurunan spesies di alam. Potensi kepunahan dan keberadaan
mimi di alam, semakin menurun dapat disebabkan oleh degradasi habitat,
reklamasi, pencemaran, perburuan komersial (Mishra 2009; Taylor et al. 2012),
hilangnya habitat dan sumber makanan, perubahan kondisi air, dan peningkatan
predasi (Hu et al. 2009).
2
Penelitian terkait mimi telah banyak dilakukan di berbagai negara, namun di
Indonesia penelitian mengenai genetika molekuler mimi masih sangat jarang
dilakukan. Oleh karena itu, untuk menambah data akan keberadaan spesies mimi
di Indonesia maka, genetika molekular digunakan untuk mengidentifikasi spesies
karena ketepatannya dalam mendukung hasil identifikasi berdasarkan sifat
morfologinya. Identifikasi organisme mulai dari spesies hingga subspesies secara
akurat terhadap berbagai spesies yang sulit dibedakan secara morfologi dapat
menggunakan DNA barcoding (Rinanda 2011). Kemampuan DNA barcoding
dalam mengidentifikasi spesies bergantung pada degenerasi kode genetik. Salah
satu kelompok gen yang dapat dijadikan sebagai marka molekuler untuk
penentuan spesies adalah gen 16S rRNA. Gen 16S rRNA merupakan gen
penanda yang berguna dalam identifikasi spesies dan untuk menggambarkan
hubungan filogenetik antara organisme laut (Guo et al. 2011). Selain itu, gen 16S
rRNA ini juga sangat sering digunakan dalam identifikasi hewan (Aprilia et al.
2014).
Perumusan Masalah
Keberdaan populasi mimi dipengaruhi oleh berbagai faktor diantaranya
yaitu keberdaan kondisi lingkungan, kegiatan antropogenik, eksploitasi dan
karakter daur hidup. Kondisi habitat yang berbeda dapat menyebabkan terjadinya
keragaman morfologi antar wilayah yang berbeda. Hal ini merupakan bentuk
adaptasi mimi sesuai dengan kondisi lingkungannya. Selanjutnya, karakter siklus
hidup mimi yaitu adanya fase meroplankton, ditambah perairan pesisir yang
terbuka menyebabkan peluang terjadinya pertukaran genotip, adanya sharing
habitat dan konektivitas. Selain itu, terdapat beberapa lembaga di dunia yang
mengatur tentang proses dan upaya perlindungan terhadap flora dan fauna langka
seperti IUCN dan CITES yang menyatakan bahwa Carcinoscorpius rotundicauda
berada dalam status Data Deficient atau kurangnya data memadai (IUCN 2017).
Adanya faktor permasalahan di atas, maka perlu adanya identifikasi mimi
C. rotundicauda melalui pendekatan biomolekuler agar diketahui informasi
identitas molekuler mimi, untuk menambah data mengenai sumberdaya mimi
sebagai dasar pengelolaan untuk pengelolaan kedepannya di perairan Pulau Jawa
dan Madura. Berikut merupakan diagram alir perumusan masalah (Gambar 1).
Gambar 1 Diagram alir perumusan masalah validasi basa nukleotida gen 16S
rRNA mimi di perairain Pulau Jawa dan Madura
3
Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi urutan basa nukleotida
spesifik gen 16S rRNA dan mengkaji hubungan kekerabatan mimi
Carcinoscorpius rotundicauda dari perairan Pulau Jawa dan Madura.
Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi terkait identitas asli
mimi Carcinoscorpius rotundicauda, sehingga dapat dijadikan sebagai acuan
dalam pengelolaan terhadap mimi C. rotundicauda di Indonesia.
METODE
Waktu dan Lokasi
Penelitian ini dilakukan pada bulan November 2016 hingga Mei 2017.
Pengambilan contoh mimi dilakukan di tiga lokasi yang berbeda, yaitu TPI Desa
Weru Kabupaten Lamongan, Pantai BMKG Desa Kalianget Kabupaten Sumenep,
dan TPI Tambak Lorok Kabupaten Semarang disajikan pada Gambar 1. Analisis
laboratorium dilakukan di Laboratorium Biologi Molekuler Akuatik Departemen
Manajemen Sumberdaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut
Pertanian Bogor.
Gambar 2 Lokasi pengambilan contoh
4
Pengumpulan Data
Pengambilan contoh
Pengambilan contoh dilakukan pada tiga lokasi, tiap lokasi diambil dua
contoh yakni berupa darah. Bagian tubuh yang disebut hinge adalah posisi
peyuntikkan untuk pengambilan darah, dengan perbandingan antara darah dan
alkohol 96% sebesar 1:2. Kemudian contoh darah mimi dibawa ke laboratorium
untuk dianalisis secara molekuler.
Preparasi Contoh
Tahap preparasi merupakan tahap awal yang dilakukan untuk
menghilangkan kandungan alkohol yang terdapat pada contoh awetan. Contoh
dicuci dengan menggunakan larutan akuades sebanyak tiga kali ulangan yang
dibantu dengan alat centrifuge. Selanjutnya, contoh yang telah dipreparasi dapat
lanjut ke tahap berikutnya yakni isolasi dan ekstrasi DNA.
Isolasi dan ekstraksi DNA Prinsip yang digunakan dalam dalam mengisolasi DNA ada tiga, yaitu
penghancuran (lisis), ekstrasi (pemisahan DNA), dan pemurnian DNA (Walker
dan Rapley 2008). DNA diisolasi menggunakan kit komersil (Gene Aid)
berdasarkan manual pabrik dengan beberapa modifikasi. Tahap isolasi diawali
dengan penambahan GT buffer sebanyak 200 μL sambil digerus sampai halus.
Kemudian ditambahkan 20 μL Proteinase K yang berfungsi sebagai degradasi
protein, selanjutnya diinkubasi pada suhu 60 oC selama 30 menit setiap 15 menit
dilakukan invert. Setelah itu, ditambahkan 200 μL GBT buffer yang kemudian
diinkubasi kembali selama 30 menit, yang mana setiap lima menit dilakukan
invert. Disamping itu, larutan EB dipanaskan pada suhu 60 oC yang nantinya
dipakai pada tahap akhir ekstrasi.
Setelah inkubasi selesai, 200 μL EtOH ditambahkan ke dalam contoh
kemudian disimpan di dalam freezer selama 30 menit. Supernatan yang terbentuk
dipindahkan ke spin GD column kemudian dilakukan sentrifugasi dengan
kecepatan 14.000 G selama dua menit dan buang cairan bawah. Kemudian contoh
tersebut ditambahkan 400 μL W1 buffer lalu disentrifugasi kembali dengan
kecepatan 14.000 G selama 30 detik dan buang cairan bawah. Setelah itu, 600 μL
WB buffer ditambahkan pada sampel yang dilanjutkan dengan sentrifugasi 14.000
G selama 30 detik dan buang cairan bawah. Sentrifugasi 14.000 G kembali
selama tiga menit tanpa ditambahkan larutan. Selanjutnya, spin GD column
dipindahkan ke microtube baru.
Penambahan elusi dilakukan sebanyak tiga kali. Elusi pertama dilakukan
dengan ditambahkan 50 μL EB dan dibiarkan selama 10 menit kemudian
sentrifugasi dengan kecepatan 14.000 G selama 30 detik. Elusi kedua dan ketiga
dilakukan dengan cara yang sama seperti elusi pertama (Aprilia et al. 2014).
Selanjutnya, pemberian label dengan kode bertujuan untuk menghindari
misslabeling. Kode dengan lokasi Semarang (S) yang terdiri atas CRS17.2 dan
CRS06.2, Lamongan (L) yang terdiri atas CRL02.3 dan CRL11.2 dan Sumenep
(M) yang terdiri atas CRM01.2 dan CRM02.3 yang mempunyai arti, yaitu untuk
huruf pertama dan kedua adalah nama spesies berupa CR (Carcinoscorpius
rotundicauda), huruf ketiga yang berarti nama lokasi pengambilan contoh dan
5
angka pertama dan kedua menunjukkan contoh spesies serta angka ketiga yang
menunjukkan elusi.
Pengujian kualitas DNA Pengujian kualitas DNA dilakukan pada gel agarosa 1,2% dengan
menggunakan larutan buffer TAE 1x. Contoh DNA tersebut dipindahkan pada
electrophoretic chamber pada tegangan 85-100 V selama 25 menit. Selanjutnya
cetakan DNA total yang dimasukkan ke dalam gel agarose sebanyak 2,5 μL. Pada
pembuatan gel agarosa ditambahkan ethidium bromide (EtBr) (0,5 g/mL) yang
berfungsi sebagai pewarna asam nukleat (DNA maupun RNA). EtBr sebagai
interkakasi yang menyisip di antara basa nukleotida dan setelah itu mengikat basa-
basa nukleotida sehingga saat diiluminasi dengan UV, fluorensen yang
terkandung dalam EtBr akan berpendar dan dapat diamati dengan jelas (Hebert et
al. 2003). Visualisasi DNA total dilakukan dengan menggunakan mesin
ultraviolet.
Amplifikasi dan visualisasi fragmen DNA gen 16S rRNA Kualitas DNA yang baik dari hasil uji kualitas DNA akan dilanjutkan ke
tahap amplifikasi. Tahap ini dilakukan dengan menggunakan teknik Polymerase
Chain Reaction (PCR) yang terdiri atas lima tahapan, yaitu predenaturasi,
denaturasi, annealing, elongasi, dan post elongasi. Prinsip kerja pada PCR
biasanya terdapat pada percobaan suhu setiap tahapannya (Holliingsworth 2011).
Primer yang digunakan adalah primer yang didesain oleh Butet (2013, unpublish
data) yaitu primer universal untuk beberapa biota akuatik. Selanjutnya proses
amplifikasi dilakukan pada beberapa tahap, yaitu (1) suhu predenaturasi 94 oC
selama tiga menit, (2) suhu denaturasi 94 oC selama 45 detik, (3) suhu annealing
46 oC selama satu menit, (4) suhu elongasi 72
oC selama satu menit 15 detik, (5)
suhu postelongasi 72 oC selama lima menit, dan (6) suhu penyimpanan 80
oC
selama 10 menit. Tahap pertama sampai ketiga dilakukan sebanyak 35 siklus.
Selanjutnya, untuk melihat kualitas DNA, produk PCR divisualisasi menggunakan
gel agarosa 1,2% pada mesin ultraviolet.
Sekuensing DNA Carcinoscorpius rotundicauda gen 16S rRNA
Tahap sekuensing atau pembacaan sekuens DNA dilakukan setelah
diperoleh produk PCR yang memiliki kualitas DNA yang baik untuk selanjutnya
ditentukan sekuen basa nukleotidanya. Proses ini dilakukan dengan metode
Sanger (1977) dengan mengirimkan produk PCR tersebut ke perusahaan jasa
pelayanan sekuensing.
Analisis Bioinformatika
Bioinformatika merupakan cabang bioteknologi menggunakan komputer
untuk menganalisis dan mengelola data DNA maupun protein (Ningrum et al.
2017). Tujuan utama penggunaan bioinformatika ada tiga, yaitu
mengorganisasikan, menganalisis serta menginterpretasikan data. Analisis
bioinformatika pada penelitian ini, menggunakan software MEGA 6.0 terdiri atas
validasi urutan basa nukleotida, pensejajaran urutan basa nukleotida, perkiraan
jarak genetik dan rekonstruksi pohon filogeni.
6
Validasi urutan basa nukleotida gen 16S rRNA Carcinoscorpius rotundicauda Urutan basa nukleotida yang telah diperoleh dari hasil sekuensing
divalidasi dengan cara mengunggah hasil sekuen nukleotida Carcinoscorpius
rotundicauda pada Basic Local Alignment Search Tool- nucleotide (BLASTn)
yang terdapat pada situs National Center for Biotechnology Information (NCBI).
Uji validasi ini dilakukan untuk menemukan gen yang sejenis pada beberapa
organisme atau spesies, memeriksa keabsahan hasil sekuensing serta untuk
memeriksa fungsi gen hasil sekuensing. Selain uji validasi, perlu ditambahkan
pula outgroup yang berfungsi sebagai faktor koreksi pohon filogeni (Dharmayanti
2011). Pemilihan outgroup didasarkan dari hasil uji validasi hubungan terdekat,
yakni Tachypleus tridentatus (GenBank: U09393.1) dan T. gigas (GenBank:
U09394.1) serta C. rotundicauda (GenBank: U09396.1) yang bersumber dari
penelitian (Avise et al. 1994).
Pensejajaran urutan nukleotida gen 16S rRNA Carcinoscorpius rotundicauda Urutan nukleotida yang diperoleh dari hasil sekuensing yang disejajarkan
dengan menggunakan metoda Clustal W yang terdapat pada software MEGA 6.0
(Tamura et al. 2013) untuk menganalisis jarak genetiknya pada pohon filogeni.
Sekuen nukleotida gen 16S rRNA mimi dengan primer forward dan reverse diedit
dan dianalisis untuk mendapatkan urutan DNA dari gen 16S rRNA tersebut.
Perkiraan jarak genetik Analisis jarak genetik dari urutan basa nukleotida gen 16S rRNA
intraspesies dan interspesies dilakukan dengan menggunakan metode pairwise
distance pada program MEGA 6.0 (Tamura et al. 2013). Matriks data yang
merupakan hasil perhitungan jarak genetik dapat digunakan untuk analisis
hubungan kekerabatan mimi, dimana lokasi yang berbeda menunjukkan jarak
genetik intraspesies sedangkan jarak genetik interspesies menunjukkan jarak
genetik antara Carcinoscorpius rotundicauda.
Rekonstruksi pohon filogeni Pohon filogeni merupakan suatu gambaran yang menunjukkan suatu
hubungan kekerabatan berdasarkan komposisi sekuen basa DNA atau protein
dengan melihat jarak genetik antarspesies. Metode yang digunakan yaitu
bootstrapped Neighbour-Joinning (NJ) pada MEGA 6.0 dengan 1000 kali
pengulangan (Tamura et al. 2013).
HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil
Klasifikasi dan morfologi mimi Carcinoscorpius rotundicauda
Mimi atau belangkas merupakan hewan fosil yang biasa hidup di dasar
perairan yang berpasir dan berlumpur atau sekitar perairan estuari dan mangrove
(Hajeb et al. 2009; ASMFC 2013). Hewan ini telah mengalami diversifikasi sejak
7
zaman paleogene (65-23 Mya) (Obst et al. 2012) dan di Indonesia hewan ini
dilindungi. Berikut merupakan taksonomi mimi menurut Sekiguchi et al. (1988)
disajikan pada Gambar 2:
Kingdom : Animalia
Filum : Arthropoda
Sub Filum : Cheliserata
Kelas : Merosomata
Sub Kelas : Xiphosura
Ordo : Xiphosurida
Famili : Limulidae
Genus : Carcinoscorpius
Spesies : Carcinoscorpius rotundicauda
Gambar 3 Mimi Carcinoscorpius rotundicauda
Persebaran mimi sangatlah luas, seperti halnya Limulus polyphemus
(Linnaeus 1758) hanya terdapat di pantai Atlantik Amerika Utara (Walls et al.
2002), dan ketiga lainnya merupakan spesies Asia yaitu Carcinoscorpius
rotundicauda (Lattreille 1802), Tachypleus gigas (Muller 1785) dan Tachypleus
tridentatus (Leach 1819) (Lee dan Morton 2005; Taylor et al. 2009; Ciptono dan
Harjana 2015). Daerah persebaran mimi di Asia disajikan pada Gambar 4.
Gambar 4 Daerah persebaran mimi (horseshoe crabs) di Asia
Sumber : www.iucnredlist.org
8
Mimi mempunyai bentuk tubuh yang cembung, karapas berbentuk sepatu
kuda yang tertutup cephalothorax sehingga orang Amerika sering menyebutnya
dengan nama horseshoe crab dan orang Inggris menyebutnya king crab. Bagian
karapas terdapat sepasang mata majemuk dan sepasang mata sederhana. Pada sisi
bawah cephalothorax terdapat enam pasang kaki, dimana kaki pertama disebut
chilecera dan kaki kedua disebut pedipalp (Barnes 1963). Hal ini juga dinyatakan
oleh Fusetani et al. (1982) bahwa tubuh mimi terdiri atas cephalothorax (prosoma)
dan abdomen (ophistosoma). Pada bagian prosoma terdapat enam pasang kaki,
kaki pertama disebut chelicera yang berfungsi membawa makanan ke mulut dan
kaki kedua hingga keenam disebut kaki jalan. Terdapat enam lembar insang
berbentuk sirip dan selaput. Insang pada mimi disebut insang buku (book gill)
dan setiap insang terdiri atas 150 lamella. Insang pertama dinamakan operculum
yang berfungsi membantu menjaga insang yang lain serta mengatur lubang
keluarnya telur atau sperma (Tanacredi et al. 2009). Struktur morfologi mimi
disajikan pada Gambar 5.
Gambar 5 Struktur morfologi mimi (horseshoe crabs)
Sumber : Hook 2011
Carcinoscorpius rotundicauda merupakan spesies yang mempunyai
ukuran yang paling kecil di antara semua jenis mimi (Meilana et al. 2016).
Karakteristik mimi jenis ini, yaitu prosoma lebih besar, daerah ventral sufrontal
dengan sebuah duri yang relatif pendek, dan karapas pada opistosoma. Bagian
sudut anal halus, bagian telson halus, duri marginal kedua dan ketiga merupakan
duri yang terpanjang dan duri keempat dan keenam lebih pendek (Rukdin et al.
2008). Diameter telur dari spesies ini berkisar 1,5 mm atau sekitar 1/16 inch
dengan warna agak kehijauan dan buram. Selama satu musim pemijahan mimi
dapat menghasilkan 80000-100000 butir telur, pembuahan atau fertilisasinya
terjadi secara eksternal (Botton dan Itow 2009). Selanjutnya, untuk membedakan
jenis kelamin mimi dapat dilihat dari bentuk kaki mimi. Kaki kedua pada jantan
biasa disebut dengan “Boxing Gloves” yang berfungsi untuk menggenggam
betina saat akan melakukan pemijahan (Srijaya et al. 2011). Gambar 6 merupakan
ciri yang membedakan antara mimi jantan dan mimi betina.
9
(a) (b)
Gambar 6 Perbedaan antara mimi jantan (a) dan mimi betina (b) berdasarkan ciri
morfologi
Seluruh spesies mimi mempunyai sepasang lubang pengeluaran telur
(genital pore) pada genital papilla atau di permukaan posterior genital operkulum.
Sepasang saluran pengeluaran telur utama (oviduct) dijumpai menuju ke arah
genital operkulum dan ke dalam prosonoma. Saluran pengeluaran telur utama
terbagi menjadi dua cabang utama (Rukdin et al. 2008). Masa kawin mimi
normalnya terjadi pada bulan April sampai Desember dan puncaknya terjadi saat
pasang tinggi pada bulan baru di bulan Mei dan Juni. Pemijahan sendiri biasanya
terjadi di malam hari (Lawrence et al. 2009).
DNA total
Isolasi dan ekstrasi DNA dari enam contoh mimi (Carcinoscorpius
rotundicauda) menghasilkan enam contoh dengan kualitas DNA yang baik.
Pengujian kualitas tersebut telah dilakukan melalui pengujian DNA total pada
agarosa 1,2% yang kemudian dilanjutkan dengan uji elektroforesis yang berguna
untuk melihat kualitas pita DNA disajikan pada Gambar 7. Contoh pertama
hingga keenam memiliki kualitas DNA yang baik. Kualitas DNA yang baik
ditunjukkan dengan pita DNA yang terang. DNA yang memiliki kualitas baik,
layak dijadikan sebagai cetakan untuk amplifikasi gen 16S rRNA dengan
menggunkan teknik PCR.
Gambar 7 Pengujian hasil isolasi DNA total darah mimi Carcinoscorpius
rotundicauda pada gel agarosa 1,2%
Keterangan :
A (CRM02.3)
B (CRL11.2)
C (CRS17.2)
D (CRL02.3)
E (CRM01.2)
F (CRS06.2)
10
Amplifikasi dan visualisasi fragmen DNA gen 16S rRNA
Amplifikasi fragmen DNA gen 16S rRNA dilakukan dengan penempelan
primer pada suhu optimum sebesar 46 oC. Panjang urutan basa nukleotida yang
berhasil teramplifikasi dari gen 16S rRNA target yaitu berukuran sekitar 500 bp
(Gambar 8). Panjang produk PCR yang diperoleh berkualitas baik, selanjutnya
dimurnikan dan disekuensing sehingga diperoleh kualitas sekuen nukleotida yang
baik.
Keterangan :
A(CRL11.2), B(CRM01.2), C(CRL02.3), D(CRS06.2), E(CRM02.3), F(CRS17.2)
Gambar 8 Elektroforesis DNA hasil pre-test produk PCR pada gel agarosa 1,2%
Validasi sekuen nukleotida DNA dan pensejajaran sekuen nukleotida gen
16S rRNA Carcinoscorpius rotundicauda
Sekuen nukleotida gen 16S rRNA C. rotundicauda diunggah pada Basic
Local Alignment Search Tool- nucleotide (BLASTn) pada situs National Center
for Biotechnology Information (NCBI) untuk memastikan valid atau tidaknya
hasil sekuen dan untuk mengetahui kedekatan serta keerataan hasil sekuen dengan
spesies target atau lainnya. Contoh C. rotundicauda yang telah di BLASTn
didapatkan hasil bahwa enam contoh dari tiga lokasi yang berbeda merupakan
spesies target yaitu C. rotundicauda dengan kisaran nilai sebesar 98% sampai
99%, sedangkan hubungan kedekatan dengan spesies lain pada kisaran nilai 91%
sampai 92%. Uji validasi tersebut, memiliki kedekatan dengan C. rotundicauda
(GenBank: JQ178358.1) sebesar 99% (Lampiran 1). Berdasarkan hasil
sekuensing gen 16S rRNA C. rotundicauda dan hasil pensejajaran dengan primer
forward dan reserve, didapatkan panjang nukleotida yang dihasilkan contoh
pertama hingga keenam yaitu CRL02.3 sebesar 524 bp, CRL11.2 sebesar 517 bp,
CRM01.2 sebesar 517 bp, CRM02.3 sebesar 517 bp, CRS06.2 sebesar 518 bp,
dan CRS17.2 sebesar 516 bp. Outgroup, panjang nukleotida yang diambil di
GenBank pada situs NCBI yaitu untuk spesies T. gigas (Genbank: U09394.1)
sebesar 469 bp, spesies T. tridentatus (Genbank: U09393.1) sebesar 468 bp dan C.
rotundicauda (GenBank: U09396.1) sebesar 470 bp. Selanjutnya, sekuen
nukleotida tersebut disejajarkan sehingga didapatkan nukleotida sepanjang 451 bp.
Hasil analisis dengan MEGA 6 (Tamura et al. 2013) diperoleh komposisi
basa nukleotida yang terdiri atas 34,9% basa timin (T), 33,9% basa adenin (A),
10,4% basa sitosin (C), dan 20,7% basa guanin (G). Komposisi basa nukleotida
purin (guanin dan adenin) memiliki jumlah yang lebih besar dari pada basa
nukleotida pirimidin (sitosin dan timin) yaitu sebesar 54,6%. Selain itu, gen 16S
rRNA pada C. rotundicauda juga didominasi kelompok yang kaya akan A-T.
Pensejajaran sekuen nukleotida gen 16S rRNA C. rotundicauda
menghasilkan nilai conserved sebesar 88% (397/451), variabel sebesar 11,9%
11
(54/451) dan singleton sebesar 6,2% (28/451). Nilai variabel menunjukkan bahwa
terdapat variasi basa nukleotida antara C. rotundicauda dengan spesies outgroup.
Analisis jarak genetik dan filogeni gen 16S rRNA Carcinoscorpius
rotundicauda
Jarak genetik pada fragmen gen 16S rRNA antara C. rotundicauda dengan
spesies lain dari genus Tachypleus berkisar 0,091 sampai 0,098, sedangkan jarak
genetik antara contoh riset dengan spesies outgroup C. rotundicauda U09396.1
berkisar 0,011 sampai 0,013. Jarak genetik menggambarkan hubungan
kekerabatan antarspesies. Matrik jarak genetik fragmen gen 16S rRNA pada C.
rotundicauda, T. gigas, dan T. tridentatus berdasarkan metode pairwise distance
disajikan pada Tabel 1.
Tabel 1 Matriks jarak genetik fragmen gen 16S rRNA pada Carcinoscoprius
rotundicauda, Tachypleus gigas, dan Tachypleus tridentatus berdasarkan
metode pairwise distance 1 2 3 4 5 6 7 8 9
CRL02.3
CRL11.2 0,002
CRM01.2 0,002 0,000
CRM02.3 0,002 0,000 0,000
CRS06.2 0,002 0,000 0,000 0,000
CRS17.2 0,002 0,000 0,000 0,000 0,000
U09394.1 0,091 0,093 0,093 0,093 0,093 0,093
U09393.1 0,095 0,098 0,098 0,098 0,098 0,098 0,064
U09396.1 0,013 0,011 0,011 0,011 0,011 0,011 0,084 0,086
Perbandingan antara C. rotundicauda dengan spesies ingroup, didapatkan
nilai jarak genetik terdekat antara C. rotundicauda contoh CRL11.2, CRM01.2,
CRM02.3, CRS06.2 dan CRS17.2 sebesar 0,000. Jarak genetik terjauh antara
contoh C. rotundicauda dengan T. gigas (U09394.1) sebesar 0,098. Data matriks
tersebut digunakan untuk menganalisis hubungan kekerabatan berdasarkan pohon
filogeni. Konstruksi pohon filogeni menunjukkan, bahwa genus Carcinoscorpius
terpisah nyata dari genus Tachypleus dengan jarak genetik sebesar 0,098 disajikan
pada Gambar 8.
Gambar 8 Konstruksi pohon filogeni berdasarkan gen 16S rRNA pada
Carcinoscorpius rotundicauda, Tachypleus gigas, dan Tachypleus
tridentatus
12
Pohon filogeni C. rotundicauda, T. gigas, dan T. tridentatus dikonstruksi
berdasarkan jarak genetik pairwise distance dari basa nukleotida 16S rRNA yang
menunjukkan hubungan kekerabatan antarspesies. Intraspesies C. rotundicauda
memiliki hubungan kekerabatan yang erat meskipun membentuk dua clade atau
kelompok untuk spesies contoh dan satu clade untuk intraspesies dari outgroup.
Cabang pohon filogeni untuk genus Tachypleus menunjukkan hubungan
kekerabatan yang erat antarspesies dalam satu genus yang sama, sedangkan antara
genus Carcinoscorpius dengan genus Tachypleus memiliki hubungan kekerabatan
yang cukup erat karena masih dalam famili yang sama.
Nukleotida spesifik gen 16S rRNA Carcinoscorpius rotundicauda
Pensejajaran sekuen nukleotida gen 16S rRNA C. rotundicauda dengan
spesies lain dari genus Tachypleus (Lampiran 2). Situs spesifik tersebut
merupakan basa nukleotida spesifik dari C. rotundicauda sebagai penciri yang
dapat membedakan dengan spesies lainnya. Terdapat 28 situs nukleotida yang
spesifik yang menunjukkan adanya evolusi spesifik pada C. rotundicauda.
Situs mutasi gen 16S rRNA Carcinoscorpius rotundicauda
Pensejajaran sekuen nukleotida gen 16S rRNA C. rotundicauda dengan
spesies lain yaitu terdapat 54 situs mutasi (Lampiran 3). Situs mutasi tersebut
merupakan basa nukleotida C. rotundicauda yang mengalami perubahan basa
nukleotida secara subtitusi yang terdiri atas mutasi transisi dan transversi.
Pembahasan
DNA barcoding merupakan teknik molekuler yang digunakan untuk
identifikasi suatu organisme (Hebert et al. 2003; Barccacia et al. 2016).
Pengkajian keragaman genetik melalui penandaan molekuler dengan
menggunakan DNA inti maupun mitokondria akan memberikan hasil yang lebih
teliti dalam membedakan intra dan interspesies (Kurniasih 2013). Terdapat
kelebihan pada DNA mitokondria dibandingkan dengan DNA inti. DNA
mitokondria memiliki tingkat revolusi yang lebih cepat dan berukuran lebih kecil
bila dibandingkan dengan DNA inti, serta DNA mitokondria terdapat dalam
jumlah copy tinggi yang memudahkan dalam pengisolasian dan purifikasi (Collins
et al. 1989).
DNA total dengan kualitas yang baik dijadikan sebagai cetakan DNA
untuk mengamplifikasi gen 16S rRNA C. rotundicauda dengan metode PCR
(Polymerase Chain Reaction). Amplifikasi gen 16S rRNA dilakukan pada suhu
penempelan primer (annealing) sebesar 46 oC. Suhu annealing yang optimal
merupakan tahap yang sangat penting dilakukan pada metode PCR, hal ini
disebabkan penempelan primer forward dan reserve pada kedua ujung DNA
terjadi pada tahap annealing. Validasi gen 16S rRNA telah dipastikan kebenaran
dan kedekatannya dengan spesies target berdasarkan pengunggahan pada BLAST n
(Basic Local Alignment Search Tool- nucleotide) pada situs NCBI (National
Center for Biotechnology Information). C. rotundicauda memiliki kedekatan
dengan spesies target sebesar 98% sampai 99%, sedangkan hubungan kedekatan
dengan genus lain yaitu Tachypleus sebesar 91% sampai 92% (Lampiran 1).
13
Keakuratan hasil tersebut menunjukkan bahwa spesies contoh berbeda dari
mimi spesies lainnya, namun diperlukan analisis jarak genetik untuk mengetahui
jarak genetik antara spesies contoh dengan masing-masing individu yang menjadi
spesies pembanding. Analisis jarak genetik diperlukan sebagai dasar rekonstruksi
pohon filogeni yang menggambarkan hubungan kekerabatan spesies ingroup dan
spesies outgroup. Hubungan kekerabatan spesies yang diidentifikasi dengan gen
16S rRNA menggunakan Neighbour-Joining tree dengan pengolahan bootstrap
1000 kali ulangan menunjukkan C. rotundicauda dari perairan utara pulau Jawa
hingga perairan selatan Madura membentuk paling sedikit dua clade atau
kelompok yang diduga akibat polimorfisme genetik, dan satu clade yang lain
(intraspesies outgroup) menunjukkan hal yang sama dari perairan Bangsaen,
Teluk Siam Thailand. Nilai bootstrap pada clade pertama sebesar 66% dan clade
kedua sebesar 94% yang berarti posisi pohon filogeni masih dapat berubah akibat
nilai konsistensi kesamaan yang terulang tidak stabil, sedangkan pada clade ketiga
(intraspesies outgroup) yaitu sebesar 100% yang berarti posisi pohon filogeninya
tidak dapat berubah akibat nilai konsistensi kesamaan yang terulang stabil.
Menurut Twindiko et al. (2013) nilai bootstrap dikatakan stabil jika
berada di atas 95% dan tidak stabil jika nilainya kurang dari 70%. Hal tersebut
juga dinyatakan oleh Sahara et al. (2015) bahwa nilai bootstrap kurang dari 71%
belum dikatakan stabil, sehingga masih bisa berubah posisinya dalam pohon
filogeni. Selain itu, konstruksi pohon filogeni C. rotundicauda dengan
interspesies outgroup menunjukkan bahwa terjadi pemisahan yang jelas antara
genus Carcinoscorpius dengan genus Tachypleus dengan nilai jarak genetik
sebesar 0,091 sampai 0,098.
Pemisahan ini disebabkan oleh adanya situs nukleotida spesifik yang
menandakan adanya pembeda dari contoh yang dijadikan objek penelitian yaitu
mimi jenis C. rotundicauda dengan spesies pembanding atau outgroup yaitu mimi
jenis C. rotundicauda (U09396.1), T. gigas (U09394.1) dan T. tridentatus
(U09393.1). Selain itu, pemisahan tersebut juga diduga karena C. rotundicauda
merupakan spesies yang memiliki keragaman genetik paling tinggi dibandingkan
dari genus Tachypleus. Hal ini disebabkan oleh perbedaan faktor ekologi C.
rotundicauda yang berhabitat di estuari dan mangrove yang merupakan wilayah
yang sedikit terpapar oleh air dari lautan terbuka. Hal ini sesuai dengan
karakterisitik perairan utara pulau Jawa dan selatan Madura, sehingga gene flow
populasi spesies ini lebih terbatas (Meilana et al. 2016). Hal tersebut juga sesuai
dengan penelitian yang telah dilakukan oleh Obst et al. (2012) dengan
menggunakan fragmen gen 16S, 228S, dan COI yang mengatakan bahwa
konstruksi pohon filogeni C. rotundicauda terpisah dengan genus Tachypleus, hal
ini juga berkaitan dengan perbedaan ekologi serta lokasi pengambilan contoh
yang berbeda. Penggunaan gen 16S rRNA dalam validasi basa nukleotida
berhasil mengindentifikasi C. rotundicauda karena gen tersebut bersifat conserve,
diduga karena peran yang sangat esensial dari gen ini terhadap fungsi sel. Hal ini
juga sama seperti yang dinyatakan oleh Rinanda (2011) bahwa gen 16S rRNA
memiliki daerah yang conserve (lestari).
Situs nukleotida pada C. rotundicauda memiliki ciri yang berbeda dari
spesies outgroup. Menurut Maddison et al. (1984), penggunaan outgroup
berfungsi sebagai faktor koreksi dalam penentuan karakter di antara ingroup.
Sekuen nukleotida pada gen 16S rRNA C. rotundicauda menunjukkan bahwa
14
urutan nukleotida yang bersifat conserve pada level spesies. Keberadaan 28 situs
nukleotida spesifik menjadi penciri spesies C. rotundicauda yang menunjukkan
adanya evolusi spesifik pada C. rotundicauda. Sekuen nukleotida gen 16S rRNA
C. rotundicauda mengalami mutasi secara substitusi sebanyak 54 situs nukleotida.
Mutasi substitusi merupakan pertukaran basa nukleotida yang terjadi dalam
urutan suatu DNA. Mutasi ini terdiri atas transisi dan transversi. Komposisi basa
nukleotida C. rotundicauda didominasi oleh basa purin (guanin dan adenin)
sebesar 54,6%. Basa nukleotida C. rotundicauda juga didominasi oleh ikatan
basa A (adenin) dan T (timin). Ikatan hidrogen A-T terdiri dari 2 ikatan hidrogen
yang bersifat lebih lemah dibandingkan dengan ikatan hidrogen G-C yang
memiliki 3 ikatan hidrogen (Reed et al. 2013). Komposisi basa nukleotida C.
rotundicauda tersebut menunjukkan bahwa ikatan tersebut mudah terpisah
sehingga kemungkinan terjadinya mutasi pada spesies C. rotundicauda lebih
tinggi.
Basa nukleotida C. rotundicauda hasil penelitian ini dapat dibandingkan
dengan penelitian lain dari lokasi yang berbeda, sehingga akan terlihat perbedaan
sekuen basa nukelotida yang muncul (substitusi) dan dapat diketahui spesies asal
atau pusat penyebaran spesies. Penurunan keragaman genetik bisa terjadi secara
alami melalui penghanyutan gen. Penghanyutan gen (random genetic drift)
menggambarkan perubahan secara acak di dalam suatu populasi yang
mengakibatkan penurunan keragaman genentik dari generasi ke generasi yang
bukan disebabkan oleh tekanan lingkungan tetapi karena adanya mutasi secara
murni (Singleton dan Sainsbury 2006). Selain itu, diversitas genetik mampu
menyediakan keragaman respon yang penting untuk menjaga fungsi ekosistem
dan proses adaptasi spesies dalam perubahan lingkungan (Ehlers et al. 2008);
Sahara et al. 2015).
Kepastian taksonomi (taxonomy certainty) sangat dibutuhkan dalam
menentukan pengelolaan suatu sumber daya. Suatu spesies yang memiliki
taksonomi secara morfologi yang sudah jelas, perlu dilakukan identifikasi secara
molekuler guna mengetahui urutan basa nukleotida. Hasil urutan basa nukleotida
ini dapat digunakan untuk mengetahui perkembangan evolusi dan mutasi dari
spesies tersebut. Validasi basa nukleotida dari penelitian ini telah menunjukkan
kepastian taksonomi dari C. rotundicauda, sehingga dapat dijadikan sebagai acuan
untuk kajian genetika populasi, kajian stok hingga tercapai data yang cukup untuk
melakukan tindakan pengelolaan sumberdaya mimi melalui konservasi.
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
Hubungan kekerabatan Carcinoscorpius rotundicauda yang diidentifikasi
dengan gen 16S rRNA menunjukkan terbentuknya paling sedikit dua clade atau
kelompok dari perairan utara Pulau Jawa dan selatan Madura dan satu clade
dengan intraspesies outgroup yang diduga bahwa pemisahan tersebut terjadi
akibat polimorfisme genetik. Konstruksi pohon filogeni C. rotundicauda dengan
15
interspesies outgroup menunjukkan bahwa terjadi pemisahan yang jelas antara
genus Carcinoscorpius dengan genus Tachypleus dengan nilai jarak genetik
sebesar 0,091 sampai 0,098 dan terdapat 28 situs nukleotida spesifik sebagai
penciri spesies serta situs mutasi secara subtitusi sebanyak 54 situs nukleotida.
Saran
Informasi genetik C. rotundicauda harus dikaji lebih lanjut dengan
menggunakan gen penanda lainnya sehingga didapatkan genom utuh C.
rotundicauda. Selain itu, sekuen basa nukleotida tersebut dapat digunakan untuk
merancang primer gen 16S rRNA spesifik untuk C. rotundicauda.
DAFTAR PUSTAKA
[ASMFC] Atlantic States Marine Fisheries Commission. 2013. Horseshoe Crab
Stock Assessment Update. ASMFC (US).
Aprilia FE, Soewondo A, Widodo, Toha AHA. 2014. Amplifikasi gen COI dan
16S rRNA dari invertebrata laut Plakobrancus ocellatus. Jurnal
Biotropika. 2(5): 276–278.
Avise JC, Nelson WS, Sugita H. 1994. A speciationaly history of “living fossils”
moleculer evolutionary patterns in horseshoe crabs. Society for the Study
of Evolution. 48(6): 1986-2001. doi: 10.1111/j.1558-5646.1994.tb02228.x.
Barccacia G, Lucchin M, Cassandro M. 2016. DNA barcoding as a moleculer tool
to track down mislabeling and food piracy. Journal Diversity. 8(2): 1–16.
doi: 10.3390/d8010002.
Barnes RD. 1963. Invertrate Zoology. Philadelphia (US): WB Sounders Company.
Botton ML, Itow T. 2009. The effects of water quality on horseshoe crab embryos
and larvae. Springer Science and Business Media. 2(7): 439–454. doi:
10.1007/978-0-378-89959-6_27.
Botton ML. 2009. The ecological importance of horseshoe crabs in estuarine and
coastal communities: a riview and speculative summary. Springer Science
and Business Media. 6(3): 45–63. doi: 10.1007/978-0-378-89959-6_3.
Brockmann HJ, Smith MD. 2009. Reproductive competition and sexual selection
in horseshoe crabs. Springer Science and Business Media. 1(2): 199-221.
doi:10.1007/978-0-89959_12
Ciptono, Harjana T. 2015. Identifikasi jenis anomali perkembangan embrional
mimi-mintuno raksasa (Tachypleus gigas) selama periode artificial
incubation di dalan botol vial. Jurnal Sains Dasar. 4(1): 65–70.
Collins MD, Ash C, Farrow JAE, Wallbanks S, Williams AM. 1989. 16S
ribosomal ribonucleic acid sequence analyses of lactococci and related
taxa. description of Vagococcus fluvialis gen. nov., sp. nov. Journal of
Applied Bacteriology. 67: 453–460. doi: 10.1111/j.1365-
2672.1989.tb02516.x
16
Dietl J, Nascimento C, Alexander R. 2000. Influence of ambient flow around the
horseshoe crab Limulus polyphemus on the distribution and orientation of
selected epizoans. Estuaries. 23: 509-520.
Ding JL, Tan KC, Thangamani S, Kusuma N, Seow WK, Bui THH, Wang J, Ho
B. 2005. Spatial and temporal coordination of expression of immune
response genes during Pseudomonas infection of horseshoe crab,
Carcinoscorpius rotundicauda. Nature Publishing Group. 6(7): 557–574.
doi: 10.1038/sj.gene.6364240.
Ehlers A, Worm B, Reusch TBH. 2008. Importence of genetic diversity in
eelgrass Zostera marina for its resilience to global warming. Marine
Ecology Progress Series. 355: 1–7. doi: 10.3354/meps07369.
Fusetani N, Endo H, Hashimoto K. 1982. Occurrence of potent toxins in the
horseshoe crab Carcinoscorpius rotundicauda. Pergamon Press. 20(3):
662–664. doi: 0041.0101/82/030662-03
Guo XD, Chen D, Papenfuss TJ, Ananjeva NB, Melnikov DA, Wang Y. 2011.
Phylogeny and divergence times of some Racerunner Lizards (Lacertidae:
Eremias) inferred from mitochondrial 16S rRNA gene segments.
Molecular Phylogenetics and Evolution. 400–412. doi:
10.1016/j.ympev.2011.06.022.
Hajeb PA, Christianus, Ismail A, Zadeh SS, Saad CR. 2009. Heavy metal
concentration in horseshoe crab (Carcinoscorpius rotundicauda and
Tachypleus gigas) egg from Malaysian Coastline. Springer Science &
Business Media. 455–563. doi: 10.1007/978–0–387–89959–6_28.
Hebert PDN, Cywinska A, Ball SL, de Waard JR. 2003. Biological identifications
through DNA barcodes. Proceedings of the Royal Society of London. 270:
313–322. doi: 10.1098/rspb.2002.2218.
Holliingsworth PM. 2011. Refining the DNA barcode for land plants.
Proceedings of the National Academy of Science. 108(49): 19451-19452.
doi: 10.1073/pnas.1116812108.
Hook S. 2011. Horseshoe crab a living fossil. Gateway Natonal Recreation Area
(Conrad Wisniewski) [internet]. [diunduh 2016 Desember 24]. Tersedia
pada: http://www.nps.gov/gate.
Hu M, Wang Y, Chen Y, Cheung SG, Shin PKS, Li Q. 2009. Summer distribution
and abundance of juvenile Chinese horseshoe crabs Tachypleus tridentatus
along an Intertidal Zone in Southern China. Aquatic Biologi. 7: 107–112.
doi: 10.3354/ab00194.
IUCN (International Union for Conservation of Nature and Natural Resourcesi).
2017. The IUCN Red List of Threatened Species [internet]. [diunduh 2017
Januari 24]. Tersedia pada: http://www.iucnredlist.org/details/41755/0.
John BA, Kamaruzzaman BY, Jalal KCA, Zaleha K. 2012. Feeding ecology and
food preference of Carcinoscorpius rotundicauda collected from the
Pahang nesting grounds. Sains Malaysiana. 41(7): 855–861.
Kumar V, Roy S, Sahoo AK, Behera, Sharma AP. 2015. Horseshoe crabs and its
medicinal values. International Journal of Current Microbiolgy and
Applied Science. 4(2): 956–964.
Kurniasih EM. 2013. DNA barcoding analisis filogenetik ikan hiu yang
didaratkan di Pelabuhan Perikanan Samudera Cilacap [skripsi]. Bogor
(ID): Institut Pertanian Bogor.
17
Lawrence JN, Jonathan B, Humphrey Ps, Amanda DD, Kathleen EC, Philip WA,
Allan JB, Karen AB, Kevin SK, Nigel AC. 2009. Effect of horseshoe crab
harvest in Delaware Bay on red knots: are harvest restrictions Working?.
Journal Biology Science. 59(2): 153–164. doi: 10.1525/bio.2009.59.2.8.
Lee CN, Morton B. 2005. Experimentally derived estimates of growth by juvenile
Tachypleus tridentatus and Carcinoscorpius rotundicauda (Xiphosura)
from nursery beaches in Hong Kong. Jurnal Marine Biology Ecology. 318:
39–49. doi: 10.1016/j.jembe.2004.12.010.
Maddison WP, Donoghue MJ, Maddison DR. 1984. Outgroup analysis and
parsimony. Systematic Zoology. 33: 83–103. doi: 10.1093/sysbio/33.1.83.
Mashar A, Butet NA, Juliandi B, Qonita Y, Hakim AA, Wardiatno Y. 2017.
Biodiversity and distribution of horseshoe crabs in Northern Coast of Java
and Southern Coast of Madura. Institute of Physics Conference: Earth and
Enviromental Science. 54: 1–8. doi: 10.1088/1755–1315/54/1/012076.
Meilana L, Wardiatno Y, Butet NA, Krisanti M. 2016. Karakter morfologi dan
identifikasi molekuler dengan marka gen CO1 pada mimi (Tachypleus
gigas) di Perairan Utara Pulau Jawa. Jurnal Ilmu dan Teknologi Kelautan
Tropis. 8(1): 145–158.
Mishra JK. 2009. Horseshoe crabs, their eco-biological status along the Northeast
Coast of India and the necessity for ecological conservation. Springer
Science & Business Media. 89–96. doi: 10.1007/978–0–387–89959–6_5.
Ningrum DEAF, Amin M, Lukaiati B. 2017. Pendekatan bioinformatika berbasis
penelitian analisis profil protein carbonic anhydrase II yang berpotensi
sebagai kandidat penyebab autis untuk variasi pembelajaran matakuliah
bioteknologi. Jurnal Pendidikan Biologi Indonesia. 3(1): 28–35.
Obst M, Faurby S, Bussarawit S, Funch P. 2012. Molecular phylogeny of extant
horseshoe crabs (Xiphosura, Limulidae) indicates paleogene
diversification of Asian species. Molecular Phylogenetics and Evolution.
62(1): 21–26. doi: 10.1016/j.ympev.2011.08.025.
Pati S, Biswal GC, Dash BP. 2015. Availability of Tachypleus gigas (Muller)
along the River Estuaries of Balasore District, Odisha, India. International
Journal of Fisheries and Aquatic Studies. 2(5): 334–336.
Reed R, Holmes D, Weyers J, Jones A. 2013. Practical Skills In Biomoleculer
Science: Fourth Edition. England: Pearson Education Limited.
Rinanda T. 2011. Analisis sekuensing 16S rRNA di bidang mikrobiologi. Jurnal
Kedokteran Syiah Kuala. 11(3): 172–177.
Rubiyanto E. 2012. Studi populasi mimi (Xiphosura) di Perairan Kuala Tungkal
Kabupaten Tanjung Jabung Barat, Jambi [tesis]. Depok (ID): Universitas
Indonesia.
Rukdin DM, Young GA, Nowlan GS. 2008. The oldest horseshoe crab: a n ew
Xiphosurid from late ordovician Konservat-Lagerstatten Deposits,
Manitoba, Canada. The Palaentology Association. 51(1): 1–9. doi:
10.1111/j.1475-4983.2007.00746.x.
Sahara A, Prastowo J, Widayanti R, Nurcahyo W. 2015. Kekerabatan genetik
caplak Rhiphicephalus (Boophilus) microplus asal Indonesia berdasarkan
sekuen internal transcribed spacer-2. Jurnal Veteriner. 16(3): 310–319.
18
Sanger F, Nicklen S, Coulson AR. 1977. DNA sequnsing with chain terminating
inhibitors. Proceeding of the National Academy of Science USA. 74: 5463-
5467. PMCID: PMC431765.
Sekiguchi K, Seshimo H, Sugita H. 1988. Post-embryonic development of the
horseshoe crab. Marine Biological Laboratory. 174(3): 337-345. doi:
195.34.79.176.
Singleton P, Sainsbury D. 2006. Dictionary of Microbiology and Molecular
Biology, Third Edition. England (GB): Wiley & Sons Ltd.
Srijaya TC, Pradeep PJ, Shaharom F, Chatterji A. 2011. A study on the nergy
source in yhe developing embryo of the mangrove horseshoe crab,
Carcinoscorpius rotundicauda (Latreille). Invertebrate Reproduction and
Development. 3(1): 1–10. doi: 10.1080/07924259.2011.633621.
Sutrisman H, Abidin T, Agusnar H. 2014. Pengaruh chitosan belangkas
(Tachypleus gigas) nanopartikel terhadap celah antara berbagai jenis
semen ionomer kaca dengan dentin. Dental Journal. 47(3): 121–25. doi:
10.20473/j.djmkg.v47.i3.p121-125.
Tamura K, Stecher G, Peterson D, Filipski A, Kumar S. 2013. Mega 6: molecular
evolutionary genetics analysis version 6.0. Moleculer Biology Evolution.
30(12): 2725–2729. doi: 10.1093/molbev/mst197.
Tanacredi JT, Botton ML, Smith DR. 2009. Biology and Conservation of
Horseshoe Crabs. New York (US): Springer Science and Business Media.
Taylor LC, Bing YV, Chi HC, Tee LS. 2011. Distribution and abundance of
horseshoe crabs Tachypleus gigas and Carcinoscorpius rotundicauda
around the Main Island of Singapore. Aquatic Biology. 13: 127–136. doi:
10.3354/ab00346.
Taylor LC, Lee J, Hsu CC. 2009. Population structure and breeding pattern of the
mangrove horseshoe crab Carcinoscorpius rotundicauda in Singapore.
Aquatic Biology. 8: 61–69. doi: 10.3354/ab00206.
Taylor LC, Ng HH, Goh TY. 2012. Tracked mangrove horseshoe crab
Carcinoscorpius rotundicauda remain resident in a Tropical Estuary.
Aquatic Biology. 17: 235–245. doi: 10.3354/ab00477.
Twindiko AFS, Wijayanti DP, Ambariyanto. 2013. Studi filogenetik ikan karang
genus Pseudochromis dan Pictichromis di perairan indo-pasifik. Buletin
Oseanografi Marina. 2: 28–36.
Walker JM, Rapley R. 2008. Molecular Biomethods Hanbook Second Edition.
Totowa (US): Humana Press.
Walls EL, Berkson J, Smith SA. 2002. The horseshoe crab, Limulus polyphemus:
200 million years of existence, 100 years of study. Review Fisheries
Sciences. 10(1): 39–73. doi: 10.1080/20026491051677.
Yang KCm, Ko HS. 2015. First record of tri-spine horseshoe crab, Tachypleus
tridentatus (Merostomata: Xiphorurida: Limulidae from Korean Waters).
Animal Systematics Evolution and Diversity. 31(1): 42–45. doi:
10.5635/ASED.2015.31.1.042.
Yeo DSA, Ding JL, Ho B. 1996. Neuroblastoma cell culture assay shows that
Carcinoscorpius rotundicauda haemolymph neutralizes tetrodotoxin.
Pergamon. 34(9): 1054–1057. doi: 10.1016/0041-0101(96)00062-1.
19
LAMPIRAN
Lampiran 1 Hasil BLAST n gen 16S rRNA Carcinoscorpius rotundicauda
BLAST ®
Basic Local Alignment Search Tool
Nucleotide Sequence (517 letters)
Query ID lcl|Query_45119 Query Length 517
Description None Database nr
Molecule type nucleid acid Description Nucleotide collection (nt)
Program BLASTN 2.6.1+
Description Max
score
Total
score
Query
cover
E
value
Ident Accession
Carcinoscorpius rotundicauda
mitochondria, complete genom
913 913 99% 0.0 99% JQ178358.1
Carcinoscorpius rotundicauda
mitochondria, complete genom
907 907 99% 0.0 99% JX437074.1
Carcinoscorpius rotundicauda
mitochondria 16S rRNA, partial
sequence
826 826 90% 0.0 99% U09396.1
Tachypleus tridentatus mitochondria,
complete genom
708 708 99% 0.0 92% JQ739210.1
Tachypleus tridentatus mitochondria,
complete genom
702 702 99% 0.0 91% FJ860267.1
Tachypleus gigas mitochondria 16S
rRNA, partial sequence
632 632 90% 2e-177 91% U09394.1
Tachypleus tridentatus mitochondria
16S rRNA, partial sequence
630 630 90% 9e-177 91% U09393.1
Tachypleus gigas voucher GP0075
16S ribosomal RNA gene, partial
sequence; mitochondial
595 595 82% 3e-166 92% KJ467010.1
Tachypleus gigas voucher GP0076
16S ribosomal RNA gene, partial
sequence; mitochondial
593 593 82% 1e-165 92% KJ467011.1
Tachypleus gigas voucher GP0077
16S ribosomal RNA gene, partial
sequence; mitochondial
520 520 82% 2e-143 89% KJ467012.1
20
Lampiran 2 Situs nukleotida spesifik gen 16S rRNA mitokondria Carcinoscorpius
rotundicauda berdasarkan sekuen 451 bp yang dibandingkan dengan
outgroup
Spesies Situs nukleotida ke-
1 1 1 1 1 1 1 1 2 2 2 2 2 2 2 2 3 3 3 4 4
1 2 2 2 2 8 9 0 1 2 3 3 4 7 7 2 3 4 4 4 7 8 9 2 4 4 2 2
0 4 5 6 7 9 5 5 3 9 5 6 4 6 7 7 4 6 7 8 9 1 7 9 0 6 8 9
U09393.1 A G A A A A G G A G G T G C T A A A A G A A G T T A A G
U09394.1 G A G G T G A A G A A A T T C G G G G A G G A A G G G A
U09396.1 . T . . G . . . . . . G . . . . T . . T . . . . A . . .
CRL02.1 . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
CRL11.2 . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
CRM01.2 . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
CRM02.3 . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
CRS17.2 . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
CRS06.2 . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
Lampiran 3 Situs nukleotida mutasi gen 16S rRNA Carcinoscorpius rotundicauda
Spesies Situs nukleotida ke-
1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 2 2 2
1 2 2 2 2 3 8 9 0 0 1 1 2 3 3 4 4 6 7 7 7 1 1 2
9 0 4 5 6 7 2 9 5 5 8 3 8 9 5 6 1 4 0 2 6 7 2 5 2
U09393.1 G A G A A A A A G G G A A G G T A G A T C T G A A
U09394.1 . G A G G T . G A A . G . A A A . T . . T C . G .
U09396.1 A . T . . G G . . . T . G . . G T . G G . . A . T
CRL02.1 . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . T .
CRL11.2 . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
CRM01.2 . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
CRM02.3 . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
CRS17.2 . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
CRS06.2 . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
Situs nukleotida ke-
2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 3 3 3 3 3 4 4 4 4 4 4
2 3 3 3 3 3 4 4 4 4 5 5 7 7 8 8 9 1 2 4 4 4 2 2 3 3 4 5
7 2 3 4 5 8 6 7 8 9 0 1 8 9 1 2 7 3 9 0 6 7 8 9 5 8 3 1
A T C A T T A A G A G G A A A A G A T T A G A G A G G C
G . . G . . G G A . . . . G G . A . A G G . G A . . . .
. . A T . C . . T . A A G . . G . T . . . A . . G A . T
. C . . A . . . . G . . . . . . . . . . . . . . . . A .
. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
21
Lampiran 4 Dokumentasi penelitian selama di lapang dan laboratorium
22
RIWAYAT HIDUP
Penulis bernama lengkap Yunita Nugraheni
dilahirkan di Kota Lamongan, 19 Juni 1995 dari pasangan
Munali dan Asminten. Penulis merupakan anak ke empat
dari empat bersaudara. Pendidikan formal dijalani penulis
mulai dari TK Dharmawanita Tunggul (2000-2002), SDN
Tunggul 1 (2002-2007), SMP Negeri 1 Paciran (2007-
2010), SMA Negeri 2 Lamongan (2010-2013). Pada tahun
2013, penulis diterima menjadi mahasiswi Departemen
Manajemen Sumberdaya Perairan, Fakultas Perikanan dan
Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor melalui jalur SNMPTN Undangan.
Penulis merupakan mahasiswi penerima Beasiswa Pendidikan Mahasiswa
Berprestasi (Bidik Misi) dikti.
Kegiatan di luar akademik, penulis juga aktif mengikuti organisasi yaitu
bergabung dalam Badan Eksekutif Mahasiswa Perikanan dan Ilmu Kelautan
(BEM FPIK) pada tahun 2014-2015 sebagai staf divisi Komunikasi dan Informasi
(Kominfo). Selain itu, penulis juga aktif sebagai anggota dalam organisasi
Masyarakat Konservasi Pantai Tunggul (MASKOT) tahun 2016-2017 yang
berada di kabupaten Lamongan. Adapun beberapa kepanitian yang diikuti penulis
selama berada di dalam kampus seperti, divisi PDD “Gema Perikanan dan Ilmu
Kelautan FPIK IPB” tahun 2014, divisi logstran “SAKURA MSP50 FPIK IPB”
tahun 2014, divisi logstran “Fieldtrip Oseanografi Umum” tahun 2014, divisi
Kominfo “Magang BEM FPIK IPB” tahun 2014, divisi PDD “Selangkah Lebih
Dekat dengan Pengurus BEM FPIK IPB” tahun 2014, divisi fundrising “IGEA
2014” tahun 2014, divisi PDD “Temu Alumni 2015” tahun 2015 dan divisi PDD
“PORIKAN 2016” tahun 2016. Selain itu, penulis juga pernah menjadi
koordinator asisten praktikum mata kuliah Biologi Populasi Perikanan selama satu
periode tahun ajaran 2015-2016, koordinator asisten praktikum mata kuliah
Metode Kuantintatif Sumberdaya Perikanan selama satu periode tahun ajaran
2016-2017 dan asisten praktikum mata kuliah Pengkajian Stok Perikanan selama
satu periode tahun ajaran 2016-2017.