ABSTRAK
Perencanaan pajak merupakan tahapan awal yang menjadi dasar dalam manajemen
pajak sebelum fungsi pelaksanaan dan fungsi pengendalian. Perencanaan pajak (tax
planning), akan dapat membantu pihak perusahaan dalam rangka pembayaran pajak.
Pada dasarnya perencanaan pajak adalah proses mengorganisasi usaha wajib pajak atau
kelompok wajib pajak sedemikian rupa sehingga hutang pajaknya, baik pajak
penghasilan maupun pajak-pajak lainnya berada dalam posisi yang minimal, sepanjang
hal ini dimungkinkan oleh ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Dengan kata lain perencanaan pajak yang telah sesuai dengan peraturan undang-undang
dapat digunakan untuk menghemat pajak.
KUMPULAN MATERI
ARTIKEL 1
Tax Planning Untuk Menghemat Biaya Pajak
Tax Planning atau perencanaan pajak dapat didefinisikan sebagai upaya
manajemen keuangan untuk meminimalkan biaya pajak dengan merancang investasi,
jenis usaha dan sistem pencatatan pendapatan dan biaya mana yang menghasilkan beban
pajak yang paling kecil. Tax Planning sering pula disamakan dengan Tax
Management atau manajemen pajak yang didefinisikan sebagai sarana memenuhi
kewajiban perpajakan dengan benar tetapi jumlah pajak yang dibayar dapat ditekan
serendah mungkin untuk memperoleh laba dan likuiditas yang diharapkan
(Lumbantoruan,1994).
Ada dua kategori tax planning:
1. Tax Avoidance (Penghindaran Pajak): Usaha meminimalkan biaya pajak masih
dalam koridor Undang-Undang dan peraturan yang berlaku.
Di berbagai negara terdapat 2 penggolongan tax avoidance:
Penghindaran pajak yang diperkenankan (acceptable tax avoidance/defensive
tax planning).
Penghindaran pajak yang tidak diperkenankan (unacceptable tax avoidance/
aggressive tax planning). Biasanya untuk transaksi yang semata-mata
dilakukan oleh Wajib Pajak yang untuk tujuan penghindaran pajak dan tidak
mempunyai substansi bisnis.
2. Tax Evasion (Penyelundupan Pajak): Usaha meminimalkan biaya pajak sudah
melanggar Undang-Undang dan peraturan yang berlaku, tax planningini
merupakan perbuatan ilegal. Misalnya: membuat laporan keuangan palsu, tidak
membayarkan PPN dan PPh yang dipungut, dll.
Kita dapat melakukan penghematan pajak dengan cara yang sederhana namun tetap
dapat memberikan hasil yang maksimal sebagai berikut:
Menghindari Sanksi dan Denda Perpajakan:
1. lapor pajak tepat waktu dan tepat perhitungannya >> Hindari sanksi telat lapor,
telat bayar dan kurang bayar.
2. Mendaftarkan NPWP >>UU PPh baru (UU No 36 Th 2008) memberikan tarif
pajak yang lebih tinggi kepda Wajib Pajak yang tidak mempunyai NPWP.
Memilih bentuk usaha dan investasi dengan beban pajak teringan
Usaha orang pribadi tarifnya progresif 5%-35% sedangkan untuk badan tarifnya
tunggal 28% dengan fasilitas UU PPh pasal 31 E yaitu pengurangan 50% PPh
badan untuk bagian yang beromset dibawah Rp. 4,8 M. Sehingga bila beromset
besar, sebaiknya lebih memilih bentuk badan. Bentuk Firma memiliki keuntungan
dengan tarif tunggal dan tidak dipajakinya bagi hasil usaha ke pemilik namun firma
tidak bisa membiayakan gaji direksi seperti PT selain itu sulit bila ingin
mengembangkan modal di pasar saham atau obligasi. Sayangnya koperasi
walaupun dianggap sebagai pendorong ekonomi rakyat tidak memiliki fasilitas
seperti firma dimana tetap ada pemajakan final 10% pada SHU yang diberikan pada
anggotanya.
Memanfaatkan fasilitas pajak
1. Memanfaatkan fasilitas pengurangan pajak untuk PPh 25, BPHTB, PBB
2. Memanfaatkan fasilitas Ekspor, PPN Ditanggung Pemerintah dan PPN tidak
dipungut dimana harga jual dapat ditekan dan tetap dapat merestitusi PPN
Masukan
3. Memanfaatkan fasilitas bebas pajak untuk merger dengan nilai buku
4. Memanfaatkan fasilitas tarif 0% untuk bunga simpanan koperasi
5. Memanfaatkan fasilitas bebas bajak untuk Zona ekonomi Khusus
Menghindari biaya yang tidak dapat dikurangkan dalam perpajakan
1. Menghindari natura sebagai kompensasi pegawai
2. Memotong PPh 21 OP atas asuransi untuk kepentingan pegawai agar tidak
dianggap sebagai natura
3. Menghindari biaya entertainment untuk marketing, lebih baik gunakan diskon
atau jasa pihak ketiga.
4. Membuat daftar nominatif entertainment agar biaya entertainment dapat
dibiayakan
5. Hanya ikut dana pensiun yang pendiriannya disahkan Menteri Keuangan agar
dapat dibiayakan
6. Membuat daftar pemusnahan barang untuk membiayakan penghapusan
persediaan
7. Memperhatikan biaya estimasi yang dapat dikurangkan dalam UU PPh psal 9
ayat 1-c j.o PMK 81/PMK.03/2009
Memilih metode perhitungan biaya yang lebih besar
1. Memilih metode rata-rata tertimbang dibanding FIFO untuk persediaan bila
terjadi inflasi.
2. Memilih metode penyusutan saldo menurun metode garis lurus bila ada trend
penurunan tarif pajak.
3. Lebih baik menyewa aset atau leasing daripada membeli aset >> Bila menyewa
biasa dapat mengkreditkan PPN Masukan tiap bulan, dan tagihan sewa
semuanya, tidak seperti bila membeli aset biasa yang pembiayaannya melalui
depresiasi. Bila leasing, biaya angsuran tiap bulan dapat dibiayakan namun
keuntungannya ada PPN Masukan di awal yang cukup besar untukcash
saving dan perusahaan dapat mennghemat biaya administrasi karena
pembayaran angsuran capital lease dikecualikan dari pemotongan PPh 23 dan
PPN. (KMK No 1169/1991)
Memanfaatkan pembedaan tarif pajak
1. Dapat dimanfaatkan dengan cara memecah usaha yang berlaba besar menjadi
beberapa unit untuk mendapat tarif pemajakan yang lebih kecil (fasilitas UU
PPh pasal 31 E, tarif 14% untuk badan dengan omset kurang dari Rp. 4,8
Milyar)
2. Aset dipecah-dipecah ke berbagai anak perusahaan untuk mendapat tarif PBB
lebih rendah (dimana asessment ratio 20% untuk NJOP di bawah Rp. 1 Milyar)
Menghindari pajak berganda
1. Memastikan PPN Masukan dan PPh yang dipungut pihak ketiga dapat
dikreditkan >>Bila tidak dapat dikreditkan, merupakan biaya bagi perusahaan
dan akhirnya akan membebani harga jual.
2. Memohon sentralisasi PPN>>Untuk menghemat biaya administrasi dan resiko
faktur pajak masukan cacat.
3. Investasi pada negara yang memiliki tax treaty dengan Indonesia untuk
menghindari pengenaan pajak yang sama di lebih dari 2 negara
4. Sinergi industri hulu-hilir untuk menghindari pengenaan PPNBM berkali-kali
untuk produk yang sama, misalnya loudspeaker dan TV sama-sama dikenakan
PPNBM
5. Penyertaan modal pada PT dihindar dalam bentuk tanah dan bangunan untuk
menghindari BPHTB
Menghindari koreksi Transfer Pricing
1. Mengadakan Advance Pricing Agreement dimana ada harga trasfer pricing
yang merupakan kesepakatan WP dan pihak fiskus.
2. Memperhatikan peraturan mengenai Debt Equity Ratio untuk menghindari
koreksi UU PPh pasal 18 ayat 1
3. Investasi pada negara yang memiliki tax treaty dengan Indonesia untuk
menghindari pengenaan pajak yang sama di lebih dari 2 negara.
http://natanedan.wordpress.com/2009/12/01/tax-planning-untuk-menghemat-biaya-pajak-
oleh-nany-ariany/
ARTIKEL 2
Pengertian Manajemen Pajak
Upaya dalam melakukan penghematan pajak secara legal dapat dilakukan
melalui manajemen pajak. Namun, perlu diingat bahwa legalitas manajemen pajak
tergantung dari instrument yang dipakai. Legalitas baru dapat diketahui secara pasti
setelah ada putusan pengadilan. Secara umum manajemen pajak dapat didefenesikan:
“Manajemen pajak adalah sarana untuk memenuhi kewajiban perpajakan dengan benar
tetapi jumlah pajak yang dibayar dapat ditekan serendah mungkin untuk memeperoleh
laba dan likuiditas yang diharapkan” (Sophar Lumbatoruan; 1996)
Tujuan manajemen pajak dapat dibagi menjadi dua, yaitu:
1. menerapkan peraturan perpajakan dengan benar
2. usaha efisiensi untuk mencapai laba dan likuidiras yang seharusnya.
Disamping itu, tujuan manajemen pajak dapat dicapai melalui fungsi-fungsi
manajemen pajak yang terdiri dari:
1. Perencanaan pajak (tax planning)
2. Pelaksanaan kewajiban perpajakan (tax implementation)
3. Pengendalian pajak (tax control)
Perencanaan Pajak
Secara garis besar pengertian Perencanaan Pajak (Tax Planning) menurut
Mohammad Zain dalam bukunya Manajemen Perpajakan (2005:43) menyebutkan
bahwa: “Perencanaan Pajak (Tax Planning) adalah proses mengorganisasi usaha wajib
pajak atau sekelompok wajib pajak sedemikian rupa sehingga utang pajaknya, baik
pajak penghasilan maupun pajak lainnya, berada dalam posisi yang paling minimal,
sepanjang hal ini dimungkinkan oleh ketentuan peraturan perundang-undangan
perpajakan”.
Adapun pengertian Perencanaan Pajak (Tax Planning) menurut Nur Hidayat
dalam artikel Tax Planning Bukan Untuk Hindari Pajak (2005:1) menyebutkan bahwa:
“Perencanaan Pajak (Tax Planning) adalah upaya menekan jumlah kewajiban pajak
dengan cara legal”.
Dari kedua definisi diatas dapat disimpulkan bahwa perencanaan pajak adalah
upaya untuk mengatur pembayaran pajak atau meminimalkan kewajiban pajak dengan
tidak melanggar peraturan perundang-undangan yang berlaku, agar pajak yang dibayar
tidak lebih dari jumlah yang seharusnya.
Pada umumnya, perencanaan pajak (tax planning) merujuk kepada proses
merekayasa usaha dan transaksi Wajib Pajak agar utang pajak berada dalam jumlah
yang minimal, tetapi masih dalam bingkai peraturan perpajakan. Suatu perencanaan
pajak yang tepat akan menghasilkan beban pajak minimal yang merupakan hasil dari
perbuatan penghematan pajak atau penghindaran pajak, bukan karena penyelundupan
pajak yang tidak berdasarkan pada peraturan perundang-undangan perpajakan.
Penghindaran Pajak dan Penyelundupan Pajak
Pada umunya penghindaran pajak dan penyelundupan pajak mempunyai tujuan
yang sama, yaitu mengurangi beban pajak, akan tetapi cara penyelundupan pajak dalam
mengurangi beban pajaknya termasuk perbuatan ilegal atau perbuatan melanggar
hukum.
Pengertian penyelundupan pajak dan penghindaran pajak menurut Harry
Graham Balter yang dikutip dalam buku Manajemen Perpajakan (2005:49) adalah:
“Penyelundupan pajak mengandung arti sebagai usaha yang dilakukan oleh wajib pajak-
apakah berhasil atau tidak-untuk mengurangi atau sama sekali menghapus utang pajak
yang tidak berdasarkan ketentuan perundang-undangan perpajakan yang berlaku,
sedangkan penghindaran pajak merupakan usaha yang sama, yang tidak melanggar
ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan”.
Sedangkan Pengertian penyelundupan pajak dan penghindaran pajak menurut
Robert H. Anderson yang dikutip dan dialih bahasakan oleh Mohammad Zain dalam
buku Manajemen Perpajakan (2005:50) adalah sebagai berikut: “Penyelundupan pajak
adalah penyelundupan pajak yang melanggar undang-undang pajak, sedangkan
penghindaran pajak adalah cara mengurangi pajak yang masih dalam batas ketentuan
peraturan perundang-undangan perpajakan dan dapat dibenarkan, terutama melalui
perencanaan pajak”.
Dari kedua definisi diatas dapat disimpulkan bahwa penyelundupan pajak adalah
upaya wajib pajak untuk meminimumkan beban pajak terutang, yang dilakukan dengan
cara melanggar undang-undang perpajakan sedangkan penghindaran pajak adalah upaya
yang dilakukan untuk meminimumkan beban pajaknya dengan cara tidak melanggar
ketentuan perundang-undangan perpajakan.
Pengertian penyelundupan pajak tidak saja terbatas pada kecurangan dan
penggelapan saja, tetapi juga meliputi kelalaian memenuhi kewaiban perpajakan yang
disebabkan oleh:
a. Ketidaktahuan (ignorance), yaitu wajib pajak tidak sadar atau tidak tahu akan
adanya ketentuan perundang-undangan perpajakan tersebut.
b. Kesalahan (error), yaitu wajib pajak paham dan mengerti mengenai ketentuan
peraturan perundang-undangan perpajakan, tetapi salah hitung datanya.
c. Kesalahpahaman (misunderstanding), yaitu wajib pajak salah dalam menafsirkan
peraturan perundang-undangan perpajakan.
d. Kealpaan (negligence), yaitu wajib pajak alpa untuk menyimpan buku beserta
bukti-buktinya secara lengkap.
Dengan demikian, penyelundupan pajak dapat pula didefenisikan sebagai suatu
tindakan atau sejumlah tindakan yang merupakann pelanggaran terhadap ketentuan
perundang-undangan perpajakan, seperti:
a. Tidak dapat memenuhi pengisian Surat Pemberitahuan (SPT) tepat waktunya.
b. Tidak dapat memenuhi pembayaran pajak tepat pada waktunya.
c. Tidak dapat memenuhi pelaporan penghasilan dan pengurangannya secara lengkap
dan benar.
d. Tidak dapat memenuhi kewajiban memelihara pembukuan.
e. Tidak dapat memenuhi kewajiban menyetorkan pajak penghasilan karyawan yang
dipotong dan pajak-pajak lainnya yang telah dipungut.
f. Pembayaran dengan cek kosong bagi Negara yang dapat melakukan pembayaran
pajaknya dengan cek.
g. Melakukan penyuapan terhadap aparat perpajakan dan atau tindakan intimidasi
lainnya.
Jenis-jenis Perencanaan Pajak
Perencanaan pajak tidak hanya dilakukan di Indonesia saja, karena kadang-
kadang perusahaan juga harus berhubungan dengan negara di luar Indonesia untuk
menjalankan kegiatan perusahaanya. Untuk itu sebelum melakukan perencanaan pajak
seorang perencana pajak harus mengetahui jenis-jenis perencanaan pajak terlebih
dahulu.
Menurut Erly Suandi dalam bukunya Perencanaan Pajak (2006:122) jenis-jenis
perencanaan pajak dapat dibagi menjadi dua, yaitu:
a. Perencanaan pajak nasional (national tax planning)
b. Perencanaan pajak internasional (international tax planning)
Dari kedua jenis perencanaan pajak tersebut terdapat perbedaan yang melekat
antara perencanaan pajak nasional dengan perencanaan pajak internasional, yaitu
terletak pada peraturan pajak yang akan digunakan. Dalam perencanaan pajak nasional
hanya memperhatikan undang-undang domestic, sedangkan perencanaan pajak
internasional disamping undang-undang domestik juga harus memperhatikan perjanjian
pajak dan undang-undang dari negara-negara yang terlibat.
riskymahira.blogspot.com/2012/11/perencanaan-pajak-tax-planning.html
ARTIKEL 3
Memperlakukan Biaya yang Menghemat Pajak
Biaya yang dikeluarkan perusahaan ada yang dapat diperlakukan sebagai
pengurang penghasilan kena pajak ada pula yang tidak dapat diperlakukan sebagai biaya
pengurang penghasilan kena pajak. Selain jenis biayanya, hal itu juga ditentukan oleh
tujuan penggunaannya.
Biaya-biaya yang dikeluarkan oleh wajib pajak apabila pemilihan atau
pengakuannya tepat maka dapat mempengaruhi besarnya PPh terutang dari wajib pajak.
Berbagai biaya yang dapat disiasati berkenaan dengan efisiensi pembayaran pajak
antara lain adalah sebagai berikut:
Penghematan biaya pada leasing
Pemilihan metode penyusutan
Pemilihan metode persediaan
Pemanfaatan biaya bunga
Pengaturan biaya natura dan kenikmatan
Pengaturan gaji anggota persekutuan
Pengaturan premi asuransi karyawan
Pemilihan metode pengakuan selisih kurs
Pengaturan pembayaran tunjangan
http://books.google.co.id/books?
id=9nAeg3xbW48C&pg=PA105&lpg=PA105&dq=memperlakukan+biaya+yang+menghemat+paj
ak
ARTIKEL 4
Biaya yang Boleh Dibebankan dan yang Tidak Boleh Dibebankan
Besarnya Penghasilan Kena Pajak bagi Wajib Pajak dalam negeri dan bentuk
usaha tetap, ditentukan berdasarkan penghasilan bruto dikurangi biaya untuk
mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan. Beban-beban yang dapat
dikurangkan dari penghasilan bruto dapat dibagi dalam 2 (dua) golongan, yaitu beban
atau biaya yang mempunyai masa manfaat tidak lebih dari 1 (satu) tahun dan yang
mempunyai masa manfaat lebih dari 1 (satu) tahun.
Beban yang mempunyai masa manfaat tidak lebih dari 1 (satu) tahun merupakan
biaya pada tahun yang bersangkutan, misalnya gaji, biaya administrasi dan bunga, biaya
rutin pengolahan limbah dan sebagainya, sedangkan pengeluaran yang mempunyai
masa manfaat lebih dari 1 (satu) tahun, pembebanannya dilakukan melalui penyusutan
atau melalui amortisasi. Di samping itu, apabila dalam suatu tahun pajak didapat
kerugian karena penjualan harta atau karena selisih kurs, kerugian-kerugian tersebut
dapat dikurangkan dari penghasilan bruto.
1. Biaya Yang Boleh Dibebankan
Berdasarkan Pasal 6 ayat (1) UU PPh, biaya-biaya yang boleh dibebankan
sebagai pengurang penghasilan bruto adalah :
a. biaya yang secara langsung atau tidak langsung berkaitan dengan kegiatan
usaha, antara lain:
1) biaya pembelian bahan;
2) biaya berkenaan dengan pekerjaan atau jasa termasuk upah, gaji, honorarium,
bonus, gratifikasi, dan tunjangan yang diberikan dalam bentuk uang;
3) bunga, sewa, dan royalti;
4) biaya perjalanan;
5) biaya pengolahan limbah;
6) premi asuransi;
7) biaya promosi dan penjualan yang diatur dengan atau berdasarkan Peraturan
Menteri Keuangan;
8) biaya administrasi; dan
9) pajak kecuali Pajak Penghasilan
Biaya-biaya yang dimaksud dalam ketentuan ini lazim disebut biaya
sehari-hari yang boleh dibebankan pada tahun pengeluaran. Untuk dapat
dibebankan sebagai biaya, pengeluaran-pengeluaran tersebut harus mempunyai
hubungan langsung maupun tidak langsung dengan kegiatan usaha atau kegiatan
untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan yang merupakan
objek pajak. Dengan demikian, pengeluaran-pengeluaran untuk mendapatkan,
menagih, dan memelihara penghasilan yang bukan merupakan objek pajak tidak
boleh dibebankan sebagai biaya.
Contoh:
Dana Pensiun A yang pendiriannya telah mendapat pengesahan dari Menteri
Keuangan memperoleh penghasilan bruto yang terdiri dari:
- penghasilan yang bukan merupakan objek pajak sesuai dengan Pasal 4 ayat
(3) huruf h Rp100.000.000,00
- penghasilan bruto lainnya sebesar Rp300.000.000,00 (+) Jumlah penghasilan
bruto Rp400.000.000,00
Apabila seluruh biaya adalah sebesar Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah),
biaya yang boleh dikurangkan untuk mendapatkan, menagih dan memelihara
penghasilan adalah sebesar 3/4 x Rp200.000.000,00 = Rp150.000.000,00.
Demikian pula bunga atas pinjaman yang dipergunakan untuk membeli
saham tidak dapat dibebankan sebagai biaya sepanjang dividen yang
diterimanya tidak merupakan objek pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4
ayat (3) huruf f. Bunga pinjaman yang tidak boleh dibiayakan tersebut dapat
dikapitalisasi sebagai penambah harga perolehan saham.
Pengeluaran-pengeluaran yang tidak ada hubungannya dengan upaya
untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan, misalnya
pengeluaran-pengeluaran untuk keperluan pribadi pemegang saham,
pembayaran bunga atas pinjaman yang dipergunakan untuk keperluan pribadi
peminjam serta pembayaran premi asuransi untuk kepentingan pribadi, tidak
boleh dibebankan sebagai biaya. Pembayaran premi asuransi oleh pemberi kerja
untuk kepentingan pegawainya boleh dibebankan sebagai biaya perusahaan,
tetapi bagi pegawai yang bersangkutan premi tersebut merupakan penghasilan.
Pengeluaran-pengeluaran sehubungan dengan pekerjaan yang boleh
dikurangkan dari penghasilan bruto harus dilakukan dalam bentuk uang.
Pengeluaran yang dilakukan dalam bentuk natura atau kenikmatan, misalnya
fasilitas menempati rumah dengan cuma-cuma, tidak boleh dibebankan sebagai
biaya, dan bagi pihak yang menerima atau menikmati bukan merupakan
penghasilan. Namun, pengeluaran dalam bentuk natura atau kenikmatan tertentu
sebagaimana diatur dalam Pasal 9 ayat (1) huruf e, boleh dibebankan sebagai
biaya dan bagi pihak yang menerima atau menikmati bukan merupakan
penghasilan.
Pengeluaran-pengeluaran yang dapat dikurangkan dari penghasilan bruto
harus dilakukan dalam batas-batas yang wajar sesuai dengan adat kebiasaan
pedagang yang baik. Dengan demikian, apabila pengeluaran yang melampaui
batas kewajaran tersebut dipengaruhi oleh hubungan istimewa, jumlah yang
melampaui batas kewajaran tersebut tidak boleh dikurangkan dari penghasilan
bruto.
Pajak-pajak yang menjadi beban perusahaan dalam rangka usahanya selain
Pajak Penghasilan, misalnya Pajak Bumi dan Bangunan (PBB), Bea Meterai
(BM), Pajak Hotel, dan Pajak Restoran, dapat dibebankan sebagai biaya.
Mengenai pengeluaran untuk promosi perlu dibedakan antara biaya yang
benar-benar dikeluarkan untuk promosi dan biaya yang pada hakikatnya
merupakan sumbangan. Biaya yang benar-benar dikeluarkan untuk promosi
boleh dikurangkan dari penghasilan bruto. Besarnya biaya promosi dan
penjualan yang diperkenankan sebagai pengurang penghasilan bruto diatur
dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.
b. biaya yang dibebankan atau dikeluarkan untuk kepentingan pribadi pemegang
saham, sekutu, atau anggota;
Tidak dapat dikurangkan dari penghasilan bruto perusahaan adalah biaya-
biaya yang dikeluarkan atau dibebankan oleh perusahaan untuk kepentingan
pribadi pemegang saham, sekutu atau anggota, seperti perbaikan rumah pribadi,
biaya perjalanan, biaya premi asuransi yang dibayar oleh perusahaan untuk
kepentingan pribadi para pemegang saham atau keluarganya.
c. pembentukan atau pemupukan dana cadangan, kecuali:
1) cadangan piutang tak tertagih untuk usaha bank dan badan usaha lain yang
menyalurkan kredit, sewa guna usaha dengan hak opsi, perusahaan
pembiayaan konsumen, dan perusahaan anjak piutang;
2) cadangan untuk usaha asuransi termasuk cadangan bantuan sosial yang
dibentuk oleh Badan Penyelenggara Jaminan Sosial;
3) cadangan penjaminan untuk Lembaga Penjamin Simpanan;
4) cadangan biaya reklamasi untuk usaha pertambangan;
5) cadangan biaya penanaman kembali untuk usaha kehutanan; dan
6) cadangan biaya penutupan dan pemeliharaan tempat pembuangan limbah
industri untuk usaha pengolahan limbah industri, yang ketentuan dan syarat-
syaratnya diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan;
d. premi asuransi kesehatan, asuransi kecelakaan, asuransi jiwa, asuransi
dwiguna, dan asuransi bea siswa, yang dibayar oleh Wajib Pajak orang pribadi,
kecuali jika dibayar oleh pemberi kerja dan premi tersebut dihitung sebagai
penghasilan bagi Wajib Pajak yang bersangkutan;
Premi untuk asuransi kesehatan, asuransi kecelakaan, asuransi jiwa,
asuransi dwiguna, dan asuransi bea siswa yang dibayar sendiri oleh Wajib Pajak
orang pribadi tidak boleh dikurangkan dari penghasilan bruto, dan pada saat
orang pribadi dimaksud menerima penggantian atau santunan asuransi,
penerimaan tersebut bukan merupakan Objek Pajak.
Apabila premi asuransi tersebut dibayar atau ditanggung oleh pemberi
kerja, maka bagi pemberi kerja pembayaran tersebut boleh dibebankan sebagai
biaya dan bagi pegawai yang bersangkutan merupakan penghasilan yang
merupakan Objek Pajak.
e. penggantian atau imbalan sehubungan dengan pekerjaan atau jasa yang
diberikan dalam bentuk natura dan kenikmatan, kecuali penyediaan makanan
dan minuman bagi seluruh pegawai serta penggantian atau imbalan dalam
bentuk natura dan kenikmatan di daerah tertentu dan yang berkaitan dengan
pelaksanaan pekerjaan yang diatur dengan atau berdasarkan Peraturan
Menteri Keuangan;
Sebagaimana telah diuraikan dalam penjelasan Pasal 4 ayat (3) huruf d,
penggantian atau imbalan dalam bentuk natura dan kenikmatan dianggap bukan
merupakan objek pajak. Selaras dengan hal tersebut, dalam ketentuan ini
penggantian atau imbalan dimaksud dianggap bukan merupakan pengeluaran
yang dapat dibebankan sebagai biaya bagi pemberi kerja. Namun, dengan atau
berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan, pemberian natura dan kenikmatan
berikut ini dapat dikurangkan dari penghasilan bruto pemberi kerja dan bukan
merupakan penghasilan pegawai yang menerimanya:
1) penggantian atau imbalan dalam bentuk natura atau kenikmatan yang
diberikan berkenaan dengan pelaksanaan pekerjaan di daerah tersebut dalam
rangka menunjang kebijakan pemerintah untuk mendorong pembangunan di
daerah terpencil;
2) pemberian natura dan kenikmatan yang merupakan keharusan dalam
pelaksanaan pekerjaan sebagai sarana keselamatan kerja atau karena sifat
pekerjaan tersebut mengharuskannya, seperti pakaian dan peralatan untuk
keselamatan kerja, pakaian seragam petugas keamanan (satpam), antar jemput
karyawan, serta penginapan untuk awak kapal dan yang sejenisnya; dan
3) pemberian atau penyediaan makanan dan atau minuman bagi seluruh pegawai
yang berkaitan dengan pelaksanaan pekerjaan.
f. jumlah yang melebihi kewajaran yang dibayarkan kepada pemegang saham
atau kepada pihak yang mempunyai hubungan istimewa sebagai imbalan
sehubungan dengan pekerjaan yang dilakukan;
Dalam hubungan pekerjaan, kemungkinan dapat terjadi pembayaran
imbalan yang diberikan kepada pegawai yang juga pemegang saham. Karena
pada dasarnya pengeluaran untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara
penghasilan yang boleh dikurangkan dari penghasilan bruto adalah pengeluaran
yang jumlahnya wajar sesuai dengan kelaziman usaha, berdasarkan ketentuan ini
jumlah yang melebihi kewajaran tersebut tidak boleh dibebankan sebagai biaya.
Misalnya, seorang tenaga ahli yang merupakan pemegang saham dari suatu
badan memberikan jasa kepada badan tersebut dengan memperoleh imbalan
sebesar Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah).
Apabila untuk jasa yang sama yang diberikan oleh tenaga ahli lain yang
setara hanya dibayar sebesar Rp20.000.000,00 (dua puluh juta rupiah), jumlah
sebesar Rp30.000.000,00 (tiga puluh juta rupiah) tidak boleh dibebankan
sebagai biaya. Bagi tenaga ahli yang juga sebagai pemegang saham tersebut
jumlah sebesar Rp30.000.000,00 (tiga puluh juta rupiah) dimaksud dianggap
sebagai dividen.
g. harta yang dihibahkan, bantuan atau sumbangan, dan warisan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 4 ayat (3) huruf a dan huruf b, kecuali sumbangan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) huruf i sampai dengan huruf m
serta zakat yang diterima oleh badan amil zakat atau lembaga amil zakat yang
dibentuk atau disahkan oleh pemerintah atau sumbangan keagamaan yang
sifatnya wajib bagi pemeluk agama yang diakui di Indonesia, yang diterima
oleh lembaga keagamaan yang dibentuk atau disahkan oleh pemerintah, yang
ketentuannya diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Pemerintah;
h. Pajak Penghasilan;
Yang dimaksudkan dengan Pajak Penghasilan dalam ketentuan ini adalah
Pajak Penghasilan yang terutang oleh Wajib Pajak yang bersangkutan.
i. biaya yang dibebankan atau dikeluarkan untuk kepentingan pribadi Wajib Pajak
atau orang yang menjadi tanggungannya;
Biaya untuk keperluan pribadi Wajib Pajak atau orang yang menjadi
tanggungannya, pada hakekatnya merupakan penggunaan penghasilan oleh
Wajib Pajak yang bersangkutan. Oleh karena itu biaya tersebut tidak boleh
dikurangkan dari penghasilan bruto perusahaan.
j. gaji yang dibayarkan kepada anggota persekutuan, firma, atau perseroan
komanditer yang modalnya tidak terbagi atas saham;
Anggota firma, persekutuan dan perseroan komanditer yang modalnya
tidak terbagi atas saham diperlakukan sebagai satu kesatuan, sehingga tidak ada
imbalan sebagai gaji. Dengan demikian gaji yang diterima oleh anggota
persekutuan, firma, atau perseroan komanditer yang modalnya tidak terbagi atas
saham, bukan merupakan pembayaran yang boleh dikurangkan dari penghasilan
bruto badan tersebut.
k. sanksi administrasi berupa bunga, denda, dan kenaikan serta sanksi pidana
berupa denda yang berkenaan dengan pelaksanaan perundangundangan di
bidang perpajakan.
Pengeluaran untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan
yang mempunyai masa manfaat lebih dari 1 (satu) tahun tidak dibolehkan untuk
dibebankan sekaligus, melainkan dibebankan melalui penyusutan atau amortisasi
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 atau Pasal 11A.
Sesuai dengan kelaziman usaha, pengeluaran yang mempunyai peranan
terhadap penghasilan untuk beberapa tahun, pembebanannya dilakukan sesuai
dengan jumlah tahun lamanya pengeluaran tersebut berperan terhadap
penghasilan. Sejalan dengan prinsip penyelarasan antara pengeluaran dengan
penghasilan, dalam ketentuan ini pengeluaran untuk mendapatkan, menagih, dan
memelihara penghasilan yang mempunyai masa manfaat lebih dari 1 (satu)
tahun tidak dapat dikurangkan sebagai biaya perusahaan sekaligus pada tahun
pengeluaran, melainkan dibebankan melalui penyusutan dan amortisasi selama
masa manfaatnya sebagaimana diatur dalam Pasal 11 dan Pasal 11A.
http://wistonmanihuruk.blogspot.com/2011/03/biaya-yang-boleh-dibebankan danyang.html
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Perkembangan zaman mengakibatkan pertumbuhan perekonomian di
Indonesia semakin meningkat. Hal ini disebabkan oleh pertumbuhan penduduk
yang semakin meningkat. Perkembangan ini juga diikuti dengan pertumbuhan pajak
yang semakin lama semakin meningkat, hal ini dibuktikan dengan besarnya
kontribusi pajak pada APBN negara (sebesar 7%). Pada hakikatnya setiap orang
yang berada di Indonesia pasti akan bersinggungan dengan pajak suatu saat nanti,
baik yang berprofesi sebagai kuli bangunan, dokter, dosen, arsitek, montir, dan lain
sebagainya. Hal ini terjadi karena adanya pajak penghasilan yang diterapkan pada
setiap penghasilan penduduk rakyat Indonesia, baik yang berbentuk perseorangan,
Commanditaire Vennootschap atau Firma, maupun Perseroan Terbatas.
Hampir seluruh kehidupan perseorangan dan perkembangan dunia bisnis
dipengaruhi oleh ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan. Pengaruh
tersebut cukup berarti, sehingga bagi para eksekutif komponen pajak merupakan
komponen yang perlu mendapatkan perhatian khusus.
Walaupun pajak berpengaruh terhadap segala aspek kehidupan
perseorangan dan keputusan bisnis, tidaklah berarti bahwa pajak tersebut tidak
dapat dikendalikan. Memahami dengan baik ketentuan peraturan perundang-
undangan perpajakan serta perkembangan dan perubahannya, pada hakikatnya
pajak terseut akan dapat dimajemeni dengan berhasil.
Salah satu fungsi manajemen pajak adalah perencanaan pajak (tax
planning). Perencanaan pajak itu sendiri sesungguhnya merupakan tindakan
penstrukturan yang terkait dengan konsekuensi potensi pajaknya. Tujuannya adalah
bagaimana pengendalian tersebut dapat mengefisiensikan jumlah pajak yang akan
dibayar. Dalam penyusunan perencanaan pajak harus sudah memahami secara
mendalam tentang peraturan-peraturan perpajakan dan selalu mengikuti
perkembangan dan perubahan agar perencanaan pajak dapat berfungsi dengan baik
dan tidak terjadi suatu kesalahan.
PEMBAHASAN
A. Pengertian Manajemen Pajak
Upaya dalam melakukan penghematan pajak secara legal dapat dilakukan
melalui manajemen pajak. Namun, perlu diingat bahwa legalitas manajemen pajak
tergantung dari instrument yang dipakai. Legalitas baru dapat diketahui secara pasti
setelah ada putusan pengadilan. Secara umum manajemen pajak dapat
didefenesikan: “Manajemen pajak adalah sarana untuk memenuhi kewajiban
perpajakan dengan benar tetapi jumlah pajak yang dibayar dapat ditekan serendah
mungkin untuk memeperoleh laba dan likuiditas yang diharapkan” (Sophar
Lumbatoruan; 1996)
Tujuan manajemen pajak dapat dibagi menjadi dua, yaitu:
2. menerapkan peraturan perpajakan dengan benar
3. usaha efisiensi untuk mencapai laba dan likuidiras yang seharusnya.
Disamping itu, tujuan manajemen pajak dapat dicapai melalui fungsi-fungsi
manajemen pajak yang terdiri dari:
1. Perencanaan pajak (tax planning)
2. Pelaksanaan kewajiban perpajakan (tax implementation)
3. Pengendalian pajak (tax control)
B. Perencanaan Pajak
Secara garis besar pengertian Perencanaan Pajak (Tax Planning) menurut
Mohammad Zain dalam bukunya Manajemen Perpajakan (2005:43) menyebutkan
bahwa: “Perencanaan Pajak (Tax Planning) adalah proses mengorganisasi usaha
wajib pajak atau sekelompok wajib pajak sedemikian rupa sehingga utang
pajaknya, baik pajak penghasilan maupun pajak lainnya, berada dalam posisi yang
paling minimal, sepanjang hal ini dimungkinkan oleh ketentuan peraturan
perundang-undangan perpajakan”.
Adapun pengertian Perencanaan Pajak (Tax Planning) menurut Nur Hidayat
dalam artikel Tax Planning Bukan Untuk Hindari Pajak (2005:1) menyebutkan
bahwa: “Perencanaan Pajak (Tax Planning) adalah upaya menekan jumlah
kewajiban pajak dengan cara legal”.
Dari kedua definisi diatas dapat disimpulkan bahwa perencanaan pajak
adalah upaya untuk mengatur pembayaran pajak atau meminimalkan kewajiban
pajak dengan tidak melanggar peraturan perundang-undangan yang berlaku, agar
pajak yang dibayar tidak lebih dari jumlah yang seharusnya.
Pada umumnya, perencanaan pajak (tax planning) merujuk kepada proses
merekayasa usaha dan transaksi Wajib Pajak agar utang pajak berada dalam jumlah
yang minimal, tetapi masih dalam bingkai peraturan perpajakan.Suatu perencanaan
pajak yang tepat akan menghasilkan beban pajak minimal yang merupakan hasil
dari perbuatan penghematan pajak atau penghindaran pajak, bukan karena
penyelundupan pajak yang tidak berdasarkan pada peraturan perundang-undangan
perpajakan.
C. Memperlakukan Biaya yang Menghemat Pajak
Biaya yang dikeluarkan perusahaan ada yang dapat diperlakukan sebagai
pengurang penghasilan kena pajak ada pula yang tidak dapat diperlakukan sebagai
biaya pengurang penghasilan kena pajak. Selain jenis biayanya, hal itu juga
ditentukan oleh tujuan penggunaannya.
Biaya-biaya yang dikeluarkan oleh wajib pajak apabila pemilihan atau
pengakuannya tepat maka dapat mempengaruhi besarnya PPh terutang dari wajib
pajak. Berbagai biaya yang dapat disiasati berkenaan dengan efisiensi pembayaran
pajak antara lain adalah sebagai berikut:
Penghematan biaya pada leasing
Pemilihan metode penyusutan
Pemilihan metode persediaan
Pemanfaatan biaya bunga
Pengaturan biaya natura dan kenikmatan
Pengaturan gaji anggota persekutuan
Pengaturan premi asuransi karyawan
Pemilihan metode pengakuan selisih kurs
Pengaturan pembayaran tunjangan
1. Penghematan biaya pada leasing
Dalam peraturan perpajakan, leasing atau sewa guna usaha dibedakan
menjadi leasing dengan hak opsi (financial leasing) dan leasing tanpa hak opsi
(operational leasing). Pengakuan biaya bagi perusahaan yang melakukan leasing
dengan hak opsi, selain berkaitan dengan pembayaran bunga atas angsuran
leasing, juga termasuk pokok angsuran leasingnya, serta penyusutan aktiva
setelah leasee mempergunakan hak opsinya.
Sedangkan pengakuan biaya bagi leasee pada leasing tanpa hak opsi
meliputi lease payment saja, tidak terdapat bunga atas angsuran dan tidak boleh
menyusutkan harta yang disewa-guna-usahakan.
Berdasarkan pengakuan biaya yang diperkenankan tersebut maka akan
lebih menguntungkan apabila pengadaan aktiva melalui leasing dilakukan
dengan mempergunakan cara leasing dengan hak opsi.
Contoh:
PT Haryo Pamenang mengadakan alat berat berupa leasing. Nilai alat berat
tersebut Rp 750.000.000,00. Apabila dilakukan leasing selama 3 tahun dengan
bunga tetap 1% dan nilai residu aktiva sebesar Rp 468.750.000,00; bandingkan
biaya yang dapat diakui oleh PT Haryo Pamenang dengan apabila alat berat
tersebut dilakukan leasing tanpa hak opsi selama 3 tahun, dan lease payment
setahunnya Rp 200.000.000,00.
No Pembayaran Dengan Hak Opsi Tanpa Hak Opsi Selisih
1 Lease Payment 750.000.000 600.000.000 150.000.000
2 Bunga 270.000.000 0 270.000.000
3 Nilai Sisa Aktiva -468.750.000 0 -468.750.000
Total 551.250.000 600.000.000 48.750.000
Selama 3 tahun, dengan leasing dengan hak opsi, PT Haryo Pamenang
harus mengeluarkan uang sebesar Rp 750.000.000 + Rp 270.000.000 atau
sebesar Rp 1.020.000.000 atau hampir dua kali jika leasing tersebut dilakukan
tanpa hak opsi, yaitu sebesar Rp 600.000.000.
Tetapi dengan leasing dengan hak opsi, PT Haryo Pamenang masih
mendapatkan aktiva yang mempunyai nilai buku sebesar Rp 468.750.000
sedangkan dengan cara leasing tanpa hak opsi maka sisa aktiva tersebut tidak
didapat.
Kalau diperhitungkan antara pembayaran dan nilai sisa aktiva maka akan
lebih menguntungkan kalau pengadaan aktiva dengan cara leasing dilakukan
dengan hak opsi, dimana akan didapat selisih sebesar Rp 48.750.000.
Demikian pula apabila dikaitkan dengan pengakuan biaya yang boleh
diakui dalam 3 tahun tersebut. Apabila menggunakan leasing dengan hak opsi
maka akan terdapat biaya untuk leasing sebesar Rp 1.020.000.000 sedangkan
untuk leasing tanpa hak opsi hanya sebesar Rp 600.000.000.
Seandainya PPh terutang PT Haryo Pamenang sudah mempergunakan tarif
sebesar 25% maka penghematan PPh yang didapat oleh PT Haryo Pamenang
dengan mempergunakan cara leasing dengan hak opsi adalah sebesar: 25% x (Rp
1.020.000.000,00 – Rp 600.000.000,00) atau sebesar Rp 105.000.000,00.
Dari perhitungan tersebut, keputusan utuk memilih leasing dengan hak
opsi atau tidak mempergunakan hak opsi, selain mempertimbangkan seluruh
pembayaran dan nilai residu aktiva, juga harus mempertimbangkan berapa
besarnya PPh yang akan dihemat atas pemilian leasing dengan kedua cara
tersebut.
2. Pemilihan metode penyusutan
Metode penyusutan yang diperbolehkan menurut ketentuan perpajakan
adalah metode garis lurus (straight line) untuk bangunan. Untuk aktiva lainnya
dapat memilih antara garis lurus dengan saldo menurun (decline balance).
Kedua metode tersebut memiliki kelebihan dan kekurangan masing-
masing yang tentu saja pilihan masing-masing wajib pajak dapat berbeda
mengingat adanya perbedaan kepentingan. Namun demikian apabila yang dasar
perbandingan adalah faktor komersial, kedua metode ini akan berbeda kalau
dinilai secara future value.
Mana yang dipilih dari kedua metode penyusutan tersebut, antara
kebijakan fiskal dan kebijakan perusahaan dapat bertentangan. Disatu pihak
diinginkan laba yang tinggi tetapi dipihak lain dengan adanya laba yang tinggi
itu maka PPh juga menjadi tinggi.
Contoh:
PT Dirgantara mempunyai aktiva berupa peralatan yang diperoleh bulan Januari
2007 dengan harga perolehan Rp 1.000.000.000,00 dengan masa manfaat 4
tahun. Penyusutan selama 4 tahun dengan mempergunakan kedua metode
tersebut adalah sebagai berikut:
Tahunpenyusutan
future value tahun 2008tingkat bunga 10%
garis lurus saldo menurun garis lurus saldo menurun2007 250.000.000 500.000.000 332.750.000 665.500.0002008 250.000.000 250.000.000 302.500.000 302.500.0002009 250.000.000 125.000.000 275.000.000 137.500.0002010 250.000.000 125.000.000 250.000.000 125.000.000
1.160.250.000 1.230.500.000
Diakhir penyusutan diketahui bahwa future value dari biaya penyusutan
mempergunakan metode garis lurus lebih rendah dibanding saldo menurun,
dalam arti metode garis lurus menghasilkan laba lebih tinggi dibanding metode
saldo menurun dan akan menghasilkan PPh terutang yang lebih tinggi pula.
PPh yang lebih tinggi itu dapat juga dihitung dari pengurangan biaya
akibat penyusutan. Seandainya tarif PPh terutang PT Dirgantara menggunakan
tarif tertinggi sebesar 25% maka besarnya selisih PPh terutang dapat dihitung
sebagai berikut:
Tahun Penyusutan Pengurangan PPhSaldo
Menurungaris lurus
saldo menurun garis lurus
saldo menurun
2007 250.000.000 500.000.000 62.500.000 125.000.000 62.500.0002008 250.000.000 250.000.000 62.500.000 62.500.000 02009 250.000.000 125.000.000 62.500.000 31.250.000 -31.250.0002010 250.000.000 125.000.000 62.500.000 31.250.000 -31.250.000
250.000.000 250.000.000 0
Berdasarkan perhitungan tersebut maka besarnya pengurangan PPh
apabila dihitung dengan cara future value dengan tingkat bunga 10% akan
dihasilkan perhitungan sebagai berikut:
Tahun pengurangan pph future value tahun 2008
tingkat bunga 10%garis lurus saldo menurun garis lurus saldo menurun
2007 62.500.000 125.000.000 88.187.500 166.375.0002008 62.500.000 62.500.000 75.625.000 75.625.0002009 62.500.000 31.250.000 68.750.000 34.750.0002010 62.500.000 31.250.000 62.500.000 31.250.000
295.062.500 308.000.000
Dari data tersebut maka apabila dinilai secara future value, penggunaan
saldo menurun akan lebih menghemat PPh terutang sebesar Rp
12.937.500.000,00.
3. Pemilihan metode persediaan
Perhitungan harga pokok penjualan selalu berkaitan dengan perhitungan
persediaan bahan baku maupun bahan bantu serta persediaan barang dalam
proses dan barang jadi. Perhitungan persediaan juga terkait dengan metode
perhitungan persediaan. Metode perhitungan persediaan yang diperkenankan
dalam perpajakan hanyalah metode rata-rata (average) dan metode FIFO (First
In First Out).
Kedua metode tersebut memiliki kelebihan dan kekurangan, yang secara
finansial menjadi pertimbangan bagi wajib pajak mana yang akan dipilih.
Pertimbangan secara fiskal dari pemakaian metode perhiungan persediaan ini
sama dengan pertimbangan secara finansial. Wajib pajak tentu akn memilih
untuk memakai metode yang menghasilkan PPh terutang yang lebih rendah.
Sesuai peritungan finansial, tinggi rendahnya perhitungan pemakaian
bahan ini sangat tergantung fluktuasi harga. Namun dengan mengasumsikan
bahwa harga bahan cenderung mengalami kenaikan maka kondisi inilah yang
lebih relevan untuk menjadi dasar pertimbangan.
Untuk kondisi dimana harga cenderung naik terus maka metode FIFO akan
menghasilkan biaya yang lebih rendah, dalam arti akan menghasilkan laba yang
lebih tinggi atau akan menghasilkan PPh terutang yang juga lebih tinggi.
4. Pemanfaatan biaya bunga
Biaya Bunga
Merupakan Biaya
Sepanjang dimanfaatkan oleh WP berhubungan dengan
kegiatan usahanya
Bukan Merupakan Biaya
Punya deposito lebih besar dari hutang
Hutang untuk beli saham
Hutang untuk Konstruksi
Hutang dipakai grup
Bagan Pengenaan Biaya Bunga
Bunga yang dibayarkan kreditor kepada bermacam debitor, perlakuan
perpajakannya adalah sebagai berikut :
Tabel PPh dan Pembayaran BungaNo. Dibayar Kepada PPh Sifatnya1 Perbankan Tidak dipotong PPh -2 Koperasi Simpan Pinjam Tidak dipotong PPh -3 Perusahaan Leasing Tidak dipotong PPh -4 Wajib Pajak Lainnya Dikedakan PPh 23 Tidak Final
Pengakuan bunga bagi kreditor tergantung penggunaan bunga tersebut,
yaitu seperti berikut:
Pada dasarnya biaya bunga dapat dibebankan sebagai biaya adalah apabila
bunga tersebut dibayar berkaitan dengan pinjaman, baik kepada perbankan
maupun yang lainnyayang dipergunakan untuk kegiatan usaha, bukan
dipergunakan untuk ditabung kembali ataupun untuk pembelian saham, atau
untuk membangun konstruksi atau dipergunakan oleh pihak lain baik sebagai
pemegang saham atau grupnya.
Apabila sebagian pinjaman tersebut diakui untuk keperluan diatas maka
biaya bunga yang diperbolehkan adalah sesuai manfaat pinjaman yang
dipergunakan oleh wajib pajak.
Pada dasarnya apabila tingkat bunga pinjaman besarnya sama dengan
tingkat bunga ketika meminjamkan atau ketika ditabung atau yang lainnya, maka
secara fiskal tidak terdapat perbedaan, atau tidak ada keuntungan yang
diperoleh.
Namun apabila tingkat bunga ketika meminjamkan lebih tinggi daripada
ketika meminjam, secara komersial memang terdapat keuntungan bagi kreditor,
dimana secara fiskal keuntungan tersebut merupakan objek pajak.
Tetapi yang dapat merugikan adalah apabila pinjaman tersebut ditabung
sebagai deposito, karena tingkat bunga deposito lebih rendah daripada bunga
pinjaman. Demikian pula secara fiskal, selisih tingkat bunga atas pinjaman yang
didepositokan tersebut tidak dapat diakui sebagai biaya.
Perlakuan yang paling menguntungkan bagi bunga adalah apabila
pinjaman atas bunga tersebut dipergunakan untuk dirinya dalam kegiatan
usahanya. Namun demikian apabila bunga tersebut dipinjamkan dengan tingkat
bunga yang lebih besar, maka secara komersial akan untung, tetapi besarnya PPh
terutang juga akan bertambah besar.
Contoh:
PT Banguntapan meminjam dari Bank Mandiri senilai Rp 500.000.000,00
dengan bunga per tahun 18%. Pinjaman tersebut dipergunakan oleh grupnya
senilai Rp 200.000.000,00 dan atas pinjaman tersebut PT Banguntapan diberi
imbalan dengan tingkat bunga 10%. Apabila pinjaman tersebut sudah
berlangsung dalam 1 tahun, bagaimanakah perbandingan pengakuan biaya antara
yang dipakai sendiri dengan yang sebagian dipinjamkan lagi?
Jawaban:
Bunga yang dapat dibebankan apabila dipakai sendiri:
18% x Rp 500.000.000,00 = Rp 90.000.000,00
Bunga yang dapat dibebankan apabila dipinjamkan lagi:
(Rp 300.000.000 / Rp 500.000.000) x Rp 90.000.000 = Rp 54.000.000
Penghasilan yang didapat dari pinjaman tadi adalah sebesar Rp 200.000.000,00 x
10% atau sebesar Rp 20.000.000,00.
Biaya yang berkurang jika pinjaman tadi dipinjamkan ke pemegang saham
adalah sebesar Rp 90.000.000,00-(Rp 54.000.000,00+Rp 20.000.000,00) atau
sebesar Rp 16.000.000,00, yang akan menambah penghasilan kena pajak bagi
wajib pajak.
Dengan bertambahnya penghasilan kena pajak sebesar Rp 16.000.000,00,
maka apabila PPh terutang dari wajib pajak sudah mempergunakan tarif
tertinggi, besarnya PPh akan bertambah sebesar 25%xRp 16.000.000,00 atau
sebesar Rp 4.000.000,00.
Namun, apabila tingkat bunga yang diberikan pemegang saham atau
pemminjam lain lebih besar dari bunga pinjamannya, misalnya 20%, maka
selisih lebih dari bunga tersebut menjadi penghasilan bagi wajib pajak.
Penghasilan yang didapat dari pinjaman tadi adalah 20%xRp 200.000.000,00 = Rp 40.000.000,00.Biaya bunga yang dibebankan adalah sebesar Rp 54.000.000, sedangkan
penghasilan bunga sebesar Rp 40.000.000.
Berdasarkan perhitungan tersebut, maka wajib pajak akan mempunyai
kelebihan penghasilan sebesar (Rp 54.000.000,00+Rp 40.000.000,00)-Rp
90.000.000,00 = Rp 4.000.000,00.
Dengan bertambahnya penghasilan kena pajak sebesar Rp 4.000.000,00,
maka apabila PPh terutang dari wajib pajak sudah mempergunakan tarif
tertinggi, besarnya PPh akan bertambah sebesar 25%xRp 4.000.000,00 atau
sebesar Rp 1.000.000,00
Dengan perhitungan diatas maka secara fiskal utang dari wajib pajak yang
dipinjamkan lagi akan menambah besarnya PPh terutang atau tidak
menguntungkan.
5. Pengaturan biaya natura dan kenikmatan
Pembayaran natura maupun kenikmatan kepada pegawai pada dasarnya
bukan merupakan penghasilan bagi pegawai, tetapi juga bukan merupakan biaya
bagi perusahaan.
Namun demikian apabila pemberian natura maupun kenikmatan tersebut
diberikan dalam bentuk tunjangan. Misalnya tunjangan pangan maupun
tunjangan bersifat kenikmatan, seperti rumah dan lainnya, maka pembayaran
tersebut dapat menjadi biaya bagi perusahaan dan merupakan penghasilan bagi
pegawai.
Bagi pemberi kerja, pembayaran natura dan kenikmatan akan lebih
menguntungkan atau menghemat pajak jika diberikan dalam bentuk tunjangan.
Contoh:
Pemberian natura dan kenikmatan diakui sebagai tunjangan pangan dan
perumahan masing-masing Rp 1.500.000,00 per bulan atau Rp 18.000.000,00
per tahun, sehingga besarnya PPh terutang menjadi seperti berikut:
No. Nama Gaji Kotor Penghasilan Kena Pajak PPh Terutang1 Ikhwan 90.000.000 69.120.000 5.968.0002 Arif 78.000.000 57.960.000 2.898.0003 Galih 66.000.000 46.800.000 2.340.0004 Prakoso 66.000.000 45.480.000 2.274.0005 Antoni 66.000.000 44.160.000 2.208.600
Total366.000.00
0 263.520.000 15.688.600
Dengan diakuinya pemberian natura, maka besarnya PPh terutang
bertambah sebesar Rp 6.300.000,00. Sedangkan bagi perusahaan, tambahan
biaya sebesar Rp 18.000.000,00 per tahun atau sebesar Rp 90.000.000,00 per
tahun tersebut akan mengurangi PPh terutang yang dibedakan sesuai tarifnya
seperti berikut ini:
No. Tarif Penghasila PPh Terutang Per Jumlah PPh
n Tarif Terutang1 25% 90.000.000 22.500.000 22.500.0002 20% 90.000.000 18.000.000 18.000.0003 16,75% 90.000.000 15.075.000 15.075.0004 12,50% 90.000.000 11.250.000 11.250.000
Dengan perhitungan tersebut tampak walaupun perusahaan
mempergunakan tarif paling rendahpun, terdapat penghematan pajak sebesar Rp
4.193.000,00.
6. Pengaturan gaji anggota persekutuan
Gaji kepada anggota persekutuan, firma, CV yang modalnya tidak terbagi
atas saham tidak diperkenankan diakui sebagai biaya untuk mendapatkan
penghasilan kena pajak. Agar gaji tersebut dapat diperlakukan sebagai
pengurang penghasilan kena pajak maka persekutuan, firma atau CV tersebut
modalnya harus dibagi atas saham.
Namun sebaliknya, dividen yang dibagikan kepada anggota persekutuan,
firma, CV yang modalnya tidak terbagi atas saham bukanlah merupakan objek
pajak. Sedangkan dividen yang dibagikan kepada persekutuan, firma, CV yang
modalnya terbagi atas saham merupakan objek pajak.
Wajib pajak yang berbentuk persekutuan, firma atau CV yang modalnya
tidak terbagi atas saham, maka pembayaran gaji bulanan atau dibayar dividen
pada akhir tahun, secara fiskal tidak ada bedanya. Tetapi apabila dinilai secara
future time, akan lebih menguntungkan kalau terhadap anggota atau pemiliknya
tersebut dibayarkan gaji.
Contoh:
Anggita adalah pemilik CV yang modalnya tidak ternagi atas saham yang juga
menjabat sebagai direktur CV tersebut. Ia mendapat gaji per bulan sebesar Rp
10.000.000,00, Bagaimanakah perbedaannya kalau gaji tersebut dibayarkan pada
akhir tahun jika penghasilan komersial wajib pajak menurut Laporan Laba Rugi
adalah sebesar Rp 250.000.000,00. PPh pasal 21 atas karyawan tidak terutang
karena gaji pemilik atau anggota persekutuan bukan objek pajak.
No. Uraian Dibayar GajiDibayar Dividen Selisih
1 Laba Neto 200.000.000 320.000.000 120.000.0002 Koreksi Fiskal (gaji) 120.000.000 0 -120.000.0003 Penghasilan Kena Pajak 320.000.000 320.000.000 04 PPh Terutang 40.000.000 40.000.000 05 Dividen yang dibagi 121.500.000 241.500.000 120.000.0006 PPh atas Karyawan 0 0 0
Gaji dan Dividen 241.500.000 241.500.000 0
Apabila dihitung secara future value dengan tingkat 1% maka akan nampak adanya perbedaan seperti berikut:
No. BulanGaji dan Dividen
DividenFuture Value
SelisihGaji dan Dividen Dividen
1 Jan 10.000.000 0 11.156.683 0 11.156.6832 Feb 10.000.000 0 11.046.221 0 11.046.2213 Mar 10.000.000 0 10.936.852 0 10.936.8524 Apr 10.000.000 0 10.828.567 0 10.828.5675 Mei 10.000.000 0 10.721.353 0 10.721.3536 Jun 10.000.000 0 10.615.201 0 10.615.2017 Jul 10.000.000 0 10.510.100 0 10.510.1008 Ags 10.000.000 0 10.406.040 0 10.406.0409 Sep 10.000.000 0 10.303.010 0 10.303.01010 Okt 10.000.000 0 10.201.000 0 10.201.00011 Nov 10.000.000 0 10.100.000 0 10.100.00012 Des 170.500.000 280.000.000 170.000.000 280.000.000 -110.000.000
Total 280.000.000 280.000.000 286.825.027 280.000.000 6.825.027
Dari perhitungan di atas, tampak bahwa secara future value lebih
menguntungkan setiap bulan dibayar gaji terhadap anggota atau pemilik CV yang
modalnya tidak terbagi atas saham.
Persekutuan, firma atau CV yang modalnya terbagi atas saham akan
mempunyai pajak terutang yang lebih rendah dibanding dengan yang modalnya
tidak terbagi atas saham.
7. Pengaturan premi asuransi karyawan
8. Pemilihan metode pengakuan selisih kurs
9. Pengaturan pembayaran tunjangan