14

Vol 49, No 1 (2018)

  • Upload
    others

  • View
    4

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: Vol 49, No 1 (2018)
Page 2: Vol 49, No 1 (2018)

Vol 49, No 1 (2018) Table of Contents

ORIGINAL ARTICLE

Korelasi antara kadar hemoglobin dengan jumlah limfosit t CD4 pada penderita terinfeksi

human immunodeficiency virus (HIV) pra terapi antiretroviral

Sang Bagus Ketut Dwiadnyana, Ketut Suega, K Tuti Parwati Merati

Online First: January 21, 2018

| DOI: 10.15562/medicina.v49i1.251

ORIGINAL ARTICLE

Clinical, pathological profile and complications after radical cystectomy - ileal conduit for

bladder cancer since January 2013 – April 2015 in Rsup Sanglah Denpasar

inge kurniawati, I Wayan Yudiana, Anak Agung Gde Oka

Online First: January 22, 2018

| DOI: 10.15562/medicina.v49i1.252

ORIGINAL ARTICLE

Prostatitis in Benign Prostatic Hyperplasia (BPH) patients in Sanglah general hospital,

Denpasar

Rika Lesmana, Gede Wirya Kusuma Duarsa

Online First: January 23, 2018

| DOI: 10.15562/medicina.v49i1.253

ORIGINAL ARTICLE

The effect of ethanol extract of juwet fruit skin (syzygium cumini) against viability of

lymphocyte cells in PBMC cultures exposed to H2O2 3%

Luh Putu Diah Ratna Iswari Sudewa, I Gusti Kamasan Nyoman Arijana

Online First: January 23, 2018

| DOI: 10.15562/medicina.v49i1.254

ORIGINAL ARTICLE

Correlation between histopathologic grading and carcinoembryonic antigen levels in colon

carcino

I Wayan Wahyu Sutrisna, I Ketut Sudartana, I Gde Raka Widiana

Online First: January 23, 2018

| DOI: 10.15562/medicina.v49i1.256

Page 3: Vol 49, No 1 (2018)

ORIGINAL ARTICLE

The correlation between glucose serum level and citokine level il-6 in patient with long

bone fracture and politrauma at first, third and fifth day

MA MAHARJANA, RIDIA KGM, KAWIYANA KS

Online First: January 24, 2018

| DOI: 10.15562/medicina.v49i1.258

ORIGINAL ARTICLE

Kadar HbA1c yang tinggi dan ulkus yang lama sebagai faktor-faktor risiko terjadinya

amputasi pada pasien kaki diabetes di rumah sakit umum pusat sanglah

Harina Kusuma, Ketut Putu Yasa, I Gde Raka Widiana

Online First: January 24, 2018

| DOI: 10.15562/medicina.v49i1.260

ORIGINAL ARTICLE

Umur 60 tahun ke atas dan lama operasi 3 jam ke atas merupakan faktor risiko terjadinya

hipoalbuminemia pasca bedah pada pasien karsinoma kolorektal

Elvida Christi Imelda, I Nyoman Golden, I Ketut Sudartana

Online First: January 24, 2018

| DOI: 10.15562/medicina.v49i1.261

ORIGINAL ARTICLE

Karakteristik dan Keakuratan Diagnosis Klinis terhadap Hasil Patologi Anatomi Tumor

Palpebra di Rumah Sakit Umum Pusat Sanglah Denpasar periode 1 Januari 2015-31

Desember 2016

Poernama Sari Yenni, Putu Yuliawati, AAA Sukartini Djelantik, NM Laksmi Utari, AA Mas

Putrawati Triningrat, IB Putra Manuaba

Online First: May 17, 2018

| DOI: 10.15562/medicina.v49i1.173

ORIGINAL ARTICLE

Nama tanaman obat yang ditulis dalam usada mala

Nyoman Adiputra, Surya Chandra Trapika

Online First: May 20, 2018

| DOI: 10.15562/medicina.v49i1.5

Page 4: Vol 49, No 1 (2018)

ORIGINAL ARTICLE

Validitas skor tardivo untuk memprediksi terjadinya amputasi pada kaki diabetes di

RSUP Sanglah

Oka Pertama

Online First: July 01, 2018

| DOI: 10.15562/medicina.v49i1.259

CASE REPORT

Penggunaan laryngeal mask airway dan propofol target controlled infusion tipe marsh

pada pasien dengan stenosis aorta berat yang menjalani operasi transurethral resection of

the prostate

Sutan Mahendra, I Made Wiryana, Tjok Gde Agung Senapati

Online First: May 17, 2018

| DOI: 10.15562/medicina.v49i1.127

CASE REPORT

Coronary event related to kinking coronary artery

Deddy H. Susanto, Bambang Budiono, Janry A. Pangemanan, A. Lucia Panda, L. Audi Natalino

Online First: January 21, 2018

| DOI: 10.15562/medicina.v49i1.174

CASE REPORT

Amyloidosis nasofaring dapat merupakan bagian dari amyloidosis sistemik

Herlina Eka Shinta, I Made Gotra, Herman Saputra

Online First: May 17, 2018

| DOI: 10.15562/medicina.v49i1.283

CASE REPORT

Neglected and child physical abuse in a five years old boy

Tri Apriastini, . Soetjiningsi, I Gusti Ayu Trisna Windiani, I Gusti Agung Ngurah Sugitha

Adnyana, Ida Bagus Putu Alit

Online First: May 17, 2018

| DOI: 10.15562/medicina.v49i1.262

CASE REPORT

Congenital pulmonaryairwaymalformationtype 4 on a 2 month old boy

Anastasia Asty Lebao, Ida Bagus Subanada, I Ketut Suarta, Nyoman Semadi

Online First: May 17, 2018

| DOI: 10.15562/medicina.v49i1.265

Page 5: Vol 49, No 1 (2018)

CASE REPORT

Primary brain non-hodgkin’s lymphoma: a case report in Sanglah General Hospital

Denpasar

Hendry Irawan, Sri Maliawan

Online First: May 20, 2018

| DOI: 10.15562/medicina.v49i1.264

CASE REPORT

Karsinoma tiroid papiler varian onkositik dengan tiroiditis Hashimoto

Rosalina Susantio, Ni Putu Sriwidyani

Online First: May 22, 2018

| DOI: 10.15562/medicina.v49i2.263

Page 6: Vol 49, No 1 (2018)

Editor in Chief

• dr. Ida Bagus Subanada, Fakultas Kedokteran, Universitas Udayana, Bali, Indonesia

Associate Editor

• Prof. Dr. dr. I Putu Gede Adiatmika, [SCOPUS ID: 55189864800] Fakultas Kedokteran,

Universitas Udayana, Bali, Indonesia

Editorial Board

• Prof. Dr. Sri Maliawan, [SCOPUS ID: 15738530400] Sanglah General Hospital,

Department of Neurosurgery, Indonesia

• Prof. Dr. Putra Manuaba, [SCOPUS ID: 8412278400] Griffith University, School of

Science, Brisbane, Australia

• Dr. dr. Tjokorda Gde Bagus Mahadewa, [SCOPUS ID: 6507494320] Sanglah General

Hospital, Department of Neurosurgery, Indonesia

• Prof. Dr. dr. I Ketut Suastika, [SCOPUS ID: 8736266500, h-index: 5] Fakultas

Kedokteran, Universitas Udayana, Bali, Indonesia

• Prof. Dr. dr. Nyoman Adiputra, [SCOPUS ID: 16680613500, h-index: 3] Fakultas

Kedokteran, Universitas Udayana, Bali, Indonesia

• Prof. Dr. dr. Raka Widiana, [SCOPUS ID: 8681376700, h-index: 2] Fakultas Kedokteran,

Universitas Udayana, Bali, Indonesia

• Prof. Anak Agung Raka Sudewi, [SCOPUS ID: 23019601200, h-index: 1] Fakultas

Kedokteran, Universitas Udayana, Bali, Indonesia

• Prof. dr. A. A. Gede Budiartha, [SCOPUS ID: 57191056740] Fakultas Kedokteran,

Universitas Udayana, Bali, Indonesia

• Prof. dr. Putu Sutisna, [SCOPUS ID: 6505494427, h-index: 2] Fakultas Kedokteran,

Universitas Udayana, Bali, Indonesia

• dr. Nyoman Sri Budayanti, [SCOPUS ID: 55155452800] Fakultas Kedokteran,

Universitas Udayana, Bali, Indonesia

• Prof. Dr. dr. I Made Bakta, [SCOPUS ID: 6603197439] Fakultas Kedokteran, Universitas

Udayana, Bali, Indonesia

• Prof . Dr. dr. IB Tjakra Wibawa Manuaba, [SCOPUS ID: 22953883500] Fakultas

Kedokteran, Universitas Udayana, Bali, Indonesia

Page 7: Vol 49, No 1 (2018)

ILLUSTRASI KASUSMEDICINA 2018, Volume 49, Number 1: 84-91P-ISSN.2540-8313, E-ISSN.2540-8321

84

CrossMark

ABSTRACT

Amyloidosis is a rare disease. The purpose of this case to report a case of amyloidosis in a male aged 49 years. Diagnosis is based on clinical data, radiological and histopathological of operating materials, which is supported by histochemical examination. These cases occurred in men aged 49 years, with complaints of enlargement in the neck region coli in the left and right are growing for 3 years. On examination ct-scan obtained solid mass with heterogeneous density in the nasopharynx right and left (dominant right). There does not appear to erosion and bone destruction

calvaria. On microscopic examination of tissue obtained in the form of homogeneous eosinophilic material. Patients diagnosed as nasopharyngeal amyloidosis with involvement of systemic amyloidosis. Histochemical examination congo red, giving a positive result amyloid material pink visible under a microscope positive polarization yellowish green (apple-green birefringence). Amyloid is a protein substance pathological and deposited between various connective tissue and organ in the body. In this case, primary or secondary Amyloidosis can not be enforced.

Keywords : nasopharyngeal amyloidosis , systemic amyloidosisCite This Article: Shinta, H.E., Gotra, I.M., Saputra, H. 2018. Amyloidosis nasofaring dapat merupakan bagian dari amyloidosis sistemik Laporan sebuah kasus. Medicina 49(1): 84-91. DOI:10.15562/medi.v49i1.283

ABSTRAK

Myloidosis merupakan penyakit yang jarang terjadi. Tujuan dari penulisan kasus ini untuk melaporkan sebuah kasus amyloidosis pada dari seorang lelaki umur 49 tahun. Diagnosis ditegakkan berdasarkan data klinis, radiologis dan histopatologi dari bahan operasi, yang ditunjang dengan pemeriksaan histokimia.

Kasus ini terjadi pada lelaki umur 49 tahun, dengan keluhan pembesaran pada leher regio coli di kiri dan kanan yang semakin membesar selama 3 tahun. Pada pemeriksaan ct-scan didapatkan massa solid dengan densitas heterogen pada nasofaring kanan dan kiri (dominan kanan). Tidak tampak erosi dan destruksi tulang

kalvaria. Pada pemeriksaan mikroskopis didapatkan jaringan berupa material homogen eosinofilik. Pasien di diagnosis sebagai amyloidosis nasofaring dengan adanya keterlibatan amyloidosis sistemik. Dilakukan pemeriksaan histokimia congo red, memberikan hasil positif bahan amyloid berwarna merah muda yang terlihat dibawah mikroskop polarisasi positif berwarna hijau kekuningan (apple-green birefringence).

Amyloid adalah suatu substansi protein patologis dan terdeposit di antara berbagai jaringan ikat dan organ pada tubuh. Pada kasus ini, Amyloidosis primer atau sekunder belum bisa ditegakkan.

Kata kunci: amyloidosis nasofaring, amyloidosis sistemik.Cite Pasal Ini: Shinta, H.E., Gotra, I.M., Saputra, H. 2018. Amyloidosis nasofaring dapat merupakan bagian dari amyloidosis sistemik Laporan sebuah kasus. Medicina 49(1): 84-91. DOI:10.15562/medi.v49i1.283

Amyloidosis nasofaring dapat merupakan bagian dari amyloidosis sistemik Laporan sebuah kasus

Herlina Eka Shinta,1* I Made Gotra,2 Herman Saputra3

PENDAHULUAN

Amiloidosis merupakan penyakit kelainan struk-tur protein sekunder, dimana dalam keadaan normal protein tersebut dapat larut tetapi berubah menjadi tidak larut dan tertumpuk  di dalam jarin-gan ektraseluler. Hampir semua jenis amiloidosis mengandung  fibril protein yang disebut Amyloid.1,2 Amyloid merupakan zat protein yang patologis, yang tersimpan antara sel-sel pada jaringan dan organ tubuh. Pada mulanya substansi ini dianggap menyerupai amilum sehingga diberi nama ‘amiloid’, namun saat ini telah diketahui bahwa substansi

ini terutama tersusun atas protein.3 Kondisi ini berhubungan dengan sejumlah kelainan bawaan dan inflamasi, di mana deposit ekstraseluler protein fibrillar bertanggung jawab atas kerusakan jarin-gan. Fibril abnormal ini dihasilkan oleh agregasi protein yang misfolded. Amiloidosis memberikan karakteristik pewarnaan tertentu, termasuk apple-green birefringence dari preparat dengan pewarnaan congo red yang dilihat dibawah cahaya polarisasi. Dengan mikroskop elektron bahan amyloid terlihat sebagai fibril yang non branching. Pada pewarnaan

1Fakultas Kedokteran Universitas Palangka Raya,2,3Bagian/ Patologi Anatomi, Fakultas Kedokteran Universitas Udayana/Rumah Sakit Umum Pemerintah Sanglah Denpasar

*Correspondence to: Herlina Eka Shinta Fakultas Kedokteran Universitas Palangka Raya [email protected]

Diterima: 2018-01-23 Disetujui: 2018-02-19

Volume No.: 49

Issue: 1

First page No.: 84

P-ISSN.2540-8313

E-ISSN.2540-8321

Doi: http://dx.doi.org/10.15562/medicina.v49i1.283

Illustrasi kasus

Page 8: Vol 49, No 1 (2018)

85Medicina 2018; 49(1): 84-91 | doi: 10.15562/Medicina.v49i1.283

ILLUSTRASI KASUS

congo red akan memperlihatkan deposit yang berwarna merah muda sampai merah.3 Amiloidosis bisa ditemukan secara lokal maupun sistemik dan dapat juga sebagai bagian primer ataupun sekunder dari suatu penyakit. Kelainan multi organ sering ditemui pada penderita amiloidosis. Amiloidosis biasanya mulai timbul pada dekade 5 sampai 6 dengan perbandingan pria : wanita adalah 3:1.

ILUSTRASI KASUS

Pasien dengan inisial WS, lelaki 49 tahun, datang ke poli THT-KL RSUP sanglah pada tanggal 6 Januari 2015 pukul 09.40 WITA dengan keluhan benjolan dileher sejak 3 tahun yang lalu yang sema-kin lama makin membesar, nyeri kepala sedikit dan hanya muncul kadang-kadang saja, riwayat mimisan tidak ada, pandangan ganda tidak ada,

telinga mendenging tidak ada, sesak tidak ada. Status general keadaan umum sedang, kesada-ran compos mentis. Tanda – tanda vital: Tekanan darah: 120/70 mmHg, Nadi: 84x/menit, Respirasi Rate: 20x/menit, temperatur : 36,5˚C.

Pemeriksaan di bidang THT-KL didapatkan telinga dalam batas normal, hidung dalam batas normal. Pada pemeriksaan rinoskopi posterior tampak adanya massa nasofaring kiri dan kanan, tengorok dalam batas normal. Pada pemeriksaan Leher kanan, tampak massa padat terfiksir setinggi level II-III ukuran 10x6x4 cm. Leher kiri, tampak massa padat terfiksir setinggi level II-III ukuran 10x6x4 cm. Pada pemeriksaan endoskopi didapa-tkan massa dengan permukaan yang licin, pada rosenmuller yang menutupi torus tubarius. Pada pemeriksaan MSCT Midface dan colli (pada tanggal 7 Maret 2015) Tampak massa solid densitas hetero-gen pada nasofaring kanan kiri (dominan kanan) yang pada pemberian kontras tampak heterogen contras enhancement. Tampak massa di nasofaring kanan dan kiri yang meluas ke orofaring, parafaring kanan kiri, mengobliterasi torus tubarius kanan kiri meluas ke sinus sphenoidalis, maksilaris, ethmoid-alis, frontalis kanan kiri dan kavum nasi kiri. Tampak pula KGB multiple pada colli kanan kiri dan supraklavikula kanan. Tidak tampak adanya erosi maupun destruksi tulang, tidak tampak pula deviasi septum nasi, orbita kanan dan kiri tampak normal, mastoid kanan dan kiri serta tulang kalvaria tampak normal.( Gambar 1)

Dilakukan Biopsi nasofaring (24 Maret 2015) di RSUP Sanglah, didapatkan hasil jaringan berupa material homogen eosinofilik dengan infiltrat sel plasma dengan diferensial diagnosis Amiloidosis. Pada tanggal 15 April 2015 dilakukan kembali biopsi nasofaring (15 April 2015) di RS Prima Medika Denpasar, didapatkan hasil histopatologi dengan diferensial diagnosis Localized Nasopharyngeal amyloidosis dan Nasopharing involvement of systemic amyloidosis. Dilakukan eksplorasi tumor sinonasal kiri dan kanan Open Biopsy KGB Coli kanan tanggal 12 Mei 2015 di RSUP Sanglah, Hasil histopatologi dengan histomorfologi sesuai untuk amyloidosis. Hasil laboratorium (tanggal 7 febru-ari 2015) Whole Blood Cell 7,9 10e3/µL; Neutrofil 68,8%; Eosinofil 2,7%; Hemoglobin 10; Platelet 669 10e3/µL; SGOT 19 U/L; SGPT 17 U/L; Albumin 3,4 g/dl; BUN 13,1 mg/dl; kreatinin 1,4 mg/dl; Natrium 136 mmol/L; Kalium 5,4 mmol/L. Pada pemeriksaan USG pada urologi kesan suatu nefritis bilateral, batu ginjal kanan tanpa bendungan. Kista ginjal kanan, pembesaran prostat dengan kalsifikasi. Di diagnosis sebagai chronic kidney disease suspect pyelonefritis, batu ginjal dekstra tanpa bendungan, dan BPH. Dilakukan pemeriksaan urine lengkap:

Gambar 1 CT Scan Wajah dan Leher. Massa solid densitas heterogen pada nasofaring kanan dan kiri (dominan kanan), pada pemberian kontras tampak heterogen contras enhancement. Tampak massa di nasofaring kanan dan kiri yang meluas ke orofaring, parafar-ing kanan kiri, mengobliterasi torus tubarius kanan kiri meluas ke sinus sphenoidalis, maksilaris, ethmoidalis, frontalis kanan kiri dan kavum nasi kiri

Page 9: Vol 49, No 1 (2018)

86 Medicina 2018; 49(1): 84-91 | doi: 10.15562/Medicina.v49i1.283

ILLUSTRASI KASUS

specific gravity 1,010, pH 6,5; leukosit 25; protein 75 (+2). Pada pemeriksaan rontgen foto thoraks kesan adanya peningkatan corakan bronkovaskuler,

hypererated lung dan fraktur lama pada os klavikula kanan 1/3 tengah. Gambar ini menunjukkan hasil dari pemeriksaan MSCT midface dan colli.

Gambar ini menunjukkan gambaran makrosko-pis biopsi jaringan nasofaring.

Hasil pemeriksaan makroskopis jaringan, Diterima didalam kontainer plastik 2 potong jaringan, dengan ukuran masing-masing 0,8×0,6×0,6 cm dan 0,8×0,4×0,4 cm. Bentuk tidak teratur, warna putih abu-abu dengan konsistensi kenyal. Semua jaringan diproses di dalam 1 kaset. ( gambar 2)

Gambaran dibawah ini menunjukkan gambaran mikroskopis dari jaringan biopsi nasofaring

Gambar di bawah ini menunjukkan gambaran mikrokopis dari jaringan biopsi dari nasofaring dan regio colli setelah diwarnai dengan pewarnaan congo red dan di lihat dibawah mikroskop dengan lensa polarized.

Gambar ini menunjukkan gambaran kontrol positif jaringan dengan pewarnaan congo red dan mikroskopis jaringan dilihat dengan menggunakan lensa polarisasi.

Hasil pemeriksaan mikroskopis sebagian besar jaringan berupa material homogen eosinofilik dan terdapat bahan amorf eosinofilik di sekitar dind-ing pembuluh darah. Kesimpulan histopatologi menyatakan bahwa secara histologi sesuai dengan amyloidosis lokal di nasofaring.

DISKUSI

Amyloid adalah suatu substansi protein yang patol-ogis, yang terdeposit diantara berbagai jaringan ikat dan organ pada tubuh.3 Etiologi dari amyloido-sis masih belum jelas.4 Amyloidosis bukan merupa-kan suatu entitas tersendiri tapi merupakan suatu kelainan dengan karakteristik berkelompok yang disebabkan deposit bahan amyloid tersebut.

Amyloidosis pertama kali ditemukan oleh Rokitansky pada tahun 1842.4 Pada tahun 1854 Rudolf Virchow menggunakan istilah amyloid. Meskipun penyakit ini telah ditemukan sejak bertahun-tahun, namun pengobatan terhadap amyloidosis baru berkembang sejak 15 tahun tera-khir. Pemeriksaan dengan mikroskop cahaya dan dengan pengecatan standar, akan terlihat gambaran amorph, eosinofilik, hyalin, substansi ekstraslular, dengan akumulasi yang progresif dan akan mende-sak dan menyebabkan atrofi jaringan sekitarnya. Di bawah mikroskop elektron amyloid terlihat sebagai fibril nonbranching yang luas dengan panjang yang tidak terbatas dan diameter 7,5 sampai 10 nm. Pemeriksaan dengan x-ray crys-talollography dan spectroscopy infrared menunjuk-kan gambaran sesuai dengan karakteristik cross-ß yang berupa lembaran berlipat. Untuk dapat

Gambar 2 Makroskopis Jaringan berupa potongan-potongan kecil, bentuk tidak teratur, warna putih abu-abu dengan konsistensi kenyal

Gambar 3 Hasil Pemeriksaan Mikroskopis A. Sebagian besar jaringan berupa material homogen eosinofilik B. Bahan amorf eosinofilik di sekitar dinding pembuluh darah

Gambar 4 A. Foto nasofaring, congo red (+), B. Dengan lensa polarisasi (memberikan hasil positif warna hijau kekuningan ‘apple-green birefringence’)

Page 10: Vol 49, No 1 (2018)

87Medicina 2018; 49(1): 84-91 | doi: 10.15562/Medicina.v49i1.283

ILLUSTRASI KASUS

membedakan amyloid dari deposit hyalin lain seperti kolagen, fibrin yaitu dengan menggunakan teknik histokimia, dengan menggunakan penge-catan congo red, yang akan memberikan warna merah muda sampai merah bila dilihat dibawah mikroskop cahaya, kemudian lebih spesifik bila di lihat dibawah mikroskop polarisasi akan memper-lihatkan warna green birefringence.3

Amiloid menempati posisi ekstraseluler dan tidak dimetabolisme oleh tubuh dimana progresi-fitas dari amiloid akan merubah fungsi dari organ yang ditumpangi dan dapat terjadi secara sistemik atau lokal.4 Sekitar 20% amyloidosis melibatkan daerah kepala dan leher. Amiloidosis nasofaring sangat jarang, hanya 3% kasus yang dilaporkan pada kepala dan leher, dan umumnya berasosiasi dengan penyakit lokal. Sangat sedikit literatur yang melaporkan kasus ini. 5,6 Menurut review Hammami dkk, insiden amyloidosis terjadi pada usia 10-86 tahun, dengan usia rata-rata 52,36 tahun, dimana lelaki dilaporkan lebih sering daripada wanita.6

Secara klinik dan lokasi, amyloidosis dibagi menjadi amyloidosis lokal dan sistemik. Amyloidosis lokal hanya mengenai satu jaringan dan siste-mik bila mengenai lebih dari satu organ atau

jaringan. Amyloidosis juga di bagi menjadi amyloi-dosis primer, sekunder, dan familial.4 Amyloidosis primer merupakan suatu keadaan sistemik yang tidak diketahui penyebabnya atau tidak diketahui penyakit yang mendasari, sedangkan amyloido-sis sekunder terjadi karena suatu keadaan atau penyakit yang mendasari, biasanya berhubungan dengan inflamasi yang kronis seperti tuberkulosis dan rheumatoid arthritis, termasuk juga pasien dengan multiple myeloma, dimana 10-20% penyakit ini berhubungan dengan amyloidosis.6 Amyloidosis familial, merupakan jenis amyloidosis yang jarang terjadi (di bawah 2%) dan berhubungan dengan gangguan autosomal recessive.

Amyloidosis sistemik dibagi menjadi AL (Amyloidosis Light Chain), AF (Amyloidosis Familial) dan AA (Amyloidosis Associated).7 Amyloidosis juga diklasifikasikan menjadi beberapa jenis, yaitu imunocyte dyscrasias with amyloidosis (primary amyloidosis), reactive systemic amyloido-sis, hemodialysis-associated amyloidosis, heredofa-milial amyloidosis, localized amyloidosis, endocrine amyloidosis, dan amyloid of aging.3 Tipe AL dikenal pula sebagai primer amyloidosis. Tipe ini merupa-kan tipe yang paling sering terjadi

Amyloidosis merupakan penyakit yang dise-babkan oleh deposisi protein didalam ruangan ekstraseluler dalam bentuk fibril larut. Deposit amiloid dapat terjadi di jaringan dimanapun. Amyloidosis sistemik atau general, disubklasifi-kasikan menjadi amyloid primer, muncul karena adanya deposit monoklonal insoluble imunoglob-ulin light (L) atau L-chain fragmen pada berbagai jaringan termasuk jaringan otot polos, jaringan ikat, dinding pembuluh darah dan nervus periper. L-chain ini akan disekresikan di serum. Tipe AL ini merupakan tipe yang sering terjadi. 5-15% pasien dengan amyloidosis sistemik terjadi pada multiple myeloma, tumor dengan karakteristik sel plasma pada lesi multiple osteolitik yang terjadi pada sistem skeletal. Hampir seluruh pasien dengan myeloma dengan amyloidosis, akan ditemukan Bence jones protein pada serum dan protein.3

Dalam bentuk sistemik, protein prekursor disintesa oleh satu atau lebih jaringan seperti sumsum tulang, hati, mukosa usus dan kelenjar getah bening. Kemudian protein prekursor tersebut diangkut melalui darah ke daerah lain dari tubuh dimana deposit amiloid dapat terbentuk. Oleh karena itu semua organ yang memiliki pembu-luh darah termasuk hati, ginjal, jantung, otot dan traktus gastrointestinal dikelompokkan kedalam amyloidosis sistemik.

Tipe AL amyloidosis terkait dengan diskrasia sel plasma yang berarti kondisi abnormal sel-sel darah. Sedangkan fibril amiloid dibentuk oleh kelompok

Gambar 5 A. Biopsi dari regio coli, Congo red (+). B. Dengan lensa polarisasi (memberikan hasil positif warna hijau kekuningan ‘apple-green birefringence’)

Gambar 6 A. Kontrol (+) jaringan dengan pewarnaan congo red. B. Kontrol(+) jaringan dengan pewarnaan congo red, dilihat den-gan lensa polarisasi

Page 11: Vol 49, No 1 (2018)

88 Medicina 2018; 49(1): 84-91 | doi: 10.15562/Medicina.v49i1.283

ILLUSTRASI KASUS

sel plasma yang berada di sumsum tulang yang terdiri dari immunoglobulin protein rantai ringan. Fibril amiloid dapat mempengaruhi semua organ dalam tubuh. Organ yang paling umum terkena adalah ginjal, jantung, hati, dan saraf perifer. Tipe AL amiloidosis adalah penyakit langka, sekitar 3000 kasus baru dilaporkan setiap tahun di Amerika Serikat. Dua pertiga pasien yang menderita amiloi-dosis dengan jenis AL adalah lelaki dan kurang dari 5% dari pasien berada di bawah 40 tahun.5,7

Tipe AL protein berasal dari imunoglobulin light chain komplet, dapat pula merupakan merupakan suatu amino-terminal fragments dari ligth chain, atau keduanya. AL Protein tersusun atas λ (lamda) ligth chain atau dari pecahannya, tetapi pada beber-apa kasus к (kappa) chains dapat teridentfikasi. Protein amyloid fibril pada tipe AL ini akan mepro-duksi Ig ligth chain bebas yang akan disekresikan oleh suatu populasi monoklonal dari sel plasma. AL amyloidosis juga berasosiasi dengan kelainan B-cell klonal yang walaupun kebanyakan pasien tidak memiliki riwayat multiple myeloma yang jelas.

Tipe AA amiloidosis terjadi akibat adanya peradangan kronik atau infeksi kronik seperti rheumatoid arthritis, osteomyelitis, tuberkolosis dan peradangan lainnya. Tipe AA sering disebut sebagai amyloidosis sekunder.

Sedangkan AF amyloidosis jarang terjadi (kurang 2%), dengan kejadian diperkirakan kurang dari 1 per 100.000. Merupakan autosomal domi-nan yang berarti bahwa anak dari orang tua yang terkena memiliki kesempatan 50% mewarisi sifat genetik yang menyebabkan penyakit. Meskipun gen abnormal pembentuk protein amiloid sudah ada sejak lahir, tetapi deposit amiloid tidak langsung terbentuk dan dapat terbentuk pada pertengahan kehidupan. Amyloidosis AF yang paling umum disebabkan oleh mutasi protein transthyretin. Amyloidosis kongenital lainnya disebabkan oleh mutasi gen yang diwariskan di apolipoprotein, cystatin C, fibrinogen Aa atau lisozim.5,7 Tipe AF dapat ditegakkan dengan pemeriksaan isoelectric focusing pada serum penderita.

Pada amyloidosis lokal deposit terlokalisir pada satu organ atau jaringan ikat tanpa melibatkan bagian lain dari tubuh. Deposit berupa massa nodu-lar yang terlihat pada pemeriksaan mikroskopik. Sering ditemukan pada paru, laring, kulit, kandung kencing dan lidah. Disamping itu dapat terlihat adanya infiltrasi limfosit dan sel plasma di bagian periper massa amyloid, adanya infiltrasi sel mono-nuklear sebagai respon adanya bahan amyloid. Amyloidosis ini sering berhubungan dengan orang-orang diabetes tipe II, karsinoma tiroid atau sistem endokrin dan lebih banyak ditemukan pada usia diatas 40 tahun. Perbandingan amyloidosis sistemik

dengan lokal adalah 9:1.5,8 Amyloidosis juga bera-sosiasi dengan berbagai penyakit. Amyloidosis sistemik berasosiasi dengan multiple myeloma, suatu chronic inflammatory dan chronic renal fail-ure. Sedangkan localized amyloidosis berasososiasi dengan keadaan penyakit alzhaimer dan diabetes tipe II.3

Manifestasi amyloidosis lokal pada daerah kepala dan leher dapat ditemukan pada kelenjar tiroid, rongga mulut, telinga, hidung dan sinus paranasal, orofaring sampai esophagus, laring dan kelenjar ludah. Tidak dijumpai lokasi spesifik dari nasofar-ing untuk angka kejadian amiloidosis lokal, bahkan semua bagian dari nasofaring dapat terkena. Pada amyloidosis nasofaring selalu lokal tapi dapat juga menjadi bagian dari penyakit sistemik atau menjadi sekunder dari penyakit yang mendasari atau akibat dari proliferasi tumor.5,8

Diagnosis amyloidosis ditegakkan dari anamne-sis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang. Untuk mendiagnosis amiloidosis sistemik harus diingat amiloidosis dapat tumbuh di berbagai organ sehingga memberikan gambaran beberapa sindroma penyakit. Adanya gambaran berbagai kelainan sistem organ meningkatkan kecurigaan adanya suatu amyloidosis, khususnya dengan ditemukan kardiomiopati, protein urea, nefropati dan kelainan hati. Diagnosis ditegakkan dengan biopsi jaringan yang terkena, jika organ yang terkena seperti jantung, ginjal, hati dan saraf yang sulit dilakukan biopsi, maka tindakan biopsi pada usus secara acak pada usus besar, lambung dan usus dua belas jari dapat memberikan jawaban 70-80% kasus.

Ketika dicurigai suatu amyloidosis di kepala dan leher, penting untuk dapat menyingkirkan suatu amyloidosis sistemik dengan melibatkan regio kepala dan leher, pada pemeriksaan klinis. Kemungkinan adanya suatu amyloidosis sistemik harus dapat disingkirkan dengan anamnesis dan pemeriksaan fisik yang detail, data laboratorium seperti pemeriksaan serum elektroforesis, pemer-iksaan elektrokardiografi, sonografi abdominal. Beberapa penulis juga menyarankan biopsi dari gingiva, lidah, hati, ginjal dan mukosa rektum bila sangat dicurigai adanya suatu amyloidosis sistemik.4

Amyloidosis lokal memberikan gejala yang sesuai dengan daerah tumbuhnya. Amyloidosis pada trak-tus aerodigestivus bawah sangat jarang, terutama pada nasofaring, sedikit sekali data yang dapat diperoleh. Amyloidosis pada laring merupakan lokasi yang tersering (60%), dengan insiden antara umur 5-6 dekade tanpa tanda yang jelas, sebagian besar pasien mengeluhkan adanya suara serak yang berlangsung lama dan dapat disertai timbulnya keluhan sesak nafas. Selain keluhan tersebut pasien

Page 12: Vol 49, No 1 (2018)

89Medicina 2018; 49(1): 84-91 | doi: 10.15562/Medicina.v49i1.283

ILLUSTRASI KASUS

juga mengeluh rasa mengganjal, epistaksis dan nafas berbunyi. Sedangkan amyloidosis pada naso-faring lebih jarang (3%). Berat ringan nya keluhan disebabkan oleh faktor mekanik yang tergantung dari lokasi dan ukuran dari amyloidosis. Deposisi amiloid dapat menyebabkan kesulitan saat berna-fas dan menelan,6 dan bila massa berukuran besar dapat menyebabkan gejala obstruksi. Pada pemer-iksaan laringoskopi tampak massa dengan permu-kaan yang licin dan dapat tumbuh dimana saja baik di supraglotis, glotis ataupun di subglotis.9,10

Amyloidosis pada ginjal adalah yang terser-ing dan menyebabkan gangguan yang serius. Secara makroskopis, ginjal dapat menunjukkan ukuran dan warna yang normal. Pada kasus yang telah lanjut, ginjal mungkin tampak kisut karena terjadinya ischaemia yang disebabkan oleh karena penyempitan vaskularisasi akibat deposit amyloid pada pada dinding arterial dan arteriol. Secara histologis, deposit amyloid primer terdapat pada glomerulus.

Pengambilan jaringan tumor dengan cara biopsi menjadi standar baku untuk menegakkan diagnosis dari amiloidosis.

Amyloidosis adalah suatu substansi protein patologis dan terdeposit di antara berbagai jaringan ikat dan organ pada tubuh. Sekitar 20% dari angka kejadian amyloidosis melibatkan bagian kepala dan leher. Amyloidosis nasofaring sangat jarang dan sedikit sekali literatur yang melaporkan tentang amyloid pada nasofaring. Lokasi tersering terjadi pada laring. Pada laporan kasus ini pasien adalah seorang lelaki dengan umur 49 tahun. Menurut review Hammami dkk, insiden amyloidosis terjadi pada usia 10-86 tahun, dengan usia rerata 52,36 tahun, dimana lelaki dilaporkan lebih sering daripada wanita.6

Keluhan awal pasien ini adalah keluhan benjolan dileher sejak 3 tahun yang lalu yang semakin lama makin membesar, nyeri kepala sedikit dan hanya muncul kadang-kadang. Gejala klinik yang terjadi pada amyloidosis berhubungan dengan lokasi munculnya deposit atau organ yang terlibat.4 Pada amyloidosis nasofaring umumnya akan memberi-kan gejala berupa epistaksis yang rekuren, postnasal drip, sumbatan nasal dan disfungsi dari tuba eusth-aci.4 Perkembangan penyakit pasien ini berlangsung lambat, dari timbulnya suara serak sampai sesak nafas membutuhkan waktu selama 1 tahun. Keluhan pasien amyloidosis nasofaring berupa kesulitan saat bernafas dan menelan, pada massa yang beruku-ran besar akan menimbulkan gejala obstruksi.6,13 Keterlibatan ginjal dapat dicurigai ditandai dengan adanya gambaran deposit amyloid pada glomerulus, mesangium dan capillary loop.

Secara makroskopis didapatkan potongan jarin-gan kecil berwarna putih abu-abu dan konsistensi

kenyal. Secara general jaringan akan terlihat berwarna kekuningan atau putih polypoid, dengan konsistensi kenyal padat.6 Secara mikroskopis didapatkan gambaran jaringan yang sebagian besar berupa material homogen eosinofilik dan terdapat bahan amorf eosinofilik di sekitar dinding pemb-uluh darah. Diagnosis amyloidosis dapat diperoleh dari tanda dan gejala klinis namun untuk penega-kkan diagnosis yang pasti, uji yang lebih spesifik harus dilakukan. Biopsi yang kemudian diikuti dengan pewarnaan congo red merupakan alat diag-nostik yang paling penting dalam mendiagnosis amyloidosis. Biopsi umumnya diperoleh dari organ yang dicurigai mengandung amiloid.

Bagaimanapun jenis gambaran klinisnya, amyloidosis dapat jelas ataupun tidak jelas pada pemeriksaan mikroskopis. Sering kali endapan amiloid dalam jumlah yang kecil tidak dike-nali sampai permukaan dari pemotongan organ tersebut diwarnai dengan iodium dan asam sulfat yang menghasilkan warna coklat mahoni.3 Jika amiloid terakumulasi dalam jumlah besar, secara makroskopik akan terlihat organ sering kali membesar dan jaringan tampak berwarna abu-abu pucat, konsistensi kenyal dan   berkilat seperti lilin.3,14 Secara histologis, pengendapan amiloid selalu dimulai di antara sel, yang sering kali berdekatan dengan membrana basalis. Karena terakumulasi, amiloid akan mengganggu sel yang kemudian akan mengitari dan merusak sel.

Diagnostik mikroskopik amiloid hampir seluruhnya berdasarkan atas karakteristik pewar-naannya. Teknik pewarnaan yang paling umum digunakan adalah zat warna congo red, yang meng-hasilkan warna merah muda atau merah pada endapan amiloid di bawah pencahayaan biasa. Dibawah pencahayaan yang terpolarisasi, amiloid yang diwarnai dengan congo red menunjukkan suatu yang disebut pembiasan ganda hijau apel.  Reaksi ini diberikan oleh semua bentuk amiloid yang disebabkan oleh susunan yang berlipat-lipat dari β fibril amiloid.3 Segala jenis amiloid, dengan pewarnaan hematoksilin dan eosin (H&E) akan tampak warna merah muda yang homogen. Dengan metil violet, amiloid menampilkan metakromasi, berwarna merah muda.4 Dengan mikroskop elek-tron dapat diperoleh ketegasan gambar, yang menunjukkan adanya fibril tipis tidak terarah yang amorf.3 Diagnosis amyloidosis lokal dapat merupa-kan bagian dari amyloidosis sistemik karena didapatkan deposit amyloid tidak hanya terdapat ada nasofaring tetapi meluas sampai ke regio colli dan di tambah penunjang lainnya, pemeriksaan congo red.

Pada pasien ini terdapat kelainan pada fungsi ginjal, dimana didapatkan hasil pemeriksaan urinalisa adanya protein 2+, hasil laboratorium

Page 13: Vol 49, No 1 (2018)

90 Medicina 2018; 49(1): 84-91 | doi: 10.15562/Medicina.v49i1.283

ILLUSTRASI KASUS

BUN 13,1; kreatinin 1,4; USG ginjal didapatkan suatu nefritis bilateral, batu ginjal kanan tanpa bendungan. Kista ginjal kanan, pembesaran pros-tat dengan kalsifikasi. Seperti dijelaskan sebelum-nya, ginjal merupakan organ yang sering terlibat pada suatu amyloidosis. Pemeriksaan makroskopis ginjal dapat menunjukkan ukuran dan warna yang normal. Pengambilan jaringan tumor dengan cara biopsi menjadi standar baku untuk menegakkan diagnosis dari amyloidosis pada ginjal. Pada pasien ini belum dilakukan biopsi ginjal, karena tindakan ini merupakan tindakan yang invasif dan dapat menyebabkan perdarahan.

Belum ada pengobatan untuk amyloidosis siste-mik. Penyebab kematian dari suatu amyloidosis sistemik salah satunya adalah akibat gagal ginjal. Kesimpulan pada pasien ini di diagnosis dengan amyloidosis lokal sistemik nasofaring. Beberapa jenis terapi diberikan untuk mengobati amyloi-dosis, mulai medikamentosa berupa pemberian deksametason, radioterapi dan pembedahan eksisi tumor.8

Beberapa jenis terapi diberikan untuk mengo-bati amyloidosis mulai dari medikamentosa berupa pemberian deksametason, radioterapi dan terapi pembedahan. Dabholkar dkk melaporkan pasien dengan sumbatan jalan nafas dan dilakukan tinda-kan trakeostomi untuk mempertahankan jalan nafas.15 Pembedahan secara konservatif dilakukan untuk mempertahankan fungsi dari nasofaring dan bila tidak memungkinkan dapat dilaku-kan pembedahan radikal. Akhir-akhir ini terapi pembedahan untuk eksisi tumor amiloidosis meng-gunakan bedah laser CO2. Perlu monitoring terus menerus untuk mengamati kejadian kekambuhan penyakit. Kekambuhan mungkin terjadi setelah 5-7 tahun.8 Pasien ini telah menerima terapi yang sifatnya simptomatik, berupa paracetamol 6×500mg, codein 6×10 mg, vitamin B kompleks 2×1 tablet dan vitamin C 1×1 tablet.

Masih belum ada pengobatan untuk suatu amyloidosis sistemik. Kematian pada amyloido-sis sistemik disebabkan karena gagal ginjal dan jantung. Umumnya amyloidosis lokal mempunyai prognosis yang lebih baik.4

Pada pemeriksaan USG pada urologi kesan suatu nefritis bilateral, batu ginjal kanan tanpa bendungan. Kista ginjal kanan, pembesaran pros-tat dengan kalsifikasi. Di diagnosis sebagai chronic kidney disease suspect pyelonefritis, batu ginjal dekstra tanpa bendungan, dan benign prostate hyperplasia. Dilakukan pemeriksaan urine lengkap: specific gravity 1,010, pH 6,5; leukosit 25; protein 75 (+2). Ginjal merupakan organ yang sering terkait dengan dengan AL dan AA, pada pasien ini perlu dilakukan pemeriksaan biopsi ginjal

untuk dapat mengidentifikasi suatu bahan amyloid. Namun perlu diperhatikan resiko perdarahan pada prosedur tersebut akibat meningkatnya fragili-tas pembuluh darah pada amyloidosis.15 Bahan amyloid tersebut dapat ditemukan pada seluruh bagian dari ginjal tetapi paling sering didapatkan pada glomerulus.15

Proteinuri dapat merupakan suatu tanda seseo-rang dengan renal amyloidosis, ditandai dengan protein urine berkisar 20-30 mg/dl.15 Amyloidosis dapat memperlihatkan pembesaran ukuran ginjal, namun pada beberapa pasien menunjukkan ukuran ginjal yang normal, karena itu diperlukan pemerik-saan yang lebih lanjut, dengan pemeriksaan biopsi ginjal.

Pasien ini di diagnosis sebagai amyloidosis lokal dapat merupakan bagian dari amyloidosis sistemik karena didapatkan deposit amyloid tidak hanya terdapat ada nasofaring tetapi meluas sampai ke regio colli dan di tambah pemeriksaan congo red.

Pada pasien ini belum dapat dibuktikan adanya diagnosis pasti dari amyloidosis sistemik, hal ini disebabkan karena belum dilakukan beberapa pemeriksaan yang menunjang kearah suatu amyloi-dosis sistemik. Pasien ini masih dalam penelusuran dalam penegakkan diagnosis dan saat ini tidak ada terapi spesifik untuk kondisi amyloidosis. Untuk menegakkan suatu amyloidosis tipe AL pasien ini harus melakukan pemeriksaan monoklonal imuglobulin protein dari darah maupun urine, serta pemeriksaan bone marrow. Belum diketahui dengan pasti faktor yang menyebabkan deposit amyloid pada organ.

SIMPULAN

Telah dilaporkan pasien lelaki umur 49 tahun dengan diagnosis amyloidosis lokal dengan adanya keterlibatan amyloidosis sistemik. Amyloidosis disebabkan karena adanya penumpukan protein pada daerah ekstraseluler yang tumbuh lambat yang berupa penyakit multifokal yang bisa didapa-tkan secara lokal maupun sistemik dan dapat juga sebagai bagian primer ataupun sekunder dari suatu penyakit. Diagnosis amiloidosis dibuat berdasar-kan pemeriksaan histologi, laboratorium, radiologi, dan untuk menyingkirkan amiloidosis sistemik dapat dilakukan pemeriksaan monoklonal imuno-globulin protein dari serum atau darah penderita, pemeriksaan bone marrow. Untuk mengetahui adanya keterlibatan renal amyloidosis pengambilan jaringan tumor dengan cara biopsi menjadi standar baku untuk menegakkan diagnosis. Pasien ini masih dalam penelusuran untuk penegakkan diagnosis dan saat ini tidak ada terapi spesifik untuk kondisi amyloidosis.15 Kasus ini menarik untuk diketahui

Page 14: Vol 49, No 1 (2018)

91Medicina 2018; 49(1): 84-91 | doi: 10.15562/Medicina.v49i1.283

ILLUSTRASI KASUS

karena amyloidosis nasofaring masih merupakan penyakit yang jarang terjadi, dan walaupun sudah dikenal bertahun-tahum, namun pengobatannya baru berkembang dalam limabelas tahun terakhir, sehingga masih sedikit literatur yang membicara-kan mengenai amyloidosis, khususnya di Indonesia.

DAFTAR PUSTAKA1. Monrad S.U. dkk. Amyloidosis, Transthyretin-Related,2014.

Di akses dari pada tanggal 17 Juli 2015. Di unduh dari http://.www.emedicine.com.

2. Kumar V. dkk. Robbins Basic Pathology, 7th ed, Saunders Elsevier, Philadelphia, 2005, p 166-71.

3. Tung tsai Yu, Ming Huang-Chih, Localized Nasopharyngeal Amyloidosis - Case report , Departemen of Otolaryngology, Taiwan, 2005; 17.353-55

4. Karimi Kian, Chheda N Neil, Nasopharingeal Amyloidosis: A case report, University of Florida, Departement of oto-laryngology-Head and neck surgery, 2010. Di akses pada tanggal 21 juli 2015. Di unduh dari www.researchgate.net.

5. Hammami boutani, Mnejja Malek, Localize ENT Amyloidosis- Literature Overview, University Hospital Tunisia. 2011. Di akses pada tanggal 17 Juli 2015. Di unduh dari www.intechopen.com .

6. Merrill DB. Amyloidosis. Encyclopedia of Life Sciences. 2011. Di akses pada 17 juli 2015.Diunduh dari: http://www.iupui.edu/~amyloid/benson.html

7. Jacques TA, Gadding C, Hawkin. Head and Neck mani-festation of Amyloidosis. Journal of Otorhinolaryngology, 2013; 6(1): 35-40

8. Ferhat B, Turgay U, Ismail L, Ilyas O, Imran S. Primary localize laryngeal amyloidosis: A case report. J Pak Med Assc, 2013; 63(3): 385-6.

9. Nishi S, Payal M, Sonkhya D, Raghav M. Localized laryn-geal amyloidosis: A case report. Journal of Medicene and Medical Sciences 2012; 1(3): 45-8.

10. Rodrigues R, Figueiredo, Adreia. Isolated laryngeal amy-loidosis nodular: a case report. 2010. Di akses pada 23 mei 2015. Diunduh dari: http://www.arquivosdeorl.org.br/conteudo/acervo_eng.asp?id=694 .

11. Ionis Y, Alexandros G, Charalabopoulos A, Panagiotis H. primary localized laryngeal amyloidosis presenting with hoarseness and dysphagia: a case report. 2012. Di akses pada 12 juni 2015. Diunduh dari:http://wwwjmedicacas-ereports.com/jmedicalcasereports/article/view/9049

12. Mc cluney neil, amyloidosis of The nasopharynx: unexpected cause of unilateral midle ear effusion, 2015. Di akses pada 23 Juli 2015. Di unduh dari http://www.reseachgate.net/publication/51793971.

13. Chandrasoma P, Taylor CR. Ringkasan Patologi Anatomi (Concise Pathology), Edisi 2, EGC, Bandung, 2006, hal 28-31.

14. Dabholkar J, Mukesh M, Kumar A, Arpit S. Primary exo-phytic laryngeal amyloidosis presenting as sudden airway obstruction. Indian Journal Otolaryngology Head and Neck Surgery. 2007; 59: 357-9.

15. Dember LM, Amyloidosis-associated kidney disease, jour-nal of the american society of nephrology. 2006 ; vol 17. No 12:3458-71

This work is licensed under a Creative Commons Attribution