25
1 Yang Sakral dan Yang Sekuler: Pengaruh Priming Cognitive Style Tipe Reflective Terhadap Religious dan Secular Belief Joevarian Pembimbing: Amarina Ashar Ariyanto Penelitian ini bertujuan untuk menemukan faktor yang membentuk proses sekularisasi. Lebih khusus lagi, faktor itu bersumber dari disposisi kognitif individu. Disposisi kognitif yang dimaksud adalah cognitive style tipe reflective. Dalam studi ini, diduga cognitive style yang reflective akan mempengaruhi religious belief dan secular belief. Hipotesis ini dituangkan dalam dua studi. Studi pertama mencoba untuk menguji apakah ada perbedaan tingkat religious belief pada partisipan yang dimanipulasi untuk menyukai cognitive style tipe reflective dengan partisipan yang dimanipulasi untuk tidak menyukai cognitive style tipe reflective. Partisipan penelitian studi 1 berjumlah 56 orang mahasiswa Universitas Indonesia. Manipulasi antar kelompok pada studi kedua sama seperti studi pertama, namun variabel terikat yang diukur adalah secular belief. Partisipan penelitian studi 2 berjumlah 64 orang mahasiswa Psikologi Universitas Indonesia. Hasil uji hipotesis menunjukkan bahwa tidak ada pengaruh manipulasi cognitive style tipe reflective terhadap religious belief, tetapi ada pengaruh terhadap secular belief. Hasil ini kemudian didiskusikan sebagai perumusan hipotesis sekularisasi berdasarkan pengaruh cognitive style tipe reflective. Pendahuluan Dalam studi-studi mengenai agama, isu sekularisasi merupakan topik yang cukup umum dibahas pada berbagai rumpun pengetahuan. Norris dan Inglehart (2009) menyatakan bahwa fenomena beragama di seluruh dunia dipengaruhi oleh proses sekularisasi. Di Eropa, mulai muncul penolakan terhadap simbol-simbol keagamaan karena dianggap tidak mewakili prinsip keanekaragaman (Higgins, 2013). Bahkan saat ini Eropa dinilai sebagai benua yang sangat sekuler (Nelson, 2009). Di Malaysia, meskipun mayoritas penduduknya mendukung penerapan hukum Syariah Islam dalam publik, namun pemerintah Malaysia tidak memberikan kewenangan mutlak atas hukum Syariah di Malaysia karena adanya kepentingan untuk mengakomodasi kalangan non-muslim dan sekuler (Hamayotsu, 2013). Ada juga kemunculan teori-teori dalam ilmu pengetahuan yang oleh beberapa kelompok agama dianggap semakin memperlemah kedudukan agama (Watch Tower Bible and Tract Society of Pennsylvania, 1991). Salah satu dari klaim ilmu pengetahuan yang mendapatkan perhatian publik belakangan ini datang dari teori Yang sakral..., Joevarian, FPSI UI, 2014

Yang Sakral dan Yang Sekuler: Pengaruh Priming Cognitive

  • Upload
    others

  • View
    7

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: Yang Sakral dan Yang Sekuler: Pengaruh Priming Cognitive

1

Yang Sakral dan Yang Sekuler: Pengaruh Priming Cognitive Style Tipe

Reflective Terhadap Religious dan Secular Belief

Joevarian

Pembimbing:

Amarina Ashar Ariyanto

Penelitian ini bertujuan untuk menemukan faktor yang membentuk proses sekularisasi. Lebih

khusus lagi, faktor itu bersumber dari disposisi kognitif individu. Disposisi kognitif yang

dimaksud adalah cognitive style tipe reflective. Dalam studi ini, diduga cognitive style yang

reflective akan mempengaruhi religious belief dan secular belief. Hipotesis ini dituangkan dalam

dua studi. Studi pertama mencoba untuk menguji apakah ada perbedaan tingkat religious belief

pada partisipan yang dimanipulasi untuk menyukai cognitive style tipe reflective dengan

partisipan yang dimanipulasi untuk tidak menyukai cognitive style tipe reflective. Partisipan

penelitian studi 1 berjumlah 56 orang mahasiswa Universitas Indonesia. Manipulasi antar

kelompok pada studi kedua sama seperti studi pertama, namun variabel terikat yang diukur

adalah secular belief. Partisipan penelitian studi 2 berjumlah 64 orang mahasiswa Psikologi

Universitas Indonesia. Hasil uji hipotesis menunjukkan bahwa tidak ada pengaruh manipulasi

cognitive style tipe reflective terhadap religious belief, tetapi ada pengaruh terhadap secular

belief. Hasil ini kemudian didiskusikan sebagai perumusan hipotesis sekularisasi berdasarkan

pengaruh cognitive style tipe reflective.

Pendahuluan

Dalam studi-studi mengenai agama, isu sekularisasi merupakan topik yang cukup umum

dibahas pada berbagai rumpun pengetahuan. Norris dan Inglehart (2009) menyatakan bahwa

fenomena beragama di seluruh dunia dipengaruhi oleh proses sekularisasi. Di Eropa, mulai

muncul penolakan terhadap simbol-simbol keagamaan karena dianggap tidak mewakili prinsip

keanekaragaman (Higgins, 2013). Bahkan saat ini Eropa dinilai sebagai benua yang sangat

sekuler (Nelson, 2009). Di Malaysia, meskipun mayoritas penduduknya mendukung penerapan

hukum Syariah Islam dalam publik, namun pemerintah Malaysia tidak memberikan kewenangan

mutlak atas hukum Syariah di Malaysia karena adanya kepentingan untuk mengakomodasi

kalangan non-muslim dan sekuler (Hamayotsu, 2013). Ada juga kemunculan teori-teori dalam

ilmu pengetahuan yang oleh beberapa kelompok agama dianggap semakin memperlemah

kedudukan agama (Watch Tower Bible and Tract Society of Pennsylvania, 1991). Salah satu dari

klaim ilmu pengetahuan yang mendapatkan perhatian publik belakangan ini datang dari teori

Yang sakral..., Joevarian, FPSI UI, 2014

Page 2: Yang Sakral dan Yang Sekuler: Pengaruh Priming Cognitive

2

Richard Dawkins, seorang ahli biologi evolusionistik. Ia berpendapat bahwa kepercayaan agama

menghambat penalaran dan akal sehat manusia (Dawkins, 2008; King, 2012). Di Indonesia

sendiri proses sekularisasi dipahami sebagai fenomena yang ada, akan tetapi persebarannya

nampak tidak menyeluruh mengingat tingginya radikalisasi agama pada dekade terakhir

(Hamayotsu, 2013). Apalagi kehidupan masyarakat Indonesia nampak sangat dekat dengan

ideologi keagamaan (lihat situs web Kementerian Agama RI untuk daftar regulasi yang didasari

oleh pengaruh agama).

Apa sebenarnya yang disebut sebagai sekularisme? Seringkali istilah sekularisme

tumpang tindih dengan istilah-istilah seperti atheisme, liberalisme, humanisme, agnostisisme,

dan lain-lain. Namun, sebenarnya sekularisme memiliki konsep sendiri yang terpisah dari istilah-

istilah diatas. Taylor (dalam Nelson, 2009) menjelaskan komponen-komponen dari konsep

sekularisme, yaiitu: Menganggap bahwa tujuan-tujuan diluar pencapaian manusia atau belief

terkait hidup setelah mati dilihat sebagai irasional, tidak ilmiah, bias, atau fanatik. Kedua,

menolak terhadap anggapan bahwa dunia ini mengandung kekuatan supernatural, spiritual atau

moral. Ketiga, memandang alam semesta sebagai tidak berhubungan dengan subyek, dingin,

mengancam, dan tidak diciptakan oleh Tuhan dengan alasan yang suci; waktu tidak bergerak

menuju kesimpulan khusus (misalnya tidak ada yang disebut kiamat, hari pembalasan, atau

kehancuran dunia oleh tangan Tuhan). Keempat, menolak anggapan dimana manusia terikat pada

identitas dan dunia yang mengandung tujuan yang suci (misalnya manusia terikat dengan takdir

Ilahi). Kelima, menganggap bahwa rasio dan kekuasaan adalah nilai yang sangat penting untuk

mengontrol alam dan orang-orang agar tujuan manusia tercapai. Dan terakhir, menganggap

agama dan bidang-bidang yang berhubungan dengan publik seperti politik, ekonomi, atau etika

tidak bisa digabungkan.

Dalam studi-studi ilmiah mengenai sekularisme berkembang sebuah teori yang disebut

hipotesis sekularisasi (Nelson, 2009). Hipotesis sekularisasi menyatakan bahwa seiring dengan

kemajuan akal dan pengetahuan manusia, pengaruh agama dalam kehidupan masyarakat akan

semakin berkurang dan bahkan menghilang. Dengan kata lain, melemahnya pengaruh agama

diikuti oleh pengaruh sekularisme yang semakin kuat. Hipotesis sekularisasi ini kemudian

dibantah oleh Norris dan Inglehart (2009). Dalam teori yang disebut cultural divide hypothesis

(Nelson, 2009), Norris dan Inglehart beranggapan bahwa fenomena sekularisasi bukan didasari

Yang sakral..., Joevarian, FPSI UI, 2014

Page 3: Yang Sakral dan Yang Sekuler: Pengaruh Priming Cognitive

3

kemajuan ilmu pengetahuan dan perkembangan pemikiran manusia semata. Namun, sekularisasi

adalah proses yang dipengaruhi oleh kebutuhan akan rasa aman (need for security) dalam

kehidupan manusia. Kebutuhan akan rasa aman ini dicapai dengan memenuhi kebutuhan-

kebutuhan dalam hidup, seperti makanan, kesehatan, kebebasan (personal autonomy) dan lain-

lain. Implikasinya, seseorang yang telah terpenuhi kebutuhan akan rasa aman individualnya,

akan jauh lebih terhindar dari kematian (Nelson, 2009). Mereka juga tidak bergantung pada

kebutuhan-kebutuhan yang didapat dari keluarga, komunitas, atau agama. Orang-orang yang

kebutuhannya terpenuhi semacam ini ditemui di negara-negara maju. Sementara itu, orang-orang

yang masih merasa terancam atau memiliki need for security yang rendah ditemui di negara-

negara berkembang. Pada orang-orang yang masih membutuhkan need for security seperti ini,

peran keluarga, komunitas, dan masyarakat menjadi sangat penting untuk memastikan

kelangsungan hidup (karena kelompok memberikan rasa aman). Peran agama sendiri sama

seperti keluarga dan masyarakat, yaitu untuk memberikan rasa aman (Nelson, 2009; Daly, n.d.).

Dari situ bisa disimpulkan bahwa individu yang hidup di negara berkembang atau negara miskin

cenderung lebih beragama (atau menganut ideologi yang berhubungan dengan agama) daripada

individu di negara maju (Zuckerman, 2007; Nelson, 2009).

Teori Norris dan Inglehart (2009) bukanlah teori yang tak terbantahkan, terlihat dari

adanya kritik terhadap teori mereka. Pada negara-negara maju, seharusnya ditemukan religious

belief yang cenderung lebih rendah. Pada kenyataannya, klaim ini tidak bisa digeneralisasi.

Sebagai contoh, di Amerika, negara yang memiliki tingkat kemajuan yang tinggi di berbagai

bidang, prevalensi sekularisme masih terbilang rendah (Nelson, 2009; Norris & Inglehart, 2009).

Bahkan partisipasi keagaman di Amerika cenderung sangat tinggi. Meski Norris dan Inglehart

menyatakan bahwa anomali Amerika disebabkan proses sekularisasi yang belum sepenuhnya

seperti Eropa, tetapi anomali ini penting untuk melihat apakah teori Norris dan Inglehart (2009)

tersebut memang bisa digeneralisasi. Contoh lain adalah Brunei Darussalam, negara yang sudah

sangat makmur namun baru-baru ini menerapkan Syariah Islam (Khullar, 2014). Selain itu, pada

budaya-budaya dimana terdapat kemajuan teknologi dan penggunaan gadget yang tinggi,

masyarakat masih berpegang teguh pada kepercayaan terhadap hal-hal yang bersifat supernatural

(Subbotsky & Quinteros, 2002). Dengan adanya perbedaan kultural semacam ini, apakah

memang bisa dikatakan bahwa sekularisasi berkembang karena terpenuhinya kebutuhan akan

rasa aman dari individu-individu? Apalagi temuan Norris dan Inglehart (2009), meski dengan

Yang sakral..., Joevarian, FPSI UI, 2014

Page 4: Yang Sakral dan Yang Sekuler: Pengaruh Priming Cognitive

4

sangat baik memaparkan data komparatif, namun tidak memberikan data mengenai hubungan

kausal antara kebutuhan akan rasa aman dengan berkurangnya belief keagamaan.

Diduga, ada faktor lain yang berkontribusi terhadap berkurangnya belief keagamaan atau

religious belief. Faktor ini didasari oleh disposisi kognitif individu-individu yang menempati

suatu kelompok atau masyarakat. Bagaimana bisa dinyatakan demikian? Pennycook (2013),

yang melakukan tinjaauan terhaadap berbagai literatur mengenai peran disposisi kognitif

terhadap religious belief, menyatakan bahwa individu cenderung lebih menganut ideologi yang

sesuai dengan kapasitas kognitif yang dimilikinya. Berbeda dengan Norris & Inglehart (2009)

yang lebih menekankan kebutuhan rasa aman individu, Pennycook (2013) beranggapan bahwa

ideologi-ideologi sekuler menggunakan kapasitas kognitif individual yang lebih tinggi daripada

ideologi-ideologi agama. Kapasitas kognitif meliputi cognitive ability (seperti inteligensi atau

kemampuan kognitif umum) dan cognitive style. Sehingga, individu-individu yang memiliki

kapasitas kognitif lebih tinggi cenderung menganut ideologi non-religius dan ideologi agama

akan lebih dianut mereka dengan kapasitas kognitif yang lebih rendah. Berbagai temuan (dalam

Pennycook, 2013) menemukan bahwa individu yang tidak percaya agama memiliki

kecenderungan untuk melampaui proses kognitif yang intuitif. Artinya, mereka tidak hanya

mengandalkan intuisi tetapi juga mempertanyakan dan mengevaluasi intuisi yang muncul.

Sebaliknya, individu yang lebih percaya pada agama mengandalkan perasaan atau intuisi

mereka. Dua kecenderungan kognitif ini dikenal dengan istilah cognitive style.

Cognitive style dikategorisasi menjadi dua tipe, yaitu tipe intuitive dan tipe reflective

(Kozhevnikov, 2007). Cognitive style yang intuitive melibatkan penilaian kognitif individu yang

didasarkan oleh proses otomatis sementara cognitive style yang reflective melibatkan penilaian

kognitif individu yang didasarkan oleh evaluasi terhadap intuisi atau mempertanyakan kembali

intuisi (Shenhav, Rand, & Greene, 2011; Pennycook, 2013). Cognitive style juga menjadi faktor

yang mempengaruhi variabel-variabel terkait agama. Penelitian yang dilakukan oleh Shenhav,

Rand, dan Greene (2011) menemukan bahwa priming cognitive style mempengaruhi tinggi

rendahnya belief pada Tuhan (belief in God). Sementara penelitian Gervais dan Norenzayan

(2012) menemukan bahwa analytic thinking menjadi salah satu faktor yang menyebabkan

religious disbelief (kurangnya belief pada agama). Dalam penelitiannya mereka menggunakan

manipulasi eksperimental untuk meningkatkan proses analitis dari partisipan. Proses analitis

Yang sakral..., Joevarian, FPSI UI, 2014

Page 5: Yang Sakral dan Yang Sekuler: Pengaruh Priming Cognitive

5

merupakan indikasi dari secular belief yang tinggi, sehingga temuan mereka juga dapat diartikan

sebagai bukti bahwa cognitive style yang reflective dapat meningkatkan secular belief partisipan.

Berdasarkan temuan-temuan tersebut, peneliti mempertanyakan apakah orang-orang yang

menggunakan cognitive style tipe reflective akan terpengaruh religious belief-nya? Ini adalah

masalah utama yang ingin dijawab dalam studi. Peneliti menduga bahwa ada faktor disposisi

kognitif (dalam hal ini cognitive style) yang mendasari berkurangnya religious belief (Weber,

1902; Weber, 1922, dalam Huber, 2005).

Disamping religious belief, peneliti juga ingin mengetahui pengaruh cognitive style tipe

reflective terhadap secular belief. Peneliti menduga bahwa pengkondisian cognitive style yang

reflective tidak hanya mengurangi religious belief, tetapi juga meningkatkan secular belief.

Asumsi tersebut didasari oleh rationale bahwa ideologi sekularisme merupakan ideologi yang

kontradiktif dengan ideologi yang berhubungan dengan agama (Hall, Koenig, & Meador, 2008).

Meski demikian, hasil ini nampaknya masih bisa diperdebatkan mengingat pada budaya-budaya

tertentu, orang-orang yang memiliki belief keagamaan juga memegang belief yang sekuler

(Zuckerman, 2009). Ada kemungkinan bahwa hubungan kedua variabel tersebut bukan

hubungan yang berbanding terbalik melainkan dua konstruk yang berbeda. Sesuai saran Hall,

Koenig, dan Meador (2008) juga, ada baiknya untuk mengukur kedua belief sebagai dua

konstruk berbeda. Alasan lain kenapa secular belief perlu digunakan adalah karena secular belief

adalah belief yang dikatakan lebih sesuai dengan individu-individu dengan cara berpikir yang

lebih analitik (Pennycook, Cheyne, Koehler, & Fugelsang, 2013) sehingga lebih sesuai dengan

cognitive style yang reflective. Sehingga cukup beralasan jika dinyatakan bahwa secular belief

akan meningkat seiring dengan terjadinya proses sekularisasi. Jika dinyatakan secara eksplisit,

pertanyaan penelitian untuk studi ini adalah:

1. Apakah ada pengaruh cognitive style yang reflective terhadap religious belief?

2. Apakah ada pengaruh cognitive style yang reflective terhadap secular belief?

Kedua pertanyaan penelitian menjadi fokus utama studi ini. Lebih jauh lagi, peneliti

mencoba untuk menjawab bahwa proses sekularisasi (yang direfleksikan dengan menurunnya

religious belief dan meningkatnya secular belief) terjadi karena adanya efek penggunaan

cognitive style yang reflective. Mendengar ini, mungkin muncul pertanyaan, apakah proses

sekularisasi bisa disimpulkan hanya dengan hasil penelitian yang dilakukan hanya satu kali?

Yang sakral..., Joevarian, FPSI UI, 2014

Page 6: Yang Sakral dan Yang Sekuler: Pengaruh Priming Cognitive

6

Bukankah proses sekularisasi bisa jadi merupakan proses yang panjang? Disini, peneliti

mengusulkan bahwa proses sekularisasi adalah proses menurunnya religious belief dan

meningkatnya secular belief. Dalam temuan sebelumnya, cognitive style yang di-priming bisa

secara langsung mempengaruhi belief keagamaan. Jika satu kali pengkondisian cognitive style

(dalam konteks laboratorium) mampu secara langsung mempengaruhi belief keagamaan,

pengaruh yang lebih kuat akan terjadi saat ia dikondisikan berulang-ulang dalam konteks

sosiokultural. Budaya, dalam hal ini berpengaruh besar dalam mengkondisikan proses kognitif

dari masyarakat (Subbotsky & Quinteros, 2002).

Tinjauan Pustaka

Religious dan Secular Belief

Berdasarkan saran dari penelitian sebelumnya, Pehkonen dan Pietila (2003, pp. 2)

mengkonstruksi definisi belief sebagai:

“…his subjective, experience-based, often implicit knowledge and emotions on some

matter or state of art.”

Dalam Bahasa Indonesia, definisi tersebut dapat diartikan sebagai pengetahuan dan

perasaan individu mengenai suatu aspek atau keadaan dimana pengetahuan dan perasaan itu

bersifat subyektif, didasari oleh pengalaman, dan seringkali implisit. Belief itu sendiri biasanya

tidak dilepaskan dari sumber-sumber pengetahuan yang mana belief itu dianut atau diyakini.

Misalnya saja belief terhadap fenomena supernatural yang bersumber dari konsep-konsep agama

atau keyakinan masyarakat mengenai fenomena supernatural (Sveldhom, 2013). Sebetulnya

belief sendiri menggambarkan pengetahuan seseorang akan dunia (Nillson, 2013) sehingga,

dimana seseorang mendapat pengetahuan mengenai dunia adalah sumber-sumber dari belief.

Dikatakan dalam Nillson (2013) bahwa pengetahuan yang didapat bisa berasal dari obyek

(peralatan, komputer, pesawat, dan lain-lain) dan budaya (demokrasi, humanitas, sains, agama,

sekularisme, atau belief bahwa seseorang memliki karakteristik atau atribut tertentu).

Budaya (dengan segala manifestasinya) merupakan faktor cukup besar yang membentuk

proses kognitif, diantaranya belief. Bagaimana budaya bisa mempengaruhi belief yang berbeda-

beda seperti yang telah disebutkan diatas? Pada penelitian Subbotsky dan Quinteros (2002), saat

partisipan baik di Inggris maupun di Meksiko berada pada kondisi terancam atau berisiko (high

Yang sakral..., Joevarian, FPSI UI, 2014

Page 7: Yang Sakral dan Yang Sekuler: Pengaruh Priming Cognitive

7

risk), belief mengenai hubungan kausal justru tidak berbeda. Partisipan, baik di Inggris ataupun

di Meksiko, menunjukkan rasa takutnya pada mantra sihir yang dibacakan oleh eksperimenter

saat dimunculkan situasi mengancam. Meski tidak lebih lanjut dibahas dalam penelitian, namun

situasi yang dianggap mengancam bagi seseorang sebetulnya melibatkan asosiasi stimulus yang

tidak menyenangkan masa lalu sesuai prinsip teori belajar (Domjan, 2010). Oleh karena itu,

pengalaman belajar manusia, dalam hal ini berperan besar untuk mengkondisikan belief yang

prevalen pada seseorang. Prinsip ini juga seharusnya berlaku tak terkecuali pada religious belief

dan secular belief (dua konstruk yang akan dibahas dalam penelitian ini).

Belief keagamaan, atau religious belief merupakan belief yang bersumber dari konsep-

konsep agama. Dalam penelitian yang dilakukan Mansour pada tahun 2008, religious belief

didefinisikan sebagai (Mansour, 2008, pp. 7):

“views, opinions, attitudes, and knowledge constructed by a person through interaction

with his/her socio-cultural context through his/her life history and interpreted as having their

origins in religion.”

Dalam Bahasa Indonesia, religious belief berarti pandangan, opini, sikap, dan

pengetahuan bersumber dari agama yang dikonstruksi oleh seseorang melalui interaksinya

dengan konteks sosiokultural sepanjang hidup. Pengukuran psikologis untuk religious belief

umumnya dilakukan secara eksplisit. Namun, Jong (2012) menekankan pentingnya mengukur

variabel ini secara implisit karena tingginya sensitivitas isu agama. Dikhawatirkan pengukuran

eksplisit menyebabkan kecenderungan seseorang untuk menjawab hanya sesuai norma sosial,

bukan karena kesesuaian dengan belief yang memang ia miliki. Oleh karena itu, dalam penelitian

ini akan digunakan pengukuran yang lebih implisit untuk religious belief. Definisi religious

belief yang lebih implisit dicetuskan oleh Jonathan Jong (2012). Dalam penelitian yang

dilakukannya, religious belief adalah (2012, pp.113):

“the strength of cognitive associations between supernatural and existential concepts.”

Dalam definisi tersebut, semakin kuat seseorang mengasosiasikan atau menghubungkan

konsep-konsep agama dengan konsep-konsep keberadaan atau konsep eksistensial, maka

semakin tinggi pula religious belief seseorang. Misalnya saja seseorang yang menganggap bahwa

keberadaan Tuhan itu adalah suatu kepastian yang nyata, maka bisa dikatakan orang itu sangat

Yang sakral..., Joevarian, FPSI UI, 2014

Page 8: Yang Sakral dan Yang Sekuler: Pengaruh Priming Cognitive

8

kuat dalam mengasosiasikan konsep agama dan eksistensial (Tuhan adalah konsep agama dan

anggapan bahwa sesuatu itu nyata adalah konsep eksistensial). Dengan kata lain, nyata atau

tidaknya entitas supernatural seperti Tuhan dianggap penting lewat definisi diatas. Konsep-

konsep keagamaan yang dikhususkan dalam penelitian ini adalah konsep agama-agama

Abrahamik (Islam dan Nasrani). Entitas supernatural lainnya dalam agama Abrahamik

diantaranya malaikat, setan, surga, neraka, dan lain-lain.

Sementara itu, secular belief adalah belief yang sumbernya adalah konsep-konsep dalam

sekularisme. Sebetulnya, cukup sulit menemukan definisi secular belief secara eksplisit. Namun

disini peneliti memiliki berbagai penelitian terkait yang dapat digunakan sebagai landasan untuk

menyusun definisi secular belief. Peneliti mengkonstruksi definisi secular belief dalam

penelitian ini sesuai konsep-konsep dari secularism atau sekularisme/sekularisasi. Konsep-

konsep itu didapatkan dari Taylor (dalam Nelson, 2009). Peneliti juga mendefinisikan secular

belief sesuai definisi Pehkonen dan Pietila (2003).

No. Komponen Konsep untuk Secular Belief

1.

Tujuan-tujuan diluar pencapaian manusia atau belief terkait

hidup setelah mati dilihat sebagai irasional, tidak ilmiah, bias,

atau fanatik

2.

Penolakan terhadap anggapan bahwa dunia ini mengandung

kekuatan supernatural; menolak bahwa dunia dipengaruhi

oleh kekuatan spiritual atau moral.

3.

Alam semesta dipandang sebagai tidak berhubungan dengan

subyek, dingin, dan mengancam; tidak diciptakan oleh Tuhan

dengan alasan yang suci. Waktu dilihat sebagai tidak

bermakna; berkebalikan dengan waktu yang bergerak menuju

kesimpulan khusus.

4.

Penolakan terhadap konsep bahwa manusia terikat pada dunia

dimana dunia itu terkait tujuan yang suci; Manusia adalah

individu-individu dengan identitas yang terpisah dengan

orang lain.

5.

Anggapan bahwa rasio dan kekuasaan sebagai nilai yang

sangat penting, dengan tujuan aktif mengontrol alam dan

orang-orang demi mencapai tujuan manusia.

6. Agama dan bidang-bidang yang berhubungan dengan publik

seperti politik, ekonomi, atau etika tidak bisa digabungkan.

Tabel 1. Komponen Konsep untuk Secular Belief

Definisi belief, sebagaimana disebut sebelumnya, adalah pengetahuan dan perasaan

individu mengenai beberapa aspek dan keadaan dimana pengetahuan dan perasaan itu bersifat

subyektif, didasari oleh pengalaman, dan seringkali implisit (Pehkonen & Pietila, 2003).

Yang sakral..., Joevarian, FPSI UI, 2014

Page 9: Yang Sakral dan Yang Sekuler: Pengaruh Priming Cognitive

9

Kemudian, karena Nillson (2013) menyatakan bahwa belief bisa bersumber dari berbagai sumber

di dunia (dimana ia bisa bersumber dari ideologi, filsafat atau budaya), sekularisme dengan

berbagai komponen-komponennya juga menjadi sumber dimana orang bisa memiliki

pengetahuan atau perasaan akan sekularisme. Bisa disimpulkan bahwa secular belief adalah

pengetahuan dan perasaan individu yang subyektif, berdasar pengalaman, dan seringkali implisit

dimana pengetahuan dan perasaan individu itu sendiri bersumber dari konsep-konsep dalam

sekularisme. Komponen-komponen konsep sekularisme berdasarkan penjelasan Taylor (dalam

Nelson, 2009) bisa dilihat dalam tabel 1.

Cognitive Style

Cognitie style melibatkan banyak konstruk yang berbeda-beda (Kozhevnikov, 2007).

Disini peneliti tidak akan membahas bagaimana dinamika seluruh konstruk itu. Peneliti langsung

mengkhususkan pada cognitive style yang dianggap relevan untuk studi-studi agama (Shenhav,

Rand, & Greene, 2011), yaitu cognitive style yang reflective dan intuitive. Martin (1998)

menyebutkan bahwa teori mengenai cognitive style yang intuitive dan reflective dikembangkan

berdasarkan banyak penelitian yang sudah dilakukan dari beberapa dekade. Meskipun ada

ketidaksepakatan di kalangan peneliti (Kozhevnikov, 2007), cognitive style sekarang ini bisa

dibedakan menjadi dua tipe, yaitu tipe intuitive dan tipe reflective (Shenhav, Rand, & Greene,

2011; Pennycook, 2013). Sumber lain menyebutkan tipe reflective dengan istilah systematic atau

analytic (Martin, 1998). Dengan pembedaan ini, Shenhav, Rand, dan Greene (2011, pp. 423)

menyebut bahwa cognitive style adalah:

“…the extent to which individuals form their judgments intuitively, as opposed to through

reflection.”

Artinya, cognitive style adalah seberapa besar individu membentuk penilaian mereka

secara intuitif, atau sebaliknya, secara reflektif. Artinya, ada taraf atau tingkatan dimana

seseorang lebih menggunakan penilaian reflektif versus intuitif. Studi ini mereplikasi manipulasi

eksperimental cognitive style seperti yang dilakukan Shenhav, Rand, dan Greene (2011).

Cognitive style tipe intuitive sendiri didefinisikan oleh Shenhav, Rand, dan Greene (2011, pp.

423):

“…judgments made with little effort based on automatic processes.”

Yang sakral..., Joevarian, FPSI UI, 2014

Page 10: Yang Sakral dan Yang Sekuler: Pengaruh Priming Cognitive

10

Sementara tipe reflective didefinisikan oleh Shenhav, Rand, dan Greene (2011, pp. 423)

sebagai:

“…judgments in which the judge pauses to critically examine the dictates of her

intuition(s), thus allowing for the possibility of a less-intuitive or counterintuitive conclusion.”

Bisa disimpulkan bahwa sementara proses penilaian yang dilakukan oleh tipe intuitive

cenderung lebih otomatis, tipe reflective melakukan proses penilaian yang melampaui proses

otomatis itu, dengan mengevaluasi secara kritis proses yang otomatis. Meskipun relatif stabil,

kecenderungan Cognitive style individu bisa diubah atau dimanipulasi dengan kondisi tertentu

(Norenzayan & Gervais, 2012). Budaya dan faktor sosial adalah faktor yang berperan untuk

membentuk kecenderungan cognitive style intuitive atau reflective (Kozhevnikov, 2007;

Shenhav, Rand, & Greene, 2011).

Dalam melakukan eksperimen dengan metode priming cognitive style yang reflective,

Shenhav, Rand, dan Greene (2011) menginstruksikan partisipan untuk menuliskan pengalaman

mereka saat berpikir atau menalar secara cermat. Pada kondisi priming positif, pengalaman

berpikir reflektif yang ditulis partisipan memiliki akibat baik. Pada kondisi priming negatif,

pengalaman berpikir reflektif yang mereka tulis itu memiliki akibat buruk. Akibat baik dan buruk

ini juga dituliskan agar partisipan menyukai atau tidak menyukai proses kognitif yang reflective.

Proses Sekularisasi

Dalam bagian ini, peneliti merumuskan lebih dalam hipotesis sekularisasi yang dibentuk

oleh pengkondisian cognitive style. Secara umum, dinamika antara variabel yang digunakan

peneliti (cognitive style, religious belief, dan secular belief) bisa dijelaskan sebagai berikut.

Pertama, budaya menjadi faktor yang membentuk proses kognitif pada individu-individu pada

suatu masyarakat (Subbotsky & Quinterros, 2002). Proses kognitif yang terbentuk adalah berupa

cognitive style yang terkondisikan sesuai apa yang dinilai penting pada sosial dan budaya.

Budaya mengkondisikan cognitive style dengan proses asosiasi antara stimulus menyenangkan

dan tidak menyenangkan dengan proses cognitive style yang dilakukan individu (Shenhav, Rand,

& Greene, 2011). Proses asosiasi antar stimulus ini adalah proses yang terjadi secara alami

(Domjan, 2010), namun dapat berbeda-beda tergantung konteks sosial dan budaya. Dalam hal

ini, budaya yang menganggap penting atau positif ideologi sekularisme berbeda dengan budaya

Yang sakral..., Joevarian, FPSI UI, 2014

Page 11: Yang Sakral dan Yang Sekuler: Pengaruh Priming Cognitive

11

yang menganggap penting atau positif ideologi keagamaan. Konsekuensinya, mereka yang

terkondisikan atau telah mengasosiasikan secara kuat proses kognitif yang mereka lakukan

dengan apa yang dinilai bermanfaat, berguna, atau menyenangkan pada konteks sosial budaya

beragama, akan lebih sering menggunakan proses kognitif itu. Ini dibuktikan dengan temuan

bahwa budaya yang beragama mempengaruhi kecenderungan kognitif individu yang intuitif

(Gervais, Willard, Norenzayan, & Heinrich, 2011).

Setelah memahami bahwa budaya bisa menjadi faktor yang mengkondisikan cognitive

style, proses selanjutnya adalah bagaimana cognitive style yang dikondisikan itu dapat

menyebabkan perubahan pada religious belief dan secular belief. Ideologi-ideologi sekuler

dalam berbagai sumber dinyatakan sebagai ideologi yang cenderung lebih kompleks dan

membutuhkan proses kognitif yang lebih analitis (Kanazawa, 2010; Pennycook, 2013).

Sebaliknya, ideologi keagamaan membutuhkan proses kognitif yang cenderung lebih

mengandalkan insting pertama, proses kognitif yang heuristik, atau pemikiran yang

mengandalkan intuisi (Shenhav, Rand, & Greene, 2011). Saat terjadi pengkondisian cognitive

style yang reflective dalam konteks sosial budaya, individu-individu dalam budaya itu menjadi

lebih menganggap bahwa mereka perlu atau harus menggunakan proses kognitif yang hati-hati,

analitis, dan cermat. Pengkondisian cognitive style itu selanjutnya mempengaruhi religious belief

dari individu dimana belief terkait agama tidak lagi dipandang sesuai karena belief keagamaan

dianggap tidak bisa mengakomodasi penjelasan-penjelasan yang dibutuhkan saat seseorang

berpikir secara reflektif. Oleh karena itu peneliti menduga bahwa semakin tinggi secular belief

seseorang, maka semakin orang itu terkondisikan dengan cognitive style yang reflective.

Proses diatas merupakan proses terjadinya perubahan dimana mereka yang dikondisikan

dengan cognitive style yang reflective cenderung lebih sekuler daripada mereka yang tidak

dikondisikan demikian. Ini sebetulnya merefleksikan proses sekularisasi itu sendiri. Karena

terjadi peningkatan pada secular belief, maka sebaliknya akan terjadi penurunan pada religious

belief (yang ditandai dengan religious belief yang rendah pada mereka yang dikondisikan dengan

cognitive style yang reflective daripada mereka yang tidak dikondisikan). Model hipotesis ini

mengambil posisi yang berbeda dengan hipotesis sekularisasi dari Norris dan Inglehart (2009)

yang lebih mementingkan aspek kebutuhan akan rasa aman daripada faktor kognitif. Proses

Yang sakral..., Joevarian, FPSI UI, 2014

Page 12: Yang Sakral dan Yang Sekuler: Pengaruh Priming Cognitive

12

sekularisasi sendiri diasosiasikan dengan berkurangnya religious belief (Weber, 1902 dan Weber

1922 dalam Huber, 2005).

Penelitian ini terbagi atas dua studi, yang masing-masing menjawab pertanyaan apakah

ada pengaruh cognitive style yang reflective terhadap religious belief (Studi 1) dan apakah ada

pengaruh cognitive style yang reflective terhadap secular belief (studi 2). Dua studi menjadi studi

yang terpisah karena peneliti mengelompokkan religious belief dan secular belief sebagai dua

konstruk berbeda.

Studi 1

Metode dan prosedur

Berdasarkan sifat penyelidikannya, studi ini tergolong dalam studi eksperimental

(Kumar, 2005). Artinya, penelitian ini menyelidiki hubungan sebab akibat antara satu variabel

dengan variabel lainnya. Sampel atau partisipan untuk studi 1 adalah 56 mahasiswa S1

Universitas Indonesia. Semua mahasiswa UI dapat menjadi partisipan untuk penelitian ini. Akan

tetapi, peneliti membatasi partisipan hanya pada mereka yang mengaku beragama Islam, Kristen

Protestan, dan Kristen Katolik. Ini dikarenakan konsep-konsep agama yang diukur dalam

pengukuran religious belief merupakan konsep-konsep yang ada pada agama-agama Abrahamik

(seperti konsep Malaikat, Iblis, Setan, Surga, Neraka). Selain itu, peneliti juga membatasi

partisipan dengan mengeluarkan mahasiswa S1 Fakultas Psikologi tahun kedua sampai non-

class. Pembatasan ini dilakukan karena muncul kekhawatiran bahwa mahasiswa Fakultas

Psikologi UI telah memahami metode priming dan berbagai bentuk pengukurannya dalam

eksperimen psikologi. Pemahaman ini dikhawatirkan akan membiaskan respon yang dikeluarkan

oleh partisipan. Teknik sampling untuk penelitian ini adalah convenient sampling dan snowball

sampling.

Peneliti menggunakan Single Target – Implicit Association Test (ST-IAT) untuk

mengukur variabel religious belief. Tahapan pelaksanaan untuk ST-IAT bersumber dari disertasi

Jonathan Jong pada 2012 silam. Terdapat 21 stimulus kata yang digunakan dalam IAT, dimana 7

kata mengilustrasikan konsep „nyata‟, 7 kata mengilustrasikan konsep „khayalan‟, dan 7 kata

mengilustrasikan konsep „agama‟. Alat ukur ini diberikan pada partisipan dengan perangkat

laptop menggunakan software DMDX 4.3.0.1. Oleh karena itu, peneliti menggunakan satu buah

Yang sakral..., Joevarian, FPSI UI, 2014

Page 13: Yang Sakral dan Yang Sekuler: Pengaruh Priming Cognitive

13

laptop yang dioperasikan peneliti dibantu dengan tiga orang asisten penelitian atau confederate

secara berganti-gantian (satu partisipan oleh satu confederate). Prosedur administrasi ST-IAT

dijelaskan sebagai berikut. Tahap pertama, partisipan melakukan pengelompokkan terhadap apa

yang menjadi sinonim dari konsep “nyata” (n = 7) dan “khayalan” (n = 7) secepat dan seakurat

mungkin dengan menekan tombol A atau tombol L di komputer atau laptop. Setiap kata

diberikan sebanyak tiga kali dan diacak. Tahap pertama adalah tahap latihan untuk partisipan

sehingga tidak digunakan untuk analisis hasil penelitian. Tahap kedua, partisipan melakukan

pengelompokkan terhadap apa yang menjadi sinonim dari konsep “nyata” dan sinonim dari

konsep “khayalan”. Namun kali ini ditambah dengan konsep “agama” (n = 7). Konsep “nyata”

dan konsep “agama” dikelompokkan dalam tombol yang sama (tombol A), sementara konsep

“khayalan” dikelompokkan dalam tombol yang berbeda (tombol L). Setiap kata “nyata” dan kata

“agama” diberikan sebanyak tiga kali, sementara setiap kata „khayalan” diberikan sebanyak

enam kali. Kata yang diberikan diacak. Tahap terakhir, partisipan melakukan pengelompokkan

seperti tahap 2, tetapi konsep “agama” (n = 7) kali ini dikelompokkan dengan konsep

“khayalan”. Kata yng mengandung konsep “nyata” diberikan sebanyak enam kali sementara kata

yang mengandung konsep “agama” dan khayalan” diberikan masing-masing tiga kali.

Penempatan setiap kata diacak. Religious belief individu dihitung lewat formula:

Skor yang semakin positif dari hasil pengurangan merupakan indikasi religious belief

yang semakin tinggi (Jong, 2012). Artinya, partisipan lebih mengasosiasikan konsep „agama‟

dengan konsep „nyata‟ daripada dengan konsep „khayalan‟.

Ruangan eksperimen yang digunakan adalah ruang dengan luas 1.5 meter x 1.5 meter

yang terdiri atas meja, beberapa buah kursi, dan memiliki air conditioner. Akan tetapi, karena

ruangan sempat digunakan oleh pihak yang berwenang, maka untuk 10 orang partisipan

eksperimen dipindahkan ke ruang lain meski tidak dipindahkan jauh dari tempat semula.

Partisipan yang telah bersedia untuk mengikuti eksperimen dirandomisasi berdasarkan waktu

kedatangan partisipan untuk mengikuti penelitian. Peneliti memberikan nomor satu (partisipan

masuk ke kelompok eksperimen 1 atau kelompok priming cognitive style reflective yang positif)

atau dua (partisipan masuk ke kelompok eksperimen 2 atau kelompok priming cognitive style

reflective yang negatif) kepada setiap partisipan. Nomor yang diberikan berurutan, dimana

Yang sakral..., Joevarian, FPSI UI, 2014

Page 14: Yang Sakral dan Yang Sekuler: Pengaruh Priming Cognitive

14

partisipan yang datang pertama diberikan nomor satu lalu yang datang kedua diberikan nomor

dua, lalu diikuti dengan nomor satu, dan begitu seterusnya. Setelah proses randomisasi,

partisipan diminta masuk ke dalam salah satu laboratorium eksperimen (KE1 atau KE2).

Untuk kelompok eksperimen 1 (KE1), partisipan diminta kesediannya untuk mengisi

informed consent. Setelah itu, partisipan diminta untuk menuliskan 8-10 kalimat yang

menceritakan kejadian dimana mereka melakukan proses berpikir yang hati-hati, cermat, dan

tidak terburu-buru lalu berdampak baik. Setelah itu, partisipan diberikan instruksi untuk

melakukan pengisian ST-IAT yang mengukur religious belief. Setelah partisipan menyelesaikan

pengisan ST-IAT, partisipan diminta mengisi formulir cek manipulasi kelompok eksperimen 1.

Setelah itu, partisipan diberikan debriefing mengenai maksud dan tujuan dari penelitian. Lalu

partisipan diminta untuk meninggalkan ruang laboratorium KE1. Untuk kelompok eksperimen 2

(KE2) prosesnya sama seperti KE1 akan tetapi mereka diminta untuk menuliskan 8-10 kalimat

yang menceritakan kejadian dimana mereka melakukan proses proses berpikir yang hati-hati,

cermat, dan tidak terburu-buru lalu menghasilkan hasil yang buruk. Selain itu, partisipan

diberikan form cek manipulasi untuk kelompok eksperimen 2. Setiap partisipan diberikan reward

berupa voucher makan.

Hasil dan Analisis

Partisipan untuk kelompok eksperimen 1 terdiri dari 10 orang laki-laki (35.7%) dan 18

orang perempuan (64.3%) sementara untuk kelompok eksperimen 2 terdiri dari 11 orang laki-

laki (39.3%) dan 17 orang perempuan (60.7%). Sementara lebih dari 50% partisipan beragama

Islam dimana pada kelompok yang diberi priming positif (kelompok eksperimen 1) berjumlah 22

orang (78.6%) sementara pada kelompok yang diberi priming negatif (kelompok eksperimen 2)

berjumlah 18 orang (64.3%). Sisanya beragama Protestan (7.1% untuk kelompok eksperimen 1

dan 10.7% untuk kelompok eksperimen 2) dan Katolik (14.3% untuk kelompok eksperimen 1

dan 25.0% untuk kelompok eksperimen 2).

Peneliti melakukan proses cek manipulasi, dimana peneliti mengeluarkan 1 orang pada

kelompok priming positif dan 5 orang pada kelompok priming negatif dari total partisipan.

Partisipan itu dianggap tidak bisa dianalisis lebih lanjut (dikhawatirkan priming tidak

memberikan efek sebagaimana diharapkan). Setelah mengeluarkan 6 orang tersebut, peneliti

Yang sakral..., Joevarian, FPSI UI, 2014

Page 15: Yang Sakral dan Yang Sekuler: Pengaruh Priming Cognitive

15

melakukan perhitungan skor latensi waktu individual (sesuai rumus religious belief = M tahap 3

– M tahap 2). Setelah itu, dilakukan analisis tendensi sentral (mean) kelompok eksperimen 1 dan

kelompok eksperimen 2. Lalu peneliti melakukan pengukuran independent measure t-test untuk

ST-IAT menggunakan SPSS. Hasil uji hipotesis menunjukkan bahwa kelompok yang diberikan

priming positif (M = -62.12, SD = 74.95) tidak memiliki skor yang lebih rendah secara

signifikan dibandingkan kelompok yang diberikan priming negatif (M = -42.91, SD = 77.84)

dimana t(48) = -.887, p > .05. Ingat bahwa semakin tinggi (semakin positif) skor ST-IAT,

semakin partisipan mengasosiasikan konsep agama dengan konsep bahwa sesuatu itu nyata.

Diskusi

Pertanyaan penelitian studi 1 adalah: apakah ada pengaruh cognitive style yang reflective

terhadap religious belief? Berdasarkan hasil uji hipotesis, ditemukan bahwa tidak ada pengaruh

cognitive style yang reflective terhadap religious belief. Baik mereka yang dimanipulasi untuk

menyukai cara berpikir reflektif ataupun yang dimanipulasi untuk tidak menyukai cara berpikir

reflektif ternyata tidak memiliki tingkat religious belief yang berbeda. Hasil penelitian untuk

studi pertama menunjukkan inkonsistensi dengan temuan sebelumnya. Temuan ini unik,

mengingat studi oleh Pennycook (2013) menyimpulkan bahwa temuan eksperimental memiliki

hasil yang tidak sama baik secara eksperimental maupun korelasional.

Pada beragam studi korelasional sebelumnya, cognitive style yang reflective berkorelasi

dengan rendahnya belief keagamaan dari partisipan penelitian (Shenhav, Rand, & Greene, 2011;

Pennycook, Cheyne, Barr, Koehler, & Fugelsang, 2013). Dalam penelitian sebelumnya,

manipulasi proses kognitif (cognitive style) yang reflective (untuk temuan Shenhav, Rand, &

Greene, 2011) dan analitik (untuk temuan Gervais & Norenzayan, 2012) berhasil mempengaruhi

belief keagamaan. Partisipan yang diberikan manipulasi demikian, menunjukkan belief

keagamaan yang lebih tinggi daripada yang dimanipulasi kelompok kontrol atau kelompok yang

diberikan manipulasi cognitive style yang intuitif. Oleh karena itu, hasil temuan ini memberikan

pemahaman bahwa pengkondisian cognitive style yang reflective tidak selalu memberikan

pengaruh terhadap religious belief partisipan. Mengapa demikian? Sulit untuk menemukan

jawaban dari pertanyaan ini karena temuan-temuan sebelumnya menyatakan hasil sebaliknya.

Akan tetapi, ada argumen yang bisa dijadikan landasan atas dipertahankannya hasil studi ini.

Yang sakral..., Joevarian, FPSI UI, 2014

Page 16: Yang Sakral dan Yang Sekuler: Pengaruh Priming Cognitive

16

Inkonsistensi hasil temuan bisa jadi disebabkan oleh perbedaan cara pengukuran

konstruk. Pada dua temuan eksperimental sebelumnya oleh Shenhav dkk. (2011) dan Gervais

dan Norenzayan (2012), religious belief adalah konstruk dimana partisipan menyatakan secara

eksplisit tingkat belief mereka dalam konsep-konsep ketuhanan dan agama melalui self-report

atau kuesioner. Pada studi kali ini, peneliti bergerak lebih jauh dengan melihat religious belief

lewat pengambilan data yang implisit menggunakan Single Target – Implicit Association Test

(ST-IAT). Melalui pengambilan data implisit ini, peneliti ingin melihat kekuatan asosiasi antara

konsep agama dengan konsep eksistensial (Jong, 2012). Latensi waktu menjadi acuan dari kuat

atau lemahnya asosiasi itu. Ditemukan sebelumnya bahwa ST-IAT menunjukkan sensitivitasnya

pada manipulasi eksperimental (Jong, 2012). Dimungkinkan. religious belief yang diukur dengan

pengukuran implisit memberikan landasan yang lebih bisa diterima. Ini disebabkan

berkurangnya respon normatif (social desirability) dari partisipan terhadap pengukuran sehingga

respon pada ST-IAT lebih menggambarkan respon partisipan yang sebenarnya alih-alih self-

report dengan indikasi social desirability yang tinggi (Jong, 2012).

Inkonsistensi hasil penelitian ini memiliki implikasi teoretis. Implikasi teoretisnya adalah

bahwa cara berpikir reflektif tidak serta merta memberikan efek terhadap religious belief. Oleh

karena itu, mereka yang menganggap penting cara berpikir reflektif belum tentu akan

mengevaluasi, mengkritisi, atau membantah konsep-konsep dalam agama, sebagaimana diyakini

temuan-temuan sebelumnya. Dengan kata lain, patut dipertanyakan apakah memang belief

terhadap ideologi agama memang akan menghilang seiring berkembangnya cara berpikir

reflektif.

Studi 2

Metode Penelitian

Desain studi 2 secara umum sama seperti studi 1, akan tetapi yang berubah adalah

metode penelitian dari yang sebelumnya bersifat eksperimental menjadi bersifat kuasi

eksperimental. Pada studi 2 ini peneliti menggunakan skala secular belief dalam bentuk hard

copy untuk mengukur secular belief dari partisipan yang sebelumnya telah diuji coba untuk

dihitung aspek-aspek psikometriknya (reliabilitas 0.979 dan validitas konstruk 0.839). Sampel

atau partisipan untuk studi 2 adalah 64 mahasiswa S1 Fakultas Psikologi Universitas Indonesia

Yang sakral..., Joevarian, FPSI UI, 2014

Page 17: Yang Sakral dan Yang Sekuler: Pengaruh Priming Cognitive

17

(UI). Tidak seperti studi 1, peneliti tidak membatasi partisipan pada studi 2 hanya untuk mereka

yang menganut agama-agama Islam, Kristen Protestan dan Kristen Katolik saja. Karena skala

secular belief yang digunakan disusun tidak untuk agama-agama secara khusus, maka latar

belakang keagamaan bukanlah sesuatu yang perlu diperhatikan.

Peneliti mendatangi kelas-kelas perkuliahan, diantaranya kelas perkuliahan di Fakultas

Psikologi. Terdapat tiga kelas yang didatangi peneliti. Kelas yang digunakan untuk kelompok

eksperimen 1 (diberi priming cognitive style reflective yang positif) berjumlah 32 orang

sementara kelas yang digunakan untuk kelompok eksperimen 2 (diberi priming cognitive style

reflective yang negatif) berjumlah 50 orang yang terdiri dari dua kelas (kelas 1 memiliki 21

partisipan sementara kelas 2 memiliki 29 partisipan). Peneliti masuk ke setiap kelas bersama satu

orang pemberi instruksi eksperimen. Sebelum penelitian dimulai, pemberi instruksi meminta

partisipan agar duduk tidak terlalu dekat satu sama lain.

Untuk kelompok eksperimen 1 (KE1), partisipan diminta kesediannya untuk mengisi

informed consent. Setelah itu, partisipan diminta untuk menuliskan 8-10 kalimat yang

menceritakan kejadian dimana mereka melakukan proses berpikir yang hati-hati, cermat, dan

tidak terburu-buru lalu berdampak baik. Setelah itu, partisipan diberikan instruksi untuk

melakukan pengisian skala secular belief. Kemudian partisipan diminta mengisi formulir cek

manipulasi kelompok eksperimen 1. Setelah itu, partisipan diberikan debriefing mengenai

maksud dan tujuan dari penelitian. Lalu partisipan diminta untuk meninggalkan ruang kelas

untuk KE1. Untuk kelompok eksperimen 2 (KE2) prosedurnya sama dengan KE 1. Kecuali, pada

KE2 partisipan diminta untuk menuliskan 8-10 kalimat yang menceritakan kejadian dimana

mereka melakukan proses berpikir yang hati-hati, cermat, dan tidak terburu-buru lalu

menghasilkan hasil yang buruk. Selain itu yang berbeda dari KE1 adalah partisipan diminta

mengisi kuesioner cek manipulasi kelompok eksperimen 2. Setiap partisipan diberikan reward

berupa ballpoint.

Hasil dan Analisis

Dalam studi ini partisipan berjenis kelamin laki-laki berjumlah 9 orang sementara

partisipan berjenis kelamin perempuan berjumlah 55 orang. Baik kelompok eksperimen 1

maupun kelompok eksperimen 2 sama-sama memiliki partisipan perempuan dengan angka diatas

Yang sakral..., Joevarian, FPSI UI, 2014

Page 18: Yang Sakral dan Yang Sekuler: Pengaruh Priming Cognitive

18

80% (mayoritas partisipan adalah perempuan). Peneliti kemudian melakukan uji hipotesis setelah

mengeluarkan 3 orang dari kelompok priming negatif (menggunakan cek manipulasi seperti

studi 1). Sebelumnya, dihitung terlebih dahulu skor rata-rata (mean) kelompok eksperimen 1 dan

kelompok eksperimen 2. Uji hipotesis yang digunakan adalah independent measure t-test untuk

melihat perbedaan mean (M) antar kelompok. Hasil uji hipotesis one-tailed menunjukkan bahwa

t-score berada pada critical region (t(59) = 2.180, p < .05). Artinya, partisipan yang diberikan

priming positif (M = 22.34, SD = 5.65) memiliki secular belief yang lebih tinggi secara

signifikan daripada partisipan yang diberikan priming negatif (M = 19.86, SD = 2.47). Artinya,

partisipan yang berpikir secara reflektif cenderung meningkat secular belief-nya.

Diskusi

Pertanyaan penelitian studi 2 adalah: apakah ada pengaruh cognitive style yang reflective

terhadap secular belief? Berdasarkan hasil uji hipotesis, ditemukan bahwa ada pengaruh

cognitive style yang reflective terhadap secular belief. Berbeda dengan studi 1, pada studi 2

peneliti berhasil mempertahankan hipotesis yang menyatakan bahwa ada pengaruh

pengkondisian cognitive style yang reflective terhadap secular belief. Partisipan yang diberikan

priming cognitive style reflective yang positif menunjukkan secular belief yang lebih tinggi

daripada partisipan yang diberikan priming cognitive style reflective yang negatif. Artinya, saat

partisipan dikondisikan untuk berpikir bahwa cara berpikir reflective itu baik, skor secular belief

pada Skala Secular Belief yang didapat itu justru lebih tinggi. Sesuai hipotesis, temuan kali ini

memang seharusnya sejalan dengan temuan oleh Shenhav, Rand, dan Greene (2011). Partisipan

yang diberikan priming cognitive style reflective yang positif cenderung memiliki religious belief

yang rendah. Meski temuan ini sama dengan penelitian-penelitian sebelumnya, temuan ini tidak

konsisten dengan temuan pada studi 1. Inkonsistensi ini akan dijawab pada bagian diskusi

umum. Pada bagian ini hanya akan dijelaskan mengapa bisa diperoleh temuan seperti pada studi

2.

Penjelasan yang sudah banyak dikonfirmasi adalah bahwa mereka yang memiliki secular

belief akan cenderung lebih analitis dalam memproses informasi. Dalam penelitian oleh

Pennycook, Cheyne, Koehler, dan Fugelsang (2013), ditemukan bahwa orang-orang beragama

cenderung lebih banyak membuat kesalahan dalam menyelesaikan masalah logika daripada

orang-orang yang skeptis pada agama. Tidak hanya itu, orang beragama cenderung lebih cepat

Yang sakral..., Joevarian, FPSI UI, 2014

Page 19: Yang Sakral dan Yang Sekuler: Pengaruh Priming Cognitive

19

menjawab masalah logika daripada orang-orang skeptis. Perbedaan respon waktu ini

menunjukkan cognitive style yang lebih analitik atau reflective. Proses yang lebih lama itu adalah

proses pemecahan masalah yang evaluatif, kritis, dan membantah intuisi. Proses analitis ini

membuat klaim-klaim atau konsep-konsep sekularisme dianggap lebih sesuai oleh partisipan

penelitian.

Argumen lain yang menarik untuk dibahas adalah bahwa temuan juga ikut membuktikan

bahwa partisipasi seseorang dalam pendidikan tinggi membuat seseorang lebih sekuler

(Zuckerman, 2009). Partisipasi dalam pendidikan tinggi melibatkan pembiasaan dalam cara

berpikir reflektif (Bassey, Umoren, & Udida, 2007). Dikatakan oleh Zuckerman (2009) bahwa

partisipasi dalam perguruan tinggi dan kepemilikan orientasi di bidang intelektual dapat

memprediksi apakah individu akan meninggalkan belief keagamaan atau tidak. Individu yang

berpartisipasi dalam perguruan tinggi dan memiliki orientasi intelektual, cenderung lebih

mungkin meninggalkan keyakinan dalam beragama (Zuckerman, 2009). Ingat bahwa partisipasi

dalam pendidikan tinggi melibatkan penguasaan ilmu pengetahuan atau sains dimana performa

sains itu sendiri sering melibatkan proses kognitif yang cenderung analitik dalam menyelesaikan

masalah (Bassey, Umoren, & Udida, 2007). Mungkin inilah alasan mengapa saintis cenderung

memiliki belief keagamaan yang rendah, menjadi atheis, atau sekuler daripada populasi umum

(Larson & Witham, 1998).

Diskusi Umum

Temuan pada studi 1 dan studi 2 berdampak pada perumusan model hipotesis sekularisasi

yang sebelumnya dirumuskan peneliti. Sebelumnya, peneliti merumuskan bahwa proses

sekularisasi yang terjadi sebetulnya adalah proses dimana pengkondisian cognitive style

reflective adalah faktor yang membentuk proses sekularisasi. Untuk membuktikan perumusan

ini, peneliti melakukan dua studi yang mencoba menjawab hipotesis bahwa pengkondisian

cognitive style reflective meningkatkan religious belief dan menurunkan secular belief.

Peningkatan dan penurunan ini dilihat dari apakah ada perbedaan mean skor pada partisipan

yang diberikan priming cognitive style reflective positif dan negatif. Hasil penelitian

menunjukkan bahwa hipotesis diatas terbukti hanya pada studi 2. Pada studi 1, peneliti tidak

menemukan perbedaan antar kelompok eksperimental.

Yang sakral..., Joevarian, FPSI UI, 2014

Page 20: Yang Sakral dan Yang Sekuler: Pengaruh Priming Cognitive

20

Bagaimana implikasi temuan ini terhadap perumusan proses sekularisasi yang disusun

sebelumnya? Untuk menjawab pertanyaan tersebut, disini peneliti terlebih dulu membantah

penelitian oleh Hall, Koenig, dan Meador (2008) yang menyatakan bahwa pengukuran

sekularisme adalah reverse scoring atau kebalikan dari pengukuran keagamaan atau religiusitas.

Pada hipotesis awal penelitian, temuan Hall dkk. digunakan sebagai landasan untuk menyatakan

bahwa pengkondisian cara berpikir reflektif menurunkan religious belief dan meningkatkan

secular belief. Melalui klaim Hall dkk., religious belief adalah konstruk yang unidimensional

dimana pada kutub satu terdapat religious belief ekstrem dan kutub lainnya terdapat secular

belief yang ekstrim. Sehingga, religious belief dan secular belief dapat dikatakan unidimensional.

Akan tetapi, meski digunakan sebagai dasar hipotesa, peneliti memisahkan religious belief dan

secular belief sebagai dua konstruk terpisah. Pengukuran secular belief dianggap pengukuran

yang lebih universal sementara pengukuran religious belief adalah pengukuran yang lebih

spesifik (setiap agama memiliki konsep yang berbeda-beda). Perlakuan ini dapat mengeksplorasi

seperti apa hubungan kedua variabel.

Hasil temuan studi 1 dan studi 2 tidak menunjukkan arah yang sesuai dengan klaim

unidimensional. Saat cognitive style dikondisikan, secular belief memang mengalami

peningkatan akan tetapi religious belief tidak terpengaruh. Berdasarkan temuan ini, peneliti

menyatakan bahwa secular belief adalah belief yang berbeda dengan religious belief. Hubungan

keduanya bukan sebagai konstruk unidimensional, melainkan dua konstruk yang berdiri sendiri-

sendiri. Oleh karena itu, disini peneliti berargumen bahwa hipotesis awal penelitian ternyata

terbantahkan. Namun, bukan berarti keseluruhan hipotesis ini gagal merumuskan proses

sekularisasi, melainkan harus dilakukan revisi terhadap hipotesis sekularisasi itu sendiri.

Dalam bantahan yang akan dijelaskan, seseorang bisa saja memiliki religious belief tinggi

dan juga secular belief yang tinggi. Pernyataan ini bukannya tanpa bukti. Ini didukung dengan

pernyataan Zuckerman (2009) yang menyatakan bahwa pada daerah-daerah tertentu di Asia,

seseorang bisa menjadi religius sekaligus juga memegang atheisme. Ada juga temuan bahwa

jutaan orang mengidentifikasi diri dalam keyakinan agama tertentu, namun tanpa meyakini

konten-konten dalam agama itu (Zuckerman, 2009). Artinya, konsep-konsep agama diyakini

kebenarannya oleh individu tanpa individu itu memahami konten-konten ajaran atau konsep-

konsep keagamaan yang ada. Sehingga, pengaruh budaya bisa saja menciptakan proses

Yang sakral..., Joevarian, FPSI UI, 2014

Page 21: Yang Sakral dan Yang Sekuler: Pengaruh Priming Cognitive

21

sekularisasi tanpa mempengaruhi belief keagamaan karena konten-konten agama, meski diyakini

namun tidak dipahami orang-orang. Belief dengan konten kontradiktif belum tentu juga diyakini

seseorang sebagai kontradiktif. Subbotsky dan Quinteros (2002) juga menyatakan bahwa dalam

kebudayaan dimana kekuatan sains dan teknologi sangat prevalen, belief terkait kekuatan

supernatural tidak menghilang dalam kebudayaan. Dengan kata lain, meski sains dan teknologi

masuk dalam suatu kebudayaan, ia hanya akan membentuk belief yang superfisial. Secara

intuitif, masyarakat yang sudah dipengaruhi pemikiran bahwa sains mampu menjelaskan

fenomena tetap saja memegang belief bahwa kekuatan supernatural mampu menyebabkan

fenomena.

Dengan menolak klaim Hall, Koenig, dan Meador (2008) diatas, peneliti menghilangkan

variabel religious belief sebagai variabel yang dipengaruhi oleh pengkondisian cognitive style

yang reflective. Oleh karena itu, peneliti merevisi model hipotesis mengenai proses sekularisasi.

Pengkondisian cognitive style yang reflective adalah faktor yang menentukan terjadinya proses

sekularisasi. Berbeda dengan hipotesis sebelumnya dimana sekularisasi ditandai dengan

menurunnya religious belief dan meningkatnya secular belief, revisi model ini menyatakan

bahwa sekularisasi ditandai dengan meningkatnya secular belief saja. Terdapat bukti-bukti yang

mendukung bahwa religious belief tidak serta merta berkurang karena terjadinya proses

sekularisasi (Subbotsky & Quinteros, 2002; Nelson, 2009; Zuckerman, 2009).

Bagan 1. Revisi model sekularisasi berdasarkan pengaruh Cognitive Style yang Reflective

Temuan ini sekaligus membantah bahwa faktor penyebab sekularisasi tidak hanya seperti

yang dinyatakan dalam Norris dan Inglehart (2009). Mereka menjelaskan bahwa kebutuhan akan

rasa aman (need for security) adalah faktor penting yang menentukan terjadinya sekularisasi.

Namun, meski data yang dihimpun olehnya adalah data dari puluhan negara yang bisa

dipertanggungjawabkan, tetap saja temuan Norris dan Inglehart (2009) adalah temuan

komparatif. Temuan itu tidak bisa menjelaskan apakah memang kebutuhan akan rasa aman

Individu

menggunakan

Cognitive Style yang

Reflective

Terjadi proses

sekularisasi

Berpengaruh

terhadap

meningkatnya

Secular Belief

Yang sakral..., Joevarian, FPSI UI, 2014

Page 22: Yang Sakral dan Yang Sekuler: Pengaruh Priming Cognitive

22

adalah penyebab dari berkurangnya pengaruh belief keagamaan. Bisa saja keduanya merupakan

efek dari sebuah variabel atau fenomena lainnya.

Kesimpulan

Temuan pada studi kali ini bersifat eksperimental dengan menyelidiki hubungan kausal

antar variabel. Sehingga, dapat diketahui bahwa memang faktor cognitive style yang reflective

itulah yang menyebabkan peningkatan atau mempengaruhi secular belief. Meski demikian,

religious belief seseorang tidak terpengaruh. Lebih jauh lagi, peneliti sekaligus menjawab

pertanyaan apakah proses sekularisasi bisa terjadi dengan cognitive style tipe reflective.

Sekularisasi memang merupakan faktor yang bisa diakibatkan penggunaan cognitive style tipe

reflective dari individu-individu dalam suatu masyarakat.

Saran

Peneliti memahami bahwa penelitian ini, masih memiliki banyak limitasi. Oleh karena

itu, pada penelian selanjutnya, diharapkan segala kekurangan penelitian ini akan diperbaiki.

Adapun arahan untuk penelitian lanjutan diantaranya: Pertema, perlu dilakukan pengujian

reliabilitas dan validitas terhadap alat ukur Single Target – Implicit Association Test (ST-IAT)

apabila pengukuran implisit religious belief digunakan dalam penelitian selanjutnya, khususnya

untuk versi adaptasi dalam bahasa Indonesia. Kedua, perlu dilakukan perbandingan hasil

penelitian dengan variabel religious belief antara pengukuran eksplisit (self-report) dan

pengukuran implisit (ST-IAT). Perbedaan hasil akan menambah pemahaman mengenai seperti

apa hubungan religious belief dengan secular belief (apakah unidimensional ataukah merupakan

konstruk berbeda). Ketiga, perlu dilakukan penelitian yang bersifat eksploratori untuk

memahami bagaimana interaksi variabel-variabel budaya dengan cognitive style agar

pemahaman mengenai pengkondisian cognitive style dapat dihubungkan dengan peran budaya

pada masyarakat setempat. Keempat, perlu dilakukan penelitian komparatif mengenai gambaran

cognitive style dari budaya yang berbeda-beda. Dikatakan sebelumnya bahwa budaya berbeda

memiliki ciri cognitive style yang berbeda pula. Sebagai contoh, orang-orang dalam budaya

beragama cenderung memiliki proses kognitif yang intuitif (Weber, 1902 dan Weber, 1922

dalam Huber, 2005). Pemahaman terhadap hal tersebut akan mempertajam model sekularisasi

yang telah dirumuskan dalam penelitian ini. Kelima, perlu dilakukan penelitian yang

Yang sakral..., Joevarian, FPSI UI, 2014

Page 23: Yang Sakral dan Yang Sekuler: Pengaruh Priming Cognitive

23

membandingkan peran kebutuhan akan rasa aman (need for security) dan faktor pengkondisian

cognitive style dalam meningkatkan secular belief. Penelitian ini akan membuktikan apakah

kebutuhan akan rasa aman bisa menjadi faktor yang juga menjadi variabel yang mempengaruhi

proses sekularisasi.

Daftar Pustaka

Bassey, S.W., Umoren, G., Udida, L.A. (2007). Cognitive styles, secondary school students’

attitude and academic performance in chemistry in Akwa Ibom state – Nigeria.

Dipresentasikan dalam konferensi epiSTEME-2: International conference to review

research in Science, Technology and Mathematics Education.

Daly, L. (n.d.). Reviews: Sacred and secular: Religion and politics worldwide,2004 books of

Pippa Norris and Ronald Inglehart. University of Maryland.

Dawkins, R. (2008). The god delusion. USA: Houghton Mifflin Harcourt.

Domjan, M. (2010). The principles of learning and behavior, 7th

Edition. USA: Cengage

Learning.

Gervais, W. M., & Norenzayan, A. (2012). Analytic thinking promotes religious disbelief.

Science, 336, 493–496.

Gervais, W. M., Willard, A., Norenzayan, A., & Henrich, J. (2011). The cultural transmission of

faith: Why natural intuitions and memory biases are necessary, but insufficient, to explain

religious belief. Religion, 41(3), 389-410.

Hamayotsu, K. (2013). Once a muslim, always a muslim: The politics of state enforcement of

Syariah in contemporary Malaysia. South East Asia Research, 20, 3, pp.. 399-421. doi:

10.5367/sear.2012.0114.

Hamayotsu, K. (2013). The limits of civil society in democratic Indonesia: Media freedom and

religious intolerance. Journal of Contemporary Asia. doi: 10.1080/00472336.2013.780471.

Hall, D.E., Koenig, H.G., & Meador, K.G. (2008). Hitting the target: Why existing measures of

“religiousness” are really reverse-scored measures of “secularism”. Elsevier, 4, 368-373.

Higgins, A. (2013). A more secular Europe, divided by the cross. Diunduh dari website resmi

NY Times pada 25/2/2014 pukul 15:57 WIB dengan URL:

mobile.nytimes.com/2013/06/18/world/Europe/a-more-secular-europe-divided-by-the-

cross.html.

Huber, J.D. (2005). Religious belief, religious participation, and social policy attitudes across

countries. Dipresentasikan dalam Annual Meetings of the Midwest Political Science

Association, Chicago, II.

Yang sakral..., Joevarian, FPSI UI, 2014

Page 24: Yang Sakral dan Yang Sekuler: Pengaruh Priming Cognitive

24

Jong, J. (2012). Implicit measures in the experimental psychology of religion. A New Science of

Religion. Diunduh dari website Temple of Earth Publishing pada 12/10/2013 pukul 09:43

dengan URL: https://oxford.academia.edu/JonathanJong/Papers.

Jong, J. (2012). Scaring the bejesus into people: The effects of mortality salience on explicit and

implicit religious belief (Thesis, Doctor of Philosophy). University of Otago. Diunduh pada

4/1/2014 pukul 10:01 dengan URL: http://hdl.handle.net/10523/2124.

Kanazawa, S. (2010). Why liberals and atheists are more intelligent. Social Psychology

Quarterly, 73(1), pp. 33–57. doi: 10.1177/0190272510361602.

Khullar, A. (2014). Brunei adopts sharia law amid international outcry. Diunduh pada 18 Juni

2014 pukul 11: 12 dari URL: http://edition.cnn.com/2014/05/01/world/asia/brunei-sharia-

law/

King, B.J. (2012). Interview: Richard dawkins celebrates reason, ridicules faith. Diunduh dari

website resmi National Public Radio pada 26/2/2014 pukul 11:37 WIB dengan URL:

www.npr.org/blogs/13.7/2012/03/26/149310560/atheist-firebrand-richard-dawkins-

unrepentant-for-harsh-words-targeting-faith.

King, D.B., Viney, W., & Woody, W.D. (2009). A history of psychology: Ideas and context, 4th

Ed. Boston, MA: Pearson.

Kozhevnikov, M. (2007). Cognitive styles in the context of modern psychology: Toward an

integrated framework of cognitive style. Psychological Bulletin, 133, 3, 464–481. doi:

10.1037/0033-2909.133.3.464.

Kumar, R. (2005). Research methodology: A step-by-step guide for beginner, 2nd

Ed. United

Kingdom: Sage Publications.

Larson, E.J., & Witham, L. (1998) Leading scientists still reject God. Nature 394, 313–314.

Martin, L.P. (1998). The cognitive-style inventory. The Pfeiffer Library, 8, 2nd

Ed. Jossey-

Bass/Pfeiffer.

Mansour, N. (2008). The experiences and personal religious beliefs of egyptian science teachers

as a framework for understanding the shaping and reshaping of their beliefs and practices

about science-technology-society (STS), International Journal of Science Education,

30(12), 1605-1634.

Nelson, J.M. (2009). Psychology, religion, and spirituality. USA: Springer.

Nillson, N.J. (2013). Understanding beliefs. USA: Stanford University AI Lab.

Norris, P., & Inglehart, R. (2009). Sekularisasi ditinjau kembali: Agama dan politik di dunia

dewsa ini. Indonesia: Pustaka Alvabet.

Pehkonen, E., & Pietilä, A. (2003). On relationships between beliefs and knowledge in

mathematics education. Makalah yang dipresentasikan dalam CERME 3: Third conference

of the European society for research in mathematics education, Bellaria, Italy.

Yang sakral..., Joevarian, FPSI UI, 2014

Page 25: Yang Sakral dan Yang Sekuler: Pengaruh Priming Cognitive

25

Pennycook, G. (2013). Evidence that analytic cognitive style influences religious belief:

Comment on Razmyar and Reeve. Intelligence, 43, 21–26

Pennycook, G., Cheyne, J. A., Barr, N., Koehler, D. J., & Fugelsang, J. A. (2013). Cognitive

style and religiosity: The role of conflict detection. Mem Cogn. doi:10.3758/s13421-013-

0340-7.

Pennycook, G., Cheyne, J. A., Koehler, D. J., & Fugelsang, J. A. (2013). Belief bias during

reasoning among religious believers and skeptics. Psychonomic Bulletin and Review, 20,

pp. 806–811.

Portal Kementerian Agama Republik Indonesia. (n.d.). Sejarah kementerian agama. Diunduh

dari website resmi Kementerian Agama RI pada 21/2/2014 pukul 12:48 WIB dengan URL:

http://www.kemenag.go.id/index.php?a=artikel&id=12432&t=181.

Portal Kementerian Agama Republik Indonesia. (n.d.). Undang-undang. Diunduh dari website

resmi Kementerian Agama RI pada 21/2/2014 pukul 12:48 WIB dengan URL:

http://www.kemenag.go.id/index.php?a=artikel&id=12446&t=183.

Shenhav, A., Rand, D.G., & Greene, J.D. (2011). Divine intuition: Cognitive style influences

belief in God. Journal of Experimental Psychology 141 (3), 423–428. DOI:

10.1037/a0025391.

Subbotsky, E., & Quinteros, G. (2002). Do cultural factors affect causal beliefs? Rational and

magical thinking in Britain and Mexico. British Journal of Psychology, 93, pp. 519–543.

Sveldhom, A. (2013). The cognitive basis of paranormal, superstitious, magical, and

supernatural beliefs: The roles of core knowledge, intuitive and reflective thinking, and

cognitive inhibition. University of Helsinki: Disertasi Akademis.

Taylor, C. (2007). A secular age. Cambridge, MA: Belknap.

Watch Tower Bible and Tract Society of Pennsylvania. (1991). Pencarian manusia akan Allah.

Diterbitkan oleh Watch Tower Bible and Tract Society of Pennsylvania.

Yusuf, C.F. (2000). Peran agama dalam masyarakat: Studi awal proses sekularisasi pada

masyarakat muslim kelas menengah di kecamatan bekasi selatan kota madya bekasi jawa

barat. Universitas Indonesia: Tesis.

Zuckerman, P. (2007). Atheism: Contemporary rates and patterns. Cambridge Companion to

Atheism. Diunduh dari website resmi Pitzer College pada 12/10/2013 pukul 08:02 WIB

dengan URL: http://www.pitzer.edu/academics/faculty/zuckerman/Ath-Chap-under-

7000.pdf.

Zuckerman, P. (2009). Atheism, secularity, and well-being: How the findings of social science

counter negative stereotypes and assumptions. Sociology Compass 3(6), 949–971,

10.1111/j.1751-9020.2009.00247.x.

Yang sakral..., Joevarian, FPSI UI, 2014