HANTARAN HIDROLIK JENUH DAN KAITANNYA DENGAN
BEBERAPA SIFAT FISIKA TANAH PADA TEGALAN DAN HUTAN BAMBU
Oleh Christian Pae Raja
A24104005
PROGRAM STUDI ILMU TANAH FAKULTAS PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2009
RINGKASAN
CHRISTIAN PAE RAJA. Hantaran Hidrolik Jenuh dan Kaitannya Dengan Beberapa Sifat Fisika Tanah pada Tegalan dan Hutan Bambu. Dibimbing oleh DWI PUTRO TEJO BASKORO dan KUKUH MURTILAKSONO.
Hantaran hidrolik jenuh memegang peranan penting dalam menjaga kualitas tanah dan lingkungan. Penurunan hantaran hidrolik jenuh tanah dapat menyebabkan aliran permukaan meningkat dan cadangan air tanah berkurang sehingga mengakibatkan banjir, erosi, longsor dan kekeringan. Hantaran hidrolik jenuh berkaitan dengan sifat fisika tanah dan dipengaruhi oleh penggunaan lahan.
Berkaitan dengan itu maka penelitian ini dilakukan untuk mengetahui hantaran hidrolik jenuh dan kaitannya dengan sifat-sifat fisika tanah pada tegalan dan hutan bambu. Penelitian dilakukan di Kabupaten Bogor dengan tiga lokasi, yaitu Gunung Malang, Curug Luhur dan Ciherang pada lahan tegalan dan hutan bambu. Hantaran hidrolik jenuh diukur di lapangan dengan tiga titik pengukuran di setiap penggunaan lahan pada masing-masing lokasi. Untuk analisis sifat-sifat fisika tanah dilakukan di laboratorium dengan menggunakan sampel tanah yang diambil dari 3 titik pada setiap penggunaan lahan di masing-masing lokasi. Pengaruh penggunaan lahan dan lokasi terhadap hantaran hidrolik dan sifat-sifat fisik dapat ditemukan dengan metode rancangan acak kelompok.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa hantaran hidrolik jenuh pada hutan bambu lebih besar dibandingkan hantaran hidrolik jenuh pada tegalan, yaitu 3.00 cm/jam dan 0.90 cm/jam . Hutan bambu juga memiliki sifat-sifat fisika tanah yang lebih baik dibandingkan dengan tegalan. Hal ini dapat dilihat dari indeks stabilitas agregat, porositas, pori drainase, pori air tersedia dan bahan organik yang lebih besar dibandingkan dengan tegalan serta bobot isi yang lebih kecil dibandingkan dengan tegalan. Hutan bambu memiliki indeks stabilitas agregat 230.15%, porositas 51.68%, pori drainase 16.80%, pori air tersedia 29.75% , bahan organik 5.15 %, dan bobot isi 1.39 g/cm3sedangkan lahan tegalan memiliki indeks stabilitas agregat 166.17%, porositas 44.08%, pori drainase 11.89%, pori air tersedia 6.94% dan bahan organik 3.69 % dan bobot isi 1.57 g/cm3,
SUMMARY
CHRISTIAN PAE RAJA. Hydroulic Conductivity and Interrelated with Soil Physical Characteristics in Dry Fields and Bamboo Forests. Supervised by DWI PUTRO TEJO BASKORO and KUKUH MURTILAKSONO.
Hydroulic Conductivity is very important in maintaining the quality of soil and environment. Damage of hydroulic conductivity may increases run off and decreases water storage so results in flood, erosion, landslide, and drought.
Hydroulic conductivity own related with soil physical characteristics and influence of land use. This study aims to know of hydroulic conductivity and interellated with soil physical characteristics in dry fields and bamboo forests. Influence of land use and location revealed with randomized block design method.
This study revealed that bamboo forests own better soil physical characteristics compared to dry fields. Bamboo forests own hydroulic conductivity about 3.00 cm/hour, aggregat stability indeks about 230.15 %, porosity about 51.68 %, drainage pore spaces about 16.80 %, water content about 29.75 % and organic matter about 5.15 % greater than dry fields that own about 0.90 cm/hour, agregat stability indeks about 166.17 %, porosity about 44.08%, drainage pore spaces about 11.89 %, water content about 6.94 % and organic matter about 3.69 %. Bamboo forests and dry fields own bulk density about 1.39 g/cm3 and 1.57 g/cm3.
Based on this study, hydroulic conductivity and soil phsyical characteristics in bamboo forests is better than dry fields.
HANTARAN HIDROLIK JENUH
DAN KAITANNYA DENGAN
BEBERAPA SIFAT FISIKA TANAH
PADA TEGALAN DAN HUTAN BAMBU
Oleh
Christian Pae Raja
A24104005
Skripsi
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Pertanian
pada Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan,
Fakultas Pertanian
Institut Pertanian Bogor
PROGRAM STUDI ILMU TANAH
FAKULTAS PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2009
Judul Skripsi : Hantaran Hidrolik Jenuh dan Kaitannya Dengan Beberapa Sifat Fisika Tanah Pada Tegalan dan Hutan Bambu
Nama Mahasiswa : Christian Pae Raja
Nomor Pokok : A24104005
Menyetujui,
Dosen Pembimbing I Dosen Pembimbing II
Dr. Ir. Dwi Putro Tejo Baskoro, MSc Dr. Ir. Kukuh Murtilaksono,MSc
NIP. 19630126 198703 1 001 NIP. 19600808 198903 1 003
Mengetahui,
Dekan Fakultas Pertanian
Prof. Dr. Ir Didy Sopandie, M. Agr
NIP. 19571222 198203 1 002
Tanggal Lulus :
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Medan pada tanggal 3 Agustus 1985 dan merupakan anak
pertama dari dua bersaudara dari pasangan Bapak J. Manden Ferdinand dan Ibu
Masrio Damanik.
Penulis mengikuti pendidikan SD hingga SMP di Batunadua, Kecamatan
Pangaribuan. Pada tahun 1998 penulis lulus dari Sekolah Dasar Negeri Batunadua,
Pangaribuan, tahun 2001 lulus dari Sekolah Menengah Pertama Negeri 2 Batunadua,
Pangaribuan dan pada tahun 2004 lulus dari SMA 2 HKBP Tarutung.
Tahun 2004 penulis diterima di Institut Pertanian Bogor, Fakultas Pertanian,
Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan melalui jalur Undangan Seleksi
Mahasiswa IPB (USMI IPB). Selama menempuh pendidikan di Institut Pertanian
Bogor, penulis pernah aktif sebagai Koordinator Komisi Persekutuan periode 2006-
2007 pada Persekutuan Mahasiswa Kristen, IPB. Penulis juga pernah menjadi asisten
praktikum Mata Kuliah Fisika Tanah tahun ajaran 2008-2009.
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur kepada Tuhan Yesus Kristus yang telah memberikan kasih
karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan studi dan skripsi ini dengan baik.
Skripsi yang berjudul Karakterisasi Hantaran Hidrolik Jenuh dan Kaitannya Dengan
Beberapa Sifat Fisika Tanah pada Tegalan dan Hutan Bambu merupakan salah satu
syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Pertanian pada Fakultas Pertanian, Institut
Pertanian Bogor. Pada kesempatan kali ini penulis menyampaikan rasa hormat dan
terima kasih yang mendalam kepada:
1. Ibunda dan adinda tercinta, yang selalu mendoakan dan memberikan semangat
sehingga penulis dapat menyelesaikan pendidikan di IPB.
2. Bapak Dwi Putro Tejo Baskoro dan Bapak Kukuh Murtilaksono, selaku
pembimbing skripsi dan akademik yang telah banyak memberikan arahan dan
bimbingan dalam penulisan skripsi ini.
3. Jajaran dosen Ilmu Tanah, Institut Pertanian Bogor. Terima kasih atas segala ilmu
dan wejangan dari Bapak dan Ibu sekalian.
3. Ompung N. D. Gultom dan Keluarga Ompung O.P. Sitompul.
3. Saudara-saudara seperjuangan di Ilmu Tanah: Roni, Bachtiar, Restu, Abi, Ester,
Ekayana, Rumiris, Dwi Eka dan teman–teman Soiler 41 yang tidak dapat disebut
namanya satu persatu. United by Soil.
4. Teman-teman di Malea Putra: Mario, Richard, Tumpal, Rano dan yang tidak bisa
saya sebutkan satu persatu.
5. FM 08 yang selalu menghiasi waktu.
6. Omda PARTARU (Parsadaan Anak Rantau Tarutung)
7. Pihak-pihak yang tidak dapat disebut satu persatu yang telah memberikan
dukungan moral maupun materiil dalam studi dan penyelesaian skripsi.
Bogor, September 2009
Penulis
I. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Beberapa tahun belakangan ini erosi, banjir, longsor dan kekeringan sering
terjadi di berbagai wilayah di Indonesia. Hal ini tidak terlepas dari semakin
banyaknya tanah yang mengalami penurunan kemampuan meresapkan air yang
sangat dipengaruhi oleh hantaran hidrolik jenuh. Hantaran hidrolik jenuh merupakan
kemampuan tanah untuk meresapkan dan melalukan air ke dalam tanah. Jika hantaran
hidrolik jenuh tanah buruk maka sebagian besar air hujan yang jatuh menjadi aliran
permukaan dan berpotensi menimbulkan banjir dan menurunkan cadangan air tanah.
Hantaran hidrolik jenuh tidak berkaitan erat dengan sifat-sifat fisika tanah.
Secara umum hantaran hidrolik jenuh dipengaruhi oleh tekstur, struktur, porositas,
ukuran pori, kemantapan agregat serta peristiwa yang terjadi selama proses aliran.
Akan tetapi pengaruh sifat fisika tanah terhadap hantaran hidrolik jenuh tidak sama.
Penggunaan lahan sangat mempengaruhi karakteristik hantaran hidrolik jenuh
tanah. Penggunaan lahan yang bijaksana dapat menjamin kerusakan sifat fisika tanah
minimum, sedangkan penggunaan lahan yang buruk dapat merusak sifat fisika tanah
sehingga mengganggu hantaran hidrolik jenuh tanah.
Lahan tegalan merupakan penggunaan lahan untuk pertanian yang dikelola
oleh masyarakat petani. Lahan tegalan merupakan sumber kehidupan sebagian besar
petani di Indonesia sehingga masyarakat petani sering melakukan pengolahan tanah
yang intensif. Pengolahan tanah yang intensif dan berlebihan menyebabkan
kerusakan sifat fisika tanah berlangsung cepat.
Berbeda dengan tegalan, penggunaan lahan hutan bambu merupakan
penggunaan lahan yang tepat untuk menciptakan sifat fisika tanah yang baik sehingga
hantaran hidrolik jenuh meningkat. Tanaman bambu tumbuh dominan pada lahan
tersebut memiliki fungsi sebagai tanaman penutup tanah yang melindungi tanah dari
berbagai energi perusak, seperti tumbukan butiran air hujan. Tanaman bambu
menyumbangkan serasah yang menutup permukaan tanah dan dapat mengurangi
aliran permukaan. Di samping itu tumpukan serasah tersebut akan berubah menjadi
bahan organik yang sangat penting peranannya terhadap sifat fisika tanah.
Kualitas dan karakteristik sifat-sifat fisik tanah dipengaruhi oleh penggunaan
lahan. Pada kesempatan ini dilakukan penelitian sifat- sifat fisika tanah pada
penggunaan lahan tegalan dan hutan bambu. Penggunaan lahan tegalan dan hutan
bambu memiliki pengaruh langsung terhadap sifat-sifat fisika tanah.
Secara otentik besaran hantaran hidrolik jenuh dan sifat fisika tanah serta
kaitan antar keduanya pada penggunaan lahan tegalan dan hutan bambu belum
banyak diketahui.
2.1. Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hantaran hidrolik jenuh dan
kaitannya dengan sifat-sifat fisika tanah pada penggunaan lahan tegalan dan hutan
bambu.
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Penggunaan Lahan
Penggunaan lahan merupakan perihal mengelola tanah dengan tujuan
menanam tanaman yang dapat memberi keuntungan dan memelihara tanah agar dapat
digunakan untuk jangka waktu panjang. Penggunaan lahan yang baik adalah
memperhatikan kaidah-kaidah konservasi tanah dan air, sehingga fungsi tanah
sebagai salah satu faktor peningkatan produksi dapat dipertahankan (Soepardi, 1983).
Penggunaan lahan sebaiknya tidak selalu bertujuan untuk kebutuhan ekonomi
manusia saja, tetapi juga untuk memelihara kelestarian lahan itu sendiri. Penggunaan
lahan yang bijaksana tidak hanya memperuntukkan lahan bagi pertanian tetapi juga
untuk daerah resapan air, lokasi konservasi, hutan lindung dan sebagainya. Untuk itu
pengunaan lahan perlu diawasi untuk mencegah terjadinya penggunaan lahan di luar
batas kemampuannya yang dapat menyebabkan kondisi lingkungan tidak seimbang.
2.1.1. Hutan Bambu / Tumbuhan Bambu (Gigantochloa, sp)
Bambu, secara umum tumbuh sebagai rumpun bambu, masuk ke dalam
kelompok Graminae, famili Bambuseae dan sub-famili Bambusoideae. Bambu
memiliki batang dan karakteristiknya seperti kayu, memiliki tunas (rebung), sistem
perakaran rhizome dan bercabang-cabang, daun berbentuk pisau, dan memiliki organ
pembungkus batang. Bambu dapat tumbuh di daerah tropik, sub-tropik, dan daerah
dengan suhu kontinental kecuali Eropa dan Asia Barat, dari ketinggian 0-4000 m dpl
(Anonim, 1995). Di dunia terdapat sekitar 1250 – 1500 jenis bambu, sedangkan
Indonesia memiliki hanya 10% sekitar 154 jenis bambu (Widjaja., 2008).
Menurut Arsyad (2006), beberapa jenis bambu yang secara ekonomi penting
dapat ditanam di jurang-jurang atau di daerah-daerah yang rusak, seperti:
Gigantochloa apus Kurz (bambu apus), G. verticillata Munro (bambu ater),
Dendrocalamus asper (buluh betung) dan Bambusa bambos (awur duri). Bambu
dapat menyediakan perlindungan ekologis seperti tanaman penutup tanah. Bambu
menyediakan manfaat yang tidak bisa diberikan tumbuhan lain. Keistimewaan bambu
yang tidak bisa dibandingkan tumbuhan lain adalah: pertumbuhan yang rapat, dapat
melindungi dari angin, sistem perakaran rhizome yang dapat menahan bahaya erosi
pada daerah miring, dan dapat memproduksi 35% oksigen lebih banyak daripada
pepohonan pada kondisi yang sama.
Tanaman bambu mempunyai sistem perakaran rimpang (rhizome) dengan
cabang-cabang serabut yang sangat kuat. Akar bambu tumbuh menyebar secara
lateral dan vertikal dalam tanah. Akar-akar tersebut saling menjalin dan membentuk
semacam lapisan akar yang tipis di permukaan tanah. Wahyuddin (2008) mengatakan
akar bambu akan saling terkait dan mengikat antar rumpun sehingga terbentuk
semacam lapisan akar di permukaan tanah. Akar dan serasah di bawahnya juga akan
menahan top soil (lapisan tanah permukaan yang subur) sehingga tidak hanyut
tergerus air hujan. Tanah di bawah tegakan pepohonan rata-rata menyerap 35-40% air
hujan sedangkan tanah di bawah tegakan bambu bisa menyerap sampai 90%.
Widjaja (2008) mengatakan bambu memiliki manfaat besar dalam menahan
terjadinya erosi di Daerah Aliran Sungai (DAS). Tanaman bambu memiliki akar
tunjang dan akar serabut yang menutupi tanah dan mengikat tanah sehingga dapat
mencegah terjadinya erosi di pinggiran sungai.
2.1.2. Tegalan
Lahan tegalan atau disebut sebagai areal pertanian lahan kering semusim
adalah areal pertanian yang tidak pernah diairi dan secara permanen ditanami dengan
jenis tanaman berumur pendek (Kartono et al., 1985).
Ciri khusus usaha tani tegalan adalah seringnya tanah terbuka karena tindakan
pengolahan lahan dan penyiangan. Pengolahan tanah akan mempercepat dekomposisi
bahan organik dan menghancurkan bongkah-bongkah/agregat-agregat yang terbentuk
(Buckman and Brady, 1969). Ketika hujan maka agregat-agregat tanah hancur dan
kepadatan tanah meningkat sehingga kemampuan tanah melalukan air menjadi
semakin rendah.
Jatuhnya butir-butir hujan yang langsung mengenai permukaan tanah akan
mempercepat terjadinya dispersi dan erosi. Pukulan butir-butir hujan ini cenderung
merusak struktur permukaan tanah sehingga bahan-bahan halus dar permukaan
tercuci ke dalam rongga-rongga dan menyumbat ruang pori.
2.2. Sifat-sifat Fisik Tanah
2.2.1. Hantaran Hidrolik Jenuh
Hantaran hidrolik jenuh merupakan suatu karakteristik tanah yang
berhubungan dengan sifat geometri tanah yang bisa diukur, misalnya porositas,
distribusi ukuran pori, dan sifat lapisan tanah. Tanah dengan pori total tinggi tetapi
didominasi pori mikro akan memperlihatkan hantaran hidrolik jenuh yang rendah
daripada tanah dengan pori total rendah tetapi mempunyai pori makro yang banyak
(Millar et al., 1958).
O’Neal (1949) mendefinisikan hantaran hidrolik jenuh sebagai kapasitas tanah
untuk meloloskan air, atau tingkat kecepatan perkolasi dari air yang melalui kolom
tanah di bawah kondisi standar. Secara kuantitatif hantaran hidrolik jenuh diartikan
sebagai kecepatan bergeraknya suatu cairan melalui media berpori pada keadaan
jenuh dan dinyatakan dalam satuan cm/jam (Sitorus et al., 1987).
Schwab et al. (1966) mengatakan bahwa terjadinya agregasi tanah yang baik
akan meningkatkan pori tanah, terutama pori aerasi. Agregasi yang terbentuk lebih
besar dari 0.5 mm lebih efektif meningkatkan pori aerasi tanah. Hal ini didukung oleh
Baver, (1959) yang mengatakan bahwa distribusi ukuran pori sangat menentukan
tingkat hantaran hidrolik tanah. Pori tanah yang yang berukuran makro lebih berperan
dalam pertukaran air dan udara di dalam tanah dibandingkan dengan pori yang
berukuran mikro.
Mohr dan Van Baren (1954) menyebutkan bahwa hantaran hidrolik
meningkat bila: (1) agregasi butir tanah menjadi remah, (2) adanya saluran bekas
lubang akar yang terdekomposisi, (3) adanya bahan organik, dan (4) porositas tanah
yang tinggi.
Berdasarkan kecepatannya, hantaran hidrolik jenuh tanah dapat dibagi-bagi
menjadi beberapa kelas. Berdasarkan kecepatannya, Uhland dan O’Neal (1959 dalam
Sitorus et al. 1980) mengklasifikasikan hantaran hidrolik seperti yang tertera pada
tabel di bawah.
Tabel 1. Klasifikasi Hantaran Hidrolik Jenuh menurut Uhland dan O’Neal (1959)
Kelas Hantaran Hidrolik Jenuh (cm/jam) Sangat Lambat <0.125
Lambat 0.125-0.500 Agak Lambat 0.500-2.000
Sedang 2.000-6.250 Agak Cepat 6.250-12.500
Cepat 12.000-25.000 Sangat Cepat >25.000
2.2.2. Stabilitas Agregat Tanah
Agregat menggambarkan gabungan dari pasir, debu, liat dan bahan pengikat
yang tersusun sedemikian rupa., Agregat tanah adalah sekumpulan dari partikel-
partikel tanah yang dipegang bersama-sama oleh semen dalam bentuk granul.
Sedangkan menurut Clapp (1984), agregat tanah merupakan kumpulan dari partikel-
partikel tanah yang terbentuk secara alami; dan gaya yang memegang agregat tanah
jauh lebih kuat daripada gaya yang memegang antar agregat tanah yang berbatasan.
Agregat tanah memiliki peranan penting dalam menentukan jumlah dan
distribusi ruang pori tanah, yang berkaitan dengan kerentanan agregat terhadap erosi
angin dan air (Baver et al., 1972). Dalam kaitannya dengan hantaran hidrolik jenuh,
stabilitas agregat tanah penting karena agregat yang mantap akan mempertahankan
ruangan-ruangan udara dalam tanah, sehingga mempermudah air merembes ke dalam
tanah dan mencegah timbulnya masalah aerasi.
Faktor-faktor yang mempengaruhi ukuran dan stabilitas agregat adalah
tekstur, kandungan liat, bahan organik, dan jenis kation. Liat dan bahan organik
berfungsi sebagai perekat dalam proses agregasi. Oleh karena itu, kandungan liat
yang tinggi akan meningkatkan ukuran dan stabilitas agregat. Baver et al. (1972)
mengatakan bahwa partikel liat berfungsi sebagai agen pengikat. Gaya elektrostatik
dan gaya van der Walls berperan penting dalam interaksi antar partikel liat.
Bahan organik juga bertanggungjawab dalam proses sementasi partikel-
partikel utama sampai membentuk agregat stabil (Baver et al., 1972). Hal ini juga
dikemukakan Soepardi (1983), bahwa bahan organik merupakan faktor agregasi
terpenting. Bahan organik memungkinkan partikel-partikel lepas jadi terikat dan
menjadi agregat yang stabil serta lebih besar sehingga diperoleh kesarangan yang
sangat diperlukan tanah. Peranan bahan organik dalam stabilisasi agregat adalah
peningkatan gaya kohesi dan menurunkan daya pembasahan tanah (Greenland dan
Lal, 1977). Penambahan sejumlah bahan organik ke dalam tanah akan selalu diikuti
oleh penambahan stabilitas agregat, dan selang distribusi ukuran agregat yang lebih
sempit (Larson dan Clapp, 1984).
Dalam hubungan agregasi dengan tumbuhan, Arsyad (2006) menjelaskan
pembentukan agregat tanah dimulai dengan penghancuran bongkah-bongkah tanah
oleh perakaran tumbuhan. Akar tumbuhan masuk ke dalam bongkah tanah dan
menimbulkan tempat-tempat lemah yang menyebabkan bongkah-bongkah terpisah
menjadi butir-butir sekunder. Akar-akar tumbuhan juga menyebabkan agregat-
agregat menjadi stabil, secara mekanik dan kimia. Akar-akar serabut mengikat butir-
butir primer tanah, sedangkan sekresi dan sisa tumbuhan yang dirombak memberikan
senyawa-senyawa kimia yang berfungsi sebagai pemantap agregat.
Menurut Brady (1980) ada tiga faktor yang mempengaruhi kemantapan
agregat, yaitu: (1) ikatan mekanik akibat aktivitas mikroorganisme, misalnya filamen
(miselia) fungi, (2) sementasi oleh produk mikrobia sintetik dengan hasil
pembusukan,dan (3) sementasi oleh humus yang dibantu komponen inorganik,
misalnya oksida besi. Sedangkan Herudjito (1983) menyebutkan pembentukan dan
stabilitas agregat tanah tergantung pada sifat dan jumlah liat serta bahan organik.
Martin (1975 dalam Islami, 1995) mengemukakan bahwa bahan organik yang
membantu agregasi adalah jerami, pupuk kandang dan tanaman legume. Akan tetapi
bahan organik yang mudah terdekomposisi diberikan ke dalam tanah kurang efektif
peranannya dalam membantu agregasi.
Penetapan kemantapan agregat dilakukan dengan metode pengayakan kering
dan pengayakan basah. Angka yang didapat dari ayakan kering merupakan indeks
yang menggambarkan kepekaan tanah terhadap erosi angin (Baver et al., 1972), dan
angka yang didapat dari ayakan basah menggambarkan kepekaan tanah terhadap erosi
air (Kemper dan Rosenau, 1986). Kemantapan agregat dinyatakan ke dalam indeks
stabilitas agregat yang merupakan selisih antara rata-rata bobot diameter agregat
tanah pada pengayakan kering dengan rata-rata bobot diameter pada pengayakan
basah (Sitorus et al., 1983). Semakin besar indeks stabilitas agregat maka tanah
semakin stabil, demikian sebaiknya. Sitorus et al. (1983) mengklasifikasikan indeks
stabilitas agregat seperti yang disajikan pada Tabel 2.
Tabel 2. Klasifikasi Indeks Stabilitas Agregat (Sitorus et al., 1983)
Kelas Indeks Stabilitas Agregat (ISA) Sangat Stabil Sekali >200
Sangat Stabil 80-200 Stabil 66-80
Agak Stabil 50-66 Kurang Stabil 40-50 Tidak Stabil <40
2.2.3. Porositas dan Distribusi Ukuran Pori
Menurut Soepardi (1983) porositas merupakan bagian tanah yang ditempati
air dan udara. Jumlah ruang pori ditentukan oleh cara tersusunnya zarah tanah. Bila
mereka berhimpitan seperti halnya lapisan bawah yang padat atau pasir, maka jumlah
ruang pori akan sedikit. Tetapi bila zarah tersusun secara sarang, seperti halnya
dengan tanah bertekstur sedang, maka dalam setiap satuan isi akan banyak dijumpai
ruang pori. Distribusi ukuran pori menunjukkan persentase sebaran ukuran pori tanah
yang didasarkan pada persen volume udara pada berbagai nilai kurva pF, sedangkan
porositas dihitung berdasarkan penetapan bobot isi dan bobot jenis partikel tanah
(Hillel, 1971).
Hardjowigeno (2003) membedakan pori tanah menjadi pori-pori kasar
(makropori) dan pori-pori halus (mikropori). Pori-pori kasar berisi udara atau air
gravitasi (air yang mudah hilang karean gaya gravitasi), sedangkan pori-pori halus
berisi air kapiler dan udara. Tanah dengan banyak pori-pori kasar sulit menahan air
sehingga tanah mudah kekeringan. Tanah-tanah dengan struktur granular atau remah
mempunyai porositas yang lebih tinggi daripada tanah-tanah berstruktur masif.
Sedangkan Soedarmo dan Djojoprawiro (1984) membagi ukuran pori dengan
batas ukuran pori dan tegangan atas dasar kemampuan tanaman menghisap air,
kemampuan tanah menahan air dan melalukan air. Kelompok ukuran tersebut adalah
pori berguna dengan diameter >0.2 µm, dan pori-pori tak berguna yaitu pori dengan
diameter <0.2 µm. Pori-pori berguna meliputi:
1. Pori drainase dengan diameter > 8.6 µm yang dibagi atas:
� Pori drainase cepat, berdiameter ≥ 28.8 µm dengan asumsi bahwa
28.8 µm adalah diameter pori pada tegangan 100 cm H2O atau
tekanan 1/10 bar.
� Pori drainase lambat, berdiameter antara 8.6-28.8 µm, dimana pori ≤
8.6 µm merupakan batas atas pori-pori terisi air pada kapasitas lapang
atau tekanan 0.337 bar.
2. Pori pemegang air, berdiameter antara 0.2-8.6 µm, dimana pori ≤ 0.2 µm
merupakan batas atas kemampuan akar tanaman menghisap air atau setara
dengan tegangan 15 atm.
Porositas dan distribusi ukuran pori mempunyai hubungan yang erat dengan
hantaran hidrolik jenuh tanah. Hantaran hidrolik jenuh yang tinggi bergantung pada
ukuran pori dan kesinambungan pori. Tanah yang mempunyai porositas tinggi tidak
selalu memiliki hantaran hidrolik jenuh yang tinggi, terutama jika tanah didominasi
pori-pori mikro.
Rata-rata porositas total pada beberapa jenis tanah kurang lebih 50%. Tanah
pasir memiliki porositas lebih kecil dibandingkan dengan liat dan tanah organik. Pori
tanah bervariasi dengan bergantung pada ukuran partikel dan keadaan agregat tanah
(Baver et al., 1972).
2.2.3. Bobot Isi
Bobot isi tanah adalah berat kering tanah pada suatu volume tertentu dan
umumnya dinyatakan dalam gram per centimeter kubik. Berat kering tanah ditetapkan
setelah tanah tesebut dikeringkan pada suhu 1050 C sampai beratnya konstan,
sedangkan volumenya adalah volume contoh tanah utuh pada saat pengmbilan tanah
di lapang (Foth dan Turk, 1975). Selanjutnya Foth dan Turk (1975) mengemukakan
bahwa bobot isi tanah dapat bervariasi dari waktu ke waktu atau dari lapisan ke
lapisan, sesuai dengan perubahan ruang pori atau struktur tanah. Menurut Thompson
dan Troeh (1975) dan Soepardi (1983) lapisan olah tanah mineral yang sarang
biasanya mempunyai bobot isi antara 1.00 g/cm3 sampai 1.60 g/cm3, sedangkan
lapisan bawah yang sangat padat sama atau lebih dari 2.00 g/cm3.
Menurut Russel (1975) serta Thompson dan Troeh (1975) tekstur tanah secara
tidak langsung akan mempengaruhi bobot isi tanah, karena ia menentukan tingkat
agregasi tanah. Secara umum tanah-tanah yang bertekstur halus memiliki bobot isi
yang lebih rendah daripada tanah yang bertekstur kasar, karena ruang porinya lebih
banyak.
2.2.4. Bahan Organik
Bahan organik umumnya ditemukan di permukaan tanah atau lapisan atas (top
soil). Jumlah bahan organik ini tidak besar, bekisar 3-5 %, tetapi memegang peranan
penting dalam menentukan sifat fisika dan kimia tanah serta didalam bidang
pertanian, terutama bagi pertumbuhan tanaman. Pengaruh bahan organik terhadap
sifat-sifat fisik tanah dan juga pertumbuhan tanaman adalah: (1) sebagai granulator,
yaitu memperbaiki struktur tanah, (2) sumber hara bagi tanaman, (3) menambah
kemampuan tanah menahan air, (4) menambah kemampuan tanah untuk menahan
unsur-unsur hara, kapasitas tukar kation menjadi tinggi, dan (5) sumber energi mikro-
organisme (Suripin, 2001).
Bahan organik dalam tanah terdiri dari bahan organik kasar (serasah) dan
bahan organik halus (humus). Dengan bantuan mikroorganisme tanah bahan organik
kasar akan dihancurkan menjadi bahan organik halus. Bahan organik halus (humus)
merupakan senyawa resisten, berwarna hitam atau coklat, dan mempunyai daya
menahan air dan unsur hara yang tinggi.
Menurut Tjawn (1968) peranan bahan organik terhadap sifat fisik tanah
adalah menaikkan kemantapan agregat tanah, memperbaiki struktur tanah dan
menaikkan daya tahan air tanah. Selanjutnya Darmawidjaya (1961 dalam Suripin,
2001) menyatakan peranan bahan organik dalam pengendalian tata air tanah antara
lain: (1) memperbaiki peresapan air ke dalam tanah, (2) mengurangi aliran
permukaan, dan (3) mengurangi perbedaan kandungan air dalam tanah dan sungai
antara musim hujan dan musim kemarau.
Tanaman penutup tanah dan sisa-sisa tanaman berupa dedaunan, ranting,
batang tanaman yang belum hancur yang berfungsi menutupi permukaan tanah,
melindungi tanah dari pukulan butir air hujan dan sumber energi bagi organisme
tanah. Bahan organik yang berasal dari guguran vegetasi merupakan sumber makanan
yang merangsang kegiatan mikroorganisme tanah dalam menciptakan struktur tanah
yang baik dan terciptanya suatu lapisan khusus pada permukaan tanah.
III. BAHAN DAN METODE
3.1. Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilakukan di tiga lokasi, yaitu Gunung Malang di Kecamatan
Tenjolaya, Curug Luhur di Kecamatan Tenjolaya, dan Ciherang di Kecamatan
Dramaga, Kabupaten Bogor. Sedangkan analisis sifat-sifat fisik tanah dilakukan di
Laboratorium Fisika dan Konservasi Tanah, Institut Pertanian Bogor. Penelitian
berlangsung mulai bulan Oktober 2008 sampai Februari 2009.
Sesuai Peta Tanah Tinjau Mendalam dan Peta Kesesuaian Lahan Kota Bogor
dan Sekitarnya Tahun 2002, ketiga lokasi penelitian (Gunung Malang, Curug Luhur
dan Ciherang) memiliki jenis tanah Latosol.
3.2. Alat dan Bahan
Alat-alat yang digunakan untuk mengukur hantaran hidrolik jenuh adalah
permeameter, bor belgi, stopwatch, ember dan gayung. Alat-alat yang digunakan
untuk mengambil sampel tanah ring sampel, cangkul, pisau dan kertas label.
Sedangkan untuk analisis sifat-sifat fisik digunakan ayakan, analisis ruang pori Dan
analisis sifat-sifat fisik tanah menggunakan cawan, oven, timbangan dan peralatan
lainnya.
3.4. Metode Penelitian
Penelitian yang meliputi pengukuran hantaran hidrolik jenuh dan pengambilan
sampel dilakukan di tiga lokasi dengan memilih dua jenis penggunaan lahan, yaitu
tegalan dan hutan bambu dengan jenis tanah yang sama. Pada setiap penggunaan
lahan ditetapkan masing-masing 3 titik pengukuran dan pengambilan sampel dengan
jarak antar titik 2 meter. Pada hutan bambu titik pengukuran hantaran hidrolik dan
pengambilan sampel ditetapkan ke arah luar menjauhi tanaman bambu sedangkan
pada tegalan ditetapkan pada jalur-jalur di antara guludan.
Tabel 3. Parameter Sifat Fisika Tanah yang Dianalisis
No Parameter Sifat- Sifat Fisika Metode
1 Hantaran Hidrolik Jenuh Permeameter
2 Porositas Total Gravimetri
3 Pori Drainase pF
4 Bobot Isi Gravimetri
5 Indeks Stabilitas Agregat Pengayakan Kering dan Basah
7 Bahan Organik Walkley and Black
Pengukuran hantaran hidrolik jenuh dilakukan dengan membuat lubang
sedalam 100 cm, kemudian diisi dengan air hingga jenuh. Tinggi muka air ± 80 cm
dengan jarak permukaan tanah dengan muka air ± 20 cm.
3.5. Analisis Data
Hasil analisis sifat-sifat fisik tanah diolah dengan metode Rancangan Acak
Kelompok dengan persamaan:
Yij = µ + α1 + βj + εij
Yij = nilai sifat fisik tanah
µ = nilai rata-rata
α1 = pengaruh penggunaan lahan
βj = pengaruh lokasi
εij = galat
Pendekatan statistik dalam penelitian ini menggunakan analisis sidik ragam
pada taraf α=0.05 %. Kajian terhadap hubungan antara beberapa peubah dinyatakan
dengan koefisien determinan R2 untuk regregsi berganda dan r2 untuk regresi
sederhana.
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1. Hantaran Hidrolik Jenuh pada Hutan Bambu dan Tegalan
Analisis ragam hantaran hidrolik jenuh (Tabel Lampiran 1) menunjukkan
bahwa nilai hantaran hidrolik jenuh tanah nyata dipengaruhi oleh penggunaan lahan
dan lokasi. Tabel 4 menyajikan nilai hantaran hidrolik jenuh pada penggunaan lahan
hutan bambu dan tegalan.
Tabel 4. Nilai Rata-rata dan Koefisien Keragaman Hantaran Hidrolik Jenuh pada Hutan Bambu dan Tegalan
Penggunaan Lahan
Hantaran Hidrolik
Jenuh Rata-rata (cm/jam)
Kelas
Koefisien Keragaman
(%)
Kelas Keragaman
Hutan Bambu
3.00a Sedang 62.73 Sedang
Tegalan
0.90b Agak Lambat 62.06 Sedang
Keterangan: Angka yang diikuti huruf yang berbeda dalam setiap kolom berbeda nyata pada taraf α = 0.05 .
Hutan bambu memiliki nilai hantaran hidrolik jenuh lebih besar, yaitu 3.00
cm/jam (kelas sedang) dibandingkan tegalan yang memiliki hantaran hidrolik jenuh
sebesar 0.90 cm/jam (kelas agak lambat). Nilai hantaran hidrolik jenuh pada hutan
bambu dan tegalan tidak terlepas dari sifat-sifat fisika yang dimiliki kedua
penggunaan lahan tersebut seperti indeks stabilitas agregat, porositas, pori drainase
dan bahan organik.
Pada Tabel 4 dapat dilihat bahwa hantaran hidrolik jenuh hutan bambu dan
tegalan memiliki koefisien keragaman 62.73 % dan 62.06 % dengan kelas sedang.
Tingginya nilai koefisien keragaman pada hantaran hidrolik jenuh karena mudahnya
perubahan hantaran hidrolik jenuh di lapangan yang diakibatkan oleh sifat keruangan
(geometri) yang mudah berubah. Hal ini dikemukakan oleh Hillel (1972) yang
mengatakan bahwa hantaran hidrolik jenuh tidak selalu tetap karena secara umum
hantaran hidrolik jenuh dipengaruhi oleh pori total, ukuran pori, tekstur, struktur dan
peristiwa yang terjadi selama proses aliran.
Tabel 5 menyajikan perbandingan sifat-sifat fisika tanah pada penggunaan
lahan hutan bambu dan tegalan.
Tabel 5. Sifat-sifat Fisika Tanah pada Hutan Bambu dan Tegalan
Sifat Fisika Tanah
Penggunaan Lahan
Hutan Bambu Tegalan
Rata-rata
Stdev KK (%)
Rata-rata
Stdev KK (%)
ISA 230.15a 240.14 104.34 166.17b 250.80 150.92
Porositas (%) 51.68a 3.51 6.79 44.08b 4.59 10.41
Pori Drainase (%) 16.80a 5.13 30.53 11.89b 2.09 17.70
Pori Air Tersedia (%) 29.75a 3.70 12.43 6.90b 1.62 23.47
Bobot Isi (g/cm3) 1.39a 0.09 6.74 1.57b 0.12 7.64
Bahan Organik (%) 5.15a 0.98 19.02 3.69b 1.27 34.41
Keterangan: Angka yang diikuti huruf yang tidak sama dalam setiap baris berbeda nyata pada taraf α = 0.05
Hasil analisis ragam (Tabel Lampiran 2-7) menunjukkan pengaruh nyata
penggunaan lahan terhadap sifat-sifat fisika tanah.
Hutan bambu memiliki ISA (230.15 %), porositas (51.68 %), bahan organik
(5.15%), pori drainase (16.80 %), dan pori air tersedia 29.75 (%) lebih besar
dibandingkan tegalan yang memiliki ISA (166.17 %), porositas (44.08 %), bahan
organik (3.69 %), pori drainase (11.89 %) dan pori air tersedia 6.90 (%), sedangkan
bobot isi hutan bambu (1.39 g/cm) lebih rendah dibandingkan tegalan (1.57 g/cm).
Sifat-sifat fisika tanah pada kedua penggunaan lahan tersebut dipengaruhi
oleh penutupan tanah oleh tajuk dan pengolahan tanah. Pada Gambar 1 dapat dilihat
kondisi hutan bambu yang tertutup rapat oleh tajuk dengan tumpukan serasah pada
permukaan tanah sehingga sifat fisika tanah dapat terjaga. Sedangkan lahan tegalan
merupakan areal tanah terbuka dan tidak terlindungi tajuk ataupun serasah dan sering
mengalami gangguan akibat pengolahan tanah.
a b
Gambar 1. Hutan Bambu (a) dan Tegalan (b)
Faktor lokasi nyata mempengaruhi hantaran hidrolik jenuh. Tabel 6
menunjukkan nilai hantaran hidrolik jenuh hutan bambu dan tegalan di tiga lokasi
penelitian, yaitu Gunung Malang, Curug Luhur dan Ciherang. Hutan bambu memiliki
hantaran hidrolik tertinggi di lokasi Gunung Malang (4.61cm/jam), diikuti Curug
Luhur (2.45 cm/jam) dan Ciherang (1.95 cm/jam). Sedangkan pada tegalan hantaran
hidrolik tertinggi terdapat di lokasi Curug Luhur (1.33 cm/jam), diikuti Gunung
Malang (0.98 cm/jam) dan Ciherang (0.39 cm/jam).
Tabel 6. Hantaran Hidrolik Jenuh Hutan Bambu dan Tegalan di Tiga Lokasi Penelitian
Lokasi
Hutan Bambu Tegalan
Hantaran Hidrolik
Jenuh (cm/jam)
Kelas
Hantaran Hidrolik
Jenuh
(cm/jam)
Kelas
Gunung Malang
4.61a Sedang 0.98a Agak Lambat
Curug Luhur 2.45b Sedang 1.33b
Agak Lambat
Ciherang 1.95c Agak Lambat 0.39c
Lambat
Keterangan: Angka yang diikuti huruf yang berbeda dalam setiap kolom berbeda nyata pada taraf α = 0.05.
Proses geomorfik dan pedogenetik tanah di setiap lokasi merupakan faktor
yang membuat perbedaan hantaran hidrolik jenuh di setiap lokasi. Proses-proses
tersebut menyebabkan perbedaan kelerengan, topografi, kedalaman solum dan
ketebalan lapisan tanah. Proses geomorfik dan pedogenetik berbeda di setiap lokasi
diantaranya karena dipengaruhi proses geologi, iklim dan bahan induk tanah. Tabel 7
menunjukkan deskripsi lereng, kedalaman solum dan topografi ketiga lokasi di
lapangan. Pengukuran hantaran hidrolik jenuh di setiap lokasi pada hutan bambu
dilakukan pada kemiringan lereng dan topografi yang hampir sama tetapi pada
kedalaman solum yang berbeda. Sedangkan pada tegalan kemiringan lereng berbeda
karena sulit menemukan lokasi tegalan dengan kelerengan yang sama.
Tabel 7. Deskripsi Lahan Hutan Bambu dan Tegalan pada Tiga Lokasi Penelitian
Lokasi Hutan Bambu Tegalan
Lereng (%)
Kedalaman Solum (cm)
Topografi Lereng (%)
Kedalaman Solum (cm)
Topografi
Gunung Malang
30 110 Berbukit 20 100 Berbukit
Curug Luhur
30 71 Berbukit 15 70 Datar
Ciherang 30 100 Berbukit 30 80 Berbukit
Meskipun hubungan antara lokasi dengan hantaran hidrolik jenuh belum bisa
dijelaskan secara kuantitatif akan tetapi pengaruh lokasi terhadap hantaran hidrolik
jenuh sedikitnya mendekati uraian berikut. Profil tanah hutan bambu di lokasi
Gunung Malang (Tabel Lampiran 8) menunjukkan tekstur liat mendominasi seluruh
horizon tanah. Pada horizon A terdapat struktur remah dan struktur granular pada
horizon AB serta banyak perakaran kasar pada sebagian besar horizon menyebabkan
pergerakan air dalam tanah lebih lancar sehingga membuat hantaran hidrolik menjadi
tinggi. Panjang dan ukuran akar yang mencapai horizon paling bawah (BC)
menyebabkan aliran air masih bisa mencapai kedalaman tersebut. Sedangkan pada
profil tanah di lokasi Curug Luhur (Tabel Lampiran 9) terdapat tekstur lempung liat
berdebu pada horizon bagian atas (A dan AB). Sedangkan struktur pada horizon A
adalah remah, horizon AB granular, horizon B1 gumpal dan horizon B2 gumpal
bersudut. Akibat tekstur yang lebih kasar di setiap lapisan membuat hantaran hidrolik
jenuh lebih besar ditambah dengan adanya struktur remah dan granular pada horizon
bagian atas. Hal yang cukup menarik terdapat pada profil tanah hutan bambu di lokasi
Ciherang (Tabel Lampiran 10), dimana terdapat tekstur liat berdebu (horizon A),
lempung liat berdebu (horizon AB), dan liat (Bt1 dan Bt2). Beberapa struktur yang
terdapat adalah remah (horizon A), granular (horizon AB), gumpal (Bt1) dan gumpal
membulat (Bt2). Rendahnya hantaran hidrolik jenuh pada profil ini kemungkinan
besar diakibatkan adanya lapisan liat yang tebal (Bt1=32 cm dan Bt2= 34 cm). Akibat
tebalnya lapisan liat ini gerakan air menjadi lebih lambat karena terbentuk lapisan
yang padat dan kompak.
Profil tanah tegalan di lokasi Gunung Malang (Tabel Lampiran 11) terlihat
bahwa terdapat tekstur lempung berpasir (horizon Ap dan E) dengan struktur remah
dan granular, sedangkan tekstur liat pada horizon Bt1 dan Bt 2 dengan struktur
granular dan gumpal bersudut. Kemungkinan gerakan air pada lapisan atas (horizon
Ap dan E) lebih cepat akan tetapi ketika air mencapai lapisan bawah (horizon Bt1 dan
Bt2) gerakan air menjadi lambat karena adanya lapisan liat sehingga hantaran hidrolik
jenuh berkurang. Lahan tegalan pada lokasi Curug Luhur memiliki hantaran hidrolik
jenuh yang lebih tinggi dibandingkan lokasi Gunung Malang dan Ciherang. Hal ini
kemungkinan besar disebabkan pengaruh tekstur lapisan tanah. Profil tanah tegalan di
lokasi Curug Luhur (Tabel Lampiran 12) memperlihatkan bahwa semua horizon
tanah pada lokasi tersebut didominasi oleh tekstur lempung berpasir, sedangkan
struktur pada setiap horizon adalah struktur remah. Dengan adanya tekstur yang lebih
kasar tersebut, maka hantaran hidrolik jenuh tanah menjadi lebih besar jika
dibandingkan tekstur yang lebih halus. Sementara pada profil tanah tegalan di lokasi
Ciherang (Tabel Lampiran 13) memperlihatkan adanya tekstur liat berpasir (horizon
Ap) sedangkan horizon liat terdapat pada lapisan di bawahnya (horizon E, Bt1, Bt2
dan BC).
Akan tetapi hasil penelitian Soedarmo (1995) dan Zarqoni (1988)
menunjukkan hantaran hidrolik jenuh yang rendah tidak selalu diakibatkan oleh
tingginya kandungan liat tanah atau sebaliknya (Tabel 8). Hantaran hidrolik jenuh
yang tinggi dapat terjadi pada tanah dengan kandungan liat tinggi sebaliknya hantaran
hidrolik jenuh yang rendah dapat terjadi pada tanah dengan kandungan pasir tinggi.
Adanya lapisan impermeable atau lapisan tapak bajak pada horizon tanah dapat
mengurangi kecepatan hantaran hidrolik jenuh tanah.
Tabel 8. Hasil Analisis Sifat-sifat Fisik Tanah Latosol oleh Zarqoni (1988) dan Soedarmo (1995)
Tekstur Jenis
Tanah Pasir (%)
Debu (%)
Liat (%) RPT (%)
Hantaran Hidrolik
Jenuh (cm/jam)
Halus Latosol* 6.70 17.41 75.89 60.00 3.64
Halus Latosol** 3.85 11.47 84.68 61.18 11.95
Halus Latosol** 3.99 17.40 78.61 59.23 10.27
Halus Latosol** 3.18 5.94 90.88 67.15 1.84
Halus Latosol** 10.78 25.31 63.91 63.37 1.97
Sumber Data: * = Soedarmo (1995)
** = Zarqoni (1988)
4.2. Sifat-sifat Fisika Tanah Pada Hutan Bambu dan Tegalan
4.2.1. Indeks Stabilitas Agregat
Hutan bambu memiliki indeks stabilitas agregat yang lebih tinggi
dibandingkan tegalan. Pada Tabel 5 dapat dilihat hutan bambu memiliki indeks
stabilitas agregat sebesar 230.15 % dan indeks stabilitas agregat tegalan sebesar
166.17 %. Sedangkan analisis ragam (Tabel Lampiran 2) menunjukkan bahwa indeks
stabilitas agregat pada hutan bambu dan tegalan berbeda nyata. Tingginya indeks
stabilitas agregat pada hutan bambu disebabkan kandungan bahan organik pada hutan
bambu lebih tinggi dibandingkan tegalan. Bahan organik sangat efektif dalam
meningkatkan stabilitas agregat tanah karena fungsinya sebagai bahan penyemen dan
pengikat antar partikel tanah. Di samping itu pelapukan bahan organik yang lambat
pada hutan bambu dapat meningkatkan efektifitas bahan organik dalam proses
agregasi tanah. Sedangkan pada tegalan indeks stabilitas agregat menurun akibat
pengolahan tanah.
Nilai indeks stabilitas agregat pada kedua penggunaan lahan tersebut
tergolong tinggi. Hal ini merupakan salah satu ciri tanah Latosol dimana salah
satunya adalah memiliki indeks stabilitas agregat yang tinggi. Tingginya indeks
stabilitas agregat tanah kemungkinan disebabkan tingginya kandungan liat tanah.
Baver et al. (1972) mengemukakan bahwa partikel liat dapat berfungsi sebagai agen
penyemen dalam bentuk selaput liat yang menyelimuti agregat sehingga agregat
menjadi lebih stabil.
Pada penelitian ini ditemukan tingkat keragaman indeks stabilitas agregat
sangat besar. Hutan bambu memiliki koefisien keragaman 104.34 % dan tegalan
memiliki koefisien keragaman 150.92 % dengan kelas keragaman tinggi. Pada Tabel
10 dan 11 dapat dilihat hasil pengukuran indeks stabilitas agregat sangat beragam
antar titik pengukuran baik pada tegalan maupun hutan bambu sehingga mendukung
terjadinya keragaman indeks stabilitas agregat tanah.
Pada hutan bambu tingginya keragaman indeks stabilitas agregat
kemungkinan disebabkan titik pengambilan sampel yang dibuat menjauhi tanaman
bambu, sehingga titik-titik pengambilan sampel tanah terluar dapat memiliki indeks
stabilitas agregat lebih rendah akibat tajuk tidak terlalu rapat dan tumpukan serasah
yang lebih tipis. Sedangkan pada tegalan penambahan bahan organik yang tidak
merata dapat menyebabkan indeks kestabilan agregat beragam antar titik.
4.2.2. Porositas dan Bobot Isi
Tabel 5 menunjukkan bahwa hutan bambu memiliki porositas (51.68 %) lebih
besar dibandingkan tegalan (44.08). Tingginya porositas pada hutan bambu tidak
terlepas dari banyaknya perakaran, bahan organik dan aktivitas organisme tanah.
Perakaran yang sudah melapuk akan meninggalkan lubang bekas akar dalam tanah
dan bahan organik dapat meningkatkan kesarangan tanah. Sedangkan pada tegalan
terjadi penurunan porositas tanah seiring dengan intensitas pengolahan tanah yang
menyebabkan bobot isi meningkat. Di samping itu pengolahan tanah menyebabkan
pemutusan dan penyumbatan ruang pori tanah. Tabel Lampiran 3 menunjukkan
bahwa penggunaan lahan nyata mempengaruhi porositas tanah. Akibat porositas
tanah yang seragam pada setiap titik pengambilan sampel maka koefisien keragaman
porositas sangat rendah yaitu hutan bambu (6.79 %) dan tegalan (10.41 %).
Pada Tabel 5 dapat dilihat hutan bambu memiliki bobot isi sebesar 1.39 g/cm3
lebih rendah dibandingkan tegalan yang memiliki bobot isi sebesar 1.57 g/cm3. Bobot
isi tersebut cukup tinggi untuk jenis tanah Latosol yang memiliki sifat granul. Akan
tetapi bobot isi yang tinggi pada Latosol dapat terjadi karena adanya horizon atau
lapisan yang menyemen dan kompak yang disebut laterit (Soepardi, 1983). Analisis
ragam (Tabel Lampiran 4) menunjukkan adanya pengaruh nyata penggunaan lahan
terhadap bobot isi tanah. Bobot isi memiliki koefisien keragaman sangat rendah
dimana bobot isi hutan bambu memiliki koefisien keragaman sebesar 6.74 %
sedangkan bobot isi tegalan memiliki koefisien keragaman sebesar 7.64 %. Tanah
dengan bobot isi tinggi berarti porositasnya rendah dan tanah tersebut semakin padat.
Adanya hubungan terbalik ini memungkinkan bobot isi dipakai untuk menduga
pemadatan tanah.
Bobot isi tegalan cukup tinggi sehingga tanahnya lebih padat. Hal ini
dikarenakan pengolahan tanah yang intensif dan umur penggunaan lahan yang sudah
lama. Dari keterangan pengguna lahan, rata-rata umur tegalan sudah mencapai 10-15
tahun. Di samping itu, pembuatan guludan sering dilakukan sehingga sulit
menentukan lapisan top soil yang sebenarnya, akibatnya pengambilan sampel tanah
dilakukan pada jalur-jalur bekas urukan tanah di antara guludan.
4.2.3. Bahan Organik
Dari hasil pengukuran hutan bambu memiliki bahan organik (5.15%) lebih
tinggi dibandingkan tegalan (3.69 %) (Tabel 5). Analisis ragam menunjukkan bahwa
penggunaan lahan nyata mempengaruhi bahan organik tanah (Tabel Lampiran 11).
Tingginya jumlah bahan organik tanah pada hutan bambu tidak terlepas dari
banyaknya serasah yang berasal dari daun, ranting, batang dan akar yang sudah
kering kemudian terdekomposisi menjadi bahan organik tanah. Organisme tanah
mempercepat penguraian serasah menjadi bahan organik tanah. Sedangkan pada
tegalan jumlah bahan organik sedikit kemungkinan disebabkan tergerus oleh air dan
penambahan bahan organik jarang dilakukan akibat sumber bahan organik yang
sedikit.
Hutan bambu memiliki koefisien keragaman (19.02 %) dengan kelas
keragaman rendah sedangkan tegalan (34.41 %) dengan kelas keragaman sedang. Hal
ini menunjukkan jumlah bahan organik pada setiap titik ataupun lokasi tidak terlalu
berbeda. Pada hutan bambu, sumber bahan organik dan proses pelapukan bahan
organik yang homogen menyebabkan jumlah bahan organik tanah tidak terlalu
beragam. Sedangkan pada tegalan jumlah bahan organik tanah dipengaruhi oleh
penambahan bahan organik tanah yang dilakukan manusia. Penambahan bahan
organik pada tegalan terkadang tidak seragam di semua tempat sehingga jumlah
bahan organik tanah pun berbeda-beda. Di samping itu perbedaan lokasi sangat
menentukan jumlah bahan organik akibat kemungkinan perbedaan curah hujan.
4.2.4. Pori Drainase
Penggunaan lahan nyata mempengaruhi pori drainase tanah seperti yang
terlihat pada Tabel Lampiran 6. Pada Tabel 5 dapat dilihat jumlah pori drainase pada
hutan bambu lebih tinggi dibandingkan pada tegalan. Hutan bambu memiliki pori
drainase sebesar 16.80% sedangkan tegalan memiliki pori drainase sebesar 11.89 %.
Sedangkan koefisien keragaman pori drainase termasuk rendah, yaitu hutan bambu
(16.80 %) dan tegalan (17.40 %) dikarenakan pada hutan bambu agen pembentuk
pori sama, yaitu akar dan organisme tanah, sedangkan pada tegalan pengolahan tanah
yang seragam menghasilkan jumlah pori drainase yang tidak jauh berbeda antar
lokasi ataupun titik pengambilan sampel. Tingginya jumlah pori drainase pada hutan
bambu tidak terlepas dari pembentukan ruang pori oleh perakaran dan organisme
tanah. Akar-akar yang berdiameter besar akan meninggalkan lubang bekas akar yang
besar demikan sebaliknya, sedangkan aktivitas organisme tanah akan membentuk
rongga-rongga dalam tanah yang kemudian berfungsi sebagai pori yang berdiameter
besar.
4.2.5. Pori Air Tersedia
Pada Tabel 5 dapat dilihat bahwa pori air tersedia pada hutan bambu lebih
besar dibandingkan pada tegalan. Pori air tersedia pada hutan bambu sebesar 29.75 %
sedangkan pada tegalan sebesar 6.90 %. Hutan bambu memiliki koefisien keragaman
pori air tersedia (12.43 %) dengan kelas sangat rendah sedangkan tegalan (23.47 %)
dengan kelas rendah. Rendahnya koefisien keragaman pori air tersedia tidak terlepas
dari jumlah bahan organik yang seragam baik pada hutan bambu maupun tegalan.
Analisis ragam (Tabel Lampiran 7) menunjukkan pengaruh nyata pori air tersedia
antara penggunaan lahan hutan bambu dan tegalan. Tingginya pori air tersedia pada
hutan bambu dapat disebabkan oleh kandungan bahan organik tanah yang lebih tinggi
dibandingkan tegalan. Bahan organik merupakan faktor penting yang mempengaruhi
air tersedia tanah. Hal ini terutama didukung oleh kemampuannya dalam menciptakan
kondisi fisik, kimia dan biologi tanah yang lebih baik seperti meningkatkan
kesarangan, meningkatkan serapan hara dan sumber makanan bagi organisme tanah.
Air tersedia merupakan selisih kadar air kapasitas lapang dengan kadar air titik layu
permanen, maka peningkatan kadar air kapasitas lapang yang diakibatkan oleh
meningkatnya kandungan bahan organik tanah akan selalu diikuti oleh meningkatnya
air tersedia, terutama jika faktor-faktor lain memiliki pengaruh yang seragam.
4.3. Hubungan Hantaran Hidrolik Jenuh dengan Sifat-sifat Fisika Tanah
Secara umum peningkatan sifat-sifat fisik tanah akan meningkatkan hantaran
hidrolik jenuh tanah. Peningkatan porositas dan pori drainase secara langsung dapat
meningkatkan hantaran hidrolik jenuh tanah, sedangkan indeks stabilitas agregat dan
jumlah bahan organik tanah memberikan pengaruh tidak langsung terhadap kenaikan
hantaran hidrolik jenuh.
Hubungan indeks stabilitas agregat dengan hantaran hidrolik jenuh
digambarkan ke dalam persamaan garis linear y = 0.003x +1.284 dengan R2 = 0.219
seperti pada Gambar 2. Dari hubungan tersebut dapat dilihat indeks stabilitas agregat
tanah cenderung meningkatkan indeks stabilitas agregat meskipun pengaruhnya tidak
terlalu kuat.
Peningkatan indeks stabilitas agregat tanah secara tidak langsung akan
meningkatkan aliran dalam tanah. Agregat yang stabil akan menyediakan dan
mempertahankan ruang pori disamping mengurangi dispersi air terhadap butiran
tanah sehingga tidak terangkut dan menutup ruang pori tanah.
Gambar 2. Hubungan Indeks Stabilitas Agregat dengan Hantaran Hidrolik Jenuh
Gambar 3 menunjukkan hubungan porositas dengan hantaran hidrolik jenuh
yang digambarkan ke dalam persamaan y = 0.142x – 4.888 dengan R2 = 0.211.
Hubungan tersebut menunjukkan porositas cenderung meningkatkan hantaran
hidrolik jenuh meskipun tidak terlalu kuat.
Porositas tanah memiliki kaitan yang sangat lemah terhadap peningkatan
hantaran hidrolik jenuh tanah karena peningkatan jumlah poroisitas menunjukkan
pertambahan ruang atau celah yang bisa dilalui oleh air. Meskipun demikian jumlah
porositas tanah yang tinggi tidak selalu meningkatkan hantaran hidrolik jenuh tanah
kekontinuan pori lebih berperan penting dalam aliran air.
y = 0.003x + 1.284
R² = 0.219
0.00
1.00
2.00
3.00
4.00
5.00
6.00
7.00
8.00
20 220 420 620 820Han
tara
n H
idro
lik J
enuh
(c
m/j
am)
Indeks Stabilitas Agregat (%)
Gambar 3. Hubungan Porositas dengan Hantaran Hidrolik Jenuh
Hubungan antara hantaran hidrolik jenuh dengan pori drainase sangat lemah
Pada Gambar 4 dan dapat dilihat hubungan antara hantaran hidrolik jenuh dengan
pori drainase dengan persamaan garis linear y= 0.146 x-0.149 dengan R2 = 0.149.
Lemahnya kaitan antara keduanya disebabkan karena pori drainase yang diukur
hanya pada lapisan atas saja (± 20 cm) sedangkan pori drainase di lapisan bawah
tidak diketahui. Untuk itu jumlah pori drainase pada lapisan atas tidak mempengaruhi
aliran air atau hantaran hidrolik jenuh pada lapisan-lapisan bawah tanah hingga
kedalaman 100 cm.
.
y = 0.142x - 4.888
R² = 0.211
0.00
1.00
2.00
3.00
4.00
5.00
6.00
7.00
8.00
40.00 45.00 50.00 55.00 60.00
Han
tara
n H
idro
lik J
enuh
(c
m/j
am)
Porositas Total (%)
Gambar 4. Hubungan Pori Drainase dengan Hantaran Hidrolik Jenuh
Untuk melihat hubungan bahan organik dengan hantaran hidrolik jenuh maka
di buat persamaan y= 0.171x + 1.230 (Gambar 5). Dari hubungan hantaran hidrolik
jenuh dengan bahan organik terlihat tidak ada kaitan antara keduanya (R2 = 0.016).
Bahan organik tanah dapat meningkatkan kesarangan tanah, akan tetapi pengaruhnya
hanya pada lapisan atas saja (± 20 cm) sehingga tidak ada hubungannya dengan
hantaran hidrolik jenuh pada profil tanah hingga kedalaman 100 cm.
y = 0.146x - 0.149
R² = 0.149
0.00
1.00
2.00
3.00
4.00
5.00
6.00
7.00
8.00
10.00 15.00 20.00 25.00 30.00
Han
tara
n H
idro
lik J
enuh
(c
m/j
am)
Pori Drainase (%)
Gambar 5. Hubungan Bahan Organik dengan Hantaran Hidrolik Jenuh
Dari hubungan-hubungan yang dikemukakan di atas dapat dilihat bahwa
pengaruh sifat-sifat fisika tanah sangat lemah terhadap peningkatan hantaran hidrolik
jenuh tanah. Hal ini disebabkan karena pengukuran hantaran hidrolik jenuh dilakukan
hingga kedalaman tanah 100 cm sedangkan sifat-sifat fisika yang dianalisis dilakukan
hanya pada lapisan tanah sampai kedalaman 20 cm saja. Akibatnya sifat-sifat fisika
tersebut tidak bisa mewakili semua lapisan tanah yang diukur hantaran hidrolik
jenuhnya. Kenyataan ini menunjukkan bahwa nilai hantaran hidrolik jenuh lebih
ditentukan oleh karakteristik sifat-sifat fisika di dalam profil tanah.
4.4. Keragaman Sifat-sifat Fisika Tanah
Sifat fisika tanah memiliki karakteristik tersendiri yang berbeda dengan sifat
fisika lainnya. Bahkan sifat fisika tanah yang sama bisa berbeda dan memiliki ciri
tersendiri meskipun dalam satu areal. Hal ini menunjukkan bahwa tanah di samping
merupakan sistem yang dinamis juga merupakan sistem yang kompleks sehingga sifat
y = 0.171x + 1.230
R² = 0.016
0.00
1.00
2.00
3.00
4.00
5.00
6.00
7.00
8.00
2 3 4 5 6 7
Han
tara
n H
idro
lik J
enuh
(c
m/j
am)
Bahan Organik (%)
fisika tanah memiliki keragaman yang sangat besar terutama jika secara kuantitatif
nilainya ditentukan di lapangan. Sitorus (1983) mengemukakan kriteria
pengklasifikasian keragaman tanah berdasarkan koefisien keragaman seperti pada
Tabel 9.
Tabel 9. Kriteria Pengklasifikasian Keragaman Tanah Berdasarkan Nilai Koefisien Keragaman menurut Sitorus (1983)
Kelas Keragaman Koefisien Keragaman (%)
Sangat Rendah < 16
Rendah 16-33
Sedang 33-66
Tinggi > 66
Tabel 10 dan 11 menunjukkan hasil pengukuran sifat-sifat fisika tanah pada
hutan bambu dan tegalan. Pada beberapa sifat fisika dapat dilihat sebaran nilai yang
tidak seragam baik pada hutan bambu ataupun tegalan. Hal ini menunjukkan bahwa
kemungkinan besar sifat-sifat fisika baik pada lokasi dan titik pengukuran sangat
beragam.
Tabel 10. Hasil Pengukuran Sifat-sifat Fisika Pada Hutan Bambu
Lokasi
Hantaran Hidrolik
Jenuh (cm/jam)
ISA
(%)
Porositas
(%)
Pori Drainase
(%)
Pori Air Tersedia
(%)
Bahan Organik
(%)
Bobot Isi
(g/cm)
L1T1 4.26 65.69 55.65 16.67 32.17 3.46 1.18
L1T2 2.13 230.52 49.46 13.36 28.44 2.37 1.34
L1T3 7.45 844.77 51.51 21.42 26.85 3.41 1.28
L2T1 3.19 110.60 50.06 8.54 30.19 2.97 1.32
L2T2 1.60 133.72 45.47 16.81 24.99 3.27 1.45
L2T3 2.56 285.92 50.18 16.83 30.06 3.28 1.32
L3T1 1.60 110.68 51.23 17.37 31.07 2.91 1.29
L3T2 2.66 122.58 56.07 13.45 37.41 3.29 1.16
L3T3 1.60 166.94 55.55 26.70 26.56 3.11 1.18
Keterangan : L= Lokasi; T= Titik; 1,2,3 =Ulangan
Tabel 11. Data Hasil Pengukuran Sifat-sifat Fisika Pada Tegalan
Lokasi
Hantaran Hidrolik
Jenuh (cm/jam)
ISA
(%)
Porositas
(%)
Pori Drainase
(%)
Pori Air Tersedia
(%)
Bahan Organik
(%)
Bobot Isi
(g/cm)
L1T1 0.80 23.04 42.71 12.79 6.87 2.24 1.52
L1T2 0.53 824.80 40.69 9.94 7.91 2.11 1.57
L1T3 1.60 109.44 42.82 11.10 8.56 1.98 1.51
L2T1 1.06 127.46 50.91 8.04 11.98 2.37 1.30
L2T2 1.06 85.20 41.93 12.83 3.21 2.12 1.54
L2T3 1.86 107.05 41.69 12.02 5.31 0.83 1.54
L3T1 0.21 37.84 52.63 12.46 11.22 2.08 1.25
L3T2 0.64 59.04 39.19 12.33 3.42 1.62 1.61
L3T3 0.32 118.72 44.14 15.50 3.99 0.90 1.48
Keterangan : L= Lokasi; T= Titik; 1,2,3 =Ulangan
Dari Tabel 10 dan Tabel 11 dapat dilihat bahwa beberapa sifat fisika tanah
memiliki keragaman nilai sifat fisika yang sangat tinggi sehingga koefisien
keragamannya menjadi tinggi. Indeks Stabilitas Agregat memiliki koefisien
keragaman yang sangat tinggi. Hal ini disebabkan oleh indeks ketidakstabilan di saat
pengukuran, dimana sampel-sampel tanah dengan perakaran banyak memiliki indeks
ketidakstabilan tinggi dibandingkan tanah dengan perakaran sedikit. Di saat
pengukuran akar-akar tersebut mengering sehingga kekuatan ikatan akar berkurang
terhadap partikel-partikel tanah dan mudah terlepas.
V. KESIMPULAN DAN SARAN
5.1. Kesimpulan
Berdasarkan hasil dan pembahasan penelitian ini maka dapat ditarik kesimpulan
sebagai berikut:
1. Hutan bambu memiliki hantaran hidrolik jenuh lebih tinggi dibandingkan
tegalan. Hutan bambu memiliki hantaran hidrolik jenuh dengan kelas sedang,
sedangkan tegalan memiliki hantaran hidrolik jenuh dengan kelas agak
lambat.
2. Hutan bambu memiliki sifat-sifat fisika yang lebih baik karena memiliki
hantaran jenuh, indeks stabilitas agregat, porositas, pori drainase, pori air
tersedia dan bahan organik yang lebih besar serta bobot isi yang lebih rendah
dibandingkan tegalan.
3. Hubungan antara hantaran hidrolik jenuh dengan sifat-sifat fisika tanah sangat
lemah atau tidak memiliki hubungan sama sekali karena analisis sifat-sifat
fisika dilakukan terhadap lapisan atas (± 20 cm) sedangkan pengukuran
hantaran hidrolik dilakukan hingga ke lapisan bawah (± 100 cm). Hal ini
menunjukkan bahwa sifat-sifat fisika lapisan atas tanah tidak dapat mewakili
hantaran hidrolik jenuh tanah secara keseluruhan.
5.2. Saran
Untuk mempertahankan dan memperbaiki hantaran hidrolik dan sifat-sifat fisika
tanah, maka perlu dilakukan:
1. Pengenalan tanaman bambu sebagai tanaman konservasi kepada masyarakat.
2. Pengolahan tanah sebaiknya dilakukan dengan cara pengolahan minimum
(minimum tillage) untuk mengurangi kerusakan sifat-sifat fisik tanah,
khususnya di lahan tegalan.
3. Untuk melihat hubungan hantaran hidrolik jenuh dengan sifat-sifat fisika
tanah sebaiknya dilakukan analisis sifat-sifat fisika pada setiap lapisan tanah
yang diukur hantaran hidrolik jenuhnya.
DAFTAR PUSTAKA
Arsyad, S. 2006. Konservasi Tanah dan Air. IPB Press. Bogor.
Baver, L.D. 1959. Soil Physics. 3rd ed. John Willey and Sons, Inc., New York.
Brady, Nyle C. 1990. The Nature and Properties of Soils. New York. MacMillan Publishing Company.
Buckman, H. O and N. C. Brady. 1969. The Nature and Properties of Soils. 7th ed. The Mc Millan Co. Ceiller-Mc Milland Limited. London.
Calderon, E. Cleofe. dan Thomas R. Soderstorm. 1980. The Genera of Bambusoidae (Poaceae) of the American Continent: Keys and Comments. Smithsonian Institution Press. City of Washington.
Dudal, R dan M. Soepraptohardjo. 1957. Klasifikasi Tanah di Indonesia. Balai Penyelidikan Tanah Bogor. Bogor.
Foth, H.D dan L.M. Turk. 1972. Fundamental of Soil Science. Fifth Edition. New York. John Wiley and Son. Inc
Greenland, D.J and R. Lal. 1977. Soil Conservation and Management in Humid Tropics. John Willey and Sons, Chcester-New York-Brisbane-Toronto.
Hardjowigeno, S. 2003. Ilmu Tanah. Akademika Pressindo. Jakarta.
Islami, T dan W. H. Utomo. 1995. Hubungan Tanah, Air dan Tanaman. IKIP Semarang Press.
Larson, W.E. dan C.E. Clapp. 1984. Effect of Organic Matter on Soil Physical Properties. Los Banos. IRRI.
Hillel, D. 1972. Soil and Water Physical Principles and Processes. Acad Press, New York-London.
Millar, C. E., L. M. Turk. and H. D. Foth. 1958. Fundamental of Soil Science. 3 ed. John Willey and Sons Inc. New York.
Mohr, E. C and F. A. Van Barren. 1954. Tropical Soil. Interscience Publishing. London.
Munir, M. 1995. Tanah-Tanah Utama Indonesia. Karakteristik, Klasifikasi dan Pemanfaatannya. Penerbit Pustaka Jaya.
O’Neal, A.M. 1949. Soil Characteristics Significant in Evaluating Permeability. Soil Conservation Service.
Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat. 2000. Sumberdaya Lahan Indonesia dan Pengelolaannya. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Departemen Pertanian. Bogor.
Sitorus, S.R.P., O. Haridjaja, dan K. R. Brata. 1983. Penuntun Praktikum Fisika Tanah. Departemen Ilmu-ilmu Tanah. Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Schwab, G.O., R. K. Frevert., T. W. Edminster., and K. K. Barnes. 1966. Soil and Water Conservation Engineering. John Willey and Sons Inc. New York-London- Sydney.
Soedarmo. 1995. Peningkatan Kualitas Sifat Fisik Podzolik Merah Kuning (Hapludult) Gajrug, Latosol (Dystropept) Dramaga Dengan Pemanfaatan Cacing Tanah. Tesis. Program Pasca Sarjana. Institut Pertanian Bogor.
Soepardi, G. 1983. Sifat dan Ciri Tanah. Departemen Ilmu-ilmu Tanah. Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Suripin. 2001. Pelestarian Sumber Daya Tanah dan Air. Penerbit ANDI Yogyakarta.
Thompson, L.M dan F. R. Troeh. 1975. Soil Fertility and Fertilizier. 3rd ad. McGraw Hill Book Publ., Co., Ltd. New Delhi.
Tjawn, K.B. 1968. Buku Pengantar Ilmu Tanah. Percetakan IPB, Bogor.
Wahyuddin. 2008. Pelestarian Hutan Bambu untuk Menanggulangi Illegal Logging dan Global Warming. Lomba Tulis YPHL. http://www. kabarindonesia. com. [20 Oktober 2008].
Widjaja. 2008. Bambu dan Manfaatnya. http://www.bibitbambu. com. [20 Oktober 2008].
Zarqoni. 1988. Perbedaan Beberapa Sifat Fisik Tanah Pada Berbagai Penggunaan Lahan, Latosol Cibinong dan Kedunghalang. Skripsi. Jurusan Tanah. Fakultas Pertanian. IPB
LAMPIRAN
Tabel Lampiran 1. Analisis Ragam Hantaran Hidrolik Jenuh
Sumber Keragaman db JK KT F-hitung
Lokasi 2 22.96 11.48 2.98* Penggunaan Lahan 1 0.73 0.73 0.19*
Galat 2 7.69 3.84 Total 5 31.39
Keterangan : * nyata pada α = 0.05
Tabel Lampiran 2. Analisis Ragam Indeks Stabilitas Agregat
Sumber Keragaman db JK KT F-hitung
Lokasi 2 177727.50 88863.77 1.88* Penggunaan Lahan 1 14102.16 7051.08 0.14*
Galat 2 94060 47030 Total 5 285889.70
Keterangan : * nyata pada α = 0.05
Tabel Lampiran 3. Analisis Ragam Porositas
Sumber Keragaman db JK KT F-hitung
Lokasi 2 7650.02 3825.01 1.95* Penggunaan Lahan 1 778.72 47.88 0.02
Galat 2 3908.99 1954.50 Total 5 12337.75 5827.39
Keterangan : * nyata pada α = 0.05
Tabel Lampiran 4. Analisis Ragam Bobot IsI
Sumber Keragaman db JK KT F-hitung
Lokasi 2 6.35 3.17 1.68* Penggunaan Lahan 1 0.11 1.38 0.73* Galat 2 13858.52 1.88 Total 5 13864.98 6.44 Keterangan : * nyata pada α = 0.05
Tabel Lampiran 5. Analisis Ragam Bahan Organik
Sumber Keragaman db JK KT F-hitung
Lokasi 2 20.25 10.12 1.63* Penggunaan Lahan 1 2.46 2.46 0.39*
Galat 2 12.37 6.18 Total 5 35.09 18.77
Keterangan : * nyata pada α = 0.05
Tabel Lampiran 6. Analisis Ragam Pori Drainase
Sumber Keragaman db JK KT F-hitung
Lokasi 2 695.27 347.63 2.86* Penggunaan Lahan 1 211.71 211.71 1.74*
Galat 2 243.02 121.51 Total 5 1150.01 680.86
Keterangan : * nyata pada α = 0.05
Tabel Lampiran 7. Analisis Ragam Pori Air Tersedia
Sumber Keragaman db JK KT F-hitung
Lokasi 2 1122.99 561.49 0.92* Penggunaan Lahan 1 242.22 242.22 0.39* Galat 2 1217.06 608.53 Total 5 2582.28 1412.25 Keterangan : * nyata pada α = 0.05
Tabel Lampiran 8. Hasil Deskripsi Profil Tanah Hutan Bambu, Gunung Malang
Lokasi : Gunung Malang
Bahan Induk : Tuf Volkan
Penggunaan Lahan : Hutan Bambu
Topografi : Berbukit dengan lereng 30 %
Vegetasi : Bambu
Kedalaman efektif : 90 cm
Kedalaman
(cm)
Simbol
Horizon
Keterangan
0-18
18-38
38-60
60-90
90-110
A
AB
Bt1
Bt2
BC
Liat; coklat (7.5 YR 4/4); remah, halus, lemah; agak lekat, plastis, sangat gembur; batas baur, berombak; perakaran kasar-banyak
Liat; coklat (7.5 YR 4/8); granular, sedang, lemah; agak lekat, plastis; gembur; batas baur, berombak; perakaran kasar-banyak.
Liat; coklat (7.5 YR 4/4); remah, sedang, lemah; agak lekat, lemah, plastis; batas baur, berombak; perakaran sedang-banyak.
Liat; coklat (7.5 YR 5/6); gumpal bersudut, sedang; agak lekat, plastis; batas baur, berombak; perakaran sedang-banyak.
Liat; coklat (7.5 YR 5/8); gumpal bersudut, sedang; agak lekat, plastis; batas baur, berombak; perakaran sedikit.
Tabel Lampiran 9. Hasil Deskripsi Profil Tanah Tegalan, Curug Luhur
Lokasi : Curug Luhur
Bahan Induk : Tuf Volkan
Penggunaan Lahan : Hutan Bambu
Topografi : Datar (lembah) dengan lereng 15%
Vegetasi : Bambu dan Talas
Kedalaman efektif : 110 cm
Kedalaman (cm)
Simbol Horizon
Keterangan
0-20
20-40
40-70
70-110
A
AB
B1
B2
Lempung liat berdebu; coklat abu-abu (10 YR 4/6); remah, halus, lemah; agak lekat, plastis; sangat gembur; batas baur, berombak; perakaran sedikit; ada batuan.
Lempung liat berdebu; coklat abu-abu-gelap (10 YR 3/4); granular, halus, lemah; agak lekat, plastis; gembur; batas baur, berombak; perakaran sedikit.
Liat berdebu; coklat abu-abu gelap (10 YR 3/4); gumpal, halus, lemah; agak lekat, plastis; agak gembur; batas baur, berombak; perakaran sedikit
Lempung berdebu; coklat abu-abu gelap(10YR 3/4); gumpal bersudut, halus, sedang; agak lekat, plastis; batas baur, bergelombang; perakaran sedikit
Tabel Lampiran 10. Hasil Deskripsi Profil Tanah Hutan Bambu, Ciherang
Lokasi : Ciherang
Bahan Induk : Tuf Volkan
Penggunaan Lahan : Hutan Bambu
Topografi : Berbukit dengan lereng 30 %
Vegetasi : Bambu dan Talas
Kedalaman efektif : 103 cm
Kedalaman (cm)
Simbol Horizon
Keterangan
0-18
18-37
37-69
69-103
A
AB
Bt1
Bt2
Liat berdebu; coklat-coklat gelap (7.5YR 4/4); remah, sedang, lemah; agak lekat, agak plastis; gembur; batas baur, berombak; perakaran kasar- banyak
Lempung liat berdebu; coklat kemerahan (7.5YR 4/6); granular, halus, lemah; agak lekat, agak plastis; gembur; batas baur, berombak; perakaran kasar-banyak
Liat; coklat kemerahan (7.5YR 3/4); gumpal, sedang, lemah; agak lekat, plastis; gembur; batas baur, berombak; perakaran halus-banyak
Liat; coklat kekuningan (7.5YR 5/6); gumpal membulat, halus, lemah; agak lekat, agak plastis; batas baur, bergelombang; perakaran halus- sedikit.
Tabel Lampiran 11. Hasil Deskripsi Profil Tanah Tegalan, Gunung Malang
Lokasi : Gunung Malang
Bahan Induk : Tuf Volkan
Penggunaan Lahan : Tegalan
Topografi : Berbukit dengan lereng 30%
Vegetasi : Singkong
Kedalaman efektif : 100 cm
Kedalaman (cm)
Simbol Horizon
Keterangan
0-22
22-44
44-82
82-100
Ap
E
Bt1
Bt2
Lempung berpasir; coklat kegelapan (7.5YR 3/4); remah, halus, lemah; tidak lekat, plastis; sangat gembur; batas baur, berombak; perakaran kasar- sedikit
Lempung berpasir; coklat kemerahan (7.5YR 4/6); granular, halus, lemah; agak lekat, plastis; gembur; batas baur, berombak; perakaran kasar-sedikit
Liat; coklat kemerahan (7.5YR 4/6); granular, halus, lemah; agak lekat, plastis; gembur; batas baur, berombak; perakaran halus-sedikit
Liat; coklat-coklat kegelapan (7.5YR 4/4); gumpal bersudut, halus, lemah; agak lekat, agak plastis; batas baur, bergelombang; perakaran sedikit.
Tabel Lampiran 12. Hasil Deskripsi Profil Tanah Hutan Bambu, Curug Luhur
Lokasi : Curug Luhur
Bahan Induk : Tuf Volkan
Penggunaan Lahan : Tegalan
Topografi : Berbukit dengan lereng 30%
Vegetasi : Bambu dan Talas
Kedalaman efektif : 71 cm
Kedalaman (cm)
Simbol Horizon
Keterangan
0-20
20-43
43-71
71-98
Ap
B
BC
C
Lempung berpasir; merah (2.5 YR 4/6); remah, halus, lemah; agak lekat, plastis; sangat gembur; batas baur, berombak; perakaran banyak.
Lempung berpasir; merah kegelapan (2.5 YR 3/6); remah, halus, lemah; agak lekat, plastis; gembur; perakran banyak; batas baur, berombak; perakaran banyak.
Lempung berpasir; merah kegelapan (2.5 YR 4/6); remah, halus, lemah; agak lekat, plastis; agak gembur; batas baur, berombak
Lempung berpasir, merah (2.5 YR 4/8); remah
Tabel Lampiran 13. Hasil Deskripsi Profil Tanah Tegalan, Ciherang
Lokasi : Ciherang
Bahan Induk : Tuf Volkan
Penggunaan Lahan : Tegalan
Topografi : Berbukit dengan lereng 20 %
Vegetasi : Singkong
Kedalaman efektif : 140 cm
Kedalaman (cm)
Simbol Horizon
Keterangan
0-20
20-40
40-80
80-110
110-140
Ap
E
Bt1
Bt2
BC
Liat berpasir; coklat kemerahan (7.5 YR 4/6); remah, halus, lemah; agak lekat, plastis, gembur; batas baur, berombak; perakaran halus sedikit.
Liat; coklat (7.5 YR 5/6); granular, halus, sedang; agak lekat, plastis; gembur; batas baur, berombak; perakaran halus, sedikit.
Liat; coklat kemerahan (7.5 YR 4/6); granular, halus, sedang; agak lekat, plastis; batas baur, berombak; perakaran sedikit.
Liat; coklat (7.5 YR 5/6); gumpal bersudut, halus, sedang; agak lekat, sangat plastis; batas baur, berombak; perakaran sedikit
Liat; coklat (7.5 YR 5/8); gumpal bersudut, sedang; agak lekat,sangat plastis; batas baur, berombak; perakaran sedikit.
Recommended