58
Wiratno, lahir di Tulungagung 28 Maret 1962. Menempuh sarjana kehutanan di UGM (1988), S2 di ITC Belanda (1993). Menulis beberapa buku tentang konservasi alam, antara lain: Berkaca di Cermin Retak: Refleksi Konservasi dan Implikasinya Bagi Pengelolaan Taman Nasional (2002), diterbitkan Yayasan Gibbon; Nakhoda-Leadership Dalam Organisasi Konservasi (2005)-diterbitkan Conservation International , dicetak ulang untuk WWF Program Heart of Borneo (2009); Solusi Jalan Tengah-Esai-esai Konservasi Alam-Dit Kawasan Konservasi dan Bina Hutan Lindung, Ditjen PHKA (2012); Bersama dengan Nurman Hakim menjadi editor Buku Sang Pelopor (Peranan Dr.S.H.Kooders dalam Perlindungan Alam, karangan Pandji Yudistira), dan Kumpulan tulisan staf UPT Ditjen PHKA, dengan judul “Nanti Kalau Tidak Turun Dimarahi Pak Kadus”, Dit.KKBHL, Ditjen PHKA (2012); Tersesat di Jalan Yang Benar- Seribu Hari Mengelola Leuser (2013) diterbitkan oleh UNESCO Jakarta Office. Aktif menulis beragam artikel di Blog : www.konservasiwiratno. blospot.com Email : [email protected].

Wiratno, lahir di Tulungagung 28 Maret 1962. Menempuh Menulis …ksdae.menlhk.go.id/assets/publikasi/Dari Penebang Hutan Liar ke... · BB TN Gunung Leuser), Saiful Bahri, Nurdin Razak

  • Upload
    vantu

  • View
    255

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: Wiratno, lahir di Tulungagung 28 Maret 1962. Menempuh Menulis …ksdae.menlhk.go.id/assets/publikasi/Dari Penebang Hutan Liar ke... · BB TN Gunung Leuser), Saiful Bahri, Nurdin Razak

Wiratno, lahir di Tulungagung 28 Maret 1962. Menempuhsarjana kehutanan di UGM (1988), S2 di ITC Belanda (1993).Menulis beberapa buku tentang konservasi alam, antara lain:Berkaca di Cermin Retak: Refleksi Konservasi dan Implikasinya

Bagi Pengelolaan Taman Nasional (2002), diterbitkan Yayasan Gibbon;Nakhoda-Leadership Dalam Organisasi Konservasi (2005)-diterbitkanConservation International , dicetak ulang untuk WWF Program Heart ofBorneo (2009); Solusi Jalan Tengah-Esai-esai Konservasi Alam-Dit KawasanKonservasi dan Bina Hutan Lindung, Ditjen PHKA (2012); Bersama denganNurman Hakim menjadi editor Buku Sang Pelopor (Peranan Dr.S.H.Koodersdalam Perlindungan Alam, karangan Pandji Yudistira), dan Kumpulan tulisanstaf UPT Ditjen PHKA, dengan judul “Nanti Kalau Tidak Turun DimarahiPak Kadus”, Dit.KKBHL, Ditjen PHKA (2012); Tersesat di Jalan Yang Benar-Seribu Hari Mengelola Leuser (2013) diterbitkan oleh UNESCO JakartaOffice. Aktif menulis beragam artikel di Blog : www.konservasiwiratno.blospot.com Email : [email protected].

Page 2: Wiratno, lahir di Tulungagung 28 Maret 1962. Menempuh Menulis …ksdae.menlhk.go.id/assets/publikasi/Dari Penebang Hutan Liar ke... · BB TN Gunung Leuser), Saiful Bahri, Nurdin Razak

Dari Penebang Hutan Liar ke Konservasi LeuserTangkahan dan Pengembangan Ekowisata Leuser

Penulis : WiratnoEditor : Panut Hadisiswoyo

Ari SuhendiMustaqimFransiska AriantiningsihTaufik Ramadhan

Disain/Grafis : Mhd. Jamil

Disclaimer

Penggunaan istilah dan penyajian materi dalam keseluruhan publikasi initidak mencerminkan pandangan dan pendapat UNESCO mengenai statushukum suatu negara, wilayah, kota atau daerah kekuasaan negara tersebut,atau penentuan batas-batas negara tersebut. Penulis bertanggungjawabatas pemilihan dan penyajian fakta-fakta yang ada di dalam buku ini danatas segala pendapat yang dinyatakan di dalamnya, dan tidak mencerminkanposisi atau kebijakan UNESCO dan tidak mengikat kepada UNESCO.

ISBN No: 978-602-95312-3-7

Buku ini diterbitkan atas kerjasama YOSL-OIC dan UNESCO Jakartadengan dukungan dana dari UNEP-GRASP, Spain-UNEP life web

Medan, Indonesia

© 2013 by YOSL-OIC dan UNESCOHak cipta dilindungi undang-undangAll rights reserved

Dari Penebang Hutan Liar ke Konservasi LeuserTangkahan dan Pengembangan Ekowisata Leuser

Oleh WIRATNO

Dari Penebang Hutan Liar ke Konservasi LeuserTangkahan dan Pengembangan Ekowisata Leuser

Oleh WIRATNO

sumber foto : oic

Page 3: Wiratno, lahir di Tulungagung 28 Maret 1962. Menempuh Menulis …ksdae.menlhk.go.id/assets/publikasi/Dari Penebang Hutan Liar ke... · BB TN Gunung Leuser), Saiful Bahri, Nurdin Razak

Tentang Yayasan Orangutan Sumatera Lestari-Orangutan Information Centre (YOSL-OIC)

YOSL-OIC merupakan lembaga swadaya masyarakat yang memiliki misi untukkonservasi Orangutan Sumatera (Pongo abelii) dan hutan hujan tropis sebagaisumber keanekaragaman hayati yang dibutuhkan untuk kelangsunganekosistem dan kehidupan umat manusia. YOSL-OIC bekerjasama denganmasyarakat lokal di sekitar habitat Orangutan Sumatera melalui beragamkegiatan seperti pemberdayaan masyarakat desa, restorasi ekosistem hutan,penanggulangan konflik manusia dan orangutan, pengembangan matapencaharian alternatif seperti agroforestri dan pengembangan ekowisataserta berbagai macam program pelatihan dan penyadartahuan bagi masyarakatluas di sekitar Taman Nasional Gunung Leuser (TNGL) dan Kawasan EkosistemLeuser (KEL) di propinsi Aceh dan Sumatera Utara.

Email : [email protected] : www.orangutancentre.orgFacebook : www.facebook.com/pages/Orangutan-Information-

Centre/249175758613943

FOREWORD

I would like to congratulate the author, Mr Wiratno, who in partnership withOrangutan Information Center (OIC), has published this work on Tangkahancommunity based ecotourism with support from UNESCO-GRASP-UNEP projecttitled “Protecting critical orangutan habitat through strengthening protectedareas in northern Sumatra.”

Through this book, Mr Wiratno shared his experience in developing Tangkahanfrom an encroachment area to one of the most wanted tourist destinationsin Sumatra, a hidden paradise. As the former head of Gunung Leuser NationalPark, he put the community as the main actor, who can create and developecotourism in Tangkahan as alternative livelihood, while at the same time,conserving Leuser ecosystem.

I believed the book will make great contribution to ecotourism, conservationand sustainable economy not only in the Sumatra but also other parts ofIndonesia.

Dr. Shahbaz KhanDeputy Director and Senior Program SpecialistEnvironmental Science ProgramUNESCO Jakarta Office

Page 4: Wiratno, lahir di Tulungagung 28 Maret 1962. Menempuh Menulis …ksdae.menlhk.go.id/assets/publikasi/Dari Penebang Hutan Liar ke... · BB TN Gunung Leuser), Saiful Bahri, Nurdin Razak

Ucapan Terima Kasih

Terima kasih kepada semua pihak yang telah berpartisipasi dan mendukungpenulisan sampai penerbitan buku ini.

Pertama, kepada Bapak Wiratno yang telah menulis buku ini. Panut Hadisiwoyo,Ari Suhendi, Mustaqim dan Taufik Ramadhan yang berpatisipasi sebagai editor.

Rekan-rekan Wahdi Azmi, Genman Hasibuan, Ujang Wishnu Barata (PEH padaBB TN Gunung Leuser), Saiful Bahri, Nurdin Razak (Akademisi dan PraktisiEkowisata Universitas Airlangga) yang telah membagi pengalaman dan ide-idenya untuk memperkaya informasi dalam buku ini.

Kami juga mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telahmemberikan photo-photo yang bagus dan menarik untuk buku ini.

Akhirnya, kami mengucapkan terima kasih kepada UNESCO, United NationsEnvironment Programme (UNEP), Lembaga Pariwisata Tangkahan (LPT) danBalai Besar Taman Nasional Gunung Leuser (BBTNGL) yang telah mendukungterbitnya buku ini.

Kata Pengantar

Dengan rasa syukur dan bangga buku “Dari Penebang Hutan Liar ke KonservasiLeuser, Tangkahan dan Pengembangan Ekowisata Leuser” dapat terbit denganpaparan lugas tapi komprehensif tentang sejarah Tangkahan sebagai ikonekowisata dan konservasi di Taman Nasional Gunung Leuser (TNGL) ditulisoleh Bapak Wiratno M.Sc yang juga sebagai salah satu pelaku sejarah pentingterbangunnya ekowisata Tangkahan. Kini Tangkahan telah menjadi lambangharapan masa depan Leuser yang lestari.

Buku ini ditulis dengan harapan bahwa salah satu “obat mujarab” untukmengobati persoalan konservasi di Leuser dapat didokumentasikan sebagaibahan pembelajaran bagi semua pihak. Walau sebagian pihak memandangekowisata belum lah menjadi jawaban semua persoalan dan kerumitanpengelolaan sebuah kawasan konservasi, namun realitanya, ekowisata telahmendorong sebuah perubahan dan gerakan sosial kemasyarakatan untukmemakmurkan kawasan hutan dan masyarakat lokal. Terlebih ekowisata, biladikelola secara baik dan profesional, akan menjadi sebuah ‘manajement tool’dan ‘katalisator’ untuk membawa pengelolaan kawasan konservasi yang lebihbernuansa pada “pelibatan masyarakat setempat”. Sebuah kata kunci yangsaat ini belum bisa diimplementasikan secara optimal oleh pengelola kawasankonservasi, sehingga sulit menerapkan apa yang disebut dengan managementkolaboratif. Ekowisata ternyata terbukti menjadi sebuah pintu gerbang untukmenuju pengelolaan yang kolaboratif bagi Leuser.

Ucapan terima kasih kami sampaikan kepada Bapak Wiratno, seorang sahabatbagi kami sekaligus sebagai mentor kami dalam berkontribusi untuk konservasiLeuser. Kesetiaan Bapak Wiratno untuk Leuser dan konservasi menjadi inspirasikami untuk dapat menerbitkan buku ini dan melanjutkan perjuangan konservasiuntuk Leuser. Terima kasih kami sampaikan kepada Bapak Andi Basrul, KepalaBalai Besar Taman Nasional Gunung Leuser yang telah mendukung penerbitandan kegiatan kami di lapangan sekaligus memberikan arahan kepada kamisehingga terjalin kerjasama yang harmonis dalam melaksanakan programkegiatan kami untuk mendukung konservasi Leuser. Terima kasih kamisampaikan kepada UNESCO yang telah mendukung dan memberikan arahanbagi kami untuk menerbitkan buku ini dan menjalankan programpengembangan ekowisata di Tangkahan.

Semoga buku ini bermanfaat dan menjadi inspirasi untuk menuju perubahanyang baik bagi Leuser dan masyarakat luas.

Wassalam,

Panut Hadisiswoyo, MA, MScKetua Yayasan Orangutan Sumatera Lestari

Page 5: Wiratno, lahir di Tulungagung 28 Maret 1962. Menempuh Menulis …ksdae.menlhk.go.id/assets/publikasi/Dari Penebang Hutan Liar ke... · BB TN Gunung Leuser), Saiful Bahri, Nurdin Razak

Sambutan

Kepala Balai Besar Taman Nasional Gunung Leuser

Upaya konservasi alam di Indonesia telah dimulai sejak masa kerajaan-kerajaanNusantara. Pada masa itu, masyarakat kerajaan telah berupaya menyelaraskankehidupan dengan alam sekitar melalui berbagai kearifan yang dimilikinya.Upaya konservasi alam tersebut kemudian berlanjut pada masa penjajahanBelanda serta pada masa pemerintahan Indonesia pasca kemerdekaan, melaluipenunjukan atau penetapan dan pengelolaan kawasan konservasi, termasuktaman nasional.

Taman Nasional Gunung Leuser (TNGL) merupakan bagian dari sejarah panjangkonservasi alam di Indonesia. Upaya konservasi kawasan TNGL dimulai dariinisiasi para pemimpin lokal Aceh meminta Pemerintah Hindia Belanda untukmelindungi kawasan Lembah Alas dan sekitarnya dan dideklarasikan dalamDeklarasi Tapaktuan tahun 1934. Upaya tersebut berlanjut pada masa pascakemerdekaan dan oleh Pemerintah, TNGL ditetapkan menjadi salah satu dari5 (lima) taman nasional pertama di Indonesia.

Pengakuan global telah diberikan kepada TNGL. UNESCO telah menetapkanTNGL sebagai Cagar Biosfer pada tahun 1981. Pada tahun 1984, TNGL jugaditunjuk sebagai ASEAN Heritage Park (AHP). Bersama-sama dengan TN KerinciSeblat dan TN Bukit Barisan Selatan, ditetapkan sebagai Warisan Dunia (TropicalRainforest Heritage of Sumatera pada tahun 2004). Selain itu, TNGL jugamerupakan Kawasan Strategis Nasional (KSN) dalam tata ruang wilayah dansaat ini sedang dalam proses penetapannya melalui sebuah Keputusan Presiden.

Berbagai “kisah sukses” dan “kisah kelabu” mengiringi perjalanan pengelolaansalah satu taman nasional nasional tertua di Indonesia ini. Perambahan yangterjadi di Besitang, Kabupaten Langkat serta di wilayah Kabupaten AcehTenggara, merupakan bagian “kisah kelabu” yang mengancam kelestarianTNGL. Saat ini masih terus diupayakan penyelesaian perambahan tersebutagar kelestarian kawasan TNGL dapat terus dijaga. Disamping kisah kelabu,kisah sukses juga mengiringi perjalanan konservasi TNGL. Diantara kisahsukses tersebut adalah pengelolaan ekowisata Tangkahan yang kemudiansuccess story tersebut ditulis oleh Ir. Wiratno, MSc ini. Penulis adalah KepalaBalai TNGL tahun 2005-2007 dan juga merupakan salah satu pelaku “sejarah”pengelolaan ekowisata Tangkahan oleh Lembaga Pariwisata Tangkahan (LPT).

Tangkahan bukan hanya sekedar ekowisata yang dikelola oleh masyarakat(community based ecotourism) yang terbukti bisa diterapkan di kawasankonservasi, namun juga merupakan sebuah proses transformasi dari kulturmasyarakat pelaku penebangan liar, menjadi masyarakat yang melakukanupaya konservasi dalam menyelamatkan hutan TNGL di wilayah mereka,

Sei Serdang dan Namo Sialang. Konsep pengelolaan wisata alam TNGL olehmasyarakat yang menurut ceritanya ditawarkan oleh Ir. Adi Susmianto, MSc(Kepala Balai TNGL tahun 1997) saat ini benar-benar dapat diterapkan danharus diakui, memberikan kontribusi yang tidak sedikit bagi Balai Besar TNGLbaik dari penerimaan PNBP maupun dalam upaya menjaga kelestarian kawasandan kesejahteraan masyarakat sekitar.

Namun demikian, tak ada gading yang tak retak. Kisah sukses Tangkahanbagaimanapun tentunya memiliki berbagai permasalahan yang harus disikapisecara arif agar ke depan pengelolaan tersebut dapat berjalan semakin baik.Tangkahan perlu terus didampingi, dievaluasi serta ditingkatkan kedepannyadengan melibatkan para pihak yang terkait, baik BBTNGL, LPT, Pemda maupunswasta. Penulis secara gamblang menyampaikan saran-saran yang perludilakukan untuk memperbaiki dan meningkatkan pengelolaan ekowisata diTangkahan. Buku ini merupakan upaya pendokumentasian “kisah sukses”pengelolaan ekowisata berbasis masyarakat di kawasan konservasi yangtentunya akan dapat menjadi bahan pembelajaran bagi upaya-upayapengembangan ekowisata di kawasan konservasi lainnya di Indonesia.

Terakhir saya sampaikan apresiasi yang tinggi kepada Ir. Wiratno, MSc yangtelah berupaya menuliskan pengelolaan ekowisata di Tangkahan dalam sebuahbuku. Selain itu juga kepada Yayasan Orangutan Sumatera Lestari-OrangutanInformation Centre (YOSL-OIC) yang telah bersedia memfasilitasi penerbitanbuku ini. Saya berharap buku ini dapat bermanfaat untuk upaya pengelolaanTangkahan yang semakin baik pada khususnya, serta pada umumnyabermanfaat untuk pengelolaan Taman Nasional Gunung Leuser yang kitabanggakan ini.

Kepala Balai Besar,

Drs. Andi BasrulNIP.19561121 198203 1 003

Page 6: Wiratno, lahir di Tulungagung 28 Maret 1962. Menempuh Menulis …ksdae.menlhk.go.id/assets/publikasi/Dari Penebang Hutan Liar ke... · BB TN Gunung Leuser), Saiful Bahri, Nurdin Razak

Daftar Isi

BAGIAN SATULeuser : Konservasi dan Ancaman

1. Konservasi1.1. Sejarah Konservasi Nusantara1.2. Konservasi sebagai Gerakan1.3. Leuser

1.3.1. Bermula dari Ketambe1.3.2. Nilai Lansekap Leuser1.3.3. Penyangga Kehidupan1.3.4. Pengakuan Global

1.3.4.a. Cagar Bisofer1.3.4.b. Warisan Dunia

BAGIAN DUAEkowisata Tangkahan : Solusi Permasalahan Leuser

1. Sejarah Tangkahan (deskripsi wilayahTangkahan, lokasi, peta, batas wilayah,luas wilayah dsb)

BAGIAN KETIGAEkowisata Tangkahan dan Masyarakat

1. Pengelolaan Ekowisata1.1. Ekowisata1.2. Tangkahan di Masa Lalu1.3. Tangkahan Saat Ini

1.3.1. Lembaga Pariwisata Tangkahan1.3.2. Pola Kunjungan1.3.3. Potensi Riset

BAGIAN KEEMPATApa Kata Mereka

4.1. Pendapat Mereka Tentang Tangkahan

BAGIAN KELIMAPembelajaran Tangkahan

5.1. Peran Masyarakat5.2. Perubahan Paradigma dan Kebijakan5.3. Pembelajaran Tangkahan5.4. Kepemimpinan Kolektif5.5. Langkah-langkah ke Depan

DAFTAR PUSTAKA

2. Ancaman2.1. Potret Konflik2.2. Permasalahan TN Gunung Leuser2.3. Tangkahan sebelum 1999

3. Ekowisata Leuser

2. Peran Tangkahan Melindungi Leuser

3. Kondisi Sosial Ekonomi Tangkahan3.1. Persepsi Sosial Ekonomi Masyarakat Sekitar Tangkahan

2. Peran Tangkahan dalam Perlindungan Leuser2.1. Tantangan Saat Ini2.2. Solusi untuk Leuser

sumber foto : YOSL-OICsumber foto : YOSL-OIC

Page 7: Wiratno, lahir di Tulungagung 28 Maret 1962. Menempuh Menulis …ksdae.menlhk.go.id/assets/publikasi/Dari Penebang Hutan Liar ke... · BB TN Gunung Leuser), Saiful Bahri, Nurdin Razak

1. KONSERVASI

1. 1. Sejarah Konservasi Nusantara

ertanyaan tentang sejak kapan upaya konservasi alam di Indonesia?Apakah dibawa oleh Belanda atau jauh sebelumnya? Beberapatemuan penting yang diuraikan oleh Wiratno, dkk (2004),

membuktikan bahwa upaya konservasi telah dilakukan jauh sebelummasa penjajahan Belanda. Di masa Kerajaan-kerajaan Nusantara,hubungan antara manusia dengan alam, sudah didasarkan pada prinsipmembangun relasi harmonis antar keduanya. Alam dianggap sesuatuyang suci (sacred), yang memberi berkah bagi kehidupan manusia. Raja-raja menjalankan ritual-ritual penghormatan kepada penguasa alamdengan mendirikan tempat-tempat pemujaan dewa-dewa dan roh-rohleluhur.

Salah satu dokumen penting yang berkaitan dengan kebijakan konservasialam adalah “Prasasti Malang” tahun 1395 dari jaman Kerajaan Majapahit.Dalam prasasti tersebut dinyatakan :

Bagian SATU

1

1Leuser : Konservasi dan

Ancaman

1Leuser : Konservasi dan

Ancaman

“Pemberitahuan kepada seluruh satuan tata negara si parasamadi sebelah timur Gunung Kawi, baik di timur atau di barat batangair (Berantas); diberitahukan kepada sekalian wedana, juru, bujut,terutama kepada Pacatanda di Turen. Bahwa telah kita perkuatperintah seri paduka batara Partawa Iswara, yang ditanam diWisnu-bawana dan begitu pula perintah seri paduka yang ditanamdi Kertabuana, berhubungan dengan kedudukan satuan tata negarasi parasame Katiden yang meliputi sebelas desa.Oleh karena masyarakat itu berkewajiban mengamat-amati padangalang-alang di lereng Gunung Ledjar, supaya jangan terbakar,maka haruslah ia bebaskan dari pembayaran pelbagai titisara.Selanjutnya masyarakat dilarang menebang pohon kayu dari hutankekayu dan memungut telur penyu dan getah, karena laranganitu tidak berlaku padanya. Juga tidak seorang jua pun bolehmelakukan di sana peraturan larangan berupa apa jua. Apabilakeputusan raja ini sudah dibacakan maka Desa Lumpang haruslahmenurutnya. Demikianlah diselenggarakan pada bulan pertamatahun Saka 1317”.

sumber foto : YOSL-OICsumber foto : YOSL-OIC

Page 8: Wiratno, lahir di Tulungagung 28 Maret 1962. Menempuh Menulis …ksdae.menlhk.go.id/assets/publikasi/Dari Penebang Hutan Liar ke... · BB TN Gunung Leuser), Saiful Bahri, Nurdin Razak

32

Bagian SATU

Temuan Prasasti pada jaman Kerajaan Majapahit ini membuktikan telahadanya upaya pelestarian lingkungan, pengaturan kompensasi bagimasyarakat yang dilarang melakukan eksploitasi dengan solusi yangkonkrit. Upaya ini dilakukan jauh sebelum masa kolonial tiba di Indonesia.

Simon Winchester dalam bukunya : “Krakatoa” (terjemahan, 2010,diterbitkan oleh PT Elex Media Komputindo-Gramedia Group),menguraikan tentang misi dagang Belanda yang mendarat di pelabuhanlada di Banten pada tahun 1596, dipimpin oleh Cornelis de Houtman.Apabila tahun kedatangan mereka dianggap sebagai waktu pertamaBelanda menjejakkan kaki dan pengaruhnya di bumi Indonesia, makaterdapat rentang waktu 201 tahun, terhitung sejak Prasasti Malangtersebut dikumandangkan. Maka, terbukti bahwa kearifan lingkungantelah ada sejak Kerajaan-kerajaan Nusantara berdiri jauh sebelumDr.S.H.Koorders membangun gerakan konservasi a lam.

1. 2. Konservasi sebagai Gerakan

Dalam berbagai literatur tentang konservasi di Indonesia, tidak ditemukansatu pernyataanpun tentang konservasi alam yang digolongkan sebagaisuatu “gerakan” atau movement. Atas keuletan seorang Pandji Yudistira,melalui penelusuran dokumen-dokumen Belanda sejak 2009 ketika PakPandji bertugas sebagai Kepala Bidang Wilayah III Ciamis, BBKSDA JawaBarat. Akhirnya muncullah nama seorang tokoh bernama Dr.S.H.Koorders.Perburuannya yang panjang itu akhirnya membuahkan penerbitan bukuberjudul: “Sang Pelopor” Peranan Dr.S.H.Koorders dalam SejarahPerlindungan Alam di Indonesia, tahun 2012, yang diterbitkan olehDirektorat Konservasi Kawasan dan Bina Hutan Lindung, DitjenPerlindungan Hutan dan Konservasi Alam, Kementerian Kehutanan.Dalam perjalanan ke Leiden untuk melakukan penelusuran dokumen-dokumen dan bertemu dengan beberapa tokoh Indonesianis di bidangkonservasi alam (Wiratno, 2011), kami menemukan beberapa halmenarik, seperti pertanyaan apakah Belanda atau Hindia Belanda yangterlebih dulu memiliki kebijakan konservasi alam? Apabila kitamenginterpretasikan konservasi alam dalam bentuk kawasan-kawasankonservasi, yaitu kawasan hutan yang dilindungi, maka pada tahun 1919,telah ditetapkan sebanyak 55 lokasi berdasarkan Surat KeputusanGubernur Jenderal Hindia Belanda.

Menurut Yudistira (2012), pada tanggal 22 Juli 1912, didirikanPerkumpulan Perlindungan Alam Hindia Belanda (Nederlandsch IndischeVereeniging tot Natuurbescherming) di Buitenzorg (kebun raya). Didalam rapat pertama perkumpulan perlindungan alam ini, Dr. S. H.Koorders dengan kelebihan suara diangkat sebagai Ketua Pertamanyadan jabatan ini tetap dipegangnya sampai dia meninggal (1919). Hasilyang diperoleh selama 7 tahun (1912-1919) pendirian perkumpulanperlindungan alam, yaitu:

• Pemerintah Hindia Belanda merespon usulan dari Perkumpulan Perlindungan Alam untuk mendirikan Natuurmonument (MonumenAlam) dengan diterbitkannya Natuurmonument Ordonnantie (Undang-Undang Monumen Alam/Cagar Alam) dengan Surat Keputusan Gubernur Jenderal Hindia Belanda Atas Nama Ratu Belanda (Wilhelmina) tanggal 18 Maret 1916 No.49, Lembaran Negara 1916 No.278. Gubernur Jenderal dalam undang-undang ini melakukan peraturan/tindakan-tindakan untuk perlindungan alam antara lain:

• Dilarang melakukan suatu tindakan yang mengakibatkan perubahankeadaan umum di dalam cagar alam, seperti pengumpulan tanaman,menangkap, melukai atau membunuh hewan, pembakaran, menggembalakan ternak dan lain-lain.

• Menetapkan hukuman atas pelanggaran larangan yang terjadi di dalamcagar alam dengan hukuman denda atau hukuman penjara.

• Diperintahkan kepada semua Majelis Tinggi, Majelis Rendah, Pegawai,Pejabat dan Ahli Hukum untuk mematuhinya tanpa pandang bulu.

• Penunjukan awal kawasan Natuurmonument sebanyak 55 lokasi berdasarkan 2 (dua) Surat Keputusan Gubernur Jenderal Hindia Belandapada tahun 1919, yaitu tanggal 21 Pebruari 1919 No.6 (Staatsblad No.90) dan 11 Juli 1919 No.83 (Staatsblad No.392) yang diusulkan Perkumpulan Perlindungan Alam.

Berdasarkan hasil kajian sejarah itu, maka Hindia Belanda lebih duludalam membuat kebijakan konservasi alam dalam bentuk penunjukankawasan-kawasan yang dilindungi dan juga perundang-undangan yangmenyertainya. Sedangkan di Belanda, baru dibentuk PerkumpulanPerlindungan Alam Belanda pada tahun 1925, yang dipimpin olehDr.Tienhoven. Hal ini diperkuat dengan pernyataan Prof. Peter Boomgaardbahwa: “The first Dutch attemps to preserve nature started earlier inIndonesia than they did in the Netherlands”. Upaya konservasi alam

Leuser : Konservasi dan Ancaman

Page 9: Wiratno, lahir di Tulungagung 28 Maret 1962. Menempuh Menulis …ksdae.menlhk.go.id/assets/publikasi/Dari Penebang Hutan Liar ke... · BB TN Gunung Leuser), Saiful Bahri, Nurdin Razak

54

Bagian SATU

Hutan Ketambe - Aceh Tenggara

dimulai dari Hindia Belanda dan setelah itu baru diikuti oleh Belandadi Negeri Belanda. Pernyataan ini ditulis dalam artikel yang disiapkanProf. Peter Boomgaard, berjudul : “Oriental Nature, Its Friends and ItsEnemies”, yang diterbitkan dalam Environmental and History Volume5, Number 3, October 1999. The White Horse Press, Cambridge, UK.

Sebagai sebuah gerakan, maka tahun 1912 dapat disimpulkan sebagaitahun awal ditunjuknya suatu kawasan-kawasan hutan sebagai kawasanperlindungan alam, estetika, habitat hidupan liar, dan gejala alam.

1. 3. Leuser

Kompleks hutan Leuser terdiri dari Taman Nasional Gunung Leuser(TNGL), dan wilayah hutan-hutan lindung di sekitarnya, termasuk RawaTripa dan Singkil, seluas hampir 2 juta hektar disebut sebagai EkosistemLeuser. Wilayah ini bertautan dengan kompleks hutan Ulu Masen, yangjuga diperkirakan seluas 2 juta hektar, merupakan sisa kawasan hutanyang relatif utuh di Bumi Andalas bagian barat. Komplek ini boleh disebutsebagai Pilar di Ujung Barat Sumatera. Sedangkan di wilayah tengah,terdapat kompleks Taman Nasional Kerinci Seblat seluas sekitar 1,4 jutahektar, menjadi Pilar Sumatera bagian tengah, dan di Sumatera bagianselatan, terdapat Taman Nasional Bukit Barisan Selatan, seluas 350.000hektar. Ketiga taman nasional ini membentang di jajaran pegununganBukit Barisan, dengan beberapa bagiannya merupakan hutan hujantropis dataran rendah yang sangat penting sebagai habitat mamaliabesar Sumatera. Rahasia di dalamnya masih banyak belum terungkapoleh ilmu pengetahuan dan oleh karenanya, menjadi kewajiban kitasemua untuk bersikap hati-hati. Precautionary principle atau prinsipkehati-hatian menjadi pegangan kita, agar sumberdaya yang penuhdengan potensi dan belum sempat digali tersebut diharapkan masihterjaga dalam beberapa generasi mendatang. Di bawah ini, beberapanilai yang sudah dapat diungkapkan oleh para ahli, sebagaimana diuraikanoleh Wiratno (2013), dan peranan Pusat Penelitian Ketambe oleh SuhartoDjojosudharmo, dkk (2006), sebagai berikut:

I. 3. 1. Bermula dari KetambeTaman Nasional Gunung Leuser adalah salah satu dari 50 taman nasionaldi Indonesia, yang merupakan satu hamparan hampir kompak berbentukseperti tapal kuda. Mendiskusikan nilai konservasi Leuser tidak dapat

kajian orang utan Sumatera (Pongo abelii), terpenting di dunia. Pongoabelii yang merupakan satu-satunya kera besar di Asia.

Sebagaimana diuraikan oleh Suharto Djojosudharmo, Sri Suci UtamiAtmoko, Azwar dan Yossa Istiadi (2006), Pusat Penelitian Ketambe adalahsatu-satunya tempat penelitian Orangutan Sumatera yang terusmelakukan penelitian orangutan liar yang ada di sana sejak tahun 1971(terputus karena kondisi keamanan 2002 - awal 2003) hingga kini,bersama pusat penelitian simpanse di Gombe, Tanzania (tempat Dr.Jane Goodall) dan pusat penelitian gorila gunung di Karisoke, Rwanda(tempat almarhumah Dr. Dian Fossey) sebagai tiga tempat penelitianteratas yang terus menghasilkan karya-karya penelitian kera besar yangdiakui dunia.

Ketambe juga telah berkontribusi luar biasa dalam membantu manusiauntuk lebih memahami orangutan dan banyak hasil penelitiannya telahdipublikasi di jurnal-jurnal nasional dan internasional serta membantudalam proses analisa berbagai lokakarya konservasi, misalnya lokakaryaPHVA orangutan pada tahun 1993 dan 2004; dan pembuatan rencanaaksi orangutan Sumatera di Berastagi pada tahun 2005.

sumber foto : YOSL-OICsumber foto : YOSL-OICHutan Ketambe - Aceh Tenggara

Leuser : Konservasi dan Ancaman

Page 10: Wiratno, lahir di Tulungagung 28 Maret 1962. Menempuh Menulis …ksdae.menlhk.go.id/assets/publikasi/Dari Penebang Hutan Liar ke... · BB TN Gunung Leuser), Saiful Bahri, Nurdin Razak

6

Bagian SATU

7

Pentingnya penelitian jangka panjang telah dibuktikan melalui hasilpenelitian dari Ketambe, salah satunya adalah penelitian orangutan, dimana kita terus mendapatkan data dari individu-individu yang telahdiikuti sejak tahun 1971 hingga kini. Berdasarkan catatan penelitiantersebut kita akhirnya mengetahui antara lain, bahwa orangutan adalahsatu-satunya mamalia darat yang dapat hidup hingga usia lanjut sertamempunyai jarak antar kelahiran yang sangat lama (8-9 tahun); ini palinglama di antara semua mamalia terestrial di dunia. Orangutan seringmelewati usia 50-an tahun. Dalam regenerasi hutan juga sudah dibuktikanfungsinya sebagai salah satu kunci penyebar biji. Oleh karena itu,sangatlah diperlukan untuk terus melanjutkan penelitian jangka panjangini hingga paling tidak satu siklus kehidupan dari orangutan di Ketambe,yang dapat kita ketahui dengan pasti mulai saat kelahirannya. Perlu kitapikirkan, kalau suatu studi sepanjang ini di hentikan, maka kita harusmulai lagi dari awal. Hal ini akan perlu waktu 35 tahun lagi sebelumkita sampai kembali ke posisi ilmu tentang individu-individu seperti inilagi. Setelah adanya kasus illegal logging di area penelitian yang terjadi,pada saat terputusnya penelitian karena kondisi keamanan di tahun2002 dan 2003, sangatlah menarik untuk diteliti bagaimana dampakillegal logging terhadap orangutan dan hewan yang dilindungi lainnyaserta kondisi habitat terganggu di Ketambe.

Penelitian di Ketambe telah dilakukan sejak tahun 1970-an melaluiprogram kerjasama berbagai lembaga, diantaranya adalah kerjasamajangka panjang antara Universitas Utrecht, Belanda dengan UniversitasNasional, Jakarta yang dibimbing langsung oleh Prof. Dr. J.A.R.A.M. vanHooff. Kemudian juga oleh LIPI, Ditjen Perlindungan Hutan dan PelestarianAlam (PHKA), universitas manca negara lainnya, antara lain Universityof Davis dan Duke University, USA; Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh;Sekolah Tinggi Ilmu Kehutanan (STIK), Banda Aceh; Universitas Pajajaran,Bandung; dan Universitas Indonesia, Jakarta. Ketambe tidak hanyamenjadi pusat penelitian ekologi, tetapi juga telah menjadi area pelatihankonservasi bagi generasi muda Indonesia maupun manca negara lainnya.Hasil dari kerjasama penelitian dan pelatihan konservasi ini telahdibuktikan dengan dihasilkannya sarjana baik strata satu, strata dua danstrata tiga dari mahasiswa-mahasiswa Indonesia yang beruntung ikutserta dalam penelitian di Ketambe, diantaranya bahkan telah menjadipakar di bidangnya masing-masing, antara lain: Dr. Jito Sugardjito (DirekturFFI-Indonesia Program), Dr. Rohadi Abdulhadi (Sekretaris Umum LIPI),

Dr. Barita O.Manullang (ahli ekologi hidupan liar), Drs. Tatang MitraSetia, MSc (Dekan Fak. Biologi, UNAS), Drs. Ary S. Suhandi (DirekturINDECON), Dr Sri Suci Utami (UNAS), Dolly Priatna, dan banyak yanglain.

1.3.2. Nilai Lansekap LeuserDi samping sebagai salah satu pusat penelitian orang utan Sumateraterpenting, TNGL merupakan laboratorium alam yang kaya sekaligusjuga ekosistem yang rentan. MacKinnon and MacKinnon (1986)menyatakan bahwa Leuser mendapatkan nilai tertinggi untuk kontribusikonservasi terhadap kawasan konservasi di seluruh Indo-Malaya.Ekosistem Leuser adalah habitat spesies-spesies satwa penting di daratanSunda (Sundaland), terutama mamalia tingkat tinggi. Hampir 65%mamalia Sumatera (129 spesies mamalia dari 205 spesies) tercatat adadi tempat ini. Leuser menjadi habitat bagi 380 spesies burung. Suatudaftar terpanjang di dunia, dimana 350 di antaranya merupakan spesiesyang tinggal di kawasan taman nasional. Ekosistem Leuser juga rumahbagi 36 dari 50 spesies burung ”Sundaland”.

Ekosistem Leuser adalah habitat mamalia terpenting. Selain orangutanSumatera (Pongo abelii), ekosistem Leuser juga merupakan habitat bagiharimau Sumatera (Panthera tigris sumatrae), badak Sumatera(Dicerorhinus sumatrensis), tapir (Tapirus indicus), gajah Sumatera(Elephas maximus sumatrensis), owa (Hylobathes lar), dan kedih (Presbytisthomasii).

Di samping rumah bagi berbagai fauna kunci tersebut di atas, di TNGLkita bisa menemukan lebih dari 4.000 species flora. Termasuk di dalamnya3 spesies dari 15 spesies tumbuhan parasit Rafflessia. TNGL merupakantempat banyak jenis tumbuhan obat (Brimacombe & Elliot, 1996).

Ir. Agus Susatya, PhD sebagai Dosen di Universitas Bengkulu, dalampenelitian yang fokus pada salah satu flora penting yaitu rafflesia, telahmembuktikan kepada masyarakat Indonesia maupun Internasional,bahwa Indonesia memiliki kekayaan hayati yang luar biasa. Salah satunyaadalah bunga raksasa Rafflesia spp., dari 25 jenis refflesia di seluruhdunia, 12 jenis diantaranya berada di Indonesia. Rafflesia ditemui tersebardi sepanjang jajaran Bukit Barisan Sumatera, mulai dari TN GunungLeuser, TN Bukit Tigapuluh, hingga Cagar Alam Batang Palupuh,

Leuser : Konservasi dan Ancaman

Page 11: Wiratno, lahir di Tulungagung 28 Maret 1962. Menempuh Menulis …ksdae.menlhk.go.id/assets/publikasi/Dari Penebang Hutan Liar ke... · BB TN Gunung Leuser), Saiful Bahri, Nurdin Razak

98

Bagian SATU

Sungai di hutan Leuser

Kabupaten Agam. Sementara di Jawa dapat dijumpai di TN Gunung GedePangrango, CA Semenanjung Pangandaran, TN Meru Betiri; di Kalimantandi CA Gunung Raya dan TN Bukit Baka Bukit Raya, serta TN KayanMentarang.

Sdr Ir. Agus Susatya PhD dalam seri penelitian untuk S3nya telahmenemukan 2 jenis rafflesia baru, yaitu: (1) Rafflesia bengkuluensis, diTalang Tais, Bengkulu, dan Rafflesia lawangensis, di Bukit Lawang TNGunung Leuser.

1.3.3. Penyangga KehidupanHutan sebagai penyangga kehidupan dapat dimaknai perannya yangbesar dalam fungsinya menjaga keseimbangan hidrologi dan suplai airbagi masyarakat luas, baik bagi pertanian maupun untuk kepentingankonsumsi. TNGL memainkan peran itu pula. TNGL menyediakan suplaiair bagi 4 juta masyarakat yang tinggal di Nanggroe Aceh Darusalam(NAD) maupun Sumatera Utara. Sembilan kabupaten tergantung padajasa lingkungan TNGL. Jasa lingkungan yang dapat diberikan yaitu daerahresapan air, penyedia air tawar layak konsumsi, pengairan, penjagakesuburan tanah, mengendalikan banjir, dan penyedia udara bersih.Leuser juga melindungi 5 Daerah Aliran Sungai (DAS) di wilayah PropinsiNAD dan 3 DAS di Sumatera Utara. Di wilayah Aceh, DAS tersebut adalahJambo Aye, Tamiang-Langsa, Singkil (Singkil dan Lawe Alas), Sikulat-Tripa, dan Baru-Kluet. Wiratno (2013) mendapatkan data bahwa produksiair dari DAS Leuser di wilayah Aceh tersebut tidak kurang dari 95,445juta m3/tahun. Sedangkan di Sumatera Utara DAS yang dilindungi

Studi yang dilakukan oleh Beukering dkk. (2003) memberitahukan kepadakita bahwa nilai Ekonomi Total Ekosistem Leuser, termasuk TNGL didalamnya, dihitung dengan suku bunga 4% selama 30 tahun adalah USD7 milyar (bila terdeforestasi), USD 9,5 milyar (bila dikonservasi), danUSD 9,1 milyar (bila dimanfaatkan secara lestari). Hal ini menunjukkanbetapa peran kawasan hutan di Ekosistem Leuser dan di TNGL sangatbesar dalam menjaga stabilitas ekosistem dan keberlanjutanpembangunan khususnya di daerah hilir yang sarat dengan penggunaanlahan produktif dan aset-aset pembangunan yang strategis.

Berdasarkan fakta-fakta dan hasil kajian tersebut, tidak dapat dipungkirilagi bahwa hutan TNGL merupakan penyangga kehidupan bagi jutaanmasyarakat di sekitarnya. Baik untuk kebutuhan air konsumsi, air untukperikanan, pertanian, pembangkit listrik, penyeimbang iklim mikro, danmasih banyak manfaat lainnya.

1.3.4. Pengakuan Global

TNGL mendapat pengakuan internasional dengan status sebagai CagarBiosfer (1981) dan Warisan Dunia (2004). Kedua status tersebutditetapkan oleh UNESCO melalui program Man and Biosphere (MAB)dan World Heritage Committee atas usulan Pemerintah Indonesia,setelah melalui suatu proses seleksi yang ketat. Pengakuan tersebutmenunjukkan nilai penting Leuser di kancah global, untuk kepentinganilmu pengetahuan, dan kemanusiaan dalam arti yang luas. Pengakuantersebut sekaligus juga merupakan tantangan bagi pemerintah Indonesiauntuk menunjukkan kemampuannya dalam melakukan pengelolaan.Kesempatan terbuka bagi pemerintah Indonesia dalam memintadukungan internasional apabila dalam mengelola Leuser menghadapiberbagai persoalan, dan masyarakat global harus bersedia membantupemerintah Indonesia.

1.3.4. a. Cagar Biosfer

Cagar Biosfer didefinisikan sebagai kawasan ekosistem daratan ataupesisir yang masih utuh, terdegradasi tetapi dapat dipulihkan kembaliuntuk mempromosikan keseimbangan hubungan antara manusia denganalam. Cagar Biosfer melayani perpaduan tiga fungsi yaitu: (1) kontribusikonservasi lansekap, ekosistem, jenis, dan plasma nutfah, (2)menyuburkan pembangunan ekonomi yang berkelanjutan baik secara

sumber foto : YOSL-OICSungai di hutan Leuser

Leuser : Konservasi dan Ancaman

Page 12: Wiratno, lahir di Tulungagung 28 Maret 1962. Menempuh Menulis …ksdae.menlhk.go.id/assets/publikasi/Dari Penebang Hutan Liar ke... · BB TN Gunung Leuser), Saiful Bahri, Nurdin Razak

1110

Bagian SATU

ekologi maupun budaya, dan (3) mendukung logistik untuk penelitian,pemantauan, pendidikan, dan pelatihan yang terkait dengan masalahkonservasi dan pembangunan berkelanjutan di tingkat lokal, nasionaldan global. Fungsi Cagar Biosfer serta Jaringan Cagar Biosfer Dunia telahdidefinisikan dan diuraikan dalam ”Strategi Seville dan Kerangka HukumJaringan Cagar Biosfer Dunia” (LIPI, 2004). Di Indonesia terdapat 6 CagarBiosfer yaitu di Taman Nasional Gunung Leuser, Taman Nasional GunungGede-Pangrango, Taman Nasional Tanjung Puting, Taman Nasional LoreLindu, Pulau Siberut (termasuk Taman Nasional Siberut), dan TamanNasional Komodo. Cagar Biosfer ketujuh baru ditetapkan ketika bukuini dalam proses akhir, yakni Bukit Giam-Siak di Provinsi Riau yangdisponsori oleh pihak swasta, terutama PT Sinar Mas. Sedangkan secaraglobal, telah ditetapkan 507 Cagar Biosfer yang tersebar di 102 negara,pada tahun 2006.

1.3.4.b. Warisan Dunia

Konvensi Warisan Dunia mengenai Perlindungan Warisan Budaya danAlam diadopsi pada sidang ke 17 Konferensi Umum UNESCO di Paristanggal 16 November 1972. Konvensi ini melindungi kawasan-kawasanyang penting bagi masa depan umat manusia. Kawasan yang ditetapkanharus memiliki nilai budaya dan konservasi tinggi. Konvensi ini berlakuefektif sejak 17 Desember 1975. Sampai Maret 2005, Konvensi WarisanDunia telah diratifikasi lebih dari 180 negara, termasuk Indonesia melaluiKeputusan Presiden Nomor 29 tahun 1989. Terdapat 830 situs di 138negara yang telah tercantum di dalam daftar Warisan Dunia, terdiri dari644 situs budaya, 162 situs alami dan 24 situs campuran. Warisan Duniaadalah warisan yang (1) Terdiri dari Warisan Alam, Warisan Budaya dancampuran, (2) Melestarikan warisan yang tidak dapat digantikan danwarisan yang memiliki ”Nilai maha agung yang luar biasa (OutstandingUniversal Value)”, (3) Perlu melindungi warisan yang tidak dapatdipindahkan, dan (4) Menjadi tanggung jawab kesadaran dan kerjasamakolektif international (UNESCO, 2004).

Sampai saat ini, Indonesia memiliki 7 tempat yang tercantum dalamDaftar Warisan Dunia. Candi Borobudur (1991), Candi Prambanan (1991),situs arkeologis Sangiran (1996) termasuk dalam Situs Warisan Budaya.Sedangkan Situs Warisan Alam adalah Taman Nasional Ujung Kulon(1991), Taman Nasional Komodo (1991), Taman Nasional Lorentz (1999)

dan Tropical Rainforest Heritage of Sumatera (TRHS) yang terdiri dariTaman Nasional Gunung Leuser, Taman Nasional Kerinci Seblat danTaman Nasional Bukit Barisan Selatan.

Kawasan TRHS ini ditetapkan pada Sidang ke 28 Komite Warisan Duniadi Suzhou Cina, 27 Juni-7 Juli 2004. Mengingat adanya tekanan seriusterhadap kawasan TRHS, World Heritage Committee (WHC) mengirimutusan melakukan Misi Monitoring Reaktif (Reactive Monitoring Mission).Salah satu hasilnya menyarankan agar pemerintah Indonesia membuatEmergency Action Plan (EAP) untuk mengatasi ancaman danpermasalahan di kawasan TRHS. Rencana Strategi ini merupakan salahsatu bagian dari kerangka penyelesaian masalah sesuai EAP. Di Leuser,ancaman itu adalah illegal logging (era 1990-2005) dan berubah menjadiperambahan untuk perkebunan karet dan sawit di akhir tahun 1990sampai dengan saat ini. Besitang adalah contoh nyata dari kerusakanhutan hujan tropis dataran rendah terpenting di wilayah Sumatera Utara,karena perambahan sawit. Lebih dari 4.000 hektar sawit dan kerusakankawasan (dalam berbagai tingkatannya) seluas hampir 16.000 hektar.Salah satu penyebabnya adalah adanya pengungsi dari korban konflikAceh tahun 1999. Sampai dengan saat ini, berbagai upaya telah dilakukanpada tahun 2006-2007, namun tidak dilanjutkan selama empat tahun.Baru pada tahun 2012 dilakukan upaya penegakan hukum namun kurangberhasil. Pada tahun 2013, sedang diupayakan untuk diterbitkan suatuINPRES guna menyelesaikan persoalan pengungsi di Besitang ini, danakan dikoordinasikan oleh Menko Kesra.

2. ANCAMAN

2.1. Potret Konflik

Sampai dengan era 1990, tidak banyak berita yang mengungkap berbagaikonflik antara masyarakat, baik masyarakat setempat, masyarakat hukumadat, maupun masyarakat pendatang, dengan taman nasional ataukawasan konservasi lainnya, seperti di cagar alam, suaka margasatwa,taman wisata alam. Seiring dengan semakin habisnya hutan-hutanproduksi sejak dieksploitasi secara mekanis pada awal 1970an. Era1990an juga ditandai dengan meningkatnya permintaan akan sawit,sehingga dimulailah era monokultur sawit, dan hal ini terbukti nyatasetelah 22 tahun ini dimana landscape Sumatera telah berubah total.

Leuser : Konservasi dan Ancaman

Page 13: Wiratno, lahir di Tulungagung 28 Maret 1962. Menempuh Menulis …ksdae.menlhk.go.id/assets/publikasi/Dari Penebang Hutan Liar ke... · BB TN Gunung Leuser), Saiful Bahri, Nurdin Razak

1312

Bagian SATU

Di beberapa tempat, telah menyebabkan meningkatnya konflik horisontal,seperti di areal perluasan TN Tesso Nilo (8.000 Ha perambahan sawit);TN Gunung Leuser di Besitang (4.000 Ha sawit) dan 16.000 Ha arealhutan hujan tropis dataran rendahnya telah mengalami degradasi yangsangat parah; TWA Holiday Resort yang sebagian besar telah berubahmenjadi kebun sawit; SM Balai Raja, di Riau, dimana hutan alamnyatinggal < 200 Ha dari yang semula seluas 13.500 Ha. Di wilayah TN BukitBarisan Selatan, perambahan dengan kopi mendominasi persoalanmasyarakat dengan pengelola taman nasional; Di TN Rawa AopaWatumohai, coklat adalah komoditi unggulan yang ditanam olehperambah.

Kawasan-kawasan konservasi dengan nuansa adat yang masih kental,pekerjaan rumahnya tidak kalah penting untuk ditangani secara sistematisdengan payung hukum dan kebijakan yang komprehensif berdasarkankondisi sosial, budaya, sejarah, dan dinamika politik lokal yang sangatberagam. TN Kayan Mentarang, di Provinsi Kalimantan Utara, sejarahnyaadalah milik 11 suku Daya’ Besar. Saat ini pengelolaannya diarahkansecara kolaboratif dan dibentuk Dewan Penentu Kebijakan, yangberanggotakan para pihak, khususnya perwakilan dari suku-suku pemilikhak ulayat tersebut. WWF mendampingi untuk beberapa tahun dalamproses kelola bersama tersebut. TN Lorentz, seluas hampir 2 juta hektar,juga bernuansa Adat yang sangat kuat dan sebagian masyarakatnyasangat bergantung pada sumberdaya yang ada di dalam taman nasionaltersebut.

2.2. Permasalahan di TN Gunung Leuser

Perambahan, ilegal logging, perburuan satwa, klaim lahan, dan berbagaibencana, seperti banjir dan longsor, merupakan permasalahan yangdihadapi hampir setiap waktu dalam pengelolaan TN Gunung Leuserpada rentang waktu 20 tahun terakhir ini.

Purwaningsih, dalam Yapekka, (2010), menghitung kerusakan di TNGLsecara berkala. Pada tahun 1989, luas wilayah TNGL yang terdegradasimencapai 5.742 hektar. Di tahun 2003, luas lahan yang terdeforestasitelah mencapai 18.742 hektar. Diduga dibukanya pemukiman bagipengungsi asal Aceh di wilayah Besitang dan sekitarnya awal 2000-anmenjadi kontributor terbesar degradasi hutan TNGL. Meskipun tahun

2009 luasan yang terdegradasi tampak menyusut menjadi 18.239 hektar,namun secara menyeluruh diperkirakan penambahan luas arealterdeforestasi di TNGL selama 20 tahun terakhir adalah 13 ribu hektarlebih.

Namun demikian, berbagai persoalan yang terjadi tersebut dapatdikategorikan sebagai gejala atau symptom. Akar masalahnya tentulebih rumit kait mengkaitnya, dari apa yang muncul dan terekam. Secaraumum, faktor-faktor penyebabnya dapat dikelompokkan ke dalam dua,yaitu faktor eksternal, yaitu faktor-faktor di luar organisasi pengelola,seperti pertambahan penduduk yang berakibat pada meningkatnyakebutuhan lahan garapan, serta kemiskinan dan meningkatnya kebutuhandasar (makanan, bahan perumahan, kayu bakar). Selain itu meningkatnyakebutuhan kayu di tingkat regional, serta dipicu semakin habisnyasumber kayu dari hutan produksi; lemahnya penegakan hukum,meningkatnya permintaan akan sawit, telah merubah sebagian besartata guna lahan di seluruh Pulau Sumatera, termasuk meningkatnyaperambahan ke dalam TNGL. Sedangkan yang dimaksudkan denganfaktor internal adalah faktor yang disebabkan dari dalam organisasipengelola taman nasional itu sendiri. Terbatasnya jumlah staf (1 jutahektar diurus hanya oleh 200 staf); masih lemahnya kapasitas kerja,sistem kerja, dan motivasi kerja di tingkat lapangan. Hal ini masihdiperburuk dengan terbatasnya sarana dan prasarana, sehingga yangterjadi adalah kurangnya staf yang menjaga di lapangan. Patroli hanyaterbatas sesekali dilakukan. Akumulasi dari berbagai faktor penyebabtersebut, masih diperburuk dengan kondisi keamanan di Aceh Tenggara,Aceh Selatan, dan Gayo (pada periode 2005-2007) yang masih belumkondusif, serta adanya bencana Tsunami (26 Desember 2005),menyebabkan sebagian besar staf takut berada di lapangan. Maka dapatdikatakan bahwa pengelolaan TNGL di lapangan pada periode 2005-2007 tersebut mengalami kelumpuhan. Namun, penulis mendengar dansebagian meyakini bahwa sebelum periode tersebut, pola pengelolaanTNGL juga belum menemukan bentuknya yang dapat dikatakan efektif.Ada periode pengelolaan yang dapat dijadikan contoh, khususnya diBesitang, yaitu di masa Pak Napitupulu (sering kali dipanggil Pak Napit).Figur yang tegas, pekerja lapangan yang handal dan disegani seluruhstaf dan masyarakat Besitang. Masa penegakan hukum yang cukupmengenai sasaran adalah di akhir 2005, untuk kasus penebangan haramdi Kabupaten Aceh Tenggara, sehingga seluruh kilang kayu di dalam

Leuser : Konservasi dan Ancaman

Page 14: Wiratno, lahir di Tulungagung 28 Maret 1962. Menempuh Menulis …ksdae.menlhk.go.id/assets/publikasi/Dari Penebang Hutan Liar ke... · BB TN Gunung Leuser), Saiful Bahri, Nurdin Razak

Bagian satu

1514

TNGL wilayah Aceh Tenggara ditutup. Namun demikian, proses hukumterhadap pelaku tidak sesuai dengan harapan. Dukungan WALHI danjaringannya, menjadi faktor penentu operasi khusus ini (Wiratno, 2013).Penyelesaian perambahan di Besitang, Kabupaten Langkat jugamenemukan momentumnya pada 2006, dengan dukungan penuh dankonsisten dari Polres Langkat dan Polda Sumatera Utara. Ratusan hektarkebun sawit di eks PT Putri Hijau dan di Sekoci berhasil dihancur-musnahkan (Wiratno, 2013).

2.3. Tangkahan sebelum 1999

Di Tangkahan, persoalan hutan semula adalah penebangan haram yangdilakukan sejak masa Belanda, di awal 1920an. Bukan dilakukan olehmasyarakat Karo, yang memiliki pranata budaya dan nilai-nilai konservasitinggi, tetapi oleh kongsi Belanda dengan pedagang Tiongha bernamaKon Sen Song. Kemudian berkembang kongsi Song-Asiong-Inggip sampaiperiode 1950an. Masyarakat Karo mulai berani melakukan kegiatan inisetelah kemerdekaan dan dimana kekuasaan Belanda berakhir. Di era1990an, muncul toke baru Kho An, yang membuka kilang kayu di TanjungBeringin. Tujuannya adalah memutus rantai perdagangan kayu olehtiga toke kayu, yaitu A Gong, A Lai, dan A Lai muda di Tanjung Pura. KhoAn digantikan oleh A Beng yang berkongsi dengan aparat keamanan,preman, dan paranormal. Fase terakhir adalah berkembangnya agro-industri skala besar (prediksi penulis perubahan ini terjadi mulai 1990an,yaitu era ekspansi perkebunan sawit skala besar), yang mendorongmasyarakat mengeksploitasi hutan untuk mendapatkan lahan, sementarapengusaha yang berada di belakang pembalakan kayu terus bertahandan melakukan regenerasi (Saiful Bahri dalam Wiratno, 2013 halaman182-197).

Pada tahun 1999, Pak Adi Susmianto, saat itu Kepala TN Gunung Leuser,menerima aksi demo yang digerakkan antara lain oleh maraknya ilegallogging di Leuser wilayah Sumatera Utara, yang salah satu penggerakdemo tersebut adalah Saiful Bahri. Demo ini malahan berakhir dengandialog dan ditawarkannya ide tentang kelola bersama masyarakat diTangkahan, dan mulai membuahkan hasilnya di 2004 sampai dengansaat ini.

Ketika tahun 2004, Tangkahan sudah mulai menunjukkan hasilnyadari kegiatan ekowisata berbasis masyarakat, ribuan kilometerjaraknya ke arah timur, yaitu di Ruteng, Kabupaten Manggaraitelah terjadi tragedi yang membawa korban jiwa atas namakonservasi. Rabu Berdarah di Manggarai, begitulah judul di mediamassa saat itu. Sebanyak 6 orang petani kopi yang berkebun diTWA Ruteng, melakukan aksi demo ke Polres Manggarai di Ruteng,menuntut pembebasan beberapa kerabat petani yang ditahan.Pembabatan kopi tahun 2003 dalam skema Operasi Wanalaga itu,berbuntut penangkapan dan berlanjut jatuhnya korban, dimana 6orang petani tertembak di depan Polres Manggarai, dan puluhancacat seumur hidup. Kasus ini merembet ke urusan HAM dandibukukan dengan judul : “Gugat! Darah Petani Kopi Manggarai(Eman J.Embu & R.Mirsel - Editor, 2004).

Penulis bertugas Februari di BBKSDA NTT dan bertanggungjawabpula mengelola TWA Ruteng. Sejak 10 Maret 2004 sampai penulisbertugas sebagai Kepala Balai Besar KSDA NTT, tidak pernah adalagi komunikasi dengan masyarakat khususnya keluarga korbanpenembakan tersebut. Hampir 9,5 tahun putus hubungan. Atasdasar kondisi inilah, maka kami memulai inisiatif “Kelola TigaPilar”. TWA Ruteng akan dikelola bersama Gereja, MasyarakatHukum Adat, dan Pemerintah Setempat. Rabu Berdarah tidak perluterjadi apabila pengelola TWA Ruteng atau pengelola kawasankonservasi di Indonesia, menyadari bahwa masyarakat adalahbagian dari solusi pengelolaan. Masyarakat bukan hanya obyek.Ia adalah subyek (baca : pelaku) dalam pengelolaan kawasankonservasi. Sejauh mungkin hindarkan korban jiwa di masyarakatsetempat dalam kelola kawasan konservasi. Ini sebaiknya menjadicita-cita dan visi kita bersama.

Leuser : Konservasi dan Ancaman

Sungai di hutan Tangkahan sumber foto : YOSL-OICSungai di hutan Tangkahan sumber foto : YOSL-OIC

Page 15: Wiratno, lahir di Tulungagung 28 Maret 1962. Menempuh Menulis …ksdae.menlhk.go.id/assets/publikasi/Dari Penebang Hutan Liar ke... · BB TN Gunung Leuser), Saiful Bahri, Nurdin Razak

16 17

Bagian satu

Dalam perspektif itulah, maka pendekatan yang dibangun diTangkahan adalah suatu upaya yang sangat positif, konstruktif,dan sangat diharapkan terjadi di berbagai kawasan konservasi diseluruh tanah air. Kawasan konservasi bukan “kertas kosong”. Iatidak pernah menjadi “kertas kosong”, kawasan tanpa penduduk,tanpa klaim, tanpa konflik kepentingan. Solusi harus dibangunmulai dari tingkat kebijakan. Kebijakan dibangun berdasarkanpengalaman dan praktik-praktik dari lapangan. Maka, dokumentasihasil lapangan menjadi bagian yang tidak terpisahkan, dalamperumusan kebijakan nasional yang “doable”, realistis, dan terutamaaspiratif.

Perjalanan wisata dengan gajahdi hutan Tangkahan

3. EKOWISATA DI LEUSER

Kawasan TN Gunung Leuser yang membentang di wilayah 10 kabupatendan dua provinsi, tentu memiliki potensi wisata alam yang sangat luarbiasa dan beragam. Bahkan juga didukung dengan potensi budayanyayang sangat khas, perpaduan antara beberapa budaya, seperti Karo,Gayo, dan Aceh. Beberapa lokasi yang sudah sangat terkenal di masalalu dan hingga saat ini adalah wisata Arung Jeram di Sungai Alas danGurah (Kabupaten Aceh Tenggara); pendakian puncak Leuser melaluiKedah, di Kabupaten Gayo.

Bukit Lawang, dengan icon orang utan sudah sangat terkenal sejak 30tahun yang lalu. Kawasan ini sempat menjadi kawasan yang tidakterkontrol serta berubah sebagai pariwisata masal (mass tourism) yangdikunjungi lebih dari 21.000 wisatawan setiap tahunnya dan akhirnyahancur akibat banjir bandang tahun 2003 dengan 200 korban jiwa.Wisata alam di wilayah Aceh Tenggara sempat mati suri akibat kondisikeamanan yang tidak memadai sebagai akibat konflik GAM-militer saatitu. Bahkan pasca perjanjian damai pada 2006 yang ditandatangi diHelsinki, kondisi keamanan di wilayah Aceh belum menjamin mampumenghadirkan wisatawan manca negara.

Sementara itu potensi obyek dan daya tarik wisatanya sangat beragamdan menjanjikan untuk dibangun sebagai paket-paket wisata alam baru.Rafflesia spp., misalnya yang ditemukan di Bukit Lawang dan Ketambe,serta di beberapa lokasi lainnya, bisa dikemas untuk paket baru yangtidak kalah menariknya disamping orang utan.

Tangkahan menjadi urutan terbaru dari obyek dan daya tarik wisataalam di wilayah Sumatera Utara, atau di Kabupaten Langkat padakhususnya. Walaupun sudah diinisiasi sejak tahun 2000, namunTangkahan mulai menunjukkan potensinya yang handal setelah dibangunsecara keroyokan dan terpadu, pada tahun 2002 hingga saat ini. Balai(Besar) TN Gunung Leuser, Indonesian Ecotourism Network (INDECON),Fauna Flora International, Conservation International, serta UNESCO,pada periode 2000-2006.

Namun demikian, Tangkahan dibangun bukan semata-mata ditujukanuntuk wisata alam, tetapi ada sejarah yang lebih rumit dari sekedar

sumber foto : www.sumutpos.co

Perjalanan wisata dengan gajahdi hutan Tangkahan sumber foto : www.sumutpos.co

Leuser : Konservasi dan Ancaman

Page 16: Wiratno, lahir di Tulungagung 28 Maret 1962. Menempuh Menulis …ksdae.menlhk.go.id/assets/publikasi/Dari Penebang Hutan Liar ke... · BB TN Gunung Leuser), Saiful Bahri, Nurdin Razak

18 19

Bagian satu

mendatangkan wisatawan lokal maupun mancanegara ke wilayah yangmasih sangat asri dan indah ini. Sebagian dari sejarah itulah yang akandihadirkan dan diuraikan dalam buku ini. Termasuk di dalamnya, pola-pola pengelolaan wisata alam yang berbasis masyarakat (community-based ecotourism), adalah pendekatan yang memiliki basis filosofis danideologi yang lebih subtansial dan mendalam. Bagaimana hubungan-hubungan antara pemerintah sebagai pengelola taman nasional di satusisi dan masyarakat lokal yang memiliki sumberdaya alam serta aksesyang sangat terbatas, dapat duduk bersama dan membangunkesepahaman tentang konservasi di satu sisi dan nilai-nilai ekonomi(lokal) untuk kesejahteraan masyarakat, di sisi lainnya. Cerita dandialektika yang menarik itu secara (tidak) sengaja dibangun di Tangkahan,sejak tahun 1999, namun berakar dari kesejarahan konflik-konflik yangdapat dirunut jauh ke tahun 1920an.

Apakah ada solusi? Pertanyaan inilah yang dicoba untuk dijawab, melaluikajian kritis terhadap Tangkahan, yang disandingkan dengan tetangganyayang menghadapi persoalan pelik, di Besitang dan Restorasi di SeiSerdang. Juga akan dilihat dari perspektif nasional, dimana terdapatpembelajaran di CA Simpang Tilu, dimana masyarakat di tingkat desabersatu padu membantu pemerintah melindungi cagar alam dengan isubersama soal air. Gerakan di Tangkahan juga akan disandingkan denganupaya-upaya di tingkat global tentang peran masyarakat dalam kelolakawasan lindung. Durban Accord yang dihasilkan dalam Kongres TamanNasional se Dunia di Durban, Afrika Selatan pada tahun 2004, juga akandijadikan pertimbangan, untuk “membaca” dan memahami apa yangsebenarnya terjadi di Tangkahan.

3.1. Implikasi ke Depan

Uraian tentang nilai Leuser sehingga mendapatkan pengakuan secaraglobal menunjukkan posisi Leuser sebagai sumberdaya “milik” komunitasglobal. Potensinya yang besar masih tersembunyi dan belum tergali.Pengakuan global sebagai cagar biosfer dan warisan dunia semestinyamenjadi faktor pendorong utama bagi pemerintah Indonesia, untukmeningkatkan upaya kelola di tingkat tapak serta perlindungan kebijakanlintas sektor di tingkat nasional. Kasus perambahan sawit sebaiknyadiselesaikan di tingkat nasional secara lintas sektor. Seiring dengan halitu, upaya merangkul masyarakat lokal dalam untuk mendapatkan

manfaat nyata bagi kehidupan ratusan masyarakat dusun, desa, gampong,yang sebagian besar kehidupannya masih bergantung pada sumberdayaLeuser. Termasuk jasa lingkungan khususnya sumberdaya air untukpertanian, kebun, ladang, dan air untuk konsumsi, perlindungan bencana(tanah longsor, banjir bandang), sumber bahan pangan dan perumahan,penjaga keseimbangan siklus air, kesuburan tanah.

Di antara pola interaksi desa atau masyarakat dengan Leuser, yang saatini bisa dijadikan contoh adalah simpul di Tangkahan, simpul restorasidi Sei Serdang, simpul Bukit Lawang. Kesemuanya adalah wilayahpedesaan yang berbatasan dengan Leuser di wilayah Provinsi SumateraUtara. Sebaiknya segera dapat diidentifikasi simpul-simpul interaksi diwilayah Aceh, dimana ratusan desa mengepung Leuser secara langsung,seperti di Lembah Alas, Kabupaten Aceh Tenggara dan Kabupaten GayoLues.

Hutan hujan Taman Nasional Gunung Leusersumber foto : YOSL-OIC

Leuser : Konservasi dan Ancaman

Page 17: Wiratno, lahir di Tulungagung 28 Maret 1962. Menempuh Menulis …ksdae.menlhk.go.id/assets/publikasi/Dari Penebang Hutan Liar ke... · BB TN Gunung Leuser), Saiful Bahri, Nurdin Razak

20 21

Bagian satu

Sejak 2010 hingga 2012, telah dilakukan lebih dari 30 kali pelatihanRBM untuk seluruh taman nasional dan beberapa Balai KSDA. Telahdibangun jaringan instruktur lintas UPT Taman Nasional, untukmendorong proses percepatan pembelajaran dan membangun semangatkembali ke lapangan, menjaga hutan di lapangan, dan bukan hanyasekedar patroli rutin. Leuser sebagai Cagar Biosfer dan Warisan Dunia,dengan segala manfaatnya yang sangat besar, sebagaimana yang telahdiuraikan di atas, harus dikelola di tingkat lapangan. Harus dikelolasecara kolaborasi dan kerjasama para pihak. Apalagi pada tahun 2011,dalam Sidang Komite Warisan Dunia ke 35, tanggal 19-29 Juni 2011 diParis, TRHS (TN Gunung Leuser, TN Kerinci Seblat, dan TN Bukit BarisanSelatan) telah masuk ke dalam daftar Endangered World Heritage,Warisan Dunia yang terancam punah.

Maka, pelaksanaan RBM di Leuser merupakan jawaban konkrit terhadaptanggungjawab kita dalam mempertahankan nilai-nilai strategis Leuseruntuk masyarakat luas, dan menjawab status Leuser sebagai endangeredWorld Heritage. Melalui RBM ini pula, dapat didorong meningkatnyaketerlibatan para pihak terutama Pemerintah Daerah, Lembaga SwadayaMasyarakat, dan kelompok-kelompok masyarakat setempat. Merekasebaiknya turut serta secara aktif dalam pengamanan dan pemanfaatansecara lestari, penyelesaian persoalan perambahan dan illegal logging,serta perburuan satwa-satwa dilindungi, secara terpadu danberkelanjutan.

Pengakuan global terhadap Leuser dan di banyak kawasan taman nasionallainnya di seluruh tanah air, semestinya menjadi faktor pemicu danunsur pengungkit bagi manajemen untuk meningkatkan kemampuanpengelolaannya sampai ke tingkat tapak. Mengambil langkah lanjutandari berbagai inisitaif, seperti di Tangkahan, di Restorasi Sei Serdangyang telah menunjukkan indikasi meningkatnya kesadaran masyarakat,guna semakin terjaga dan membaiknya kondisi hutan Leuser di keduawilayah tersebut. Di tingkat nasional, Ditjen PHKA, KementerianKehutanan, mendukung dengan meningkatkan kapasitas sumberdayamanusia pengelola Leuser, peningkatan kapasitas leadership di seluruhsimpul organisasi, dukungan pendanaan yang memadai, sarana prasaranayang cukup, dan melakukan pemantauan secara lebih intensif terhadapperkembangan Leuser. Pada tataran internasional, pengakuan globalperlu didorong terus untuk mewujudkan dukungan internasional terhadapLeuser yang banyak menghadapi masalah-masalah besar saat ini danke depan. Pada tahun 2006, telah di inisiasi suatu proposal bersamadengan UNESCO, dan akhirnya pemerintah Spanyol melalui UNESCOJakarta Office memberikan dukungan selama 3 tahun, dan nampaknyaberlanjut sampai dengan saat ini; demikian pula dengan World HeritageCenter di Paris, menggelontorkan dana ke Leuser. Pendanaan ini khususuntuk merespon kerusakan Leuser dan mendukung Balai KSDA Aceh,pasca bencana Tsunami.

Tantangan bagi seluruh pengelola kawasan-kawasan konservasi termasuktaman nasional adalah bagaimana mendorong peningkatan intensitasdan efektifitas pengelolaan di tingkat tapak. Rencana Strategis DitjenPHKA (2010-2014), telah mengamanatkan bahwa 50 taman nasionalharus dikelola berbasis resor. Tugas ini diterjemahkan ke dalam berbagaipelatihan yang dikoordinasikan di Direktorat Konservasi Kawasan danBina Hutan Lindung, dengan paket pelatihan Resort-Based Managementatau RBM. Dengan semakin seringnya staf berada di lapangan, ataubahkan tinggal di lapangan, maka berbagai persoalan dapat diketahuidan diidentifikasi dengan lebih cepat, dan selanjutnya untuk dapatdiselesaikan atau dicarikan jalan keluarnya. Di samping itu, pengelolataman nasional semakin mengenal siapa saja tetangganya, dimana iasebaiknya berkoordinasi dan membangun hubungan yang lebih intens,dan terus menerus tanpa mengenal lelah. Membangun sistembertetangga yang saling menjaga, menghormati, dan salingmenguntungkan.

Sungai di hutan Tangkahan - TNGL sumber foto : YOSL-OICSungai di hutan Tangkahan - TNGL sumber foto : YOSL-OIC

Leuser : Konservasi dan Ancaman

Page 18: Wiratno, lahir di Tulungagung 28 Maret 1962. Menempuh Menulis …ksdae.menlhk.go.id/assets/publikasi/Dari Penebang Hutan Liar ke... · BB TN Gunung Leuser), Saiful Bahri, Nurdin Razak

23

Bagian dua

2Ekowisata Tangkahan

Solusi Permasalahan Leuser

2Ekowisata Tangkahan

Solusi Permasalahan Leuser

1.SEJARAH TANGKAHAN (DESKRIPSI WILAYAH TANGKAHAN,LOKASI, PETA, BATAS WILAYAH, LUAS WILAYAH DAN SEBAGAINYA)

Tanpa terasa sudah sepuluh tahun kawasan Tangkahan menjadiprimadona ekowisata di Sumatera Utara, sejak dilakukan peluncuranproduk ekowisata secara resmi di bulan Februari 2004 yang ditandaidengan kunjungan Direktur Tenderal Pengembangan Destinasi Pariwisata,Kementerian Pariwisata dan Kebudayaan, Ibu Myra P. Gunawan MSc.Ketidakterasaan ini terjadi karena secara historis Tangkahan sebelumnyadikenal sebagai surga para toke kayu yang membalak kekayaan hutanTangkahan secara sistematis, dengan mengandalkan arogansi kekuasaandan kekerasan. Realita arogansi kekuasaan ini terjadi karena kawasanTangkahan dialiri dua anak sungai yang dapat berfungsi sebagai jalurperjalanan keluarnya hasil kayu jarahan hutan Leuser yang kaya.Kehidupan masyarakat setempat terbungkam oleh situasi dan kondisiyang sengaja dibangun dengan alasan untuk mempertahankan danmemperjuangkan kehidupan yang lebih baik. Perambahan danpenjarahan kekayaan hutan Tangkahan sebagai bagian dari harta karunpegunungan Lauser yang fenomenal tersebut, dapat dikatakanberlangsung dengan sangat mulus dalam kurun waktu yang cukuppanjang. Sebagai akibat dari keterlibatan banyak pihak yang engganmenaati aturan dan memikirkan dampak negatif yang pasti datangmenerjang masyarakat nantinya.

Dalam situasi hingar-bingar penjarahan hasil hutan Tangkahan yangdipicu oleh tingginya permintaan pasar, mulailah terjadi beberapapersoalan sosial di tengah masyarakat manakala para penebang daridesa desa sekitar Tangkahan masuk untuk mengadu nasib berebut kayudi lahan yang sama. Tak pelak kondisi ini menimbulkan persaingan yangtinggi diantara kelompok masyarakat penebang. Pada saat itu sebenarnyaTangkahan secara spontan telah dikunjungi wisatawan lokal untukberlibur di pantai (istilah yang digunakan oleh masyarakat di Tangkahanuntuk sisi sungai berpasir dan berbatu yang digunakan untuk aktivitas).Saat itu tanpa adanya mekanisme pengelolaan dan dikuasai olehbeberapa kelompok masyarakat saja. Kondisi Tangkahan yang kurangkondusif karena meningkatnya praktek mempertaruhkan hasilpembalakan kayu Leuser di meja judi, menyebabkan kunjungan

sumber foto : YOSL-OIC

Page 19: Wiratno, lahir di Tulungagung 28 Maret 1962. Menempuh Menulis …ksdae.menlhk.go.id/assets/publikasi/Dari Penebang Hutan Liar ke... · BB TN Gunung Leuser), Saiful Bahri, Nurdin Razak

24 25

Bagian dua

Air terjun di sungai Tangkahan

wisatawan lokal berkurang dan terhenti sama sekali. Tangkahanpunsemakin tak nyaman, persaingan antar kelompok meningkat, hubunganharmonis keluargapun terganggu. Kondisi ini mulai perlahan menyurutsaat adanya penangkapan salah satu tokoh yang sekaligus menjadipelaku penebangan liar Bapak Ukur Depari yang dikenal dengan sebutanpak Okor. Pada saat yang bersamaan sekelompok anak muda – anakanak bangsa - yang masih memiliki identitas dan idealisme, menerobosperlahan memasuki relung desa, merasuk sukma warga, membasuh hatidan pikiran setiap insan yang mendiami kawasan Tangkahan khususnya,dan Kecamatan Batang Serangan umumnya.

Kehadiran “anak-anak muda” yang penuh idealisme ini tak urungmelahirkan kecurigaan dan rasa waswas yang mengkhawatirkan bagipenduduk dan para toke kayu. Kehadiran “anak-anak muda” ini terasamengusik kebiasaan, mengancam “masa depan” pemanfaatan hasilrambahan yang selama ini terasa mampu membangun eksistensikehidupan mereka. Akibatnya, berbagai pertentangan dan kontroversipun mulai mencuat di antara sesama penduduk. Pro dan kontra punmemecah belah “kebersamaan” kelompok yang selama ini dipandangmampu memuluskan sinergitas beberapa penduduk setempat denganpara toke kayu yang secara terampil terus merambah kayu hutan mereka.Betapa tidak kalau selama bertahun-tahun masyarakat merasa

sangat terbantu kehidupan perekonomiannya dengan hasil dariperambahan kayu hutan, maka dengan kehadiran “anak-anak muda”yang penuh dedikasi ini sebagian masyarakat mulai merasa goyah, dancemas. Angin, dan gemuruh air terjun, ataupun arus sungai yang selamaini dimanfaatkan sebagai alunan irama pengobat lelah mengiringi aktivitasmereka membabat tiap jengkal pohon di dalam hutan, kini berubahbagai badai yang setiap saat mengancam kebiasaan buruk tersebut.Secara perlahan, masyarakat mulai memindahkan mimpinya darimemberangus hutan kepada mimpi indah membangun halamanrumahnya. Aliran sungai tidak lagi diperuntukkan menghanyutkan ribuanbatang kayu untuk memperkaya para cukong dari kota. Rimba, tidaklagi menjadi hal yang disiasati hanya untuk mendapatkan kepuasansesaat. Masyarakat mulai bergerak, mulai mempersiapkan masa depandi bawah biru langit yang cerah, menghirup udara yang segar,membangun generasi baru anak-cucu yang mencintai tanahnya,mencintai air sungainya, menjaga pohon dan hewannya, mendiamibuminya yang damai. Sudah sejak tiga belas tahun yang lalu, Tangkahanberbenah diri menjadi kawasan baru wisata lingkungan. Tiga tahunbelajar membangun kawasan baru dengan kehidupan baru, nafas barudan segar dengan paru-paru yang bersih mewujudkan Tangkahankawasan tadah kayu jarahan hutan sebagi kawasan ekowisata yangeksotis, sebelum meluncurkan produk wisata di tahun 2004.

Kini siapa yang tak kenal wajah Tangkahan. Sebuah destinasi wisataalam yang dikemas sebagai bentuk ekowisata yang mendukung konservasiLeuser di Sumatera Utara. Lebih dari 40,000 wisata lokal mengunjungiTangkahan setiap tahunnya dan secara perlahan angka wisatawan mancanegara sudah melebihi 6000 orang setiap tahunnya. Pemerintah daerahdan pengusaha sudah mulai melirik investasi jangka panjang dan kalautidak dikendalikan secara bijak, investasi ini dapat menjadi bencanabaru. Para pihak di Tangkahan kini sudah memikirkan dampakpengembangan ekowisata terhadap kawasan lindung, tatanan sosial,dan perekonomian. Masyarakat sepakat bahwa ekowisata Tangkahanharus berkelanjutan dan ini dituangkan dalam bentuk Peraturan DesaNo. 04 tahun 2014 yang mengatur tentang pengembangan infrastrukturdi kawasan ekowisata dan pengelolaan sampah. Kini peraturan desa itusudah berjalan dan akan mengawal ekowisata Tangkahan berjalan secaraberkelanjutan.sumber foto : YOSL-OIC

Ekowisata Tangkahan Solusi Permasalahan Leuser

Page 20: Wiratno, lahir di Tulungagung 28 Maret 1962. Menempuh Menulis …ksdae.menlhk.go.id/assets/publikasi/Dari Penebang Hutan Liar ke... · BB TN Gunung Leuser), Saiful Bahri, Nurdin Razak

Hutan Tangkahan

26 27

Bagian dua

2. PERAN TANGKAHAN DALAM PERLINDUNGAN LEUSER

TNGL memiliki panjang batas kawasannya lebih dari 1022 Km, dandikepung oleh dua provinsi, Aceh dan Sumatera Utara yang terdiri daridelapan kabupaten (Gayo Luwes, Aceh Barat Daya, Aceh Selatan, AcehTenggara, Aceh Timur, Aceh Tamiang, Karo, dan Langkat). Terdiri dari 40kecamatan dan 111 desa. Berpenduduk lebih dari 4 juta jiwa.

Kawasan konservasi seluas itu, dengan predikat sebagai Cagar Biosferdan Warisan Dunia, hanya dikelola (baca: dilindungi) oleh 200 staf BalaiBesar Taman Nasional Gunung Leuser (BBTNGL). Tentu suatu hal yangtidak mungkin dilakukan secara efektif. Selama jangka waktu pengelolaan20 tahun terakhir, membuktikan semakin meningkat dan semakinkompleksnya persoalan yang muncul di lapangan.

Maka, pola-pola kerjasama saling menguntungkan antara masyarakat,terutama yang tinggal di desa-desa sepanjang batas kawasan denganpihak BBTNGL, yang memiliki petugas-petugasnya di setiap resort wilayah,adalah suatu strategi pengelolaan taman nasional yang sebaiknya (harus)dilakukan. Namun demikian, untuk dapat melakukan kerjasama denganmasyarakat ini diperlukan upaya kerja yang serius, konsisten, dansebaiknya staf berada di lapangan secara terus menerus. Diperlukandukungan kepemimpinan atau leadership yang kuat daRI seluruh lini,mulai dari Kepala Balai Besar, Kepala Bidang Teknis, Kepala BidangKonservasi Wilayah, Kepala Seksi Konservasi Wilayah, sampai KepalaResort di tingkat paling bawah, di lapangan.

Apabila masyarakat mendapatkan manfaat dari Taman Nasional, terutamamanfaat langsung yang dirasakan secara nyata untuk membantukehidupan ekonominya sehari-hari, maka masyarakat akan secaraotomatis membantu mengamankan kawasan hutan tersebut. Hal iniakan diuraikan secara detil tentang Tangkahan, dimana ekowisata yangdikelola oleh masyarakat mampu menggerakkan ekonomi lokal danmemberikan alternatif pendapatan selain yang berasal dari pekaranganatau kebun yang luasnya semakin terbatas, sekaligus mampu menjagakawasan Leuser dari kegiatan-kegiatan merusak.

Ekowisata Tangkahan adalah potret dari hasil kerjasama banyak pihak,utamanya yang mendukung upaya proteksi atau perlindungan kawasantaman nasional khususnya kawasan hutan di wilayah sekitar Desa SeiSerdang dan Namo Sialang, Kecamatan Batang Serangan, KabupatenLangkat. Dampak nyatanya memang terbatas di wilayah hutan di sekitarkedua desa tersebut saja, namun demikian, telah terjadi multiplier effectdalam bentuk peningkatan kesadaran para pihak khususnya yangbekerjasama. Tangkahan dikenal bukan saja sebagai kawasan wisataalam, tetapi juga menarik minat peneliti, mahasiswa, LSM, maupunkunjungan pejabat Kementerian Kehutanan, cq Ditjen PHKA, untuk“menikmati” Tangkahan. Ini telah terjadi sejak tahun 2004 sampai dengansaat ini.

Pola penjagaan kawasan taman nasional yang seperti ini, mulai diadopsidengan inisiatif yang disebut sebagai “restorasi ekosistem” di Sei Serdang,masuk dalam wilayah Resort Cinta Raja. Walaupun restorasi dilakukanhanya pada kawasan eks perambahan sawit seluas 27 hektar yangdidukung oleh kerjasama dengan UNESCO tetapi telah memberikanmultiplier effect nya sampai ratusan hektar kawasan taman nasional disekitarnya. Hal ini menunjukkan suatu bukti bahwa keberadaan staf dilapangan (ground presence) adalah salah satu kunci yang sangatmenentukan. Kepala Resort Cinta Raja yang sekaligus sebagai staf yangbertanggungjawab menjaga areal restorasi tersebut, Sdr. Keleng Ukur,mendapatkan Penghargaan dari Menteri Kehutanan pada tahun 2011.Kisah keberhasilan restorasi ini telah dituliskan oleh Suer Suryadi, AhtuTrihangga, dan Keleng Ukur dalam Wiratno (2013: halaman 97-109).Dinyatakan bahawa restorasI bukan hanya sebuah program penanamandan menjaga, tetapi juga sekaligus mengamankan kawasan tamannasional.

sumber foto : YOSL-OICHutan Tangkahan sumber foto : YOSL-OIC

Ekowisata Tangkahan Solusi Permasalahan Leuser

Page 21: Wiratno, lahir di Tulungagung 28 Maret 1962. Menempuh Menulis …ksdae.menlhk.go.id/assets/publikasi/Dari Penebang Hutan Liar ke... · BB TN Gunung Leuser), Saiful Bahri, Nurdin Razak

28 29

Bagian dua

Bulatan merah menunjukkan lokasi konflik. Makin besar bulatan, makin besar intensitas dantekanan akibat konflik / permasalahan tersebut. Tanda panah menunjukkan arah tekanan kelokasi lain di sekitarnya.

Tahun 2013, OIC mulai masuk dengan program restorasi denganpendekatan yang sama di dekat areal ini, juga dimulai dengan luasanyang kecil, sekitar 73 hektar, di areal yang sebenarnya belum amanbenar tetapi masih terdapat perambahan oleh masyarakat. Hal ini yangcukup menarik dan sekaligus menantang untuk dapat diselesaikan secarabersama, sambi l membangun kesadaran bersama-sama.

2.1. Tantangan Saat Ini

Berdasarkan kajian Ujang Wishnu Barata (komunikasi pribadi, Juli 2013),disampaikan bahwa Tangkahan saat ini dalam situasi yang terancam.Setidaknya ada dua titik lokasi yang berpotensi memberikan pengaruhnegatif bagi keberlanjutan praktik ekowisata di Tangkahan.

Tekanan yang luar biasa dari wilayah Sekoci dan Sei Lepan saat ini sudahmengarah ke Cinta Raja di sebelah Selatan (dan berdekatan denganTangkahan) serta ke Sei Betung di sebelah Utara (dan berdekatan denganperbatasan Aceh). Sementara dari arah Sei Glugur (yang juga berbatasandengan wilayah Bukit lawang) di Selatan Tangkahan, aktifitas illegallogging meskipun dalam skala kecil masih dijumpai. Kondisi tersebutsering dimanfaatkan oleh cukong lahan dan pemain kayu di sekitar SeiSerdang dan Namu Sialang untuk melempar isu iming-iming pembukaanlahan. Bahkan, keberhasilan restorasi di Cinta Raja belum cukup kuatuntuk menahan tekanan dari “Utara” (Sekoci – Sei Lepan dan sekitarnya).Hal inilah yang mendasari bahwa konsep integrasi wilayah Tangkahan-Cinta Raja melalui paket-paket wisata dan penelitian adalah sangatpenting untuk membentengi dan memberikan “perlawanan” terhadaptekanan dari “Utara” tersebut.

Sungai di tangkahan

Peta kawasan rawan konflik di Taman Nasional Gunung Leuser

sumber foto : YOSL-OIC

Ekowisata Tangkahan Solusi Permasalahan Leuser

Page 22: Wiratno, lahir di Tulungagung 28 Maret 1962. Menempuh Menulis …ksdae.menlhk.go.id/assets/publikasi/Dari Penebang Hutan Liar ke... · BB TN Gunung Leuser), Saiful Bahri, Nurdin Razak

Selain itu, permasalahan banyaknya pal batas yang hilang, rusak atauberpindah di wilayah Resort Tangkahan dan sekitarnya juga cukupberpotensi mengganggu keutuhan kawasan. Eksistensi kawasan terancamoleh para oportunis yang lapar lahan. Masyarakat sangat menunggumengenai kejelasan batas ini. Ketegasan mengenai permasalahan batasdan dukungan berupa investasi, pendampingan, dan implementasiprogram-program untuk peningkatan kegiatan wisata yang konsistenmenunjukkan keberpihakan yang nyata dari pemangku kawasan kepadamasyarakat. Hal inilah yang sangat ditunggu masyarakat Tangkahanmelalui konsep ekowisata mereka.

Tekanan lain adalah dari aktifitas wisata di Bukit Lawang.Ketidaknyamanan yang mulai dirasakan pengunjung di Bukit Lawangmeninggalkan cerita berantai bahwa di lokasi yang berdekatan, suasanayang jauh lebih aman dan nyaman bisa didapat. Fenomena ini harussegera diantisipasi oleh Tangkahan agar “eksodus” pengunjung dari BukitLawang ke Tangkahan yang masih membawa mental-perilaku masstourism, sebatas “penikmat alam” bukan “pencinta alam” tidakmemberikan dampak buruk bagi kawasan.

2.2. Solusi untuk Leuser

Tanpa dukungan seluruh jajaran di BBTNGL, dan para mitra, sertakomitmen pemerintah kabupaten, khususnya delapan kabupaten yangberbatasan dengan Leuser, maka upaya-upaya untuk melindungi TNGLakan semakin berat. Tangkahan, kemungkinan besar akan bertahansebagai “sosial buffer”, sebagaimana akan diuraikan dalam Bagian Tigadan seterusnya dalam buku ini. Namun, sebagaimana diuraikan olehUjang Wishnu Barata di atas, menunjukkan betapa Tangkahan juga terusmengalami tekanan dari berbagai pihak lain yang tidak mendapatkanmanfaat dari Tangkahan. Baik dari arah Selatan maupun Utara.Program-program kerjasama jangka panjang dengan masyarakat,nampaknya bukan hanya dapat dikembangkan dari potensi ekowisata,seperti di Tangkahan, tetapi juga banyak pilihan antara lain bagaimanamengembangkan hasil hutan bukan kayu dan jasa lingkungan lainnya.Misalnya, damar mata kucing di Hutan Adat Menggamat, Aceh Selatan,yang berbatasan dengan TNGL, dapat dikelola dan dipasarkan secaralestari.

30 31

Bagian dua

Maka, Tangkahan adalah satu noktah kecil yang dapat dijadikanpembelajaran penting bagi TNGL dan bahkan bagi para pengelola tamannasional atau kawasan konservasi lainnya, di seluruh Indonesia.Bagaimana, apabila pengelola taman nasional bersedia membangunhubungan yang baik, saling menguntungkan, dan saling menghargai,dengan masyarakat setempat, tidak mustahil pada waktunya, masyarakatmendukung pengamanan, perlindungan dan pemanfaatan yang lestariserta dapat dipertanggungjawabkan. Sejak dicetuskannya ide besar diTangkahan pada tahun 2000, kini telah 13 tahun dan selama periode itutentu banyak sekali tantangan dan berbagai persoalan muncul. Dinamikasosial ini tentu sebaiknya direspon secara proporsional oleh pihakpengelola taman nasional, dan bahkan bagi siapapun yang peduli akankelestarian hutan di satu sisi dan kesejahteraan masyarakat di sisi lainnya.Seperti dua sisi dari keping mata uang yang sama. Hutan lestari,masyarakat mandiri dan sejahtera.

Pepohonan di hutan Tangkahan sumber foto : YOSL-OIC

Ekowisata Tangkahan Solusi Permasalahan Leuser

Page 23: Wiratno, lahir di Tulungagung 28 Maret 1962. Menempuh Menulis …ksdae.menlhk.go.id/assets/publikasi/Dari Penebang Hutan Liar ke... · BB TN Gunung Leuser), Saiful Bahri, Nurdin Razak

Bagian Tiga

332

3(Eko)Wisata Tangkahan

3(Eko)Wisata Tangkahan

1. PENGELOLAAN EKOWISATA (DULU DAN SEKARANG)

1. 1. Ekowisata

Berdasarkan Ekowisata Indonesia (www.ekowisata.info), para ahlimemiliki definisi yang berbeda-beda seusai dengan persepktifnya masing-masing. Apa yang disebut dengan ekowisata atau sering juga ditulis ataudisebut dengan ekoturisme, wisata ekologis, ecotourism, eco-tourism,eco tourism, eco tour, eco-tour dan sebagainya. Definisi yang telahditerima luas adalah yang diberikan oleh The International EcotourismSociety (TIES) seperti diuraikan di bawah ini.

Rumusan 'ecotourism' sebenarnya sudah ada sejak 1987 yangdikemukakan oleh Hector Ceballos-Lascurain yaitu sbb:

"Nature or ecotourism can be defined as tourism that consist in travellingto relatively undisturbed or uncontaminated natural areas with thespecific objectives of studying, admiring, and enjoying the scenery andits wild plantas and animals, as well as any existing cultural manifestations(both past and present) found in the areas."

"Wisata alam atau pariwisata ekologis adalah perjalanan ketempat-tempat alami yang relatif masih belum terganggu atau terkontaminasi(tercemari) dengan tujuan untuk mempelajari, mengagumi danmenikmati pemandangan, tumbuh-tumbuhan dan satwa liar, sertabentuk-bentuk manifestasi budaya masyarakat yang ada, baik dari masalampau maupun masa kini."

Rumusan di atas hanyalah penggambaran tentang kegiatan wisata alambiasa. Rumusan ini kemudian disempurnakan oleh The InternationalEcotourism Society (TIES) pada awal tahun 1990 yaitu sebagai berikut:

"Ecotourism is responsible travel to natural areas which conserved theenvironment and improves the welfare of local people."

"Ekowisata adalah perjalanan yang bertanggung jawab ketempat-tempatyang alami dengan menjaga kelestarian lingkungan dan meningkatkankesejahteraan penduduk setempat”.

sumber foto : YOSL-OICsumber foto : YOSL-OIC

Page 24: Wiratno, lahir di Tulungagung 28 Maret 1962. Menempuh Menulis …ksdae.menlhk.go.id/assets/publikasi/Dari Penebang Hutan Liar ke... · BB TN Gunung Leuser), Saiful Bahri, Nurdin Razak

3534

Definisi ini sebenarnya hampir sama dengan yang diberikan oleh HectorCeballos-Lascurain yaitu sama-sama menggambarkan kegiatan wisatadi alam terbuka, hanya saja menurut TIES dalam kegiatan ekowisataterkandung unsur-unsur kepedulian, tanggung jawab dan komitmenterhadap kelestarian lingkungan dan kesejahteraan penduduk setempat.Ekowisata merupakan upaya untuk memaksimalkan manfaat dansekaligus melestarikan potensi sumber-sumber alam dan budaya untukdijadikan sebagai sumber pendapatan yang berkesinambungan. Dengankata lain ekowisata adalah kegiatan wisata alam plus plus. Definisi diatas telah telah diterima luas oleh para pelaku ekowisata.

Adanya unsur plus plus di atas yaitu kepedulian, tanggung jawab dankomitmen terhadap kelestarian lingkungan dan peningkatan kesejahtraanmasyarakat setempat ditimbulkan oleh :

1. Kekuatiran akan makin rusaknya lingkungan oleh pembangunanyang bersifat eksploatatif terhadap sumber daya alam.

2. Asumsi bahwa pariwisata membutuhkan lingkungan yang baik dansehat.

3. Kelestarian lingkungan tidak mungkin dijaga tanpa partisipasi aktifmasyarakat setempat.

4. Partisipasi masyarakat lokal akan timbul jika mereka dapatmemperoleh manfaat ekonomi ('economic benefit') dari lingkunganyang lestari.

5. Kehadiran wisatawan (khususnya ekowisatawan) ke tempat-tempatyang masih alami itu memberikan peluang bagi penduduk setempatuntuk mendapatkan penghasilan alternatif dengan menjadi pemanduwisata, porter, membuka homestay, pondok ekowisata (ecolodge),warung dan usaha-usaha lain yang berkaitan dengan ekowisata,sehingga dapat meningkatkan kesejahteraan mereka ataumeningkatkan kualitas hidup penduduk lokal, baik secara materiil,spirituil, kulturil maupun intelektual.

Kata Ecotourism sendiri kependekan dari Ecological Tourism yang jikadi terjemahkan ke dalam bahasa Indonesia menjadi Pariwisata Ekologis.Namun pelaku pariwisata dan konservasi sejak lokakarya nasional ditahun 1996, mempopulerkan kata Ekowisata untuk terjemahanecotourism, dengan tujuan untuk memudahkan pengertian banyakpihak, sehingga konsep ekowisata menjadi lebih cepat diterimamasyarakat luas. Sejak saat itu istilah ekowisata menjadi lebih sering

digunakan baik oleh pelaku, akademisi maupun pemerintah. Sedangkanpengertian Ekowisata Berbasis Komunitas (community-based ecotourism)merupakan usaha ekowisata yang dimiliki, dikelola dan diawasi olehmasyarakat setempat. Masyarakat berperan aktif dalam kegiatanpengembangan ekowisata dari mulai perencanaan, implementasi,monitoring dan evaluasi. Hasil kegiatan ekowisata sebanyak mungkindinikmati oleh masyarakat setempat. Jadi dalam hal ini masyarakatmemiliki wewenang yang memadai untuk mengendalikan kegiatanekowisata. Istilah ekowisata juga dikenal di Kementerian Kehutanan danprinsip-prinsipnya digunakan dalam penerapan pariwisata di kawasankonservasi. Namun di dalam penulisan-penulisan akademis tentangkonservasi dilingkungan Kementerian Kehutanan, khususnya DirektoratJenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam (PHKA) masihmenggunakan istilah Pariwisata Alam, karena konsep ekowisata belumterlahir di Indonesia saat Undang-undang Kehutanan No. 5 tahun 1990tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnyadiberlakukan, dimana Undang-undang ini masih menggunakan istilahPariwisata alam dan masih berlaku hingga saat ini.

1.2. Tangkahan di Masa Lalu

Kawasan Tangkahan pada awal abad ke 20 (tahun 1900an) merupakankawasan hutan yang terdiri dari hutan lindung (natur reservaat) danhutan produksi, dimana model ladang berpindah-pindah untukmemenuhi kebutuhan rumah tangga, kayu bakar, berburu dan lainnyamerupakan bahagian dari pemenuhan kebutuhan sehari-hari dalambingkai kearifan tradisional. Walaupun begitu, beberapa pengusaha dariluar memulai pengelolaan kayu pada era 1930an melibatkan penduduklokal sebagai tenaga kerja (generasi pertama). Proses pengelolaan kayudilakukan dengan menggunakan alat tradisional, diangkut ke tepi sungaioleh beberapa ekor kerbau, dan dialirkan melalui sungai ke TanjungPura. Era ini merupakan langkah permulaan penduduk mencari sumberpenghasilan baru selain bercocok tanam tumbuhan berumur panjangdengan pola persil. Dan pada pertengahan tahun 1960 an dimulaigelombang pengelolaan kayu (generasi kedua) yang lebih besar denganmelibatkan beberapa pemodal dari luar. Pasokan kayu tetapdidistribusikan ke kota Tanjung Pura yang merupakan hilir sungai BatangSerangan. Sisa eksploitasi kayu tersebut menjadi areal perladanganmasyarakat melalui SIM (surat Izin Menggarap), dan komoditi nilam

Bagian Tiga(Eko)Wisata Tangkahan

Page 25: Wiratno, lahir di Tulungagung 28 Maret 1962. Menempuh Menulis …ksdae.menlhk.go.id/assets/publikasi/Dari Penebang Hutan Liar ke... · BB TN Gunung Leuser), Saiful Bahri, Nurdin Razak

3736

adalah salah satu komoditi unggulannya, disamping getah mayang danjelutung yang sudah dipungut oleh penduduk dengan agen dari luar.Seiring dengan peningkatan jumlah penduduk, pembukaan areal hutanuntuk perkebunan semakin luas dan ditetapkannya kawasan hutantersebut menjadi Taman Nasional pada awal 1980 tidak mampumenghentikan aktivitas pengambilan kayu yang sudah tidak terbatasantara kawasan Hutan Produksi atau Taman Nasional. Selama puluhantahun aktivitas pengambilan kayu sudah merupakan sistem nilai yangmenjadi kebiasaan penduduk akhir 1980an. Di era tahun 1990anbeberapa tokoh generasi pertama bebas dari penjara (illegal logging),sebahagian meneruskan aktivitasnya kembali dan sebahagian lagimenginisiatif membuka obyek wisata yang selanjutnya diikuti olehbeberapa tokoh masyarakat dan pemuda di dusun setempat; KualaGemoh dan Kuala Buluh (Desa Namo Sialang).

Akhir 1999, tokoh-tokoh masyarakat dari desa di sekitar kawasanTangkahan memberikan informasi yang sangat vital untuk melakukangerakan dan mengumpulkan para wisatawan, pemandu wisata dantokoh-tokoh masyarakat Bukit Lawang untuk mufakat merumuskanagenda bersama dalam pemberantasan illegal logging. Melalui prosesinvestigasi dan konsultasi semua pihak yang terlibat, akhirnya padaJanuari tahun 2000 terbentuklah Front Peduli Lingkungan Hidup (FPLH).Awal Maret tahun 2000, dilakukan aksi unjuk rasa pertama kali ke KantorWilayah Kehutanan Sumatera Utara di Medan dengan melibatkanpuluhan wisatawan dan wartawan asing, masyarakat Bukit Lawang danpelajar-pelajar Sekolah Menengah Umum di Medan serta dukunganberbagai kelompok gerakan mahasiswa. Aksi ribuan demonstran tersebutmembangunkan 29 LSM Sumatera Utara dan Aceh untuk bangkitmenggugat Pemerintah dan membentuk KPLH-KEL. DepartemenKehutanan tersentak dan segera menurunkan Soeripto (SekretarisJenderal Departemen Kehutanan saat itu) untuk melakukan peninjauanlangsung dengan pesawat di sekeliling Leuser dan merekomendasikanoperasi gabungan di berbagai tempat secepatnya.

Operasi gabungan yang terjadi di Tangkahan, melahirkan konflik horizontalantara pelindung illegal logging dengan pemiliki penginapan yangditempati para aparat pada saat operasi terjadi. Konflik yang melibatkanratusan pemuda dari luar, secara langsung maupun tidak langsungmampu berkontribusi dalam meredam seluruh konflik yang terjadi, baik

konflik tentang pariwisata maupun konflik tentang illegal logging itusendiri. Dan berbagai aktivitas di Tangkahan saat itu terhenti total selamabeberapa waktu. Begitu juga aktivitas FPLH di Medan dan Bukit Lawangterhenti total karena penyelesaian permasalahan telah dibawa olehKPLH_KEL melalui proses litigasi dan peradilan. Sementara itu KepalaBalai TNGL saat itu (Ir. Adi Susmianto,MSc) menginisiatif suatu strategibaru kepada masyarakat sekitar hutan melalui konsep "Hutan A dikelolaoleh Masyarakat Desa A" bersama-sama dengan Balai TNGL secara legalformal.

Kebangkitan Pariwisata kembali bermula dan dipelopori oleh Pemudadan Pemudi di Desa Namo Sialang dan Desa Sei Serdang yangmenginginkan perubahan sosial dan ekonomi, obsesi modernisasi melaluipengembangan pariwisata maka dibentuklah Tangkahan Simalem Rangerpada 22 April 2001 sebuah perkumpulan yang mempeloporipengembangan bukan hanya sungai tetapi juga hutan sebagai tempatpariwisata seperti di Bukit Lawang. Mereka menuntut berbagai aktivitas-aktivitas pembalakan kayu dan perambahan (yang dilakukan oleh orangtua mereka sendiri) harus dihentikan. Merekapun menggunakanpendekatan budaya Batak Karo, dimana gerakan pemuda - pemuditersebut kemudian berubah menjadi sebuah gerakan sosial di desaNamo Sialang dan desa Sei Serdang. Mereka aktif dalam aktivitas sosialdesa, membantu musyawarah maupun berbagai kegiatan adat sepertipesta pernikahan maupun kematian. Dalam budaya adat Batak Karodikenal anak buluh yaitu kelompok anak-anak yang secara sosialmembantu orang tua dalam pekerjaan dan kegiatan adat. Pendekatanini ternyata jitu, karena pada akhirnya melibatkan berbagai lapisanmasyarakat, menarik simpati kalangan orang tua, khususnya ibu-ibu danmereka berhasil mendorong terciptanya sebuah gagasan baru. Dangerakan ini mempengaruhi banyak pola pikir baru masayarakat tentangnilai-nilai keorganisasian.

Tanggal 19 Mei tahun 2001 merupakan momen penting dalam sejarahTangkahan, atas inisiatif Tangkahan Simalem Ranger berkumpullahpemimpin-pemimpin kelompok penebang, perambah dan tokoh-tokohmasyarakat dan perangkat Desa Namo Salang dan Desa Sei Serdangyang terlibat konflik secara langsung maupun tidak langsung. Melaluipertemuan yang melelahkan, pada akhirnya para tokoh bersepakat danmemilih untuk mengembangkan Pariwisata. Pertemuan ini juga

Bagian Tiga(Eko)Wisata Tangkahan

Page 26: Wiratno, lahir di Tulungagung 28 Maret 1962. Menempuh Menulis …ksdae.menlhk.go.id/assets/publikasi/Dari Penebang Hutan Liar ke... · BB TN Gunung Leuser), Saiful Bahri, Nurdin Razak

3938

menetapkan beberapa tokoh sebagai Dewan Pengurus. Dan musyawarahini kemudian disebut sebagai Kongres I Lembaga Pariwisata Tangkahan(LPT) dengan melalui proses pemungutan suara untuk memilih DewanPengurus, AD/ART (anggaran dasar/anggaran rumah tangga) danmenyusun dasar-dasar pengembangan pariwisata. Dan hari itu disebutsebagai Kongres Pertama serta merupakan tonggak penting dalampelestarian Taman Nasional Gunung Leuser dikemudian hari yang diinisiasioleh masyarakat sekitar hutan. Dan merupakan prestasi pemuda - pemudilokal yang tergabung dalam Tangkahan Simalem Ranger yang saat ituhanya berpikir sederhana tentang pariwisata dimana mereka bisa terlibatdan bukan pada aspek luas lainnya.

Seiring waktu berjalan, karena objek wisata yang cukup menarik semuaterdapat di dalam Taman Nasional, maka Lembaga Pariwisata Tangkahanmenyepakati sebuah bentuk kerjasama melalui nota kesepakatan(MoU/memorandum of understanding) dengan Balai Taman NasionalGunung Leuser dan ditandatangani pada 22 April 2002 oleh Kepala BalaiTNGL saat itu (Ir. Awriya Ibrahim,MSc) selaku pemangku Kawasan untukmemberikan hak kelola Taman Nasional kepada masyarakat Desa NamoSialang dan Desa Sei Serdang melalui Lembaga Pariwisata Tangkahan(Bapak Njuhang Pinem) sebagai ketua umum. Penandatanganan MoUtersebut merupakan hal yang cukup berani dilakukan pada saat itukarena merupakan suatu property right (Aset kolektif) seluas kuranglebih 17.500 ha zona inti TNGL (batas administratif desa) untukpengembangan Ekowisata. Dan sebagai kewajibannya masyarakat desaNamo Sialang dan masyarakat desa Sei Serdang bertanggung jawabpenuh di dalam pengamanan dan kelestarian Taman Nasional Gunung

Leuser yang berbatasan dengan wilayah desa tersebut. Seiring waktuberjalan kekhawatiran banyak pihak tentang penandatanganan tersebuttidak terbukti, malah dapat menjadi momen penting di TN GunungLeuser selanjutnya untuk menginisiasi kolaborasi manajemen sebelumditerbitkannya Pp.19 / Tahun 2004 tentang Kolaborasi Manajemenkawasan KPA dan KSA. Kini kebijakan tersebut telah menjadi acuan dandiadopsi dalam membangun berbagai sistem dan strategi pengembangankawasan konservasi baik di tingkat nasional dan internasional.

Akan tetapi, proses penandatangan MoU tersebut bukan dapat secaralangsung menghentikan berbagai aktivitas illegal logging, perambahanmaupun aktivitas perusakan sumber daya alam lainnya saat itu. Akantetapi masih merupakan proses yang dihiasi oleh konflik demi konflikdi tingkat lokal, hingga dilakukan beberapa kesepakatan secara formaldan informal serta beberapa komitmen sosial. Dan sepanjang tahun2002 merupakan masa yang paling sulit dalam beberapa waktu berjalanuntuk proses penyesuaian dan integrasi sosial antara LPT dengan berbagaikelompok-kelompok lain. Hingga dicapai kesepakatan untukmelaksanakan Kongres ke II pada awal tahun 2003. Dan dukunganberbagai pihak diundang untuk membantu proses pengembangannya;seperti Kelompok – kelompok Pecinta Alam, Pramuka, Organisasi NonPemerintah dan para mahasiswa mahasiswa dari berbagai kemampuandan keterampilan yang dimiliki untuk membantu masyarakat. UML danINDECON membantu dalam perumusan Rencana Induk PengembanganPariwisata Desa (RIPPDES) dan peningkatan kapasitas Tangkahan SimalemRanger dalam pelayanan pariwisata, dasar-dasar konservasi, identifkasikeanekaragaman hayati, monitoring serta meningkatkan kapasitaskeorganisasian LPT. Sementara itu Fauna Flora Internasional melakukanprogram patroli gajah untuk mendukung pengamanan kawasan.Disamping peranan utama dari Balai TNGL dan Dinas Kehutanan, sertaDinas Pariwisata Kabupaten Langkat.

Kongres LPT ke II tahun 2003, merupakan momen bersejarah karenamerubah LPT sebagai organisasi terbuka untuk seluruh masyarakat didua desa, dimana seluruh penduduk adalah merupakan anggota LPTyang memiliki hak dan kewajiban yang sama. Dimana di dalam prosesrestrukturisasi, Tangkahan Simalem Ranger masuk menjadi salah satuDepartemen LPT. Pemuda-pemuda dan tokoh sosial yang berpengaruhterpi l ih sebagai kepengurusan untuk tahun 2003-2006.

Visitor Centre di Tangkahan

Bagian Tiga

sumber foto : YOSL-OIC

(Eko)Wisata Tangkahan

Page 27: Wiratno, lahir di Tulungagung 28 Maret 1962. Menempuh Menulis …ksdae.menlhk.go.id/assets/publikasi/Dari Penebang Hutan Liar ke... · BB TN Gunung Leuser), Saiful Bahri, Nurdin Razak

Dan dirumuskannya XIX BAB dan 55 pasal Peraturan Desa tentangUndang-undang Kawasan Ekowisata Tangkahan yang mengatur seluruhsendi-sendi kehidupan sosial, pelestarian sumber daya alam, ekonomilokal, peranan pemuda, adat, agama dan penataan ruang kawasan dalampengembangan ekowisata. Dan peraturan desa ini merupakan peraturandesa pertama yang disusun secara partisipatif yang mengatur tentangkonservasi dan pranata sosial secara langsung, sebelum diadopsi kebanyak tempat. Dan tahun 2003 juga ditandai dengan penandatanganpembahagian PERMIT/SIMAKSI (PNBP) antara Kepala Balai TNGL saatitu (Ir. Hart Lamer Susetyo) dengan Ketua Umum LPT Periode 2003-2006 (Bp. Njuhang Pinem) dan juga dukungan pembangunan fisik dansarana prasarana yang pertama kali dilaksanakan. Disamping dukungandari INDECON, FFI dan UML serta berbagai NGO dan Pemkap Langkat.

Dan awal tahun 2006, ditandai dengan Kongres ke III LPT, penandatanganMoU tahap ke II yang merupakan penguatan daripada MoU 22 April2002 ditandatangani pada 23 Juli 2006 antara Kepala Balai TNGL (Ir.Wiratno,MSc) dan Ketua Umum LPT (M.Tanden Bangun). Dimanaberdasarkan P.19 / 2004 LPT secara kolaborasi dapat memanfaatkanberbagai jasa lingkungan dari TNGL. Dan LPT membentuk Badan UsahaMilik Lembaga (BUML) untuk mengelola jasa lingkungan tersebut. Dandimulailah era integrasi antara ekonomi dan ekologi di kawasan EkowisataTangkahan dalam semangat kolaborasi untuk melahirkan gelombangbesar perubahan di TN Gunung Leuser.

(http://gunungleuser.or.id/oldweb/sejarah_kawasan_ekowisata_tangkahan.htm).

Melalui pengelolaan partisipatif semacam ini, konservasi menjadidambaan warga sekitar. Masyarakat yang diberdayakan secara aktifmemiliki rasa memiliki (sense of belonging) yang tinggi. Mereka bukanlagi sekedar penonton atau pihak yang ’diperdaya’. Dengan mengakuihak dan kepentingan mereka sebagai pemangku alam, rasa tanggungjawab muncul, maka terjadilah sinergi atas kelestarian lingkungan danpeningkatan kemakmuran rakyat.

Bila seluruh hutan Indonesia mengalami nasib baik seperti ini, pastiIndonesia tidak akan duduk di peringkat ketiga dunia sebagai penghasilemisi terbesar dari pengalihan fungsi hutan.

4140

1. 3. Tangkahan Saat Ini

Tangkahan di 2013 jauh berbeda dengan masa awalnya di 1999-2000.Saat ini, telah berdiri dan beroperasi sembilan ecolodge, Jungle Lodge,Mega Inn, Green Lodge, Linnia Resort, Ulik Sabar Inn, Gajah Lodge,Masta Inn dan Tangkahan Inn. Tentu, sarana penginapan tersebutberkembang seiring dengan semakin meningkatnya jumlah kunjunganwisatawan mancanegara ke Tangkahan. Pencarian di mesin Google,menunjukkan hasil 10.400 temuan terkait dengan Ekowisata Tangkahan,hanya dalam waktu 0,22 detik. Hal ini menunjukkan, betapa Tangkahanbegitu terkenal di dunia maya, dan informasi berbiak menyebar keseluruh penjuru dunia dengan kecepatan per detik.

1.3.1. Lembaga Pariwisata Tangkahan

Sejarah terbentuknya Lembaga Pariwisata Tangkahan (LPT) diuraikansecara detil oleh salah satu pencetus ide dan penggeraknya, yaitu SaifulBahri, sebagaimana diuraikan dalam boks berikut :

Berdirinya Lembaga Pariwisata Tangkahan• Ir. Adi Susmianto selaku kepala Balai TNGL masa itu (akhir 1999)

dengan berbagai tekanan demonstrasi/media yang menuntutpenindakan tegas terhadap berbagai aktivitas perambahan danilegal logging melakukan Operasi Gabungan di Kecamatan BatangSerangan (Tangkahan), dan untuk pertama kalinya isu kerusakanLeuser menjadi agenda nasional.

• Ketika upaya law enforcement tidak efektif membendungdegradasi hutan, maka Pak Adi Susmianto meletakan fondasidasar kerjasama dengan masyarakat lokal/desa sebagai fokusutama (2000-2001). Ir.Awriya Ibrahim (pengganti Kepala BalaiTNGL) melanjutkan upaya kerjasama yang lebih formal melaluisebuah MoU dengan masyarakat lokal untuk pemanfaatan hutan(ekowisata) dengan batas teritorial (wilayah administrasi desa)bersama Pemerintah Kabupaten Langkat (Ir.Azwar Pane, KepalaDinas Kehutanan dan Perkebunan). Dan di tingkat masyarakatpemuda/pemudi telah membentuk Tangkahan Simalem Ranger(22 April 2001) dan di tingkat orangtua (pelaku illegal loggingdan perambahan) telah membentuk Lembaga PariwisataTangkahan (19 Mei 2001) melalui mekanisme Kongres (I).

Bagian Tiga(Eko)Wisata Tangkahan

Page 28: Wiratno, lahir di Tulungagung 28 Maret 1962. Menempuh Menulis …ksdae.menlhk.go.id/assets/publikasi/Dari Penebang Hutan Liar ke... · BB TN Gunung Leuser), Saiful Bahri, Nurdin Razak

42

• Pada awal Oktober 2003, Ir.Hart Lamer Susetyo (kepala BalaiTNGL) menandatangani perjanjian kerjasama pembahagian suratijin masuk kawasan konservasi (Simaksi) dengan LembagaPariwisata Tangkahan dan mendukung berbagai programpelestarian dan fasilitas pengembangan ekowisata …. “ Selainitu, Balai TNGL juga mengeluarkan perizinan pengembanganBumi Perkemahan seluas dua hektar, untuk mendukungpengembangan produk wisata dan bina cinta alam bagi generasimuda..”

• Awal Februari 2004, dilaksanakan peluncuran secara resmi produkPariwisata Tangkahan ditandai dengan kehadiran Direktur JenderalPengembangan Destinasi Departemen Kebudayaan dan Pariwisata,Ibu Myra Gunawan, MSc yang disambut secara adat dan jugadi laksanakan temu wicara dengan masyarakat. . .”

• Dengan kerjasama berbagai pihak, dan dukungan Balai TNGL danPemerintah Kabupaten Langkat, proses pengembangan ekowisataTangkahan telah menampakkan hasilnya sebagai destinasiEkowisata baru dan menjadi daerah kunjungan bagi wisatawandomestik dan mancanegara, dan kunjungan utusan dari UNESCOke Kawasan Ekowisata Tangkahan menandai ditetapkannya TamanNasional Gunung Leuser sebagai World Heritage Site..”

• Pada tanggal 27 September 2004, Lembaga Pariwisata Tangkahanmendapatkan Piagam Penghargaan Inovasi KepariwisataanIndonesia, dari Menteri Kebudayaan dan Pariwisata, Bapak I GedeArdika.

• Pada tanggal 5 Oktober 2007, Lembaga Pariwisata Tangkahan telah ditetapkan dengan Akte Notaris, Nomor 09.

43

• Setelah melalui proses panjang, pada tanggal 22 April 2002 (hariBumi) ditanda tangani naskah Memorandum of Understanding(MoU) antara Kepala Balai Taman Nasional Gunung Leuser UPTDephut RI Ir. Awriya Ibrahim dengan Ketua Umum LembagaPariwisata Tangkahan (LPT) Bpk. Njuhang Pinem sebagai bentukikatan legal formal dimulainya sebuah kerjasama antara rakyatdan pemerintah dalam mengelola hutan negara”.

• Pada September 2002, Bpk Ary.S.Suhandi dari Indonesia EcotourismNetwork (INDECON) difasilitasi oleh Unit Management Leusermelaksanakan penyusunan Rencana Induk PengembanganPariwisata Desa (RIPPDES) secara partisipatif, dan disosialisasikandi Pemerintah Kabupaten Langkat dimana hal tersebut menjadidasar dan titik tolak pengembangan Kawasan EkowisataTangkahan selanjutnya..”

• Pada Januari 2003, Fauna dan Flora Internasional (FFI)berkerjasama dengan Balai KSDA, Balai TNGL dan LembagaPariwisata Tangkahan melaksanakan program ConservationRespons Unit (CRU) yang merupakan program monitoringkawasan, pengamanan dan penyuluhan masyarakat, denganmenghadirkan gajah-gajah yang dipinjamkan dari Unit BalaiKonservasi Sumber Daya Alam Aceh... “

• Pada Maret 2003, Lembaga Pariwisata Tangkahan melaksanakanagenda Kongres ke II, yang merumuskan Garis-Garis Besar HaluanPerencanaan Kawasan (GBHPK), Restrukturisasi Organisasi,Revisi AD/ART dan menyusun pasal demi pasal Peraturan Desatentang Undang-undang Kawasan Ekowisata Tangkahan dengansangat demokratis dan partisipatif. Dan hasilnya disahkan olehKepala Desa dan Badan Perwakilan Desa, Desa Namo Sialang danDesa Sei Serdang. Selanjutnya hasilnya diserahkan kepadaPemerintah Kabupaten Langkat dan Balai TNGL sebagai bahanacuan berbagai peraturan dan ketentuan lainnya..”

• Pada Agustus 2003-2004, Indecon bekerjasama dengan LembagaPariwisata Tangkahan dan Balai TNGL melaksanakan programpenguatan kapasitas masyarakat dalam pelayanan pariwisata,pengembangan produk, pemasaran, monitoring dankeorganisasian yang difasilitasi pendanaannya oleh program CEPF(Critical Ecosystem Partnership Fund)..”

Sejak tahun 2009, Balai Besar TN Gunung Leuser (BBTNGL) mulai tertibmenarik karcis masuk, baik bagi pengunjung dalam negeri sebesar Rp2.500,- dan wisatawan manca negara sebesar Rp 20.000,-. Berdasarkankarcis masuk yang diperoleh, diketahui bawah sejak tahun 2009-2012,jumlah wisatawan mancanegara yang masuk ke Tangkahan adalahsebagai berikut : tahun 2009 (877 orang), tahun 2010 (1.539), tahun2011 (2.409 orang) dan tahun 2012 (2.755 orang). Total pengunjungselama 4 tahun sebanyak 7.580 wisatawan mancanegara. Dapatdisimpulkan bahwa tahun 2012, jumlah wisatawan mancanegara

Bagian Tiga(Eko)Wisata Tangkahan

Page 29: Wiratno, lahir di Tulungagung 28 Maret 1962. Menempuh Menulis …ksdae.menlhk.go.id/assets/publikasi/Dari Penebang Hutan Liar ke... · BB TN Gunung Leuser), Saiful Bahri, Nurdin Razak

hanya 3 ekor yang siap untuk paket Tangkahan-Bukit Lawang dan 5 ekoruntuk patroli jarak pendek. Menurut Ruth, Ketua Harian LPT, penambahangajah ini sangat diharapkan, untuk memenuhi peningkatan jumlahkunjungan wisatawan mancanegara tersebut.

Dari diskusi dengan Edy-Elephant Trekking dan Ruth, tentang prospekTangkahan, mereka menyampaikan pendapatnya seperti ini:

44

Elephant Trekking

meningkat 214% dibandingkan dengan tahun 2009. Maka selama 4tahun, Tangkahan sudah menyumbangkan kepada negara sebesar Rp151.600.000,-

Berdasarkan wawancara dengan Ketua Harian Lembaga PariwisataTangkahan, 80% wisatawan mancanegara tersebut memilih kegiatanelephant trekking. Sedangkan pengunjung lokal, biasanya hanya tubbingatau bermain-main di Sungai Buluh dan hanya sedikit saja yang masukke dalam kawasan TN Gunung Leuser. Namun demikian, jumlahpengunjung lokal ini dapat mencapai ribuan pada hari-hari libur danhari besar keagamaan, sehingga dampak ekonominya cukup tinggi dalammenggerakkan ekonomi mikro khususnya warung makan, minum, danpenyewaan ban untuk tubbing.

Saat ini, untuk 1 jam menikmati hutan Leuser sambil berpatroli dengangajah (elephant trekking), dikenakan biaya Rp 650.000/orang. Apabiladiasumsikan 80% wisatawan mancanegera memiliki paket patroli gajahini, maka selama 4 tahun, pihak pengelola elephant trekking memperolehpendapatan kotor sebesar Rp 394.160.000 (6.064 orang x Rp 650.000,),selama 4 tahun atau rata-rata sebanyak Rp 98.540.000,- per tahun.

Apakah wisatawan manca negara menikmati Tangkahan? Inilah salahsatu kesaksian atau testimoni wisatawan dari Inggris bernama ThomasArno ld dan Ch loe White Devon, yang d iemai l ke :tangkahanecotourism.com :

Had a lovely stay here in wonderful Tangkahan. Upon arrival the staffwere all very welcoming & helpful. The elephant trekking and bathingwas an amazing exprience, lovely to see how well looked after theelephants are. Tangkahan really in a jungle paradise, will definately bereturning here some day. Thanks again for every one for making ourtime here so special.

Trekking dengan gajah ini juga menawarkan paket Tangkahan-BukitLawang, yang memerlukan waktu 4 hari (3 malam) dengan biaya 550Euro Rp 8.000.000,-) per orang. Tentu dengan mendapatkan pengalamantidur di hutan atau night safary dengan segala tantangannya. Untukpaket panjang ini, para wisatawan bisa mengontak pihak pengelolamelalui www.elephantjunglepatrol.com. Sayang sekali, dari 8 ekor gajah,

45

“Makin lama makin naik tamunya tapi trend ecotourism berubahke mass-tourism, apalagi pada hari-hari besar biasanya di pantaiSei Buluh. Jumlah pengunjung di Tahun 2011 sekitar 38.000 orangsedangkan di Tahun 2012 sekitar 41.000 orang. Hari Raya dan TahunBaru saja bisa mencapai 8.000 an pengunjung/hari. Ya merekamain-main situ saja tapi dan perekonomian di sini bergerak.Ya…mereka pulang hari kebanyakan tidak menginap. Untuk prospekke depan grafik meningkat. Booking dari luar ke Community TourOperator (CTO), satu bagian yang berada di bawah naungan LPT,Selama kita masih terapkan manajemen satu pintu maka masihbagus. Yang menarik karcis pengunjung adalah petugas LPT. Seluruhpermit ditandatangani Kepala Seksi. Untuk wisatawan manca negara,ditarik pungutan sebesar Rp 30.000,- dimana Rp 20.000,- disetoruntuk ke BB TN Gunung Leuser sebagai PNBP dan yang Rp 10.000,- untuk LPT.

Bagian Tiga

sumber foto : YOSL-OICElephant Trekking sumber foto : YOSL-OIC

(Eko)Wisata Tangkahan

Page 30: Wiratno, lahir di Tulungagung 28 Maret 1962. Menempuh Menulis …ksdae.menlhk.go.id/assets/publikasi/Dari Penebang Hutan Liar ke... · BB TN Gunung Leuser), Saiful Bahri, Nurdin Razak

Seni budaya setempat lambat laun mulai bergeser dan terpengaruholeh budaya luar. Sangat sedikit ruang bagi warga untukmengekspresikan dirinya dalam upaya melestarikan danmengembangkan seni budayanya. Dalam kondisi yang serbadilematis ini, sangat diperlukan suatu gerakan masyarakat untukmerubah keadaan ini menuju perbaikan secara menyeluruh, yakniperubahan ekonomi yang berbasis pada kearifan budaya localyang mengedepankan pengelolaan sumber daya alam yangberkelanjutan demi anak cucu.

Oleh sebab itulah bersama Jaringan Radio Komunitas Indonesia(JRKI) Sumut, sejumlah warga dan tokoh masyarakat mulaimenggagas pendirian Radio Komunitas di kawasan Tangkahan ini.Radio Komunitas Tangkahan tidak hanya sekedar menyiarkanhiburan semata, akan tetapi akan turut membangun pemahamandan penyadaran pendengarnya untuk bergerak bersama melakukanaksi-aksi realt menjawab persoalan yang ada. Selain itu radiokomunitas Tangkahan diharapkan mampu menjadi mediapendidikan dan perekat warga dalam mengerakkan perubahanuntuk kembali melestarikan nilai-nilai luhur dan kearifan lokal ditengah arus globalisasi yang kian hari semakin menggilas sendi-sendi kehidupan baik secara ekonomi, politik dan kebudayaan.Secara khusus radio komunitas ini akan menjadi pusat informasi,pendidikan dan gerakan perubahan masyarakat di KawasanTangkahan dan masyarakat sejangkau siar umumnya.

4746

Terima kasih untuk teknologi informasi yang sangat membantu promosiTangkahan. Beberapa website dapat dikunjungi, seperti :

www.indonesiatravelonline.com/medan/medan-tour/tangkahan-eco-tour4d.html;www.naturalguide.org/ng_recommended_detail.asp?idrecomm=238&cat=109;

www.sumatraecotourism.com/tangkahan/index.html;

www.lombokmarine.com/ tangkahan-nature-reserve.htm;

bahkan foto-foto Tangkahan dapat dinikmati dari koleksi Pamela dariAustraliatravel.webshots. com/album/55822 0008eKUdnh

Tangkahan sebagai magnet bahkan telah menarik Jaringan RadioKomunitas Indonesia, cabang Sumatera Utara untuk merencanakanmembuat Radio Komunitas Tangkahan. Alasan perlunya dibangun jejaringr a d i o k o m u n i t a s , s e b a g a i m a n a d i k u t i p d a r iwww.jrkisumut.wordpress.com, sebagaimana dapat dibaca latar belakangdukungan mereka, dalam box berikut.

Jaringan Radio Komunitas TangkahanPengembangan sebagai kawasan ekowisata Tangkahan ini berjalancukup panjang dan membutuhkan proses pemahaman danpenyadaran kepada masyarakat sekitar yang pasang surut juga.Meskipun telah berjalan tidak kurang dari tiga belas tahun, tidakmembuat warga sekitar secara masif mengerti dan sadar akanpengelolaan wisata yang berbasis pelestarian secara berkelanjutanini. Kebutuhan ekonomi yang kian hari semakin meningkatmembuat warga rentan terhadap perilaku yang justru akanmerusak tatanan nilai yang selama ini telah tertanam, khususnyatentang pentingnya menjaga dan melestarikan kekayaan alam inidemi generasi yang akan datang. Keterbukaan wilayah ini akanpengunjung dari luar sedikit demi sedikit telah menggerus kearifandan nilai-nilai budaya lokal yang selama ini terjaga secara turuntemurun. Kebebasan media khususnya televisi turut andil dalammembentuk karakter masyarakat menjadi materialis.

Bagian Tiga(Eko)Wisata Tangkahan

Page 31: Wiratno, lahir di Tulungagung 28 Maret 1962. Menempuh Menulis …ksdae.menlhk.go.id/assets/publikasi/Dari Penebang Hutan Liar ke... · BB TN Gunung Leuser), Saiful Bahri, Nurdin Razak

4948

1.3.2. Pola Kunjungan

Pola kunjungan wisatawan mancanegara ke Tangkahan digambarkandalam grafik di bawah ini. Kondisi tahun 2010, sebanyak 1.539 wisatawanmancanegara (wisman) menikmati Tangkahan, dengan puncak kunjungan(peak season) terjadi selama 4 bulan yaitu sejak Juli hingga September.Sedangkan jumlah wisatawan nusantara (wisnus) sebanyak 856 orang,dengan puncak kunjungan pada bulan Januari dan terus menurun sampaidi akhir tahun. Data wisatawan nusantara ini adalah wisnus yang masukke dalam taman nasional. Sedangkan wisnus yang hanya bermain-maindi sekitar Sungai Buluh yang jumlahnya ribuan orang di hari-hari besar,tidak dikenakan tiket masuk sehingga tidak tercatat.

1.3.3. Potensi Penelitian

Setelah hampir 13 tahun dikembangkannya Tangkahan sebagai lokasiyang dikenal sebagai tempat berwisata alam, maka banyak pihak yangmulai tertarik untuk melakukan penelitian. Data yang tercatat di BBTNGL,

300

250

200

150

100

50

01 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12

Wisnu

Wisman

Grafik: Distribusi kunjungan Wisnus dan Wisman Tahun 2010

Sumber: Analisis data (BB TN Gunung Leuser, 2013)

Tahun

2010

2011

No

1

2

3

4

5

6

7

Atas Nama

Asnah, dkk

Eling Tuhono

Prof. Dr. RetnoWidhiastuti, MS.,dkk

Ir. Achmad JauharArief, M.Sc, dkk.

Elsi Kurnia Sari,Ricky DharmawanTriatmojo, DelciaSeptiani

Maurin Lis EvanPanggabean

Maria Joao PalermoDe Faria Amaral,AbdulrokhmanKartonegoro, S.Si

Judul Penelitian

Penelitian Magister Sains dengan Judul, "Inventarisasi JamurMakroskopis di Kawasan Ekowisata Tangkahan, Taman NasionalGunung Leuser".

Penelitian Magister Sains dengan Judul, "Analisis Vegetasi danPendugaan Karbon Tersimpan Pada Tegakan Hutan di KawasanEkowisata Tangkahan, Kec. Batang Serangan, Kab. Langkat".

Pengabdian Masyarakat Mahasiswa Program Studi Doktor (S3)Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Lingkungan USU dengan tema“Pengembangan Ekowisata Berkelanjutan di Hutan Tangkahan TamanNasional Gunung Leuser Sumatera Utara”.

Penelitian dengan judul “Monitoring Climate Change”.

Penelitian dengan Judul, "Pengembangan Potensi Wisata Alam diKawasan Ekowisata Tangkahan di Sekitar TNGL".

Penelitian dengan judul "Pendugaan Cadangan Karbon Above GroundBiomass (AGB) Pada Tegakan Hutan Alam di Kabupaten Langkat"

Penelitian “Genomic footprints of adaptation and diversification intropical stone oaks (Lithocarpus; Fagaceae)”.

Asal Pemohon

Program StudiS2 Biologi USU

Program StudiS2 Biologi USU

Pasca SarjanaUSU

Tim LIPI

Jurusan Kehutan,Fak. Pertanian,UniversitasSumatera Utara

USU

Peneliti WN.Portugal

Tabel: Penelitian di Tangkahan (2010-2011).

Sumber: Balai Besar TN Gunung Leuser (2013).

Selain hasil-hasil penelitian di atas, Leuser juga merupakan habitatbunga terbesar di dunia, yaitu bunga Rafflesia. Ir.Agus Susatya, PhDsebagai Dosen di Universitas Bengkulu, dalam penelitian yang fokuspada salah satu flora penting yaitu rafflesia, telah membuktikan kepadamasyarakat Indonesia maupun Internasional, bahwa Indonesia memilikikekayaan hayati yang luar biasa. Salah satunya adalah bunga raksasaRafflesia spp.

Dari 25 jenis rafflesia di seluruh dunia, 12 jenis berada di Indonesia,tersebar sepanjang jajaran Bukit Barisan Sumatera, mulai dari TN GunungLeuser, TN Bukit Tigapuluh, Cagar Alam Batang Palupuh, KabupatenAgam; di Jawa dapat dijumpai di TN Gunung Gede Pangrango, CASemenanjung Pangandaran, TN Meru Betiri; di Kalimantan di CA GunungRaya dan TN Bukit Baka Bukit Raya, TN Kayan Mentarang.

mengungkapkan bahwa sejak 2010-2011, telah dilakukan sebanyak 7judul penelitian, sebagaimana disajikan dalam tabel berikut ini.

Bagian Tiga(Eko)Wisata Tangkahan

Page 32: Wiratno, lahir di Tulungagung 28 Maret 1962. Menempuh Menulis …ksdae.menlhk.go.id/assets/publikasi/Dari Penebang Hutan Liar ke... · BB TN Gunung Leuser), Saiful Bahri, Nurdin Razak

5150

pengelolaan orangutan semi liar dipadukan dengan pengelolaan wisataterbatas. Konsepsi dari Dr Ian Singelton tersebut dapat dibaca di bukuyang berjudul: “Tersesat di Jalan Yang Benar; Seribu Hari MengelolaLeuser” (Wiratno, 2013). Icon di Bukitlawang adalah orangutan.Keunggulan Tangkahan, adalah adanya kesempatan wisatawanmancanegara untuk dapat melihat orangutan liar di dalam hutan, melaluikegiatan jungle trekking. Selain tentu saja mengikuti elephant trekkingyang telah menjadi trademark Tangkahan, termasuk acara memandikangajah-gajah di Sungai Batang Serangan. Bagi banyak pihak, terutamawisatawan mancanegara, berkesempatan memandikan gajah adalahnew and unforgetable experiences.

Ir. Agus Susatya PhD dalam seri penelitian untuk S3nya telah menemukan2 jenis rafflesia baru, yaitu: (1) Rafflesia bengkuluensis, di Talang Tais,Bengkulu, dan Rafflesia lawangensis, di Bukit Lawang TN Gunung Leuser.Jadi sangat mungkin, di Tangkahan yang tidak jauh dari Bukitlawang,juga akan ditemukan Refflesia lawangensis tersebut. Kalau benar, bisaditemukan di wilayah Tangkahan, akan menjadi salah satu obyek wisataalam baru dan sangat diminati oleh wisatawan dari manca negara.Eksplorasi untuk mendapatkan lokasi tumbuh dan mekarnya Rafflesialawangensis, merupakan prioritas dalam rangka mengembangkandiversifikasi obyek-obyek wisata di Tangkahan.

Akhirnya, kita bisa memberikan pendapat bahwa Tangkahan bukanhanya tempat untuk berwisata alam. Tangkahan juga menarik banyakpihak untuk melakukan penelitian. Ke depan, sebaiknya beberapa agendapenelitian perlu diprioritaskan, seperti terkait dampak dari kehadiranwisatawan mancanegara dan domestik, meliputi nilai dampak ekonomi,ekologi, dan sosial budaya, khususnya yang menyangkut daya dukung(carrying capacity), kepemanduan (guiding), interpretasi (interpretation).Untuk wisatawan lokal ini, tentu dampak ekonominya cukup signifikan,namun kita belum mengetahui dampak lingkungannya, karena jumlahnyayang bisa sangat banyak (8.000 pengunjung) dalam sehari, di masa peakseason, di hari-hari libur atau hari besar.

Pada tahun 2006, penulis masih menjumpai seorang pemandu wisatayang memakai t-shirt dengan tulisan “Taman Nasional Bukit Lawang”.Informasi yang tentu saja tidak tepat dan cenderung bisa menyesatkan.Bukit Lawang dan Bahorok adalah sebagian kecil dari potensi dan asetwisata alam di TN Gunung Leuser, yang luasnya hampir 1 juta hektartersebut. Visitor Center yang direnovasi oleh UNESCO dengan dana dariPemerintah Spanyol pada tahun 2007, di Bukit Lawang, diharapkan dapatmembantu untuk memberikan pemahaman kepada wisatawan mancanegara, dalam memahami TN Gunung Leuser secara menyeluruh, danmemahami bahwa Bukit Lawang adalah sebagian kecil dari potensiwisata alam di TN Gunung Leuser tersebut. Persoalan di Bukit Lawangadalah bagaimana wisatawan mancanegara dapat melihat orangutandengan cara dan prosedur yang benar. Saat ini masih ditemukan banyakmasalah, antara lain pemberian pakan pada orangutan oleh guide yangsebenarnya dilarang, secara aturan pemerintah. Dr. Ian Singelton telahmemberikan konsep bagaimana melakukan perubahan konsep

Daerah wisata Tangkahan

Bagian Tiga

sumber foto : YOSL-OIC

(Eko)Wisata Tangkahan

Page 33: Wiratno, lahir di Tulungagung 28 Maret 1962. Menempuh Menulis …ksdae.menlhk.go.id/assets/publikasi/Dari Penebang Hutan Liar ke... · BB TN Gunung Leuser), Saiful Bahri, Nurdin Razak

5352

2. Peran Tangkahan dalam Melindungi Leuser

Definisi ekowisata seperti di atas dan kelima nilai plus-plus rasanyamemang itulah yang terjadi di Tangkahan. Namun demikian, Tangkahanmenyimpan anomali. Memiliki sejarahnya sendiri. Bukan sekedarmembangun ekowisata berbasis masyarakat, sejak dari awalnya. Tetapiadanya dukungan yang konsisten dari Balai (Besar) TN Gunung Leuserdan beberapa mitra kunci seperti FFI dengan program elephant trekking-nya, Indecon yang mendampingi beberapa tahun untuk disain tapakdan menyemangati Lembaga Pariwisata Tangkahan (LPT), untuk bergerakmendorong pengelolaan wisata dan sekaligus menjaga kawasan hutanLeuser, khususnya wilayah yang berbatasan dengan Desa Sei Serdangdan Desa Namo Sialang. Terjaga dari kerusakan dan pengrusakan, melaluiprogram patroli oleh Tangkahan Simalem Ranger dan elephant trekking.

Yang tidak kalah penting adalah adanya beberapa tokoh muda yangterus melakukan upaya-upaya penguatan kelembagaan lokal dan menjagamomentum pergulatan intelektual, terutama di sepanjang awalpembentukan LPT. Intelektualisme yang diterjemahkan ke dalam banyakkonsep antara lain kemandirian desa sebagai yang banyak dicita-citakan,sebagai daerah otonomi penuh. Bagaimana desa menguasai kembalisumberdaya lokal dan tidak dikendalikan oleh pihak luar, dan sebagainya.Konsep-konsep ini secara tidak langsung telah menyumbangkan, melataridan mewarnai pola hubungan masyarakat dengan taman nasional, yangsemakin harmonis dan saling bersinergi.

Maka, Tangkahan bukan sekedar penerapan konsep yang kemudianlebih dikenal sebagai “community-based ecotourism”. Tangkahan telahmempengaruhi pola pikir dan langkah tindak masyarakat Sei Serdangdan Namo Sialang, dalam menyelamatkan hutan Leuser di sekitar wilayahdesanya. Konsep inilah yang ditawarkan oleh Pak Adi Susmianto, padatahun 1997 kepada para pendemo yang resah karena kerusakan hutandi Leuser wilayah Sumatera Utara. Ide, gagasan, dan tawaran yangdisambut baik oleh para tokoh pendiri Tangkahan saat itu, dan tetapdidukung oleh Balai (Besar) TN Gunung Leuser sampai dengan saat ini.Konsistensi dukungan selama hampir 13 tahun.

Kawasan hutan di sekitar Tangkahan saat ini sudah terbebas dari aksiperambahan dan penebangan liar. Tidak ada suara chainsaw meraung-

Sesungguhnya, wujud nyata dari konsep ‘penyangga sosial’ initelah ada dan cukup efektif mencegah terjadinya kerusakan TNGL,sebagaimana terlihat dalam proses sosial yang dilakukan sebagianpenduduk Namo Sialang dan Sei Serdang. Di kedua desa ini,sekelompok penduduk yang awalnya adalah para pelakupembalakan liar, lalu difasilitasi oleh beberapa orang luar desayang peduli terhadap kelestarian TNGL, membentuk lembaga yangdisebut Lembaga Pariwisata Tangkahan (LPT) pada tahun 2001.Lembaga ini kemudian melakukan kolaborasi dengn BBTNGL untukmengembangkan ekowisata di Tangkahan yang dalam perjalananwaktu terus meningkatkan jaringan kerjasama dengan beberapaLSM, misalnya Fauna and Flora International (FFI) dalampelaksanaan Community Response Unit (CRU) melalui patroli gajah,Indonesian Ecotourism Network (INDECON) untuk pengembangantour operator, serta YEL untuk atraksi wisata elephant trekking.LPT dan pihak-pihak yang selama ini berkolaborasi dengannyatelah membalikkan keadaan, di mana kawasan hutan di Tangkahanyang semula menjadi target penebangan liar, kini menjadi salahsatu area yang cukup terjaga. Keberadaan LPT pada akhirnyabanyak diakui pihak luar, bahkan internasional, sebagai sebuahgerakan sosial yang mampu membentengi TNGL dari kerusakan.Bahkan, pada beberapa desa, telah tumbuh kelompok-kelompokmasyarakat yang mencoba mengikuti jejak LPT, seperti Relasi diPenampean dan LPSE di Kinangkong.

Di luar masalah-masalah internal yang dihadapi kelompok-kelompok masyarakat tersebut, fenomena seperti ini membuktikan

raung seperti terjadi di masa lalu. Balok-balok kayu yang ada di dalamhutan, sebagai hasil pembalakan di masa lalu, saat ini masih ada dantidak ada yang berani mengangkutnya ke luar kawasan Tangkahan.Penulis menyaksikan sendiri adanya bukti-bukti itu pada waktu kunjungan ke Tangkahan tahun 2006-2007.

Yapekka (2010), dalam kajiannya tentang persoalan TNGL dikaitkandengan peran masyarakat, menyatakan tentang pentingnya membangun“penyangga sosial” sebagai berikut :

Bagian Tiga(Eko)Wisata Tangkahan

Page 34: Wiratno, lahir di Tulungagung 28 Maret 1962. Menempuh Menulis …ksdae.menlhk.go.id/assets/publikasi/Dari Penebang Hutan Liar ke... · BB TN Gunung Leuser), Saiful Bahri, Nurdin Razak

5554

bahwa masyarakat, sejauh diberi peran cukup besar dalammengelola TNGL, dapat bekerja lebih efektif dalam menjagakelestarian TNGL. Namun, belajar kembali dari sejarah keberadaanLPT, dibutuhkan kepercayaan yang besar dan pendampingan yangintensif ketika proses sosial tersebut dilakukan.

Bukan saja kawasan Tangkahan menjadi lebih aman dan terhindar darikerusakan, tetapi ternyata telah terjadi perubahan pola pikir dan tindakanpara tokoh-tokoh penggerak Tangkahan. Hal ini tercermin dari jawabanterhadap pertanyaan kunci kepada para tokoh, sebagaimana tercantumpada Bagian Empat: Apa Kata Mereka.

3. Kondisi Sosial Ekonomi Tangkahan

Ibukota Batang Serangan terletak di kelurahan Batang Serangan.Kecamatan ini berjarak sekitar 30 kilometer dari ibukota KabupatenLangkat yaitu Stabat. Luas wilayah Batang Serangan sekitar 99.304 Ha(993,04 km2) dengan rasio terhadap total luas kabupaten 15,85%.Kecamatan ini terdiri dari 8 desa/kelurahan dengan status hukum definitifdan seluruhnya diklasifikasikan sebagai desa swasembada, yaitu: desaSungai Musam, Namo Sialang, Sei Serdang, Sei Bamban, Batang Serangan,Kwala Musam, Karya Jadi, dan Paluh Pakih BBS. Adapun jumlah pendudukdi Kecamatan Batang Serangan mencapai 38.842 jiwa yang tersebarpada 9.430 Kepala Keluarga atau 4,1 jiwa/KK, dengan kepadatanpenduduk 39 jiwa/km (Yapekka, 2010).

Tangkahan adalah sebuah nama tempat wisata alam, di pinggir Leuser,dimana terdapat dua desa yang berbatasan dengannya, yaitu Desa SeiSerdang dan Desa Namo Sialang. Keduanya, merupakan bagian daridelapan desa di wilayah administratif Kecamatan Batang Serangan,Kabupaten Langkat, Sumatera Utara. Membahas Tangkahan berarti jugamembicarakan kondisi Desa Sei Serdang dan Desa Namo Sialang.

Ekonomi Kabupaten Langkat, secara umum digerakkan oleh sektorperkebunan. Di seluruh Langkat, luas dan produksi kebun karet rakyatcenderung stagnan, bahkan luasannya sedikit menurun dari 41.859hektar di tahun 2002, menjadi 41.503 hektar di tahun 2008. Sedangkanproduksinya sedikit meningkat dari 29.284 ton tahun 2002 menjadi29.460 ton di tahun 2008. Hal sebaliknya justru terjadi pada perkebunansawit rakyat. Pada tahun 2002, luas kebun sawit milik rakyat ada sekitar41.125 hektar dengan produksi 529.951 ton. Sedangkan tahun 2008luasnya naik menjadi 41.531 hektar dengan jumlah produksi 535.814ton. Luasan tersebut sudah meliputi sawit yang tidak lagi berproduksi,masih berproduksi, serta yang sawit belum berproduksi. Khusus dikecamatan di sekitar TNGL, Besitang memiliki luas lahan dan produksikebun sawit rakyat yang paling tinggi (Yapekka, 2010).

Kajian Yappeka (2010) tersebut, khususnya semakin luasnya kebun sawitmilik rakyat, di atas, tidak secara tegas menjelaskan kaitannya denganperambahan di TNGL, khususnya di wilayah Besitang, Kabupaten Langkat.Di bagian lain, Yappeka (2010) mengutip kajian pakar GIS/Remote SensingUNESCO, Rina Purwaningsih (dikutip ulang dari Bagian I), yangmenyatakan sebagai berikut :

Bagian Tiga

Hulu sungai di daerah wisata Tangkahan

Pada tahun 1989, luas wilayah TNGL yang terdegradasi mencapai5.742 hektar. Di tahun 2003, luas lahan yang terdeforestasi telahmencapai 18.742 hektar. Diduga dibukanya pemukiman bagipengungsi asal Aceh di wilayah Besitang dan sekitarnya awal2000an menjadi kontributor terbesar degradasi hutan TNGL ini.Meskipun tahun 2009 luasan yang terdegradasi tampak menyusutmenjadi 18.239 hektar, namun secara menyeluruh diperkirakanpenambahan luas areal terdeforestasi di TNGL selama 20 tahunterakhir adalah 13 ribu hektar lebih.

sumber foto : YOSL-OICHulu sungai di daerah wisata Tangkahan

sumber foto : YOSL-OIC

(Eko)Wisata Tangkahan

Page 35: Wiratno, lahir di Tulungagung 28 Maret 1962. Menempuh Menulis …ksdae.menlhk.go.id/assets/publikasi/Dari Penebang Hutan Liar ke... · BB TN Gunung Leuser), Saiful Bahri, Nurdin Razak

5756

Penulis meyakini bahwa kerusakan seluas 13 ribu hektar tersebutsebagian besar berada di Besitang, yaitu di Resort Sei Betung, ResortSei Lepan dan Resort Sekoci, dimana masih terdapat perambahan aktifsawit, sampai saat ini, baik yang dilakukan oleh eks pengungsi Acehmaupun oleh perambah lokal, sebagaimana yang diuraikan secara terinciupaya-upaya penegakan hukumnya pada periode 2005-2007 (Wiratno,2013; halaman 70-97).

3.1. Persepsi Sosial Ekonomi Masyarakat Sekitar Tangkahan

Untuk mengetahui perkembangan sosial ekonomi masyarakat Tangkahan,pihak YOSL-OIC telah melakukan kajian sosial ekonomi masyarakat disekitar Tangkahan melalui wawancara langsung dengan beberapa anggotamasyarakat setempat. Wawancara ini dilakukan dengan melibatkan 100responden untuk mendapat informasi secara silang (crosscheck) darimasyarakat setempat menyangkut tiga aspek dasar pengembanganekowisata, yakni: aspek konservasi, aspek perekonomian, dan aspekperan masyarakat.

Pada aspek konservasi, fokus pertanyaan diarahkan kepada dua hal,yakni masalah konservasi kawasan sebagai bagian dari Taman NasionalGunung Leuser (TNGL) dan masalah keberadaan kawasan tersebutsebagai areal ekowisata.

Bagi masyarakat Tangkahan keberadaan kawasan Taman Nasional GunungLeuser merupakan kawasan yang harus tetap dijaga dan dilestarikankeberadaannya. Masyarakat sangat memahami, meskipun kawasanekowisata Tangkahan bukanlah seluruhnya masuk ke dalam wilayahTNGL, namun keberadaan kawasan ekowisata tersebut langsung atautidak langsung sangat berperan menjaga kelestarian TNGL sekaligusmembangun kawasan tempat tinggal mereka untuk tetap menjadi bagianyang utuh. Oleh karena itulah masyarakat setempat tetap berharapupaya-upaya pelestarian kawasan pendukung TNGL harus juga dilakukansebagai bagian edukasi masyarakat untuk hidup harmonis dengan alamsekitar, karena dari survey yang dilakukan , 70% responden sangatmemahami makna konservasi yang diterapkan di wilayah mereka tinggal.

Pemahaman masyarakat yang sangat tinggi terhadap konsep konservasidapat dilihat dari hasil survey dimana 98% responden menyatakan

perlunya kawasan ekowisata Tangkahan dilestarikan. Pengembangandan pemanfaatan kawasan TNGL sebagai kawasan wisata lingkunganmemang harus tetap mengacu kepada ketentuan tata ruang yang telahmenetapkan zonasi kawasan. Dalam survey yang dilakukan, 91,7%responden menyatakan perlunya kawasan khusus wisata massaldikembangkan untuk mengantisipasi minat dan jumlah kunjungan.Namun di sisi lain masyarakat tetap berharap agar pemerintah danberbagai pihak seperti LSM harus terus menerus melaksanakan berbagaiupaya agar ekosistem hutan di Tangkahan dan TNGL dapat terjaminpelestarian dan keberadaannya.

Aspek peran serta/pelibatan masyarakat, menyoroti beberapa persoalanyakni, sense of belonging, kelembagaan, sumber daya manusia, danperan stakeholder (TNGL) bagi pengembangan kawasan. Rasa memiliki(sense of belonging) masyarakat setempat terhadap kawasan ekowisataTangkahan sebenarnya sangat tinggi, yaitu 91,7%, dan yang menyatakantidak merasa memiliki adalah 8,3%. Kondisi ini dapat ditolerir karenasebenarnya ada 13,3% responden yang tingkat pendidikannya tidaktamat SD, dan 11,7% responden tidak memiliki pekerjaan, disamping15% responden adalah penduduk setempat yang usianya dibawah 20tahun. Realitas ini memberi gambaran bahwa sebagian masyarakatmemang masih kurang memiliki apresiasi yang baik terhadap keberadaankawasan ekowisata Tangkahan. Apalagi kalau dilihat ada 31,6%masyarakat lokal yang menyatakan tidak pernah diajak terlibat dalampengembangan, pengelolaan dan pengawasan kawasan ekowisataTangkahan, padahal ada 91,7% responden yang menyatakan keinginanmereka untuk terlibat dalam pengembangan, pengelolaan danpengawasan kawasan objek ekowisata tersebut. Keadaan ini membergambaran yang sangat gamblang bahwa ada selisih 25% yang sebenarnyasangat potensial untuk terlibat dalam pengelolaan kawasan yang selamaini terabaikan. Walaupun masyarakat lokal mengakui dan menerimakehadiran LSM dalam pengelolaan kawasan Tangkahan, namun hanya60% responden mengungkapkan dan menilai LSM telah memberisumbangsihnya bagi pembangunan dan pengembangan kawasanTangkahan sebagai kawasan ekowisata. 10% responden menyatakan“LSM belum” memberi sumbangsihnya, dan 30% menyatakan tidaktahu. Untuk TNGL masyarakat menilai kinerja kemitraan pihak TNGLsudah baik yakni 75%. Namun mereka juga mengharapkan aspek attitudekepemimpinan merupakan elemen penting yang mesti hadir di tengah-

Bagian Tiga(Eko)Wisata Tangkahan

Page 36: Wiratno, lahir di Tulungagung 28 Maret 1962. Menempuh Menulis …ksdae.menlhk.go.id/assets/publikasi/Dari Penebang Hutan Liar ke... · BB TN Gunung Leuser), Saiful Bahri, Nurdin Razak

5958

tengah kepekaan. Untuk melihat persepsi masyarakat lokal terhadapapa yang sudah dilakukan pihak TNGL dalam aktivitas ekowisata(hospitality), hasil survey menunjukkan angka 81,7% menyatakan baik.Di sisi lain 100% responden menyatakan sangat berkeinginan untukmemperoleh pendidikan/pelatihan untuk meningkatkan kualitas SDMlokal.

Pada aspek perekonomian, fokus pertanyaan diarahkan kepada beberapahal, yakni dampak keberadaan kawasan ekowisata Tangkahan sebagaiupaya peningkatan perekonomian masyarakat, masalah infrastrukturkawasan, masalah atraksi ekowisata, dan masalah promosi kawasanekowisata. Dalam survey yang dilakukan untuk melihat persepsimasyarakat lokal terhadap keberadaan aktivitas ekowisata di Tangkahan,pada dasarnya, 90% responden mengakui memperoleh keuntungansecara ekonomi ketika aktivitas ekowisata dibuka dan semakinberkembang di Tangkahan. Perkembangan aktivitas ekowisata itu jugamendorong 61,7% masyarakat melakukan/memiliki usaha perekonomianyang berkaitan langsung dengan keberadaan kegiatan ekowisata tersebut.Sekitar 33% menyatakan tidak memiliki usaha langsung, dan hal inisangat dapat dimaklumi, karena 30% responden bekerja di sektor formal.Begitupun, hasil survey menemukan jawaban optimis bahwa 85%responden mengakui potensi peluang usaha ekonomi sangatdimungkinkan untuk menunjang keberadaan aktivitas ekowisata diTangkahan.

Menyinggung peluang usaha perekonomian yang dapat dilakukan olehmasyarakat lokal untuk menunjang perkembangan objek ekowisata,dalam wawancara yang dilakukan terungkap bahwa pemikiran masyarakatmasih terfokus pada usaha/ peluang yang secara praktis untuk memenuhikebutuhan rutinitas sehari-hari. Peluang yang mereka harapkan itumisalnya seperti membuka warung makanan/rumah makan, penginapan,cindera mata (assesoris & kaos), ataupun alat transportasi (ojek).Sementara peluang usaha yang bisa menunjang kegiatan ekowisata danupaya pengembangan aspek-aspek konservasi secara kreatif belumterjangkau oleh daya pikir mereka. Padahal sebenarnya jika masyarakatsetempat dapat berpikir kreatif dan kritis, masyarakat bisa saja mengemasberbagai bentuk kegiatan sebagai bagian dari atraksi wisata yang dapatmenunjang atraksi ekowisata sekaligus sebagai bentuk pembelajaran(edukasi) dibidang konservasi.

Bentuk-bentuk kreatifitas itu sebenarnya bisa saja kegiatan yangberhubungan dengan tradisi dan budaya masyarakat setempat, baikdari aspek seni budaya, maupun tradisi bertani atau bercocok tanamyang dapat dikemas menjadi atraksi wisata yang menarik, unik danspesifik. Sebagaimana juga pernah diungkapkan oleh ketua LPT bahwauntuk bidang seni budaya, masyarakat Tangkahan sama sekali tidakmemiliki perhatian dan kemampuan untuk mewujudkannya menjadibagian dari aktifitas atraksi wisata. Disamping tema yang berkaitanlangsung dengan aspek ekonomi secara praktis, sebanyak 91,7%responden termotivasi untuk meningkatkan kualitas SDM keluargamelalui pendidikan formal. Motivasi peningkatan kualitas pendidikanini mereka alami setelah melihat cepatnya perkembangan aktivitasekowisata di Tangkahan, baik dari segi kuantitas kunjungan, kualitaswisatawan, dan kualitas aktivitas.

Dalam rangka upaya meningkatkan perekonomian, masyarakat setempatjuga tetap berusaha membangun sentra usaha cindera mata. Namunkarena faktor lemahnya permodalan, masyarakat hanya mampumengantisipasi permintaan cindera mata pada even-even tertentu.

Disamping faktor permodalan, faktor keterampilan juga merupakanhambatan tersendiri yang mereka alami. Untuk tema atraksi wisata dikawasan Tangkahan, 86,7% responden menyatakan cukup baik. Persepsiini cukup beralasan karena kawasan ekowisata ini memang memiliki

Bagian Tiga

Usaha penginapan di Tangkahansumber foto : YOSL-OIC

Usaha penginapan di Tangkahansumber foto : YOSL-OIC

(Eko)Wisata Tangkahan

Page 37: Wiratno, lahir di Tulungagung 28 Maret 1962. Menempuh Menulis …ksdae.menlhk.go.id/assets/publikasi/Dari Penebang Hutan Liar ke... · BB TN Gunung Leuser), Saiful Bahri, Nurdin Razak

60

bentang alam yang masih alami. Sumberdaya alam yang dimiliki kawasanTangkahan memang merupakan modal besar yang masih dapat terusdikembangkan dan dapat dieksplorasi sesuai kapasitas yang terukur.Optimisme ini juga memerlukan perencanaan ulang justru ketika 90%responden memilki persepsi yang sangat baik terhadap atraksi gajah.Keberadaan gajah yang semula difungsikan sebagai sarana patrolkeamanan hutan, kini dapat dialih gandakan fungsinya secara lebihprofesional lagi sebagai bagian dari atraksi yang paling diminati wisatawan.

Di bidang infrastruktur, meskipun 75% responden menyatakan cukupbaik, namun perlu untuk mendapat perhatian yang serius. Sebagianmasyarakat menginginkan infrastruktur jalan menuju kawaan ekowisatasangat perlu dibenahi agar kelancaran lalu lintas dapat memperlancararus keluar-masuk wisatawan.

Aspek promosi merupakan salah satu tema yang disurvey dalampenelitian ini. Hal itu karena pertimbangan bahwa industri pariwisatamerupakan sektor andalan dalam pertumbuhan ekonomi, karenaberperan strategis dalam menangani permasalahan ekonomi maupunsosial. Dalam rangka memasarkan produk wisata, maka aspek promosimenjadi sangat penting. Survey yang dilakukan dengan tema promosikepada masyarakat setempat memberi hasil yang cukup baik, karena86,7% responden berpendapat bahwa promosi mengenai kawasanekowisata Tangkahan sudah berjalan dengan sangat baik dan telahmenjangkau seluruh lapisan masyarakat, baik di dalam maupun keluarnegeri.

Meskipun diakui bahwa sebagai daerah tujuan ekowisata Tangkahansudah mampu memberi wawasan dan harapan baru bagi masyarakat,menanamkan perspektif baru bagi kehidupan masa depan, peranpemerintah dan pemangku kepentingan lain harus tetap dapat menjagadan memotivasi kegairahan kehidupan di kawasan tersebut.

Karena pada dasarnya, meskipun pembangunan kawasan ekowisataTangkahan dipelopori dan diwujudkan berdasarkan keinginan masyarakatsetempat, peran pemerintah sebagai fasilitator sangatlah menentukankeberadaan kawasan ekowisata tersebut ke masa depan. Keterbukaan,dan kejujuran masyarakat setempat membangun dan melestarikanTangkahan harus dapat diapresiasi oleh pemerintah dan pemangku

kepentingan lainnya untuk membangun kepercayaan masyarakat hidupdan berkehidupan di Tangkahan secara layak dan berkelanjutan.

Masyarakat telah menaruh harapan yang besar terhadap keberadaanTangkahan sebagai kawasan wisata ekologis, menggantungkan asakehidupan pada setiap dahan dan ranting pepohonan yang menghiasikawasan ekowisata tersebut. Nadi kehidupan masyarakat Tangkahansaat ini bergerak sangat dinamis mengikuti arus globalisasi wisatawanyang ingin menikmati gelora eksotisme hutan hujan tropis.

Disisi lain pemerintah melalui Balai Besar Taman Nasional dan pemerintahdaerah harus mampu menjembatani aspirasi masyarakat, merealisasikannilai-nilai keberlanjutan dalam setiap langkah dan aspek pembangunan,yang ditujukan bagi keberadaan Tangkahan sebagai kawasan ekowisatayang harus tetap dapat diandalkan bagi kepentingan masyarakatsetempat, bagi kepentingan bangsa, dan bagi kepentingan kehidupanmasyarakat dunia.

Bagian Tiga

Wisata sungai di Tangkahansumber foto : YOSL-OIC

Wisata sungai di Tangkahansumber foto : YOSL-OIC

(Eko)Wisata Tangkahan

Page 38: Wiratno, lahir di Tulungagung 28 Maret 1962. Menempuh Menulis …ksdae.menlhk.go.id/assets/publikasi/Dari Penebang Hutan Liar ke... · BB TN Gunung Leuser), Saiful Bahri, Nurdin Razak

Bagian empat

63

Bagian empat

4Apa Kata Mereka

4Apa Kata Mereka

Membaca dan memahami Tangkahan tidak bisa dilepaskan dari sejarahyang melahirkannya. Mereka yang menuliskan sejarah Tangkahan sejak1999 sampai saat ini masih ada, dan dari merekalah penulis mendapatkanwawasan, pandangan, kritik, kepedulian, kerisauan, kebanggaan, danharapan untuk masa dengan yang lebih baik. Salah satu pelaku sejarahadalah Wak Yoen atau lebih dikenal sebagai black panther. Tokoh seniordari Bukit Lawang ini “menemukan” Tangkahan pada tahun 1997. Ialahyang “baurekso” sampai saat ini, yang mengasuh 3 pemuda yang kelakakhirnya mengambil jalannya masing-masing, yaitu Saiful Bahri, TaufikRamadan, dan Syukur Alfajar yang dikenal dengan panggilan Sugeng.Meramu pendapat mereka, para stakeholder atau lebih tepatnyashareholder Tangkahan sangat menarik. Muncul kesan yang mendalambagi penulis bahwa ikatan emosional itu masih sangatlah kuat.

Evaluasi Tangkahan pernah dilakukan oleh seorang antropolog, Sunjaya.Laporannya dikemas dan menjadi bagian dari buku penulis yang (segera)diterbitkan oleh UNESCO. Sunjaya (2013) dalam Wiratno (2013)mengutip pendapat Arun Agrawal dan Clark C. Gibson (1999) yangmengemukakan strategi konservasi ’berbasis masyarakat lokal’(community-based conservation) sering dianggap tidak efektif mencapaitujuan pelestarian alam. Pegiat konservasi maupun pengelola kawasankonservasi kerap dihadapkan pada kompleksitas dan dinamika sosial didalam masyarakat yang dilibatkan. Ketimbang menuding bahwamasyarakat lokal tidak memiliki pemahaman tentang konservasi, Agrawaldan Gibson justru menilai para pembuat kebijakan atau pengelolaprogram-program konservasi telah keliru dalam memahami konsep’masyarakat’. Kesalahan tersebut terletak pada tiga asumsi. Pertamamasyarakat (community) diasumsikan sebagai suatu kelompok kecilyang dibatasi oleh teritori tertentu (misalnya desa). Kedua masyarakatdianggap memiliki struktur sosial yang homogen. Dan ketiga, masyarakatdilihat sebagai sekelompok orang yang memiliki norma dan kepentinganyang sama.

Ketiga cara pandang tersebut menyebabkan konsep ’masyarakat’dipahami secara statis ketimbang dinamis, solid ketimbang heterogen,dan sesuatu yang nyata ketimbang berada dalam bayangan. Bagi Agrawaldan Gibson, masyarakat adalah sesuatu yang didefinisikan dalam alampikiran seseorang. Ia sesungguhnya sekumpulan para aktor yang salingberinteraksi satu sama lain dalam berbagai kepentingan.

sumber foto : YOSL-OIC

Page 39: Wiratno, lahir di Tulungagung 28 Maret 1962. Menempuh Menulis …ksdae.menlhk.go.id/assets/publikasi/Dari Penebang Hutan Liar ke... · BB TN Gunung Leuser), Saiful Bahri, Nurdin Razak

Bagian empat

65

Bagian empat

64

Para aktor ini tidak selalu bertindak berdasarkan nilai atau norma yangdianggap ideal bagi kelompoknya. Pendapat ini menarik nantinya untukdibuktikan kebenarannya dalam konteks Tangkahan.

Tangkahan juga dikupas habis dari sejarah pergolakannya oleh salahsatu pencetus Tangkahan di masa depan, yaitu Saiful Bahri. Ia menulislebih dari 58 halaman, dan mungkin bisa menjadi buku tersendiri yangsangat menarik karena ditulis oleh salah satu pelaku dan ditinjau dariberbagai sudut pandang. Seorang intelektual lokal dan masyarakatTangkahan (baca: Desa Namo Sialang dan Desa Sei Serdang) selayaknyabangga memiliki putra dengan tingkat pemikiran yang luar biasa itu.Penulis bisa merasakannya sejak menjadi Kepala Balai TN Gunung Leuser,pada Januari 2005 sampai masa tugas berakhir di Agustus 2007. Ialahyang menjadi pencetus Kongres Rakyat Batas Leuser, pada Juli 2007.Kongres yang mencoba untuk membangun kesepahaman bersama,desa-desa yang berbatasan dengan hutan Leuser wilayah ProvinsiSumatera Utara.

Peranan Ary Suhandi tidak dapat dilepaskan dari Tangkahan pada awaltahun 2000. Ia seorang tokoh/praktisi yang bertangan dingin dalammendorong, membangun, memfasilitasi, dan mengangkatnya (scaling-up) inisiatif lokal seperti Tangkahan-yang nyaris tidak ada di IndonesiaTravel Atlas terbaru (2012) sekalipun. Hanya Bohorok, sebagai tempatrehabilitasi orangutan yang sudah tercantum dalam Travel Atlas tersebut.Atas perannya yang besar dalam mendampingi pengembanganTangkahan, bersama-sama dengan tokoh-tokoh Lembaga PariwisataTa n g k a h a n ( L P T ) .Puncaknya adalah padaSeptember 2004, BapakI Gede Ardika MenteriPariwisata memberikanA n u g e ra h I N O VA S IPARIWISATA INDONESIA,kepada Ketua LPT, PakOkor. Tangkahan menjadidikenal di seluruh tanahair sejak saat itu.

Gajah Sumatera di Tangkahan

4.1. Pendapat Mereka tentang Tangkahan

Penulis menyebarkan checklist pertanyaan kunci kepada beberapa tokohdan pelaku utama pengembangan Tangkahan, dan beberapa stakeholderlainnya, seperti staf TNGL, mulai dari Kepala Bidang Teknis, KepalaBidang Wilayah, Kepala Seksi, dan Kepala Resort. Checklist pertanyaandikirimkan secara terpisah dan selanjutnya dikumpulkan dan dianalisis.Menarik bisa mengetahui setelah 13 tahun Tangkahan mulai dibangunhingga saat ini. Suatu rentang waktu yang tidak pendek bagi upayapengembangan masyarakat. Pada periode 13 tahun itu telah bergantisebanyak enam Kepala Balai TNGL. Fokus diskusi dilakukan untukmenggali beberapa momen sejarah, yaitu dengan Wak Yoen (BlackPanther). Salah satu tokoh pertama yang “meninggalkan” Bukit Lawangdiakhir tahun sembilan puluhan, jauh sebelum banjir bandang tahun2003 yang membawa korban ratusan jiwa dan kehancuran sarana danprasarana wisata di Bukitlawang. Tentu saja diskusi intensif dilakukandengan Ketua Umum LPT yang baru Pak Sentosa dan Ketua Hariannya-Ruth, dan para pedagang makanan, CRU, CTO, Kepala Desa Sei Serdang,Direktur OIC, Taufk Ramadan, Nurdin Razak (akademisi dan praktisifotografer alam), dan sebagainya.

Wahdi AzmiMenurut Wahdi Azmi, salah seorang tokoh FFI yang cukup lamaberinteraksi dengan penulis pada masa 2005-2007, hal-hal hal positifyang menjadi kata kunci keberhasilan di Tangkahan adalah : (1) Tangkahanmerupakan inovasi pemberdayaan masyarakat yang berbatasan denganTaman Nasional Gunung Leuser untuk terlibat secara aktif dalampengelolaan kawasan, mengamankan sekaligus memanfaatkannya, (2)Pembelajaran Tangkahan adalah berhasilnya konservasi diterjemahkanke dalam pola pikir masyarakat yang melihat sumber daya hutan sebagaipilihan livelihood. Semakin kuat hubungan ini semakin terjamin kawasanhutan dan masyarakat sekitar kawasan merasa memiliki dan banggaterhadap keberadaan Hutan TNGL, (3) Penyerahan mandat pengelolaanbagian dari Taman Nasional kepada masyarakat melalui lembaga yangmendapat legitimasi baik dari masyarakat sekitar kawasan, dan (4)Dalam konteks pengembangan ekowisata, Tangkahan belajar dari halpositif dan negatif pola pengelolaan yang ada di kawasan lain sepertiBukit Lawang. Hal positif yang tetap dijaga adalah manajemen satupintu “one gate management system” dimana LPT yang diberikansumber foto : YOSL-OIC

Apa Kata Mereka

Page 40: Wiratno, lahir di Tulungagung 28 Maret 1962. Menempuh Menulis …ksdae.menlhk.go.id/assets/publikasi/Dari Penebang Hutan Liar ke... · BB TN Gunung Leuser), Saiful Bahri, Nurdin Razak

Bagian empat

67

Bagian empat

66

Kantor Conservation Response Unit (CRU) - Tangkahan

mandat oleh BBTNGL menjadi satu satunya pengelola, sehingga dapatmenghindari potensi masalah yang akan terjadi bila pengelolaan tidakdilakukan satu pintu, seperti persaingan tidak sehat antar operatorwisata, antar interpreter dan guide, dan lain sebagainya.

Namun demikian, selama beberapa tahun mendukung programpengembangan ekowisata Tangkahan, masih ditemukan berbagaipermasalahan sebagai berikut :• Permasalahan yang menjadi tantangan sejak awal adalah berbagai

pelaku wisata di Tangkahan belum melihat kebutuhan mutlak untukmendukung manajemen satu pintu yang dilakukan oleh LPT, dan kesulitan antar sektor untuk memandang sector lain sebagai satu kesatuan utuh untuk menghasilkan sebuah produk ekowisata yang unggul.

• CRU adalah partner LPT yang berjuang menegakkan prinsip pengelolaansatu pintu di bawah LPT dengan perpanjangan tangan Community Tour Operator (CTO) dimana lembaga ranger mendapat tugas untukmenggerakkan CTO. Sebagian besar intervensi CRU adalah mensosialisasikan dan konsisten dan tunduk terhadap pola pengelolaanyang diterapkan oleh LPT. Pada tahap awal pengembangan Tangkahanberbagai pelaku wisata mengalami kesulitan dalam mengikuti sistemini.

• Dibanding level input capacity building yang dilakukan oleh semua pihak, kondisi pengelolaan Tangkahan sekarang harus diakui melebihiekspektasi saya. Masyarakat dengan latar pendidikan yang menengahke bawah hari ini cukup mampu untuk mempertahankan kegiatan ekowisata berjalan dan berbagai perbaikan masih dilakukan terutamaoleh pengurus LPT yang baru terpilih sekarang.

Membicarakan soal keuntungan apa saja yang diperoleh, Wahdi Azmimenguraikan bahwa dalam konteks livelihood, kita tidak bisa menilaieconomic capital semata sebagai modalitas yang terbangun, peningkatansocial capital adalah salah satu yang menjadi driven factor penting yangseringkali berjalan tanpa disadari. Exposure LPT dan masyarakat denganberbagai pihak di berbagai level dalam setiap detail kegiatan sejakinisiatif awal telah menjadi salah satu pendorong motivasi dan membukawawasan masyarakat dan pengurus LPT.

Masyarakat sekitar kawasan, melalui berbagai service wisata sepertipelayanan akomodasi, jasa pemanduan, penyewaan fasilitas dan saranakegiatan wisata seperti tubing dan lain-lain, adalah yang paling banyakmendapat manfaat secara ekonomi. Pemerintahan desa melalui retribusidan parkir, BBTNGL melalui retribusi kawasan (Surat izin masuk kawasankonservasi atau Simaksi). CRU mendapat manfaat untuk biaya operasionalpengelolaan CRU melalui trekking gajah. Di luar manfaat ekonomi ,BTNGL adalah yang terutama menerima manfaat berupa pengelolaanpartisipatif dan pengamanan kawasan berbasis masyarakat yangdikembangkan.

BBTNGL dan Pemkab Langkat, adalah pihak yang paling relevan danmemiliki kapasitas untuk mendukung Tangkahan. Berbagai dukunganBBTNGL melalui kegiatan keproyekan, baik rutin maupun occasionaltelah diberikan untuk mendukung program di Tangkahan, dukunganlebih lanjut masih diperlukan.

Bagi Pemkab Langkat, masih sangat banyak ruang untuk meningkatkandukungan pada berbagai level. Lobi tingkat tingkat tinggi dibutuhkanagar dukungan Pemkab Langkat, pada saat yang tepat dapat mendukungTangkahan, untuk maju sesuai dengan rencana pengelolaan yangdisepakati stakeholder yang relevan.

sumber foto : YOSL-OICKantor Conservation Response Unit (CRU) - Tangkahan

sumber foto : YOSL-OIC

Apa Kata Mereka

Page 41: Wiratno, lahir di Tulungagung 28 Maret 1962. Menempuh Menulis …ksdae.menlhk.go.id/assets/publikasi/Dari Penebang Hutan Liar ke... · BB TN Gunung Leuser), Saiful Bahri, Nurdin Razak

Bagian empat

69

Bagian empat

68

Sedangkan pihak lain yang memiliki kapasitas dan tanggungjawab untukmendukung Tangkahan adalah PTPN II yang berlokasi di sekitarTangkahan. PTPN II berencana akan mengusulkan sertifikasi ISPO danmereka perlu menunjukkan best management practice dan dukunganterhadap masyarakat di sekitar kawasan mereka.

Kegiatan pengembangan wisata di Tangkahan telah secara nyataberdampak positif terhadap kondisi hutan di sekitar Tangkahan. Ditandaidengan berhentinya kayu logging yang dibawa keluar melalui Tangkahandan sungai Batang Serangan. Dimana pada awal-awal kegiatan CRU diTangkahan masih sering didapati ekstraksi kayu melalui kawasanTangkahan. Meskipun demikian, di wilayah yang bersebelahan denganTangkahan masih ada kegiatan pembalakan, walaupun hal tersebutdiluar pengaruh dan wilayah kewenangan LPT.

Agar keberhasilan Tangkahan ini dapat direplikasi di tempat lainnya,prasyarat utama adalah adanya kelembagaan lokal yang mendapatlegitimasi dan mandat secara kuat dari masyarakat sekitar kawasantersebut. Disamping itu, perlu adanya pemahaman yang kuat akan nilaipenting konservasi dalam tubuh kelembagaan yang terbentuk yangditandai dengan pernyataan di visi misi kelembagaan yang tertuangjelas dalam AD/ART lembaga, serta memiliki dukungan yang kuat daripemangku wilayah dan pemerintah setempat.

Genman HasibuanGenman Hasibuan termasuk pendatang baru, dan kini sebagai KepalaBidang Teknis di BBTNGL. Memiliki pengalaman sebagai Kepala Seksi diTN Gunung Halimun Salak. Ia mengetahui sejarah pengembanganTangkahan menjadi lokasi destinasi ecotourism di TNGL pertama sekalisaya ketahui dari draft buku yang dituliskan oleh Bapak Wiratno denganjudul “Tersesat di Jalan Yang Benar : Seribu Hari Mengelola Leuser”(diterbitkan UNESCO Jakarta Office, April 2013). Disamping itu juga sayamewawancara teman-teman LSM lokal seperti Syaiful Bahri, staf seniorTNGL seperti Hendra Wijaya dan Taufik Haryadi, serta tokoh Tangkahanseperti Bapak Okor.

Menurut Genman, pengembangan Tangkahan tentunya sangatbermanfaat bagi kelestarian hutan Leuser, khususnya hutan di sekitarTangkahan. Hal ini dapat dibuktikan dengan aktivitas wisata yang

berkembang di Tangkahan telah memberikan alternatif pendapatanbagi masyarakat sekitar. Dengan demikian, kebiasaan masyarakat yangpenghidupannya dari aktivitas illegal logging pada beberapa waktu lalutelah berbalik arah dengan memanfaatkan kawasan hutan TNGL sebagaiobyek daya tarik yang dapat dipasarkan kepada wisatawan minat khususdengan tidak merusak keberadaan hutan yang ada. Bagi masyarakatyang terlibat langsung dalam kegiatan pengembangan wisata diTangkahan sangat fokus mempertahankan dan melindungi hutan TNGLsebagai tempat wisata alam. Saat ini pemerintah desa setempat telahmembuat Peraturan Desa sebagai dasar kelompok masyarakat untukmenarik retribusi bagi pengunjung. Retribusi yang ditarik dikelola dandimanfaatkan untuk kegiatan-kegiatan sosial kemasyarakatan.

Dampak negatif kegiatan wisata yang dikembangkan tentu tetap ada,akan tetapi sampai saat ini masih bisa dikendalikan. Oleh karena itu,tantangan ke depan dengan semakin berkembangnya aktivitas wisatadi Tangkahan, dampak negatif ini harus mendapat perhatian yang seriusdari semua pihak sehingga pemanfaatan kawasan TNGL secara lestariuntuk kesejahteraan masyarakat dapat diwujudkan. Site plan merupakanhal yang harus disusun pengelola sebelum melaksanakan pengembanganpariwisata di Tangkahan.

Disamping hal tersebut di atas, dengan dikeluarkannya PP 36 Tahun2010 tentang IPPA, diamanatkan agar semua aktivitas yang berhubungandengan kegiatan pariwisata alam di dalam kawasan hutan khususnyadi dalam kawasan konservasi, harus mengikuti aturan main yang telahdigariskan dalam peraturan tersebut. Kelompok masyarakat yangtergabung dalam kegiatan pengusahaan pariwisata alam di Tangkahanharus di dorong untuk mengikuti aturan tersebut. Persoalan baru akanmuncul ketika penerapan peraturan tersebut belum tersosialisasikandengan baik kepada kelompok masyarakat yang tergabung dalamaktivitas pengusahaan pariwisata di Tangkahan. Sosialisasi peraturandan pendampingan kelompok masyarakat, adalah merupakan kuncisukses terlaksanakannya peraturan tersebut dengan baik.

Berkembangannya kelompok masyarakat Tangkahan dalam pengusahaanpariwisata alam tidak terlepas dari bimbingan, dukungan dan bantuanyang diberikan oleh semua pihak khususnya BBTNGL. Berbagai macamprogram telah digulirkan untuk mendukung dan mengembangkan

Apa Kata Mereka

Page 42: Wiratno, lahir di Tulungagung 28 Maret 1962. Menempuh Menulis …ksdae.menlhk.go.id/assets/publikasi/Dari Penebang Hutan Liar ke... · BB TN Gunung Leuser), Saiful Bahri, Nurdin Razak

dan kepentingan serta keterbatasan kapasitas dan kewenangan yangdimiliki BBTNGL mengakibatkan rumitnya menyelesaikan persoalandengan tuntas.

Genman berpendapat bahwa pendekatan pengelolaan yang perludilakukan di TNGL dengan luasan 1 juta hektar, denganmempertimbangkan berbagai keterbatasan yang ada, adalah denganmendorong masyarakat lokal dan para pihak terkait untuk mengambilperan dan fungsi dalam pengelolaan TNGL yang lestari. Tentunyamasyarakat dan para pihak akan mempertanyakan terkait denganmanfaat yang akan diperoleh mereka bila ikut mengambil peran dalampengelolaan TNGL. Memperhatikan hal tersebut maka diperlukan suatukumunikasi dan koordinasi yang intensif dengan berbagai pihak terkaitterutama masyarakat lokal untuk memetakan dan mendiskusikan siapaberbuat apa dan dimana serta akan mendapatkan manfaat apa dalampengelolaan TNGL. Singkatnya pengelolaan TNGL yang lestari dengankawasan yang sangat luas dengan mempertimbangkan keterbatasanyang dimiliki akan bisa diwujudkan dengan mendorong pengembangansistem kolaborasi pengelolaan kawasan TNGL. Oleh karena itu, peranpetugas lapangan dalam memfasilitasi kepentingan konservasi dengantidak mengesampingkan kebutuhan kesejahteraan masyarakat lokal danpengembangan wi layah sudah saatnya untuk di lakukan.

Bagian empat

71

Bagian empat

70

pengusahaan pariwisata alam di Tangkahan, baik langsung maupuntidak langsung. Beberapa tahun terakhir ini BBTNGL bekerjasama denganDirektorat PJLKKHL Kemenhut gencar melaksanakan promosi danpublikasi wisata Tangkahan melalui mass media dan pameran-pamerantingkat nasional. Hasilnya telah terwujud, antara lain dengan peningkatanjumlah kunjungan ke Tangkahan.

Penarikan karcis masuk ke Tangkahan telah dilaksanakan oleh masyarakatsejak dimulainya pengembangan Tangkahan sebagai tujuan pariwisataTNGL. Karcis yang dipungut masyarakat keseluruhannya dimanfaatkanoleh kelompok masyarakat untuk operasional pengelolaan, pembiayaansosial kemasyarakatan dan dukungan pembangunan desa.

Model pengembangan pariwisata Tangkahan telah menjadi bagian daripaparan BBTNGL dalam rapat koordinasi pengelolaan pariwisata alamdi Kementerian Pariwisata pada tahun 2011 atas undangan rapat yangdisampaikan oleh Kementerian Pariwisata. Sementara itu, fokus dukunganBBTNGL saat ini dan ke depan adalah pemberdayaan masyarakat denganmembentuk Model Desa Konservasi, peningkatan kapasitas SDMmasyarakat dalam hal kepariwisataan dan konservasi serta promosidan publikasi melalui media massa, internet dan pameran-pamerannasional. Upaya tersebut merupakan fokus investasi yang dilakukanoleh BBTNGL terhadap Tangkahan 5 tahun terakhir ini. Kawasan TNGLdengan luasan lebih dari 1 juta hektar saat ini banyak mendapatkantekanan dan tantangan yang diakibatkan peningkatan populasi pendudukyang berimplikasi terhadap tingginya kebutuhan lahan untukpengembangan wilayah dan budidaya pertanian masyarakat. Denganmempertimbangkan hal tersebut koordinasi, sosialisasi dengan pihak-pihak terkait dan peningkatan kesadaran masyarakat luas tentang perandan nilai penting keberadaan TNGL merupakan hal yang harusdilaksanakan. Perlindungan, pengawetan dan pemanfaatan sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya secara lestari adalah merupakanstrategi pengelolaan yang secara terpadu dan berkesinambungandidorong direalisasikan tanpa mengesampingkan keterbatasan-keterbatasan pengelolaan yang ada.

Masih tingginya kerusakan kawasan yang diakibatkan oleh perambahan,illegal logging dan perburuan satwa liar telah menghabiskan energiyang sangat besar untuk penanggulangannya. Kompleksitas persoalan

Illegal loging di TNGLsumber foto : YOSL-OIC

Illegal loging di TNGLsumber foto : YOSL-OIC

Apa Kata Mereka

Page 43: Wiratno, lahir di Tulungagung 28 Maret 1962. Menempuh Menulis …ksdae.menlhk.go.id/assets/publikasi/Dari Penebang Hutan Liar ke... · BB TN Gunung Leuser), Saiful Bahri, Nurdin Razak

Bagian empat

73

Bagian empat

72

Ujang Wishnu BarataPEH pada BB TN Gunung LeuserTerkait dengan strategi pengamanan kawasan Leuser, pola Tangkahansangat membantu kawasan TNGL lebih aman dan dijaga oleh masyarakatsecara langsung. Nihilnya angka illegal logging dan perambahan di17.500 ha areal yang dikelola oleh masyarakat untuk aktifitas ekowisatamembuktikan hal ini. Meskipun aksi illegal logging masih terjadi padaspot-spot lokasi di luar kawasan ekowisata yang berdekatan, seperti SeiGlugur hingga perbatasan dengan wilayah Bukit Lawang, namun skalanyamasih dalam level bisa dikendalikan melalui patroli dan operasipengamanan rutin.

Menurut Ujang, pola kolaborasi dengan konsep ekowisata melaluipemberian mandat kelola kepada masyarakat sekitar Tangkahan dipahamidan disikapi secara berbeda oleh para pejabat struktural dari level BalaiBesar hingga level Resort. Pada level Balai Besar dan Bidang Wilayah,optimalisasi setoran PNBP dan berbagi peran dengan Pemda setempatserta pihak perkebunan dan mitra lainnya lebih menjadi perhatianutama. Pensikapan lebih kepada bagaimana mengatur setoran PNBPagar tidak menyalahi ketika ada pemeriksa keuangan dari pusat. Masihterdapat kegamangan dalam menyikapi roh MoU (tahun 2006) yangmemberikan mandat penuh pengelolaan pada areal seluas 17.500 haterutama karena belum adanya payung hukum yang jelas mengenaiinisiatif kolaborasi ini. Pemberian MoU tersebut dipandang terlalu“berani” sehingga memerlukan effort lebih dalam mengawalnya.

Peran pendampingan dan pengawasan langsung diserahkan ke Seksidan terutama Resort. Pemungutan PNBP ditugaskan kepada staf resort,yang sayangnya hanya hadir ke lapangan untuk menarik pungutan.Akibatnya hubungan interpersonal dengan tokoh masyarakat, pengurusLPT, dan pihak-pihak yang terlibat langsung dalam pengelolaan ekowisatasehari-hari menjadi kurang maksimal. Petugas jarang turun dan mengawallangsung setiap perkembangan di bawah, misalnya terlibat dalamevaluasi/pelaksanaan paket wisata, urun rembug dalam mensikapiproblem-problem riil akomodasi, dan lain-lain. Menurut saya, idealnya,perkembangan Tangkahan diagendakan secara khusus dalam pertemuanreguler dengan LPT, minimal di tingkat bidang wilayah, untukmemudahkan cross check data/informasi dari laporan harian petugaslapangan, di tingkat Seksi dan Resort.

Pola Tangkahan dan Pola Restorasi di Sei Serdang, dibangun atas dasarspirit yang sama. Penguasaan kawasan yang dikolaborasikan melaluitahapan awal proses yang terkomunikasikan dengan baik di level bawahdan masyarakat. Perbedaannya adalah pada pemberdayaan resort secarapenuh pada kegiatan restorasi, sedangkan pada pola ekowisataTangkahan, lebih diharapkan berperan sebagai fasilitator/komunikatorlokal. Sebenarnya, tantangan/peluang strategis saat ini adalah bagaimanamenghubungkan kesuksesan restorasi dengan aktifitas ekowisata diTangkahan sebagai paket alternatif (misalnya paket wisata minat khusus/riset), sehingga memberi kesempatan kepada LPT atau kelompok lokallain di sekitar Sei Serdang untuk aktif/melebarkan sayap ke lokasirestorasi.

Ujang memberikan pendapatnya tentang hal-hal yang masih perludilakukan oleh BBTNGL dalam mendukung Tangkahan, adalah : (1)Pengaturan kembali (re-arrangement) kegiatan kemitraan di Tangkahan,sehingga terjadi reposisi peran para mitra dalam bentuk sinergitaskegiatan dapat ditata ulang secara lebih jelas, (2) Agenda pertemuanrutin dengan mitra terkait terutama LPT, untuk membahas isu dan ide-ide terbaru pengembangan kawasan Tangkahan, (3) Pembinaan internalpersonil lapangan di tingkat resort maupun seksi agar lebih aktif terlibatdalam pendampingan aktifitas ekowisata di lapangan, (4) Promosi, data,dan informasi mengenai Tangkahan yang terakses on-line, dan 5)Penyegaran/pelatihan guide dan interpreter local.

Tentang ada tidaknya perubahan paradigma kerja di TNGL setelahditinggalkan oleh Ujang untuk studi S2 di Belanda selama dua tahun,ia memberikan pendapatnya yang menarik. Menurut Ujang, hal yang paling mencolok adalah bahwa porsi kegiatan perlindungan/pengamananterlalu besar. Kegiatan operasi tarlalu banyak menyita perhatian. Selamatidak ada kegiatan dari Mako, personil SPORC TNGL di standby-kan dikantor Balai Besar, sehingga menyulitkan Seksi dalam pemberdayaanmereka menyangkut kejadian-kejadian yang harus segera ditangani.

Peningkatan kinerja dalam hal administrasi keproyekan- menimbulkankonsekuensi bahwa hal-hal teknis menjadi kedodoran. Proses-prosesrekonsiliasi, pendampingan, dan berbaur dengan masyarakat, kalaupunada, menjadi kurang terekam dengan baik, karena terlalu mengandalkanlaporan tertulis dari sisi kegiatan DIPA. Porsi Balai Besar terlalu besar

Apa Kata Mereka

Page 44: Wiratno, lahir di Tulungagung 28 Maret 1962. Menempuh Menulis …ksdae.menlhk.go.id/assets/publikasi/Dari Penebang Hutan Liar ke... · BB TN Gunung Leuser), Saiful Bahri, Nurdin Razak

Bagian empat

75

Bagian empat

74

dalam melibatkan diri pada kegiatan-kegiatan lapangan. Sebenarnya iniproblem yang muncul setidaknya dalam empat tahun terakhir.

Secara umum, sistem kerja lapangan belum dikelola/disupervisi sehinggamengalir sebagai panggilan jiwa bagi petugas lapangan untuk setiaphari menengok kawasannya dan mengikuti isu local, di wilayah kerjanyabersama dengan masyarakat. Mereka turun ke lapangan hanya ketikaada kegiatan, atau ketika ada perintah dari Balai Besar. Saya kira ini jugaproblem lama yang berada pada level akut.

Saiful BahriSebagai salah satu pelaku dan penggagas Tangkahan, Saiful Bahrimenyatakan bahwa baginyaTangkahan adalah sebuah fraksis darikelahiran ide, Tangkahan adalah sebuah (rahim) dari berbagai ide-ideyang saling berdialektika. Tidak ada seorangpun yang dapat mengklaimTangkahan adalah merupakan hasil karya seseorang atau satu orang,tidak juga oleh saya. Tetapi Tangkahan adalah akumulasi dari rangkaianide yang saling berdialektika secara terus menerus. Untuk mewakilipara peserta sejarah, dan dari perspektif subjektifitas saya Tangkahansaat ini dapat dinilai dari dua indikator, yaitu : a) Indikator pragmatis,Tangkahan telah mampu melakukan lompatan quantum yang melampauibatas cita-cita dan harapan dimasa lalu (1999-2003) yang bertumpupada keinginan untuk “merakyatkan hutan Negara” untuk sudut pandangkonservasi kawasan hutan dan “Negara dalam desa” untuk sudut pandangsosial budaya dan ekonomi. b) Indikator ideal, Tangkahan masihmerupakan “pulau konservasi“ yang terpencil di tengah “samuderaluas“. Sebuah area yang teralienasi dari satu kesatuan kawasan yangmemiliki eskalasi tekanan yang sangat tinggi. Sehingga dibutuhkan suatukepemimpinan ide untuk membangun satu wilayah hutan dalam satukesatuan wilayah sosial, budaya dan ekonomi yang saling berikat danterintegrasi dengan wilayah-wilayah sekitarnya melalui konsepsi“clusterisasi“.

Sebagai koreksi terhadap pencapaian dari pragmatis yang disebutkandi atas, Tangkahan sampai saat ini masih belum memiliki kemandiriansosial dan kemandirian ekonomi. Kemandirian sosial yang belum tercapaiadalah; di bidang otoritas pengelolaan kawasan, di bidang integrasimasyarakat pada dua wilayah desa, dan di bidang regulasi lokal.Kemandirian ekonomi yang belum tercapai adalah pengembangan visi

kewirausahaan bisnis kolektif konservasi yang meliputi pengelolaansebuah holding company berbasis pada Badan Usaha Milik Lembaga(integrasi BUMDes) dan berbasis pada kebangkitan swasta lokal. Koreksilain di bidang ekonomi adalah kelas menengah masih dipimpin dandidominasi oleh komunitas pendatang dan bangsa asing serta basisekonomi masih bertumpu pada sektor pariwisata (belum optimal) danbelum mengusahakan berbagai sektor industri jasa lingkungandidalam/luar kawasan.

Selanjutnya ia menjelaskan bahwa secara garis besar dapat disimpulkanbahwa kekuatan sosial budaya ekonomi-lah yang telah menyelamatkanTNGL di wilayah Tangkahan dari ambang kehancuran pada masa 1999-2000, kekuatan sosial budaya ekonomi yang dibangkitkan pada masaitu masih berupa harapan-harapan, cita-cita dan keberanian menerobosjebakan “trial & error“. Kondisi masa itu masih dalam medan pertarunganyang sulit dan rumit, dimana terjadi perpecahan sosial, gejalapembangkangan terhadap nilai budaya tradisional, dan kemiskinanmasyarakat yang diakibatkan oleh luasan teneurial untuk budidayayang sangat sempit dan terhimpit oleh kawasan TNGL dan Perusahaanperkebunan (BUMN/Swasta). Secara ekonomi, masyarakat “ambigu“untuk mengusahakan lahan yang sedikit secara optimal (dengan polakepemilikan yang sulit) atau menjadi buruh pembalakan kayu dengan

Pasilitas penyeberangan sungai di Tangkahan sumber foto : YOSL-OICPasilitas penyeberangan sungai di Tangkahan sumber foto : YOSL-OIC

Apa Kata Mereka

Page 45: Wiratno, lahir di Tulungagung 28 Maret 1962. Menempuh Menulis …ksdae.menlhk.go.id/assets/publikasi/Dari Penebang Hutan Liar ke... · BB TN Gunung Leuser), Saiful Bahri, Nurdin Razak

Bagian empat

77

Bagian empat

76

sepanjang otoritas, integrasi dan regulasi masih tetap dijaga dandikendalikan keseimbangannya oleh LPT dan pemerintah dua wilayahdesa, sepanjang penduduk/masyarakat di wilayah dua desa tersebutmasih memiliki harapan dan cita-cita sosial dan memiliki ketergantungankepada kawasan hutan maka kawasan Tangkahan akan tetap konsistenkeberadaannya; (b) Konsistensi budaya, terjaganya konsistensi budayaakan sangat dipengaruhi oleh nilai-nilai Daliken Sitelu yang diapresiasikanke dalam sifat er-endi enta yang tertulis di dalam Surat Ukat. Sifat er-endi enta ini memiliki pengertian resiprokal (berbalas), dimana setiaporang tidak diperkenankan hanya memberi atau hanya meminta. Begitujuga dengan ungkapan “keri gia lau pola e, gelah i sangketken kitangna”ungkapan ini secara literal berarti walau air nira habis diminum, tidakmasalah, asal tempat air itu disimpan kembali pada tempatnya. Ungkapanini menjelaskan karakter masyarakat dimana menempatkan cara atauetika adalah sangat penting. Sehingga dengan nilai – nilai tersebut akanmemberi isyarat bahwa sepanjang pemerintah memberikan kepercayaankepada masyarakat untuk bersama mengelola kawasan hutan, makamasyarakat akan memberikan nilai dan sikap esensialnya denganmelindungi hutan tersebut. Begitu pula terhadap cara dan perlakuanyang diberikan dalam mengelola masyarakat akan memberi pengaruhterhadap konsistensi kawasan secara jangka panjang atau keruntuhankawasan tersebut (titik balik) akibat cara yang tidak tepat; (c) Konsistensiekonomi, terjaganya konsistensi ekonomi akan sangat dipengaruhi olehfaktor pemerataan ekonomi bukan pada faktor pertumbuhan ekonomi.Sehingga skenario ekonomi harus diarahkan secara horizontal bukan kearah vertikal, walaupun dinamika ekonomi berjalan lambat ke arahhorizontal akan lebih diterima komunitas daripada berjalan cepat kearah vertikal. Hal ini sangat memberi pengaruh terhadap profesionalismeusaha ekonomi, tetapi secara jangka panjang akan memberikan fondasiyang kuat di bidang perekonomian lokal. Sehingga ekonomi kolektifakan menjadi pilihan strategi melalui konsep “kewirausahaan bisniskolektif konsevasi“ yang berbasis pada Badan Usaha Milik Lembaga(untuk LPT) dan Badan Usaha Milik Desa (untuk pemerintah dua wilayahdesa). Integrasi antara BUML dan BUMDes tersebut akan melahirkansebuah holding company yang sangat kuat, dimana penguasaan danpengusahaan jasa lingkungan dan wisata alam dari kawasan tamannasional akan dikelola dalam prinsip satu pintu atau satu atap begitujuga dengan potensi sumberdaya dan alat produksi di luar kawasanhutan TNGL. Holding company ini akan berfungsi sebagai inkubator

harapan menjadi toke kayu atau menjadi buruh perkebunan dan ataumenjadi preman agar dapat memiliki dan menguasai seluruh sektor-sektor produksi di wilayah tersebut.

Inovasi dan motivasi sosial konservasi telah melahirkan ide, ide tersebutmenjadi harapan, ide dan harapan yang disampaikan secara terusmenerus dan secara berulang akan menjelma menjadi sebuahpembenaran (volk wisdoms). Proses pembenaran tersebut ketika dirawatdan diarahkan kejalan yang benar akan menjadi sebuah kebenaran,kebenaran tersebut akan tetap tumbuh dan terjaga ketika disuarakanoleh suara orang banyak akan menjelma menjadi energi yang sangatbesar. Energi “kebenaran“ tersebut akan meruntuhkan, mengendalikandan mengalahkan energi yang “tidak benar“. Para penjaga bertugasuntuk menjaga energi “kebenaran “tersebut sambil membawa sertapara pengikut energi yang “tidak benar“ tersebut untukditransformasikan. Proses transformasi tersebut selalu dilakukan kedalam bentuk transaksi dan negosiasi yang cenderung permisif sebagaibagian dari strategi-strategi persuasif oleh para penjaga. Dampak positifdari strategi tersebut adalah berhasil mengakumulasikan lawan menjadikawan (penguasaan tanpa perang). Dampak negatifnya adalah kerapterjadi ambiguitas dalam pengambilan keputusan di bidang otoritas,integrasi dan regulasi. Pengambilan keputusan yang tidak berbasis padalatar belakang personal/faksi dipastikan akan berdampak padaperpecahan sosial.

Terdapat beberapa faktor-faktor yang menjadi “kunci konsistensi“kawasan Tangkahan yang dapat direplikasi atau dievaluasi pada wilayahlain, dan dapat menjadi tolak ukur bagi konsistensi kawasan Tangkahansecara jangka panjang (dengan grafik pertumbuhan yang meningkat)atau dapat terjadi situasi decline dan atau fait accomply secara sosialbudaya ekonomi, diantaranya adalah : (a) Konsistensi sosial, terjaganyakonsistensi sosial akan sangat dipengaruhi oleh harapan sosial terhadapperkembangan kawasan ekowisata Tangkahan. Pembentukan LembagaPariwisata Tangkahan (LPT) telah ditempatkan secara posisi untukmenjaga harapan penduduk dari dua wilayah desa tersebut. Maju ataumundurnya kelembagaan LPT akan sangat menentukan stabilitas sosial,kelembagaan LPT bersama pemerintah dua wilayah desa adalah sebagaipenjaga harapan sosial dan peñata sistem sosial yang menjaminkonsistensi kawasan Tangkahan secara jangka panjang. Oleh karena itu,

Apa Kata Mereka

Page 46: Wiratno, lahir di Tulungagung 28 Maret 1962. Menempuh Menulis …ksdae.menlhk.go.id/assets/publikasi/Dari Penebang Hutan Liar ke... · BB TN Gunung Leuser), Saiful Bahri, Nurdin Razak

Bagian empat

79

Bagian empat

78

telah menghasilkan uang dengan berinvestasi di kampung mereka danketika lembaga pemerintah diketahui mengambil keuntungan darimereka. Hal tersebut bukan saja didorong oleh faktor “acen, cian dancengkurak“ tetapi oleh rumus ekonomi kolektif dimana pertumbuhanfaktor Y (vertikal) lebih cepat dibanding pertumbuhan faktor X(horizontal), sehingga akan memicu perebutan ruang dan alat produksidengan berbagai cara dan strategi. Regulasi ekonomi lokal dalam bentukPeraturan Desa, kebijakan/peraturan lembaga, konsensus, KerjasamaOperasional (KSO), dan lain-lain akan sangat dibutuhkan untuk dilakukansecara konsisten.

Saiful Bahri menguraikan bahwa pengembangan kawasan ekowisataTangkahan adalah berbasis pada sistem dan infrastruktur kebijakan danperencanaan yang bersifat strategis, dimana sistem dan infrastrukturkebijakan dan perencanaan tersebut akan bertumpu pada GBHPK.GBHPK adalah Garis-Garis Besar Haluan Perencanaan Kawasan, yangmerupakan sebuah pedoman pokok atau manifesto dan atau cetak biru yang berisikan tentang arah tujuan dan cara-cara yang perlu dipedomanioleh seluruh pihak dalam rangka pengembangan dan pengelolaankawasan ekowisata Tangkahan. GBHPK yang secara hakekatnya adalahsebuah pola umum pembangunan kawasan ekowisata Tangkahanmerupakan rangkaian program-program pembangunan yangmenyeluruh, utuh, terarah terpadu dan berlangsung secara terusmenerus. Garis-Garis Besar Haluan Perencanaan Kawasan (GBHPK)secara sistematika dilaksanakan berdasarkan pada arah dan strategisebagai berikut :

I. Rencana Pengembangan Kawasan Jangka Panjang (RPKJP) ; RPKJPdisusun dan diarahkan sebagai pedoman umum pembangunankawasan ekowisata Tangkahan untuk masa waktu 18 (delapanbelas) tahun, yang meliputi 6 ( enam ) masa RPKJM (RPK ) dantersusun secara berkesinambungan dalam 18 ( delapan belas )

bisnis lokal yang akan melahirkan generasi – generasi swasta lokal.Sepanjang sistem dan infrastruktur ekonomi lokal mampu menguasaidan mendominasi untuk pengusahaan potensi sumberdaya dan alatproduksi, maka akan menjadi jaminan keamanan bagi berbagai usahadan bisnis masyarakat pendatang dan investasi asing di Tangkahan.Menjadi persoalan tersendiri, ketika sumber – sumber ekonomi telahdikelola oleh pihak luar: ketika lembaga non pemerintah (NGO/LSM)telah menghasilkan uang dari kampung mereka, ketika pengusaha asing

tahapan RPKJPd (RKT).II. Rencana Pengembangan Kawasan Jangka Menengah (RPKJM) ;

RPKJM merupakan turunan daripada RPKJP, disusun dan diarahkansebagai pedoman teknis pembangunan kawasan ekowisataTangkahan untuk masa waktu 3 (tiga) tahun. RPKJM dalampelaksanaan selanjutnya disebut sebagai Rencana PengembanganKawasan (RPK).

III. Rencana Pengembangan Kawasan Jangka Pendek (RPKJPd)RPKJPd merupakan turunan daripada RPKJM (RPK) sebagai tahapan

pencapaian dalam setiap tahun yang selanjutnya disebut RKT(Rencana Kerja Tahunan).

Garis-Garis Besar Haluan Perencanaan Kawasan (GBHPK) - pengelolaankawasan ekowisata Tangkahan disusun dan ditetapkan dalam beberapatahapan pencapaian Rencana Pengembangan Kawasan Jangka Panjang(RPKJP) sebagai berikut :

RPKJP ke - I (2000 - 2018) ; Pengembangan industri PariwisataRPKJP ke - II (2018 - 2036) ; Pengembangan industri BioteknologiRPKJP ke - III (2036 - 2054) ; Pengembangan Eco Industrial Park

Oleh karenanya, pelaksanaan GBHPK (tahun 2000 s/d 2054) yangdilakukan melalui tahapan RPKJP, RPKJM dan RPKJPD dituntut untukmempersiapkan segala sesuatunya lebih baik sedini mungkin danpengembangannya harus dilakukan secara holistik. Program ini akanberhasil dilaksanakan di kawasan ekowisata Tangkahan pada saatkesadaran masyarakat sudah mulai tampak dalam upaya penghargaanterhadap keberadaan potensi keanekaragaman hayati dan ekosistemnya.Dan kawasan TN Gunung Leuser yang merupakan based property telahaman dan lestari sebagai jaminan keberadaan seluruh komoditasbioekonominya secara jangka panjang.

Dalam RPKJP ke-III ini, di tahun 2054 kawasan Tangkahan diprediksiakan berkembang dan ditetapkan sebagai suatu kawasan Eco IndustrialPark. Dimana kawasan Tangkahan akan menjadi ”tuan rumah” bagiinvestasi dan atau bagi penanaman modal nasional/internasional bagibisnis dan perdagangan bioekonomi yang bertaraf global. Strategi iniakan ”menghipnotis” pembangunan wilayah ekonomi di sekitar kawasanhutan dalam satu kesatuan wilayah yang saling berikat dan salingmelengkapi.

Apa Kata Mereka

Page 47: Wiratno, lahir di Tulungagung 28 Maret 1962. Menempuh Menulis …ksdae.menlhk.go.id/assets/publikasi/Dari Penebang Hutan Liar ke... · BB TN Gunung Leuser), Saiful Bahri, Nurdin Razak

Bagian empat

81

Bagian empat

80

Pencapaian strategi ini dalam RPKJP ke-III di tahun 2054, bukan hanyamengoptimalkan seluruh potensi sumberdaya ekonomi hutan tetapiakan serta merta membangun pola industri yang kuat di wilayah desadan daerah di berbagai sektor unggulan. Inilah yang menjadi cita-citadan tujuan jangka panjang dari pengembangan wilayah Tangkahan dikawasan Taman Nasional Gunung Leuser yang akan dicapai melaluitahapan-tahapan GBHPK.

Berikut tabel ringkasan Garis– Garis Besar Haluan Perencanaan Kawasan-RPKJP ke I (2000-2018) :

Bagian empat

Air terjun di sungai Tangkahan sumber foto : YOSL-OICAir terjun di sungai Tangkahan sumber foto : YOSL-OIC

Apa Kata Mereka

Page 48: Wiratno, lahir di Tulungagung 28 Maret 1962. Menempuh Menulis …ksdae.menlhk.go.id/assets/publikasi/Dari Penebang Hutan Liar ke... · BB TN Gunung Leuser), Saiful Bahri, Nurdin Razak

Bagian empat

8382

Saiful Bahri menyakini bahwa sampai saat ini yang paling diuntungkandari perkembangan dan pengembangan Tangkahan dari aspek sosialdan budaya adalah seluruh masyarakat di wilayah dua desa, baik secaralangsung maupun tidak langsung. Dari aspek ekonomi saat ini puncakpiramida penguasaan dan pengusahaan alat produksi masih dikuasaioleh masyarakat pendatang/komunitas asing kemudian diikuti olehmasyarakat desa Namo Sialang dan masyarakat desa Sei Serdang. Apabilaskenario ekonomi lokal (kewirausahaan bisnis kolektif konsevasi)dilaksanakan berdasarkan GBHPK maka diprediksi akan terjadi perubahandimana masyarakat lokal melalui holding company-nya akan berada dipuncak piramida ekonomi tersebut secara konsisten dan terus menerus.Walaupun ketika sektor ekonomi berhasil dikuasai secara penuh,diindikasikan akan memberikan dampak yang negatif di sektor sosialdan budaya serta memberikan tingkat keterancaman tersendiri terhadapkelestarian kawasan konservasi secara jangka panjang. Sehinggadibutuhkan system dan infrastruktur perencanaan, pelaksanaan,pengawasan dan pengendalian yang kuat dan sistematis oleh seluruhpihak.

Dalam hal pemenuhan kebutuhan dasar masyarakat, Tangkahan telahmenjawab kebutuhan masyarakat di wilayah dua desa tersebut dariaspek pemberdayaan masyarakat desa dan aspek konservasi kawasantaman nasional, walaupun dari implementasinya belum mampumenjangkau luasan wilayah yag sangat luas dan sebaran penduduk yagcukup besar dari dua wilayah desa tersebut jika dianalisis terhadapperspektif keadilan dan kesejahteraan yang juga masih bersifat ambigudan relatif dari berbagai sudut pandang. Persoalan mendasar di duawilayah desa tersebut adalah kedaulatan atas ruang sosial dan budaya serta penguasaan alat produksi yang dapat diusahakan secara mandiriuntuk kesejahteraan jangka panjang.

Saiful Bahri juga memberikan pendapatnya bahwa selain pihak BBTNGL, seluruh pihak terkait, termasuk masyarakat di kedua wilayahtersebut perlu tetap mendukung Tangkahan, dalam hubungannya dengan (1). Sistem otoritas, (2). Integrasi kolektif di bidang sosial, budaya danekonomi, dan (3). Proteksi terhadap regulasi. Tiga aspek tersebut akandijabarkan ke dalam bentuk kebijakan dan perencanaan yang terpadudan integral sehingga semua pihak mengetahui tujuan sasaran yagdicapai secara jangka panjang, jangka menengah dan jangka pendekdengan kuantitas dan kualitas energi yang sama.

Konsistensi BBTNGL terhadap pengembangan kawasan Tangkahan adalahmasih bersifat fluktuatif berdasarkan kebijakan para pengambil keputusandi internal BBTNGL, sehingga kebijakan dan perencanaan yang terpadudan integral sangat dibutuhkan untuk mengisi manajemen kolaborasidi antara kedua belah pihak tersebut. Dalam arti kebijakan danperencanaan untuk pelaksanaan pengembangan kawasan, tidak akantergantung pada orang perseorangan atau personal aktif yang mendukungtetapi lebih pada sistem itu sendiri. Ini menjadi evaluasi penting untukdianalisis.

BB TNGL secara optimal telah memberikan dan melakukan dukunganterhadap pengembangan kawasan Tangkahan hingga saat ini. Sehinggaevaluasi terhadap manajemen kolaborasi tersebut penting untukdilakukan dalam jangka waktu dekat untuk lebih mengintegrasikankedua belah pihak dalam sistem perencanaan dan kebijakan yangterintegrasi.

MoU antara LPT dan BB TNGL yang ditanda tangani pada tahun 2006adalah untuk masa waktu 2006-2011, dan pada akhir tahun 2011 telahdilakukan perpanjangan MoU/PK untuk masa waktu 2011-2016.Mekanisme evaluasi telah dilakukan, hanya saja belum sama-samadiimplementasikan secara optimal. MoU atau Perjanjian Kerjasama (PK)yang ditandatangani selama ini adalah produk hukum yang bersifatsosial budaya. Terbitnya PP 36 tahun 2010 tentang Ijin PengusahaanPariwisata Alam adalah produk hukum yang bersifat ekonomi. Pilihannyamemilih satu opsi dengan konsekuensinya dan atau mengintegrasikankedua opsi tersebut atau kita juga akan kehilangan kedua-duanya dariopsi tersebut. Efektifitasnya adalah pengintegrasian, dimana IPPA yangakan dikelola harus berbasis pada wilayah-wilayah yang telah dilakukanmanajemen kolaborasi dengan masyarakat di wilayah desa tersebut.Hal tersebut dilakukan untuk memperkuat ruang usaha dan ruang kontroldari masing-masing pihak, alternatif lainnya adalah LPT berkolaborasidengan BUMN/BUMD atau koperasi Kementerian Kehutanan (BB TNGL)atau berbagai alternatif lainnya dengan prinsip MoU tersebut bukandicabut, tetapi lebih banyak direplikasikan kepada wilayah-wilayah laindisepanjang kawasan konservasi, kawasan hutan lindung maupun hutanproduksi di wilayah Sumatera Utara dan nasional dalam visi KesatuanPengelolaan Hutan (KPH).

Bagian empatApa Kata Mereka

Page 49: Wiratno, lahir di Tulungagung 28 Maret 1962. Menempuh Menulis …ksdae.menlhk.go.id/assets/publikasi/Dari Penebang Hutan Liar ke... · BB TN Gunung Leuser), Saiful Bahri, Nurdin Razak

Nurdin RazakAkademisi dan Praktisi EkowisataUniversitas AirlanggaNurdin Razak adalah aktivis lingkungan yang beberapa tahun konsistenmenikmati keindahan TN Baluran. Koleksi foto-fotonya sangat menarikuntuk kita nikmati bersama bahwa ternyata Baluran bukan hanya bantengdan savana. Ia sempat mengunjungi Tangkahan ketika mengadakanexcursion setelah acara Pameran Wisata Alam di Medan. Pendapatnyamenarik untuk kita simak. Ia menyatakan sekilas hanya mengetahuibeberapa kegiatan ekowisata disana dengan pelibatan masyarakat yangsebelumnya berkecimpung di kegiatan i l legal logging.

Nurdin Razak menyatakan bahwa ekowisata dilakukan di Tangkahandapat dikategorikan sebagai ekowisata, hanya saja perlu kita perluketahui ekowisata sebenarnya lebih bermakna filosofi, namun dalamhal ini, dapat dijadikan alat pendongkrak ekonomi khususnya masyarakatlokal untuk lebih menghargai potensi lingkungan sekitar. Indikator yangdapat dilihat sebagai capaian kegiatan ekowisata adalah responwisatawan baik tertulis maupun lisan terkait pelayanan, materiinterpretasi, keselamatan dan kenyamanan dan variasi aktifitas ekowisatayang dinamis dengan tetap memegang prinsip ekowisata. Salah satupertanyaan yang muncul adalah bagaimana mengatur distribusi tugasdan hasil (ekonomi) terkait dengan kemampuan masing masing staf diTangkahan dengan tetap memberikan pelayanan maksimal terhadapwisatawan.

Sebagai praktisi dan akademisi yang mendalami ekowisata di Jawa Timur,Nurdin Razak cukup terkesan dengan kondisi Tangkahan saat pertamakali kesana. Ia menyarankan beberapa hal, yaitu : (1) Balai Besar TNGunung Leuser tidak boleh berhenti memberikan peluang-peluangusaha pengembangan ekowista di masyarakat sebagai luasan aktifitasekowisata, sehingga tidak terkesan eksklusif di kelompok masyarakattertentu. (2) Lembaga Pariwisata Tangkahan terus memberikan aksessertifikasi dan penjaminan mutu untuk menguatkan kompetensipelayanan ekowisata di internasional (3) Dinas Pariwisata Kab.Langkatsebaiknya membuat jaringan kegiatan pariwisata dengan stakeholderdi Kabupaten Langkat.

Bagian empat

8584

Bagian empat

Elephant trekking di Tangkahansumber foto : YOSL-OIC

Elephant trekking di Tangkahansumber foto : YOSL-OIC

Apa Kata Mereka

Page 50: Wiratno, lahir di Tulungagung 28 Maret 1962. Menempuh Menulis …ksdae.menlhk.go.id/assets/publikasi/Dari Penebang Hutan Liar ke... · BB TN Gunung Leuser), Saiful Bahri, Nurdin Razak

Bagian Lima

87

5Pembelajaran

Tangkahan

5Pembelajaran

Tangkahan

Selama hampir 13 tahun proses kerjasama para pihak di Tangkahan,telah memberikan banyak pelajaran. Khususnya tentang bagaimanapola-pola membangun hubungan yang baik dan saling menguntungkanantara pengelola taman nasional dengan masyarakatnya. Bagaimanapengelolaan taman nasional di Indonesia sebaiknya dilakukan. Berbagaipengalaman penegakan hukum ternyata tidak cukup dan tidak menjawabpersoalan-persoalan subtansial di masyarakat, seperti terbatasnya lahan,kemiskinan, pertambahan penduduk, dengan berbagai varian penyebablainnya yang saling tali temali, semakin kompleks dan dinamis.Dokumentasi dari pengalaman lapangan seperti di Tangkahan ini justrumenjadi semakin penting, sehingga pembelajaranya dapat disebarluaskandan diadopsi oleh siapapun yang peduli akan kelestarian hutan di satusisi dan bagaimana peran dan pentingnya meningkatkan kesejahteraanmasyarakat di pinggir hutan di sisi lainnya. Laksana dua sisi mata uangyang tidak dapat dipisahkan dan memang sebaiknya tidak perlu dilakukan.Kelestarian hutan akhirnya harus bisa menjawab persoalan-persoalanriil di tingkat masyarakat. Pembelajaran dari Tangkahan, selama hampir13 tahun, antara lain sebagaimana diuraikan sebagai berikut:

5.1. Peran Masyarakat

Peran masyarakat dalam pengelolaan kawasan konservasi terus menjadiperdebatan panjang di level akademisi, lembaga swadaya masyarakat,pengamat lingkungan, praktisi konservasi, mahasiswa, dan sebagainya.Pemahaman tentang masyarakat yang memerlukan pendekatanmultidisipliner, khususnya ilmu-ilmu sosial humaniora, menyebabkansebagian besar birokrat pengelola taman nansional kurang tertarik.Apalagi masyarakat bukanlah entitas yang homogen, sebagaimanadiuraikan oleh Sunjaya merujuk pendapat para pakar. Hal inipundibuktikan dengan rinci dan komprehensif oleh Saiful Bahri. SejarahTangkahan penuh dengan dinamika dan konflik-konflik. Skala konflikyang meningkat disebabkan oleh semakin sempitnya lahan untuk hidup.Terjepit di antara perkebunan sawit dan hutan TNGL. Bahkan situasi inisudah terjadi sejak lama.

Sejak kelahiran 55 kawasan konservasi yang pertama tahun 1912 yangdimotori oleh Perhimpunan Perlindungan Alam Hindia Belanda, yangdipimpin oleh Dr. S.H.Koorders, kriterianya memang lebih berorientasipada perlindungan alam, estetika, habitat hidupan liar, dan gejala alam.

sumber foto : YOSL-OIC

Page 51: Wiratno, lahir di Tulungagung 28 Maret 1962. Menempuh Menulis …ksdae.menlhk.go.id/assets/publikasi/Dari Penebang Hutan Liar ke... · BB TN Gunung Leuser), Saiful Bahri, Nurdin Razak

Bagian Lima

8988

Hanya satu kawasan konservasi yang ditetapkan selain nilai-nilaikeragaman hayatinya juga untuk melindungi suku-suku asli yang hidupdi dalamnya. Kawasan konservasi tersebut adalah Cagar Alam Lorentz.

Walupun pada era 1980an, John McKinnon telah menambahkan kriteriasosial-ekonomi dalam pengusulan kawasan konservasi, sebagaimanabisa dipelajari dalam 8 seri dokumen National Conservation Plan (NCP),dalam praktiknya, orientasi pengelolaan yang terlalu berat ke aspekflora, fauna, gejala alam, serta sering diabaikannya peran masyarakatkhususnya aspek kultural, aspek sosial, ekonomi, dan budaya, menjadibahan kritikan kelompok ahli-ahli atau praktisi ilmu sosial humaniora.Dimana peran dan posisi masyarakat dalam perlindungan keragamanhayati, yang seringkali atas nama dan untuk memenuhi target ataukomitmen Indonesia terhadap “kesepakatan global”. Dalam kesepakatanini, setiap negara diminta menyisihkan minimal 10% dari sumberdayaalamnya untuk dialokasikan sebagai kawasan yang dilindungi. Akhirnyapada praktik kelola kawasan konservasi, muncul benturan atau sengajadibenturkan pada pilihan untuk perlindungan keragaman hayati,melindungi habitat satwa liar di satu kutub dan kepentingan sosial,ekonomi, dan kesejahteraan masyarakat, utamanya yang hidupnya masihsangat bergantung pada sumberdaya hutan itu. Pilih antara mengurusorangutan atau orang beneran (manusia) menjadi perdebatan atausinisme di antara kelompok yang pro masyarakat. Perdebatan yangtidak berkesudahan dan hanya terjebak dalam wilayah diskursus, wacana,tanpa masing-masing pihak mampu membuktikan kebenarannya. Merekatidak mengujinya di lapangan. Tangkahan, semoga mampu memberikanjawaban atas perdebatan tersebut.

5.2. Perubahan Paradigma dan Kebijakan

Dalam kongres Taman Nasional Sedunia ke V pada tahun 2004 di kotaDurban, Afrika Selatan, peran kawasan-kawasan konservasi, termasuktaman nasional, telah berubah (tepatnya) dirubah dan telah menjadikesepakatan bersama secara global. Peranan masyarakat (hukum) adat,masyarakat setempat, sangat besar dan strategis, untuk mendapatkanmanfaat dari kawasan konservasi. Mereka juga diberikan peluang yangcukup besar dalam membantu pengelolaan kawasan konservasi. Perananswasta, generasi muda, juga menjadi perhatian serius dan mengemukadalam Durban Accord tersebut. Pengelolaan kawasan konservasi jugaharus dikaitkan dengan pembangunan berkelanjutan. Berkaitan denganpengentasan kemiskinan, peranan lembaga-lembaga konservasi globaldalam membantu menginvestasikan pendanaan untuk pengelolaankawasan konservasi secara global.

Dukungan pendanaan, diperlukan sumber pendanaan sekitar US $ 25milyar untuk membangun dan memelihara sistem pengelolaan kawasankonservasi global, khususnya bantuan pendanaan untuk negara-negaraberkembang, antar organisasi pemerintahan dan non-pemerintahan(LSM), dan keterlibatan sektor swasta. Sayang sekali, dokumenkesepakatan global seperti ini kurang disebarluaskan ke para pihak.

Memperhatikan perubahan paradigma yang cukup signifikan dalamkongres itu, yang tercantum dalam Durban Accord, maka Durban Accordperlu kita pertimbangkan dalam penyusunan zonasi sebagai alatmanajemen taman nasional di Indonesia; perubahan pola pengelolaankawasan konservasi, khususnya dalam kaitannya dengan posisi dan peranmasyarakat.

Di tingkat nasional, terbit Permenhut Nomor P.19/2004 tentang KolaborasiPengelolaan Kawasan Suaka Alam dan Kawasan Pelestarian Alam.Permenhut ini memberikan peluang para pihak untuk membantupengelolaan kawasan konservasi, termasuk masyarakat. Selanjutnyapada tahun 2006, terbit Permenhut Nomor P.56 tentang Zonasi TamanNasional. Konsultasi publik disyaratkan dalam penyusunan zonasi danzonasi mengakomodasi kepentingan masyarakat setempat termasukmasyarakat hukum adat. Proses partisipasi dalam penyusunan zonasiini suatu langkah sangat maju dimana ruang dialog dibuka seluas-luasnya.

Hutan Taman Nasional Gunung Leusersumber foto : YOSL-OIC

Pembelajaran Tangkahan

Page 52: Wiratno, lahir di Tulungagung 28 Maret 1962. Menempuh Menulis …ksdae.menlhk.go.id/assets/publikasi/Dari Penebang Hutan Liar ke... · BB TN Gunung Leuser), Saiful Bahri, Nurdin Razak

Pola kerjasama yang dikembangkan di Tangkahan, antara lain melaluiMoU Kerjasama LPT dengan Balai TN Gunung Leuser (2006), dan berbagaipendekatan dan konsistensi dukungan keterpaduan kegiatan dari BalaiTN Gunung Leuser ditujukan untuk mendukung pengembangan EkowisataTangkahan ke depan. Kerjasama ini perlu segera dievaluasi dan dijadikansebagai fondasi pengembangan Tangkahan. Apakah melalui skemakerjasama atau kolaborasi atau didorong menuju pola perizinan, sepertiIzin Pemanfaatan Pariwisata Alam (IPPA).

Berita ini tentu cukup memberikan angin segar bagi Kepala UPT yangmenghadapi berbagai persoalan perambahan. Penegakan hukum tidakselalu menjadi solusi. Memang, dalam penyelesaian banyak persoalandi kawasan konservasi Indonesia, tidak ada “Solusi Tunggal”. Tidak ada“Single Solution” untuk masalah-masalah yang terjadi di dalam kawasankonservasi. Nuansa kerakyatan dan kebhinekaan yang menjadi ciri khasmasyarakat Indonesia, semestinya diakomodasi dalam proses-prosesmulai sejak identifikasi masalah/potensi, sampai ke tingkat perencanaanpartisipatif, pelaksanaan kegiatan dengan sejauh mungkin melibatkanberbagai komponen masyarakat, termasuk di dalamnya adalahpemantauan dan evaluasi bersama. Apabila paradigma baru ini, yangsejalan dengan berbagai konvensi global, bisa dijalankan secara konsistenoleh pengelola taman nasional, maka dukungan masyarakat akan semakinmeningkat, seiring dengan tingkat kesadaran mereka akan pentingnyamenjaga lingkungan di sekitar mereka hidup dan mencari penghidupan.

Bagian Lima

9190

Situasi yang belum pernah terjadi sebelumnya. Pada tahun 2008, terbitPermenhut No.41 tentang Penyusunan Rencana Pengelolaan KSA danKPA yang mensyaratkan pula suatu konsultasi publik, dalampenyusunannya. Aturan main sudah ditetapkan, tinggal pelaksanaannya,apakah mempunyai niat yang tulus untuk melaksanakannya danmenghindarkan diri dari jebakan formalitas. Hal ini menjadi tantangantersendiri tentang perubahan paradigma dalam penyusunan berbagaiproduk kebijakan yang akan berdampak pada masyarakat setempat.

Keberanian seorang Kepala Balai (Besar) Taman Nasional, untukmelakukan perubahan, khususnya dalam proses penyusunan kebijakandi tingkat lokal, menjadi faktor penentu apakah di tataran akar rumputakan terjadi perubahan. Dengan telah tersedianya aturan main tentangkonsultasi publik, ternyata tidak serta merta terjadi perubahan di tingkatlapangan. Partisipasi memerlukan banyak energi, waktu, dan tenaga,serta biaya. Berbagai kesalahpahaman, konflik, beda pendapat harusdifasilitasi untuk dicarikan titik temu. Keterbukaan pihak pemerintah(dalam hal BB TN Gunung Leuser adalah Kepala Balai Besar) dalammembuka ruang dialog dan diskusi dengan para pihak kunci ini sebenarnyasangat ditunggu-tunggu oleh banyak pihak. Terutama, untuk evaluasiprogram-program prioritas, seperti Ekowisata Tangkahan, Restorasi SeiSerdang, rehabilitasi dan strategi penjagaan dan pengelolaan Besitang.Di samping itu, masih banyak agenda panjang di wilayah Aceh, untuksegera difasilitasi dan dicarikan solusi-solusi yang realistis danmenguntungkan semua pihak, termasuk bagi kepentingan pelestarianLeuser.

Kerjasama Indonesia-Korea SelatanPernyataan Dirjen Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam (PHKA) di Harian Kompas (24 November 2012, Halaman 24) sangat menarikuntuk kita simak. Berita berjudul :”Kemenhut Meniru Korea” DirjenPHKA menyatakan : “.....Kami mulai pendekatan baru menghadapiperambahan karena penertiban atau penggusuran tak berhasil.Caranya mengajak masyarakat sekitar hutan turut menjaga hutan”Kerjasama yang disebut sebagai “Sister Park” ini dilakukan di TNGunung Gede Pangrango dengan TN Jirisan; TN Dadohaehaesangdengan calon mitra TN Laut, yaitu TN Karimun Jawa, TN Kep.Seribu,TN Bunaken, atau TN Takabonerate.

Hutan TNGL di Besitang - Langkatsumber foto : YOSL-OIC

Pembelajaran Tangkahan

Page 53: Wiratno, lahir di Tulungagung 28 Maret 1962. Menempuh Menulis …ksdae.menlhk.go.id/assets/publikasi/Dari Penebang Hutan Liar ke... · BB TN Gunung Leuser), Saiful Bahri, Nurdin Razak

Bagian Lima

9392

5.3. Pembelajaran Tangkahan

Mengapa dikatakan sebagai anomali dalam konteks ekowisata?Tangkahan didisain pada awal mulanya, karena kesadaran masyarakatdan para tokoh di desa Sei Serdang dan Namo Sialang, akan dampakkerusakan hutan Leuser yang berbatasan dengan desa mereka.Kepindahan Wak Yoen, tokoh pertama dan paling senior di Bukit Lawang itu menemukan Tangkahan pada tahun 1997. Tidak ada seorangpunyang tertarik mengembangkan Tangkahan sebagai salah satu destinasi(eko) wisata alam pada saat itu. Masa itu diwarnai dengan semakinmerebaknya illegal logging, termasuk di wilayah Tangkahan, dan bahkantelah berlangsung dalam tempo yang lama. Nalurinya sebagai pecintaalamlah yang penulis kira mendorongnya untuk berbuat sesuatu.Melakukan suatu tindakan nyata untuk segera mencegah kerusakanhutan. Penggalangan demonstrasi ke Medan dengan sasaran pengelolaLeuser, waktu itu, yang dikepalai oleh seorang Adi Susmianto.Demonstrasi justru disambut oleh Adi Susmianto dengan ajakan untukbekerjasama mengamankan hutan, di wilayah desanya masing-masing.Ajakan ini akhirnya menjadi titik awal perjuangan Tangkahan sebagaikawasan yang bisa dinikmati keindahannya sekaligus diharapkan mampumenggerakkan ekonomi setempat. Spirit mencintai hutan sangat kentaldan dijiwai dengan sepenuhnya oleh Wak Yoen. Bahkan ketika diskusipenulis dengannya pada 28 Maret 2013 di ecolodge yang dikelolanya didepan Sei Buluh. Wak Yoen tidak pernah melarang pemuda-pemudadesa yang melakukan aktivitas illegal dengan menebang kayu ataumenyetrum ikan di sungai. Ia secara bertahap mengajak mereka bicaradan berteman dan bicara dari hati ke hati, sambil minum kopi di lepaudan bersendagurau. Ketika Wak Yoen harus tinggal di Inggris (2000-2004), ia bekerja di sana dan sebagian hasil tabungannya dikirimkan keTangkahan untuk berbagai upaya kegiatan pemuda dan untukmembangun Tangkahan yang ia impikan. Ialah yang mendirikan persatuanguide pertama kali di Sumatera di Bukit Lawang. Impian Wak Yoenbanyak diterjemahkan oleh tokoh muda. Salah satunya yang palingkompeten menulis dan membuat perencanaan itu adalah Saiful Bahri.

Berbagai komentar yang dimintai penulis, pada umumnya menyatakanbahwa hutan Leuser di Tangkahan aman. Tidak ada lagi suara chainsawyang meraung-raung membelah kesenyapan hutan purba itu. PernyataanWahdi Azmi, yang lama mendukung Tangkahan dengan inisiatif elephant

trekking-nya, jelas menyebutkan keberhasilan pola Tangkahan, bukanhanya dari ekowisatanya. Telah tumbuh kesadaran pada generasi tuadan muda di sana, akan kepentingan menjaga hutan Leuser. Untukmereka saat ini. Untuk generasi mendatang. Kepala Desa Sei Serdang,Pak Ganin Sembiring, ketika berbagi pengalaman dengan penulis, jugamenyatakan bahwa Tangkahan banyak memberikan manfaat, yangdirasakan oleh masyarakat desa yang dipimpinnya. Namun demikian,kepala desa ini tidak menyadari bahwa pola Tangkahan, pola hubunganmasyarakat-hutan Leuser yang harmonis ini, menjadi percontohan yangsangat penting. Di desa-desa tetangganya di Besitang, konflik masyarakatdengan taman nasional tidak pernah dapat diselesaikan. Eks pengungsiAceh masih berada di dalam kawasan Besitang. Laksana dua kutub yangberseberangan: Tangkahan wilayah adem ayem sedangkan Besitangdaerah panas penuh sengketa, yang berkepenjangan tanpa ujung sejak1999, dan bahkan jauh sebelum kedatangan pengungsi asal Aceh tersebut.Di Besitang, 4.000 ha kawasan taman nasional berubah menjadi sawit.Di Tangkahan, LPT diminta menjaga 17.000 ha hutan yang berbatasandengan Desa Namo Sialang dan Sei Serdang, terus dijaga sampai saatini.

Elephant trekking di daerah wisata Tangkahan sumber foto : YOSL-OICElephant trekking di daerah wisata Tangkahan sumber foto : YOSL-OIC

Pembelajaran Tangkahan

Page 54: Wiratno, lahir di Tulungagung 28 Maret 1962. Menempuh Menulis …ksdae.menlhk.go.id/assets/publikasi/Dari Penebang Hutan Liar ke... · BB TN Gunung Leuser), Saiful Bahri, Nurdin Razak

Bagian Lima

termasuk Indonesia. Keberhasilan pengelolaan kawasan konservasi yangmanfaatnya berskala lokal sampai dengan di tingkat global, memerlukansuatu leadership atau kepemimpinan kolektif atau bersama, secaraterpadu dan saling bersinergi. Tangkahan memberikan kita pelajaranyang sangat berharga tentang peran local leader. Pemimpin lokal yangmenunjukkan komitmennya yang konsisten tanpa henti, tanpa pamrih,sebagaimana ditunjukkan oleh Wak Yoen, Pak Okor, Ruth dan beberapatokoh muda Tangkahan, yang sampai saat ini masih terus menjagaTangkahan. Local leader ini adalah mereka yang berperan sebagaipemimpin informal dan tinggal di pinggir hutan, sehingga ia setiap saatdapat melakukan berbagai tindakan dan contoh laku bagaimana bersikapmenjaga hutan. Di Tangkahan, tidak diperlukan investasi milyaran untukmenjaga hutan. Tidak seperti di Besitang, yang telah menghabiskanmilyaran rupiah untuk menegakkan hukum dan menyelesaikan persoalanperambahan, yang sejak tahun 2000 tidak pernah bisa tuntas. Penegakanhukum menemui jalan buntu.

9594

Maka, Tangkahan bukan sekedar wilayah yang moncer karenaekowisatanya. Ia suatu wilayah dimana telah berlangsung pembelajaransecara terus menerus, tentang hubungan masyarakat dengan tamannasional. Kalau dibandingkan dengan luas TN Gunung Leuser yang hampir1 juta Ha, wilayah Tangkahan yang diamankan seluas 17.000 ha itu,tentulah bukan luasan yang cukup signifikan. Namun demikian, Tangkahantelah menunjukkan kepada kita, bagaimana apabila pemerintah mampudan mau (memiliki goodwill) untuk mengajak masyarakat secara bersama-sama menjaga taman nasional, maka hal itu dapat terjadi. Paradigmapemerintah harus berubah atau dipaksa untuk dirubah. Lebih banyakmendengarkan aspirasi, melihat langsung ke lapangan, dan mencaripeluang dimana pemerintah bisa duduk bersama-sama denganmasyarakat dan komponen lainnya, membangun kesepakatan dan visibersama.

5.4. Kepemimpinan Kolektif

Persoalan lingkungan semakin kompleks dengan dinamika perubahannyayang tidak menentu dan sulit diprediksi. Yang pasti adalah kecenderungankerusakan yang semakin meningkat. Ketika setiap negara diminta untukmenyisihkan 10% dari luas wilayahnya untuk ditetapkan sebagai kawasanyang dilindungi, maka pemerintah Indonesia (Kementerian Kehutanan)mulai menyusun suatu rencana penunjukan/penetapan kawasan-kawasantersebut.

Dalam perjalanan waktu, sejak era 1980an sampai saat ini atau selamahampir 23 tahun, telah terjadi banyak perubahan, baik dari aspekgeopolitik, sosial, ekonomi, budaya, yang menyebabkan berubahnyapola-pola hubungan masyarakat-hutan; masyarakat-taman nasional.Ketika pemerintah telah menunjuk/menetapkan 27,2 juta ha kawasankonservasi, maka muncul persoalan kapasitas pengelolaan. Kawasankonservasi sebagai common pool resources (CPR) ternyata tidak akanpernah mampu dikelola oleh pemerintah. Terlalu luas dan terlalu mahaluntuk dapat melakukan pengelolaan secara soliter. Maka, keberhasilanpengelolaan kawasan konservasi, sangat ditentukan oleh kerja kolektifdari berbagai komponen, yaitu pemerintah-masyarakat sipil-swasta, danbahkan melebar pada komitmen masyarakat global. Masyarakatinternasional, yang telah mensepakati suatu konvensi dunia, tentangkawasan-kawasan yang dilindungi di seluruh negara-negara dunia,

Wak Yoen dan Tangkahan"Di sini karena SDM-nya sudah mengerti maka mereka akan berhentisendiri kalau merusak lingkungan.... dan saya tidak pernah melarangmereka yang menyetrum ikan di sungai dll... sekarang justru merekapada mancing...tidak ada yang menyetrum...karena malu sendiri.Tingkat kepedulian masyarakat di sini juga sudah besar... apalagiuntuk lingkungan dan hutan… mereka malu jika sampai menebangipohon. Jadi jika kita ingin menikmati hasil dari Tangkahan ya kitaharus berbuat. Saya kurang bisa menerima jika ada yangmenyalahkan... karena yang menyalahkan itu yang tidak pernahberbuat. Konservasi itu dari hati... dan menurut saya tidak ada itukonservasi... Tapi konservasi kalau tidak dilakukan... macam adayang kurang di hati ini. Banyak orang dapat gelar dari Tangkahanmeski mereka tidak pernah ke Tangkahan.... Dan yang membuatsaya kecewa adalah jika ada yang menyebut Tangkahan berhasil...Itu saya dulu menerapkan bagaimana cara belajar lapar... carabekerja dan berpikir.... Contoh sekarang… dengan adanya LSM yangpenuh fasilitas dan dananya besar justru membuat mereka kurangdalam pembentukan mental karena orientasinya proyek.”

Pembelajaran Tangkahan

Page 55: Wiratno, lahir di Tulungagung 28 Maret 1962. Menempuh Menulis …ksdae.menlhk.go.id/assets/publikasi/Dari Penebang Hutan Liar ke... · BB TN Gunung Leuser), Saiful Bahri, Nurdin Razak

Bagian Lima

9796

Keberhasilan upaya restorasi di Sei Serdang, yang semula arealperambahan sawit, menunjukkan fakta bahwa kehadiran Kepala Resortdan stafnya yang tinggal di lapangan dan sikap mereka dalamberhubungan dengan masyarakat di sekitarnya, menjadi faktor penentukeberhasilan restorasi tersebut. Dukungan yang konsisten dari UNESCOdengan jajaran stafnya, menjadi faktor tambahan yang juga menentukankeberhasilan di Sei Serdang itu (Wiratno, 2013). Maka, penulis menyakinibahwa collective leadership yang mendorong collective action menjadisalah satu kunci keberhasilan kelola kawasan Taman Nasional Leuser.Kapasitas kepemimpinan inilah yang seharusnya dapat direplikasi diratusan desa yang mengepung TN Gunung Leuser, di wilayah SumateraUtara maupun di Aceh. Upaya replikasi Tangkahan pernah dilakukan diSei Lepan, namun tidak berlanjut. Disain besar replikasi Tangkahansebaiknya juga menjadi agenda BBTNGL ke depan, yang tentu perludidorong oleh Ditjen PHKA dan para pihak lainnya. Durban Accord,sebagai hasil dari kesepakatan pada Kongres Taman Nasional Seduniake V di Durban, Afrika Selatan, 2004, menyatakan bahwa keberhasilanpengelolaan kawasan konservasi sangat ditentukan pada upaya bersamapihak pemerintah, swasta, masyarakat setempat, masyarakat tradisional,organisasi sukarelawan, dan berbagai pihak lain, serta sebagai tempatuntuk mempertemukan bersama-sama kepentingan alam, budaya danspiritual.

5.6. Langkah-langkah ke Depan

Mempertimbangkan sebagian besar pendapat para pelaku di Tangkahan,para pendukung dan pengamat ekowisata, serta merujuk berbagaiperkembangan di tingkat global, di tataran nasional, dan di tingkat BalaiBesar TN Gunung Leuser, langkah-langkah yang masih perlu dilakukanantara lain adalah :

1. Di tingkat nasional, Ditjen Perlindungan Hutan dan Konservasi (PHKA)beserta jajarannya perlu segera memfasilitasi proses pembelajarankeberhasilan Tangkahan untuk di-scaling up, diangkat ke tingkatnasional. Hal ini penting, agar pengelola taman-taman nasional dankawasan konservasi lainnya di seluruh Indonesia, mau belajar danmengambil pelajaran dari Tangkahan. Setelah 13 tahun, Tangkahanmembuktikan bahwa apabila pemerintah mengambil posisi dan peranyang tepat, maka dukungan masyarakat dalam turut serta secara aktif

dan konsisten, menjagahutan, dapat dilakukan,dan bukan hanya mitos.Pembelajaran ini dapatdilakukan bersama-samadengan model penguatanmasyarakat, seperti di CA

Gunung Simpang,Cianjur,

Jawa Barat. PembelajaranCA Gunung Simpang, yangdijaga oleh masyarakat,dengan membentuk“pasukan” Raksa Bumidapat dibaca dalam bukuyang menceritakantentang proses tersebut,yang berjudul: “SaatnyaKami Berdaulat” SebuahCuplikan PengalamanMasyarakat Gunung Simpang untuk Membangun Kembali Perannyadalam Pengelolaan Sumberdaya Alam. Buku yang ditulis oleh RidwanSoleh, Pupung Nurwatha, Idah Faridah, dan Rasman Nuralam iniditerbitkan oleh Direktorat Konservasi Kawasan dan Bina HutanLindung, Ditjen PHKA, pada tahun 2010. Buku dapat diunduh di :

www.konservasiwiratno.blogspot.com

2. Di tingkat Balai Besar TN Gunung Leuser, upaya-upaya yang sebaiknyaterus dilakukan dan tingkatkan antara lain bagaimana mensinergikanberbagai kegiatan dan investasi yang dibiayai oleh BBTNGL, untukmendukung Tangkahan saat ini. Pembangunan instalasi air untukmendukung kegiatan di sekitar Information Center dan Kantor ResortTangkahan serta kebutuhan air untuk beberapa warung makan, sangatditunggu masyarakat. Pemberdayaan guide yang dibekali denganinformasi tentang TN Gunung Leuser secara keseluruhan dan kapasitaspraktis lainnya, seperti pengenalan jenis pohon, fauna (khususnyaburung), anggrek, jamur, manfaat ekosistem hutan tropis, dansebagainya juga masih perlu terus menerus disegarkan. Skema IPPAsebagai pengganti pola kerjasama atau kolaborasi, perlu dipikirkan

Pembelajaran Tangkahan

Page 56: Wiratno, lahir di Tulungagung 28 Maret 1962. Menempuh Menulis …ksdae.menlhk.go.id/assets/publikasi/Dari Penebang Hutan Liar ke... · BB TN Gunung Leuser), Saiful Bahri, Nurdin Razak

Bagian Lima

9998

kembali, mengingat sejarah Tangkahan, bukan hanya ditujukan untukpengembangan ekowisata. Staf kunci di BBTNGL sebaiknya memahamisejarah Tangkahan dan peran pentingnya dalam membantu menjagahutan Leuser, khususnya di areal seluas 17.000 ha yang dikerjasamakantersebut. Kehadiran staf Resort di Tangkahan mutlak diperlukan, untukmengantisipasi berbagai persoalan yang timbul di lapangan. Saat ini,ada kesan bahwa Tangkahan tidak begitu diperhatikan atau didampingi,sementara berbagai perkembangan di Tangkahan masih memerlukanpendampingan BBTNGL. Penguatan pola pendampingan di tingkatSeksi Wilayah dan Resort menjadi sangat penting untuk segera dibahasbersama-sama dengan LPT dan dengan mitra lainnya. Besarnya danayang masuk ke BBTNGL dalam bentuk karcis masuk, sebaiknya janganmenjadi prioritas utama di Tangkahan. Kalaupun diperlukan, makaharus dibangun paket-paket wisata minat khusus, seperti yang sudahada yaitu elephant trekking, untuk ditingkatkan kualitas dan profitsharing-nya, secara terbuka dan fair. BBTNGL juga perlu menyusunagenda riset terapan maupun riset murni di Tangkahan, sehinggahasil riset tersebut dapat dijadikan masukan untuk revisi kebijakanatau revisi kegiatan. Peningkatan eselonisasi dari Balai (Eselon III)menjadi Balai Besar (Eselon IIb) pada akhir tahun 2007 di TN GunungLeuser, sebenarnya memberikan peluang yang besar, untukpeningkatan pelayanan. Saat ini terdapat Kantor Bidang Wilayah diStabat, yang diharapkan tingkat dan kualitas komunikasi dua arah,termasuk di Tangkahan, semakin meningkat. Beberapa agenda internalBBTNGL, terkait dengan pengembangan Tangkahan, menurut UjangWhisnu Barata, adalah: (a) Pengaturan kembali (re-arrangement)kegiatan kemitraan di Tangkahan sehingga terjadi reposisi peran paramitra dalam bentuk sinergitas kegiatan dapat ditata ulang secaralebih jelas, (b) Agenda pertemuan rutin dengan mitra terkait terutamaLPT, untuk membahas isu dan ide-ide terbaru pengembangan kawasanTangkahan, (c) Pembinaan internal personil lapangan di tingkat resortmaupun seksi agar lebih aktif terlibat dalam pendampingan aktifitasekowisata di lapangan, (d) Promosi, data, dan informasi mengenaiTangkahan yang terakses on-line, dan (e) Penyegaran/pelatihan guidedan interpreter lokal. Nurdin Razak, seorang praktisi dan akademisiyang mendalami ekowisata, memberikan masukan agar BB TN GunungLeuser tidak boleh berhenti memberikan peluang-peluang usahakembangan ekowisata di masyarakat sebagai luasan aktifitas ekowisata,sehingga tidak terkesan eksklusif di kelompok masyarakat tertentu.

Lembaga Pariwisata Tangkahan terus memberikan akses sertifikasidan penjaminan mutu untuk menguatkan kompetensi pelayananekowisata di internasional, dan Dinas Pariwisata Kabupaten Langkatsebaiknya membuat jaringan kegiatan pariwisata dengan stakeholderdi Kabupaten Langkat. Nurdin Razak juga memberikan pendapattentang pentingnya dilakukan survey tentang kepuasan pengunjungkhususnya wisatawan dari mancanegara.

3. Di tingkat kabupaten, Pemerintah Kabupaten Langkat perlu dudukbersama dengan BBTNGL dan LPT khususnya dalam pembahasanprofit sharing dari meledaknya wisatawan di Tangkahan. Pada saatini, Pemkab Langkat tidak mendapatkan pembagian yang memadaisebagai Pendapatan Asli Daerah (PAD). Karena kondisi inilah mungkinPemkab Langkat belum dapat mengalokasikan program dukungan,seperti perbaikan jalan menuju Tangkahan, yang telah lama ditungguoleh masyarakat. Listrik masuk Tangkahan baru tiga bulan yang lalu,sedangkan di Desa Sei Serdang, aliran listrik telah masuk sejak tahun2002. Hal ini mencerminkan belum dilihatnya Tangkahansebagaiprioritas pembangunan khususnya untuk daerah tujuan wisata.

4. PTPN II perlu diajak berdialog, khususnya yang terkait denganpengembangan Tangkahan, sebagaimana yang diusulkan oleh SaifulBahri (Tangkahan 10-20 tahun mendatang). Beberapa pelaku wisatadi Tangkahan menyampaikan keinginan dan ide yang sama. RedesignTangkahan, memerlukan ruang yang lebih luas dan PTPN II dapatdiajak berbagi ruang dengan pola kerjasama kemitraan yang konkritdan jelas. Dialog multipihak ini, tentu perlu difasilitasi oleh BBTNGL,tidak cukup hanya oleh LPT, karena hal ini merupakan kepentinganbersama.

5. Pengembangan paket-paket ekowisata sebaiknya tidak hanya untukwilayah Tangkahan. Sebagaimana telah diupayakan paket Tangkahan-Bukit Lawang, maka ada baiknya apa yang diusulkan oleh UjangWishnu Barata, perlunya didorong paket baru ke areal restorasi SeiSerdang. Sehingga wisatawan manca negara dapat diberi kesempatanuntuk memahami persoalan kerusakan Leuser, dan upaya-upaya yangdilakukan oleh BBTNGL bersama para pihak, untuk melakukan restorasidan mempelajari bagaimana hasilnya.

Pembelajaran Tangkahan

Page 57: Wiratno, lahir di Tulungagung 28 Maret 1962. Menempuh Menulis …ksdae.menlhk.go.id/assets/publikasi/Dari Penebang Hutan Liar ke... · BB TN Gunung Leuser), Saiful Bahri, Nurdin Razak

Bagian Lima

101100

6. Paket elephant trekking Tangkahan Bukit Lawang maupun trekkingpendek perlu segera dibahas secara intensif dengan BBTNGL, terkaitdengan ketersediaan gajah dan hal-hal yang menyangkut pembagiankeuntungan yang dikaitkan dengan penerimaan negara bukan pajak(PNBP), dimana pihak Ditjen PHKA selalu mendorong agar BBTNGLmeningkatkan perolehannya.

7. Program Tangkahan berjangka panjang (sampai dengan 2054)sebagaimana disampaikan oleh Saiful Bahri, perlu dikomunikasikansecara kontinyu dan mendetil khususnya difokuskan pada programberjangka 5 tahun dan tahunan, di BBTNGL. Dengan demikiandiharapkan dapat dirancang usulan kegiatan-kegiatan di pihak tamannasional yang mendukung kebutuhan-kebutuhan mendesak danprioritas di Tangkahan. Tanpa komunikasi dan dialog yang dikawaldengan baik, berbagai ide dan gagasan yang bagus di tingkat lapangan,tidak dapat diakomodir oleh BBTNGL karena tidak dimasukkan kedalam anggarannya. Bidang Wilayah di Stabat mempunyai peranpenting dalam menyambungkan komunikasi antara Tangkahan denganKantor BBTNGL di Medan.

8. Lembaga Pariwisata Tangkahan (LPT) perlu terus meningkatkankapasitasnya di berbagai bidang termasuk kemampuan dalampengelolaan keuangan yang modern, dengan aturan-aturanpengelolaan keuangan yang disepakati bersama. LPT perlumeningkatkan status hukum kelembagaannya, termasuk membentukbadan-badan usaha milik lembaga (BUMD) sebagaimana digagas olehSaiful Bahri. BUMD inilah cikal bakal lembaga lokal yang akanmenggerakkan roda ekonomi lokal berbasiskan potensi sumberdayaalam dan modal sosial yang telah mereka miliki, untuk membangunkemandirian dan mulai mendorong kemampuannya untuk mampumenguasai sumberdaya di sekitarnya. Bersama para pelaku wisata,BBTNGL dan masyarakat, LPT juga harus terus mengembangkan tatakelola pariwisata Tangkahan, hingga tercipta sistem pengelolaan yangmenjadi harapan semua pihak. Sistem pengelolaan yang dimaksudtentunya untuk menjamin kegiatan-kegiatan pelestarian ekosistemdan keanekaragaman hayati tetap menjadi bagian yang tak terpisahkandari program pengembangan pariwisata Tangkahan. Dengan kata lainpenulis berharap LPT tidak terjebak pada pembangunan pariwisatayang mengedepankan sisi komersial semata. Proses penguatan inisebaiknya didampingi oleh BBTNGL dan para pihak yang peduliterhadap proses penguatan lembaga-lembaga lokal dalam kaitannyadengan pengelolaan sumberdaya alam yang berpegang pada prinsip-prinsip kelestarian.

9. Lembaga-lembaga dari luar yang bermaksud membantu Tangkahandalam berbagai bentuknya, sebaiknya membangun tradisi untukduduk bersama, sebelum menyusun rencana-rencana. Apabilaperencanaan dibuat sepihak, dikhawatirkan pada akhirnya nanti tidakbegitu bermanfaat atau bahkan tidak diperlukan oleh Tangkahan.Bottom-up planning yang memaksa para pihak untuk menempuhjalur partisipasi dan pelibatan para pihak di tingkat lapangan, menjadisalah satu nilai-nilai dasar pembangunan Tangkahan ke depan.

10.Dokumentasi secara sistematis tentang proses pembelajaran diTangkahan yang dilakukan secara terus menerus sebaiknya terusdijaga momentumnya, dengan tujuan untuk mengetahuiperkembangan, baik di bidang fisik, sosial, ekonomi mikro, budaya,aspirasi, pemahaman, dan pemikiran tentang Tangkahan ke depan.Kongres LPT di Tangkahan sumber foto : YOSL-OIC

Pembelajaran Tangkahan

Page 58: Wiratno, lahir di Tulungagung 28 Maret 1962. Menempuh Menulis …ksdae.menlhk.go.id/assets/publikasi/Dari Penebang Hutan Liar ke... · BB TN Gunung Leuser), Saiful Bahri, Nurdin Razak

Bagian Lima

11. Banyak riset yang dilakukan yang menjadikan Tangkahan hanyasebagai obyek penelitian semata-mata. Participatory Action Research(PAR) perlu diujicobakan di Tangkahan, dengan harapan masyarakatsemakin paham akan pentingnya keterlibatan mereka bahkan dalamhal riset-riset yang seolah-olah saat ini hanya menjadi milik kaumberpendidikan di perguruan tinggi. Mereka mampu melakukan riset-riset terapan dengan dukungan fasilitator dan peneliti, yang hasilnyauntuk mendorong dan memperbaiki berbagai program Tangkahan.

12. Tangkahan yang “meledak” dan mendunia telah terbukti saat ini.Mesin pencarian Google memberikan hasil pencarian sebanyak10.400 temuan terkait Ekowisata Tangkahan, hanya dalam 0,22 detik.Semakin banyaknya kunjungan wisatawan mancanegara, meningkat214% dari tahun 2010 dibandingkan tahun 2012, memberikanimplikasi yang serius apabila tidak segera dilakukan upaya-upayayang sistematis dalam pengelolaan pengunjung. Demikian puladengan membludaknya kunjungan wisatawan lokal yang berjumlahribuan dalam 1 hari, akan berdampak penurunan kenyamanan,kebisingan, sampah, dan efek-efek kurang baik lainnya.Pengembangan wisata pantai merupakan ide yang tepat untukmemecah konsentrasi kunjungan di Sungai Bulu dan sekitarnya.Namun demikian, pemantauan terhadap dampak kunjungan iniharus terus dilakukan, dan dikaji hasilnya secara serius. Wak Yoenmengingatkan kita berkali-kali bahwa Tangkahan tidak akan“terjerumus” seperti Bukit Lawang, menjadi mass tourism. Banyakwisatawan manca negara mengatakan ingin kembali ke Tangkahandan melihat Tangkahan seperti saat ini. Kesunyian hutan purbaTangkahan itulah yang dicari-cari mereka yang datang beribukilometer jaraknya. Wisata keheningan, wisata spiritual, menjaditrend baru dan Tangkahan menyuguhkan sajian spesial itu : “SuaraAlam”, “Suara Keheningan”.

103102

DAFTAR PUSTAKA

Eman J.Embu dan R Mirsel (Editor)., 2004. Gugat!.Darah Petani KopiManggarai. Penerbit Ledalero.Seminari Tinggi LedaleroMaumere 86152.

Ridwan, dkk., 2010. Saatnya Berdaulat. Buku ini dibuat oleh YayasanPribumi Alam Lestari, dan diterbitkan oleh DirektoratKawasan Konservasi dan Bina Hutan Lindung, Ditjen PHKA,Kementerian Kehutanan..

Suharto Djojosudharmo, dkk., (2006). Stasiun Riset Ketambe. Bookletditerbitkan oleh Balai TN Gunung Leuser.

Sunjaya., 2013. Desa Dalam Kolaborasi Pengelolaan Taman Nasionaldalam Wiratno (2013) Tersesat di Jalan yang Benar. SeribuHari Mengelola Leuser. Diterbitkan oleh UNESCO-JakartaOffice.

Wiratno, Daru Indriyo, Ahmad Syarifudin, Ani Kartikasari. 2004.Berkaca Di Cermin Retak, Refleksi Konservasi dan ImplikasiBagi Pengelolaan Taman Nasional, The Gibbon Foundation- Departemen Kehutanan - Forest Press - PILI - NGOMovement, Edisi Kedua (Edisi Revisi).

Wiratno dan P Yudistira., 2011. Laporan Perjalanan ke Belanda dalamrangka Penelusuran Dokumen Kawasan Konservasi danPeran Dr.S.H.Koorders dalam Mendorong Lahirnya GerakanKonservasi Alam di Masa Hindia Belanda Periode 1909-1921.

Wiratno., 2013. Tersesat di Jalan yang Benar. Seribu Hari MengelolaLeuser. Diterbitkan oleh UNESCO-Jakarta Office.

Wiratno., 2011-2013. Kumpulan Makalah, Artikel, dan KajianKonservasi Alam (2010-2013) diwww.konservasiwiratno.blogspot.com.

Yudistira, P., 2012. Sang Pelopor. Peranan Dr.S.H.Koorders dalamSejarah Perlindungan Alam di Indonesia. Direktorat KawasanKonservasi dan Bina Hutan Lindung, Ditjen PHKA,Kementerian Kehutanan.

Pembelajaran Tangkahan