Upload
trinhthien
View
221
Download
3
Embed Size (px)
Citation preview
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Di Indonesia, pengadaan barang dan jasa harus melalui proses lelang
yang memakan waktu lebih dari 90 hari atau sekitar tiga bulan. Mulai dari
pengumuman lelang di media massa, pendaftaran calon penawar, pemilihan
pemenang tender, sampai banding jika ada peserta tender yang tidak terima.
Proses yang berbelit dalam tender itu berpotensi menimbulkan beragam
penyelewengan. “Menurut Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), pada awal
2007, sekitar 75% kasus korupsi berasal dari proses pengadaan barang dan
jasa (procurement). Kemudian diteruskan lagi oleh Juru Bicara KPK “Johan
Budi SP” menyatakan hampir 80% kasus yang ditangani adalah korupsi dari
pengadaan barang dan jasa” (Jakarta, Rabu 18 April 2012)1.
Sementara itu, “menurut studi Bank Dunia tentang Country
Procurement Assessment Report (CPAR) 2001 disebutkan belanja negara di
Indonesia bocor sampai 10% - 50%. Lemahnya kapabilitas pengelola barang
dan jasa pemerintah menjadi penyebab kebocoran itu”2. Pemerintah tidak
semata-mata menjalankan tugas-tugas negara namun pemerintah juga
bertanggungjawab untuk memberantas KKN. Komisi Pemberantasan Korupsi
mengalami pekerjaan berat dan kewalahan dalam memberantas praktek KKN
yang sering terjadi di Indonesia.
1 Juru Bicara KPK “Johan Budi SP” dalam Jumpa Pers. Jakarta, Rabu 18 April 2012.2 Country Procurement Assessment Report (CPAR) 2001.
1
Melalui e-procurement, tindakan korupsi dan kebocoran untuk
pengadaan barang dan jasa dapat dicegah. Metode ini terbukti berhasil
diterapkan di beberapa negara maju maupun negara berkembang.
Pengembangan e-procurement di Indonesia dimulai tahun 2003 dengan
terbitnya Keputusan Presiden Nomor 80 Tahun 2003 tentang Pedoman
Pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah. Dalam Keppres ini,
pengadaan mulai dimungkinkan diproses dengan memanfaatkan sarana
elektronik. Sistem Pengadaan Secara Elektronik (SPSE) dikembangkan oleh
Pusat Pengembangan Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa-Bappenas pada
tahun 2006 sesuai Inpres No.5 Tahun 2004 tentang Percepatan
Pemberantasan Korupsi. E-procurement menjadi salah satu dari tujuh
flagship Dewan Teknologi Informasi Nasional (Detiknas) dan di bawah
koordinasi Bappenas. Pada tahun 2007 telah dilakukan pelelangan secara
elektronik melalui LPSE oleh Bappenas dan Departemen Pendidikan
Nasional. Pada waktu itu baru terdapat satu server LPSE yang berada di
Jakarta dengan alamat www.pengadaannasional-bappenas.go.id yang
dikelola oleh Bappenas3.
Adanya Peraturan Presiden Nomor 106 Tahun 2007, Lembaga
Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa pemerintah (LKPP) pada 7 Desember
2007 dibentuk4. Tugas pengembangan e-procurement dilanjutkan oleh LKPP
mulai pertengahan 2008. Diterbitkannya Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun
2010 membuat kebijakan e-procurement memasuki tahap yang lebih “solid”.
3 Detiknas.com4 http://pengadaan.org
2
Dalam Perpres ini e-procurement ditempatkan dalam satu bab pengaturan
tersendiri dengan arah kebijakan yang jelas.
Mulai tahun 2012 semua instansi wajib menerapkan e-procurement5,
dan mulai 2011 seluruh pengumuman lelang dilakukan secara elektronik
melalui website portal pengadaan nasional menggantikan pengumuman di
surat kabar nasional dan surat kabar provinsi. E-procurement merupakan
usaha pengadaan barang secara business-to-business (B2B) atau government-
to-businnes (G2B) dari pemasok melalui internet. Melalui internet, sistem
pengadaan barang ini dapat dilakukan secara otomatis6. E-procurement ini
diharapkan menjamin proses pengadaan barang dan jasa pemerintah berjalan
lebih cepat dan akurat, serta persamaan kesempatan, akses dan hak yang sama
bagi para pihak pelaku pengadaan barang dan jasa.
Sistem Pengadaan Barang dan Jasa yang saat ini berlaku di Indonesia
masih memiliki kelemahan dan belum secara efektif mampu mencegah
terjadinya tindak pidana korupsi. Pelaksanaan Pengadaan Barang atau Jasa
Pemerintah sebagaimana diatur dalam Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun
2010, masih memungkinkan bagi Panitia Pengadaan dan Penyedia Barang
atau Jasa untuk melakukan tindak pidana korupsi di setiap tahapannya.
Berkaitan dengan banyaknya peluang penyimpangan dalam pelaksanaan
pengadaan barang dan jasa pemerintah, maka solusi terbaik untuk pemecahan
masalah tersebut adalah dengan mempergunakan sistem e-procurement.
E-procurement adalah sistem pengadaan barang atau jasa dengan
5 www.kompasiana.com6 http://novaontheblog.blogspot.com
3
menggunakan media elektronik seperti internet atau jaringan komputer. E-
procurement diterapkan dalam proses pembelian dan penjualan secara online
supaya lebih efisien dan efektif, mengurangi proses-proses yang tidak
diperlukan dalam sebuah proses bisnis. Pada prakteknya e-procurement juga
mampu mengurangi penggunaan kertas, menghemat waktu dan mengurangi
penggunaan tenaga kerja dalam prosesnya.
E-Procurement merupakan salah satu pendekatan terbaik dalam
mencegah terjadinya koruspsi dalam pengadaan barang dan jasa pemerintah.
Adanya e-procurement peluang untuk kontak langsung antara penyedia
barang/jasa dengan panitia pengadaan menjadi semakin kecil, lebih
transparan, lebih hemat waktu dan biaya serta dalam pelaksanaannya mudah
untuk melakukan pertanggung jawaban keuangan. Hal tersebut dikarenakan
sistem elektronik tersebut mendapatkan sertifikasi secara internasional7.
Sistem e-procurement merupakan sebagai wujud Good Governance.
Saat ini e-procurement merupakan salah satu pendekatan terbaik
dalam mencegah terjadinya KKN dalam pengadaanbarang dan jasa
pemerintah. Dengan e-procurement peluang untuk kontak langsung antara
penyedia barang atau jasa dengan panitia pengadaan menjadi semakin kecil,
lebih transparan, lebih hemat waktu dan biaya serta dalam pelaksanaannya
mudah untuk dilakukan pertanggungjawaban. Namun dalam pelaksanaannya,
oleh karena proses e- procurement ini baru diterapkan, tentunya banyak
kendala-kendala yang dihadapi. Salah satu daerah yang telah menerapkan e-
procurement yaitu Kota Yogyakarta.7 http://www.media-indonesia.com
4
Proses pengadaan secara manual berimplikasi pada sulitnya informasi
harga satuan khusus, juga perbedaan perlakuan kepada calon penyedia barang
dan jasa. Juga lemahnya pertanggung jawaban terhadap proses pengadaan.
Tidak adanya informasi stok barang digudang menyebabkan sulitnya
mencapai sasaran stok optimal. Aplikasi E-Proc mampu membawa manfaat
bagi perusahaan yakni adanya standarisasi proses pengadaan berbasis IT.
Manfaat yang diperoleh e-procurement meliputi menghemat uang, waktu, dan
beban kerja tambahan yang normalnya berhubungan dengan pekerjaan tulis-
menulis. Proses pengadaan konvensional biasanya melibatkan banyak
pemrosesan kertas-kertas, yang mana menghabiskan sejumlah besar waktu
dan uang. Banyak perusahaan telah menerapkan e-procurement dengan
sukses, dan memperoleh.
Namun dibalik manfaatnya, produk ini tetap menyimpan hambatan
yang dihadapi dalam proses realisasinya, salah satunya penyedia barang atau
jasa (vendor) banyak yang belum memahami aplikasi e-procurement, tingkat
kelalaian yang sangat tinggi. Range jadwal state lelang masih belum
sepenuhnya dapat diikuti oleh panitia pengadaan tepat sesuai yang telah
ditetapkan, ketersediaan fasilitas koneksi internet dan fasilitas pendukung
lainnya masih sangat terbatas, serta terbatasnya bandwith. Penerapan e-
procurement dapat di analisis tingkat keberhasilan dan kelemahannya
sehingga implementasi sistem e-procurement dapat dikategorikan efektif dan
efisien dalam proses pengadaan barang dan jasa di Indonesia.
Pemerintah kota Yogyakarta saat ini telah menerapkan e-procurement.
5
Bentuk kelambagaan LPSE adalah Sekretariat di Sub Bagian Pengendalian
Administrasi pada Bagian Pengendalian Pembangunan Setda Kota
Yogyakarta. Jumlah personil LPSE 15 orang, 5 orang diantaranya
outshorching. Paket Pekerjaan wajib e-procurement yang ada di pemerintah
Yogyakarta pada tahun 2008 adalah 11 paket pekerjaan (sesuai dengan MoU
Bappenas), tahun 2009 sejumlah paket pekerjaan di atas 500 juta (sesuai
dengan Perwal No. 18 Tahun 2009), dan di tahun 2010 berupa paket
pekerjaan di atas 100 juta melalui ULP (sesuai dengan Perwal ULP)8.
Penelitian yang berkaitan dengan penerapan layanan pengadaan
barang dan jasa secara elektronik di Kota Yogyakarta penting untuk
dilakukan mengingak kota Yogyakarta telah menerapkan e-procurement
sementara belum ada penelitian yang mengkaji efektivitas dari penerapannya.
Penerapan e-procurement secara efektif akan mewujudkan manfaat dari e-
procurement secara maksima9l.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, maka rumusan masalah dalam
penelitian ini adalah: “Bagaimana penerapan layanan pengadaan barang dan
jasa secara elektronik di Kota Yogyakarta Tahun 2012 ?
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
1. Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji dan memberi gambaran
8 Data Administratif Unit Layanan Pengadaan Kota Yogyakarta.9 Ibid
6
objektif mengenai peran dan fungsi Unit Layanan Pengadaan (ULP),
Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang atau Jasa Pemerintah (LKPP) dan
Layanan Pengadaan Secara Elektronik (LPSE) terhadap aistem e-
procurement di Indonesia dalam menyelenggarakan, menerapkan,
melaksanakan dan menjalankan proses pengadaan barang atau jasa.
2. Manfaat penelitian
Manfaat yang akan di capai dalam penulisan skripsi ini adalah hasil
penelitian ini dapat disumbangkan untuk pengembangan ilmu
pengetahuan, khususnya di bidang Ilmu Pemerintahan khususnya yang
berkaitan dengan sistem yang efektif dalam mewujudkan good
governance.
D. Kerangka Teori
Untuk menjelaskan permasalahan yang ada, maka penulis akan
menggunakan konsep E-Government, serta E-Procurement.
1. E-Government
a. E-Government dalam Governance
Istilah “Governance” menunjukkan suatu proses di mana
rakyat dapat mengatur ekonominya, institusi dan sumber-sumber
sosial dan politiknya tidak hanya dipergunakan untuk pembangunan,
tetapi juga untuk menciptakan kohesi, integrasi, dan untuk
kesejahteraan rakyat. Dengan demikian, bahwa kemampuan suatu
negara mencapai tujuan negara sangat tergantung pada kualitas tata
7
kepemerintahan di mana pemerintah melakukan interaksi dengan
sektor swasta dan masyarakat10.
Secara teoretis, terdapat tiga komponen penting yang terkait
satu sama lain dalam good governance. Pertama adalah institusi
negara (state). Komponen pertama ini memiliki peran penting,
khususnya dalam meletakkan landasan bagi keberadaan pemerataan,
keadilan, dan kedamaian serta membangun lingkungan politik dan
hukum yang kondusif bagi pembangunan11.
Komponen kedua adalah masyarakat madani (civil society).
Komponen yang kedua ini memiliki peran penting dalam membangun
landasan bagi adanya kebebasan dan persamaan, termasuk kebebasan
mengekspresikan diri yang dapat dipertanggungjawabkan. Ketiga
adalah sektor swasta (privat sector). Keberadaan komponen ketiga ini
penting untuk meletakkan landasan bagi pertumbuhan ekonomi dan
pembangunan. Sektor swasta dapat berperan dalam menciptakan
lapangan kerja dan meningkatkan pendapatan, meningkatkan volume
produksi dan perdagangan, membangun SDM, dan langkah-langkah
penting lainnya.
Good governance tidak hanya penting bagi eksistensi negara
bangsa yang berkeadilan dan berkemakmuran, namun juga penting
juga diterapkan di daerah, termasuk unit-unit politik yang lebih bawah
lagi. Lebih-lebih ketika otoritas dan kekuasaan negara banyak
10 Thoha; 2000, 12.11 Santosa, Pandji. Administrasi Publik Teori dan Aplikasi Good Governance. Bandung: Refika Aditama. 2008.
8
didesentralisasikan ke daerah. Konsep desentralisasi sebenarnya tidak
hanya berkaitan dengan pendelegasian masalah-masalah teknis
administratif, tetapi juga masalah-masalah kekuasaan. Melalui good
governance, di daerah akan ditemukan sebuah entitas atau kehidupan
politik yang berkarakteristik seperti adanya partisipasi, memiliki visi
yang strategis, rule of law, transparansi, responsif,
pertanggungjawaban dan efektivitas serta efisien. Karakteristik
demikian sangat diperlukan guna mencapai tujuan desentralisasi itu,
yakni adanya pengelolaan daerah yang sesuai dengan konteks
kedaerahan12.
Teori governance dengan salah satu pendekatannya yang
disebut socio cybernatics approach (Rhodes, 1996). Inti dari
pendekatan ini adalah bahwa sejalan dengan pesatnya perkembangan
masyarakat dan kian kompleknya isyu yang harus segera diputuskan,
beragamnya institusi pemerintah serta kekuatan masyarakat madani
(civil society) yang berpartisipasi dalam proses pembuatan kebijakan
(policy making), maka hasil akhir (outcome) yang memuaskan dari
kebijakan publik tidak mungkin dicapai jika hanya mengandalkan
sektor pemerintah saja. Berkaitan dengan hal tersebut Wahab (1999:
5) menyatakan bahwa “Kebijakan publik yang efektif dari sudut teori
governance adalah produk sinergi interaksional dari beragam aktor
atau institusi”13.
12 Ibid.
13 Ibid.
9
Pendekatan governance mementingkan pada tindakan bersama
(collective action), keinginan pemerintah untuk memonopoli proses
kebijakan dan memaksakan berlakunya kebijakan tersebut akan
ditinggalkan dan diarahkan ke arah proses kebijakan yang lebih
inklusif, demokratis dan partisipatif. Setiap aktor akan berinteraksi
dan saling memberi pengaruh (mutually inclusive) demi tercapainya
kepentingan bersama.
World Bank memberikan definisi istilah governance sebagai
cara kekuasaan negara digunakan untuk mengatur sumber daya
ekonomi dan sosial dalam pembangunan masyarakat (the way state
power is used in managing economic and social resources for
development of society). Sementara UNDP dalam LAN dan BPKP
(2000: 5) mendefinisikan sebagai berikut “the exercise of political,
economic, and administrative authority to manage a nation’s affair at
all levels”. Menurut definisi terakhir ini, governance mempunyai tiga
kaki (three legs), yaitu economic, political, dan administrative.
Economic governance meliputi proses-proses pembuatan keputusan
(decision-making processes) yang memfasilitasi aktivitas ekonomi di
dalam negeri dan interaksi diantara penyelenggara ekonomi.
Economic governance mempunyai implikasi terhadap keadilan,
kesejahteraan, dan kualitas hidup (equity, poverty and quality of
live)14.
14 Curtin University of Technology. “Multilateral Development Bank International Survey of E-Procurement Systems. E-GP Research Report 2007
10
Political governance adalah proses-proses pembuatan
keputusan untuk formulasi atau penyusunan kebijakan. Administrasi
governance adalah sistem implementasi proses kebijakan. Oleh karena
itu institusi dari governance meliputi tiga domain, yaitu state (negara
atau pemerintahan), privat sector (sektor swasta atau dunia usaha),
dan society (masyarakat), yang saling berinteraksi dan menjalankan
fungsinya masing-masing. Institusi pemerintahan berfungsi
menciptakan lingkungan politik dan hukum yang kondusif, sektor
swasta menciptakan pekerjaan dan pendapatan, sedangkan society
berperan aktif dalam interaksi sosial, ekonomi, dan politik, termasuk
mengajak kelompok-kelompok dalam masyarakat untuk berpartisipasi
dalam aktivitas ekonomi, sosial, dan politik.
Pada hakekatnya konsep governance menggambarkan adanya
perubahan makna pemerintahan yang merujuk kepada: a) suatu proses
baru dalam memerintah (a new process of governing); b) perubahan
kondisi dalam tata aturan (a changed condition of ordered rule); dan
c) metode baru tentang peran serta masyarakat dalam pemerintahan
(the new methode by which society is governed) (Rhodes, 1996: 652-
653).
Pada sektor publik, negara dan sistem pemerintahan menjadi
tumpunan pelayanan, maka warga negara yang harus memperoleh
jaminan atas hak-haknya. Dengan demikian, penataan manajemen
kelembagaan pelayanan bukanlah suatu persoalan sederhana. Sistem
11
politik, berbagai organisasi regulasi yang menjadi bagian sistem
birokrasi suatu negara, budaya organisasi birokrasi yang
menempatkan kewenangan berlebih (over authority) kepada sektor
pemerintahan terhadap swasta atau negara terhadap rakyatnya, dapat
menjadi penghambat terciptanya pelayanan prima dalam sektor
publik.
Revitalisasi birokrasi melalui penataan kembali sistem
manajemen publik dalam mengantisipasi tuntutan sektor swasta dan
masyarakat pada umumnya menjadi sangat penting. Good governance
mengarahkan kepada upaya untuk memperbaiki dan meningkatkan
proses manajemen pemerintahan sehingga kinerjanya menjadi lebih
baik. Pola dan gaya pemerintahan harus segera dibenahi dan
dikembangkan dengan menggunakan konsep good governance. Untuk
mewujudkan good governance, maka dapat didukung dengan
diterapkannya e-government.
b. E-Government dalam Birokrasi
Revolusi teknologi komunikasi dan teknologi informasi telah
melahirkan high-tech komunikasi dan informasi atau dikenal dengan
singkatan ICT. Keuntungan yang ditawarkan ICT sudah banyak
dipraktekkan dalam administrasi pembangunan dan pelayanan
pemerintahan. Salah satu cara yang ditempuh dalam aplikasi ICT
12
dalam mekanisme birokrasi pemerintahan adalah melalui penerapan
electronic Government (e-government)15. Di Indonesia telah
diterbitkan Instruksi Presiden Nomor 3 Tahun 2003 tentang Kebijakan
dan Strategi Nasional Pengembangan e-government. Dengan
diberlakukannya Inpres tersebut maka semakin banyak daerah yang
mempunyai kekuatan dan payung hukum untuk berkiprah dalam
menerapkan e-government16.
Di hampir semua negara maju di Amerika dan Eropa,
pelayanan publik telah mengandalkan teknologi komunikasi dan
informasi. Artinya, semua proses layanan publik dapat diakses oleh
seluruh warga negara secara terintegrasi dengan cepat. Sistem layanan
tersebut dikenal dengan sebutan e-government system. Tujuan besar
penerapan e-government system adalah untuk menciptakan tata kelola
pemerintahan yang baik, dimana layanan pemerintahan bersifat
transparan, akuntabel, dan bebas korupsi. E-government system pada
hakikatnya merupakan proses pemanfaatan teknologi komunikasi dan
informasi sebagai alat untuk membantu jalannya sistem pemerintahan
dan pelayanan publik yang lebih efektif dan efisien (Sosiawan, 2008).
E-government system dalam penyelenggaraannya mengacu pada dua
hal, yaitu penggunaan teknologi informasi yang memanfaatkan
jaringan internet dan terbangunnya sebuah sistem baru dalam tata
kelola pemerintahan. Namun sayangnya, selama ini penafsiran
15 Ibid.16 wikipedia.org
13
penggunaan teknologi elektronik hanya sebatas alat manual dengan
komputer sebagai sarana pelayanan di lembaga penyedia layanan
publik.
Penyelenggaraan pemerintahan,memerlukan suatu sistem
komunikasi agar terjalin komunikasi efektif dan memiliki makna yang
mampu mengarahkan pencapaian tujuan pembangunan. Hal itu perlu
sekali dilakukan karena proses pembangunan melibatkan berbagai
elemen masyarakat. Buruknya citra pelayanan publik di Indonesia
perlu berkaca pada populernya e-government system di Negara Barat.
Maka tahun 2002, e-government system mulai diadopsi di Indonesia
sebagai sebuah inovasi baru dalam bidang kepemerintahan. E-
government system merupakan sebuah difusi teknologi, yang secara
teoritis berarti proses tersebarnya suatu inovasi ke dalam sistem sosial
melalui saluran komunikasi selama periode waktu tertentu (Rogers
dan Shoemaker, 1987). Dalam kaitannya dengan sistem sosial, difusi
juga merupakan suatu jenis perubahan sosial, yaitu proses terjadinya
perubahan struktur dan fungsi dalam suatu sistem sosial. Ketika
inovasi baru diciptakan, disebarkan, dan diadopsi atau ditolak
masyarakat, maka konsekuensinya yang utama adalah terjadinya
perubahan sosial.
Implementasi e-government system yang mendominasi di
seluruh dunia saat ini berupa integrasi data kependudukan secara
nasional dan pelayanan pendaftaran warga negara antara lain
14
pendaftaran kelahiran, pernikahan, kematian, penggantian alamat, dan
perpajakan. Disinilah peran pemerintah sebagai koordinator utama
untuk menciptakan lingkungan penyelenggaraan pemerintahan. Agar
pelayanan publik berjalan lebih efektif, perlu ada dorongan pada
pemerintah agar menyegerakan penerapan e-government system
(Shalahuddin dan Rusli, 2005).
Pemerintah dapat memanfaatkan peluang dari teknologi yang
digunakan dalam e-government system yaitu teknologi informasi dan
komunikasi, mengingat kelak masyarakat memiliki alternatif dalam
mengakses pelayanan publik secara tradisional maupun modern
(Indrajit, 2002). Namun demikian, ada dua hal yang harus
diperhatikan oleh pemerintah saat menerapkan e-government system,
yaitu:
a. Kebutuhan masyarakat menjadi prioritas utama dalam
pelayanan pemerintah. Pemerintah seyogyanya tidak lagi
memposisikan sebagai pihak yang dominan, tetapi
mempertimbangkan posisinya sebagai penyedia layanan bagi
masyarakat.
b. Ketersediaan sumber daya, baik dari sisi warga negara maupun
pihak pemerintah. Sumber daya dimaknai sebagai sumber daya
manusia yang terampil dan ketersediaan sumberdaya teknologi
yang merata.
Sudah saatnya pelayanan publik berorientasi pada pemenuhan
15
kebutuhan masyarakat dan terintegrasinya data kependudukan untuk
mempermudah pengurusan dokumen dan layanan publik lainnya.
Apabila pelayanan yang dilakukan menggunakan perspektif
masyarakat sebagai pelanggan, maka keikutsertaan masyarakat
sebagai pihak pengontrol tata kelola pemerintahan merupakan
legitmasi dari masyarakat.Pelayanan yang berkualitas tidak hanya
untuk lembaga penyelenggara jasa komersial (swasta), tetapi sudah
harus merembes ke lembaga-lembaga pemerintahan yang selama ini
resisten terhadap tuntutan akan kualitas pelayanan publik (Trilestari,
2004).
Tujuan besar dari penerapan e-government system adalah
untuk meningkatkan kualitas pelayanan publik. E-government system
dapat mendorong terwujudnya tata kelola pemerintahan yang
transaparan, akuntabel, bebas korupsi, ramping birokrasi, dan
meningkatkan partisipasi masyarakat dalam pemerintahan. Pelayanan
publik yang baik, efektif, dan efisien, dapat menjadi tolok ukur
keberhasilan pembangunan di suatu negara. Pemerintah di Indonesia
perlu menyediakan secara proporsional tenaga ahli di bidang teknologi
informasi dan komunikasi dalam tubuh lembaga pemerintahan dan
penyedia layanan publik, serta menjembatani kesenjangan
aksesibilitas teknologi di seluruh wilayah Indonesia.
Lingkup pengembangan e-government system mencakup skala
nasional. Maka diperlukan kerangka komunikasi antar sistem e-
16
government di daerah untuk saling berhubungan dan saling
bekerjasama. Dalam implementasinya, perlu ada mekanisme
komunikasi baku antar sistem, sehingga masing-masing sistem
aplikasi dapat saling bersinergi untuk membentuk e-government
services yang lebih besar dan kompleks.
Semenjak 2004, pemerintah melalui Departemen Komunikasi
dan Informatika telah membuat blue-print untuk pengembangan
aplikasi sistem e-government. Dalam lembar cetak biru tersebut telah
dijelaskan bagaimana penggunaan dan pengkoneksian jaringan di
tingkat daerah maupun pusat. Hal-hal yang sudah tertuang dalam blue
print itu seyogyanya dapat dimanfaatkan oleh instansi pemerintah
untuk menjawab tantangan pelayanan publik yang lebih modern dan
efektif17.
Implementasi e-government system di Indonesia masih separuh
jalan dan masih jauh di bawah standar yang ideal dan yang diinginkan.
Agar mencapai kondisi yang ideal, harus dilakukan penyempurnaan
konsep dan strategi pelaksanaan e-government system dari berbagai
sisi. Berkaca dari Kabupaten Sragen yang sudah menerapkan e-
government system dalam penyelenggaraan pemerintahan dari tingkat
Kabupaten hingga Desa, menjadi bukti jika teknologi informasi dan
komunikasi dapat diterapkan di Indonesia dan menjadi sarana
terpenting dalam perbaikan tata kelola pemerintahan.
17 http://www.republika.co.id
17
Dalam upaya mengembangkan pemerintahan yang berbasis e-
government, komputer serta sarana pendukung lainnya seperti alat
pengolah data elektronik merupakan faktor penting. Kebijakan
penerapan e-government merupakan mekanisme interaksi baru
(modern) antara pemerintah Kota Yogyakarta dengan masyarakat dan
kalangan lain yang berkepentingan. Kebijakan penerapan
e-government sangat tepat dengan kemajuan teknologi yang semakin
mutakhir sekarang ini. Dalam hal ini, penerapan e-government
diartikan sebagai sebuah hal, cara dan hasil kerja atau wujud dari e-
government dan sesuai dengan kemajuan teknologi sekarang ini di
Kota Yogyakarta. Bank Dunia mengemukan, e-government dijadikan
acuan yang digunakan dalam sistem informasi pemerintahan (seperti
dalam wide area networks, internet, dan komunikasi berjalan) yang
memiliki kemampuan untuk menjembatani hubungan dengan warga
negara lainya, para pebisnis dan berbagai elemen pemerintahan
lainnya (Indrajit dkk, 2002: 3)18.
Pemerintah tidak dapat lepas dari kegiatan pengadaan barang.
Proses pengadaan barang dan jasa di pemerintahan saat ini memasuki
sebuah babak baru, yaitu dengan mulai diterapkannya pengadaan
barang/jasa berbasis elektronik atau e-procurement. E-Procurement
atau lelang secara elektronik adalah proses pengadan barang/jasa
dalam lingkup pemerintah yang menggunakan perangkat teknologi
informasi dan komunikasi dalam setiap proses dan langkahnya.18 Ibid.
18
2. Pengadaan Barang dan Jasa (PBJ)
Kegiatan untuk memperoleh barang dan jasa oleh lembaga,
perangkat daerah atau institusi lainnya yang prosesnya dimulai dari
perencanaan kebutuhan sampai diselesaikannya seluruh kegiatan
memperoleh barang atau jasa. Proses e-procurement ini akan menjadi
transparan dan dapat mudah diawasi oleh masyarakat sehingga proses
pengadaan barang dan jasa pemerintah akan adil (fair). Pemilihan
penyedia barang dan jasa dengan menggunakan sistem e-procurement
diaplikasikan untuk mewujudkan tujuan pelaksanaan barang dan jasa
pemerintah yang efektif, efisien, transparan, adil atau tidak diskriminatif
dan akuntabel. E-procurement atau lelang secara elektronik adalah proses
pengadaan barang atau jasa dalam lingkup pemerintah yang menggunakan
perangkat teknologi dan komunikasi dalam setiap proses dan langkahnya.
E-procurement dapat dilakukan melalui dua cara, yaitu e-tendering dan e-
purchasing. Instrumen ini memanfaatkan fasilitas teknologi komunikasi
dan informasi meliputi pelelangan umum secara elektronik yang
diselenggarkan oleh Layanan Pengadaan Secara Elektronik (LPSE).
Barang menurut Yamit (2001: 16) merupakan benda yang dapat
digunakan untuk keperluan tertentu, sedangkan jasa adalah pelayanan yang
diberikan individu atau organisasi kepada konsumen. Pengertian service
(pelayanan) menurut Pendit dan Sudarta (2004: 33) adalah suatu perbuatan
yang dilakukan oleh seorang penyedia jasa untuk seseorang sebagai
penerima pelayanan agar menikmati suatu manfaat atau merasa puas dan
19
senang.
Pengadaan barang atau jasa pemerintah secara elektronik dapat
dilakukan dengan e-Tendering dan e-Purchasing19:
a. E-Tendering
1) Ruang lingkup e-Tendering meliputi proses pengumuman
pengadaan barang/jasa sampai dengan pengumuman
pemenang.
2) Para pihak yang terlibat dalam e-Tendering adalah Pejabat
Pembuat Komitmen (PPK)/Unit Layanan Pengadaan
(ULP)/Pejabat Pengadaan dan Penyedia barang/jasa.
3) Aplikasi e-Tendering wajib memenuhi unsur perlindungan hak
atas kekayaan intelektual dan kerahasian dalam pertukaran
dokumen serta tersedianya sistem keamanan dan penyimpanan
dokumen elektronik yang menjamin dokumen elektronik
tersebut hanya dapat dibaca pada waktu yang telah ditentukan.
4) E-tendering dilaksanakan dengan menggunakan Sistem
Pengadaan Secara Elektronik yang diselenggarakan oleh
Layanan Pengadaan Secara Elektronik.
5) ULP/Pejabat Pengadaan dapat menggunakan Sistem
Pengadaan Secara Elektronik yang diselenggarakan oleh
Layanan Pengadaan Secara Elektronik terdekat.
19 Perka LKPP, LKPP.go.id
20
Sistem Pengadaan Secara Elektronik yang diselenggarakan
oleh Layanan Pengadaan Secara Elektronik wajiib memenuhi
persyaratan sebagai berikut:
1) Mengacu pada standar yang telah ditetapkan LKPP berkaitan
dengan interoperabilitas dan intergerasi dengan Sistem
Pengadaan Secara Elektronik yang dikembangkan oleh LKPP;
2) Mengacu pada standar proses pengadaan secara elektronik
yang ditetapkan oleh LKPP;
3) Bebas lisensi (free lisence).
Oleh karena demikian, e-tendering merupakan tata cara
pemilihan penyedia barang/jasa yang dilakukan secara terbuka dan
dapat diikuti oleh semua penyedia barang/jasa yang terdaftar pada
sistem pengadaan elektronik dengan cara menyampaikan satu kali
penawaran dalam waktu yang telah ditentukan.
b. E-Purchasing
1. E-Purchasing diselenggarakan dengan tujuan:
a) Terciptanya proses pemilihan barang/jasa secara langsung
melalui sistem katalog elektronik sehingga memungkinkan
semua ULP/Pejabat Pengadaan dapat memilih barang/jasa
pada pilihan terbaik.
b) Efisiensi biaya dan waktu proses pemilihan barang/jasa
dari sisi penyedia barang/jasa dan pengguna.
21
2. Sistem katalog elektronik diselenggarakan oleh LKPP dan
sekurang-kurangnya memuat informasi spesifikasi dan harga
barang/jasa.
3. Pemuatan informasi dalam sistem katalog elektronik oleh
LKPP di lakukan dengan membuat frame work contact dengan
penyedia barang/jasa.
4. Barang/jasa yang di informasikan pada sistem katalog
elektronik di tentukan oleh LKPP.
Disimpulkan bahwa e-purchasing sebagai tata cara pembelian
barang/jasa melalui sistem katalog elektronik. Untuk mengatur
pelaksanaan pengadaan barang dan jasa di lingkungan BI, BHMN,
BUMN atau BUMD yang sebagian atau seluruhnya dibiayai dari
APBN, APBD, pinjaman atau hibah. Tujuannya ialah agar
pelaksanaan pengadaan barang atau jasa dilakukan secara efisien,
efektif, transparan, terbuka, bersaing, adil atau tidak diskriminatif, dan
akuntabel. Ini sesuai dengan Peraturan Presiden No.54 Tahun 201020.
Selain itu, dalam pasal 107 Perpres No. 54 Tahun 2010
diketahui bahwa tujuan pengadaan barang dan jasa secara elekronik
meliputi:
a. Meningkatkan transparansi dan akuntabilitas.
b. Meningkatkan akses pasar dan persaingan usaha yang sehat.
c. Memperbaiki tingkat efisiensi proses pengadaan.
d. Mendukung proses monitoring dan audit.20 Data Base LKPP.go.id
22
e. Memenuhi kebutuhan akses informasi yang real time.
Ruang lingkup berlakunya PERPRES No.54 Tahun 2010
untuk mengatur:
a. Pengadaan barang atau jasa yang pembiayaannya sebagian
atau seluruhnya dibebankan pada APBN atauAPBD.
b. Pengadaan barang atau jasa yang sebagian atau seluruhnya
dibiayai dari pinjaman atau hibah Dalam Negeri dan Luar
Negeri (PHLN) harus mengikuti Perpres. Apabila ada
perbedaan, pihak-pihak dapat menyepakati tata cara
pengadaan yang akan dipergunakan.
Prinsip-prinsip dasar Pengadaan Barang dan Jasa ialah Efisien,
Efektif, Transparan, Terbuka, Bersaing, Adil atau Tidak Diskriminatif
dan Akuntabel.
3. Layanan Pengadaan Secara Elektronik (LPSE)
a. Pengertian LPSE
LPSE adalah unit kerja atau pelaksana yang menfasilitasi
Panitia Pengadaan atau Unit Layanan Pengadaan pada proses
pengadaan barang/jasa pemerintah secara elektronik.Layanan
Pengadaan Secara Elektronik yang selanjutnya disebut LPSE ini ialah
unit kerja yang berada di lingkungan Kementerian/Lembaga/Satuan
Kerja Perangkat Daerah/Institusi (K/L/D/I) yang dibentuk untuk
menyelenggarakan sistem pelayanan Pengadaan Barang/Jasa secara
elektronik21.21 Ibid.
23
Sistem Pengadaan Secara Elektronik atau disingkat SPSE
adalah aplikasi e-procurement yang dikembangkan oleh LKPP untuk
digunakan oleh LPSE di instansi pemerintah seluruh Indonesia.
Fungsi LPSE22 ialah Menyelenggarakan Proses Lelang yang dimulai
dari Informasi-infromasi terkait lelang. Seperti, Informasi Pendaftaran
sampai kepada informasi Pengumuman. Sistem pengadaan secara
elektronik inilah yang mengatur semua bentuk proyek atau tender
dengan sistem e-procurement. Artinya bahwa Sistem e-procurement
merupakan proses pengadaan barang/jasa pemrintah yang
pelaksanaannya dilakukan secara elektronik dan berbasis web atau
internet dengan memanfaatkan fasilitas teknologi komunikasi dan
informasi dalam proses pengadaan barang atau jasa secara elektronik
yang diselenggarakan oleh layanan pengadaan secara elektronik
(LPSE).
Latar belakang e-procurement ialah sebagai salah satu tuntutan
masyarakat dalam memperoleh informasi seluas-luasnya menganai
pengadaan barang atau jasa pemerintah serta sebagai upaya untuk
penyelenggaraan pemerintah yang baik dan bebas dari Korupsi,
Kolusi dan Nepotisme (KKN). Tujuan e-procurement itu sendiri
adalah untuk menciptakan transparansi, efisiensi dan efektivitas serta
akuntabilitas dalam pengadaan barang atau jasa melalui media
elektronik antara penitia dan penyedia barang atau jasa. Adapun
manfaat e-procurement ialah:22 Ibid.
24
a. Mengurangi kontak fisik yang dapat menimbulkan risiko KKN
baik antar penyedia, maupun antar penyedia dan panitia.
b. Membuat proses interaksi antara pengguna sistem dan
penyedia barang atau jasa, serta masyarakat menjadi lebih
mudah dan cepat.
c. Menghemat biaya operasional pengadaan baik dari sisi panitia
maupun penyedia.
d. Meningkatkan kontrol terhadap berbagai penyimpangan.
e. Mempermudah pelaksanaan audit proses pengadaan barang
atau jasa.
Kemudian fungsi LPSE ialah:
a. Mengelola sistem e-procurement.
b. Menyediakan pelatihan kepada PPK atau Panitia dan Penyedia
barang atau jasa.
c. Menyediakan sarna akses internet bagi PPK/Panitia dan
Penyedia barang atau jasa.
d. Melakukan pendaftaran dan verifikasi terhadap PPK atau
Panitia dan Penyedia barang atau jasa.
Pengadaan secara elektronik atau e-procurement tersebut
diperlukan agar pengadaan barang atau jasa yang diselenggarakan
pemerintah dapat terlaksana dengan baik, sehingga dapat
meningkatkan dan menjamin terjadinya efisiensi, efektifitas,
transparansi dan akuntabilitas dalam pembelanjaan uang negara.
25
Artinya ketersediaan barang atau jasa dapat diperoleh dengan harga
dan kualitas terbaik, proses administrasi yang lebih mudah dan cepat,
serta dengan biaya yang lebih rendah, sehingga akan berdampak pada
peningkatan pelayanan publik.
b. Unsur-Unsur LPSE
1) Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah
(LKPP).
Pada bulan Desember 2007, presiden mengeluarkan
Keppres No.106 tentang Lembaga Kebijakan Pengadaan
Barang/Jasa Pemerintah (LKPP)23. Lembaga ini merupakan
‘pemekaran’ Pusat Pengadaan yang sebelumnya berada di
Bappenas. Dengan adanya Keppres ini, seluruh tugas
menyangkut kebijakan pengadaan barang dan jasa pemerintah
menjadi tanggung jawab LKPP, termasuk di dalamya
pengembangan dan implementasi electronic government
procurement. Fungsi LKPP itu sendiri ialah:
a. Melakukan Pembinaan dan Pengawasan terhadap LPSE.
b. Mengelola Portal Pengadaan Nasional.
Lembaga Sandi Negara (Lemsaneg) adalah Lembaga
Pemerintah non Departemen (LPND) yang mempunyai tugas
pokok melaksanakan tugas pemerintah di bidang persandian
yaitu mengamankan informasi yang berkualifikasi rahasia di
sektor pemerintahan dan publik dalam rangka turut menjaga 23 Ibid.
26
keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Masalah
kriptografi sebagai salah satu teknik dalam pengamanan
informasi sudah menjadi keahlian lembaga ini. Untuk menjamin
keamanan transaksi dalam proses e-procurement, tahun 2008
LKPP bekerja sama dengan lembaga ini. Lemsaneg
mengembangkan Aplikasi Pengaman Dokumen (Apendo) yang
digunakan oleh peserta pengadaan untuk enkripsi dokumen serta
oleh panitia pengadaan untuk dekripsi dokumen.
Setelah pengembangan Apendo, Lemsaneg dan LKPP
mengembangkan Infrastruktur Kunci Publik (IKP) dan
menjadikan Lemsaneg sebagi CA (Certification Authority).
Tahun 2010 diharapkan sistem IKP ini dapat digunakan di
semua LPSE. LKPP bekerja sama dengan BPKP untuk
melengkapi sistem LPSE dengan modul e-audit pengadaan.
Modul ini memungkinkan auditor (inspektorat atau BPK) untuk
melakukan audit secara elektronik terhadap proses pengadaan.
BPKP juga akan membantu LKPP dan seluruh pengelola LPSE
untuk sosialisasi sistem e-audit ini ke Satuan Pengawas Internal
di instansi pengguna LPSE. Implementasi dan sosialisasi e-audit
pengadaan juga dilakukan dengan Badan Pemeriksa Keuangan
(BPK). Pengadaan secara online membantu organisasi-
organisasi untuk merancang rencana yang optimal untuk
memanage rantai pasokan (supply chain). Keuntungan e-
27
procurement tidak hanya meliputi penghematan uang tetapi juga
penyederhanaan keseluruhan proses. Rencana yang optimal
dapat dikomunikasikan dengan cepat kepada pemasok-pemasok,
oleh karena itu dapat mengurangi biaya dan pemborosan yang
biasanya terdapat dalam supply chain.
Sistem e-procurement membantu perusahaan
mengkonsolidasikan data tentang pengadaan bermacam-macam
barang baik secara langsung maupun tidak langsung. Data ini
memungkinkan mereka melakukan pembelian besar dan
bernegosiasi dengan para pemasok untuk diskon yang lebih
besar. Daripada sepuluh departemen independen berbeda,
misalnya, membeli suatu produk tertentu dalam jumlah kecil,
suatu sistem pengadaan yang terpusat dan terhubung dengan
baik dalam organisasi akan membantu melacak kebutuhan
secara periodik untuk produk tersebut dan pemesanan pembelian
besar dapat disusun sesuai kebutuhan.
2) Unit Layanan Pengadaan
Unit Layanan Pengadaan sebagaimana yang tercantum
dalam Perpres dimaksud, Unit Layanan Pengadaan yang
selanjutnya disebut ULP adalah unit organisasi pemerintah yang
berfungsi melaksanakan Pengadaan Barang/Jasa di K/L/D/I
(Kementerian/Lembaga/Satuan Kerja Perangkat Daerah/Institusi
lainnya) yang bersifat permanen, dapat berdiri sendiri atau
28
melekat pada unit yang sudah ada (pasal 1 angka 8).
Berdasarkan definisi tersebut dapat diketahui bahwa fungsi
utama ULP adalah pelaksanaan pengadaan, artinya unit inilah
yang melaksanakan proses pengadaan mulai dari menyusun
rencana pemilihan penyedia barang dan jasa sampai dengan
melakukan evaluasi administrasi, teknis dan harga terhadap
penawaran yang masuk. Unit ini bersifat permanen artinya
bersifat tetap bukan panitia atau unit ad-hoc24, dapat berdiri
sendiri atau melekat pada unit yang sudah ada, karena ULP
merupakan unit dari K/L/D/I.
Sebelum menguraikan lebih lanjut mengenai kedudukan
ULP dalam Struktur Organisasi Pemerintah Daerah, perlu
dicermati lebih dahulu kedudukan ULP dalam struktur
organisasi pengadaan. Pasal 7 ayat (1) menyebutkan bahwa
Organisasi Pengadaan Barang/Jasa untuk Pengadaan melalui
Penyedia Barang/Jasa terdiri atas: a) PA/KPA; b) PPK; c)
ULP/Pejabat Pengadaan; d) Panitia/Pejabat Penerima Hasil
Pekerjaan.
Berdasarkan struktur tersebut tampak bahwa ULP
diposisi dibawah PA/KPA dan PPK. Namun untuk lebih
jelasnya mari kita cermati hubungan kerja antar unit-unit
tersebut. Pasal 17 angka (2) huruf j menyebutkan bahwa salah
satu tugas pokok dan kewenangan ULP adalah memberikan 24 Ibid.
29
pertanggungjawaban atas pelaksanaan kegiatan Pengadaan
Barang/Jasa kepada PA/KPA jadi jelas bahwa ULP
bertanggungjawab kepada PA/KPA. Bagaimana hubungan kerja
antara PPK dan ULP? Pasal 12 ayat 1 menyebutkan bahwa PPK
merupakan Pejabat yang ditetapkan oleh PA/KPA untuk
melaksanakan Pengadaan Barang/Jasa, jadi sama-sama
bertanggungjawab kepada PA/KPA dan sama-sama betugas
melaksanakan pengadaan. Apabila dicermati lebih lanjut pasal-
pasal yang mengatur organisasi pelaksana pengadaan
sebenarnya terdapat batasan yang jelas antara tugas PPK dan
ULP. PPK bertanggungjawab atas keseluruhan pelaksanaan
pengadaan baik secara teknis maupun substansif sampai
berakhirnya pelaksanaan pekerjaan, sementara ULP
bertanggungjawab terutama terhadap proses “pemilihan”
penyedia barang dan jasa. Tampaknya hubungan kerja PPK
dengan ULP merupakan hubungan kerja yang bersifat
komplementer dalam pelaksanaan pengadaan. Hal ini antara lain
ditunjukkan oleh pasal 11 ayat 2 huruf a yang menyebutkan
bahwa selain tugas pokok dan kewenangannya PPK dapat
menetapkan tim atau tenaga ahli pemberi penjelasan teknis
(aanwijzer) untuk membantu pelaksanaan tugas ULP.
ULP merupakan unit organisasi pemerintah yang
berfungsi melaksanakan Pengadaan Barang/Jasa di K/L/D/I.
30
Menurut Peraturan Pemerintah No.41 Tahun 2007 tentang
Organisasi Perangkat Daerah. Pasal 1 angka 7 dan 8 menyatakan
bahwa perangkat daerah adalah unsur pembantu kepala daerah
dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah yang terdiri dari
sekretariat daerah, sekretariat DPRD, dinas daerah, lembaga
teknis daerah, kecamatan dan kelurahan. Berdasarkan uraian di
atas menjadi jelas bahwa kedudukan ULP di daerah adalah unit
pelaksana teknis yang memiliki tugas pokok melaksanakan
pengadaan barang dan jasa terutama dalam hal proses pemilihan
penyedia barang dan jasa
3) E-Procurement
Galliers (Croom and Jones, 2005: 371) menyatakan
bahwa “...dengan adanya sistem inter-organisasiona dan
perdagangan secara elektronik (e-commerce) khususya, maka
jelas bahwa pertanyaan tentang suatu kejelasan melampaui apa
yang kita miliki untuk mengetahui kejelasan mengenai isu
bisnis-TI. Secara sederhana, tidak ada kasus internal yang
bertahan lama. Saat ini, beberapa isu meliputi kejelasan dengan
mengkolaborasikan beberapa perusahaan dan strategi TI serta
perlengkapan pelanggan (baru-baru ini menandai/megutamakan
menajemen hubungan antar pelanggan). Terbukanya organisasi
terhadap e-business memiliki dampak yang signifikan terhadap
strategi suplier IT (Information Technologi) dan sistem
31
informasi (Information System) serta dampak terhadap bentuk
pemerintahan, atau perjanjian, struktur yang dipakai dalam
penyediaan barang.
Bagaimana e-procurement dapat dapat mempengaruhi
transaksi penyediaan barang, menjadi hal yang telah
didiskusikan oleh Holland dan Croom (Croom and Jones, 2005:
371), di mana keduanya mencatat bahwa literatur pustaka
mengumpamakan pengaruh tersebut sebagai dua pemikiran yang
berlawanan. Di satu sisi, pandangan mengenai sistem e-
precurement dan e-buseness akan meningkatkan kecenderungan
ke arah “arms’ lenght”, transaksi dalam bentuk pasar karena
rendahnya/minimnya hambatan untuk mauk ke dalam transaksi
yang berbentuk elektronik.
Malaone, Yates, dan Benjamin (Croom and Jones, 2005:
372) berpendapat bahwa efek dari perantara secara elektronik
(electronic brokerage) terhadap sistem seperti e-procurement
adalah mengurangi biaya pencarian. Keberadaan e-procurement
membuat yang jauh menjadi dekat, dari hubungan jual beli yang
bersifat hirarki menjadi lebih pendek. Barratt dan Roshdahl
(Croom and Jones, 2005: 372) menjelaskan bahwa mudahnya
penarikan dan transparansi merupakan keuntungan bagi para
pembeli dan kerugian bagi para penjual. E-procurement bagi
para pembeli menguntungkan karena keekonomisan dalam
32
pencarian.
Pendapat lain yang kontras dengan pandangan tersebut
berpendapat bahwa pada kenyataannya hak milik bawaan dari
sistem inter organisasi tertentu dapat mengikat para pelanggan
dan para suplier dalam suatu integrasi yang berdiri sendiri. Hal
tersebut menjadi sesuatu yang penting bagi sistem e-
procurement yang melibatkan pertukaran data kompleks.
Brosseau (Croom and Jones, 2005: 372) membahas tentang
jaringan 26 IOS (26 IOS network). Dirinya menemukan bahwa
jaringan tersebut banyak digunakan untuk mengurangi biaya dan
layanan produksi atau distribusi serta memperkuat adanya
hubungan hirarki di antara ketetapan yang ada. Biaya
infrastruktur dan transaksi yang rendah dari sistem internet-
based membuat organisasi mengeksploitasi kesempatan tersebut
untuk melakukan pertukaran informasi yang kompleks dengan
banyak partner. Terdapat nilai yang tumbuh melalui hubungan
yang dekat dan hirarkis antara partner transaksi (trading
partners) atau afiliasi. Amit dan Zott (Croom and Jones, 2005:
372) mendiskusikan pentingnya hubungan yang dekat (lock in)
antara para partner transaksi. Ini adalah kunci untuk
mendapatkan keuntungan bagi pembeli maupun penjual.
Klasifikasi bentuk struktur transaksi e-procurement
dikenalkan dalam literatur marketing industri dan pembelian.
33
Disebutkan bahwa secara khusus organisasi akan memiliki
range hubungan transaksi dengan penyedia. Sebagai contoh,
kerangka kerja (framework) “buyclass” Robinson, Faris, dan
Wind (Croom and Jones, 2005: 372) membedakan antara
hubungan yang berbasis frekuensi dan variabilitas dalam
kontrak pembelian. Pada Gambar berikut nampak ilustrasi lima
tipe pertukaran yang digunakan dala transaksi e-procurement
pemerintah:
Public Web Exchange Marketplace CompanyHub Extranet
Buyer
Buyer
Exchange Market
Venue
Supplier
Supplier
Gambar 1.1.
34
a. Public Web
Melalui public web (Internet), para pembeli
memiliki kesempatan untuk mengidentifikasi para suplier
yang potensial melalui alat pencari (seperti Google.com,
Yahoo.com) atau alat pencari khusus transaksi (seperti
kellys.co.uk). Pencarian on-line membantu perbandingan
daftar harga, khususnya digunakan untuk pembelian
barang yang khusus. Pesanan barang dapat dilakukan
secara on-line melalui email atau cara yang lebih
tradisional seperti telepon, fak, atau email, semua hal
tersebut tergantung dari fasilitas web site bawaan yang
dimiliki suplier.
b. Exchange
Istilah exchange dalam hal ini mengacu pada
tempat melakukan transaksi, seperti situs lelang ebay
B2C e-commerce dan layanan lelang B2B yang
menyediakan Free Market and Synerdal. Situs-situs
tersebut memperbolehkan para pembeli atau penjual
menawar kontrak. Dalam kasus eBay, meliputi
penawaran terhadap produk-produk yang ditawar untuk
dijual secara pribadi sama baiknya seperti para penjual
komersial. Sementara itu, pertukaran B2B menyediakan
fasilitas pembatalan lelang. Pembatalan lelang secara on-
36
line telah berhasil mengurangi harga pembelian.
c. Marketplace
Pasar (marketplace) merupakan tempat banyak
suplier atau produk-produk (multi-supplier/multi-
products) yang sesungguhnya. Marketplace sering
ditempati dan dikelola oleh pihak ketiga yang
menyediakan akses ke para pengguna (users) melalui
Internet atau koneksi LAN.
d. Company Hub
Sering disebut sebagai solusi “buy-side”.
Company hub hampir sama dengan marketplace, karena
pembeli (lebih dari sekedar pihak ketiga) berperan
sebagai “tuan rumah” dan mengelola katalog atau daftar
multi-supplier/multi-product.
e. Extranet
Extranet merupakan pengaman yang melindungi
link internet antara pembeli dan penjual. Extranet
terutama digunakan untuk berbagi dan
mengkolaborasikan data, seperti misalnya mengirim data
tentang jadwal pengiriman dan desain produk. Pre-
internet, link EDI (Electonic Data Interchange)
memberikan suatu tipe koneksi ektranet yang
didedikasikan untuk pelanggan individual. Meskipun
37
terdapat sisa-sisa terkait dengan pengamanan transmisi
World Wide Web, extranet memberikan makna efektif
dari komunikasi di antara partner transaksi.
Penelitian yang dilakukan oleh Song dan Shin (2010: 2)
menjelaskan bahwa terdapat lima faktor yang berkaitan dengan
e-government yang ada di Korea yaitu faktor lingkungan,
kepemimpinan dan rencana institusi, visi dan tujuan, serta
prioritas dan tampilan. E-government yang terus diinovasi bukan
hanya akan mempengaruhi efisiensi dan produktivitas namun
juga transparasi dan catatan pemerintah, sehingga mampu
menfasilitasi antara pemerintah dengan masyarakat melalui
partisipasi masyarakat dalam proses kebijakan. Model evaluasi
e-procurement yang ada dalam penelitian tersebut yaitu:
38
Table 1. Framework of Analysis25
Faktor Pertanyaan Elemen yang Dianalisis
Lingkungan Dimana - Political, economic, social, technological situations
Kepemimpinan dan
kelembagaan
Siapa dan bagaimana
a. Kepemimpinan dan kesadaran sosialb. Lead/partner organizations, dan dukungan regulasic. Alokasi sumberdaya: finance, manpower, technologyd. Perceived benefits in using the system(s)e. Perceived problems in using the system(s)f. Supporting integrityg. Supporting transparencyh. Legislative support for system
Visi dan Tujuan Mengapa a. Visionb. Policy goals
Prioritization/fungsionalitas
Apa dan dimana
a. System typeb. System functionalityc. System descriptiond. System architecturee. System communication standardsf. Security technologies and document transfersg. Authenticationh. System performance, availability and reliabilityi. Interfacing with other systemsj. System capability monitoring and Auditsk. Business Issues
Kinerja Hasil
a. Overview of strategy appliedb. Specific implementation strategy subcomponentsc. Procurement outcomes achieved national
informatization indexd. UNDESA & ITU index
Diadopsi dari Hee Joon Song and Su Kyoung Shin, Historical Approach to E-Government of Korea: Lessons Learned and Challenges Ahead, www.kapa21.or.kr/data dan Curtin University of Technology.
ADP (2004: 6) menjelaskan bahwa komponen yang dapat
diterapkan dalam E-GP meliputi:
Table 1.2. Komponen E-GP ADP (2004: 6)
25 www.kapa21.or.kr/data dan Curtin University of Technology
39
Strategic Foundations ComponentsInstitutional capacity (kapasitas institusi)
1. Government leadership (kepemimpinan pemerintah)
2. Human resource management (manajemen sumber daya manusia
Governance (pemerintah)
1. Planning and management (perencanaan dan manajemen)
2. Policy (kebijakan)3. Legislation and regulation (perundang-
undangan dan peraturan)Business functionality and standards (fungsional bisnis dan patokan)
1. Infrastructure and web services (infrastruktur dan pelayanan web)
2. Standards (patokan)
Third party involvement
Private sector integration (integrasi sektor pribadi)
Application of technology (aplikasi teknologi)
Systems (sistem-sistem)
Ada beberapa studi empirik yang telah dilakukan
mengenai implementasi e-procurement di dalam sektor publik.
Manus (Croom and Jones, 2005: 372) mengidentifikasikan
adanya harapan terhadap efisiensi biaya dan proses sebagai
motivasi utama bagi implementasi sektor publik. Dirinya
mengamati bahwa terdapat perdebatan tentang beberapa prinsip
fundamental di belakang penghubung (procurement) sektor
publik, meliputi memenangkan penawaran terendah. Kedua,
studi kasus terhadap penghubung di Taiwan. Hambatan utama
implementasi e-procurement ditemukan menjadi perlawanan
budaya untuk merubah dalam penetapan proses dan praktek
penghubung.
40
Heijboer (Croom and Jones, 2005: 372) mengusulkan
kerangka kerja bagi operasionalisasi implementasi atau
pergerakan (roll-out) e-procurement. Dalam tulisannya, dirinya
mengusulkan model analitikal berdasarkan ROI dan pembayaran
kembali yang merupakan hasil dari pergerakan e-procurement
komoditi oleh komoditi. Model tersebut mengusulkan bahwa
organisasi seharusnya menentukan pergerakan e-procurement
dengan tujuan untuk “quick winner” atau “harvesting the low
hanging fruit”.
Menurut Koorn, Smith, dan Mueller (Vaidya, Sajeev dan
Callendar, 2006: 70) untuk membedakan e-procurement dengan
tiga tipe sistem e-procurement yaitu Buyer e-Procurement
System, Seller e-Procurement System, dan Online
Intermediaries. Penelitian itu fokus pada Buyer e-Procurement
System, yang memperhatikan e-procurement, yaitu Enterprise
Portal dan Enterprise Application.
Survey yang dilakukan oleh Curtin University of
Technology (2007: 8)26 bertujuan untuk memahami informasi
dalam sistem e-procurement yang dapat digunakan secara umum
di World Bank, the Asian Development Bank dan Inter
American Development. Implementasinya diterapkan di tiga
wilayah yang berbeda yaitu Amerika, Asia Pasifik dan Eropa.
Negara-negara tersebut menggunakan perjanjian dalam 26 Ibid.
41
menerapkan e-government procurement. Survey ini dapat
mengetahui fungsi dari nilai informasi, infrastruktur dan
implementasi dari sistem e-procurement serta mempelajari
kunci kesuksesan ketiga negara tersebut dalam membangun
sistem.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa prinsip koordinasi
yang dilakukan oleh Bang Dunia untuk setiap negara. Prinsip
koordinasi ditunjukkan dengan identifikasi dan distribusi
responden mengenai negaranya. Responden dibedakan menjadi
lima kelompok: 1) panitia manajemen government procurement
yang bertanggung jawab terhadap manajemen, operasional dan
penerapan government procurement; 2) bisnis dan staf teknis
dari organisasi yang membangun, memodifikasi serta merawat
system; 3) agen-agen sentral yang menjadi kunci di sektor
publik yang merupakan stakeholder dalam system; 4) Suppliers;
5) buyer27.
Tabel 1.3.
Hasil Survey (Curtin University of Technology, 2007: 92-93)
27 Ibid.
42
Komponen Responden1 2 3 4 5
1 Survey Respondent Profile X X X X XPART A
Functionality2 System Type X X X X X3 System Functionality X X X X X
Business and Governance Issues4 Benefits in using the system(s) X X X X X5 Problems in using the system(s) X X X X X6 Supporting integrity X X X X X7 Supporting transparency X X X X X8 Legislative support for system X X X X X
PART BTechnical dan Business Issues
9 System description X X10 System architecture X X11 System communication standards X X12 Security technologies and
document transfersX
13 Authentication X X14 System performance, availability
and reliabilityX X
15 Interfacing with other systems X X16 System capability monitoring and
AuditsX X
17 Business Issues X XCost Estimates
18 System cost parameters X X19 System development costs X X20 Implementation costs X X21 Annual ongoing operational costs X X
Implementation Strategy22 Overview of strategy applied X X23 Specific implementation strategy
subcomponentsX X
24 Procurement outcomes X X25 Success factors and lessons
learnedX X
Popularitas internet secara signifikan telah
43
mempengaruhi intensitas organisasi untuk menggunakan
teknologi sistem inter-organisasional yang baru (IOS/Inter-
Organizational System), seperti e-Procurement. Sedangkan para
peneliti dari disiplin ilmu/bidang Sistem Informasi
(IS/Information System) dan manajemen telah mempelajari hal-
hal terkait implementasi IOS tradisional di sektor privat dari
berbagai perspektif, terdapat beberapa studi implementasi dalam
Internet atau Web-based IOS khususnya dalam e-Procurement
di sektor publik. Lagipula, sementara itu terdapat beberapa studi
akademik yang dibawa/dituntun ke dalam nilai dari B2B e-
Procurement, proses penghubung e-Commerce, klasifikasi
struktur transaksi e-Procurement dan dampak e-Procurement
terhadap hubungan antara pembeli-penjual (Carr & Smeltzer,
2002), terdapat studi-studi empirik yang relatif detail dalam
implementasi e-Procurement (Croom dan Jones, 2005: 369).
Pembangunan dalam implementasi IOS tradisional,
penelitian tentang e-Procurement telah meliputi berbagai macam
pengukuran dan konstrak untuk memahami dan memprediksi
keberhasilan implementasi. Studi A CGEC (Vaidya et all, 2006:
74) menyatakan bahwa bagian yang signifikan yang mengawali
suatu dalil pada akhirnya seringkali tidak tersampaikan karena
adanya masalah yang berhubungan dengan teknologi, proses
bisnis, dan/atau isu individu/organisasional. Sesuai dengan hal
44
tersebut, Local Authority Strategy untuk laporan e-Procurement
telah mengidentifikasi tiga area, di mana strategi implementasi
e-Procurement seharusnya difokuskan untuk menjamin bahwa
praktek, proses, dan sistem yang dikehendaki dikembangkan dan
dijalankan dalam suatu tindakan yang konsisten melewati sektor
publik. Tiga area tersebut adalah organisasi dan manajemen,
praktek dan proses, serta sistem dan teknologi. Ketiganya
disebut sebagai perspektif implementasi (implementation
perspective) dan merupakan tujuan dalam penelitian ini. Tiap
perspektif tersebut merupakan aspek yang penting dalam proses
implementasi e-Procurement. Seluruh model konseptual dalam
penelitian ini disajikan dalam gambar di bawah ini, di mana
menekankan pada pengaruh antara tiga perspektif dan keinginan
untuk melayani sebagai dasar bagi perkembangan suatu ilmu
tentang dampak CFSs di dalam perspektif implementasi dan
keberhasilan permulaan e-procurement.
45
CFSs Implementation Perspectives Impact
CFS1 Organization & Management e- Procurement
CFS2 Practise & Processes implementation
....... System & Technology success
CFSs
Sumber: Vaidya et all (2006: 75)
Gambar 1.2.
Kerangka Kerja Konseptual
Publik merupakan fungsi penting pemerintah. Publik
harus dapat memuaskan demi kebaikan pekerjaan, sistem, dan
pelayanan. Lagi pula, di sektor publik harus mampu menjangkau
prinsip dasar sebagai kepemerintahan yang baik, yaitu:
transparansi, pertanggungjawaban, dan integritas. Prinsip pokok
kepemerintahan lainnya adalah mencapai nilai uang (DOF,
2001). Tetapi Publik telah dilupakan di area pendidikan
akademik dan penelitian, meskipun kesatuan pemerintahan, ahli
ilmi tata negara, dan ahli profesional sektor publik telah
menyepakati suatu kesepakatan besar untuk memperhatikan
perbaikan dan pembentukan kembali penghubung
(procurement).
Kebijaksanaan yang konvensional menyarankan supaya
46
pemerintahan membedakan dirinya dengan penghubung privat.
Di sektor publik merupakan permasalahan yang besar dan
kompleks, terhitung antara 20% dan 30% dari GDP (Gross
Domestic Product) dan secara tradisional berusaha untuk
menjangkau kenyataan yang objektif di lingkup sosial dan
politik. Pemerintah memberikan pelayanan yang baik dan
memelihara layanan yang penuh pertanggungjawaban serta
transparansi, menggunakan sistem kontrak yang kompleks yang
didesain untuk melindungi minat publik. Sementara itu,
penghubung di sektor privat dilakukan di bawah sponsor/wali
tiap-tiap individu dengan ketetapan pengawasan dan
kepemerintahan, kemudian penghubung di sektor publik harus
beroperasi di dalam range regulasi dan pengawasan yang
ditetapkan untuk menyelesaikan hal yang diinginkan sosial, baik
dari segi ekonomi, keuangan dan kelengkapan audit publik. Isu
tentang permintaan untuk melakukan penawaran atau
mengajukan proposal terhadap produk atau pelayanan yang khas
untuk masing-masing kontrak acara dan skala ekonomi dari
pemerintah yang resmi merupakan hal yang sulit dicapai.
Terdapat pula tawar-menawar dan keuntungan biaya dari
kekhasan pemerintah terhadap publik yang menghasilkan biaya
transaksi yang tinggi.
Perbedaan yang utama adalah hubungan antara pembeli
47
dan suplier pada tiap-tiap kesatuan. Di sektor publik, pembeli
berusaha untuk memasukkan beberapa penjual yang
memungkinkan untuk masuk ke dalam garis/batas kompetisi dan
memaksimalkan keuntungan akan nilai uang. Sedangkan di
sektor privat, pembeli boleh menggunakan sedikit suplier
berdasarkan hubungan yang penuh kepercayaan untuk
meminimalkan resiko dalam operasi. Pemerintah juga
diwajibkan untuk membuka informasi tentang pembelian dan
kontrak kepada publik. Hal tersebut meliputi detail tentang
hasil/keputusan kontrak pemerintah. Sementara itu, pengawasan
dan pembuatan undang-undang pemerintah telah ditetapkan
untuk membatasi diskriminasi dalam pemerintah.
E. Definisi Konsepsional
Definisi Konsepsional yaitu salah satu unsur penelitian yang penting
dan merupakan definisi yang dipakai oleh peneliti untuk menggambarkan
secara abstrak suatu fenomena sosial atau fenomena alami. Definisi
konsepsional ini dimaksudkan sebagai gambaran yang lebih jelas untuk
menghindari kesalahpahaman terhadap pengertian tentang istilah yang ada
dalam pokok permasalahan. Adapun pengertian definisi konsepsional dalam
pembahasan ini adalah sebagai berikut:
1. Layanan Pengadaan Secara Elektronik (LPSE)
48
Implementasi LPSE adalah penerapan unit kerja atau
pelaksana yang menfasilitasi Panitia Pengadaan atau Unit Layanan
Pengadaan pada proses pengadaan barang/jasa pemerintah secara
elektronik. LPSE ini ialah unit kerja yang berada di lingkungan
Kementerian/Lembaga/Satuan Kerja Perangkat Daerah/Institusi
(K/L/D/I) yang dibentuk untuk menyelenggarakan sistem pelayanan
Pengadaan Barang/Jasa secara elektronik.
2. Unit Layanan Pengadaan (ULP)
Implementasi ULP adalah sistem dan unit organisasi
pemerintah yang berfungsi melaksanakan pengadaan barang/jasa,
artinya unit inilah yang melaksanakan proses pengadaan mulai dari
menyusun rencana pemilihan penyedia barang dan jasa sampai dengan
melakukan evaluasi administrasi, teknis dan harga terhadap
penawaran yang masuk.
F. Definisi Operasional
Yang dimaksud dengan definisi operasional adalah unsur penelitian
yang memberitahu bagaimana cara mengukur variable. Dengan kata lain
definisi operasional adalah petunjuk dan pelaksana untuk mengukur suatu
variable.28
Adapun definisi operasional dalam penyusunan skripsi yang mengenai
Penerapan Layanan Pengadaan Secara Elektronik (LPSE) Studi Kasus; 28 Sofyan Effendi dan Masri Singarimbun, Metode Penelitian Survey, LP3ES, Jakarta, 1986
49
Impelementasi Sistem E-Procurement di Kota Yogyakarta adalah
1. Penerapan LPSE
a. Penerapan dalam mengelola sistem e-procurement.
b. Penerapan dalam menyediakan pelatihan kepada PPK atau
Panitia dan Penyedia barang atau jasa.
c. Penerapan dalam menyediakan sarna akses internet bagi
PPK/Panitia dan Penyedia barang atau jasa.
d. Penerapan dalam melakukan pendaftaran dan verifikasi
terhadap PPK atau Panitia dan Penyedia barang atau jasa.
2. Penerapan ULP
a. Penerapan dalam melaksanakan proses pengadaan mulai dari
menyusun rencana pemilihan penyedia barang dan jasa sampai
dengan melakukan evaluasi administrasi, teknis dan harga
terhadap penawaran yang masuk.
b. Penerapan dalam memberikan pertanggungjawaban atas
pelaksanaan kegiatan pengadaan barang/jasa kepada PA/KPA.
G. Kerangka Pemikiran
Berdasarkan uraian yang ada di kerangka teori, maka kerangka
50
pemikiran dalam penelitian ini sebagai berikut:
Input Proses Output Outcome
- Regulasi - Kontrak - Transparasi
Pekerjaan yang ditender - ULP - Pelaksanaan kontrak - Efisiensi
- Kelembagaan - Evaluasi kontrak - Efektivitas
e-government yang baik
Berdasarkan uraian di atas dapat diketahui bahwa input yang ada
merupakan pekerjaan yang ditender sedangkan prosesnya meliputi regulasi,
ULP serta kelembagaan. Output dari kegiatan yaitu kontrak, pelaksanaan
kontrak dan evaluasi. Outcome kegiatan yaitu transparasi, efisiensi maupun
efektivitas.
H. Metode Penelitian
a. Jenis Penelitian
Jenis penelitian yang dipakai dalam penelitian ini adalah penelitian
empiris. Penelitian empiris yaitu metode penyusunan yang
mendeskripsikan fakta-fakta yang digali dari objek penelitian apakah
sesuai atau tidak pelaksanaannya dengan peraturan perundang-undangan.
b. Sumber Data
Mengenai sumber data yang digunakan dalam penulisan skripsi ini
51
yaitu dengan menggunakan:
1. Data Primer
Data yang diperoleh dari wawancara mendalam (in-depth interview)
dengan pihak-pihak yang terkait yaitu LPSE dan ULP dengan obyek
yang diteliti serta memberikan pertanyaan lisan kepada yang terkait
seperti Unit Layanan Pengadaan.
2. Data Sekunder
Pemakaian data sekunder dalam penelitian merupakan keperluan utama,
karena penelitian ini berkaitan dengan data sekunder yang digunakan
diantaranya peraturan perundang-undangan, literatur-literatur,
dokumen-dokumen yang dikeluarkan oleh pemerintah dan lain-lain
yang berkaitan dengan masalah yang diteliti yaitu penerapan layanan
pengadaan secara elektronik dalam studi kasus implementasi sistem e-
procurement di Kota Yogyakarta.
c. TeknikPengumpulan Data
Teknik pengumpulan data yang digunakan penulis dalam mencari
informasi yang dibutuhkan adalah:
1. Wawancara
Bungin (2008: 108) menjelaskan bahwa wawancara mendalam
(in-depth interview) secara umum adalah proses memperoleh
keterangan untuk tujuan penelitian dengan cara tanya jawab sambil
bertatap muka antara pewawancara dengan informan untuk
mendapatkan data secara detail. Teknik ini dipergunakan untuk
52
mendapatkan informasi secara lisan dari pada informan yang telah
ditentukan.
Pada penelitian ini sudah dilakukan wawancara awal dengan
anggota ULP dan LPSE Kota Yogyakarta yang bernama Bapak
“Sulistio Handoko”, Bagian Administrasi System. Berdasarkan dari
wawancara tersebut dijadikan landasan untuk memahami tentang
implementasi pengadaan barang/jasa di Kota Yogyakarta. Kemudian
melakukan secara luas dan mendalam mengenai segala sesuatu
informasi dengan mengajukan tanya jawab atau percakapan secara
langsung berdasarkan daftar pertanyaan sebagai panduan kepada
informan.
2. Observasi
Teknik observasi ini dipergunakan untuk memperoleh gambaran
tempat penelitian, sejarahnya, keadaan penduduk dan pendapatnya
tentang pelaksanaan kebijakan. Pelaksanaan teknik ini adalah dengan
cara penelitian turun langsung ke dalam lingkungan subyek untuk
membuat catatan lapangan yang dikumpulkan secara sistematis.
3. Dokumentasi
Melalui teknik ini mempelajari berbagai sumber data melalui
laporan hasil penelitian, catatan, buku, agenda, surat kabar dan majalah.
Tujuannya adalah untuk mencari kebenaran ilmiah secara umum
sebagai landasan berpijak dalam menganalisa data dan menjawab
permasalahan yang diajukan.
53
4. Quesioner
Quesioner digunakan untuk mengetahui pendapat tentang
implementasi pengadaan barang/jasa di Kota Yogyakarta. Quesioner
disajikan dalam bentuk pertanyaan-pertanyaan yang ditujukan kepada
subjek penelitian.
d. Validitas Data
Untuk mengukur derajat kepercayaan (kredibilitas) menggunakan
teknik pemeriksaan keabsahan data. Teknik pemeriksaan keabsahan data
yang digunakan dalam penelitian ini yaitu dengan teknik triangulasi data.
Triangulasi data adalah teknik pemeriksaan data yang memanfaatkan
sesuatu yang lain diluar data tersebut untuk keperluan pengecekan atau
pembanding terhadap data tersebut. Teknik triangulasi yang paling banyak
digunakan ialah pemeriksaan melalui sumber lainnya (Moleong, 2002:
178). Triangulasi data dapat dicapai dengan jalan (Moleong, 2002: 178):
1. Membandingkan data hasil pengamatan dengan data hasil
wawancara.
2. Membandingkan apa yang dikatakan orang didepan umum dengan
apa yang dikatakannya secara pribadi.
3. Membandingkan keadaan dengan perspektif seseorang dengan
berbagai pendapat dan pandangan orang seperti rakyat biasa, orang
yang berpendidikan menengah atau tinggi dan orang pemerintah.
4. Membandingkan hasil wawancara dengan isi suatu dokumen yang
berkaitan.
54
Teknik triangulasi data yang digunakan penulis yaitu
membandingkan hasil wawancara dengan isi suatu dokumen yang
berkaitan.
5. Teknik Analisis Data
Teknik yang dipakai adalah mengembangkan suatu kerangka kerja
deskriptif untuk mengorganisasikan studi kasus atau deskriptif kasus.
Penganalisaan data hasil penelitian memakai metode analisa deskriptif
kualitatif. Penelitian kualitatif merupakan suatu prosedur penelitian yang
menghasilkan data deskriptif berupa bentuk kata-kata tertulis, lisan dari
orang-orang atau perilaku yang diamati, yang menunjukkan berbagai fakta
yang ada dan dilihat selama penelitian berlangsung. Prosedur analisa
datanya adalah sebagai berikut:
a. Pengumpulan data
Pengumpulan data dilakukan dengan cara pengumpulan dokumen-
dokumen yang berkaitan dengan penelitian.
b. Reduksi data
Reduksi data diartikan sebagai proses pemilihan dan penyederhanaan
data-data kasar yang muncul dari catatan-catatan tertulis. Reduksi
data dilakukan dengan cara membuat ringkasan dan mengkode data
yang diperoleh dari pengumpulan dokumen-dokumen yang berkaitan
dengan penelitian.
55
c. Penyajian data
Penyajian data dilakukan dengan menggambarkan keadaan sesuai
dengan data yang sudah direduksi dan disajikan dalam laporan yang
sistematis dan mudah dipahami.
d. Menarik kesimpulan
Pada tahap ini peneliti menarik kesimpulan terhadap data yang sudah
direduksi dalam laporan dengan cara membandingkan,
menghubungkan, dan memilih data yang mengarah pada pemecahan
masalah, dan mampu menjawab permasalahan serta tujuan yang
ingin dicapai.
I. Jangkauan Penelitian
Jangkauan dalam penelitian ini, penulis akan membagi batasan-batasan
yang akan menyulitkan untuk melakukan penelitian dan pengumpulan data.
Sehingga penulis membatasi cakupan itu. Penelitian ini akan merucut kepada
pemerintah Kota Yogyakarta. Kemudian Penelitian ini akan memetakan
beberapa hal yang terkait dengan penelitian seperti Unit Layanan Pengadaan
(ULP) yang sebagai pihak pengelola Layanan Pengadaan Secara Elektronik
(LPSE) Kota Yogyakarta, kemudian LPSE itu sendiri, baik LPSE Pusat yang
sebagai sample. Seperti di lingkungan Kementerian dan LPSE Daerah. Dan
terakhir Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah. Sebagai
Pusat pengendalian keseluruhan LPSE di Indonesia.
56
J. Sistematika Penulisan
Dalam penulisan penelitian ini menjadi sebuah karya tulis, penulis
membagi dalam beberapa bab dimana diantara bab-bab tersebut saling
berkaitan sehingga menjadi satu kesatuan utuh :
1. Bab I
Pendahuluan yang terdiri dari;
a. latar belakang masalah;
b. rumusan masalah;
c. tujuan dan manfaat penelitian;
d. kerangka dasar teori;
e. definisi konsepsional;
f. definisi operasional;
g. kerangkan pemikiran;
h. metodologi penelitian;
i. jangkauan penelitian;
j. sistematika penulisan;
2. Bab II
Menjelaskan tentang deskripsi objek penelitian, yaitu profil Unit
Layanan Pengadaan Pemerintah Kota Yogyakarta. Kemudian profil
Layanan Pengadaan Secara Electronik (LPSE) Kota Yogyakarta.
Dengan tujuan untuk memudahkan dalam penelitian.
3. Bab III
Menjelaskan tentang implementasi dan upaya yang telah dilakukan oleh
57
Unit Layanan Pengadaan dan Layanan Pengadaan Secara Elektronik
(LPSE) di lingkungan Kota Yogyakarta terhadap proses Pengadaan
Barang/Jasa. Sehingga penelitian ini akan mengetahui tingkat
keberhasilan dari Sistem Pengadaan Secara Elektronik (SPSE) itu
sendiri melalui Pemetaan Sistem E-Procurement. Sehingga akan dilihat
efektivitas dan efisiesi dari penerapan masing-masing sistem.
4. Bab IV
Penutup, berisi penyimpulan dan kata penutup yang dapat ditarik dari
pembahasan-pembahasan dari bab sebelumnya.
58