1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Rekonstruksi Wayang Orang Darma Kerti, Dusun Batu Pandang, Desa
Sapit, Kecamatan Swela, Lombok Timur di Unit Pelaksana Teknis Daerah
(UPTD), Taman Budaya Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB), di Mataram,
Lombok merupakan sebuah kegiatan seni dan budaya. Kegiatan itu muncul di
tengah-tengah realitas kehidupan masyarakat Mataram, Lombok yang multikultur.
Kehidupan masyarakat multikultur Mataram, Lombok dibentuk atas
dasar pergulatan identitas yang diproduksi oleh kepentingan budaya wetu telu
dan agama Islam. Dalam pergulatan identitas itu budaya wetu telu dikonstruksi
dan direpresentasikan melalui berbagai cara yang bermakna, antara lain dalam
bentuk pertunjukan wayang orang. Wayang orang sebagai simbol untuk
menyampaikan pesan tentang nilai tradisi direkonstruksi dan direpresentasikan
sebagai sebuah identitas.
Wayang orang sebagai warisan budaya dibangun melalui proses sejarah
yang cukup panjang. Di dalamnya terdapat percampuran nilai budaya dan ajaran
agama antaretnis, sebagai bagian dari kehidupan masyarakat Sasak. Sebagai
bagian budaya wetu telu, pertunjukan wayang orang saat ini kurang mendapatkan
perhatian dari masyarakat Mataram, Lombok. Banyak warga masyarakat
Mataram, Lombok tidak mengetahuai pertunjukan wayang orang secara pasti.
1
2
Beberapa orang Lombok yang pernah diwawancarai, seperti Mustahin
mahasiswa S-3 Kajian Budaya, Salman Alfarisi mahasiswa S-3 Kajian Budaya
dan seniman teater, Yuspianal dan Ayu Mulyasari mahasiswa ISI Denpasar
mengatakan tidak pernah mendengar bahwa di Lombok terdapat pertunjukan
wayang orang. Menurut mereka pertunjukan wayang kulit memang ada di
Lombok yang disebut dengan wayang menak. Informasi itu membuktikan
bahwa wayang orang dipinggirkan oleh kondisi sosial yang multietnis dan
pergulatan identitas. Untuk melestarikan wayang orang seniman, budayawan
dan pihak UPTD Taman Budaya Mataram, Lombok melakukan rekonstruksi
terhadap Wayang Orang Darma Kerti Dusun Batu Pandang, Lombok Timur.
Menurut Ulfi, nama Darma Kerti pada kesenian Wayang Orang
Dusun Batu Pandang digunakan karena cerita pokok yang sering dipentaskan
adalah kisah Prabu Darma Kerti (Wawancara, 10 Oktober, 2015). Wayang
Orang Darma Kerti, Dusun Batu Pandang itu dipilih untuk direkonstruksi
karena masih ada penari dan tokoh-tokoh yang dapat memberikan penjelasan
tentang cerita, bentuk pertunjukan, tari, dan kondisinya saat ini. Di Desa Sade,
Kecamatan Pujut, Lombok Tengah juga pernah ada wayang orang, tetapi saat
ini telah punah tanpa ada bekas yang dapat dijadikan petunjuk rekonstruksi
(Fathurrahman, 2009: 4).
Dari hasil pengamatan terhadap gejala hampir punahnya Wayang Orang
Darma Kerti Dusun Batu Pandang, dapat diketahui bahwa gamelannya telah di
gampil dalam sebuah ruangan dengan kondisi yang kurang dirawat. Penari-
penarinya kebanyakan mencari pekerjaan ke luar daerah, bahkan ke luar negeri
3
sehingga sulit mencari penari. Generasi muda di Dusun Batu Pandang tidak ada
yang berkeinginan mempelajari wayang orang karena dialog-dialognya
berbahasa Jawa Kuno dianggap sulit untuk dipelajari. Mereka juga telah
dicekoki oleh pemikiran baru tentang ajaran Islam yang dianggap benar (syariah).
Ulfi, salah seorang penari Wayang Orang Darma Kerti Dusun Batu
Pandang juga mengatakan bahwa Wayang Orang Darma Kerti Dusun Batu
Pandang sudah tidak pernah pentas lagi sejak Amaq Marni meninggal pada tahun
2010. Akan tetapi, pentas gamelan masih dilakukan atas permintaan orang yang
mempunyai hajatan, hal itupun sangat jarang, paling banyak setahun sekali
(Wawancara, 10 Oktober 2015).
Menurut Ulfi, Amaq Marni sebagai pimpinan grup Kesenian Darma
Kerti Dusun Batu Pandang terus menerus mengajak para pendukung wayang
orang agar bersabar dan tetap mempertahankan seni wayang orang. Artinya terus
menerus mencari jalan agar dapat pentas dan memproleh perhatian dari
pemerintah. Ini dimaksudkan agar generasi muda tetap tertarik untuk
mempertahankan wayang orang (Wawancara, 10 Oktober 2015). Menurut
Kantun, prerjuangan Amaq Marni bersama dengan seniman dan budayawan
Mataram, Lombok agar wayang orang itu tetap dapat dilestarikan telah
mendorong munculnya program kegiatan UPTD Taman Budaya Mataram,
Lombok untuk melestarikan kesenian tradisional Sasak. Melalui program itu,
maka perjuangan seniman dan budayawan Sasak dapat diakomodasi agar
Wayang Orang Darma Kerti Dusun Batu Pandang direkonstruksi dan
dipentaskan pada 14 November 2009.
4
Sumber cerita rekonstruksi wayang orang itu adalah Serat Menak,
sebuah karya sastra yang mengandung nilai agama Islam dan nilai lokal Sasak.
Salah satu lakon yang diambil dari Serat Menak adalah Jayengrana Merariq.
Lakon ini dipilih karena mengandung nilai agama, nilai estetik, dan nilai tradisi,
yang perlu diregenerasikan dan dilestarikan sebagai kearifan lokal (Faturrahman,
2009:6). Regenerasi dapat diartikan sebagai usaha untuk mempertahankan
wayang orang karena wayang orang mengimplementasikan ajaran agama Islam
dan nilai lokal Sasak, yang bersifat integratif.
Menurut Rusmadi, penggunaan kata wayang orang, dalam rekonstruksi
Wayang Orang Darma Kerti, Dusun Batu Pandang di UPTD Taman Budaya
Mataram, Lombok tidak berbeda dengan kata wayang wong. Akan tetapi,
dalam masyarakat Lombok pada umumnya istilah wong kurang lumrah karena
kata wong merupakan bahasa Jawa Kuno (Wawancara, 12 November 2013).
Dikatakan pula, bahwa kata wong hanya dikenal di lapisan dalang dan tokoh-
tokoh adat yang memiliki toleransi terhadap kebudayaan Jawa dan Bali yang
berkembang di Lombok.
Penggunaan kata orang dalam rekonstruksi wayang orang memberikan
kesan tersendiri tentang Sasak. Dikatakan demikian karena kata wong dalam
pertunjukan wayang wong di Jawa dan Bali menunjukan adanya kesan pengaruh
Majapahit. Di Dusun Batu Pandang, Desa Sapit, Kecamatan Swela, Lombok
Timur, juga disebut wayang wong, namun penonton sering menyebutnya
pertunjukan wayang orang. Rekonstruksi Wayang Orang Darma Kerti Dusun
5
Batu Pandang itu, dilihat dari gerak tarinya merupakan gerak-gerak wayang
sedangkan yang di stilirisasi, sedangkan musik pengiringnya adalah lelinyikan.
Menurut Kantun, lelinyikan berarti musik untuk menghibur yang tidak
terikat dengan jumlah instrument. Artinya, musik yang sangat sederhana dan
gending-gendingnya adalah tawaq-tawaq, bebatelan, dan tangkilan, (Wawancara,
9 Oktober 2015). Penggunaan sumber cerita Serat Menak sangat sesuai dengan
kondisi sosial masyarakat Mataram, Lombok yang mayoritas beragama Islam.
Menurut Kantun, serat menak di Mataram, Lombok ada dua jenis yaitu,
Serat Menak Bel dan Serat Menak Parigan. Serat Menak Bel adalah serat menak
yang telah dibukukan sehingga tokoh penting yang telah meninggal dapat hidup
kembali sesuai dengan alur lakon (misalnya: hanya dengan diperciki air atau
dengan mantra-mantra tokoh itu bisa hidup kembali). Serat Menak Parigan
adalah serat menak pokok dalam bentuk lontar, tokoh apa pun kalau sudah
meninggal dalam pertunjukan tidak dapat hidup lagi sesuai dengan alur lakon
(Wawancara, 9 Oktober 2015). Dalam hal ini wayang termasuk wayang orang
merupakan warisan budaya tak benda, memiliki nilai kemanusian yang sangat
mulia, dilihat dari sumber cerita yang digunakan.
Sebagai warisan budaya yang memiliki nilai kemanusiaan universal telah
diakui oleh dunia, sehingga wayang mendapatkan perlindungan dari United
Nations Educational, Scientific, and Cultural Organisation (UNESCO) sebagai
warisan budaya tak benda yang ditetapkan pada 7 November 2003 (Matsuura,
2003). Perlindungan ini dilakukan oleh UNESCO supaya wayang dipelihara,
6
dipertahankan, dan dikembangkan sebagai warisan budaya tak benda untuk
menjadi sumber moral dalam mengembangkan nilai kemanusiaan.
Perlindungan itu diharapkan dapat mendorong agar semangat seniman dan
budayawan Sasak untuk mempertahankan seni budaya lokal lebih besar,
terutama mereka yang ingin menjadikan budaya wetu telu sebagai identitas Sasak.
Semangat ini terhalang karena adanya pengaruh yang sangat kuat dari Islam
Waktu Lima sebagai Islam modern yang ingin menolak budaya wetu telu. Sebagai
wahana perjuangan untuk mempertahankan seni dan budaya Sasak muncullah
Majelis Adat Sasak (MAS). Menurut Prima, salah seorang pengurus MAS,
penolakan terhadap tradisi termasuk kesenian itu merupakan pengingkaran
terhadap sejarah perkembangan Islam di Lombok (Wawancara, 12 November,
2013).
Prima juga mengatakan bahwa membangkitkan budaya wetu telu untuk
berperan dalam percaturan global sangat penting. Pemikiran itu merangsang
kelompok agama Islam Sasak yang semula menolak kesenian tradisional mulai
menyadari bahwa membangkitkan seni dan budaya tradisional merupakan upaya
untuk membangun identitas Sasak (Wawancara, 12 November 2013). Tuan
Guru Haji (TGH) yang berasal dari kelompok Nahlatul Ulama (NU), Nahlatul
Wathan (NW), dan Muhamadyah, sudah mulai memberikan sumbangan
terhadap kebangkitan kesenian tradisional sejak tahun 2013.
Atas perjuangan masyarakat Sasak melalui MAS, yang didukung oleh
para seniman untuk mengingatkan pemerintah tentang pentingnya budaya
wetu telu dan sejarah penyebaran Islam ke Lombok, maka saat ini Gubernur
7
NTB, Tuan Guru Haji (TGH) Muhamad Zainul Majdi, mulai membuat program
pembangunan Lombok berdasarkan visi, beriman, berbudaya, kreatif dan,
sejahtera. Melalui konsep berbudaya dan kreatif ini pemerintah mulai
mengulurkan tangan untuk melestarikan dan mengembangkan seni tradisi
termasuk wayang orang.
Berbagai jenis seni pertunjukan yang saat ini berkembang di Lombok,
khususnya di Mataram didominasi oleh seni pertunjukan Bali. Jenis-jenis
kesenian Bali tersebut adalah Tari Joged Bumbung, Tari Pendet, Tari
Candrametu, Tari Panji Semirang, Tari Mergepati, Tari Wiranata, Tari Kebyar
Duduk, Tari Oleg Temulilingan, Tari Legong Kraton, Tari Tenun, Tari Nelayan,
Tari Trunajaya, Sendratari, Topeng, Arja, Rejang, Sanghyang, dan yang lainnya.
Untuk mengimbangi berbagai jenis kesenian Bali yang ada, maka rekonstruksi
wayang orang menjadi sangat penting sebagai ciri khas Sasak supaya identitas
Sasak muncul di Mataram, Lombok.
Wayang orang, termasuk golongan seni pertunjukan drama dan tari
(Monografi NTB Jilid II, 1977:137), merupakan salah satu bentuk tradisi yang
tidak dibenarkan oleh firkoh-firkoh baru Islam untuk dipentaskan pada saat
perayaan agama Islam. Pandangan itu didasarkan atas pemahaman bahwa seni
pertunjukan tradisional Sasak merupakan warisan tradisi yang melekat dengan
budaya wetu telu, dan bernapaskan budaya Hindu. Warisan budaya Hindu yang
melekat pada budaya wetu telu tidak benar dikembangkan oleh orang yang
beragama Islam. Hal ini menunjukan adanya sentimen lokal dan konflik etnis di
Lombok semakin menguat, dan merupakan sumber pergulatan identitas.
8
Pergulatan identitas telah dimulai sejak Gajah Mada mengirimkan
pasukannya untuk menaklukan Selepawis atau Selesuwung (artinya=Lombok)
pada tahun 1344. Melalui penaklukan itu telah tertanam nilai-nilai Majapahit
yang bersifat sinkeritisme Hindu dan Budha (Bunyamin, 2011:5). Selepawis atau
Selesuwung adalah bahasa Kawi yang digunakan oleh pengarang dengan
berpedoman pada bahasa Jawa Kuno. Menurut Anggawa, bahasa Kawi berbeda
dengan bahasa Jawa Kuna karena bahasa Kawi adalah bahasa komunikasi antar
wilayah di Nusantara sehingga merupakan bahasa campuran antara Jawa, Bali,
dan Sasak, sedangkan bahasa Jawa Kuno adalah bahasa yang digunakan oleh
masyarakat Jawa, pada jaman kejayaan kerajaan Hindu Jawa (Wawancara, 12
November 2013).
Kedatangan Islam ke Lombok pada sekitar abad XVI yang dibawa oleh
Sunan Giri dan Pangeran Sangupati telah menyebar luaskan nilai-nilai Islam.
Selain itu, masuknya usaha dagang Belada yaitu Verenigde Oost Indische
Compagnie (VOC) ke wilayah timur yaitu ke Makasar tahun 1633 menyebabkan
terjadinya perang antara VOC dan kerajaan Goa di Makasar. Perang antara VOC
dan Makasar berimplikasi terhadap kehidupan masyarakat Lombok karena
perdagangan di Lombok berada di bawah pengaruh Makasar (Bunyamin, 2011:9).
Mundurnya supremasi Makasar di Lombok menyebabkan kerajaan Seleparang
mengakui kekuasaan VOC di Lombok sesuai dengan perjanjian yang
ditandatangani pada tahun 1675 di Benteng Ritterdam Makasar (Bunyamin,
2011: 9). Keadaan Lombok yang kacau-balau, dimanfaatkan oleh Raja
Karangasem Bali untuk menyerang Lombok pada tahun 1677. Pada waktu itu
9
kekuatan Raja Karangasem Bali dapat dihalau oleh kerajaan Seleparang,
Lombok, bahkan penyerangan pada tahun 1678 pun juga gagal (Bunyamin,
201:9).
Pada tahun 1692 kerajaan Karangasem Bali kembali menyerang Lombok
dengan bantuan Banjar Getas untuk menaklukkan Pejanggik. Kerajaan Pejanggik
dapat ditaklukan dan secara berangsur-angsur kerajaan Karangasem Bali
berkuasa di Lombok. Hal ini menyebabkan nilai budaya Bali yang bernapaskan
Hindu sangat kuat di Lombok (Bunyamin, 2011: 9--10). Kekuasaan kerajaan
Karangasem Bali di Lombok dianggap sebagai penjajah. Hal itu menyebabkan
munculnya perlawanan-perlawanan dari orang Sasak.
Perlawanan itulah kemudian menyebabkan terjadinya konflik yang
berkepanjangan sampai sekarang. Proses sejarah itu telah diwariskan sebagai
budaya Sasak yang bersifat sinkeritisme antara budaya asli sebelum masuknya
pengaruh Majapahit dan nilai Islam yang masuk pada sekitar abad XVI. Warisan
sejarah itulah yang dikenal dengan budaya wetu telu. Ketika penganut budaya
Sasak yang beragama Islam meneruskan konsep wetu telu, maka mereka disebut
dengan Islam Wetu Telu.
Sejak tahun 1968 terjadi konsolidasi Islam karena semua Islam adalah
Islam Waktu Lima sehingga tidak ada lagi istilah Islam Wetu Telu (Supratno,
1996:141). Masyarakat yang tidak memahami asal-usul wetu telu, sering
menyebutnya Islam Waktu Telu. Menurut Anggawa, kelompok yang
mempertahankan budaya wetu telu disebut dengan Islam Kultural, sedangkan
Islam yang tidak mempertahankan budaya wetu telu disebut dengan Islam Waktu
10
Lima yang berorientasi Syariah. Anggawa, mengatakan bahwa konsolidasi
Islam itu terjadi sebagai dampak dari G. 30. S pada tahun 1965. Kelompok yang
mempertahankan budaya wetu telu pada waktu itu dikafirkan, sehingga banyak
yang terbunuh (Wawancara, 15 Oktober, 2015).
Konsolidasi Islam ini telah menempatkan Islam Waktu Lima dengan
mayoritas pengikutnya, dan doktrin-doktrinnya menganggap warisan budaya
wetu telu itu tidak perlu dipertahankan. Implikasi dari konsulidasi itu, maka
pementasan kesenian tradisional Sasak sempat dilarang pada tahun 1970-an
(Supratno, 1996:315). Menurut Anggawa, Islam Kultural, adalah Islam yang
bersifat adaptif dengan budaya luar sehingga antarbudaya di Mataram, Lombok
dapat hidup berdampingan dengan damai. Kelompok Islam Sasak yang tidak
dapat menerima pertunjukan kesenian tradisional termasuk wayang orang adalah
kelompok Islam Sasak yang berorientasi pada budaya Arab, yang saat ini disebut
Islam Syariah. Kedua kelompok tersebut di Mataram, Lombok berasal dari Islam
Waktu Lima (Wawancara, 10 Oktober 2015). Hal itu menunjukkan ada
kelompok Islam Waktu Lima yang masih mempertahankan budaya lokal sebagai
warisan budaya wetu telu dan ada Islam Waktu Lima yang beraliran syariah.
Bagi penganut agama Islam Waktu Lima yang beraliran syariah
berorientasi pada budaya Arab, sangat fanatik pada simbol agama berdasarkan
budaya Arab. Menurut tokoh-tokoh agama Islam Syariah, melakukan hal-hal
yang tidak diwajibkan dianggap larangan oleh agama Islam. Tokoh-tokoh adat
Sasak yang menganut Islam Kultural menganggap bahwa tidak diwajibkan oleh
11
agama, bukan dilarang karena tradisi merupakan kearifan lokal yang harus
dipelihara dengan baik sebagai identitas.
Prima dan Ibrahim mengatakan bahwa kalau tradisi, termasuk seni
pertunjukan wayang orang tidak dipelihara dengan baik oleh orang yang mengaku
dirinya orang Sasak, maka siapa lagi yang harus mempertahankan dan memelihara
tradisi tersebut (Wawancara, 12 November, 2013). Memang disadari bahwa saat
ini ada kecendrungan masyarakat untuk meninggalkan tradisi. Hal itu terkait
dengan perkembangan global mengarah pada kepentingan universalisme dan
homoginitas, yang cendrung mengaburkan nilai-nilai lokal sehingga memicu
munculnya perjuangan untuk membangun identitas (Turner, 2002: 102).
Wayang Kulit Bali dan Wayang Kulit Jawa pernah berkembang di
Lombok dengan cerita Mahabharata dan Ramayana yang disebut dengan Wayang
Lelendong (Supratno, 1996: 5), saat ini tidak berkembang lagi. Meskipun
Wayang Lelendong tidak berkembang, pengaruhnya juga nampak pada wayang
orang di Lombok. Pengaruh Wayang Wong Parwa Bali nampak pada Wayang
Orang Darma Kerti Dusun Batu Pandang karena semua penari tidak
menggunakan tapel.
Menurut Darmatif, pengaruh Wayang Wong Ramayana, yang sering
disebut dengan wayang wong saja tampak pada wayang wong atau wayang
orang, Desa Sembalun, Lombok Timur. Pengaruh itu tampak pada penari yang
hampir semuanya menggunakan tapel (topeng) sama seperti Wayang Wong
Bali. Menurut Darmatif, tapel-tapel wayang wong itu dibawa oleh leluhurnya
dari Majapahit ke Desa Sembalun. Kemudian mereka mendirikan pertunjukan
12
wayang wong di Desa Sembalun, Lombok Timur (Wawancara, 12 November
2013).
Wayang orang umumnya di Lombok, dan Wayang Orang Darma Kerti
Dusun Batu Pandang khususnya, merupakan pertunjukan wayang orang yang
ceritanya bersumber dari Serat Menak. Sebagai sumber cerita Serat Menak
merupakan hasil perpaduan antara Hikayat Amir Hamzah dan cerita Panji.
Hikayat Amir Hamzah merupakan hikayat Melayu yang berasal dari kitab
Qissai Emr Hamza sebuah karya sastra Persia (Soekmono, 1981:97). Menurut
Reid (1992:270), hikayat Melayu merupakan karya sastra yang menggambarkan
keberanian pahlawan Persia. Di pihak lain cerita Panji adalah karya sastra yang
berkembang pada zaman Majapahit, mengisahkan Panji Inu Kertapati dengan
Candra Kirana. Menurut Kantun, salah satu lakon yang diambil dari Serat
Menak Parigan dalam rekonstruksi Wayang Orang Darma Kerti Dusun Batu
Pandang di UPTD Taman Budaya Mataram, Lombok adalah Jayengrana
Merariq (Wawancara, 9 Oktober 2015)
Rekonstruksi Wayang Orang Darma Kerti Dusun Batu Pandang itu
dilakukan oleh para seniman dan budayawan Lombok yang difasilitasi oleh
UPTD Taman Budaya Mataram, Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB). Dalam
proses rekonstruksi itu ditampilkan seniman-seniman Lombok, baik yang berasal
dari etnis Jawa beragama Islam, etnis Bali beragama Hindu, maupun etnis
Sasak, yang memahami Serat Menak, seni pewayangan, dan gerak-gerak wayang
Rekonstruksi wayang orang itu merupakan sebuah bangunan seni budaya
yang menggabungkan antara nilai-nalai agama Islam Waktu Lima dengan budaya
13
wetu telu, menjadi kearifan lokal Sasak. Kearifan lokal yang terdapat dalam
wayang orang sesungguhnya telah menjadi praktik budaya dalam kehidupan
masyarakat Sasak sehari-hari dan diwarisi secara turun-temurun sebagai
pedoman perilaku.
Saat ini perubahan-perubahan terjadi dalam skala dan kecepatan yang
sangat tinggi, telah menyebabkan perubahan struktural dan kultural tidak
sejalan sehingga terjadilah anomie perangkat nilai (Kuntowijoyo, 1999:10--11).
Anomie terjadi karena terdapat kesenjangan nilai antara struktur sosial dan nilai
budaya yang diwarisi sebagai sebuah tradisi. Sebagai reaksi terhadap perubahan
yang terjadi saat ini, maka masyarakat Sasak di Mataram-Lombok berjuang untuk
menemukan kembali jati diri dan identitas yang terpinggirkan oleh proses sejarah
dan ideologi kekuasaan.
Doktrin agama Islam modern dengan firkoh-firkoh baru di Mataram,
Lombok telah memengaruhi ideologi kekuasaan sehingga tradisi yang
dipertahankan oleh penganut budaya wetu telu kurang mendapatkan perhatian.
Usaha-usaha untuk membangkitkan kembali nilai-nilai lokal ini dilakukan dengan
mengadakan rekonstruksi Wayang Orang Darma Kerti Dusun Batu Pandang,
oleh para seniman dan budayawan Sasak. Dengan membangkitkan seni dapat
dimunculkan semua potensi secara penuh untuk mendobrak situasi lingkungan itu
sendiri (Turner, 2002:165).
Menurut Prima dan Ibrahim, T.G.H. Muhamad Zainul Majdi yang
sering dikenal dengan T.G.H. Bajang sama sekali tidak memperhatikan seni
tradisi pada periode pertama jabatannya sebagai gubernur. Sebagai T.G.H. dan
14
menjabat sebagai gubernur tetap menganggap bahwa agama Islam tidak wajib
melestarikan tradisi. Tokoh T.G.H. lainnya yang menganggap tradisi wetu telu
tidak perlu dipertahankan adalah, T.G.H. Hasanain Juaini, T.G.H. Makhali Fikri,
T.G.H. Subki Sasaki, dan T.G.H. Muhid Al Lapaki (Wawancara, 12 November,
2013).
Penjelasan ini menunjukkan bahwa ideologi kekuasaan yang diterapkan
dalam sistem pemerintahan di NTB kurang memperhatikan keragaman budaya.
Keragaman nilai budaya merupakan ciri integritas nasional sebagai tanda
persatuan Indonesia yang telah dijadikan lambang negara Indonesia dan dikenal
dengan Bhineka Tunggal Ika. Keragaman budaya dijadikan landasan untuk
menciptakan integritas bangsa, sehingga melahirkan konsep persatuan dan
kesatuan. Konsep ini menunjukkan bahwa bangsa Indonesia adalah bangsa yang
bersifat multikultural.
Nilai persatuan dan kesatuan yang muncul akibat tekanan kolonialisme
dan impresialisme merupakan cerminan kebersamaan. Hal itu dapat dijadikan
kekuatan untuk menangkal pengaruh global yang menyebabkan terjadinya
sentimen lokal dan konflik etnis. Nilai-nilai kebersamaan yang berakar pada
tradisi, sering ditampilkan melalui seni pertunjukan. Salah satu seni pertunjukan
yang dapat menampilkan nilai kebersamaan dan dijadikan objek kajian dalam
tulisan ini adalah Wayang Orang Darma Kerti Dusun Batu Pandang yang
direkonstruksi di UPTD Taman Budaya Mataram.
Rekonstruksi Wayang Orang Darma Kerti Dusun Batu Pandang
merupakan sebuah bentuk penggalian dan pelestarian seni tradisi yang kemudian
15
dapat dikembangkan sebagai identitas Sasak. Pengembangan identitas melalui
seni dan budaya menjadi sangat penting untuk menyambut kepentingan
pemerintah Indonesia yang mencanangkan Lombok sebagai daerah tujuan wisata.
Wisatawan yang datang pada umumnya ingin mencari kekhasan lokal, baik untuk
dinikmati sebagai sajian estetik maupun untuk diteliti dan dikaji sebagai kajian
ilmiah.
Untuk kepentingan pembangunan dan pengembangan Lombok sebagai
daerah wisata yang direncanakan oleh pemerintah Indonesia, masih banyak
kelompok Islam Sasak yang bersifat moderat dapat menerima budaya wetu telu
termasuk pertunjukan wayang orang. Kelompok Islam Sasak yang dapat
menerima budaya wetu telu termasuk pertunjukan wayang orang sebagian besar
berada di Mataram pada khususnya, dan di Lombok Barat pada umumnya.
Perkembangan Islam di Lombok memiliki akar yang kuat pada tradisi dan
budaya Sasak, sehingga terjadi jalinan antara Islam dan tradisi seni budaya.
Rekonstruksi ini menumbuhkan jalinan tersebut sebagai identitas sasak, bukan
identitas yang lain seperti Jawa, Bali, Bugis, atau Barat. Sebagai wujud dari
jalinan antara Islam dan tradisi seni budaya Sasak, Wayang Orang Darma Kerti,
Dusun Batu Pandang yang direkonstruksi di UPTD Taman Budaya Mataram,
Lombok tidak menggunakan cerita Mahabharata dan Ramayana seperti wayang
wong Bali dan di Jawa.
Rekonstruksi Wayang Orang Darma Kerti Dusun Batu Pandang itu
merupakan persoalan budaya dalam hubungannya dengan masyarakat untuk
menciptakan sistem nilai sebagai identitas budaya. Persoalan budaya sangat erat
16
terkait dengan pembentukan budaya, perubahan budaya, dan benturan budaya
(Kuntowijoyo, 1999:13). Pembentukan budaya dapat dipahami sebagai sebuah
proses simbolis, yaitu kegiatan manusia dalam memberikan makna yang merujuk
pada realitas pengalaman sehari-hari meliputi agama, filsafat, seni, ilmu, sejarah,
mitos, dan bahasa (Kuntowijoyo, 1999:13).
Kartodirdjo (1981:125), mengatakan bahwa hubungan antara seni budaya,
khususnya pertunjukan wayang dengan kehidupan kolektif merupakan
komunikasi estetik yang dapat mempersatukan pengalaman kolektif berbagai
kelompok. Wayang merupakan ekpresi estetik dan media komunikasi budaya di
dalam menawarkan nilai-nilai moral sebagai pedoman perilaku. Sebagai media
komunikasi budaya wayang orang dapat mempersatukan pengalaman kolektif
dan integrasi sosial dalam masyarakat Mataram,Lombok.
Rekonstruksi wayang orang itu dianggap sebagai sebuah bangunan
budaya untuk menawarkan nilai-nilai moral keagaman sebagai identitas Sasak.
Upaya mengembangkan kesenian sebagai identitas budaya akan menjadi
persoalan ideologi karena harus berhadapan dengan otoritas atau hegemoni
kekuasan yang ada dalam masyarakat Sasak di Mataram, Lombok. Hegemoni dan
otoritas yang dimotori oleh kekuatan agama Islam telah menimbulkan resistensi
dari kekuatan sosial yang tersubordinasi untuk mempertahankan budaya dan
kesenian tradisional Sasak. Rekonstruksi wayang orang sebagai media resistensi
memiliki ideologi yang besar, yaitu mengembalikan identitas Sasak melalui
pembangunan seni tradisional dan adat istiadat Sasak.
17
Usaha mengembangkan seni pertunjukan sebagai sebuah identitas akan
dibayangi oleh otoritas-otoritas tertentu yang dapat membangun ciri khas lokal
untuk membedakan diri dengan yang lain. Di Jawa seni pertunjukan sebagai
identitas dibayangi oleh otoritas istana dan keraton, pendidikan pedalangan
tradisional, otoritas para dalang yang popular, otoritas pemerintah dan para
pejabat, serta organisasi menjadi agennya (Kayam, 2001:69)
Rekonstruksi Wayang Orang Darma Kerti Dusun Batu Pandang UPTD
Taman Budaya Mataram, Lombok dibayangi oleh beberapa otoritas, seperti
otoritas tokoh-tokoh adat Sasak dan seniman, ajaran agama Islam, dan
kepentingan untuk membangun identitas lokal di Lombok. Menurut Kantun,
dengan dukungan UPTD Taman Budaya Mataram, Provinsi NTB, serta keinginan
seniman dan tokoh-tokoh adat untuk membangkitkan seni budaya lokal yang
telah tertinggal dapat diwujudkan kembali.1
Sebagai sebuah UPTD, Taman Budaya Mataram, Lombok berada di
bawah pemerintah daerah dan secara struktural merupakan perpanjangan tangan
pemerintah daerah dalam bidang seni dan budaya. Dalam hal ini seniman dan
tokoh adat merupakan kelas sosial yang berada di bawah kekuasaan pemerintah.
Oleh karena itu, keingina untuk merekonstruksi Wayang Orang Darma Kerti
Dusun Batu Pandang, bisa diwujudkan karena ada pengaruh kekuasaan formal
pemerintah daerah.
1 I Komang Kantun, merupakan informan kunci yang dapat memberikan penjelasantentang latar belakang Wayang Orang Darma Kerti, Dusun Batu Pandang, Desa Sapit, KecamatanSwela, Lombok Timur. Ia dapat menampilkan bagaimana Wayang Orang itu direkonstruksi, sertabentuk pertunjukan sebelum direkonstruksi dan hasil rekonstruksi.
18
Rekonstruksi Wayang Orang Darma Kerti Dusun Batu Pandang di
UPTD Taman Budaya Mataram disutradarai oleh Rusmadi; musik pengiringnya
ditata oleh I Komang Kantun; tata rias, tata busana, dan gerak tarinya ditata oleh
I Ketut Astika (Faturrahman, 2009:ii). Rekonstruksi Wayang Orang Darma
Kerti, Dusun Batu Pandang menggambarkan nilai-nilai kehidupan yang dapat
diamati melalaui karakter tokohnya yang berwatak baik dan buruk. Tokoh tokoh
wayang orang yang digambarkan berkarakter baik adalah Jayengrana atau Wong
Menak, Umar Maya, Umar Madi, Maktal, Tamtanus dan Selandir. Sebaliknya
yang digambarkan berkarakter buruk adalah Baktak, Prabu Nursiwan dan Prabu
Jubil (Supratno, 1996:7).
Sadarudin, seorang guru SD dan sebagai seorang dalang mengatakan
bahwa: “Wayang di Lombok menggunakan lakon yang diambil dari Serat
Menak”. Oleh karena itu Wayang Sasak sering disebut “Wayang Menak”
(Wawancara 12 November 2013). Wayang orang sebagai bagian dari tradisi
budaya wetu telu, mengandung nilai-nilai sinkritisme yang dapat menciptakan
keharmonisan bagi masyarakat Mataram yang multibudaya. Ciri khas Wayang
Orang Darma Kerti, Dusun Batu Pandang, adalah sumber ceritanya adalah Serat
Menak, lakon yang ditampilkan adalah Prabu Darma Kerti, dan nilai-nilai yang
tawarkan adalah sinkritisme antara budaya wetu telu dan ajaran agama Islam.
Berdasarkan nilai dan identitas yang dikandung oleh wayang orang, tetapi
keberadaannya kurang mendapatkan tempat dalam masayarakat Mataram
Lombok, menjadi alasan tersendiri rekonstruksi wayang orang itu diteliti.
19
1.2.Rumusan Masalah
Dari uraian di atas dapat dipahami bahwa wayang orang mengandung
nilai-nilai tradisi Sasak yang dianggap sebagai pembentuk identitas dan
karakteristik orang Sasak. Rekonstruksi wayang orang merupakan media untuk
membangkitkan nilai-nilai kesasakan yang telah lama terpinggirkan akibat
terjadinya pergulatan antara nilai-nilai tradisi dan nilai-nilai baru yang dinegosiasi
oleh ajaran agama Islam modern.
Nilai-nilai apa yang mau dibangun dalam rekonstruksi wayang orang dan
kepentingan-kepentingan apa yang melatarbelakangi rekonstruksi tersebut
merupakan fokus penelitian ini dengan judul “Rekonstruksi Wayang Orang
Darma Kerti Dusun Batu Pandang : Sebuah Pergulatan Identitas” di Mataram-
Lombok . Dalam rekonstruksi wayang orang di UPTD Taman Budaya Mataram,
Lombok dengan cerita Jayengrana Merariq, dapat diamati adanya nilai kesetiaan,
kejantanan, dan kepahlawanan. Merariq merupakan tradisi perkawinan Sasak.
Di dalamnya tercantum nilai-nilai di atas sehingga ada sifat kepahlawanan,
kesetiaan, kejujuran, dan kejantanan dalam merariq di Lombok. Kondisi itu
ternyata ingin didorong sebagai nilai lokal untuk menjadi identitas Sasak dan bisa
disebarluaskan dan dipahami oleh masyarakat melalui media pertunjukan wayang
orang.
Pergulatan itu berimplikasi pada terpinggirkannya seni pertunjukan
wayang orang termasuk Wayang Orang Darma Kerti Dusun Batu Pandang
karena dianggap sebagai produk tradisi yang bertentangan dengan ajaran agama
Islam. Adanya rekonstruksi Wayang Orang Darma Kerti Dusun Batu Pandang
20
merupakan fenomena kesenian dan juga sebagai salah satu bentuk perlawanan
(resistensi) terhadap kondisi sosial yang dihegemoni oleh agama Islam dengan
orientasi pada budaya Arab.
Rekonstruksi Wayang Orang Darma Kerti Dusun Batu Pandang,
Lombok Timur dapat dianggap sebagai kekuatan lokal, nilai-nilai lokal, dan
kearifan lokal (lokalitas) yang berhadapan dengan penyatuan budaya atau
homogenitas budaya (universalitas). Pergulatan nilai lokal dengan nilai-nilai
global telah memicu permasalahan untuk menjadi objek kajian dalam penelitian
ini. Permasalahan yang dikaji dalam penelitian dapat dirumuskan sebagai
berikut:
1. Ideologi apakah yang ada di balik rekonstruksi Wayang Orang Darma
Kerti Dusun Batu Pandang ?
2. Bagaimanakah proses rekonstruksi Wayang Orang Darma Kerti
Dusun Batu Pandang itu dilakukan?
3. Apakah implikasi rekonstruksi Wayang Orang Darma Kerti Dusun
Batu Pandang itu bagi masyarakat Mataram, Lombok ?
Untuk menjawab permasalahan di atas maka penelitian ini menggali nilai-
nilai yang ada dalam pertunjukan Wayang Orang Darma Kerti Dusun Batu
Pandang yang dibangkitkan oleh para seniman dan budayawan di Mataram,
Lombok. Penelitian ini juga menggali kondisi sosial budaya dan perkembangan
nilai-nilai agama yang sedang bergulat di Mataram, Lombok. Sejauhmana
rekonstruksi Wayang Orang Darma Kerti Dusun Batu Pandang itu berimplikasi
21
pada pengembangan Sasak sebagai wilayah budaya yang memiliki keragaman
budaya.
Bagaimana keragaman budaya yang bersumber dari tradisi dapat
diekspresikan melalui berbagai bentuk kesenian. Wayang Orang Darma Kerti
Dusun Batu Pandang merupakan salah satu di antara berbagai jenis dan bentuk
kesenian tradisional dapat mengekpresikan nilai-nilai agama dan nilai nilai adat
sebagai satu kesatuan yang harmonis.
1.3. Tujuan Penelitian
Penelitian ini mempunyai tujuan untuk mengetahui latar belakang dan
alasan dilakukannya rekonstruksi Wayang Orang Darma Kerti Dusun Batu
Pandang, Lombok Timur di UPTD Taman Budaya Mataram, Provinsi NTB.
Rekonstruksi Wayang Orang Darma Kerti Dusun Batu Pandang itu merupakan
wujud dari keinginan seniman dan budayawan Sasak untuk menampilkan seni
budaya Sasak sebagai identitas. Kesenian tradisional dianggap sebagai sumber
kearifan lokal yang dapat mencegah pengaruh globalisasi yang mengarah pada
hegemoni kultural.
Pro dan kontra terhadap keberadaan seni tradisional merupakan
pergulatan kelompok yang memiliki fanatisme terhadap ajaran agama dan
budaya Islam modern dengan kelompok yang ingin mempertahankan adat dan
budaya Sasak tradisional. Pergulatan ini tidak semata-mata karena kepentingan
agama, tetapi pergulatan untuk membangun identitas karena yang bergulat dalam
22
hal ini adalah mereka yang sama-sama beragama Islam, tetapi aliran dan
kepentinganya dalam membangun budaya Sasak di Lombok berbeda.
Dari segi agama, sesungguhnya identitas mereka adalah sama yaitu sama-
sama beragama Islam dan berpegang pada Alquran, tetapi dari segi budaya
mereka mempunyai kepentingan yang berbeda karena simbol budaya agama
Islam adalah budaya Arab. Perbedaan dalam membangun budaya inilah yang
sering mengarah pada pergulatan yang dapat disebut dengan pergulatan identitas.
Dikatakan demikian karena pergulatan di antara mereka yang beragama Islam
adalah pergulatan dalam pemanfaatan simbol-simbol agama.
Pergulatan tersebut berdampak pada pergulatan berbagai macam identitas
yang ada di Lombok, yaitu mulai dari identitas pribadi, identitas kelompok,
identitas etnis, identitas budaya sampai pada agama. Pergulatan yang sangat
kompleks ini telah mencerminkan Pulau Lombok sebagai wilayah budaya yang
penuh dengan konflik. Untuk memahami pergulatan identitas dan munculnya
kegiatan rekonstruksi wayang orang Sasak, maka tujuan penelitian ini dapat
dibedakan menjadi tujuan umum dan tujuan khusus.
1.3.1. Tujuan Umum
Secara umum penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hasil rekonstruksi
Wayang Orang Darma Kerti Dusun Batu Pandang, baik dari segi cerita yang
digunakan, tokoh-tokoh yang ditampilkan, merupakan nilai-nilai yang ingin
direpresentasikan. Penelitian ini juga ingin mengetahui harapan-harapan
masyarakat Sasak terhadap kebangkitan kesenian tradisional sebagai identitas
23
Sasak. Orientasi masyarakat Sasak untuk berkesenian didorong oleh keinginan
untuk mempertahankan identitas, ternyata mendapatkan hambatan-hambatan dari
firkoh-firkoh baru di Mataram, Lombok.
Selanjutnya penelitian ini ingin menemukan nilai-nilai yang ditampilkan
dalam rekonstruksi Wayang Orang Darma Kerti Dusun Batu Pandang sebagai
sebuah sinkritisme antara nilai kearifan lokal yaitu tradisi wetu telu dengan nilai
agama Islam yang berkembang di Lombok. Tradisi wetu telu merupakan kearifan
lokal yang telah diwarisi secara turun temurun dan membentuk prilaku orang
Sasak dalam kehidupan sehari-hari. Penelitian ini juga ingin mengetahui
rekonstruksi Wayang Orang Darma Kerti Dusun Batu Pandang merupakan
salah satu bentuk resistensi untuk membangun kesenian tradisional sehingga
tidak ada lagi seni tradisional sebagai produk budaya Sasak yang terpinggirkan.
Melalui penelitian ini akan dapat dipahami adanya kepentingan ideologi
tertentu di balik rekonstruksi Wayang Orang Darma Kerti Dusun Batu Pandang
itu dalam menumbuhkan dan mengembangkan kesenian tradisional Sasak. Pada
akhirnya penelitian ini bertujuan untuk mewujudkan sebuah disertasi dalam
rangka memenuhi tugas-tugas akademik sebagai mahasiswa Program S3 Kajian
Budaya Universitas Udayana.
1.3.2. Tujuan Khusus
Secara khusus penelitian ini bertujuan untuk mengetahui ideologi yang
ada di balik rekonstruksi Wayang Orang Darma Kerti, Dusun Batu Pandang itu
di UPTD Taman Budaya Mataram, Lombok. Tujuan penelitian ini juga terkait
24
dengan latar belakang munculnya wayang orang di Lombok, dan dipilihnya
Wayang Orang Darma Kerti Dusun Batu Pandang untuk direkonstruksi. Untuk
mengetahui ideologi di balik rekonstruksi tersebut, maka penelitian ini juga ingin
mengetahuai gambaran sejarah tentang perkembangan agama dan budaya Sasak
yang telah menjadi tradisi Sasak.
Penelitian ini juga bertujuan untuk mengetahui proses rekonstruksi
Wayang Orang Darma Kerti Dusun Batu Pandang, mulai dari dipilihnya
Wayang Orang Darma Kerti itu sampai pada implemetsinya sebagai sebuah
seni pertunjukan. Disamping untuk mengetahuai ideologi dan proses rekonstruksi
itu maka penelitian ini juga ingin mengetahuai kebutuhan masyarakat Lombok
terhadap identitas Sasak sebagai ciri khas masyarakat Lombok di dalam wilayah
budaya Indonesia. Salah satu penciri identitas Sasak adalah seni pertunjukan
wayang orang yang ceritanya bersumber dari Serat Menak. Penelitian ini juga
bertujuan untuk menggali nilai-nilai dalam seni pertunjukan Wayang Orang
Darma Kerti Dusun Batu Pandang, yang bermakna untuk mewujudkan identias
Sasak.
Di samping itu penelitian ini juga ingin mengetahui implikasi
rekonstruksi Wayang Orang Darma Kerti Dusun Batu Pandang terhadap
masyarakat Sasak. Rekonstruksi wayang orang itu dapat menyadarkan
pemerintah dan masyarakat tentang pentingnya seni tradisional sebagai sumber
kreativitas dalam membangun kesejahteraan masyarakat Sasak.
25
1.4. Manfaat Penelitian.
Hasil penelitian ini diharapkan bermanfaat bagi masyarakat Lombok untuk
memperkaya khazanah budaya Sasak dalam bentuk bangkitnya jenis-jenis
kesenian tradisional yang telah lama ditinggalkan. Melalui rekonstruksi wayang
orang itu dapat dikenali dan dihayati nilai-nilai lokal secara lebih replektif.
Penyeragaman budaya dan konsumerisme yang diciptakan oleh paham
universalisme dapat mengguncang budaya lokal, bahkan menggilas nilai-nilai
tradisi. Penelitian ini bermanfaat untuk mengkritisi fenomena penyeragaman
budaya melalui ajaran agama Islam yang menolak keberadaan budaya tradisional.
Dari hasil penelitian ini dapat dilihat bahwa, guncangan terhadap budaya
lokal telah memancing bangkitnya kesadaran lokal untuk membangun identitas
lokal yang mengarah pada gerakan untuk melawan produk budaya yang mengarah
pada homogenitas. Penelitian ini dapat digunakan sebagai pijakan untuk
memahami pentingnya identitas lokal di tengah-tengah guncangan penyeragaman
budaya melalui doktrin-doktrin agama Islam
Konsep penyeragaman menjadi sumber kekhawatiran seniman dan
budayawan Sasak tentang lenyapnya tradisi dan seni budaya Sasak. Gerakan lokal
untuk menumbuhkan identitas lokal telah memicu gerakan kesenian di Lombok
dan mendorong muncul seni Ale-Ale yang tampilannya menunjukkan protes
terhadap fanatisme Islam yang dimotori oleh firkoh-firkoh Islam yang baru.
Dominasi kekuatan-kekuatan Islam melalui firkoh-firkoh baru itu menolak adat
dan seni budaya tradisional yang dianggap mudah menerima budaya global yang
disajikan lewat pariwisata.
26
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat pada pentingnya nilai
tradisi yang dipancarkan melalui rekonstruksi wayang orang sebagai kearifan
lokal untuk membentengi masyarakat dari tekanan global. Penelitian ini juga
diharapkan dapat meningkatkan pemahaman terhadap konsep multikulturalisme
untuk membangun kebersamaan dan kedamainan antaretnis di Mataram,
Lombok.
Pada akhirnya penelitian ini diharapkan dapat menumbuhkan kesadaran
lokal dalam membangun identitas Lombok sebagai wilayah yang dikenal penuh
dengan konflik. Dengan demikian, penelitian ini bemanfaat, baik secara teoretis
maupun secara praktis. Secara teoretis penelitian ini dapat memberikan
sumbangan pemikiran mengenai konsep-konsep estetik dan nilai-nilai moral
yang terdapat pada rekonstruksi wayang orang. Rekonstruksi wayang orang
merupakan refleksi terhadap kehidupan sosial yang dapat dijadikan cermin dalam
mengahadapi dinamika pembaruan, konflik, dan integrasi.
Secara praktis, penelitian ini diharapkan mampu menangkal nilai-nilai
global yang berpotensi untuk menghancurkan identitas masyarakat Lombok yang
bersumber dari nilai-nilai lokal seperti seni pertunjukan wayang termasuk wayang
orang. Agama Islam yang menjadi payung sebagian besar etnik di Lombok
sering dijadikan acuan untuk menentukan identitas Lombok sehingga nilai-nilai
adat Sasak sering dipinggirkan. Dengan demikian, maka hasil penelitian ini
diharapkan dapat memberikan penyadaran pada orang Sasak tentang pentingnya
kesatuan adat dan agama Islam dalam mewujudkan identitas.
27
Artinya rekonstruksi Wayang Orang dapat dianggap sebagai alternatif
yang dapat mengakomodasi nilai-nilai Islam, baik Islam modern maupun Islam
tradisi dengan nilai-nilai Sasak yang bersumber pada budaya wetu telu.