204

Vol 8 no 4.pdf

  • Upload
    lykien

  • View
    273

  • Download
    9

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: Vol 8 no 4.pdf
Page 2: Vol 8 no 4.pdf
Page 3: Vol 8 no 4.pdf

Daftar Isi

Pemaknaan Fî sabîlillâh sebagai Mustahik Zakat menurut Ulama Kontemporer The Meaning of Fî sabîlillâh as a Mustahiq Zakat according to Contemporary Ulama — 609Siti Tatmainul Qulub & Ahmad Munif

Peruntukan Wakaf dalam Peraturan Perundang-Undangan dan Kaitannya dengan Wakaf ProduktifThe Designation Waqf in Law Regulation and The Relation with Productive Waqf — 633Nurkaib

Pertumbuhan Aset Wakaf dan Dilema ProduktifitasThe Growth Asset and Productivity Dilemma — 659Zainul Arifin

Zakat Profesi: Kajian Hukum Islam dari Ulama Klasik Hingga Ulama KontemporerZakat Profession: Islamic Legal Studies from Classical Ulama until Contemporary Ulama — 685Naif

Arah Baru Kebijakan Publik: Studi KasusPemberdayaan ZakatThe New Directions of Public Policy: Case Study of Zakat Empowerment — 709Angga Marzuki dan Ibnu Qomar

Infâq Menurut Perspektif Al-Qur’anInfaq According to the Qur’an Perspective — 747Sulaiman Ibrahim

Page 4: Vol 8 no 4.pdf

Jurnal Bimas Islam Vol.8 No.I 2015

Konsep Good Governance dalam Pandangan Al-GhazaliConcept of Good Governance in the View of Al-Ghazali — 773Uup Gufron

Page 5: Vol 8 no 4.pdf

Pemaknaan Fî sabîlillâh sebagai Mustahik Zakat menurut Ulama Kontemporer _609

The Meaning of Fî sabîlillâh as a Mustahiq Zakat according to Contemporary Ulama

Pemaknaan Fî sabîlillâh sebagai Mustahik Zakat menurut Ulama Kontemporer

Siti Tatmainul Qulub & Ahmad MunifUIN Walisongo Semarang

email : [email protected]

Abstract:

This paper is trying to describe the perspective of contemporary ulama about fî

sabîlillâh as one of the mustahiq zakat. Because the word “fi sabilillah” still appears

globally. From the study of a variety of literature, we concluded that contemporary

ulama try to interpret the word fi sabilillah to fit in the present context. With these

meanings, zakat is expected to be distributed into development aspects of education,

civilization, and culture of Islam

Abstraksi:

Tulisan ini mencoba menggambarkan perspektif ulama kontemporer mengenai “fî

sabîlillâh” sebagai salah satu mustahiq zakat. Sebab kata “fî sabîlillâh” masih tampak

global. Dari kajian terhadap beragam literature, diperoleh kesimpulan bahwa ulama

kontemporer mencoba memaknai kata fî sabîlillâh agar sesuai dengan konteks kekinian.

Dengan pemaknaan tersebut, zakat diharapkan juga bisa disalurkan untuk aspek-

aspek pengembangan pendidikan, peradaban, dan kebudayaan Islam.

Keywords: fî sabîlillâh, contemporary, zakat

Page 6: Vol 8 no 4.pdf

610_Jurnal Bimas Islam Vol.8. No.IV 2015

A. Pendahuluan

Zakat merupakan instrumen khas dalam agama Islam. Sebagaimana eksistensi perintah zakat dalam al-Qur’an yang mayoritas beriringan dengan perintah menegakkan salat. Di samping berdimensi ibadah mahdah yang bersifat vertical, zakat sangat kental dengan dimensi sosial yang terasa horizontal. Dimensi sosial itu tampak nyata bahwa zakat diwajibkan seorang muslim yang dikategorikan berkecukupan hartanya untuk didistribusikan kepada orang lain yang masuk kategori mustahiq zakat.1 Itulah sebab mengapa zakat dilabeli ibadah maliyah ijtima’iyyah yang memiliki posisi sangat penting, strategis, dan menentukan, baik dari sisi ajaran maupun dari sisi pembangunan kesejahteraan umat. Yang sekali lagi, di samping merupakan ibadah berdimensi mahdhah, zakat juga berdimensi sosial.2

Salah satu dari delapan asnaf yang ditentukan al-Qur’an dan hadis adalah kategori fî sabîlillâh. Berbeda dengan tujuh asnaf lain yang jelas kedudukannya, fî sabîlillâh terasa tampak global dan belum jelas kepada siapa dan apa ia ditunjukkan. Ini mungkin dikarenakan kata fî sabîlillâh seakan tidak (bisa) berdiri sendiri. Kata fî sabîlillâh yang secara literal bermakna di jalan Allah seperti membutuhkan pendamping.

Hal tersebut di atas yang kemudian juga menjadikan ahli tafsir maupun ulama fiqh berbeda-beda dalam memaknai term fî sabîlillâh sebagai mustahiq zakat. Kepada siapa sejatinya fî sabîlillâh ini ditujukan. Ulama salaf mayoritas memaknainya sebagai jihad fî sabîlillâh, yang kemudian mengerucut kepada mereka yang berjuang dalam arti fisik berperang dan orang yang kehabisan bekal untuk berhaji. Jika ditilik dari latar kehidupan ulama salaf pada saat itu di mana Islam yang masih harus berperang dengan non-Islam, dengan beragam persoalannya, pemaknaan fî sabîlillâh yang lebih condong kepada makna orang yang berjuang menegakkan Islam dengan mengangkat senjata mungkin cukup beralasan.

Waktu pun terus bergulir, dan eksistensi Islam di era modern ini berbeda jauh dengan eksistensi Islam yang dijalani ulama salaf. Hal ini

Page 7: Vol 8 no 4.pdf

Pemaknaan Fî sabîlillâh sebagai Mustahik Zakat menurut Ulama Kontemporer _611

yang secara langsung maupun tidak memberi pengaruh kepada ulama kontemporer (modern) dalam memaknai fî sabîlillâh sebagai mustahik zakat. Meskipun angkat senjata masih ada, tapi berbeda dengan angkat senjata pada zaman dulu, dan tantangan yang dihadapi Islam secara umum juga sudah berbeda dengan zaman ulama salaf dulu.

Berangkat dari gambaran di atas, dalam tulisan ini, penulis berusaha menguak pemaknaan kategori fî sabîlillâh sebagai mustahik zakat menurut ulama kontemporer. Dan karena keterbatasan ruang tulisan, tidak semua ulama kontemporer akan dimasukkan di sini. Karena untuk itu butuh ruang yang besar.

Tulisan ini merupakan library research. Data yang digunakan untuk tulisan ini, diperoleh dengan metode kepustakaan. Data dicari dari berbagai sumber berupa teks yang memberikan informasi terkait tulisan ini. Setelah data terkumpul kemudian dianalisis dengan metode deskriptif analisis untuk mencari simpul-simpul yang selaras dari keseluruhan data yang ada. Hingga akhirnya mengerucut pada kesimpulan.

B. Ihwal Ulama Kontemporer

Tidak ada definisi yang pasti siapa dan apa itu ulama. Kata ulama yang diserap dari bahasa Arab, merupakan bentuk plural dari kata tunggal ‘alim yang berarti orang yang berilmu atau mengetahui.3 Secara umum dipahami sebagai orang yang paham, mengerti, menggeluti, dan mendalami agama Islam. Ulama dijadikan rujukan oleh masyarakat awam terkait persoalan keagamaan.

Sayid Qutb mendefinisikan ulama sebagai orang-orang yang memikirkan dan memahami kitab al-Qur’an.4 Sementara Dawam Rahardjo menyebut ulama paling tidak harus memenuhi tiga kriteria; sebagai pengemban tradisi agama, orang yang paham hukum Islam, dan sebagai pelaksana hukum fiqh.5 Dan oleh Hiroko Horikoshi, seorang ulama harus berperan untuk memikirkan nasib rakyatnya, dan sebagai penanggung jawab dalam pengajaran ilmu-ilmu agama dan melestarikan praktek-praktek ortodoksi keagamaan para penganutnya.6

Page 8: Vol 8 no 4.pdf

612_Jurnal Bimas Islam Vol.8. No.IV 2015

Dari perspektif pendefinisan di atas, di Indonesia penyebutan ulama di beberapa daerah memiliki sebutan yang khas, seperti kyai (Jawa), ajengan (Sunda), tengku (Aceh), syeikh (Sumatera Utara/Tapanuli), dan tuan guru (Nusa Tenggara/Kalimantan).7

Namun demikian tidak ada yang memiliki otoritas penuh untuk mengangkat atau mengklaim kategori ulama ini. Meskipun hampir seluruh negara yang berpenduduk mayoritas Islam memiliki lembaga khusus yang mewadahi ulama. Misalnya Majlis Ulama Indonesia (MUI) di Indonesia.

Lalu siapa ulama kontemporer? Kata kontemporer oleh kamus bahasa Indonesia dimaknai dengan pada waktu atau masa yang sama; pada masa kini.8 Kata ini hampir mirip dengan kata modern yang berarti terbaru; mutakhir; sikap dan cara berpikir serta cara bertindak sesuai dengan tuntutan zaman.9

Berangkat dari asumsi kata kontemporer yang hampir semakna dengan kata modern, ulama kontemporer yang dimaksud di tulisan ini adalah ulama yang hidup di era modern. Meminjam dari istilah pembabakan sejarah Islam versi Harun Nasution, Islam modern adalah Islam yang terhitung sejak tahun 1800-an sampai sekarang.10 Dengan demikian, ulama kontemporer yang dimaksud dalam tulisan ini adalah ulama yang lahir dan hidup setelah tahun 1800 M sampai sekarang.

C. Tentang Mustahiq Zakat

Sumber utama hukum Islam, al-Qur’an dan hadis, pendapat sahabat, tabiin, ulama salaf hingga kontemporer menyebutkan bahwa kehadiran zakat sebagai salah satu alat filantropi dalam Islam. Yakni harta zakat yang terkumpul dari muzaki (orang yang wajib membayar zakat) akan dibagikan kepada orang yang berhak (mustahiq). Ketentuan utama mustahik zakat sudah disebutkan secara tegas dalam QS. al-Taubah ayat 60;

Page 9: Vol 8 no 4.pdf

Pemaknaan Fî sabîlillâh sebagai Mustahik Zakat menurut Ulama Kontemporer _613

“Sesungguhnya zakal-zakat itu, hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat, para mu’allaf yang dibujuk hatinya, untuk (memerdekakan) budak, orang-orang yang berhutang, untuk jalan Allah, dan untuk mereka yuang sedang dalam perjalanan, sebagai suatu ketetapan yang diwajibkan Allah, dan Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana.”

Ayat di atas menyebutkan bahwa mustahik zakat terdapat delapan asnaf; pertama, al-fuqara, merupakan bentuk jamak dari kata tunggal al-faqir. Secara umum dipahami bahwa fakir merupakan mereka yang tidak mempunyai harta atau penghasilan yang layak dalam memenuhi keperluannya; sandang, pangan, tempat tinggal dan segala keperluan pokok lainnya, baik untuk diri sendiri ataupun bagi orang yang menjadi tanggungannya.11

Kedua, al-masâkin, bentuk jamak dari kata tunggal al-miskin. Yaitu orang yang masih memiliki pekerjaan, tetapi penghasilanya tidak dapat mengikuti kebutuhan hidupnya. Sehingga masih belum bisa dikatakan baik dari segi makanan, pakaian, dan tempat tinggalnya.12

Ketiga, al-‘amilin. Jamak dipahami sebagai petugas (pengelola) zakat. Mereka adalah orang-orang yag ditugaskan oleh imam, kepala pemerintahan atau wakilnya untuk mengumpulkan zakat, meliputi pemungutan-pemungutan zakat, para penyimpan, dan yang mengurus administrasinya. Mereka berhak mendapatkan zakat tanpa memperdulikan kondisi keuangan pribadi mereka. Sementara yang ia terima merupakan upah sehubungan dengan pekerjaanya dalam pengumpulan dana zakat. Adapun upah yang diterima oleh setiap pekerja ditetapkan berdasarkan ketentuan-ketentuan seperti halnya

Page 10: Vol 8 no 4.pdf

614_Jurnal Bimas Islam Vol.8. No.IV 2015

pekerja pemerintah sesuai dengan sifat dan tingkat tanggung jawab pekerjaan mereka.13

Keempat, al-muallafatu qulûbuhum, yaitu orang yang baru masuk Islam atau masih lemah Islamnya.14 Kelima, al-riqâb, artinya hamba sahaya. Menurut Imam Hanbali, riqab adalah hamba yang telah dijanjikan oleh tuannya boleh menebus dirinya dengan uang yang telah ditentukan oleh tuannya, ia diberi zakat sekadar penebus dirinya. Disyaratkan bahwa yang memiliki budak belian itu bukanlah muzaki sendiri, sebab jika demikian maka uang zakat itu akan kembali kepadanya.15

Keenam, al-ghârimin, yaitu seseorang yang kurang mampu dan berhutang untuk keperluan ketaatan kepada Allah atau untuk hal yang mubah. Seperti untuk kebutuhan atau hajat keluarga, juga misalnya pengurus masjid atau madrasah yang berhutang untuk keperluan masjid dan madrasah yang dikelolanya.16 Ketujuh, fî sabîlillâh, secara umum adalah ialah jalan yang dapat menyampaikan sesuatu karena ridha Allah SWT baik berupa ilmu maupun amal. Dan kedelapan, ibn al-sabil, dapat diartikan sebagai perantau atau musafir dalam artian yang melakukan perjalanan bukan untuk perbuatan maksiat.

D. Fî sabîlillâh menurut Mazhab

Sebagai pembanding, disini akan diurai secara ringkas makna fî sabîlillâh yang sudah cukup populer di kalangan imam mazhab dan atau ulama penganutnya yang mayoritas diikuti umat Islam sejak era pra modern. Paling tidak untuk menilik sejauh mana pergeseran pemaknaannya saat dibandingkan dengan pemaknaan fî sabîlillâh oleh ulama kontemporer.

1.) Mazhab Hanafi

Ibnu Abidin, salah seorang ulama mazhab Hanafi, dengan mendasarkan pada pendapat Sarakhsi,17 menilai bahwa fî sabîlillâh lebih dekat maknanya kepada pejuang (perang) yang lemah atau fakir. Ia melihat bahwa pejuang ada yang kuat atau mampu dan ada

Page 11: Vol 8 no 4.pdf

Pemaknaan Fî sabîlillâh sebagai Mustahik Zakat menurut Ulama Kontemporer _615

yang lemah atau fakir, dan yang fakir ini yang berhak mendapat bagian zakat. Ibnu Abidin lebih lanjut melihat bahwa ketika berjuang, kebinasaan atau cedera sangat mungkin sekali menimpa pada benda (seperti bekal makanan), maupun binatang (yang ditunggangi). Oleh karena itu para pejuang ini layak diberi zakat. Pejuang yang fakir ini lebih pas untuk makna fî sabîlillâh dari pada orang-orang fakir yang kehabisan bekal karena melaksanakan haji.18

Sementara dalam buku al-Fiqh ‘ala Mazahibil Arba’ah, Abd al-Hafiz al-Farghaly, menyebut bahwa dalam mazhab Hanafi kata fî sabîlillâh dimaksudkan kepada para penuntut ilmu dan segala kebaikan lainnya yang mendekatkan diri kepada Allah.19 Namun al-Jaziry dengan judul buku yang sama, menyimpulkan bahwa dalam mazhab Hanafi kata fî sabîlillâh dimaksudkan untuk mereka orang-orang fakir yang pergi berjuang untuk berperang di jalan Allah.20

Di situ terlihat, mazhab Hanafi memasukkan pejuang yang mengangkat senjata sebagai makna fî sabîlillâh, dengan ketentuan pejuang itu adalah fakir. Pejuang yang kaya tidak masuk yang mendapat bagian zakat. Juga orang fakir yang berhaji yang tengah kehabisan bekal.

2.) Mazhab Maliki

Makna fî sabîlillâh dalam suatu mazhab memang tidak bisa digeneralisir, karena mazhab berisi beragam pengikut dengan latar belakang dan keilmuan yang beragam pula. Untuk mazhab Maliki, di antaranya adalah al-Qurthubi, merupakan mufasir yang dikenal beraliran malikiyah. Menurutnya fisabilillah bisa dimaknai sebagai pejuang yang terikat dan menerima pemenuhan kebutuhan dalam peperangan. Pemberian tersebut tidak memandang kaya atau miskin si pejuang.21 Penekanan fî sabîlillâh menurut al-Qurthubi di atas, lebih melihat pada keterlibatan seseorang pada peperangan.

Sementara ulama malikiyah lain, mencoba membatasi term fî sabîlillâh pada sisi keagamaan, yakni bahwa pejuang yang

Page 12: Vol 8 no 4.pdf

616_Jurnal Bimas Islam Vol.8. No.IV 2015

mendapat zakat adalah yang muslim, sementara yang non muslim tidak mendapat bagian zakat untuk fî sabîlillâh ini. Juga pejuang tersebut ditambah syarat laki-laki dan baligh. Karena memang tidak dipungkiri bahwa dalam peperangan terdapat yang muslim dan non muslim. Juga dengan ketentuan tersebut, perempuan dan anak-anak yang ikut berperang tidak mendapat bagian zakat.22

3.) Mazhab Syafii

Di mazhab ini, fî sabîlillâh juga lebih condong kepada pejuang perang. Seperti disebutkan dalam al-Umm, bahwa fî sabîlillâh diberi bagian zakat. Diperuntukkan orang yang berperang, yang dekat dengan dikeluarkannya zakat, tidak pandang pejuang tersebut fakir atau kaya. Jangan diberikan kepada selain orang tersebut.23 Dalam pandangan Syafii, zakat tidak boleh dipindah ke tempat lain dari harta zakat tersebut berasal. Boleh dipindah manakala di tempat asalnya sudah tidak ada orang yang berhak menerima zakat.24

Sementara itu Imam Nawawi, menekankan bahwa zakat untuk fî sabîlillâh diberikan kepada pejuang perang yang berasal dari orang awam yang dengan suka rela ikut berperang. Mereka ini diberikan zakat karena mereka tidak mendapat ‘anggaran’ perang dari negara. Sepaham dengan Nawawi, dalam Fathul Muin dikatakan sukarelawan pejuang, meskipun kaya, diberikan bagian nafkah (zakat) sejak ia berangkat hingga kembali dari perang.25

4.) Mazhab Hanbali

Di sini pemahaman term fî sabîlillâh tidak banyak berbeda dengan mazhab Syafii, hanya disini cakupan ‘pejuang perang’ sedikit diperluas. Menurut mazhab ini penjaga banteng, juru rawat, tukang masak, dan semuanya yang terlibat dalam perang masuk kategori fî sabîlillâh.26

Di mazhab ini ada perbedaan pandangan, apakah orang yang melaksanakan haji masuk kategori fî sabîlillâh atau tidak. Ibnu

Page 13: Vol 8 no 4.pdf

Pemaknaan Fî sabîlillâh sebagai Mustahik Zakat menurut Ulama Kontemporer _617

Qudamah menyebut haji tidak termasuk dalam fî sabîlillâh, karena haji seseorang miskin tidak memberi manfaat bagi umum. Apabila haji dilaksanakan dengan harta zakat, kegunaan hanya terbatas pada diri pelaku saja. Padahal yang dikehendaki fî sabîlillâh adalah manfaat bersama. Sementara yang lain memandang fakir miskin yang ingin melaksanakan haji bisa dibantu melalui harta zakat.27

E. Fî sabîlillâh di Mata Ulama Kontemporer

Ulama kontemporer yang hidup pada era 1800-an hingga sekarang, memiliki pandangan yang berbeda terkait term fî sabîlillâh sebagai mustahik zakat. Pandangan ulama kontemporer sepertinya dipengaruhi latar dan kondisi kehidupan yang dialaminya. Sehingga apa yang ditangkap dalam memaknai term fî sabîlillâh diusahakan agar lebih dekat dengan kebutuhan yang sedang dihadapi. Ada yang memperluas padangan ulama salaf, ada pula yang memberi warna baru dalam pemaknaannya.

1.) Rasyid Ridha

Sebagai seorang ulama yang lahir di periode akhir abad ke-19 dan mengalami periode awal abad ke-20, Rasyid Ridha tampaknya melihat, merasakan, dan memahami kondisi negara atau kekhalifahan (Islam) yang tengah dijajah oleh bangsa imperialis Barat. Ia melihat bahwa Islam tidak cukup hanya berkutat pada persoalan ukhrawi batiniah semata.

Dengan latar belakang keilmuan yang dimiliki, Ridha berupaya memaknai ayal-ayat Islam agar bisa berdaya guna untuk memajukan Islam dan guna ‘melawan’ imperialisme yang tengah berlangsung. Ia ingin turut memajukan dunia Islam sebagaimana yang sedang dirintis gurunya, Muhammad Abduh, kala itu.

Pandangan Ridha dalam hal ini juga merembet terkait pemaknaan fî sabîlillâh sebagai mustahik zakat. Tampaknya Ridha berkeinginan agar harta zakat bisa menjadi bagian alat perjuangan bagi umat Islam.

Page 14: Vol 8 no 4.pdf

618_Jurnal Bimas Islam Vol.8. No.IV 2015

Dalam pandangan Ridha, para guru yang mengajarkan ilmu agama atau ilmu lainnya yang berguna bagi kemaslahatan umat merupakan kategori fî sabîlillâh yang berhak menerima harta zakat. Ia melihat bahwa guru harus rela meninggalkan pekerjaan lain untuk mencari rizki. Guru-guru ini akan senantiasa menerima bagian zakat selama mereka aktif mengajarkan ilmu yang dimiliki. Namun demikian, guru yang mendapat bagian harta zakat ini disyaratkan bukan orang yang kaya. Jadi, orang kaya yang mengajarkan ilmunya tidak termasuk kategori fî sabîlillâh ini.28

Ridha mencoba melihat eksistensi fî sabîlillâh ini sebagai semua jalan yang bisa dipakai untuk mempertahankan keyakinan dan amal untuk mencapai keridlaan dan balasan dari Allah swt. Juga kemasalahatan umum, yang dengan pondasi kemaslahatan tersebut akan menegakkan urusan agama dan pemerintah, bukan hanya kemaslahan atau kepentingan pribadi. Berpijak pada pandangan ini, Ridha menilai bahwa ibadah haji tidak masuk kategori kemaslahatan umum atau bersama, menurutnya ibadah haji merupakan fardu ain yang diwajibkan bagi orang yang mampu, dan tidak wajib bagi mereka yang belum mampu, haji merupakan kemaslahatan pribadi bukan agama umum. Namun demikian, pelaksanaan ibadah haji menurut Ridha merupakan bagian syiar agama, untuk hal ini ia menilai bahwa bagian zakat untuk fî sabîlillâh bisa dipakai untuk kelancaran pelaksanaan haji, seperti untuk pemenuhan kebutuhan air dan makanan, pengamanan jalan, dan sejenisnya. Hal ini bila tidak ada sumber dana lain.29

Ridha juga berpandangan bahwa terma fî sabîlillâh terkait pula dengan perang. Namun yang diutamakan adalah persiapan untuk perang, laiknya membeli senjata dan menyiapkan bala tentara. Ia juga memasukkan pendirian rumah sakit tentara dalam kategori ini. Di samping itu, Ridha menilai perlunya bagian zakat fî sabîlillâh pada masanya dipakai untuk mempersiapkan dakwah Islam dan mengirim para dai ke negeri orang-orang non muslim. Harta tersebut

Page 15: Vol 8 no 4.pdf

Pemaknaan Fî sabîlillâh sebagai Mustahik Zakat menurut Ulama Kontemporer _619

bisa dimanfaatkan untuk berdakwah dan mencukupi kebutuhan hidupnya selama berdakwah.30

Beberapa pandangan Rasyid Ridha di atas, menyiratkan bahwa fî sabîlillâh bisa dipakai untuk bergam aspek yang terkait dengan kemaslahatan umum, baik yang fisik maupun non fisik. Namun dengan mempertimbangkan bahwa pelaku kemaslahatan umum tersebut tidak termasuk kategori kaya.

2.) Mahmut Syaltut

Mahmut Syaltut termasuk salah satu pemikir Islam yang ingin turut serta mengembangkan eksistensi hukum Islam. Syaltut yang masih sezaman dengan Rasyid Ridha juga dikenal sebagai pencetus model tafsir maudlui. Beberapa bukunya menyiratkan bagaimana tafsir maudlui yang digagasnya. Meskipun berlatar belakang pendidikan tradisional, menurut Kate Zabiri, Syaltut memiliki pandangan yang luas dan pembaharuan yang tergolong monumental.31

Sebagai pembaharu, Syaltut memilah sumber hukum Islam menjadi tiga kategori, yaitu Al-Qur’an, sunnah, dan ra’yu. Bagi Syaltut, ijma’ dan qiyas, yang oleh ulama klasik termasuk sumber hukum Islam yang ittifaq, termasuk dalam kategori ra’yu.32

Syaltut mengikuti pandangan berlakunya ijtihad untuk nash yang bersifat zhanni, yang bisa dilakukan dengan menggunakan kekutan ra’yu. Sehingga terkait ra’yu ini, Syaltut juga menggunakan metode istislah (melihat konteks maslahah), dalam merumuskan suatu hukum Islam.

Metode istislah ini yang dipakai Syaltut dalam memaknai fî sabîlillâh sebagai salah satu mustahiq zakat. Syaltut menilai, fî sabîlillâh yang terangkai dalam satu ayat dengan mustahiqun yang lain, keseluruhannya menggambarkan kemaslahatan umum, dan terkait dengan hak milik individu. Kemasalahatan umum yang ia maksud adalah misalnya pembentukan pasukan perang yang kuat untuk

Page 16: Vol 8 no 4.pdf

620_Jurnal Bimas Islam Vol.8. No.IV 2015

persiapan pertahanan negara dan membela kehormatan bangsa meliputi bidang personil, akomodasi, dan peralatan. Kemudian diperluas dengan pandangan bahwa kemaslahatan umum juga mencakup pengembangan infrastruktur dalam suatu negara guna meningkatkan kesejahteraan bagi warganya, laiknya pembangunan rumah sakit, jembatan, sekolah, sarana transportasi, serta segala perlengkapan yang berhubungan dengan syiar Islam yang perlu disosialisasikan secara massal termasuk kebutuhan juru dakwah yang handal.33

Pandangan Syaltut tersebut secara esensial meliputi segala sesuatu yang dapat memelihara kehormatan bangsa baik dalam hal materiil maupun spirituil sekaligus menampilkan jatidiri bangsa sebagai identitas pembeda dengan bangsa yang lainnya. Dan tampaknya dengan menggunakan pendekatan maslahah, esensi fî sabîlillâh tampak lebih hidup dan memberi jawaban nyata terhadap realitas masyarakat.34

3.) Shadiq Hasan

Merupakan ulama yang dikenal sebagai ahli hadis dari India. Ia mengarang beragam kitab dalam bahasa Arab, Persia, dan Urdu. Ia dikenal mampu menulis kitab dalam hitungan hari saja. Kecintaannya kepada ulama tercermin dalam memaknai fî sabîlillâh. Dalam Raudhah al-Nadiyah, Shadiq Hasan Khan mengemukakan bahwa maksud fî sabîlillâh dalam ayat yang menyatu dengan mustahiq zakat yang lain adalah jalan menuju kepada Allah. Sementara jihad, meskipun merupakan jalan yang paling agung dan suci menuju Allah, namun tetap tidak ada satu alasan apapun yang mengkhususkan bagian ini hanya pada golongan jihad (perang) semata. Ia menandaskan kebolehan mempergunakan bagian fî sabîlillâh untuk setiap jalan dengan tujuan mencapai keridhaan Allah.

Selanjutnya Shadiq Hasan Khan menambahkan bahwa termasuk fî sabîlillâh adalah mempergunakan zakat bagi para intelektual muslim

Page 17: Vol 8 no 4.pdf

Pemaknaan Fî sabîlillâh sebagai Mustahik Zakat menurut Ulama Kontemporer _621

yang tegak berdiri mengurus kemaslahatan agama. Mereka berhak mendapat bagian zakat, baik ia miskin, fakir atau kaya. Dalam penilaiannya, menyisihkan sebagian harta untuk kepentingan ini termasuk salah satu hal yang terbaik. Karena ulama adalah pewaris para nabi dan pembawa agama. Di pundak mereka terpikul kesucian Islam dan syariah Rasulullah pemimpin umat.35

4.) Yusuf Qardhawi

Merupakan ulama kontemporer kelahiran Mesir dan lulusan Universitas al-Azhar, yang kemudian ditugaskan di Universitas Qatar. Ia termasuk yang berupaya menjawab persoalan kontemporer terkait hukum Islam. Pada tahun 1411 H, ia mendapat penghargaan dari IDB (Islamic Development Bank, Bank Pembangunan Islam) atas jasa-jasanya dalam bidang perbankan. Sedangkan pada tahun 1413 H, ia bersama-sama dengan Sayyid Sabiq mendapat penghargaan dari King Faisal Award karena jasa-jasanya dalam bidang keislaman. Dan pada tahun 1996 ia mendapat penghargaan dari Universitas Islam Antar Bangsa Malaysia, serta pada tahun 1997 mendapat penghargaan dari Sultan Brunai Darussalam atas jasa-jasanya dalam bidang fiqh. Penghargaan dari al-`Uwais, berkat sumbangannya dalam ilmu pengetahuan, pada tahun 1999/1420 H.36

Yusuf Qardhawi, Dalam karya besarnya, Fiqhuz Zakat, mencoba memberi uraian mengenai fî sabîlillâh sebagai salah satu mustahik zakat. Menurutnya, dengan menyaring dari sumber utama hukum Islam, al-Qur’an dan sunnah, pendapat sahabat, ulama salaf, hingga ulama modern, menyimpulkan bahwa fî sabîlillâh bisa mencakup dua hal utama; pertama, membebaskan negara Islam dari hukum orang kafir. Qardhawi melihat bila di suatu daerah terjadi suatu peperangan untuk membebaskan diri kungkungan hukum kafir dan untuk keluar dari keangkaramurkaannya, maka yang demikian ini masuk kategori fî sabîlillâh yang wajib dibantu dan diberi hak zakat. Yang dalam pemberian zakatnya memperhatikan beberapa aspek,

Page 18: Vol 8 no 4.pdf

622_Jurnal Bimas Islam Vol.8. No.IV 2015

seperti; tergantung hasil zakat yang ada, kebutuhan, dan kadar kebutuhan aspek lain. Kedua, usaha mengembalikan hukum Islam. Menurut Qardhawi pekerjaan utama umat Islam dewasa ini yang layak disematkan fî sabîlillâh adalah upaya yang sungguh-sungguh untuk menghidupkan kembali ajaran Islam yang benar. Semua aspek, seperti akidah, pemahaman, syiar, syariah, akhlak, maupun tradisi, harus disesuaikan dengan aturan hukum Islam. Kedua asepek tersebut bagi Qardhawi adalah dalam rangka mengembalikan kejayaan dan peradaban Islam.

Berpijak dari dua tipologi fî sabîlillâh di atas, lantas Qardhawi juga berpendapat bahwa, untuk konteks kekinian, media cetak bisa jadi termasuk mustahik zakat dari sisi fî sabîlillâh. Ia menegaskan, mendirikan percetakan surat kabar yang baik, untuk menandingi berita-berita dari surat kabar yang merusak dan menyesatkan, agar kalimat Allah tetap tegak dan memutuskan dengan pemberitaan yang benar. Membela Islam dari kebohongan-kebohongan si pembual, dari syubhatnya orang yang menyesatkan, dan dijelaskan Islam itu oleh orang yang ahlinya yang bersih dari tambahan serta tipuan, semuanya termasuk jihad fî sabîlillâh.37

5.) Ulama di Indonesia

Menurut Masdar Farid Mas’udi, dana zakat untuk bagian fî sabîlillâh, seyogyanya bisa diberikan untuk kepentingan sebagai berikut; 1) menyelenggarakan sistem kenegaraan atau pemerintahan yang mengabdi kepada kepentingan rakyat, 2) melindungi keamanan warga negara dari kekuatan-kekuatan destruktif yang melawan hak-hak kemanusiaan dan kewarganegaraan mereka yang sah, 3) menegakkan keadilan hukum bagi segenap warga negara, 4) membangun dan memelihara segala sasarana dan prasarana umum, yakni semua sarana prasarana demi kepentingan hajat hidup orang banyak, 5) untuk membangun sumber daya manusia. Meningkatkan kualitas manusia dalam rangka menunaikan tugas sosialnya untuk

Page 19: Vol 8 no 4.pdf

Pemaknaan Fî sabîlillâh sebagai Mustahik Zakat menurut Ulama Kontemporer _623

membangun peradaban di muka bumi ( ta’mirul ardl ), dan 6) usaha-usaha lain yang diperuntukkan untuk mewujudkan cita-cita keadilan sosial dan kesejahteraan umat.38

Tak ketinggalan ada juga fatwa Majlis Ulama Indonesia (MUI) terkait fî sabîlillâh. Menurut fatwa MUI, fî sabîlillâh mengandung makna umum. Berdasarkan fatwa MUI tentang Mentasarufkan Dana Zakat Untuk Kegiatan Produktif dan Kemaslahatan Umam menetapkan bahwa dana zakat atas nama fī Sabīlillāh boleh ditasarufkan guna keperluan maslahah ‘ammah (kepentingan umum), dan fatwa MUI No. 14 Tahun 2011 tentang Penarikan, Pemeliharaan, dan Penyaluran Harta zakat menetapkan bahwa yayasan atau lembaga yang melayani fakir miskin boleh menerima zakat atas nama fī Sabīlillāh, dan berdasarkan ketetapan No. Kep. 120/MU/II/1996, bahwa memberikan uang untuk keperluan pendidikan, khususnya dalam bentuk beasiswa hukumnya adalah sah, karena mereka termasuk dalam ashnaf fi sabīlillāh.

F. Korelasi dengan Makna Jihad

Gambaran konsep fî sabîlillâh yang telah diuraikan di atas, yang dikemukaan oleh ulama salaf maupun kontemporer, tampak bahwa pemaknaan yang diberikan terhadap kata fî sabîlillâh sebagai mustahiq zakat berdekatan atau bergandengan dengan konsep jihad atau berjuang. Hal ini tidak lepas dari kata fî sabîlillâh yang dalam sisi linguistik Arab merupakan bentuk adverb (kata keterangan), yakni keterangan tempat yang tidak bisa berdiri sendiri. Sehingga susunan kata yang berupa adverb itu membutuhkan kata lain yang berupa verb (kata kerja) atau noun (kata benda), dan mungkin juga subyeknya. Dalam Al-Qur’an sendiri, kata fî sabîlillâh, dalam beberapa kesempatan didahului dengan kata kerja seperti jahada,39 hajara,40 anfaqa,41 dan qatala42.

Konsep yang diberikan cukup berwarna. Sebagian besar ulama salaf dalam memaknai fî sabîlillâh lebih condong kepada konsep peperangan secara fisik. Meskipun juga tidak ketinggalan memberi gambaran adanya

Page 20: Vol 8 no 4.pdf

624_Jurnal Bimas Islam Vol.8. No.IV 2015

perjuangan yang dalam bentuk non fisik. Pun demikian dengan ulama kontemporer, mereka melihat bahwa berjuang di jalan Allah, untuk konteks saat ini tidak hanya cukup dengan mengangkat senjata. Sebagai konsekuensi keberadaan konsep nation state yang sejatinya ‘melarang’ berperang, juga karena tantangan dan realita yang dihadapi Islam saat ini juga tidak hanya cukup dihadapi dengan mengangkat senjata. Banyak aspek lain, seperti pendidikan dan kebudayaan, yang lebih perlu diperjuangkan untuk menghadapi realitas dunia yang sudah sangat kompleks dan mengglobal.

Melihat konteks tersebut, kiranya cukup bijak untuk memberi gambaran konsep jihad versi ulama kontemporer, karena memang, sekali lagi, konsep jihad dalam Islam tidak bisa dilepaskan dengan terma fî sabîlillâh yang menjadi inti pembicaraan tulisan ini. Kata jihad secara harfiah dan istilah mempunyai makna yang beragam. Dalam Ensiklopedi Islam Indonesia misalnya, makna kata jihad diartikan: berbuat sesuatu secara maksimal, atau mengorbankan segala kemampuan. Arti lain dari kata jihad adalah berjuang/sungguh-sungguh. Tetapi bila dilihat dari sudut fiqh, jihad dapat dimaknai secara kontekstual sehingga bisa memiliki pengertian yang berbeda-beda. Pemaknaan jihad yang berbeda-beda tersebut mempunyai akibat hukum syariat yang berbeda dan kadang bersinggungan dengan akidah. Sebagian ulama memaknai jihad sebagai usaha mengerahkan segala kemampuan yang ada atau sesuatu yang dimiliki untuk menegakkan kebenaran dan kebaikan serta menentang kebatilan dan kejelekan dengan mengharap Ridho Allah.43

Sementara menurut Wahbah al-Zuhaili bahwa jihad dapat terjadi hanya dalam tiga (3) konteks; pertama, karena bertemunya dua pasukan Islam dan Kafir. Kedua, karena negeri muslim diserang/diduduki oleh orang kafir (dijajah). Ketiga, ketika imam/pemimpin negeri Islam memang meminta rakyatnya untuk menuju ke medan perang. Di luar tiga keadaaan tadi tidak ada peluang bagi kata jihad dengan arti perang, yang ada hanyalah dalam arti bersungguh-sungguh untuk berbuat dan mendorong kebaikan.44

Page 21: Vol 8 no 4.pdf

Pemaknaan Fî sabîlillâh sebagai Mustahik Zakat menurut Ulama Kontemporer _625

Menurut Muhammad Rasyid Ridha, dalam menafsirkan jihad, yakni jihad tidak semata-mata melakukan peperangan, melainkan jihad yang bermakna harfiah upaya jerih payah seseorang bisa di transfer menjadi perjuangan dakwah, pendidikan, pengentasan kemiskinan, dan perbaikan pemerintahan.45

Hasan al-Bana menyebutkan jihad adalah sebagai suatu kewajiban muslim yang berkelanjutan hingga akhir kiamat, tingkat terendahnya berupa penolakan hati atas keburukan atau kemungkaran dan yang tertinggi berupa perang di jalan Allah. Di antara keduanya adalah perjuangan dengan lisan, pena, tangan berupa pernyataan tentang kebenaran di hadapan penguasa yang zalim.46

Azyumardi Azra mendefinisikan jihad dengan arti mengerahkan kemampuan diri sendiri dengan sungguh-sungguh. Di dalam bahasa Inggris disebut sebagai to exert oneself yaitu melakukan usaha keras untuk mencapai tujuan-tujuan yang baik dan disetujui agama yang sesuai dengan ajaran-ajaran agama seperti membangun kesejahteraan bagi umat manusia. Menurutnya jihad dapat dilakukan dalam bidang apa saja seperti menuntut ilmu ke negeri yang jauh atau di negeri sendiri dengan bersungguh-sungguh. Orang yang menuntut ilmu itu pun disebut orang yang berjihad di jalan Allah, atau disebut jihad fî sabîlillâh.47

Muh. Nahar Nahrawi dengan menelaah konteks ayat al-Qur’an dan hadits tentang jihad, menyebut jihad ada dalam enam kategori,yaitu perang, haji mabrur, menyampaikan kebenaran kepada penguasa zalim, berbakti kepada kedua orang tua, menuntut ilmu dan mengembangkan pendidikan, dan membantu fakir miskin.48

Di sini bisa dilihat bagaimana kecenderungan ulama kontemporer dalam memaknai jihad. Bisa dikatakatan mereka memahami realitas sejarah permulaan Islam yang mengarahkan makna jihad kepada jihad fisik berupa perang senjata. Kenyataan untuk memaknai jihad sebagai perang fisik juga masih diterima, namun dengan persyaratan yang cukup ketat, sehingga seolah menjauhi untuk memaknai jihad hanya dengan makna perang fisik semata.

Page 22: Vol 8 no 4.pdf

626_Jurnal Bimas Islam Vol.8. No.IV 2015

Ulama kontemporer lebih mencoba melihat realitas bahwa perjuangan atau jihad yang dibutuhkan di era saat ini bukanlah jihad fisik. Yang dibutuhkan sekarang adalah jihad non fisik dalam rangka mengembangkan pendidikan, peradaban, dan kebudayaan Islam. Yang ini secara global dalam rangka menegakkan fî sabîlillâh.

G. Kesimpulan

Fî sabîlillâh sebagai salah satu asnaf zakat yang delapan memiliki makna yang fleksibel di mata ulama kontemporer. Ulama kontemporer mencoba memaknai terma fî sabîlillâh tidak hanya secara sempit, yakni jihad atau perjuangan dalam segi fisik laiknya perang melawan orang kafir, sebagaimana umumnya pandangan ulama salaf. Lebih dari itu, ulama kontemporer mencoba melihat keluasan terma fî sabîlillâh sebagai sebuah kemaslahatan, kemanfaatan, atau kebaikan umum. Sehingga dengan demikian jihad atau perjuangan dalam konteks fî sabîlillâh bisa diarahkan juga untuk perjuangan non fisik, seperti pengembangan pendidikan, peradaban, hingga kebudayaan Islam secara luas. Di mana itu semua masih dalam kerangka menegakkan agama Islam yang rahmatan lil alamin.

Page 23: Vol 8 no 4.pdf

Pemaknaan Fî sabîlillâh sebagai Mustahik Zakat menurut Ulama Kontemporer _627

Daftar Pustaka

al-`Abidin, Ibnu, Radd al-Mukhtar Syarh Tanwir al-Absar, Beirut: Dar al-Kutub al-`Alamiyah, 1994, Juz. III,

al-Bajuri, Ibrahim, Hasyiyah al-Bajuri, Indonesia: Karya Insan, t.th, Juz. I.

al-Buhuti, Mansur bin Yunus bin Idris, Kasyaf al-Ghina, Beirut: Dar al-Fikr, t.th, Juz. II.

al-Dasuqi, Muhammad Ahmad bin `Urfah, Hasyiah al-Dasuqi, Beirut: Dar al-Fikr, 1996, jilid. III.

al-Farghaly, Abd al-Hafiz, al-Fiqh `ala Mazahib al-Arba`ah, Qahirah: Maktabah al-Qahirah, t.th, Juz. III.

al-Farran, Syekh Ahmad Musthafa, Tafsir al-Imam al-Syafi`i, terj. Fedrian Hasmand, Jakarta: al-Mahira, 2008, jilid II.

al-Jaziry, Abdur Rahman, al-Fiqh ala al-Mazaahibil Arba’ah, Istanbul: Maktabatul Haqiqah, 2004, Juz II.

al-Malibari, Zain al-Din, Fath al-Muin, Indonesia: Toha Putra Semarang, t.th, Juz. II.

al-Maraghi, Mustafa, Tafsir al-Maraghiy, Mesir: Mustafa al-Babi al-Halabi, 1974, Juz 10.

al-Nawawi, Kitab al-Majmu` Syarh al-Muhazzab, Jeddah: Maktabah al-Irsyad, t.th, Jilid. VI.

al-Qardhawi, Yusuf, Fiqh al-Zakat: Dirasat Maqaranat li Ahkaamiha wa Falsafatiha fi Dlaui al-Qur’ani wa al-Sunah, Beirut: Daar al-Ma;rifat, t.th, Juz II.

al-Qardlawi, Yusuf, Hukum Zakat, ter. Salman Harun, Jakarta: Pustaka Litera Antarnusa, 2011, cet. XII

al-Qurtubi, Abu `Abdullah Muhammad bin Ahmad al-Anshari, al-Jami`

Page 24: Vol 8 no 4.pdf

628_Jurnal Bimas Islam Vol.8. No.IV 2015

li Ahkam al-Qur`an, Qahirah: dar al- Kitab al-`Arabi, 1962, Juz. VII.

al-Sarakhshi, Syam al-Din, al-Mabsuth, Beirut: Dar al-Fikr, 1993, Juz. III.

al-Syafi`i, Abi `Abdillah Muhammad Idris, al-Umm, Beirut-Libanon: Dar al-Fikr, t.th, Jilid. III.

al-Zuhaili, Wahbah, Zakat Kajian berbagai Madzhab, ter. Agus Effendi dan Bahruddin Fananny. Bandung: Remaja Rosdakarya Offset, 1997, Cet. III

Azra, Azyumardi, Islam Subtantif: Agar Umat tidak Jadi Buih, Bandung: Mizan, 2000

Chirzin, Muhammad, Jihad dalam al-Qur’an; Telaah Normatif, Historis, dan Prospektif, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1997

Dewan Redaksi, Keragaman Makna Jihad, Harmoni; Jurnal Multicultural & Multireligius, Vol. 3, No. 32, Oktober-Desember, 2009

Effendi, Djohan, Ulama dalam Ensiklopedi Nasional Indonesia, Jakarta: Cipta Adi Pustaka, 1991, Jilid 17.

Horikoshi, Hiroko, Kyai dan Perubahan Sosial, Jakarta: P3M, 1983, Cet. I.

Huda, Nurul, Dinamisasi Hukum Islam Versi Mahmud Syaltut, Suhuf, Vol. 10, No. 1, Mei, 2007

Khan, Shadiq Ahmad, Raudhah al-Nadiya, Beirut: Dar al-Fikr, t.th.

Khoir, M. Masykur, Risalah Zakat, Kediri: Duta Karya Mandiri, 2010

Mas’udi, Masdar F., Agama Keadilan: Risalah Zakat (Pajak) dalam Islam, Jakarta: Pustaka Firdaus, 1993

Muhammad Syafi’i, “Konsep Jihad (Studi Komperatif Pemikiran Muhammad Rasyid Ridha dan Sayid Qutbh),”, Skripsi UIN Sunan Kali Jaga Fakultas Syariah Yogyakarta, 2009

Nahrawi, Muh. Nahar, Perkembangan Pemaknaan Jihad dalam Islam, Harmoni; Jurnal Multikultural & Multireligius, Vol. 3, No. 32, Oktober-Desember, 2009

Page 25: Vol 8 no 4.pdf

Pemaknaan Fî sabîlillâh sebagai Mustahik Zakat menurut Ulama Kontemporer _629

Nasution, Harun, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya, Jakarta: UI press, 1984, Jilid I.

Nasution, Harun, Pembaharuan dalam Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1998

Qudamah, Ibnu, al-Mughni, Makkah Mukarramah, Dar al-Baz, t.th, Juz. I.

Qutb, Sayid, Fi Dzilali al-Qur’an, Beirut: Ihya al-Turats al-Araby, 1967, Cet v, Jilid VI.

Rahardjo, M. Dawam, Ensiklopedi Al-Qur’an, Jakarta: Paramadina, 1996, Cet. I

Rahmawati, Fungsi Sosial Zakat dalam al-Qur’an, al-Risalah, Vol. 11, No. 1, Mei 2011

Ridha, Muhammad Rasyid, Tafsir al-Qur`an al-Hakim al-Syahir bi Tafsir al-Manar, Beirut: Dar al-Fikr, t.th, Juz. 10.

Rusyd, Ibnu, Bidayah al-Mujtahid wa Nihayah al-Muqtasid, Beirut: Dar al-Fikr, t.th,

Sabiq, Sayid, Fiqh al-Sunnah, Beirut: Dar al-Fikr, 1983, jilid I.

Sabiq, Sayyid, Fikih Sunnah, ter. Kamaluddin A. Marzuki, Bandung: al-Ma’arif, 1987

Shihab, M. Quraish, Membumikan Al-Quran, Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat, Bandung: Mizan, 1994

Talimah, Ishom, Manhaj Fikih Yusuf Qaradawi, terj. Samson Rahman, Jakarta Timur: Pustaka al-Kautsar, 2001

Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa, Kamus Bahasa Indonesia, Jakarta: Pusat Bahasa, 2008

Yunus, Mahmud, Kamus Arab-Indonesia, Jakarta: Yayasan Penyelenggara Penterjemah Pentafsir Al-Quran, 1973, cet ke-1.

Zabiri, Kate, Syaikh Mahmud Syaltut antara Tradisi dan Modernitas, al-Hikmah, No. 12/ Januari-Maret, 1994

Page 26: Vol 8 no 4.pdf

630_Jurnal Bimas Islam Vol.8. No.IV 2015

Endnotes

1. Lihat QS. At-Taubah: 602. Rahmawati, “Fungsi Sosial Zakat dalam al-Qur’an,” Al-Risalah, Vol. 11, No.

1, Mei 2011, h. 823. Mahmud Yunus, Kamus Arab-Indonesia, Jakarta: Yayasan Penyelenggara

Penterjemah Pentafsir Al-Quran, 1973, cet ke-1, h. 2784. Sayid Qutb, Fi Dzilali al-Qur’an, Beirut: Ihya al-Turats al-Araby, 1967, Cet v,

Jilid VI, h. 6985. M. Dawam Rahardjo, Ensiklopedi Al-Qur’an, Jakarta: Paramadina, 1996, Cet.

I, h. 6846. Hiroko Horikoshi, Kyai dan Perubahan Sosial, Jakarta: P3M, 1983, Cet. I, h. 1147. Lih. Djohan Effendi, Ulama dalam Ensiklopedi Nasional Indonesia, Jakarta: Cip-

ta Adi Pustaka, 1991, Jilid 178. Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa, Kamus Bahasa Indonesia, Jakarta: Pusat

Bahasa, 2008, h. 7519. Ibid, h. 96510. Harun Nasution membagi perjalanan sejarah Islam menjadi tiga periode be-

sar, yaitu periode klasik (650-1250M), periode pertengahan (1250-1800M), dan periode modern (1800-sekarang), lih. Harun Nasution, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya, Jakarta: UI press, 1984, Jilid I, h. 56-89, juga Harun Nasution, Pembaharuan dalam Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1998, h. 3-18.

11. Yusuf al-Qardlawi, Hukum Zakat, ter. Salman Harun, Jakarta: Pustaka Litera Antarnusa, 2011, cet. XII, h. 513

12. Wahbah al-Zuhaili, Zakat Kajian berbagai Madzhab, ter. Agus Effendi dan Bahruddin Fananny. Bandung: Remaja Rosdakarya Offset, 1997, Cet. III, h. 281. Perbedaan pendapat pokok terkait konsepsi fakir dan miskin, misalnya Imam Malik dan pengikutnya berpendapat bahwa orang fakir lebih baik keadaannya dari pada orang miskin, sedangkan Abu Hanifah dan pengi-kutnya berpendapat bahwa orang miskin keadaannya lebih baik dari pada orang fakir. Lih. Ibnu Rusyd, Bidayah al-Mujtahid wa Nihayah al-Muqtasid, Beirut: Dar al-Fikr, t.th, h. 573

13. M. Masykur Khoir, Risalah Zakat, Kediri: Duta Karya Mandiri, 2010, h. 112.14. Fuqaha membagi mualaf menjadi dua kategori, muslim dan kafir. Mualaf

yang muslim meliputi pemuka atau pemimpin muslim yang punya tand-ingan pemuka kafir, pemuka Islam yang ditaati dan berpengaruh terhadap

Page 27: Vol 8 no 4.pdf

Pemaknaan Fî sabîlillâh sebagai Mustahik Zakat menurut Ulama Kontemporer _631

anak buahnya, mereka yang ada di benteng dan (atau) perbatasan dengan negara musuh, dan segolongan kaum muslimin yang diperlukan untuk me-mungut pajak dan zakat dan menariknya dari orang-orang yang tidak mau menyerahkannya kecuali dengan pengaruh dan wibawa mereka. Sedang-kan mualaf yang kafir meliputi; orang-orang yang ditarik simpatinya agar mau masuk Islam atau beriman dan orang yang dikhawatirkan akan ber-buat bencana sehingga dengan memberinya zakat, h. itu dapat dihindarkan. Lih. M. Maskur Khoir, ibid, h. 113, Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah, ter. Kamalu-ddin A. Marzuki, Bandung: al-Ma’arif, 1987, h. 94

15. M. Maskur Khoir, ibid, h. 11416. M. Quraish Shihab, Membumikan Al-Quran, Fungsi dan Peran Wahyu dalam

Kehidupan Masyarakat, Bandung: Mizan, 1994, h. 325-33017. Sarakhshi menyebutkan, dalam mazhab Hanafi ditemukan beberapa

pengertian arti kata sabilillah, yaitu: “pejuang yang fakir” dan “orang-orang fakir yang melaksanakan haji, lalu putus belanjanya”. Sarakhshi menam-bahkan bahwa pengertian yang pertama dinisbahkan kepada Abu Yusuf, dan yang kedua pendapat Muhammad al-Syaibani. Syam al-Din al-Sarakh-shi, al-Mabsuth, Beirut: Dar al-Fikr, 1993, Juz. III, h. 10

18. Ibnu al-`Abidin, Radd al-Mukhtar Syarh Tanwir al-Absar, Beirut: Dar al-Kutub al-`Alamiyah, 1994, Juz. III, h. 343

19. Abd al-Hafiz al-Farghaly, al-Fiqh `ala Mazahib al-Arba`ah, Qahirah: Maktabah al-Qahirah, t.th, Juz. III, h. 387

20. Abdur Rahman al-Jaziry, Al-Fiqh ala al-Mazaahibil Arba’ah, Istanbul: Makta-batul Haqiqah, 2004, Juz II, h. 314

21. Abu `Abdullah Muhammad bin Ahmad al-Anshari al-Qurtubi, al-Jami` li Ahkam al-Qur`an, Qahirah: dar al- Kitab al-`Arabi, 1962, Juz. VII, h. 180

22. Muhammad Ahmad bin `Urfah al-Dasuqi, Hasyiah al-Dasuqi, Beirut: Dar al-Fikr, 1996, jilid. III, h. 105

23. Abi `Abdillah Muhammad Idris al-Syafi`i, Al-Umm, Beirut-Libanon: Dar al-Fikr, t.th, Jilid. III, h. 94

24. Syekh Ahmad Musthafa al-Farran, Tafsir al-Imam al-Syafi`i, terj. Fedrian Has-mand, Jakarta: al-Mahira, 2008, jilid II, h. 624

25. Al-Nawawi, Kitab al-Majmu` Syarh al-Muhazzab, Jeddah: Maktabah al-Irsyad, t.th, Jilid. VI. h. 180, Zain al-Din al-Malibari, Fath al-Muin, Indonesia: Toha Putra Semarang, t.th, Juz. II, h. 193, lihat pula, Ibrahim al-Bajuri, Hasyiyah al-Bajuri, Indonesia: Karya Insan, t.th, Juz. I, h.283

26. Mansur bin Yunus bin Idris al-Buhuti, Kasyaf al-Ghina, Beirut: Dar al-Fikr, t.th, Juz. II, h. 278

27. Ibnu Qudamah, al-Mughni, Makkah Mukarramah, Dar al-Baz, t.th, Juz. I, h. 692

Page 28: Vol 8 no 4.pdf

632_Jurnal Bimas Islam Vol.8. No.IV 2015

28. Muhammad Rasyid Ridha, Tafsir al-Qur`an al-Hakim al-Syahir bi Tafsir al-Manar, Beirut: Dar al-Fikr, t.th, Juz. 10, h. 506, lihat pula uraian Sayid Sabiq, Fiqh al-Sunnah, Beirut: Dar al-Fikr, 1983, jilid I, h. 334

29. Muhammad Rasyid Ridha, ibid, h. 499-500 30. Mustafa al-Maraghi, Tafsir al-Maraghiy, Mesir: Mustafa al-Babi al-Halabi,

1974, Juz 10, h. 243 31. Kate Zabiri, Syaikh Mahmud Syaltut antara Tradisi dan Modernitas, Al-

Hikmah, No. 12/ Januari-Maret 1994, h. 57, Nurul Huda, Dinamisasi Hukum Islam Versi Mahmud Syaltut, Suhuf, Vol. 10, No. 1, Mei 2007, h. 26

32. Nurul Huda, ibid, h. 2733. Ibid, h. 3334. Ibid, h. 3335. Shadiq Ahmad Khan, Raudhah al-Nadiya, Beirut: Dar al-Fikr, t.th, h. 115-116 36. Ishom Talimah, Manhaj Fikih Yusuf Qaradawi, terj. Samson Rahman, Jakarta

Timur: Pustaka al-Kautsar, 2001, h. 537. Yusuf Qardhawi, Fiqh al-Zakat: Dirasat Maqaranat li Ahkaamiha wa Falsafatiha

fi Dlaui al-Qur’ani wa al-Sunah, Beirut: Daar al-Ma;rifat, t.th, Juz II, h. 66838. Masdar F. Mas’udi, Agama Keadilan: Risalah Zakat (Pajak) dalam Islam, Jakarta:

Pustaka Firdaus, 1993, h. 157-16139. Misalnya, QS. al-Baqarah: 218, an-Nisa: 95, al-Maidah: 3540. Misalnya, QS. an-Nisa’: 100 41. Misalnya, QS. al-Baqarah: 195, 261 42. Misalnya, QS. Ali Imron: 157, an-Nisa’: 74 43. Dewan Redaksi, “Keragaman Makna Jihad,” Harmoni; Jurnal Multicultural &

Multireligius, Vol. 3, No. 32, Oktober-Desember 2009, h. 644. Ibid, h. 8 45. Muhammad Syafi’i, “Konsep Jihad (Studi Komperatif Pemikiran Muham-

mad Rasyid Ridha dan Sayid Qutbh),” Skripsi, UIN Sunan Kali Jaga Fakultas Syariah, Yogyakarta, 2009, h. 70

46. Muhammad Chirzin, Jihad dalam al-Qur’an; Telaah Normatif, Historis, dan Prospektif, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1997, h. 12

47. Azyumardi Azra, Islam Subtantif: Agar Umat tidak Jadi Buih, Bandung: Mizan, 2000, h. 14

48. Muh. Nahar Nahrawi, “Perkembangan Pemaknaan Jihad dalam Islam,” Harmoni; Jurnal Multikultural & Multireligius, Vol. 3, No. 32, Oktober-Desem-ber 2009, h. 64-69

Page 29: Vol 8 no 4.pdf

Peruntukan Wakaf dalam Peraturan Perundang-Undangan dan Kaitannya dengan Wakaf Produktif _633

The Designation Waqf in Law Regulation and The Relation with Productive Waqf

Peruntukan Wakaf Dalam Peraturan Perundang-Undangan dan Kaitannya Dengan Wakaf Produktif

NurkaibBadan Wakaf Indonesia (BWI)

email:[email protected]

Abstract: One of the obstacles to realize new productive waqf is the public’s understanding of

candidates wakif and officials certificate maker of waqf pledge (PPAIW) regarding

the designation of waqf. Law regulation itself neither defines what the designation

of waqf. Emptiness this definition raises a different understanding of the allotment of

waqf and sometimes cause difficulties in writing the document waqf with more specific

designation. By using descriptive analysis of this paper seeks to explore the notion of

waqf designation in using the word of waqf legislation and analyze it in a way that

could be concluded in the designation definition of waqf legislation and the definition

of the ideal according to the writer.

Page 30: Vol 8 no 4.pdf

634_Jurnal Bimas Islam Vol.8. No.IV 2015

Abstraksi: Salah satu kendala untuk mewujudkan wakaf produktif yang baru adalah pemahaman

masyarakat calon wakif dan pejabat pembuat akta ikrar wakaf (PPAIW) mengenai

peruntukan wakaf. Peraturan perundang-undangan wakaf sendiri tak satu pun

mendefinisikan apa itu peruntukan wakaf. Kekosongan definisi ini menimbulkan

pemahaman yang berbeda-beda mengenai peruntukan wakaf dan kadang menyebabkan

kesulitan dalam penulisan dokumen wakaf dengan peruntukan yang lebih spesifik.

Dengan menggunakan metode analisis deskriptif tulisan ini berupaya menelusuri

pengertian peruntukan wakaf dari penggunaan kata tersebut dalam peraturan

perundang-undangan wakaf dan menganalisisnya sedemikian rupa sehingga bisa

disimpulkan definisi peruntukan wakaf dalam peraturan perundang-undangan wakaf

dan definisi yang ideal menurut penulis.

Keywords: Wakaf produktif, regulasi, kesejahteraan

A. Pendahuluan

Jumlah tanah wakaf di Indonesia per 14 Maret 2014 adalah 435.395 dengan total luas kurang lebih 414.246 hektare.1 Angka ini merupakan data yang dikumpulkan Direktorat Pemberdayaan Wakaf Kementerian Agama dari Kantor Urusan Agama se-Indonesia melalui Kementerian Agama Provinsi dan Kabupaten.

Sementara itu, data online yang dipublikasikan Kementerian Agama melalui website Sistem Informasi Wakaf (Siwak) baru setengahnya, yaitu 214.547 lokasi.2 Dari data yang baru setengahnya itu. Diketahui bahwa penggunaan tanah wakafnya ada enam macam, yaitu masjid sebanyak 44,18 persen, musalla 29,72 persen, sekolah 10,69 persen, kuburan 4,06 persen, pesantren 2,97 persen, dan untuk sosial lainnya 8,39 persen.3

Page 31: Vol 8 no 4.pdf

Peruntukan Wakaf dalam Peraturan Perundang-Undangan dan Kaitannya dengan Wakaf Produktif _635

Grafik 1 Penggunaan Tanah Wakaf di Indonesia

Data di atas menegaskan bahwa pada umumnya tanah wakaf di Indonesia digunakan untuk pendirian bangunan, bukan untuk tujuan produktif yang berdampak secara langsung bagi kesejahteraan umum—meski dalam perkembangannya kini sudah ada tanah wakaf yang diperuntukkan bagi pendirian bagunan tetapi juga digunakan untuk wakaf produktif. Misalnya, dengan menjadikan sisa lahan masjid untuk bangunan kios yang disewakan lalu hasilnya diperuntukkan bagi keperluan operasional masjid.

Jika ditilik dari aspek penggunaan harta wakaf, menurut Mundzir Qahf, wakaf ada dua macam: wakaf langsung dan wakaf produktif (istitsmârî).4 Apabila harta wakaf dimaksudkan agar digunakan secara langsung untuk mewujudkan tujuan wakaf, seperti pendirian masjid untuk shalat, madrasah untuk belajar, dan rumah sakit untuk pengobatan dan perawatan, wakafnya dinamakan wakaf langsung karena harta wakaf langsung dimanfaatkan. Namun jika harta wakaf tidak dimaksudkan seperti itu, tetapi untuk menghasilkan penghasilan, lalu penghasilan itu disalurkan sesuai dengan tujuan wakaf, dinamakan

Page 32: Vol 8 no 4.pdf

636_Jurnal Bimas Islam Vol.8. No.IV 2015

wakaf produktif. Wakaf produktif seperti ini sudah dicontohkan Umar r.a., yang mewakafkan kebun di Khaibar dengan tujuan agar hasilnya diperuntukkan bagi orang fakir miskin, kerabat, budak, sabilillah, tamu, dan ibnu sabil.5

Wakaf model kedua inilah yang kini digalakkan di berbagai belahan dunia, termasuk Indonesia, sejak beberapa tahun terakhir. Dalam rangka menjadikan wakaf sebagai pranata keagamaan yang tidak hanya mampu menyediakan berbagai sarana ibadah dan sosial, melainkan juga mempunyai kekuatan ekonomi untuk mewujudkan kesejahteraan umum. Dalam skema wakaf produktif ini, harta wakaf bisa digunakan untuk mendirikan gedung perkantoran, perkebunan, tambak ikan, lapangan olahraga, hotel, ruko, rumah sakit, dan lain sebagainya yang dikelola secara komersial sehingga menghasilkan keuntungan finansial. Keuntungan finansial inilah yang kemudian disalurkan kepada pihak yang berhak menerima manfaat wakaf (mauqûf alaih) dan digunakan untuk memperbesar aset wakaf. Tidak hanya itu, keuntungan finansial itu juga digunakan untuk membangun sarana ibadah, sosial, pendidikan, dan umum yang tidak bertentangan dengan syariah. Selain itu, keuntungan finansial dari pengelolaan wakaf produktif juga bisa digunakan untuk beasiswa, pemberdayaan ekonomi, dan tujuan kebaikan lainnya.

Dari data Siwak di atas bisa diyakini bahwa sebagian besar wakaf tanah di Indonesia adalah wakaf langsung. Fakta yang sering penulis jumpai di lapangan, wakaf langsung yang berupa masjid dan madrasah seringkali kekurangan dana untuk sekadar biaya operasional rutin. Kebersihan masjid dan madrasah menjadi terabaikan sehingga hadis “Kebersihan adalah sebagian dari iman” justru pertama kali diingkari kebenarannya di masjid-masjid dan madrasah-madrasah itu. Karena itu, wakaf produktif dengan tujuan membantu biaya pemeliharaan masjid menjadi amat penting dan relevan di Indonesia.

Masih ada banyak sektor lain juga tidak kalah penting untuk mendapatkan manfaat dari wakaf produktif. Di sektor pendidikan, perlu digalakkan wakaf produktif untuk memberikan beasiswa kepada

Page 33: Vol 8 no 4.pdf

Peruntukan Wakaf dalam Peraturan Perundang-Undangan dan Kaitannya dengan Wakaf Produktif _637

anak-anak sekolah; membiayai penelitian para mahasiswa, dosen, dan profesor; mendirikan perpustakaan-perpustakaan umum di sekolah-sekolah, masjid-masjid, pesantren-pesantren, dan desa-desa; mendirikan gedung-gedung sekolah baru di daerah yang membutuhkan; memberikan insentif kepada guru-guru yang mengajar di daerah tertinggal; dan masih banyak lagi. Untuk sektor ekonomi dibutuhkan wakaf produktif untuk pembinaan usaha mikro, kecil, dan menengah; pembangunan pasar-pasar tradisional sebagai penggerak ekonomi kerakyatan; peningkatakan kapasitas sumber daya manusia para petani; dan lain-lain. Di sektor keagamaan diperlukan wakaf-wakaf produktif untuk membiayai gerakan ayo mengaji, program antiterorisme, program satu orang satu al-Quran, dan lain sebagainya. Untuk sektor lingkungan hidup diperlukan wakaf produktif untuk menciptakan penghijauan, kebersihan sungai, dan lain sebagainya.

Wakaf produktif yang sudah dikembangkan Tabung Wakaf Indonesia, BMT Beringharjo, Pondok Pesantren Gontor, Al-Rajhi di Arab Saudi, Al-Azhar di Mesir, dan lembaga-lembaga lainnya di Kuwait, Malaysia, Singapura, dan berbagai negara lain perlu semakin digalakkan di Indonesia. Kendala-kendala yang menghalangi berkembangnya wakaf produktif perlu dihilangkan walaupun kendala yang bersifat sangat teknis dan kecil.

Salah satu kendala itu, menurut hemat penulis, adalah pemahaman calon wakif dan juga pejabat pembuat akta ikrar wakaf (PPAIW) mengenai peruntukan wakaf. Penulis masih mendapati masyarakat yang menganggap bahwa peruntukan wakaf hanyalah untuk pembangunan tempat ibadah, madrasah, dan kuburan—dan dengan demikian wakafnya menjadi wakaf langsung, bukan wakaf produktif. Padahal dalam praktik yang sudah terjadi sejak era Rasulullah, wakaf bisa digunakan sebagai sumber ekonomi yang hasilnya diperuntukkan bagi masyarakat yang ditentukan kriterianya oleh wakif.

Kalaupun ada calon wakif yang sudah memahami peruntukan wakaf dengan baik, kadang ia terganjal ketika berurusan dengan PPAIW.

Page 34: Vol 8 no 4.pdf

638_Jurnal Bimas Islam Vol.8. No.IV 2015

Misalnya, wakif menginginkan agar dalam akta ikrar wakaf (AIW) dicantumkan bahwa wakafnya diperuntukkan bagi pembiayaan penelitian akademik di bidang tertentu atau pemberdayaan ekonomi usaha mikro, kecil, dan menengah, tetapi hal itu tidak diperbolehkan oleh PPAIW. Alasannya, dalam blanko AIW pada poin diperuntukkan terdapat keterangan di bawahnya bahwa pada poin itu “Diisi salah satu dari tujuan wakaf: a, pembangunan peribadatan, dan seterusnya.” Ketika calon wakif berusaha “mengedukasi PPAIW”, ternyata dalam peraturan perundang-undangan kita tidak ada definisi yang jelas mengenai peruntukan wakaf sehingga yang terjadi hanyalah perdebatan tak berujung.

Setelah penulis telusuri lebih jauh, tak satu pun peraturan perundangan wakaf di Indonesia yang memberikan definisi tegas mengenai peruntukan wakaf dan penggunaannya dalam kalimat cenderung menggunakan pengertian yang tidak konsisten. Bahkan, ada kecenderungan penggunaan kata “peruntukan” dalam perundangan kita mengarah pada makna kegunaan fungsional harta wakaf. Jadi, jika dikatakan peruntukan tanah wakaf adalah masjid, berarti tanah itu untuk digunakan pembangunan masjid, tidak boleh yang lain. Dalam hal ini, peruntukan wakaf tidak sama dengan mauqûf ‘alaih (pihak yang ditunjuk untuk memperoleh manfaat dari pengelolaan harta wakaf). Hal-hal seperti ini tentu sangat mengganggu upaya-upaya memasyarakatkan wakaf produktif.

B. Regulasi Perwakafan di Indonesia

Wakaf sebagai salah satu pranata keagamaan Islam yang berdimensi sosial sudah lama berkembang di Indonesia. Bahkan jauh sebelum negara Indonesia terbentuk. Ini bisa dibuktikan dengan adanya dokumen-dokumen wakaf pada masa kerajaan Islam dan penjajahan Belanda.

Guna menertibkan masalah tanah wakaf dan agar wakaf berjalan dengan baik, Pemerintah Hindia Belanda mengeluarkan beberapa peraturan terkait dengan wakaf.6 Di antaranya Staatsblad Nomor 152

Page 35: Vol 8 no 4.pdf

Peruntukan Wakaf dalam Peraturan Perundang-Undangan dan Kaitannya dengan Wakaf Produktif _639

Tahun 1882, yang salah satu isinya mengatur bahwa penanganan urusan wakaf menjadi wewenang pengadilan agama (priesterraad). Kemudian pada tanggal 31 Januari 1905 Pemerintah mengeluarkan Surat Edaran Sekretaris Gubernemen Nomor 435, yang ditujukan kepada para kepala wilayah di Jawa dan Madura, kecuali wilayah-wilayah di daerah Swapraja, agar mereka membuat daftar rumah-rumah ibadah umat Islam di kabupaten masing-masing, baik yang berstatus wakaf maupun bukan. Surat edaran ini ternyata menimbulkan dampak negatif sehingga Pemerintah mengeluarkan Surat Edaran Sekretaris Gubernemen Nomor 1361/A tentang tertanggal 4 Juni 1931. Tiga tahun kemudian, tepatnya pada 24 Desember 1934, Pemerintah Hindia Belanda mengeluarkan Surat Edaran Sekretaris Gubernemen Nomor 3088/A tentang Toezicht Van de Regeering op Mohammedaansche bedehuizen, Verijdagdien sten en Wakafs. Ketiga surat edaran itu disusul dengan Surat Edaran Sekretaris Gubernemen Nomor 1273/A tertanggal 27 Mei 1935 tentang Toezicht Van de Regeering op Mohamme daansche Bedehuizen en wakafs, yang antara lain mengatur bahwa wakaf tidak lagi perlu izin dari bupati,

Setelah kemerdekaan Indonesia diproklamirkan pada tahun 1945, peraturan perwakafan pada masa Hindia Belanda masih tetap berlaku karena belum ada peraturan yang baru. Hingga terbitnya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, yang antara lain mengatur bahwa wakaf tanah dilindungi negara dan akan diatur tersendiri dalam peraturan pemerintah, belum ada peraturan baru tentang wakaf. Peraturan itu baru muncul pada 1977 dengan lahirnya Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 1977 tentang Perwakafan Tanah Milik.

Peraturan pemerintah tersebut kemudian diikuti dengan munculnya beberapa peraturan menteri. Pada tahun yang sama keluar Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 6 Tahun 1977 tentang Tata Pendaftaran Tanah Mengenai Perwakafan Tanah Milik, lalu pada tahun berikutnya lahir Peraturan Menteri Agama Nomor 1 Tahun 1978 tentang Peraturan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 1977 tentang

Page 36: Vol 8 no 4.pdf

640_Jurnal Bimas Islam Vol.8. No.IV 2015

Perwakafan Tanah Milik. Pada tahun 1988 juga terbit buku Kompilasi Hukum Islam yang mengatur tentang perkawinan, kewarisan, dan perwakafan, yang kemudian oleh Presiden Soeharto melalui Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 dinstruksikan kepada Menteri Agama untuk menyebarluaskannya kepada masyarakat.

Hanya sampai di situlah peraturan perundang-undangan tentang wakaf hadir mengatur perwakafan di Indonesia sebelum era reformasi datang. Dalam peraturan-peraturan itu, wakaf baru terbatas berupa tanah dan unsur produktif wakaf sebagai salah satu sarana untuk memajukan kesejahteraan belum dilirik.

Enam tahun setelah reformasi bergulir lahirlah undang-undang khusus tentang wakaf, yaitu Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf. Undang-undang ini kemudian disusul dengan Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2006 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf. Undang-undang dan peraturan pemerintah inilah yang saat ini menjadi pilar kebijakan wakaf di Indonesia.

Setelah itu muncul pula beberapa regulasi wakaf yang dikeluarkan Menteri Agama dan Badan Wakaf Indonesia, di antaranya Peraturan Menteri Agama Nomor 4 Tahun 2009 tentang Administrasi Pendaftaran Wakaf Uang, Keputusan Menteri Agama Nomor 73 Tahun 2013 tentang Tata Cara Perwakafan Benda Tidak Bergerak dan Benda Bergerak Selain Uang, Peraturan Badan Wakaf Indonesia Nomor 1 Tahun 2009 tentang Pedoman Pengelolaan dan Pengembangan Harta Benda Wakaf Bergerak Berupa Uang, dan Peraturan Badan Wakaf Indonesia Nomor 4 Tahun 2010 tentang Pedoman Pengelolaan dan Pengembangan Harta Benda Wakaf.

Tulisan ini, antara lain, akan mengkaji penggunaan istilah peruntukan wakaf dalam Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 1977, Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 6 Tahun 1977, Peraturan Menteri Agama Nomor 1 Tahun 1978, Kompilasi Hukum Islam, Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004, Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2006, Peraturan

Page 37: Vol 8 no 4.pdf

Peruntukan Wakaf dalam Peraturan Perundang-Undangan dan Kaitannya dengan Wakaf Produktif _641

Menteri Agama Nomor 4 Tahun 2009, Keputusan Menteri Agama Nomor 73 Tahun 2013, Peraturan Badan Wakaf Indonesia Nomor 1 Tahun 2009, dan Peraturan Badan Wakaf Indonesia Nomor 4 Tahun 2010. Hal ini dimaksudkan agar bisa diketahui apa yang dimaksud dengan peruntukan wakaf dalam perundang-undangan wakaf di Indonesia.

C. Peruntukan Wakaf dalam Regulasi Perwakafan di Indonesia

Sebagaimana telah penulis sampaikan di depan, tak satu pun regulasi perwakafan kita mendefinisikan pengertian peruntukan wakaf meski muncul dalam dokumen AIW dan teks-teks peraturan perundang-undangan itu sendiri. Kondisi ini dalam beberapa kasus menjadi kendala dalam mewujudkan wakaf produktif. Untuk memahami pengertian “peruntukan wakaf” dalam peraturan perundang-undangan, penulis mencoba menelusuri dokumen-dokumen itu satu per satu seraya berharap mendapatkan petunjuk kontekstual untuk melakukan interpretasi makna tersiratnya.

1. Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 1977

Pada peraturan pemerintah ini hanya bisa dijumpai satu kata “peruntukan”, yaitu pada pasal 11 ayat 1, “Pada dasarnya terhadap tanah milik yang telah diwakafkan tidak dapat dilakukan perubahan peruntukan atau penggunaan lain daripada yang dimaksud dalam Ikrar Wakaf.” Di sini jelas bisa dipahami bahwa peruntukan sama dengan penggunaan, yakni penggunaan fungsional harta wakaf. Jadi, peruntukan wakaf dalam pasal ini mengarah pada wakaf langsung.

Dalam beberapa pasal lain disebutkan istilah tujuan wakaf. Pasal 2 menyebutkan, “Fungsi wakaf adalah mengekalkan manfaat benda wakaf sesuai dengan tujuan wakaf.” Sementara, Pasal 7 menyatakan:

1.) Nadzir berkewajiban untuk mengurus dan mengawasi kekayaan wakaf serta hasilnya menurut ketentuan-ketentuan yang diatur lebih lanjut oleh Menteri Agama sesuai dengan tujuan wakaf.

Page 38: Vol 8 no 4.pdf

642_Jurnal Bimas Islam Vol.8. No.IV 2015

2.) Penyimpangan dari ketentuan tersebut dalam ayat (1) hanya dapat dilakukan terhadap hal-hal tertentu setelah terlebih dahulu mendapat persetujuan tertulis dari Menteri Agama, yakni :

a. karena tidak sesuai lagi dengan tujuan wakaf seperti diikrarkan oleh wakif;

b. karena kepentingan umum.

Dalam dua pasal tersebut, tampaknya istilah tujuan wakaf sama dan sepadan dengan istilah peruntukan wakaf, yang berati kegunaan fungsional harta wakaf.

2. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 6 Tahun 1977

Dalam permendagri ini tidak ada tersurat sama sekali kosa kata “peruntukan” wakaf.

3. Peraturan Menteri Agama Nomor 1 Tahun 1978

Dalam Permenag ini juga tidak dijumpai penggunaan istilah peruntukan wakaf. Namun pada Pasal 12 ditemukan istilah penggunaan tanah wakaf, “(1) Untuk merubah status dan penggunaan tanah wakaf, nadzir berkewajiban mengajukan permohonan kepada Kepala Kanwil Depag cq, Kepala Bidang melalui Kepala KUA dan Kepala Kandepag secara hirarkis dengan menyebutkan alasannya.”

4. Kompilasi Hukum Islam (KHI)

Bagian ketiga dari buku KHI ini menjelaskan secara terperinci peraturan tentang perwakafan. Namun, lagi-lagi tidak ditemukan penggunaan istilah peruntukan wakaf maupun kata yang ditengarai mempunyai makna yang serupa.

5. Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004

Dalam batang tubuh Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 penulis menemukan 12 pasal yang memuat menggunakan kata “peruntukan” dan turunannya. Berikut Uraiannya:

Page 39: Vol 8 no 4.pdf

Peruntukan Wakaf dalam Peraturan Perundang-Undangan dan Kaitannya dengan Wakaf Produktif _643

Tabel 1Kemunculan kata “peruntukan”

dalam Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 dan interpretasinya

No Pasal Teks Interpretasi

1 Pasal 1

4. Nazhir adalah pihak yang menerima harta benda wakaf dari Wakif untuk dikelola dan dikembangkan sesuai dengan peruntukannya.

… untuk dikelola dan dikembangkan sesuai dengan kegunaan fungsional harta wakaf (sebagaimana dimaksudkan wakif).

2 Pasal 6

Wakaf dilaksanakan dengan memenuhi unsur wakaf sebagai berikut: a. Wakif; b. Nazhir; c. Harta Benda Wakaf; d. Ikrar Wakaf; e. peruntukan harta benda wakaf;

Tak ada petunjuk untuk interpretasi

3 Pasal 11

Nazhir mempunyai tugas: a. melakukan pengadministrasian

harta benda wakaf; b. mengelola dan mengembangkan

harta benda wakaf sesuai dengan tujuan, fungsi, dan peruntukannya;

c. mengawasi dan melindungi harta benda wakaf;

d. melaporkan pelaksanaan tugas kepada Badan Wakaf Indonesia.

… mengembangkan harta benda wakaf sesuai dengan tujuan, fungsi, dan kegunaan fungssional harta wakaf (sebagaimana telah ditentukan wakif dalam ikrarnya)….

4 21

(2) Akta ikrar wakaf sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit memuat :

a. nama dan identitas Wakif; b. nama dan identitas Nazhir; c. data dan keterangan harta benda wakaf; d. peruntukan harta benda wakaf; e. jangka waktu wakaf.

Tak ada petunjuk untuk interpretasi

Page 40: Vol 8 no 4.pdf

644_Jurnal Bimas Islam Vol.8. No.IV 2015

5 22

Dalam rangka mencapai tujuan dan fungsi wakaf, harta benda wakaf hanya dapat diperuntukan bagi :

a. sarana dan kegiatan ibadah; b. sarana dan kegiatan

pendidikan serta kesehatan; c. bantuan kepada fakir

miskin, anak terlantar, yatim piatu, bea siswa;

d. kemajuan dan peningkatan ekonomi umat; dan/atau

e. kemajuan kesejahteraan umum lainnya yang tidak bertentangan dengan syariah dan peraturan perundang-undangan.

Poin a dan b mengindikasikan peruntukan berarti kegunaan fungsional harta wakaf, Adapun dari poin c, d, dan e bisa ditafsirkan bahwa peruntukan wakaf adalah tujuan penyaluran hasil pengelolaan wakaf. Dengan demikian, pada poin c, d, dan e ini wakaf diarahkan menjadi produktif.

6 23

(1) Penetapan peruntukan harta benda wakaf sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 dilakukan oleh Wakif pada pelaksanaan ikrar wakaf. (2) Dalam hal Wakif tidak menetapkan peruntukan harta benda wakaf, Nazhir dapat menetapkan peruntukan harta benda wakaf yang dilakukan sesuai dengan tujuan dan fungsi wakaf.

Tak ada petunjuk untuk interpretasi

7 36

Dalam hal harta benda wakaf ditukar atau diubah peruntukannya, Nazhir melalui PPAIW mendaftarkan kembali kepada Instansi yang berwenang dan Badan Wakaf Indonesia atas harta benda wakaf yang ditukar atau diubah peruntukannya itu sesuai dengan ketentuan yang berlaku dalam tata cara pendaftaran harta benda wakaf.

Tak ada petunjuk untuk interpretasi

Page 41: Vol 8 no 4.pdf

Peruntukan Wakaf dalam Peraturan Perundang-Undangan dan Kaitannya dengan Wakaf Produktif _645

8 42

Nazhir wajib mengelola dan mengembangkan harta benda wakaf sesuai dengan tujuan, fungsi, dan peruntukannya.

… mengembangkan harta benda wakaf sesuai dengan tujuan, fungsi, dan kegunaan fungsional harta wakaf (sebagaimana telah ditentukan wakif dalam ikrarnya)….

8 44

(1) Dalam mengelola dan mengembangkan harta benda wakaf, Nazhir dilarang melakukan perubahan peruntukan harta benda wakaf kecuali atas dasar izin tertulis dari Badan Wakaf Indonesia.

(2) Izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dapat diberikan apabila harta benda wakaf ternyata tidak dapat dipergunakan sesuai dengan peruntukan yang dinyatakan dalam ikrar wakaf.

Tak ada petunjuk untuk interpretasi

10 45

(3) Pengelolaan dan pengembangan harta benda wakaf yang dilakukan oleh Nazhir lain karena pemberhentian dan penggantian Nazhir. Dilakukan dengan tetap memperhatikan peruntukan harta benda wakaf yang ditetapkan dan tujuan serta fungsi wakaf.

Pengelolaan dan pengembangan harta benda wakaf … memperhatikan kegunaan fungsional harta wakaf ….

11 49

Badan Wakaf Indonesia mempunyai tugas … c, memberikan persetujuan dan/atau izin atas perubahan peruntukan dan status harta benda wakaf;

Tak ada petunjuk untuk interpretasi

Page 42: Vol 8 no 4.pdf

646_Jurnal Bimas Islam Vol.8. No.IV 2015

12 Pasal 67

(2) Setiap orang yang dengan sengaja mengubah peruntukan harta benda wakaf tanpa izin sebagaimana dimaksud dalam

Pasal 44. Dipidana dengan pidana penjara paling lama

4 (empat) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp 400.000.000,00 (empat ratus juta

rupiah).

Tak ada petunjuk untuk interpretasi

Dari tabel di atas bisa disimpulkan bahwa pada Pasal 1, 11, 42, dan 45 terdapat petunjuk bahwa arti dari kata “peruntukan” yang digunakan dalam kalimat adalah kegunaan fungsional harta wakaf. Sementara, pada Pasal 6, 21, 23, 36, 44, 49, dan 67 tidak ada petunjuk untuk menginterpretasikan kata tersebut. Yang menarik, pada pasal 22 berdasarkan petunjuk kontekstual yang ada, kata “peruntukan” digunakan dalam dua pengertian sekaligus, yaitu kegunaan fungsional harta wakaf dan tujuan penyaluran hasil pengelolaan harta wakaf.

6. Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2006

Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2006 penulis menemukan 6 pasal yang memuat kata “peruntukan” dan turunannya. Berikut uraiannya:

Page 43: Vol 8 no 4.pdf

Peruntukan Wakaf dalam Peraturan Perundang-Undangan dan Kaitannya dengan Wakaf Produktif _647

Tabel 2 Kemunculan kata peruntukan

dalam Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 dan interpretasinya

No Pasal Teks Interpretasi

1 1

3. Nazhir adalah pihak yang menerima harta benda wakaf dari Wakif untuk dikelola dan dikembangkan sesuai dengan peruntukannya.

4. Mauqûf ‘alaih adalah pihak yang ditunjuk untuk memperoleh manfaat dari peruntukan harta benda wakaf sesuai pernyataan kehendak Wakif yang dituangkan dalam Akta Ikrar Wakaf.

5. Akta Ikrar Wakaf adalah bukti pernyataan kehendak Wakif untuk mewakafkan harta benda miliknya guna dikelola Nazhir sesuai dengan peruntukan harta benda wakaf yang dituangkan dalam bentuk akta.

… untuk dikelola dan dikembangkan sesuai dengan kegunaan fungsional harta wakaf (sebagaimana dimaksudkan wakif).

2 3

(1) Harta benda wakaf harus didaftarkan atas nama Nazhir untuk kepentingan pihak yang dimaksud dalam akta ikrar wakaf sesuai dengan peruntukannya.

Tak ada petunjuk untuk interpretasi

3 9

(1) Nazhir perwakilan daerah dari suatu organisasi yang tidak melaksanakan tugas dan/atau melanggar ketentuan larangan dalam pengelolaan dan pengembangan harta benda wakaf sesuai dengan peruntukan yang tercantum dalam Akta Ikrar Wakaf, maka pengurus pusat organisasi bersangkutan wajib menyelesaikannya baik diminta atau tidak oleh BWI.

… pengembangan harta benda wakaf sesuai dengan kegunaan fungsional harta wakaf yang tercantum dalam Akta Ikrar Wakaf….

Page 44: Vol 8 no 4.pdf

648_Jurnal Bimas Islam Vol.8. No.IV 2015

4 26

Sertifikat Wakaf Uang sekurang-kurangnya memuat keterangan mengenai:

a. Nama LKS Penerima Wakaf Uang;

b. Nama Wakif;c. Alamat Wakif;d. Jumlah wakaf uang;e. Peruntukan wakaf;f. Jangka waktu wakaf;g. Nama Nazhir yang dipilih;h. Alamat Nazhir yang dipih; dani. Tempat dan tanggal penerbitan j. Sertifikat Wakaf Uang.

Tak ada petunjuk untuk interpretasi

5 30

… Dalam hal sesama kerabat dari wakaf ahli telah punah, maka wakaf ahli karena hukum beralih statusnya menjadi wakaf khairi yang peruntukannya ditetapkan oleh Menteri berdasarkan pertimbangan BWI.

Tak ada petunjuk untuk interpretasi

6 32

(2) Akta ikrar wakaf sebagaimana dimaksud pada ayat (2) paling sedikit memuat:

a. nama dan identitas Wakif;b. nama dan identitas Nazhir;c. nama dan identitas saksi;d. data dan keterangan harta benda

wakaf;e. peruntukan harta benda wakaf

(mauqûf ‘alaih); danf. jangka waktu wakaf.

Peruntukan adalah padanan dari kata mauqûf ‘alaih dalam bahasa Arab, yang berarti penerima manfaat dari harta wakaf.

Dari enam pasal sebagaimana diuraikan pada tabel di atas diketahui bahwa pada pasal 1 dan 9 terdapat indikasi bahwa yang dimaksud dengan peruntukan adalah kegunaan fungsional harta wakaf. Sementara, pada Pasal 3, 26, dan 30 tidak ada petunjuk yang kuat untuk meninterpretasikan makna peruntukan wakaf. Yang menarik adalah pada Pasal 32, peruntukan wakaf diberi penjelasan dalam kurung mauqûf ‘alaih,

Page 45: Vol 8 no 4.pdf

Peruntukan Wakaf dalam Peraturan Perundang-Undangan dan Kaitannya dengan Wakaf Produktif _649

7. Peraturan Menteri Agama Nomor 4 Tahun 2009

Dalam regulasi ini, peruntukan wakaf juga tidak didefinisikan. Pada Pasal 1 dan Pasal 5 terdapat penggunaan kata “peruntukan”, tetapi tidak mengandung petunjuk mengenai maknanya.

8. Keputusan Menteri Agama Nomor 73 Tahun 2013

Dalam keputusan menteri ini juga tidak ada definisi peruntukan wakaf. Yang menarik, pada Pasal 1, mauqûf ‘alaih justru didefinisikan. Mauqûf ‘alaih didefinisikan sebagai pihak yang ditunjuk untuk memperoleh manfaat dari peruntukan harta benda wakaf sesuai pernyataan kehendak wakif yang dituangkan dalam akta ikrar wakaf. Padahal, dalam blanko AIW tidak ada poin mengenai mauqûf ‘alaih. Dalam teks pasal tersebut terkandung petunjuk bahwa peruntukan wakaf adalah kegunaan fungsional harta wakaf atau jenis pengelolaan harta wakaf.

9. Peraturan Badan Wakaf Indonesia Nomor 1 Tahun 2009

Dalam peraturan BWI ini juga tidak ditemukan definisi peruntukan wakaf. Penggunaan kata “peruntukan” wakaf cenderung mengarah kepada makna kegunaan fungsional harta wakaf, sebagaimana terlihat pada Pasal 1. Pada peraturan ini juga ditemukan definisi mauqûf ‘alaih, sebagai pihak yang berhak menerima manfaat atau hasil dari pengelolaan harta wakaf. Pengelolaan itu sendiri mengacu pada peruntukan wakaf.

10. Peraturan Badan Wakaf Indonesia Nomor 4 Tahun 2010.

Sama seperti pada Peraturan BWI Nomor 1 Tahun 2009, dalam peraturan BWI ini juga tidak ditemukan definisi peruntukan wakaf. Penggunaan kata “peruntukan” wakaf cenderung mengarah pada makna kegunaan fungsional harta wakaf, sebagaimana terlihat pada Pasal 1, Pasal 2, dan Pasal 4. Peruntukan wakaf senantiasa menjadi acuan pengelolaan harta wakaf. Itu artinya, peruntukan wakaf bermakna kegunaan fungsional harta wakaf, bukan penerima manfaat harta wakaf.

Page 46: Vol 8 no 4.pdf

650_Jurnal Bimas Islam Vol.8. No.IV 2015

Dari sepuluh regulasi wakaf di atas bisa kita simpulkan beberapa hal:

a. Peruntukan wakaf tidak pernah didefinisikan dalam regulasi perwakafan Indonesia meskipun ia termasuk unsur asasi dalam wakaf.

b. Regulasi perwakafan tidak konsisten dalam menggunakan kata “peruntukan”. Terkadang digunakan dengan makna kegunaan fungsional yang menjadi acuan dalam pengelolaan oleh nazir dan kadang bermakna mauqûf ‘alaih (pihak yang berhak menerima hasil dan manfaat dari pengelolaan harta wakaf).

c. Secara garis besar, regulasi perwakafan kita lebih sering menggunakan istilah peruntukan wakaf untuk makna yang pertama.

D. Peruntukan vs Mauqûf ‘alaih

Ditinjau dari segi kebahasaan, peruntukan berasal dari kata untuk yang mendapat imbuhan pe-an. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia Pusat Bahasa Edisi Keempat dijelaskan7, kata untuk bisa mempunyai arti sebagai berikut:

1. Bagian, misalnya: Ini untukku, yang itu untukmu.

2. Sebab atau alasan, misalnya: Untuk kesalahan itu, ia dihukum dua tahun.

3. Tujuan atau maksud, misalnya: Lemari untuk (menyimpan) pakaian, Pakaian untuk segala usia.

4. Penggantian (sebagai ganti). Misalnya: Peti itu dipakai untuk meja makan.

5. Selama. Misalnya: Untuk beberapa bulan ia terpaksa istirahat di rumah sakit.

6. Sudah. Misalnya: Untuk ketiga kalinya saya memperingatkan.

Adapun kata “peruntukan” sendiri berarti hal memperuntukkan (menentukan/ menggunakan bagi…). Misalnya: Sia-sialah bantuan pemerintah yang telah memperuntukkan tanah ini bagi para transmigran; Panitia

Page 47: Vol 8 no 4.pdf

Peruntukan Wakaf dalam Peraturan Perundang-Undangan dan Kaitannya dengan Wakaf Produktif _651

memperuntukkan seluruh hasil malam dana kepada yayasan anak yatim piatu; Rencana peruntukan daerah bagi industri.8

Dari penjelasan KBBI IV di atas kita bisa menangkap bahwa makna yang paling pas untuk kata untuk dalam konteks peruntukan wakaf adalah bagian, tujuan, dan maksud. Dengan demikian makna peruntukan wakaf secara kebahasan adalah hal penentuan bagian, tujuan, atau maksud wakaf. Jadi, peruntukan wakaf di sini bisa meliputi dua aspek, yaitu kegunaan fungsional harta wakaf (seperti pada contoh kalimat Rencana peruntukan daerah bagi industri) atau penerima dari harta wakaf itu sendiri (seperti pada contoh kalimat … memperuntukkan tanah ini bagi para transmigran). Untuk memudahkan pemahaman, aspek pertama saya sebut aspek “untuk-apa”, sementara aspek kedua saya sebut dengan “untuk-siapa”. Aspek untuk-apa berhubungan dengan kegunaan harta wakaf dalam soal pengelolaan, sedangkan aspek untuk-siapa terkait dengan pihak yang berhak menerima manfaat dari hasil pengelolaan harta wakaf.

Penulis mempunyai keyakinan bahwa istilah peruntukan wakaf sebetulnya adalah terjemahan dari kata mauqûf ‘alaih. Penjelasannya adalah sebagai berikut.

Unsur asasi wakaf menurut para ulama fikih ada empat, yaitu wâqif, mauqûf, shîghah, dan mauqûf ‘alaih. Empat unsur asasi inilah yang menjadi ukuran keabsahan wakaf.9 Namun, para ulama berbeda pendapat: ada yang menyatakan keempat unsur itu sebagai rukun dan ada yang menyatakan sebagiannya saja sebagai rukun. Menurut Muhammaf Anwar Hidayat, perbedaan ini hanyalah istilah saja.10 Unsur lain yang penting dalam wakaf, meski bukan asasi, adalah nâzhir dan tauqît.

Dalam Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf, unsur wakaf ada enam, yaitu wakif atau orang yang berwakaf, harta benda wakaf, ikrar wakaf, peruntukan harta wakaf, nazir, dan jangka waktu. Dengan membandingkan istilah-istilah dari khazanah fikih dan undang-undang kita dapat simpulkan bahwa wâqif diserap oleh undang-

Page 48: Vol 8 no 4.pdf

652_Jurnal Bimas Islam Vol.8. No.IV 2015

undang menjadi wakif, mauqûf diterjemahkan menjadi harta benda wakaf, shîghah diterjemahkan menjadi ikrar wakaf, tauqît diterjemahkan menjadi jangka waktu wakaf, nâzhir diserap menjadi nazir, dan mauqûf ‘alaih diterjemahkan menjadi peruntukan wakaf.

Lalu apa definisi mauqûf ‘alaih?

Dalam al-Fiqh al-Islâmî wa Adillatuh karya Dr. Wahbah Zuhaili, tersirat dengan jelas bahwa mauqûf ‘alaih adalah pihak yang berhak menerima manfaat atau keuntungan dari pengelolaan wakaf. Pihak ini bisa perorangan maupun kelompok orang dengan kriteria tertentu.11

Pengertian mauqûf ‘alaih sebagai penerima manfaat atau keuntungan dari pengelolaan harta wakaf didukung banyak pihak. Di situs resmi bagian wakaf Majelis Ugama Islam Singapura (MUIS) dijelaskan bahwa rukun wakaf ada empat, yaitu the donor (al-wakif atau orang yang berwakaf), the wakaf property (al-mawquf atau harta yang diwakafkan), the beneficiaries of the wakaf (al-mawquf ‘alaih atau penerima manfaat wakaf), dan statement of wakaf (al-sighah atau ikrar wakaf).12 Jadi, dalam pandangan MUIS, mauqûf ‘alaih adalah penerima manfaat atau keuntungan dari harta wakaf.

Pengertian semacam ini juga dianut Badan Wakaf Kuwait, KAPF (Kuwait Public AWQAF Foundation). Dalam laman situs resminya juga dijelaskan bahwa rukun wakaf ada empat, yaitu shîghah atau ikrar wakaf, wâqif atau orang yang berwakaf, mauqûf atau harta yang diwakafkan, dan mauqûf alaih. KAPF mendefinisikan mauqûf alaih adalah pihak yang akan menerima penyaluran hasil pengelolaan harta wakaf.13

Badan Otorita Urusan Keislaman dan Perwakafan (al-Hai’ah al-‘Ammah li al-Syu’ûn al-Islâmiyyah wa al-Awqâf) Uni Emirat Arab juga memiliki pandangan yang sama tentang mauqûf ‘alaih. Dalam situs resminya disebutkan, “Agar terwujud akad wakaf, harus ada (1) orang yang mengikrarkan wakaf, yaitu wakif, (2) harta yang diwakafkan atau mauqûf atau ain al-waqf, dan (3) pihak yang ditentukan untuk menerima manfaat wakaf atau mauqûf alaih.14 Yayasan Waqaf Malaysia, yang merupakan

Page 49: Vol 8 no 4.pdf

Peruntukan Wakaf dalam Peraturan Perundang-Undangan dan Kaitannya dengan Wakaf Produktif _653

lembaga wakaf resmi negara, juga mendefinisikan mauqûf ‘alaih sebagai penerima manfaat wakaf.15

Dengan demikian, peruntukan wakaf secara kebahasaan dan mauqûf ‘alaih dalam pandangan para ulama fikih dan praktisi wakaf adalah dua istilah yang sepadan artinya. Hanya saja, peruntukan wakaf bisa juga mengandung makna lain, yaitu aspek untuk-apa, yakni kegunaan fungsional harta wakaf, sebagaimana telah dijelaskan di atas. Bahkan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2006 Pasal 32 sempat muncul kata “peruntukan” wakaf yang diberi keterangan mauqûf ‘alaih dalam dua kurung.

E. Kesimpulan

Data yang kita miliki menunjukkan bahwa Indonesia kekurangan wakaf produktif yang bisa digunakan untuk memperkuat dan memelihara keberadaan wakaf langsung yang sudah ada sejak lama. Selain itu, wakaf produktif juga penting untuk menggali potensi wakaf dalam memajukan kesejahteraan umum dan menarik minat para dermawan untuk berwakaf sesuai dengan tujuan yang dianggapnya penting,

Untuk membedakan wakaf produktif dari wakaf langsung adalah dengan melihat peruntukannya. Karena itu, penting sekali dalam dokumen wakaf seperti AIW dan sertifikat wakaf, peruntukan wakaf ditulis secara detail dan terperinci, sesuai dengan kehendak wakif, Jika seseorang ingin wakafnya menjadi sumber dana pemberian beasiswa bagi warga di kota tempat ia tinggal, apakah akan lebih menarik baginya jika dalam dokumen wakaf ditulis “peruntukan wakaf untuk kemaslahatan umum” atau “untuk beasiswa warga kota A”?

Peruntukan wakaf tidak pernah didefinisikan dalam regulasi perwakafan Indonesia. Bahkan kata “peruntukan” digunakan dalam makna yang tidak konsisten dan rancu. Namun secara garis besar, regulasi perwakafan kita lebih sering menggunakan istilah peruntukan wakaf untuk makna dengan aspek untuk-apa.

Page 50: Vol 8 no 4.pdf

654_Jurnal Bimas Islam Vol.8. No.IV 2015

Sebetulnya peruntukan wakaf adalah sinonim atau padanan dari kata mauqûf alaih, yang berarti penerima manfaat harta wakaf. Meski begitu, tidak tertutup kemungkinan jika kata “peruntukan” wakaf kemudian digunakan dengan makna yang lebih luas, yaitu mencakup aspek untuk-apa sekaligus untuk-siapa. Hal ini mengingat bahwa dalam khazanah fikih wakaf dikenal yang namanya klausul wakif (syarth al-wâqif). Dalam klausul itu, wakif kadang mensyaratkan bahwa harta wakaf harus dibangun suatu bangunan tertentu atau dikelola dalam model pengelolaan tertentu,

Apabila akan diadakan perubahan undang-undang wakaf pada suatu saat nanti, perlu dipertimbangkan untuk memberikan definisi yang tegas mengenai peruntukan wakaf. Dan, menurut hemat penulis, peruntukan wakaf perlu didefinisikan dengan cakupan dua aspek, yaitu aspek untuk-apa dan aspek untuk-siapa. Dengan demikian, dalam dokumen wakaf AIW dan sertifikat wakaf harus dimunculkan poin peruntukan wakaf dalam dua aspek tersebut. Namun, aspek untuk-apa bukan menjadi suatu keharusan untuk diisi agar pengelolaan harta wakaf oleh nazir juga bisa lebih longgar.

Page 51: Vol 8 no 4.pdf

Peruntukan Wakaf dalam Peraturan Perundang-Undangan dan Kaitannya dengan Wakaf Produktif _655

Daftar Pustaka

Badan Bahasa Mesir, al-Mu‘jam al-Wasîth, Kairo: Maktabah al-Syuruq al-Dauliyah, 2008.

Badan Wakaf Indonesia, “Data Wakaf Seluruh Indonesia” Diaksen tanggal 14 Juli 2015, http://bwi.or.id/index.php/en/tentang-wakaf/data-wakaf/data-wakaf-tanah.

Fahruroji, “Pengembangan Harta Benda Wakaf dengan Istibdal: Studi Kasus Istibdal Wakaf di Indonesia Tahun 2007–2012.” Disertasi Doktoral, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, 2015.

General Authority of Islamic Affair dan Endowments, “al-Waqf.” Diakses tanggal 15 Agustus 2015, http://www.awqaf.gov.ae/Waqf.aspx?SectionID=2&RefID=9.

Keputusan Menteri Agama Nomor 73 Tahun 2013 tentang Tata Cara Perwakafan Benda Tidak Bergerak dan Benda Bergerak Selain Uang.

Kompilasi Hukum Islam.

Kuwait Awqaf Public Faoundation, “Ahkâm al-Waqf.” Diakses tanggal 13 Agustus 2015, http://www.awqaf.org.kw/arabiC/aboutendowment/fiqhofwaqf/pages/waqfregulations.aspx.

Muhammad Anwar Ibrahim, “Peran Nazhir Perempuan,” Jurnal Al-Awqaf, Vol, V, No, 1 (2012)

Mustafa Al-Khin, Mustafa Al-Bugha, dan Ali Al-Syarbaji, al-Fiqh al-Manhaji ala Madzhab al-Imâm Al-Syafi’i, Damaskur: Darul Qalam, 1992 Vol, VI, VIII vols.

Peraturan Badan Wakaf Indonesia Nomor 1 Tahun 2009 tentang Pedoman Pengelolaan dan Pengembangan Harta Benda Wakaf Bergerak Berupa Uang,

Page 52: Vol 8 no 4.pdf

656_Jurnal Bimas Islam Vol.8. No.IV 2015

Peraturan Badan Wakaf Indonesia Nomor 4 Tahun 2010 tentang Pedoman Pengelolaan dan Pengembangan Harta Benda Wakaf.

Peraturan Menteri Agama Nomor 1 Tahun 1978 tentang Peraturan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 1977 tentang Perwakafan Tanah Milik.

Peraturan Menteri Agama Nomor 4 Tahun 2009 tentang Administrasi Pendaftaran Wakaf Uang.

Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 6 Tahun 1977 tentang Tata Pendaftaran Tanah Mengenai Perwakafan Tanah Milik.

Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2006 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf,

Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 1977 tentang Perwakafan Tanah Milik.

Pusat Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia Pusat Bahasa, Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2008, Edisi Keempat.

Qahf, Mundzir, al-Waqf al-Islâmî: Tathawwuruh Idâratuh Tanmiyyatuh, Damaskus: Darul Fikr, 2006.

Siwak, “Data Tanah Wakaf.” Diakses tanggal 16 Agustus 2015, http://siwak.kemenag.go.id/index.php.

Siwak, “Jumlah Tanah Wakaf Seluruh Indonesia.” Diakses tanggal 16 Agustus 2015, http://siwak.kemenag.go.id/tabel_jumlah_tanah_wakaf.php.

Siwak, “Penggunaan Tanah Wakaf Sebagai Sosial Lainnya.” Diakses tanggal 16 Agustus 2015, http://siwak.kemenag.go.id/p_guna.php.

Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf.

Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria.

Uswatun Hasanah, “Wakaf dalam Peraturan Perundang-undangan di

Page 53: Vol 8 no 4.pdf

Peruntukan Wakaf dalam Peraturan Perundang-Undangan dan Kaitannya dengan Wakaf Produktif _657

Indonesia, Jurnal Al-Awqaf, Vol I, No, 1 (2008)

Wakaf MUIS, “Religious Aspect of Wakaf.” Diakses tanggal 16 Agustus 2015, https://www.wakaf.sg/About/Religious-Aspect-of-Wakaf.html.

Yayasan Waqaf Malaysia, “Rukun Wakaf.” Diakses tanggal 16 Agustus 2015, https://www.ywm.gov.my/wakaf/pengenalan.

Zuhaili, Wahbah, al-Fiqh al-Islâmî wa Adillatuh, Damaskus: Darul Fikr, 1985, Vol, VIII.

Page 54: Vol 8 no 4.pdf

658_Jurnal Bimas Islam Vol.8. No.IV 2015

Endnotes

1. “Data Wakaf Seluruh Indonesia.” Badan Wakaf Indonesia. Diakses tanggal 14 Juli 2015. http://bwi.or.id/index.php/en/tentang-wakaf/data-wakaf/data-wakaf-tanah..

2. “Jumlah Tanah Wakaf Seluruh Indonesia,” Siwak, Diakses tanggal 16 Agus-tus 2015. http://siwak.kemenag.go.id/tabel_jumlah_tanah_wakaf.php.

3. “Data Tanah Wakaf,” Siwak, Diakses tanggal 16 Agustus 2015. http://siwak.kemenag.go.id/index.php.

4. Mundzir Qahf, al-Waqf al-Islâmî: Tathawwuruh Idâratuh Tanmiyyatuh, Dam-askus: Darul Fikr, 2006, h. 159.

5. Hadis riwayat Bukhari nomor 2586 dan Muslim nomor 1632.6. Uswatun Hasanah, “Wakaf dalam Peraturan Perundang-undangan di Indo-

nesia,” Jurnal Al-Awqaf, Vol I, Nomor 1, 2008, h. 9.7. Pusat Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia Pusat Bahasa. Edisi Keempat, Ja-

karta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2008, h. 15328. Ibid.9. Muhammad Anwar Ibrahim, “Peran Nazhir Perempuan,” Jurnal Al-Awqaf,

Vol. V, No. 1 (2012), h. 10.10. Ibid., h.2.11. (Al-Zuhaili 1985), h. 159. Lihat juga Mustafa Al-Khin, Mustafa Al-Bugha,

dan Ali Al-Syarbaji, al-Fiqh al-Manhaji ala Madzhab al-Imâm Al-Syafi’i, Dam-askur: Darul Qalam, 1992, Vol. VI., h. 19.

12. “Religious Aspect of Wakaf.” Wakaf MUIS. Diakses tanggal 16 Agustus 2015. https://www.wakaf.sg/About/Religious-Aspect-of-Wakaf.html.

13. “Ahkâm al-Waqf.” Kuwait Awqaf Public Faoundation. Diakses tanggal 13 Agustus 2015. http://www.awqaf.org.kw/arabiC/aboutendowment/fiqhof-waqf/pages/waqfregulations.aspx.

14. “al-Waqf.” General Authority of Islamic Affair dan Endowments. Diakses tanggal 15 Agustus 2015. http://www.awqaf.gov.ae/Waqf.aspx?SectionID=2&RefID=9.

15. “Rukun Wakaf.” Yayasan Waqaf Malaysia. Diakses tanggal 16 Agustus 2015. https://www.ywm.gov.my/wakaf/pengenalan.

Page 55: Vol 8 no 4.pdf

Pertumbuhan Aset Wakaf dan Dilema Produktifitas _659

The Growth Asset and Productivity Dilemma

Pertumbuhan Aset Wakaf dan Dilema Produktifitas

Zainul Arifin Lembaga Pusat Pemberdayaan Masyarakat (LP2M)

email: [email protected]

Abstract: Indonesia holds large potential of waqf, but the potential has not been optimally

managed and utilized. The Government, through the Ministry of Religious Affairs,

has encourage productivity of land waqf by providing productive waqf. This give

impact to the growth of waqf asset management results. However, when it com-

pares to the magnitude of waqf assets, the revenue growth is still relatively small.

This can be happen because most of waqf is landwaqf in Indonesia, the designation

is a place of worship. In the other hands, another findings show, the Nazhir was

not focused in managing waqf assets, they make as a sideline and not be rewarded.

Abstraksi: Indonesia menyimpan potensi wakaf yang besar, tetapi potensi itu belum dikelola

dan dimanfaatkan secara optimal. Pemerintah, melalui Kementerian Agama, juga

telah mendorong produktifitas tanah wakaf dengan memberikan bantuan wakaf

produktif. Hal ini berdampak pada pertumbuhan pendapatan hasil pengelolaan

aset wakaf. Tetapi, jika dibandingkan dengan besarnya aset wakaf, pertumbuhan

Page 56: Vol 8 no 4.pdf

660_Jurnal Bimas Islam Vol.8. No.IV 2015

pendapatan tersebut masih terbilang kecil. Ini bisa terjadi karena sebagian besar

tanah wakaf di Indonesia, peruntukannya adalah tempat ibadah. Di samping itu,

temuan lain juga menunjukkan, para nazhir ternyata tidak terfokus dalam men-

gelola aset wakaf, mereka jadikan sebagai pekerjaan sambilan dan tidak diberi upah.

Keywords: Waqf Asset, productivity, Ministry of Religious Affairs

A. Pendahuluan

Wakaf sejatinya mempunyai kedudukan penting di mata umat Islam. Meski begitu, tak banyak umat Islam Indonesia yang menyadari hal ini. Jika disejajarkan dengan instrumen filantropi lain dalam Islam, masyarakat Indonesia lebih mengenal dan familiar dengan Zakat, Infak, dan Shadaqah (ZIS), dibanding wakaf. Padahal, pada dasarnya, instrument wakaf tak kalah strategis untuk pemberdayaan masyarakat, pembangunan ekonomi bangsa, dan kesejahteraan sosial.

Letak strategis itu terlihat, misalnya jika dibanding zakat, salah satu ciri pembeda adalah tugas pengelola. Amil zakat berkewajiban untuk mendistribusikan “seluruh” harta zakat yang terkumpul kepada 8 golongan (mustahiq). Sedang pengelola wakaf (nazhir) harus menjaga harta wakaf agar tetap “utuh” dan mengelolanya, yang dapat didistribusikan kepada masyarakat adalah manfaat atau hasil pengelolaan dari harta yang diwakafkan (mauquf).

Nilai stategis wakaf juga dapat ditilik dari sisi pengelolaan. Jika zakat ditujukan untuk menjamin keberlangsungan pemenuhan kebutuhan pokok kepada “8 golongan”, maka wakaf lebih dari itu. Hasil pengelolaan wakaf bisa dimanfaatkan berbagai lapisan masyarakat, tanpa batasan golongan, untuk kesejahteraan sosial, pemberdayaan, dan membangun peradaban umat. Karena itu, keutamaan wakaf terletak pada hartanya yang utuh atau kekal, dan manfaatnya yang terus berlipat dan mengalir

Page 57: Vol 8 no 4.pdf

Pertumbuhan Aset Wakaf dan Dilema Produktifitas _661

abadi. Karena itu, pahala wakaf tidak akan terputus meski wakif (orang yang berwakaf) sudah tutup usia.

Berdasarkan ijma ulama, inilah yang dimaksud Rasulullah saw. dengan “shadaqah jariyah,” seperti tercermin dalam sabdanya, “Apabila anak Adam meninggal maka terputuslah semua amalnya kecuali tiga perkara: shadaqah jariyah, ilmu yang bermanfaat, dan anak soleh yang mendoakannya.” (HR. Muslim). Imam Nawawi dalam kitabnya, Syarh Shahih Muslim mempertegas, yang dimaksud dengan shadaqah jariyah dalam hadis tersebut adalah wakaf. Hakikat wakaf, menurutnya, adalah menahan harta (nilai pokok) dan membagikan hasil pengelolaannya.1

Dengan demikian, wakaf mempunyai dua dimensi manfaat yang tak bisa dipisahkan, yaitu meningkatkan kualitas kehidupan masyarakat dengan pendistribusian hasil pengelolaan dan mengunduh hasil investasi pahala yang ditanam di dunia untuk dipetik di akhirat kelak. Karenanya, wakaf juga disebut sebagai ibadah sosial. Ini adalah jenis ibadah yang lebih berorientasi pada habl min al-nas, hubungan manusia dengan manusia dan lingkungannya, atau biasa juga disebut kesalehan sosial. Berwakaf bagi seorang muslim merupakan realisasi ibadah kepada Allah melalui harta benda yang dimilikinya, yaitu dengan melepas benda yang dimilikinya (private benefit) untuk kepentingan umum (social benefit). Pada titik inilah yang menjadikan pahala wakaf terus mengalir.

Begitu besar keutamaan dan manfaat wakaf bagi kehidupan masyarakat dan peningkatan taraf hidup serta kesejahteraan dalam berbangsa dan bernegara. Jika wakaf didayagunakan dengan baik dan benar maka kesejahteraan di bumi pertiwi ini bukanlah sesuatu yang muhal.

B. Kekayaan Aset Tanah Wakaf

Aset wakaf berupa tanah dan bangunan merupakan potensi besar yang menempatkan wakaf sebagai asset besar umat Islam. Tercatat ada beberapa aset wakaf yang bernilai tinggi, diantaranya beberapa contoh

Page 58: Vol 8 no 4.pdf

662_Jurnal Bimas Islam Vol.8. No.IV 2015

asset wakaf di Jakarta yang memilki potensial besar seperti, Masjid Baitul Mughni di Gatot Subroto, Jaksel; Masjid Said Naum di Tanah Abang, Jakpus; Masjid Raya Pondok Indah, Jaksel, Masjid Agung Sunda Kelapa, wakaf Darul Aitam di Tanah Abang, Jakpus; Masjid Hidayatullah di Jl Sudirman, Jakarta dan beberapa masjid lainnya di Jakarta.2 Kesemuanya tentu sangat bernilai tinggi.

Pemanfaatan aset wakaf adalah langkah awal menuju optimalisasi pemanfaatan wakaf. Menurut Mustafa Edwin Nasution, ahli ekonomi Islam, wakaf bisa menjadi tulang punggung kemakmuran, kesejahteraan bagi masyarakat Indonesia baik untuk dunia maupun akhirat. Dikarenakan, hal tersebut bukanlah yang susah melainkan hal yang harus dirubah dalam karakter dan pemahaman tentang bagaimana masyarakat memberikan sesuatu yang sederhana untuk menjadi sesuatu yang besar.3 Maka, pemanfaatan aset wakaf menjadi produktif adalah sesuatu yang urgen untuk segera direalisasikan.

Aset wakaf berupa tanah atau bangunan, tak jarang menjaid obyek sengketa atau bahkan pengambil alihan. Menurut BWI, Masjid dan Mushola yang dibangun dari tanah wakaf banyak dimanfaatkan oleh pihak lainnya. Bahkan tak jarang banyak tanah yang diserobot dan dibangun untuk gedung komersial dan hal tersebut telah banyak terjadi di Jakarta.4 Hal itu itu terjadi karena tanah wakaf tersebut berdiri ditanah negara.

Menurut Achmad Djunaedi dari BWI, sebelum adanya tanah wakaf, tanah yang ada di Indonesia merupakan tanah negara dan banyak warga Indonesia pada saat itu mendirikan bangunan diatasnya. Sehingga, tanah wakaf tersebut tidak memiliki akta atau sertifikat. Tanah yang tidak bersertifikat dan tidak berakta tersebut kemudian diwakafkan kepada nazhir (orang yang memegang amanat untuk memeliharta dan menyelenggarakan harta wakaf sesuai dengan tujuan perwakafan tersebut) yang masih menggunakan cara tradisional dan tidak memiliki ilmu dalam mengelola wakaf. Akibatnya, terjadilah sengketa antara nazhir dan pihak pengelola bangunan memperebutkan kepemilikan

Page 59: Vol 8 no 4.pdf

Pertumbuhan Aset Wakaf dan Dilema Produktifitas _663

tanah wakaf dimaksud. Keduanya merasa sama-sama berhak; nazhir mempunyai sertifikat, sementara pengelola bangunan juga memiliki sertifikat atas tanah tersebut.5

Data pada Ditjen Bimas Islam juga menujukkan angka yang fantastik. Hingga tahun 2014, jumlah lokasi tanah wakaf tercatat sebanyak 435.395 lokasi yang tersebar di seluruh provinsi di Indonesia, dengan luas menca-pai 4.142.464.288.366 m. Dari jumlah lokasi tersebut 288.429 (66%) lo ka-si di antaranya sudah mempunyai sertifikat, sedangkan sisanya 146.966 (34%) lokasi belum bersertifikat dengan rincian sebagai berikut: dalam proses di BPN 3.2157 lokasi (22%), dalam proses KUA, 72.082 lokasi (49%), belum AIW 42.727 lokasi (29%). Status lokasi tanah wakaf tersebut digambarkan sebagai berikut :

Gambar 1Status tanah wakaf6

Gambar 2Status tanah wakaf belum bersertifikat7

Page 60: Vol 8 no 4.pdf

664_Jurnal Bimas Islam Vol.8. No.IV 2015

Dengan total luas tanah wakaf 4.142.646.287,906 m2, tahun 2013 ini Provinsi Banten memiliki luas tanah wakaf terluas sebesar 8.039.298.377,800 m2, Provinsi Riau seluas 11.429.968.288 m2. 10.80.551.544.34, dan Provinsi Aceh seluas 767869011.58 m2. Dari segi jumlah lokasi, provinsi Jawa Tengah tercatat merupakan provinsi yang mempunyai lokasi tanah wakaf terbanyak yaitu 103.294 lokasi, disusul Jawa Barat sebanyak 70.860 lokasi dan Jawa Timur 74.429 lokasi.

Pada saat yang bersamaan, proses optimalisasi aset wakaf tak bisa dilepaskan dari eksistensi Pejabat Pembuat Akta Ikrar Wakaf (PPAIW) yang mana seluruh Indonesia tercatat berjumlah 5.382 orang dan tersebar pada seluruh KUA Kecamatan. Pejabat Pembuat Akta Ikrar Wakaf atau disingkat dengan PPAIW menurut ketentuan Umum Undang-undangNomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf adalah pejabat berwenang yang ditetapkan oleh Menteri Agama Republik Indonesia untuk membuat Akta Ikrar Wakaf (AI\Xl). Yang dimaksud dengan pejabat disini adalah orang yang diberikan tugas dan kewenangan yang sah menurut hukum untuk membuat AIW Sedangkan AIW adalah bukti pernyataan kehendak Wakif untuk mewakafkan harta benda miliknya guna dikelola Nazhir (pengelola waka£) sesuai dengan peruntukan harta benda wakaf yang dituangkan dalam bentuk “akta.”8

Akta Ikrar Wakaf (AIW) termasuk dalam kategori akta otentik karena dibuat oleh pejabat yang berwenang yang ditunjuk oleh Menteri Agama, baik dari unsur Kepala KUA maupun notaris yang telah memenuhi syarat sebagaimana diatur dalam Pasal 37 Peraturan Pemerintah Nonor 42 Tahun 2006 tentang Pelaksanaan Undang-undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf.9 Akta merupakan salah satu alat bukti tertulis (surat) sebagaimana diatur dalam pasal138, 165, 167 HIR; 164,285-305 Rbg dan pasal1867- 1894 KUH Per. Keharusan ditandatanganinya suatu akta didasarkan pada ketentuan pasal 1869 KUH Per, dengan tujuan untuk mengindividualisir suatu akta sehingga dapat membedakan dari satu akta dengan yang lainnya.10

Page 61: Vol 8 no 4.pdf

Pertumbuhan Aset Wakaf dan Dilema Produktifitas _665

Secara ex-officio kepala KUA adalah pejabat pembuat akta ikrar wakaf (PPAIW), sehingga jum lah PPAIW sama dengan jumlah kecamatan. Provinsi Jawa Timur ter ca tat sebagai daerah yang mempunyai PPAIW paling banyak yaitu 661 (12,28%) orang, disusul oleh Jawa Barat dan Jawa Tengah masing-masing 618 (11,48%) orang dan 579 (10,76%) orang.11

Gambar 3Jumlah PPAIW di Indonesia Tahun 2014

C. Produktifitas dan Pertumbuhan Aset

Paradigma pengelolaan wakaf kini tak lagi asal-asalan. Para pelaku perwakafan telah menempatkannya dalam peran yang sangat penting dalam berbagai aktifitas sosial, ekonomi dan kebudayaan. Wakaf misalnya, telah menjadi pendorong lahirnya layanan kesehatan, pemberdayaan ekonomi serta pemberdayaan ummat. Bahkan, keberadaan wakaf juga telah banyak memfasilitasi parasarjana dan mahasiswa melakukan riset dan pendidikan, sehingga mengurangi ketergantungan dana pada pemerintah. Keberadaan wakaf juga terbukti telah banyak membantu bagi pengembangan ilmu-ilmu medis melalui penyediaan fasilitas-fasilitas publik dibidang kesehatan dan pendidikan. Bahkan pendidikan medis kini tidak hanya diberikan oleh sekolah-sekolah medis dan rumahsakit saja, akan tetapi juga telah diberikan oleh masjid-masjid dan universitas-universitas seperti al-Azhar kairo Mesir yang dibiayai dari dana hasil pengolaan aset wakaf. Inilah peran baru wakaf yang menegaskan bahwa institusi wakaf telah menjalankan sebagian tugas-tugas pemerintah.12

Page 62: Vol 8 no 4.pdf

666_Jurnal Bimas Islam Vol.8. No.IV 2015

Sejarah mencatat keberhasilan beberapa generasi Islam dalam mengelola wakaf untuk kesejahteraan umat. Salah satunya adalah dinasti Ayyubiyah di Mesir. Kebijakan dinasti Ayyubiyah menempatkan bahwa wakaf tidak hanya sebatas pada benda tidak bergerak saja, akan tetapi juga benda bergerak semisal wakaf tunai. Maka pada tahun 1178 M / 572 H, dalam rangka mensejahterakan ulama dan kepentingan misi madhhab Sunni, sang khalifah, Salahuddin al-Ayyubi, mengeluarkan kebijakan bahwa setiap orang Kristen yang datang untuk berdagang diwajibkan membayar cukai. Dan uang hasil pembayaran tersebut dikumpulkan untuk selanjutnya diwakafkan kepada para ulama dan para keturunannya.13

Irfan Syauki Bek, salah satu praktisi perwakafan, menegaskan bahwa fakta pun telah menunjukkan banyak lembaga yang bisa bertahan dengan memanfaatkan dana wakaf, dan bahkan memberikan kontribusi yang signifikan. Sebagai contoh adalah Universitas Al Azhar Mesir, PP Modern Gontor, Islamic Relief (sebuah organisasi pengelola dana wakaf tunai yang berpusat di Inggris), dan sebagainya. Islamic Relief mampu mengumpulkan wakaf tunai setiap tahun tidak kurang dari 30 juta poundsterling, atau hampir Rp 600 miliar, dengan menerbitkan sertifikat wakaf tunai senilai 890 poundsterling per lembar. Dana wakaf tunai tersebut kemudian dikelola secara amanah dan profesional, dan disalurkan kepada lebih dari 5 juta orang yang berada di 25 negara. Bahkan di Bosnia, wakaf tunai yang disalurkan Islamic Relief mampu menciptakan lapangan kerja bagi lebih dari 7.000 orang melalui program Income Generation Waqf.14

Menurut A. Faishal Haq, peneliti IAIN Sunan Ampel Surabaya, upaya konkrit yang dapat dilakukan agar wakaf tunai dapat berkembang, familier, diserap dan dipraktekkan masyarakat secara luas yang perlu diperhatiakan adalah :

1. Konsep dan Strategi dalam menghimpun dana ( fund rising ) yaitu bagaimana wakaf tunai tersebut dimobilisasi secara maksimal dengan

Page 63: Vol 8 no 4.pdf

Pertumbuhan Aset Wakaf dan Dilema Produktifitas _667

memperkenalkan produk Sertifikat Wakaf Tunai yang besarannya disesuaikan dengan segmentasi sasaran yang akan dituju.

2. Pengelolaan Dana dari Wakaf Tunai harus mempertimbangkan aspek produktifitas kemanfaatan dan keberlanjutan dengan memperhatikan tingkat visibelitas dan keamanan investasi, baik investasi langsung dalam kegiatan sektor riil produktif maupun dalam bentuk deposito pada bank syari’ah, investasi penyertaan modal ( equty invesment ) melalui perusahaan modal ventura dan investasi portofolio painnya.

3. Distribusi hasil kepada penerima manfaat ( beneficaries ) dapat diklasifikasikan sesuai dengan kebutuhan mendesak masyarakat dalam skala prioritas sesuai dengan orientasi dan tujuan wakif baik berupa penyantunan (charity), pemberdayaan ( empowerment ), invertasi sumber daya insani (human investment), maupun investasi infra struktur (infra struktur invesment). Pilihan-pilhan tersebut tentunya dengan memperhatikan ketersediaan dana dari hasil wakaf tunai yang dikelola.15

Pengelolaan wakaf secara profesional juga diwujudkan Ditjen Bimas Islam melalui kebijakan strtaegis berupa wakaf produktif. Kementerian Agama dalam hal ini Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam memiliki peran sebagai fasilitator, dinamisator, pembuat kebijakan dan mitra umat dalam menggalang potensi wakaf dan membangkitkan partisipasi umat untuk memberdayakan tanah wakaf. Dalam upaya membangkitkan partisipasi umat tersebut, telah memberikan bantuan stimulus kepada Nazhir (pengelola tanah wakaf) yang memiliki potensi ekonomi tinggi untuk memberdayakan, mengelola dan mengembangkan tanah wakaf dengan mendirikan jenis-jenis usaha produktif sebagai percontohan wakaf produktif.

Page 64: Vol 8 no 4.pdf

668_Jurnal Bimas Islam Vol.8. No.IV 2015

No. Tahun Jumlah Lokasi Nilai Bantuan

1 2005 5 4.400.000.000 2 2006 13 20.000.000.000 3 2007 4 5.500.000.000 4 2008 - - 5 2009 6 3.000.000.000 6 2010 13 2.500.000.000 7 2011 23 9.750.000.000 8 2012 11 3.750.000.000 9 2013 17 8.000.000.000 92 56.900.000.000

Tabel 1Sebaran bantuan wakaf produktif

berdasarkan lokasi dari Tahun 2005-201316

Sejak tahun 2005 hingga 2013, Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam telah memberikan bantuan pemberdayaan wakaf produktif bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) yang tersebar di 92 lokasi pada 25 provinsi dengan total Rp 56.900.000.000,- (lima puluh enam milyar sembilan ratus juta rupiah).

NO Provinsi Nilai Bantuan

Jumlah Lokasi

% Nilai Bantuan

% Lokasi

1 Aceh 500.000.000 1 0,88 1,09

2 Sumatera Utara 2.000.000.000 1 3,51 1,09

3 Sumatera Barat 300.000.000 1 0,53 1,09

4 Sumatera Selatan

550.000.000 2 0,97 2,17

5 Lampung 500.000.000 1 0,88 1,09

6 Bangka Belitung 400.000.000 1 0,70 1,09

Page 65: Vol 8 no 4.pdf

Pertumbuhan Aset Wakaf dan Dilema Produktifitas _669

7 DKI Jakarta 1.700.000.000 4 2,99 4,35

8 Jawa Barat 11.605.500.000 21 20,40 22,83

9 Jawa Tengah 15.572.000.000 17 27,37 18,48

10 DI Yogyakarta 1.156.000.000 3 2,03 3,26

11 Jawa Timur 3.800.000.000 5 6,68 5,43

12 Banten 4.150.000.000 5 7,29 5,43

13 Bali 955.500.000 5 1,68 5,43

14 Nusa Tenggara Barat

955.500.000 3 1,68 3,26

15 Nusa Tenggara Timur

550.000.000 2 0,97 2,17

16 Kalimantan Barat

500.000.000 1 0,88 1,09

17 Kalimantan Tengah

550.000.000 2 0,97 2,17

8 Kalimantan Timur

500.000.000 1 0,88 1,09

19 Sulawesi Utara 400.000.000 1 0,70 1,09

20 Sulawesi Tengah

1.450.000.000 3 2,55 3,26

21 Sulawesi Selatan

6.755.500.000 8 11,87 8,70

22 Sulawesi Tenggara

1.000.000.000 1 1,76 1,09

23 Maluku 600.000.000 1 1,05 1,09

Page 66: Vol 8 no 4.pdf

670_Jurnal Bimas Islam Vol.8. No.IV 2015

24 Maluku Utara 50.000.000 1 0,09 1,09

25 Papua Barat 400.000.000 1 0,70 1,09

56.900.000.000 92 100,00 100,00

Tabel 2Sebaran bantuan wakaf produktif

berdasarkan provinsi Tahun 2005–201317

Bantuan wakaf produktif ini diarahkan dalam dua tujuan besar. Pertama, optimalisasi pemanfaatan aset wakaf menjadi produktif. Harus diakui bahwa masih banyak aset wakaf yang tidak produktif, tanah menganggur dan sebagainya. Walhasil, aset tanah yang seharusnya menghasilkan income bagi umat, justru tak berguna. Dan, melalui bantuan wakaf produktif inilah tanah aset wakaf tersebut dihidupkan lebih produktif.

Kedua, menjadi stimulus dan daya tarik bagi pengembangan model wakaf produktif. Dari data yang diperoleh tergambar bahwa ada varian yang beragam model pengembangan usaha wakaf, misalnya minimarket, pertokoan, hotel dan kamar kos. Model pengembangan ini tentu belumlah disebut berhasil, akan tetapi menjadi langkah awal untuk merumuskan kebijakan lebih besar bagi pemanfaatan wakaf produktif. Dalam arti lain, model pemanfaatan wakaf produktif diharapkan mendorong lahirnya inovasi-inovasi yang memungkinkan aset wakaf dikelola lebih produktif.

No. Penggunaan Nilai Bantuan Jumlah Lokasi

1 Hotel dan Kamar Kos 3.300.000.000 5

2 Pertokoan 10.000.000.000 9

3 Mini Market 16.200.000.000 28

4 Gedung Pendidikan 2.700.000.000 2

Page 67: Vol 8 no 4.pdf

Pertumbuhan Aset Wakaf dan Dilema Produktifitas _671

5 Gedung Serba Guna 3.100.000.000 3

6 Bisnis Center 4.900.000.000 4

7 peternakan 7.300.000.000 15

8 Rumah Sakit 2.500.000.000 2

9 SPBU 2.000.000.000 1

10 Apotik 500.000.000 1

11 Percetakan 400.000.000 1

12 Meubelair 350.000.000 1

13 Home Industri 650.000.000 2

14 Perikanan 400.000.000 1

15 Koperasi 1.900.000.000 4

16 Usaha Mikro 700.000.000 13

56.900.000.000 92

Tabel 3Sebaran bantuan wakaf produktif18

berdasarkan penggunaan di Seluruh Indonesia Tahun 2005–2013

Kita dapat melihat bagaimana pertumbuhan aset wakaf cukup memuaskan, yangmana hal ini juga berdampak pada peningkitan pendapatan. Berdasarkan data pada Ditjen Bimas Islam, bahwa pada periode tahun 2008, jumlah asset secara kumulatif sebesar Rp34,500.960.765,- (tanpa Kuningan, Medan, Magelang, Kupang, dan Buaran Pekalongan). Dan, Jumlah pendapatan secara kumulatif sebesar Rp12.057.429.632,- dengan rata-rata pendapatan sebesar Rp803.828.308,-/tahun/lokasi. Sedangkan pada periode tahun 2009, jumlah aset secara kumulatif sebesar Rp45.731.642.716.,- (tanpa Kuningan, Medan, Kupang,

Page 68: Vol 8 no 4.pdf

672_Jurnal Bimas Islam Vol.8. No.IV 2015

Poso, dan Magelang serta penerima bantuan tahun 2009). Jumlah pendapatan secara kumulatif sebesar Rp16.576.132.386,- dengan rata-rata pendapatan sebesar Rp1.036.008.274,-/tahun/lokasi.

Dan, pada periode tahun 2010. Jumlah aset secara kumulatif sebesar Rp44.574.418.318,- (tanpa Kuningan, Medan, Magelang, Kupang dan penerima bantuan tahun 2010). Jumlah pendapatan secara kumulatif sebesar Rp20.847.072.997,- dengan rata-rata pendapatan sebesar Rp. 868.628.041,-/tahun/lokasi.

Gambar 3Bantuan Pemberdayaan Wakaf Produktif Berdasarkan

Pertumbuhan Jumlah Aset dan Pendapatan19

NO Provinsi Nilai BantuanJumlah Lokasi

% Nilai Bantuan

% Lokasi

1 Aceh 500.000.000 1 0,88 1,09

2 Sumatera Utara 2.000.000.000 1 3,51 1,093 Sumatera Barat 300.000.000 1 0,53 1,09

4Sumatera Selatan

550.000.000 2 0,97 2,17

5 Lampung 500.000.000 1 0,88 1,09

6Bangka Belitung

400.000.000 1 0,70 1,09

Page 69: Vol 8 no 4.pdf

Pertumbuhan Aset Wakaf dan Dilema Produktifitas _673

7 DKI Jakarta 1.700.000.000 4 2,99 4,358 Jawa Barat 11.605.500.000 21 20,40 22,839 Jawa Tengah 15.572.000.000 17 27,37 18,4810 DI Yogyakarta 1.156.000.000 3 2,03 3,2611 Jawa Timur 3.800.000.000 5 6,68 5,4312 Banten 4.150.000.000 5 7,29 5,4313 Bali 955.500.000 5 1,68 5,43

14Nusa Tenggara Barat

955.500.000 3 1,68 3,26

15Nusa Tenggara Timur

550.000.000 2 0,97 2,17

16Kalimantan Barat

500.000.000 1 0,88 1,09

17Kalimantan Tengah

550.000.000 2 0,97 2,17

8Kalimantan Timur

500.000.000 1 0,88 1,09

19 Sulawesi Utara 400.000.000 1 0,70 1,09

20Sulawesi Tengah

1.450.000.000 3 2,55 3,26

21Sulawesi Selatan

6.755.500.000 8 11,87 8,70

22Sulawesi Tenggara

1.000.000.000 1 1,76 1,09

23 Maluku 600.000.000 1 1,05 1,0924 Maluku Utara 50.000.000 1 0,09 1,09

25 Papua Barat 400.000.000 1 0,70 1,09

56.900.000.000 92 100,00 100,00

Tabel 3Sebaran bantuan wakaf produktif

berdasarkan provinsi Tahun 2005–201320

Page 70: Vol 8 no 4.pdf

674_Jurnal Bimas Islam Vol.8. No.IV 2015

Dalam lima tahun ini kita dapat melihat bahwa arah pengelolaan wakaf telah menujukkan grafik yang menggembirakan. Pemerintah telah membuka ruang yang cukup luas bagi publik berpartisipasi mengelola potensi wakaf, slaha staunya melalui pembentukan Badan Wakaf Indonesia (BWI).

D. Usaha Produktifitas Terbentur Peruntukan

A. Faishal Haq dalam penelitiannya mengungkapkan bahwa pemanfaatan wakaf dapat digunakan untuk mendukung berbagai aktivitas, baik di bidang pengadaan social good maupun private good. Menurutnya, penggunaan dana hasil pengelolaan wakaf tersebut dapat membuka peluang bagi analisa ekonomi yang menarik berkenaan dengan alokasi sumber dalam kerangka keuangan publik. Biasanya, social good didefinisikan sebagai barang yang dapat dikonsumsi oleh berbagai pihak, di mana pihak-pihak tersebut tidak dapat saling meniadakan/mengalahkan (non-viral), sulit menentukan harganya, dan pemanfaatan oleh seseorang tidak mengurangi manfaat bagi orang lain. Kondisi ini tidak berlaku bagi private good, di mana kita dapat menentukan harganya serta mengeluarkan orang lain agar tidak dapat mengkonsumsikannya. Oleh Karena itu, sifat konsumsinya adalah “rival”. Dengan kata lain, manfaat yang diperoleh seseorang yang mengkonsumsi social good adalah “externalized” dimana barang tersebut juga dapat dimanfaatkan orang lain. Inilah kondisi yang terkait dengan social goods. Sedangkan private goods, manfaat dari konsumsi dinikmati secara khusus oleh konsumen tertentu, dan akibat kegiatan mengkonsumsi tersebut, maka orang lain tidak dapat mengkonsumsinya.21

Faishal mencontohkan, jika dana hasil pengelolaan asset wakaf tersebut dimanfaatkan untuk membangun jembatan, maka barang tersebut memiliki ciri sebagai social good. Adapun ketika dana tersebut digunakan membangun rumah sakit atau sekolahan, maka barang itu disebut sebagai private good dan oleh karenanya harganya dapat ditentukan. Dengan demikian, lanjutnya, ketika keseluruhan sumber

Page 71: Vol 8 no 4.pdf

Pertumbuhan Aset Wakaf dan Dilema Produktifitas _675

yang diperoleh dari Wakaf Properti dibagi menjadi private dan social good atau ketika campuran social good dipilih, keberadaan konsumsi yang non-rival mengubah kondisi kegunaan sumber yang efisien, yang semula bersifat rival.22

Kita patut apresiasi usaha pemerintah dalam mendorong para nazhir, sebagaimana di atas, dalam memberikan bantuan dalam memproduktifkan aset-aset wakaf yang dikelolanya. Tapi ternyata, usaha pemerintah itu nampaknya masih jauh panggang dari api. Sebab, wakaf produktif yang diharapkan tersebut harus berbenturan dengan peruntukan tanah wakaf. Tempat ibadah ternyata masih mendominasi peruntukan tanah wakaf di Indonesia.

Dari luas seluruh tanah wakaf sejumlah 14.077.413.224,244 m2, yang tersebar di 471.265 lokasi, sebagian besar di antaranya dipergunakan untuk masjid sejumlah (76%) lokasi, sarana pendidikan sekolah sebanyak (10%), untuk makam sejumlah (7%) lokasi, Panti Asuhan sebanyak (2%) lokasi, sedangkan sisanya diperuntukkan pada Pertanian, Bisnis dan lain-lain.

Fakta ini tidak jauh berbeda dengan temuan Pusat Bahasa dan Budaya (PBB) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Penelitian tersebut mengungkapkan, harta wakaf lebih banyak bersifat konsumtif (77%) daripada yang menghasilkan atau produktif (23%).23 Temuan lain menunjukkan, pemanfaatan terbesar harta wakaf adalah masjid dan musala (79%)24 daripada peruntukkan lainnya seperti kuburan, lembaga pendidikan, dan sarana umum. Data ini menunjukkan bahwa aset tanah wakaf yang tersebar di Nusantara masih dikelola secara konsumtif, belum ke arah produktif.

Padahal, pengelolaan aset wakaf seharusnya dikembangkan secara produktif agar dapat meningkatkan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat. Sebab, substansi atau ruh dari ajaran wakaf adalah produktifitas.25

Page 72: Vol 8 no 4.pdf

676_Jurnal Bimas Islam Vol.8. No.IV 2015

Temuan lain juga menunjukkan, para nazhir ternyata tidak terfokus dalam mengelola, mereka mayoritas bekerja sambilan dan tidak diberi upah (84%), dan yang bekerja secara penuh dan terfokus ternyata amatlah minim (16 %). Selain itu, wakaf di Indonesia lebih banyak dikelola oleh perseorangan (66%) alias tradisional, daripada organisasi professional (16%) dan berbadan hukum (18%).26

Hasil penelitian di atas, kalau dicermati, ternyata berbanding lurus. Para nazhir perseorangan yang tradisional (tidak profesional) dan tidak terfokus, yang jumlahnya besar itu, tentu saja tidak mampu mengelola wakaf dengan baik. Akhirnya, mereka belum mampu mengelola aset wakaf ke arah produktif. Mayoritas harta wakaf masih dimanfaatkan untuk kebutuhan konsumtif seperti masjid dan kuburan. Dengan begitu, perwakafan di Indonesia masih jauh dari kategori produktif. Inilah pekerjaan rumah yang harus dipecahkan bangsa ini.

Di antara masalah-masalah perwakafan yang timbul di lapangan adalah sebagai berikut.

Pertama, pemahaman tentang pemanfaatan dan harta benda wakaf. Selama ini, umat Islam masih banyak yang beranggapan bahwa aset wakaf itu hanya boleh digunakan untuk tujuan ibadah saja. Misalnya, pembangunan masjid, komplek kuburan, panti asuhan, dan pendidikan. Padahal, nilai ibadah itu tidak harus berwujud apa adanya seperti itu. Bisa saja, di atas lahan wakaf dibangun pusat perbelanjaan, yang keuntungannya nanti dialokasikan untuk beasiswa anak-anak yang tidak mampu, layanan kesehatan gratis, atau riset ilmu pengetahuan. Ini juga bagian dari ibadah.

Selain itu, pemahaman ihwal benda wakaf juga masih sempit. Harta yang bisa diwakafkan masih dipahami sebatas benda tak bergerak, seperti tanah. Padahal wakaf juga bisa berupa benda bergerak, antara lain uang, logam mulia, surat berharga, kendaraan, hak kekayaan intelektual, dan hak sewa. Ini sebagaimana tercermin dalam Bab II, Pasal 16, UU No. 41

Page 73: Vol 8 no 4.pdf

Pertumbuhan Aset Wakaf dan Dilema Produktifitas _677

tahun 2004, dan juga sejalan dengan fatwa MUI ihwal diperbolehkannya wakaf uang.

Kedua, jumlah tanah strategis dan kontroversi pengalihan tanah. Jika ditilik jumlah tanah wakaf, memang sangatlah luas. Tapi tak semuanya bisa dikategorikan tanah strategis. Hal ini bisa dicermati dari lokasi dan kondisi tanah. Kalau lokasinya di pedalaman desa dan tanahnya tak subur, secara otomatis, susah untuk diproduktifkan. Karena itu, jalan keluarnya adalah pengalihan tanah atau tukar guling (ruislag) untuk tujuan produktif. Dan ternyata, langkah ini pun berbuah kontroversi. Seharusnya ini tak terjadi lagi, sebab mekanismenya sudah dijelaskan dalam pasal 40 dan 41 UU No. 41 tahun 2004 dan PP No. 42 tahun 2006 pasal 49-51.

Ketiga, tanah wakaf yang belum bersertifikat. Ini lebih dikarenakan tradisi kepercayaan yang berkembang di masyarakat. Menurut kaca mata agama, wakaf cukup dengan membaca shighat wakaf seperti waqaftu (saya telah mewakafkan) atau kata-kata sepadan yang dibarengi dengan niat wakaf secara tegas. Dengan begitu, wakaf dinyatakan sah. Jadi tidak perlu ada sertifikat dan administrasi yang diangap ruwet oleh masyarakat. Akibatnya, tanah wakaf yang tidak bersertifikat itu tidak bisa dikelola secara produktif karena tidak ada legalitasnya, bahkan rawan konflik.

Keempat, nazhir (pengelola) masih tradisional dan cenderung konsumtif. Meski tidak termasuk rukun wakaf, para ahli fikih mengharuskan wakif (orang yang wakaf) untuk menunjuk nazhir wakaf. Nazhir inilah yang bertugas untuk mengelola harta wakaf. Tapi, sayangnya para nazhir wakaf di Indonesia kebanyakan masih jauh dari harapan. Pemahamannya masih terbilang tradisional dan cenderung bersifat konsumtif (non-produktif). Maka tak heran, jika pemanfaatan tanah wakaf kebanyakan digunakan untuk pembangunan masjid an sich. Padahal, masjid sebenarnya juga bisa diproduktifkan

Page 74: Vol 8 no 4.pdf

678_Jurnal Bimas Islam Vol.8. No.IV 2015

dan menghasilkan ekonomi dengan mendirikan lembaga-lembaga perekonomian Islam di dalamnya, seperti BMT, lembaga zakat, wakaf, mini market, dan sebagainya.

Irfan Syauki Bek pun mengajukan tiga langkah yang mendesak untuk dilakukan guna meningkatkan pengelolaan wakaf produktif. Pertama, hendaknya kampanye dan sosialisasi wakaf tunai lebih ditingkatkan. Kedua, segera membentuk dan memperkuat struktur BWI sebagai lembaga nadzir negara. Ketiga, mendorong bank syariah dan lembaga keuangan syariah lainnya untuk mengintensifkan gerakan wakaf tunai sebagai gerakan pengentasan kemiskinan nasional.27

E. Penutup

Melihat kenyataan di atas, kita patut mengelus dada. Di negeri yang berpenduduk Islam terbesar di dunia ini, ternyata wakaf masih belum mampu memberikan dampak sosial yang signifikan. Padahal, di seluruh belahan dunia, “wakaf produktif” sudah jadi paradigma utama dalam mengelola aset. Tak heran, jika dibanding negara-negara mayoritas berpenduduk Islam, perwakafan di Indonesia tertinggal jauh. Sebut saja Mesir, Aljazair, Sudan, Kuwait, dan Turki, mereka jauh-jauh hari sudah mengelola wakaf ke arah produktif.28

Sekadar contoh, di Sudan, Badan Wakaf Sudan mengola aset wakaf yang tidak produktif dengan mendirikan bank wakaf. Lembaga keuangan ini digunakan untuk membantu proyek pengembangan wakaf, mendirikan perusahaan bisnis dan industri. Contoh lain, untuk mengembangkan produktifitas aset wakaf, pemerintah Turki mendirikan Waqf Bank and Finance Corporation. Lembaga ini secara khusus untuk memobilisasi sumber wakaf dan membiayai berbagai jenis proyek joint venture.

Bahkan, di negara yang penduduk muslimnya minor, pengembangan wakaf juga tak kalah produktif. Sebut saja Singapura, satu misal. Aset wakaf di Singapura, jika dikruskan, berjumlah S$ 250 juta. Untuk mengelolanya, Majelis Ugama Islam Singapura (MUIS) membuat anak

Page 75: Vol 8 no 4.pdf

Pertumbuhan Aset Wakaf dan Dilema Produktifitas _679

perusahaan bernama Wakaf Real Estate Singapura (Warees). Warees merupakan perusahaan kontraktor guna memaksimalkan aset wakaf. Contoh, Warees mendirikan gedung berlantai 8 di atas tanah wakaf. Pembiayaannya diperoleh dari pinjaman dana Sukuk sebesar S$ 3 juta, yang harus dikembalikan selama lima tahun. Gedung ini disewakan dan penghasilan bersih mencapai S$ 1.5 juta per tahun.29 Setelah tiga tahun berjalan, pinjaman pun lunas. Selanjutnya, penghasilan tersebut menjadi milik MUIS yang dialokasikan untuk kesejahteraan umat.

Berkaca pada pengalaman beberapa negara dalam mengelola wakaf, tentunya sebagai negara berpenduduk muslim terbesar di dunia, umat Islam Indonesai harus optimis memberikan inovasi-inovasi strategis bagi penguatan pengelolaan wakaf. Kita memiliki SDM dan SDA yang melimpah, tentunya semua itu harud dikelola secara baik dan profesional.

Page 76: Vol 8 no 4.pdf

680_Jurnal Bimas Islam Vol.8. No.IV 2015

Daftar Pustaka

A. Faishal Haq, “Wakaf Kontemporer, Dari Teori Ke Aplikasi,” Jurnal Maliyah, Vol. 02, No. 02, Desember 2012

Al-Hisni, Taqiyuddin, Kifayat al-Akhyar fi Halli Ghayat al-Ikhtisar, Semarang: Toha Putra, tt.

Dafterdar, Hisyam, Waqf and Productivity, (KAPF: 2010).

Djunaidi, Ahmad dan Thabib al-Asyhar, Menuju Era Wakaf produktif, Depok: Mumtaz Publishing, 2008.

Al-Dusuqi, Muhammad ‘Arafah, Hashiah al-Dusuqi ‘ala al-Sharh al-Kabir, Kairo: Dar Ihya’ al-Kutub al-‘Arabiyyah, tt.

Ellis, S. dan Noyes, Proof Positive: Developing Significant Volunteer Record-keeping Systems,. Philadelphia: Energize, 1995.

Elsefy, Hasan, Islamic Finance: A Comparative Jurisprudential Study, Kuala Lumpur, University of Malaya Press, 2007.

Fabozzi, Frank J, Investment Management, New Jersey: Prentice-Hall, 1999.

Fahmi, Irham, Analisis Investasi dalam Prespektif Ekonomi dan Politik, Bandung: Refika Aditama, 2008.

Goodhart, CAE, The Central Bank and the Financial System, London: MacMillan, 1995.

Hamud, Semi Hasan, Tatwir al-‘Amal al-Masrafiyyah bima Yattafiq al-Shariah al-Islamiyyah, Aman: Matba‘ah al-Sharq, 1992.

Hasanah, Uswatun, Peran Wakaf dalam Mewujudkan Kesejahteraan Sosial, Studi Kasus Pengelolaan Wakaf di Jakarta Selatan, Disertasi belum diterbutkan. Jakarta: IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

Al-Haddad, Ahmad Ibn Abdul ‘Aziz, Waqf al-Nuqud wa-Istimraruha,. Kuwait: Kuwait Awqaf Public Foundation, 2006.

Page 77: Vol 8 no 4.pdf

Pertumbuhan Aset Wakaf dan Dilema Produktifitas _681

Hasanuddin, Ahmed, dan Ahmedullah Khan, Strategies to Develop Waqf Administration in India. Jeddah: IRTI IDB, 1998.

Ibn Abdul Aziz, Ahmad, Waqf al-Nuqud wa al-Istitsmaruha, Beirut: Dar ibn Hazm, 2007.

Ibn Abidin, Muhammad Amin, Hashiyah Rad al-Mukhtar, Kairo: Matba‘ah Mustafa al-Babi al-Halabi, 1966.

Ibn al-Humam, Fath al-Qadir, Beirut: Dar al-Fikr, tt.

Ibn Kathir, Al-Imam Abu al-Fida‘ Isma’il, Tafsir Ibn Kathir, Riyadl: Dar al-Rayah, 1993.

Ibn Manzur, Muhammad ibn Mukarram ibn Ali ibn Ahmad, Lisan al-‘Arab, Dar al-Ma‘arif, tt.

Najib, dkk., Wakaf, Tuhan, dan Agenda Kemanusiaan, Jakarta: Center for the Study of Religion and Culture UIN Jakarta, 2006.

al-Nawawi, Muhyiddin Abu Zakariya Yahya, Sahih Muslim bi Sharh al-Nawawi Kairo: Maktabah al-Misriyyah, 1924.

al-Shan‘ani, Muhammad Isma‘il Amir al-Yamani, Subul al-Salam, Kairo: Mustafa al-Babi al-Halabi, 1349 H.

Tim Penyusun, Bimas Islam Dalam Angka 2012, Jakarta: Ditjen Bimas Islam, 2013

Page 78: Vol 8 no 4.pdf

682_Jurnal Bimas Islam Vol.8. No.IV 2015

Endnotes

1. Muhyiddin Abu Zakariya Yahya al-Nawawi, Sahih Muslim bi Sharh al-Nawawi, Kairo: Maktabah al-Misriyyah, 1924, VI, h. 21.

2. http://www.republika.co.id/berita/dunia-islam/wakaf/14/05/23/n615ie-bwi-potensi-wakaf-indonesia-capai-120-triliun (diunduh tanggal 12 September 2015)

3. Ibid

4. http://www.republika.co.id/berita/dunia-islam/wakaf/14/05/23/n6158g-astagfirullah-banyak-tanah-wakaf-diserobot (diunduh tanggal 12 September 2015)

5. Ibid

6. Direktorat Pemberdayaan Wakaf 2014.

7. Ibid

8. Tim Penyusun, Standar Pelayanan Wakat Bagi Pejabat Pembuat Akta Ikrar Wakaf (PPAIW), Jakarta: Ditjen Bimas Islam, 2013, h. 3

9. Ibid

10. Tim Penyusun, Standar Pelayanan Wakat Bagi Pejabat Pembuat Akta Ikrar Wakaf (PPAIW), Jakarta: Ditjen Bimas Islam, 2013, h. 1

11. Lih. Bimas Islam dalam Angka 2012, Jakarta: Ditjen Bimas Islam, 2013

12. A. Faishal Haq, “Wakaf Kontemporer, Dari Teori Ke Aplikasi,”

Page 79: Vol 8 no 4.pdf

Pertumbuhan Aset Wakaf dan Dilema Produktifitas _683

Jurnal Maliyah, Vol. 02, No. 02, Desember 2012, h. 396

13. Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam dan Penyelenggaraan Haji, Pedoman Pengelolaan Wakaf Tunai (Jakarta: Direktorat Pemberdayaan Wakaf, 2007), 14.

14. https://wakaftunai.wordpress.com/artikel-wakaf-tunai/irfan-syauqi-beik/ (diunduh tanggal 12 September 2015)

15. A. Faishal Haq, “Wakaf Kontemporer, Dari Teori Ke Aplikasi...., h. 400

16. Direktorat Pemberdayaan Wakaf, 2013.

17. Direktorat Pemberdayaan Wakaf, 2013.

18. Lih. Bimas Islam Dalam Angka Tahun 2014, Jakarta: Bimas Islam, 2015

19. Lih. Bimas Islam Dalam Angka Tahun 2012, Jakarta: Bimas Islam, 2013

20. Direktorat Pemberdayaan Wakaf, 2013.

21. A. Faishal Haq, “Wakaf Kontemporer, Dari Teori Ke Aplikasi...., h. 405

22. Ibid, h. 405

23. Penelitian ini dilakukan PBB UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, tahun 2006, terhadap 500 responden nazir di 11 Propinsi. Lebih jelasnya, lihat Najib, dkk., Wakaf, Tuhan, dan Agenda Kemanusiaan (Jakarta: Center for the Study of Religion and Culture, UIN Jakarta, 2006), 133.

24. Najib, dkk., Wakaf, Tuhan, dan Agenda Kemanusiaan, 123.

25. Muhammad Isma‘il Amir al-Yamani al-Shan‘ani, Subul al-Salam

Page 80: Vol 8 no 4.pdf

684_Jurnal Bimas Islam Vol.8. No.IV 2015

Kairo: Mustafa al-Babi al-Halabi, 1349 H, h. 87.

26. Najib, dkk., Wakaf, Tuhan, dan Agenda Kemanusiaan, Jakarta: Center for the Study of Religion and Culture, UIN Jakarta, 2006, h. 133.

27. https://wakaftunai.wordpress.com/artikel-wakaf-tunai/irfan-syauqi-beik/ (diunduh tanggal 12 September 2015)

28. Hisyam Dafterdar, Waqf and Productivity, KAPF: 2010, h. 87.

29. Warees, Annual Report 2012, Singapura: WP, 2012.

Page 81: Vol 8 no 4.pdf

Zakat Profesi: Kajian Hukum Islam dari Ulama Klasik Hingga Ulama Kontemporer _685

Zakat Profession: Islamic Legal Studies from Classical Ulama until Contemporary Ulama

Zakat Profesi:Kajian Hukum Islam dari Ulama Klasik Hingga Ulama Kontemporer

NaifPenyuluh Agama Islam FungsionalKec. Cilandak

email: [email protected]

Abstract: The discourseof zakat profession emerged as a response to the principle of justice in the

existence of Islamic law, as one of the economic activities of Islamic discourse which

has not received significant attention in the classical fiqh books. Based on the principle

of justice, contemporary ulama trying to interpret issues which only the range of zakat

mal such as agriculture, commerce and mining extends to zakat profession and income

results are equal to gold and silver.

Abstraksi: Wacana zakat profesi muncul sebagai respon terhadap prinsip keadilan dalam eksistensi

syariat Islam, sebagai salah satu wacana aktivitas ekonomi Islam yang belum mendapat

perhatian yang signifikan dalam kitab-kitab fikih klasik. Berpijak dari prinsip keadilan

itu, ulama kontemporer berusaha menginterpretasikan persoalan zakat yang hanya

berkisar pada zakat mal seperti hasil pertanian,perniagaan dan pertambangan meluas

kepada zakat hasil profesi dan penghasilan yang diqiyaskan nisabnya keemas danperak.

Keywords: Zakat, Profession , Income, Qiyas

Page 82: Vol 8 no 4.pdf

686_Jurnal Bimas Islam Vol.8. No.IV 2015

A. Pendahuluan

Dalam pembukaan UUD 1945 pada alinea keempat memuat dua kalimat penting yaitu, “memajukan kesejahteraan umum dan keadilan sosial”. Kedua kalimat ini mudah diingat, akan tetapi sulit dilaksanakan pada kehidupan sehari-hari. Sebagai bukti, meskipun pembangunan terus dilanjutkan akan tetapi jumlah angka kemiskinan masih sangat tinggi.1Pada bulan September 2014 jumlah penduduk miskin sebesar 27,73 juta orang, atau 10,96 persendan berkurang sebesar 0,55 juta orang dibandingkan dengan penduduk miskin pada Maret 2014 yang sebesar 28,28 juta orang (11,25 persen), dan berkurang sebesar 0,87 juta orang dibandingkan dengan penduduk miskin pada Sepetember 2013 yang sebesar 28,60 juta orang (11,46 persen). Menurunnya jumlah penduduk miskin memberi indikasi bahwa pemerintah serius melakukan pemberantasan kemiskinan untuk membawa masyarakat miskin ketingkat yang lebih sejahtera. Pemberantasan kemiskinan jugamendapatkan prioritas utama dalam Islam, yang secara struktural dilembagakandalam salah satu rukunnya, yaitu zakat.2

Zakat dalam Islam adalah kewajiban setiap muslim yang memenuhi syarat dan ini sering disebut ibadah maliyyah. Hampir setiap perintah shalat di dalam al-Qur’an selalu diikuti dengan perintah membayar zakat dan masih banyak lagi anjuran yang sangat ditekankan untuk berderma (infaq), shadaqah dan amal salih. Banyak anjuran berderma dengan cara dirangsang dengan pahala. Banyak pula kecaman terhadap mereka yang kurang peduli untuk membantu orang lain, seperti larangan menghardik anak yatim dan lain-lain.3 Hampir setiap ada sebutan “beriman” dan “bertaqwa” diikuti dengan sebutan “amal shalih”. Tidak kurang lagi bersifat metaphoric, dengan contoh-contoh kejadiaan umat terdahulu. Itu semua adalah tambahan lagi adanya pahala bagi mereka melakukannya. Sebaliknya, ada ancaman terhadap mereka yang tidak melakuan membayar zakat dan derma.4

Page 83: Vol 8 no 4.pdf

Zakat Profesi: Kajian Hukum Islam dari Ulama Klasik Hingga Ulama Kontemporer _687

Terkait dengan tersebut, bahwa dari lima rukun Islam dua kalimat syahadat, shalat, puasa, zakat, dan haji, maka zakat adalah rukun Islam paling besar pengaruhnya dan fungsi sosialnya, mungkin karena itulah dalam al-Qur’an sangat banyak ayat yang menyandingkan shalat dan zakat. Ini menunjukan bahwa selain menekankan pentingnya menciptakan hubungan vertikal yang intim antara seorang hamba dan penciptanya lewat shalat, Islam juga memotivasi umatnya untuk selalu memperhatikan dan menjaga hubungan horizontal yang harmonis antara seseorang dan yang lain. Salah satu jalan ke arah itu adalah lewat instrumen zakat.

Untuk mengefektifkan dan menepat gunakan serta memproporsionalkan kewajiban berzakat dan sasaran penerima zakat, belakangan ini telah muncul wacana zakat profesi yang diwacanakan beberapa ulama kontemporer, diantaranya, pertama, Yusuf al-Qaradawiy asal Mesir lewat karyanya Fiqh al-Zakat, kedua, Wahbah al-Zuhaily asal Syiria melalui karyanya yang berjudul al-Fiqh al-Islam³ wa Adillatuh, ketiga, al-Syekh Muhammad al-Ghazali asal Mesir lewat karyanya dengan judul al-Islam wa al-Awda al-Iqtisadiyyah. Ketiga ulama Islam tersebut sangat berjasa dalam mensosialisasikan zakat profesi ini di negara-negara Arab dan ke bagian negara yang berpenduduk mayoritas muslim termasuk Indonesia. Yusuf al-Qaradawiy ketika mengutip pendapat al-Syekh Muhammad al-Ghazali pada kitab al-Islam wa al-Awda al-Iqtisadiyyah, bahwa ada dua kaidah pemberlakuan wajib zakat, yaitu: pertama, modal utama seperti zakat koin emas dan perak, barang niaga yang prosentase zakatnya sebesar 2,5 %, kedua, dalam bentuk income seperti zakat tani yang jumlah zakatnya 10 % atau 5 % berupa irigasi.5

Kemudian dikatakan bahwa siapa yang yang berpenghasilan lebih daripada penghasilan petani, maka mesti mereka mengeluarkan zakat, seperti penghasilan dokter, pengacara, arsitek, pengusaha, pegawai dan berbagai profesi lainnya. Hal itu didasarkan pada dua dalil, yaitu: pertama, teks umum al-Qur’an seperti al-Baqarah/2: 267 dan ayat 3 pada surah yang sama, kedua, Islam tidak pernah membayangkan akan membebaskan atau

Page 84: Vol 8 no 4.pdf

688_Jurnal Bimas Islam Vol.8. No.IV 2015

membiarkan wajib zakat pada petani yang menghasilkan kecil sedang membebaskan pemilik apartemen dan dokter yang mempunyai klinik praktek dengan penghasilan jutaan perhari atau perbulan.6

Pemberlakuan zakat profesi misalnya bisa kita lihat beberapa daerah yang menerapkan dan mewajibkan penduduknya untuk membayar zakat seperti di daerah Kabupaten Wajo Provinsi Sulawesi Selatan. Kabupaten Wajo menerbitkan Peraturan Daerah Kabupaten Wajo No 22 Tahun 2012 tentang Pengelolaan Zakat. Secara nasional, Indonesia sudah mempunyai Undang undang No 38 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat. Kemudian disempurnakan dengan Undang undang No 23 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat.7

Sebagai respon tehadap prinsip keadilan Islam dalam pemberlakuan wajib zakat yang tidak hanya diperuntukan untuk kalangan petani, peternak, penambang kecil, pedagang tradisional, yang berincome rendah, maka wacana pemberlakuan wajib zakat terhadap kaum profesional yang berpenghasilan besar, yang terkenal dengan zakat profesi akan menjadi topik kajian pada tulisan ini.

B. Pembahasan

1. Pengertiaan Zakat, Sedekah dan Infak.

Di dalam al-Qur’an, terdapat tiga kosakata yang sering digunakan untuk menunjukan tindakan membelanjakan harta secara halal, yaitu: al-zakat, al-Sadaqah dan al-infaq. Ketiga kosakata itu akan diuraikan secara singkat yaitu diantarannya: Kata zakat berasal dari akar-akar kata zakaya yang dalam berbagai bentuk derivasinya di dalam al-Qur’an sebanyak 60 kali.8 Kata al-zakah dapat diartikan dengan al-namt (tambah berkembang). Jadi tanaman yang tumbuh mengalami proses zakat. selain tersebut, kalimat zakat kadang juga diartikan dengan al-tahir (pencucian).9

Jadi kedua makna tersebut menandakan, bahwa arti pertama menyatakan akibat dikeluarkan harta dapat menumbuh kembangkan

Page 85: Vol 8 no 4.pdf

Zakat Profesi: Kajian Hukum Islam dari Ulama Klasik Hingga Ulama Kontemporer _689

harta. Hal itu sesuai dengan QS. Yu suf/12: 36, إني أران أعصر خرا

يهم با وصلي عليهم عليم رهم وت زكي ﴾١٠٣﴿خذ من أموالم صدقة تطهي

artinya: “Sesungguhnya aku mimpi memeras anggur.” Diinterpretasikan, bahwa pahala akan bertambah karena mengeluarkan harta.10

Selanjutnya arti kedua, yaitu bahwa zakat mensucikan jiwa dan keburukan kikir dan noda dosa.11 Hal itu juga sejalan dengan QS. al-Taubah/9:103 artinya:

إني أران أعصر خرا

يهم با وصلي عليهم عليم رهم وت زكي ﴾١٠٣﴿خذ من أموالم صدقة تطهي

إني أران أعصر خرا

يهم با وصلي عليهم عليم رهم وت زكي ﴾١٠٣﴿خذ من أموالم صدقة تطهي Artinya: “Ambilah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu

membersihkan dan mensucikan mereka.”

Kalimat al-sadaqah berasal dari akar kata Shadaqa, yang dalam berbagai bentuknya disebutkan dalam al-Qur'an sebanyak 154 kali.12 Jadi kata sidq artinya kejujuran dan keberanian, dan kata siddiq artinya orang yang jujur, serta kata shadiq artinya teman sahabat,13 juga berasal dari kata sadaqah ini menunjukan, bahwa dalam bersedekah dan berzakat seseorang harus bersikap benar dan jujur dalam menunaikan kewajiban zakatnya dengan semangat persahabatan, bukan karena keterpaksaan.

Kosa kata infaq yang berasal dari akar kata nafaqa, lebih sering diartikan sebagai belanja untuk menghidupi dan memenuhi kebutuhan keluarga. Karena itu, kata infaq bisa berarti wajib seperti seorang laki-laki wajib memberikan nafkah kepada istrinya. Kata infaq dengan segala derivasinya telah disebutkan dalam al-Qur'an sejumlah 111 kali.14

Menurut al Baji (wafat 474 M, penulis kitab Al Muntaqa), salah seorang ulama yang mensyarah kitab al Muwattha Imam Malik, dalam tradisi syariat, kalimat zakat digunakan dalam hal-hal yang wajib dikeluarkan sedang kalimat sedekah dipakai pada hal-hal yang sunnat dibelanjakan. Berbeda dengan Ibn 'Arabi, ia mengatakan, bahwa sebutan zakat disamakan penggunaannya pada hal-hal sedekah yang wajib, sunnah dan infaq.15 Dalam kitab Syarhal- Zarqani ala al-Muwattha, al-Imam Malik

Page 86: Vol 8 no 4.pdf

690_Jurnal Bimas Islam Vol.8. No.IV 2015

mendefinisikan, bahwa zakat adalah memberikan sebagian harta yang mencapai satu nisab setelah cukup satu hawl kepada fakir miskin dan serupanya, kecuali keluarga Hasyim dan Muttalib.16

Sesuai dengan keterangan sebelumnya, bahwa kata zakat, sedekah, dan infaq dapat dimaknai mengeluarkan dan membelanjakan harta yang bersifat wajib. Namun secara terminology, dalam kitab-kitab fikih kalimat zakatlah yang paling dominan dipakai dalam mengeluarkan harta yang wajib ditunaikan oleh orang-orang muslim.

2. Hukum Zakat

Menunaikan kewajiban zakat berarti telah menggugurkan salah satu kewajiban duniawi dan akan memperoleh pahala di akhirat. Selain tersebut di atas, berzakat adalah membersihkan segala kotoran dan juga akan mengangkat derajat seseorang. Oleh karena itu, zakat sudah merupakan hal yang sudah pasti hukum pelaksanaannya, yaitu wajib. Dalam pandangan syariat, dianggap kafir bagi yang mengingkarinya.17 Zakat mulai diwajibkan sejak tahun dua hijriah sebelum Ramadan oleh kebanyakan ulama. Namun, ada juga yang mengatakan, bahwa kewajiban zakat dimulai pada tahun pertama hijriah. Berlainan dengan Ibn al-Hajar, bahwa kewajibannya terjadi pada tahun ke sembilan hijriah.18 Perbedaan ulama tentang penetapan mulai wajib zakat, tidak mempengaruhi kesepakatan mereka atas kewajiban setiap muslim menunaikan zakat setelah memenuhi syarat-syaratnya.

Mengeluarkan zakat termasuk rukun Islam yang keempat, sedangkan ayat ayat al-Qur›an yang berdampingan dengan perintah shalat terdapat 82 ayat. Dengan demikian kewajiban zakat atas setiap muslim telah ditegaskan kewajibannya dalam al-Qur›an, hadis, dan ijma ummat.19

Adapun salah satu ayat al-Qur›an mengenai perintah berzakat dalam QS. al-Hajj/22: 41 yaitu:

Page 87: Vol 8 no 4.pdf

Zakat Profesi: Kajian Hukum Islam dari Ulama Klasik Hingga Ulama Kontemporer _691

ان ن آتن ه الل ن ان ن م ذ ن ن ه الل ن ال ذ ين ذ ل ل ل اه م ذ امArtinya: (yaitu) orang-orang yang jika kami teguhkan kedudukan mereka di

muka bumi niscaya mereka mendirikan salat menunaikan zakat.

Berikut ini adalah arti hadis tentang kewajiban zakat yaitu:20

Diriwayatkan dari jamaah dari ibnu 'Abbas, bahwa ketika Nabi saw. mengutus Mu'az Ibn Jabal ke Yaman Nabi saw. bersabda padanya, bahwa kamu akan mendatangi ahli kitab, maka panggillah mereka untuk bersyahadat, bahwa tidak ada Tuhan selain Allah dan saya adalah Rasulullah. Kalau hal itu mereka taati, maka katakan pada mereka, bahwa Allah mewajibkan salat lima waktu sehari dan semalam, dan kalau itu mereka taati, katakanlah juga Allah mewajibkan sedekah pada harta-harta mereka yang dipungut dari orang-orang mampu untuk diberikan kepada fakir miskin.

3. Makna Profesi

Penjelasan tentang zakat profesi ini akan menjadi lebih jelas bila lebih dahulu mengadakan penelusuran kosakata yang biasa digunakan dalam bahasa Arab modern untuk mengungkapkan istilah kalimat profesi atau profesional. Di negara-negara Arab kosakata profesional dipopulerkan dengan dua kosakata bahasa Arab dan kontemporer, yaitu:

a. Al-Mihnah, artinya pekerjaan atau khidmah. Kalimat ini dominasi dipergunakan untuk menunjukan pekerjaan otak Dari situlah sehingga kaum profesional disebut al-mihniyy n atau ahli al-mihnah, seperti pengacara, penulis, dokter, kansultan pekerjaan kantor, dan yang serupanya.

b. al-Hirfah, artinya pekerjaan atau perusahaan.21 Kosakata ini banyak digunakan untuk menunjukkan jenis profesi yang yang mengandalkan tangan atau tenaga otot dan fisik, seperti tukang kayu, tukang las, tukang jahit, buruh bangunan, dan sejenisnya. Selain dalam bahasa Arab, kata profesi juga dalam kamus Indonesia dikenal dengan arti yang menunjukan bidang pekerjaan yang dilandasi pendidikan keahlian tertentu seperti keterampilan

Page 88: Vol 8 no 4.pdf

692_Jurnal Bimas Islam Vol.8. No.IV 2015

dan kejuruan.22 Makna tersebut di atas, lebih diperluas bahkan dapat mewakili arti profesi yang dikembangkan oleh Peter Drucker tahun 1960-an, bahwa kaum profesional, kelompok pekerja yang bererja di bidangnya masing-masing berdasarkan basis ilmu atau basis teoritis tertentu, dan itu hanya mungkin didapatkan oleh mereka yang mengecap pendidikan tinggi. Merekalah kemudian dikelompokkan sebagai knowledge worker yang biasanya dikontraskan oleh istilah jadi atau kadang juga bekerja dengan tangan seperti seorang analisis di laboratorium.23

Adalah sangat bijaksana kalau tidak membedakan antara profesi yang tidak mengandalkan otak dengan profesi yang dominan mengandalkan otot atau fisik, utamanya pandangan dalam hukum fikih.

Beberapa contoh profesi yang diwajibkan membayar zakat profesi adalah perusahaan dan pendapatan usaha lainnya seperti; Industri, Usaha Perhotelan, Restoran, Kontraktor, Perumahan, Percetakan, Periklanan, Jasa konsultasi, Notaris, Travel Biro, Salon, Alat Transportasi, Dokter, Perbengkelan, Pendapatan Gaji, Honorarium, Jasa Produksi, Lembur atau Jasa Profesi lainnya

Adapun penghasilah gaji atau upah yang diperoleh dari dua kategori perkejaan di atas (al-mihnah dan Hirfah) biasanya disebutkan al-kasb (penghasilan dan pendapatan ). Dalam kaitan itu disebutkan pada QS. al-Baqarah/2 : 267,

يا أي ها الذين آمنوا أنفقوا من طيبات ما كسبتم Terjemahya: “Wahai orang orang yang beriman nafkahkan sebagian dari

hasil usahamu yang baik-baik”.

Berkaitan dengan sebelumnya, bahwa ciri khas yang menonjol bagi kaum profesional adalah, bahwa mereka bekerja dibidang pelayanan atau jasa, jadi bukan penjualan dan pembelian barang barang lewat proses jual beli.

Dengan demikain, kalau dihubungkan dengan kajian zakat profesi

Page 89: Vol 8 no 4.pdf

Zakat Profesi: Kajian Hukum Islam dari Ulama Klasik Hingga Ulama Kontemporer _693

dapat dikatakan, bahwa profesi adalah: pertama, segala jenis pekerjaan selain bertani, berdagang, beternak, kedua, pekerjaan yng lebih banyak bergerak di bidang jasa atau pelayanan pekerjaan itu pada umumnya dilaksanakan berdasarkan basis ilmu teori tertentu, ketiga, imbalan atau penghasilan biasanya berupa upah dan gaji dalam bentuk mata uang, baik bersifat tetap atau tidak tetap .

Dikatakan selain bertani, berdagang, bertambang, berternak, karena keempat jenis pekerjaan ini sudah ditentukan nilai zakatnya, sementara kalimat imbalan atau penghasilan yang didapatkan biasanya berbentuk upah atau gaji, agar tidak mencakup jenis pekerjaan yang mengandung unsur dagang (proses jual beli).

Semua jenis penghasilan yang didapatkan oleh para professional tersebut bila memenuhi syarat nisab dan hawl, maka harus mengeluarkan zakatnya. Jenis zakat inilah yang disebut zakat profesi. Sebagian sarjana muslim menyebutkannya zakat penghasilan. Namun untuk menghindari kesalahpahaman dengan jenis penghasilan dari usaha lain, seperti berdagang dan bertani, maka kajian makalah ini lebih memakai istilah zakat profesi.

Penghasilan adalah kata yang umum mencakup gaji, imbalan prestasi, imbalan profesi dan banyak macamnya. Dalam Undang-undang Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan, bahwa penghasilan didefenisikan yaitu: “Penghasilan yaitu setiap tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak, baik yang berasal dari Indonesia maupun dari luar Indonesia, yang dapat dipakai untuk konsumsi atau untuk menambah kekayaan wajib pajak yang bersangkutan, dengan nama dan dalam bentuk apapun”.

a. Padanan Hukum dan Nilai Zakat Profesi

Secara eksplisit pijakan dalil mengenai zakat profesi tidak ditemukan secara langsung baik dari al-Qur’an maupun dari hadis. Tapi sunggguh tidak adil dan bertentangan dengan prinsip keadilan Islam, bila pedangang kecil dan petani yang berpenghasilan kecil justru diwajibkan

Page 90: Vol 8 no 4.pdf

694_Jurnal Bimas Islam Vol.8. No.IV 2015

mengeluarkan zakat, sementara seorang eksekutif, programmer, dokter, ahli spesial, arsitektur, tenaga konsultan, tenaga advokasi, dan bankir serta sejenisnya, yang mungkin bergaji jutaan rupiah perbulan, justru dibiarkan tidak membayar zakat.

Tetapi pendapat yang diperoleh dari pekerjaan saja seperti pendapatan pegawai dan golongan profesi yang mereka peroleh dari pekerjaan mereka, maka besar zakat yang wajib dikeluarkan adalahseperempat puluh, sesuai dengan keumuman nash yang mewajibkan zakat uang sebanyak seperempat puluh, baik harta penghasilan maupun harta yang bermasa tempo, dan sesuai dengan kaedah islam yang menegaskan bahwa kesukaran dapat meringankan besar kewajiban serta mengikuti tindakan Ibnu Mas’ud dan Muawiyah yang telah memotong sebesar tertentu, berupa zakat, dari gaji para tentara dan para penerima gaji lainnya langsung dari kantor penerimaan gaji, juga sesuai dengan apa yang diterapkan oleh Khalifah Umar Bin Abdul Aziz. Pengkiasan penghasilan kepada pemberian atau gaji yang diberikan oleh khalifah kepada tentara itu lebih kuat dari pengkiasannya kepada hasil pertanian. Sedangkan yang lebih tepat diqiaskan kepada zakat hasil pertanian adalah pendapatan dari gedung-gedung, pabrik-pabrik, dan sejenisnya berupa modal-modal yang memberikan penghasilan sedangkan modal tersebut tetap utuh.

Ini berarti bahwa zakat pendapatan kerta lebih ringan dari besar besar zakat pendapatan modal atau modal kerja. Inilah yang diterapkan oleh sistem perpajakan modern yang oleh para ahli moneter dihimbau agar keadilan diterapkan melalui penetapan pajak berdasarkan kuat atau lemahnya sumber pendapatan tersebut sehingga salah satu ciri penting kepribadian pajak pendapatan adalah perhitungan atas sumber pendapatan tersebut. Dan karena sumber pendapatan pada pokoknya tidak keluar dari tiga hal, yaitu modal, kerja, dan gabungan antara modal dan kerja, maka ketentuan dalam dunia perpajakan adalah bahwa besar pajak pendapatan atas modal tetap atau yang berkembang mempunyai urutan yang lebih tinggi dari pada besar pajak yang dikenakan atas

Page 91: Vol 8 no 4.pdf

Zakat Profesi: Kajian Hukum Islam dari Ulama Klasik Hingga Ulama Kontemporer _695

penghasilan dari kerja. Karena modal merupakan sumber yang lebih stabil dan mantap, sedangkan kerja merupakan sumber yang paling tidak stabil. Mereka menegaskan bahwa perhatian terhadap sumber pendapatan seharusnya menyebabkan pajak yang ditetapkan dapat mengurangi beban pajak, orang-orang yang memperoleh pendapatan dari sumber yang lemah, dan itu berarti berperan aktif mewujudkan keadilan dalam distribusi pendapatan. 24

Bertalian dengan di atas, bahwa meskipun zakat profesi yang kita kenal sekarang ini tidak pernah menjadi bahasan utama secara rinci dalam kitab-kitab fikih klasik, namun bukan berarti, bahwa para ulam klasik sama sekali tidak pernah membahas zakat yang sejenis dengan zakat profesi.

Penghasilan dan profesi dapat diambil zakatnya bila sudah setahun dan cukup senisab. Pendapat Abdurrahman Hasan, Muhammad Abu Zahrah dan Abdul Wahab Khollaf dalam pemaparan mereka tentang zakat pada Muktamar Kajian Islam di kota Damaskus tahun 1952, mereka mewajibkan zakat atas penghasilan yang didapat dari profesi dengan dasar pemikiran berpegang kepada pendapat Abu Hanifah, Abu Yusuf, dan Muhammad bahwa nisab tidak perlu harus tercapai sepanjang tahun, tapi cukup tercapai penuh antara dua ujung tahun tanpa kurang di tengah-tengah kita dapat menyimpulkan bahwa dengan penafsiran tersebut memungkinkan untuk mewajibkan zakat atas hasil penghasilan setiap tahun, karena hasil itu jarang terhenti sepanjang tahun bahkan kebanyakan mencapai kedua sisi ujung tahun tersebut. Berdasar hal itu, kita dapat menetapkan hasil penghasilan sebagai sumber zakat, karena terdapatnya illat (penyebab), yang menurut ulama-ulama fikih sah, dan nisab, yang merupakan landasan wajib zakat.”

“Dan karena Islam mempunyai ukuran bagi seseorang – untuk bisa dianggap kaya - yaitu 12 Junaih emas menurut ukuran Junaih Mesir lama maka ukuran itu harus terpenuhi pula buat seseorang untuk

Page 92: Vol 8 no 4.pdf

696_Jurnal Bimas Islam Vol.8. No.IV 2015

terkena kewajiban zakat, sehingga jelas perbedaan antara orang kaya yang wajib zakat dan orang miskin penerima zakat.25

Dalam hal ini, mazhab Hanafi lebih jelas, yaitu bahwa jumlah senisab itu cukup terdapat pada awal dan akhir tahun saja tanpa harus terdapat di pertengahan tahun. Ketentuan itu harus diperhatikan dalam mewajibkan zakat atas hasil penghasilan dan profesi ini, supaya dapat jelas siapa yang tergolong kaya dan siapa yang tergolong miskin, seorang pekerja profesi jarang tidak memenuhi ketentuan tersebut.”

Mengenai besar zakat, mereka mengatakan, “Penghasilan dan profesi, kita tidak menemukan contohnya dalam fikih, selain masalah khusus mengenai penyewaan yang dibicarakan Ahmad. Ia dilaporkan berpendapat tentang seseorang yang menyewakan rumahnya dan mendapatkan uang sewaan yang cukup nisab, bahwa orang tersebut wajib mengeluarkan zakatnya ketika menerimanya tanpa persyaratan setahun. Hal itu pada hakikatnya menyerupai mata penghasilan, dan wajib dikeluarkan zakatnya bila sudah mencapai satu nisab.”

Hal itu sesuai dengan apa yang telah kita tegaskan lebih dahulu, bahwa jarang seseorang pekerja yang penghasilannya tidak mencapai nisab seperti yang telah kita tetapkan, meskipun tidak cukup di pertengahan tahun tetapi cukup pada akhir tahun. Ia wajib mengeluarkan zakat sesuai dengan nisab yang telah berumur setahun.

Imam Ahmad Ibn Hambal misalnya pernah menyewakan rumahnya, berpendapat bahwa seseorang yang menyewa rumah dan nilai sewanya itu mencapai nisab, maka dia wajib langsung mengeluarkan zakatnya ketika dia menerima uang sewaan tersebut, tanpa harus menunggu syarat Hawl (satu tahun).26 Menyewakan rumah di sini, bisa dianalogikan dengan menyewakan tenaga atau keahlian, sebab bekerja sebagai karyawan atau professional pada sebuah perusahaan atau instansi pada hakekatnya adalah menyewakan keahlian. Oleh al-Qardawiy disamakan dengan hasil usaha penghasilan(kasb al-amal) yang mesti dikeluarkan zakatnya.27

Page 93: Vol 8 no 4.pdf

Zakat Profesi: Kajian Hukum Islam dari Ulama Klasik Hingga Ulama Kontemporer _697

Terkait tersebut di atas, al-Imam Malik dalam kitab al-Muwattha’ meriwayatkan, bahwa Ibnu Syihab, bahwa Mu’awiyah Ibn Abi Sufyan adalah khalifah Islam pertama yang mulai memungut zakat dari bonus dan insentif tetap untuk prajurit Islam.28

Para imam mazhab empat berbeda pendapat yang cukup kisruh tentang harta penghasilan, sebagaimana disebutkan oleh Ibnu Hazm dalam al-Muhalla. Ibnu Hazm berkata, bahwa Imam Abu Hanifah berpendapat bahwa harta penghasilan itu dikeluarkan zakatnya bila mencapai masa setahun penuh pada pemiliknya, kecuali jika pemiliknya mempunyai harta sejenis yang harus dikeluarkan zakatnya yang untuk itu zakat harta penghasilan itu dikeluarkan pada permulaan tahun dengan syarat sudah mencapai nisab. Dengan demikian bila ia memperoleh penghasilan sedikit ataupun banyak meski satu jam menjelang waktu setahun dari harta yang sejenis tiba, ia wajib mengeluarkan zakat penghasilannya itu bersamaan dengan pokok harta yang sejenis tersebut, meskipun berupa emas, perak, binatang piaraan, atau anak-anak binatang piaraan atau lainnya.

Tetapi Imam Malik berpendapat bahwa harta penghasilan tidak dikeluarkan zakatnya sampai penuh waktu setahun, baik harta tersebut sejenis dengan jenis harta pemiliknya atau tidak sejenis, kecuali jenis binatang piaraan. Karena itu orang yang memperoleh penghasilan berupa binatang piaraan bukan anaknya sedang ia memiliki binatang piaraan yang sejenis dengan yang diperolehnya, zakatnya dikeluarkan bersamaan pada waktu penuhnya batas satu tahun binatang piaraan miliknya itu bila sudah mencapai nisab. Kalau tidak atau belum mencapai nisab maka tidak wajib zakat Tetapi bila binatang piaraan penghasilan itu berupa anaknya, maka anaknya itu dikeluarkan zakatnya berdasarkan masa setahun induknya baik induk tersebut sudah mencapai nisab ataupun belum mencapai nisab.29

Imam Syafi’i mengatakan bahwa harta penghasilan itu dikeluarkan zakatnya bila mencapai waktu setahun meskipun ia memiliki harta

Page 94: Vol 8 no 4.pdf

698_Jurnal Bimas Islam Vol.8. No.IV 2015

sejenis yang sudah cukup nisab. Tetapi zakat anak-anak binatang piaraan dikeluarkan bersamaan dengan zakat induknya yang sudah mencapai nisab, dan bila tidak mencapai nisab maka tidak wajib zakatnya.

Ibnu Hazm tampil dengan caranya yang menggebu gebu dengan pendapat bahwa pendapat pendapat di atas adalah salah. Ia mengatakan bahwa salah satu bukti pendapat pendapat itu salah adalah cukup dengan melihat kekisruhan semua pendapat itu, semuanya hanya dugaan dugaan belaka dan merupakan bagian-bagian yang saling bertentangan, yang tidak ada landasan salah satu pun dari semuanya, baik dari Qur’an atau hadis shahih ataupun dari riwayat yang bercacat sekalipun, tidak perlu dari Ijmak dan Qiyas, dan tidak pula dari pemikiran dan pendapat yang dapat diterima. Dan Ibnu Hazm membuang semua perbedaan dan bagian yang salah tersebut dengan berpendapat bahwa ketentuan setahun berlaku bagi seluruh harta benda, uang penghasilan atau bukan, bahkan termasuk anak-anak binatang piaraan. Hal itu bertentangan dengan temannya yaitu Daud Zahiri yang keluar dari pertentangan itu dengan pendapat bahwa seluruh harta penghasilan wajib zakat tanpa persyaratan setahun. Tetapi ia sendiri tidak bebas dari kesalahan serupa yang diderita oleh orang-orang lain di atas.

Sedang menurut al-Qardawiy padanan hukum zakat profesi paling tepat adalah zakat al-mal al-mustafad (harta yang diperoleh melalui satu jenis proses kepemilikan yang baru dan halal). Jenis-jenis al-mal al-mustafad ini mencakup antara lain:(1) al-amalah, penghasilan yang diperoleh dalam bentuk upah atau gaji atas pekerjaan tertentu; (2) al-’a¯iyyah, sejenis bonus atau insentif tetap yang diterima secara teratur oleh prajurit negara Islam dari bait al- mal;(3). al-mazalim, jenis harta yang disita secara tidak sah oleh penguasa terdahulu dan telah dianggap hilang oleh pemiliknya sehingga kalau harta itu dikembalikan kepada pemiliknya, maka harta tersebut dikategorikan sebagai harta yang diperoleh dengan kepemilikan baru dan karena itu wajib dizakati.30

Page 95: Vol 8 no 4.pdf

Zakat Profesi: Kajian Hukum Islam dari Ulama Klasik Hingga Ulama Kontemporer _699

Pengelolaan zakat hibah, hadiah dan harta bekas sitaan yang dikembalikan kepada pemilik aslinya, mulai dilaksanakan secara sistematis pada zaman pemerintahan khalifah ‘Umar Ibn ‘Abd al-Aziz.31 Seperti dikatakan Ab u Ubaydah, bahwa beliu mengambil zakat dari gaji pengawainya.32 Hal serupa diriwayatkan oleh Ibn Abi Syaybah, bahwa ‘Umar Ibn ‘Abd al-Aziz mengambil zakat dari insentif dan hadiah.33 Hal itu sama dengan pajak yang diberlakukan oleh negara-negara modern sekarang ini.

Jadi zakat profesi atau zakat penghasilan, pada intinya lebih banyak berdasar pada praktek atau fatwa al-salaf al-salih generasi awal Islam yang saleh, yang kemudian dikombinasikan dengan prinsip-prinsip dasar Islam dan interpretasi terhadap ayat-ayat zakat al-Qur’an dan hadis.

Terkait dengan di atas, bahwa untuk memperjelas kepastian tentang hukum zakat profesi, maka sarjana-sarjana muslim menginterpretasikan ayat-ayat zakat al-Qur’an dan hadis Nabi Saw. dengan diqiyaskan (dianologikan) pada salah satu dari lima jenis zakat yang sudah kenal dan diperaktekkan pada zaman Rasullah saw.

Metode perbandingan inilah yang dalam usul fikih disebut qiyas seperti halnya al-Qardawiy mengqiyaskan (analogikan) dengan jenis zakat al-mal mustafad.

Karena secara eksplisit, tidak ada dalil langsung dari al-Qur’an dan hadis nabi saw. yang membahas soal zakat profesi, maka qiyas adalah satu-satunya jalan yang dapat ditempuh. Qiyas ini antara lain akan menentukan beberapa nilai (prosentase) zakat profesi, sebab seperti diketahui, bahwa zakat untuk masing-masing lima jenis zakat mal memang berbeda-beda. Emas misalnya, nilai zakatnya sebesar 2,5% pertahun, zakat niaga 2,5% terhadap modal dan keuntungan pertahun, sementara zakat pertanian dan hasil pertanian tadah hujan sebesar 10% dan 5% untuk hasil pertanian yang dikelola dan digarap dengan irigasi.34 Adapun nilai zakat tambang sebesar 20%.

Page 96: Vol 8 no 4.pdf

700_Jurnal Bimas Islam Vol.8. No.IV 2015

Jadi kalau misalnya zakat profesi dipadankan atau dianalogikan dengan zakat tambang, maka nilai zakat profesi menjadi 20%, sementara kalau dipadankan dengan zakat emas atau zakat niaga maka nilai zakatnya hanya 2,5%.

Contoh menghitung zakat profesi:

Badrun adalah seorang pegawai negeri sipil (PNS) yang berdomisili di Kabupaten Jombang. Ia memiliki seorang istri dan dua orang anak yang masih kecil. Penghasilannya perbulan sebesar Rp.1.500.000,-.

Penghitungan zakatnya:

Gaji Rp.1.500.000/bulan.

Nishab = 85 gram emas murni @ Rp.90.000: 12 bulan Rp637.500. Jadi jika seseorang yang memiliki penghasilan minimal Rp.637.500 maka dia sudah wajib untuk membayar zakat. Zakat yang harus dibayar setiap bulan sebesar 2,5 %.

Maka jika gajinya Pak Ahmad Muzaki perbulan Rp.1.500.000, zakat yang harus dikeluarkan adalah 2,5% x 1.500.000,- = Rp.37.500,-.

Oleh karena hampir semua penghasilan profesi diterima dalam bentuk mata uang kertas, maka para ulama modern sepakat, bahwa hukum zakat profesi disamakan dengan hukum zakat naqd(emas dan perak). Al-Qar’dawiy mengatakan, bahwa yang paling layak menjadi patokan nisab adalah naqd dengan ketentuan senilai 85 gram emas35dan ini sama ukurannya dengan 20 dinar emas atau dua ratus dirham perak.36 Takaran itu bersesuaian dengana£ar.37 Apalagi sekarang orang-orang menerima gaji dan sejenis dengan mata uang.

Berikut ini adalah dalil dalil yang dipegangi tentang kewajiban zakat profesi secara umum dan dalil yang menunjukkan tentang kewajiban zakat emas dan perak, yaitu antara lain: QS. al-Baqarah/2: 267

ن األرض يا أي ها الذين آمنوا أنفقوا من طيبات ما كسبتم وما أخرجنا لكم مموا البيث منه تنفقون ولستم بآخذيه إال أن ت غمضوا فيه واعلموا أن الله وال ت يم

يد ﴾٢٦٧﴿غن ح

Page 97: Vol 8 no 4.pdf

Zakat Profesi: Kajian Hukum Islam dari Ulama Klasik Hingga Ulama Kontemporer _701

ن األرض يا أي ها الذين آمنوا أنفقوا من طيبات ما كسبتم وما أخرجنا لكم مموا البيث منه تنفقون ولستم بآخذيه إال أن ت غمضوا فيه واعلموا أن الله وال ت يم

يد ﴾٢٦٧﴿غن ح Terjemahnya: Hai orang-orang yang beriman, nafkahkanlah(di jalan

Allah) sebagian dari hasil usahamu yang baik-baik dan sebagian dari apa yang Kami keluarkan dari bumi untuk kamu. Dan janganlah kamu memilih yang buruk-buruk lalu kamu nafkahkan daripadanya, padahal kamu sendiri tidak mau mengambilnya melainkan dengan memicingkan mata terhadapnya. Dan ketahuilah, bahwa Allah Maha Kaya lagi Maha Terpuji.”

Adapun dalil dalil hadis tentang zakat emas dan perak antara lain, yaitu:

Artinya: ‹Ali Ibn Ab i Thalib berkata, bahwa Rasullah Saw. bersabda: kalau anda memiliki 200 dirham perak, maka harus dikeluarkan zakatnya sebesar 5 dirham dan anda memiliki 20 dinar emas maka wajib dikeluarkan zakatnya sebesar 0,5 dan itu semua sampai satu haul.”

Kedua dalil di atas menunjukan: pertama, tentang zakat profesi, sedangkan hadis yang kedua merupakan dalil untuk zakat emas dan perak juga dijadilan pijakan hukum untuk mewajibkan dan menentukan besar nilai zakat profesi

Oleh karena nilai zakat emas dan perak adalah 2,5% terhadap saldo bersih yang masih memenuhi syarat nisab setara dengan 85 gram emas setelah dipotong kebutuhan pokok dan hutang.

Setelah mencermati berbagai pendapat mengenai zakat secara umum dan zakat profesi dengan tetap mempertimbangkan hikmah filosofis dan ‹illat penerapan kewajiban mengeluarkan zakat serta memahami tujuan syariat dalam mewajibkan zakat yang bertujuan mewujudkan kemaslahatan Islam dan ummatnya, maka wacana zakat profesi adalah hal yang mesti diterapkan, bahwa dapat diwajibkan bagi mereka yang berpenghasilan lumayan dan melebihi dari kebutuhan pokoknya pada saat mencapai nisab dan satu haul, bahkan al-Qardawiy menganjurkan

Page 98: Vol 8 no 4.pdf

702_Jurnal Bimas Islam Vol.8. No.IV 2015

ketika ia menerima upah gaji insentif tanpa menunggu haul kalau sudah sampai nisabnya.

Menurut penulis bahwa wacana zakat profesi atau penghasilan sesuai dengan spirit al-Qur›an dan prinsip-prinsip keadilan dalam Islam. Para ulama kontemporer dalam menentukan tarif zakat profesi juga berbeda, pendapat yang masyhur adalah pendapat Muhammad Abu Zahrah, Abdurrahman Hasan, Abdul Wahab Khollaf, Yusuf Qaradhawi, Syauqy Shahatah dan lainnya sepakat bahwa tariff zakat penghasilan profesi adalah 2,5%.

Pandangan islam mengenai zakat adalah bahwa zakat merupakan lambang pensyukuran nikmat, pembersihan jiwa, pembersihan harta, dan pemberian hak Allah, hak masyarakat dan hak orang yang lemah. Pandangan itu menegaskan bahwa zakat wajib di pungut dari hasil kerja sebagaimana juga wujud di pungut dari pendapatan-pendapatan yang lain, meskipun besar zakat masing-masing berbeda.

C. Penutup

Wacana zakat profesi muncul sebagai respon terhadap prinsip keadilan eksistensi hukum syariat Islam diturunkan. Sebagai salah satu wacana aktivitas ekonomi Islam yang belum mendapat porsi perhatian utama dalam kitab-kitab klasik fikih. Berpijak dari prinsip keadilan itu, sehingga ulama kontemporer berusaha menginterpertasikan persoalan zakat yang hanya berkisar pada zakat mal seperti tani niaga tambang meluas kepada zakat hasil profesi dan penghasilan yang diqiyaskan nisabnya ke emas dan perak.

Zakat profesi adalah zakat yang di keluarkan dari hasil apa yang di peroleh dari pekerjaan dan profesinya. Misalnya pekerjaan yang menghasilkan uang baik itu pekerjaan yang dikerjakan sendiri tampa tergantung dengan orang lain, berkat kecekatan tangan ataupun otak (professional). Maupun pekerjaan yang dikerjakan seseorang buat pihak lain baik pemerintah, perusahaan, maupun perorangan dengan

Page 99: Vol 8 no 4.pdf

Zakat Profesi: Kajian Hukum Islam dari Ulama Klasik Hingga Ulama Kontemporer _703

memperoleh upah yang diberikan, dengan tangan, otak, ataupun keduanya.

Di lihat dari kadarnya, Penghasilan profesi dari segi wujudnya berupa uang. Dari sisi ini, ia berbeda dengan tanaman, dan lebih dekat dengan emas dan perak. Oleh karena itu kadar zakat profesi yang diqiyaskan dengan zakat emas dan perak, yaitu 2,5% dari seluruh penghasilan kotor.

Kosakata zakat sadaqah dan infaq dapat diartikan mengeluarkan dan membelanjakan harta yang bersifat wajib, namun secara termologi kata-kata zakatlah yang mendominasi kitab-kitab fikih klasik yang berarti mengeluarkan harta yang wajib ditunaikan

Dalil-dalil tentang zakat profesi tidak ditemukan secara eksplisit yang menyebutkan dalam al-Qur’an dan hadis. Ulama modern pada masa kini hanya menangkap pesan-pesan umum dari al-Qur’an pada QS al-Baqarah/2: 267 dan prinsip keadilan pada hukum Islam. Para ulama kontemporer dalam menentukan tarif zakat profesi juga berbeda, pendapat yang masyhur adalah pendapat Muhammad Abu Zahrah, Abdurrahman Hasan, Abdul Wahab Khollaf, Yusuf Qaradhawi, Syauqy Shahatah dan lainnya sepakat bahwa tariff zakat penghasilan profesi adalah 2,5%.

Page 100: Vol 8 no 4.pdf

704_Jurnal Bimas Islam Vol.8. No.IV 2015

Daftar Pustaka

Baqiy, Muhammad Fu’ad ‘Abd, al-Mu’jam al-Mufaras li Alfazy al-Qur’an, Beirut: Dar al-Fikr, 1994

Asqalany, Ibn Hajar, Bul ugh al-Maram, Surabaya: al-Hidayah, t.t

Azizi, A. Qadri, Melawan Globalisasi Reinterpretasi Ajaran Islam Persiapan SDM dan Terciptanya Masyarakat Madani,Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 1999, Edisi I

Druker, Peter, The Next Society dalam Majalah The Economist Tendon, Edisi III, November, 2001

Hajjaj, Muslim Ibn, Shahih Muslim, juz I, bab al-du’a’ ila al-syahadatayn wa syar’i, hadits no. 19,Beirut: Dar Ilmiah al-Araby, t.t

Hasan, Abdur Rahman, Muhammad Abu Zahrah dan Abdul Wahab Khalaf, ceramah agama tentang zakat, Damaskus, 1952

Ibrahim, Muhammad Fuad, Mabadi’ ;ilm al-Maliyah al-Ammah, Beirut: Maktabah Al Falah, 1972,jilid 1.

Qardawiy, Yusuf, Fiqh al-Zakat, Dirasah Muqaranah wa Ahkamuh wa Falsafatuh fi al-Qur’an wa al-Sunnah, juz I,Beirut: Mu’assasah al-Risalah, 1994

Zarqani, Muhammad Yusuf, Syarh al-Zarqani ‘Ala Muwatta’ al-Imam Malik, Beirut: Dar al-Kutub al-’Ilmiyyah, t.t, juz II

Sabiq, Sayyid, Fiqh al-Sunnah, al-Qahirah: Dar al-Fat wa al-Ilmi al-’Araby, 1994, juz I

Tuanaya, A. Malik M. Thaha, “PIZSA dan Pemberdayaan Kaum Dhuafa: Studi Kasus Zakat Produktif di PT Chevron Pacific Indonesia

Page 101: Vol 8 no 4.pdf

Zakat Profesi: Kajian Hukum Islam dari Ulama Klasik Hingga Ulama Kontemporer _705

Pekanbaru Riau,” Jurnal Penamas Vol XXIII Januari – April 2010, Jakarta: Balai Penelitian dan Pengembangan Jakarta, 2010

Yunus, Mahmud, Kamus Arab Indonesia, Jakarta: Hida Karya, 1990, Cet VIII

Tim Penyusun, Modul Penyuluhan Zakat, Jakarta: Kementerian Agama Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam Direktorat Pemberdayaan Zakat, 2012.

Page 102: Vol 8 no 4.pdf

706_Jurnal Bimas Islam Vol.8. No.IV 2015

Endnotes

1. A. Malik M. Thaha Tuanaya, “PIZSA dan Pemberdayaan Kaum Dhuafa: Studi Kasus Zakat Produktif di PT Chevron Pacific Indonesia Pekanbaru Riau,”Jurnal Penamas, Vol XXIII Januari – April 2010, h. 55

2. Abdurrachman Qadir, Zakat Dalam Dimensi Mahdah dan Sosial, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2001, h. 83-84

3. A. Qadri Azizi, Melawan Globalisasi Reinterpretasi Ajaran Islam Persiapan SDM dan Terciptanya Masyarakat Madani, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004, h.171

4. Ibid.

5. Yu suf al-Qardawiy, Fiqh al-Zakat, Dirasah Muqaranah wa Ahkamuh wa Falsafatuh fi al-Qur’an wa al-Sunnah, Beirut: Mu’assasah al-Risalah, 1994, juz I,h. 510-511

6. Yu suf al-Qardawiy, Fiqh al-Zakat....., h. 510-511

7. Tim Penyusun, Modul Penyuluhan Zakat, Jakarta: Kementerian Agama Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam Direktorat Pemberdayaan Zakat, 2012, h.56

8. Muhammad Y usuf al-Zarqani, Syarh al-Zarqani‘alaal-Muwatta’ al-Imam Malik, Beirut: Dar al-Kutub al-’Ilmiyyah, t.t, juz II ,h. 128

9. Ibid

10. Ibid

11. Muhammad Fu’ad ‘Abd al-Baqiy, al-Mu’jam al-Mufaras li Alfadz al-Qur’an, Beirut: Dar al-Fikr, 1994, h. 513-516

12. Ibid

13. Ibid, h.886-887.

Page 103: Vol 8 no 4.pdf

Zakat Profesi: Kajian Hukum Islam dari Ulama Klasik Hingga Ulama Kontemporer _707

14. Muhammad Y usuf al-Zarqani, Syarh al-Zarqani ....., h 128.

15. Ibid

16. Ibid

17. Sayyid Sabiq, Fiqh al-Sunnah, al-Qahirah: Dar al-Fatwa al-Ilmi al-’Araby, 1994, juzI, h. 318

18. Ibid

19. Mahmud Yunus, Kamus Arab Indonesia, Jakarta: Hida Karya, 1990,Cet VIII, h. 432

20. Muslim Ibn al-Hajjaj, Shahih Muslim, juz I, bab al-du’a’ ila al-syahadatayn wasyar’i, hadits no. 19,, Beirut: Dar Ilmiah al-Araby, t.t, h. 50

21. Ibid, h.101

22. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 1999, Edisi I, h. 789

23. Peter Druker, “The Next Society“ dalam Majalah The Economist Tendon, Edisi III, November, 2001

24. Muhammad Fuad Ibrahim, Mabadi’ ilm al-Maliyah al-‘Ammah,Beirut, Maktabah Al Falah 1972, jilid 1, h. 284.

25. Abdur Rahman Hasan, Muhammad Abu Zahrah dan Abdul Wahab Khalaf dalam “Ceramah Agama Tentang Zakat,”Damaskus, 1952

26. Yu suf al-Qardawiy, Fiqh al-Zakat...., h. 490

27. Muhammad Y usuf al-Zarqani, Syarh al-Zarqani...., h.133-134

28. Yu suf al-Qardawiy, Fiqh al-Zakat...., h. 534

29. Ibid, h 534

30. Ibid, h. 502

31. Ibid

Page 104: Vol 8 no 4.pdf

708_Jurnal Bimas Islam Vol.8. No.IV 2015

32. Ibid

33. Ibid, h. 513

34. Muhammad Y usuf al-Zarqani, Syarh al-Zarqani....., h. 137-138

35. Yu suf al-Qardawiy, Fiqh al-Zakat......, h. 513.

36. Ibn Hajar al-Asqalany, Bul ugh al-Maram, Surabaya: al-Hidayah, t.t, h. 121

37. Yu suf al-Qardawiy, Fiqh al-Zakat........, 1994, h. 513

Page 105: Vol 8 no 4.pdf

Arah Baru Kebijakan Publik: Studi Kasus Pemberdayaan Zakat _709

The New Directions of Public Policy: Case Study of Zakat Empowerment

Arah Baru Kebijakan Publik: Studi Kasus Pember-dayaan Zakat

Angga Marzuki dan Ibnu QomarRumah Moderasi Islam (RUMI)

email: [email protected]

Abstract: Public policy is no longer understood as changingobligation. Public policy is interpreted

as an effort to provide services, development and strengthening of community life.

Through good public policy, each oriented program on public satisfaction and excellent

service. Including in the management of zakat, the government has issued a policy

steps and phases to realize the noble ideals of economic alleviation of the people.

Through public policies oriented to the satisfaction of the public, the government has

stepped away to formulate, to implement and to evaluate the implementation of zakat

management with community involvement.

Abstraksi: Kebijakan publik tidak lagi dimaknai sebagai penggugur kewajiban. Kebijakan

publik dimaknai sebagai upaya menghadirkan pelayanan, pembinaan dan penguatan

kehidupan masyarakat. Melalui kebijakan publik yang baik, setiap program berorientasi

pada kepuasan publik dan pelayanan prima. Termasuk dalam hal pengelolaan zakat,

pemerintah telah mengeluarkan langkah dan kebijakan sebagai tahapan mewujudkan

cita-cita mulia pengentasan ekonomi umat. Melalui kebijakan publik yang berorientasi

Page 106: Vol 8 no 4.pdf

710_Jurnal Bimas Islam Vol.8. No.IV 2015

pada kepuasan publik, pemerintah telah melangkah jauh merumuskan, melaksanakan

dan mengevaluasi pelaksanaan pengelolaan zakat dengan melibatkan masyarakat.

Keywords: public policy, zakat/charity, participation

A. Pendahuluan

Perlukah negara mengatur kehidupan beragama? Sebuah pertanyaan klasik namun hingga kini masih sering terlontar dari sebagian orang. Maklum, keterlibatan negara dalam mengatur keberagamaan dipandang memiliki dua sisi yang “sepertinya” bertolak belakang. Satu sisi, keterlibatan negara dalam keberagamaan dianggap sebagai “campur tangan” dalam penafsiran yang tak jarang melahirkan otoritarianisme penafsiran. Di sisi yang lain, keterlibatan negara dipandang memberikan kepastian hukum mengingat ada banyak persoalan keberagamaan terkait langsung dengan pelayanan publik.

Zakat adalah satu diantara diskursus yang diperdebatakan, apakah negara harus terlibat ataukah menyerahkannnya kepada mekanisme sosial-kemasyarakatan. Muchtar Zarkasyi, mantan ketua tim revisi UU Nomor 38 tahun 1999 Zakat menegaskan bahwa keterlibatan pemerintah dalam pengelolaan zakat merupakan pengejawantahan dari perintah al-Qur’an. Pemerintah sebagai otoritas pelayanan publik dipastikan terlibat dalam pengelolaan potensi zakat sehingga fungsi zakat benar-benar tepat sasaran dan bersinergi dengan sistem pembangunan nasional. Lebih lanjut Muchtar menyebutkan, keterlibatan pemerintah merupakan langkah tepat memberi kepastian hukum pengelolaan zakat, memastikan tidak ada penyelewengan.

Meski demikian, pandangan tersebut mendapat kontra dari sebagian kalangan muslim. Track record pemerintah yang cenderung lamban,

Page 107: Vol 8 no 4.pdf

Arah Baru Kebijakan Publik: Studi Kasus Pemberdayaan Zakat _711

birokrasi yang rumit, serta kurang responsif terhadap teknologi dipandang unsur penghambat pengelolaan zakat. Sementara, masyarakat memiliki track record yang bagus dengan dibuktikan adanya pelayanan unit-unit kesehatan yang diambil dari dana zakat. Dalam hal ini, menyerahkan urusan zakat kepada mekanisme publik dipandang sebagai jalan terbaik.

Perbedaan pandangan tersebut sangatlah wajar, mengingat pasca era orde baru berakhir, ada banyak hal yang begitu sengit diperdebatkan di ruang publik. Berbagai dinamika tersbeut tentu sangat bagus untuk pengembangan zakat ke depan, karena dengan diskusi yang sehat dan kompetitif, diharapkan lahir sebuah konsep yang baik.

Merujuk pada sejarah panjang umat Islam, secara tegas dapat kita temui bahwa pemerintah terlibat aktif dalam pengelolaan zakat. Adalah era kepemimpinan Nabi Muhammad saw, yang mana Ia telah memberikan contoh dan petunjuk operasionalnya. Manajemen operasional yang bersifat teknis tersebut dapat dilihat pada pembagian struktur amil zakat, yang terdiri dari: (1) Katabah, petugas yang mencatat para wajib zakat, (2) Hasabah, petugas yang menaksir, menghitung zakat, (3) Jubah, petugas yang menarik, mengambil zakat dari para muzakki, (4) Khazanah, petugas yang menghimpun dan memelihara harta, dan (5) Qasamah, petugas yang menyalurkan zakat pada mustahiq (orang yang berhak menerima zakat).1

Pasca era nubuwwah, khulafah al-rasyidin dan penerusnya pun menjalankan pengelolaan zakat dengan melibatkan negara. Sejarah mencatat kesuksesan khalifah dinasti umayyah, ‘Umar ibn ‘Abd al-‘Azîz, dalam membangun konsep zakat profesi. Ia adalah orang pertama yang mewajibkan zakat dari harta kekayaan yang diperoleh dari penghasilan usaha atau hasil jasa, termasuk gaji, honorarium, penghasilan berbagai profesi dan berbagai mâl mustafâd lainnya. Sehingga pada masa kepemimpinannya, dana zakat melimpah ruah tersimpan di Baitul Mal. Bahkan petugas amil zakat kesulitan mencari golongan fakir miskin yang membutuhkan harta zakat.2

Page 108: Vol 8 no 4.pdf

712_Jurnal Bimas Islam Vol.8. No.IV 2015

Di era modern, beberapa negara muslim menegaskan bahwa negara terlibat aktif dalam pengelolaan zakat. Kuwait, Sudan, Arab Saudi, Malaysia dan Brunei Darussalam adalah contoh negara-negara yang memiliki UU bidang zakat dan menjadi penanda bahwa persoalan zakat telah menjadi bagian penting kebijakan publik. Saudi Arabia sejak tahun 1951 M telah memiliki perundang-undangan tentang zakat, yang mana sebelum itu, pengelolaan zakat tidak diatur oleh perundang-undangan, keputusan Raja (Royal Court) No. 17/2/28/8634 tertanggal 29/6/1370 H/7/4/1951.3 Sedangkan pengelolaan zakat di Sudan dinyatakan resmi dengan terbitnya Undang-undang Diwan Zakat pada bulan April 1984 dan mulai efektif sejak September 1984. Penghimpunan harta zakat di negera Sudan berada dalam “satu atap” dengan penghimpunan pajak. Sehingga ada semacam tugas dan pekerjaan baru bagi para pegawai pajak, yaitu menyalurkan harta zakat kepada mustahiq.4

Sebagai catatan, beberapa negara yang menerapkan regulasi zakat, juga memiliki ijtihad tersendiri, sehingga menjadi pembeda antara satu regulasi dengan regulasi lainnya. Saudi Arabia misalnya, bagi warga bukan asli Saudi tidak lagi diwajibkan mengeluarkan zakat, melainkan hanya diwajibkan membayar pajak pendapatan. Sementara warga Saudi hanya dikenai kewajiban membayar zakat tanpa pajak.5 Sudan juga memiliki pembeda dengan regulasi zakat di negara lain, yaitu bahwa penghimpunan zakat berada dalam “satu atap” dengan penghimpunan pajak. Sehingga ada semacam tugas dan pekerjaan baru bagi para pegawai pajak, yaitu menyalurkan harta zakat kepada mustahiq. Diwan zakat ini mendelegasikan pendistribusian zakat kepada Departemen Keuangan dan Perencanaan Ekonomi Nasional.6

Kembali menengok kondisi pengelolaan zakat di Indonesia. Sebuah kritik konstruktif dilontarkan Mustofa Edwin Nasution, praktisi zakat yang juga ahli ekonomi syari’ah. Menurutnya, salah satu kendala kemajuan pengelolaan zakat di Indonesia tidak lepas dari buruknya aturan main yang memayungi pengelolaan zakat. Untuk itu ia mengajukan beberapa ide perbaikan, pertama, perlunya desentralisasi

Page 109: Vol 8 no 4.pdf

Arah Baru Kebijakan Publik: Studi Kasus Pemberdayaan Zakat _713

publik dalam pengelolaan zakat. Kedua, kebutuhan akan regulasi yang lebih berpegang teguh kepada prinsip-prinsip good governance, dengan tujuan menciptakan kemitraan antar stageholder (masyarakat, pemerintah, dan swasta) dalam pengelolaan zakat di Indonesia. Ketiga, mengikutsertakan lembaga keuangan (perbankan syari’ah) dalam pengelolaan zakat, mengingat dukungan dan value lebih yang dimiliki oleh perbankan syari’ah dipandang akan mampu mengakselerasi potensi zakat kita agar lebih baik lagi.8

Kritik ini menjadi jembatan untuk memahami keresahan sebagian kalangan atas keterlibatan pemerintah dalam pengelolaan zakat. Meski tidak dapat dianggap mewakili mayoritas opini publik, setidaknya kritik ini adalah penegas terhadap poin-poin yang menjadi kekhawatiran kalangan masyarakat luas. Garis merah yang dapat kita tarik dari kritik in adalah, bahwa masyarakat masih menyangsikan komitmen pemerintah dalam mewujudkan kebijakan publik yang berorientasi pada pelayanan prima dalam bidang zakat.

Nasaruddin Umar, mantan Dirjen Bimas Islam periode 2007-2011 dalam halaqah ulama tahun 2009 memberi paparan yang cukup jelas terkait kedudukan pemerintah dalam pengelolaan zakat. Pemerintah berkewajiban memberikan kepastian hukum agar pengelolaan zakat berjalan dalam track yang benar. Pemerintah hadir untuk mengkoordinasikan potensi zakat yang cukup besar sehingga dapat berintegrasi dengan pembangunan nasional. Dalam hal ini, keterlibatan pemerintah tidak dimaksudkan mengambil alih peran pengelolaan zakat dari masyarakat secara keseluruhan. Parstisipasi publik menjadi bagian penting dari policy pemerintah dalam optimalisasi pengelolaan zakat.

Dari paparan ini dapat dipahami bahwa langkah pemerintah terlibat dalam pengelolaan zakat tidak menegasikan peran masyarakat yang memang telah berjasa dalam berbagai aspek pembangunan. Pemerintah berperan sebagai regulator yang mengkoordinir sehingga potensi zakat berada dalam satu arah pengelolaan yang sama.

Page 110: Vol 8 no 4.pdf

714_Jurnal Bimas Islam Vol.8. No.IV 2015

Berangkat dari dinamika tersebut, penulis akan mengkaji arah kebijakan publik bidang pengelolaan zakat yang telah dirumuskan pemerintah. Melalui kajian ini diharapkan diperoleh gambaran sejauhmanakah arah kebijakan publik bidang zakat berdampak luas bagi optimalisasi pengelolaan zakat.

B. Kerangka Teori

1. Zakat

Dalam al-Qur’an terdapat beberapa penyebutan zakat, diantaranya: Zakat (QS. Al-Baqarah: 43), Shadaqah (QS. Al-Taubah: 104), Haq (QS. Al-An’âm: 141), Nafaqah (QS. At Taubah: 35) dan Al-‘Afuw (QS. Al-A’râf: 199). Hal ini menandakan bahwa makna zakat sangat luas dan mendalam. Dari beberapa penyebutan tersebut, zakat dapat diartikan sebagai menyucikan, memperbaiki, berkembang, dan memuji, sebagaimana difirmankan dalam surat al-Syams:

Artinya:”“Sungguh beruntung orang yang telah menyucikannya”(QS al-Syam:9). Artinya, menyucikan dirinya dari dosa-dosa. Zakat adalah berkembang, barakah, dan tambahan kebaikan. Zaka al-Zuru’, artinya tumbuhan berkembang. Zakat al-Nafaqah, artinya nafkah itu diberi barakah.

Adapun menurut istilah, zakat adalah sesuatu yang dikeluarkan dari harta atau badan dengan cara tertentu. Menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat, Zakat adalah harta yang wajib dikeluarkan oleh seorang muslim atau badan usaha untuk diberikan kepada yang berhak menerimanya sesuai dengan syariat Islam. Zakat meliputi zakat mal dan zakat fitrah.9

Perintah menunaikan zakat terdapat dalam dua sumber hukum Islam, yaitu al-Qur’an Hadis. Dalam al-Qur’an, ada beberapa ayat yang menegaskan zakat sebagai kewajiban yang harus ditunaikan bersamaan dengan perintah sholat. Beberapa ayat dimaksud adalah:

Page 111: Vol 8 no 4.pdf

Arah Baru Kebijakan Publik: Studi Kasus Pemberdayaan Zakat _715

Ada beberapa ayat yang berbicara seputar pensyariatan zakat.

1. QS. al-Ahzâb: 33

Artinya:“Dan menetaplah kalian di rumah kalian, janganlah kalian berhias dengan model jahiliah dulu, laksanakanlah shalat, tunaikanlah zakat, dan ta’atlah kepada Allah dan RasulNya! Allah hanya ingin menghilangkan dosa dari diri kalian para ahl al-bait dan sungguh-sungguh menyucikan kalian.” (QS. al-Ahzab: 33).

2. Surah al-Bayyinah: 5.

Artinya:”Dan mereka tidak diperintahkan kecuali agar mereka beribadah kepada Allah dengan rasa ikhlash dan tulus, melaksanakan shalat dan menunaikan zakat. Itulah agama Qayyimah.”

3. Surah al-Mâ’idah: 55.

Artinya: ”Pelindung kalian hanyalah Allah, Rasulnya, dan orang-orang yang beriman yang melakasanakan shalat dan menunaikan zakat, dan mereka berruku’.

Page 112: Vol 8 no 4.pdf

716_Jurnal Bimas Islam Vol.8. No.IV 2015

4. Surat Al-Taubah: 71

Artinya:”Dan orang-orang yang beriman, laki-laki dan perempuan, sebagian dari mereka adalah pelindung bagi sebagian yang lain, mereka menyuruh pada yang ma’ruf dan mencegah dari yang mungkar, melaksanakan shalat, menunaikan zakat, dan patuh kepada Allah dan Rasul-Nya. Mereka akan dikasihi oleh Allah. Sesungguhnya Allah adalah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.”

Dalam hadits yang diriwayatkan Imam Bukhari disebutkan sebuah perintah menunaikan zakat:

عن أب ىري رة رضي اللهم عنهم أن أعرابيا أتى النب صلى اللهم عليو وسلم ف قال دلن على عمل إذا عملتو دخلت النة قال ت عبد

اللو ل تشرك بو شيئا وتقيم الصلة المكتوبة وت ؤدي الزكاة قال والذي ن سي بيده ل أزيد على . الم روضة وتصوم ر ان

ن سره أن : ف لما و قال النب صلى اللهم عليو وسلم . ىذا * ي نظر إ رجل ن أىل النة ف لي نظر إ ىذا

Dari Abu Hurairah r.a. bahwa ada seorang a’rabi datang kepada Nabi SAW, lalu bertanya, “Tunjukkan padaku suatu amal yang apabila aku lakukan aku masuk surga!” Rasulullah menjawab, “Engkau menyembah Allah dan

Page 113: Vol 8 no 4.pdf

Arah Baru Kebijakan Publik: Studi Kasus Pemberdayaan Zakat _717

tidak menyekutukan-Nya denga sesuatu yang lain, melaksanakan shalat yang telah ditetapkan, menunaikan zakat yang telah difardlukan, dan berpuasa di bulan Ramadlan.” Orang tersebut berkata, “demi Dzat yang diriku ada di tanganNya, aku tidak akan menambah atas ini.” Setelah orang itu berpaling, Nabi SAW bersabda, “Siapa yang merasa gembira untuk melihat seorang dari ahli surga, maka lihatlah orang ini.”(HR. Bukhari).

2. BAZNAS

Badan Amil Zakat Nasional (BAZNAS) merupakan badan resmi dan satu-satunya yang dibentuk oleh pemerintah berdasarkan Keputusan Presiden RI No. 8 Tahun 2001 yang memiliki tugas dan fungsi menghimpun dan menyalurkan zakat, infaq, dan sedekah (ZIS) pada tingkat nasional. Lahirnya Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat semakin mengukuhkan peran BAZNAS sebagailembaga yang berwenang melakukan pengelolaan zakat secara nasional.10

Dalam UU tersebut, BAZNAS dinyatakan sebagai lembaga pemerintah non-struktural yang bersifat mandiri dan bertanggung jawab kepada Presiden melalui Menteri Agama.Dengan demikian, BAZNAS bersama Pemerintah bertanggung jawab untuk mengawal pengelolaan zakat yang berasaskan: syariat Islam, amanah, kemanfaatan, keadilan, kepastian hukum, terintegrasi dan akuntabilitas.

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat pasal 3 disebutkan, bahwa pengelolaan zakat bertujuan: a. meningkatkan efektivitas dan efisiensi pelayanan dalam pengelolaan zakat; dan b. meningkatkan manfaat zakat untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat dan penanggulangan kemiskinan.11

Pada pasal 5 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2011 disebutkan:

1.) Untuk melaksanakan pengelolaan zakat, Pemerintah membentuk BAZNAS.

2.) BAZNAS sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berkedudukan di ibu kota negara.

Page 114: Vol 8 no 4.pdf

718_Jurnal Bimas Islam Vol.8. No.IV 2015

3.) BAZNAS sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan lembaga pemerintah non-struktural yang bersifat mandiri dan bertanggung jawab kepada Presiden melalui Menteri.

Berdasarkan pasal inilah maka pemerintah membentuk BAZNAS dengan fungsi:

1. Perencanaan pengumpulan, pendistribusian, dan pendayagunaan zakat;

2. Pelaksanaan pengumpulan, pendistribusian, dan pendayagunaan zakat;

3. Pengendalian pengumpulan, pendistribusian, dan pendayagunaan zakat; dan

4. Pelaporan dan pertanggungjawaban pelaksanaan pengelolaan zakat.

Untuk terlaksananya tugas dan fungsi tersebut, maka BAZNAS memiliki kewenangan:

1. Menghimpun, mendistribusikan, dan mendayagunakan zakat.

2. Memberikan rekomendasi dalam pembentukan BAZNAS Provinsi, BAZNAS Kabupaten/Kota, dan LAZ

3. Meminta laporan pelaksanaan pengelolaan zakat, infak, sedekah, dan dana sosial keagamaan lainnya kepada BAZNAS Provinsi dan LAZ.

BAZNAS merupakan lembaga yang berwenang melakukan tugas pengelolaan zakat secara nasional. Dalam kapasitasnya sebagai pengelola zakat, BAZNAS dibentuk di seluruh provinsi dan kabupaten/kota seluruh Indonesia.12

3. Kebijakan Publik

Kebijakan publik (public policy) adalah suatu kumpulan keputusan yang diambil oleh seorang pelaku atau kelompok politik, dalam usaha memilih tujuan dan cara untuk mencapai tujuan itu. Pada prinsipnya, pihak yang membuat kebijakan-kebijakan itu mempunyai kekuasaan

Page 115: Vol 8 no 4.pdf

Arah Baru Kebijakan Publik: Studi Kasus Pemberdayaan Zakat _719

untuk melaksanakan.13 Dalam kata lain, kebijakan publik adalah kebijakan-kebijakan yang dibuat oleh pemerintah sebagai pembuat kebijakan untuk mencapai tujuan-tujuan tertentu di masyarakat di mana dalam penyusunannya melalui berbagai tahapan.14

Diskursus reformasi birokrasi banyak menyinggung perlunya kebijakan publik yang berorintasi pada kualitas pelayanan; bahwa birokrasi hadir tidak dalam rangka menggugurkan kewajiban apalagi berfalsafah priyayi: dilayani dan dihormati. Birokrasi adalah pelayanan masyarakat yang profesional dan memiliki kompetensi sehingga dapat menghadirkan birokrasi yang trasnparan dan akuntabel.

Dari perspektif manajemen, proses kebijakan dapat dipandang sebagai rangkaian kegiatan yang meliputi paling tidak tiga kelompok utama, yaitu (1) formulasi kebijakan, (2) pelaksanaan kebijakan, dan (3) evaluasi kinerja kebijakan. Kinerja pemerintahan yang baik (good government performance) harus diawali dengan kebijakan yang baik (good policy), dan good policy hanya dapat dicapai melalui formulasi kebijakan yang balk (good policy formulation). Tanpa formulasi kebijakan yang baik tidak mungkin kebijakan yang baik akan terwujud, dan kinerja yang tinggi hanya dapat terwujud jika didukung oleh sistem dan proses pelaksanaan kebijakan yang baik.15

Karena itulah, semangat reformasi birokrasi menyasar ketersediaan infrastruktur, SDM dan regulasi yang menopang terlaksananya tata kelola birokrais yang profesional. Dan satu diantara langkah mewujudkan kebijakan publik yang baik adalah adanya partisipasi publik yang luas dalam pengambilan kebijakan. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), partisipasi diartikan sebagai perihal turut berperan serta di suatu kegiatan; keikutsertaan; peran serta.16 Adapun menurut kamus sosiologi, partisipasi diartikan sebagai setiap proses identifikasi atau menjadi peserta suatu proses komunikasi atau kegiatan bersama dalam suatu situasi sosial tertentu.17 Dalam konteks pembangunan nasional, pendekatan partisipasi dimaknai sebagai kontribusi masyarakat

Page 116: Vol 8 no 4.pdf

720_Jurnal Bimas Islam Vol.8. No.IV 2015

untuk meningkatkan efisiensi dan efektifitas pembangunan dalam mempromosikan proses-proses demokratisasi dan pemberdayaan.18

Partisipasi publik dapat kita artikan sebagai kemampuan birokrasi dalam berkomunikasi secara transparan dan akuntabel sehingga memungkinkan bagi masyarakat terlibat aktif turut serta membangun dan menjalankan program kerja. Dalam hal ini, partisipasi publik menjadi penanda bahwa kebijakan publik benar-benar menghadirkan ruh reformasi birokrasi ataukah justru tetap melanggengkan budaya birokrat yang priyayi.

D. Zakat dan Peran Pemerintah di Ruang Publik

1. Peran dan Fungsi Pemerintah

Hadirnya negara dalam pengelolaan zakat tidak dimaksudkan untuk mengambil alih pengelolaan dan menegasikan peran publik. Setidaknya hal ini dapat kita pahami dari filosofis pembentukan regulasi zakat, bahwa dipandang perlu dibentuk UU perzakatan untuk memberi kepastian bahwa dana zakat benar-benar terkelola secara maksimal, dan pada saat yang bersamaan pengelolaannya berada dalam tata aturan regulasi yang berlaku.

Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2011 menegaskan bahwa upaya pengelolaan zakat dibebankan kepada lembaga yang bernama Badan Amil Zakat Nasional (BAZNAS) yang dibentuk oleh pemerintah. Masih dalam undang-undang tersebut juga dijelaskan tentang peran serta lembaga amil swasta untuk ikut serta mengumpulkan dan mendistribusikan zakat dengan syarat dan ketentuan yang diatur oleh Menteri Agama. Adapun lembaga yang dibentuk masyarakat diberi nama Lembaga Amil Zakat (LAZ).19

Fungsi pemerintah dalam pemberdayaan zakat adalah sebagai regulator, motivator, fasilitator. Sebagai regulator, pemerintah berkewajiban menyediakan regulasi yang kompetebel dengan cita-cita pengelolaan zakat. Pemerintah hanya mengatur dan mempersiapkan

Page 117: Vol 8 no 4.pdf

Arah Baru Kebijakan Publik: Studi Kasus Pemberdayaan Zakat _721

landasan konsep dan hukum dalam pemberdayaan zakat, sementara dalam tataran praksisnya diserahkan kepada BAZNAS. Selanjutnya pemerintah mengontrol pengelolaan zakat oleh lembaga-lembaga zakat ini.20

Sedangkan sebagai motivator, pemerintah memberikan pelatihan dan penyuluhan serta program-program pemberdayaan terhadap lembaga pengelola zakat. Begitu pula, pemerintah menyelenggarakan berbagai pelatihan dan memberikan kelengkapan sarana dan prasaranan bagi BAZNAS, baik di tingkat pusat maupun daerah. Dengan demikian, maka BAZNAS maupun LAZ adalah mitra pemerintah yang akan selalu dievaluasi demi peningkatan optimalisasi pengelolaan potensi zakat.21

Diantara gagasan besar pemerintah dalam mendorong optimalisasi pengelolaan zakat adalah sebagaimana tertuang dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2011, bahwa pengelolaan zakat harus terintegrasi. Fuad Nasar, salah satu praktisi BAZNAS dari unsur pemerintah, mendefinisikan kata “terintegrasi” menjadi asas yang melandasi kegiatan pengelolaan zakat di negara kita, baik dilakukan Badan Amil Zakat Nasional (BAZNAS) di semua tingkatan maupun Lembaga Amil Zakat (LAZ) yang mendapat legalitas sesuai ketentuan perundang-undangan. Integrasi dalam pengertian undang-undang berbeda dengan sentralisasi. Menurut ketentuan undang-undang, zakat yang terkumpul disalurkan berdasarkan prinsip syari’ah Islam, pemerataan, keadilan, dan kewilayahan. Melalui integrasi pengelolaan zakat, dipastikan potensi dan realisasi pengumpulan zakat dari seluruh daerah serta manfaat zakat untuk pengentasan kemiskinan akan lebih terukur berdasarkan data dan terpantau dari sisi kinerja lembaga pengelolanya. Secara keseluruhan pasal-pasal dalam Undang-Undang dan Peraturan Pemerintah yang sedang disiapkan, memberi ruang dan jaminan bagi terwujudnya pengelolaan zakat yang amanah, profesional, transparan, akuntabel dan partisipatif.22

Lebih lanjut ditegaskan bahwa integrasi pengelolaan zakat telah menempatkan BAZNAS sebagai koordinator. Peran koordinator

Page 118: Vol 8 no 4.pdf

722_Jurnal Bimas Islam Vol.8. No.IV 2015

merupakan satu kesenyawaan dengan integrasi. Pengkoordinasian yang dilakukan BAZNAS inilah yang ke depan akan mengawal jalannya proses integrasi dan sinergi dari sisi manajemen maupun dari sisi kesesuaian syari’ah. Hal ini diatur dalam ketentuan pasal 6 dan 7 Undang-Undang No 23 Tahun 2011 sebagai dasar hukum yang memberikan ruang terbuka kepada BAZNAS untuk menjalankan fungsi koordinasi. Ketika LAZ menjadi bagian dari sistem yang dikoordinasikan BAZNAS, maka posisinya secara hukum menjadi kuat, sehingga prinsip dan tuntunan syari’ah dalam Al-Qur’an (QS At-Taubah 9 : 103 dan 60) dapat terpenuhi.23

Perubahan regulasi pengelolaan zakat mengantisipasi duplikasi peran Kementerian Agama dengan peran BAZNAS. Dalam Cetak Biru Pengembangan Zakat Indonesia 2011-2025 yang disusun oleh Forum Zakat (FOZ) tahun 2012 dirumuskan bahwa lembaga yang berfungsi sebagai regulator dan pengawas adalah pemerintah dalam hal ini dilaksanakan oleh Direktorat Pemberdayaan Zakat Kementerian Agama. Sedangkan dalam hal regulasi yang bersifat teknis, ditangani oleh BAZNAS. Termasuk peran BAZNAS yang ditegaskan dalam UU sebagai koordinator bagi seluruh pengelola zakat di Indonesia, termasuk koordinator dari Lembaga Amil Zakat.24

Gambar. 1Jumlah BAZNAS dan LAZ

Page 119: Vol 8 no 4.pdf

Arah Baru Kebijakan Publik: Studi Kasus Pemberdayaan Zakat _723

2. Membuka Lebar Partisipasi Publik

Kemitraan strategis antara pemerintah dan masyarakat dalam pengelolaan zakat merupakan pengejawantahan konsep kebijakan publik berbasis pasrtisipatif. Pemerintah memberikan peluang yang sangat luas bagi masyarakat untuk berkontribusi dalam pengembangan potensi zakat. Kontribusi masyarakat diwujudkan melalui pemberian izin terhadap Lembaga Amil Zakat (LAZ) untuk mengelola dana zakat. LAZ sendiri dibentuk oleh masyarakat, diantaranya Ormas Islam, yayasan maupun lembaga.

Pembentukan BAZNAS maupun izin pembentukan LAZ merupakan bentuk kebijakan pemerintah yang menempatkan partisipasi publik secara luas. Pembentukan kepengurusan BAZNAS misalnya, pemerintah telah menerapkan sistem open recruitment dengan mempublikasikan secara luas kepada masyarakat. Para punggawa BAZNAS dipilih secara terbuka melalui tim panel seleksi dan selanjutnya dipilih presiden setelah sebelumnya berkonsultasi dengan DPR. Hasilnya, pemerintah mengeluarkan Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 88/P Tahun 2015 tanggal 28 Agustus 2015 tentang Pengangkatan Ketua dan Wakil Ketua Badan Amil Zakat Nasional, mengangkat Bambang Sudibyo sebagai Ketua BAZNAS dan Zainulbahar Noor sebagaiWakil Ketua BAZNAS.

Dalam hal struktur, pelibatan publik tampak lebih luas pasca terbitnya Peraturan Pemerintah Nomor 14 Tahun 2014 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Pengelolaan Zakat. PP ini menjadi landasan untuk melangkah lebih maju merubah struktur organisasi BAZNAS di semua tingkatannya. Jika selama ini, organisasi BAZNAS di berbagai daerah digerakkan oleh para pengurus dari unsur pemerintah (pegawai negeri), di samping unsur ulama dan tokoh masyarakat, maka ke depan dalam organisasi BAZNAS di daerah yang lebih dominan adalah unsur masyarakat. Organisasi BAZNAS yang selama ini identik dengan amil zakat “plat merah”, pasca diberlakukannya PP akan mengalami

Page 120: Vol 8 no 4.pdf

724_Jurnal Bimas Islam Vol.8. No.IV 2015

transformasi. Struktur organisasiBAZNAS di daerah akan diisi seluruhnya oleh unsur masyarakat dengan tidak menutup peluang bagi pegawai negeri yang diperbantukan pada struktur pelaksana.25

Pada saat bersamaan, keberadaan Lembaga Amil Zakat (LAZ) tidak bisa diabaikan sebagai bagian dari langkah pemerintah memberikan ruang publik yang luas bagi pengelolaan zakat. Berangkat dari fakta sejarah yang mencatat eksistensi ormas Islam dalam perjuangan kemerdekaan serta pengorbanan dan peran besarnya dalam pembangunan nasional, ormas Islam merupakan mitra strategis dalam mewujudkan pembangunan nasional. Sebagai bangsa yang dibesarkan oleh keragaman, bangsa Indonesia tentu takkan pernah melupakan jasa-jasa elemen bangsa sebagaimana tercatat dalam buku sejarah.

Termasuk dalam hal zakat, peran ormas Islam serta masyarakat secara luas, diberikan kewenangan yang cukup luas. Dalam hal ini, pengelolaan dana zakat dikendalikan oleh masing-masing LAZ dengan tetap merujuk pada regulasi dan blue print pemberdayaan zakat yang ditentukan pemerintah.

PP No 14/2014 tentang Pengelolaan Zakat sebagai turunan dari UU Nomor No 23 Tahun 2011 memperjelas besarnya peran publik. Dalam PP tersebut terdapat, terdapat 11 pasal yang mengatur tentang kelembagaan LAZ (Lembaga Amil Zakat) yang dibentuk oleh masyarakat. Jumlah pasal ini setara dengan 12,79 persen dari keseluruhan isi PP. Ketentuan terkait LAZ ini telah mengakomodasi hasil judicial review yang telah diputuskan oleh Mahkamah Konstitusi beberapa waktu lalu. Sebagai contoh, pada Pasal 57 PP dijelaskan bahwa diantara syarat pendirian LAZ adalah terdaftar sebagai ormas Islam atau lembaga berbadan hukum.26

Saat ini terdapat 18 LAZ nasional yang terdaftar pada Ditjen Bimbingan Masyarakat Islam, yaitu:

1 LAZ Dompet Dhuafa Republika2 LAZ Yayasan Amanah Takaful

Page 121: Vol 8 no 4.pdf

Arah Baru Kebijakan Publik: Studi Kasus Pemberdayaan Zakat _725

3 LAZ Pos Keadilan Peduli Umat4 LAZ Yayasan Baitulmaal Muamalat5 LAZ Yayasan Dana Sosial Al Falah6 LAZ Baitul Maal Hidayatullah7 LAZ Persatuan Islam8 LAZ Yayasan Baitul Mal Umat Islam PT Bank Negara Indonesia9 LAZ Yayasan Bangun Sejahtera Mitra Umat10 LAZ Dewan Da’wah Islamiyah Indonesia11 LAZ Yayasan Baitul Maal Bank Rakyat Indonesia12 LAZ Yayasan Baitul Maal wat Tamwil13 LAZ Baituzzakah Pertamina14 LAZ Dompet Peduli Umat Daarut Tauhiid (DUDT)15 LAZ Yayasan Rumah Zakat Indonesia16 LAZIS Muhammadiyah17 LAZIS Nahdlatul Ulama (LAZIS NU)18 LAZIS Ikatan Persaudaraan Haji Indonesia (LAZIS IPHI)

Dalam kurun waktu 10 tahun terakhir, pemerintah telah mengeluarkan regulasi yang memberikan kesempatan masyarakat berpartisipasi lebih luas dalam pengelolaan zakat. Kebijakan ini menjadi penanda bahwa hadirnya pemerintah dalam pengelolaan zakat tidak dalam konteks monopoli, melainkan memastikan kehadiran publik secara baik dan terorganisir sehingga dana zakat terkelola secara transparan dan akuntabel.

E. BAZNAS dan Langkah Membangun Trust

1. Meningkatnya Pengumpulan Zakat

Kita patut bersyukur bahwa terdapat peningkatan pengumpulan dana zakat yang cukup menggembirakan dalam 4 tahun terakhir. Secara umum, tren penghimpunan BAZNAS dalam lima tahun terakhir (2010-2014) mengalami kenaikan dengan rata-rata 32.86% per tahun. Pertumbuhan

Page 122: Vol 8 no 4.pdf

726_Jurnal Bimas Islam Vol.8. No.IV 2015

ini menandakan peningkatan trust publik terhadap BAZNAS dan secara tidak langsung merespon positif kebijakan pemerintah.

Data BAZNAS tahun 2014 menyebutkan bahwa, realisasi penghimpunan hingga September (Kuartal III) 2014 mencapai Rp. 63,754,660,558.81. Komposisi terbesar berasal dari Zakat Mâl-Perorangan yang mencapai 70,06% atau Rp 44,665,473,361.57. Porsi kedua berasal dari Zakat Mâl-Badan yang mencapai 15,20% atau Rp 9.689.193.191. Selanjutnya berturut-turut Infak/Sedekah sebesar 9.57% atau Rp 6,102,842,883.24; CSR sebesar 4,40% atau Rp. 2,803,593,752.00; Donasi Operasional sebesar 0.61% atau sebesar Rp 390,750,000.00, dan Zakat Fitrah sebesar 0,16% atau Rp. 102,807,370.00. Adapun hibah APBN sebesar Rp 4.000.000.000,00 tidak dimasukkan sebagai capaian penghimpunan.27

Page 123: Vol 8 no 4.pdf

Arah Baru Kebijakan Publik: Studi Kasus Pemberdayaan Zakat _727

Jenis Dana

Target 2014 Realisasi 2014

Jan-Sep Prognosis 2014

Rasio

(3)/(2) (4)/(2)

-1 -2 -3 -4 -5 -6

Zakat Maal

336,535,000,000.00 54,457,473,923.07 69,075,696,107.42 16.18% 20.53%

Zakat Maal-Per-orangan

325,451,000,000.00 44,665,473,361.57 57,553,964,482.09 13.72% 17.68%

Zakat Maal-Badan

11,084,000,000.00 9,689,193,191.50 11,418,924,255.33 87.42% 103.02%

Zakat Fitrah

- 102,807,370.00 102,807,370.00

Infak/Se-dekah

82,280,000,000.00 8,906,436,635.24 11,505,498,846.99 10.82% 13.98%

Infak/Se-dekah

43,450,000,000.00 6,102,842,883.24 7,767,373,844.32 14.90% 17.88%

CSR 38,830,000,000.00 2,803,593,752.00 3,738,125,002.67 7.20% 9.63%

Donasi Operasional 390,750,000.00 390,750,000.00

Jumlah 418,815,000,000.00 63,754,660,558.31 80,971,944,954.41 15.13% 19.24%

Tabel 1Rekapitulasi Pengumpulan Zakat Nasional

Menanjaknya kepercayaan publik terhadap pemerintah juga nampak dari peningkatan jumlah muzakki. Data BAZNAS menyebutkan bahwa jumlah muzakki, baik perorangan maupun badan, mengalami pertumbuhan yang signifikan. Dalam lima tahun terakhir, Muzakki Perorangan mengalami pertumbuhan rata-rata sebesar 21.10%. Sementara, Muzakki Badan juga mengalami pertumbuhan rata-

Page 124: Vol 8 no 4.pdf

728_Jurnal Bimas Islam Vol.8. No.IV 2015

rata sebesar 10,04%. Pada Kuartal III 2014 kenaikan jumlah Muzakki Perorangan sebesar 25,43% dan pada akhir tahun diperkirakan naik sebesar 72.29% jika prognosis 2014 dibandingkan dengan realisasi 2013. Sementara itu, Muzakki Badan pada Kuartal III 2014 mengalami kenaikan 18.52% dan akhir tahun diperkirakan naik sebesar 48.15% dibandingkan 2013 (Tabel 3). Kenaikan Muzakki Perorangan secara signifikan di tahun 2014 menggambarkan respon positif terhadap sosialisasi Inpres 3/2014.28

Tabel. 2Data Muzakki (Perorangan dan Badan)

Jika kita analisa lebih jauh, terdapat dua faktor meningkatnya pengumpulan dana zakat melalui BAZNAS. Pertama, meningkatnya kesadaran publik untuk menunaikan zakat sebagai perintah agama. Tumbuhnya berbagai kajian keislaman di perkotaan mendorong kaum urban dan pelaku bisnis untuk menunaikan zakat. Hal ini berbanding lurus dengan pertumbuhan sistem ekonomi syari’ah di dunia perbankan, sehingga pertumbuhan kesadaran berzakat menjadi bagian tak terpisahkan dari kebangkitan ekonomi syari’ah.

Kedua, pengelolaan lembaga zakat berbasis teknologi memungkinkan publik mengakses tanpa harus menggangu mobilitas. Dahulu membayar zakat identik dengan mushola atau masjid; tercatat manual, dan orang yang ingin membayar zakat harus berjalan kaki menuju masjid. Kini, dengan berbagai kemajuan teknologi, publik dapat menunaikan zakatnya di mana dan kapan saja. Bagi mereka dengan mobilitas tinggi, hal ini jelas mempermudah.

Page 125: Vol 8 no 4.pdf

Arah Baru Kebijakan Publik: Studi Kasus Pemberdayaan Zakat _729

Meningkatnya penerimaan dana zakat menjadi satu indikator kuat tumbuhnya filantropi Islam. Menurut Ali Romdhoni, peneliti IAIN Semarang dalam kajiannya, terdapat dua indikator meningkatnya filantropi Islam di Indonesia pasca reformasi. Pertama, meningkatnya antusiasme umat Islam modern dalam berfilantropi. Indikator utamanya adalah lahirnya sejumlah organisasi filantropi—bila dulu kita hanya mengenal Badan Amil Zakat Nasional (Baznas), kini aktivitas yang sejenis menjadi terorganisir dan mewujud dalam banyak lembaga yang dikelola secara modern, profesional dan transparan. Sekedar menyebut, misalnya, di sana ada Dompet Dhuafa (DD), Rumah Zakat Indonesia, Tabung Wakaf Indonesia (TWI),29 dan lain sebagainya.

Kedua, meningkatnya kualitas dan kapasitas lembaga-lembaga yang mengelola dana zakat, infak dan sadakah atau ZIS. Tidak menjadi rahasia lagi, akhir-akhir ini lembaga-lembaga sejenis ini merekrut tenaga muda profesional dan terdidik sebagai pengelola, selain juga mulai memanfaatkan teknologi modern untuk meningkatkan kemampuan pelayanan (penggalangan maupun distribusi dana kepada mereka yang berhak).30

Pertemuan antara peningkatan kesadaran beragama dan ketersediaan teknologi pengelolaan zakat memberikan dampak besar bagi penguatan BAZNAS di mata publik. Pada saat yang bersamaan, trust masyarakat pun meningkat seiring dengan transparansi dan akuntabilitas BAZNAS dalam pengelolaan dana zakat.

2. Paradigma Pengelolaan Zakat

Paradigma pengelolaan zakat kini tak lagi berorientasi kepada hal-hal konsumtif. Perkembangan zaman telah mengantarkan zakat sebagai pilar penting pembangunan, dan salah satunya diwujudkan melalui optimalisasi penyaluran zakat berorientasi pada peningkatan kualitas ekonomi, kesehatan, pendidikan dan keberagamaan.

Sering penulis temukan di perdesaan, penduduk menyalurkan zakatnya dengan cara konvensional, dengan membayar zakat di

Page 126: Vol 8 no 4.pdf

730_Jurnal Bimas Islam Vol.8. No.IV 2015

amil zakat yang bertempat di masjid setempat. Dan amil zakat pun menyalurkan amanat tersebut kepada para mustahiq dalam bentuk materi yang bersifat solutif yang short term, dan cara pembagian zakat kepada para mustahiqseperti ini kurang tepat kiranya, karena menimbulkan efek kurang baik, memungkinkan kaum fakir miskin dalam menerima zakat itu cenderung menjadi orang yang tamak.31

Secara garis besar, BAZNAS telah merealisasikan ijtihad pengelolaan zakat melalui lima bidang penyaluran, yaitu bidang ekonomi (Indonesia Makmur), bidang pendidikan (Indonesia Cerdas), bidang kesehatan (Indonesia Sehat), bidang keagamaan (Indonesia Takwa), dan bidang sosial-kemanusiaan (Indonesia Peduli). Kelima bidang ini menegaskan bahwa paradigma pengelolaan zakat senantiasa responsif terhadap perkembangan dan kebutuhan zaman.

Paradigma pengelolaan zakat sangat nampak dalam falsafah pemberdayaan ekonomi, terutama dalam memahami istilah “kemiskinan.” Kemiskinan tidak lagi dimaknai sebatas persoalan perekonomian, dalam arti bahwa faktor-faktor yang bersifat ekonomi menjadi sumber utama kemiskinan. Lebih dari itu, kemiskinan juga ditimbulkan oleh faktor budaya, sosial, dan politik. Jika dirunut, maka penyebab kemiskinan adalah karena kelemahan dari segi modal, dan kelemahan modal disebabkan ketidaksanggupan memanfaatkan dan mengembangkan sumber daya alam. Pada saat yang bersamaan, ketidakmampuan memanfaatkan dan mengembangkan sumber daya alam berdampak pada rendahnya produktifitas dan berdampak langsung pada rendahnya pemasukan.32

Jelas, memahami istilah “kemiskinan” harus melibatkan berbagai kajian komperehensif mengingat ada banyak faktoryang berkontribusi bagi tumbuh-kembangnya angka kemiskinan. Di sinilah urgensi kajian mendalam dan komperehensif penyebab kemiskinan akan menghasilkansebuah langkah-langkah komperehensif dan terintegrasi dengan progran pengentasan kemiskinan, terutama program

Page 127: Vol 8 no 4.pdf

Arah Baru Kebijakan Publik: Studi Kasus Pemberdayaan Zakat _731

pembangunan nasional bidang pengentasan kemiskinan. Dari semua inilah maka lahir ide-ide progressif dan inovatif untuk selanjutnya dilakukan secara serius.

Bidang Penyal-uran

Rencana 2014 Realisasi 2014 Jan-Sep Prognosis 2014 Rasio

(3)/(2) (4)/(2) -1 -2 -3 -4 -5 -6

Bidang Ekonomi (Indone-sia Mak-mur)

73,897,657,855.00 2,761,760,048.00 3,785,141,471.00 3.74% 5.12%

Bidang Pendidi-kan (In-donesia Cerdas)

17,227,312,873.00 6,405,145,221.00 8,540,193,628.00 37.18% 49.57%

Bidang Kesehat-an (In-donesia Sehat)

43,395,220,358.00 8,445,823,841.00 11,261,098,454.67 19.46% 25.95%

Bidang Ke-agamaan (Indo-nesia Takwa)

4,589,469,071.00 1,516,227,262.00 2,021,636,349.33 33.04% 44.05%

Bidang Sosial-Kemanu-siaan (In-donesia Peduli)

157,607,424,989.00 17,024,404,127 24,590,805,961.22 10.80% 15.60%

Jumlah 296,717,085,146.00 36,153,360,499.00 50,207,577,372.92 12.18% 16.92%

Tabel. 4.6Penyaluran Dana Berdasarkan lima bidang penyaluran

Selain lima bidang di atas, BAZNAS juga menyertakan tujuh program unggulan yang semuanya menjabarkan arti penting zakat dalam pembangunan nasional. Ketujuh program dimaksud adalah Zakat Community Development, Rumah Makmur BAZNAS, Rumah Cerdas

Page 128: Vol 8 no 4.pdf

732_Jurnal Bimas Islam Vol.8. No.IV 2015

Anak Bangsa, Rumah Sehat BAZNAS, Rumah Dakwah BAZNAS, Konter Layanan Mustahik dan Tanggap Darurat Bencana. Berdasarkan data laporan tahun 2014 disebutkan bahwa penyaluran hingga Kuartal III tahun 2014, yang tertinggi adalah Tanggap Darurat Bencana yaitu sebesar 26.74%. Sementara yang paling kecil daya serapnya adalah Zakat Community Development yaitu sebesar 3.76%.33

Program Penyaluran Rencana 2014 Realisasi 2014

Jan-Sep Prognosis 2014 Rasio

-1 -2 -3 -4 -5 -6

Zakat Commu-nity Devel-opment

31,681,655,442.00 1,192,244,557.00 1,589,659,409.33 3.76% 5.02%

Rumah Makmur BAZNAS

42,216,002,413.00 1,674,531,616.00 2,232,708,821.33 3.97% 5.29%

Rumah Cerdas Anak Bangsa

17,227,312,873.00 3,426,270,291.00 4,568,360,388.00 19.89% 26.52%

Rumah Sehat BA-ZNAS

43,395,220,358.00 7,346,539,620.00 9,795,386,160.00 16.93% 22.57%

Rumah Dakwah BAZNAS

4,589,469,071.00 536,006,730.00 714,675,640.00 11.68% 15.57%

Konter Layanan Mustahik

145,343,558,366.00 18,698,401,735.00 26,925,597,512.22 12.86% 18.53%

Tanggap Darurat Bencana

12,263,866,623.00 3,279,365,950.00 4,372,487,933.33 26.74% 35.65%

Jumlah 296,717,085,146.00 36,153,360,499.00 50,207,577,372.92 12.18% 16.92%

Tabel.4.7Penyaluran Dana Berdasarkan 7 Program Unggulan

Page 129: Vol 8 no 4.pdf

Arah Baru Kebijakan Publik: Studi Kasus Pemberdayaan Zakat _733

Pada tahun 2013, BAZNAS telah membangun empat Rumah Sehat Baznas (RSB), yaitu di Jakarta, Bantul, Sidoarjo, dan Makasar. Dari empat RSB tersebut, jumlah member seluruh RSB lebih dari 25.400 KK atau hampir mencapai 78.000 jiwa dengan rincian masing-masing sebagai berikut; RSB Jakarta sebanyak 14.900 KK/ 42.884 jiwa, RSB Bantul Yogyakarta sebanyak 3.832KK/10.079 jiwa, RSB Sidoarjo sebanyak 2.685 KK/7.219 jiwa, dan RSB Makasar sebanyak 4.018 KK/17.807 jiwa. 34

Program Rumah Cerdas Anak Bangsa (RCAB), selama tahun 2014 melanjutkan pelaksanaan Porgram SKSS, Program DINAR, Program Pembinaan Anak Aceh, dan Program PPSDMS. Sampai dengan Kuartal III, jumlah penerima manfaat Program RCAB sebanyak 1,774 dengan rincian sebagai berikut; Program SKSS sebanyak 328 penerima manfaat, Program DINAR sebanyak 1.270 penerima manfaat, Program Pembinaan Anak Aceh sebanyak 156 penerima manfaat, dan Program PPSDMS sebanyak 20 penerima manfaat. Penerima manfaat Program RCAB yang lulus tahun 2014 berjumlah 70 siswa, dengan rincian Program SKSS sebanyak 27 orang dan Program Pembinaan Anak Aceh sebanyak 43 orang. Para peserta Program RCAB yang lulus sudah bekerja di berbagai bidang, seperti perbankan, PNS, asuransi, dan pertambangan.35

Berbagai terobosan BAZNAS dalam mengelola dana zakat menjadi indikator penting dalam melihat kemajuan pengelolaan zakat di Indonesia. Tidak bisa dipungkiri, disamping potensi besar zakat, Indonesia juga sebagai negara berpenduduk muslim terbesar yang menjadi kiblat dunia Islam. Setidaknya kita optimis bahwa pengelolaanzakat menuju arah yang benar, tidak lagi berpijak pada pandangan tradisional.

3. Rumah Pintar BAZNAS

Rumah Pintar merupakan satu diantara rogram unggulan BAZNAS. Program ini berupaya menghadirkan pusat pembelajaran masyarakat yang di dalamnya terdapat perpustakaan dengan 5.000 unit buku, sarana bermain edukatif, peralatan ketrampilan bagi anak, remaja, ibu dan masyarakat. Rumpin Pijoengan adalah satu diantara RUMPIN yang sukses setelah diresmikan tahun 2008.

Page 130: Vol 8 no 4.pdf

734_Jurnal Bimas Islam Vol.8. No.IV 2015

Rumah Pintar (RUMPIN) “Pijoengan” telah diresmikan Pada tanggal 12 Maret 2008 oleh direktur Badan Amil Zakat Nasional (BAZNAS), Prof DR Didin Hafiduddin, dan Ketua Solideritas Istri Kabinet Indonesia Bersatu (SIKIB), Ibu Widodo AS. RUMPIN ini merupakan wadah pemberdayaan masyarakat yang berbasis pada pemanfaatan potensi lokal dan kemajuan ilmu pengetahuan. Di rumah pintar ini tersedia berbagai fasilitas yang mendukung program kerja seperti sentra buku dan baca, sentra permainan edukatif, sentra audio visual, sentra komputer, sentra kriya, dan sentra panggung.36

Rumah Pintar Pijoengan hadir untuk mendorong dan berkontribusi dalam upaya meningkatnya anak pintar, keluarga pintar, desa pintar dan warga masyarakat yang pintar, mewujudkan program Indonesia Pintar. Dalam sehari, masyarakat yang menggunakan fasilitas rumah pintar ini ber jumlah 25-50 orang setiap harinya.

Rumah Pintar “Pijoengan” Yogyakarta berada di sebelah timur Kota Yogyakarta, berjarak tempuh sekitar 16 km dari Kota Yogyakarta. Desa Srimartani termasuk desa yang terkena bencana gempa pada Mei 2006 lalu dengan kondisi rumah penduduk 95% (sembilan puluh lima persen) rata dengan tanah, 5% lainnya rusak berat serta ringan. Kini, 9 (sembilan) tahun gempa sudah berlalu, rumah yang dulu roboh sudah kembali berdiri kokoh, melalui bantuan dana Rekonstruksi dari pemerintah dan lembaga lainnya, bahkan tidak tampak lagi kalau disana pernah ada gempa dahsyat yang merenggut ribuan nyawa.37

Kegiatan perekonomian sudah berjalan kembali, baik untuk sektor pertanian, pelaku usaha mikro (pedagang kecil di pasar tradisional, peternak unggas, industri kecil rumah tangga jenis makanan dan minuman, maupun warung-warung kecil di rumah penduduk). Adalah Sriono, S.Pd.I, salah satu Tutor Sentra Kriya & Diklat Rumah Pintar Pijoengan. Pria murah senyum ini menuturkan alasan kenapa dirinya begitu menaruh perhatian lebih terhadap keberlangsungan RUMPIN. Mimpinya adalah mensejahterakan masyarakat melalui sistem pertanian yang terpadu.38

Page 131: Vol 8 no 4.pdf

Arah Baru Kebijakan Publik: Studi Kasus Pemberdayaan Zakat _735

Sriono dan jajarannya selalu menekankan bahwa untuk mendidik masyarakat harus dilakukan secara bersama-sama, dibutuhkan ketekunan, kesabaran dan kontiunitas. Untuk itulah, RUMPIN hadir untuk menyelenggarakan pendidikan, sosial, kewirausahaan dan pemberdayaan masyarakat. Sejak diresmikan, antusiasme warga cukup tinggi, yang mana Rumpin ini tidak hanya diisi kegiatan anak-anak, tapi untuk remaja dan masyarakat.39

Siang itu, suasana Desa Srimartani sedikit hangat. Di dalam bangunan seluas 100 M2 terlihat beberapa anak khusyuk membaca buku, beberapa berlairan kesana kemari, dan sebagian lagi terlihat duduk rapi mendengarkan guru yang sedang mengajarkan berbagai lagu-lagu Islami. Ini adalah kegiatan-sehari-hari yang dapat ditemui di rumah pintar kebanggaan warga Desa Srimartani, Kecamatan Piyungan, Kabupaten Bantul, Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Kegiatan pendidikan untuk anak-anak ini seakan mewarnai perjalanan panjang RUMPIN. Maklum, dari berdirinya RUMPIN hingga kini tawa dan suara lantang anak-anak tak pernah sepi terdengar.40

Di hari yang lain, program pendidikan diberikan kepada masyarakat dalam bentuk konsultasi masalah peternakan, pertanian dan perikanan, boleh dibilang, RUMPIN merupakan tempat pendidikan dari anak-anak hingga masyarakat yang sudah terjun di dunia kerja. Rumpin memiliki tanah seluas 2800 M2, dengan rincian Luas Bangunan: 100 M2, Kolam pemijahan Lele: 100 M2, Rumah kompos : 50 M2, Ruang Diklat: 50 M2, dan sisanya lahan pertanian: 2500M2.

Lalu, apa saja program unggulan RUMPIN selain di bidang pendidikan? Agar program RUMPIN sesuai dengan kebutuhan masyarakat, Sriono membeberkan, pihaknya selalu menyesuaikan dengan kebutuhan riil masyarakat desa Srimartani, karena sebagian bersar penduduk adalah peternak dan pertanian, tidak heran kegiatan-kegiatan yang ada di RUMPIN termasuk referensi di perpustakaan didominasi literatur peternakan, pertanian dan perikanan. Tidak hanya itu, RUMPIN juga

Page 132: Vol 8 no 4.pdf

736_Jurnal Bimas Islam Vol.8. No.IV 2015

melakukan pemberdayaan masyarakat, salah satu kegiatan kongritnya misalnya dengan adanya peternakan kambing percontohan dengan sistem pakan fermentasi.41

Bukan rahasia lagi jika masyarakat Indonesia mengolah lahan pertanian dan memelihara ternak masih dengan sistem tradisional. Hal ini pula yang membuat Sriono dan kelompoknya di RUMPIN bertekad menerapkan teknologi pertanian, hal itu dilakukan agar masyarakat dapat lebih efisien dalam bekereja dan menuai hasil yang lebih baik.

Dibelakang RUMPIN, tidak jauh dari arena bermain anak-anak, terlihat sebuah bangunan panggung sederhana. Di dalamnya terdapat beberapa kambing yang terlihat sangat sehat. Inilah ternak percontohan, sebagai jawaban agar masyarakat percaya dan tidak menganggap apa yang dilakukan oleh RUMPIN hanya teori saja.

Hal ini dikarenakan fermentasi makanan ternak merupakan program prioritas yang akan digalakkan di masyarakat. Dengan adanya sistem fermentasi, petani hanya perlu membuat pakan ternak sekali dan setelah itu tidak perlu merumput setiap hari. Hal ini didorong semangat memaksimalkan teknologi pertanian, bahan bakunya adalah limbah pertanian yang selama ini kurang dimanfaatkan petani, contohnya adalah jerami, jerami adalah sumber serat yang sangat bangus untuk ternak.

Sriono mencontohkan, makanan untuk kambing dan sapi itu beda, kalau sapi bisa jerami tapi kalau kambing harus rumput. Dengan fermentasi, baik kambing maupun sapi, keduanya menjadi makanan favorit, tentu sesuai komposisi. Tidak hanya itu, RUMPIN ini juga mengembangkan urin kambing untuk keperluan pupuk cair, sebelumnya urin ini dibuang begitu saja oleh peternak. Dan untuk kotoran hewan (kohe) itu juga di fermentasi untuk keperluan pupuk padat, juga buat biogas.42

Selain itu, dengan penuh semangat, Sriono mengungkapkan bahwa masyarakat di Desa Srimartani juga dapat memanfaatkan traktor yang diperoleh dari Baznas secara gratis, hanya membayar tenaga operator

Page 133: Vol 8 no 4.pdf

Arah Baru Kebijakan Publik: Studi Kasus Pemberdayaan Zakat _737

traktor saja. Jika biaya 100 ribu sehari, maka 50% untuk operator, 20% kembali ke petani berupa voucher yang dapat ditukarkan dengan pupuk dan obat-obatan dirumah pintar, kemudian yang 30% untuk perawatan. Dengan model demikian diharapkan setiap 3 tahun mesin traktor akan terus bertambah dan masayrakat yang bisa memanfaatkan semakin.43

4. Zakat Commuty Dovelopment (ZFD)

Zakat Community Development (ZCD)merupakan program jangka panjang yang mengintegrasikan program-program untuk mengatasi masalah kesehatan, pendidikan, ekonomi dan masalah sosial, dengan menggunakan dana Zakat Infak Shodaqoh. ZCD adalah program unggulan dengan harapan tercipta perubahan yang signifikan melalui partisipasi komunitas/masyarakat, dengan segala fasilitas dan teknologi yang diinovasikan pada suatu program.44

BAZNAS telah menempatkan ZCD sebagai Program Nasional sampai, yaitu program yang dikelola bersama antara BAZNAS, BAZNAS provinsi, dan BAZNAS kabupaten/kota. Sampai dengan Triwulan III tahun 2014, pelaksanaan Program ZCD dalam Program Nasional yang pelaksanaannya sampai pada tahap kick off sebanyak 17 (tujuh belas) lokasi/titik. Berikut lokasi/titik Program ZCD yang sudah kick off pada tahun 2014.45

No Provinsi Kabupaten/Kota Penerima Manfaat

Kepala Keluarga Jiwa

1 Sumatera Barat

Kabupaten Agam 93 273

Kabupaten Tanah Datar 126 504

Kabupaten Sijunjung 61 244

2 Sumatera Selatan

Kabupaten OKU Timur 51 204

Kabupaten Banyuasin 82 328

Page 134: Vol 8 no 4.pdf

738_Jurnal Bimas Islam Vol.8. No.IV 2015

3 Banten Kabupaten Pandeglang 305 1220

Kabupaten Lebak 357 1428

4 Kalimantan Timur

Kota Balikpapan 224 896

Kota Samarinda 70 280

Kabupaten Berau 64 256

Kabupaten Kutai Kartanegara 200 800

Kabupaten Kutai Timur 184 736

5Jawa Barat

Kabupaten Kuningan 225 1309

Kabupaten Sumedang 162 402

Kabupaten Tasikmalaya 482 1931

Kabupaten Bandung Barat - 2971

Kabupaten Cianjur 89 -

Jumlah 2,785 13,782

Tabel.4.8Penyaluran Program ZCD

F. Sebuah Kritik Konstruktif

Angka dan data menujukkan optimisme publik terhadap pengelolaan zakat di Indonesia. Angka pengumpulan yang terus meningkat dan variasi program penyaluran zakat yang semakin inovatif adalah penanda penting dalam melihat dan memetakan perkembangan optimisme publik terhadap masa depan pengelolaan zakat nasional. Baik BAZNAS maupun LAZ, terus menujukkan signal positif dengan berbagai pencapaian maisng-masing yang dirasakan langsung oleh masyarakat.

Page 135: Vol 8 no 4.pdf

Arah Baru Kebijakan Publik: Studi Kasus Pemberdayaan Zakat _739

Sejak terbitnya UU Nomor 38 Tahun 1999 Tentang Pengelolaan Zakat dan direvisi menjadi Undang-undang Nomor 23 Tahun 2011 Tentang Pengelolaan Zakat, berbagai dinamika pemikiran dan perdebatan menghiasi ruang publik. Tentu bukanlah hal yang negatif, mengingat diskursus yang berlangsung di ruang publik menjadi penanda bahwa bangsa Indonesia begitu antusias menyambut regulasi perzakatan, dan pada saat bersamaan berharap banyak agar zakat memperkuat program pembangunan nasional.

Pertanyaannya adalah, what next? Apa yang akan kita lakukan setelah terbitnya regulasi zakat?

Jawaban dari pertanyaan tersebut adalah mengimplementasikan regulasi zakat dengan sebaik-baiknya dan profesional. Regulasi zakat yang lahir dari ruang publik dan penuh dengan dinamika pemikiran, tentu sangat tak berarti apa-apa jika kita tak mampu menjabarkannya dalam dunia nyata. Dalam kata lain, saatnya kita melaksanakan regulasi, tidak lagi berdebat terlalu jauh.

Penulis mengidentifikasi tiga hal besar yang harus kita rumuskan demi menuju optimalisasi pengelolaan zakat.

Pertama, membangun roadmap pemberdayaan zakat. Integrasi antar lembaga pengelola zakat dengan pembangunan nasional adalah tantangan tersendiri. Integrasi menandakan bahwa zakat lagi terpisah dari pelaksanaan pembangunan nasional. Sebaliknya, zakat justru menempati ruang penting dengan peran dan fungsinya yang luas. Roadmap pemberdayaan zakat dibutuhkan agar posisi zakat dalam pembangunan nasional berkontribusi secara nyata.

Penulis belum membaca bagaimana rodamap pemberdayaan zakat 10-20 tahun ke depan. Meskipun masing-masing lembaga pengelola zakat memiliki program unggulan dan strategis, namun roadmap itu belum terlihat secara nyata. Melalui roadmap tersebut diharapkan semua lembaga pengelola zakat berjalan menuju cita-cita yang sama dengan tahapan dan target yang terencana.

Page 136: Vol 8 no 4.pdf

740_Jurnal Bimas Islam Vol.8. No.IV 2015

Kedua, dibutuhkan regulasi teknis guna memjembatani sinergi program antar lembaga zakat. Dengan lahirnya Undang-undang Nomor 23 Tahun 2011 Tentang Pengelolaan Zakat, BAZNAS memegang kendali besar dalam mengorganisir struktur di bawahnya maupun LAZ. Struktur BAZNAS hingga ke tingkat Kabupaten/Kota tentu tantangan tersendiri, mengingat ketersediaan infrastruktur yang masih minim.

Begitu pula dengan LAZ, sinergi program akan snagat terkendala jika tidak tersedia regulasi teknis yang mengatur lalu lintas koordinasi diantara keduanya. Dengan capital yang juga besar, LAZ tentu tidak bisa serta merta dikendalikan secara penuh oleh BAZNAS. Pada sata bersamaan, koordinasi di bawah BAZNAS mengindikasikan arah pengelolaan zakat yang terintegrasi. Dengan demikian, jembatan antara BAZNAS dan LAZ harus segera dibentuk melalui regulasi teknis sehingga keduanya dapat berjalan beriringan dalam satu arah yang sama, meski cara dan wilayahnya berbeda.

Ketiga, meningkatkan infrastruktur untuk menopang langkah besar pengelolaan zakat. Berbagai inovasi besar telah lahir dari insan perzakatan: rumah sehat, pengembangan usaha, beasiswa, pelayanan publik. Itu semua menunjukkan bahwa komitment pemerintah dalam membuat regulasi dan respon publik berjalan beriringan, tidak saling cuek apalagi menegasikan.

Tugas pemerintah adalah membuat kebijakan yang memungkinkan insan perzakatan dapat bereksplorasi lebih luas sehingga zakat menjelma menjadi kekuatan utama dalam peningkatan kualitas kehidupan beragama. Pemerintah harus membangun infrastruktur yang memungkinkan zakat dapat tumbuh semakin kuat. Dalam hal ini, partisipasi publik harus terus digenjot melalui kebijakan yang profesional, transparan dan akuntabel.

Page 137: Vol 8 no 4.pdf

Arah Baru Kebijakan Publik: Studi Kasus Pemberdayaan Zakat _741

G. Penutup

Agama hadir tidak sebatas mengurus hubungan vertikal dengan Tuhan. Agama lahir sebagai sebuah sistem yang mengatur tata kehidupan manusia menuju arah yang lebih baik. Karena itu pulalah kita memaknai zakat sebagai sistem hukum yang diturunkan agar manusia tumbuh sebagai sebagai muslim yang kaffah.

Pemerintah menjabarkan ajaran agama tentang zakat ini dalam kapasitasnya sebagai pemegang kebijakan publik. Bahwa pengelolaan zakat harus transparan dan akuntabel. Di sinilah pemerintah hadir melalui berbagai kebijakan yang mengedepankan partisipasi publik. Kehadiran pemerintah tidak dalam kapasitas mengambil peran tersebut dan menegasikan peran publik. Akan tetapi, pemerintah hadir memberikan kepastian hukum pengelolaan zakat, sehingga publik dapat berpartisipasi secara besar mengelola zakat.

Kita berharap bahwa kebijakan pemerintah akan terus meningkatkan kapasitas dan kualitas partisipasi publik dalam pengelolaan zakat. Bagaimanapun, partisipasi publik tak bisa dipisahkan dalam sistem tata kelola pemeirntahan yang transparan dan akuntabel. Karena di balik pemerintahan yang baik, terdapat partisipasi publik yang besar.

Page 138: Vol 8 no 4.pdf

742_Jurnal Bimas Islam Vol.8. No.IV 2015

Daftar Pustaka

A. A. Miftah,”Pembaharuan Zakat untukPengentasan Kemiskinan di Indonesia”, Innovatio, Vol. VIII, No. 2, Juli-Desember 2009.

Budiardjo, Miriam, Dasar-dasar Ilmu Politik, Jakarta: PT.Gramedia Pustaka, 2009.

Curtis, Dan B; Floyd, James J.; Winsor, Jerryl L, Komunikasi Bisnis dan Profesional, Bandung: Remaja Rosdakarya, 1996.

Faisal, “Sejarah Pengelolaan Zakat Di Dunia Muslim Dan Indonesia (Pendekatan Teori Investigasi-Sejarah Charles Peirce dan Defisit Kebenaran Lieven Boeve),” dalam Jurnal Analisis, Volume XI, Nomor 2, Desember 2011.

Fuad Nasar, “Integrasi Pengelolaan Zakat dalam UU No 23 Tahun 2011,” dalam http://pusat.baznas.go.id/berita-artikel/integrasi-pengelolaan-zakat-dalam-uu-no-23-tahun-2011/.

Irfan Syauqi Beik, “Agenda Pasca PP No 14/2014,”http://pusat.baznas.go.id/berita-artikel/agenda-pasca-pp-no-142014/.

Munir, Samsul Amin, “Percikan Pemikiran Para Kiai”, Yogyakarta: Pusaka Pesantren, 2009.

Mustofa Nasution Edwin, “Penguatan Peran Bank Syari’ah: Optimalisasi Potensi dan Pelayanan Zakat bagi Masyarakat,” makalah pada Saresehan Nasional tentang Zakat, Jakarta 30 November 2010.

Rahim, Erman I.” Partisipasi Dalam Perspektif Kebijakan Publik,” artikel pada Fakultas Ekonomi dan Binis UNG.

Sahal Mahfudh, “Pendekatan Dakwah Untuk Kaum Dhu’afa ” Majalah Mimbar Ulama No. 103, Edisi Rajab 1406 H./Maret 1986 M.

Soekanto, Soejono, Kamus Sosiologi, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1993.

Page 139: Vol 8 no 4.pdf

Arah Baru Kebijakan Publik: Studi Kasus Pemberdayaan Zakat _743

Tim Penyususun, Membangun Peradaban Zakat, Jakarta: Ditjen Bimas Islam, 2009.

Tim Penyusun, “Rencana Kerja dan Anggaran Tahunan (RKAT) Tahun 2015,” Badan Amil Zakat Nasional (BAZNAS) 2015, Badan Amil Zakat Nasional (BAZNAS)Tahun 2015.

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat Pasal 4.

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat Pasal 3.

Yusuf Wibisono, “RUU Zakat dan Kesejahteraan Umat,” Koran Tempo, Agustus 2010.

Sumber Internet

http://pusat.baznas.go.id

http://kbbi.web.id/.

Page 140: Vol 8 no 4.pdf

744_Jurnal Bimas Islam Vol.8. No.IV 2015

Endnotes

1. Faisal, “Sejarah Pengelolaan Zakat Di Dunia Muslim Dan Indonesia (Pendekatan Teori Investigasi-Sejarah Charles Peirce dan Defisit Kebenaran Lieven Boeve),” dalam Jurnal Analisis, Volume XI, Nomor 2, Desember 2011, h. 248.

2. Ibid, h. 250.

3. Ibid, h. 251

4. Ibid, h. 252

5. Ibid, h. 251

6. Ibid, h. 252

7. Yusuf Wibisono, “RUU Zakat dan Kesejahteraan Umat,” Koran Tempo, Agustus 2010.

8. Mustofa Edwin Nasution, “Penguatan Peran Bank Syari’ah: Optimalisasi Potensi dan Pelayanan Zakat bagi Masyarakat,” makalah pada Saresehan Nasional tentang Zakat, Jakarta 30 November 2010

9. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat Pasal 4

10. http://pusat.baznas.go.id/profil/

11. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat Pasal 3

12. http://pusat.baznas.go.id/visi-misi

13. Miriam Budiardjo, Dasar-dasar Ilmu Politik, Jakarta : PT.Gramedia Pustaka, 2009, h. 20.

14. Curtis, Dan B; Floyd, James J.; Winsor, Jerryl L. Komunikasi Bisnis dan Profesional, Bandung: Remaja Rosdakarya, 1996, h. 295.

15. Erman I. Rahim,” Partisipasi Dalam Perspektif Kebijakan Publik,” artikel pada Fakultas Ekonomi dan Binis UNG.

16. http://kbbi.web.id/partisipasi (diakses 9 September 2015)

17. Soejono Soekanto, Kamus Sosiologi, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1993, h. 355.

Page 141: Vol 8 no 4.pdf

Arah Baru Kebijakan Publik: Studi Kasus Pemberdayaan Zakat _745

18. Erman I. Rahim,” Partisipasi Dalam Perspektif Kebijakan Publik,” artikel pada Fakultas Ekonomi dan Binis UNG.

19. Fuad Nasar,“Integrasi Pengelolaan Zakat dalam UU No 23 Tahun 2011,” dalam http://pusat.baznas.go.id/berita-artikel/integrasi-pengelolaan-zakat-dalam-uu-no-23-tahun-2011/

20. Tim Penyususun, Membangun Peradaban Zakat, Jakarta: Ditjen Bimas Islam, 2009, h. 20.

21. Ibid

22. Fuad Nasar,“Integrasi Pengelolaan Zakat dalam UU No 23 Tahun 2011,” dalam http://pusat.baznas.go.id/berita-artikel/integrasi-pengelolaan-zakat-dalam-uu-no-23-tahun-2011/

23. Ibid

24. Ibid

25. http://pusat.baznas.go.id/berita-artikel/pp-no-14-tahun-2014-dan-perubahan-organisasi-baznas/

26. Irfan Syauqi Beik, “Agenda Pasca PP No 14/2014,” http://pusat.baznas.go.id/berita-artikel/agenda-pasca-pp-no-142014/

27. Tim Penyusun, “Rencana Kerja dan Anggaran Tahunan (RKAT) Tahun 2015,” Badan Amil Zakat Nasional (BAZNAS) 2015, h. 12.

28. Ibid, h. 14.

29. Dalam sejarahnya, pada tanggal 14 Juli 2005, Dompet Dhuafa mendirikan Tabung Wakaf Indonesia yang berperan dalam memberikan sosialisasi, edukasi, dan advokasi wakaf, serta mengelola harta wakaf dari masyarakat maupun institusi.Baca “Profil Tabung Wakaf” di http://www.tabungwakaf.com/index.php?option=com_content&view=article&id=13&Itemid=9 (diakses 5 Juli 2011).

30. Lih. Ali Romdhoni, “Filantropi Islam Di Indonesia: Tantangan Dan Potensi,” dalamJurnalBimas Islam Vol. No. 2 tahun 2011

31. KH Sahal Mahfudh, “Pendekatan Dakwah Untuk Kaum Dhu’afa ” Majalah Mimbar Ulama No. 103, Edisi Rajab 1406 H./Maret 1986 M. lihat juga Samsul Munir Amin “Percikan Pemikiran Para Kiai”, Yogyakarta: Pusaka Pesantren, 2009, h. 152.

32. A. A. Miftah,”Pembaharuan Zakat untuk Pengentasan Kemiskinan di Indonesia”, Innovatio, Vol. VIII, No. 2, Juli-Desember 2009.

Page 142: Vol 8 no 4.pdf

746_Jurnal Bimas Islam Vol.8. No.IV 2015

33. Tim Penyusun, “Rencana Kerja dan Anggaran Tahunan (RKAT) Tahun 2015..., h. 22

34. Ibid, h. 28

35. Ibid, h. 29

36. Wawancara A Syamsuddin dengan Sriono, 5 April 2015

37. Ibid

38. Wawancara Sriono, 5 April 2015

39. Wawancara Sriono, 5 April 2015

40. Wawancara A Syamsuddin dengan Bagus, 5 April 2015

41. Wawancara A Syamsuddin dengan Irna, 5 April 2015

42. Ibid

43. Data BAZNAS Kabupaten Bantul.

44. http://pusat.baznas.go.id/zakat-community-development/ (di aksestanggal 11 bulan September 2015)

45. Tim Penyusun, “Rencana Kerja dan Anggaran Tahunan (RKAT) Tahun 2015,” ........., h. 18

Page 143: Vol 8 no 4.pdf

Infâq Menurut Perspektif Al-Qur’an _747

Infaq According to the Qur’an Perspective

Infâq Menurut Perspektif Al-Qur’an

Sulaiman IbrahimIAIN Sultan Amai Gorontalo

email: [email protected]

Abstract: Advocated to infaq, to every Muslim to use their property in a way that is good and

true. Including by channeling such assets to improve the lives of private and public,

to narrow the distance of separation between the rich and the poor. According to the

Koran, the property has a social function. When collecting treasures must be halal and

good principle, and considering the interests of society. Because the property we have

is actually coming from Allah. In which people were given a mandate to use and take

care of the property for the benefit of personal, family and community in the frame of

devotion to Alah SWT.

Abstraksi: Pensyariatan infak, mengarahkan setiap muslim agar menggunakan harta mereka

dengan cara yang baik dan benar. Di antaranya dengan menyalurkan harta terse-

but untuk meningkatkan kesejahteraan hidup pribadi dan masyarakat, mempersempit

jarak pemisahan antara si kaya dan si miskin. Menurut al-Qur’an, harta milik itu

mempunyai fungsi sosial. Ketika mengumpulkan harta haruslah prinsip halal daan

baik, serta memperhatikan kepentingan masyarakat. karena harta yang dimiliki itu

sebenarnya hanya pinjaman dari Allah swt. di mana manusia diberi amanat untuk

Page 144: Vol 8 no 4.pdf

748_Jurnal Bimas Islam Vol.8. No.IV 2015

menggunakannya dan mengurus harta itu untuk kepentingan pribadi, keluarga dan

masyarakat dalam bingkai pengabdian kepada Allah swt.

Keywords: Koran, donation/infaq, concept

A. Pendahuluan

Islam sejak dini telah memberikan perhatian besar terhadap infaq ini. Itu berarti secara tidak langsung al-Qur’an mengisyaratkan kepada kita bahwa infaq mempunyai peranan besar dalam pembinaan umat. Hal ini disebabkan dana yang berasal dari umat dihimpun, lalu dikelola secara baik sesuai dengan manejemen yang berdasarkan ketentuan al-Qur’an, kemudian dikembalikan kepada umat untuk memenuhi kebutuhan mereka, baik dalam bentuk barang, maupun jasa.

Infaq merupakan hal yang sangat penting dalam pembinaan umat, adalah suatu kenyataan yang empiris yang tak dapat dibantah sejak dulu sampai sekarang. Tapi yang perlu dilihat adalah berkenaan dengan kurang tumbuhnya sikap suka berinfaq di kalangan umat sendiri. Padahal masalah ini sangat penting demi mengatur dana umat untuk dipergunakan sebagaimana mestinya.

Lewat kitab suci al-Qur’an Allah swt. memerintahkan hamba-hambanya supaya senantiasa peduli terhadap sesamanya. Bentuk kepedulian ini dapat diwujudkan dengan melakukan infak dengan membelanjakan sebagian harta yang dilimpahkan-Nya kepada para fakir, miskin, orang-orang yang sangat memerlukannya dan untuk kebaikan dan kemanfaatan orang banyak.

Berdasarkan uraian terdahulu, pembicaraan akan dititik beratkan pada penelitian ayat-ayat Alquran tentang infak. Oleh karena itu, pokok masalah yang akan dijadikan landasan pembahasan dalam tulisan ini adalah bagaimana konsep infak dalam al-Qur’an.

Page 145: Vol 8 no 4.pdf

Infâq Menurut Perspektif Al-Qur’an _749

B. Pengertian Infâq

Secara etimologis infâq berasal dari kata bahasa Arab, nafaqa, yang berarti menggali terowongan, habis, membelanjakan, memberi nafkah, pengeluaran, laris, dan biaya.1 Menurut Ibnu Manzhur, kata anfaqa bisa berarti menjadi miskin (anfaqa al-Rajulu), kehilangan, musnah (anfaqa al-darahim) dan membelanjakan (anfaqa al-Mâl).2 Menurut Ibnu Faris kata nafaqa mempunyai dua akar kata, pertama: menunjukkan terputusnya sesuatu dan pergi, kedua, menyembunyikan sesuatu dan menutupinya.3 Al-Raghib al-Ishfahani memberi arti yang tidak jauh berbeda dengan ibnu Manzhur dan ibnu Faris. Menurutnya, infâq kadangkala bisa dengan harta atau dengan yang lain, bisa menjadi wajib (zakat) dan sunnah (sedekah).4

Walaupun infâq dan nifaq mempunyai akar kata yang sama, namun pengertiannya saling bertolak belakang. Infâq muncul dari jiwa yang bersih dan saleh, sedangkan nifaq sendiri justru muncul dari jiwa yang kotor dan kerdil.5 Pengertian infâq akan semakin meluas jika dipandang dari perspektif fikih dan ekonomi. Infâq merupakan suatu pemberian kepada seseorang/golongan yang berhajat dengan benar-benar mengharap keridhaan Allah Swt. Semata-mata. Al-Infâq al-‘amm (pembelanjaan umum) dalam terminologi fikhi adalah pengeluaran sebagian harta dari lembaga keuangan umat Islam dengan tujuan memenuhi kebutuhan umum. Menurut al-Jurjani, infâq merupakan pendayagunaan harta kepada kebutuhan.6

Dari tinjauan ini dapat dilihat bahwa Infâq pada prinsipnya mengandung arti: pemberian, pengeluaran, pembelanjaan harta baik yang berkonotasi wajib seperti zakat, menafkahi istri, keluarga, atau yang bersifat sunnah seperti pemberian sedekah dan bantuan pada orang lain.7 Biasa juga dipahami sebagai pengeluaran negara untuk pembiayaan operasionalnya, baik membangun fasilitas-fasilitas umum atau memberi bantuan kepada masyarakat terutama yang berada di bawah garis kemiskinan. Infâq juga merupakan proses perpindahan harta dari pihak

Page 146: Vol 8 no 4.pdf

750_Jurnal Bimas Islam Vol.8. No.IV 2015

pertama kepada pihak kedua dalam rangka kemashlahatan kedua belah pihak di dunia dan di akhirat.

C. Pembahasan

1. Identifikasi Terma Infâq dalam al-Qur’an

Terma infâq dalam al-Qur’an disebut sebanyak 73 kali8 dengan berbagai segi bentuknya. Bahkan dari segi keseimbangan jumlah antara kata dengan kata yang lain yang menunjukkan pada akibatnya yaitu al-Ridha (kerelaan), juga disebut sebanyak 73 kali.9 Terma infâq dalam al-Qur’an muncul dalam beberapa kata jadian yaitu: fi`l madhi (kata kerja yang menunjukkan waktu lampau), fi`il mudhari (kata kerja yang menunjukkan waktu sedang dan akan datang), fi`il amr (kata kerja yang mengandung perintah) mashdar (infinitif), ism fa’il (subyek). Untuk lebih jelasnya penulis gambarkan dalam bentul tabel:

BENTUK SURAH AYAT JUMLAH KET.

AnfaqaAl-KahfiAl-Hadîd

4210

2

Fi`l mâdhi

Anfaqta Al-Anfal 63 1

anfaqtumAl-BaqarahSaba’Mumtahanah

215, 2703910

4

Anfiqû

Al-BaqarahAl-Nisâal-Ra`dal-FurqânFâthiral-Hadîdal-Mumtahanah

26234, 392267297, 1010,10,11

11

Page 147: Vol 8 no 4.pdf

Infâq Menurut Perspektif Al-Qur’an _751

Tunfiqû

Al-BaqarahAli ImrânAl-AnfâlMuhammadAl-HadîdAl-Munâfiqûn

272, 272, 27392, 926038107

9

Fi’l Mudhâri

Tunfiqûn Al-Baqarah 267, 272 2

Yunfiq

Al-BaqarahAl-Mâ’idahAl-TaubahAl-NahlAl-Thalâq

2646498, 99757, 7

7

Yunfiqû Ibrâhîm 31 1

Yunfiqûn

Al-Baqarah

Ali ImrânAl-NisâAl-AnfâlAl-TaubahAl-Hajjal-Qashashal-Sajadahal-Syûrâ

3, 215, 219, 261, 262, 265, 274117, 134383, 3654, 91, 92, 12135541638

20

YunfiqûnahaAl-AnfâlAl-Taubah

3634

2

Anfiqû

Al-BaqarahAl-TaubahYâsînAl-HadidAl-MunâfiqûnAl-ThaghâbûnAl-Thalâq

129, 254, 2675347710166

9 Fi`l amr

Page 148: Vol 8 no 4.pdf

752_Jurnal Bimas Islam Vol.8. No.IV 2015

NafaqahAl-BaqarahAl-Taubah

270121

2

MashdarNafaqatuhum Al-Taubah 54 1

Al-Infâq Al-Isrâ’ 100 1

Al-Munfiqin Ali Imrân 1 Isim fâ’il

Jumlah 26 surah 56 ayat 73

Dengan memperhatikan tabel di atas, penulis mencoba mengumpulkan dan mengklasifikasikan terma infaq dalam al-Qur’an dari sudut pemaknaannya;

a. Infâq Bermakna Shadaqah

Pada prinsipnya sebagian besar ayat-ayat yang berterma infaq mengandung arti pemberian/sumbangan dengan sukarela (sedekah), alasan ini dikuatkan dengan adanya ayat-ayat yang mengindikasikan pengertian infaq sebagai bentuk sumbangan sukarela. Dalam pengertian ini infaq dipandang sebagai sesuatu yang lentur, non formal, dan suatu kebolehan. Pengertian Infaq dalam arti shadaqah bersifat umum, mencakup semua pemberian, baik yang mengikat maupun yang sukarela. Perhatikan dalam surah al-Taubah ayat 53:

يني بل ب ن قي ا أنفقواقل

ه رئ ء ي نف يه ا بذ ءا ا ل تي طل ا صدق ت ب م الذى بذي ا ب س ل يؤ ب لبه ا يي م الخ مثيله مثل صف ان ليه تي اب أص به ابل

يني ه صلدا ل ي در ن ل ء ب ا ا لبه ل يهدي ا م ا

ق ا ا صبلة ب رزقي ا ا ل ية وأنفقوا ا بذ ص ي ا ابنغ ء جه ربار ي ة ا دب درء ن ب ا ة ا ب

Katakanlah: “Nafkahkanlah hartamu, baik dengan sukarela ataupun dengan terpaksa, namun nafkah itu sekali-kali tidak akan diterima dari kamu. Sesungguhnya kamu adalah orang-orang yang fasik.

Page 149: Vol 8 no 4.pdf

Infâq Menurut Perspektif Al-Qur’an _753

Dan lihat juga dalam Qs.al-Baqarah/2: 264

يني بل ب ن قي ا أنفقواقل

ه رئ ء ي نف يه ا بذ ءا ا ل تي طل ا صدق ت ب م الذى بذي ا ب س ل يؤ ب لبه ا يي م الخ مثيله مثل صف ان ليه تي اب أص به ابل

يني ه صلدا ل ي در ن ل ء ب ا ا لبه ل يهدي ا م ا

ق ا ا صبلة ب رزقي ا ا ل ية وأنفقوا ا بذ ص ي ا ابنغ ء جه ربار ي ة ا دب درء ن ب ا ة ا ب

“Hai orang-orang beriman, janganlah kamu menghilangkan (pahala) sedekahmu dengan menyebut-nyebutnya dan menyakiti (perasaan sipenerima), seperti orang yang menafkahkan hartanya karena riya kepada manusia dan dia tidak beriman kepada Allah dan hari kemudian. Maka perumpamaan orang itu seperti batu licin yang di atasnya ada tanah, kemudian batu itu ditimpa hujan lebat, lalu menjadilah dia bersih (tidak bertanah). Mereka tidak menguasai sesuatupun dari apa yang mereka usahakan; dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang kafir.”

Adapun indikator sukarela dapat dilihat dalam proses pengeluaran infaq itu sendiri yang bisa dilakukan dengan cara sembunyi-sembunyi ataupun dengan terang-terangan, lihat QS. Al-Ra`d: 22

يني بل ب ن قي ا أنفقواقل

ه رئ ء ي نف يه ا بذ ءا ا ل تي طل ا صدق ت ب م الذى بذي ا ب س ل يؤ ب لبه ا يي م الخ مثيله مثل صف ان ليه تي اب أص به ابل

يني ه صلدا ل ي در ن ل ء ب ا ا لبه ل يهدي ا م ا

ق ا ا صبلة ب رزقي ا ا ل ية وأنفقوا ا بذ ص ي ا ابنغ ء جه ربار ي ة ا دب درء ن ب ا ة ا ب

Dan orang-orang yang sabar karena mencari keridhaan Tuhannya, mendirikan shalat, dan menafkahkan sebagian rezki yang Kami berikan kepada mereka, secara sembunyi atau terang-terangan serta menolak kejahatan dengan kebaikan; orang-orang itulah yang mendapat tempat kesudahan (yang baik)

Dan lihat juga surat Ibrahim: 31. Bukti selanjutnya ditegaskan dalam ayat-ayat infaq yang menganjurkan bagi mereka yang memiliki kelapangan harta untuk dinafkahkan hartanya, baik dalam keadaan sempit maupun lapang (QS. Ali Imran/3:124)..

Pada ayat 91-92 surah al-Taubah dapat dipahami bahwa ayat ini berkonotasi shadaqah (iuran sukarela).

Page 150: Vol 8 no 4.pdf

754_Jurnal Bimas Islam Vol.8. No.IV 2015

ليس على الضعفاء ول على المرضى ول على الذين ل يدون ما ي نفقون حرج ول (91) ا وا لل وو ول ما على الم ن من ييل والل فوو وحيي

لكي علي ت ولوا وأعي ن هي على الذين ا ما أت وك لت ملهي ق لت ل أجد ما أحم ح نا أل يدوا ما ي نفقون تفيي من الد

ياأي ها الذين آمنوا ن كثرينا من الح او والره ان ليأكلون أموال الناس بال اطي وي دون عن يي الل والذين يكن ون الذهب والفضة ول ينفقو ها ف يي

الل شرهي بعذاال ألييل

Tiada dosa (lantaran tidak pergi berjihad) atas orang-orang yang lemah, atas orang-orang yang sakit dan atas orang-orang yang tidak memperoleh apa yang akan mereka nafkahkan, apabila mereka berlaku ikhlas kepada Allah dan Rasul-Nya. Tidak ada jalan sedikitpun untuk menyalahkan orang-orang yang berbuat baik. Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. Dan tiada (pula dosa) atas orang-orang yang apabila mereka datang kepadamu, supaya kamu memberi mereka kendaraan, lalu kamu berkata: “Aku tidak memperoleh kendaraan untuk membawamu”, lalu mereka kembali, sedang mata mereka bercucuran air mata karena kesedihan, lantaran mereka tidak memperoleh apa yang akan mereka nafkahkan.

b. Infaq Bermakna Zakat

ليس على الضعفاء ول على المرضى ول على الذين ل يدون ما ي نفقون حرج ول (91) ا وا لل وو ول ما على الم ن من ييل والل فوو وحيي

لكي علي ت ولوا وأعي ن هي على الذين ا ما أت وك لت ملهي ق لت ل أجد ما أحم ح نا أل يدوا ما ي نفقون تفيي من الد

ياأي ها الذين آمنوا ن كثرينا من الح او والره ان ليأكلون أموال الناس بال اطي وي دون عن يي الل والذين يكن ون الذهب والفضة ول ينفقو ها ف يي

الل شرهي بعذاال ألييل

Artinya:” Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya sebahagian besar dari orang-orang alim Yahudi dan rahib-rahib Nasrani benar-benar memakan harta orang dengan jalan yang batil dan mereka menghalang-halangi (manusia) dari jalan Allah. Dan orang-orang yang menyimpan emas dan perak dan tidak menafkahkannya pada jalan Allah, maka beritahukanlah kepada mereka, (bahwa mereka akan mendapat) siksa yang pedih.” (QS. al-Taubah: 34),

Page 151: Vol 8 no 4.pdf

Infâq Menurut Perspektif Al-Qur’an _755

Dari redaksi ayat yang terdapat pada surat al-Taubah ayat 34, sebagian besar ulama tafsir menyatakan bahwa yang dimaksud ayat di atas adalah zakat. Menurut Syekh Wahidi al-Naisaburi dalam menjelaskan asbab al-Nuzul ayat di atas, telah terjadi dialog antara Abu Dzar dengan Muawiyah. Menurut muawiyah ayat ini turun hanya untuk ahli kitab sedangkan Abu Dzar berpendapat bahwa ayat ini juga turun untuk mereka dan umat Islam secara keseluruhan.10 Menurut Wahbah al-Zuhaily, maksud ayat tersebut adalah nafkah yang wajib dikeluarkan (zakat), karena ayat itu mengandung hukuman/siksaan bagi orang yang tidak memenuhi kewajibannya.11

Al-Qur’an tidak mengajak kelompok miskin secra langsung untuk mengadakan perhitungan dengan kelompok kaya, tetapi al-Qur’an membicarakan penyelesaian orang miskin kepada kelompok kaya dengan mengetuk kesadaran untuk memikirkan nasib saudaranya. Untuk mencarikan solusi problem tersebut, al-Qur’an menetapkan sebuah instrumen yang formal untuk memenuhi kebutuhan orang miskin, instrumen inilah yang disebut zakat. Zakat diharapkan dapat memisahkan kekayaan orang kaya yang menjadi hak orang miskin serta dapat meratakan fungsi kekayaan dalam kehidupan, khususnya bagi yang mereka tidak berkecukupan.

Jika infaq ingin distandarkan seperti zakat, yang ada hanyalah standar dasar, yaitu setiap kelebihan dari kebutuhan pokok yang dalam waktu bersamaan juga dihajatkan oleh orang lain untk menutupi kebutuhan dasarnya.

Al-Qur’an tidak memberikan standar nominal infaq, baik minimal maupun maksimal, al-Qur’an hanya memberikan standar kualitas dan kelayakan untuk difungsikan. Salah satu standar yang ditetapkan adalah manusia memberikan yang terbaik diantara yang dimiliki dan melarang memberikan yang buruk. Standar materi yang diinfaqkan, sebenarnya bukan teletak pada kualitas kekayaan, malainkan pada kemampuan dan mental sipemiliknya.

Page 152: Vol 8 no 4.pdf

756_Jurnal Bimas Islam Vol.8. No.IV 2015

c. Infaq Bermakna Pemberian Mahar

Hai orang-orang yang beriman, apabila datang berhijrah kepadamu

perempuan-perempuan yang beriman, maka hendaklah kamu uji (keimanan) mereka. Allah lebih mengetahui tentang keimanan mereka; maka jika kamu telah mengetahui bahwa mereka (benar-benar) beriman maka janganlah kamu kembalikan mereka kepada (suami-suami mereka) orang-orang kafir. Mereka tiada halal bagi orang-orang kafir itu dan orang-orang kafir itu tiada halal pula bagi mereka. Dan berikanlah kepada (suami-suami) mereka mahar yang telah mereka bayar. Dan tiada dosa atasmu mengawini mereka apabila kamu bayar kepada mereka maharnya. Dan janganlah kamu tetap berpegang pada tali (perkawinan) dengan perempuan-perempuan kafir; dan hendaklah kamu minta mahar yang telah kamu bayar; dan hendaklah mereka meminta mahar yang telah mereka bayar. Demikianlah hukum Allah yang ditetapkan-Nya di antara kamu. Dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.

Dalam surat al-Muntahanah/60:10 di atas, menunjukkan upaya pemberian atau pembayaran mahar kepada wanita muslim yang akan dijadikan isteri, yang bermakna akan adanya suatu proses menjalankan hak dan kewajiban sebagai suami isteri. Islam meletakkkan tanggung jawab mencari nafkah untuk keluarga di atas pundak lelaki, entah sebagai bapak, saudara, suami, paman, atau ponakan. Islam tidak pernah membebani wanita memberi nafkah pada anak-anak, meskipun ia memiliki kekayaan, sebagaimana juga Islam juga memberlalukan mahar

Page 153: Vol 8 no 4.pdf

Infâq Menurut Perspektif Al-Qur’an _757

untuk diberikan kepadanya. namun mahar sendiri bukanlah harga yang harus dibayarkan suami untuk dapat beristeri, karena wanita bukanlah dagangan yang bisa diperjualbelikan12 dengan standar materi.

Adapun penafsiran pada kata ma anfaqu yang berarti mahar, adalah pembayaran yang dilakukan oleh seorang muslim kepada orang kafir yang bersifat “hilang atau habis”. Ini salah satu dari arti nafaqa itu.

d. Infaq Bermakna Jihad Fisabilillah

Dalam konteks ini dapat ditemukan banyak ayatayat yang berterm infaq yang redaksinya diikuti dengan kata fisabilillah. Secara umum apapun bentuk pengeluaran infaq dlam koridor fisabilillah jika diperhatikan, maka akan ditemukan beberapa ayat al-Qur’an yang menurut hemat penulis memerintahkan mengeluarkan harta untuk peperangan. Dalam QS. Al-Baqarah/2:195

ياأي ها الذين آمنوا إذا جاءكم المؤمنات مهاجرات فامتحنوهن الله أعلم بإميانن فإن علمتموهن مؤمنات فل ت رجعوهن إل الكفار ل هن حل لم ول هم يلون لن وآتوهم ما أنفقوا ول جناح عليكم أن تنكحوهن إذا آت يتموهن أجورهن ول

تسكوا بعصم الكوافر واسألوا ما أنفقتم وليسألوا ما أنفقوا ذلكم حكم الله نكم والله عليمم حكيمم (10)يكم ب ي

وأنفقوا ف سبيل الله ول ت لقوا بأيديكم إل الت هلكة وأحسنوا إن الله يب

المحسن

وا لم ما استطعتم من ق وة ومن رباط اليل ت رهبون به عدو الله وعدوكم وأعد

وآخرين من دونم ل ت علمون هم الله ي علمهم وما تنفقوا من شيء ف سبيل الله ي و إليكم وأن تم ل ت لمون

الرجال ق وامون على النساء با فضل الله ب عضهم على ب عض وبا أنفقوا من

ت تافون أموالم فالصالات قانتاتم حاف اتم للغيب با حفظ الله واللغوا نشوزهن فع وهن واهجروهن ف المضاجع واضربوهن فإن أطعنكم فل ت ب

عليهن سبيلا إن الله كان عليا كبرياا

أسكنوهن من حيث سكنتم من وجدكم ول تضاروهن لتضي قوا عليهن وإن كن أولت حل فأنفقوا عليهن حت يضعن حلهن فإن أرضعن لكم فآتوهن أجورهن

نكم بعرو وإن ت عاسرت فست رضع له أخرى وأتروا ب ي

Dan belanjakanlah (harta bendamu) di jalan Allah, dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan, dan berbuat baiklah, karena sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik.

Menurut Ikrimah, ayat ini turun berkenaan perintah untuk mengelurkan harta dalam jalan Allah (fisabilillah) seperti peperangan.13 Dalam kondisi perang, sumbangan dan bantuan berupa harta sangatlah diperlukan untuk membeli peralatan dan memperkuat pasukan. QS. Al-Anfal/8:60

ياأي ها الذين آمنوا إذا جاءكم المؤمنات مهاجرات فامتحنوهن الله أعلم بإميانن فإن علمتموهن مؤمنات فل ت رجعوهن إل الكفار ل هن حل لم ول هم يلون لن وآتوهم ما أنفقوا ول جناح عليكم أن تنكحوهن إذا آت يتموهن أجورهن ول

تسكوا بعصم الكوافر واسألوا ما أنفقتم وليسألوا ما أنفقوا ذلكم حكم الله نكم والله عليمم حكيمم (10)يكم ب ي

وأنفقوا ف سبيل الله ول ت لقوا بأيديكم إل الت هلكة وأحسنوا إن الله يب

المحسن

وا لم ما استطعتم من ق وة ومن رباط اليل ت رهبون به عدو الله وعدوكم وأعد

وآخرين من دونم ل ت علمون هم الله ي علمهم وما تنفقوا من شيء ف سبيل الله ي و إليكم وأن تم ل ت لمون

الرجال ق وامون على النساء با فضل الله ب عضهم على ب عض وبا أنفقوا من

ت تافون أموالم فالصالات قانتاتم حاف اتم للغيب با حفظ الله واللغوا نشوزهن فع وهن واهجروهن ف المضاجع واضربوهن فإن أطعنكم فل ت ب

عليهن سبيلا إن الله كان عليا كبرياا

أسكنوهن من حيث سكنتم من وجدكم ول تضاروهن لتضي قوا عليهن وإن كن أولت حل فأنفقوا عليهن حت يضعن حلهن فإن أرضعن لكم فآتوهن أجورهن

نكم بعرو وإن ت عاسرت فست رضع له أخرى وأتروا ب ي

Page 154: Vol 8 no 4.pdf

758_Jurnal Bimas Islam Vol.8. No.IV 2015

Artinya: “Dan siapkanlah untuk menghadapi mereka kekuatan apa saja yang kamu sanggupi dan dari kuda-kuda yang ditambat untuk berperang (yang dengan persiapan itu) kamu menggentarkan musuh Allah dan musuhmu dan orang orang selain mereka yang kamu tidak mengetahuinya; sedang Allah mengetahuinya. Apa saja yang kamu nafkahkan pada jalan Allah niscaya akan dibalasi dengan cukup kepadamu dan kamu tidak akan dianiaya (dirugikan).” (QS. Al-Anfal/8:60)

e. Infaq Bermakna Nafkah Isteri

ياأي ها الذين آمنوا إذا جاءكم المؤمنات مهاجرات فامتحنوهن الله أعلم بإميانن فإن علمتموهن مؤمنات فل ت رجعوهن إل الكفار ل هن حل لم ول هم يلون لن وآتوهم ما أنفقوا ول جناح عليكم أن تنكحوهن إذا آت يتموهن أجورهن ول

تسكوا بعصم الكوافر واسألوا ما أنفقتم وليسألوا ما أنفقوا ذلكم حكم الله نكم والله عليمم حكيمم (10)يكم ب ي

وأنفقوا ف سبيل الله ول ت لقوا بأيديكم إل الت هلكة وأحسنوا إن الله يب

المحسن

وا لم ما استطعتم من ق وة ومن رباط اليل ت رهبون به عدو الله وعدوكم وأعد

وآخرين من دونم ل ت علمون هم الله ي علمهم وما تنفقوا من شيء ف سبيل الله ي و إليكم وأن تم ل ت لمون

الرجال ق وامون على النساء با فضل الله ب عضهم على ب عض وبا أنفقوا من

ت تافون أموالم فالصالات قانتاتم حاف اتم للغيب با حفظ الله واللغوا نشوزهن فع وهن واهجروهن ف المضاجع واضربوهن فإن أطعنكم فل ت ب

عليهن سبيلا إن الله كان عليا كبرياا

أسكنوهن من حيث سكنتم من وجدكم ول تضاروهن لتضي قوا عليهن وإن كن أولت حل فأنفقوا عليهن حت يضعن حلهن فإن أرضعن لكم فآتوهن أجورهن

نكم بعرو وإن ت عاسرت فست رضع له أخرى وأتروا ب ي

Artinya: Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. Sebab itu maka wanita yang saleh, ialah yang ta`at kepada Allah lagi memelihara diri ketika suaminya tidak ada, oleh karena Allah telah memelihara (mereka). Wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuznya, maka nasehatilah mereka dan pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka, dan pukullah mereka. Kemudian jika mereka menta`atimu, maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya. Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Maha Besar.(QS. al-Nisa’/4:34)

Dalam surat al-Nisa’/4:34 menurut Imam al-Qurthubi arti infaq di sini adalah kewajiban suami sebagai kepala rumah tangga untuk memberi nafkah kepada isterinya.14 Quraish Shihab menjelaskan, bentuk kata kerja past tence (masa lampau) yang digunakan ayat ini “telah menafkahkan”, menunjukkan bahwa memberi nafkah kepada wanita telah menjadi

Page 155: Vol 8 no 4.pdf

Infâq Menurut Perspektif Al-Qur’an _759

suatu kelaziman bagi lelaki, serta kenyataan umum dalam masyarakat umat manusia sejak dahulu hingga kini.15

Agama Islam yang tuntunannya sesuai dengan fitrah manusia mewajibkan suami untuk menanggung biaya hidup isteri dan anak-anaknya. Kewajiban ini diterima dan menjadi kebanggan suami, sekaligus menjadi kebanggaan isteri yang dipenuhi kebutuhan dan permintaannya oelh suami, sebagai tanda cinta kepadanya.16 QS. Al-Thalaq/65:6,

ياأي ها الذين آمنوا إذا جاءكم المؤمنات مهاجرات فامتحنوهن الله أعلم بإميانن فإن علمتموهن مؤمنات فل ت رجعوهن إل الكفار ل هن حل لم ول هم يلون لن وآتوهم ما أنفقوا ول جناح عليكم أن تنكحوهن إذا آت يتموهن أجورهن ول

تسكوا بعصم الكوافر واسألوا ما أنفقتم وليسألوا ما أنفقوا ذلكم حكم الله نكم والله عليمم حكيمم (10)يكم ب ي

وأنفقوا ف سبيل الله ول ت لقوا بأيديكم إل الت هلكة وأحسنوا إن الله يب

المحسن

وا لم ما استطعتم من ق وة ومن رباط اليل ت رهبون به عدو الله وعدوكم وأعد

وآخرين من دونم ل ت علمون هم الله ي علمهم وما تنفقوا من شيء ف سبيل الله ي و إليكم وأن تم ل ت لمون

الرجال ق وامون على النساء با فضل الله ب عضهم على ب عض وبا أنفقوا من

ت تافون أموالم فالصالات قانتاتم حاف اتم للغيب با حفظ الله واللغوا نشوزهن فع وهن واهجروهن ف المضاجع واضربوهن فإن أطعنكم فل ت ب

عليهن سبيلا إن الله كان عليا كبرياا

أسكنوهن من حيث سكنتم من وجدكم ول تضاروهن لتضي قوا عليهن وإن كن أولت حل فأنفقوا عليهن حت يضعن حلهن فإن أرضعن لكم فآتوهن أجورهن

نكم بعرو وإن ت عاسرت فست رضع له أخرى وأتروا ب ي

Artinya: “Tempatkanlah mereka (para isteri) di mana kamu bertempat tinggal menurut kemampuanmu dan janganlah kamu menyusahkan mereka untuk menyempitkan (hati) mereka. Dan jika mereka (isteri-isteri yang sudah ditalaq) itu sedang hamil, maka berikanlah kepada mereka nafkahnya hingga mereka bersalin, kemudian jika mereka menyusukan (anak-anak)mu untukmu maka berikanlah kepada mereka upahnya, dan musyawarahkanlah di antara kamu (segala sesuatu) dengan baik; dan jika kamu menemui kesulitan maka perempuan lain boleh menyusukan (anak itu) untuknya.” (QS. Al-Thalaq/65:6)

Ayat ini memberikan gambaran tentang kewajiban mantan suami untuk memberi nafkah isteri yang sudah diceraikannya, namun masih dalam proses kehamilan atau menyusui anaknya. Ketika proses penceraian berlangsung dan isteri dalam keadaan hamil, mantan suami haruslah memberi nafkah buat isterinya saat kelahiran bayi sampai proses menyusui.

2. Karakteristik Penggunaan Kata Infaq

Jika diperhatikan kata Infâq dalam bentuk fi`l madhi, ini mengandung makna penyesalan orang-orang munafik karena dulu membelanjakan

Page 156: Vol 8 no 4.pdf

760_Jurnal Bimas Islam Vol.8. No.IV 2015

hartanya dengan sia-sia dan tidak beriman kepada Allah, sebagaimana yang ditunjukkan dalam QS. Al-Kahfi:42 dan al-Hadid:10

وأحيط بثمره فأصبح ي قلب كفيو على ما أنفق فيها وىي خاوية على عروشها وي قول ياليتن ل أشرك برب أحدا

وما لكم أل ت نفقوا ف سبيل اللو وللو مرياث السموات والرض ل يستوي منكم من أن فق من ق بل الفتح وقاتل أولئك أعظم درجة من الذين أن فقوا من ب عد

وقات لوا وك وعد اللو ااس واللو ا ت عملوو خبري

يسألونك ماذا ي نفقوو قل ما أن فقتم من خري فللوالدين والق ربني واليتامى

بيل وما ت فعلوا من خري ف و اللو بو عليم والمساكني وابن الس

ومثل الذين ي نفقوو أموالم ابتغاء مرضاة اللو وت ثبيتا من أن فسهم كمثل جنة ها وابل فطل واللو ا برب وة أصاب ها وابل فآتت أكلها ضعفني ف و ل يصب

ت عملوو بصري

الذين ي منوو بالغيب ويقيموو الص ة و ا رزق ناىم ي نفقوو

مثل الذين ي نفقوو أموالم ف سبيل اللو كمثل حبة أن بتت سبع سنابل ف كل الذين ي نفقوو (261)سنب لة مااة حبة واللو ي اع لمن ي اء واللو واسع عليم

م ول أموالم ف سبيل اللو ث ل ي تبعوو ما أن فقوا منا ول أذى لم أجرىم عند رب خو عليهم ول ىم نوو

Artinya: “Dan harta kekayaannya dibinasakan; lalu ia membulak-balikkan kedua tangannya (tanda menyesal) terhadap apa yang ia telah belanjakan untuk itu, sedang pohon anggur itu roboh bersama para-paranya dan dia berkata: “Aduhai kiranya dulu aku tidak mempersekutukan seorangpun dengan Tuhanku.” (QS. Al-Kahfi:42)

Dan ayat:

وأحيط بثمره فأصبح ي قلب كفيو على ما أنفق فيها وىي خاوية على عروشها وي قول ياليتن ل أشرك برب أحدا

وما لكم أل ت نفقوا ف سبيل اللو وللو مرياث السموات والرض ل يستوي منكم من أن فق من ق بل الفتح وقاتل أولئك أعظم درجة من الذين أن فقوا من ب عد

وقات لوا وك وعد اللو ااس واللو ا ت عملوو خبري

يسألونك ماذا ي نفقوو قل ما أن فقتم من خري فللوالدين والق ربني واليتامى

بيل وما ت فعلوا من خري ف و اللو بو عليم والمساكني وابن الس

ومثل الذين ي نفقوو أموالم ابتغاء مرضاة اللو وت ثبيتا من أن فسهم كمثل جنة ها وابل فطل واللو ا برب وة أصاب ها وابل فآتت أكلها ضعفني ف و ل يصب

ت عملوو بصري

الذين ي منوو بالغيب ويقيموو الص ة و ا رزق ناىم ي نفقوو

مثل الذين ي نفقوو أموالم ف سبيل اللو كمثل حبة أن بتت سبع سنابل ف كل الذين ي نفقوو (261)سنب لة مااة حبة واللو ي اع لمن ي اء واللو واسع عليم

م ول أموالم ف سبيل اللو ث ل ي تبعوو ما أن فقوا منا ول أذى لم أجرىم عند رب خو عليهم ول ىم نوو

Artinya: “Dan mengapa kamu tidak menafkahkan (sebagian hartamu) pada jalan Allah, padahal Allah-lah yang mempusakai (mempunyai) langit dan bumi? Tidak sama di antara kamu orang yang menafkahkan (hartanya) dan berperang sebelum penaklukan (Mekah). Mereka lebih tingi derajatnya daripada orang-orang yang menafkahkan (hartanya) dan berperang sesudah itu. Allah menjanjikan kepada masing-masing mereka (balasan) yang lebih baik. Dan Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan”. (QS. al-Hadid:10)

Sepanjang pengamatan penulis, terma infaq dalam bentuk fi’il mudhari paling banyak digunakan. Ini menunjukkan bahwa pengeluaran infaq tidak hanya terbatas pada satu dimensi waktu tertentu, melainkan berkesinambungan dan terencana dengan baik. Selain itu penggunaan kata infaq dengan fi’il mudhari menunjukkan visi kedepan, harapan untuk kemashlahatan bersama di kehidupan dunia dan akhirat.

Page 157: Vol 8 no 4.pdf

Infâq Menurut Perspektif Al-Qur’an _761

Terma infaq dalam bentuk fi’il amr (kata kerja dalam bentuk perintah) digunakan sebagai perintah untuk berinfaq, hal ini menjadi suatu keharusan karena keengganan berinfaq akan menyebabkan kebinasaan QS. Al-Baqarah:195. mengisyaratkan dengan perintah, supaya manusia tidak lalai hingga ajal menemui mereka,17 pada QS. al-Baqarah:254. memerintahkan agar infaq yang dikeluarkan dengan sesuatu yang baik (layak guna), bukan suatu yang buruk, pada QS.al-Baqarah:267.

Dalam bentuk ism fa’il muncul hanya sekali dalam al-Qur’an. Ini mengindikasikan bahwa derajat pemberi infaq yang ikhlas karena Allah Swt., hanya dapat dicapai oleh sedikit orang.18 Suatu pekerjaan atau peristiwa yang diungkapkan dengan bentuk isim fa’il mengandung ungkapan yang lebih komplit jika dibandingkan dengan bentuk lain. Dalam hal ini, terdapat suatu kaidah tafsir yang mengatakan bahwa kata benda yang dibentuk dalam bentuk isim fa’il menunjukkan kepada suatu yang bersifat tetap dan permanen.19

3. Orang yang Berhak Menerima Infaq

Infaq adalah penyaluran dan pemerataan kekayaan untuk kebutuhan orang lain. Penyaluran kekayaan tersebut semata-mata tidak berorientasi pada pengembangan nominal materi secara mutlak untuk membantu kebutuhan orang-orang lemah. Operasional infaq secara utuh, bukan sekedar memberikan kekeyaan secara Cuma-Cuma, tetapi atas dorongan dan rasa tanggung jawab terhadap pemenuhan hajat kehidupan sesama manusia. Dalam surah al-Baqarah/2:215 di lukiskan tentang orang yang berhak menerima infaq;

وأحيط بثمره فأصبح ي قلب كفيو على ما أنفق فيها وىي خاوية على عروشها وي قول ياليتن ل أشرك برب أحدا

وما لكم أل ت نفقوا ف سبيل اللو وللو مرياث السموات والرض ل يستوي منكم من أن فق من ق بل الفتح وقاتل أولئك أعظم درجة من الذين أن فقوا من ب عد

وقات لوا وك وعد اللو ااس واللو ا ت عملوو خبري

يسألونك ماذا ي نفقوو قل ما أن فقتم من خري فللوالدين والق ربني واليتامى

بيل وما ت فعلوا من خري ف و اللو بو عليم والمساكني وابن الس

ومثل الذين ي نفقوو أموالم ابتغاء مرضاة اللو وت ثبيتا من أن فسهم كمثل جنة ها وابل فطل واللو ا برب وة أصاب ها وابل فآتت أكلها ضعفني ف و ل يصب

ت عملوو بصري

الذين ي منوو بالغيب ويقيموو الص ة و ا رزق ناىم ي نفقوو

مثل الذين ي نفقوو أموالم ف سبيل اللو كمثل حبة أن بتت سبع سنابل ف كل الذين ي نفقوو (261)سنب لة مااة حبة واللو ي اع لمن ي اء واللو واسع عليم

م ول أموالم ف سبيل اللو ث ل ي تبعوو ما أن فقوا منا ول أذى لم أجرىم عند رب خو عليهم ول ىم نوو

Mereka bertanya kepadamu tentang apa yang mereka nafkahkan. Jawablah: «Apa saja harta yang kamu nafkahkan hendaklah diberikan kepada ibu-bapak, kaum kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin dan orang-orang yang

Page 158: Vol 8 no 4.pdf

762_Jurnal Bimas Islam Vol.8. No.IV 2015

sedang dalam perjalanan.» Dan apa saja kebajikan yang kamu buat, maka sesungguhnya Allah Maha Mengetahuinya.

Ayat ini menjawab secara singkat tentang kepada siapa hendak harta dinafkahkan, jawaban pertanyaan mereka adalah “apa saja yang baik”. Di sini harta ditunjukkan dengan “Khair” untuk memberikan isyarat bahwa harta yang dinafkahkan itu hendaklah sesuatu yang baik, serta digunakan untuk tujuan-tujuan yang baik.20 Kemudian untuk siapa sebaiknya harta diberikan, yaitu, pertama kepada ibu bapak, karena merekalah sehingga kita berada di dunia ini, serta mereka yang paling banyak jasanya. Kedua, kepada kaum kerabat yang dekat maupun yang jauh, ketiga, anak-anak yatim, yaitu anak yang belum dewasa sedang ayahnya telah wafat, keempat, orang-oarang miskin yang membutuhkan bantuan dan kelima, orang-orang yang sedang dalam perjalanan tetapi kekurangan bekal.21

Ayat ini menjelaskan hal-hal dalam kata kerja bentuk lampau (fi’il madhi) adalah memberikan isyarat bahwa yang demikian itu seakan-akan mereka telah laksanakan, sehingga tidak perlu lagi untuk diperintahkan.22

Selain dalam QS. al-Baqarah/2:215 di atas, terdapat pula pada ayat-ayat lain seperti dalam al-Baqarah177, al-Rum/30:38, al-Nisa’/4:36 dan al-Isra’/17:26 yang membicarakan tentang orang-orang yang berhak menerima infaq.

4. Tujuan Infaq

وأحيط بثمره فأصبح ي قلب كفيو على ما أنفق فيها وىي خاوية على عروشها وي قول ياليتن ل أشرك برب أحدا

وما لكم أل ت نفقوا ف سبيل اللو وللو مرياث السموات والرض ل يستوي منكم من أن فق من ق بل الفتح وقاتل أولئك أعظم درجة من الذين أن فقوا من ب عد

وقات لوا وك وعد اللو ااس واللو ا ت عملوو خبري

يسألونك ماذا ي نفقوو قل ما أن فقتم من خري فللوالدين والق ربني واليتامى

بيل وما ت فعلوا من خري ف و اللو بو عليم والمساكني وابن الس

ومثل الذين ي نفقوو أموالم ابتغاء مرضاة اللو وت ثبيتا من أن فسهم كمثل جنة ها وابل فطل واللو ا برب وة أصاب ها وابل فآتت أكلها ضعفني ف و ل يصب

ت عملوو بصري

الذين ي منوو بالغيب ويقيموو الص ة و ا رزق ناىم ي نفقوو

مثل الذين ي نفقوو أموالم ف سبيل اللو كمثل حبة أن بتت سبع سنابل ف كل الذين ي نفقوو (261)سنب لة مااة حبة واللو ي اع لمن ي اء واللو واسع عليم

م ول أموالم ف سبيل اللو ث ل ي تبعوو ما أن فقوا منا ول أذى لم أجرىم عند رب خو عليهم ول ىم نوو

Artimya: “Dan perumpamaan orang-orang yang membelanjakan hartanya karena mencari keridhaan Allah dan untuk keteguhan jiwa mereka, seperti sebuah kebun yang terletak di dataran tinggi yang disiram oleh hujan lebat,

Page 159: Vol 8 no 4.pdf

Infâq Menurut Perspektif Al-Qur’an _763

maka kebun itu menghasilkan buahnya dua kali lipat. Jika hujan lebat tidak menyiraminya, maka hujan gerimis (pun memadai). Dan Allah Maha Melihat apa yang kamu perbuat.” (QS. Al-Baqarah/2:265)

Dalam ayat, di atas ada dua tujuan utama dalam berinfaq, pertama, adalah untuk mendapatkan mardhatillah, (keridhaan Allah). Al-Biqa’I menjelaskan sebagaimana yang dikutip oleh Quraish Shihab, bahwa kata tersebut mengandung makna pengulangan dan berkesinambungan, sehingga berarti berulang-ulangnya perolehan ridha Allah sehingga menjadi mantap dan berkesinambungan.23 Tujuan kedua, adalah tatsbitan min anpusihim, yakni pengukuhan atau keteguhan jiwa dalam rangka mengasuh dan mengasah jiwa mereka, sehingga dapat memperoleh kelapangan dada dan pemanfaatan terhadap gangguan dan kesalahan orang lain serta kesabaran dan keteguhan jiwa dalam melaksanakan kewajiban-kewajiban agama.

5. Hal-hal yang Bisa Menumbuhkan Kesadaran BerInfaq

Secara teoritis menumbuhkan kesadaran berinfaq tidaklah terlalu sukar, akan tetapi yang terasa sukar adalah mewujudkan kesadaran tersebut. Sebab hal ini bukanlah seperti orang membalikkan telapak tangan, melainkan membutuhkan waktu yang relatif lama. Ide-ide yang dituangkan dalam tulisan ini, meskipun belum dapat diandalkan sepenuhnya untuk menumbuhkan kesadaran berinfaq dikalangan umat, namun paling tidak kita memulai melangkah kearah positif melalui hal-hal berikut:

a. Iman

keyakinan yang tertanam kuat dalam diri seseorang terhadap kebenaran ajaran al-Qur’an dapat mendorong untuk berinfaq lebih banyak secara tulus ikhlas tanpa ragu sedikit pun. Hal ini bisa dilihat dalam Qs. Al-Baqarah/2:3

وأحيط بثمره فأصبح ي قلب كفيو على ما أنفق فيها وىي خاوية على عروشها وي قول ياليتن ل أشرك برب أحدا

وما لكم أل ت نفقوا ف سبيل اللو وللو مرياث السموات والرض ل يستوي منكم من أن فق من ق بل الفتح وقاتل أولئك أعظم درجة من الذين أن فقوا من ب عد

وقات لوا وك وعد اللو ااس واللو ا ت عملوو خبري

يسألونك ماذا ي نفقوو قل ما أن فقتم من خري فللوالدين والق ربني واليتامى

بيل وما ت فعلوا من خري ف و اللو بو عليم والمساكني وابن الس

ومثل الذين ي نفقوو أموالم ابتغاء مرضاة اللو وت ثبيتا من أن فسهم كمثل جنة ها وابل فطل واللو ا برب وة أصاب ها وابل فآتت أكلها ضعفني ف و ل يصب

ت عملوو بصري

الذين ي منوو بالغيب ويقيموو الص ة و ا رزق ناىم ي نفقوو

مثل الذين ي نفقوو أموالم ف سبيل اللو كمثل حبة أن بتت سبع سنابل ف كل الذين ي نفقوو (261)سنب لة مااة حبة واللو ي اع لمن ي اء واللو واسع عليم

م ول أموالم ف سبيل اللو ث ل ي تبعوو ما أن فقوا منا ول أذى لم أجرىم عند رب خو عليهم ول ىم نوو

Page 160: Vol 8 no 4.pdf

764_Jurnal Bimas Islam Vol.8. No.IV 2015

Jika demikian halnya maka untuk menumbuhkan kesadaran berinfaq dalam diri umat, mau tidak mau pertama-tama yang perlu ditanamkan dalam diri mereka adalah “iman”. Ibarat sebatang pohon rambutan misalnya, tidak akan pernah menghasilkan buah kecuali setelah kondisinya matang. Apabila kondisi tersebut telah tercapai dia akan terus menerus memberikan buah sesuai dengan ketentuannya, bahkan ditolakpun tidak bisa. Dalam Qs. Al-Baqarah/2:261-262:

وأحيط بثمره فأصبح ي قلب كفيو على ما أنفق فيها وىي خاوية على عروشها وي قول ياليتن ل أشرك برب أحدا

وما لكم أل ت نفقوا ف سبيل اللو وللو مرياث السموات والرض ل يستوي منكم من أن فق من ق بل الفتح وقاتل أولئك أعظم درجة من الذين أن فقوا من ب عد

وقات لوا وك وعد اللو ااس واللو ا ت عملوو خبري

يسألونك ماذا ي نفقوو قل ما أن فقتم من خري فللوالدين والق ربني واليتامى

بيل وما ت فعلوا من خري ف و اللو بو عليم والمساكني وابن الس

ومثل الذين ي نفقوو أموالم ابتغاء مرضاة اللو وت ثبيتا من أن فسهم كمثل جنة ها وابل فطل واللو ا برب وة أصاب ها وابل فآتت أكلها ضعفني ف و ل يصب

ت عملوو بصري

الذين ي منوو بالغيب ويقيموو الص ة و ا رزق ناىم ي نفقوو

مثل الذين ي نفقوو أموالم ف سبيل اللو كمثل حبة أن بتت سبع سنابل ف كل الذين ي نفقوو (261)سنب لة مااة حبة واللو ي اع لمن ي اء واللو واسع عليم

م ول أموالم ف سبيل اللو ث ل ي تبعوو ما أن فقوا منا ول أذى لم أجرىم عند رب خو عليهم ول ىم نوو

Artimya: Perumpamaan (nafkah yang dikeluarkan oleh) orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah adalah serupa dengan sebutir benih yang menumbuhkan tujuh bulir, pada tiap-tiap bulir seratus biji. Allah melipat gandakan (ganjaran) bagi siapa yang Dia kehendaki. Dan Allah Maha Luas (karunia-Nya) lagi Maha Mengetahui. 262. Orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah, kemudian mereka tidak mengiringi apa yang dinafkahkannya itu dengan menyebut-nyebut pemberiannya dan dengan tidak menyakiti (perasaan si penerima), mereka memperoleh pahala di sisi Tuhan mereka. Tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati.

Dalam ayat di atas Allah Swt. Membuat perumpamaan bagai sebuah benih yang ditanam di tanah yang subur, tumbuh menjadi tujuh tangkai, dan setiap tangkai seratus buahnya. Walhasil, satu menjadi tujuh ratus. Bias juga lebih dari itu, karena Allah memberikan karunia-Nya berlipat ganda, menurut niat, amal dan kejujuran serta keikhlasan hati orang yang menafkahkan hartanya.

Page 161: Vol 8 no 4.pdf

Infâq Menurut Perspektif Al-Qur’an _765

jika kita perhatikan secara saksama, maka jelas sekali bahwa orang yang berinfaq pada hakekatnya bukan menghabiskan hartanya, malah sebaliknya makin memperkaya dirinya. Namun dikalangan orang yang kurang iman bisa berpaham sebaliknya dan membuat mereka terpengaruh oleh bisikan syaitan. Hal ini bisa dilihat dari ayat 268 dari surah al-Baqarah:

ال يطاو يعدكم الفقر ويأمركم بالفح اء واللو يعدكم مغفرة منو وف واللو واسع عليم

ءامنوا باللو ورسولو وأنفقوا ا جعلكم مستخلفني فيو فالذين ءامنوا منكم وأن فقوا لم أجر كبري

لي نفق ذو سعة من سعتو ومن قدر عليو رزقو ف لي نفق ا ءاتاه اللو ل يكل اللو

ن فسا إل ما ءاتاىا سيجعل اللو ب عد عسر يسرا

الذين ي نفقوو ف السراء وال راء والكاظمني الغيظ والعافني عن الناس واللو ب المحسنني

م ول الذين ي نفقوو أموالم بالليل والن هار سرا وع نية ف لهم أجرىم عند رب

خو عليهم ول ىم نوو

Artimya: Syaitan menjanjikan (menakut-nakuti) kamu dengan kemiskinan dan menyuruh kamu berbuat kejahatan (kikir); sedang Allah menjadikan untukmu ampunan daripada-Nya dan karunia. Dan Allah Maha Luas (karunia-Nya) lagi Maha Mengatahui.

b. Jujur

Jujur bisa diartikan dengan amanah. Sifat jujur bisa timbul dari jiwa yang bersih. Kejujuran adalah syarat mutlak untuk dapat dipercayai dalam suatu tugas. Maka dalam pengumpulan dan pengelolaan dana umat, kejujuran sangat diutamakan.24 Untuk itu segala hal yang berhubungan dengan manejemen keuangan dan sebagainya, harus jelas dan transparan agar tidak timbul kecurigaan, sehingga umat dapat memberikan kepercayaan penuh kepada pengelolah, sehingga masyarakat bahwa infaq yang mereka berikan telah dipergunakan sesuai dengan yang diharapkan.

c. Program

Sering kali yang menyebabkan orang malas berinfaq ialah lemahnya program dan perencanaan sehingga terkesan acak-acakan, kurang profesional dan sebagainya. Jika kondisi tersebut tidak diatasi akan membuat masyarakat apatis dan tak mau ikut berperan secara aktif.25 Dari

Page 162: Vol 8 no 4.pdf

766_Jurnal Bimas Islam Vol.8. No.IV 2015

itu jika ingin menggerakkan dana dari umat, maka terlebih dahulu perlu pogram jelas dan sasaran yang ingin diraih; jika tidak, orang tak akan menginfaqkan hartanya. Sebaliknya jika program jelas, dan pengelola diyakini kejujurannya, maka umat tak akan keberatan mengeluarkannya sesuai dengan kemampuannya.

Jika program dapat dipahami dan dihayati oleh umat, niscaya infaq akan mengalir untuk program tersebut, dan mulailah tumbuh kesadaran berinfaq dikalangan umat.

ال يطاو يعدكم الفقر ويأمركم بالفح اء واللو يعدكم مغفرة منو وف واللو واسع عليم

ءامنوا باللو ورسولو وأنفقوا ا جعلكم مستخلفني فيو فالذين ءامنوا منكم وأن فقوا لم أجر كبري

لي نفق ذو سعة من سعتو ومن قدر عليو رزقو ف لي نفق ا ءاتاه اللو ل يكل اللو

ن فسا إل ما ءاتاىا سيجعل اللو ب عد عسر يسرا

الذين ي نفقوو ف السراء وال راء والكاظمني الغيظ والعافني عن الناس واللو ب المحسنني

م ول الذين ي نفقوو أموالم بالليل والن هار سرا وع نية ف لهم أجرىم عند رب

خو عليهم ول ىم نوو

Artimya: “Berimanlah kamu kepada Allah dan Rasul-Nya dan nafkahkanlah sebagian dari hartamu yang Allah telah menjadikan kamu menguasainya. Maka orang-orang yang beriman di antara kamu dan menafkahkan (sebagian) dari hartanya memperoleh pahala yang besar.” (QS. Al-Hadid: 7)

6. Waktu dan Cara Berinfaq

Mengelurkan infaq bisa dilakukan dimana saja dan kapan saja dan dalam kondisi apapun. Al-Qur’an memberikan penghargaan yang setinggi-tingginya bagi mereka yang mengeluarkan infaq, terlebih lagi bagi mereka yang mengeluarkan infaq dalam kondisi keterbatasan keuangan. Hal ini sebagaimana difirmankan dalam surat Al-Thalaq/65:7, Ali Imran/3:134, dan al-Baqarah/2:274:

ال يطاو يعدكم الفقر ويأمركم بالفح اء واللو يعدكم مغفرة منو وف واللو واسع عليم

ءامنوا باللو ورسولو وأنفقوا ا جعلكم مستخلفني فيو فالذين ءامنوا منكم وأن فقوا لم أجر كبري

لي نفق ذو سعة من سعتو ومن قدر عليو رزقو ف لي نفق ا ءاتاه اللو ل يكل اللو

ن فسا إل ما ءاتاىا سيجعل اللو ب عد عسر يسرا

الذين ي نفقوو ف السراء وال راء والكاظمني الغيظ والعافني عن الناس واللو ب المحسنني

م ول الذين ي نفقوو أموالم بالليل والن هار سرا وع نية ف لهم أجرىم عند رب

خو عليهم ول ىم نوو

Artimya: “Hendaklah orang yang mampu memberi nafkah menurut kemampuannya. Dan orang yang disempitkan rezkinya hendaklah memberi nafkah dari harta yang diberikan Allah kepadanya. Allah tidak memikulkan beban kepada seseorang melainkan sekedar apa yang Allah berikan kepadanya. Allah

Page 163: Vol 8 no 4.pdf

Infâq Menurut Perspektif Al-Qur’an _767

kelak akan memberikan kelapangan sesudah kesempitan”. (QS. al-Thalaq/65:7)

Lihat juga :

ال يطاو يعدكم الفقر ويأمركم بالفح اء واللو يعدكم مغفرة منو وف واللو واسع عليم

ءامنوا باللو ورسولو وأنفقوا ا جعلكم مستخلفني فيو فالذين ءامنوا منكم وأن فقوا لم أجر كبري

لي نفق ذو سعة من سعتو ومن قدر عليو رزقو ف لي نفق ا ءاتاه اللو ل يكل اللو

ن فسا إل ما ءاتاىا سيجعل اللو ب عد عسر يسرا

الذين ي نفقوو ف السراء وال راء والكاظمني الغيظ والعافني عن الناس واللو ب المحسنني

م ول الذين ي نفقوو أموالم بالليل والن هار سرا وع نية ف لهم أجرىم عند رب

خو عليهم ول ىم نوو

Artimya: “(yaitu) orang-orang yang menafkahkan (hartanya), baik di waktu lapang maupun sempit, dan orang-orang yang menahan amarahnya dan mema`afkan (kesalahan) orang. Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan.” (QS. Ali Imran/3:134)

ال يطاو يعدكم الفقر ويأمركم بالفح اء واللو يعدكم مغفرة منو وف واللو واسع عليم

ءامنوا باللو ورسولو وأنفقوا ا جعلكم مستخلفني فيو فالذين ءامنوا منكم وأن فقوا لم أجر كبري

لي نفق ذو سعة من سعتو ومن قدر عليو رزقو ف لي نفق ا ءاتاه اللو ل يكل اللو

ن فسا إل ما ءاتاىا سيجعل اللو ب عد عسر يسرا

الذين ي نفقوو ف السراء وال راء والكاظمني الغيظ والعافني عن الناس واللو ب المحسنني

م ول الذين ي نفقوو أموالم بالليل والن هار سرا وع نية ف لهم أجرىم عند رب

خو عليهم ول ىم نوو

Artimya: “Orang-orang yang menafkahkan hartanya di malam dan di siang hari secara tersembunyi dan terang-terangan, maka mereka mendapat pahala di sisi Tuhannya. Tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati.” (QS. al-Baqarah/2:274)

Sa’îd Hawwa dalam mengiterpretasikan ayat di atas menyatakan bahwa berinfak tidak dibatasi oleh ruang waktu dan obyek tertentu.26 Maksudnya, amalan seperti ini boleh saja dilakukan siang atau malam hari dan sasaran infak ditujukan kepada mereka membutuhkannya. Dengan memahami ayat ini secara kontekstual, maka substansi infak di sini akan melahirkan solidaris sosial, menghilangkan jurang dan perbedaan-perbedaan yang tajam dalam kehidupan masyarakat, serta menghancurkan nafsu kapitalisme, individuaisme.

D. Penutup

Berdasarkan uraian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa potensi infaq dikalangan umat Islam sangat besar, akan tetapi hal ini belum dibangkitkan dan belum diolah sesuai dengan manajemen keuangan

Page 164: Vol 8 no 4.pdf

768_Jurnal Bimas Islam Vol.8. No.IV 2015

yang profesional. Infaq mempunyai peranan yang amat penting dalam pembinaan umat hal ini bisa dilihat dengan adanya 73 kali disebut dalam al-Qur’an dalam berbagai konjugasinya dan mempunyai arti yang bervariasi, diantaranya adalah berarti shadaqah, zakat, mahar, fisabilillah dan nafkah untuk keluarga dan isteri. Kesemua arti itu mengandung pemberian untuk suatu kemaslahatan. Menurut al-Qur’an, infak memiliki peranan yang sangat signifikan dalam kehidupan. Yakni, infak dapat mewujudkan integritas kepribadian yang mantap karena dengan berinfak mengikis habis kekikiran dan arogansi. Dengan berinfak pula, dapat mewujudkan kesetaraan hidup sosial karena amalan ini dapat mengikis habis kefakiran dan kemiskinan dalam masyarakat.

Page 165: Vol 8 no 4.pdf

Infâq Menurut Perspektif Al-Qur’an _769

Daftar Pustaka

Abd al-Baqi, Muhammad Fuad, Al-Mu`jam al-Mufahras li Alfazh al-Qur’an, Cairo: Dar al-Hadits, 1994

Baidan, Nashruddin, Tafsir Maudhui, Solusi al-Qur’an atas Masalah Sosial Kontemporer, Yogjakarta: Pustaka Pelajar, 2001, cet. I

Hawwa, Sa’îd, Al-Asâs Fiy al-Tafsîr, jilid I Cet.II; Mesir: Dâr al-Salâm, 1989.

Ibnu Manzhur, Lisan al-Arab, Beirut: Dar al-Ihya al-Turats, 1419, jilid XIV

Ibn Katsir al-Qurasiy, Imad al-Din abu Fida’ Isma’il, Tafsir al-Qur’an al-Azhim, Kairo: Dar al-Misr, tth. juz I

Ibnu Faris, Abi al-Husain Ahmad, Mu`jam Muqayis al-Lughah, Mishr: Musthafa al-Bab al-Halabi wa Syarikah, 1972

al-Ishfahani, Muhammad al-Raghib, Mu`jam Mufradat Alfazh al-Qur’an, Beirut: Dar al-Fikr, tth.

Al-Jurjani, ibn Muhammad ibn Ali , Kitab al-Ta’rifat, Beirut: Dar al-Kitab al-Araby, 1417 H. cet.III,

Munawwir, Ahmad Warson, Kamus al-Munawwir, Yogyakarta: Pondok Pesantren al-Munawwir Krapyak, 1984

Shihab, M.Quraish, Tafsir al-Misbah, Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur’an, Jakarta: Lantera Hati, 2000, jilid II,

------------ (ed.), Sejarah dan Ulumul Qur’an, Jakarta: Pustaka Firdaus, 1999

al-Wahidiy, Abi Hasan Ali ibn Ahmad, Asbab al-Nuzul Kairo: Maktabah al-Mutanabbih, tth.

al-Qurthubi, Abu Abdullah Muhammad ibn Ahmad al-Anshari, Al-Jami’ li Ahkam al-Qur’an, Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, tth., juz III,

al-Zuhailiy, Wahbah, Tafsir al-Munir, Beirut: Dar al-Fikr, 1991, juz XXVIII,

Page 166: Vol 8 no 4.pdf

770_Jurnal Bimas Islam Vol.8. No.IV 2015

Endnotes

1. Lihat Ahmad Warson al-Munawwir, Kamus al-Munawwir, Yogyakarta: Pondok Pesantren al-Munawwir Krapyak, 1984, h. 1548

2. Ibnu Manzhur, Lisan al-Arab, Beirut: Dar al-Ihya al-Turats, 1419, jilid XIV, h. 242.

3. Abi al-Husain Ahmad ibnu Faris, Mu’jam Muqayyis al-Lughah, Mishr: Musthafa al-Bab al-Halabi wa Syarikah, 1972, h. 450. ketika diambil kesimpulan dari kedua arti di atas ternyata saling berdekatan arti, matinya binatang ternak menyebabkan jatuhnya/hilangnya harga. Ini berarti habis dan tidak laku.

4. Muhammad al-Raghib al-Ishfahani, Mu`jam Mufradat Alfazh al-Qur’an, Beirut: Dar al-Fikr, tth., h. 523.

5. Nafaqa kadang juga diartikan sebagai dasar kata al-Munafiq (orang munafik) karena masuk dan bersembunyi dalam lobang (bumi). Juga dinamakan munafik karena bersembunyi seperti tikus dalam lubang, masuk dari lobang yang satu keluar dari lobang yang lain. Karena itu orang munafik adalah orang orang yang masuk Islam dari satu sisi dan keluar dari Islam tanpa melalui jalan dimana ia masuk. Atau seorang munafik adalah orang yang menampakkan keimanannya (seakan-akan beriman) tetapi pandai menyembunyikan kekufurannya.

6. Lihat Al-Jurjani ibn Muhammad ibn Ali, Kitab al-Ta’rifat, Beirut: Dar al-Kitab al-Araby, 1417 H, cet.III, h. 57

7. Dalam pengertian yang sama juga disebutkan bahwa infaq adalah menafkahkan (memberikan) harta atau benda. Infaq fisabilillah, menafkahkan benda-benda di jalan Allah, maksudnya memberikan harta dan benda itu menurut yang disukai Allah, sesuai dengan ajaran agama. Misalnya memberikan belanja untuk anak- dan istri, ibu bapak atau kerabat. Selanjutnya memberikan bantuan kepada fakir miskin, anak yatim piatu yang terlantar, orang yang memerlukannya, karena tidak ada harta dan tidak mempunyai tenaga untuk bekerja, atau ada harta dan tenaga tetapi

Page 167: Vol 8 no 4.pdf

Infâq Menurut Perspektif Al-Qur’an _771

hasilnya tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Juga memberikan harta untuk penyebaran Islam, amal sosial dan kemanusiaan.

8. Lihat Muhammad Fuad Abd al-Baqi, Al-Mu`jam al-Mufahras li Alfazh al-Qur’an, Cairo: Dar al-Hadits, 1994, h. 886-887

9. Pendapat ini dikemukakan oleh Quraish Shihab dengan mengutip pendapat Abd al-Razak Naufal, lihat Muhammad Quraish Shihab (ed.), Sejarah dan Ulumul Qur’an, Jakarta: Pustaka Firdaus, 1999, h.115

10. Abi Hasan Ali ibn Ahmad al-Wahidiy, Asbab al-Nuzul, Kairo: Maktabah al-Mutanabbih, tth., h.139. hendaknya perbedaan antara muawiyah dan Abu Dzar dalam hal ini tidak dilihat karena faktor status sosial pada saat terjadinya dialog. Muawiyah adalah penguasa negeri Syam dengan kekayaan melimpah dan Abu Dzar hidup sederhana. Menurut Abd al-Barr, banyak sekali atsar yang diriwayatkan Abu Dzar yang menunjukkan bahwa semua harta yang melebihi bekal kebutuhan hidup adalah termasuk kunuz yang tercela.

11. Wahbah al-Zuhailiy, Tafsir al-Munir, Juz IX, h.193

12. Wahbah al-Zuhailiy, Tafsir al-Munir, Beirut: Dar al-Fikr, 1991, juz XXVIII, h. 139

13. Ibid., h. 86

14. Abu Abdullah Muhammad ibn Ahmad al-Anshari al-Qurthubi, Al-Jami’ li Ahkam al-Qur’an, Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, tth., juz III, h. 111

15. M.Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah, Jakarta: Penerbit Lantera Hati, 2000, jilid II, h.407

16. Ibid., h. 408

17. Imad al-Din abu Fida’ Isma’il ibn Katsir al-Qurasiy, Tafsir al-Qur’an al-Azhim, Kairo: Dar al-Misr, tth., juz I, h. 251

18. Ibid

19. Badruddin Muhammad ibn Abdullah al-Zarkasyi, al-Burhan fi Ulum al-Qur’an, Kairo: Maktabah Dar al-Turats, tth., jilid IV, h.66

20. M.Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah, Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur’an, Jakarta: Lantera Hati, 2002, vol.I, cet. IV, h. 459

Page 168: Vol 8 no 4.pdf

772_Jurnal Bimas Islam Vol.8. No.IV 2015

21. Ibid.

22. Ibid. lihat juga Wahbah al-Zuhaili, al-Tafsir al-Munir fi al-Aqidah wa al-Syar’iyyah wa al-Manhaj, Beirut: Dar al-Fikr al-Ma’ashin, 1418, juz. III, h.73

23. M.Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah, vol. I, h. 573, lihat juga Wahbah al-Zuhaili, al-Tafsir al-Munir, h.261

24. Nashruddin Baidan, Tafsir Maudhui, Solusi al-Qur’an atas Masalah Sosial Kontemporer, Yogjakarta: Pustaka Pelajar, 2001, cet. I, h. 135-137

25. Ibid

26. Sa’îd Hawwa, Al-Asâs Fiy al-Tafsîr, Mesir: Dâr al-Salâm, 1989, jilid I, h. 620.

Page 169: Vol 8 no 4.pdf

Konsep Good Governance dalam Pandangan Al-Ghazali _773

Concept of Good Governance in the View of Al-Ghazali

Konsep Good Governance dalam Pandangan Al-Ghazali

Uup GufronUNINDRA Jakarta

email: [email protected]

Abstract: This article focuses on studying and observing the thought of Al-Ghazali on the

concept of good governance. It is expected to obtain the answer how exactly the concept

of political ethics he put it, so it can be a reference and a foothold in the management

of state and government in this modern century. So, this reseach is to answer how the

concept of political ethics in the view of of Al-Ghazali and what the view of Al-Ghazali

on government ethics that can be interpreted as the principles of good governance is.

The objectives of this writing is to make formulation the concept of good governance of

Al-Ghazali based on ethics philosophy. The writer concludes that Al-Ghazali suggested

or gave some advices to the rulers how to make good governance (husn al-siyâsah) based

on ethics. These are formulated into seven principles such as competence (kafă’ah);

doing fairness (‘âdalah); live by low profile (basâthah); working honesty (amanâh);

having responsiveness (istijăbah); humble and sincerity (Tawaddhu’ wal Ikhlash); and

meekness to public (rifq).

Page 170: Vol 8 no 4.pdf

774_Jurnal Bimas Islam Vol.8. No.IV 2015

Abstraksi : Tulisan ini fokus pada kajian dan menggali pemikirian Al-Ghazali tentang konsep

kepemerintahan yang baik. Diharapkan dapat memberikan jawaban bagaimana

sebenarnya konsep etika politik yang ia kemukakan, sehingga dapat menjadi acuan

dan pijakan dalam pengelolaan negara dan pemerintahan di abad modern ini. Jadi,

penelitian ini adalah untuk menjawab bagaimana konsep etika politik dalam pandangan

Al-Ghazali dan apa pandangan Al-Ghazali tentang etika pemerintahan yang dapat

diartikan sebagai prinsip-prinsip tata kelola yang baik. Tujuan dari tulisan ini adalah

untuk membuat formulasi konsep tata kelola yang baik dari Al-Ghazali berdasarkan

etika filsafat. Penulis menyimpulkan bahwa Al-Ghazali menyarankan atau memberikan

beberapa nasihat kepada penguasa bagaimana membuat tata pemerintahan yang

baik (husn al-siyasah) berdasarkan etika. Ini diformulasikan ke dalam tujuh prinsip

seperti kompetensi (kafa’ah); melakukan keadilan (‘adalah); hidup dengan rendah hati

(basâthah); kejujuran bekerja (amanah); memiliki respon (istijăbah); rendah hati dan

ketulusan (Tawaddhu ‘wal Ikhlash); dan kelembutan untuk umum (rifq).

Keywords : Islam, Government, Good governance

A. Pendahuluan

Tuhan menciptakan manusia dengan berbagai model dan karakter yang berbeda, sehingga dengan perbedaan itu manusia tergerak untuk saling mengenal satu sama lain atau yang disebut dengan ta’âruf.1 Hal inilah yang menjadikan manusia membuat asosiasi-asosiasi (perkumpulan) dalam rangka untuk memenuhi kebutuhan sosial mereka, dari asosiasi terkecil seperti rumah tangga hingga membentuk asosiasi besar seperti kepemerintahanan dan negara. Terbentuknya asosasi berawal dari keinginan individu-individu yang ingin menyatu. Inilah yang disinyalir oleh al-Ghazali bahwa terbentuknya suatu negara karena dilatarbelakangi adanya kebutuhan bersama untuk meneruskan keturunan demi kelangsungan hidup umat manusia.2

Page 171: Vol 8 no 4.pdf

Konsep Good Governance dalam Pandangan Al-Ghazali _775

Al-Ghazali lebih menekankan bahwa soal kebutuhan hiduplah yang menjadi unsur utama bagi timbulnya suatu negara atau kepemerintahanan. Kebutuhan itu, selain soal keturunan, juga soal pemenuhan tempat tinggal. Dia menyatakan: “Amatilah dengan seksama pada awal berdirinya suatu negara didasari oleh kebutuhan makan, pakaian dan tempat tinggal, lalu tercipta berbagai lapisan masyarakat pekerja dengan bakat dan kemampuan masing-masing. Manusia semakin lama semakin berkembang dalam jumlah yang besar.”3 Rumah atau tempat tinggal adalah bentuk terkecil dari asosiasi, karena di dalamnya terdapat anggota-anggota yang dipimpin oleh satu orang yang disebut ayah atau suami.

Tujuan terselenggaranya suatu negara tidak jauh berbeda dengan tujuan terbentuknya asosiasi dalam bentuk keluarga, yaitu terciptanya ketentraman, kasih sayang dan kedamaian. Hanya saja, dalam konteks bernegara, Al-Ghazali memandangnya lebih luas, mengingat negara adalah perwujudan dari asosiasi manusia yang lebih besar, yaitu terciptanya ketentraman, kasih sayang dan perdamaian. Tujuan ini disebut sebagai kesempurnaan dalam hidup. Untuk menggapai hal ini, manusia harus membuat relasi yang baik antara masyarakat dan penguasa. Manusia yang sempurna adalah manusia yang memperoleh kesempurnaan jiwa dalam dirinya dan tidak tinggal sendiri dan menyendiri dari orang lain,4 tapi dia tetap menjaga kewajibannya kepada masyarakat.5 Kesempurnaan (perfectness) di sini adalah kesempurnaan di dunia, bukan di akhirat. Karena, ada dua sisi tentang kesempurnaan, yaitu kesempurnaan dalam kehidupan di dunia dan kesempurnaan dalam kehidupan di akhirat. Dalam konteks manusia melakukan pergaulan sosial tak lain adalah untuk mencapai kesempurnaan hidup di dunia.

Dalam pandangan Al-Ghazali, setiap manusia mempunyai fitrah sosial, fitrah untuk berhubungan dan hidup bersama orang lain. Dari fitrah ini kemudian lahir apa yang disebut masyarakat dan negara. Dalam hidup ini, kehidupan manusia diibaratkan seperti kesatuan tubuh yang digerakkan dari satu pusat bernama hati. Kepemimpinan dalam tubuh dikendalikan oleh hati (al-qalb).6 Dari sinilah kemudian hati

Page 172: Vol 8 no 4.pdf

776_Jurnal Bimas Islam Vol.8. No.IV 2015

menginstruksikan bagian tubuhnya untuk melakukan tindakan yang sesuai dengan apa yang diinginkan hati. Begitu juga dalam mengelola negara dan kepemerintahan. Hati diibaratkan sebagai kepala negara. Hati menerima dan membagi segala keinginannya ke seluruh tubuh. Hati dapat menginstrusikan apapun untuk dikerjakan anggota tubuh lainnya.

B. Pengelolaan Kepemerintahan

Negara (state) adalah lembaga politik yang berdaulat, yang memiliki wilayah (teritorial), sistem pemerintahanan dan adanya penduduk.7 Bagi Al-Ghazali, negara (al-balâd) adalah sekumpulan manusia yang memiliki tujuan yang sama, yang hidup dalam satu tempat yang memiliki wilayah (territory), konstitusi (law), rakyat (citizen), dan pemeritah (ruler). Tujuan adanya sebuah negara adalah untuk membahagiakan rakyatnya.8

Sementara pemerintah (goverment) adalah pelaksana dari sebuah negara untuk mencapai tujuan tersebut. Pemerintah adalah bagian dari sebuah negara. Dalam arti sempit, pemerintah hanya mencakup eksekutif. Namun, secara luas, pemerintah mencakup semua aparatur negara baik yang organ, badan, dan lembaga. Bagi Al-Ghazali, pemerintah (‘ummal, mulûk atau daulah) adalah institusi-institusi yang mengatur keselamatan dan kesejahteraan rakyat dalam sebuah negara, yang meliputi kepala negara (khălifah), Dewan Menteri (diwăn al-wuzărah), Majelis Musyawarah (majlis al-musyăwarah), Dewan Pengadilan (diwăn al-mahkamah), ketentaraan (al-jundiyah), pemerintah lokal (amîr), dan lain sebagainya.9

Sedangkan kepemerintahanan (governance) adalah proses pelaksanaan sebuah negara yang dikelola oleh pemerintah. Dalam arti sempit kepemerintahanan adalah segala kegiatan, fungsi, tugas dan kewajiban yang dijalankan oleh lembaga eksekutif untuk mencapai tujuan negara. Kepemerintahanan (governance) dalam arti luas adalah segala kegiatan yang terorganisir yang bersumber pada kedaulatan dan kemerdekaan,

Page 173: Vol 8 no 4.pdf

Konsep Good Governance dalam Pandangan Al-Ghazali _777

berlandaskan pada dasar negara, rakyat atau penduduk dan wilayah negara demi tercapainya tujuan negara.10 Kepemerintahan (al-siyăsah) adalah proses pengaturan negara dalam menyelesaikan segala sengketa yang terjadi dalam sebuah negara, yang bertujuan untuk melindungi dan mensejahterakan rakyat.11 Dalam bahasa Arab, istilah kepemerintahan dipadankan dengan al-hukumat, al-hukmu, atau al-mulku al-imâmah. Namun, kata al-siyâsah lebih banyak digunakan Al-Ghazali daripada kata-kata tersebut. kata al-siyâsah lebih umum dan lebih luas pemaknaannya.

Kepemerintahan yang baik adalah kepemerintahan yang dikelola dengan baik. Kepemerintahanan yang baik itu harus dijalankan secara partisipatif, efektif, jujur, adil, transparan, dan bertanggung jawab kepada semua level kepemerintahanan. Tata kepemerintahanan yang baik harus bercirikan tata kepemerintahanan yang menaati hukum, menghormati hak-hak asasi manusia (HAM), menghargai nilai-nilai yang dianut oleh masyarakat, secara sadar dan sistematis membangun fasilitas, untuk menumbuhkan ekonomi masyarakat, bersikap egaliter, dan menghormati keragaman, termasuk etnis, agama, suku, dan budaya lokal.12 Interpretasi ini mungkin lebih kompleks untuk mengidentifikasi karakteristik kepemerintahan yang baik. Hal ini tentu tidak hanya tentang manajerial yang bagus, tapi juga sistem yang bagus; menghormati hak-hak asasi manusia; kebijakan yang bagus dari penguasa; dan memberi prioritas pada kepentingan rakyat dalam berbagai kasus negara.

Pendekatan kepemerintahan untuk melaksanakan tujuan kepemerintahanan harus didasarkan atas kasih sayang, simpati dan kebesaran hati. Kepemerintahan dalam hal ini harus mencoba sekuat kekuasaannya untuk selalu meringankan beban rakyat dari pungutan pajak-pajak atas bumi tahunan, pajak perdagangan, dan memberi jaminan bagi pemenuhan kebutuhan pokok warga negara, memperhatikan pendidikannya, kesehatannya, maupun lingkungan penduduknya.13 Dalam konteks ini, sangat jelas sekali bahwa Al-Ghazali sangat memperhatikan soal politik dan sistem pengelolaan kepemerintahanan yang baik.

Page 174: Vol 8 no 4.pdf

778_Jurnal Bimas Islam Vol.8. No.IV 2015

Ada tiga pilar dalam sistem kepemerintahan yang baik, yakni Administrasi Negara (Public Administration), Birokrasi (Bureaucracy), dan Pelayanan Publik (Public Service). Guy Peter mendefinisikan Administrasi Negara pada dua pengertian. Pertama, administrasi publik adalah proses penerapan aturan, kedua, administrasi publik adalah struktur pemerintah dalam menerapkan aturan.14 Jadi, administrasi publik sebagai proses dan sebagai struktur pemerintah, yang keduanya tentu saja tidak bisa dipisahkan. Administrasi publik adalah sebagai proses bagaimana aturan umum (general social rules) direalisasikan kepada lingkup yang lebih spesifik (individual cases). Sedangkan administrasi publik dalam arti struktur pemerintah (the structure of government) adalah fungsi pelaksanaan bagaimana proses aturan itu direalisasikan.

Dalam pandangan Al-Ghazali, Administrasi Negara adalah aturan kepemerintahan yang menjadi roda perputaran pengelolaan sebuah negara. al-Ghazali menyebutnya sebagai sebagai Aturan Kepemerintahan (al-ahkâm al-sulthâniyah). Dalam sebuah Administrasi Negara atau Aturan Kepemerintahan, Al-Ghazali menyebut ada lembaga eksekutif, legislatif dan yudikatif. Ketiga lembaga negara ini harus ada sebagai regulator, yakni15 pertama, lembaga yang disebut Majelis Musyawarah, yang bertugas membuat undang-undang atau aturan yang mengikat rakyat dalam sebuah negara. Kedua, lembaga yang disebut Dewan Mahkamah, yang bertugas mengawasi serta memelihara jalannya segala peraturan dalam negara. Ketiga, lembaga yang disebut Dewan Menteri, yang bertugas menjalankan kepemerintahan.

Sementara itu, mengenai Birokrasi (al-Dîwân), Al-Ghazali menyebutkan bahwa al-Dîwân adalah sekelompok orang yang bekerja untuk adminstrasi negara dan pelayanan publik seperti dalam Majelis Musyawarah, Dewan Mahkamah, dan Dewan Menteri. Selain tiga lembaga negara tersebut, Al-Ghazali juga menyebut adanya satuan kerja dalam pemerintahan daerah atau lokal yang dipimpin oleh seorang gubernur (amîr). Kemudian, mengenai Pelayanan Publik (Wizărah Al-‘Âmmah), Al-Ghazali menegaskan bahwa kepala negara, para pejabat

Page 175: Vol 8 no 4.pdf

Konsep Good Governance dalam Pandangan Al-Ghazali _779

maupun pegawai kepemerintahan memiliki dua kewajiban pokok, yaitu berkhidmat kepada Allah (beribadah ritual) dan berkhidmat kepada rakyat (beribadah mu’amalah).16 Lembaga negara harus melayani dan bukan justru ingin dilayani rakyatnya. Al-Ghazali mencohtohkan sikap dan tindakan Umar ibn Khattab yang rela terjun langsung menangani masalah ketika dijumpai di daerah kekuasaannya rakyat mengalami masalah.

Dalam satu kesempatan Al-Ghazali menulis surat kepada Mujirud Daulah, seorang wazir Seljuqi:

Tidakkah Anda sadari betapa kekacauan telah terjadi di bagian negeri ini. Para pemungut pajak yang korup menindas massa yang bodoh untuk kepentingan mereka sendiri dan tidak memasukkan sejumlah pajak dan pendapatan lain ke dalam kas negara. Berpikirlah tentang warga negara Anda yang badannya remuk, yang digerogoti oleh kepedihan, kemiskinan dan kelaparan. Sementara Anda sendiri menjalani kehidupan mewah dan ketidakacawan. Jika ada sesuatu yang bisa meruntuhkan Khurasan dan Irak sekaligus, maka itu adalah menteri-menteri seperti itu, yang menjadikan kita ditakdirkan untuk dikutuk. Jangan biarkan perasaan angkuh menahan Anda dari mengakui betapa besar dan mengerikan kesalahan Anda.17

Dari penggalan surat Al-Ghazali ini dapat dipahami beberapa indikator untuk dapat terciptanya kepemerintahan yang baik, diantaranya :

1. Pejabat untuk tidak korupsi dan memperkaya diri2. Hasil pajak masuk ke dalam kas negara, bukan masuk ke tangan

pejabat3. Pejabat hidup sederhana4. Memiliki rasa tanggung jawab (responsibility) yang kuat kepada

rakyatnya5. Memiliki respon yang cepat (responsiveness) manakala rakyat

membutuhkan

Page 176: Vol 8 no 4.pdf

780_Jurnal Bimas Islam Vol.8. No.IV 2015

Dari lima indikator yang disebutkan secara implisit oleh Al-Ghazali dalam suratnya itu ternyata memiliki kesamaan dengan apa yang dirumuskan oleh Charless H. Lenvene. Dia menyebutkan tiga indikator terciptanya good governance, yaitu responsiveness, responsibility, dan accountability.18 Responsiveness artinya kepemerintahan memiliki daya tanggap yang cepat terhadap keinginan, aspirasi, tuntutan, dan harapan rakyatnya. Sedangkan responsibility artinya memiliki rasa tanggung jawab yang tinggi dengan menunjukkan pelayanan kepada rakyatnya secara maksimal dengan mengikuti prinsip-prinsip administrasi dan organisasi yang ditetapkan. Artinya, apa yang dipikirkan oleh Charless H. Lenvene dan pemikir pemikir abad modern sebenarnya sudah terpikirkan oleh Al-Ghazali sebelumnya tentang konsep kepemerintahan yang baik.

1. Partisipasi Publik

Partisipasi publik sangat penting dalam upaya menumbuhkan kesadaran cinta negara. Kepemerintahan yang baik adalah sistem yang mengikutsertakan publik sebagai subjek negara dan bukan objek negara. Masyarakat diikutsertakan dalam membangun dan mengembangkan negara sebagai kepemilikan bersama.

Al-Ghazali menyarankan kepada masyarakat agar menyumbangkan pikiran-pikiran konstruktif secara aktif dalam upaya perbaikan ketidakadilan ekonomi, peningkatan taraf hidup golongan ekonomi lemah, menghilangkan atau mengurangi kuantitas dan kualitas penindasan dan korupsi, kebejatan moral dan kemunafikan.

Dalam rangka itu, antar golongan cendikiawan, ilmuan, intelektual, dan kaum ulama, hendaknya menjalin kerjasama baik dengan penguasa negeri. Para pejabat dan kepala negara harus mengakui bahwa kelompok masyarakat ini adalah kelompok yang kaya dengan pengetahuan mengenai persoalan-persoalan negara dan kemasyarakatan. Sedangkan penguasa langsung mengatur urusan negara dan kepentingan rakyat. artinya, kedua pihak harus berpihak kepada golongan lemah

Page 177: Vol 8 no 4.pdf

Konsep Good Governance dalam Pandangan Al-Ghazali _781

dalam rangka menunaikan amanah dan menegakkan keadilan demi terwujudnya kemakmuran rakyat.

Kepemerintahan yang baik harus melibatkan civil society sebagai partner dalam membangun negeri. Kepala negara harus memberi porsi dan posisi yang layak demi kesuksesan kepemerintahan yang dijalankan. Ia harus dekat dengan ulama, ia juga harus menjalin komunikasi dan partnership dengan para juru tulis semisal wartawan, penulis, seniman, dan pujangga (budayawan). Walaupun mereka bukanlah orang-orang yang ‘resmi’ dalam kepemerintahan, tetapi kedudukan mereka di dalam masyarakat sebagai penyalur opini publik dan pembimbing pendapat umum, maka mereka digolongkan kelompok orang yang berperan penting dalam pengelolaan suatu kepemerintahan.19 Al-Ghazali menggolongkan pekerjaan mereka ini sebagai sekretaris ‘informal’, karena fungsi yang mereka jalankan, baik karena pekerjaannya sebagai pemegang pena, maupun karena kedudukannya sebagai pemimpin yang menghadapi rakyat umum.

Yang tak kalah penting posisi keberadaan masyatakat sipil dalam upaya mewujudknya kepemerintahan yang baik adalah adanya opositte atau kelompok orang yang berada di luar kepemerintahan dan selalu mengkritik pemerintah. Kelompok ini harus tetap diapresiasi sebagai orang yang akan selalu menjaga jalannya program kerakyatan sehingga tidak keluar dari rel yang ditentukan.20 Dalam ketatanegaraan modern, kelompok ini adalah partai-partai oposisi yang tugasnya mengkritik kebijakan pemerintah yang sekiranya tidak untuk kepentingan rakyat.

Kepemerintahan yang baik harus mengapresiasi dan memberi ruang bagi kelompok ini. Sebaliknya, jika kelompok semacam ini dihilangkan dan dimusuhi, maka pemerintah bisa jadi akan menjalankan kepemerintahannya dengan buruk, karena tidak ada ruang check and balances.

Al-Ghazali membagi kekuasaan pada tiga kelembagaan negara, yakni Majelis Musyawarah, Dewan Mahkamah, dan Dewan Menteri,

Page 178: Vol 8 no 4.pdf

782_Jurnal Bimas Islam Vol.8. No.IV 2015

maka birokasi merupakan kelompok kerja yang terbagi dalam tiga lembaga negara tersebut. Kelompok kerja yang masuk dalam Dewan Menteri bekerja dan bertugas untuk menjalankan program pemerintah. Sementara kelompok kerja Dewan Mahkamah bekerja dan bertugas untuk melakukan pengadilan yang jujur, adil dan amanah. Ini dibuktikan dengan adanya surat yang dilayangkan Al-Ghazali kepada Mujiruddin, Menteri Seljuki,21 agar mengangkat seorang sekretaris jujur, adil dan amanah. Adanya sekretaris dalam lingkungan Dewan Mahkamah menunjukan bahwa dalam Dewan Mahkamah adalah satuan kerja yang bertugas untuk mengadili kasus-kasus hukum.

Namun, untuk Majelis Musyawarah, karena Al-Ghazali tidak menjelaskannya secara spesifik apakah ia terdiri dari sebuah kelompok kerja atau hanya individu-individu saja. Selain tiga lembaga negara tersebut, Al-Ghazali juga menyebut adanya satuan kerja dalam pemerintahan daerah atau lokal yang dipimpin oleh seorang gubernur (amir). Satuan kerja ini pun disebut kepemerintahan, yang terdiri dari kelompok kerja (birokrasi), pejabat (birokrat), dan pegawai pemerintah. Perbedaan kepemimpinan seorang gubernur dengan kepemimpinan khalifah hanya pada tingkat wilayah kekuasaannya saja. Sementara sistem kerjanya sama.

Jabatan wizarah (kementerian) dalam pengertian yang telah dikemukakan dikenal di kalangan umat Islam sejak hidup Rasulullah. Dalam sejarah Rasulullah disebutkan bahwa Abu Bakar dijadikan oleh Rasulullah sebagai wazir-nya. Ketika Rasulullah wafat, kaum muslimin kemudian memilih Abu Bakar menjadi khalifah dan ia menjadikan Umar bin Khattab sebagai wazir-nya. Kemudian diteruskan oleh Utsman bin Affan dan Ali bin Abi Thalib.22 Artinya, seorang wazir adalah orang yang terdekat dengan kepala negara. Ia mengerti tentang visi dan misi kepala negara dalam membangun negeri.

Pada zaman Dinasti Umayyah, wizarah merupakan pangkat paling tinggi di seluruh dinasti tersebut. Wazir memiliki hak pengawasan umum

Page 179: Vol 8 no 4.pdf

Konsep Good Governance dalam Pandangan Al-Ghazali _783

terhadap semua persoalan, disamping bertindak dengan kekuatan konsultatif dan semua persoalan lain yang sifatnya defensif atau ofensif. Dia juga mempunyai hak pengawasan terhadap departemen kemiliteran, kewajiban membagi gaji militer pada setiap permulaan bulan dan lain-lain.23 Dalam konteks politik terkini di Indonesia, wazir yang bertugas untuk menyalurkan gaji para militer adalah wazir bidang keuangan, atau Menteri Keuangan. Pengangkatan wazir tidak harus satu orang. Bisa lebih tergantung kebutuhan.

Pada Dinasti Abbasiyah, kedaulatan (kekuasaan raja) berkembang. Pangkat-pangkat kerajaan semakin banyak dan tinggi. Waktu itu, kedudukan seorang wazir semakin besar dan bertambah penting. Dia menjadi utusan dalam melaksanakan kekuasan eksekutif. Pangkatnya menarik perhatian orang. Setiap orang tunduk kepadanya. Pengawasan terhadap tata buku dipercayakan kepada wazir, sebab fungsinya menuntut supaya dia membagi gaji tentara.24 Maka dia pun perlu mengawasi pengumpulan dan distribusi uang. Selanjutnya, pengawasan terhadap surat-menyurat dan korespondensi resmi dipercayakan pula kepadanya, untuk menjaga rahasia-rahasia raja dan memelihara gaya bahasa yang baik, karena pada waktu itu bahasa rakyat banyak yang rusak. Khatam (stempel negara) diletakkan pada dokumen-dokumen raja, untuk memeliharanya supaya tidak tersebar secara umum. Dan ini juga dipercayakan kepada wazir.

Pada masa Dinasti Abbasiyah, seorang wazir menikmati kekuasaan luas seperti kekuasaan khalifah. Ia bisa mengangkat pejabat dan memberhentikannya, mengawasi peradilan, dan pemasukan negara dan lain-lainnya. Dari sini dapat dikatakan bahwa wizarah dengan kaidah-kaidahnya, sistemnya, protokolernya, dan aturan-aturannya, telah ada pada pemerintahan Abbasyiyah. Sedangkan sebelum itu tidak demikian, melainkan setiap khalifah dan penguasa memiliki pengawal dan petugas sendiri. Ketika Bani Abbas menguasai pemerintahan, baru kaidah-kaidah wizarah disusun dan menjadi buku.

Page 180: Vol 8 no 4.pdf

784_Jurnal Bimas Islam Vol.8. No.IV 2015

2. Transparansi

Dalam pandangan pandangan Al-Ghazali, transparansi atau keterbukaan tidak hanya terkait dengan informasi dan pelayanan publik. Transparansi juga terkait dengan keterbukaan atas pendapatan keuangan yang diperoleh pemerintah. Sumber pemasukan negara haruslah jelas dan didapat dengan cara yang halal. Praktik-praktik kecurangan dan manipulasi dinilai Al-Ghazali adalah uang yang diperoleh dengan cara haram. Menurut Al-Ghazali, mengenai sumber pemasukan keuangan negara, ia membaginya pada dua bagian, yakni keuangan yang diperoleh dari masyarakat non-muslim dan masyarakat muslim. Pendapatan halal yang diperoleh dari rakyat non-muslim adalah pemasukan yang berasal dari empat hal, yakni, 1) harta rampasan perang (ghanimah); 2) harta sukarela yang didapat karena melindungi orang non-muslim (fa’i); 3) uang pajak; dan 4) harta yang diperoleh dari hasil perjanjian.25 Empat sumber ini halal diambil dan dipergunadayakan oleh negara untuk kemakmuran dan kesejahteraan rakyatnya.

Sementara itu, sumber pemasukan yang diperoleh dari orang muslim dianggap halal bagi negara dan dipergunakan untuk operasional kepemerintahan adalah; 1) harta warisan; 2) barang hilang (luqathah) yang tidak jelas pemiliknya; dan 3) harta dari wakaf kaum muslim. Ketiga sumber ini halal dipergunakan negara untuk kemakmuran rakyatnya. Namun, ada tiga sumber yang menurut Al-Ghazali nilainya tidak halal alias haram apabila negara atau pemerintah mengambil uang dari kaum muslim dari sumber sebagai berikut; 1) bea cukai; 2) harta yang diperoleh dengan cara paksa; dan 3) harta dari hasil korupsi.26

Menarik apa yang disebutkan Al-Ghazali ini. Pertama, bea cukai atau pajak dari kaum muslim adalah haram hukumnya untuk dijadikan sumber pemasukan negara. Bea cukai adalah pajak hasil perdagangan. Bagi Al-Ghazali, pajak hukumnya halal diterima oleh negara apabila diperoleh dari kaum non-muslim. Tetapi, pajak tidak boleh diambil dari orang muslim. Jika mengambil pajak dari orang muslim, maka haram

Page 181: Vol 8 no 4.pdf

Konsep Good Governance dalam Pandangan Al-Ghazali _785

hukumnya. Ini tentu berlawanan arah dengan apa yang umum kita saksikan saat ini bahwa umat Islam juga dikenakan pajak.

Kedua, soal harta yang diperoleh dengan cara paksa. Yang dimaksud dengan cara paksa di sini adalah sumber yang diperoleh dari umat Islam dengan cara tidak halal seperti merampas, merampok, mencuri, dan sebagainya. Sumber pemasukan seperti ini tidak halal untuk negara. Haram hukumnya. Yang dimaksud dengan cara paksa bisa juga misalnya memberi sanksi denda yang tidak sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Kita sering menyaksikan para Pedagang Kaki Lima (PKL), yang satu sisi ia dilarang untuk berjualan di tempat yang tidak semestinya, tetapi di sisi lain ia juga dikenakan uang retribusi oleh oknum petugas di lapangan. Kalau pun uang itu kemudian masuk ke dalam kas Negara, maka uang itu tetap tidak halal. Sebab, uang itu tidak didapat dengan cara benar, melainkan dengan paksa. Apalagi, apabila uang itu justru disalahgunakan oleh petugas sehingga tidak sampai masuk ke dalam kas negara.

Ketiga, harta hasil korupsi. Hukumnya haram bagi negara apabila memperoleh sumber pemasukan kas negara dari hasil korupsi seperti uang sogok maupun uang gratifikasi. Uang sogok atau ‘pelicin’ biasanya bersumber dari tiga arah, yakni 1) dari para pelaku kejahatan. Para pelaku pidana sengaja memberikan uang kepada aparatur penegak hukum agar kasusnya dibebaskan atau diperingan. Dengan uang imbalan, para penegak hukum diharapkan dapat permisif dengan para pelaku kejahatan. 2) Dari pengusaha yang bermaksud mendapatkan tender. Ini biasanya dilakukan oleh para pengusaha yang terlibat dalam proyek atau kegiatan yang diadakan oleh pemerintah atau instansi pemerintah. Dengan memberi uang kepada oknum pejabat, si pengusaha berharap dapat dengan mudah memperoleh proyek yang diinginkannya. Praktik-praktik semacam ini biasa kita dengar dan saksikan di Negeri ini. Para pengusaha sengaja berdekatan dengan kekuasan yang tujuannya agar bisa memperoleh keungtungan besar dalam bisnis. 3) Uang gratifikasi.

Page 182: Vol 8 no 4.pdf

786_Jurnal Bimas Islam Vol.8. No.IV 2015

Yang dimaksud dengan gratifikasi adalah pemberian suka rela tapi tidak halal dari masyarakat kepada pejabat. Al-Ghazali menyebutkan:

Keuangan publik di masa kita, seluruhnya atau sebagainnya, didasarkan atas sumber-sumber haram. Kenapa? Karena sumber-sumber yang sah seperti zakat, sedekah, fa’i, dan ghanimah tidak ada, Jizyah memang diberlakukan tetapi dikumpulkan dengan cara yang ilegal. Di samping itu, terdapat banyak jenis retribusi yang dibebankan kepada umat Muslim-ada penyitaan, penyuapan dan banyak ketidakadilan.27

Al-Ghazali memandang bahwa semua pejabat negara dan kepemerintahan harus memiliki sifat amanah dan keterbukaan. Sifat ini menurut Al-Ghazali adalah moral politik, dan bukan prinsip politik. Sebab, dia memandangnya sebagai suatu sifat yang harus dimiliki oleh masing-masing petugas kepemerintahan, supaya berlaku jujur di dalam menjalankan tugas yang diamanatkan kepadanya.

Al-Ghazali mengecam keras pada kepala-kepala negara dan pembesar kepemerintahan yang tidak jujur dalam mengelola jabatannya, dan menasehatkan supaya rakyat muslim tidak bergaul rapat dan menundukkan kepala kepada pengusaha-pengusaha yang zalim. Nasihat ini terutama diberikannya kepada para ulama yang menjadi penyuluh umat dan pemimpin-pemimpin rakyat supaya jika perlu mengambil sikap ‘uzlah’ atau menjauhkan diri dari pengusaha negara yang mengkhianati amanat umat.

Pelanggaran terhadap sifat ini dinamakannya zalim. Peringatan terhadap pelanggaran ini ditekankannya mengenai soal ‘keuangan negara’, baik di dalam pemungutannya dari rakyat yang dinamakannya jihat ad-dukhli dengan berupa pajak atau lainnya, maupun di dalam penggunaannya yang dinamakannya mashraf, dengan menghambur-hamburkannya kepada kemewahann dirinya atau lainnya.

Segala sifat-sifat korupsi, suap dan pemerasan yang dilakukan oleh petugas-petugas pemerintahan dari jabatan yang paling tinggi sampai kepada yang serendah-rendahnya, dikupasnya habis-habisan.

Page 183: Vol 8 no 4.pdf

Konsep Good Governance dalam Pandangan Al-Ghazali _787

Dikemukakannya persoalan, sikap apakah yang harus dilakukan oleh rakyat terhadap suatu pemerintah yang tidak jujur yang tidak lagi memenuhi syarat-syarat kepercayaan yang harus dimilikinya terhadap rakyat? diserahkannya kepada rakyat untuk mengambil tindakan tegas, melakukan revolusi, ataukah lainnya?

Sifat transparansi atau keterbukaan akan tercipta jika para pimpinan dan pejabat negara mengajarkan pentingnya bermusyawarah. Musyawarah adalah perintah Allah. Jika kita menghadapi sebuah masalah, maka bersegeralah untuk bermusyawarah dengan tujuan untuk dapat menemukan solusinya. Musyawarah juga dimaksudkna agar segala sesuatunya diketahui secara transparan. Tidak ada yang ditutup-tutupi. Al-Ghazali menganjurkan agar setiap keputusan yang dikeluarkan oleh seorang kepala negara atau pejabat negara hendaknya dimulai dengan bermusyawarah, dengan memintai pendapat orang lain.28 Kebiasaan bermusyawarah, jelas Al-Ghazali, dapat menjadikan diri orang tersebut memiliki sifat transparan, terbuka, dan kritis. Hindarilah kecendrungan sifat emosional atau pilih kasih saat mengambil keputusan.

3. Efektif

Sebuah kepemerintahan haruslah dijalankan dengan efektif. Yang dimaksud efektif di sini adalah tepat sasaran dan sesuai dengan tugas, fungsi dan wewenangnya. Birokrasi harus berjalan efektif. Seorang kepala negara harus mengarahkan para pejabat teras dan bawahannya untuk dapat menjalankan tugas sesuai dengan fungsinya masing-masing dan tidak tumpang tindih.29 Ia harus dapat mengatur jalannya roda kepemerintahan dengan baik. Caranya tentu dengan memberi arahan kepada bawahannya mengenai tugas, fungsi dan wewenang mereka masing-masing. Ketidakefektifan dalam menjalankan pekerjaan hanya akan mengakibatkan kekacauan, perpecahan di tubuh pemerintahan, pekerjaan yang sembrono, dan yang lebih parah lagi adalah kekecauan sosial.30

Page 184: Vol 8 no 4.pdf

788_Jurnal Bimas Islam Vol.8. No.IV 2015

Al-Ghazali menyebutkan bahwa seorang pemimpin dalam sebuah kepemerintahan tidak sepatutnya menghambur-hamburkan waktu dengan percuma. Ia tidak sepatutnya sibuk terus-menerus dengan bermain catur atau halma, meminum khamr, bermain bola dan memancing ikan. Sebab, semua itu dapat menghalangi dirinya untuk mengurus persoalan rakyat. setiap pekerjaan memerlukan waktu. Jika waktunya telah habis, maka keuntungan akan berubah menjadi kerugian.31 Artinya, jika seorang pemimpin, pejabat maupun pegawai kepemerintahan suka berleha-leha dan santai-santai ketika jam kerja, maka sama artinya ia bermaksud membuat rugi negerinya. Karena, mereka digaji oleh negara untuk bekerja, dan bukan untuk main-main.

Para kepala negara terdahulu, jelas Al-Ghazali, membagi waktu siang hari menjadi empat jadwal. Pertama, dipergunakan untuk beribadah kepada Allah swt. Kedua, dipergunakan untuk memberikan pelayanan kepada rakyat, yang meliputi: memberikan perlindungan dan keadilan kepada orang-orang teraniaya. Juga dipergunakan untuk berbincang-bincang dengan ulama dan kaum cerdik cendikia, lalu dipergunakan untuk mengatur segala hal yang berkaitan dengan siasat negara, seperti merealisasikan program dan berbagai ketetapan pemerintah, menulis buku-buku dan mengirimkan utusan diplomatik. Ketiga, dipergunakan untuk makan dan minum, mencari bekal dunia dan rekreasi. Keempat, dipergunakan untuk berolahraga seperti main catur, bola dan lainnya.32 Dari empat jadwal waktu di siang hari itu, jadwal nomor 2 yang mendapat porsi paling banyak. Sementara yang lainnya lebih sedikit. Karena, sebagai raja, ia harus lebih berhubungan dengan melayani rakyat daripada yang lainnya.

Al-Ghazali juga menyebutkan bahwa sebaiknya dalam bekerja harus bisa mengatur waktu antara saat bekerja dengan istirahat. Tidak dibenarkan juga bahwa dalam satu hari bekerja seseorang tidak diberi waktu untuk istirahat. Karena, menurut Al-Ghazali, raja Bahram Kiwara membagi waktu siangnya atas dua bagian. Pertama, ia gunakan untuk memenuhi segala kebutuhan dan hajat hidup orang banyak. Dan kedua,

Page 185: Vol 8 no 4.pdf

Konsep Good Governance dalam Pandangan Al-Ghazali _789

ia gunakan untuk istirahat. Dikatakan bahwa sepanjang hidupnya Bahram tiada pernah melakukan satu tugas penuh.33 Artinya, seorang kepala negara atau pejabat bahkan pegawai pemerintahan hendaknya bisa mengatur waktunya agar efektif, sehingga dapat menghasilkan pekerjaan yang baik. Tidak dibenarkan seseorang terlaku banyak bermain sementara ia sedang berada di waktu bekerja.

Dalam konteks sekarang ini, bila sebuah kantor pemerintahan mewajibkan seorang pegawai bekerja dari jam 08.00 pagi hari hingga pukul 16.00, dan istirahat pada pukul 12.00 hingga 13.00, maka ia harus mematuhi ketentuan tersebut. Artinya, ia bekerja selama tujuh jam secara efektif, dan ia bisa istirahat selama satu jam pada pukul 12.00 hingga 13.00. Waktu istirahat ini bisa dimanfaatkan untuk shalat Dzuhur, makan dan minum, serta melonggarkan otaknya dengan bermain. Setelah pukul 13.00 tiba, ia harus bergulat lagi dengan pekerjaan. Tidak dibenarkan bila seseorang melampau batas istirahatnya, dengan cara mengambil waktu efektif bekerja.

4. Efesien

Dalam mengelola kepemerintahan hendaknya juga dijalankan dengan efesien, terutama dalam pengelolaan keuangan negara. Jangan sampai uang kas negara bocor ke tangan orang yang tidak bertanggung jawab. Menurut Al-Ghazali, salah seorang khalifah yang dikenal sangat jujur dan efesien dalam mengelola keuangan negara adalah Khalifah Umar Ibn Khattab. Ia berpesan kepada para pegawainya agar senantiasa membelanjakan uang negara dengan baik, efektif dan efesien. “Hendaklah kalian membeli kendaraan dan senjata dari uang kalian sendiri. Jangan sekali-kali mengambil uang kas negara. Janganlah kalian membuka pintu kalian, kecuali orang-orang yang berhajat.”34 Pesan ini tidak hanya ditujukan kepada pegawainya saja, tapi juga kepada isteri dan anak-anaknya.

Page 186: Vol 8 no 4.pdf

790_Jurnal Bimas Islam Vol.8. No.IV 2015

5. Kesetaraan

Bagi Al-Ghazali, sikap kebersamaan dalam birokrasi antara para pejabat dengan pegawai, maupun antara birokrat dengan rakyatnya, akan tercipta manakala kedua pihak mengedepankan nilai-nilai kesetaraan. Sikap egaliter harus dimiliki oleh seorang kepala negara dan aparaturnya. Kebersamaan yang dimaksud al-Ghazali adalah rasa yang dibangun untuk mewujudkan negara yang sejahtera dengan melibatkan semua aspek warganya. Kebersamaan harus dibangun atas asas cinta dan kasih sayang. Para pejabat negara dan pemerintahannya harus merasakan senang, susah, dan pahit getir bersama rakyatnya. Semua orang di dalam tindakannya janganlah hanya mencari kesenangan sendiri, dengan berbuat sesukanya, tanpa memikirkan buruk baiknya sikap. Mereka harus menyadari bagaimana bila keadaan buruk itu menimpanya.

Nasihat ini dikemukakan al-Ghazali kepada mereka yang bertanggung jawab di dalam negara, mulai dari kepala negara sampai kepada para menterinya, terus kepada pegawai yang paling rendah. Mereka harus bersikap seperti halnya yang diajarkan oleh Rasulullah: “Belumlah beriman seorang kamu sehingga dia mencintai saudara seagamanya sebagaimana dia mencintai dirinya sendiri.”

Raja Anusyirwan, yang terkenal adilnya itu, mendapatkan surat dari salah seorang menterinya, Yunan. Karena keduanya terjalin kebersamaan yang sangat erat, maka Yunan tak segan-segan untuk memberi peringatan kepada rajanya yang baru saja naik tahta. Kata dia, “Paduka raja yang mulia, ketahuilah bahwa urusan pemerintahan terbagi dua. Pertama, seorang penguasa berlaku adil terhadap rakyatnya, walaupun mereka tidak menuntut keadilan darinya. Ini adalah tipe penguasa paling tinggi. Kedua, penguasa yang dituntut untuk adil dan berlaku adil sesuai tuntutan berlaku adil, tetapi ia tidak melakukannya. Ini tipe penguasa yang paling rendah. Paduka dapat memilih dari kedua tipe yang paduka sukai?”35 Pertanyaan ini tentu tidak dimaksudkan bahwa Anusyirwan

Page 187: Vol 8 no 4.pdf

Konsep Good Governance dalam Pandangan Al-Ghazali _791

tidak paham soal ini. Tetapi, pertanyaan ini dikemukakan oleh seorang bawahan kepada atasannya sebagai upaya untuk memberi waktu kepada atasannya untuk merenungkannya. Hal ini tentu tidak akan terjadi apabila antara bawahan dan atasan tidak terjadi hubungan yang harmonis dan egaliter. Karena, mustahil seorang bawahan mengingatkan atasannya apabila atasannya kurang dekat secara emosional dengan bawahannya.

Untuk dapat terjalin sikap musawah, kata Al-Ghazali, harus terpatri dalam dirinya rasa menyayangi orang lain seperti ia menyayangi dirinya sendiri. Rasulullah sendiri menegaskan bahwa seorang muslim harus mencintai muslim lain seperti ia mencintai dirinya sendiri.36 Ia harus mengutamakan orang lain dari dirinya sendiri. Sikap yang dilakukan Umar bin Abdul adalah contohnya. Ia lebih memilih menaikkan gaji pegawainya daripada dirinya. Ia rela tidak dinaikkan gajinya, demi mementingkan gaji para pegawai di kepemerintahannya.37

Al-Ghazali juga menekankan secara tegas bahwa seorang pembesar, dalam hal ini kepala negara dan aparaturnya, mulai dari menteri hingga para pegawainya, tidak boleh memandang rendah kepada orang-orang yang memerlukan bantuannya. Alangkah banyak para penguasa yang menutup pintu rapat-rapat daripada tamu-tamu yang datang berkunjung kepadanya untuk meminta bantuan kepadanya. Dia lupa bahwa kekuasaan yang ada di tangannya adalah kekuasaan pinjaman yang sebenarnya berasal dari rakyat banyak, termasuk orang-orang yang mengunjunginya itu.

Al-Ghazali mengirim surat dan menasihati Muhammad Ibnu Maliksyah agar menyempatkan diri satu hari dalam seminggu untuk berjumpa dengan rakyatnya secara langsung. Dalam sepekan, kata Al-Ghazali, seorang pejabat hendaknya menemui rakyatnya secara langsung. Ia menyarankan pada Hari Jumat, karena hari itu adalah hari raya umat Islam. Dalam sebuah hari raya pastinya ada kegembiraan di dalamnya. Hari Jumat tidak hanya baik untuk menunaikan ibadah personal, tapi juga dapat memupuk ibadah sosial. Momentum hari Jumat hendaknya dijadikan oleh para pejabat untuk bercengkrama dengan rakyatnya.38

Page 188: Vol 8 no 4.pdf

792_Jurnal Bimas Islam Vol.8. No.IV 2015

Paduka bisa melakukannya dengan meluangkan hari tertentu dalam seminggu khusus untuk beribadah kepada Allah dan melakukan amal akhirat. Itulah Jumat, sebagai hari raya umat Islam. Pada hari itu terdapat saat mulia. Siapa bermohon kepada Allah pada jam itu dengan niat tulus dan di tempat suci, Allah akan memenuhi permintaannya.39

Tujuan yang utama bagi para penguasa ialah mencari keridhaan (kerelaan) rakyat dan kecintaan mereka, sesuai dengan keridhaan kepada Ilahi. Sabda Rasululllah, “Sesungguhnya para penguasa yang baik ialah mereka yang kamu sukai dan mereka pun mencintai kamu (rakyat). Dan para penguasa yang jahat ialah mereka yang kamu (rakyat) membencinya, dan mereka juga benci kepadanya.”

Karena keridhaan rakyat harus dicari memenuhi ajaran agama, maka ketaatan kepada para penguasa adalah selama penguasa itu berjalan menurut keridhaan Tuhan. Ingatlah sabda Nabi, “Tidaklah wajib taat seseorang rakyat kepada penguasa kalau mendurhakai Tuhan.”

Ismail Al-Samani, seperti yang dinukil Al-Ghazali dalam Syari Al-Muluk, disebutkan bahwa ia setiap kali berjalan menelusuri tanah kekuasaannya ia meninggalkan alas kakinya. Setiap berjalan ke Kota Baghdad ia menyuruh seseorang untuk menyeru manusia bahwa ia telah menyuruh pengawal dan penjaga pintu agar setiap orang yang berkepentingan dapat menemuinya dengan mudah dan dapat bersila di atas hamparan permadani untuk melakukan pembicaraan dengannya.40 Ini ia lakukan agar ia bisa kian dekat denga rakyatnya. Ia ingin membangun kebersamaan dengan rakyatnya. Ia berusaha merobohkan batas-batas kekuasaan yang ia miliki dengan rakyatnya. Ia ingin menjadikan rakyatnya sebagai teman, sehingga mereka tidak sungkan untuk mengeluhkan masalah yang mereka hadapi.

Sikap musâwah diperlihatkan oleh Khalifah Umar bin Abdul Aziz di hadapan rakyatnya. Ia sangat senang berdialog dengan rakyatnya mengenai segala problem kehidupan mereka. Bahkan, tak jarang Khalifah Umar meminta nasihat dan masukan yang konstruktif demi

Page 189: Vol 8 no 4.pdf

Konsep Good Governance dalam Pandangan Al-Ghazali _793

tercapainya kepemerintahan yang baik dan bersih. Untuk terciptanya kepemerintahan yang bersih, ia mengatakan kepada rakyatnya agar melaporkan ke dirinya secara langsung apabila menjumpai pejabat di bawahnya melakukan tindakan yang zalim, tidak amanah, dan tidak adil.41 Karena hakikatnya, ketika bawahannya tidak adil, maka beban dosa itu juga akan ia pikul di akhirat kelak.

6. Visi Kedepan

Sebuah program birokrasi kepemerintahan harus memiliki visi kedepan (himmah al-‘âliyah). Pemimpin dan pejabat teras negara harus memikirkan bagaimana caranya agar negara dapat menyejahterakan rakyatnya untuk jangka panjang. Tidak hanya target-target jangka pendek. Wawasan atau orientasi kedepan ini sangat penting karena berjalannya sebuah negara tidak untuk satu periode atau satu generasi kehidupan manusia, tetapi akan diteruskan untuk anak-anak cucu mereka. Menurut Al-Ghazali, negara yang dipimpin oleh seorang pemimpin memiliki tanggung jawab untuk dapat menciptakan kesejahteraan rakyatnya, tidak hanya pada periode ketika dia memimpin, tapi juga untuk masa-masa berikutnya. Visi kedepan ini telah dicontohkan oleh para Khulafat Rasyidîn yang empat. Sepeninggalnya Abu Bakar, para sahabat memikirkan pengganti Abu Bakar, dan akhirnya jatuh pilihan pada Umar bin Khattab. Setelah Umar bin Khattab wafat, para sahabat memikirkan penggantinya dan jatuh pilihan pada Usman bin Affan. Setelah Usman bin Affan wafat, para sahabat pun memikirkan penerusnya, dan akhirnya jatuh pilihan pada Ali bin Abi Thalib.

Hal ini, menurut Al-Ghazali, telah dicontohkan oleh Rasulullah sebelum wafat. Rasulullah seakan memberi isyarat bahwa penggantinya kelak adalah Abu Bakar, sehingga beliau menyuruh Abu Bakar untuk menjadi imam shalat berjamaah ketika Rasulullah jatuh sakit. Para sahabat memilih Abu Bakar kala itu berdasarkan pertimbangan yang matang, mengingat Abu Bakar adalah orang yang paling senior diantara

Page 190: Vol 8 no 4.pdf

794_Jurnal Bimas Islam Vol.8. No.IV 2015

para sahabat yang lain. Penentuan kepada Abu Bakar juga didasarkan pada pengalaman Abu Bakar sebagai seorang yang dianggap memiliki kemampuan dalam memimpin.

Orientasi atau visi kedepan telah dicontohkan para pejabat di masa pemerintahan Anusyirwan. Yunan, salah seorang menterinya, senantiasa mengingatkan rajanya agar tidak terhasnyut dalam kemewahan kekuasaan. Sebagai seorang menteri ia mengingatkan rajanya agar tetap bersemangat menyejahterakan rakyatnya sehingga dapat memberi kelangsungan kemakmuran kepada generasi-generasi berikutnya.42 Yunan menyebutkan bahwa jika Anusyirwam mampu meletakkan pondasi-pondasi yang baik sebagai sebuah sistem yang nantinya akan berjalan sendiri sepeninggalnya, maka apabila ia meninggal dunia, ia akan tetap dikenang oleh rakyat-rakyatnya. Namanya harum dan tidak terlupakan. Sebaliknya, jika sang raja menetakkan pondasi-pondasi buruk, maka ia akan dicela sepanjang masa.

Oleh karena itu, tegas Al-Ghazali, seorang pemimpin harus memiliki cita-cita dan angan-angan yang tinggi untuk tetap terus menyejahterakan rakyatnya. Umar ibn Khattab pernah berkata bahwa sebagai seorang pemimpin tidak boleh memiliki rendah cita-cita. Karena, tidak ada sesuatu yang dapat menjatuhkan kekuatan seseorang ketimbang rendahnya cita-cita.43 Artinya, apabila seorang pemimpin atau pejabat teras dalam kepemerintahan memiliki cita-cita dan orientasi yang pendek, maka sama artinya ia telah menjatuhkan kewibawaannya sendiri. Karena, cita-cita dan orientasi kedepan adalah bentuk kehormatan bagi seorang kepala negara dan pejabat kepemerintahan. Jika ia tidak memiliki orientasi jangka panjang, maka ia akan menjadi seorang pemipin yang rendah dan hina.

Yang dimaksud cita-cita atau orientasi kedepan dalam pandangan Al-Ghazali di sini adalah bahwa seseorang mengangkat dirinya dengan besar hati sehingga memiliki cita-cita yang tinggi dalam membangun diri dan lingkungannya. Dengan memiliki orientasi kedepan maka

Page 191: Vol 8 no 4.pdf

Konsep Good Governance dalam Pandangan Al-Ghazali _795

seseorang akan dapat menghargai dirinya sendiri. Adapun yang dimaksud dengan mengahrgai diri sendiri ialah bahwa seseorang tidak bergaul dengan orang yang buruk dan tidak meniru perbuatan terlarang yang dilakukan orang lain, serta tidak mengatakan sesuatu yang dapat menjadikan dirinya tercela.44 Al-Ghazali menyebutkan bahwa orang yang paling mulia keadaannya adalah orang yang paling tinggi cita-citanya, paling banyak ilmunya, paling kaya pemikirannya dan paling baik tindak-tanduknya. Kemudian, kata Al-Ghazali, orang yang paling layak didekati agar terhindar dari kesulitan dan nasib malang adalah para kepala negara dan orang-orang yang memiliki orientasi atau cita-cita yang tinggi dan mulia.45

Orang yang menetapkan tujuan hidup, tegas Al-Ghazali, bisa dibagi ke dalam tiga kelompok. Pertama, orang-orang yang acuh tak acuh terhadap hakikat kehidupan. Ia tidak memiliki orientasi kedepan sama sekali. Mereka ini orang-orang biasa. Kedua, orang-orang bijak dan hidup sesuai dengan alam. Ia hanya memiliki orientasi hidup jangka pendek saja. Ketiga, orang yang tercerahkan dari setiap peristiwa. Orang seperti ini selalu menjadikan segala hal yang terjadi sebagai pelajaran, sehingga ke depan tidak diulangi lagi.46 Seorang pegawai kepemerintahan hendaknya menjadi bagian kelompok yang ketiga, yang senantiasa selalu belajar dari kesalahan dan menjadikan kesalahan sebagai pelajaran. Seorang kepala negara, pejabat, maupun pegawai harus bisa menata diri bahwa program yang dicanangkan dalam mengelola kepemerintahan harus mengacu untuk orientasi jangka panjang.

Al-Ghazali juga menegaskan bahwa memiliki orientasi kedepan disertai bekerja keras, maka apa yang diharapkan akan tercapai.47 Beroreintasi kedepan tapi tidak disertai dengan kerja keras, maka itu hanya akan menjadi angan-angan kosong belaka. Sebab, oreientasi yang tinggi harus ditopang dengan usaha dan kerja keras yang tinggi pula.48 Dengan berorientasi kedepan, orang yang berada dalam kondisi yang sangat memprihatinkan sekali pun akan bangkit dan maju. Apalagi orang yang berada dalam keadaan yang normal. Oleh karena itu, jadilah

Page 192: Vol 8 no 4.pdf

796_Jurnal Bimas Islam Vol.8. No.IV 2015

orang yang memiliki orientasi kedepan. Sebuah kepemerintahan juga demikian. Dalam sebuah kepemerintahan harus memiliki oreintasi kedepan, dan tidak terus memikirkan masa lalu yang suram. Sebuah negara dan kepemerintahan harus menata diri untuk dapat menggapai cita-cita yang diinginkan bersama.

C. Kesimpulan

Corak pemikiran kepemerintahan Al-Ghazali berpijak pada penerimaannya atas sistem politik di zamannya. Pada sisi tertentu Al-Ghazali mengidealkan sesuatu sebagai yang ideal, tapi pada sisi lain, ia menerima ketidak sempurnaan atas realita politik yang dihadapinya. Kepemerintahan yang baik (husn al-siyâsah) adalah kepemerintahan yang dijalankan atas dasar nilai-nilai hukum Tuhan dan moral (akhlak). Kepemerintahan yang buruk (syar al-siyâsah) adalah yang dijalankan tidak sesuai dengan kehendak hukum Tuhan.

Untuk terciptanya produktivitas dan efektvitas dalam menjalankan kepemerintahan diharuskan adanya diwân, yang menjalankan setiap program pemerintah. Diwân harus ada di tiga lembaga negara, yakni di Majlis Musyawarah, Dewan Mahkamah dan Dewan Menteri. Bahkan, dalam kepemerintahan daerah, diwăn juga harus ada, karena diwăn bertugas untuk terciptanya produktivitas, efektivitas, efesien, profesional, transparansi, dan akuntabel. Konsepsi kepemerintahan yang digagas Al-Ghazali adalah bentuk negara yang melayani (khidmat). Kepala negara, para pejabat maupun pegawai kepemerintahan memiliki dua kewajiban pokok, yaitu berkhidmat kepada Allah (beribadah ritual) dan berkhidmat kepada rakyat (beribadah sosial). Lembaga negara harus melayani dan bukan justru ingin dilayani rakyatnya. Inilah konsep yang dikenal dalam ilmu manajemen sebagai Pelayanan Publik. Konsep Pelayanan Publik adalah pergesaran dari konsep pelayanan yang semula berorientasi melayani pejabat menjadi melayani rakyat.

Page 193: Vol 8 no 4.pdf

Konsep Good Governance dalam Pandangan Al-Ghazali _797

Daftar Pustaka

Qayyum, Abdu. Letter of Al-Ghazali, Lahore: Islamic Publication, 1976.

Al-Ghazali, Abu Hamid. Al-I’qtshăd fi Al-I’tiqâd, Beirut: Dar al-Fikr, 1997.

Al-Ghazali, Abu Hamid. Al-Tibbr Al-Masbûk Fi Nashihah Al-Mûlk, Beirut: Dar l-Kutub Al-‘Alimah, 1988.

Al-Ghazali, Abu Hamid. Ihyâ Ulûm Ad-Din, Beirut: Dar el-Fikr, 1991.

Al-Ghazali, Abu Hamid. Al-Munqidz Min Al-Dhalal, Beirut: Daar Al-Indas, 1967.

Aseem Prakash and Jeffrey A, Hart. Globalization and Governance: An Introduction, London, Globalization dan Governance, 2000.

Lewis, Bernad. Bahasa Politik Islam, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1994.

Tjokroamidjoyo, Bintoro. Good Governance: Paradigma Baru Manajemen Membangun, Jakarta: UI Press, 2000.

Magnis, Frans Von. Etika Umum Masalah-Masalah Pokok Filsafat Moral, Yogyakarta: Yayasan Kanisius, 1999.

Addink, Henk. Principle of Good Governance: Lesson from Administrative Law, Netherlands: Ultrecht University, 2008.

Rojak, Jeje Abdul. Politik Kenegaraan: Pemikiran-Pemikiran Al-Ghazali dan Ibnu Taimiyah, Surabaya: PT. Bina Ilmu, 1999.

Abu Faris, Muhammad Abdul Qadir. Sistem Politik Islam, Jakarta: Rabbani Press, 2000.

Nasution, Muhammad Yasir. Manusia Menurut Al-Ghazali, Jakarta: Raja Grafindo, 2001.

Sjadzali, Munawir. Islam dan Tata Negara: Ajaran, Sejarah dan Pemikiran,

Page 194: Vol 8 no 4.pdf

798_Jurnal Bimas Islam Vol.8. No.IV 2015

Jakarta: UI Press, 1993.

Madjid, Nurcholis. Khazanah Intelektual Islam, Jakarta: Bulan Bintang, Jakarta, 1984.

Kamaruddin, Russli. Political Philosophy on Al-Ghazali: An Analysis, Montreal: Institute of Islamic Studies, McGill, 1997.

Sedarmayanti, Good Governance (Kepemerintahan yang baik), Bandung: Mandar Maju, 2003.

What, W. Montgomery, The Faith and Practice of Al-Ghazali, London: George Allen and Unwin Ltd., 1953.

Ahmad, Zainal Abidin, Konsepsi Negara Bermoral Menurut Imam Al-Ghazali, Jakarta: Bulan Bintang, 1975.

Mubarak, Zaki, Al Akhlâq ‘Inda Al-Ghazâlî, Beirut: Darul Jîl, 1408 H/1988 M.

Page 195: Vol 8 no 4.pdf

Konsep Good Governance dalam Pandangan Al-Ghazali _799

Endnotes

1. Allah berfirman dalam al-Quran: “Hai Manusia, Aku ciptakan kalian dari jenis laki-laki dan wanita, dan aku jadikan kalian berbangsa dan bersuku-suku agar kalian saling kenal-mengenal (ta’âruf).” (QS. al-Hujurat: 13). Menurut Tabataba’i, ayat ini menjelaskan tentang kesatuan manusiawi (the unity of humanity), yang berdasarkan pada nilai-nilai manusia yang essensi (haqîqa al-insâniyah), dan menegasikan perbedaan diantara keduanya dengan menyebutkan bahwa semuanya itu berasal dari Ayah dan Ibu yang sama, namun memiki cara dan jalan hidup yang berbeda tapi mempunyai tujuan utama yang sama, yakni membentuk nilai-nilai kebaikan (ketakwaan sosial). Lihat, Syafiq Hasyim, Understanding Women in Islam: An Indonesian Perspective, Jakarta: Solstice Publishing, 2006, h. 40.

2. Munawir Sjadzali, Islam dan tata Negara: Ajaran, Sejarah dan Pemikiran, Jakarta: UI Press, 1993, h. 74.

3. Al-Ghazali, Ihyâ Ulûm al-Dîn, Beirut: Dar el-Fikri, 1414 H/1994 M, Juz 2, h. 134-145.

4. Pada posisi ini, Al-Ghazali memang dipandang inkonsisten oleh beberapa pemikir, karena dianggap tidak sesuai dengan apa yang dilakukannya. Mengingat bahwa Al-Ghazali meninggalkan kehidupan di kota, lalu melakukan ‘uzlah ke Thus. Ia mendirikan pondokan dan mendidik beberapa siswanya. Ia meninggalkan jabatan yang disandangnya sebagai guru besar di Universitas Nidhomiyah, yang sangat prestis kala itu. Namun demikian, menurut Abdul Qayyum dalam pengantar buku Letters of Al-Ghazali menyebutkan bahwa Al-Ghazali punya alasan kuat kenapa ia melakukan ‘uzlah dan mundur dari jabatannya sebagai rektor di kampus ternama itu. Menurut Ibnul Qayyum, karena Al-Ghazali melakukan janji atau ikrar keagamaan sewaktu berziarah di makam Nabi Ibrahim untuk ber-‘uzlah dan meninggalkan hiruk pikuk perkotaan. Janji itu merupakan bentuk nazar yang harus ia tunaikan. Lihat, Abul Qayyum, Surat-Surat Al-Ghazali, terjemahan dari buku Letters of Ghazali, Jakarta: Mizan, 1991, h. vii

5. Muhammad Yasir Nasution, Manusia Menurut Al-Ghazali, Jakarta: Raja Grafindo, 2001, h. 220.

6. Hal ini berdasarkan hadits Nabi yang bebunyi: “Sesungguhnya di dalam diri manusia ada segumpal darah (hati), apabila hati itu baik maka baik pula seluruh diri dan amal perbutan manusia dan apabila hati itu rusak maka rusaklah seluruh diri (amal perbuatan manusia tersebut). Ingatlah,ia adalah hati”. (HR. Bukhari dan Shahih Muslim dari Nu’man Ibn Basyir ra).

7. Suseso, Frans-Magnis, Etika Politik, Jakarta: Gramedia, 1994, h.188.

Page 196: Vol 8 no 4.pdf

800_Jurnal Bimas Islam Vol.8. No.IV 2015

8. Al-Ghazali, al-Tibru al-Masbuk, h. 80.

9. Zainal Abidin Ahmad, Konsepsi Negara Bermoral Menurut Imam Al-Ghazali, h. 34-37.

10. Haryono, dkk, Fungsi-Fungsi Pemerintahan, Jakarta: Badan Diklat Depdagri, 1997, h. 2-3.

11. Al-Ghazali, al-Tibru al-Masbuk, h. 101.

12. Hanif Nurkhalis, Teori dan Praktek Pemerintahan dan Otonomi Daerah, Jakarta: Grasindo, 2005, edisi revisi, h. 300.

13. Al-Ghazali, al-Tibru al-Masbuk, h. 127.

14. B.Guy Peters, The Politics of Bureaucracy: A Comparative Perspective, First Edition New York: Longman Publication, 1971, h. 2.

15. Zainal Abidin Ahmad, Konsepsi Negara Bermoral Menurut Al-Ghazali, h. 303-305

16. Al-Ghazali, al-Tibru al-Masbuk, h. 3-4.

17. Abul Qayyum, Surat-Surat Al-Ghazali, terjemahan dari buku Letters of Ghazali, Jakarta: Mizan, 1991, h. Vii.

18. Lenvine, Charless H, Public Administration: Challenges, Choices, Consequences, Illinois: Scott Foreman, 1990, h. 188.

19. Zainal Abidin Ahmad, Konsepsi Negara Bermoral, h. 220

20. Al-Ghazali, al-Tibru al-Masbuk, h. 71.

21. Abdul Qayyum, Letters of Al-Ghazali, h. 113.

22. Muhammad Abdul Qadir Abu Faris, Sistem Politik Islam, Jakarta: Rabbani Press, 2000, h. 224.

23. Ibnu Khaldun, Miqaddimah, h. 238

24. Ibid

25. Al-Ghazali, Ihya Ulum Al-Din, h.421.

26. Ibid

27. Al-Gazali, Ihyâ Ulûm Ad-Dîn, Juz. 2, h. 239.

28. Al-Ghazali, al-Tibru al-Masbuk, h. 45.

29. Al-Ghazali, al-Tibru al-Masbuk, h. 136.

30. Abdul Qayyum, Letters of Al-Ghazali, h. 116.

31. Al-Ghazali, al-Tibru al-Masbuk, h. 43.

32. Ibid, h. 42.

33. Al-Ghazali, al-Tibru al-Masbuk, h. 43.

34. Ibid, h. 116.

35. Ibid, h.23.

Page 197: Vol 8 no 4.pdf

Konsep Good Governance dalam Pandangan Al-Ghazali _801

36. Nabi bersabda: “Salah seorang kalian tidak (dikatakan) beriman (dengan sempurna) sampai dia cinta bagi saudaranya apa yang ia cinta bagi dirinya.” (HR. Bukhari dan Muslim)

37. Imam Ibnu Abdul Hakam, Biografi Umar bin Abdul Aziz, h. 65.

38. Al-Ghazali, al-Tibru al-Masbuk, h. 5.

39. Ibid

40. Ibid , h. 122.

41. Imam Ibnu Abdul Hakam, Biografi Umar bin Abdul Aziz, h. 58.

42. Al-Ghazali, Al-Tibru Al-Masbuk, h. 113.

43. Ibid, h. 69.

44. Ibid.

45. Ibid, h. 74

46. Abdul Qayyum, Letters of Al-Ghazali, h. 80.

47. Al-Ghazali, al-Tibru al-Masbuk, h. 82.

48. Ibid, h. 84.

Page 198: Vol 8 no 4.pdf

802_Jurnal Bimas Islam Vol.8. No.IV 2015 Revitalisasi Peran dan Fungsi Keluarga _413

Pedoman Transliterasi

Page 199: Vol 8 no 4.pdf

Ketentuan Tulisan _803414_Jurnal Bimas Islam Vol.5. No.2 2012

A. Ketentuan Tulisan

1. Tulisan merupakan hasil penelitian di bidnag zakat, wakaf, dakwah Islam, pemberdayaan KUA dan hal-hal terkait pengembangan masyarakat Islam lainnya.

2. Karangan ditulis dalam bahasa Indonesia atau bahasa Inggris dengan perangkat lunak peng olah kata Microsoft Word , font Palatino Linotype, maksimum 25 halaman kuarto minimum 17 halaman dengan spasi satu setengah.

3. Karangan hasil penelitian disusun dengan sistematika sebagai berikut: Judul. Nama Pengarang. Abstract . Keywords . Pendahuluan. Metode Penelitian. Hasil Penelitian. Pembahasan. Kesimpulan dan Saran. Daftar Kepustakaan. Sistematika tersebut dapat disesuaikan untuk penyusunan karangan ilmiah.

4. JUDUL a. Karangan dicetak dengan huruf besar, tebal, dan tidak

melebihi 18 kata.b. Nama Pengarang (tanpa gelar), instansi asal, alamat, dan

alamat e-mail dicetak di bawah judul.c. Abstract (tidak lebih dari 150 kata) dalam dua bahasa

(Indonesia dan Inggris), dan Keywords (3 sampai 5 kata) ditulis dalam bahasa lnggris, satu spasi, dengan huruf miring.

d. Tulisan menggunakan endnotee. Daftar Kepustakaan dicantumkan secara urut abjad nama

pengarang dengan ketentuan sebagai berikut:• Untuk buku acuan (monograf): Nama belakang

pengarang diikuti nama lain. Tahun. Judul Buku. Kota Penerbit: Penerbit.

• Untuk karangan dalam buku dengan banyak kontributor: Nama Pengarang. Tahun. “Judul Karangan.” Dalam: Nama Editor. Judul Buku. Kota

Page 200: Vol 8 no 4.pdf

804_Jurnal Bimas Islam Vol.8. No.IV 2015 Revitalisasi Peran dan Fungsi Keluarga _415

Penerbit: Penerbit. Halaman.• Untuk karangan dalam jurnal/majalah: Nama

Pengarang. Tahun. “Judul Karangan.” Nama Majalah, Volume (Nomor): Halaman.

• Untuk karangan dari internet: Nama Pengarang. Tahun. “Judul Karangan.” Alamat di internet ( URL ). Tanggal mengakses karangan tersebut.

5. Gambar diberi nomor dan keterangan di bawahnya, sedangkan Tabel diberi nomor dan keterangan di atasnya. Keduanya sedapat mungkin disatukan dengan file naskah. Bila gambar/tabel dikirimkan secara terpisah, harap dicantumkan dalam lembar tersendiri dengan kualitas yang baik.

6. Naskah karangan dilengkapi dengan biodata singkat pengarang dikirimkan ke alamat kantor Jurnal Bimas Islam berupa naskah tercetak (print out) dengan menyertakan soft copy dalam disket/flash disk atau dapat dikirim melalui e-mail Jurnal Bimas Islam ([email protected]).

Page 201: Vol 8 no 4.pdf
Page 202: Vol 8 no 4.pdf
Page 203: Vol 8 no 4.pdf
Page 204: Vol 8 no 4.pdf