90
BOOK READING OPIOID AGONIS DAN ANTAGONIS (Stoelting Bab 3) Wiji Asmoro PPDS I Anestesiologi dan Reanimasi FK UNS Surakarta

wjBab 3 Opioid Agonists dan Antagonists.doc

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: wjBab 3 Opioid Agonists dan Antagonists.doc

BOOK READING

OPIOID AGONIS DAN ANTAGONIS

(Stoelting Bab 3)

Wiji Asmoro

PPDS I Anestesiologi dan Reanimasi FK UNS Surakarta

Page 2: wjBab 3 Opioid Agonists dan Antagonists.doc

OPIOID AGONIS DAN ANTAGONIS

Kata opium berasal dari bahasa Yunani yang berarti jus; jus atau ekstrak dari tanaman

poppy adalah sumber dari 20 alkaloid opium. Opiat adalah istilah yang digunakan untuk obat-

obatan turunan opium. Morfin diisolasi pada than 1803, kemudian kodein pada tahun 1832 dan

papaverin pada tahun 1848. Morfin dapat dibuat secara sintetis, namun pembuatannya jauh

lebih mudah bila dibuat langsung dari opium. Istilah narcotic berasal dari bahasa Yunani yang

berarti stupor dan telah lama istilah ini digunakan untuk analgetik yang potensinya mirip dengan

morfin dan potensial untuk menyebabkan ketergantungan fisik. Perkembangan obat-obatan

sintetik yang memiliki sifat seperti morfin, membuat penggunaan istilah opioid digunakan untuk

semua substansi eksogen, alamiah, dan sintetik yang secara spesifikmengikat beberapa

subpopulasi dari resseptor opioid dan memproduksi setidaknya beberapa efek agonis

menyerupai morfin. Opioid menimbulkan efek analgesia tanpa hilangnya rasa sentuhan,

proprioseptif, maupun kesadaran. Klasifikasi dari opioid meliputi apioid agonis, opioid agonis-

antagonis, dan opioid antagonis (Tabel 3.1)

HUBUNGAN AKTIVITAS STRUKTUR

Alkaloid yang terkandung dalam opium dapat dibagi menjadi dua kelompok:

phenantherene dan benzylisoquinolines. Yang termasuk dalam kelompok phenantherene

adalah morfin, kodein dan thebain (gambar 3.1). Yang termasuk dalam kelompok

benzylisoquinolines, dengan ketiadaan aktivitas opioid adalah papaverin, dan noscapin.

(gambar 3.2).

Tiga cincin dari inti phenantherene tersusun dari 14 atom karbon (gambar 3.1) Cincin ke

empat piperidin mengandung nitrogen amin tersier dan terdapat pada sebagian besar opioid

agonis. Pada pH 7,4 nitrogen amin tersier menjadi sangat terionisasi, yang membuat molekul

air menjadi terlarut. Terdapat hubungan yang erat antara struktur stereokimia dan potensi

opioid, yang dalam hal ini isomer levorotatory menjadi yang paling aktif.

Opioid Semisintetik

Opioid semisintetik dihasilkan dari modifikasi sederhana molekul morfin (gambar 3.1).

Contohnya, substitusi metil dengan hidroksil pada karbon 3 menghasilkan metilmorfin (kodein).

Substitusi asetil pada karbon 3 dan 6 menghasilkan diasetilmorfin (heroin). Thebain memiliki

aktivitas analgesi yang tidak signifikan namun berperan sebagai prekursor dari morfin (potensi

analgesi > 1.000 kali morfin).

Page 3: wjBab 3 Opioid Agonists dan Antagonists.doc

Opioid Sintetik

Opioid sintetik mengandung inti phenantrene dari morfin yang dibuat secara sintetis,

bukan berasal dari modifikasi kimia morfin. Turunan morfin (levorphanol), turunan metadon,

turunan benzomorphan (pentazocine), dan turunan phenylpiperidine (meperidin, fentanil) adalah

contoh dari opioid sintetik. Terdapat persamaan pada berat molekul (236 sampai 326) dan pKs

pada turunan phenylpiperidine dan anestetik lokal amida.

Fentanil, sufentanil, alfentanil, dan ramifentanil adalah opioid semisintetik yang

digunakan secara luas dalam anestesia umum ataupus sebagai obat anestetik primer dengan

dosis sangat tinggi dalam pembedahan jantung. Terdapata perbedaaan-perbedaan penting

farmakokinetik dan farmakodinamik antara opioid-opioid ini (Burkle et al., 1996; Egan et al.,

1993; Shafer and Varvel, 1991). Perbedaan farmakodinamik yang utama antara obat0obat ini

adalah potensi dan nilai equilibrasi antara plasma dan tempat dari efek obat (biofase).

MEKANISME KERJA

Opioid bekerja secara agonis pada reseptor opioid stereospesifik di presinaps dan

postsinaps pada sistem saraf sentral (batang otak dan korda spinalis) dan diluar system saraf

pusat, yaitu di jaringan perifer (Pleuvry, 1993; Stein, 1993; Stein 1995). Kondisi peradangan

dengan hiperalgesia timbul terutama pada kerja antinociseptif opioid perifer. Mekanisme kerja di

perifer ini sebagian besar timbul karena aktivasi dari reseptor opioid yang primernya terletak

pada neuron aferen. Reseptor opioid yang sama, normalnya diaktivasi oleh tiga ligan reseptor

opioid peptide endogenous, yang dikenal sebagai enkephalin, endorphin, dna dinorfin. Opioid

meniru kerja dari ligan endogenous ini dengan mengikat reseptor opioid, yang mengaktivasi

sistem modulasi nyeri (antinoseptif).

Opioid dalam bentuk ion dibutuhkan untuk membentuk ikatan yang kuat dengan

reseptor opioid anionic. Hanya bentuk levorotatory dari opioid yang memiliki aktifitas agonis.

Memang secara alamiah, bentuk dari morfin adalah isomer levorotatory. Afinitas dari sebagian

besar opioid agonis terhadap reseptornya memiliki korelasi dengan potensi analgesik opioid-

opioid tersebut.

Efek dasar dari aktivasi reseptor opioid adalah penurunan neurotransmisi (Atcheson and

Lambert, 1994; de Leon-Casasola and Lema, 1996). Penurunan dari neurotransmisi ditimbulkan

sebagian besar karena inhibisi presinaptik neurotransmitter asetilkolin, dopamine, norepinefrin,

pelepasan substansi P, meskipun inhibisi postsinaptik dari aktivitas yang timbul dapat

Page 4: wjBab 3 Opioid Agonists dan Antagonists.doc

ditemukan. Peristiwa biokimia intrasel dimediasi penempatan reseptor opioid oleh opioid agonis

yang karakteristik kejadiannya adalah meningkatnya konduktansi natrium (menimbulkan

hiperpolarisasi), inaktivasi kanal kalsium, atau keduanya, yang menimbulkan penurunan

pelepasan neurotransmitter dalam waktu yang cepat. Reseptor opioid yang memediasi inhibisi

dari adenilat siklase tidak bertanggung jawab atas efek yang timbul dengan cepat tersebut

tetapi mungkin memiliki efek lambat/tertunda, seperti reduksi adenosine monofosfat siklik

(cAMP), gen neuropeptida responsif, dan reduksi konsentrasi neuropeptida RNA messenger.

Reseptor opioid…. di ujung perifer dari neuron aferen primer dan aktivasinya dapat secara

langsung menurunkan neurotransmisi atau menghambat pelepasan neurotransmiter eksitasi,

seperti substansi P. Oleh karena itu, pemberian morfin intraartikular (3 mg) dapat

memperpanjang analgesia setelah pembedahan artroskopik lutut (Heine et.al, 1994). Depresi

transmisi kolinergik di SSP timbul akibat inhibisi yang diinduksi opioid terhadap pelepasan

asetilkolin dariujung akhir saraf yang mungkin memainkan peranan penting dalam analgesic

dan efek samping lain dari opioid agonis. Opioid tidak menyebabkan menurunnya respon dari

ujung akhir nervus aferen terhadap stimulasi yang berbahaya, opioid juga tidak merusak

konduksi impuls saraf di sepanjang nervus perifer. Hal ini dapat diasumsikan bahwa dengan

meningkatnya jumlah reseptor opioid yang ditempati secara pararel berkaitan dengan efek yang

timbul dari opioid.

RESEPTOR OPIOID

Reseptor opioid diklasifikasikan menjadi reseptor mu, delta, dan kappa (MOR, DOR,

KOR) (Atcheson and Lambert, 1994; Lambert 1998) (Tabel 3-2). Reseptor opioid ini termasuk

dalam kelompok reseptor guanine protein – coupled yang merupakan 80% bagian dari reseptor

yang telah diketahui dan termasuk juga reseptor muskarinik, adrenergic, asam gamma-

aminobutirat, dan somatostatin. Reseptor opioid telah diklon dan sekuens asam aminonya telah

disusun (Chen et al., 1993). Gen tunggal reseptor mu dan enam reseptor mu yang berbeda

telah berhasil diidentifikasi. Hal ini memperlihatkan bahwa reseptor morfin-6-glukoronida

merupakan varian dari gen reseptor mu. Kloning dari reseptor opioid membuka kemungkinan

perkembangan reseptor agonis dengan sub tipe spesifik dan memiliki selektifitas yang tinggi.

Opioid agonis yang ideal memiliki reseptor dengan spesifisitas yang tinggi, menghasilkan

respon (analgesia) yang diinginkan dan sedikit atau tidak ada reseptor yang berhubungan

dengan efek samping (hipoventilasi, mual, ketergantungan fisik).

Page 5: wjBab 3 Opioid Agonists dan Antagonists.doc

Ketiga jenis reseptor opioid bertautan dengan protein G dan menghambat adenilat

siklase, menurunkan konduktansi kanal kalsium voltage-gate, atau membuka kanal natrium

dengan aliran yang mengarah ke dalam. Hal ini berefek pada penurunan aktivitas neuronal.

Reseptor opioid juga memodulasi signal kaskade fosfoinositida dan fosfolipase C. Pencegahan

aliran masuk ion kalsium menyebabkan supresi pelepasan neurotransmitter (substansi P) di

sistem persarafan. Hiperpolarisasi merupakan hasil dari kerja di kanal natrium yang mencegah

eksitasi atau propagasi potensial aksi. Reseptor opioid juga mengatur fungsi kanal ion yang lain

termasuk aliran eksitatorik postsinaptik yang ditimbulkan oleh reseptor N-metil-D-aspartat

(NMDA).

Mu atau reseptor morphine-preferring pada prinsipnya bertanggung jawab pada

analgesia supraspinal dan spinal. Aktivasi subpopulasi pada reseptor mu (mu1) dispekulasikan

menghasilkan analgesia, sementara reseptor mu2 bertanggung jawab atas timbulnya

hipoventilasi, bradikardi, dan ketergantungan fisik. Meskipun begitu, cloning dari reseptor mu

tidak menduung keberadaan subtype reseptor mu1 dan mu2 (Lambert, 1998). Ada kemungkinan

bahwa subtipe tersebut merupakan hasil dari modifikasi posttranslasi dari protein. Keberadaan

endorphin beta atau bahkan morfin itu sendiri sebagai ligan endogen dari reseptor mu masih

merupakan spekulasi (Kosterlitz, 1987). Endomorfin adalah peptida dengan afinitas dan

selektivitas tinggi pada reseptor mu yang ada di otak. Agonis reseptor mu eksogen meliputi

morfin, meperidin, fentanil, sufentanil, alfentanil, dan ramifentanil. Nalokson adalah antagonis

reseptor mu spesifik, terikat dengan reseptor namun tidak mengaktivasinya.

Agonis, termasuk ligan endogen dinorfin, bekerja pada reseptor kappa, menghasilkan

inhibisi pelepasan neurotransmiterlewat kanal kalsium tipe N. Karakteristik depresi pernapasan

pada aktivasi reseptor mu menjadi berkurang dengan adanya aktivasi reseptor kappa meskipun

disforia dan dieresis dapat timbul bersamaan dengan aktivasi reseptor yang terkait kanal

kalsium. Sebagai tambahan, stimulasi nyeri dengan intensitas tinggi dapat resisten terhadap

efek analgesi dari reseptor kappa. Opioid agonis-antagonis sering bekerja pada reseptor kappa.

Reseptor delta berespon pada ligan endogen enkephalins, dan reseptor opioid dapat

memodulasi aktivitas reseptor mu.

Sistem Supresi Nyeri Endogen

Hal menarik dari reseptor opioid dan endorphin adalah fungsinya sebagai sistem supresi

nyeri endogen. Reseptor opioid terletak di otak (periakuaduktal substansi grisea dari batang

otak, amigdala, korpus striatum, dan hipotalamus) dan korda spinalis (substansi gelatinosa)

Page 6: wjBab 3 Opioid Agonists dan Antagonists.doc

yang terlibat menimbulkan persepsi nyeri, integrasi dari impuls nyeri, dan respon terhadap

nyeri. Diperkirakan bahwa endorphin menghambat pelepasan neurotransmitter eksitatori dari

saraf terminal yang membawa impuls nosiseptif. Sebagai hasilnya, terjadi hiperpolarisasi

neuron, yang menekan timbul dan keluarnya respon spontan. Analgesia diinduksi stimulasi

listrik daerah spesifik di otak atau stimulasi mekanik area perifer (akupuntur) yang

merefleksikan pelepasan dari endorfin (Pomeranz dan Chiu, 1976). Bahkan respon analgesia

dari placebo sekalipun tetap terlibat adanya pelepasan endorphin. Pada usia di atas 60 tahun,

pada pasien, terdapat penurunan sensitivitas terhadap rasa nyeri dan peningkatan respon

analgesic dari opioid (Bellville et al., 1971).

OPIOID NEUROAKSIAL

Pemberian opioid di dalam epidural atau ruang subarakhniod untuk mengatasi nyeri akut

atau kronik berdasarkan pengetahuan bahwa reseptor opioid (umumnya reseptor mu) terdapat

di substansia gelatinosa pada korda spinalis (Cousins and Mather, 1984). Analgesia yang

ditimbulkan oleh opioid neuroaksial, berbeda dengan pemberian opioid intravena atau anestesia

regional dengan anestetik lokal, opioid neuroaksial tidak berhubungan dengan system saraf

simpatik, kelemahan otot dan tulang, atau hilangnya proprioseptif. Analgesia berkaitan dengan

dosis yang diberikan (dosis epidural 5 sampai 10 kali dosis subarachnoid) dan spesifik untuk

nyeri viseral dibandingkan dengan nyeri somatik. Morfin neuroaksial dapat menurunkan

konsentrasi minimum alveolar (MAC) pada anestetik volatile, meskipun tidak semua peneliti

dapat mendemonstrasikan efek ini (Drasner et al., 1988; Licina et al., 1991; Schwieger et al.,

1992).

Analgesia yang timbul setelah pemberian opioid di epidural merefleksikan difusi obat

melintasi lapisan dura untuk mendapatkan akses ke reseptor opioid mu di korda spinalis, sama

halnya seperti absorpsi sistemik untuk menghasilkan efek yang mirip dengan analgesia yang

timbul setelah pemberian opioid intravena. Sebagai contoh, mekanisme analgesia postoperative

pada pemberian opioid lipofilik (fentanil, sufentanil) melalui epidural merupakan refleksi absorpsi

sistemik (de Leon-Casasola dan Lema, 1996). Pada kenyataannya, telah dibuktikan bahwa

pemberian opioid lipofilik epidural tidak memberikan kelebihan secara klinis dibandingkan

pemberian IV (de Leon-Casasola dan Lema, 1996). Opioid dengan kelarutan lemak yang

rendah seperti morfin menghasilkan analgesia dengan onset yang lebih lambat namun memiliki

durasi kerja yang lebih lama daripada opioid yang larut dalam lemak pada pemberian melalui

jalur neuroaksial.

Page 7: wjBab 3 Opioid Agonists dan Antagonists.doc

Farmakokinetik

Ambilan opioid pada pemberian ke ruang epidural dapat melalui lemak epidural,

absorpsi sistemik, atau difusi melintasi dura menuju cairan serebrospinal (CSF) (Chaney, 1995).

Pemberian opioid epidural membuat konsentrasi obat dalam CSF menjadi tinggi. Penetrasi

melalui dura sangat dipengaruhi kelarutan dalam lemak, namun berat molekul juga menjadi hal

yang penting. Fentanil dan sufentanil, kelarutan dalam lemaknya kira-kira 800 dan 1600 kali

dibandingkan morfin. Setelah pemberian lewat epidural, konsentrasi fentanil dalam CSF

mencapai puncaknya dalam 20 menit dan sufentanil dalam 6 menit. Sedangkan konsentrasi

morfin dalam CSF dengan pemberian lewat epidural, mencapai puncaknya dalam waktu 1

sampai 4 jam. Kemudian, hanya sekitar 3% dari dosis morfin yang diberikan secara epidural

menembus dura untuk masuk ke CSF. (Ionescu et al., 1989).

Di ruang epidural terdapat banyak pleksus vena sehingga absorpsi vaskular dari opioid

di ruang epidural menjadi ekstensif. Setelah pemberian lewat epidural, konsentrasi fentanil

dalam darah mencapai puncaknya 5 sampai 10 menit, sedangkan konsentrasi dalam darah

pada sufentanil yang lebih larut dalam lemak lebih cepat mencapai puncaknya (Ionescu et al.,

1991). Sementara itu, konsentrasi morfin dalam darah setelah pemberian melalui epidural

mencapai puncaknya setelah 10 sampai 15 menit. Pemberian morfin, fentanil, dan sufentanil

secara epidural membuat konsentrasi opioid dalam darah kurang lebih sama dengan

konsentrasi opioid dalam darah pada pemberian secara intramuskular dengan dosis yang sama

(Chaney, 1995). Penambahan epinefrin ke ruang epidural menurunkan absorpsi sistemik dari

opioid, tetapi tidak mempengaruhi difusi morfin melintasi dura menuju CSF. Penambahan

epinefrin pada pemberian morfin intratekal meningkatkan analgesia post operasi dibandingkan

hanya dengan pemberian morfin intratekal (Goyagi dan Nishikawa, 1995). Absopsi vaskuler

setelah pemberian opioid intratekal, secara klinis tidak memiliki nilai yang berarti.

Pergerakan kearah kepala dari opioid di CSF tergantung pada kelarutannya dalam

lemak. Sebagai contoh, opioid larut lemak seperti fentanil dan sufentanil memiliki keterbatasan

migrasi kea rah kepala karena adanya ambilan ke korda spinalis, sementara itu morfin yang

kurang larut dalam lemak berada di CSF sementara sebelum pindah ke lokasi yang lebih ke

atas/ kearah kepala. Setelah pemberian morfin secara lumbal intratekal, konsentrasi di CSF

servikal dapat diketahui setalah 1 sampai 5 jam setelah penyuntikan, sementara itu, konsentrasi

CSF servikal dari opioid dengan kelarutan lemak yang tinggi dengan pemberian secara epidural

hanya sedikit atau minimal. Dasar penyebab dari pergerakan morfin kea rah kepala adalah

Page 8: wjBab 3 Opioid Agonists dan Antagonists.doc

adanya aliran CSF yang besar. CSF naik kea rah kepala dari region lumbal, mencapai sisterna

magna dalam 1 sampai 2 jam dan mencapai ventrikel ke empat dan lateral dalam waktu 3

sampai 6 jam (Chaney, 1995). Batuk atau peregangan, namun bukan pada posisi tubuh yang

benar, dapat mempengaruhi pergerakan CSF. Eliminasi waktu paruh dari morfin di CSF sama

dengan yang ada di dalam plasma (Sjostrom et al., 1987).

Efek Samping

Efek samping dari opioid neuroaksial disebabkan oleh keberadaan obat di CSF atau di

sirkulasi sistemik (Tabel 3-3) (Chaney, 1995). Secara umum, Sebagian besar efek samping

tergantung dari dosis. Beberapa efek samping dimediasi melalui interaksi dengan reseptor

opioid spesifik, sementara yang lain bukan karena interaksi ini. Efek samping jarang ditemukan

pada pasien yang secara kronis terpapar opioid. Empat efek samping klasik pada opioid

neuroaksial adalah pruritus, mual dan muntah, retensi urin, dan depresi ventilasi.

Pruritus

Pruritus adalah efek samping yang paling umum pada opioid neuraksial. Pruritus dapat

terjadi secara menyeluruh tetapi lebih sering terlokalisir pada wajah, leher, atau dada bagian

atas. Insiden pruritus bervariasi dan seringkali info ini dapat diketahui melalui anamnesis.

Pruritus yang berat jarang ditemukan , hanya muncul pada 1% pasien. Pruritus lebih sering

muncul pada pasien kandungan, mungkin berkaitan dengan adanya interaksi estrogen dengan

reseptor opioid. Insiden terjadinya pruritus mungkin berkaitan dengan dosis obat, namun

mungkin juga tidak berkaitan. Pruritus biasanya muncul beberapa jam setelah penyuntikan dan

dapat timbul pada onset analgesia.

Meskipun opioid dapat menyebabkan lepasnya histamin dari sel mast, hal ini tampaknya

bukan merupakan mekanisme terjadinya pruritus. Alternatif lain, pruritus diinduksi oleh opioid

neuroaksial yang berada di CSF bermigrasi kearah kepala dan interaksi dengan reseptor opioid

di nucleus trigeminal. Antagonis opioid seperti nalokson efektif mengobati pruritus yang

diinduksi opioid. Secara paradoks, antihistamin dapat menjadi terapi yang efektif untuk pruritus,

dengan efek sekundernya berupa efek sedative.

Retensi Urin

Insiden dari retensi urin bervariasi dan paling sering terjadi pada pria muda. Retensi urin

dengan opioid neuroaksial lebih sering terjadi daripada setelah pemberian opioid IV atau IM

Page 9: wjBab 3 Opioid Agonists dan Antagonists.doc

dengan dosis yang sama. Insiden dari efek samping ini tidak tergantung dosis atau berkaitan

dengan absorpsi sistemik dari opioid. Retensi urin sebagian besar berkaitan dengan interaksi

opioid dengan reseptor opioid yang berlokasi di sacrum korda spinalis. Interaksi ini memicu

inhibisi sistem outflow nervus parasimpatis sakrum yang menyebabkan relaksasi otot detrusor

dan peningkatan kapasitas maksimum kandung kemih, yang pada akhirnya menimbulkan

retensi urin. Pada manusia, morfin epidural menyebabkan relaksasi otot detrusor dalam 15

menit setelah penyuntikan yang bertahan selama 16 jam; keadaan ini dapat dengan mudah

dibalikkan dengan nalokson (Rawal et al., 1986).

Depresi Ventilasi

Efek samping yang paling serius dari opioid neuroaksial adalah depresi ventilasi, yang

dapat muncul dalam beberapa menit setelah pemberian atau mungkin dapat tertunda beberapa

jam. Insiden depresi ventilasi muncul dengan intervensi setelah dosis konvensional opioid

neuroaksial 1%, dosis ini sama dengan dosis konvensional opioid IV atau IM (Chaney, 1995).

Depresi ventilasi onset cepat, muncul dalam 2 jam setelah injeksi opioid neuroaksial.

Banyak laporan klinis yang menyebutkan bahwa depresi ventilasi melibatkan pemberian fentanil

atau sufentanil epidural. Depresi ventilasi ini kemungkinan besar disebabkan absorpsi sistemik

dari opioid larut lemak, meskipun begitu, migrasi opioid di dalam CSF kearah kepala mungkin

juga menjadi penyebab depresi ventilasi. Secara klinis, depresi ventilasi cepat setelah injeksi

morfin intratekal jarang ditemukan.

Depresi ventilasi onset lambat, muncul lebih dari 2 jam setelah pemberian opioid

neuroaksial dan merefleksikan migrasi opioid dalam CSF kearah kepala dan interaksi dengan

reseptor opioid di ventral medulla. Laporan klinis menyatakan bahwa depresi ventilasi onset

lambat melibatkan morfin (Chaney, 1995). Depresi ventilasi onset lambat muncul 6 hingga 12

jam setelah pemberian morfin epidural atau intratekal. Depresi ventilasi onset lambat tidak

pernah dilaporkan timbul 24 jam setelah injeksi morfin epidural atau intratekal.

Faktor yang meningkatkan resiko depresi ventilasi onset lambat, terutama penggunaan

opioid IV atau sedative, harus dipertimbangkan dosis opioid neuroaksial (Tabel 3-4) (Chaney,

1995). Batuk dapat mempengaruhi pergerakan CSF dan meningkatkan kemungkinan timbulnya

depresi ventilasi. Pasien kandungan tampaknya memiliki resiko depresi ventilasi yang rendah,

mungkin karena peningkatan stimulasi ventilasi oleh progesterone.

Page 10: wjBab 3 Opioid Agonists dan Antagonists.doc

Sulit untuk mendeteksi depresi ventilasi yang disebabkan oleh opioid neuroaksial.

Hipoksemia arterial dan hiperkarbia dapt terjadi meskipun frekuensi pernapasan normal

(gambar 3-3 dan 3-4) (Bailey et al., 1993). Oksimetri denyut dapat dipercaya untuk mendeteksi

hipoksemia arterial yang disebabkan opioid dan suplementasi oksigen (2 liter/menit) merupakan

tatalaksana yang efektif (Bailey et al., 1993). Tanda klinis yang paling dapat dipercaya untuk

depresi ventilasi adalah penurunan tingkat kesadaran, yang kemungkinan disebabkan oleh

hiperkarbia (Chaney, 1995). Pemberian naloksin melalui infuse sebagai profilaksis merupakan

komponen penting dalam mengatasi depresi ventilasi (Morgan, 1989; Rawal et al., 1986).

Nalokson (0,25μg/kg/jam IV) efektif dalam mengatasi efek samping (mual dan muntah, pruritus)

yang berhubungan dengan analgesia dengan morfin yang diberikan IV (Gan et. al, 1997).

Sedasi

Sedasi yang timbul setelah pemberian opioid neuroakasial berkaitan dengan dosis dan

timbul pada semua opioid, namun paling sering timbul pada penggunaan sufentanil. Pada

opioid neuroaksial bila timbul sedasi, pertimbangkan juga timbulnya depresi ventilasi.

Perubahan status mental juga dapat timbul pada penggunaan opioid neuroaksial. Efek lain yang

timbul adalah psikosis paranoid yang dapat reversibel setelah diberi nalokson, katatonia, dan

halusinasi (Chaney, 1995).

Eksitasi SSP

Rigiditas tonus otot skeletal yang memicu aktivitas kejang, diketahui sebagai efek

samping pada pemberian opioid IV dalam dosis besar, namun respon ini jarang ditemukan

setelah pemberian opioid neuroaksial. Aktivitas mioklonus ditemukan setelah pemberian opioid

neuroaksial dan pada satu laporan, berkembang menjadi kejang jenis grand mal (Rozan et al.,

1995). Meskipun opioid dalam dosis besar menimbulkan kejang pada hewan, secara klinis

relevansi antara dosis IV atau opioid neuroaksial tidak berkaitan dengan aktivitas kejang kortikal

pada manusia (Chaney, 1995). Migrasi opioid dalam CSF kearah kranial dan interaksi dengan

reseptor nonopioid pada batang otak atau ganglia basal merupakan penjelasan yang paling

disukai untuk menjelaskan eksitasi SSP yang disebabkan oleh opioid. Opioid dapat memblok

glisin atau inhibisi yang dimediasi asam gama aminobutirat.

Reaktivasi Virus

Terdapat hubungan antara penggunaan morfin epidural pada pasien obstetri dan

reaktivasi virus herpes simpleks labialis. Reaktivasi virus herpes timbul 2 sampai 5 hari setelah

Page 11: wjBab 3 Opioid Agonists dan Antagonists.doc

pemberian opioid epidural (Crone et al., 1990). Manifestasi dari gejala herpes labialis timbul

pada inervasi persarafan yang sama dengan infeksi primer, yang biasanya daerah wajah yang

diinervasi nervus trigeminal. Mekanisme yang mendasari timbulnya reaktivasi virus herpes

melibatkan migrasi opioid dalam CSF kearah cranial dan interaksi dengan nucleus trigeminal.

Morbiditas Neonatus

Absorpsi sistemik setelah pemberian opioid epidural membuat kadar obat dalam darah

menjadi tidak dapat diprediksi pada neonates yang baru saja dilahirkan. Secara klinis, depresi

ventilasi telah diobsevasi pada bayi baru lahir dari ibu yang menerima opioid epidural (Chaney,

1995). Kemajuan persalinan diinhibisi dan ditingkatkan oleh morfin intratekal. Setelah

pemberian fentanil atau sufentanil epidural pada ibu yang akan melahirkan, konsentrasi opioid

pada ASI sangatlah kecil.

Efek Samping Lainnya

Morfin epidural dikaitkan dengan hambatan ereksi dan ketidakmampuan ejakulasi pada

pria. Miosis, nistagmus, dan vertigo yang reversible dengan nalokson dapat timbul setelah

opioid neuroaksial, paling sering pada penggunaan morfin. Opioid neuroaksial dapat menunda

pengosongan lambung, yang menunjukkan adanya interaksi opioid dengan reseptor opioid di

korda spinalis (Kelly et al., 1997). Opioid neuroaksial, dengan menghambat proses menggigil,

dapat menyebabkan penurunan suhu tubuh. Oliguria dan retensi air dapat menyebabkan

edema perifer yang dilaporkan timbul setelah pemberian opioid neuroaksial. Retensi air

disebabkan oleh pelepasan vasopressin yang distimulasi migrasi opioid dalam CSF kearah

cranial. Opioid neuroaksial diimplikasikan sebagai kemungkinan penyebab kerusakan korda

spinalis, terutama pada penggunaan opioid yang secara tidak sengaja mengandung toksin

(Chaney, 1995). Manifestasi klinis pada pasien meliputi disfungsi saraf sensoris dan motoris,

spasme mioklonus, paresis, dan paralisis. Di lain pihak, pemberian opioid neuroaksial dalam

jangka waktu yang lama tidak disertai dengan sekuele.

AGONIS OPIOID

Agonis opioid meliputi morfin, meperidin, fentanil, sufentanil, alfentanil, dan ramifentanil

(Tabel 3-1) (Chaney, 1996). Opioid–opioid ini sering digunakan dengan anestetika inhalasi

selama anestesia umum. Penggunaan morfin, fentanil, dan sufentanil dalam dosis besar telah

digunakan sebagai obat anestetik tunggal pada pasien yang sakit kritis. Gambaran terpenting

pada penggunaan opioid secara klinis adalah variasi dosis yang tidak biasa untuk penanganan

Page 12: wjBab 3 Opioid Agonists dan Antagonists.doc

nyeri (Auburn et al., 2002). Variasi antar individu yang berbeda-beda dengan dosis yang biasa

digunakan menyebabkan efek opioid yang didapat menjadi inadekuat atau berlebihan.

Penggantian opioid secara rotasi dapat bermanfaat ketika dosis dalam jumlah yang besar tidak

efektif juga meredam rasa nyeri.

Morfin

Morfin adalah prototipe agonis opioid yang digunakan sebagai pembanding bagi opioid

lainnya. Pada manusia, morfin menyebabkan analgesia, eforia, sedasi, dan penurunan

konsentrasi. Sensasi lain yang dirasakan adalah mual, tubuh merasa hangat, rasa berat di

ekstremitas, rasa kering di mulut, dan pruritus, terutama di daerah kutaneus sekitar hidung.

Penyebab nyeri akan terus ada, namun pemberian morfin yang dengan dosis rendah sekalipun,

akan meningkatkan ambang nyeri dan memodifikasi persepsi stimulasi rasa nyeri yang

menyebabkan tidak dirasakannya lagi rasa nyeri. Berbeda dengan analgesik non opioid,

keefektifan morfin melawan nyeri yang berasal dari viseral sama baiknya dengan nyeri yang

berasal dari otot rangka, sendi, dan struktur integument. Pada pemberian morfin, paling baik

bila analgesia telah timbul mendahului stimulus nyeri (Woolf dan Wall, 1986). Terdapat

relevansi pada pemberian opioid sebelum stimulus akut pembedahan. Selain hilangnya rasa

nyeri, morfin juga lebih membuat disforia daripada eforia.

Farmakokinetik

Morfin diabsorpsi dengan baik pada pemberian IM, dengan onset timbulnya efek setelah

15 atau 30 menit dan mencapai puncaknya dalam 45 sampai 90 menit. Durasi kerja obat sekitar

4 jam. Morfin dapat diberikan secara oral untuk tatalaksana nyeri kronik, mengetahui bahwa

absorpsi pada gastrointestinal terbatas. Morfin biasanya diberikan IV selama masa perioperatif,

sehingga mengeliminasi pengaruh yang tidak dapat diprediksi dari absorpsi obat. Efek puncak

(waktu equilibrium antara darah dan otak) pada pemberian morfin IV mengalami perlambatan

dibandingkan opioid lain seperti fentanil dan alfentanil, yang membutuhkan waktu sekitar 15

sampai 30 menit (table 3-5). Morfin, 5 mg dalam 4,5 ml salin dan dihirup sebagai aerosol dari

nebulizer, dapat bekerja pada jalur persarafan aferen pada jalan napas untuk mengatasi

dispnue yang berhubungan dengan kanker paru dan efusi pleura (Tooms dan McKenzie, 1993).

Depresi ventilasi dapat timbul pada pemberian morfin dalam bentuk aerosol (Lang dan Jedeikin,

1998). Durasi dan onset efek analgesia sama pada pemberian morfin secara IV ataupun

dengan inhalasi melalui system pengiriman obat paru yang memproduksi aerosol monodispersi

(Dershwitz et al., 2000; Thipphawong et al., 2003).

Page 13: wjBab 3 Opioid Agonists dan Antagonists.doc

Konsentrasi morfin dalam plasma setelah injeksi IV secara cepat tidak memiliki korelasi

yang kuat dengan kerja farmakologi opioid. Ketidaksesuaian ini merefleksikan perlambatan

penetrasi dari morfin menembus sawar darah otak. Konsentrasi morfin di CSF mencapai

puncaknya 15 sampai 30 menit setelah injeksi IV dan konsentrasinya berkurang lebih lambat

daripada konsentrasi plasma (gambar 3-5) (Murphy dan Hug, 1981). Sebagai hasilnya, efek

analgesik dan depresi ventilasi dari morfin mungkin tidak dapat ditemukan selama konsentrasi

initial yang tinggi pada plasma setelah pemberian opioid IV. Efek obat yang sama tetap ada

meskipun terjadi penurunan konsentrasi morfin dalam plasma. Analgesia moderat setidaknya

0,05 μg/mL (gambar 3-6) dibutuhkan untuk menjaga kadar morfin dalam plasma (Berkowitz et

al., 1975). Pasien dengan sistem pengiriman terkontrol biasanya menyediakan analgesia

postoperatif dengan dosis total morfin berkisar antara 1,3 sampai 2,7 mg/jam (White, 1985).

Hanya sebagian kecil dari morfin yang diberikan yang sampai ke SSP. Sebagai contoh,

diperkirakan bahwa hanya <0,1% dari morfin yang diberikan IV yang masuk ke SSP pada saat

konsentrasi morfin dalam plasma mencapai puncaknya. Alasan dari rendahnya penetrasi morfin

ke SSP karena (a) kelarutannya rendah dalam lemak, (b) mengalami ionisasi derajat tinggi

pada pH fisiologis, (c) mengikat protein, dan (d) konjugasi cepat dengan asam glukoronik.

Alkalinisasi dalam darah, yang disebabkan hiperventilasi paru-paru pasien, akan meningkatkan

fraksi non ion dari morfin dan meningkatkan aliran masuk ke SSP. Kemudian, aspirasi

respiratorik, yang menurunkan fraksi non ion morfin, mengakibatkan peningkatan konsentrasi

morfin dalam plasma dan otak daripada konsentrasi morfin pada keadaan normokarbia (gambar

3-7) (Finck et al., 1977). Hal ini menimbulkan pemikiran bahwa peningkatan yang diinduksi

karbon dioksida di aliran darah otak dan peningkatan hantaran morfin ke otak lebih penting

daripada fraksi obat yang tetap ada dalam fraksi terionisasi atau fraksi yang tidak terionisasi.

Berbeda dengan SSP, morfin terakumulasi dengan cepat di ginjal, hepar, dan otot rangka.

Morfin, tidak seperti fentanil, tidak secara signifikan melalui first-pass uptake ke paru (Roerig et

al., 1987).

Metabolisme

Jalur utama metabolisme dari morfin adalah berkonjugasi dengan asam glukoronat di

hepar dan ekstrahepatik, terutama ginjal. Sekitar 75% hingga 85% dosis morfin merupakan

morfin-3-glukoronida, dan 5% hingga 10% berupa morfin-6-glukoronida (dengan rasio 9:1).

Morfin-3-glukoronida terdeteksi dalam plasma 1 menit setelah injeksi IV, dan konsentrasinya

Page 14: wjBab 3 Opioid Agonists dan Antagonists.doc

melebihi daripada obat yang belum berubah hingga sebesar sepuluh kali lipat dalam waktu 90

menit (gambar 3-8) (Murphy dan Hug, 1981). Diperkirakan 5% morfin didemetilasi menjadi

normorfin, dan kodein dalam jumlah kecil mungkin dapat terbentuk. Metabolit morfin pada

prinsipnya dieliminasi melalui urin, dan hanya 7% hingga 10% disekresi melalui empedu.

Morfin-3-glukoronida tidak aktif secara farmakologi, sebaliknya morfin-6-glukoronida

menghasilkan analgesia dan depresi ventilasi melalui kerja agonis pada resepto mu (Vaugn dan

Connor, 2003). Pada kenyataannya, respon pernapasan terhadap karbon dioksida dihambat

oleh morfin dan morfin-6-glukoronida (gambar 3-9) (Romberg et al., 2003).

Metabolisme ginjal membuat kontribusi yang signifikan terhadap metabolism total dari

morfin, yang menjelaskan ketiadaan penurunan bersihan sistemik dari morfin pada pasien

dengan sirosis hepatis atau saat fase anhepatik pada transplantasi hati ortotopik (Sear, 1991).

Pada kenyataannya, peningkatan metabolisme ginjal dari morfin kemungkinan ketika adanya

gangguan pada metabolisme hepar.

Eliminasi morfin glukoronida mungkin terganggu pada pasien dengan gagal ginjal,

menyebabkan akumulasi metabolit dan efek depresi pernapasan yang tidak diharapkan pada

pemberian opioid dengan dosis kecil (gambar 3-10) (Chauvin et al., 1987b). Depresi ventilasi

yang memanjang (<7 hari) telah diobservasi pada pasien dengan gagal ginjal setelah

pemberian morfin (Don et al., 1973). Bentuk konjugasi glukoronida dapat diganggu oleh

monoamine oksidase inhibitor (MAO inhibitor) yang secara konsisten memperbesar efek morfin

pada pemberian kepada pasien yang menggunakan obat ini.

Waktu Paruh Eliminasi

Setelah pemberian morfin IV, eliminasi morfin-3-glukoronida menjadi lebih panjang

dibandingkan morfin (Tabel 3-5 dan gambar 3-8) (Murphy dan Hug 1981). Penurunan

konsentrasi morfin dalam plasma setelah distribusi inisial dari obat pada dasarnya berkaitan

dengan metabolisme, karena hanya sebagian kecil opioid yang tidak berubah yang

diekskresikan melalui urin. Konsentrasi morfin dalam plasma lebih tinggi pada orang tua

daripada dewasa muda (gambar 3-11) (Berkowitz et al., 1975). Pada 4 hari awal kehidupan,

bersihan morfin menurun dan waktu paruh eliminasi morfin lebih panjang dibandingkan pada

bayi yang lebih tua (Lynn dan Slattery, 1987). Hal ini konsisten dengan observasi klinis bahwa

neonatus lebih sensitif terhadap efek depresi pernapasandari morfin daripada anak yang lebih

tua. Pasien dengan gagal ginjal memperlihatkan konsentrasi morfin dan metabolit morfin pada

plasma dan CSF yang lebih tinggi daripada pasien normal, yang merefleksikan volume

Page 15: wjBab 3 Opioid Agonists dan Antagonists.doc

distribusi (Vd) yang lebih kecil (Hanna et al., 1993). Kemungkinan terjadinya akumulasi morfin-

6-glukoronida menyebabkan perlunya perhatian pada pasien dengan disfungsi ginjal yang akan

diberi morfin. Konsentrasi morfin dalam kolostrum pada pasien yang menyusui jumlahnya

sedikit dan jumlah obat yang akan ditansfer ke neonatus melalui ASI jumlahnya tidak signifikan

(Baka et al., 2002).

Gender

Gender dapat mempengaruhi analgesia opioid namun besarnya perbedaan tergantung

dari interaksi banyak variabel termasuk opioid yang digunakan (Kest et al., 2000). Morfin

memperlihatkan potensi analgesia yang lebih besar dan hilang dalam waktu yang lebih lama

pada wanita dibandingkan pada pria (Sarton et al., 2000). Pengamatan ini konsisten dengan

konsumsi opioid postoperatif yang lebih tinggi pada pria dibandingkan wanita. Morfin

menurunkan respon pernapasan terhadap karbondioksida pada wanita, sebaliknya pada pria

tidak mengalami efek yang signifikan (Dahan et al., 1998). Morfin tidak memiliki efek pada

ambang apneik pada wanita namun menyebabkan peningkatan ambang pada pria. Pada

wanita, sensitifitas hipoksik diturunkan oleh morfin, namun tidak pada pria.

Efek Samping

Efek samping pada morfin juga ditemukan pada agonis opioid lainnya, walaupun insiden

dan besarnya efek tersebut bervariasi.

Sistem Kardiovaskuler

Pemberian morfin, meskipun dalam dosis besar (1 mg/kg IV) pada pasien posisi

terlentang dan normovolemik, tidak menyebabkan depresi miokardial secara langsung ataupun

hipotensi. Pada pasien yang sama, bila posisinya berubah dari terlentang menjadi posisi berdiri,

kemungkinan akan timbul hipotensi ortostatik dan sinkop, hal ini merefleksikan gangguan

kompensasi responsaraf simpatik pada pemberian morfin. Sebagai contoh, morfin menurunkan

sistem saraf simpatik pada vena perifer yang menyebabkan venous pooling dan kemudian

menurunkan aliran balik vena, cardiac output, dan tekanan darah (Lowenstein et al., 1972).

Morfin juga menyebabkan penurunan tekanan darah sistemik karena morfin memicu

bradikardi atau pelapasan histamine. Bradikardia yang dipicu oleh morfin, timbul sebagai hasil

dari peningkatan aktivitas nervus vagus, yang kemungkinan merefleksikan stimulasi dari

nucleus vagal di medulla. Morfin dapat juga menimbulkan efek depresan secara langsung pada

Page 16: wjBab 3 Opioid Agonists dan Antagonists.doc

nodus sinoatrial dan bekerja memperlambat konduksi impuls jantung melalui nodus

atrioventrikular. Hal ini menjelaskan keberadaan morfin menyebabkan penurunan kerentanan

terhadap fibrilasi ventrikel. Pemberian opioid (morfin) pada medikasi preoperative atau sebelum

induksi anesthesia (fentanil) bertujuan untuk memperlambat frekuensi nadi selama terpapar

terhadap anestetik volatile degan atau tanpa stimulasi pembedahan (Cahalan et al., 1987).

Pelepasan histamine dan hipotensi yang dipicu opioid bervariasi baik insiden maupun

derajatnya. Besarnya pengaruh morrfin terhadap pelepasan histamine yang kemudia

menurunkan tekanan darah sistemik dapat diminimalisir dengan (a) membatasi infuse morfin

menjadi 5 mg/menit IV, (b) menjaga posisi pasien dalam keadaan terlentang dengan kepala

sedikit lebih rendah daripada badan, dan (c) Mengoptimalkan volume cairan intravaskuler. Pada

pemberian morfin 1 mg/kg IV lebih dari 10 menit menyebabkan peningkatan konsentrasi

histamin dalam plasma yang dikaitkan dengan penurunan tekanan darah dan resistensi

vaskuler sistemik yang signifikan (gambar 3-12 dan 3-13) (Bosow et al., 1982). Hal ini penting

untuk dikenali, karena walau bagaimanapun juga, tidak semua pasien yang mendapat infuse

morfin dalam jumlah tersebut akan menyebabkan pelepasan histamine, ditekankan bahwa

variasi individu berkaitan dengan pemberian morfin (gambar 3-12) (Bosow et al., 1982).

Berbeda dengan morfin, infus fentanil dengan dosis 50μg/kg IV selama lebih dari 10 menit tidak

menimbulkan pelepasan histamin pada semua pasien (gambar 3-12) (Bosow et al., 1982).

Sufentanil, seperti fentanil, tidak menimbulkan pelepasan histamine.

Pemberian antagonis reseptor H1 dan H2 pada pasien sebelum diberi morfin, tidak

menyebabkan perubahan pelepasan histamine yang ditimbulkan oleh morfin, namunmencegah

perubahan tekanan darah dan resistensi vaskuler sistemik (Philbin etal., 1981).

Morfin tidak membuat jantung menjadi lebih sensitif terhadap katekolamin atau faktor

predisposisi lain yang menyebabkan disaritmia jantung, selama hiperkarbia atau hipoksemia

arterial tidak timbul dari efek depresi pernapasan akibat opioid. Takikardia dan hipertensi yang

timbul selama anesthesia dengan morfin bukan merupakan efek farmakologi opioid, tetapi lebih

merupakan respon terhadap nyeri yang distimulasi oleh pembedahan yang tidak disupresi oleh

morfin. Sistem saraf simpatik dan mekanisme rennin-angiotensin berkontribusi terhadap respon

kardiovaskuler. Morfin dengan dosis besar atau agonis opioid lain dapat menurunkan

kemungkinan takikardi dan hipertensi yang timbul sebagai respons dari stimulasi nyeri, namun

sekali respons ini muncul,pemberian opioid tambahan menjadi tidak efektif lagi. Selama

anesthesia, agonis opioid yang umum diberikan adalah dengan anestetika inhalasi untuk

Page 17: wjBab 3 Opioid Agonists dan Antagonists.doc

memastikan amnesia penuh terhadap rengsang nyeri pembedahan. Kombinasi agonis opioid

seperti morfin atau fentanil dengan nitro oksida menghasilkan depresi kardiovaskuler

(penurunan keluaran jantung dan tekanan darah sistemik ditambah dengan peningkatan

tekanan pengisian jantung), hal ini tidak akan muncul bila masing-masing obat tersebut

diberikan sendiri-sendiri (Stoelting dan Gibbs, 1973). Penurunan resistensi vaskuler dan

tekanan darah sistemik dapat timbul menyertai pemberian kombinasi opioid dan

benzodiazepine, namun efek ini tidak menyertai pemberian obat tersebut bial diberikan secara

terpisah/sendiri-sendiri (gambar 3-14) (Tomicheck et al.,1983)

Ventilasi

Semua agonis opioid menyebabkan depresi pernapasan yang tergantung dosis dan

gender yang spesifik, secara primer melalui efek agonis pada reseptor mu2 yang memicu efek

langsung depresi pada pusat pernapasan di batang otak (Atcheson dan Lambert, 1995). Karena

efek analgesik dan pernapasan dari opioid ditimbulkan oleh mekanisme yang sama, dapat

diasumsikan bahwa dosis ekuianalgesik pada semua opioid dapat menyebabkan beberapa

derajat depresi pernapasan dan pembalikkan efek depresi napas dengan menggunakan

antagonis opioid akan selalu menyebabkan pembalikkan efek analgesia. Depresi pernapasan

yang dipicu oleh opioid dikarakteristikkan dengan penurunan daya respons dari pusat

pernapasan terhadap karbondioksida yang direfleksikan dengan peningkatan PaCO2 istirahat

dan perpindahan kurva respons karbondioksida kearah kanan. Agonis opioid juga turut

mempengaruhi pusat pernapasan di pontin dan medulla yang mengatur irama pernapasan,

yang memicu terjadinya jeda waktu yang memanjang antara napas dan pernapasan periodic.

Ada kemungkinan bahwa agonis opioid menurunkan sensitivitas terhadap karbondioksida

dengan menurunkan pelepasan asetilkolin dari neuron di daerah pusat pernapasan medulla

sebagai respon terhadap hiperkarbia.Dalam hal ini, pisostigmin yang dapat meningkatkan kadar

asetilkolin di SSP, dapat melawan efek depresi pernapasan tetapi tidak melawan efek analgesia

yang dihasilkan morfin.

Depresi pernapasan yang dihasilkan oleh agonis opioid berlangsung cepat dan bertahan

selama beberapa jam, seperti yang telah ditunjukkan penurunan respons pernapasan terhadap

karbondioksida. Opioid dosis tinggi dapat menyebabkan henti napas, namun pasien masih tetap

sadar dan dapat menghirup napas sendiri bila diminta untuk melakukannya. Kematian akibat

pemakaian opioid di atas dosis yang seharusnya, hampir semuanya diakibatkan oleh depresi

pernapasan.

Page 18: wjBab 3 Opioid Agonists dan Antagonists.doc

Manifestasi klinis, depresi pernapasan yang ditimbulkan oleh agonis opioid berupa

penurunan frekuensi pernapasan yang sering disertai dengan peningkatan volume tidal sebagai

usaha kompensasi. Ketidakcukupan dari kompensasi berupa peningkatan volume tidal ini

dibuktikan dengan peningkatan PaCO2 seperti yang telah diperkirakan sebelumnya. Banyak

faktor yang mempengaruhi durasi dan kuatnya depresi pernapasan yang ditimbulkan oleh

agonis opioid. Sebagai contoh, usia lanjut dan kejadian tidur alamiah meningkatkan efek

depresi napas pada pemberian opioid. Sebaliknya, nyeri yang ditimbulkan rangsangan

pembedahan menetralkan efek depresi pernapasan yang ditimbulkan opioid. Efek analgesik

dari opioid adalah pernapsan yang lambat, bila pernapasan tersebut menjadi cepat dan dangkal

ada kemungkinan berkaitan dengan timbulnya rasa nyeri.

Opioid menyebabkan depresi aktivitas silia di saluran napas yang tergantung dosis.

Peningkatan resistensi jalan napas setelah pemberian opioid kemungkinan berkaitan dengan

efek langsung dari otot polos bronkial dan kerja tidak langsung terhadap pelepasan histamine.

Supresi Batuk

Opioid menekan batuk dengan mempengaruhi pusat batuk di medula yang berbeda

dengan efek opioid pada pernapasan. Supresi batuk yang paling hebat timbul pada opioid yang

memiliki substitusi iang besar sekali pada posisi karbon nomor 3 (kodein). Supresi batuk

ditimbulkan oleh isomer dekstrotatori dari opioid (dekstrometorfan) yang tidak menghasilkan

efek analgesia.

Sistem Saraf

Opioid tanpa adanya hipoventilasi, menurunkan aliran darah otak dan mungkin juga

tekanan intracranial. Opioid harus digunakan dengan perhatian khusus pada pasien dengan

cedera kepala karena opioid (a) memiliki efek yang berkaitan dengan kesadaran, (b)

menyebabkan miosis, (c) depresi pernapasan yang dikaitkan dengan meningkatnya tekanan

intracranial jika PaCO2 menjadi meningkat. Lebih jauh lagi, cedera kepala dapat mengganggu

integritas dari sawar darah otak, dengan hasil meningkatkan sensitifitas terhadap opioid.

Efek dari morfin terhadap elektroensefalogram (EEG) menyerupai perubahan pada

waktu tidur. Sebagai contoh, terdapat pergantian gelombang alfa cepat dengan memperlambat

gelombang delta.Perekaman EEG dilakukan untuk mencari bukti adanya aktivitas kejang

setelah pemberian opioid dalam jumlah besar. Opioid tidak mengubah respons obat-obat yang

memblok nopuromuskular. Rigiditas otot rangka, terutama otot dada dan otot abdominal,

Page 19: wjBab 3 Opioid Agonists dan Antagonists.doc

seringkali terjadi ketika agonis opioid diberikan secara cepat dan melalui IV (Bowdle dan Rooke,

1994). Aktivitas klonus otot rangka (mioklonus) yang timbul pada pemberian opioid dapat

menyerupai kejang grand mal, namun EEG tidak merefleksikan aktivitas kejang. Rigiditas otot

rangka mungkin berkaitan dengan kerja opioid di reseptor opioid dan melibatkan interaksi

dengan neuron dopaminergik dan responsif asam gamma- aminobutirat.

Pemberian opioid dengan IV cepat untuk induksi anesthesia, mungkin berkaitan dengan

rigiditas otot rangka di dada dan abdomen yang cukup menggangguventilasi yang adekuat dari

paru. Upaya manual untuk memompa paru dengan disertai adanya rigiditas otot rangka ini

dapat menyebabkan tekanan jalan napas yang mengganggu aliran balik vena. Sebaliknya,

terdapat bukti bahwa penyebab terbesar dari ventilasi sulit setelah induksi anesthesia dengan

sufentanil (dan mungkin opioid lain) adalah penutupan plika vokalis (Bennett et al., 1997a).

Insiden rigiditas otot rangka yang disebabkan oleh opioid (hipertonus menyeluruh dari otot

rangka) tergantung pada opioid (biasanya fentanil) dan dosis yang digunakan dan frekuensi

pemberian. Inhibisi pelepasan asam gamma aminobutirat pada striata dan peningkatan

produksi dopamine, menjelaskan terjadinya peningkatan tonus otot rangka akibat opioid.

Dilaporkan bahwa insiden ventilasi sulit setelah pemberian fentanil dengan dosis moderat

berkisar antara 84% hingga 100% (Bennett et al., 1997a).

Miosis disebabkan adanya rangsangan opioid pada komponen system saraf otonom,

yaitu nucleus Edinger-Westphal pada nervus okulomotor. Toleransi terhadap efek miosis dari

morfin tidak mencolok. Miosis dapat dilawan dengan pemberian atropin, dan walaupun telah

menjadi midriasis, kadar hipoksemia arterial masih tinggi bila tubuh masih mengandung morfin.

Sedasi

Titrasi morfin postoperative seringkali menyebabkan sedasi yang mendahului onset

analgesia (Paqueron et al., 2002). Rekomendasi untuk titrasi morfin meliputi interval yang

pendek antara bolus (5 sampai 7 menit) untuk memungkinkan evaluasi efek klinis. Sedasi

timbul pada lebih dari 60% pasien selama titrasi morfin dan mewakili alas an umum untuk tidak

melanjutkan titrasi morfin sebagai analgesia postoperatif. Asumsi bahwa tidur muncul ketika

nyeri hilang tidak akurat dan sedasi yang disebabkan oleh morfin tidak bisa dipikirkan sebagai

indikator analgesia yang tepat selama titrasi morfin intravena.

Page 20: wjBab 3 Opioid Agonists dan Antagonists.doc

Saluran Empedu

Opioid dapat menyebabkan spasme otot polos bilier yang menyebabkan meningkatnya

tekanan intraempedu yang mungkin berkaitan dengan nyeri epigastrium atau kolik empedu.

Nyeri dapat dibingungkan dengan angina pektoralis. Nalokson akan meredam nyeri yang

disebabkan spasme bilier namun tidak meredam nyeri yang ditimbulkan dari iskemia miokardia.

Dosis analgesik yang sama pada fentanil, morfin, meperidin, dan pentazosin meningkatkan

tekanan duktus empedu 99%, 53%, 61%, dan 15% diatas kadar sebelum pemberian obat

(Radnay et al., 1980). Selama masa pembedahan, spasme sfingter Oddi yang dipicu oleh

opioid dapat terlihat secara radiologi sebagai bentuk konstriksi tajam pada bagian akhir distal

dari duktus empedu dan dapat terjadi salah interpretasi, yang diinterpretasikan sebagai batu

saluran empedu. Merupakan hal penting untuk membalik efek spasme bilier dengan

menggunakan nalokson dan menggunakan kolangiogram untuk mendapatkan interpretasi yang

benar. Glukagon, 2 mg IV, juga dapat membalik efek spasme otot polos bilier, namun tidak

seperti nalokson, glukagon tidak melawan efek analgesik dari opioid (Jones et al., 1980).

Meskipun begitu, spasme otot bilier tidak muncul pada sebagian besar pasien yang mendapat

opioid. Insiden spasme sfingter Oddi berkisar 3% pada pasien yang mendapat fentanil sebagai

tambahan pada anestetik inhalasi (Jones et al., 1981).

Kontraksi otot polos duktus pankreatikus mungkin bertanggung jawab menyebabkan

terhadap peningkatan amilase dalam plasma dan konsentrasi lipase yang dapat muncul setelah

pemberian morfin. Peningkatan ini dapat membingungkan diagnosis bila pankreatitis akut masih

menjadi kemungkinan.

Saluran Pencernaan

Opioid yang biasa digunakan seperti morfin, meperidin, dan fentanil dapat menyebabkan

spasme otot polos gastrointestinal, yang menghasilkan efek samping yang bervariasi termasuk

konstipasi, kolik empedu, dan perlambatan pengosongan lambung.

Morfin menurunkan kontraksi dorongan peristaltik pada usus kecil dan usus besar dan

meningkatkan tonus sfingter pilorus, katup ileosekal, dan sfingter anal. Perlambatan lintasan isi

usus melalui kolon menyebabkan meningkatkan penyerapan air. Sebagai hasilnya, konstipasi

sering menyertai pada terapi dengan opioid dan dapat menjadi masalah yang melemahkan

pasien pada pasien yang membutuhkan terapi opioid jangka panjang, Sedikit toleransi timbul

Page 21: wjBab 3 Opioid Agonists dan Antagonists.doc

terhadap efek ini. Hal yang menarik bahwa opium (morfin) digunakan untuk mengobati diare

sebelum penggunaan morfin sebagai analgesia populer.

Peningkatan tekanan bilier timbul ketika kontraksi kandung empedu melawan sfingter

Oddi yang tertutup atau sempit. Aliran isi lambung masuk ke duodenum proksimal diperlambat

karena terdapat peningkatan tonus pada percabangan gastroduodenum. Dalam hal ini,

medikasi preoperatif termasuk opioid dapat memperlambat pengosongan lambung (yang

secara potensial meningkatkan resiko aspirasi) atau perlambatan absorpsi obat-obatan yang

diberikan secara oral. Seluruh efek ini dapat dibalik atau dicegah dengan pemberian antagonis

opioid yang bekerja perifer.

Mual dan Muntah

Mual dan muntah yang diinduksi oleh opioid disebabkan oleh stimulasi langsung pada

zona pemicu kemoreseptor di dasar ventrikel ke empat (gambar 41-16). Hal ini merefleksikan

peranan agonis opioid sebagai agonis dopamin parsial di reseptor dopamin pada daerah

pemicu kemoreseptor. Tentu saja apomorfin merupakan obat pembuat muntah yang hebat dan

juga opioid yang paling poten pada reseptor dopamine. Stimulasi reseptor dopamine sebagai

mekanisme terjadinya mual dan muntah yang diinduksi opioid konsisten dengan keefektifan

antiemetik dari butirofenon. Morfin juga dapat menyebabkan mual dan muntah akibat

peningkatan sekresi saluran cerna dan perlambatan aliran isi usus menuju kolon.

Morfin menekan pusat muntah di medulla (gambar 41-16). Sebagai hasilnya, mual dan

muntah pada pemberian morfin IV menjadi berkurang dibandingkan pada pemberian morfin IM,

hal ini mungkin karena pada pemberian opioid IV dapat mencapai pusat muntah dan daerah

pemicu kemoreseptor dengan sama cepatnya. Mual dan muntah jarang ditemukan pada pasien

yang diberi morfin dengan posisi terlentang, hal ini menimulkan pemikiran bahwa komponen

vestibuler memiliki kontribusi terhadap timbulny mual dan muntah yang diinduksi oleh opioid.

Sistem Genitourinaria

Morfin dapat meningkatkan tonus dan aktivitas peristaltik dari ureter. Berbeda dengan

efek yang mirip pada otot polos traktus bilier, efek yang sama pada ureter dapat dibalikkan

dengan obat antikolinergik seperti atropine. Kegawatdaruratan saluran kemih yang diinduksi

opioid disebabkan oleh augmentasi tonus otot detrusor, namun pada saat yang sama tonus dari

sfingter vesika meningkat membuat proses berkemih menjadi sulit.

Page 22: wjBab 3 Opioid Agonists dan Antagonists.doc

Pada hewan, antidiuretik yang menyertai pemberian morfin berhubungan dengan

pelepasan arginin hormon vasopresin (hormone antidiuresis). Pada manusia, pemberian morfin

yang bertujuan untuk menghilangkan rangsangan nyeri pembedahan, tidak menyebabkan

pelepasan dari hormone ini (Philbin et al., 1976). Lebih jauh lagi, bila morfin diberikan pada

keadaan volume cairan intravaskuler yang adekuat, tidak ada perubahan dengan keluaran urin.

Perubahan Kulit

Morfin menyebabkan dilatasi pembuluh darah kulit. Kulit di wajah, leher, dan dada

bagian atas sering memerah dan hangat. Perubahan pada sirkulasi kulit ini disebabkan oleh

pelepasan histamin. Pelepasan histamin mungkin berkaitan dengan timbulnya urtikaria dan

eritema yang erring terlihat di kulit sekitar tempat penyuntikan. Sebagai tambahan, pelapasan

histamin yang diinduksi morfin mungkin menjadi penyebab eritema konjungtiva dan pruritus.

Bukti pelepasan histamine pada kulit yang terlokalisasi, terutama sepanjang vena

tempat morfin disuntikkan, tidak mewakili reaksi alergi. Secara keseluruhan, insiden terjadinya

alergi pada opioid sangat jarang terjadi, meskipun ada beberapa kasus yang terjadi yang

didokumentasikan (Bennet et al., 1986). Lebih sering, efek samping yang dapat diperkirakan

dari opioid seperti pelepasan histamine terlokalisasi, hipotensi ortostatik, mual dan muntah

disalah artikan sebagai reaksi alergi.

Plasenta

Pada plasenta tidak terdapat halangan yang nyata pada transfer opioid dari ibu ke

bayinya. Meskipun begitu, depresi dari neonatus muncul sebagai konsekuensi dari pemberian

opioid pada ibu pada saat proses kelahiran. Dalam hal ini, Pemberian morfin pada ibu dapat

menyebabkan depresi pernapasan pada neonatus yang lebih berat dari pada meperidin (Way et

al., 1965). Hal ini dapat merefleksikan imaturitas pada sawar darah otak neonatus. Penggunaan

opioid pada ibu dalam jangka waktu yang panjang menyebabkan timbulnya ketergantungan fisik

(kecanduan intrauterin) pada fetus. Pemberian nalokson pada neonatus dapat mempercepat

hilangnya sindrom yang mengancam jiwa neonatus.

Interaksi obat

Efek depresi pernapasan pada beberapa opioid dapat lebih diperbesar oleh amfetamin,

fenotiazin, MAO inhibitor, dan anti depresan trisiklik. Sebagai contoh, pasien yang diberi MAO

inhibitor dapat mengalami depresi SSP yang lebih berat dan hiperpireksia setelah pemberian

Page 23: wjBab 3 Opioid Agonists dan Antagonists.doc

agonis opioid, terutama meperidin. Respons yang berlebihan ini dapat merefleksikan perubahan

pada frekuensi atau jalur metabolism opioid. Obat-obat simpatomimetik meningkatkan efek

analgesia opioid. Sistem saraf kolinergik terlihat menjadi modulator positif analgesia yang

diinduksi oleh opioid, di mana fisostigmin meningkatkan analgesia dan atropine melawan efek

analgesia.

Farmakodinamik Toleransi dan Ketergantungan Fisik

Farmakodinamik toleransi dan ketergantungan fisik dengan pemberian opioid secara

berulang merupakan gambaran karakteristik pada semua agonis opioid dan merupakan limitasi

mayor dari penggunaan secara klinis. Terdapat toleransi silang antara semua opioid. Toleransi

dapat muncul tanpa ketergantungan fisik, namun tidak pernah terjadi sebaliknya.

Toleransi merupakan peningkatan kebutuhan akan dosis dari agonis opioid untuk

mencapai efek analgesia yang sama seperti saat pemberian sebelumnya dengan dosis yang

lebih rendah. Toleransi didapatkan biasanya memerlukan waktu 2 sampai 3 minggu untuk

timbul dengan morfin pada dosis analgesia. Toleransi menimbulkan analgesia, eforia, sedative,

depresi pernapasan, dan efek muntah pada opioid tetapi bukan efek pada miosis dan

konstipasi. Efek agonis dari opioid adalah ketergantungan fisik (adiksi). Ketergantungan fisik

tidak timbul pada antagonis opioid dan jarang terjadi pada agonis-antagonis opioid. ketika kerja

agonis opioid menonjol, seringkali dengan penggunaan berulang, timbul hasrat ingin mengulang

(psikologis) dan kebutuhan yang berlanjut (fisiologis) terhadap obat. Ketergantungan fisik pada

morfin biasanya membutuhkan 25 hari untuk berkembang, namun dapat timbul lebih awal pada

orang-orang dengan secara emosional tidak stabil. Beberapa derajat ketergantungan fisik

muncul 48 jam dari medikasi berkelanjutan. Ketika ketergantungan fisik terbentuk, penghentian

pemberian agonis opioid menyebabkan sindrom putus obat (Tabel 3-6) (Mitra dan Sinatra,

2004). Gejala awal dari putus obat meliputi menguap, diaphoresis, mata berair, arao coryza.

Insomnia dan gelisah juga mnejadi gejala yang mencolok. Kram perut, mual, muntah, dan diare

mencapai puncaknya setelah 72 jam dan kemudian turun pada 7 sampa i10 hari ke depan.

Selama putus obat, toleransi terhadap morfin menghilang secara cepat, dan sindrom dapat

dihentikan dengan dosis sedang dari agonis opioid. Semakin lama periode abstinensia,

semakin kecil dosis agonis opioid yang digunakan.

Toleransi farmakodinamik berkaitan dengan perubahan neuroadaptif yang terjadi

setelah paparan opioid dalam jangka waktu yang lama (Mitra dan Sinatra, 2004). Perubahan ini

muncul pada tingkat reseptor opioid dan melibatkan desensitisasi reseptor. Reseptor opioid

Page 24: wjBab 3 Opioid Agonists dan Antagonists.doc

pada permukaan membran sel menjadi terdensitisasi secara bertahap dengan diturunkannya

transkripsi dan penurunan absolute jumlah reseptor opioid (down-regulation). Hipotesis klasik

mengenai sisa toleransi farmakodinamik tidak terbukti.

Mekanisme kedua untuk menjelaskan toleransi farmakodinamik melibatkan up-

regulation dari system cAMP (cyclic adenosine monophosphate). Secara akut,

opioidmenghambat aktifitas fungsi jalur cAMP dengan memblok adenilat siklase, enzim yang

mengkatalisasi sintesis cAMP. Paparan terhadap opioid jangka panjang berkaitan dengan

kembalinya secara bertahap jalur cAMP dan berkembangnya toleransi. Peningkatan sintesis

cAMP bertanggung jawab terhadap ketergantungan fisik dan perubahan psikologis yang

berkaitan dengan putus obat. Up-regulation dari cAMP paling jelas didemonstrasikan di lokus

ceruleus dari otak. Klonidin, agonis α2-adrenergik yang menurunkan transmisi jalur simpatik di

SSP merupakan obat yang efektif menekan tanda-tanda putus obat pada orang yang secara

fisik bergantung pada opioid. Toleransi tidak berkaitan dengan induksi enzim, karena tidak

didapatkannya peningkatan dari laju metabolism pada agonis opioid.

Toleransi farmakodinamik jangka panjang dikarakteristikan oleh kekurangpekaan

terhadap opioid dapat bertahan selama beberapa bulan atau beberapa tahun pada beberapa

individu dan paling sering menunjukkan adaptasi neural yang persisten (Mitra dan Sinatra,

2004). Memperhatikan hal ini, reseptor glutamate dan N-metil-D-aspartat (NMDA) penting pada

perkembangan toleransi opioid dan peningkatan sensitivitas rasa nyeri. Paparan jangka

panjang terhadap opioid mengaktivasi reseptor NMDA melalui mekanisme second messenger

dan juga down-regulation transporter glutamate spinal. Konsentrasi glutamat yang tinggi di

sinaps dan aktivasi NMDA berkontribusi terhadap toleransi opioid dan sensitivitas nyeri yang

abnormal (pronosiseptif atau proses sensitisasi).

Perubahan Hormonal

Terapi opioid dalam jangka panjang dapat mempengaruhi aksis hipotalamus-pituitari-

adrenal dan aksis hipotalamus-pituitari-gonadal (Ballantyne dan Mao, 2003). Morfin dapat

menyebabkan penurunan progresif konsentrasi kortisol dalam plasma. Efek utama dari opioid di

aksis hipotalamus-pituitari-gonadal meliputi modulasi pelepasan hormon termasuk peningkatan

prolaktin dan penurunan LH, FSH, testosterone, dan estrogen.

Page 25: wjBab 3 Opioid Agonists dan Antagonists.doc

Modulasi Imunitas

Terapi opioid dapat mengubah imunitas melalui efek neuroendokrin atau lewat efek

langsung dari sistem imun (Ballantyne dan Mao, 2004; Webster 1998). Paparan jangka lama

terhadap opioid tampaknya lebih sering menimbulkan penurunan sistem imun dibandingkan

paparan opioid jangka pendek, terutama pada orang yang rentan dan pemutusan obat secara

mendadak dapat memicu penurunan sistem imun. Opioid mengubah perkembangan,

diferensiasi, dan fungsi sel imun (sel progenitor sumsum tulang, makrofag, sel T). reseptor yang

berkaitan dengan opioid terdapat pada sel imun. Meskipun perhatian terhadap efek

imunosupresan dari opioid meningkat (insiden pada infeksi postoperatif), hal ini sama

pentingnya dengan mengenali nyeri itu sendiri yang dapat mengganggu fungsi imun.

Dosis Berlebih (Overdose)

Manifestasi dasar dari pemberian dosis morfin yang berlebih adalah depresi pernapasan

yang dimanifestasikan berupa frekuensi nafas yang lambat, yang dapat berkembang menjadi

henti napas. Pupil simetris dan miosis, kecuali jika terjadi hipoksemia arterial berat yang

membuat pupil menjadi midriasis. Otot rangka menjadi lemah, dan timbul obstruksi jalan napas

atas. Edema paru biasanya muncul, namun mekanisme terjadinya belum dapat diketahui.

Hipotensi dan kejang timbul jika terdapat hipoksemia arterial. Dengan adanya triad miosis,

hipoventilasi, dan koma, harus dipikirkan adanya kemungkinan opioid dengan dosis berlebih

(overdose). Tatalaksana kelebihan dosis opioid adalah dengan ventilasi mekanik pada paru-

paru pasien dengan oksigen dan pemberian antagonis opioid seperti nalokson. Tatalaksana

antagonis opioid untuk mengatasi kelebihan dosis opioid dapat menimbulkan sindrom putus

obat yang akut.

Morfin-6-Glukoronida

Durasi kerja morfin-6-glukoronida lebih panjang daripada morfin, dan ada kemungkinan

mayoritas aktivitas analgesia yang dihubungkan dengan morfin seharusnya adalah morfin-6-

glukoronida terutama dengan panjangnya masa kerja dari morfin (Hanna et al., 1990). Morfin

dan morfin-6-glukoronida mengikat reseptor opioid mu dengan afinitas yang sebanding,

mengingat potensi analgesia morfin-6-glukoronida 650 lebih tinggi daripada morfin (Paul et al.,

1989). Akumulasi morfin-6-glukoronida selama infuse morfin dalam jangka waktu lama dapat

berkontribusi menimbulkan analgesia dan depresi pernapasan. Demikian juga dengan adanya

gagal ginjal akut, efek samping yang berat dari opioid dapat timbul beberapa jam setelah

Page 26: wjBab 3 Opioid Agonists dan Antagonists.doc

konsentrasi morfin dalam plasma mencapai puncaknya, yang merefleksikan konsentrasi puncak

morfin-6-glukoronida dalam plasma (Angst et al., 2000). Morfin-6-glukoronida tidak

menimbulkan efek klinismaupun analgesic pada pemberian bolus tunggal IV atau bolus IV yang

diikuti infuse setiap 4 jam sekali (Lotsch et al., 1999; Motamed et al., 2000). Hal ini paling

merefleksikan rendahnya permeabilitas sawar darah otak terhadap morfin-6-glukoronida dan

menegaskan bahwa pada pemberian infus jangka pendek tidak membuat konsentrasi morfin-6-

glukoronida dalam SSP cukup untuk menghasilkan efek farmakologi yang dapat terdeteksi.

Pada kondisi pemberian jangka panjang, konsentrasi morfin-6-glukoronida di SSP menjadi lebih

relevan (Lotsch et al., 1999). Meskipun demikian, pemberian morfin-6-glukoronida di atas 1 jam

dilaporkan menghasilkan analgesia yang memanjang, diperkirakan obat inimemiliki nilai sebagai

analgesik intravena untuk menghilangkan nyeri pasca operasi (Romberg et al., 2004).

Pemberian morfin-6-glukoronida intratekal menghasilkan analgesia yang mirip dengan morfin

(Grace dan Fec., 1996).

Meperidin

Meperidin adalah agonis opioid sintetik pada reseptor mu dan kappa dan diturunkan dari

fenilepiperidin (gambar 3-15). Terdapat beberapa banalog dari meperidin, termasuk fentanil,

sufentanil, alfentanil, dan ramifentanil (gambar 3-15). Meperidin membagi beberapa gambaran

struktur yang terdapat pada anestetik local termasuk amin tersier, kelompok ester dan fenil

lipofilik. Pemberian meperidin intratekal memblok kanal natrium hingga derajat yang sama

dengan lidokain. Secara struktur, meperidin sama dengan atropine dan memiliki efek

antispasmodik ringan yang mirio dengan atropine. Meskipun demikian, efek dasar farmakologi

meperidin menyerupai morfin.

Farmakokinetik

Meperidin memiliki potensi sekitar 1/10 dari morfin, dengan dosis 80 sampai 100 mg IM

setara dengna 10 mg IM morfin. Durasi kerja meperidin sekitar 2 sampai 4 jam, membuat

meperidin menjadi agonis opioid yang masa kerjanya lebih singkat dibandingkan morfin. Pada

dosis analgesik yang seimbang, meperidin menyebabkan sedasi, eforia, mual, muntah, dan

depresi pernapasan seperti yang terjadi pada morfin. Tidak seperti morfin, meperidin diabsorpsi

dengan baik di saluran gastrointestinal, meskipun demikian, hanya tingkat keefektifannya pada

konsumsi secara oral sekitar setengahnya dari pemberian IM.

Metabolisme

Page 27: wjBab 3 Opioid Agonists dan Antagonists.doc

Metabolisme hepatik dari meperidin sangat besar, sekitar 90% obat mengalami

demetilisasi menjadi normeperidin dan hidrolisis menjadi asam meperidinik (Stone et al., 1993).

Normeperidin mengalami hidolisis menjadi asam normeperidinik. Ekskresi melalui urin adalah

jalur eliminasi utama dan tergantung dengan pH. Sebagai contoh, jika pH urin <5, sebanyak

25% dari meperidin yang diekskresi tidak mengalami perubahan. Kadar meperidin dalam urin

dapat dipikirkan sebagai kecepatan eliminasi dari meperidin. Penurunan fungsi hati dapat

menjadi predisposisi akumulasi dari normeperidin.

Normeperidin memiliki waktu paruh eliminasi 15 jam (<35 jam pada pasien dengan

gagal ginjal)dan dapat dideteksi dalam urin dalam jangka waktu 3 hari setelah pemberian

meperidin. Metabolit ini sekitar setengahnya aktif sebagai analgesic seperti meperidin. Sebagai

tambahan, normeperidin menghasilkan stimulasi SSP. Toksisitas normeperidin bermanifestasi

sebagai mioklonus dan kejang yang paling sering terjadi pada pemberian meperidin dalam

jangka waktu yang lama seperti pada pasien yang dikontrol dengan analgesia, manifestasi ini

terutama timbul pada pasien dengan gangguan fungsi ginjal (Stone et al., 1993). Normeperidin

juga penting pada delirium yang diinduksi meperidin (kebingungan, halusinasi), yang dapat

diobservasi pada pasien yang mendapat obat lebih dari 3 hari, hal ini berkaitan dengan

akumulasi metabolit aktif.

Waktu Paruh Elimunasi

Waktu paruh eliminasi dari meperidin adalah 3 sampai 5 jam (table 3-5). Karena

bersihan dari meperidin secara primer tergantung dengan metabolism hepar, ada kemungkinan

dosis yang besar dari opioid akan mensaturasi sistem enzim dan hasilnya adalah perpanjangan

eliminasi waktu paruh. Walaupun begitu, waktu paruh eliminasi tidak diubah oleh dosis

meperidin hingga 5 mg/kg IV. Sekitar 60% meperidin terikat dengan protein plasma. Pada

pasien tua terdapat penurunan meperidin yang terikat pada protein plasma, hal ini

menyebabkan peningkatan konsentrasi obat bebas dalam plasma dan meningkatkan sensitifitas

opioid. Peningkatan toleransi alkohol terhadap meperidin dan opioid lain dapat merefleksikan

peningkatan volume dosis (Vd), yang menyebabkan konsentrasi meperidin dalam plasma

menjadi rendah.

Penggunaan Klinis

Dasar pengunaan meperidin adalah sebagai analgesia saat pross persalinan dan pasca

operasi. Meperidin adalah satu-satunya opioid yang dipertimbangkan adekuat untuk operasi bila

Page 28: wjBab 3 Opioid Agonists dan Antagonists.doc

diberikan secara intratekal (Cozian et al., 1986). Injeksi IM dari meperidin untuk analgesia

pasca operasi menghasilkan konsentrasi puncak dalam plasma bervariasi antara tiga hingga

lima kali sama halnya dengan waktu yang dibutuhkan untuk mencapai konsentrasi puncak yang

bervariasi antara tiga hingga lima kali pada pasien (Austin et al., 1980a). Konsentrasi analgesia

minimum dalam plasma memiliki variasi yang tinggi antara pasien, bagaimanapun juga, pada

pasien yang sama, perbedaan konsentrasi sebesar 0,05 μg/mL dapat menampilkan batas

antara tidak adanya analgesia dan analgesia lengkap. Konsentrasi meperidin dalam plasma

sebesar 0,7 μg/mL diharapkan dapat memberikan analgesia pasca operasi pada 95% pasien

(Austin et al., 1980b). Pada pasien yang dikontrol sistem analgesia biasanya diberikan

analgesia pasca operasi dengan dosis total meperidin berkisar antara 12 sampai 36 mg/jam

(White, 1985). Toksisitas normeperidin digambarkan pada pasien dengan control analgesia

yang mendapatkan meperidin (Stone et al., 1993).

Meperidin mungkin efektif untuk menurunkan kejadian menggigil pasca operasi yang

diakibatkan dari peningkatan gangguan pada konsumsi oksigen metabolic. Efek anti menggigil

dari meperidin dapat merefleksikan stimulasi reseptor kappa (diperkirakan menampilkan 10%

dari aktivitas) dan penurunan ambang menggigil yang diinduksi obat (tidak timbul pada

anestetika volatil, alfentanil, klonidin, atau propofol) (gambar 3-16) (Alfonsi et al., 1998; Ikeda et

al., 1998; Kurz et al., 1997). Sebagai tambahan, meperidin adalah agonis poten pada reseptor

α2 yang dapat berkontribusi menimbulkan efek anti menggigil (Takada et al, 2002). Klonidin

bahkan lebih efektif menurunkan kejadian menggigil pasca operasi dibandingkan meperidin.

Butorfanol (reseptor kappa agonis-antagonis) memberhentukan menggigil dengan lebih efektif

daripada opioid dengan utamanya efek agonis reseptor opioid mu. Bukti adanya peranan

reseptor kappa dalam menimbulkan efek anti menggigil pada meperidin dan butorfanol adalah

kegagalan dari nalokson menghambat secara total efek yang diinduksi oleh obat ini.

Absorpsi oral dapat membuat meperidin menjadi lebih berguna daripada morfin untuk

menatalaksana berbagai jenis nyeri. Tidak seperti morfin, meperidin tidak berguna untuk

mengatasi diare dan bukan merupakan anti batuk yang efektif. Saat dilakukan bronkoskopi,

karena meperidin memiliki efek yang lemah sebagai anti batuk, membuat opioid ini menjadi

kurang berguna. Meperidin tidak digunakan pada dosis tinggi karena efek negatif inotropik

jantung ditambah pelepasan histamin pada sejumlah besar pasien (Flacke et al., 1987).

Page 29: wjBab 3 Opioid Agonists dan Antagonists.doc

Efek Samping

Efek samping dari meperidin menyerupai morfin. Pada dosis terapeutik, meperidin

dikaitkan dengan hipotensi ortostatik. Pada kenyataannya, hipotensi yang timbul setelah

penyuntikan meperidin lebih sering terjadi daripada saat penyuntikan dengan morfi pada dosis

yang sama. Hipotensi ortostatik membuat pemikiran bahwa meperidin seperti halnya morfin

menggangu reflek kompensasi sistem saraf simpatik. Meperidin berbeda dengan morfin, jarang

menyebabkan bradikardi namun dapat meningkatkan frekuensi nadi, merefleksikan kemiripan

dengan atropin dengan kualitas sedang. Pemberian meperidin dalam dosis besar menurunkan

kontraktilitas miokardia, yang merupakan keunikan obat ini dibandingkan opioid lain.

Kemunculan delirium dan kejang kemungkinan merefleksikan akumulasi dari normepiridin, yang

memiliki efek stimulasi pada SSP.

Sindrom serotonin (ketidakstabilan otonomik dengan hipertensi, takikardi, diaphoresis,

hipertermia, perubahan perilaku termasuk kebingungan dan agitasi, dan perubahan

neuromuskuler yang bermanifestasi menjadi hiperrefleksia) timbul ketika obat yang mampu

meningkatkan serotonin diberikan. Pada kasus yang berat, koma, kejang, koagulopati, dan

asidosis metabolik dapat timbul. Pemberian meperidin pada pasien yang mendapat obat-obat

antidepresan (MAO inhibitor, fluoxetine) dapat menimbulkan sindrom ini (Tissot, 2003).

Meperidin mengganggu pernapasan dan bahkan menimbulkan depresi pernapasan

yang lebih berat dibandingkan morfin. Opioid ini dengan cepat dapat melintasi plasenta dan

konsentrasi meperidin di dalam darah tali umbilicus saat lahir dapat melebihi konsentrasi dalam

plasma ibu (Way et al., 1965). Meperidin dapat menyebabkan konstipasi dan retensi urin yang

lebih lemah daripada morfin. Pada pemberian analgesik dengan dosis yang sama, efek spasme

saluran bilier pada injeksi meperidin lebih kecil dibandingkan pada injeksi morfin tetapi

menimbulkan efek yang lebih besar daripada pemberian kodein (Radnay et al., 1980).

Meperidin tidak menyebabkan miosis tetapi lebih menyebabkan midriasis yang merefleksikan

kerjanya mirip atropin dengan derajat sedang. Mulut kering dan peningkatan frekuensi nadi

merupakan bukti lebih lanjut dari efek meperidin yang mirip dengan atropin. Gejala neurologis

yang timbul sementara, ditemukan pada pemberian meperidin intratekal dalam pembedahan

dengan anestesia (Lewis dan Perrino, 2002).

Pola gejala putus obat setelah penghentian pemberian meperidin secara mendadak

berbeda dengan morfin karena efek yang timbul hanya pada sedikit sistem saraf otonomi.

Page 30: wjBab 3 Opioid Agonists dan Antagonists.doc

Gejala putus obat yang timbul lebih cepat dan lebih pendek durasinya dibandingkan dengan

morfin.

Fentanil

Fentanil adalah agonis opioid sintetik turunan fenilpiperidin yang secara struktur

berhubungan dengan meperidin (gambar 3-15). Sebagai anestetika, fentanil lebih poten 75

hingga 125 kali dibandingkan morfin.

Farmakokinetik

Dosis tunggal dari pemberian fentanil IV memiliki onset yang lebih cepat dan durasi

yang lebih pendek daripada morfin. Meskipun kesan klinis dari fentanil memiliki onset yang

cepat, perbedaan waktu yang nyata antara konsentrasi puncak fentanil dalam plasma dan

perlambatan puncak pada EEG. Perlambatan ini merefleksikan waktu yang berbeda untuk

mencapai efek fentanil yang sama pada darah dan otak, sekitar 6,4 menit. Potensi yang lebih

besar dan onset kerja yang lebih cepat merefleksikan kelarutan fentanil dalam lemak lebih

besar dibandingkan morfin yang memfasilitasi alirannya melintasi sawar darah otak. Durasi

kerja singkat dari dosis tunggal fentanil merefleksikan redistribusi yang cepat ke jaringan inaktif

seperti lemak dan otot rangka, yang berkaitan dengan penurunan konsentrasi obat dalam

plasma (gambar 3-17) (Hug dan Murphy, 1981). Paru-paru juga berfungsi sebagai pempat

penyimpanan inaktif yang besar dengan perkiraan 75% dari dosis inisial fentanil melewati first

pass ambilan paru (Roerig et al., 1987). Fungsi nonrespirasi dari paru ini membatasi jumlah

inisial dari obat yang sampai ke sirkulasi sistemik dan mungkin memainkan peranan penting

dalam menentukan profil farmakokinetik dari fentanil. Pada pemberian fentanil IV dengan dosis

besar atau saat pemberian infus berkelanjutan, muncul penambahan saturasi obat di jaringan

inaktif. Sebagai hasilnya, konsentrasi fentanil dalam plasma tidak turun secara cepat dan durasi

analgesia seperti halnya depresi pernapasan dapat memanjang. Bypass dari kardiopulmoner

menyebabkan efek yang secara klinis tak berarti pada farmakokinetik dari fentanil, meskipun

dihubungkan dengan adanya hemodilusi, hipotermia, aliran darah yang tidak fisiologis dan

respons inflamasi sistemik yang diinduksi bypass dari kardiopulmoner (Hudson et al., 2003).

Metabolisme

Fentanil secara eksensif dimetabolisme oleh N-demetilasi, menghasilkan norfentanil,

hidroksipropionil-fentanil, dan hidroksipropionil-norfentanil. Norfentanil secara struktur mirip

dengan normeperidin dan merupakan metabolit dasar fentanil pada manusia. Norfentanil

Page 31: wjBab 3 Opioid Agonists dan Antagonists.doc

diekskresi di ginjal dan dapat terdeteksi di urin selama 72 jam setelah pemberian dosis tunggal

fentanil IV. Kurang dari 10% fentanil diekskresi tanpa perubahan melalui urin. Aktivitas

farmakologi dari metabolit fentanil dipercaya minimal (Peng dan Sandler, 1999). Fentanil adalah

substrat dari enzim hepatik P-450 (CYP3A) dan rentan terhadap interaksi obat yang

merefleksikan gangguan aktivitas enzim (kurang mirip dengan alfentanil) (Ibrahim et al., 2003).

Waktu Paruh Eliminasi

Meskipun kesan klinis dari fentanil memiliki durasi kerja singkat, eliminasi waktu

paruhnya lebih panjang daripada morfin (Tabel 3-5). Pemanjangan eliminasi waktu paruh

merefleksikan Vd yang lebih besar dari fentanil karena bersihan pada kedua opioid memiliki

kemiripan (Tabel 3-5). Vd fentanil yang lebih besar berkaitan dengan kelarutannya dalam lemak

yang tinggi yang membuat aliran ke jaringan menjadi lebih cepat dibandingkan dengan morfin

yang lebih tidak larut dalam lemak. Setelah pemberian bolus IV, fentanil didistribusikan secara

cepat dari plasma ke jaringan vaskular yang lebih tinggi (otak, paru, jantung). Lebih dari 80%

dosis yang diinjeksikan meninggalkan plasma dalam waktu kurang dari 5 menit. Konsentrasi

fentanil dalam plasma dijaga dengan ambilan ulang yang lambat dari jaringan inaktif, yang

dihitung untuk efek obat persisten yang pararel dengan waktu paruh eliminasi yang memanjang.

Pada hewan, waktu paruh eliminasi, Vd, dan bersihan dari fentanil tidak tergantung dari dosis

opioid antara 6,4 sampai 640 μg/kg IV (Murphy et al., 1983).

Eliminasi waktu paruh fentanil yang memanjang pada pasien yang lebih tua berkaitan

dengan penurunan bersihan opioid karena Vd tidak berubah bila dibandingkan dengan dewasa

muda (Bentley et al., 1982). Perubahan ini merefleksikan kaitan umur dengan penurunan aliran

darah hepatik, aktivitas enzim mikrosomal, atau produksi albumin, sementara fentanil terikat

sebagian besar dengan protein (79% sampai 87%). Untuk alasan ini, pemberian dosis fentanil

akan menjadi efektif untuk jangka waktu yang lama pada pasien yang lebih tua daripada pada

pasien yang lebih muda. Eliminasi waktu paruh dari fentanil yang memanjang juga terdapat

pada pasien dengan pembedahan aorta abdominalis membutuhkan penjepitan silang aorta

infrarenal (Hudson et al., 1986). Hal yang mengejutkan adalah kegagalan sirosis hepatis untuk

memperpanjang secara signifikan waktu paruh eliminasi fentanil (Haberer et al., 1982).

Waktu Paruh Context-Sensitive

Seiring dengan meningkatnya durasi pemberian fentanil dari infus berkelanjutan setiap 2

jam, waktu paruh context-sensitive dari opioid menjadi lebih besar daripada sufentanil (gambar

Page 32: wjBab 3 Opioid Agonists dan Antagonists.doc

3-18) (Egan et al., 1993; Hughes et al., 1992). Hal ini merefleksikan saturasi fentanil pada

jaringan inaktif saat pemberian infus jangka panjang dan kembalinya opioid dari kompartemen

perifer ke plasma. Jaringan penampung fentanil ini menggantikan eliminasi fentanil yang

dilakukan metabolism hepar, sehigga dapat menurunkan konsentrasi fentanil ketika infus tidak

dilanjutkan.

Bypass Jantung Paru

Semua opioid menunjukkan penurunan konsentrasi dalam plasma pada inisiasi bypass

jantung paru (Gedney dan Ghosh, 1995). Derajat dari penurunan ini yang terbesar adalah

fentanil karena terdapat jumlah yang signifikan dari obat yang terikat pada permukaan sirkuit

bypass jantung paru. Penurunan ini mengecil pada opioid yang memiliki Vd yang besar

sehingga penambahan volume menjadi kurang penting. Dalam hal ini, konsentrasi sufentanil

dan alfentanil dalam plasma lebih stabil saat dilakukan bypass jantung paru. Eliminasi fentanil

dan alfentanil telah menunjukkan pemanjangan pada bypass jantung paru.

Penggunaan Klinis

Fentanil secara klinis diberikan pada dosis yang rentang yang lebar. Sebagai contoh,

dosis yang rendah pada fentanil, 1-2 μg/kg IVdisuntikkan untuk mendapatkan efek analgesia.

Fentanil 2 sampai 20 μg/kg IV, diberikan sebagai adjuvant pada anestetik inhalasi, dengan

tujuan untuk menumpulkan respon sirkulasi pada (a) laringoskopi direk untuk intubasi trakea,

atau (b) perubahan mendadak pada rangsangan pembedahan. Waktu penyuntikan IV pada

fentanil untuk mencegah atau mengatasi respons yang timbul harus memperhitungkan efek

waktu keseimbangan, yang pada fentanil lebih panjang bila dibandingkan dengan alfentanil dan

eamifentanil. Penyuntikan opioid seperti fentanil sebelum rangsangan nyeri pembedahan timbul

dapat menurunkan jumlah opioid yang dibutuhkan pada periode pasca operasi untuk

menghasilkan efek analgesia (Woolf dan Wall, 1986). Pemberian fentanil 1,5 atau 3 μg/kg IV 5

menit sebelum induksi anestesia dapat menurunkan dosis isofluran atau desfluran dengan 60%

N2O diperlukan untuk memblok respon sistem saraf simpatik terhadap rangsangan

pembedahan (gambar 3-19) (Daniel et al., 1998). Dosis yang besar dari fentanil, 50 sampai 150

μg/kg IV, digunakan sendiri tanpa obat yang lain untuk menghasilkan anestesia saat

pembedahan. Dosis besar dari fentanil sebagai anestetika tunggal memiliki keuntungan berupa

hemodinamik yang stabil karena (a) tidak adanya efek langsung depresi otot jantung, (b) tidak

adanya pelepasan histamin, dan (c) penekanan respons stress pada pembedahan. Kelemahan

dari penggunaan fentanil sebagai anestetika tunggal meliputi (a) kegagalan untuk mencegah

Page 33: wjBab 3 Opioid Agonists dan Antagonists.doc

respons sistem saraf simpatik terhadap rangsangan nyeri pembedahan pada berbagai dosis,

terutama pada pasien dengan fungsi ventrikel kiri yang masih baik, (b) kemungkinan pasien

sadar, (c) depresi pernapasan pasca operasi (Hilgenberg, 1981; Sprigge et al, 1982; Wynands

et al., 1983). Pemberian fentanil intratekal (keuntungan maksimum diperoleh dengan dosis 25

μg) membuat analgesia yang digunakan saat persalinan timbul dengan cepat dengan efek

samping uang minimal (gambar 3-20) (Palmer et al., 1998).

Fentanil dapat diberikan sebagai persiapan transmukosa (fentanil transmukosa oral)

pada alat pengiriman yang dibuat dengan tujuan untuk mengalirkan 5-20 μg/kg fentanil.

Tujuannya adalah untuk menurunkan kecemasan sebelum operasi dan memfasilitasi induksi

anestesia, terutama pada anak-anak (Macaluso et al., 1996; Stanley et al., 1989). Pada anak

usia 2 sampai 8 tahun, pemberian fentanil transmukosa oral sebelum operasi, 15 sampai 20

μg/kg 45 menit sebelum induksi anestesia, dipercaya menginduksi sedasi sebelum operasi dan

memfasilitasi induksi anestesia inhalasi (Friesen dan Lockhart, 1992). Pada pasien yang sama,

yang mengalami penurunan frekuensi napas dan oksigenasi arterial dan peningkatan insiden

pasca operasi berupa mual dan muntah tidak dipengaruhi oleh pemberian profilaksis droperidol.

Pada anak-anak berusia 6 tahun atau lebih muda, pemberian fentanil 15 μg/kg transmukosa

oral sebelum operasi, dikaitkan dengan tingginya insiden yang tidak diharapkan berupa muntah

saat sebelum operasi (Epstein et al., 1996). Sebalinya laporan lain mengatakan tidak

menemukan insiden muntah atau desaturasi oksigen arterial setelah premedikasi dengan

fentanil transmukosa oral (Dsida et al., 1998). Untuk penatalaksanaan nyeri setelah operasi

ortopedi, pemberian fentanil 1 mg transmukosa oral setara dengan morfin 5 mg IV (Ashburn et

al., 1993). Pasien yang mengalami nyeri akibat kanker dapat memberikan sendiri opioid ini

sampai jumlah yang diperlukan untuk mendapatkan tingkat analgesia yang diinginkan.

Fentanil transdermal dapat memberikan dosis 75-100 μg/jam yang menyebabkan

konsentrasi puncak fentanil dalam plasma dicapai dalam waktu 18 jam yang terus stabil selama

obat tetap ditempelkan di kulit yang kemudian diikuti dengan penurunan konsentrasi obat dalam

plasma dalam beberapajam setelah tempelan dilepas, yang merefleksikan absorpsi

berkelanjutan dari gudang obat di kulit (obat tempel di kulit). Sistem fentanil transdermal

diberikan sebelum induksi anestesia dan bila diberikan 24 jam sebelumnya dapat menurunkan

jumlah opioid parenteral yang dibutuhkan untuk analgesia pasca operasi (Caplan et al., 1989).

Delirium toksik akut, ditemukan pada pasien dengan nyeri kronik karena kanker yang diterapi

dengan fentanil transdermal untuk jangka waktu yang lama (Kuzma et al., 1995). Ada

Page 34: wjBab 3 Opioid Agonists dan Antagonists.doc

kemungkinan bahwa gagal ginjal dan akumulasi dari norfentanil memiliki andil menimbulkan

efek toksik pada penggunaan fentanil transdermal dalam jangka waktu yang panjang.

Pada anjing, efek analgesik maksimal, pernapasan, dan kardiovaskuler timbul ketika

konsentrasi fentanil dalam plasma sebesar 30 ng/mL (Arndt et al., 1984). Hal ini menjelaskan

bahwa kerja analgesik dari fentanil tidak dapat dipisahkan dari efeknya pada pernapasan dan

frekuensi nadi. Kenyataan bahwa semua efek yang dimediasi reseptor sama pada konsentrasi

fentanil dalam plasma yang sama, memberi kesan saturasi pada reseptor opioid. Bukti dari

kelebihan dosis opioid ditemukan ketika bagian atas tubuh yang dihangatkan selimut pada saat

operasi dilakukan ditempelkan fentanil pada kulitnya (Frolich et al., 2001)

Efek Samping

Efek samping dari fentanil menyerupai morfin. Depresi pernapasan yang persisten atau

rekuren pada pemberian fentanil merupakan masalah potensial pasca operasi (gambar 3-21)

(Becker et al., 1976). Puncak kedua konsentrasi dalam plasma dari fentanil dan morfin

menghubungkan sekuestrasi fentanil dalam cairan asam lambung (ion trapping).Fentanil yang

tersekuestrasi dapat diabsorpsi dari usus kecil yang lebih alkalis kembali ke sirkulasi untuk

meningkatkan konsentrasi opioid dalam plasma dan menyebabkan depresi pernapasan. Hal ini

mungkin bukan mekanisme terjadinya puncak kedua dari fentanil, karena reabsorpsi opioid dari

saluran cerna atau otot rangka ditimbulkan oleh pergerakan yang dihubungkan dengan transfer

dari ruang operasi, yang dapat menjadi pokok permasalahan bagi metabolism jalur pertama

hepatik. Penjelasan alternatif untuk puncak kedua dari fentanil adalah pembersihan opioid dari

paru-paru sebagaimana hubungan antara pernapasn dan perfusi dibangun kembali pada

periode pasca operasi.

Efek Kardiovaskuler

Dibandingkan dengan morfin, fentanil yang bahkan dalam dosis besar (50 μg/kg IV)

tidak menimbulkan pelepasan histamine (gambar 3-12) (Rosow et al., 1982). Menyebabkan

dilatasi kapasitansi pelbuluh darah vena yang menyebabkan hipotensi yang jarang terjadi.

Refleks baroreseptor sinus karotis mengontrol frekuensi nadi ditekan oleh fentanil, 10 μg/kg IV,

yang diberikan pada neonatus (gambar 3-22) (Murat et al., 1988). Oleh karena itu, perubahan

pada tekanan darah sistemik yang muncul selama anesthesia dengan fentanil, harus

dipertimbangkan secara hati-hati karena keluaran jantung secara prinsipnya pada neonatus,

tergantung pada frekuensinya. Bradikardia pada fentanil lebih mencolok daripada morfin dan

Page 35: wjBab 3 Opioid Agonists dan Antagonists.doc

dapat kadang-kadang dapat memicu pnurunan tekanan darah dan keluaran jantung. Reaksi

alergi jarang muncul sebagai respon dari pemberian fentanil (Bennet et al., 1986). Dalam hal ini,

anafilaksis karena lateks merupakan hal yang salah yang dihubungkan dengan interpretasi

yang keliru dikelompokkanya dalam alergi fentanil (Zucker- Pinchoff dan Chandler, 1993).

Kejang

Kejang dideskripsikan mengikuti pemberian fentanil, sufentanil, dan alfentanil IV secara

cepat (Manninen, 1997). Tidak adanya bukti EEG yang menunjukkan kejang, menimbulkan

kesulitan untuk membedakan rigiditasn otot rangka yang dipicu oleh opioid atau mioklonus pada

kejang. Tentu saja perekaman EEG saat terjadinya rigiditas otot rangka, gagal menunjukkan

adanya aktivitas kejang di otak (Smith et al., 1989). Meskipun konsentrasi dalam plasma

sebesar 1,750 ng/mL setelah pemberian cepat fentanil, 150 μg/kg IV, tidak ada bukti aktivitas

kejang pada EEG (Murkin et al., 1984). Sebaliknya, opioid morfin menghasilkan bentuk

mioklonus sekunder untuk menekan neuron inhibitor yang membentuk dambaran klinis aktivitas

kejang pada ketiadaan perubahan di EEG.

Potensial yang ditimbulkan Somatosensorik dan Elektroensefalogram

Fentanil dengan dosis melebihi 30 μg/kg IV membuat perubahan pada potensial yang

ditimbulkan somatosensorik. Meskipun terdeteksi namun tidak mengganggu kegunaannya dan

interpretasi dilakukan di monitor saat anestesia berlangsung (Schubert et al., 1987). Opioid

termasuk fentanil, melemahkan pergerakan otot rangka pada dosis yang hanya sedikit berefek

pada EEG. Hal ini membuat pergerakan sebagai rspons dari insisi pembedahan pada kulit

(digunakan untuk mengukur MAC) merefleksikan kemampuan obat untuk menunjukkan reflex

yang berbahaya dan bukan merupakan pengukuran yang paling tepat untuk menentukan

kesadaran atau kehilangan kesadaran (Glass et al., 1997). Efek opioid ini mengacaukan

penggunaan analisis bispektral sebagai pengukuran dari anestetika yang adekuat ketika tidak

adanya pergerakan saat insisi kulit pembedahan dilakukan untuk menetapkan kemanjuran obat

tersebut.

Tekanan Intrakranial

Pemberian fentanil dan sufentanil pada pasien dengan trauma kepala dihubungkan

dengan peningkatan ringan ICP (6 sampai 9 mmHg) meskipun pemeliharaan PaCO2 tidak

berubah (Albanese et al., 1993; Sperry et al., 1992). Peningkatan ICP ini disertai dengan

penurunan tekanan arteri rata-rata dan tekanan perfusi serebral. Pada kenyataannya,

Page 36: wjBab 3 Opioid Agonists dan Antagonists.doc

peningkatan ICP tidak disertai pemberian sufentanil ketika dilakukan pencegahan terhadap

perubahan pada tekanan arteri rata-rata (gambar 3-23) (Werner et al., 1995). Dapat dipahami

bahwa peningkatan ICP yang ditimbulkan oleh sufentanil (dan mungkin juga oleh fentanil)

disebabkan adanya autoregulator yang menurunkan tekanan darah sistemik yang

menyebabkan terjadinya vasodilatasi, peningkatan volume darah dan peningkatan ICP.

Meskipun demikian, peningkatan ICP yang diinduksi opioid mirip pada keberadaan autoregulasi

yang intak atau terganggu, yang membuat perlu adanya pemikiran bahwa ada mekanisme lain

selain aktivasi kaskade vasodilator (de Nadal et al., 2000)

Interaksi Obat

Konsentrasi fentanil sangat mempotensiasi efek midazolam dan menurunkan kebutuhan

dosis dari propofol. Kombinasi opioid dengan benzodiazepine menampilkan sinergisme pada

efek hipnosis dan depresi pernapasan (Bailey et al., 1990a). Pada penerapan klinis, keuntungn

dari sinergisme antara opioid dan benzodiazepine ini adalah untuk memelihara kenyamana

pasien lebih dipilih daripada kelemahannya yaitu efek depresi dari kombinasi ini. Pemberian

fentanil IV (termasuk sufentanil dan alfentanil) preinduksi dapat dikaitkan dengan reflek batuk

(Tweed dan Dakin, 2001).

Sufentanil

Sufentanil adalah analog tienil dari fentanil (gambar 3-15). Potensi analgesik dari

sufentanil lima hingga sepuluh kali dari fentanil, dengan afinitas sufentanil pada reseptor opioid

lebih besar dibandingkan dengan fentanil. Berdasarkan konsentrasi plasma yang dibutuhkan

untuk menyebabkan 50% perlambatan maksimum pada EED (EC50), sufentanil 12 kali lebih

poten dari pada fentanil (Scott et al., 1991). Perbedaan penting dari fentanil adalah pada

fentanil terdapat 1000 kali lipat perbedaan antara dosis analgesic dari sufentanil dan dosis yang

menyebabkan kejang pada hewan. Perbedaan ini 160 kali pada fentanil dan menjadi penting

ketika agonis opioid dalam jumlah besar digunakan untuk menimbulkan anestesia. Spasme otot

rangka transien dapat terjadi setelah penyuntikan sufentanil dosis besar (40 μg) intratekal yang

tidak disengaja, hal ini membuat pemikiran adanya efek iritatif pada opioid (Malinovsky et al.,

1996).

Farmakokinetik

Waktu paruh eliminasi sufentanil adalah pertengahan antara fentanil dan alfentanil

(Tabel 3-5) (Bovill et al., 1984). Dosis tunggal IV dari sufentanil memiliki waktu paruh eliminasi

Page 37: wjBab 3 Opioid Agonists dan Antagonists.doc

yang sama pada pasien dengan atau tanpa sirosis hepatis (Chauvin et al., 1989). Pemanjangan

waktu paruh eliminasi telah diamati pada pasien berusia lebih tua yang mendapat sufentanil

pada pembedahan aorta abdominal (Hudson et al., 1989). Vd dan waktu paruh eliminasi dari

sufentanil meningkat pada pasien obesitas, yang merefleksikan kelarutan opioid ini dalam

lemak tinggi (Schwartz et al., 1991)

Jaringan dengan afinitas yang tinggi, konsisten dengan lipofilik alami sufentanil yang

dapat menembus sawar darah otak dengan penetrasi yang cepat dan onset dari efek CNS (6,2

menit mirip dengan fentanil 6,8 menit) (Scott et al., 1991). Redistribusi yang cepat untuk

jaringan inaktif mengakhiri efek dari dosis kecil, tetapi efek obat kumulatif dapat menyertai

dosis yang besar atau berulang dari sufentanil. Sufentanil secara signifikan melewati ambilan

jalur pertama paru-paru (sekitar 60%) setelah penyntikan IV secara cepat (Boer et al., 1996).

Ambilan jalur pertama paru-paru mirip dengan fentanil dan lebih besar daripada morfin (sekitar

7%) dan alfentanil (sekitar 10%).

Protein dalam jumlah besar terikat pada sufentanil (92,5%) dibandingkan dengan

fentanil (79% sampai 87%) berkontribusi pada Vd yang lebih kecil, yang merupakan

karakteristik dari sufentanil. Terikat pada α1-asam glikoprotein merupakan proporsi utama dari

total protein plasma yang terikat pada sufentanil. Jumlah α1-asam glikoprotein bervariasi, pada

orang sehat dapat bejumlah tiga kali lipat dan meningkat setelah pembedahan, yang

menghasilkan penurunan konsentrasisufentanil aktif yang tidak terikat secara farmakologi di

dalam plasma. Konsentrasi α1-asam glikoprotein pada neonatus dan bayi lebih rendah,

kemungkinan karena adanya penurunan jumlah protein yang terikat pada sufentanil pada

kelompok usia ini dibandingkan pada anak yang lebih tua atau orang tua (Meistelman et al.,

1990). Peningkatan fraksi bebas dari sufentanil pada neonatus dapat membantu meningkatkan

efek dari opioid ini. Fentanil dan turunannya menghasikan analgesia dan depresi pernapasan

pada dosis yang lebih rendah pada neonatus daripada pada orang tua (Greeley et al., 1987;

Yaser, 1987).

Metabolisme

Sufentanil secara cepat dimetabolisme oleh N-dealkilasi pada piperidin nitrogen dan

oleh O-demetilisasi. Produk dari N-dealkilasi secara farmakologi inaktif, sementara desmetil

sufentanil memiliki 10% aktivitas sufentanil. Kurang dari 1% dosis sufentanil yang diberikan,

tidak mengalami perubahan pada urin. Tentu saja, kelarutan sufentanil ysng tinggi dalam lemak

membuat reabsorpsi tubular ginjal terhadap obat bebas sama baiknya dengan peningkatan

Page 38: wjBab 3 Opioid Agonists dan Antagonists.doc

akses ke enzim mikrosomal hepatik. Ekstraksi hepatik yang ekstensif menunjukkan bahwa

bersihan sufentanil akan menjadi sensitif terhadap perubahan aliran darah hepatik tetapi tidak

terdapat perubahan pada kapasitas metabolism otak di hati. Metabolit sufentanil diekskresi

paling banyak di urin dan feses, sekitar 30% dalam bentuk konjugat. Produksi metabolit aktif

lemah dan formasi metabolit terkonjugasi dalam jumlah banyak menjelaskan kemungkinan

pentingnya fungsi ginjal normal untuk bersihan sufentanil. Tentu saja perpanjangan depresi

ventilasi berkaitan dengan peningkatan konsentrasi sufentanil dalam plasma yang dapat dilihat

pada pasien dengan gagal ginjal kronis (Waggum et al., 1985).

Waktu Paruh Context-Sensitive

Waktu paruh context-sensitive dari sufentanil lebih pendek daripada alfentanil untuk

infus berkelanjutan dengan durasi hingga 8 jam (gambar 3-18) (Egan et al., 1993; Huges et al.,

1992). Waktu paruh context-sensitive yang lebih pendek ini dapat dijelaskan dengan besarnya

Vd dari sufentanil dibandingkan alfentanil. Setelah terminasi dari infus sufentanil, penurunan

konsentrasi obat dalam plasma dipercepat tidak hanya oleh metabolism, tetapi juga oleh

redistribusi sufentanil berkelanjutan ke kompartemen jaringan perifer. Dibandingkan dengan

alfentanil, sufentanil memiliki profil pulih yang lebih menguntungkan ketika digunakan untuk

jangka waktu yang lama. Sebaliknya, alfentanil memiliki kelebihan farmakokinetik untuk

pengobatan dari rangsangan berbahaya transien dan diskret karena memiliki waktu efek site-

equilibration yang singkat, yang memungkinkan akses obat yang cepat ke otak dan

memfasilitasi titrasi.

Penggunaan Klinis

Pada sukarelawan, dosis tunggal dari sufentanil 0,1 sampai 0,4 μg/kg IV menghasilkan

analgesia dengan masa kerja yang lebih panjang dan depresi pernapasan yang lebih kecil

dibandingkan dosis fentanil (1 sampai 4 μg/kg IV) (Bailey et al., 1990b). Dibandingkan dengan

dosis besar dari morfin atau fentanil, sufentanil 18,9 μg/kg IV, memberikan induksi anestesia

yang lebih cepat, emergensi anestesia yang lebih awal, dan ekstubasi trakea yang lebih awal

(gambar 3-24) (Sanford et al., 1986). Sufentanil menyebabkan penurunan kebutuhan oksigen

metabolic di otak, aliran darah di otak juga bisa menurun atau tidak berubah (Mayer et al.,

1990). Bradikardi yang disebabkan oleh sufentanil cukup untuk menurunkan keluaran jantung.

Depresi pernapasan dapat timbul terlambat/mengalami penundaan setelah pemberian

sufentanil (Chang dan Fish, 1985).

Page 39: wjBab 3 Opioid Agonists dan Antagonists.doc

Meskipun sufentanil dosis besar (10 sampai 30 μg/kg IV) atau fentanil (50 sampai 150

μg/kg IV) menghasilkan efek hemodinamik yang kecil pada pasien dengan fungsi ventrikel kiri

yang baik, tekanan darah sistemik dan hormonal (katekolamin) memiliki respons terhadap

rangsangan nyeri seperti sternotomi median tidak dapat dicegah kemungkinannya (Philbin et

al., 1990). Sepertinya tidak mungkin setiap dosis sufentanil atau fentanil yang bermanfaat

secara klinis akan menghapuskan respons-respons pada semua pasien. Penggunaan dosis

besar dari opioid, termasuk sufentanil atau fentanil, untuk menghasilkan induksi anestesia IV

akan menyebabkan rigiditas dada dan otot abdomen. Rigiditas otot rangka membuat

pernapasan pada paru-paru pasien dengan tekanan positif menjadi sulit. Kesulitan pernapasan

selama rigiditas otot rangka yang diinduksi sufentanil dapat merefleksikan obstruksi pada glottis

atau struktur di atasnya, yang dapat diatasi dengan intubasi trakea (Abrams et al., 1996).

Alfentanil

Alfentanil adalah analog fentanil yang kurang poten (1/10 sampai 1/5) dan memiliki

durasi kerja yang sepertiga dari fentanil (gambar 3-15). Kelebihan yang unik dari alfentanil

dibandingkan dengan fentanil dan sufentanil adalah onset kerja yang lebih cepat (waktu efek

site-equilibration) setelah pemberian IV. Contohnya waktu efek site-equilibration untuk alfentanil

1,4 menit dibandingkan dengan fentanil 6,8 menit dan sufentanil 6,2 menit (Tabel 3-5) (Scott et

al., 1985; Scott dan Stanski, 1987; Shafer dan Varel, 1991).

Farmakokinetik

Alfentanil memiliki waktu paruh eliminasi yang pendek dibandingkan fentanil dan

sufentanil (Tabel 3-5). Sirosis hepatis, tetapi bukan penyakit kolestasis, memperpanjang waktu

paruh eliminasi alfentanil (Davis et al., 1989). Gagal ginjal tidak mengubah bersihan atau waktu

paruh alfentanil (Chauvin et al., 1987a). Eliminasi waktu paruh alfentanil lebih pendek pada

anak-anak (4 sampai 8 tahun) daripada pada orang tua, merefleksikan Vd yang lebih kecil pada

pasien-pasien yang lebih muda (Meistelman et al., 1987).

Karakteristik waktu efek site-equilibration dari alfentanil merupakan hasil dari pK yang

rendah pada opioid yang hampir 90% dari obat berada dalam bentuk tidak terionisasi pada pH

fisiologi. Fraksi yang tidak terionisasi yang siap menyebrangi sawar darah otak. Efek puncak

yang cepat dari alfentanil pada otak berguna saat opioid dibutuhkan untuk menumpulkan

respons terhadap rangsangan tunggal dan cepat seperti intubasi trakea atau tindakan blok

retrobulbar.

Page 40: wjBab 3 Opioid Agonists dan Antagonists.doc

Vd dari alfentanil adalah empat sampai enam kali lebih kecil daripada fentanil (Tabel 3-

5) (Camu et al., 1982; Stanski and Hug, 1982). Vd yang lebih kecil ini dibandingkan dengan

fentanil merefleksikan kelarutan pada lemak yang lebih rendah dan kuatnya ikatan dengan

protein. Dibandingkan dengan kelarutan yang rendah pada lemak, penetrasi terhadap sawar

darah otak dari alfentanil ini cepat karena memiliki derajat yang tinggi dari bentuk tidak

terionisasi pada pH fisiologis. Alfentanil pada prinsipnya terikat pada α1-asam glikoprotein,

protein yang konsentrasi dalam plasmanya tidak diubah oleh penyakit hati. Karena protein yang

terikat ini mirip, tampaknya penurunan presentasi dari jaringan adipose pada anak-anak

bertanggung jawab pada waktu paruh eliminasi yang pendek.

Metabolisme

Alfentanil dimetabolisme sebagian besar oleh dua jalur yang independen, piperidin N-

dealkilasi menjadi noralfentanil dan amida N-dealkilasi menjadi N- fenilproprionamid.

Noralfentanil adalha metabolit mayor yang ditemukan di urin, dengan 0,5% dari dosis alfentanil

yang diberikan, tidak berubah saat diekskresi. Efisiensi dari metabolisme hepatik sangatlah

penting dengan bersihan mencapai 96% alfentanil dari plasma pada 60 menit setelah

pemberian.

Pemecahan bertujuan untuk mendapatkan regimen infuse yang dapat dipercaya untuk

diberikan dan mengatur konsentrasi spesifik alfentanil dalam plasma yang memiliki variasi luas

pada setiap individunya. Faktor paling signifikan yang bertanggung jawab terhadap efek

alfentanil yang tidak dapat diprediksi dan tidak diinginkan adalah variabilitas dari setiap individu

yang sepuluh kali lipat pada bersihan sistemik alfentanil, yang merefleksikan variabilitas pada

bersihan intrinsic hepar. Oleh karena itu, sepertinya variabilitas populasi dalam aktivitas P-450

3A4 (CYP 3A) (lebih banyak enzim hepatik P-450 dan isoform mayor P-450 yang bertanggung

jawab pada metabolism alfentanil dan bersihan) adalah penjelasan mekanistik tentang

variabilitas disposisi alfentanil dalam individu (Kharasch et al., 1997). Bersihan alfentanil

dipengaruhi secara nyata oleh aktivitas CYP3A dan alfentanil merupakan probe yang sensitif

dan merupakan valid untuk aktivitas CYP3A (Ibrahim et al., 2003). Perubahan pada aktivitas P-

450 bertanggung jawab pada kemampuan eritromisin untuk menghambat metabolism alfentanil

dan menyebabkan perpanjangan efek opioid (Bartkowski dan McDonnell, 1990).

Page 41: wjBab 3 Opioid Agonists dan Antagonists.doc

Waktu Paruh Context-Sensitive

Waktu paruh context-sensitive dari alfentanil lebih lama daripada sufentanil untuk

pemberian infusdurasi 8 jam (gambar 3-18) (Egan et al., 1993; Hughes et al., 1992). Fenomena

ini dapat dijelaskan sebagian karena besarnya Vd dari sufentanil. Setelah terminasi infuse

berkelanjutan dari sufentanil, penurunan konsentrasi obat dalam plasma dipercepat tidak hanya

oleh metabolisme tetapi juga oleh redistribusi berkelanjutan dari sufentanil ke kompartemen

perifer. Sebaliknya, Vd dari alfentanil mencapai titik keseimbangan dengan cepat sehingga

distribusi perifer dari obat keluar dari plasma bukan merupakan kontributor yang signifikan pada

penurunan konsentrasi dalam plasma setelah pemutusan pemberian alfentanil infuse. Meskipun

waktu paruh eliminasi alfentanil itu pendek, tidak perlu memilih sufentanil yang lebih superior

untuk teknik sedasi ambulatory.

Penggunaan Klinis

Alfentanil memiliki onset cepat dan offset dari intensitas analgesia merefleksikan

pentingnya efek keseimbangan. Karakteristik dari alfentanil ini digunakan untuk menghasilkan

analgesia saat rangsangan yang berbahaya bersifat akut tapi transien berkaitan dengan

laringoskopi dan intubasi trakeal dan penggunaan teknik blok retrobulbar. Sebagai contoh,

pemberian alfentanil, 15 μg/kg IV, 90 menit sebelum latingoskopi direk, efektif menumpulkan

tekanan darah sistemik dan respons frekuensi nadi terhadap intubasi trakeal (gambar 3-25)

(Miller et al., 1993). Respons katekolamin pada rangsangan yang berbahaya juga ditumpulkan

oleh alfentanil, 30 μg/kg IV (gambar 3-26) (Miller et al., 1993). Alfentanil pada dosis 10 sampai

20 μg/kg IV menumpulkan sirkulatori tetapi bukan respon pelepasan katekolamin yang secara

mendadak meningkatkan konsentrasi desfluran inhalasi (Yonker-Sell et al., 1996). Alfentanil,

150 sampai 300 μg/kg IV diberikan secara cepat, menyebabkan ketidaksadaran dalam waktu

45 detik. Setelah induksi ini, upaya menjaga anesthesia dengan infuse berkelanjutan alfentanil

25 sampai 150 μg/kg IV, dikombinasikan dengan obat inhalasi (Ausems et al., 1983). Tidak

seperti opioid lain, pemberian dosis tambahan pada alfentanil terlihat menurunkan tekanan

darah sistemik yang meningkat bila ada rangsangan nyeri. Alfentanil meningkatkan tekanan

traktus bilier sama halnya dengan fentanil, namun durasinya lebih pendek daripada fentanil

(Hynyen et al., 1986). Alfentanil, dibandingkan dengan dosis poten dari fentanil dan sufentanil,

dikaitkan dengan insiden yang rendah dari mual dan muntah pada pasca operasi pada pasien

rawat jalan (gambar 3-27) (Langevin et al., 1999). Distonia akut ditemukan pada pemberian

Page 42: wjBab 3 Opioid Agonists dan Antagonists.doc

alfentanil pada pasien Parkinson yang tidak diobati (Mets, 1991). Hal ini merefleksikan

kemampuan opioid untuk menurunkan transmisi dopaminergik sentral dan harus diperhatikan

pada pemberian opioid pada pasien Parkinson yang tidak diobati.

Ramifentanil

Ramifentanil adalah agonis opioidselektif mu dengan potensi analgesik yang setara

dengan fentanil (15 sampai 20 kali daripada alfentanil) dan waktu keseimbangan darah-otak

sama dengan alfentanil (Tabel 3-5) (Burkle et al., 1996; Egan et al., 1993; Jhaveri et al., 1997;

Rosow, 1993; Thompson dan Rowbotham, 1996). Meskipun secara kimiawi terkait dengan

keluarga fentanil yang merupkan turunan fenilpiperidin kerja pendek, struktur ramifentanil unik

karena memiliki struktur ester (Gambar 3-15). Struktur ester dari ramifentanil menyebabkan

dapat dihirolisis oleh plasma nonspesifik dan jaringan esterase untuk menginaktifkan metabolit

(Gambar 3-28) (Egan et al., 1993). Jalur yang unik dari metabolismenya memberi ramifentanil

(a) masa kerja yang pendek, (b) efek titrasi yang tepat dan cepatberkaitan dengan onset yang

cepat (mirip dengan alfentanil) dan offset, (c) efek nonkumulatif, dan (d) pemulihan yang cepat

setelah penghentian pemakaian.

Pernapasan

Setelah pemberian ramifentanil 0,5 μg/kg IV, terdapat penurunan pada lereng dan pergerakan

ke bawah pada kurva respons pernapasan karbondioksida yang mencapai titik nadir setelah

150 detik penyuntikan (gambar 3-29) (Babenco et al., 2000). Pemulihan total setelah pemberian

dosis kecil ramifentanil akan berlangsung dalam waktu 15 menit. Kombinasi dari ramifentanil

dan propofol bersifat sinergestik yang menghasilkan depresi pernapasan yang berat (Gambar

3-30) (Nieuwenhuijs et. al, 2003).

Farmakokinetik

Farmakokinetik dari ramifentanil dikarakteristikan dengan Vd yang kecil, bersihan yang

cepat, dan variabilitas individual yang rendah dibandingkan dengan obat anestetik IV lainnya.

Metabolisme ramifentanil yang cepat dan Vd yang kecil menyebabkan ramifentanil yang

terakumulasi lebih sedikit daripada opioid yang lain. Karena bersihan sistemik yang cepat,

ramifentanil memiliki keuntungan farmakokinetik pada situasi klinis yang membutuhkan

terminasi efek obat yang dapat diperkirakan. Farmakokinetik ramifentanil pada pasien obesitas

dan pasien dengan berat badan ideal menginformasikan bahwa regimen dosis harus

berdasarkan massa tubuh ideal dibandingkan total berat badan (Egan et al., 1998).

Page 43: wjBab 3 Opioid Agonists dan Antagonists.doc

Gambaran farmakokinetik yang paling menonjol dari ramifentanil adalah bersihan yang

luar biasa sekitar 3 liter/menit, delapan kali lebih cepat daripada alfentanil. Ramifentanil memiliki

Vd yang lebih kecil daripada alfentanil. Kombinasi dari bersihan cepat dan Vd yang kecil

membuat obat memiliki efek yang unik. Pada kenyataannya, frekuensi penurunan konsentrasi

ramifentanil dalam plasma akan menjadi hampir independen saat pemberian infus (gambar 3-

18) (Burkle et al., 1996; Egan et al., 1993). Efek cepat keseimbangan berarti infus ramifentanil

akan mencapai keadaan stabil dalam plasma dan tempat efeknya. Diperkirakan bahwa

konsentrasi plasma akan mencapai keadaan stabil dalam 10 menit pada awal pemberian infus.

Hubungan antara frekuensi infus dan konsentrasi opioid pada ramifentanil kurang bervariasi

dibandingkan opioid lain. Lebih jauh lagi, bersihan cepat dari ramifentanil, dikombinasikan

dengan keseimbangan darah-otak yang cepat, menyebabkan perubahan pada frekuensi infus

akan dipararelkan oleh perubahan utama efek obat.

Berdasarkan analisis dari respon EEG, dapat disimpulkan bahwa ramifentanil 19 kali

lebih poten daripada alfentanil (EC50 untuk EEG depresi 20 ng/mL versus 376 ng/mL) (Egan et

al., 1993). Waktu efek keseimbangan, bagaimanapun mirip pada kedua opioid, yang

menyebabkan ramifentanil akan memiliki onset yang mirip dengan alfentanil (Tabel 3-5).

Sebagai contoh, setelah injeksi IV cepat, konsentrasi efek puncak dari ramifentanil akan muncul

dalam waktu 1,1 menit, dibandingkan dengan alfentanil 1,4 menit. Efeknya akan lebih transien

pada pemberian ramifentanil dibandingkan alfentanil.

Metabolisme

Ramifentanil unik di antara opioid dalam metabolismenya yang dimetabolisme oleh

plasma nonspesifik dan jaringan esterase untuk metabolit inaktif (Gambar 3-26) (Egan et al.,

1993). Metabolit dasar, asam ramifentanil, 300 sampai 4600 kali lebih tidak poten daripada

ramifentanil sebagai agonis mu dan diekskresi secara primer oleh ginjal. Metabolit inaktif

melewati ekskresi ginjal. N-dealkilasi dari ramifentanil adalah jalur metabolik minor pada

manusia. Ramifentanil tidak muncul sebagai substrat butirilkolinesterase (pseudokolinesterase),

dan bersihannya tidak dipengaruhi defisiensi kolinesterase atau antikolinergik (Burkle et al.,

1996). Sebagai tambahan, sepertinya farmakokinetik tidak akan diubah oleh gagal ginjal dan

gagal hepar karena metabolisme esterase biasanya dipertahankan pada keadaan ini (Hoke et

al., 1997). Dalam hal ini, bersihan ramifentanil tidak diubah selama fase anhepatik pada

transplantasi hati. Hipotermi bypass jantung paru menurunkan bersihan ramifentanil dengan

rata-rata 20%, kemungkinan merefleksikan efek suhu pada darah dan aktivitas jaringan

Page 44: wjBab 3 Opioid Agonists dan Antagonists.doc

esterase. Metabolisme esterase tampaknya menjadi sistem metabolik yang dijaga dengan baik

dengan variabilitas yang kecil antara individu, yang berkontribusi pada perkiraan efek obat yang

berkaitan dengan infuse remifentanil (Rosow, 1993).

Waktu Paruh Eliminasi

99,8% remifentanil dieliminasi saat distribusi (0,9 menit) dan waktu paruh eliminasi (6,3

menit). Secara klinis, remifentanil berlaku seperti obat dengan waktu paruh eliminasi 6 menit

atau kurang.

Waktu Paruh Context-Sensitive

Waktu paruh context sensitive dari remifentanil berdiri sendiri, tidak tergantung durasi

infus dan diperkirakan sekitar 4 menit (Gambar 3-18) (Burkle et al., 1996; Egan et al., 1993;

Kapila et al., 1995). Bersihan obat yang cepat ini bertanggung jawab terhadap tidak adanya

akumulasi meskipun digunakan infus dalam jangka waktu yang panjang. Sebaliknya, waktu

paruh context sensitive (Tabel 3-5) (gambar 3-18) , Burke et al., 1996; Egan et al., 1993).

Penggunaan klinis

Penggunaan klinis remifentanil merefleksikan profil farmakokinetik yang unik dari opioid

ini, yang memungkinkan onset cepat dari efek obat, titrasi tepat untuk mendapatkan efek yang

diinginkan, kemampuan untuk menjaga konsentrasi opioid dalam plasma tercukupi untuk

menekan respons stress dan pemulihan cepat dari efek obat. Dalam kasus yang efek analgesia

yang besar dibutuhkan transient (tindakan blok retrobulbar), remifentanil dapat berguna. Onset

cepat dan durasi kerja yang pendek membuat remifentanil beguna secara selektif untuk

menekan respons sistem saraf simpatik transien saat melakukan laringoskopi dan intubasi

trakea pada pasien beresiko (Thompson et al., 1998). Remifentanil intermiten diberikan pada

pasien terkontrol anestesia, efektif dan dan dapat dipercaya pada pemberian saat persalinan

(Evron et al, 2005). Ramifentanil dapat diberikan untuk operasi yang lama, dengan waktu

pemulihan yang cepat (eilaian neurologis, tes bangun). Teknik anestesi ramifentanil dosis tinggi

dihubungkan dengan pemulihan yang lebih cepat dan resiko depresi pernapasan pasca operasi

yang lebih kecil dari pada opioid lain dengan teknik yang sama. Onset yang cepat dan offset

dari ramifentanil membuat kemungkinan untuk mengatur secara cepat level sedasi yang

diinginkan pada penapasan mekanik pasien kritis (Dahaba et al., 2004).

Page 45: wjBab 3 Opioid Agonists dan Antagonists.doc

Anestesia dapat diinduksi dengan ramifentanil, 1 μg/kg IV pada pemberian 60 hingga 90

menit, atau dengan inisiasi bertahap infus 0,5 sampai 1 μg/kg IV dalam waktu 10 menit sebelum

pemberian hipnotik standar pada intubasi trakea (Hogue et al., 1996). Dosis obat hipnotik

mungkin perlu diturunkan sebagai kompensasi efek sinergistik dengan ramifentanil.

Ramifentanil dapat digunakan sebagai komponen analgesik pada anesthesia umum (0,25

hinggga 1,00 μg/kg IV atau 0,05 hingga 2 μg/kg/menit IV) atau teknik sedasi dengan

kemampuan yang cepat untuk pulih dari efek yang tidak diinginkan, seperti depresi pernapasan

atau sedasi yang belebihan yang diinduksi oleh opioid (Burkle et al., 1996). Ramifentanil 0,05

hingga 0,10 μg/kg/menit IV pada kombinasi dengan midazolam, 2 mg IV, membuat sedasi

yang efektif dan analgesia selama pemantauan perawatan anestesi pada pasien dewasa yang

sehat (Avramov et al., 1996). Midazolam juga membuat potensiasi dengan tergantung obat

pada efek depresi pernapasan dari remifentanil. Perubahan pada efek obat remifentanil

diperkirakan mengikuti perubahan frekuensi ifus, membuatnya mungkin dilakukan titrasi secara

tepat untuk mencapa efek yang diinginkan daripada opioid lain. Sebelum penghentian

pemberian remifentanil, opioid kerja lama diberikan untuk memasitikan analgesia tetap ada saat

pasien bangun. Pemberian remifentanil spinal dan epidural tidak direkomendasikan sebagai

cara yang aman (glisin yang bertindak sebagai neurotransmitter inhibitor) atau opioid belum

dapat ditentukan (BUrkle et al., 1996). Ramifentanil, 100 μg IV, melemahkan respons

hemodinamik secara akut pada terapi elektrokonvulsif dan tidak mengubah durasi

elektrokonvulsif yang diinduksi kejang (Recart et al., 2003).

Efek Samping

Kelebihan dari remifentanil adalah memiliki waktu pulih yang cepat yang mungkin dapt

menjadi kekurangan remifentanil juka infus diberhentikan tiba-tiba secara tidak sengaja atau

dengan sengaja. Penting untuk member opioid kerja lama pada analgesia pasca operasi bila

remifentanil diberikan untuk tujuan ini saat operasi berlangsung. Semua analog fentanil

temasuk remifentanil menginduksi aktivitas yang mirip dengan kejang (Haber dan Litman 2001).

Mual dan muntah, depresi pernapasan, dan penurunan tekanan darah sistemik ringan

dan frekuensi nadi dapat menyertai pemberian remifentanil. Depresi pernapasan yang

disebabkan remifentanil tidak diubah oleh disfungsi ginjal atau hepar. Pelepasan histamin tidak

menyertai pemberian remifentanil. Tekanan intraokular dan intracranial tidak mengalami

perubahan pada pemberian remifentanil (Guy et al., 1997; Warner et al., 1996). Remifentanil

dosis besar menurunkan aliran darah otak dan oksigen metabolic otak dibutuhkan tanpa

Page 46: wjBab 3 Opioid Agonists dan Antagonists.doc

gangguan reaktivitas karbondioksida serebrovaskuler (Klimscha et al., 2003). Remifentanil

memperlambat drainase zat pewarna dari kandung empedu ke duodenum namun perlambatnya

lebih pendek daripada opioid lain (Fragen et al., 1999). Remifentanil dapat melewati plasenta,

namun efek pada neonatus tidak pernah terlihat (Kan et al., 1998).

Toleransi Opioid Akut

Analgesik pasca operasi membutuhkan pemberian remifentanil dengan dosis besar

pada pasein saat operasi berlangsung yang secara mengejutkan dapat berhubungan

dengatoleransi opioid akut (Gambar 3-31) (Guignard et al., 2000). Sebagai tambahan,

hiperalgesia yang timbul terlambat dapat diproduksi oleh paparan akut opioid dosis besar.

Toleransi terhadap opioid merupakan farmakodinamik dan toleransi tergantung pada dosis.

Mekanisme yang mungkin untuk toleransi melipti perubahan reseptor NMDA dan sistem

pengaturan second messenger. Dalam hal ini, antagonis reseptor NMDA seperti ketamin dan

magnesium memblok toleransi opioid. Tidak semua data mendukung perkembangan toleransi

opioid akut mengikuti anesthesia yang ditimbulkan remifentanil (Cortinez et al., 2001; Gustoff et

al., 2002).

Kodein

Kodein merupakan hasil dari substitusi metal dengan hiroksil pada karbon nomor 3 dari

morfin (Gamnar 3-1). Keberadaan metal membatasi metabolism jalur pertama hati dan dihitung

sebagai kemanjuran kodein pada pemberian oral. Wkatu paruh eliminasi kodein setelah

pemberian oral atau IM adalah 3 sampai 3,5 jam. Sekitar 10% dari kodein yang diberikan

didemetilasi di hati, yang bertanggung jawab sebagai efek analgesik dari kodein. Sisa kodein

yang lain didemetilasi menjadi norkodein inaktif yang dikonjugasi atau diekskresi tanpa

perubahan oleh ginjal. Kodein merupakan obat batuk yang efektif pada dosis 15 mg. Analgesia

maksimal, 60 mg kodein dapat dicapai setara dengan pemberian aspirin 650 mg. Pada

pemberian IM, 120 mg kodein sama dengan efek analgesic 10 mg morfin. Lebih sering, kodein

termasuk medikasi sebagai obat batuk atau dikombinasi dengan analgetik bukan opioid sebagai

tatalaksana nyeri ringan atau moderat. Kecenderungan timbulnya keteergantungan fisik pada

kodein lebih kecil daripada morfin dan timbul jarang sekali pada pemberian sebagai analgesik

oral. Kodein menghasilkan sedasi minimal, mual, muntah, dan konstipasi. Pusing dapat timbul

pada pasien rawat jalan. Meskipun diberikan dosis besar, kodein sepertinya tidak menyebabkan

henti napas. Pemeberian kodein IV tidak direkomendasikan karena dapat muncul hipotensi

yang diinduksi histamin.

Page 47: wjBab 3 Opioid Agonists dan Antagonists.doc

Hidromorfin

Hidromorfin adalah tutunan morfin yang lima kali lebih poten daripada morfin tetapi

memiliki durasi kerja yang lebih pendek. Opioid ini lebih menyebabkan sedasi dan kurang

menimbulkan eforia daripada morfin. Karena eliminasi dan redistribusinya cepat, pemberian oral

setiap 4 jam diperlukan untuk menjaga konsentrsi yang adekuat dalam plasma untuk

menimbulkan analgesia. Hidromorfin adalah analgesia alternative selain morfin untuk

tatalaksana nyeri yang berat yang memiliki respons moderat terhadap opioid (Angst et al.,

2001). Obat ini memiliki durasi kerja medium dan kelarutan dalam air yang tinggi

memungkinkan pemberian lewat transmukosa hidung (Coda et al., 2003). Penggunaan dan

efek samping hidromorfin sama dengan morfin.

Oksimorfin

Oksimorfin adalah hasil dari penambahan gugus hidoksil pada hidromorfin. Memiliki

potensi 10 kali lipat morfin dan dapat menyebabkan mual dan muntah. Kemungkinan

ketergantungan fisik besar. Pemberian oral (pelepasan intermediet) membuat tercpainya

konsentrasi maksimum plasma dalam 0,5 jam dengan onset cepat efek analgesia (Gimbel dan

Ahdieh, 2004).

Oksikodon

Pemberian oral dengan penundaan pelepasan (OxyContin@, Percocet@, Percodan@)

membuat konsentrasi dalam plasma stabil pada tatalaksana nyeri sedang hingga berat.

Potensial penyalahgunaan termasuk merusakkan (membuat menjadi bubuk) untuk pemberian

IV atau intranasal untuk mendapatkan efek opioid yang cepat dan lebih kuat.

Hidrokodon

Hidrokodon tersedia dalam sediaan oral (Vicodan@) sebagai tatalaksana untuk nyeri

yang berat. Potensial penyalahgunaan tinggi pada pasien yang ditatalaksana dengan

hidrokodon.

Metadon

Metadon adalah agonis opioid sintetik yang menghasilkan analgesia pada sindrom nyeri

kronik dan efektifitasnya yang tinggi pada pemberian oral (Gambar 3-32). Absorpsi yang efisien

melalui oral, onset kerja yang cepat, dan durasi kerja yangpanjang dari metadon membuatnya

Page 48: wjBab 3 Opioid Agonists dan Antagonists.doc

menarik untuk menekan gejala putus obat pada orang dengan ketergantungan fisik seperti pada

pecandu heroin.

Gejala Putus Obat Opioid

Metadon dapat menggantikan kecanduan morfin dengan dosis seperempatnya. Gejala

putus obat opioid yang dikontrol dengan metadon menjadi lebih ringan dan tidak akut. Metadon

20 mn IV menghasilkan analgesia pasca operasi selama >24 jam, merefleksikan perpanjangan

eliminasi waktu paruh (35 jam). Obat ini dimetabolisme di hati menjadi substansi inaktif yang

diekskresi melaui urin dan empedu dengan jumlah sedikit obat yang tidak diubah.

Efek samping dari metadon (depresi pernapasan, miosis, konstipasi, spasme saluran

bilier) menyerupai morfin. Efek sedatif dan eforia lebih kecil dibandingkan dengan morfin.

Metadon lebih sedikit menyebabkan miosis daripada morfin, dan kecanduan menyebabkan

toleransi penuh terhadap kerja ini.

Tatalaksana Nyeri Kronis

Metadon digunakan sebagai formulasi alternative pelepasan lambat pada tatalaksana

nyeri kronis karena memiliki potensial penyalahgunaan yang rendah. Sebagai tambahan,

antagonis reseptor NMDA dapat berguna pada tatalaksana nyeri neuropati dan meminimalkan

timbulnya toleransi. Kekurangan yang mendasar pada penggunaan metadon untuk tatalaksana

nyeri kronis adalah efek yang memanjang waktu paruh yang tidak dapat diperkirakan. Ketika

metadon diberikan lebih dari sekali perhari, seperti yang biasa diberikan pad tatalaksana

sindrom nyeri kronis, obat akan terakumulasi dan dihubugnkan dengan depresi pernapasan

(Fishman et al., 2002). Untuk alasan ini, formulasi lepas lambat (osikodon) lebih dipilih daripada

metadon untuk tatalaksana pasien rawat jalan pasca operasi (Wilson, 2002)

Propoksifen

Secara struktur, propoksifen mirip dengan metadon dan terikat pada reseptor opioid

yang direfleksikan sebagai antagonis efek farmakologis dari nalokson (Gambar 3-33). Dosis

oral 90 hingga 120 mg dari propoksifen menghasilkan analgesia dan efek SSP yang mirip

dengan efek yang ditimbulkan 60 mg kodein dan 650 mg aspirin. Satu-satunya penggunaan

klinis dari propoksifen adalah pada tatalaksana nyeri ringan sampai sedang yang tidak dapat

dihilangkan dengan aspirin. Propoksifen tidak memiliki efek antipiretik atau anti inflamasi, dan

efek anti batuk yang tidak signifikan.

Page 49: wjBab 3 Opioid Agonists dan Antagonists.doc

Propoksifen diabsorpsi seluruhnya seelah pemberian oral, tetapi karena metabolism

jalur pertama hati yang ekstensif (demetilasi menjadi norpropoksifen); efek sistemiknya

menurun drastis. Waktu paruh eliminasi setelah pemberian oral berlangsung selama 14,5 jam.

Efek smaping yang paling umum terjadi adalah vertigo, sedasi, mual, dan muntah. Propoksifen

potensinya sepertiga dari kodein dalam mendepresi pernapasan. Dosis berlebih, dipersulit

dengan adanya kejang dan depresi pernapasan.

Penghentian mendadak pada penggunaan propoksifen kronis menyebabkan sindrom

putus obat yang ringan. Insiden penyalahgunaan propoksifen mirip dengan kodein. Pemberian

obat melalui IV menimbulkan kerusakan berat pada vena dan membatasi penyalahgunaan obat

dengan cara ini. Pemberian propoksifen dikombinasikan dengan alkohol dan depresan SSP lain

akan menghasilkan depresi pernapasan yang berat.

Tramadol

Tramadol adalah analgesik yang bekerja secara sentral dan memiliki afinitas moderat

terhadap reseptor mu dan lemah terhadap kappa dan delta, namun 5 sampai 10 kali kurang

poten dibandingkan morfin sebagai analgesik. (Budd dan Landlord, 1999). Sebagai tambahan

terhadap efek agonis opioid mu, tramadol meningkatkan fungsi dari penghambatan jalur spinal

desending dengan menginhibisi ambilan neuronal dari norepinefrin dan 5-hidroksitriptamin

(serotonin) seperti stimulasi presinaptik dari pelepasan 5-hidroksitriptamin. Pada sukarelawan,

kerja antagonis nalokson hanya 30% dari efek tramadol (Collart et al., 1993)

Tramadol adalah camuran rasemik dari dua enantiomer, salah satunya

bertanggungjawab menginhibisi ambilan norepinefrin, sementara yang lain bertanggungjawab

menginhibisi ambilan ulang 5-hidroksitriptamin dan memfasilitasi pelepasannya, ditambah kerja

obat ini pada reseptor mu. Dalam hal ini, tramadol dapat menjadi pengecualian dari argument

yang menyatakan bahwa campuran chiral seharusnya ditinggalkan ketika teknologi telah

menyediakan satu isomer murni (Calvey, 1992). Sebagai contoh, analgesia yang dihasilkan

oleh tramadol tanpa adanya depresi pernapasan dan potensial yang rendah terjadinya toleransi,

ketergantungan ,dan penyalahgunaan akan menghasilkan komplemen dan interaksi sinergestik

antinosireseptor dari dua enentiomer. Tramadol dimetabolisme oleh sistem enzim hepatik P-450

menjadi metabolit O-desmetiltramadol, yang juga menghasilkan efek analgesik stereoselektif

yang ringan.

Page 50: wjBab 3 Opioid Agonists dan Antagonists.doc

Tramadol 3 mg/kg secara oral, IM, atau IV efektif untuk menatalaksana nyeri sedang

hingga berat. Penurunan yang bermakna pada menggigil pasca operasi ditemukan pada pasien

yang diterapi dan efek depresi napas juga minimal (Nieuwenhujis et al., 2001). Tramadol

mengosongkan lambung dengan lambat meskipun efeknya kecil dibandingkan dengan opioid

lain (Crighton et al., 1998). Tramadol berguna untuk tatalaksana nyeri kronik karena tidak

menyebabkan toleransi atau kecanduan dan tidak berhubungan dengan toksisitas organ mayor

atau efek sedative yang signifikan. Obat ini berguna pada pasien yang tidak toleran terhadap

NSAID. Kekurangan dari tramadol adalah interaksinya dengan antikoagulan Coumadin (tidak

semua lapuran menyebutkan interaksi ini) dan timbulnya kejang yang diinduksi oleh obat

(hindari penggunaannya pada pasien dengan epilepsy atau pada pasien yang sebelumnya

diterapi dengan obat yang menurunkan ambang kejang seperti antidepresan) (Budd dan

Langford, 1999; Khan et al., 1997). Kekurangan lain pada penggunaan perioperatif adalah

penggunaan obatini sebagai analgesik adalah tingginya insiden yang berkaitan dengan mual

dan muntah. Ondansetron dapat mengganggu komponen analgesik dari tramadol yang

berkaitan dengan efek pada ambilan ulang dan pelepasn 5- hidroksitriptamin.

Heroin

Heroin (diasetilmorfin) adalah opioid sintetik yang dihasilkan dari asetilasi morfin. Pada

pemberian parenteral, kerja heroin sangat berbeda dengan morfin. Sebagai contoh, terdapat

penetrasi cepat oleh heroin ke dalam otak, heroin ini dihidrolisasi menjadi metabolit aktif

monoasetilmorfin dan morfin. Cara masuk yang cepat dan unik ke dalam SSP ini disebabkan

kelarutan heroin dalam lemak dan struktur kimia dari heroin. Dibandingkan dengan morfin,

heroin parenteral memiliki (a) onset yang lebih cepat, (b) tidak memiliki efek mual, (c) memiliki

potensial yang lebih besar menimbulkan ketergantungan fisik. Pengaruh yang besar terhadap

ketergantungan fisik menyebabkan heroin tidak lagi legal di Amerika Serikat (Angell, 1984;

Mondzac, 1984).

AGONIS-ANTAGONIS OPIOID

Agonis- antagonis opioid termasuk, namun tidak terbatas pada pentazisin, butorfanol,

nalbufin,buprenorfin, nalorfin, bremazosin, dan dezosin (Gambar 3-34). Obat ini terikat pada

reseptor mu, menghasilkan respons terbatas (agonis parsial) atau tidak ada efek (antagonis

kompetitif). Sebagai tambahan, obat ini sering menimbulkan kerja agonis parsial pada reseptor

lain, termasuk reseptor kappa dan delta. Bagian antagonis dari obat ini dapat menurunkan kerja

dari agonis opioid. Efek samping ini mirip pada agonis opioid dan obat ini dapat menyebabkan

Page 51: wjBab 3 Opioid Agonists dan Antagonists.doc

reaksi disforik. Keuntungan dari agonis-antagonis opioid adalah kemampuan menghasilkan

analgesia dengan depresi pernapasan yang terbatas dan berpotensi rendah menimbuklan

ketergantungan fisik. Lebih jauh lagi, obat ini memiliki efek ceiling yang dapat meningkatkan

dosis tanpa respons tambahan. Efek ceiling pada depresi pernapasan sering disertai

olehkemampuan menurunkan kebutuhan anestetik. Secara umum, obat agonis-antagonis harus

diberikan pada pasien yang tidak dapat mentoleransi agonis murni.

Pentazosin

Pentazosin adalah turunan benzomorfan yang memiliki kerja agonis opioid yang sama

lemahnya dengan kerja antagonis. Hal ini benar untuk menimbulkan efek agonis pada reseptor

delta dan kappa. Aktivitas antaginis opioid lemah, potensinya hanya seperlima dari nalorfin.

Meskipun begitu, efek antagonis dari pentazosin cukup untuk mengatasi gejala putus obat pada

pasien yang biasanya diberikan opioid. Efek agonis pentazosin diantagoniskan oleh nalokson.

Ketergantungan fisik terhadap pentazosin dapat didemonstrasikan dengan diatasinya gejala

putus obat oleh nalokson.

Farmakokinetik

Pentazosin diabsopsi dengan baik pada pemberian oral atau parenteral. Metabolisme

jalur pertama hepatic cukup besar, dengan hanya 20% dosis oral yang masuk ke sirkulasi.

Metabolisme pentazosin timbul dari oksidasi gugus terminal metal, dan menghasilkan

glukoronida terkonjugasi inaktif yang diekskresi ke urin. Perkiraan 5% hingga 25% dari dosis

pentazosin yang diberikan, diekskresi tanpa perubahan di urin, dan < 2% diekskresi di empedu.

Waktu paruh eliminasi sekitar 2 sampai 3 jam.

Penggunaan Klinis

Pentazosin 10 hingga 30 mg IV atau 50 mg oral, digunakan paling banyak untuk

mengatasi nyeri yang moderat. Dosis oral 50 mg setara dengan potensi analgesik 60 mg

kodein. Pentazosin berguna pada tatalaksana nyeri kronik saat ada resiko tinggi menyebabkan

ketergantungan fisik. PEnempatan obat di ruang epidural menyebabkan onset cepat analgesia

yang memiliki durasi yang lebih pendek dibandingkan morfin.

Efek Samping

Efek samping yang sering pada pentazosin adalah sedasi, yang diikuti diaphoresis dan

pusing. Sedasi timbul setelah pemberian pentazosin epidural, kemungkinan merefleksikan

Page 52: wjBab 3 Opioid Agonists dan Antagonists.doc

aktivasi reseptor kappa. Mual dan muntah lebih jarang terjadi dibandingkan morfin. Disforia,

termasuk ketakuan akan kematian dikaitkan dengan tingginya dosis pentazosin. Tendensi

terjadinya disforia membatasi liabilitas ketergantungan fisik dari pentazosin. Pentazosin

memproduksi peningkatan konsentrasi katekolamin dalam plasma, yang dapat meningkatkan

frekuensi nadi, tekanan darah sistemik, tekanan darah arteri pulmoner, dan tekanan diastolic

akhir ventrikel kiri. Pentazosin, 20 sampai 30 mg IM, menghasilkan analgesia, sedasi, dan

depresi pernapasan sama dengan 10 mg morfin. Peningkatan dosis IM di atas 30 mg tidak

menimbulkam peningkatan propionate pada respons ini. Peningkatan tekanan pada saluran

bilier timbul lebih kecil dibandingkan morfin, meperidin, atau fentanil pada dosis yang ekivalen

(Radnay et al., 1980). Pentazosin melewati plasenta dan dapat menyebabkan depresi fetus.

Berbeda dengan morfin, miosis tidak timbul pada pembeian pentazosin.

Butorfanol

Butorfanol adalah opioid agonis-antagonis yang mirip dengan pentazosin. Dibandingkan

dengan pentazosin, efek agonisnya 20 kali lebih besar, sementara efek antagonisnya 10

sampai 30 kali lebih besar. Terdapat spekulasi bahwa butorfanol memiliki (a) afinitas yang

rendah pada reseptor mu untuk menghasilkan efek antagonis, (b) afinitas moderat pada

reseptor kappa menghasilkan analgesia dan efk anti menggigil, dan (c) afinitas minimal pada

reseptor sigma, sehingga insiden disforia menjadi rendah.

Butorfanol diabsorpsi dengan cepat dan hampir sempurna pada pemberian IM. Pad

pasien pasca operasi, 2 sampai 3 mg IM menghasilkan analgesia dan depresi pernapasan yang

mirip dengan 10 mg morfin. Butorfanol intra nasal digunakan untuk menatalaksana nyeri pasca

operasi dan nyeri migraine. Penggunaan butorfanol pada saat operas dibatasi, sama dengan

pentazosin. Waktu paruh eliminasi butorfanol adalah 2,5 sampai 3,5 jam. Metabolisme

butorfanol pada dasarnya membuat hidroksibutorfanol yang inaktif, yang dieliminasi sebagian

besar di empedu dan sebagian kecil diekskresi melalui urin.

Efek Samping

Efek samping yang sering pada butorfanol meliputi sedasi, mual, dan diaphoresis.

Disforia, dilaporkan sering terjadi pada penggunaan agonis-antagonis opioid lain, menjadi

jarang setelah penggunaan butorfanol. Depresi pernapasan mirip dengan yang dihasilkan

morfin pada dosis yang sama. Seperti pentazosin, dosis analgesik dari butorfanol meningkatkan

tekanan darah sistemik, tekanan darah arteri pulmoner, dan keluaran jantung. Mirip dengan

Page 53: wjBab 3 Opioid Agonists dan Antagonists.doc

pentazosin, efek dari butorfanol pada sistem bilier dan pencernaan lebih ringan daripada yang

dihasilkan morfin. Mungkin sulit untuk menggunakan agonis opioid seefektif analgesik pada

butorfanol atau agonis opioid lain untuk medikasi preoperatif. Gejala putus obat dapat muncul

setelah penghentian terapi kronik dengan butorfanol, namun gejala yang timbul tidak berat.

Nalbufin

Nalbufin adalah opioid agonis antagonis yang berhubungan secara kimiawai dengan

oksimorfon dan nalokson. Terdapat potensi analgesik yang seimbang dengan morfin, dan

sebagai antagonis, potensinya seperempat kali dari nalorfin. Nalbufin dimetabolisme di hati dan

eliminasi waktu paru sekitar 3 sampai 6 jam. Nalokson membalikkan efek agonis dari nalbufin.

Nalbufin, 10 mg IM, menghasilkan analgesia dengan onset dari efek yang timbul dan durasi

kerja yang mirip dengan morfin. Depresi pernapasan mirip dengan morfin, sampai 30 mg IM

nalbumin, setelah itu tidak muncul depresi ventilasi yang lebih berat lagi (efek ceiling) (Gal et

al., 1982). Sedasi merupakan efek samping yang paling sering terjadi, muncul pada sepertiga

pasien yang diterapi dengan nalbufin. Insiden dari disforia lebih sedikit daripada pentazosin

atau butorfanol tetapi secara kualitatatif sma dan frekuensinya meningkat seiring peningkatan

dosis nalbufin. Berbeda dengan pentazosin dan butorfanol, nalbufin tidak meningkatkan

tekanan darah sistemik, tekanan darah arteri pulmoner, frekuensi nadi, dan tekanan pengisian

arteri. Untuk alasan ini, nalbufin dapat berguna untuk menghasilkan sedasi dan analgesia pada

pasien dengan penyakit jantung, saat dilakukan kateterisasi jantung. Penghentian nalbufin tiba-

tiba setelah pemberian kronik menyebabkan timbulnya gejala putus obat yang lebih ringan

dibandingkan morfin dan lebih berat dibandingkan pentazosin. Potensial penyalahgunaan

nalbufin rendah.

Efek antagonis dari nalbufin dispekulasikan muncul pada reseptor mu. Sebagai hasilnya,

penggunaan nalbufin sebagai obat yang mirip dengan morfin pada anesthesia setelah medikasi

preoperative tidak menghsilkan efek analgesia yang adekuat. Sepertinya, kekurangan agonis

opioid untuk menghasilkan analgesia dapat dibantu dengan pemberian nalbufin yang

sebelumnya telah diberikan dan tidak adekuat dalam mengontrol nyeri pasca operasi.

Sebaliknya, efek antagonis dari nalbufin pada reseptor mu dapat menjadi keuntungan pada

periode pasca operatif untuk membalik efek depresi pernapasan dari agonis opioid sementara

masih menjaga efek analgesia (Bailey et al., 1987). Bukti hipoventilasi rekuren sering muncul 2

sampai 3 jam setelah pemberian nalbufin untuk melawan efek fentanil.

Page 54: wjBab 3 Opioid Agonists dan Antagonists.doc

Buprenorfin

Buprenorfin adalah opioid agonis-antagonis yang diturunkan dari opium alkaloid thebain.

Potensi analgesiknya besar, dengan 0,3 mg IM setara dengan 10 mg morfin. Setelah

pemberian IM, onset effek buprenorfin timbul dalam waktu 30 menit, dan durasi kerjanya

setidaknya 8 jam. Dapat diperkirakan bahwa afinitas buprenorfin pada reseptor mu 50 kali lebih

besar daripada morfin, dan disosiasi lambat dari teresporini menyebakan pemabjangan durasi

kerja dan resietensi terhadap efek antagonis dari nalokson. Setelah pemebrian IM, hampir dua

pertiga dari obat muncul dalam bentuk yang tidak berubah di empedu dan sisanya diekskresi di

urin sebagai metabolit inaktif.

Buprenorfin efektif dalam menghilangkan nyeri sdang hingga berat seperti pada pasca

opersi dan dikaitkan dengan kanker, kolik renalis, dan infark miokardial. Bila ditempatkan di

ruang epidural, kelarutan yang tinggi dalm lemak (lima kali lebih larut daripada morfin) dan

afinitas terhadap reseptor opioid membatsi penyebarab kearah cranial dan sepertinya terjadi

perlambatan timbulnya depresi pernapasan (Lanz et al., 1984). Efek antagonis buprnorfin

merefleksikan kemampuan obat ini melepaskan agonis opioid dari reseptor mu.

Efek Samping

Efek samping buprenorfin meliputi efek tenggelam, mual, muntah, dan depresi

pernapasan dengan kekuatan yang sama besar dengan efek samping yang ditimbulkan morfin

tetapi dapat memanjang dan resisten terhadap efek antagonis dari nalokson. Edema paru dapat

ditemukan setelah pemberian buprenorfin (Gould, 1995). Sedangkan pada opioid agonis-

antagonis lain, disforia jarang muncul dalam kaitannya dengan pemberian obat. Karena sifat

antagonisnya, buprenorfin dapat mengatasi efek putus obat pada pasien yang mengalami

ketergantungan fisik pada morfin. Sebaliknya, gejala putus obat pada pasien yang mengalami

ketergantungan fisik terhadap buprenorfin perkembangannya lambat dan intensitasnya lebih

rendah dibandingkan pada morfin. Gejala putus obat pada buprenorfin mirip dengan opioid

agonis-antagonis lain, dan resiko penyalagunaannya rendah.

Nalorfin

Nalorfin memiliki potensi yang sama dengan morfin dalam hal analgesik tetapi secara

klinis tidak berguna karena insiden disforianya tinggi. Tingginya insiden disforia merefleksikan

aktifitas obat ini pada reseptor sigma. Kerja antagonis nalorfin merefleksikan kemampuannya

melepaskan agonis opioid dari reseptor mu.

Page 55: wjBab 3 Opioid Agonists dan Antagonists.doc

Bremazosin

Bremazocin adalah turunan benzomorfan yang potensinya dua kali lipat daripada morfin

sebagai analgesic, tetapi pada binatang, tidak menimbulkan depresi pernapasan atau bukti

adanya ketergantungan fisik. Diperkirakan bahwa bremazosin berinteraksi selektif dengan

reseptor kappa. Kegagalan nalokson untuk membalikan efek sedasi yang dihasilkan

bremazosin merupakan bukti lebih lanjut dari kerja obat ini pada reseptor lain selain reseptor

mu.

Decozin

Decozin 0,15 mg/kg IM, merupakan opioid agonis-antagonis dengan potensi, onset,

dandurasi kerja analgesik untuk menghilangkan nyeri pasca operasi sebanding dengan morfin.

Absorpsi decozin, 10 sampai 15 mg, setelah pemberian IM cepat dan sempurna, analgesia

timbul setelah 30 menit. Setelah pemberian IV, 5 sampai 10 mg, onset analgesia timbul dalam

waktu 15 menit. Eliminasi decozin pada dasarnya melalui urin sebagai konjugat glukoronida.

Seperti opioid agonis-antagonis lain, decozin memiliki efek ceiling pada depresi pernapasn yang

pararel dengan aktivitas analgesik (Gal dn DiFazio, 1984). Dosis yang besar pada pemberian

decozin IV atau pada manusia tidak menghasilkan perubahan yang signifikan pada tekanan

darah sistemik, tekanan arteri pulmoner, atau keluaran jantung.

Decozin memiliki afinitas yang tinggi pada reseptor mu dan afinitas yang moderat pada

reseptor delta. Interaksi pada reseptor delta memfasilitasi efek dari aktivitas agonis pada

reseptor mu. Insiden terjadinya disforia minimal setelah pemberian decozin, kemingkinan

merefleksikan afinitas yang rendah dari obat ini terhadap reseptor sigma.

Meptazinol

Meptazinol merupakan agonis parsial opioid dengan reseptor mu1 yang relatif selektif.

Sebagai hasilnya depresi pernapasan tidak muncul pada dosis analgesia dari meptazinol (100

mg IM yang ekuivalen dengan morfin, 8 mg IM). Onset dari timbulnya analgesia cepat, namun

durasi kerjanya < 2 jam. Bioavailabilitas setelah pemberian oral adalah < 10%. Metabolisme ini

membuat konjugat glukoronida menjadi inaktif yang diekskresi melalui ginjal. Protein yang

terikat sekitar 20% sampai 25% dan waktu paruh eliminasi sekitar 2 jam. Ketergantungan fisik

tidak muncul, miosis dapat terjadi tetapi ringan, dan konstipasi tidak ditemukan. Mual dan

muntah merupakan efek smaping yang sering terjadi. Meptazinol tidak dapat menggantikan

sebagai agonis opioid pada pasien dengan ketergantungan fisik.

Page 56: wjBab 3 Opioid Agonists dan Antagonists.doc

OPIOID ANTAGONIS

Perubahan minor pada struktur agonis opioid dapat merubah obat menjadi opioid

antagonis pada satu atau beberapa tempat reseptor opioid (Gambar 3-35) (Glass et al., 1994).

Perubahan yang paling sering terjadi adalah substitusi gugus metil menjadi gugus alkil pada

agonis opioid. Sebagai contoh, nalokson adalah N-alkil turunan dari oksikorfon (Gambar 3-34).

Nalokson, naltrekson, dan nalmefen adalah reseptor opioid murni mu tanpa aktivitas

agonis. Antagonis ini menggantikan tempat nalorfin dan levorfanol, yang memiliki aktivitas

opioid agonis sebaik antagonis. Afinitas yang tinggi pada reseptor opioid adalah karakteristik

antagonis opioid murni yang menghasilkan penggantian tempat agonis opioid dari reseptor mu.

Setelah terjadi pergantian tempat, ikatan dengan antagonis murni menyebabkan tidak aktifnya

reseptor mu dan munculnya antagonis.

Nalokson

Nalokson adalah antagonis non selektif pad ketiga reseptor opioid. Nalokson selektif

saat digunakan untuk (a) menatalaksana depresi pernapasan yang diinduksi opioid yang

muncul pasca operasi, (b) menatalaksana depresi pernapasan pada neonatus karena

pemberian opioid pad ibunya, (c) memfasilitasi tatalaksana deliberasi overdosis opioid, dan (d)

mendeteksi kecurigaan ketergantungan fisik. Nalokson, 1 sampai 4 μg/kg IV membalikkan efek

depresi [pernapasan dan analgesia yang ditimbulkan opioid. Durasi kerja yang pendek dari

nalokson (30 sampai 45 menit) kemungkinan bertujuan untuk memindahkan obat dari otak

dengan dalam waktu singkat. Pemberian dosis tambahan dari nalokson akan menjadi penting

dilakukan untuk menurunkan efek antagonis dari agonis opioid. Dalam hal ini infus

berkelanjutan dari nalokson, 5 μg/kg/jam, mencegah depresi pernapasan tanpa mengubah efek

analgesia dari opioid neuroaksial (Rawal et al., 1986)

Nalokson dimetabolisme terutama di hati dengan berkonjugasi dengan asam glukoronat

untuk membentuk nalokson-3-glukoronida. Waktu paruh eliminasi adalah 60 sampai 90 menit.

Nalokson diabsorpsi secara oral, namun metabolism jalur pertama hati membuat hanya

seperlima yang potensinya sama dengan pemberian parenteral.

Page 57: wjBab 3 Opioid Agonists dan Antagonists.doc

Efek Samping

Antagonis dari depresi pernapasan yang diinduksi opioid disertai oleh pembalikkan efek

analgesia. Hal ini dimungkinkan karena titrasi dosis nalokson pada depresi pernapasan adalah

secara parsial namun penerimaan antaginis juga menyebabkan analgesia juga menjadi parsial.

Mual dan muntah muncul terkait dengan dosis dan kecepatan penyuntikan dari

nalokson. Pemeberian nalokson secara lambat kira-kira 2 sampai 3 menit menurunkan insiden

mual muntah daripada saat pemberian bolus. Kesadaran timbul sebelum atau dengan

rangsangan muntah yang memastikan refleks proteksi jalan napas atas pasien telah kembali

dan meminimalkan terjadinya aspirasi paru.

Stimulasi kardiovaskuler setelah pemberian nalokson bermanifestasi sebagai

peningkatan aktivitas system saraf simpatik, kemungkinan merefleksikan pembalikkan

analgesia dan persepsi nyeri yang mendadak. Hal ini meningkatkan aktivitas sistem saraf

simpatik yang bermanifestasi sebagai takikardi, hipertensi, edema paru, dan disritmia jantung

(Partidge dan Ward, 1986). Meskipun fibrilasi ventrikel muncul setelah pemberian nalokson IV

dan dikaitkan dengan peningkatan mendadak pada aktivitas sistemsarf simpatik (Andree,

1980).

Nalokson dapat dengan mudah melintasi plasenta. Untuk alasan ini, pemberian

nalokson pada neonatus dengan ketergantungan opioid dapat menimbulkan gejala akut putus

obat.

Aturan dalam Tatalaksana Syok

Maloksonmenmbuat kontraktilitas jantung meningkat dan peningkatan daya hidup

hewan yang mengalami syok hipovolemik dan pada beberapa subjek dengan syok septik

berkaitan dengan dosis (Faden, 1984). Efek yang menguntungkan dari nalokson pada

tatalaksana syok timbul hanya pada dosis > 1 mg/kg IV, diperkirakan bahwa efek

menguntungkan dari obat ini bukan dimediasi reseptor opioid atau dengan kata lain, dimediasi

reseptor opiid selain reseptor mu. Kemungkinan respetor delta dan kappa.

Antagonis Anestesia Umum

Observasi nalokson dengan dosis tinggi mengantagonis efek depresan dari anestetik

inhalasi yang menunjukkan aktivasi sistem kolinergik di otak yang diinduksi obat, yang

independen terhadap interaksi degan reseptor opioid (Kraynack dan Gintautas, 1982). Peranan

Page 58: wjBab 3 Opioid Agonists dan Antagonists.doc

endorphin pada anestesia umum tidak didukung oleh data demonstrasi kegagalan nalokson

mengubah kebutuhan anestetik (MAC) pada hewan.

Naltrekson

Naltrekson berbeda dengan nalokson, yang efektifitasnya tinggi pada pemberian oral,

menjaga antagonisme pada efek opioid agonis selama 24 jam.

Nalmefen

Nalmefen adalah opioid murni antagonis yang 6-metilen analog dari naltrekson (Gambar

3-35) (Dougherty et al., 2000). Nalmefen ekuipoten terhadap nalokson. Dosis rekomendasinya

15 sampai 25 μg IV setiap 2 sampai 5 menit sampai efek yang diinginkan didapatkan, dengan

dosis total tidak melebihi 1μg/kg (Abramowicz, 1995). Pemberian profilaksis dari nalmefen

secara signifikan menurunkan kebutuhan antiemetik dan antipruritus pada pasein yang

mendapat analgesia intravena dengan morfin (Joshi et al., 1999). Keuntungan utama dari

nalmefen atas nalokson adalah durasi kerja yang lebih lama, yang menyediakan derajat

proteksi yang tinggi terhadap penundaan depresi pernapasan karena efek residual dari opioid

sebagai antagonis sudah dibersihkan. Dibandingkan dengan waktu paruh eliminasi yang

singkat dari nalokson, waktu paruh nalmefen sekitar 10,8 jam. Durasi kerja yang memanjang ini

berhubungan dengan bersihan yang memendek pada nalmefen dibandingkan dengan

nalokson. Nalmefen dimetabolisme dengan konjugai hati dengan 5% diekresi oleh urin tanpa

perubahan. Seperti nalokson,dapat timbul edema paru akut setelah pemberian IV dari nalmefen

(Henderson dan Reynolds, 1997)

Metilnaltrekson

Metilnaltrekson adalah bagian dari reseptor opioid antagonis. Bagian gugus metal yang

sangat terionisasi membatasi transfer metilnaltrekson melewati sawar darah otak. Sebagai

hasilnya, metilnaltrekson lebih aktif di perifer daripada di reseptor opioid sentral, seperti

ditunjukkan kegagalan penetrasi SSP untuk menimbulkan gejala putus obat pada hewan

dengan ketergantungan morfin.

Pada manusia, metilnaltrekson menyebabkan perubahan waktu pengosongan lambung

danmenurunkan insiden mual (Murphy et al., 1997). Mual yang diinduksi morfin dapat

dikerenakan antagonism pada morfin di zona pemicu kemoreseptor (berlokasi di luar sawar

darah otak) atau melewati batas dari penundaan pengosongan lambung yang itu sendiri

Page 59: wjBab 3 Opioid Agonists dan Antagonists.doc

menyebabkan mual. Kemungkinan metilnaltrekson mencegah efek yang tidak diinginkan dari

opioid pada pengosongan lambung dan kemungkinan muntah tanpa perubahan sentra yang

dimediasi analgesia.

KEBUTUHAN ANESTETIK

Kontribusi opioid pada kebutuhan anestetik total dapat dihiting dengan menentukan

peurunan MAC pada anestetik volatile dengan keberadaan opioid. Pada hewan, morfin

menurunkan MAC dari anestetik volatile dengan tergantung dosis, tetapi tampaknya ada efek

ceiling pada kemampuan bersaing anestetik pada morfin dengan plato pada 65% MAC (Steffey

et al., 1993). Dosis tunggal fentanil 3μg/kg IV 25 sampai30 menit sebelum insisi kulit,

menurunkan MAC isofluran atau desfluran sekitar 50% (SEebel et al., 1992). Pada hewan,

sufentanil menurunkan MAC enfluran 70% sampai 90% (Gambar 3-36) (Hall et al., 1987). Pada

pasien , konsentrasi sufentanil dalam plasma 0,145 ng/mL menghasilkan menurunan MAC

isofluran 50%, sedangkan konsentrasi sufentanil plasma >0,5 ng/mL menimbulkan efek ceiling

(Brunner et al., 1994; Schwartz et al., 1994). Dengan opioid lain, alfentanil diberiakan pada

hewan menyebabkan penurunan MAC sampai dicapai plato 70% penurunan MAC. Penurunan

MAC oleh remifentanil mirip dengan pemebrian opioid lain dengan interval antara 50% hingga

91%, tergantung konsentrasinya dalam plasma (Lang et al., 1996). Data ini menyebabkan

keraguan pad kemampuan opioid agonis menyediakan amnesia total pada setiap pasien,

meskipun pad dosis tinggi.

Opioid agonis-antagonis kurang efektif daripada opioid agonis dengan penurunan MAC.

Sebagai contoh, butorfanol, nalbufin, dan pentazosin menurunkan secara maksimal MAC 11%,

8%, dan 20%, meskipun ketika dosis obat ini meningkat 40 kali lipat (Murphy dan Hug, 1982).

Efek ceiling pada MAC pararel dengan efek ceilingpada depresi pernapasan dan konsisten

dengan gambaran klinis bahwa dosis besar dari opioid agonis-antagonis tidak menyebabkan

hilangnya kesadaran atau mencegah pergerakan pasien sebagai respons nyeri. Untuk alasan

ini, penggunaan dosis besar dari opioid agonis-antagonis untuk analgesia tidak terlihat logis.