REINVENTING LOCAL GOVERNMENT UNTUK MEMBERDAYAKAN
BIROKRASI PEMERINTAH DAERAH
DR. Ir. Fadel Muhammad Gubernur Gorontalo
2
Pengantar
Governance dalam manajemen publik menjadi semakin penting dan menjadi
prasyarat agar pelayanan kepada warganegara menjadi lebih berkualitas. Sektor publik
harus berupaya bagaimana melakukan zero defect dalam penyelenggaraan pemerintahan
seperti halnya yang dilakukan oleh organisasi swasta dalam menyediakan layanan publik.
Birokrasi yang kerap dicap lamban dan kaku perlu diberdayakan (energizing) karena saat
ini hampir semua negara berlomba meningkatkan kualitas dalam menyelenggarakan
pelayanan publik.
Kemajuan di sektor swasta telah menginspirasi sektor publik untuk menerapkan
teknik-teknik yang dipakai di sektor swasta melalui gerakan NPM agar birokrasi sektor
publik lebih bertenaga. Ada dua dua isu penting dalam energizing bureaucracy yaitu
membangkitkan kapabilitas dinamik organisasi melalui penciptaan ideoologi kerja dan
membangun manajemen kolaboratif untuk memanfaatkan networking. Tulisan ini juga
dilengkapi dengan pengalaman Gorontalo membangun kapabilitas dinamik dan
manajemen kolaboratif untuk percepatan pembangunan.
Mengapa energizing bureaucracy?
Hasil penelitian PPSK Bank Indonesia dan LP3E Universitas Padjadjaran tentang
profeil dan pemetaan daya saing ekonomi daerah di Indonesia dengan menggunakan
indikator input yang mencakup perekonomian daerah, SDM, lingkungan usaha produktif,
infrastruktur dan SDA & lingkungan, dan perbankan & lembaga keuangan. Sedangkan
output mencakup productivitas tenaga verja, PDRB per kapita, dan tingkat desempatan
verja menghasilkan temuan yang perlu kita kritisi. Ternyata dari sekitar 434
kabupaten/kota yang memiliki keunggulan input dan output yang melampaui rata-rata
nasional hanya 33 kabupaten/kota atau 7,6%. Sebaliknya daerah yang memiliki
keunggulan input dan output dibawah rata-rata nasional mencapai 155 buah atau 35,71%
dan yang lebih parah lagi ada sebanyak 62 daeah yang benar-benar tidak memiliki daya
saing (14,32%). Ini adalah potret buram implementasi otonomi daerah (Bank Indonesia
& FE Untad, 2008)..
3
Pada dasa warsa sekarang ini hampir semua negara saling berlomba berusaha
meningkatkan kualitas, efesiensi, dan ketanggapan pelayanan publik. Gerakan ini sudah
dimulai sejak dasa warsa tujuh puluhan, yang sangat fenomenal dengan gerakan reduksi
red tape. Gerakan terus berlanjut, pada dasa warsa 80an meluas ke ranah down sizing,
perluasan partisipasi voluntary non profit sector, dan dicangkokkannya teknik-teknik
yang diajarkan di sekolah bisnis ke dalam sektor publik yang kemudian dikenal sebagai
New Public Management (Hood 1998). Pada tahun 1990an temanya berganti menjadi
reinventing government yang mengedepankan ‘works better and costs less’ (Osborne and
Gaebler 1992).
Isu mendasar dari gerakan energizing bureaucracy adalah upaya untuk
meningkatkan efisiensi dan efektivitas organisasi sektor publik. Seberapa jauh
pemerintah mampu merekrut, menahan, dan menghargai para pekerja yang well-
motivated dan memiliki komitmen tinggi untuk mencapai tujuan organisasi.
Robert Behn ( 1995: 319) mengidentifikasikan ada tiga pertanyaan besar yang
harus dijawab oleh para sarjana administrasi publik berkaitan dengan energizing
bureaucracy. Pertama, bagaimana para manajer publik dapat memotivasi pegawai negeri
sipil dan juga warganegara untuk melaksanakan proses publik dengan kecerdasan dan
energi; Kedua, bagaimana mendapatkan orang yang tepat dalam pekerjaan,
memberdayakan mereka agar bekerja secara efektif untuk mencapai tujuan organisasi.
Dan, ketiga, bagaimana menghargai mereka atas kinerjanya yang baik. Jawaban atas tiga
pertanyaan ini sebenarnya mewujud ke dalam energizing bureaucracy. Ini dimulai
dengan civil service reform.
Civil service reform dilaksanakan secara berkesinambungan dan jangka panjang
dan lebih menekankan pada perubahan mindset dari mindset biroktratik menuju mindset
entrepreneurial. Ketimbang pada reorganisasi struktural atau solusi teknokratik. Usaha
membangun sektor publik yang efektif tidak mungkin akan berhasil jika tidak mampu
keluar dari belenggu seterotipe birokrat.
Birokrat ditipologikan sebagai orang yang mengejar protected job security,
mendapatkan bayaran bulanan yang teratur dan pensiun yang nyaman ketimbang manusia
berdedikasi yang menghadirkan public goods berkualitas. Memiliki etos bekerja sangat
hati-hati, membuta pada peraturan, risk averse, hanya bekerja di belakang meja, dan tidak
4
menyukai tantangan. Etos ini harus diubah dengan mencitrakan birokrat dan pegawai
negeri sipil adalah sebagai innovator yang agresif, kreatif, dan memiliki wawasan yang
beragam, serta mampu memecahkan masalah secara imajinatif.
Energizing bureaucracy kuncinya sebenarnya pada pengembangan kapasitas
manajemen organisasi. Ingraham dan koleganya (Ingraham and Kneedler 2000;
Ingraham, Joyce and Donahue 2003) menggunakan kapasitas manajemen sebagai kunci
penjelas terhadap kinerja. Dalam konteks pemerintah, Pandey, Coursey, dan Moynihan
(2004) berteori bahwa kinerja pemerintah adalah fungsi dari kejelasan tujuan, kapasitas
manajemen dan development culture. Dengan adanya birokrat yang enerjik diharapkan
pengelolaan input dan pemrosesannya akan menghasilkan output dan outcome yang
mampu menjawab tantangan organissi. Kapasitas manajemen dalam konsep Ingraham
dan koleganya menggambarkan kemampuan birokrasi mengelola ketiga bidang yaitu
keuangan, sumberdaya manusia dan informasi
Pengembangan kapasitas manajemen seperti apa yang mampu menghasilkan
birokrasi yang berdaya (energizing bureaucracy)? Menurut hemat saya berdasarkan dari
pengalaman dan teori, untuk kasus di pemerintah daerah adalah pengembangan kapasitas
manajemen kewirausahaan. Manajemen yang dilandasi oleh ”enterprise culture”
(Thompson dan Riccucci, 1998), atau yang dilandasi oleh karakter ”risk culture”
(Bozeman and Kingsley, 1998). Ini terkait erat dengan kecenderungan semakin
menurunnya kepercayaan publik kepada pemerintah. Tulisan Joseph S. Nye , Jr (1997)
yang berjudul In Government We Don’t Trust menyatakan bahwa warganegara tidak
percaya kepada pemerintah karena kinerjanya yang buruk. Beberapa faktor yang
menyebabkan erosi kepercayaan terhadap pemerintah antara lain: 1) kemerosotan
ekonomi; 2) buruknya kinerja pemimpin, dan 3) tumbuhnya korupsi.
Energizing bureaucracy melalui reinventing government dan reengineering
government kadang-kadang tidak sampai pada sasaran inti yaitu tidak berhasil membuat
“ikatan kimia” antara pemerintah dengan warganegara. Pemerintah tidak memahami
bahwa warganegara ingin terlibat secara langsung dalam proses pemerintahan. Oleh
karena itu harus ada perubahan paradigma dalam penyelenggaraan pemerintahan.
Tantangan yang dihadapi oleh para penyelenggara pemerintahan adalah
menemukan jalan yang menghubungkan warganegara dengan public sector decision
5
seperti membangun kembali tingkat kepercayan (level of trust) dan memperkuat social
capital. Langkah pertama adalah mengubah paradigma sistem politik dari sistem politik
yang memisah-misahkan kekuasaan, peran, tanggungjawab dan kewajiban menuju ke
terintegrasinya warganegara ke dalam semua aspek governance. Paradigma tradisional
hanya memberikan saluran kepada warganegara untuk berhubungan dengan pemerintah
melalui politik pemilihan umum, public opinion polls, survai kepuasan pelanggan, public
hearing, kegiatan kelompok yang terorganisir, dan kontak individual. Konsultasi dalam
paradigma tradisional pada umumnya pasif dan episodic.
Dalam paradigma alternative, warganegara harus memainkan peran yang
signifikan dalam merumuskan visi strategic. Untuk contoh misalnya dalam pelibatan
warga pada level komunitas ke dalam berbagai kegiatan mulai dari pembuatan rencana
stratejik dan penetapan visi tentang bagaimana seharusnya pembangunan ekonomi,
pendidikan, dan kesehatan dilaksanakan, bagaimana tata guna tanah dan tempat rekreasi
diatur. Administrator, elected official, dan pimpinan komunitas mendapati bahwa
partaisipasi warga komunitas yang terlembaga dalam proses perumusan kebijakan
menghasilkan warga yang lebih well informed dan partisipatif (Berry, Portney, and
Thompson, 1993). Ini semua akan mudah diwujudkan jika pemerintah daerah mampu
mengembangkan kapabilitas dinamik organisasi dan collaborative management.
Membangkitkan Kapabilitas Dinamik
Kapabilitas dinakmik adalah sekumpulan kegiatan yang teratur yang dilakukan
sehari-hari yang memungkinkan organisasi mampu merespon terhadap perubahan
lingkungan melalui value-creating strategies (strategi penciptaan nilai) (Eisenhardt &
Martin, 2000; Winter, 2002). Kapabilitas dinamik ini sangat disadari dan diinginkan oleh
semua ogranisasi, sayangnya mereka yang berada di dalam organisasi tidak memahami
dengan baik, mereka beranggapan bahwa kapabilitas dinamik ini semata-mata dibangun
hanya dari sisi human capital resources dan proses penciptaannya sangat rumit. (Hall,
1993;Boxall & Steeneve ld, 1999; Boxall, 1998).
Untuk melengkapi kemampuan birokrasi agar bisa merespon perubahan
lingkungan perlu menginjeksikan kemampuan bersaing dan memfasilitasi organisasi agar
mampu melakukan proses pengembangan kapabilitas dinamik maka perlu dilakukan
6
sejumlah tindakan yang berkaitan dengan pengembangan kapabilias dinamik birokrasi.
Agenda untuk membangkitkan kapabilitas dinamik organisasi menyentuh tiga ranah
yaitu: 1) bagaimana membangun teamwork; 2)membentuk budaya organisasi, dan 3)
kebijakan manajemen sumber daya manusia. Ironisnya di sektor publik belum
berkembang pemahaman bahwa human capital berkontribusi bagi pembentukan
kapabilitas dinamik sektor publik.
Kapabilitas manajemen sumber daya manusia (SDM) adalah kemampuan yang
dibutuhkan untuk mengembangkan SDM organisasi untuk mendukung kebutuhan
bisnisnis dan menanggapi lingkungan persaingan. (Huselid, Jackson & Schuler, 1997).
Kapabilitas manajemen SDM ini menjadi tulang punggung bagi pelaksanaan strategi
organisasi (Becker, Huselid & Ulrich, 2001). Sebagai contoh kegiatan organisasional
yang mendukung pengembangan kapabilitas manajemen SDM diantaranya adalah yang
berkaitan dengan kegitan membangun teamwork, training, sistem komunikasi, dan
praktek-praktek perekrutan SDM.
Melalui kapabilitas manajemen SDM, organisasi dapat mentransformasikan input
dari para pekerja menjadi produk dan jasa yang memiliki nilai tambah, seperti pelayanan
yang lebih cepat dan berkualitas, barang-barang publik yang bermutu dan mudah diakses.
Melalui kapabilitas manajemen SDM yang ada dalam organisasi tidak hanya dibangun
kompetensi teknikal tapi juga dikembangkan kemampuan berkomunikasi baik di dalam
maupun di luar organisasi yang mampu membangkitkan empati, lebih perhatian dan
profesional. Salah satu inti penting dari kapabilitas manajemen SDM adalah membangun
ideologi kerja (work ideology). Ideologi kerja adalah seperangkat nilai-nilai dan
keyakinan yang mengikat individu terhadap pekerjaanya. Keyakinan ini menentukan
bagaimana individu seharusnya berinteraksi dalam organisasi. Ideologi kerja
membangkitkan perasaan bahwa mereka memiliki nilai-nilai dan kemampuan yang khas
(Van Maanen & Barley, 1984). Ini penting untuk membangun rasa bangga terhadap tugas
dan fungsi individu dalam organisasi.
Dari perspektif budaya organisasi, ideologi kerja dapat dipandang sebagai nilai
utama kelompok, dan tipe tertentu dari ideologi kerja dapat menjadi instrumen yang
menjadikan organisasi menjadi lebih efektif dalam membangun kapabilitas dinamiknya
(Trice & Beyer, 1993; Barney, 1986; Cameron & Quinn, 1998). Budaya organisasi yang
7
humanistis yang ditunjukkan terhadap apresiasi yang tinggi pada well-being, growth, dan
development akan mendorong pekerja untuk menghargai kerjasama. Penelitian yang
dilakukan oleh Kotter dan Hesket (1992) menunjukkan bahwa pekerja yang menganut
budaya kerja humanistik dilaporkan memiliki kepuasan kerja dan loyalitas yang tinggi
terhadap organisasi. Budaya ini memotivasi dan me-encourage pekerja untuk proaktif
terlibat dalam membantu organisasi beradaptasi untuk berubah dalam lingkungan yang
kompetitif melalui pemecahan masalah dan inisiatif bisnis (Rousseau, 1990). Hubungan
yang konstruktif antar sesama pekerja dan terbentuknya motivasi kerja merupakan hasil
dari employee-centered culture yang bertransormasi ke dalam entusiasme pekerja untuk
memberikan pelayanan pelanggan yang bermutu tinggi (Schneider & Bowen, 1995;
Goffee & Jones, 1996; Gittell, 2002).
Pandanngan yang tidak jauh berbeda juga disampaikan oleh para penganut
resource-based view, mereka berpandangan bahwa ideologi kerja memiliki potensi untuk
membangkitkan kapabilitas dinamik (Barney, 1986). Seperti halnya budaya organsisasi,
para penganut resource based view menyatakan bahwa kapabilitas organisasi adalah
suatu konsekuensi dari bekerjanya nilai-nilai kerja keras yang menentukan bagaimana
menjalankan bisnis (Itami & Roehl, 1987). Sejumlah nilai yang dianut suatu organisasi
membentuk ideologi kerja yang kemudian memunculkan kapabilitas organisasional dan
akhirnya membentuk keunggulan bersaing. Ada tiga persyaratan yang harus dipenuhi.
Pertama, ideologi kerja harus menciptakan nilai ekonomi dengan cara mendorong agar
organisasi mampu menghasilkan produk unggul dengan biaya yang lebih rendah. Kedua,
ideologi kerja harus memiliki sifat dan ciri yang unik yang sulit untuk ditiru oleh
pesaing. Dan ketiga, ideologi kerja harus sulit ditiru oleh pihak lain karena sifat tacitness-
nya, merupakan warisan nilai yang terus menerus ditafsirkan ulang sesuai dengan
perkembangan jaman, atau karena adanya personal relationship (Hall, 1992). Ideologi
kerja yang umum, tidak memiliki keunikan, dan mudah ditiru dalam suatu industri
hanya akan menghasilkan kemampuan daya saing yang tidak berbeda dengan sesama
industri tersebut.
Meski disadari bahwa ideologi kerja penting peranannya dalam suatu organisasi
untuk membangkitkan daya saing namun sulit untuk membuat dan memelihara ideologi
kerja yang bersifat value creating dan unik. Penghambatnya adalah birokrasi yang kaku
8
dan lingkungan persaingan yang agresif. Meskipun sulit tapi di sektor publik harus mulai
dikembangkan ideologi kerja yang sadar terhadap pentingnya memberikan pelayanan
yang bermutu kepada pelanggan dan, responsif terhadap perubahan lingkungan, dan
visioner.
Pandangan di atas adalah untuk organisasi swasta namun demikian dapat
dijadikan inspirasi bagi pengembangan organisasi publik, terutama dalam melakukan
energizing bureaucracy agar aparatur pemerintah lebih gesit, lebih empati, dan lebih
professional dalam menyediakan barang dan jasa publik untuk warganegara. Mengingat
rentang barang dan jasa publik yang sangat luas dan abstrak seperti keadilan, rasa aman,
iklim usaha yang nyaman, pelayanan yang cepat dan lain- lain maka energizing
bureaucracy juga melibatkan upaya pengembangan kapasitas manajemen yang focus
pada pembentukan kemampuan menjalankan collaborative management di jajaran
birokrasi.
Pengembangan Kapasitas Manajemen yang focus pada Collaborative Management
Donald Kettl (2002) berpandangan bahwa tantangan mendasar yang dihadapi
oleh birokrasi [Amerika] adalah yang berkenaan dengan kapasitas – yaitu
mengembangkan sistem dan manusia yang mampu untuk mengintegrasikan kolaborasi
baru (new collaboratives), dengan membangun sistem horizontal, untuk mengurangi
dominasi sistem tradisional yang vertical, sistem fungsional dan terspesialisasi yang terus
menerus mendominasi birokrasi. Agranoff dan McGuire (2003), Box (1998), dan lain-
lain sependapat bahwa pemerintah harus memadukan kapasitas yang dimilikinya dengan
kapasitas pihak lain seperti warganegara dan berbagai aktor non pemerintah agar menjadi
efektif dalam memecahkan masalah publik yang rumit yang yang sudah berlangsung
lama.
Kapasitas pemecahan masalah dan implementasi kebijakan berhubungan secara
langsung dengan penciptaaan institusi atau mekanisme yang menciptakaan kerjasama
dalam konteks membangun rasa kebersediaan mereka yang berpartisipasi dalam proses
pelaksanaan. Pandangan dari sudut yang berbeda dikemukakan oleh James Scott (1998)
and Robert Putnam (2000). Scott menunjukkan temuannya bahwa pembuatan keputusan
publik cenderung kehilangan input dari warganegara yang juga disertai dengan
9
kehilangan manfaat lokal, sedangkan Putnam berpandangan bahwa kapasitas komunitas
atau masyarakat untuk mewujudkan effective governance secara langsung berkorelasi
dengan kekuatan pemerintah dan masyarakat untuk membangun konektivitas horizontal
yang berkaitan dengan pembentukan social capital.
Jika kapasitas kolaboratif adalah kunci keberhasilan bagi pemecahan masalah
dalam jangka panjang maka harus dikenali persyaratan dasar bagi proses kolaboratif, atau
bagaimana mengelola proses tersebut menjadi berhasil. Bardach (2001) menunjukkan
tentang pentingnya mengembangkan managerial craftsmen untuk membangun
collaborative capacity, sedangkan Miller (1992) dan Weber (1998) mengisyaratkan
perlunya entrepreneurial leader yang mampu membangun dan memelihara trust dan
meyakinkan partisipan bahwa mereka dapat memperoleh lebih mela lui kolaborasi
ketimbang melakukanya sendirian. Khademian dan Weber (2003) mengeksplorasi
praktek-praktek yang berkaitan keberhasilan membangun kapasitas kolaboratif dari para
manajer. Donahue, Selden, dan Ingraham (2000) melakukan studi yang lebih dipersempit
pada kapasitas komponen vertical dengan menerapkan model konseptual yang didukung
oleh criteria yang berbasis kerangka evalusi untuk menaksir dan membandingkan
kapasitas sistem manajemen sumberdaya sejumlah pemerintah kota. Bardach
mengajukan tentang perlunya mendeskripsikan proses pengembangan untuk membangun
kapasitas kolaborasi antar organisasi. Ini semua masih merupakan studi yang bersifat
parsial dan segmented
Bagaimana membangun model baru untuk government delivery services melalui
manajemen kolaboratif? Ini adalah pertanyaan yang menggugah dan sangat relevan
dengan situasi penyelenggaraa pemerintahan di daerah saat ini. Semenjak
diberlakukannya kebijakan desentralisasi di bidang urusan penyelenggaraan
pemerintahan, semua daerah menikmati otonomi yang tinggi. Namun otonomi itu belum
ditransformasikan menjadi wahana untuk membangun kinerja dan membangun jejaring
sehingga akan memberikan mutual benefit bagi pemerintah daerah yang melakukannya.
Kondisi ini yang kerap membuat khawatir para ilmuwan administrasi publik. Salah
satunya adalah kecurigaan terhadap kinerja birokrasi, birokrasi harus diberdayakan
(energizing bureaucracy) agar memiliki power untuk menjawab tantangan dalam
penyelenggaraan pemerintahan.
10
Untuk kasus Indonesia yang sangat kompleks. Permasalahan yang menjadi
keprihatinan kita semua adalah masih belum diselesaikannya sejumlah agenda yang perlu
ditangani melalui manajemen kolaboratif. Seperti misalnya : (1) masalah perbatasan,
daerah perbatasan dan wilayah terluar dari NKRI; (2) pemanfaatan dan pengelolaan
resources lintas daerah; (3) masalah-masalah lingkungan, transportasi, dan tata guna
wilayah khususnya di wilayah yang sangat cepat berkembang seperti di kawsasan Jakarta,
Bogor, Tangerang, Puncak dan Cianjur ; (4) masalah tata ruang regional dan moda
pengembangan sistem transportasi di luar Jawa.
Hasil penelitian disertasi saya ternyata tidak jauh berbeda dengan pandangan yang
dikemukakan para pakar administrasi publik yang berkenaan dengan kualitas manajer
maupun sistem manajemen. Responden mayoritas birokrat memberikan penilaian bahwa
kapasitas kolaboratif mendapat perhatian paling tinggi ini ditunjukkan dengan pencapaian
nilai tertinggi untuk kemampuan hubungan eksternal, disusul kemampuan pengelolaan
risiko, dan kemampuan pemecahan masalah.
17.1 16.515.4
13.711.1 10.3 10.3 10.3 9.4
02468
1012141618
Hubun
gan E
kstern
al
Kelola
Risiko
Proble
m solvin
g
Plann
ing &
Budg
eting
Motivatin
g
Coordin
ating
Directing
Organiz
ing
Monitor
ing &
Evalu
ating
n = 117Sumber:Data Primer Kuesioner Disertasi FM 2007
Penilaian terhadap Kualitas Manajer/Pimpinandi lingkungan Pem Prov Gorontalo
Sedangkan yang berkaitan dengan sistem yang mendapat perhatian terbesar adalah pada
akuntabilitas, transparansi, partisipatif, dan apresiasi terhadap inovasi. Tanpa disadari dan
tanpa didesain di Gorontalo telah berhasil dikembangkan embrio bagi terbentuknya
manajemen kolaboratif.
11
18.4 18.115.93 15.45
10.3 10.3 10.38.3
5.3
02468
101214161820
Akunt
abilitas
Transp
aransi
Partis
ipatif
Apres
iasi In
ovasi
Basis
Kompet
ensi
Pengu
rangan
red tap
eTe
robosa
n
Fleksi
bilitas
Sistem
insen
tif
n = 117Sumber:Data Primer Kuesioner Disertasi FM 2007
Penilaian terhadap Sistem Manajemen di lingkungan Pem Prov Gorontalo
Manajemen kolaboratif yang mampu memberdayakan birokrasi masih kurang
mendapat perhatian yang memadai karena tidak ada visi yang jelas dan juga karena
hambatan peraturan pelaksanaan yang bersifat teknis. Padahal manajemen kolaboratif
mampu menjadikan birokrasi berkinerja lebih baik dan institusi yang menjalankannya
mendapat benefit diantaranya:
1. dapat di dibentuk kekuatan yang lebih besar sehingga memiliki kemampuan yang
lebih besar pula dalam mengatasi permasalahan yang kompleks.
2. dapat dicapai kemajuan yang lebih tinggi karena adanya pertukaran informasi,
pengetahuan, dan technical know-how.
3. kolaborasi menjadikan lebih berdaya
4. dapat mereduksi dan mencegah konflik
5. kolaborasi mampu menumbuhkan rasa keadilan dan saling percaya
6. kolaborasi mendorong upaya keberlanjutan pemecahanan masalah secara bersama.
7. kolaborasi mampu mengikis ego daerah dan sektoral (Keban, 2007).
Kapasitas manajemen baru yang perlu dimiliki oleh jajaran birokrasi agar lebih
berdaya adalah yang berkenaan dengan kemampuan membangun jejaring (networking).
Para ahli dan praktisi telah menyadari bahwa jejaring merupakan aspek penting dari
multi-organizational governance. Manfaat dari koordinasi jejaring bagi sector publik
12
maupun privat adalah meningkatkan kapasitas belajar, mendorong terjadinya efesiensi
penggunaan sumber-sumber, dan meningkatkan kapasitas perencanaan dan implementasi
untuk mengatasi masalah yang rumit, meningkatkan daya saing, dan memberikan
pelayanan yang lebih baik kepada klien dan pelanggan. (lihat Alter and Hage, 1993;
Brass et al., 2004; Huxham and Vangen, 2005).
Gerakan untuk melakukan energizing birokrasi sebenarnya adalah wujud
kekhawatiran karena besarnya tantangan yang dihadapi oleh sektor pemerintah dimana
sektor publik harus mampu mewujudkan governance. Governance dalam manajemen
publik merujuk pada bagaimana melakukan zero defect dalam penyelenggaraan
pemerintahan seperti halnya yang dilakukan oleh organisasi swasta dalam menyediakan
layanan publik (Hill and Lynn, 2005). Peran penting governance sejalan dengan
principal-agent theory adalah untuk memonitor dan mengontrol perilaku manajemen,
mereka yang dipekerjakan untuk melaksanakan kegiatan sehari-hari dari suatu organisasi
(Fama and Jensen, 1983; Eisenhardt, 1989). Dalam membangun kolaborasi selain
mengedepankan asas governance juga harus membangun suasana bagi berkembangnya
kerjasama yaitu melalui mutual trust dan mutual benefit.
Ketika organisasi harus berhadapan dengan persoalan yang menuntut adanya
koordinasi multilateral, seperti yang sering dihadapi oleh sektor publik dan nirlaba
(misalnya dalam menghadapi bencana, meningkatnya kegiatan ekonomi di suatu wilayah,
kebutuhan penanganan pelayanan kesehatan yang kompleks, dsb), upaya sendirian yang
dilakukan oleh organisasi tidaklah memadai (O’Toole, 1997). Untuk mengatasi masalah
yang dibutuhkan adalah tindakan kolektif, disinilah pentingya network governance agar
tujuan kerjasama itu tercapai. Kekuatan network governance bukan pada ikatan hukum,
tapi pada mutual trust. Ini adalah landasan bagi efektivitas kerjasama. Cara kerja
network berbeda dengtan cara kerja organisasi. Network cenderung mengedepankan
kepercayaan dan saling ketergantungan dan mengabaikan manfaat hierarkhi atau
kepemilikan. Partisipan network secara tipikal memiliki keterbatasan akuntabilitas
formal terhadap. Kesepakatan terhadap aturan dan prosedur murnit bersifat sukarela. Ini
adalah tantangan yang dihadapi oleh para birokrat. Mindset entrepreneurial menjadi
modal untuk energizing bureaucracy.
13
Pengalaman Gorontalo melakukan energizing bureaucracy
Waktu pertama kali memasuki dunia pemerintahan saya melihat sebuah kontras
kebiasaan kerja. Saat itu saya menerima surat yang harus segera dibalas, ternyata surat itu
kembali ke meja saya 3 minggu kemudian. Sementara di kantor perusahaan saya hanya
butuh bilangan menit. Kejadian ini terus berulang. Saya usut dimana letak penyumbatan.
Rupanya di kalangan pegawai ada semacam kebanggan seorang pejabat dapat menahan
surat lebih lama dan banyak tumpukan berkas di mejanya menunjukkan dirinya berada
dalam posisi penting. Lebih konyol lagi ketika saya tanyakan ada dimana surat itu, apa
jawabannya sedang ditelaah balik itu disampaikan berulang-ulang. Akhirnya saya
mengambil tindakan, semua surat datang diberi tanggal, ketika mengalir ke meja pegawai
juga harus diberi tanggal. Akhirnya mereka tidak lagi menahan-nahan surat. Tapi ini
penyelesaian parsial dan temporal. Saya ingin kinerja birokrasi pemerintah seperti kinerja
organisasi swasta yang cepat, gesit, fokus dan efesien.
Saya membandingkan pola kerja yang berbeda antara pegawai negeri dengan
pegawai swasta. Kinerja Pegawai Bank yang berada di lini depan (front office) yang
cekatan, tidak pernah berhenti melayani pelanggan, selalu ramah dan murah senyum
berbeda sekali dengan kinerja pegawai negeri yang melayani masyarakat. Dalam pikiran
saya ini adalah contoh ideal yang kasat mata yang mestinya dapat dicangkokkan di
birokrasi pemerintah daerah. Pikiran ini yang terus mengganggu saya, bagaimana
melakukan pembenahan pada sistem kepegawaian daerah sehingga mereka memiliki etos
kerja yang tinggi.
Dalam pikiran saya, harus dilakukan perubahan orientasi sikap jajaran birokrasi
pemerintah provinsi Gorontalo agar kapasitas dinamik birokrasi pemerintah provinsi
Gorontalo ditingkatkan. Ideologi kerja yang ada saat ini harus diubah dengan ideologi
kerja baru. Titik masuknya adalah melalui pembentukan budaya organisasi. Untuk itu
pemerinta provinsi Gorontalo mengalokasikan anggaran untuk pelatihan sumberdaya
manusia. Agenda pertama adalah mindseting.
Saya terinspirasi keberhasilan Negara Malaysia (dibawah pimpinan DR. Mahatir
Muhammad sebagai bangsa yang diperhitungkan di Asia, bahkan di dunia adalah akibat
dari keberhasilan mentransformasikan nilai-nilai melayu modern yang berbasis pada
14
spirit Islam menjadi jiwa melayu modern. Peter Senge mengatakan bahwa penciptaan
nilai-nilai dalam organisasi maupun dalam masyarakat adalah persoalan mind setting.
Senge melihat organisasi sebagai kumpulan dari manusia-manusia yang berfikir.
Organisasi di-metafora-kan sebagai produk sejumlah gagasan, jejaring pemikiran antar
anggota organisasi, dan interaksi gagasan dalam jejaring tersebut yang hendak dan
sedang dilaksanakan.
Pemerintah Provinsi Gorontalo mengalokasikan anggaran yang cukup memadai
untuk pengembangan sumber daya aparatur karena pembangunan SDM merupakan salah
satu program prioritas pemerintah provinsi Gorontalo.Ada tiga agenda dalam melakukan
energizing bureaucracy di Gorontalo, pertama adalah minsetting untuk mengubah pola
pikir yang lebih entrepreneurial; kedua, membangun landasan untuk memotivasi
pegawai; dan ketiga menata sistem organisasi pemerintah provinsi Gorontalo agar lebih
lincah dan fleksibel sehingga mampu menumbuihkan nilai-nilai kewirausahaan.
Implementasi agenda pertama yaitu mindsetting dilakukan dengan membuat
perencaan pelatihan yang berkesinambungan. Pelatihan ini meliputi: a) pembukaan
gembok mental; b) peningkatan profesionalisme pegawai; c) pembentukan etos kerja baru
melalui pembentukan budaya birokrasi wirausaha. Dalam pengamatan saya birokrat itu
bekerja cenderung lebih mengedepankan peraturan, mereka akan menaatinya dengan
kaku. Sedangkan akal sehat hanya menempati diurutan yang kesekian. Setiap akan
melangkah dibatasi oleh peraturan. Harus begini, ini tidak boleh, aturannya begini. Tanpa
pernah menggunakan sikap kritisnya. Mereka tidak ubahnya seperti mesin, padahal yang
dihadapi adalah manusia. Maka dalam suatu sessi pelatihan mindsetting dilakukanlah
pembukaan gembok mental. Saya menggunakan metafora belalang. Saya perintahkan
ajudan untuk mencari belalang. Belalang saya masukkan stoples dan digoyang-goyang.
Satu-satu belalang mencoba terbang tapi terhalang tutup stoples mereka akhirnya diam
tidak mau terbang. Stoples kemudian dibuka namun tidak ada satu belalang pun yang
mau terbang. Ini saya sampaikan pada peserta pelatihan. Kalihan ini seperti belalang, jika
terbentur masalah tidak berusaha mencari jalan keluarnya meskipun sebenarnya ada. Lalu
saya ambil lagi belalang yang baru ditangkap dimasukkan ke rombongan belalang yang
sudah ada dalam stoples. Satu-satu mereka terbang, dan akhirnya diikuti oleh belalang
yang tadinya tidak mau terbang. Dengan dimetaforakan sebagai belalang ada sebagian
15
pegawai yang tersulut emosinya dan mencetuskan gagasan bahwa kita harus berubah.
Belenggu mental yang mengikat kita harus dibuka oleh kita sendiri. Akhirnya mereka
mau berfikir out of the box. Mereka menjadi lebih terbuka dan berorientasi outward
looking, mau belajar dari orang lain dan tidak lagi membuta terhadap peraturan.
Profesionalisme pegawai di kalangan pegawai negeri sipil kalah jauh
dibandingkan dengan sektor swasta. Untuk itu diperluka pelatihan yang bersifat tailor
made, disesuaikan dengan kebutuhan users. Pemerintah provinsi Gorontalo mendesain
sendiri pola-pola pelatihan pegawai yang ditujukan untuk membangun kompetensi dan
profesionalisme pegawai. Pelatihan di bidang pengelolaan keuangan adalah yang menjadi
prioritas agar para pegawai itu benar dalam mengelola uang daerah untuk kemaslahatan
rakyat. Langkah-langkah yang dilakukan antara lain: 1) membentluk kelompok kerja
yang dilatih untuk mengembangkan Sistem Akuntansi Daerah; 2) Melakuklan inhouse
training terhadap pegawai-pegawai tentang pelaksanaan system dan prosedur anggaran
berbasis kinerja; 3) melaksanakan program D3 (extension) Akuntansi Keuangan Daerah
untuk pegawai yang terpilih. Program ini merupakan hasil MOU Pem Prov Gorontalo
dengan BPPK Dep Keuangan dan BPKP. Selain itu juga mengembangkan kerjasama
dengan MAP Universitas Gadjah Mada. Beberapa alumninya sekarang menduduki
jabatan penting di birokrasi pemerintah provinsi Gorontalo.
Etos kerja adalah salah satu elemen yang menggerakkan pegawai lebih dinamis
dalam bekerja. Setelah pelatihan yang berhasil membuka gembok mental dan
meningkatkan profesionalisme pegawai maka langkah selanjutnya adalah membangun
nilai budaya birokrasi kewirausahaan. Melalui penjaringan aspirasi dan focus group
discussion (FGD) akhirnya dapat dirumuskan nilai-nilai budaya birokrasi yang diidealkan
oleh jajaran birokrasi pemerintah provinsi Gorontalo. Nilai-nilai tersebut adalah sebagai
berikut:
? Inovatif, suatu komponen yang komprehensif untuk memberi dan
melakukan/menciptakan konsep baru dalam konteks perbaikan sehingga sesuatu
yang diakui terus meningkat kualitas dan manfaatnya Bagi lingkungan
masyarakat maupun suatu wilayah.
16
? Teamwork, keyakinan bahwa upaya pencapaian tujuan bersama akan lebih
berhasil bila dilakukan secara bersama-sama kedalam team work ketimbang
secara individual.
? Kepercayaan masyarakat, timbul suatu situasi dimana setiap kebijakan maupun
langkah pelaksanaan management pembangunan yang kita laksanakan akan
mendapat dukungan masyarakat sehingga, masyarakat secara aktif ambil bagian
dalam setiap upaya kita.
? Kesejahteraan, upaya kita untuk mewujudkan masyarakat yang sejahtera harus
menjadi tekad yang kokoh melalui gerakan inovasi pembangunan khususnya
pada sektor ekonomi dan sosial mikro yang berbasis kewilayahan (SDM,
Pertanian dan Perikanan).
? Speed, kecepatan adalah sesuatu yang penting dan menentukan untuk mencapai
tujuan dan mengejar ketertinggalan.
.
Nilai-nilai tersebut mempunyai arti strategis dalam membentuk kejiwaan di
kalangan pegawai negeri sipil provinsi Gorontalo maupun masyarakat, setidaknya
menumbuhkan keyakinan (believe) bahwa Gorontalo bisa maju daerahnya bertumpu pada
kemampuan sendiri.
Agenda kedua dalam melakukan energizing bureaucracy adalah membangun
landasan untuk memotivasi pegawai agar berkinerja baik. Sudah menjadi rahasia umum
bahwa gaji pegawai negeri kecil, tetapi uniknya ada pegawai negeri yang hidupnya
berkelimpahan. Kontras yang demikian berpengaruh buruk terhadap motivasi kerja.
Vroom (1964) menyatkan bahwa kinerja itu dipengaruhi oleh interaksi dua faktor yaitu
kemampuan dan motivasi, saya berpandangan bahwa penghasilan merupakan salah satu
komponen penting yang berperan dalam membentuk motivasi. Wright (2007)
menjelaskan bahwa imbalan yang pantas yang dikaitkan dengan tugas yang diemban
untuk mencapai tujuan organisasi menjadikan pegawai merasa dihargai karena mereka
menjalankan tugas yang penting. Pengakuan akan pentingnya tugas yang diemban
pegawai dan penghargaan terhadap kemampuan pegawai mendorong pegawai untuk
berkinerja baik. Dari gagasan Vroom dan Wright ini maka pemerintah provinsi Gorontalo
17
membuat tunjangan kinerja daerah (TKD) sebagai instrumen untuk membangkitkan
motivasasi pegawai.
Sistem pengupahan pegawai di Provinsi Gorontalo harus berbasis kinerja. Selain
gaji pokok, semua pegawai akan mendapatkan tunjangan kinerja jika mampu
menunjukkan kinerja yang baik sesuai dengan kriteria yang telah ditetapkan. Besaran gaji
bergeser dari sesuatu yang tetap (seperti yang dipraktekkan selama ini) ke sesuatu yang
bervariasi berdasarkan produktivitas karyawan. Secara umum, sistem penggajian
semacam ini dipandang sebagai komponen kunci untuk meningkatkan dan
mempertahankan motivasi, kinerja, dan integritas pelayan publik. Semakin tinggi
kontribusi karyawan terhadap organisasi, semakin tinggi pula insentif yang diterimanya.
Akibatnya, kinerja instansi membaik. Kemampuan pegawai dalam memenuhi kebutuhan
hidupnya juga akan meningkat. Agar sistem penggajian berbasis kinerja yang bersifat
individual ini tidak menurunkan arti penting kerja kelompok, sekaligus menyimpangkan
perhatian karyawan untuk lebih terfokus pada pengembangan diri pribadi dan
pencapaian-pencapaian jangka pendek ketimbang pemberdayaan kolektif dan realisasi
tujuan jangka panjang organisasi maka diperlukan studi yang komprehensif dan
dilindungi oleh payung hukum. Pemerintah provinsi Gorontalo sangat dibantu oleh Prof
Yeremias yang memberikan landasan konsep tentang pemberian TKD.Dasar hukum
penerapan TKD mengacu pada Pasal 29 Ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 105
Tahun 2000 tentang pengelolaan dan pertanggung jawaban keuangan daerah selanjutnya
dipertegas kembali melalui Pasal 63 Ayat (2) Peraturan Pemerintah No 58 tahun 2005
dan Pasal 39 Permendagri No 13 Th 2006 menyatakan pemerintah daerah dapat
memberikan tambahan penghasilan kepada pegawai negeri sipil daerah berdasarkan
pertimbangan yang obyektif dengan memperhatikan kemampuan keuangan daerah dalam
memperoleh persetujuan DPRD. Tambahan penghasilan diberikan dalam rangka
peningkatan kesejahteraan pegawai berdasarkan prestasi kerja, tempat bertugas, kondisi
kerja dan kelangkaan profesi. Peraturan tersebut yang melandasi dikeluarkannya
Peraturan Gubernur Gorontalo No 17 Tahun 2006 tentang Tunjangan Kinerja Daerah.
Agenda ketiga adalah menata sistem organisasi pemerintah provinsi Gorontalo
agar lebih responsif dalam menangani permasalahan sosio ekonomi yang dihadapi
masyarakat dan percepatan pembangunan daerah. Penataan sistem organisasi berkaitan
18
dengan upaya untuk peningkatan kapasitas manajemen. Provinsi Gorontalo yang
berusaha untuk melakukan percepatan pembangunan membutuhkan sistem organisasi
yang lebih baik dan lebih cepat dalam memenuhi kebutuhan pelanggan dan mampu
melakukan percepatan pembangunan. Pelanggan di sini adalah rakyat yang mayoritas
petani. Percepatan pembangunan terutama di sektor pertanian dan perikanan. Oleh karena
itu struktur organisasi pemerintahan yang ada diubah menjadi organisasi berbentuk
matriks agar tercapai sinergi, efesiensi, dan efektivitas di satuan kerja pemerintah daerah.
Selain itu juga dilakukan pemangkasan red tape terutama di bidang keuangan dari
sebelumnya 12 meja menjadi dua meja. Selain itu juga diperkenalkan intranet di
lingkungan SKPD Provinsi Gorontalo dan penggunaan SMS untuk me-bypass hambatan
birokrasi. Dampaknya terasa sangat signifikan. Sistem komunikasi di jajaran birokrasi
menjadi lebih cepat, lugas dan mampu mereduksi hierarkhi. Akibatnya birokrasi di
Gorontalo relatif lebih berwatak kewirausahaan.
19
Daftar Pustaka
Agranoff, Robert, and Michael McGuire. 1998. ‘Multi-network management: Collaboration
and the hollow state.’ Journal of Public Administration Research and Theory 1: 67-91. Alter, C. & Hage, J. 1993. Organizations Working Together. Newbury Park, CA: Sage. Bank Indonesia & FE UNPAD, 2008. Profil dan Pemetaan Daya Saing Ekonomi Daerah
Kabupaten/Kota di Indonesia. Jakarta: Rajawali Press. Bardach, Eugene 2001. ‘Developmental dynamics: Interagency collaboration as an
emergent phenomenon.’ Journal of Public Administration Research and Theory 2: 149-164.
Barney, J. 1991. Firm resources and sustained competitive advantage. Journal of Management,
17: 99-120. Becker, B., Huselid, M. & D. Ulrich 2001. The HR Scorecard: Linking people, strategy
andperformance. Cambridge, MA: Harvard Business School Press.
Behn, Robert D. 1995. ‘The big questions of public management.’ Public Administration Revie 55 (4): 313-324. Berry, Jeffrey M, Kent E. Portney, and Ken Thomson. 1993. The Rebirth of Urban
Democracy. Washington DC: Brookings Institution. Boxall, P. & Steeneveld, M. 1999. Human resource strategy and competitive advantage: A
longitudinal study of engineering consultancies. Journal of Management Studies, No. 36m, h. 443-463.
Boxall, P. 1998. Achieving competitive advantage through human resource Strategy: Toward a
theory of industry dynamics. Human Resource Management Review, No. 8, h. 265-288. Box, Richard C. 1998. ‘ Citizen Governance. Thousand Oaks, CA: SAGE Publications.
Bozeman, B. and G. Kingsley. 1998. “Risk Culture in Public and Private Organizations”. Public
Administration Review. 58 (2). Brass, D.J., Galaskiewicz, J., Greve, H.R., & Tsai, W. 2004. Taking stock of networks and
organizations: A multilevel perspective. Academy of Management Journal, 47:795- 817 Cameron, Kim and Quinn, Robert E. Quinn (1998). Diagnosing and Changing Organizational
Culture; Based on The Competing Values Framework. Reading, MA, Addison-Wesley
20
Donahue, Amy K., Sally C. Selden, and Patricia W. Ingraham 2000. ‘Measuring government management capacity: A comparative analysis of city human resources management systems. Journal of Public Administration Research and Theory 2: 381-411.
Eisenhardt, K. & Martin, J. 2000. Dynamic capabilities. What are they? Strategic Management
Journal, 21: 1105-1121. Eisenhardt, K.M. 1989. Agency theory: An assessment and review. Academy of Management
Review, 14: 57-74. Fama, E.F. & Jensen, M.C. 1983. Separation of ownership and control. Journal of Law and
Economics, 26: 301-325. Gittell, J. 2002. Relationships between service providers and their impact on customers. Journal of Service Research, 4: 299-311. Goffee, R. & Jones, G. 1996. What hold the modern company together? Harvard Business
Review, November/December; 133-148. Hall, R. 1968. Professionalization and Bureaucratization. American Sociological Review, 33:
92-104. Hall, R. 1992. The strategic analysis of resources. Strategic Management Journal, No.13, h. 125-
143 Hill, C.J. & Lynn, L.E. 2005. Is hierarchical governance in decline? Evidence from empirical
research. Journal of Public Administration Research and Theory. 15:173-195. Hood, Christopher. 1998. The Art of the State. Oxford: Clarendon Press. Huselid, M., Jackson, S. & R. Schuler 1997. Technical and strategic human resource effectivenvess as determinants of firm performance. Academy of Management Journal,
No. 40, h. 171-188. Huxham, C. & Vangen, S. 2005. Managing to Collaborate. London: Routledge.
Ingraham, P.W. and Kneedler, 2000, “Dissecting the Black Box: Toward a Model of Measures of Government Management Performance,” In J.L. Brudney, L.J. O’Toole and H.
Ingraham P.W., P.G. Joyce and A.D. Donahue. 2003. Government Performance: Why
Management Matters. Baltimore, MD: John Hopkins University Press. Itami, H. and Roehl, T. 1987. Mobilizing Invisible Assets. Cambridge, MA: Harvard University
Press.
21
Khademian, Anne M., and Edward P. Weber 2002. ‘Throwing out the book: Building collaborative capacity to tackle paralyzing public problems.’ Paper presented at the Annual Meeting of the Association for Public Policy Analysis and Management, Dallas, TX (November 7-9).
Kettl, Donald. 2002. The transformation of governance: Public administration for twenty-first
century America. Baltimore, MD: Johns Hopkins University Press. Miller, Gary J. 1992. Managerial dilemmas: The political economy of hierarchy. Cambridge:
Cambridge University Press. Nye, Joseph S. 1997. “In Government We Don’t Trust,” Foreign Policy, October (Fall).
Osborne, D. and T. Gaebler. 1992. Reinventing Government. New York: Addison-Wesley. Pandey, Sanjay K., David H. Coursey, Donald P. Moynihan. 2004. Organization Culture, ed
Tape and Performance. Department of Public Policy and Administration, Rutgers University.
Putnam, Robert 2000. Bowling Alone: The Collapse and Revival of American Community. New York, NY: Simon and Schuster.
Rainey, Eds, Advancing Public Management: New Development in Theory, Methods, and Practice, Washington D.C,: The Georgetown University Press. Rousseau, D. 1990. Normative beliefs in fund-raising organizations: Linking culture to organizational performance and individual responses. Group & Organization Studies, h.
448-460. Schneider, B. & Bowen, D. 1995. Winning the Service Game. Cambridge, MA: Harvard Business School Press.
Scott, James C 1998. Seeing like a state: How certain schemes to improve the human
conditionhave failed. New Haven and London: Yale University Press.
Thompson, F.J. and N.M. Riccucci. 1998. “Reinventing Government”. Annual Review of Political Science. Palo Alto, CA: Annual Reviews.
Trice, H. & Beyer, J. 1993. The Cultures of Work Organizations. Englewood Cliffs, New
Jersey: Prentice Hall.
Van Mananen, J. & Barley, S. 1984. Occupational Communities: Control in culture in organizations. In B.M. Staw and L.L. Cummings (eds.) Research in Organizational
Behavior, 6: 287-365. Greenwich, CT: JAI Press.
Vroom, V. 1964. Work and Motivation. New York: Wiley.
22
Weber, Edward P. 2003. Bringing Society Back In: Grassroots Ecosystem Management, Accountability, and Sustainable Communities. Cambridge, MA: The MIT Press. Winter, S. 2002. Understanding Dynamic Capabilities. Working Paper, The Wharton School,
University of Pennsylvania. Wright, B.E.2007.”Public Service and Motivation: Does Mission Matter?” Public Administration
Review, January-February Yeremias T. Keban. 2007. “Membangun Kerjasama Antar Pemerintah Dearah Dalam Era
Otonomi,” Warta GUBERNUR, Jurnal Otonomi & Pembangunan Daerah, Vol. 1 Tahun 1, Januari.