1
Politik & Hukum 6 Suara Pembaruan Sabtu-Minggu, 4-5 Februari 2017 [JAKARTA] Partai politik (parpol) pendukung peme- rintah merasa kaget ketika mendengar adanya kei- nginan Fraksi Partai Demokrat (PD) untuk mengajukan hak angket atas dugaan disadapnya mantan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) ketika bicara de- ngan Ketua MUI KH Maruf Amin. Namun, ka- laupun hendak diajukan, parpol pendukung siap menghadapinya. Hal itu diungkapkan Wakil Ketua Komisi Hukum DPR dari Fraksi PDI-P, Trimedya Panjaitan, Jumat (3/2). "Tentu kami kaget, isu penyadapan itu yang se- sunggunya isu hukum, menjadi isu politik," kata Trimedya. Padahal, bila persidang- an dugaan penistaan agama dengan Basuki Tjahaja Purnama sebagai terdakwa diikuti, tidak ada pernyata- an dari Tim Hukum yang menyebut ada sadapan pembicaraan antara SBY dengan Maruf. "Apakah Pak Ahok, dan juga tim hukum dari Pak Ahok, tidak ada langsung men-judge bahwa ada sa- dapan pembicaraan ketua MUI dengan Pak SBY,” ujarnya. Yang terjadi di persi- dangan adalah Tim Hukum Basuki mengonfirmasi ke- terangan para saksi yang dianggap ganjil. Termasuk soal nomor surat dari Pendapat MUI tentang du- gaan penistaan agama oleh Basuki. Karena surat MUI tak ada penomoran, berbe- da dengan fatwa lainnya, kata Trimedya, hal itu die- laborasi. Elaborasi lainnya menyangkut informasi ada- nya pembicaraan antara Maruf dengan SBY. Semua hal itu yang hendak dikon- firmasi. "Tapi ya namanya persidangan, cara dari para advokat, kan, namanya cross examination. Cara bertanya itu mengejar. Mungkin karena cara berta- nya mengejar, kemudian sosok Pak Ma’ruf, karena dia orang tua, itu dianggap berlebihan,” ulasnya. Walau demikian, apabi- la memang F-PD mengini- siasi langkah politik, Trimedya mengatakan, pi- haknya mempersilakan dan tak bisa melarang. Di sisi lain, parpol pen- dukung pemerintahan juga sudah berdiskusi untuk me- mastikan solidnya hubung- an apabila harus mengha- dapi pengajuan hak angket. "Seandainya ini serius kami juga siap menghadap- inya di Senayan. Dan ko- munikasi informal dengan koalisi pendukung Pak Jokowi-JK ini, ya kita ma- sih solid. Kita siap kalau itu diinisiasi dan itu sampai menjadi hak angket," ujar Trimedya. "Ketika kami di luar pe- merintahan, menjadi oposi- si, ya biasa juga kami laku- kan itu. Ya bagi kami tidak ada yang istimewa, walau- pun terus terang kami mem- pertanyakan, ‘apa yang mau ditanyakan ke pemerintah soal penyadapan itu?’ Itu saja," ungkapnya. Peneliti Formappi Lucius Karus menegaskan bahwa hak angket penya- dapan yang diusulkan oleh sejumlah fraksi DPR kental dengan nuansa politik. Menurut Lucius, hak angket ini lebih mengekspresikan kepentingan politik. "Hak angket ini lebih bernuansa politik ketim- bang sebuah upaya DPR untuk mencari kebenaran atas penyadapan itu sendi- ri," ujar Lucius, di Jakarta, Sabtu (4/2). Apalagi, kata dia duduk soal penyadapan saja masih sumir. Pasalnya, yang jus- tru diributkan adalah ke- simpulan SBY atas apa yang terungkap di persi- dangan ke-8 kasus terdak- wa Basuki T Purnama alias Ahok. "Dengan alasan yang sumir, lalu ada anggota yang ngotot mau menggu- nakan hak Angket, kelihat- an sekali sebenarnya bahwa pengusul sedang ingin nam- pak menjadi pahlawan di mata SBY," katanya. Lucius berpendapat, si- tuasi politik yang kacau be- lakangan ini muncul karena banyak orang semakin ke- hilangan kebijaksanaan khususnya mereka yang di- sebut politisi. Jika hak ang- ket ini diajukan, kata dia maka publik akan diha- dapkan lagi pada situasi pa- nas dan gaduh akibat per- bedaan sikap di antara DPR sendiri. "Jika DPR bijaksana, maka mereka mestinya bisa muncul saat ini untuk memberikan kesejukan, bukan malah ikut memba- kar situasi," ungkapnya. Lebih lanjut, Lucius mengatakan, dari banyak aspek rencana penggunaan hak angket ini tampak ter- lalu berlebihan dan tidak sensitif dengan kondisi bangsa secara keseluruhan. Rakyat saat ini, kata dia merindukan kesejukan yang hilang karena persa- ingan politik cenderung tak terkontrol. "Dan sebagai wakil rak- yat, itu yang mestinya di- tangkap. Jika masih ngotot artinya bukan kepentingan rakyat yang tengah diperju- angkan tetapi kepentingan kelompoknya masing-ma- sing yang sesungguhnya dikemas dengan hak Angket tersebut," katanya. [MJS/H-14] Wacana Pengajuan Hak Angket Dugaan Penyadapan Kasus Hukum Jangan Jadi Isu Politik [JAKARTA] Mantan Ketua DPR, Ade Komarudin rampung dipe- riksa penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Jumat (3/2) siang. Politikus Partai Golkar itu diperiksa sebagai saksi ka- sus dugaan korupsi proyek pengadaan Kartu Tanda Penduduk (KTP) berbasis elektronik atau e-KTP. Kepada wartawan, Ade mengklaim tak tahu mena- hu mengenai aliran dana hasil korupsi proyek e-KTP yang diduga merugikan ke- uangan negara hingga Rp 2,3 triliun. Namun, Ade mengaku telah menyampai- kan seluruh hal yang dike- tahuinya mengenai proyek senilai Rp 5,9 triliun terse- but kepada penyidik KPK. "Saya tidak tahu. Saya bilang semua yang tahu. Kalau soal urusan aliran da- na (korupsi e-KTP) saya ti- dak tahu," kata Ade usai di- periksa penyidik di Gedung KPK, Jakarta, Jumat (3/2). Ade mengaku pemerik- saan ini berkaitan dengan posisinya sebagai Sekretaris Fraksi Golkar saat proyek e-KTP bergulir. Namun, Ade enggan membeberkan materi pemeriksaannya kali ini. "Tanya ke penyi- dik, jangan tanya ke saya," katanya. Ade pun enggan menja- wab saat disinggung dalam pemeriksaan ini penyidik mencecarnya mengenai du- gaan keterlibatan Ketua DPR Setya Novanto yang saat proyek e-KTP bergulir menjadi Ketua Fraksi Golkar. "Sudah ya sudah," kata Ade sambil masuk ke mobil Toyota Kijang Inova berwarna putih yang mem- bawanya meninggalkan Gedung KPK. Diketahui, dalam kasus ini, KPK telah menetap- kan mantan Dirjen Dukcapil, Irman dan man- tan Direktur Pengelola Informasi dan Adminis- trasi Kependudukan Direktorat Jenderal Kepen- dudukan dan Pencatatan Sipil Kementerian Dalam Negeri (Ditjen Dukcapil Kemdagri) Sugiharto seba- gai tersangka. Irman diduga bersa- ma-sama dengan Sugiharto telah melakukan tindakan melawan hukum dan me- nyalahgunakan kewenang- an terkait proyek tersebut. Akibatnya keuangan negara ditaksir mengalami kerugi- an hingga Rp 2,3 triliun dari nilai proyek Rp 5,9 triliun. Menkumham Sementara itu, Menteri Hukum dan HAM (Menkumham), Yasonna H Laoly tidak akan memenuhi panggilan penyidik KPK untuk diperiksa sebagai saksi kasus dugaan korupsi proyek e-KTP, Jumat (3/2). Yasonna mengaku telah meminta penyidik KPK un- tuk menunda pemeriksaan- nya ini. Yasonna beralasan, pada hari ini sudah diagen- dakan menghadiri rapat ter- batas (ratas) di Istana Merdeka. Sementara, surat panggilan pemeriksaan ini, kata Yasonna, baru diteri- manya pada Kamis (2/2) kemarin. "Oh saya minta ditunda (pemeriksaan), karena ke- marin baru terima suratnya. Hari ini saya ada ratas," ka- ta Yasonna, di Gedung Kemkumham, Jakarta, Jumat (3/2). Yasonna mengaku be- lum mengetahui secara pas- ti kepentingan penyidik me- meriksanya terkait kasus e-KTP. Namun, Yasonna menduga pemanggilan ini dilakukan penyidik lantaran posisinya sebagai anggota Komisi II DPR saat proyek e-KTP bergulir pada 2011- 2012. "Ini, kan, mungkin ba- gaimana keputusan di DPR waktu itu. Saya waktu itu anggota Komisi II. Saya enggak tahu, nanti kita de- ngar saja,” katanya. Lebih jauh, Yasonna menduga, dalam pemeriksa- an ini, penyidik akan mem- pertanyakan mengenai kebi- jakan Komisi II DPR terkait proyek e-KTP. Termasuk mengenai keputusan untuk menetapkan anggaran pro- yek e-KTP sebesar Rp 5,9 triliun. Namun, Yasonna mengklaim tak mengetahui secara rinci mengenai hal tersebut. [F-5] Kasus E-KTP Mantan Ketua DPR Klaim Tak Tahu Aliran Dana Proyek A da kecenderungan menarik-narik Nahdatul Ulama (NU) ke pusaran politik lewat 'dig- orengnya' isu pelaporan Tim Hukum Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) atas kesaksian KH Ma'ruf Amien. Kader NU yang tersebar di sejumlah parpol diharap berhenti memolitisasi isu itu. Seperti disampaikan Zuhairi Misrawi, Intelektual Muda Nahdlatul Ulama dan Alumnus Universitas Al- Azhar, Cairo Mesir, Ahok sudah mengklarifikasi tidak akan melaporkan KH Ma'ruf Amien. Karena ia sangat menghormati sesepuh NU. "Itu artinya, informasi yang beredar selama ini ti- dak benar, dan diduga itu bagian dari manuver politik dari pihak-pihak lawan yang ingin mencitrakan Ahok tidak menghormati tokoh NU," ungkap Zuhairi, Sabtu (4/2). Dilanjutkannya, Ahok secara terbuka sudah me- minta maaf kepada KH Ma'ruf Amin, dan beliau su- dah memaafkan Ahok. "Mestinya masalah ini selesai dan isunya tidak lagi digoreng. Saya meminta kad- er-kader NU yang tersebar di sejumlah partai politik agar tidak mempolitisasi isu ini." Diingatkannya, NU adalah ormas yang men- dorong demokrasi berkualitas. Dan karenanya, perso- alan Pilkada Jakarta diserahkan kepada masyarakat untuk memilih pemimpin yang mempunyai program terbaik dan membawa kemaslahatan bagi warga Jakarta. Baginya, ada kecenderungan menarik-narik NU ke ranah politik Pilkada DKI Jakarta. Dan hal ini san- gat tidak baik dan tidak sehat. Kata Zuhairi, NU adalah ormas yang dalam khittahnya menjaga jarak dengan politik. "Karenanya seluruh pihak harus menghargai khit- tah NU 1926 dengan tidak memolitisasi NU. Warga NU sudah dewasa memilih pemimpin yang terbaik bagi DKI Jakarta," katanya. [MJS/W-12] Politisasi DOK SP Trimedya Panjaitan ANTARA FOTO/RENO ESNIR Wakil Ketua Dewan Pembina Partai Golkar Ade Komarudin (tengah) menjawab pertanyaan seusai menjalani pemeriksaan di gedung KPK, Jakarta, Jumat (3/2).

Wacana Pengajuan Hak Angket Dugaan Penyadapan Kasus … filemenjadi isu politik," kata Trimedya. Padahal, bila persidang-an dugaan penistaan agama dengan Basuki Tjahaja Purnama sebagai

Embed Size (px)

Citation preview

Politik & Hukum6 Sua ra Pem ba ru an Sabtu-Minggu, 4-5 Februari 2017

[JAKARTA] Partai politik (parpol) pendukung peme-rintah merasa kaget ketika mendengar adanya kei-ng inan Fraks i Par ta i Demokrat (PD) untuk mengajukan hak angket atas dugaan disadapnya mantan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) ketika bicara de-ngan Ketua MUI KH Maruf Amin. Namun, ka-laupun hendak diajukan, parpol pendukung siap menghadapinya.

Hal itu diungkapkan Waki l Ke tua Komis i Hukum DPR dari Fraksi PDI-P, Trimedya Panjaitan, Jumat (3/2).

"Tentu kami kaget, isu penyadapan itu yang se-sunggunya isu hukum, menjadi isu politik," kata Trimedya.

Padahal, bila persidang-an dugaan penistaan agama dengan Basuki Tjahaja Purnama sebagai terdakwa diikuti, tidak ada pernyata-an dari Tim Hukum yang menyebut ada sadapan pembicaraan antara SBY dengan Maruf.

"Apakah Pak Ahok, dan juga tim hukum dari Pak Ahok, tidak ada langsung men-judge bahwa ada sa-dapan pembicaraan ketua MUI dengan Pak SBY,” ujarnya.

Yang terjadi di persi-dangan adalah Tim Hukum Basuki mengonfirmasi ke-terangan para saksi yang

dianggap ganjil. Termasuk soal nomor surat dari Pendapat MUI tentang du-gaan penistaan agama oleh Basuki. Karena surat MUI tak ada penomoran, berbe-da dengan fatwa lainnya, kata Trimedya, hal itu die-laborasi. Elaborasi lainnya menyangkut informasi ada-nya pembicaraan antara Maruf dengan SBY. Semua hal itu yang hendak dikon-firmasi. "Tapi ya namanya persidangan, cara dari para advokat, kan, namanya cross examination. Cara bertanya itu mengejar. Mungkin karena cara berta-nya mengejar, kemudian sosok Pak Ma’ruf, karena dia orang tua, itu dianggap berlebihan,” ulasnya.

Walau demikian, apabi-la memang F-PD mengini-s iasi langkah poli t ik , Trimedya mengatakan, pi-haknya mempersilakan dan tak bisa melarang.

Di sisi lain, parpol pen-

dukung pemerintahan juga sudah berdiskusi untuk me-mastikan solidnya hubung-an apabila harus mengha-dapi pengajuan hak angket.

"Seandainya ini serius kami juga siap menghadap-inya di Senayan. Dan ko-munikasi informal dengan koalisi pendukung Pak Jokowi-JK ini, ya kita ma-sih solid. Kita siap kalau itu diinisiasi dan itu sampai menjadi hak angket," ujar Trimedya.

"Ketika kami di luar pe-merintahan, menjadi oposi-si, ya biasa juga kami laku-kan itu. Ya bagi kami tidak ada yang istimewa, walau-pun terus terang kami mem-pertanyakan, ‘apa yang mau ditanyakan ke pemerintah soal penyadapan itu?’ Itu saja," ungkapnya.

Pene l i t i Fo rmapp i Lucius Karus menegaskan bahwa hak angket penya-dapan yang diusulkan oleh sejumlah fraksi DPR kental dengan nuansa politik. Menurut Lucius, hak angket ini lebih mengekspresikan kepentingan politik.

"Hak angket ini lebih bernuansa politik ketim-bang sebuah upaya DPR untuk mencari kebenaran atas penyadapan itu sendi-ri," ujar Lucius, di Jakarta, Sabtu (4/2).

Apalagi, kata dia duduk soal penyadapan saja masih sumir. Pasalnya, yang jus-tru diributkan adalah ke-simpulan SBY atas apa

yang terungkap di persi-dangan ke-8 kasus terdak-wa Basuki T Purnama alias Ahok.

"Dengan alasan yang sumir, lalu ada anggota yang ngotot mau menggu-nakan hak Angket, kelihat-an sekali sebenarnya bahwa pengusul sedang ingin nam-pak menjadi pahlawan di mata SBY," katanya.

Lucius berpendapat, si-tuasi politik yang kacau be-lakangan ini muncul karena banyak orang semakin ke-hilangan kebijaksanaan khususnya mereka yang di-sebut politisi. Jika hak ang-ket ini diajukan, kata dia maka publik akan diha- dapkan lagi pada situasi pa-nas dan gaduh akibat per-bedaan sikap di antara DPR sendiri.

"Jika DPR bijaksana, maka mereka mestinya bisa muncul saat ini untuk memberikan kesejukan, bukan malah ikut memba-kar situasi," ungkapnya.

Lebih lanjut, Lucius mengatakan, dari banyak aspek rencana penggunaan hak angket ini tampak ter-lalu berlebihan dan tidak sensitif dengan kondisi bangsa secara keseluruhan.

Rakyat saat ini, kata dia merindukan kesejukan yang hilang karena persa-ingan politik cenderung tak terkontrol.

"Dan sebagai wakil rak-yat, itu yang mestinya di-tangkap. Jika masih ngotot

artinya bukan kepentingan rakyat yang tengah diperju-angkan tetapi kepentingan kelompoknya masing-ma-

sing yang sesungguhnya d ikemas dengan hak Angket tersebut," katanya. [MJS/H-14]

Wacana Pengajuan Hak Angket Dugaan Penyadapan

Kasus Hukum Jangan Jadi Isu Politik

[ J A K A RTA ] M a n t a n K e t u a D P R , A d e Komarudin rampung dipe-riksa penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Jumat (3/2) siang. Politikus Partai Golkar itu diperiksa sebagai saksi ka-sus dugaan korupsi proyek pengadaan Kartu Tanda Penduduk (KTP) berbasis elektronik atau e-KTP.

Kepada wartawan, Ade mengklaim tak tahu mena-hu mengenai aliran dana hasil korupsi proyek e-KTP yang diduga merugikan ke-uangan negara hingga Rp 2,3 triliun. Namun, Ade mengaku telah menyampai-kan seluruh hal yang dike-tahuinya mengenai proyek senilai Rp 5,9 triliun terse-but kepada penyidik KPK.

"Saya tidak tahu. Saya bilang semua yang tahu. Kalau soal urusan aliran da-na (korupsi e-KTP) saya ti-dak tahu," kata Ade usai di-

periksa penyidik di Gedung KPK, Jakarta, Jumat (3/2).

Ade mengaku pemerik-saan ini berkaitan dengan posisinya sebagai Sekretaris Fraksi Golkar saat proyek e-KTP bergulir. Namun, Ade enggan membeberkan materi pemeriksaannya kali ini. "Tanya ke penyi-dik, jangan tanya ke saya," katanya.

Ade pun enggan menja-wab saat disinggung dalam pemeriksaan ini penyidik mencecarnya mengenai du-gaan keterlibatan Ketua DPR Setya Novanto yang saat proyek e-KTP bergulir menjadi Ketua Fraksi Golkar. "Sudah ya sudah," kata Ade sambil masuk ke mobil Toyota Kijang Inova berwarna putih yang mem-bawanya meninggalkan Gedung KPK.

Diketahui, dalam kasus ini, KPK telah menetap- k a n m a n t a n D i r j e n

Dukcapil, Irman dan man-tan Direktur Pengelola Informasi dan Adminis-t r a s i K e p e n d u d u k a n Direktorat Jenderal Kepen-dudukan dan Pencatatan Sipil Kementerian Dalam Negeri (Ditjen Dukcapil Kemdagri) Sugiharto seba-gai tersangka.

Irman diduga bersa-ma-sama dengan Sugiharto telah melakukan tindakan melawan hukum dan me-nyalahgunakan kewenang-an terkait proyek tersebut. Akibatnya keuangan negara ditaksir mengalami kerugi-an hingga Rp 2,3 triliun dari nilai proyek Rp 5,9 triliun.

MenkumhamSementara itu, Menteri

H u k u m d a n H A M (Menkumham), Yasonna H Laoly tidak akan memenuhi panggilan penyidik KPK untuk diperiksa sebagai saksi kasus dugaan korupsi proyek e-KTP, Jumat (3/2). Yasonna mengaku telah meminta penyidik KPK un-tuk menunda pemeriksaan-nya ini. Yasonna beralasan, pada hari ini sudah diagen-dakan menghadiri rapat ter-batas (ratas) di Istana Merdeka. Sementara, surat panggilan pemeriksaan ini, kata Yasonna, baru diteri-manya pada Kamis (2/2) kemarin.

"Oh saya minta ditunda (pemeriksaan), karena ke-marin baru terima suratnya. Hari ini saya ada ratas," ka-ta Yasonna, di Gedung Kemkumham, Jakar ta , Jumat (3/2).

Yasonna mengaku be-

lum mengetahui secara pas-ti kepentingan penyidik me-meriksanya terkait kasus e-KTP. Namun, Yasonna menduga pemanggilan ini dilakukan penyidik lantaran posisinya sebagai anggota Komisi II DPR saat proyek e-KTP bergulir pada 2011-2012.

"Ini, kan, mungkin ‎ba-gaimana keputusan di DPR waktu itu. Saya waktu itu anggota Komisi II. Saya enggak tahu, nanti kita de-ngar saja,” katanya.

Lebih jauh, Yasonna menduga, dalam pemeriksa-an ini, penyidik akan mem-pertanyakan mengenai kebi-jakan Komisi II DPR terkait proyek e-KTP. Termasuk mengenai keputusan untuk menetapkan anggaran pro-yek e-KTP sebesar Rp 5,9 triliun. Namun, Yasonna mengklaim tak mengetahui secara rinci mengenai hal tersebut. [F-5]

Kasus E-KTPMantan Ketua DPR Klaim Tak Tahu Aliran Dana Proyek

Ada kecenderungan menarik-narik Nahdatul Ulama (NU) ke pusaran politik lewat 'dig-orengnya' isu pelaporan Tim Hukum Basuki

Tjahaja Purnama (Ahok) atas kesaksian KH Ma'ruf Amien. Kader NU yang tersebar di sejumlah parpol diharap berhenti memolitisasi isu itu.

Seperti disampaikan Zuhairi Misrawi, Intelektual Muda Nahdlatul Ulama dan Alumnus Universitas Al-Azhar, Cairo Mesir, Ahok sudah mengklarifikasi tidak akan melaporkan KH Ma'ruf Amien. Karena ia sangat menghormati sesepuh NU.

"Itu artinya, informasi yang beredar selama ini ti-dak benar, dan diduga itu bagian dari manuver politik dari pihak-pihak lawan yang ingin mencitrakan Ahok tidak menghormati tokoh NU," ungkap Zuhairi, Sabtu (4/2).

Dilanjutkannya, Ahok secara terbuka sudah me-minta maaf kepada KH Ma'ruf Amin, dan beliau su-dah memaafkan Ahok. "Mestinya masalah ini selesai dan isunya tidak lagi digoreng. Saya meminta kad-er-kader NU yang tersebar di sejumlah partai politik agar tidak mempolitisasi isu ini."

Diingatkannya, NU adalah ormas yang men-dorong demokrasi berkualitas. Dan karenanya, perso-alan Pilkada Jakarta diserahkan kepada masyarakat untuk memilih pemimpin yang mempunyai program terbaik dan membawa kemaslahatan bagi warga Jakarta.

Baginya, ada kecenderungan menarik-narik NU ke ranah politik Pilkada DKI Jakarta. Dan hal ini san-gat tidak baik dan tidak sehat. Kata Zuhairi, NU adalah ormas yang dalam khittahnya menjaga jarak dengan politik.

"Karenanya seluruh pihak harus menghargai khit-tah NU 1926 dengan tidak memolitisasi NU. Warga NU sudah dewasa memilih pemimpin yang terbaik bagi DKI Jakarta," katanya. [MJS/W-12]

Politisasi

dok sp

Trimedya Panjaitan

ANTARA FoTo/ReNo esNiR

Wakil Ketua Dewan Pembina Partai Golkar Ade Komarudin (tengah) menjawab pertanyaan seusai menjalani pemeriksaan di gedung kpk, Jakarta, Jumat (3/2).