22
REINVENTING LOCAL GOVERNMENT UNTUK MEMBERDAYAKAN BIROKRASI PEMERINTAH DAERAH DR. Ir. Fadel Muhammad Gubernur Gorontalo

Document21

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: Document21

REINVENTING LOCAL GOVERNMENT UNTUK MEMBERDAYAKAN

BIROKRASI PEMERINTAH DAERAH

DR. Ir. Fadel Muhammad Gubernur Gorontalo

Page 2: Document21

2

Pengantar

Governance dalam manajemen publik menjadi semakin penting dan menjadi

prasyarat agar pelayanan kepada warganegara menjadi lebih berkualitas. Sektor publik

harus berupaya bagaimana melakukan zero defect dalam penyelenggaraan pemerintahan

seperti halnya yang dilakukan oleh organisasi swasta dalam menyediakan layanan publik.

Birokrasi yang kerap dicap lamban dan kaku perlu diberdayakan (energizing) karena saat

ini hampir semua negara berlomba meningkatkan kualitas dalam menyelenggarakan

pelayanan publik.

Kemajuan di sektor swasta telah menginspirasi sektor publik untuk menerapkan

teknik-teknik yang dipakai di sektor swasta melalui gerakan NPM agar birokrasi sektor

publik lebih bertenaga. Ada dua dua isu penting dalam energizing bureaucracy yaitu

membangkitkan kapabilitas dinamik organisasi melalui penciptaan ideoologi kerja dan

membangun manajemen kolaboratif untuk memanfaatkan networking. Tulisan ini juga

dilengkapi dengan pengalaman Gorontalo membangun kapabilitas dinamik dan

manajemen kolaboratif untuk percepatan pembangunan.

Mengapa energizing bureaucracy?

Hasil penelitian PPSK Bank Indonesia dan LP3E Universitas Padjadjaran tentang

profeil dan pemetaan daya saing ekonomi daerah di Indonesia dengan menggunakan

indikator input yang mencakup perekonomian daerah, SDM, lingkungan usaha produktif,

infrastruktur dan SDA & lingkungan, dan perbankan & lembaga keuangan. Sedangkan

output mencakup productivitas tenaga verja, PDRB per kapita, dan tingkat desempatan

verja menghasilkan temuan yang perlu kita kritisi. Ternyata dari sekitar 434

kabupaten/kota yang memiliki keunggulan input dan output yang melampaui rata-rata

nasional hanya 33 kabupaten/kota atau 7,6%. Sebaliknya daerah yang memiliki

keunggulan input dan output dibawah rata-rata nasional mencapai 155 buah atau 35,71%

dan yang lebih parah lagi ada sebanyak 62 daeah yang benar-benar tidak memiliki daya

saing (14,32%). Ini adalah potret buram implementasi otonomi daerah (Bank Indonesia

& FE Untad, 2008)..

Page 3: Document21

3

Pada dasa warsa sekarang ini hampir semua negara saling berlomba berusaha

meningkatkan kualitas, efesiensi, dan ketanggapan pelayanan publik. Gerakan ini sudah

dimulai sejak dasa warsa tujuh puluhan, yang sangat fenomenal dengan gerakan reduksi

red tape. Gerakan terus berlanjut, pada dasa warsa 80an meluas ke ranah down sizing,

perluasan partisipasi voluntary non profit sector, dan dicangkokkannya teknik-teknik

yang diajarkan di sekolah bisnis ke dalam sektor publik yang kemudian dikenal sebagai

New Public Management (Hood 1998). Pada tahun 1990an temanya berganti menjadi

reinventing government yang mengedepankan ‘works better and costs less’ (Osborne and

Gaebler 1992).

Isu mendasar dari gerakan energizing bureaucracy adalah upaya untuk

meningkatkan efisiensi dan efektivitas organisasi sektor publik. Seberapa jauh

pemerintah mampu merekrut, menahan, dan menghargai para pekerja yang well-

motivated dan memiliki komitmen tinggi untuk mencapai tujuan organisasi.

Robert Behn ( 1995: 319) mengidentifikasikan ada tiga pertanyaan besar yang

harus dijawab oleh para sarjana administrasi publik berkaitan dengan energizing

bureaucracy. Pertama, bagaimana para manajer publik dapat memotivasi pegawai negeri

sipil dan juga warganegara untuk melaksanakan proses publik dengan kecerdasan dan

energi; Kedua, bagaimana mendapatkan orang yang tepat dalam pekerjaan,

memberdayakan mereka agar bekerja secara efektif untuk mencapai tujuan organisasi.

Dan, ketiga, bagaimana menghargai mereka atas kinerjanya yang baik. Jawaban atas tiga

pertanyaan ini sebenarnya mewujud ke dalam energizing bureaucracy. Ini dimulai

dengan civil service reform.

Civil service reform dilaksanakan secara berkesinambungan dan jangka panjang

dan lebih menekankan pada perubahan mindset dari mindset biroktratik menuju mindset

entrepreneurial. Ketimbang pada reorganisasi struktural atau solusi teknokratik. Usaha

membangun sektor publik yang efektif tidak mungkin akan berhasil jika tidak mampu

keluar dari belenggu seterotipe birokrat.

Birokrat ditipologikan sebagai orang yang mengejar protected job security,

mendapatkan bayaran bulanan yang teratur dan pensiun yang nyaman ketimbang manusia

berdedikasi yang menghadirkan public goods berkualitas. Memiliki etos bekerja sangat

hati-hati, membuta pada peraturan, risk averse, hanya bekerja di belakang meja, dan tidak

Page 4: Document21

4

menyukai tantangan. Etos ini harus diubah dengan mencitrakan birokrat dan pegawai

negeri sipil adalah sebagai innovator yang agresif, kreatif, dan memiliki wawasan yang

beragam, serta mampu memecahkan masalah secara imajinatif.

Energizing bureaucracy kuncinya sebenarnya pada pengembangan kapasitas

manajemen organisasi. Ingraham dan koleganya (Ingraham and Kneedler 2000;

Ingraham, Joyce and Donahue 2003) menggunakan kapasitas manajemen sebagai kunci

penjelas terhadap kinerja. Dalam konteks pemerintah, Pandey, Coursey, dan Moynihan

(2004) berteori bahwa kinerja pemerintah adalah fungsi dari kejelasan tujuan, kapasitas

manajemen dan development culture. Dengan adanya birokrat yang enerjik diharapkan

pengelolaan input dan pemrosesannya akan menghasilkan output dan outcome yang

mampu menjawab tantangan organissi. Kapasitas manajemen dalam konsep Ingraham

dan koleganya menggambarkan kemampuan birokrasi mengelola ketiga bidang yaitu

keuangan, sumberdaya manusia dan informasi

Pengembangan kapasitas manajemen seperti apa yang mampu menghasilkan

birokrasi yang berdaya (energizing bureaucracy)? Menurut hemat saya berdasarkan dari

pengalaman dan teori, untuk kasus di pemerintah daerah adalah pengembangan kapasitas

manajemen kewirausahaan. Manajemen yang dilandasi oleh ”enterprise culture”

(Thompson dan Riccucci, 1998), atau yang dilandasi oleh karakter ”risk culture”

(Bozeman and Kingsley, 1998). Ini terkait erat dengan kecenderungan semakin

menurunnya kepercayaan publik kepada pemerintah. Tulisan Joseph S. Nye , Jr (1997)

yang berjudul In Government We Don’t Trust menyatakan bahwa warganegara tidak

percaya kepada pemerintah karena kinerjanya yang buruk. Beberapa faktor yang

menyebabkan erosi kepercayaan terhadap pemerintah antara lain: 1) kemerosotan

ekonomi; 2) buruknya kinerja pemimpin, dan 3) tumbuhnya korupsi.

Energizing bureaucracy melalui reinventing government dan reengineering

government kadang-kadang tidak sampai pada sasaran inti yaitu tidak berhasil membuat

“ikatan kimia” antara pemerintah dengan warganegara. Pemerintah tidak memahami

bahwa warganegara ingin terlibat secara langsung dalam proses pemerintahan. Oleh

karena itu harus ada perubahan paradigma dalam penyelenggaraan pemerintahan.

Tantangan yang dihadapi oleh para penyelenggara pemerintahan adalah

menemukan jalan yang menghubungkan warganegara dengan public sector decision

Page 5: Document21

5

seperti membangun kembali tingkat kepercayan (level of trust) dan memperkuat social

capital. Langkah pertama adalah mengubah paradigma sistem politik dari sistem politik

yang memisah-misahkan kekuasaan, peran, tanggungjawab dan kewajiban menuju ke

terintegrasinya warganegara ke dalam semua aspek governance. Paradigma tradisional

hanya memberikan saluran kepada warganegara untuk berhubungan dengan pemerintah

melalui politik pemilihan umum, public opinion polls, survai kepuasan pelanggan, public

hearing, kegiatan kelompok yang terorganisir, dan kontak individual. Konsultasi dalam

paradigma tradisional pada umumnya pasif dan episodic.

Dalam paradigma alternative, warganegara harus memainkan peran yang

signifikan dalam merumuskan visi strategic. Untuk contoh misalnya dalam pelibatan

warga pada level komunitas ke dalam berbagai kegiatan mulai dari pembuatan rencana

stratejik dan penetapan visi tentang bagaimana seharusnya pembangunan ekonomi,

pendidikan, dan kesehatan dilaksanakan, bagaimana tata guna tanah dan tempat rekreasi

diatur. Administrator, elected official, dan pimpinan komunitas mendapati bahwa

partaisipasi warga komunitas yang terlembaga dalam proses perumusan kebijakan

menghasilkan warga yang lebih well informed dan partisipatif (Berry, Portney, and

Thompson, 1993). Ini semua akan mudah diwujudkan jika pemerintah daerah mampu

mengembangkan kapabilitas dinamik organisasi dan collaborative management.

Membangkitkan Kapabilitas Dinamik

Kapabilitas dinakmik adalah sekumpulan kegiatan yang teratur yang dilakukan

sehari-hari yang memungkinkan organisasi mampu merespon terhadap perubahan

lingkungan melalui value-creating strategies (strategi penciptaan nilai) (Eisenhardt &

Martin, 2000; Winter, 2002). Kapabilitas dinamik ini sangat disadari dan diinginkan oleh

semua ogranisasi, sayangnya mereka yang berada di dalam organisasi tidak memahami

dengan baik, mereka beranggapan bahwa kapabilitas dinamik ini semata-mata dibangun

hanya dari sisi human capital resources dan proses penciptaannya sangat rumit. (Hall,

1993;Boxall & Steeneve ld, 1999; Boxall, 1998).

Untuk melengkapi kemampuan birokrasi agar bisa merespon perubahan

lingkungan perlu menginjeksikan kemampuan bersaing dan memfasilitasi organisasi agar

mampu melakukan proses pengembangan kapabilitas dinamik maka perlu dilakukan

Page 6: Document21

6

sejumlah tindakan yang berkaitan dengan pengembangan kapabilias dinamik birokrasi.

Agenda untuk membangkitkan kapabilitas dinamik organisasi menyentuh tiga ranah

yaitu: 1) bagaimana membangun teamwork; 2)membentuk budaya organisasi, dan 3)

kebijakan manajemen sumber daya manusia. Ironisnya di sektor publik belum

berkembang pemahaman bahwa human capital berkontribusi bagi pembentukan

kapabilitas dinamik sektor publik.

Kapabilitas manajemen sumber daya manusia (SDM) adalah kemampuan yang

dibutuhkan untuk mengembangkan SDM organisasi untuk mendukung kebutuhan

bisnisnis dan menanggapi lingkungan persaingan. (Huselid, Jackson & Schuler, 1997).

Kapabilitas manajemen SDM ini menjadi tulang punggung bagi pelaksanaan strategi

organisasi (Becker, Huselid & Ulrich, 2001). Sebagai contoh kegiatan organisasional

yang mendukung pengembangan kapabilitas manajemen SDM diantaranya adalah yang

berkaitan dengan kegitan membangun teamwork, training, sistem komunikasi, dan

praktek-praktek perekrutan SDM.

Melalui kapabilitas manajemen SDM, organisasi dapat mentransformasikan input

dari para pekerja menjadi produk dan jasa yang memiliki nilai tambah, seperti pelayanan

yang lebih cepat dan berkualitas, barang-barang publik yang bermutu dan mudah diakses.

Melalui kapabilitas manajemen SDM yang ada dalam organisasi tidak hanya dibangun

kompetensi teknikal tapi juga dikembangkan kemampuan berkomunikasi baik di dalam

maupun di luar organisasi yang mampu membangkitkan empati, lebih perhatian dan

profesional. Salah satu inti penting dari kapabilitas manajemen SDM adalah membangun

ideologi kerja (work ideology). Ideologi kerja adalah seperangkat nilai-nilai dan

keyakinan yang mengikat individu terhadap pekerjaanya. Keyakinan ini menentukan

bagaimana individu seharusnya berinteraksi dalam organisasi. Ideologi kerja

membangkitkan perasaan bahwa mereka memiliki nilai-nilai dan kemampuan yang khas

(Van Maanen & Barley, 1984). Ini penting untuk membangun rasa bangga terhadap tugas

dan fungsi individu dalam organisasi.

Dari perspektif budaya organisasi, ideologi kerja dapat dipandang sebagai nilai

utama kelompok, dan tipe tertentu dari ideologi kerja dapat menjadi instrumen yang

menjadikan organisasi menjadi lebih efektif dalam membangun kapabilitas dinamiknya

(Trice & Beyer, 1993; Barney, 1986; Cameron & Quinn, 1998). Budaya organisasi yang

Page 7: Document21

7

humanistis yang ditunjukkan terhadap apresiasi yang tinggi pada well-being, growth, dan

development akan mendorong pekerja untuk menghargai kerjasama. Penelitian yang

dilakukan oleh Kotter dan Hesket (1992) menunjukkan bahwa pekerja yang menganut

budaya kerja humanistik dilaporkan memiliki kepuasan kerja dan loyalitas yang tinggi

terhadap organisasi. Budaya ini memotivasi dan me-encourage pekerja untuk proaktif

terlibat dalam membantu organisasi beradaptasi untuk berubah dalam lingkungan yang

kompetitif melalui pemecahan masalah dan inisiatif bisnis (Rousseau, 1990). Hubungan

yang konstruktif antar sesama pekerja dan terbentuknya motivasi kerja merupakan hasil

dari employee-centered culture yang bertransormasi ke dalam entusiasme pekerja untuk

memberikan pelayanan pelanggan yang bermutu tinggi (Schneider & Bowen, 1995;

Goffee & Jones, 1996; Gittell, 2002).

Pandanngan yang tidak jauh berbeda juga disampaikan oleh para penganut

resource-based view, mereka berpandangan bahwa ideologi kerja memiliki potensi untuk

membangkitkan kapabilitas dinamik (Barney, 1986). Seperti halnya budaya organsisasi,

para penganut resource based view menyatakan bahwa kapabilitas organisasi adalah

suatu konsekuensi dari bekerjanya nilai-nilai kerja keras yang menentukan bagaimana

menjalankan bisnis (Itami & Roehl, 1987). Sejumlah nilai yang dianut suatu organisasi

membentuk ideologi kerja yang kemudian memunculkan kapabilitas organisasional dan

akhirnya membentuk keunggulan bersaing. Ada tiga persyaratan yang harus dipenuhi.

Pertama, ideologi kerja harus menciptakan nilai ekonomi dengan cara mendorong agar

organisasi mampu menghasilkan produk unggul dengan biaya yang lebih rendah. Kedua,

ideologi kerja harus memiliki sifat dan ciri yang unik yang sulit untuk ditiru oleh

pesaing. Dan ketiga, ideologi kerja harus sulit ditiru oleh pihak lain karena sifat tacitness-

nya, merupakan warisan nilai yang terus menerus ditafsirkan ulang sesuai dengan

perkembangan jaman, atau karena adanya personal relationship (Hall, 1992). Ideologi

kerja yang umum, tidak memiliki keunikan, dan mudah ditiru dalam suatu industri

hanya akan menghasilkan kemampuan daya saing yang tidak berbeda dengan sesama

industri tersebut.

Meski disadari bahwa ideologi kerja penting peranannya dalam suatu organisasi

untuk membangkitkan daya saing namun sulit untuk membuat dan memelihara ideologi

kerja yang bersifat value creating dan unik. Penghambatnya adalah birokrasi yang kaku

Page 8: Document21

8

dan lingkungan persaingan yang agresif. Meskipun sulit tapi di sektor publik harus mulai

dikembangkan ideologi kerja yang sadar terhadap pentingnya memberikan pelayanan

yang bermutu kepada pelanggan dan, responsif terhadap perubahan lingkungan, dan

visioner.

Pandangan di atas adalah untuk organisasi swasta namun demikian dapat

dijadikan inspirasi bagi pengembangan organisasi publik, terutama dalam melakukan

energizing bureaucracy agar aparatur pemerintah lebih gesit, lebih empati, dan lebih

professional dalam menyediakan barang dan jasa publik untuk warganegara. Mengingat

rentang barang dan jasa publik yang sangat luas dan abstrak seperti keadilan, rasa aman,

iklim usaha yang nyaman, pelayanan yang cepat dan lain- lain maka energizing

bureaucracy juga melibatkan upaya pengembangan kapasitas manajemen yang focus

pada pembentukan kemampuan menjalankan collaborative management di jajaran

birokrasi.

Pengembangan Kapasitas Manajemen yang focus pada Collaborative Management

Donald Kettl (2002) berpandangan bahwa tantangan mendasar yang dihadapi

oleh birokrasi [Amerika] adalah yang berkenaan dengan kapasitas – yaitu

mengembangkan sistem dan manusia yang mampu untuk mengintegrasikan kolaborasi

baru (new collaboratives), dengan membangun sistem horizontal, untuk mengurangi

dominasi sistem tradisional yang vertical, sistem fungsional dan terspesialisasi yang terus

menerus mendominasi birokrasi. Agranoff dan McGuire (2003), Box (1998), dan lain-

lain sependapat bahwa pemerintah harus memadukan kapasitas yang dimilikinya dengan

kapasitas pihak lain seperti warganegara dan berbagai aktor non pemerintah agar menjadi

efektif dalam memecahkan masalah publik yang rumit yang yang sudah berlangsung

lama.

Kapasitas pemecahan masalah dan implementasi kebijakan berhubungan secara

langsung dengan penciptaaan institusi atau mekanisme yang menciptakaan kerjasama

dalam konteks membangun rasa kebersediaan mereka yang berpartisipasi dalam proses

pelaksanaan. Pandangan dari sudut yang berbeda dikemukakan oleh James Scott (1998)

and Robert Putnam (2000). Scott menunjukkan temuannya bahwa pembuatan keputusan

publik cenderung kehilangan input dari warganegara yang juga disertai dengan

Page 9: Document21

9

kehilangan manfaat lokal, sedangkan Putnam berpandangan bahwa kapasitas komunitas

atau masyarakat untuk mewujudkan effective governance secara langsung berkorelasi

dengan kekuatan pemerintah dan masyarakat untuk membangun konektivitas horizontal

yang berkaitan dengan pembentukan social capital.

Jika kapasitas kolaboratif adalah kunci keberhasilan bagi pemecahan masalah

dalam jangka panjang maka harus dikenali persyaratan dasar bagi proses kolaboratif, atau

bagaimana mengelola proses tersebut menjadi berhasil. Bardach (2001) menunjukkan

tentang pentingnya mengembangkan managerial craftsmen untuk membangun

collaborative capacity, sedangkan Miller (1992) dan Weber (1998) mengisyaratkan

perlunya entrepreneurial leader yang mampu membangun dan memelihara trust dan

meyakinkan partisipan bahwa mereka dapat memperoleh lebih mela lui kolaborasi

ketimbang melakukanya sendirian. Khademian dan Weber (2003) mengeksplorasi

praktek-praktek yang berkaitan keberhasilan membangun kapasitas kolaboratif dari para

manajer. Donahue, Selden, dan Ingraham (2000) melakukan studi yang lebih dipersempit

pada kapasitas komponen vertical dengan menerapkan model konseptual yang didukung

oleh criteria yang berbasis kerangka evalusi untuk menaksir dan membandingkan

kapasitas sistem manajemen sumberdaya sejumlah pemerintah kota. Bardach

mengajukan tentang perlunya mendeskripsikan proses pengembangan untuk membangun

kapasitas kolaborasi antar organisasi. Ini semua masih merupakan studi yang bersifat

parsial dan segmented

Bagaimana membangun model baru untuk government delivery services melalui

manajemen kolaboratif? Ini adalah pertanyaan yang menggugah dan sangat relevan

dengan situasi penyelenggaraa pemerintahan di daerah saat ini. Semenjak

diberlakukannya kebijakan desentralisasi di bidang urusan penyelenggaraan

pemerintahan, semua daerah menikmati otonomi yang tinggi. Namun otonomi itu belum

ditransformasikan menjadi wahana untuk membangun kinerja dan membangun jejaring

sehingga akan memberikan mutual benefit bagi pemerintah daerah yang melakukannya.

Kondisi ini yang kerap membuat khawatir para ilmuwan administrasi publik. Salah

satunya adalah kecurigaan terhadap kinerja birokrasi, birokrasi harus diberdayakan

(energizing bureaucracy) agar memiliki power untuk menjawab tantangan dalam

penyelenggaraan pemerintahan.

Page 10: Document21

10

Untuk kasus Indonesia yang sangat kompleks. Permasalahan yang menjadi

keprihatinan kita semua adalah masih belum diselesaikannya sejumlah agenda yang perlu

ditangani melalui manajemen kolaboratif. Seperti misalnya : (1) masalah perbatasan,

daerah perbatasan dan wilayah terluar dari NKRI; (2) pemanfaatan dan pengelolaan

resources lintas daerah; (3) masalah-masalah lingkungan, transportasi, dan tata guna

wilayah khususnya di wilayah yang sangat cepat berkembang seperti di kawsasan Jakarta,

Bogor, Tangerang, Puncak dan Cianjur ; (4) masalah tata ruang regional dan moda

pengembangan sistem transportasi di luar Jawa.

Hasil penelitian disertasi saya ternyata tidak jauh berbeda dengan pandangan yang

dikemukakan para pakar administrasi publik yang berkenaan dengan kualitas manajer

maupun sistem manajemen. Responden mayoritas birokrat memberikan penilaian bahwa

kapasitas kolaboratif mendapat perhatian paling tinggi ini ditunjukkan dengan pencapaian

nilai tertinggi untuk kemampuan hubungan eksternal, disusul kemampuan pengelolaan

risiko, dan kemampuan pemecahan masalah.

17.1 16.515.4

13.711.1 10.3 10.3 10.3 9.4

02468

1012141618

Hubun

gan E

kstern

al

Kelola

Risiko

Proble

m solvin

g

Plann

ing &

Budg

eting

Motivatin

g

Coordin

ating

Directing

Organiz

ing

Monitor

ing &

Evalu

ating

n = 117Sumber:Data Primer Kuesioner Disertasi FM 2007

Penilaian terhadap Kualitas Manajer/Pimpinandi lingkungan Pem Prov Gorontalo

Sedangkan yang berkaitan dengan sistem yang mendapat perhatian terbesar adalah pada

akuntabilitas, transparansi, partisipatif, dan apresiasi terhadap inovasi. Tanpa disadari dan

tanpa didesain di Gorontalo telah berhasil dikembangkan embrio bagi terbentuknya

manajemen kolaboratif.

Page 11: Document21

11

18.4 18.115.93 15.45

10.3 10.3 10.38.3

5.3

02468

101214161820

Akunt

abilitas

Transp

aransi

Partis

ipatif

Apres

iasi In

ovasi

Basis

Kompet

ensi

Pengu

rangan

red tap

eTe

robosa

n

Fleksi

bilitas

Sistem

insen

tif

n = 117Sumber:Data Primer Kuesioner Disertasi FM 2007

Penilaian terhadap Sistem Manajemen di lingkungan Pem Prov Gorontalo

Manajemen kolaboratif yang mampu memberdayakan birokrasi masih kurang

mendapat perhatian yang memadai karena tidak ada visi yang jelas dan juga karena

hambatan peraturan pelaksanaan yang bersifat teknis. Padahal manajemen kolaboratif

mampu menjadikan birokrasi berkinerja lebih baik dan institusi yang menjalankannya

mendapat benefit diantaranya:

1. dapat di dibentuk kekuatan yang lebih besar sehingga memiliki kemampuan yang

lebih besar pula dalam mengatasi permasalahan yang kompleks.

2. dapat dicapai kemajuan yang lebih tinggi karena adanya pertukaran informasi,

pengetahuan, dan technical know-how.

3. kolaborasi menjadikan lebih berdaya

4. dapat mereduksi dan mencegah konflik

5. kolaborasi mampu menumbuhkan rasa keadilan dan saling percaya

6. kolaborasi mendorong upaya keberlanjutan pemecahanan masalah secara bersama.

7. kolaborasi mampu mengikis ego daerah dan sektoral (Keban, 2007).

Kapasitas manajemen baru yang perlu dimiliki oleh jajaran birokrasi agar lebih

berdaya adalah yang berkenaan dengan kemampuan membangun jejaring (networking).

Para ahli dan praktisi telah menyadari bahwa jejaring merupakan aspek penting dari

multi-organizational governance. Manfaat dari koordinasi jejaring bagi sector publik

Page 12: Document21

12

maupun privat adalah meningkatkan kapasitas belajar, mendorong terjadinya efesiensi

penggunaan sumber-sumber, dan meningkatkan kapasitas perencanaan dan implementasi

untuk mengatasi masalah yang rumit, meningkatkan daya saing, dan memberikan

pelayanan yang lebih baik kepada klien dan pelanggan. (lihat Alter and Hage, 1993;

Brass et al., 2004; Huxham and Vangen, 2005).

Gerakan untuk melakukan energizing birokrasi sebenarnya adalah wujud

kekhawatiran karena besarnya tantangan yang dihadapi oleh sektor pemerintah dimana

sektor publik harus mampu mewujudkan governance. Governance dalam manajemen

publik merujuk pada bagaimana melakukan zero defect dalam penyelenggaraan

pemerintahan seperti halnya yang dilakukan oleh organisasi swasta dalam menyediakan

layanan publik (Hill and Lynn, 2005). Peran penting governance sejalan dengan

principal-agent theory adalah untuk memonitor dan mengontrol perilaku manajemen,

mereka yang dipekerjakan untuk melaksanakan kegiatan sehari-hari dari suatu organisasi

(Fama and Jensen, 1983; Eisenhardt, 1989). Dalam membangun kolaborasi selain

mengedepankan asas governance juga harus membangun suasana bagi berkembangnya

kerjasama yaitu melalui mutual trust dan mutual benefit.

Ketika organisasi harus berhadapan dengan persoalan yang menuntut adanya

koordinasi multilateral, seperti yang sering dihadapi oleh sektor publik dan nirlaba

(misalnya dalam menghadapi bencana, meningkatnya kegiatan ekonomi di suatu wilayah,

kebutuhan penanganan pelayanan kesehatan yang kompleks, dsb), upaya sendirian yang

dilakukan oleh organisasi tidaklah memadai (O’Toole, 1997). Untuk mengatasi masalah

yang dibutuhkan adalah tindakan kolektif, disinilah pentingya network governance agar

tujuan kerjasama itu tercapai. Kekuatan network governance bukan pada ikatan hukum,

tapi pada mutual trust. Ini adalah landasan bagi efektivitas kerjasama. Cara kerja

network berbeda dengtan cara kerja organisasi. Network cenderung mengedepankan

kepercayaan dan saling ketergantungan dan mengabaikan manfaat hierarkhi atau

kepemilikan. Partisipan network secara tipikal memiliki keterbatasan akuntabilitas

formal terhadap. Kesepakatan terhadap aturan dan prosedur murnit bersifat sukarela. Ini

adalah tantangan yang dihadapi oleh para birokrat. Mindset entrepreneurial menjadi

modal untuk energizing bureaucracy.

Page 13: Document21

13

Pengalaman Gorontalo melakukan energizing bureaucracy

Waktu pertama kali memasuki dunia pemerintahan saya melihat sebuah kontras

kebiasaan kerja. Saat itu saya menerima surat yang harus segera dibalas, ternyata surat itu

kembali ke meja saya 3 minggu kemudian. Sementara di kantor perusahaan saya hanya

butuh bilangan menit. Kejadian ini terus berulang. Saya usut dimana letak penyumbatan.

Rupanya di kalangan pegawai ada semacam kebanggan seorang pejabat dapat menahan

surat lebih lama dan banyak tumpukan berkas di mejanya menunjukkan dirinya berada

dalam posisi penting. Lebih konyol lagi ketika saya tanyakan ada dimana surat itu, apa

jawabannya sedang ditelaah balik itu disampaikan berulang-ulang. Akhirnya saya

mengambil tindakan, semua surat datang diberi tanggal, ketika mengalir ke meja pegawai

juga harus diberi tanggal. Akhirnya mereka tidak lagi menahan-nahan surat. Tapi ini

penyelesaian parsial dan temporal. Saya ingin kinerja birokrasi pemerintah seperti kinerja

organisasi swasta yang cepat, gesit, fokus dan efesien.

Saya membandingkan pola kerja yang berbeda antara pegawai negeri dengan

pegawai swasta. Kinerja Pegawai Bank yang berada di lini depan (front office) yang

cekatan, tidak pernah berhenti melayani pelanggan, selalu ramah dan murah senyum

berbeda sekali dengan kinerja pegawai negeri yang melayani masyarakat. Dalam pikiran

saya ini adalah contoh ideal yang kasat mata yang mestinya dapat dicangkokkan di

birokrasi pemerintah daerah. Pikiran ini yang terus mengganggu saya, bagaimana

melakukan pembenahan pada sistem kepegawaian daerah sehingga mereka memiliki etos

kerja yang tinggi.

Dalam pikiran saya, harus dilakukan perubahan orientasi sikap jajaran birokrasi

pemerintah provinsi Gorontalo agar kapasitas dinamik birokrasi pemerintah provinsi

Gorontalo ditingkatkan. Ideologi kerja yang ada saat ini harus diubah dengan ideologi

kerja baru. Titik masuknya adalah melalui pembentukan budaya organisasi. Untuk itu

pemerinta provinsi Gorontalo mengalokasikan anggaran untuk pelatihan sumberdaya

manusia. Agenda pertama adalah mindseting.

Saya terinspirasi keberhasilan Negara Malaysia (dibawah pimpinan DR. Mahatir

Muhammad sebagai bangsa yang diperhitungkan di Asia, bahkan di dunia adalah akibat

dari keberhasilan mentransformasikan nilai-nilai melayu modern yang berbasis pada

Page 14: Document21

14

spirit Islam menjadi jiwa melayu modern. Peter Senge mengatakan bahwa penciptaan

nilai-nilai dalam organisasi maupun dalam masyarakat adalah persoalan mind setting.

Senge melihat organisasi sebagai kumpulan dari manusia-manusia yang berfikir.

Organisasi di-metafora-kan sebagai produk sejumlah gagasan, jejaring pemikiran antar

anggota organisasi, dan interaksi gagasan dalam jejaring tersebut yang hendak dan

sedang dilaksanakan.

Pemerintah Provinsi Gorontalo mengalokasikan anggaran yang cukup memadai

untuk pengembangan sumber daya aparatur karena pembangunan SDM merupakan salah

satu program prioritas pemerintah provinsi Gorontalo.Ada tiga agenda dalam melakukan

energizing bureaucracy di Gorontalo, pertama adalah minsetting untuk mengubah pola

pikir yang lebih entrepreneurial; kedua, membangun landasan untuk memotivasi

pegawai; dan ketiga menata sistem organisasi pemerintah provinsi Gorontalo agar lebih

lincah dan fleksibel sehingga mampu menumbuihkan nilai-nilai kewirausahaan.

Implementasi agenda pertama yaitu mindsetting dilakukan dengan membuat

perencaan pelatihan yang berkesinambungan. Pelatihan ini meliputi: a) pembukaan

gembok mental; b) peningkatan profesionalisme pegawai; c) pembentukan etos kerja baru

melalui pembentukan budaya birokrasi wirausaha. Dalam pengamatan saya birokrat itu

bekerja cenderung lebih mengedepankan peraturan, mereka akan menaatinya dengan

kaku. Sedangkan akal sehat hanya menempati diurutan yang kesekian. Setiap akan

melangkah dibatasi oleh peraturan. Harus begini, ini tidak boleh, aturannya begini. Tanpa

pernah menggunakan sikap kritisnya. Mereka tidak ubahnya seperti mesin, padahal yang

dihadapi adalah manusia. Maka dalam suatu sessi pelatihan mindsetting dilakukanlah

pembukaan gembok mental. Saya menggunakan metafora belalang. Saya perintahkan

ajudan untuk mencari belalang. Belalang saya masukkan stoples dan digoyang-goyang.

Satu-satu belalang mencoba terbang tapi terhalang tutup stoples mereka akhirnya diam

tidak mau terbang. Stoples kemudian dibuka namun tidak ada satu belalang pun yang

mau terbang. Ini saya sampaikan pada peserta pelatihan. Kalihan ini seperti belalang, jika

terbentur masalah tidak berusaha mencari jalan keluarnya meskipun sebenarnya ada. Lalu

saya ambil lagi belalang yang baru ditangkap dimasukkan ke rombongan belalang yang

sudah ada dalam stoples. Satu-satu mereka terbang, dan akhirnya diikuti oleh belalang

yang tadinya tidak mau terbang. Dengan dimetaforakan sebagai belalang ada sebagian

Page 15: Document21

15

pegawai yang tersulut emosinya dan mencetuskan gagasan bahwa kita harus berubah.

Belenggu mental yang mengikat kita harus dibuka oleh kita sendiri. Akhirnya mereka

mau berfikir out of the box. Mereka menjadi lebih terbuka dan berorientasi outward

looking, mau belajar dari orang lain dan tidak lagi membuta terhadap peraturan.

Profesionalisme pegawai di kalangan pegawai negeri sipil kalah jauh

dibandingkan dengan sektor swasta. Untuk itu diperluka pelatihan yang bersifat tailor

made, disesuaikan dengan kebutuhan users. Pemerintah provinsi Gorontalo mendesain

sendiri pola-pola pelatihan pegawai yang ditujukan untuk membangun kompetensi dan

profesionalisme pegawai. Pelatihan di bidang pengelolaan keuangan adalah yang menjadi

prioritas agar para pegawai itu benar dalam mengelola uang daerah untuk kemaslahatan

rakyat. Langkah-langkah yang dilakukan antara lain: 1) membentluk kelompok kerja

yang dilatih untuk mengembangkan Sistem Akuntansi Daerah; 2) Melakuklan inhouse

training terhadap pegawai-pegawai tentang pelaksanaan system dan prosedur anggaran

berbasis kinerja; 3) melaksanakan program D3 (extension) Akuntansi Keuangan Daerah

untuk pegawai yang terpilih. Program ini merupakan hasil MOU Pem Prov Gorontalo

dengan BPPK Dep Keuangan dan BPKP. Selain itu juga mengembangkan kerjasama

dengan MAP Universitas Gadjah Mada. Beberapa alumninya sekarang menduduki

jabatan penting di birokrasi pemerintah provinsi Gorontalo.

Etos kerja adalah salah satu elemen yang menggerakkan pegawai lebih dinamis

dalam bekerja. Setelah pelatihan yang berhasil membuka gembok mental dan

meningkatkan profesionalisme pegawai maka langkah selanjutnya adalah membangun

nilai budaya birokrasi kewirausahaan. Melalui penjaringan aspirasi dan focus group

discussion (FGD) akhirnya dapat dirumuskan nilai-nilai budaya birokrasi yang diidealkan

oleh jajaran birokrasi pemerintah provinsi Gorontalo. Nilai-nilai tersebut adalah sebagai

berikut:

? Inovatif, suatu komponen yang komprehensif untuk memberi dan

melakukan/menciptakan konsep baru dalam konteks perbaikan sehingga sesuatu

yang diakui terus meningkat kualitas dan manfaatnya Bagi lingkungan

masyarakat maupun suatu wilayah.

Page 16: Document21

16

? Teamwork, keyakinan bahwa upaya pencapaian tujuan bersama akan lebih

berhasil bila dilakukan secara bersama-sama kedalam team work ketimbang

secara individual.

? Kepercayaan masyarakat, timbul suatu situasi dimana setiap kebijakan maupun

langkah pelaksanaan management pembangunan yang kita laksanakan akan

mendapat dukungan masyarakat sehingga, masyarakat secara aktif ambil bagian

dalam setiap upaya kita.

? Kesejahteraan, upaya kita untuk mewujudkan masyarakat yang sejahtera harus

menjadi tekad yang kokoh melalui gerakan inovasi pembangunan khususnya

pada sektor ekonomi dan sosial mikro yang berbasis kewilayahan (SDM,

Pertanian dan Perikanan).

? Speed, kecepatan adalah sesuatu yang penting dan menentukan untuk mencapai

tujuan dan mengejar ketertinggalan.

.

Nilai-nilai tersebut mempunyai arti strategis dalam membentuk kejiwaan di

kalangan pegawai negeri sipil provinsi Gorontalo maupun masyarakat, setidaknya

menumbuhkan keyakinan (believe) bahwa Gorontalo bisa maju daerahnya bertumpu pada

kemampuan sendiri.

Agenda kedua dalam melakukan energizing bureaucracy adalah membangun

landasan untuk memotivasi pegawai agar berkinerja baik. Sudah menjadi rahasia umum

bahwa gaji pegawai negeri kecil, tetapi uniknya ada pegawai negeri yang hidupnya

berkelimpahan. Kontras yang demikian berpengaruh buruk terhadap motivasi kerja.

Vroom (1964) menyatkan bahwa kinerja itu dipengaruhi oleh interaksi dua faktor yaitu

kemampuan dan motivasi, saya berpandangan bahwa penghasilan merupakan salah satu

komponen penting yang berperan dalam membentuk motivasi. Wright (2007)

menjelaskan bahwa imbalan yang pantas yang dikaitkan dengan tugas yang diemban

untuk mencapai tujuan organisasi menjadikan pegawai merasa dihargai karena mereka

menjalankan tugas yang penting. Pengakuan akan pentingnya tugas yang diemban

pegawai dan penghargaan terhadap kemampuan pegawai mendorong pegawai untuk

berkinerja baik. Dari gagasan Vroom dan Wright ini maka pemerintah provinsi Gorontalo

Page 17: Document21

17

membuat tunjangan kinerja daerah (TKD) sebagai instrumen untuk membangkitkan

motivasasi pegawai.

Sistem pengupahan pegawai di Provinsi Gorontalo harus berbasis kinerja. Selain

gaji pokok, semua pegawai akan mendapatkan tunjangan kinerja jika mampu

menunjukkan kinerja yang baik sesuai dengan kriteria yang telah ditetapkan. Besaran gaji

bergeser dari sesuatu yang tetap (seperti yang dipraktekkan selama ini) ke sesuatu yang

bervariasi berdasarkan produktivitas karyawan. Secara umum, sistem penggajian

semacam ini dipandang sebagai komponen kunci untuk meningkatkan dan

mempertahankan motivasi, kinerja, dan integritas pelayan publik. Semakin tinggi

kontribusi karyawan terhadap organisasi, semakin tinggi pula insentif yang diterimanya.

Akibatnya, kinerja instansi membaik. Kemampuan pegawai dalam memenuhi kebutuhan

hidupnya juga akan meningkat. Agar sistem penggajian berbasis kinerja yang bersifat

individual ini tidak menurunkan arti penting kerja kelompok, sekaligus menyimpangkan

perhatian karyawan untuk lebih terfokus pada pengembangan diri pribadi dan

pencapaian-pencapaian jangka pendek ketimbang pemberdayaan kolektif dan realisasi

tujuan jangka panjang organisasi maka diperlukan studi yang komprehensif dan

dilindungi oleh payung hukum. Pemerintah provinsi Gorontalo sangat dibantu oleh Prof

Yeremias yang memberikan landasan konsep tentang pemberian TKD.Dasar hukum

penerapan TKD mengacu pada Pasal 29 Ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 105

Tahun 2000 tentang pengelolaan dan pertanggung jawaban keuangan daerah selanjutnya

dipertegas kembali melalui Pasal 63 Ayat (2) Peraturan Pemerintah No 58 tahun 2005

dan Pasal 39 Permendagri No 13 Th 2006 menyatakan pemerintah daerah dapat

memberikan tambahan penghasilan kepada pegawai negeri sipil daerah berdasarkan

pertimbangan yang obyektif dengan memperhatikan kemampuan keuangan daerah dalam

memperoleh persetujuan DPRD. Tambahan penghasilan diberikan dalam rangka

peningkatan kesejahteraan pegawai berdasarkan prestasi kerja, tempat bertugas, kondisi

kerja dan kelangkaan profesi. Peraturan tersebut yang melandasi dikeluarkannya

Peraturan Gubernur Gorontalo No 17 Tahun 2006 tentang Tunjangan Kinerja Daerah.

Agenda ketiga adalah menata sistem organisasi pemerintah provinsi Gorontalo

agar lebih responsif dalam menangani permasalahan sosio ekonomi yang dihadapi

masyarakat dan percepatan pembangunan daerah. Penataan sistem organisasi berkaitan

Page 18: Document21

18

dengan upaya untuk peningkatan kapasitas manajemen. Provinsi Gorontalo yang

berusaha untuk melakukan percepatan pembangunan membutuhkan sistem organisasi

yang lebih baik dan lebih cepat dalam memenuhi kebutuhan pelanggan dan mampu

melakukan percepatan pembangunan. Pelanggan di sini adalah rakyat yang mayoritas

petani. Percepatan pembangunan terutama di sektor pertanian dan perikanan. Oleh karena

itu struktur organisasi pemerintahan yang ada diubah menjadi organisasi berbentuk

matriks agar tercapai sinergi, efesiensi, dan efektivitas di satuan kerja pemerintah daerah.

Selain itu juga dilakukan pemangkasan red tape terutama di bidang keuangan dari

sebelumnya 12 meja menjadi dua meja. Selain itu juga diperkenalkan intranet di

lingkungan SKPD Provinsi Gorontalo dan penggunaan SMS untuk me-bypass hambatan

birokrasi. Dampaknya terasa sangat signifikan. Sistem komunikasi di jajaran birokrasi

menjadi lebih cepat, lugas dan mampu mereduksi hierarkhi. Akibatnya birokrasi di

Gorontalo relatif lebih berwatak kewirausahaan.

Page 19: Document21

19

Daftar Pustaka

Agranoff, Robert, and Michael McGuire. 1998. ‘Multi-network management: Collaboration

and the hollow state.’ Journal of Public Administration Research and Theory 1: 67-91. Alter, C. & Hage, J. 1993. Organizations Working Together. Newbury Park, CA: Sage. Bank Indonesia & FE UNPAD, 2008. Profil dan Pemetaan Daya Saing Ekonomi Daerah

Kabupaten/Kota di Indonesia. Jakarta: Rajawali Press. Bardach, Eugene 2001. ‘Developmental dynamics: Interagency collaboration as an

emergent phenomenon.’ Journal of Public Administration Research and Theory 2: 149-164.

Barney, J. 1991. Firm resources and sustained competitive advantage. Journal of Management,

17: 99-120. Becker, B., Huselid, M. & D. Ulrich 2001. The HR Scorecard: Linking people, strategy

andperformance. Cambridge, MA: Harvard Business School Press.

Behn, Robert D. 1995. ‘The big questions of public management.’ Public Administration Revie 55 (4): 313-324. Berry, Jeffrey M, Kent E. Portney, and Ken Thomson. 1993. The Rebirth of Urban

Democracy. Washington DC: Brookings Institution. Boxall, P. & Steeneveld, M. 1999. Human resource strategy and competitive advantage: A

longitudinal study of engineering consultancies. Journal of Management Studies, No. 36m, h. 443-463.

Boxall, P. 1998. Achieving competitive advantage through human resource Strategy: Toward a

theory of industry dynamics. Human Resource Management Review, No. 8, h. 265-288. Box, Richard C. 1998. ‘ Citizen Governance. Thousand Oaks, CA: SAGE Publications.

Bozeman, B. and G. Kingsley. 1998. “Risk Culture in Public and Private Organizations”. Public

Administration Review. 58 (2). Brass, D.J., Galaskiewicz, J., Greve, H.R., & Tsai, W. 2004. Taking stock of networks and

organizations: A multilevel perspective. Academy of Management Journal, 47:795- 817 Cameron, Kim and Quinn, Robert E. Quinn (1998). Diagnosing and Changing Organizational

Culture; Based on The Competing Values Framework. Reading, MA, Addison-Wesley

Page 20: Document21

20

Donahue, Amy K., Sally C. Selden, and Patricia W. Ingraham 2000. ‘Measuring government management capacity: A comparative analysis of city human resources management systems. Journal of Public Administration Research and Theory 2: 381-411.

Eisenhardt, K. & Martin, J. 2000. Dynamic capabilities. What are they? Strategic Management

Journal, 21: 1105-1121. Eisenhardt, K.M. 1989. Agency theory: An assessment and review. Academy of Management

Review, 14: 57-74. Fama, E.F. & Jensen, M.C. 1983. Separation of ownership and control. Journal of Law and

Economics, 26: 301-325. Gittell, J. 2002. Relationships between service providers and their impact on customers. Journal of Service Research, 4: 299-311. Goffee, R. & Jones, G. 1996. What hold the modern company together? Harvard Business

Review, November/December; 133-148. Hall, R. 1968. Professionalization and Bureaucratization. American Sociological Review, 33:

92-104. Hall, R. 1992. The strategic analysis of resources. Strategic Management Journal, No.13, h. 125-

143 Hill, C.J. & Lynn, L.E. 2005. Is hierarchical governance in decline? Evidence from empirical

research. Journal of Public Administration Research and Theory. 15:173-195. Hood, Christopher. 1998. The Art of the State. Oxford: Clarendon Press. Huselid, M., Jackson, S. & R. Schuler 1997. Technical and strategic human resource effectivenvess as determinants of firm performance. Academy of Management Journal,

No. 40, h. 171-188. Huxham, C. & Vangen, S. 2005. Managing to Collaborate. London: Routledge.

Ingraham, P.W. and Kneedler, 2000, “Dissecting the Black Box: Toward a Model of Measures of Government Management Performance,” In J.L. Brudney, L.J. O’Toole and H.

Ingraham P.W., P.G. Joyce and A.D. Donahue. 2003. Government Performance: Why

Management Matters. Baltimore, MD: John Hopkins University Press. Itami, H. and Roehl, T. 1987. Mobilizing Invisible Assets. Cambridge, MA: Harvard University

Press.

Page 21: Document21

21

Khademian, Anne M., and Edward P. Weber 2002. ‘Throwing out the book: Building collaborative capacity to tackle paralyzing public problems.’ Paper presented at the Annual Meeting of the Association for Public Policy Analysis and Management, Dallas, TX (November 7-9).

Kettl, Donald. 2002. The transformation of governance: Public administration for twenty-first

century America. Baltimore, MD: Johns Hopkins University Press. Miller, Gary J. 1992. Managerial dilemmas: The political economy of hierarchy. Cambridge:

Cambridge University Press. Nye, Joseph S. 1997. “In Government We Don’t Trust,” Foreign Policy, October (Fall).

Osborne, D. and T. Gaebler. 1992. Reinventing Government. New York: Addison-Wesley. Pandey, Sanjay K., David H. Coursey, Donald P. Moynihan. 2004. Organization Culture, ed

Tape and Performance. Department of Public Policy and Administration, Rutgers University.

Putnam, Robert 2000. Bowling Alone: The Collapse and Revival of American Community. New York, NY: Simon and Schuster.

Rainey, Eds, Advancing Public Management: New Development in Theory, Methods, and Practice, Washington D.C,: The Georgetown University Press. Rousseau, D. 1990. Normative beliefs in fund-raising organizations: Linking culture to organizational performance and individual responses. Group & Organization Studies, h.

448-460. Schneider, B. & Bowen, D. 1995. Winning the Service Game. Cambridge, MA: Harvard Business School Press.

Scott, James C 1998. Seeing like a state: How certain schemes to improve the human

conditionhave failed. New Haven and London: Yale University Press.

Thompson, F.J. and N.M. Riccucci. 1998. “Reinventing Government”. Annual Review of Political Science. Palo Alto, CA: Annual Reviews.

Trice, H. & Beyer, J. 1993. The Cultures of Work Organizations. Englewood Cliffs, New

Jersey: Prentice Hall.

Van Mananen, J. & Barley, S. 1984. Occupational Communities: Control in culture in organizations. In B.M. Staw and L.L. Cummings (eds.) Research in Organizational

Behavior, 6: 287-365. Greenwich, CT: JAI Press.

Vroom, V. 1964. Work and Motivation. New York: Wiley.

Page 22: Document21

22

Weber, Edward P. 2003. Bringing Society Back In: Grassroots Ecosystem Management, Accountability, and Sustainable Communities. Cambridge, MA: The MIT Press. Winter, S. 2002. Understanding Dynamic Capabilities. Working Paper, The Wharton School,

University of Pennsylvania. Wright, B.E.2007.”Public Service and Motivation: Does Mission Matter?” Public Administration

Review, January-February Yeremias T. Keban. 2007. “Membangun Kerjasama Antar Pemerintah Dearah Dalam Era

Otonomi,” Warta GUBERNUR, Jurnal Otonomi & Pembangunan Daerah, Vol. 1 Tahun 1, Januari.