BAB I
PENDAHULUAN
Nyeri tenggorokan dan demam disertai dengan terbatasnya gerakan
membuka mulut dan leher, harus dicurigai kemungkinana disebabkan oleh abses
leher dalam. Abses leher dalam terbentuk di dalam ruang potensial diantara fasia
leher dalam sebagai akibat penjalaran infesi dari berbagai sumber, seperti gigi,
mulut, tenggorokan, sinus paranasal, telinga tengah dan leher. Abses leher dalam
dapat berupa abses peritonsil, abses retrofaring, abses parafaring, abses
submandibular, dan angina ludovici (Ludwig’s angina).1
Abses peritonsil merupakan infeksi yang paling sering ditemukan di
region peritonsiler. Di Amerika Serikat, insidensinya mencapai 30 kasus per
100.000 penduduk pertahun dan ditemukan hingga 45.000 kasus pertahunnya.
Menurut laporan, tingginya kasus abses peritonsil karena adanya infeksi rekuren
(berulang) dan resistensi terhadap antibiotik. Angka kematian yang diakibatkan
oleh abses peritonsil belum diketahui secara pasti, sedangkan morbiditas yang
disebabkan abses ini paling banyak dihubungkan dengan nyeri. Tidak ada
predileksi ras tertentu untuk penyakit ini, laki-laki dan perempuan mempunyai
rasio resiko yang sama untuk mendertia abses peritonsiler. Penyakit ini ditemukan
pada umur 20-40 tahun. Apabila ditemukan pada pasien anak-anak seringnya
adalah pada pasien immunocompromised.3
Abses peritonsilar (PTA) banyak ditemukan pada praktek klinik yang
merupakan salah satu kegawatdaruratan dan mudah terjadi kekambuhan. Abses
peritonsiler adalah penyakit infeksi yang paling sering terjadi pada bagian kepala
dan leher akibat kolonisasi bakteri aerobic dan anaerobic di daerah peritonsiler.
Tempat yang menjadi potensi terjadinya abses adalah di daerah pilar tonsil
anteroposterior, fossa piriform inferior dan palatum superior.
Abses peritonsil terjadi sebagai akibat komplikasi tonsillitis akut atau
infeksi yang bersumber dari kelenjar mucus weber di kutub atas tonsil. Biasanya
1
kuman penyebabnya sama dengan kuman penyebab tonsillitis. Organisme
penyebab abses peritonsil diduga disebabkan karena kombinasi antara organisme
aerob dan anaerob.
Tonsillitis adalah Peradangan pada tonsil palatina, merupakan bagian dari
cicin waldeyer (terdiri atas susunan kelenjar limfe yang terdapat dalam rongga
mulut, yaitu : Tonsil faringeal (adenoid), Tonsil palatina (tonsil faucial), Tonsil
lingual (tonsil pangkal lidah), Tonsil tuba eustachius). Penyebaran infeksi melalui
udara (air borne droplets), tangan dan ciuman. Dapat terjadi pada semua umur,
terutama pada anak.
2
BAB II
LAPORAN KASUS
I.1. Identitas Pasien
Nama : Tn.A
Umur : 26 tahun
Jenis kelamin : Laki-laki
Agama : Islam
Alamat : Jarakan Sambak, Kajoran, Magelang
Pekerjaan : wiraswasta
I.2. Anamnesis
Keluhan Utama
Sakit menelan
Keluhan tambahan
Pasien sulit untuk membuka mulut dan mengalami kesulitan berbicara
dengan jelas/ berbicara bergumam
Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien datang ke IGD RST Soedjono dengan keluhan rasa sakit saat
menelan makanan, mengalami kesulitan dalam menelan makanan
(padat/lunak) dan minum. sulit berbicara dengan jelas/ berbicara gumam
sejak 4 hari. Pasien sulit membuka mulut. Pasien tidak mual dan muntah.
Karena rasa sakit saat menelan, pasien mengaku tidak bisa makan dan hanya
minum sedikit. terjadi penurunan berat badan pada pasien. Sakit tenggorokan
juga dirasakan sejak 4 hari, sakit tenggorokan dirasakan terus menerus. Pasien
mengeluhkan tenggorokan terasa mengganjal. Pasien tidak mengeluhkan terasa
ada dahak di dalam tenggorokan. Pasien tidak merasakan mulutnya bau. Pasien
mengalami demam. Demam dirasakan sejak 3 hari, demam terus menerus.
Demam muncul dirasakan oleh pasien sejak timbulnya keluhan nyeri menelan dan
3
nyeri tenggorokan tersebut. Pasien mengeluhkan badannya terasa lemas. Pasien
tidak mengeluhkan batuk dan pilek. Pasien tidak mengeluhkan suaranya serak,
tidur tidak mendengkur. Pasien tidak sesak nafas.
Pasien tidak mengeluhkan nyeri di kedua telinga yang hilang timbul, tidak
mengeluhkan adanya gangguan pendengaran, berdenging dan keluarnya cairan
dari telinga. pasien juga tidak mengeluhkan hidung tersumbat, sering bersin dipagi
hari dan keluar darah dari hidung.
Riwayat Penyakit Dahulu
◦ Riwayat ISPA : disangkal
◦ Riwayat alergi obat dan makanan : disangkal
◦ Riwayat tonsillitis : pasien mengakui memiliki amandel kecil
sejak lama, namun pasien membiarkan dan tidak melakukan
pengobatan
◦ Riwayat sakit gigi : disangkal
Riwayat Penyakit Keluarga
Riwayat penyakit serupa : disangkal
Riwayat pribadi
pasien mengaku sering memakan makanan yang pedas dan perokok(1hari 1-
2bungkus)
Riwayat Pengobatan
Pasien pergi ke puskesmas untuk melakukan pengobatan, namun keluhan
yang dialami pasien tidak sembuh dan akhhirnya pasien di rujuk ke RST
soedjono magelang.
Riwayat Ekonomi
Kesan keadaan ekonomi pasien cukup, biaya kesehatan pasien di tanggung
oleh pasien sendiri
4
I.3. Pemeriksaan fisik
1. Status generalis
Kondisi umum : baik
Kesadaran : compos mentis
Vital Sign: TD: 110/60 mmHg rr: 20x/menit
Suhu: 380C Nadi: 80x/menit
2. Status lokalis THT (Telinga, Hidung, Tenggorokan)
2.1. Kepala dan Leher
Kepala : mesocephale
Wajah : simetris
Leher : pembesaran kelenjar limfe submandibular (-), nyeri tekan (-)
2.2. Gigi dan mulut
Gigi geligi : caries gigi
Lidah : normal, kotor (-), tremor (-)
Pipi : bengkak (-)
2.3. Pemeriksaan Telinga
Bagian Auricula Dextra Sinistra
Auricula
Bentuk normal,
nyeri tarik (-)
nyeri tragus (-)
Bentuk normal
nyeri tarik (-)
nyeri tragus (-)
Pre auricular
Bengkak (-)
nyeri tekan (-)
fistula (-)
Bengkak (-)
nyeri tekan (-)
fistula (-)
Retro auricularBengkak (-)
Nyeri tekan (-)
Bengkak (-)
Nyeri tekan (-)
MastoidBengkak (-)
Nyeri tekan (-)
Bengkak (-),
Nyeri tekan (-)
CAE
Serumen (-)
hiperemis (-)
Sekret (-)
Serumen (-)
hiperemis (-)
Sekret (-)
5
Membran timpani
Intak
putih mengkilat
refleks cahaya (+)
Intak
putih mengkilat
refleks cahaya (+)
2.4. Pemeriksaan Hidung
Bagian Hidung Luar
Dextra Sinistra
Bentuk Normal Normal
Inflamasi atau tumor - -
Nyeri tekan sinus - -
Deformitas atau septum
deviasi- -
Rhinoskopi anterior
Vestibulum nasi Normal Normal
Dasar cavum nasi Normal
Sekret - -
Mukosa Hiperemis (-) Hiperemis (-)
Benda asing - -
Perdarahan
Adenoid
-
-
-
-
Konka nasi mediaHipertrofi (+)
Hiperemis (-)
Hipertrofi (+)
Hiperemis (-)
Konka nasi inferior.Hipertrofi (-)
Hiperemis (-)
Hipertrofi (-)
Hiperemis (-)
Septum Deviasi (-)
2.5. Pemeriksaan tenggorokan
Lidah Ulcus (-), Stomatitis (-)
Palatum mole Ulcus (-), hiperemis (-)
Tonsil
Uvula Bentuk normal, posisi di tengah
6
Tonsil Dextra Sinistra
Ukuran T3 T3
Permukaan Tidak Rata Tidak Rata
Warna Hiperemis (+) Hiperemis (+)
Kripte Melebar (+) Melebar (+)
Detritus (+) (+)
Faring Mukosa hiperemis (+), dinding tidak rata, granular (+)
Hasil pemeriksaan laboratorium
WBC 14.3x103/ul 4.0-10.0
RBC 5.08x106/ul 3.50-5.50
HGB 14.4 g/dl 11.0-15.0
HCT 46.8% 36.0-48.0
MCV 80.8 fL 80.0-99.0
MCH 26.5 Pg 26.0-32.0
MCHC 32.9 g/dl 32.0-36.0
RDW_CV 11.2% 11.5-14.5
RDW_SD 34.3fL 39.0-46.0
PLT 349x103/ul 150-450
MPV 10.2 fL 7.4-10.4
PCT 0.26% 0.10-0.28
Lym% 5.6% 20.0-40.0
MID% 3.5% 1.0-15.0
GRAN% 60.9% 50.0-70.0
CT/BT 3’/1’30”
7
Glucose 113mg/dl 70.0-115.0
Ureum 29 mg/dl 0.000-50.00
Creatinine 1.2mg/dl 0.000-1.300
SGOT 24 U/I 3.000-35.00
SGPT 40U/I 8.000-41.00
I.4. Pemeriksaan Penunjang
● Usulan Pemeriksaan Penunjang
• Swab tenggorok à kultur
Foto thorak
Darah rutin
Ringkasan
Anamnesis
- Rasa sakit saat menelan makanan, mengalami kesulitan dalam menelan
makanan (padat/lunak) dan minum
- Sulit berbicara / berbicara gumam (hot potato voice)
- Kesulitan dalam membuka mulut
- Sakit tenggorokan
- Tenggorokan terasa mengganjal
- Tidak mengeluhkan terasa ada dahak di dalam tenggorokan
- Demam dirasakan sejak 3 hari, demam terus menerus
- Badannya terasa lemas
- Tidak mengeluhkan suaranya serak, tidur tidak mendengkur
- Tidak sesak nafas.
- Tidak mengeluhkan nyeri di kedua telinga yang hilang timbul, tidak
mengeluhkan adanya gangguan pendengaran, berdenging dan
keluarnya cairan dari telinga
- Tidak mengeluhkan hidung tersumbat, sering bersin dipagi hari dan
keluar darah dari hidung.
8
Pemeriksaan Tenggorokan
1. Usulan Pemeriksaan Penunjang
Swab tenggorok à kultur
Foto thorak
Darah rutin
I.7. Diagnosis banding
• Abses peritonsil bilateral akut e.c Tonsilofaringitis kronis eksaserbasi akut
• Abses retrofaring bilateral akut Tonsilofaringitis kronis eksaserbasi akut
• Tonsilofaringitis kronis eksaserbasi akut
• Adenotonsilitis kronis eksaserbasi akut
I.8. Diagnosis sementara
- Abses peritonsil bilateral akut e.c tonsilofaringitis kronis eksaserbasi akut
I.9. Terapi
1. Non medikamentosa
Bedrest
Diet lunak 9
kumur-kumur dengan cairan hangat dan kompres dingin pada leher
2. Medikamentosa
Infus RL 20 tpm
Antibiotic à
Inj. Amoxcillin 3x 500mg
inj. Metronidazol 3x500mg
Antiinflamasi à
Inj dexamethasone 3x1 gr
Antipiretik à
Parasetamol 3x500mg
Analgetik à
Injeksi pronalges 3x50mg
3. Operasi à dilakukan tonsilektomi.
4. Edukasi
minum obat secara teratur sesuai petunjuk dokter.
menjaga higiene mulut dengan baik (sikat gigi pagi hari dan
sebelum tidur).
jangan makan makanan atau minuman yang mengiritasi
I.10. Prognosa
- Qou ad vitam : dubia ad bonam
- Qou ad sanam : dubia ad bonam
- Quo ad functionam : dubia ad bonam
10
I.11 Follow up
Tanggal 16/10/2014
Subjektif
Demam (+), tidak dapat makan dan minum karena nyeri untuk
menelan, sulit berbicara karena tenggorokan terasa nyeri, berbicara hanya
bergumam, tidak ada keluhan batuk, pilek, hidung tersumbat. Tidak ada
keluhan nyeri pada kedua telinga, tidak mengeluhkan adanya gangguan
pendengaran Riwayat pengobatan
◦ Saat demam hari pertama pergi ke dokter, diberi obat. Namun dari
keterangan pasien tidak mengetahui nama obatnya tersebut. Satu hari
kemudian pasien mengeluhkan mendadak nyeri menelan dan sakit
tenggorokan.
Objektif
Vital sign :
- Tekanan darah : 110/60 mmHg
- Nadi : 80 x/menit
- Rr : 20 x/menit
- Suhu : 38.20C
Status generalis : dalam batas normal
Status lokalis :
11
Tenggorokan :
Tonsil : ukuran T3/T3, kripte melebar (+), hiperemis (+),
detritus(+)
Faring : hiperemis (+), granular (+)
Hidung :
Secret (-/-), konka media hipertrofi (+/+) dan hiperemis (-/-), konka
inferior hipertrofi (-/-) dan hiperemis (-/-), deviasi septum (-)
Telinga :
Secret (-/-), serumen (-/-), membrane timpani intak (+/+)
Assessment
• Abses peritonsil bilateral akut e.c Tonsilofaringitis kronis
eksaserbasi akut
• Abses retrofaring bilateral akut e.c Tonsilofaringitis kronis
eksaserbasi akut
• Tonsilofaringitis kronis eksaserbasi akut
• Adenotonsilitis kronis eksaserbasi akut
Planning
◦ Rencana operasi TE
◦ Cito lab darah à CT/BT,darah lengkap
◦ Cito foto thoraks
◦ Medikamentosa
◦ Infus RL 20 tpm
◦ Inj dexamethasone 3x1 gr
◦ Inj. Metronidazole 3x500mg
12
◦ Parasetamol 3x500mg
◦ Konsul dokter anastesi, dokter paru, dan penyakit dalam
Tanggal 17/10/2014
Subjektif
Pasien mengeluhkan terasa gatal pada tenggorokan, sudah bisa makan
bentuk lunak yaitu bubur, sudah bisa minum. Pasien sudah bisa berbicara,
demam sudah turun, tidak ada keluhan batuk dan pilek, hidung tidak
tersumbat, tidak mengeluhkan ada gangguan pendengaran.
Objektif
Vital sign :
Tekanan darah : 110/80 mmHg
Nadi : 80x/menit
Rr : 20 x/menit
Suhu : 37 0C
Status generalis : dalam batas normal
Status lokalis
Tenggorokan :
Tonsil : uvula ditengah, ukuran tonsil T3/T3, kripte melebar (+),
detritus (+), mukosa hiperemis
Faring : hiperemis (+), granular (+)
Hidung :
13
Secret (-/-), konka media hipertrofi (+/+), konka media hiperemis
(-/-), deviasi septum (-)
Telinga
Secret (-/-), serumen (-/-), membrane timpani intak (+/+)
Assessment
• Abses peritonsil bilateral akut e.c Tonsilofaringitis kronis
eksaserbasi akut
• Abses retrofaring bilateral akut e.c Tonsilofaringitis kronis
eksaserbasi akut
• Tonsilofaringitis kronis eksaserbasi akut
• Adenotonsilitis kronis eksaserbasi akut
Planning
◦ Pasien dan keluarga menyetujui dilakukan operasi à pasien
disuruh puasa dari semalam
Medikamentosa post op
Inf. RL 20 tpm
Inj. Metronidazole 3x500mg
Inj dexamethasone 3x1 gr
Inj tramadol 2x10mg
Diet makanan lunak dan minum yang banyak
Tanggal 20/10/2014
14
Subjektif
Pasien masih terasa nyeri pada tengorokan setelah operasi. Belum berani
untuk makan, tp pasien bisa minum. Demam (-), pusing (-), lemas (-),
pasien tidak merasa mual dan tidak muntah. Pasien mampu berbicara
seperti biasa dan membuka mulutnya, suara serak (-), sesak (-).
Objektif
Vital sign
Tekanan darah : 130/90 mmHg
Nadi : 80 x/menit
Rr : 20 x/menit
Suhu : 36.70C
Status generalis : dalam batas normal
Status lokalis :
Tenggorokan
Tonsil T0/T0, uvula di tengah (+), kripte (-), hiperemis (-),
granular(-)
Hidung
Secret (-/-), deviasi septum (-), konka hipertrofi media (+/+) dan
hiperemis (-/-)
Telinga
Secret (-/-), serumen (-/-), membrane timpani intak (+/+), CAE
hiperemis (-/-)
Assessment
15
• Post operasi abses peritonsil bilateral akut e.c Tonsilofaringitis
kronis eksaserbasi akut Hari III
Planning à BLPL
16
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
I. ANATOMI
I.1. FARING
Faring adalah suatu kantung fibromuskular yang berbentuk seperti corong
dibagian atas dan sempit dibagian bawah, dari dasar tengkorak menyambung ke
esofagus setinggi S-6. Dinding faring dibentuk oleh (dari dalam keluar): selaput
lendir, fasia faringobasiler, pembungkus otot, sebagian besar bukofaringeal.
Batas-batas faring :6
O Atas : rongga hidung melalui koana
O Bawah : esofagus melalui aditus laring
O Depan : rongga mulut melalui ismus orofaring
O Belakang : vertebra servikalis
Secara histologis faring terdiri dari :
- Mukosa
- Nasofaring : mukosa bersilia, epitel torak berlapis yang
mengandung sel goblet
- Orofaring & laringofaring : epitel gepeng berlapis dan tidak
bersilia
- Palut lendir (Mukous blanket) :
Daerah nasofaring dilalui udara respirasi yang temperaturnya
berbeda-beda (bagian atas nasofaring ditutupi oleh palut lender yang
terletak di atas silia dan bergerak kea rah belakang. Berfungsi menangkap
partikel kotoran yang terbawa oleh udara yang diisap, dan sebagai proteksi
(enzim lyzozyme).
- Muskularis : sirkular (melingkar) & longitudinal (memanjang)
OTOT-OTOT
a.Otot sirkular faring (terletak di sebelah luar). Terdiri dari :
m. konstriktor faring superior
m. konstriktor faring media
17
m. konstriktor faring inferior
Berfungsi untuk mengecilkan lumen faring. Dipersyarafi oleh n.vagus (n.x).
Pada bagian belakang bertemu jaringan ikat: rafe faring (raphe pharyngis).
b. Otot Longitudinal (terletak di sebelah dalam). Terdiri dari :
M. Stilofaring
• untuk melebarkan faring dan menarik laring
• dipersyarafi oleh n.glossofaring (n.ix)
M. Palatofaring sebagai otot elevator penting waktu menelan
• mempertemukan istmus orofaring dan menaikkan bagian bawah
faring dan laring (n.vagus)/n.x
Otot Palatum Mole:
1. m. levator veli palatine: sebagian besar palatum mole mempersempit
isthmus faring dan memperlebar ostium tuba eustachius, n.x
2. m. tensor veli palatine: membentuk tenda palatum mole dan mengencangkan
bagian anterior palatum mole dan membuka tuba eustachius, n.x
3. m.palatoglossus: membentuk arcus anterior faring dan mempersempit isthmus
faring,n.x
4. m. palatofaring: bentuk arkus posterior faring,n.x
5. m.origo-origo orofaring: memperpendek dan menaikkan uvula ke atas, n.x
Vaskularisasi
- Cabang a. karotis eksterna (cabang faring ascendens dan cabang fausial)
- Cabang a.maksila interna (cabang palatine superior)
Inervasi
- Persarafan motorik dan sensorik berasal dari pleksus faring yang dibentuk
oleh: cabang faring dari n.vagus (n.x), cabang n,glosofaring(n.ix), serabut
simpatis
Sistem limfatik
Superior : mengalir ke KGB retrofaring dan KGB servikal dalam atas
Media : mengalir ke KGB jugulo-digastrik dan kelenjar servikal dalam
atas
18
Inferior : mengalir ke KGB servikal dalam bawah
PEMBAGIAN FARING
1.Nasofaring,
Batas atas : sinus sphenoid
Batas bawah : palatum mole
Batas depan : rongga hidung
Batas belakang : vertebra servikal I
Bangunan penting yang terdapat didalamnya adalah :
Adenoid
Fossa Rosenmuler
Kantong Rathke
Torus tubarius
Koana
Foramen jugulare
Bagian petrosus os temporalis
Foramen laserum
Muara tuba eustachius
2.Orofaring
Batas atas : palatum mole
Batas bawah : tepi atas epiglotis
Batas depan : rongga mulut
Batas belakang : vertebra cervical
Struktur yang terdapat dalam orofaring adalah :
Dinding posterior faring
Tonsil palatina
Fosa tonsil
Fossa Tonsil
- dibatasi oleh arkus faring anterior dan posterior
- batas lateral: m. konstriktor faring superior
- batas atas: kutub atas (upper pole) terdapat fosa supratonsil
Uvula
19
Tonsil lingual
Foramen sekum
3. LARINGOFARING (HIPOFARING)
-Batas:
Superior: tepi atas epiglottis
Anterior: laring
Inferior: bagian anterior: cartilage krikoidea dan bagian posterior: porta
esophagus
Posterior: vertebra servikalis IV-VI
- Struktur:
Epiglottis
Valekula (2 buah cekungan yang dibentuk oleh lig.glosoepiglotika
medial dan lateral)
Sinus piriformis (bagian lateral laringofaring dan di bawah
dasarnya berjalan n.laring superior dan a.carotis)
I.2. TONSIL
tonsil adalah massa yang terdiri jaringan limfoid dan ditunjang oleh jaringan
ikat dengan kriptus di dalamnya terdapat 3 macam tonsil, yaitu :
1. Tonsil faringal (adenoid)
2. Tonsil palatine membentuk cincing Waldeyer
3. Tonsil lingual
20
Permukaan tonsil palatine (“tonsil”) bentuknya beraneka ragam dan
mempunyai celah disebut “kriptus”. Epitel yang melapisi tonsil adalah epitel
skuamosa. Di dalam kriptus ditemukan leukosit, limfosit, epitel yang terlepas,
bakteri dan sisa makanan disebut dengan detritus. Permukaan lateral melekat pada
fasia faring “kapsul tonsil” .
- Vaskularisasi diperoleh dari:
a. a. palatina minor
b. a.palatina asendens
c. cabang tonsil a.maksila eksterna
d. a.faring ascendens
e. a.lingualis dorsal
- a.maksilaris eksterna (a.fasialis): a.tonsilaris dan a.palatina ascenden
- a.maksilaris interna: a. palatine descendes
- a.lingualis: a.lingualis dorsal
- a.pharyngeal ascendes
Tonsil Lingua terletak di dasar lidah dibagi menjadi 2 oleh ligamentum
glosoepiglotika. Di garis tengah, di anterior massa foramen sekum pada
apeks sudut yang terbentuk oleh papilla sirkumvalata.
bawah: dorsal: a.palatina ascendens
anterior: a.lingualis dorsal
atas: a.faringeal ascendens dan a.palatina descenden
21
II. ABSES PERITONSIL
II.1 Definisi
Peritonsillar abscess (PTA) merupakan kumpulan / timbunan
(accumulation) pus (nanah) yang terlokalisir/terbatas (localized) pada jaringan
peritonsillar yang terbentuk sebagai hasil dari suppurative tonsillitis.5
Abses peritonsiler adalah penyakit infeksi yang paling sering terjadi pada
bagian kepala dan leher akibat dari kolonisasi bakteri aerobic dan anaerobic di
daerah peritonsiler. Tempat yang bisa berpotensi terjadinya abses adalah di daerah
pillar tonsil anteroposterior, fossa piriform inferior dan palatum superior.1
II.2 Etiologi
Abses peritonsiler terjadi sebagai akibat sebagai komplikasi tonsillitis akut
atau infeksi yang bersumber dari kelenjar mucus Weber di kutub atas tonsil.
Kuman penyebab sama dengan penyebab tonsillitis. Biasanya unilateral dan lebih
sering pada anak-anak yang lebih tua dan dewasa muda.1
Tonsilitis merupakan sebuah infkesi yang seringkali melibatkan kedua tonsil, keadaan ini yang
menyebabkan bahwa abses peritonsilar yang terjadi dapat bersifat bilateral, dengan tingkat
perkembangan yang berbeda pada masing-masin sisinya.5
Mikrobiologi yang sering ditemukan pada abses paling banyak adalah
infeksi campuran. Terdapat bakteri aerob dan anaerob. Apabila diisolasi paling
22
sering ditemukan adalah streptococcus grup A atau grup B. staphylococcus
aureus, Fusobacterium dan bakteri gram negative anaerob juga sering ditemukan.
Organisme aerob yang paling sering menyebabkan abses peritonsiler
adalah streptococcus pyogenes (grup A beta-hemolitik streptococcus),
staphylococcus aureus, dan Haemophilus influenza. Sedangkan organisme
anaerob yang berperan adalah fusobacterium, provotella, porphyromonas, dan
peptostreptococcus sp. Untuk kebanyakan abses peritonsiler diduga disebabkan
karena kombinasi antara organisme aerobic dan anaerobic.5
II.3 Epidemiologi
Abses peritonsilar unilateral merupakan komplikasi yang sering terjadi dari tonsillitis
bakterial akut, akan tetapi abses peritonsilar bilateral sangat jarang terjadi. Insiden abses
peritonsiler bilateral secara keseluruhan dilaporkan mencapai 4,9%.
Abses peritonsilar (PTA) merupakan kumpulan dari material purulen yang biasanya
terbentuk dari bagian luar kapsul tonsilar dekat dengan kutub superior. Material tersebut
terbentuk paling sering sebagai komplikasi dari tonsilitis akut, ketika infeksi menyebar dari kripta
hingga jaringan ikat longgar peritonsilar alveolar. Sebagian besar berada di daerah kutub bagian
atas dan melibatkan palatum mole, material ini akan mendorong tonsil ke arah depan
dan melewati garis tengah. Kondisi ini biasanya terjadi unilateral dan sebagian besar menyerang
laki-laki muda dengan perbandingan 2:1. Selama 10 tahun ( 1999-2009), rasio laki-laki dengan
perempuan mencapai 100: 63, dengan mayoritas kasus yang berhasil didiagnosa berada di usia
antara 20 hingga 40 tahun.5
II.4 Anatomi
Secara klinis dinding posterior faring penting karena ikut terlibat radang
akut atau radang kronik faring, abses retrofaring, serta gangguan otot-otot di
bagian tersebut. Gangguan otot posterior faring bersama-sama dengan otot
palatum mole berhubungan dengan gangguan nervus vagus.1
Fosa tonsil dibatasi oleh arkus faring anterior dan posterior. Batas
lateralnya adalah m. konstriktor faring superior. Pada batas atas yang disebut
kutub atas (upper pole) terdapat suatu ruang kecil yang dinamakan fosa supra
23
tonsil. Fosa ini berisi jaringan ikat jarang dan biasanya merupakan tempat nanah
memecah ke luar bila terjadi abses. Fosa tonsil diliputi oleh fasia yang merupakan
bagian dari fasia bukofaring dan disebut kapsul yang sebenar-benarnya1
Tonsil adalah massa yang terdiri dari jaringan limfoid dan ditunjang oleh
jaringan ikat dengan kriptus di dalamnya. Terdapat 3 macam tonsil yaitu tonsil
faringeal (adenoid), tonsil palatine, tonsil lingual yang ketiga-tiganya membentuk
lingkaran yang disebut cincin waldeyer. Tonsil palatine yang biasanya disebut
tonsil saja terletak di dalam fosa tonsil. Pada kutub atas tonsil seringkali
ditemukan celah intratonsil yang merupakan sisa kantong faring kedua. Kutub
bawah tonsil biasanya melekat pada dasar lidah. Permukaan medial tonsil
bentuknya beraneka ragam dan mempunyai celah yang disebut kriptus.1
Epitel yang melapisi tonsil adalah epitel skuamosa yang juga meliputi
kriptus. Di dalam kriptus biasanya ditemukan leukosit, limfosit, epitel terlepas,
dan bakteri sisa makanan. Permukaan lateral tonsil melekat pada fasia faring yang
sering juga disebut kapsul tonsil. Kapsul ini tidak melekat erat pada otot faring,
sehingga mudah dilakukan diseksi pada tonsilektomi.1
Tonsil mendapat darah dari a.palatina minor, a.palatina asendens, cabang
tonsil a.maksilla eksterna, a.faring asendens dan a. lingual dorsalis. Tonsil lingual
terletak di dasar lidah dan dibagi menjadi dua oleh ligamentum glosoepiglotika.
Di garis tengah, sebelah anterior massa ini terdapat foramen sekum pada apeks
yaitu sudut yang terbentuk oleh papilla sirkumvalata.1
Abses peritonsil terbentuk di area antara tonsil palatine dan kapsulnya.
Jika abses berlanjut maka akan menyebar ke daerah sekitarya meliputi muscullus
masseter dan muskulus pterygoid. Jika berat infeksinya maka akan terjadi
penetrasi melalui pembulu darah karotis.
II.5 Patologi
Cavitas oral, uvula, anterior pillar, posterior pillar dan tonsil adalah
tempat-tempat yang paling sering terbentuk abses. Diantara anterior pillar dan
posterior pillar terdapat ruang peritonsiler, ruang retropharyngeal, ruang
24
parapharyngeal dan banyak pembuluh darah. Kebanyakan peritonsiler didahului
adanya gangguan atau penyakit sebelumnya di tonsil. Apabila terjadi infeksi akut
di tonsil maka infeksi akan menyebar ke ruang peritonsiler sehingga
menyebabkan selulitis peritonsiler atau bisa juga terjadi obstruksi di kelenjar
weber. Kelenjar weber adalah kelenjar saliva yang terletak di pole tonsil, pole
superior tonsil dan duktusnya menuju fossa tonsilaris.
Apabila terdapat penyakit di tonsil, tonsillitis kronis dan lain-lain maka
akan menyebabkan obstruksi di duktus tersebut dan menyebabkan stasis yaitu
adanya kolonisasi bakteri sehingga terjadi infeksi bakteri berlanjut menjadi
selullitis. Jika selullitis ini tidak diterapi dengan baik maka akan berlanjut
menjadi abses peritonsiler. Abses dapat pecah sendiri, sembuh sendiri atau
menyebar ke ruang retropharyngeal. Gangguan ini juga bisa berkembang menjadi
mediastinitis melalui pembuluh darah carotis dan bisa sampai terjadi sepsis dan
menyebabkan kematian.6
Patofisiologi PTA belum diketahui sepenuhnya. Namun, teori yang paling
banyak diterima adalah kemajuan (progression) episode tonsillitis eksudatif
pertama menjadi peritonsillitis dan kemudian terjadi pembentukan abses yang
sebenarnya (frank abscess formation). Daerah superior dan lateral fosa tonsilaris
merupakan jaringan ikat longgar, oleh karena itu infiltrasi supurasi ke ruang
potensial peritonsil tersering menempati daerah ini, sehingga tampak palatum
mole membengkak. Walaupun sangat jarang, abses peritonsil dapat terbentuk di
bagian inferior.1
Infiltrasi supuratifa dari jaringan peritonsilaris terjadi paling sering pada
fosa supratonsilaris (70%). Hal ini menyebabkan oedem palatum mole pada sisi
yang terkena dan pendorongan uvula melewati garis tengah. Pembengkakan
meluas ke jaringan lunak sekitarnya, menyebabkan rasa nyeri menelan dan
trismus.4 Pada stadium permulaan (stadium infiltrate), selain pembengkakan
tampak permukaannya hiperemis. Bila proses berlanjut, terjadi supurasi sehingga
daerah tersebut lebih lunak. Pembengkakan peritonsil akan mendorong tonsil dan
uvula ke arah kontralateral.
25
Bila proses berlangsung terus, peradangan jaringan disekitarnya akan
menyebabkan iritasi pada m.pterigoid interna, sehingga timbul trismus. Abses
dapat pecah spontan, mungkin dapat terjadi aspirasi ke paru.
II.6 Gejala dan Tanda
Selain gejala dan tanda tonsillitis akut, juga terdapat odinofagia (nyeri
menelan) yang hebat, biasanya pada sisi yang sama juga terjadi nyeri telinga
(otalgia), mungkin terdapat muntah (regurgitasi), mulut berbau (foeter ex ore),
banyak ludah (hipersalivasi), suara gumam (hot potato voice) dan kadang-kadang
sukar membuka mulut (trismus), serta pembengkakan kelenjar submandibula
dengan nyeri tekan.1
Pada kasus yang agak berat, biasanya terdapat disfagia yang nyata.
Pembengkakan mengganggu artikulasi dan membuat bicara menjadi sulit. Demam
sekitar 100oF, meskipun adakalanya mungkin lebih tinggi. Inspeksi terperinci
daerah yang membengkak mungkin sulit karena ketidakmampuan pasien
membuka mulut. Pemeriksaan menyebabkan pasien merasa tidak enak. Diagnosis
jarang sangsi jika pemeriksa melihat pembengkakan peritonsiler yang luas,
mendorong uvula melewati garis tengah dengan oedem dari palatum mole dan
penonjolan dari jaringan ini ke arah garis tengah.4
26
Diagnosis
Kadang-kadang sukar memeriksa seluruh faring, Karena trismus. Palatum
mole tampak membengkak dan menonjol ke depan, dapat teraba fluktuasi. Uvula
bengkak dan terdorong ke sisi kontra lateral. Tonsil bengkak, hiperemis, mungkin
banyak detritus dan terdorong kearah tengah, depan dan bawah.1
1. Hitung darah lengkap (complete blood count), pengukuran kadar elektrolit
(electrolyte level measurement)
2. Aspiration nanah, dibius / dianestesi menggunakan lidocaine dengan
epinephrine dan jarum besar (berukuran 16–18) yang biasa menempel
pada syringe berukuran 10cc. Aspirasi material yang bernanah (purulent)
merupakan tanda khas, dan material dapat dikirim untuk dibiakkan.5
3. “Throat culture” atau “throat swab and culture”: diperlukan untuk
identifikasi organisme yang infeksius. Hasilnya dapat digunakan untuk
pemilihan antibiotik yang tepat dan efektif, untuk mencegah timbulnya
resistensi antibiotik.
4. Plain radiographs: pandangan jaringan lunak lateral (Lateral soft tissue
views) dari nasopharynx dan oropharynx dapat membantu dokter dalam
menyingkirkan diagnosis abses retropharyngeal.
5. Computerized tomography (CT scan): biasanya tampak kumpulan cairan
hypodense di apex tonsil yang terinfeksi (the affected tonsil).2
II.7 Diagnosa banding
Peritonsillar cellulitis, Retropharyngeal abscess, Mononucleosis, Pharyngitis,
Tonsillitis.
II.8 Terapi
Pada stadium infiltrasi, diberikan antibiotika golongan penilisin atau
klindamisin, dan obat simptomatik. Juga perlu kumur-kumur dengan cairan
hangat dan kompres dingin pada leher.1
27
Bila telah terbentuk abses, dilakukan pungsi pada daerah abses, kemudian
diinsisi untuk mengeluarkan nanah. Tempat insisi ialah di daerah yang paling
menonjol dan lunak, atau pada pertengahan garis yang menghubungkan dasar
uvula dengan geraham atas terakhir pada sisi yang sakit.1
Kemudian pasien dianjurkan untuk operasi tonsilektomi. Bila dilakukan
bersama-sama tindakan drainase abses, disebut tonsilektomi “a’ chaud”. Bila
tonsilektomi dilakukan 3-4 hari sesudah drainase abses, disebut tonsilektomi “a’
tiede”, dan bila tonsilektomi 4-6 minggu sesudah drainase abses, disebut
tonsilektomi “a’ froid”.1
Tonsilektomi adalah terapi terbaik untuk terapi abses peritonsiler untuk
mencegah kekambuhan, dimana angka kekambuhannya tinggi. Di masa lalu
operasi sebaiknya dilakukan 2 – 3 minggu setelah resolusi infeksi akut, tetapi
setelah 2 – 3 minggu jaringan parut akan terbentuk di capsul tonsiler yang akan
menyulitkan diseksi dan menyebabkan banyak perdarahan dan meninggalkan sisa
jaringan. Tonsilektomi tidak hanya meringankan infeksi tetapi juga mengeliminasi
abses karena antibiotic dapat mengontrol inflamasi secara efektif. Tonsilektomi
pada stadium abses, jaringan lebih bengkak dan rapuh karena operasi dilakukan di
stadium infeksi akut, kemungkinan akan meninggalkan sisa jaringan bila tidak
dilakukan dengan hati-hati, operasi lebih sulit.3
Berdasarkan The American Academy of Otolaryngology- Head and Neck
Surgery ( AAO-HNS) tahun 1995 indikasi tonsilektomi terbagi menjadi :
1. Indikasi absolut
a. Pembesaran tonsil yang menyebabkan sumbatan jalan napas atas,disfagia
berat,gangguan tidur, atau terdapat komplikasi kardiopulmonal
b. abses peritonsiler yang tidak respon terhadap pengobatan medik dan
drainase, kecuali jika dilakukan fase akut.
c. Tonsilitis yang menimbulkan kejang demam
d. Tonsil yang akan dilakukan biopsi untuk pemeriksaan patologi
28
2. Indikasi relatif
a. Terjadi 3 kali atau lebih infeksi tonsil pertahun, meskipun tidak diberikan
pengobatan medik yang adekuat
b. Halitosis akibat tonsilitis kronik yang tidak ada respon terhadap
pengobatan medik
c. Tonsilitis kronik atau berulang pada pembawa streptokokus yang tidak
membaik dengan pemberian antibiotik kuman resisten terhadap β-
laktamase.
Perawatan prehospital untuk abses peritonsiler meliputi transport dengan oksigen
yang adekuat. Managemen kegawat daruratan: 2
Airway, Breathing, Circulation, beri perhatian pada jalan nafas pasien.
Jika jalan nafas terdapat gangguan segera pasang intubasi endotrakheal.
Jika dengan pemasangan ini masih belum dapat untuk menjaga patensi
jalan nafas diperlukan cricothyroidotomy atau tracheotomy.
Pasien dengan dehidrasi sering ditemukan karena kesulitan dalam makan
dan minum sehingga memerlukan cairan intravena sampai masalah
peradangan (inflammation) terpecahkan, sehingga tubuh pasien dapat
memperoleh kembali intake cairan per oral yang cukup (adequate oral
fluid intake).
29
Antipyretics diberikan apabila terdapat kenaikan suhu dan analgesics dapat
digunakan untuk mengurangi nyeri
Aspirasi dengan jarum sebaiknya dilakukan untuk drainase abses dan
harus tersedia pereda nyeri sedang. Abses yang lebih luas kadang
membutuhkan insisi dan drainase.
Jika terbentuk abses, memerlukan pembedahan drainase, baik
dengan teknik aspirasi jarum atau dengan teknik insisi dan drainase.
Kesulitan dapat timbul dalam memastikan apakah berhubungan dengan
selulitis akut atau pembentukan abses yang sebenarnya telah terjadi. Jika
ragu-ragu jarum ukuran 17 dapat dimasukkan (setelah aplikasi dengan
anestesi spray) ke dalam tiga lokasi yang tampaknya paling mungkin
untuk menghasilkan aspirasi pus. Jika pus ditemukan secara kebetulan,
metode ini mungkin cukup untuk drainase dengan diikuti antibiotic.
Jika jumlah pus banyak ditemukan dan tidak cukup didrainase
dengan metode ini, insisi yang lebih jauh dan drainase dapat dilakukan.
Jika tidak ditemukan pus, tampaknya ini masih berhubungan dengan
selulitis dibandingkan abses. Mereka yang menolak teknik ini berpatokan
pada kenyataan bahwa 30% dari abses terdapat pada sisi inferior dari fosa
tonsilaris dan tidak dapat dicapai dengan menggunakan teknik jarum.4
Teknik insisi dan drainase membutuhkan anestesi local. Pertama
faring disemprot dengan anestesi topical. Kemudian 2 cc Xilokain dengan
Adrenalin 1/ 100.000 disuntikkan. Pisau tonsil no. 12 atau no. 11 dengan
plester untuk mencegah penestrasi yang dalam yang digunakan untuk
membuat insisi melalui mukosa dan submukosa dekat kutub atas fosa
tonsilaris. Hemostat tumpul dimasukkan melalui insisi ini dan dengan
lembut direntangkan.
Pemberian steroid terbukti menurunkan waktu rawat inap.
Pasien dapat dirawat jalan kecuali terdapat tanda-tanda sepsis, gagal nafas
dan terdapat komplikasi.
30
Antibiotic termasuk dalam komponen utama terapi. Selain dengan
drainase abses antibiotic biasanya mencukupi dalam kesembuhan abses.
Terapi antibiotik sebaiknya dimulai setelah biakan (culture) diperoleh dari
abses. Karena resistensi streptococcus mencapai 30% dan infeksi biasanya
bercampur dengan flora normal banyak dokter merekomendasikan
penggunaan kombinasi penisilin dan metronidazole (sensivitasnya 98%).
Berikut antibiotic yang sering diberikan pada penderita abses peritonsiler:2
Clindamycin
Antibiotic semisintetik yang dihasilkan dari kelompok lincomycin 7(S)-chloro-
substitution of 7(R)-hydroxyl menghambat pertumbuhan bakteri, kemungkinan
dengan memblok pemisahan peptid tRNA dari ribosom yang menyebabkan
sintesis RNA behenti. Pemberian secara luas tidak masuk ke CNS. Protein diikat
dan diekskresi melalui ginjal dan hepar. Pemberian oral dan intravena
diindikasikan untuk infeksi dengan suspect bakteri streptococcal, pneumococcal
atau spesies staphylococcus. Antibiotic ini diabsorpsi baik di saluran pencernaan
maupun secara parental. Dosis dewasa: 150 – 450 mg PO per 8 jam dan 1.2 – 2.7
gram IV/ IM per 8 jam.. Dosis anak : 15 – 25 mg/ kg/ hari PO ; 25 – 40 mg/
kg/hari(IV/IM).
Penisilin G Benzathine
Pemberian biasanya dikombinasikan dengan metronidazole. Efektif pemberiannya
pada 98% pasien. Obat ini mengganggu multiplikasi sintesis sel dinding
mukopeptida. Dosis dewasa: 600 mg (~1 juta unit) IV, untuk 12 – 24 jam. Dosis
anak:12.500–25.000U/kg(IV).
Metronidazole
Pemberian dengan kombinasi penisilin. Efektif pada 98% pasien. Cincin imiazole
aktif melawan berbagai bakteri anaerob dan protozoa. Obat ini diabsorbsi di sel
mikroorganisme yang mengandung nitroreductase. Komponen yang tidak stabil
dibentuk untuk mengikat DNA dan menghambat sintesis sehingga menyebabkan
kematian sel.
31
Dosis dewasa: loading dose : 15mg/ kg atau 1 gr untuk berat 70 kg IV.
Maintenance dose: 6 h following loading dose, infuse 7.5 mg/kg or 500 mg for
70-kg adult over 1 h. Dosis anak: sama dengan dewasa.
Nafcillin
Terapi inisial untuk streptococcus yang resisten dengan penisilin G atau
untuk infeksi staphylococcus. Terapi inisial parenteral sering digunakan untuk
infeksi yang berat. Terapi dilanjutkan per oral apabila kondisinya membaik.
Karena trombophlebitis, seringnya pada orang dewasa pemberian parenteral
hanya untuk jangka pendek (1 – 2 hari); terapi dirubah menjadi terapi per oral bila
secara klinik diindikasikan. Dosis untuk dewasa 1 – 2 gram IV. Dosis untuk anak
50 mg/kg/hari IV.
Erythromycin
Obat ini bekerja menghambat pertumbuhan bakteri, kemungkinaan dengan
memblok pemecahan peptidyl tRNA dari ribosom, sehingga menyebabkan
sintesis protein tergantung RNA berhenti. Obat ini digunakan untuk terapi curiga
infeksi Staphylococcus (meliputi Staphylococcus aureus) dan infeksi
Streptococcus. Obat ini juga sering diberikan pada pasien-pasien yang alergi
terhadap penisilin. Dosis dewasa: 15 – 20 mg/kg/ hari PO/IV, dosis double pada
infeksi yang berat. Dosis anak: 30 – 50 mg/ kg/ hari (15 – 25 mg/lb/ hari) PO/ IV.
II.9 Komplikasi1
1) Abses pecah spontan, dapat mengakibatkan perdarahan, aspirasi paru atau
piema.
2) Penjalaran infeksi dan abes ke daerah parafaring, sehingga terjadi abses
parafaring. Pada penjalaran selanjutnya, masuk ke mediastinum, sehingga
terjadi mediastinitis.
3) Bila terjadi penjalaran ke daerah intracranial, dapat mengakibatkan
thrombus sinus kavernosus, meningitis dan abses otak.
32
Sejumlah komplikasi klinis lainnya dapat terjadi jika diagnosis PTA diabaikan.
Beratnya komplikasi tergantung dari kecepatan progresi penyakit. Untuk itulah
diperlukan penanganan dan intervensi sejak dini. Komplikasi lain yang pernah
dilaporkan diantaranya:
• Infeksi jaringan dinding dada dan leher
• Kekambuhan abses peritonsiler
• Aspirasi yang bisa berlanjut menjadi pneumonia atau penumonitis
• Abses cervical
• Mediastinitis
• Meningitis
• Sepsis
• Abses serebral
• Thrombosis vena jugular
• Rupture/ nekrosis arteri carotis
• Cedera arteri carotis (dari insisi dan drainase atau aspirasi jarum
II.10 Prognosis
Abses peritonsiler yang tidak berkomplikasi dan mendapat perawatan yang baik
akan sembuh 94%.
33
BAB IV
PEMBAHASAN
IV.1 PATOFISIOLOGI PENYAKIT
Radang berulang yang dipicu oleh faktor predisposisi (rangsangan kronis rokok,
makanan tertentu, higiene mulut yang buruk, pasien yang biasa bernapas melalui
mulut karena hidungnya tersumbat, pengaruh cuaca dan pengobatan
tonsilofaringitis sebelumnya yang tidak adekuat)
Epitel mukosa dan jaringan limfoid terkikis
Jaringan limfoid akan menjadi jaringan parut
Kripti melebar
34
Kripti diisi oleh detritus
Menembus kapsul tonsil
Perlekatan dengan jaringan di sekitar fosa tonsilaris dan dapat disertai pembesaran
kelenjar submandibula
Reaksi Inflamasi pada Tonsil dan ada karies gigi
menyebar ke daerah peritonsil
jaringan ikat longgar à infiltrasi supurasi
Abses Peritonsil
IV.2 TERAPI
Operatif
Dilakukan tindakan pembedahan berupa tonsilektomi dengan metode Diseksi.
Dengan langkah-langkah sebagai berikut :
- Pasien tidur terlentang dengan general anastesi
- Disinfeksi daerah operasi dan daerah sekitarnya
- Tutup dengan doex steril, kecuali daerah operasi
- Pasang mouth gag à metode davis boyle
- Tonsil diangkat dengan metode diseksi à pus 1 cc
- Fossa tonsil dijahit 4/4
- Jahit fossa nasofaring
- Evaluasi perdarahan à sampai berhenti
- Operasi selesai
35
Medikamentosa post op
Inf. RL 20 tpm
Inj. Metronidazole 3x500mg
Inj dexamethasone 3x1 gr
Inj tramadol 2x10mg
Diet makanan lunak dan minum yang banyak
36
Daftar Pustaka
1. Soepardi, EA et al. 2008. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung
Tenggorok Kepala dan Leher. Fakultas Kedokteran Uniersitas Indonesia.
Jakarta
2. http://emedicine.medscape.com/article/764188-overview
3. http://emedicine.medscape.com/article/764188-overview
http://www.cjmed.net/html/2006712_43.html?
PHPSESSID=28d51ad055ae04f2529d1241b27c0187 Cheng Fang Ming.
2006. Efficacy of three therapeutic methods for peritonsillar abscess.
Journal of Chinese Clinical Medicine;2006,7;Vol.1,No.2.
4. Adams et al. 1997. BOIES Buku Ajar Penyakit THT. Penerbit Buku
Kedokteran EGC. Jakarta
5. http://kireihimee.blogspot.com/2009/10/abses-peritonsiler.html
6. Snell, Richard, 2006, Anatomi Klinik Untuk Mahasiswa Kedokteran, Edisi
6, Buku Kedokteran EGC, Jakarta.
37
Recommended