ANALISIS FAKTOR-FAKTOR MIGRASI
MASYARAKAT FLORES DI KAMPUNG SAWAH,
KELURAHAN JATIMURNI, KOTA BEKASI
Skripsi
Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Sosial (S. Sos)
Oleh:
Risma Trihandayani
NIM. 11141110000045
PROGRAM STUDI SOSIOLOGI
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1440 H/ 2018 M
i
ANALISIS FAKTOR-FAKTOR MIGRASI
MASYARAKAT FLORES DI KAMPUNG SAWAH,
KELURAHAN JATIMURNI, KOTA BEKASI
Skripsi
Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Sosial (S. Sos)
Oleh
Risma Trihandayani
11141110000045
PROGRAM STUDI SOSIOLOGI
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1440 H/ 2018 M
ii
PERNYATAAN BEBAS PLAGIARISME
Skripsi yang berjudul:
ANALISIS FAKTOR-FAKTOR MIGRASI MASYARAKAT FLORES DI
KAMPUNG SAWAH, KELURAHAN JATIMURNI, KOTA BEKASI
1. Merupakan karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi salah satu
prasyarat memperoleh gelar Strata 1 di Universitas Islam Negeri (UIN)
Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya
cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam
Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Jika di kemudian hari bahwa karya saya ini bukan hasil karya asli saya atau
merupakan hasil jiplakan dari kara orang lain, maka saya bersedia
menerima sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif
Hidayatullah Jakarta.
Jakarta, 18 September 2018
Risma Trihandayani
iii
PERSETUJUAN PEMBIMBING SKRIPSI
Dengan ini, Pembimbing Skripsi menyatakan bahwa mahasiswa:
Nama : Risma Trihandayani
NIM : 11141110000045
Program Studi : Sosiologi
Telah menyelesaikan penulisan skripsi dengan judul:
ANALISIS FAKTOR-FAKTOR MIGRASI MASYARAKAT FLORES DI
KAMPUNG SAWAH, KELURAHAN JATIMURNI, KOTA BEKASI
dan telah memenuhi persyaratan untuk diuji.
Jakarta, 18 September 2018
Mengetahui, Menyetujui,
Ketua Program Studi Pembimbing,
Dr. Cucu Nurhayati, M. Si. Saifudin Asrori, M.Si.
NIP. 197609182003122003 NIP. 197701192009121001
iv
PENGESAHAN PANITIAN UJIAN SKRIPSI
SKRIPSI
ANALISIS FAKTOR-FAKTOR MIGRASI MASYARAKAT FLORES DI
KAMPUNG SAWAH, KELURAHAN JATIMURNI, KOTA BEKASI
Oleh
Risma Trihandayani
11141110000045
Telah dipertahankan dalam siding ujian skripsi di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu
Politik Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta pada tanggal 28
September 2018. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat memperoleh
gelar Sarjana Sosial (S.Sos) pada Program Studi Sosiologi.
Diterima dan dinyatakan memenuhi syarat kelulusan pada tanggal 28 September
2018
Ketua
Dr, Cucu Nurhayati, M. Si
NIP. 197609182003122003
Sekretaris
Dr, Joharatul Jamilah, M.Si
NIP. 1968081619970732002
Penguji I
Husnul Khitam, M.Si
NIP. 1983080720015031003
Penguji II
Dr. M. Guntur Alting, M.Pd, M.Si
NIP. 197405121999031005
Ketua Program Studi Sosiologi
Dr, Cucu Nurhayati, M. Si
NIP. 197609182003122003
v
ABSTRAK
Skripsi ini menganalisis kelompok masyarakat Flores dengan pendekatan
migrasi dilihat dari dua faktor utama yaitu faktor pendorong (push factor) dari
daerah asal dan faktor penarik (pull factor) yang dimiliki daerah tujuan oleh
Everett Lee. Lokasi yang dijadikan fokus penelitian yaitu Kampung Sawah,
Kelurahan Jatimurni, Kota Bekasi yang berbatasan langsung dengan Jakarta Timur
dan berdekatan dengan wilayah administrasi Kota Bekasi.
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan kualitatif
guna memahami fenomena secara mendalam melalui observasi, wawancara
(interview) dan dokumentasi. Adapun metode unit analisis dalam mengumpulkan
informan menggunakan metode purposive berdasarkan pada target informan yang
mampu memberikan informasi secara tepat dan mewakili populasi.
Penelitian ini menunjukkan, arus migrasi yang terbangun berdasarkan
semakin banyak tuntutan ekonomi dan faktor ekologi daerah asal yang
mengharuskan kelompok masyarakat Flores untuk mencari dan mendapatkan
tempat baru bagi mereka sebagai upaya memperbaiki taraf ekonomi (push factor).
Kuatnya ikatan kekerabatan, ikatan emosional dan ikatan primordial (kesamaan
asal usul, latar belakang budaya dan etnis) merupakan faktor penarik (pull factor)
yang tersedia di daerah tujuan. Karena networking etnisitas yang terbangun di
kelompok Masyarakat Flores seperti membantu mencarikan akses dan lapangan
pekerjaan, menjaga dan menjamin perlindungan sosial bagi anggota kelompoknya
menjadi modal sosial bagi mereka yang melakukan migrasi dan mempertahankan
eksistensi kelompok pendatang.
Kata kunci: push factor & pull factor, migrasi, eksistensi kelompok masyarakat
pendatang
vi
KATA PENGANTAR
Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh
Segala puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah Subhanahu wa
Ta’ala atas segala rahmat dan hidayah-Nya, tidak luput juga shalawat dan salam
kepada Nabi Muhammad Salallahu ‘Alaihi Wassalam yang telah memberikan
syafa’at bagi umatnya yang bertaqwa, begitu pula penulis akhirnya dapat
menyelesaikan skripsinya guna memenuhi syarat untuk memperoleh gelar Sarjana
Ilmu Sosial. Selain itu tidak luput penulis menyampaikan rasa terima kasih yang
amat bersar kepada:
1. Bapak Prof. Dr. Zulkifli, M.A selaku Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan
Ilmu Politik UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Ibu Dr. Cucu Nurhayati, M.Si, selaku Ketua Program Studi Sosiologi UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Ibu Dr. Johatotul Jamilah, M.Si selaku Sekretaris Program Studi Sosiologi
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
4. Bapak Saifudin Asrori, M.Si sebagai dosen pembimbing dengan ketulusan
hatinya membantu dan mengarahkan selama proses penulisan hingga pada
akhirnya penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.
5. Bapak/Ibu dosen Prodi Sosiologi serta staff TU dan Perpustakaan Fakultas
Ilmu Sosial dan Ilmu Politik UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah
vii
memberikan segala ilmu pengetahuan yang penuh berkah, semoga bekal
ilmu selama ini memberikan manfaat untuk penulis terutama masyarakat.
6. Teristimewa kepada Ayahanda tercinta Machmud S.E (Alm) semasa
hidupnya telah mencurahkan kasih sayang dan pengorbanannya untuk
keluarga, dan tak terlupakan nasihatnya. Semoga Bapak selalu dalam
kasih sayang Allah Subhanallahu wa Ta’ala.
7. Ibu Supriati, perempuan hebat yang telah melahirkan dan merawat
penulis, tidak pernah terputus do’a-do’a ibunda untuk kesuksesan dan
keselamatan anak-anaknya. Ini salah satu jawaban do’a darimu Ibu.
8. Siti Habibah Bramandia, Diah Andam Suri dan Kakakku Laila Agustina
terima kasih telah merasakan pahit manisnya kehidupan anak kost selama
empat tahun bersama. Semoga tali silaturahmi kita tidak akan terputus.
9. Keluarga besar Sosiologi B angkatan 2014 yang sama-sama merasakan
perjuangan pencapaian gelar S.Sos, terima kasih telah memberikan gelak
tawa, pengalaman hingga kesedihan selama masa kuliah, semoga kita
semua bisa meraih dan merasakan kesuksesan.
10. Teman-teman KKN 068 BERIRAMA yang telah menjadi keluarga
serumah dan teman berbagi pengalaman selama satu bulan penuh di Desa
Pasanggrahan, Solear.
11. Teman-teman, kakak-kakak dan adik-adik di FISIP Mengajar yang
mengajari penulis wujud simpati dan empati sesungguhnya.
viii
12. Si Ahli Gizi IPB Septiani Nur Pratiwi yang telah banyak meluangkan
waktunya untuk dijadikan tempat curhat dan berbagi cerita dengan
penulis.
13. Kepada Sungjin, Young K, Jae, Kim Wonpil dan Dowoon dengan setia
selalu bermain instrument dan bersenandu indah di setiap malam ketika
penulis menyelesaikan penulisan skripsi.
14. Kesbangpol Kota Bekasi, staf kelurahan Jatimurni dan staf kelurahan
Jatimelati yang telah memberikan izin dan berkenan memberikan
informasi dan data guna kelengkapan penelitian.
15. Seluruh masyarakat Gang. Maumere RT. 005/ 003 Kelurahan Jatimurni,
Kota Bekasi khususnya kepada masyarakat Flores dengan keramahan dan
penuh senyum mempersilahkan penulis untuk dijadikan sebagai bahan
penulisan skripsi.
Skripsi ini diharapkan dapat memberikan kontribusi untuk bidang
keilmuwan sosial dan penulis dapat mengimplementasikan ilmu yang telah
didapatkan selama menjalani proses perkuliahan, dan hanya kepada Allah
Subhanahu wa Ta’ala penulis bergantung pada-Nya. Semoga taufiq dan hidayah-
Nya selalu menyertai kita. Aamiinn ya Rabbal ‘Alamin.
Jakarta, 18 September 2018
Risma Trihandayani
ix
DAFTAR ISI
ABSTRAK ………………………………………………………………………. v
KATA PENGANTAR …………………………………………………………… vi
DAFTAR ISI ……………………………………………………………………... ix
DAFTAR GAMBAR …………………………………………………………….. x
DAFTAR TABEL ………………………………………………………………... xi
BAB I PENDAHULUAN
A. Pernyataan Masalah ……………………………………………… 1
B. Pertanyaan Penelitian …………………………………………….. 5
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ………………………………....... 5
D. Tinjauan Pustaka …………………………………………………. 6
E. Kerangka Teoritis………………………………………….……… 11
E.1 Teori Migrasi oleh Everett S. Lee…………………..………. 11
E.2 Faktor Pendorong (push factor) dan Faktor Penarik
(pull factor) ………………………………………………….
13
F. Metodologi Penelitian ……………………………………………. 17
F.1 Pendekatan Penelitian ………………………………............. 17
F.2 Subjek dan Lokasi Penelitian ……………………………….. 18
F.3 Jenis dan Teknik Pengumpulan Data ……………………….. 19
F.4 Teknis Analisis Data ………………………..………………. 22
G. Sistematika Penelitian ………………………..………………... 23
BAB II LATAR BELAKANG SOSIAL DAN REGIONAL
MASYARAKAT KAMPUNG SAWAH
A. Gambaran Umum ………………………..……………………….. 25
1. Letak dan Kondisi Wilayah ………………………..……….. 25
2. Keadaan Penduduk ………………………..……………… 27
3. Sejarah dan Kondisi Masyarakat Kampung Sawah………… 29
4. Kehidupan Sosial ………………………..…………………. 30
x
5. Kehidupan Agama ………………………..………………… 32
B. Karakter Sosial Masyarakat Flores, Kampung Sawah …………… 34
BAB III FAKTOR PENDORONG DAN FAKTOR PENARIK MIGRASI
MASYARAKAT FLORES DI KAMPUNG SAWAH,
KOTA BEKASI
A. Faktor Pendorong (push factor) dari Daerah Asal………………. 39
A.1 Faktor Fisik: Ekologi ……………………….……………. 39
A.2 Ekonomi dan Lapangan Pekerjaan…….…..…………… 44
B. Faktor Penarik (pull factor)…………... ……………..…………… 46
B. 1 Ikatan Primordial di Daerah Tujuan …………………..... 46
B. 2 Pemberian Jaminan Akses dan Kesempatan Kerja ………. 55
B. 3 Pemberian Jaminan Sosial dan Keamanan…. …………. 58
BAB IV PENUTUP
A. Kesimpulan ………………………..……………………………. 61
B. Saran ………………………..………………………..………….. 63
DAFTAR PUSTAKA ………………………..………………………..…………. 65
LAMPIRAN-LAMPIRAN
xi
DAFTAR GAMBAR
Gambar I.E.1.1 Faktor-faktor Determinan Mobilitas Penduduk 14
Gambar II.A.1 Peta Kelurahan Jatimurni, Kecamatan Pondok
Melati, Kota Bekasi, Jawa Barat ……………….…
26
Gambar III.B.1.1 Gang Maumere Rt.005/003 Kelurahan Jatimurni,
Bekasi ………………..………………..…………..
49
Gambar III.B.1.2 Tembok Pembatas Wilayah RT. 005/003
dengan Komplek…………………………………..
49
Gambar Lampiran 1.1 ketika Warga Maumere, Flores dengan warga
lainnya sedang berkumpul, ………………….…..
-
Gambar Lampiran 1.2 di saat peneliti memperhatikan anak-anak
Maumere dengan anak lainnya sedang bermain......
-
Gambar Lampiran 1.3 Bapak Vincent ketika membakar sampah………...
Gambar Lampiran 1.4 Bersama Informan ………………..………………. -
xii
DAFTAR TABEL
Tabel I.A.1 Penduduk Menurut Wilayah, Jenis Kelamin, dan
Status Migrasi Seumur Hidup……………………..
2
Tabel I.D.1 Matriks Tinjauan Pustaka………………................ 10
Tabel I.E.2.1 Gambaran Faktor Pendorong (Push Factor)
dan Faktor Penarik (Pull Factor) ………………….
15
Tabel F.2.1 Data Informan………………………………….. 18
Tabel II.A.1 Jumlah Penduduk Kelurahan Jatimurni
Berdasarkan Jenis Kelamin ………………………
27
Tabel II.A.2 Jumlah Penduduk Kelurahan Jatimurni
Berdasarkan Mata Pencaharian…………………
28
Tabel II.A.3 Jumlah Penduduk Menurut Wilayah dan Agama
yang Dianut Kecamatan Pondokmelati, Kota
Bekasi Tahun 2010......………………..……..…….
32
Tabel III. A.1.1 Jumlah Usaha Pertanian menurut Wilayah dan
Pelaku Usaha Tahun 2003 dan 2013 Provinsi
Nusa Tenggara Timur……………………………..
40
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Pernyataan Masalah
Skripsi ini membahas dinamika kependudukan yang didasari pada
perpindahan penduduk (migrasi) yang dilakukan oleh kelompok masyarakat Flores
di Kampung Sawah, Kota Bekasi berdasarkan bentuk-bentuk pendorong (push)
dan penarik (pull). Arus migrasi yang terbangun berdasarkan kebutuhan
subsistensi yang semakin mencekik masyarakat saat ini mengharuskan mereka
untuk mencari dan menemukan wilayah baru yang dapat menjamin keberadaan
dan kebutuhan mereka. Migrasi juga dikaitkan dengan pola kebiasaan dan budaya
masyarakat etnis Flores yang ingin mengeksplor kehidupan yang baru. Ikatan
primordial masyarakat Flores yang kuat menjadikan kolektivitas etnis menyatukan
mereka meskipun sudah tidak lagi berada di tanah kelahiran. Oleh karena
pemilihan migrasi secara kultural banyak dipilih oleh masyarakat asal kepulauan
Nusa Tenggara Timur ini untuk menyusul keluarga yang lebih dahulu bermigrasi
ke luar pulau. Jenis migrasi seperti itu sebagai jenis migrasi berantai (Nor Zana
tanpa tahun. 4)
Migrasi merupakan salah satu jalan yang dianggap cukup berhasil sebagai
langkah memperbaiki taraf kehidupan terutama dalam segi ekonomi. Menurut
Rozy Munir (2004: 115) menyatakan bahwa Migrasi sebagai salah satu faktor dari
tiga faktor dasar yang mempengaruhi pertumbuhan jumlah penduduk, setelah
faktor kelahiran dan kematian. Perpindahan penduduk ke perkotaan atau akibat
2
dari perluasan daerah perkotaan seperti Kota Bekasi sebagai salah satu kota
penyangga Ibu Kota DKI Jakarta menjadi wilayah yang cukup dianggap
menjanjikan oleh masyarakat Flores sebagai pelaku migrasi karena kemajuan dan
perkembangan perekonomian, perdagangan dan lapangan kerja.
Kota Bekasi dengan segala daya tarik yang dimilikinya dan menjadi
wilayah yang juga dapat dikatakan cukup maju dalam industri, transportasi,
infrastruktur dan pendidikannya mendorong para pelaku migran sebagai pilihan
destinasi mereka dalam upaya memperbaiki taraf kehidupan. Hal ini dibuktikan
dengan data yang menunjukkan status migrasi per Kecamatan di wilayah Bekasi
pada tahun 2010.
Tabel I.A.1 Penduduk Menurut Wilayah, Jenis Kelamin, dan Status Migrasi
Seumur Hidup
Nama Kecamatan Laki-laki + Perempuan
Status Migrasi
Non Migran
Kabupaten/Kota
Migran
Kabupaten/Kota Jumlah
1 Pondokgede 75,785 170,718 246,503
2 Jatisampurna 41,517 62,198 103,715
3 Pondokmelati 45,046 83,888 128,934
4 Jatiasih 82,268 116,176 198,444
5 Bantargebang 42,409 53,436 95,845
6 Mustikajaya 70,758 89,015 159,773
7 Bekasi Timur 93,925 153,432 247,357
8 Rawalumbi 75,437 132,897 208,334
9 Bekasi Selatan 72,572 131,082 203,654
10 Bekasi Barat 88,926 183,631 272,557
11 Medan Satria 62,359 98,803 161,162
12 Bekasi Utara 110,020 198,573 308,593
Kota Bekasi 861,022 1,473,849 2,334,871
Sumber: BPS 2010
3
Berdasarkan tabel di atas menunjukkan Kecamatan Pondokmelati yang di
dalamnya termasuk Kelurahan Jatimurni sebagai lokasi penelitian ini, memiliki
jumlah migran yang lebih banyak yaitu 83.888 jiwa ketimbang non migran dengan
45.046 jiwa termasuk di dalamnya kelompok masyarakat Flores yang melakukan
migrasi dengan memilih Kelurahan Jatimurni Kampung Sawah ini.
Keberadaan masyarakat Flores di Kampung Sawah Bekasi sudah cukup
diterima oleh masyarakat Kampung Sawah yang mayoritas berasal dari suku
Betawi, Jawa dan Sunda karena masyarakat asal Flores kepulauan Nusa Tenggara
Timur ini tinggal di Kampung Sawah sudah lebih dari sepuluh tahun bahkan lebih
dari tiga puluh tahun yang pada saat itu kondisi Kampung Sawah masih sepi
pemukiman dan harga tanah yang masih murah menyebabkan mereka yang
mayoritas dahulunya bekerja di pelabuhan Tanjung Priok sebagai tenaga
pengangkut barang dan sopir ini memilih Kampung Sawah untuk dijadikan tempat
tinggal selama merantau. (Observasi dan wawancara dengan Bapak Vincent,
Kampung Sawah 17/03/2018)
Bermula hanya beberapa orang Flores yang tinggal di Kampung Sawah
untuk pekerjaan dan mengejar pendidikan, kini sudah ada lebih dari seratus orang
yang tinggal di Kampung Sawah, Bekasi dan membentuk sebuah pemukiman
kelompok masyarakat Flores dengan pemberian nama sebuah gang yaitu Gang
Maumere yang dibuat untuk menandai tempat asal dan identitas kelompok
masyarakat Flores itu sendiri (Observasi penulis, Kampung Sawah 17/03/2018).
Todaro (2003) menjelaskan bahwa selain kuatnya faktor ekonomi,
faktor sosial, demografi dan faktor budaya lokal (kultural) sangat memiliki
4
kecenderungan dalam menjelaskan fenomena pendorong migrasi sebagai
faktor pendorong (push factor), dan faktor penarik (pull factor) dari
penghidupan yang dianggap lebih layak, seperti akses pekerjaan dan
pendidikan. Masyarakat Flores yang bermigrasi ini lebih memilih untuk
berada di dalam satu lingkungan tempat tinggal yang sama atau saling
berdekatan. Hal ini karena, pada hakikatnya selain ikatan kekerabatan dan
ikatan emosional kelompok masyarakat akan lebih memilih berada di
lingkungan orang-orang yang memiliki kesamaan asal daerah, kesamaan adat
istiadat, agama, latar belakang pekerjaan dan pendidikan.
Berdasarkan pertimbangan tersebut, maka penulis dalam
penelitiannya, mengambil fenomena masyarakat Flores yang melakukan
migrasi ke Kampung Sawah, Kota Bekasi. Adapun pokok masalah yang ingin
digali adalah faktor-faktor pendorong (push factor) dan faktor penarik (pull
factor) apa saja yang menyebabkan Kampung Sawah dipilih sebagai
destinasi migran asal Kota Maumere, Flores, Nusa Tenggara Timur dan
memilih untuk hidup secara berkelompok dengan kelompoknya yang
memiliki kesamaan latar belakang daerah, ikatan primordial dan adat istiadat
yang masih mengikat mereka meskipun sudah tidak lagi berada di tanah
kelahiran. Penulis tertarik untuk mengangkat fenomena tersebut menjadi
sebuah penelitian yang berjudul:
“ANALISIS FAKTOR-FAKTOR MIGRASI MASYARAKAT
FLORES DI KAMPUNG SAWAH, KELURAHAN JATIMURNI, KOTA
BEKASI”.
5
B. Pertanyaan Penelitian
Pertanyaan masalah dalam penelitian ini adalah bagaimana bentuk faktor-
faktor pendorong (push factor) dan penarik (pull factor) kelompok masyarakat
Flores yang bermigrasi ke Kampung Sawah, Kota Bekasi?
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
C. 1 Tujuan Penelitian
Berdasarkan pada pernyataan masalah dan pertanyaan masalah
yang telah dipaparkan sebelumnya, maka tujuan dari penulisan penelitian
ini adalah untuk mengidentifikasikan dan mengetahui bentuk faktor
pendorong (Push Factor) dan faktor penarik (Pull factor) kelompok
masyarakat Flores yang melakukan migrasi ke Kampung Sawah,
Kelurahan Jatimurni, Kota Bekasi.
C. 2 Manfaat Penelitian
Adapun manfaat yang ingin penulis capai dalam penelitian ini di antara
lain:
Penulis mengharapkan penelitian ini dapat memberikan kontribusi
dalam bidang keilmuwan sosial khususnya sosiologi kependudukan
mengenai faktor pendorong (push factor) dan faktor penarik (pull
factor) terjadinya migrasi dengan subjek yang diteliti yaitu masyarakat
Flores di Kampung Sawah, Kota Bekasi.
Serta diharapkan dapat menjadi bahan referensi dan perbandingan
berkaitan dengan studi kependudukan mengenai migrasi disertai
faktor-faktornya dan juga hubungan migrasi berkaitan atas latar
6
belakang budaya, suku dan etnis khususnya yang terjadi pada
masyarakat Flores di Kampung Sawah, Kota Bekasi.
D. Tinjauan Pustaka
Penulis telah menemukan beberapa studi yang berkaitan dengan
permasalahan yang dijadikan fokus dalam penelitian terutama dalam masalah
migrasi serta faktor-faktornya yang dibahas dengan spesifik dan dengan berbagai
pendekatan. Selain itu tinjauan pustaka juga dapat memberikan pemahaman lebih
jauh kepada penulis untuk menemukan perbedaan dengan penelitian-penelitian
terdahulu, serta dapat membantu penulis dalam menambah literasi dan informasi
guna melengkapi referensi untuk penelitiannya.
Pertama, tesis oleh Siti Khotijah (2008) yang berjudul Analisis Faktor
Pendorong Migrasi Warga Klaten ke Jakarta, penelitian ini melihat banyak hal
yang menjadi faktor penarik yang membuat masyarakat Klaten memilih untuk
migrasi ke Jakarta di antara lainnya untuk mencari penghidupan yang lebih baik
dan mencari pengalaman kerja, dengan anggapan Kota Jakarta masih menjadi
prioritas utama dengan didukung segala perkembangan teknologi, informasi dan
transportasinya. Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasikan faktor-faktor
yang mempengaruhi migrasi masyarakat Klaten ke Jakarta periode tahun 1998-
2006. Metode penelitian ini menggunakan metode kuantitatif dengan model
regresi linier dengan mencacah tiap triwulan dari Dinas Tenaga Kerja dan
transmigrasi Kabupaten Klaten, dan data sekunder dari BPS. Hasilnya
menunjukkan variable luas perlahanan sawah, pertumbuhan ekonomi dan tingkat
7
pengangguran di Klaten memiliki pengaruh terhadap jumlah migran warga Klaten
ke Jakarta.
Kedua, jurnal penelitian oleh Anggraeni Primawati (2011) berjudul Faktor
Ekonomi Sebagai Alasan Migrasi Internasional ke Malaysia, mengimplikasikan
bahwa alasan pendorong TKI memilih bermigrasi dan bekerja di Malaysia karena
kesulitan akses mendapatkan pekerjaan dan mencari modal seperti yang dialami
masyarakat Kecamatan Purwodadi. Faktor penarik yang mengharuskan mereka
menjadi TKI ke Malaysia dengan alasan kesempatan kerja di daerah asal relatif
sulit dan penghasilan yang rendah, oleh sebab itu dengan penghasilan yang lebih
tinggi didapatkan dengan bekerja sebagai TKI dipergunakan mereka untuk
mencari modal demi masa depan keluarga. Penelitian ini menggunakan
pendekatan neo klasik dalam melihat fenomena migrasi sebagai respon terhadap
munculnya ketimpangan dalam bidang ekonomi, di samping keadaan alam yang
tidak memberikan keuntungan.
Ketiga, penelitian oleh Sari Sefriani (tanpa tahun) berjudul Kontribusi
Migran Terhadap Pertumbuhan Sektor Informal di Perkotaan Kasus di Jakarta
Selatan. Berdasarkan hasil temuannya, faktor ekonomi menjadi faktor utama
mendasari pelaku migran melakukan migrasi ke Mampang Prapatan, Jakarta
Selatan, selain itu sebagian besar migran di Mampang Prapatan yang tidak
memiliki skill, minimnya kemampuan bersaing dan bertahan (survival) bergantung
pada sektor informal salah satunya menjadi pedagang kaki lima, asongan,
pengamen di sepanjang jalan Pasar Mampang yang merupakan migran yang
tersebar dari berbagai daerah luar Jakarta karena dianggap menjadi alternatif
8
terbaik bagi mereka yang tidak beruntung dalam mendapatkan pekerjaan di sektor
formal. Namun dalam penelitiannya, Sari Sefriani menjelaskan bahwa sektor
informal yang memenuhi ibu kota Jakarta juga memberikan keuntungan dalam
mengurangi jumlah pengangguran dengan semakin banyaknya pekerja di sektor
informal seperti pedagang atau PKL yang menjalankan usaha kaki lima dengan
memafaatkan lahan umum untuk berdagang dan berperan dalam pembangunan
ekonomi nasional.
Keempat, jurnal dari tesis penelitian oleh Sri Rum Gyarsih (1999),
Mobilitas Penduduk Daerah Pinggiran Kota di Dusun Kadipiro dan Dusun
Sidorejo Desa Ngestiharjo Kecamatan Kasihan Kabupaten Bantul. Menjelaskan
temuannya bahwa daerah Dusun Kadipiro dan Dusun Sidorejo, Kabupaten Bantul
mulai banyak didatangi para migran sejak lima belas tahun terakhir dan mulai
mengalami perkembangan sejak pembangunan pemukiman-pemukian baru dan
maraknya kegiatan-kegiatan usaha. Para pendatang sudah memiliki kartu identitas
yang terdaftar di Desa Ngestiharjo karena bentuk mobilitas yang dilakukan adalah
mobilitas permanen karena menetap dalam jangka panjang. Sebagian besar pelaku
migran berasal dari kabupaten sekitar Provinsi DI Yogyakarta dengan jumlah
migran di Dusun Kadipiro 44.0% dan di Dusun Sidorejo mencapai 39.0% dengan
alasan tinggal di sana adalah harga lahan yang lebih murah dibandingkan harga
lahan di kota, kemudian karena daerah tersebut memberikan harapan kesempatan
memperbaiki ekonomi mereka.
Kelima, Jurnal penelitian yang tidak disebutkan tahunnya, yang berjudul
Migrasi Sebagai Upaya Penunjang Kehidupan Keluarga (studi kasus Terhadap
9
Migran Sumba Timur dalam Paguyuban Hikmast di Kota Denpasar), yang
disusun oleh Renais Rambu H. Djawa, I.G.P.B Suka Arjawa, dan I Nengah Punia.
Masalah yang diangkat yaitu arus migrasi yang dilakukan pendatang dari Sumba
Timur ke kota Denpasar, Bali semakin hari semakin banyak. Peneliti telah
melakukan pengamatan ke tempat-tempat di mana masuknya para pendatang
(migran) seperti di Bandara I Gusti Ngurah Rai dan pelabuhan Kapal Benoa, motif
kedatangan yang menjadi faktornya pun beragam, seperti hanya untuk berlibur,
melanjutkan pendidikan dan juga untuk menetap sementara (sirkuler) dan mencari
pekerjaan. Dari hasil penelitian peneliti menyimpulkan bahwa berdasarkan pada
teori tindakan sosial Max Weber, migrasi yang dilakukan oleh warga dari Sumba
Timur ke Kota Denpasar didorong oleh beragam alasan seperti kesadaran untuk
mengubah keadaan perekonomian, keinginan untuk merasakan kehidupan di kota
besar, menambah pengalaman bekerja, lapangan pekerjaan yang sempit di daerah
asal dan untuk mendapatkan peluang besar di kota tujuan, ajakan teman atau
kerabat, budaya yang dipengaruhi keluarga dan lingkungan, dan aspek lainnya
seperti ekonomi, pendidikan, kesehatan, dan psikologis.
10
Tabel I.D.1
Matriks Tinjauan Pustaka
Penulis dan
Judul
Penelitian
Metode
Penelitian
Teori Hasil Penelitian
Siti Khodijah
(2008),
Analisis
Faktor
Pendorong
Migrasi
Warga Klaten
ke Jakarta.
(Tesis)
Kuantitatif Teori Migrasi
oleh Everett S.
Lee, Lewis Fei
Ranis dan
Todaro, Teori
Kebutuhan dan
Tekanan
Variable luas lahan sawah,
pertumbuhan ekonomi dan
tingkat pengangguran di daerah
migran berpengaruh terhadap
jumlah migran warga Klaten di
Jakarta periode tahun 1998-
2006.
Anggraeni
Primawati
(2011),
Faktor
Ekonomi
Sebagai
Alasan
Migrasi
Internasional
ke Malaysia.
kualitatif Pendekatan neo
klasik migrasi,
Teori Push And
Pull Factors
Everett Lee
Alasan pendorong TKI
bermigrasi sekaligus bekerja di
Malaysa karena kesulitan akses
mendapatkan pekerjaan dan
mencari modal yang dirasakan
Masyarakat Kecamatan
Purwodadi dan penghasilan
tinggi yang didapatkan selama
bekerja di Malaysia dapat
mereka jadikan sebagai modal
untuk menghidupi keluarga.
Sari Sefriani,
Kontribusi
Migran
Terhadap
Pertumbuhan
Sektor
Informal di
Perkotaan
Kasus di
Jakarta
Selatan
kualitatif Teori Push And
Pull Factors
Everett Lee
Faktor pendorong utama pelaku
migran ke Jakarta selatan
adalah faktor ekonomi. Dengan
skill dan pendidikan yang
kurang mumpuni menyulitkan
pelaku migran bekerja di sektor
formal sehingga mereka hanya
dapat mengisi sektor informal
di Jakarta Selatan dengan
dibuktikan makin banyak
kegiatan informal seperti
pedagang kaki lima yang
mengisi lahan umum.
Sri Rum
Gyarsih
(1999),
Mobilitas
Penduduk
Daerah
Pinggiran
kuantitatif Nilai kefaedahan
tempat (place
utility) Wolpert,
Migrasi oleh
Mantra
Dusun Kadipiro dan Dusun
Sidorejo, Kabupaten Bantul
sebagai destinasi bagi para
migran yang berasal dari sekitar
provinsi DI Yogyakarta sejak
dibangunnya pemukiman-
pemukiman baru dan makin
11
Kota di
Dusun
Kadipiro dan
Dusun
Sidorejo Desa
Ngestiharjo
Kecamatan
Kasihan
Kabupaten
Bantul.
marak kegiatan usaha. Salah
satu alasan semakin banyaknya
migran karena harga lahan yang
lebih murah dibandingkan
wilayah lain di sekitarnya.
Renais
Rambu H.
Djawa dkk,
Migrasi
Sebagai
Upaya
Penunjang
Kehidupan
Keluarga
(studi kasus
Terhadap
Migran
Sumba Timur
dalam
Paguyuban
Hikmast di
Kota
Denpasar)
kualitatif Teori Tindakan
sosial, Max
Weber
Motif migrasi yang dilakukan
oleh penduduk asal Sumba
Timur ke Denpasar, Bali
didorong atas dasar kesadaran
untuk mengubah keadaan
ekonomi, keinginan untuk
merasakan kehidupan di kota
besar dan mencari berbagai
pengalaman. Hasil penelitian
mendapatkan temuan ajakan
teman atau kerabat, budaya
yang dipengaruhi keluarga dan
aspek pendukung lainnya .
E. Kerangka Teoritis
E. 1 Teori Migrasi oleh Everett S Lee
Rusli Said (2012: 136) menjelaskan migrasi sebagai dimensi gerak
atau mobilitas penduduk secara permanen, sedangkan gerak penduduk
yang non-permanen hanyalah sebuah sirkulasi dan komutasi. Seseorang
dapat disebut melakukan migrasi apabila melakukan perpindahan tempat
tinggal secara permanen atau untuk jangka waktu minimal tertentu dengan
jarak minimal ataupun pindah dari satu unit geografis satu ke unit
12
geografis lainnya dan juga dapat dikatakan suatu perubahan tempat tinggal
dari tempat asal ke tempat tujuan. Migrasi terjadi dari waktu ke waktu dan
terus berulang sehingga jumlahnya kerap dihitung berdasarkan jangka
waktu tertentu (interval migrasi), adapun penghitungan migran dapat
dihitung dengan mempertimbangkan tempat lahir.
Everett S Lee (1966) dalam tulisannya dalam A Theory of
Migration mendefinisikan migrasi secara luas sebagai perubahan yang
permanen ataupun semipermanen dari tempat tinggal. Tidak ada batasan
mengenai ditempatkan pada jarak ataupun pada sifat yang secara sukarela
ataupun tidak disengaja dari tindakannya. Setiap tindakan yang mendasari
perilaku migrasi melibatkan asal, tujuan dan serangkaian rintangan-
rintangan yang saling menghalangi.
“Migration is defined broadly as a permanent or semipermanent
change of residence. No restriction is placed upon the distance of
the move or upon the voluntary or involuntary nature of the act, and
no distinction is made between external and internal migration.”
“No matter how short or how long, how easy or how difficult,
every act of migration involves an origin, a destination, and an
intervening set of obstacles. (Everett S. Lee. 1996: 49)”
Mobilitas penduduk yang bermigrasi dari desa ke kota kerap
menjadi sumber kekhawatiran di negara-negara berkembang karena
terbatasnya kemampuan penyediaan lapangan pekerjaan dan kebutuhan
fasilitas perkotaan bagi penduduknya yang semakin bertambah. Kota-kota
di sekitar Ibu Kota Jakarta pula kerap menjadi destinasi bagi para migran
dengan bayang-bayang harapan dalam kesempatan kerja.
13
E. 2 Faktor Pendorong (Push Factor) dan Faktor Penarik (Pull Factor)
Everett S. Lee (Rusli Said. 2012: 144) menyatakan dalam setiap
tindakan migrasi baik itu jarak dekat maupun jarak jauh melibatkan faktor-
faktor yang berkaitan dengan daerah asal, daerah tujuan, pirbadi dan
rintangan-rintangan antara. Everess S. Lee membagi tiga set faktor-faktor
tersebut antara lain:
1. Faktor-faktor yang bertindak untuk mengikat orang dalam suatu
daerah atau mengikat orang terhadap daerah itu, yang disebut
sebagai faktor-faktor minus (-)
2. Faktor-faktor yang cenderung menolak mereka, sebagai faktor-
faktor plus (+)
3. Faktor-faktor yang pada dasarnya indifferent, tidak memiliki
pengaruh penolak maupun pengikat.
Lee dalam tulisannya A Theory of Migration mengungkapkan
ketiga set faktor tersebut di suatu wilyah berkembang sesuai dengan
tingkat keragaman daerah di wilayah tersebut. Faktor plus atau positif (+)
menjadi faktor yang memberikan sisi menguntungkan dengan mendiami
wilayah tujuan tertentu dengan segala kesempatan dan akses yang didapat,
sebaliknya faktor negatif (-) memberikan nilai negatif pada wilayah yang
bersangkutan sehingga seseorang ingin berpindah dari wilayah tersebut
karena kesempatan dan akses yang diharapkan tidak dimiliki. Hal tersebut
tergambar sebagai berikut (Everett Lee. 1966: 50):
14
Gambar I.E.I.I
Faktor-faktor Determinan Mobilitas Penduduk
Sumber: Everett S. Lee. A Theory of Migration (1966: 50)
Dari gambar tersebut menjelaskkan munculnya beragam pengaruh
seseorang melakukan migrasi, yaitu faktor positif (+) di mana dapat
menarik individu untuk melakukan migrasi hingga pada akhirnya memilih
untuk menetap di daerah tujuan dipengaruhi beberapa hal seperti keadaan
lingkungan yang membuat nyaman, mendapatkan pekerjaan dan upah yang
layak, tersedianya fasilitas pendukung kehidupan dan lainnya. Kemudian
faktor negatif (-) dalam gambar menjelaskan faktor pemicu (pendorong)
seseorang untuk bermigrasi seperti kurang tersedianya lapangan dan akses
pekerjaan di daerah asal, minimnya upah tenaga kerja dibandingkan di
kota, biaya hidup semakin tinggi tidak diimbangi dengan pemasukan
keluarga. Terakhir, faktor netral (o) di mana tidak menjadi persoalan bagi
seseorang untuk memilih bermigrasi.
Menurut Lee, Todaro dan Titus (Mantra. 2000: 186) motivasi
terbesar seorang migran memilih berpindah yaitu motif ekonomi. Motif
ekonomi semakin berkembang karena ketimpangan ekonomi antardaerah
15
semakin jelas terlihat.Everett Lee (dalam Rozy Munir: 2004) menyebutkan
faktor-faktor yang mempengaruhi arus migrasi terdapat dua faktor yaitu
faktor pendorong (push factor) dan faktor penarik (pull factor), seperti
yang telah dispesifikasikan oleh penulis dalam tabel berikut ini:
Tabel I.E.2.1
Gambaran Faktor Pendorong (Push Factor) dan Faktor Penarik (Pull
Factor)
Faktor pendorong (Push Factor) Faktor Penarik (Pull Factor)
Semakin berkurang sumber daya
alam
Adanya rasa superior di wilayah
baru
Semakin sempit penyediaan
lapangan pekerjaan di daerah asal,
karena masuknya penggunaan
teknologi mesin
Kesempatan atau peluang pekerjaan
yang lebih besar
Adanya tekanan atau diskriminasi
politik, agama, suku di daerah asal
Kesempatan memperoleh
pendidikan yang lebih baik
Ketidakcocokan dengan adat budaya
di daerah asal
Keadaan lingkungan dan keadaan
lingkungan yang lebih sesuai
Alasan pekerjaan ataupun
pernikahan
Tarikan ataupun ajakan dari orang
yang diharakan sebagai tempat
berlindung. (keluarga, kerabat,
kenalan)
Bencana alam Adanya aktivitas di kota besar.
Seperti tempat hiburan, pusat-pusat
perbelanjaan
16
Menurut Everett Lee (Mantra. 2000: 181) proses terjadinya migrasi
dipengaruhi oleh beberapa hal, di antaranya:
a. Faktor individu
b. Faktor-faktor yang berasal dari daerah asal, seperti halnya keadaan
ekologi daerah asal yang memiliki keterbatasan penggunaan lahan,
minimnya lapangan pekerjaan dan upah kerja, serta terbatasnya
jenis pekerjaan yang dapat dilakukan di daerah asal.
c. Faktor-faktor yang terdapat di daerah tujuan: beragamnya akses dan
lapangan pekerjaan, upah kerja yang sesuai (tinggi).
d. Rintangan antara daerah asal dengan daerah tujuan: ketersediaan
transportasi, jarak antara dari daerah asal ke perkotaan.
Faktor individu yang dinyatakan oleh Everett memberikan
penilaian apakah suatu daerah tujuan dapat memenuhi kebutuhannya atau
tidak, oleh sebab itu faktor individu sebagai komponen pengaruh yang
penting. Sedangkan Norris memiliki pendapat lain bahwa faktor-faktor
yang berasal dari daerah asal di mana seseorang lahir, dan tumbuh ia tahu
betul mengenai kondisi lingkungannya dan akan terus merasa bahwa
daerah asal mereka merupakan rumah pertama (first home) bagi mereka
dan daerah yang kini mereka tempati sebagai rumah kedua (second home).
Oleh sebab itu penulis dalam penelitiannya berdasarkan kajian yang
diangkat oleh Everett S. Lee mengenai faktor pendorong dan faktor
penarik berusaha mereduksinya dengan data-data yang telah ditemukan
dengan penjelasan berikut ini:
17
Melihat fenomena migrasi yang dilakukan oleh kelompok masyarakat
Flores di Kampung Sawah, Kelurahan Jatimurni, Kota Bekasi dengan berdasarkan
kondisi wilayah Kampung Sawah yang multikultural, memiliki peluang untuk
memperbaiki taraf kehidupan mereka dan dapat hidup di lingkungan yang saling
berdekatan dengan kelompoknya sebagai pendukung dari faktor penarik, maka
teori yang relevan sebagai analisisnya adalah menggunakan teori push and pull
factor yang digagas oleh Everett S. Lee karena perilaku sosial yang ditunjukkan
oleh kelompok masyarakat Flores yang melakukan migrasi merupakan perilaku
untuk memperbaiki dan mengubah status sosial mereka.
F. Metodologi Penelitian
F. 1 Pendekatan Penelitian
Penelitian ini berusaha untuk mendapatkan serta memahami arus
migrasi serta faktor pendorong (Push Factor) dan faktor penarik (Pull
Factor) migrasi yang terjadi pada kelompok masyarakat Flores di
Kampung Sawah, Kota Bekasi. Maka penelitian ini akan lebih mendalam
jika menggunakan metode penelitian kualitatif dengan pendekatan
deskriptif. Pendekatan kualitatif yang dimaksud untuk memahami
Migrasi Masyarakat Flores di Kampung Sawah, Kota Bekasi
Faktor Pendorong
Terbatasnya Akses
Lapangan Pekerjaan
Faktor Fisik: Ekologi
tempat asal
Faktor Penarik
(Networking Etnisitas)
Jaminan Akses Penyediaan Lapangan Pekerjaan dan Tempat
Tinggal
Jaminan Sosial dan Keamanan
Ikatan Primordial
dan Kuatnya ajakan
18
fenomena apa yang dialami subjek penelitian, misalnya perilaku, presepsi,
motivasi, tindakan dsb. Secara holistik dan dengan pendeskripsian dalam
bentuk kata-kata dan Bahasa pada suatu konteks khusus yang alamiah dan
memanfaatkan berbagai metode ilmiah (Lexy J Moleong. 2012: 6).
F. 2 Subjek dan Lokasi Penelitian
A. Subjek Penelitian
Subjek penelitian dalam skripsi ini adalah kelompok masyarakat
asal Flores, Nusa Tenggara Timur yang tinggal di Kampung Sawah,
Kelurahan Jatimurni, Kecamatan Pondokmelati, Kota Bekasi. Dengan
penjelasan informan penelitian sebagai berikut ini:
Tabel F.2.1 Data Informan
Nama Lengkap Usia Lama tinggal Tanggal
wawancara
Cleventinus
Marcus Nong
30 tahun 21-22 Maret 2018
Valentinus 50 tahun 33 tahun 19 Juni 2018
Margaretha Dewi 23 tahun 17 tahun 9 Desember 2017
(observasi awal),
dan 25 Agustus
2018
Yohanes Argentio
Bagas
20 tahun 20 tahun 19 Juni 2018
Vincent 67 tahun 36 tahun 17 Maret 2018
Fransiskus Saverus 65 tahun 28 tahun 19 Juni 2018 dan
25 Agustus 2018
19
B. Lokasi Penelitian
Lokasi penelitian ini berada di Kampung Sawah, tepatnya berada di
Gang Maumere RT. 005 RW. 003 yang berada di Kelurahan Jatimurni,
Kota Bekasi.
F. 3 Jenis dan Teknik Pengumpulan Data
Jenis Data
Jenis pengumpulan data yang dilakukan dalam penyusunan skripsi
ini menggunakan dua jenis data, yaitu :
1) Data primer melalui pengambilan data yang diperoleh langsung
oleh penulis dari pengamatan di lapangan, observasi dan
wawancara tatap muka (face to face) yang dilakukan mendalam
dengan partisipasi melalui wawancara kelompok ataupun
wawamcara pribadi. Tipe wawancara yang dilakukan adalah
wawancara struktur (structured interview) dengan tujuan untuk
memberikan secara tepat mengenai konteks dari pertanyaan yang
diajukan, setiap informan mendapatkan stimulus dari wawancara
yang sama berdasarkan daftar pertanyaan yang sudah ditentukan
dan disusun sebelumnya (Silalahi. 2009: 313).
2) Data sekunder melalui studi kepustakaan seperti mengutip dari
buku-buku ilmiah, jurnal, skripsi, tesis, arsip pemerintahan dan
kepustakaan penunjang lainnya yang didapatkan dari buku
langsung ataupun dari sumber online, tentunya memiliki kesamaan
kasus dan informasi yang relevan untuk mendukung penelitian ini.
20
Dukungan dengan pengumpulan sumber visual seperti pengambilan
gambar, rekaman suara wawancara dengan informan serta aktivitas
gambaran kehidupan objek yang diteliti.
Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian skripsi
ini adalah dengan menggunakan sistem observasi (melalui pengamatan
awal), interview (wawancara) dan dokumentasi sebagai pelengkap.
1) Observasi (Pengamatan)
Guba dan Lincoln (dalam Lexy J Moleong. 2012: 174)
mengemukakan alasan pentingnya observasi dalam penelitian
kualitatif, karena pengamatan didasari atas pengalaman peneliti
dengan melihat dan mengalami secara langsung sebagai cara yang
baik dalam mengetes kebenaran. Kemudian peneliti mencatat
perilaku dan kejadian yang sebenarnya. Teknik observasi
(pengamatan) juga memungkinkan peneliti untuk memahami
keadaan yang rumit, apabila peneliti ingin mengamati beberapa
kejadian atau tingkah laku sekaligus.
Observasi (pengamatan) dibagi dua berdasarkan
pengamatan secara terbuka dan pengamatan tertutup. Pengamatan
secara terbuka diketahui oleh subjek penelitian dan subjek dengan
sukarela memberikan kesempatan bagi peneliti untuk mengamati
pola tingkah laku dan peristiwa yang terjadi atas dasar kesadaran
subjek yang diteliti. Sebaliknya pengamatan tertutup tanpa
21
diketahui oleh subjek yang ditelitinya atau secara diam-diam (h.
176). Dalam hal ini penulis melakukan pengamatan langsung dan
tertutup yaitu dengan menyaksikan dan mengamati sendiri,
melakukan pembauran dengan subjek kemudian penulis mencatat
perilaku yang langsung ditangkap.
2) Interview (Wawancara)
Wawancara yaitu percakapan dengan tujuan tertentu, yang
dilakukan oleh dua pihak yakni pewawancara dengan informan
yang memberikan informasi serta jawaban yang diinginkan oleh
pewawancara (Lexy J Moleong. 2012: 187). Wawancara yang
dilakukan yaitu dengan wawancara pembicaraan informal di mana
pertanyaan yang diajukan sudah disusun oleh pewawancara
(peneliti) selanjutnya secara spontanitas dalam mengajukan
pertanyaan-pertanyaan kepada informan yang ditemui dan
sebelumnya telah bersedia untuk diwawancarai (h. 187).
Suasananya yang dibuat saat wawancara dalam suasana yang
santai, informan pun tidak terhambat ketika melakukan kegiatan di
rumah sekaligus menjawab pertanyaan oleh pewawancara.
Penulis dalam mengumpulkan informan menggunakan
metode purposive guna mendapatkan target informan yang mampu
memberikan informasi berdasarkan kebutuhan dan dapat dipercara
mampu mewakili satu populasi tertentu, pemilihan juga dilakukan
berdasarkan penilaian karakteristik individu yang akan dijadikan
22
informan supaya diperoleh data yang sesuai dengan maksud
penelitian (Silalahi.2009: 273), adapun jumlah informan sebanyak
6 orang.
3) Dokumentasi
Dokumentasi menjadi salah satu item penting yang dimiliki
oleh penulis, seperti rekaman dan transkip wawancara, sumber-
sumber data yang didapatkan oleh penulis sejak dilakukan
pengamatan hingga berjalannya penelitian, seperti dokumen resmi
yang didapatkan dari pihak Kelurahan Jatimurni dan Kelurahan
Jatimelati, buku-buku dan jurnal yang berkaitan dengan tema
skripsi.
F. 4 Teknik Analis Data
Bogda dan Biklen (1982) (Lexy J Moleong. 2012: 248)
menjelaskan analisis data dalam kualitatif sebagai langkah yang dilakukan
dengan pendataan, pengorgaisasian data, memilih menjadi satuan yang
kemudian dikelola, mensintesiskan kemudian mencari dan menemukan
hal-hal penting dan dapat dipelajari sehingga dapat diinformasikan kepada
orang lain melalui tulisan penelitian.
Proses analisis data dilakukan setelah dikumpulkannya data-data
dari hasil observasi, wawancara serta data sekunder berupa studi
kepustakaan (library research) yang telah menjadi satu kesimpulan dan
menyajikan informasi yang kemudian dianalisis secara kualitatif sehingga
memperoleh gambaran yang jelas dan secara menyeluruh berdasarkan hasil
23
pengumpulan, pemahaman dan penyimpulan gejala-gejala, faktor-faktor
mengenai fenomena migrasi yang terjadi pada masyarakat Flores di
Kampung Sawah, Kota Bekasi.
G. Sistematika Penelitian
Sistematika dalam penulisan skripsi ini terdiri dari 4 (empat) bab, adapun
sistematikanya sebagai berikut:
BAB I PENDAHULUAN, berisi rancangan penelitian yang termuat
menjadi beberapa sub bab, antara lain pernyataan masalah, pertanyaan
penelitian, tujuan dan manfaat penelitian, tinjauan pustaka, kerangka
teoritis, metodologi penelitian serta sistematika penelitian.
BAB II LATAR BELAKANG SOSIAL DAN REGIONAL
MASYARAKAT KAMPUNG SAWAH, bab ini memuat penjelasan
gambaran umum mengenai sasaran penelitian yaitu Kampung Sawah yang
terletak di Kelurahan Jati Melati, Kota Bekasi, hal-hal yang berkaitan
dengan kondisi geografis dan keadaan sosial ekonomi. Serta gambaran
secara mendalam mengenai subjek penelitian yaitu masyarakat Flores yang
merupakan kelompok pendatang minoritas di Kampung Sawah, Bekasi.
BAB III ANALISIS FAKTOR PENDORONG DAN PENARIK
PERILAKU MIGRASI MASYARAKAT FLORES, bab ini merupakan
inti dari pembahasan dan analisis yang didapatkan berdasarkan data-data
primer ataupun sekunder berkaitan dengan masalah yang diambil oleh
penulis.
24
BAB IV PENUTUP, bab ini berisikan kesimpulan serta saran dari
penelitian yang telah dilakukan
Daftar Pustaka, memuat temuan kepustakaan yang digunakan untuk
melengkapi data temuan hasil yang berhubungan dengan permasalahan
yang diangkat dalam penelitian ini.
25
BAB II
LATAR BELAKANG SOSIAL DAN REGIONAL MASYARAKAT
KAMPUNG SAWAH
A. Gambaran Umum
1. Letak dan Kondisi Wilayah
Kampung sawah berada di Kecamatan Pondok Melati yang terbagi
menjadi dua kelurahan, Jatimelati dan Jatimurni. Kelurahan Jatimurni menjadi
salah satu kelurahan yang masuk ke dalam Kecamatan Pondokmelati dengan
luas wilayah secara administrasi seluas 300,500 Ha. Awalnya kelurahan
Jatimurni merupakan wilayah pemekaran Desa Jatiranggon di tahun 1982 yang
pada saat itu masuk dalam wilayan Perwakilan Jatisampurna Kecamatan
Pondokgede, Kabupaten Bekasi. (Laporan Tahunan Kelurahan Jatimurni
Tahun. 2017: 8)
Berdasarkan Pasal 67 ayat 6 UU nomor 22 tahun 1999, Desa Jatimurni
berubah statusnya menjadi Kelurahan yang diatur dalam Peraturan Daerah
Nomor 2 tahun 2003 mengenai Perubahan Status Desa menjadi Kelurahan.
Kemudian pada tahun 2005 dengan dibuat Kecamatan Pondokmelati, maka
Kelurahan Jatimurni masuk ke wilayah Kecamatan pondokmelati Kota Bekasi
(Laporan Tahunan Kelurahan Jatimurni Tahun. 2017: 8).
26
Gambar II. A. 1
Peta Kelurahan Jatimurni, Kecamatan Pondokmelati, Kota Bekasi
Sumber:https://www.google.com/maps/place/Jatimurni,+Pondokmelati,+Kota
+Bks,+Jawa,+Barat-
Kelurahan Jatimurni memiliki luas wilayah yang tercatat secara
administrasi seluas 300.500 Ha yang terdiri tanah darat seluas 274.380 Ha dan
pelataran sawah seluas 26.120 Ha. Adapun batas-batas wilayah administrasi
Kelurahan Jatimurni (Laporan Tahunan Kelurahan Jatimurni. 2017: 9) sebagai
berikut:
Sebelah timur : Kelurahan Jatiluhur Kecamatan Jatiasih
Kota Bekasi
Sebelah Barat : Kelurahan Setu Kecamatan Cipayung
Kotamadya Jakarta Timur
Sebelah Utara : Kelurahan Jatimelati Kecamatan
Pondokmelati Kota Bekasi
27
Sebelah Selatan : Kelurahan Jatiranggon Kecamatan
Jatisampurna Kota Bekasi
Kampung Sawah awalnya merupakan wilayah pertanian dengan sistem
tadah hujan, namun dengan seiring perkembangan pembangunan lahan
pertanian semakin terkikis dan beralih fungsi menjadi wilayah pemukiman
masyarakat (Buku Laporan Tahunan Kelurahan Jatimelati Kecamatan
Pondokmelati, 2017: 2).
2. Keadaan Penduduk
Menurut Laporan Tahunan Kelurahan Jatimurni (2017: 9) Kondisi
penduduk di wilayah Kampung Sawah, Kelurahan Jatimurni berdasarkan data
kependudukan hingga pendataan pada bulan Desember 2017 berjumlah 25.032
orang yang terdiri dari 12.701 jiwa berjenis kelamin laki-laki dan 12.331 jiwa
berjenis kelamin perempuan yang terdiri dari 6.258 data KK (Kepala
Keluarga). Berikut ini gambaran jumlah penduduk Kelurahan Jatimurni:
Tabel II.A.1
Jumlah Penduduk Kelurahan Jatimurni
Berdasarkan Jenis Kelamin
No Jenis Kelamin Jumlah Penduduk
2016 2017
1 Laki-laki 12.576 12.701
2 Perempuan 12.221 12.331
JUMLAH 24.787 25.032
Sumber: Laporan tahunan Kelurahan Jatimurni 2017
28
Tabel II.A.2
Jumlah Penduduk Kelurahan Jatimurni
Berdasarkan Mata Pencaharian
No Mata Pencaharian Jumlah Penduduk
2016 2017
1 Belum bekerja/tidak bekerja 2.675 2.881
2 Mengurus rumah tangga 4.875 4.980
3 Pelajar/ mahasiswa 5.243 5.449
4 Pensiunan 232 232
5 PNS 423 2.187
6 TNI 146 146
7 Polri 58 58
8 Pedagang 284 536
9 Petani 30 123
10 Peternak 3 47
11 Nelayan 2 0
12 Industry 52 407
13 Konstruksi 6 6
14 Transportasi 242 242
15 Karyawan BUMN/BUMD/Honorer 161 161
16 Karyawan swasta 4.401 4.170
17 Dosen 16 16
18 Guru 220 220
19 Wiraswasta 2.116 2.161
20 Buruh/ Harian lepas 779 779
21 Penceramah 18 18
22 Anggota DPRD 2 0
23 Bidan Swasta 0 0
24 Dokter Swasta 0 82
JUMLAH 21.984 24.901
Sumber: Laporan tahunan Kelurahan Jatimurni 2017
29
Berdasarkan tabel di atas, dapat diketahui jumlah penduduk yang
memiliki pekerjaan karyawan swasta sebagai pekerjaan yang paling banyak
dilakukan oleh penduduk Kelurahan Jatimurni yaitu berjumlah 4.170,
pekerjaan diurutan kedua yaitu Pegawai Negeri Sipil (PNS) yang mengalami
peningkatan pada tahun 2017 dengan jumlah 2.187, kemudian Wiraswasta
sebagai pilihan pekerjaan lainnya sebanyak 2.161 sehingga jika melihat dari
komposisi mata pencaharian penduduk Kelurahan Jatimurni termasuk ke
dalam masyarakat golongan kelas menengah. Kemudian jumlah penduduk
tersebut tersebar di 8 RW (Rukun Warga) dan 59 RT (Rukun Tetangga)
(Laporan Tahunan Kelurahan Jatimurni tahun 2017).
3. Sejarah dan Kondisi Masyarakat Kampung Sawah
Sejarah keberadaan Kampung Sawah pada paruh kedua abad ke-19
masuk wilayah Pondok Gede, masih berupa tanah perkebunan yang dimiliki
oleh orang Eropa saat itu, masih berupa perkebunan karet. Kondisi tanah yang
subur menjadikan Kampung Sawah hingga saat ini masih banyak ditumbuhi
oleh berbagai jenis tanaman yang masih dimanfaatkan masyarakat untuk
memenuhi kebutuhan seperi pisang, pepaya, sawo, nangka, cempedak, kecapi,
rambutan, durian, dan sebagainya, selain itu masih ada sebagian masyarakat
Kampung Sawah yang bertani sebagai mata pencaharian utama meskipun kini
jumlah lahan pertanian semakin sempit karena tergusur oleh banyaknya
perumahan yang dibangun disekitarnya. (www.servatiuskampungsawah.org/)
Seiring dengan perkembangan dalam aspek pembangunan dan ekonomi
di Kampung Sawah yang berbatasan langsung dengan DKI Jakarta dan
30
dibukanya jalan bebas hambatan (TOL JORR) membuat makin banyak
masyarakat yang tinggal di Kampung Sawah (Buku Laporan Tahunan
Kelurahan Jatimelati Kecamatan Pondokmelati, 2017: 1). Jadi memang tidak
mengherankan jika keadaan masyarakat sudah sangat heterogen sehingga
mempengaruhi latar belakang ekonomi dan pendidikan masyarakatnya.
4. Kehidupan Sosial
Kehidupan sosial masyarakat Kampung Sawah, Kelurahan Jatimurni
Kota Bekasi jika dilihat sekilas memang tidak memiliki perbedaan secara
signifikan dengan kehidupan sosial di wilayah sekitarnya, salah satunya
menjadi daerah destinasi bagi para perantau atau pendatang yang tersingkir
dari Ibu Kota Jakarta, karena letak Kampung Sawah sendiri berbatasan
langsung dengan wilayah Pondok Gede, Jakarta Timur. Kemudian seiring
dengan meningkatnya jumlah pendatang dapat menimbulkan kecemasan
tersendiri bagi penduduk Kampung Sawah yang merupakan suku asli Betawi,
karena semakin banyaknya pendatang makin banyak juga kelompok-kelompok
masyarakat yang didasari kesamaan tempat asal, suku dan etnis. Dari
kehidupan kelompok sosial tersebut akan ditemukan beragam kepentingan,
pemikiran, sikap, orientasi, yang dipertemukan dalam satu lingkungan sosial
yang disebut dengan komunitas sosial (Elly M. Setiadi & Usman Kolip.2011:
95), hingga dalam kehidupan berkelompok ditemukan berbagai wujud
kepentingan, salah satunya kepentingan sosial di mana di dalamnya terdapat
keinginan untuk merasa aman, tertib, sejahtera, dan terhindar dari segala
bentuk ancaman sehingga kepentingan dan tujuan kolektif tersebut melahirkan
31
apa yang disebut dengan identitas kelompok (Elly M. Setiadi & Usman Kolip.
2011: 96).
Anggapan bahwa kota Jakarta sebagai harapan bagi kelompok etnis di
seluruh Indonesia dalam upaya memperbaiki taraf kehidupan rupanya hingga
sekarang masih menjadi daya tarik bagi masyarakat di luar Jakarta. Padahal
sejak kepempinan Gubernur Jakarta Ali Sadikin tahun 1970 pernah
menyatakan bahwa Jakarta berusaha menutup diri bagi para migran sebagai
langkah daam menyeimbangkan jumlah populasi di Jakarta, sehingga dianggap
mampu melindungi warga asli agar tidak tergeser dengan para pendatang yang
justru mendapatkan penghidupan yang lebih baik dibandingkan warga asli
seperti menjadi pegawai pemerintahan atau mengisi berbagai posisi yang
belum dapat diisi oleh warga asli Jakarta (Ana Windarsih. 2013: 195). Namun
hingga sekarang ini keberadaan migran sulit untuk dibendung dan dikurangi
oleh pemerintah daerah, kemungkinan besar salah satu penyebab migran mau
kembali ke daerah asalnya adalah kurang bertahan (survive) dengan persaingan
ketat yang ada di Jakarta, tapi tidak sedikit juga yang masih bertahan dengan
segala kekurangan yang dimiliki baik itu secara ekonomi, modal, kemampuan
(skill) sehingga beban yang ditanggung Pemprov DKI Jakarta semakin berat.
Dari segi interaksi dan komunikasi di masyarakat Kampung Sawah
tidak ada pembeda-bedaan dan cukup membaur, apalagi jika dilihat dari segi
keagamaan Kampung Sawah menjadi wilayah yang cukup terbuka dan ramah
bagi pemeluk agama dan suku budaya berbeda.
32
5. Kehidupan Agama
Komposisi pemeluk agama di Kecamatan Pondok Melati berdasarkan
Data Sensus Penduduk tahun 2010, jumlah muslim sebanyak 109.093 orang,
umat kristiani sebanyak 12.170 orang, katolik 6.245, budha 553 orang dan
hindu sebanyak 361 orang. Berikut ini gambarannya berdasarkan tabel di
bawah ini:
Tabel II.A.3
Jumlah Penduduk Menurut Wilayah dan Agama yang Dianut
Kecamatan Pondokmelati, Kota Bekasi
Tahun 2010
No. Agama Jumlah Penganut
1 Islam 109.093
2 Kristen 12.170
3 Katolik 6.245
4 Hindu 361
5 Budha 553
6 Khong Hu Chu 26
7 Lainnya 12
8 Tidak terjawab 473
9 Tidak ditanyakan 1
Jumlah 128.934
Sumber: BPS 2010
Kampung sawah menjadi daya tarik sendiri untuk masyarakat Kota
Bekasi dan sekitarnya karena keadaan masyarakatnya yang multikultural,
sangat menjaga keharmonisan dan kerukunannya hingga saat ini. Sebagai salah
satu wilayah ikon di Bekasi dalam mewujudkan nilai-nilai Pancasila dan
persaudaraan, Kampung Sawah sudah sangat kental dengan sikap toleransi
33
yang sudah terbentuk sejak ratusan tahun dengan menjadikan keberagaman
masyarakat dalam ras, suku, agama, dan adat istiadat sebagai sebuah
keistimewaan karena masyarakat dapat hidup berdampingan dengan segala
perbedaan yang melekat.
Seperti dikutip dalam salah satu wartaberita online dengan judul artikel
Kampung Sawah Bekasi Didorong Jadi Percontohan Kerukunan Beragama
(kompas.com/1/08/2016) Direktorat Jenderal Bina Pemerintahan Desa
Kementerian Dalam Negeri mendorong Kampung Sawah, Kota Bekasi sebagai
wilayah percontohan kerukunan umat beragama. Ungkap Ketua Tim
Klarifikasi Kelurahan Kementerian Dalam Negeri David Yama (01/08/2016)
menyatakan kerukunan yang terjalin di Kampung Sawah menjadi nilai
tambahan karena terus terjaga eksistensinya hingga saat ini, dan harus
diperluas skalanya dalam upaya meningkatkan nilai-nilai kerukunan,
ungkapnya saat menjadi penilai lomba tingkat Nasional di Kampung Sawah,
Kelurahan Jatimurni, Kecamatan Pondok Melati, Kota Bekasi.
(https://nasional.kompas.com diakses pada 23/07/2018)
Salah wujud kerukunan umat beragama yang telah terjalin sangat lama
adalah berdirinya tiga bangunan rumah ibadah yang saling berdekatan, yaitu
Gereja Katolik Santo Servatius, di seberangnya berdiri Gereja Kristen
Protestan Pasundan tidak jauh setelahnya berdiri kokoh Masjid Agung Al-
Jauhar Yasfi beserta pesantren Yayasan Fisabilillah sebagai pusat kajian
keillmuan dan ibadah untuk umat islam. Ketiga rumah ibadah tersebut hingga
34
saat ini menjadi pilar bentuk keberagaman dan wujud solidaritas masyarakat
Kampung Sawah (Observasi penulis, Kampung Sawah 17/03/2018).
B. Karakter Sosial Masyarakat Flores, Kampung Sawah
Individu pada dasarnya hidup dalam kelompok yang sejenis, baik itu dari
segi kesamaan ras, etnis, pekerjaan, kesamaan taraf ekonomi dan faktor-faktor lain
yang mempengaruhinya. Hal inilah yang dilakukan oleh kelompok masyarakat
Flores yang bermigrasi ke Kampung Sawah, yang bermukim di RT. 005/ 003
mereka tinggal dan hidup dalam komunitas dengan membentuk kelompok tinggal
masyarakat sebagai upaya dalam mempertahankan populasi atau keberadaan
mereka di Kampung Sawah. Pola pemukiman yang berjaringan dan dekat satu
sama lain memudahkan mereka dalam berkomunikasi dan berinteraksi satu sama
lain.
Berdasarkan informasi yang telah penulis dapatkan menunjukkan bahwa
arus migrasi yang telah dilakukan masyarakat Flores ke Kampung Sawah semula
sebagai batu loncatan, singgah sementara mengikuti saudara yang lebih dahulu
tinggal hingga pada akhirnya menetap secara permanen. Secara terus-menerus dan
berkelanjutan, proses berjalannya waktu dan menaruh harapan terhadap daerah
yang disinggahi mendorong mereka untuk menetap dan berbaur dengan penduduk
asli.
Adapun diperkuat dengan hasil pengamatan yang menyatakan bahwa
masyarakat Flores yang tinggal di Kampung Sawah terutama di Gang Maumere
RT.005/ 003 bukanlah kelompok pendatang yang langsung datang dari daerah asal
35
yaitu tanah kelahiran mereka Flores, melainkan mereka sebelum tinggal di
Kampung Sawah mulanya telah menetap di sekitar Tangerang dan kawasan
Tanjung Priok, sebagai tenaga kerja pengangkut, sopir hingga di bagian
perkapalan.
Berikut ini merupakan pemaparan dari empat (4) informan berbeda yang
telah diwawancarai mengenai alasan kepindahan (migrasi) dan memilih Kampung
Sawah sebagai tujuan mereka:
“…… mungkin masing-masing keluarga ya beda ya, kami dulu tinggal di
Tanjung Priok, Jakarta Utara kalau alasan pindah Bapak kami karena
pergaulan di dekat pelabuhan agak seperti ya banyak nakalnya lah…..
karena Bapak saya merasa tidak aman pergaulannya. Dulu kami ada 3-4
kepala rumah tangga yang tinggal di kontrakan yang sama satu persatu
pindah.” (wawancara dengan Valentinus (50 tahun) , 19/06/2018)
“Saya tadinya tinggal di Tangerang kerjanya jauh di perusahaan pabrik
Nestle. Kebetulan mertua saya tinggal di sini ya saya akhirnya ngikut ke
sini,…. Alasan lain teman-teman di sini karena mereka nyari kerja di
Jakarta, tanah juga dulu kan masih murah, saya aja dulu beli tanah di sini
Rp. 9000 per meter…” (wawancara dengan Fransiskus Saverus (65 tahun),
19/06/2018)
“hhmm sekarang aku aja udah umur 23 tahun, udah lama sih ya. Sejak aku
SD kelas satu pindah ke sini awalnya tinggal di Priok waktu Bapak masih
kerja di sana. Kita juga dari kecil belum pernah pulang ke Flores karena
lahir di Jakarta.” (wawancara dengan Dewi (23 tahun), 9/12/2017)
“kalau yang saya tau sih dulu merantau, kerja di Jatiwaringin. Kakak-
kakak dari ayah saya juga merantau ke sini jadi ayah saya ikutan merantau.
Karena betah yaudah jadi menetap di sini jauh sebelum ayah saya ketemu
ibu saya, dari waktu bujang. “ (wawancara dengan Yohanes Argentio
Bagas, 20 tahun, 19/06/2018)
Dalam buku Strategi Migran Banjar yang ditulis oleh Taufik Arbain
(2009:103) studi kasus mengenai strategi Migrasi etnis Banjar di Kelurahan
Pahandur, Kota Palangkaraya, menjelaskan faktor penting para pendatang etnis
36
Banjar yang bekerja di sektor informal lebih memilih wilayah yang memiliki
potensi dan akses dengan sentra ekonomi terutama perdagangan, dan ikatan etnis.
Begitu pula yang terjadi di dalam masyarakat Flores, faktor yang
mendasari mereka memilih Kampung Sawah karena letaknya yang sangat strategis
dengan kota yaitu Jakarta Timur dan dekat dengan wilayah administrasi Kota
Bekasi dengan harga tanah yang pada saat itu masih terbilang sangat murah,
kemudahan akses transportasi darat yang cukup terfasilitasi dalam mendukung
berjalanya roda perekonomian, perdagangan dan akses pendidikan. Seperti
pernyataan dari salah satu informan berikut ini:
“kami awalnya kan merantau dan kerja di Tanjung Priok. Saya pindah ke
sini dulu karena tanah masih murah di tahun 1979 masih sekitar Rp. 5000/
meter….. itu juga bermula ajakan dari teman-teman yang lebih dulu tinggal
di sini sesama orang flores. Dulu juga kan kami untuk air aja di Tanjung
Priok itu kan beli, kalau di sini kan tidak beli, gereja dekat, sekolah juga
dekat.” (Wawancara dengan Vincent (67 tahun), 17/03/2018)
Salah satu hasil dari pengidentifikasian keberadaan kelompok masyarakat
Flores di Kampung Sawah yaitu penamaan sebuah gang atau jalan kecil yang
menuju pemukiman RT. 005/ 003 di mana paling banyak populasi orang-orang
yang berasal dari suku Flores, Nusa Tenggara Tengah yang dinamai Gang
Maumere. Penulis sempat menanyai dan mencari tahu alasan dibalik pemberian
nama gang tersebut, berikut dengan proses terjadinya yang ternyata ide penamaan
tersebut. Seperti yang dipaparkan oleh salah satu migran asal Flores, berikut ini:
“untuk pemberian nama gang di sini awalnya dulu hanya jalan setapak,
awalnya karena keisengan remaja-remaja flores yang dulu suka berkumpul
dan main di pos depan gang yang sekarang sudah dibongkar, lalu karena
semakin diketahui warga lainnya mereka izin ke saya dan meminta saran
pada saya. Karena saya pikir untuk orang lewat saja susah karena sempit,
37
jadi saya membuka jalan dulu dari pihak perumahan yang sekarang ini
dibangun dengan meminta sedikit kepada bapak H. Agus untuk dihibahkan
itu sekitar 4-5 tahun lalu ya paling tidak supaya ambulans masuk kalau ada
warga saya yang kenapa-kenapa. Kemudian saya membuat surat
permohonan resmi dari saya sendiri dengan luas tanah yang dihibahkan 45
meter untuk pembuatan gang masuk ke sini. Pemberian nama sendiri oleh
remaja flores dengan nama Gang Maumere atas persetujuan saya. Selain
itu juga sebagai identitas dari wilayah ini supaya saudara atau kerabat yang
datang mengetahui dengan mudah untuk mencari alamat.” (wawancara
dengan Cleventinus Marcus Nong, 22/03/2018)
Melalui hasil pengamatan didapatkan bahwa penamaan Gang Maumere
dari prosesnya hingga berdiri plang jalan tidaklah semudah yang dibayangkan,
karena melalui proses yang cukup panjang dalam perizinan kepada pihak lain yang
sebelumnya sudah membeli tanah termasuk jalan yang sekarang ini sering dilalui
oleh warga dan menjadi akses jalan utama.
“iya ini ada ceritanya nih. Kan sering ya anak-anak muda kami kumpul-
kumpul di bawah, saya juga ada itu. Tiba-tiba beberapa anak muda nih
yang lagi kumpul langsung aja corat coret tembok pembatan dengan
kompek dengan tulisan-tulisan Maumere. Kebetulan juga dulu kan banyak
ya di depan jalan orang yang mengontrak itu orang-orang Maumere tapi
lama-lama ya mereka pindah juga karena udah dapat kerja atau mungkin
rumah di tempat lain. Tapi tetap jalan maumere ini jadi identitas kami yang
orang Maumere, Flores. awalnya sih ya iseng-iseng lalu sama Marcus ya
dikasih izin dan dipermudah sampai sekarang lah itu ada plang jalan
namanya jalan Maumere. Ya sekitar 3 -4 tahun lalu lah.” (wawancara
dengan Fransiskus Saverus (65 tahun), 19/06/2018)
Masyarakat Flores yang tinggal di RT. 005/003 umumnya masih memiliki
garis hubungan kekerabatan, saudara dekat atau saudara satu kampung. Hal ini
karena banyaknya masyarakat Flores khususnya remaja-remaja asal Flores yang
merantau untuk mendapatkan peluang pekerjaan dan mengejar pendidikan, selain
itu, kuatnya pengaruh dan ajakan kerabat yang sudah mendapatkan keberhasilan
dan kesuksesan di Ibu Kota Jakarta maupun di wilayah sekitarnya semakin
38
membuka peluang mereka untuk mengikuti jejak dalam mencapai kehidupan yang
lebih baik.
Keberadaan kelompok masyarakat Flores yang semakin berkembang di
Kampung Sawah tentunya memiliki sosok yang dijadikan sebagai center (pusat)
yang bertanggungjawab atas keberlangsungan dan keberadaan kelompoknya
dengan memberikan segala bentuk jaminan, akses, peluang dan membentuk norma
yang harus dipatuhi sebagai upaya mempertahankan eksistensi kelompok di
tengah kelompok masyarakat yang lebih mayoritas tentunya untuk menghindari
segala bentuk pergesekan (baik itu konflik etnis, budaya atau agama) yang apabila
terjadi akan semakin menggeser keberadaan masyarakat Flores di Kampung
Sawah, Kota Bekasi.
Saling menghargai dan menghormati kebudayaan masyarakat asli
merupakan kunci dalam upaya mempertahankan eksistensi kelompok masyarakat
Flores ditengah-tengah banyaknya masyarakat betawi dan jawa.
39
BAB III
FAKTOR PENDORONG (PUSH FACTOR) DAN FAKTOR PENARIK
(PULL FACTOR) MIGRASI MASYARAKAT FLORES DI KAMPUNG
SAWAH, KOTA BEKASI
A. Faktor Pendorong (push Factor) dari Daerah Asal
A.1 Faktor Fisik: Ekologi
Mochtar Naim (2013: 247), risetnya mengenai migrasi suku
Minangkabau dalam bukunya berjudul Merantau: Pola Migrasi Suku
Minangkabau berupaya mengaplikasikan faktor-faktor lokasi atau ekologi
daerah asal terhadap kelompok masyarakat migran dari daerah lain. Hal
yang dimaksud dengan faktor lokasi yaitu jauh-dekatnya dari pusat-pusat
kegiatan politik atau kegiatan ekonomi, dinyatakan bahwa masyarakat yang
berada jauh dari pusat kegiatan ekonomi dan politik akan lebih kuat
dorongannya untuk merantau atau bermigrasi. Faktor-faktor ekologi seperti
keadaan pertanian dalam mempertahankan keberlangsungan hidup semakin
lama semakin ditinggalkan, sebab itu apabila tanah tidak lagi cukup
memberikan kehidupan yang layak dengan segala kebutuhan yang kian hari
terus bertambah maka kuat dorongan seseorang untuk bermigrasi.
Provinsi Nusa Tenggara Timur merupakan salah satu wilayah
kepulauan di Indonesia yang terdiri dari 566 pulau besar dan pulau kecil, di
dalamnya terdiri dari wilayah Pulau Flores, Pulau Sumba, Pulau Rote, Pulau
Alor dan sebagainya. Iklim di Provinsi NTT termasuk tropis kering dengan
40
intensitas kemarau lebih panjang yakni ±8 bulan pertahun, yang
menyebabkan kurang suburnya lahan pertanian karena penyebaran curah
hujan yang lebih tidak merata (Noor Zana: 4). Berdasarkan data yang
tercatat dalam web resmi BPS data sensus pertanian tahun 2013 mengenai
jumlah usaha pertanian menurut wilayah tahun 2013 di Nusa Tenggara
Timur, komposisi pertanian rumah tangga di Flores Timur mengalami
perluasan periode 2003-2013, sebagai berikut ini:
Tabel III. A.1.1
Jumlah Usaha Pertanian menurut Wilayah dan Pelaku Usaha Tahun
2003 dan 2013 Provinsi Nusa Tenggara Timur
Nama Kabupaten/Kota
Usaha Pertanian
Rumah Tangga Usaha Pertanian (RumahTangga)
Tahun
2003 2013
16,695 01 Sumba Barat 15,533
02 Sumba Timur 32,963 36,955
03 Kupang 52,156 57,103
04 Timor Tengah Selatan 91,454 101,068
05 Timor Tengah Utara 43,424 44,986
06 Belu 57,204 57,865
07 Alor 31,346 31,498
08 Lembata 20,241 21,618
09 Flores Timur 38,716 38,953
10 Sikka 46,332 46,717
11 Ende 40,245 36,278
12 Ngada 22,468 24,001
13 Manggarai 44,487 48,233
14 Rote Ndao 21,902 21,577
15 Manggarai Barat 35,082 41,512
16 Sumba Tengah 10,341 11,663
17 Sumba Barat Daya 37,798 46,346
18 Nagekeo 21,130 22,614
19 Manggarai Timur 43,743 49,409
41
Sumber: Data Sensus Pertanian, BPS 2013
Keadaan luas tanah yang ada di Nusa Tenggara sekitar 67.000 km2
(NTB 20,000 km2
dan NTT 47.000 km) dengan berbagai permasalahan
ekologi dan lingkungan, rentan terhadap bencana alam seperti gunung
berapi dan gempa bumi (James Roshetko dan Mulawarman. 2002: 2).
Meski Kepulauan Nusa Tenggara menjadi salah satu wilayah tergesang,
kurang pangan dan air di wilayah kepulauan Indonesia ternyata menyimpan
kekayaan alam khususnya potensi mineral yang kurang digali dan
dipergunakan pemerintah untuk sumber penghidupan rakyatnya seperti
pertanian, peternakan, perikanan dan pariwisata padahal sebelumnya
diketahui melimpahnya potensi mineral seperti mangan, marmer, emas,
minyak bumi, biji besi dan potensi mineral lainnya (Herry Naif dalam
https://Walhintt.wordpress.com).
Riset yang mengangkat mengenai kemiskinan dan ketahanan pangan
di NTT salah satunya Jonatan A. Lassa (2008: 40), bahwa argumentasi
sosiologi mengenai perilaku merujuk pada karakter orientasi daratan
dikatakan sebagai faktoa empirik dari minimnya pemanfaatan sumberdaya
kelautan di NTT yang melimpah. Kekeringan dan keterbatasan alam kerap
dijadikan adu domba oleh beberapa pengambil kebijakan yang tidak
menciptakan pangan dalam upaya menjamin ketahanan pangan dan gizi
bagi rumah tangga masyarakat di kepulauan Nusa Tenggara Timur, yang di
20 Sabu Raijua 14,824 15,840
71 Kota Kupang 8,094 7,923
Provinsi Nusa Tenggara
Timur 0 0
42
dalamnya termasuk Pulau Flores. Dalam riset tersebut dijelaskan kurun
empat tahun terakhir kontribusi tanaman pangan (food crops) terhadap
Pendapatan Domestic Regional Bruto (PDRB) di Kepulauan NTT turun
drastis lebih dari 53.7% pada akhir tahun 1960-an hingga pada tahap 21% di
tahun 2006, hal tersebut terjadi karena menurun drastisnya bantuan
pertanian terhadap PDRB yang semakin beralih ke sektor non-pertanian dan
menurunnya produksi pertanian di kepulauan NTT yang disebabkan
kekeringan oleh badai El Nino saat itu (Jonatan Lassa. 2008: 31).
Kepulauan Nusa Tenggara termasuk pulau Flores, sebagian
penduduknya tinggal di pedesaan, khususnya orang tua yang masih belum
fasih menggunakan Bahasa Indonesia karena jaraknya yang cukup terisolasi
dari daerah lain yang memiliki kepadatan penduduk lebih. Infrastruktur
seperti jalan, instansi pendidikan seperti gedung sekolah, fasilitas kesehatan
dan layanan pemerintah lebih tertinggal dan terbatas dibandingkan daerah
lain (Roshetko dan Mulawarman. 2002: 3).
Roshetko dan Mulawarman (2002 :2) menjelaskan meskipun
sebagian besar penduduknya bergantung pada sektor pertanian, hal tersebut
berbanding terbalik dengan kondisi ekologi yang cukup serius karena
sebagian besar tanah di seluruh Kepulauan Nusa Tenggara memiliki fungsi
terbatas untuk pertanian.. Meskipun sifat fisik dan kimia tanahnya beragam
bentuk wilayah yang bergunung, ketinggiannya miring, tanah dangkal dan
curah hujan rendah membatasi produktivitas tanah.
43
Sebab itu beberapa informan ketika ditanyai alasan-alasan
kepindahan mereka dari Maumere, Flores faktor alam menjadi salah satu
pendorong yang cukup kuat karena dari beberapa informan yang didapatkan
berasal dari keluarga yang kesehariannya berladang ataupun bertani,
sehingga berupaya mencari jalan untuk perlahan mencari peruntungan
dengan meninggalkan kampung halamannya. Karena peluang mendapatkan
pekerjaan sulit dan kesempatan untuk memilih pekerjaan pun sangat
terbatas dibandingkan di perkotaan, seperti yang dinyatakan oleh Marcus
Nong:
“oh ya jelas faktor daerah asal mempengaruhi kita-kita ini untuk
merantau, karena pekerjaan susah, kalau tidak bertani ya jadi buruh.
Apalagi opung saya sampai orang tua merawat kebun atau ternak.”
(Wawancara pada 22/03/2018)
Pernyataan seperti itu diperkuat oleh Vincent (67 tahun) yang
berpindah ke Kampung Sawah dengan latar belakang keluarganya sebagai
penggarap lahan di daerah asalnya yaitu Maumere, Flores.
“Pindah ke sini? ohhh enggak, ke Kampung Sawah ini tadinya kan
dari Tanjung Priok ketika muda. Dulu kan di sana ngontrak per
bulannya tahun 1975-1976 itu masih murah. Dulu saya waktu di
flores bantu orang tua punya lahan untuk digarap saja.” (wawancara
pada 17/03/2018)
Membangun perekonomian di daerah asal dengan hanya melakukan
kegiatan yang dijalankan keluarga seperti bertani ataupun merawat ladang
dan ternak dengan segala keterbatasan dan kekurangan yang ada, dianggap
tidak cukup untuk memenuhi segala kebutuhan primer oleh sebab itu
kenyataan bahwa harus keluar dari zona aman harus dilakukan oleh mereka.
44
A.2 Ekonomi dan Lapangan Pekerjaan
Kehidupan manusia dikelilingi oleh beragam aspek, salah satu yang
paling banyak dibahas dan dikaitkan adalah aspek ekonomi. Menjadi sesuatu
hal yang wajar jika seseorang bertindak rasional apabila bersangkutan
dengan ekonomi, baik itu mengenai untung dan rugi. Rasa haus individu
terhadap upaya mencapai titik kepuasan dan kebutuhan akan terus muncul
dan tidak akan segan untuk meninggalkan rumahnya (kampung halaman)
untuk mendapatkan kepuasan dan kebutuhan yang diinginkan tersebut.
Aspek-aspek ekonomi lah yang menjadi pendorong kuat kelompok
masyarakat Flores dalam bermigrasi atau merantau. Baik itu ke Tanjung
Priok hingga pada akhirnya memilih untuk tinggal lebih lama di Kampung
Sawah, Kota Bekasi. Seperti pernyataan salah seorang informan yaitu
Marcus Nong yang juga berperan dalam mengajak ataupun membawa
remaja-remaja asal Flores untuk bermigrasi dan tinggal di dalam
kelompoknya, Masyarakat Flores Kampung Sawah dengan beragam tujuan.
Seperti yang dikatakan oleh informan, “….. Saya bawa 9 orang dari Flores
tahun 1990 untuk tinggal di sini.” (wawancara pada 22/03/2018). Kemudian
secara perlahan hingga saat ini banyak masyarakat Flores yang tinggal di
Kampung Sawah juga mengikuti dengan mengajak saudara dan kerabatnya.
Selain karena mencari pekerjaan, kebanyakan masyarakat Flores
yang memilih meninggalkan Flores di antara lain seperti untuk mengejar
pendidikan, terutama remaja-remaja yang menginginkan sekolah ke jenjang
45
yang lebih baik. Seperti yang ditambahkan oleh Marcus Nong dalam
wawancara yang dilakukan:
“biasanya untuk mencari pekerjaan, sekolah (masuk universitas)
kadang-kadang hanya untuk main ke rumah saudara, paling mereka
biasanya ngontrak.” (wawancara pada 21/03/2018)
Namun, semuanya kembali lagi kepada kemampuan (skill),
pengalaman dan kesanggupan mereka untuk bermigrasi. Tiidak jarang
mereka yang sudah pergi meninggalkan kampung halamannya di Flores
karena ketidakmampuannya untuk bertahan (survive) terhadap persaingan
yang sangat ketat di perkotaan dengan minimnya bekal yang mereka miliki,
khususnya di Bekasi sebagai kota yang dipenuhi dengan kegiatan industri
sekaligus sebagai salah satu penyangga roda perekonomian Ibu Kota Jakarta.
Seperti pernyataan salah satu informan beriku ini:
“ya mereka biasanya ngontrak yang kebetulan sedang kosong
mereka tempati sambil menunggu kerja. Mereka ini biasanya datang
diajak karena alasan kerja, tapi tidak sedikit juga yang frustasi
karena tidak dapat kerja akhirnya mereka pulang lagi ke Flores
karena mereka kalah saing,” (Wawancara Valentinus (50 tahun),
19/06/2018)
Selain itu kemampuan beradaptasi di lingkungan baru juga sangat
diperlukan, sebagai upaya untuk dapat bertahan (survive) terhadap
kebudayaan, kebiasaan, norma-norma di lingkungan yang baru mereka
kunjungi dan pada akhirnya menetap.
“tentu ya itu sangat berpengaruh besar sekali. Ya lingkungan aja kan
kita orang baru di sini, Bahasa pun kita awalnya perlu pemahaman
lagi ya.” (Fransiskus Saverus, (65 tahun), wawacara pada
19/06/2018)
46
Noo Zana (tanpa tahun: 4) dalam analisisnya menurut pandangan
masyarakat Flores, Nusa Tenggara Timur bermigrasi ataupun merantau
menjadi tradisi turun temurun, karena jika ibu ataupun ayah mereka
sebelumnya pernah melakukan migrasi baik itu ke luar pulau ataupun
menjadi Tenaga Kerja Indonesia (TKI) maka mereka yang masih muda-
muda akan mengikuti jejak langkah orang tuanya. Dengan segala harapan
dan bayangan-bayangan yang didapatkan dari pendahulu mereka tentang
“keindahan” di daerah tujuan migrasi.
B. Faktor Penarik (Pull Factor)
B. 1 Ikatan Primordial di Daerah Tujuan
Ikatan primordial berakar dari identitas yang dimiliki para anggota
suatu kelompok etnis, seperti tubuh, nama, Bahasa, agama ataupun
kepercayaan sejarah dan asal usul (adat istiadat), identitas dasar tersebut
sebagai sumber acuan bagi para anggota kelompok etnis dalam melakukan
interaksi sosial (Yoseph Yapi Taum. 2006: 3). Salah satu tradisi atau
kebiasaan masyarakat Flores adalah tinggal berdekatan dengan komunitas
kelompoknya, termasuk ketika mereka melakukan migrasi ke luar wilayah
tanah kelahiran mereka.
Identitas kelompok sebagai sumber ikatan primordial yang lahir
dari hubungan keluarga atau hubungan darah (keturunan), ras, lingkungan
kepercayaan, yang melahirkan ikatan emosional anggota-anggotanya
(Yoseph Yapi Taum. 2006: 3). Seperti halnya ikatan kekerabatan kelompok
masyarakat Flores, Nusa Tenggara Timur sangat kuat sehingga ketika
47
mereka tidak lagi berada di tanah kelahiran, kolektivitas kelompoklah yang
mengikat dan menyatukan mereka. Secara naluri pun ketika mereka datang
ke daerah tujuan akan langsung datang ke rumah keluarga, kerabat ataupun
kenalan yang berasal dari daerah asal yang sama.
Fenomena yang terjadi pada kelompok masyarakat Flores di
Kampung Sawah menurut penulis sangat cukup menggambarkan bagaimana
ikatan primordial dan identitas kelompok masyarakat Flores ini sangat
berpengaruh kuat. Sudah tergambarkan sebelumnya dalam BAB II penelitian
ini bahwa kelompok masyarakat Flores tinggal dan hidup membentuk
pemukiman yang saling berjejaring dan berdekatan di RT. 005/003 sebagai
upaya untuk mempertahankan populasi dan keberadaan mereka sehingga
memudahkan mereka untuk berkomunikasi dan berkumpul satu sama lain di
mana hampir semua masyarakat Flores yang tinggal di wilayah tersebut
masih memiliki hubungan kekeluargaan ataupun kenalan (kerabat). Seperti
informasi yang telah didapatkan berikut ini:
“(lalu selain adik bapak, siapa lagi saudara yang tinggal di sini?)
banyak, ada sepupuh-sepupuh paman dan bibi saya, tahun 1992
banyak itu yang pindah ke sini.” (Wawancara Marcus Nong,
22/03/2018)
Kemudian didukung dengan pernyataan informan lain yang ketika
dulunya tinggal di Tanjung Priok dengan beberapa kepala keluarga lainnya
secara hampir bersamaan pindah satu persatu ke Kampung Sawah:
“mungkin masing-masing keluarga ya beda ya, kami dulu tinggal
di Tanjung Priok, Jakara Utara kalau alasan pindah Bapak kami
karena pergaulan di dekat pelabuhan agak seperti ya banyak
nakalnya lah…. Dulu kami ada 3-4 kepala rumah tangga yang
48
tinggal di kontrakan ang sama satu persatu pindah.” (Wawancara
Valentinus (50 tahun), 19/ 06/2018)
Sebagai anak muda yang mengikuti orang tuanya tinggal di
Kampung Sawah, Bagas (20 tahun) juga turut menceritakan bagaimana
keluarganya dapat tinggal di lingkungan masyarakat Flores Kampung
Sawah, yaitu karena ajakan dari saudara dan kerabat yang sudah lebih dulu
tinggal ketika ayah Bagas masih sendiri (bujang) hingga menikah dan
memiliki keluarga sendiri.
“kalau yang saya tau sih dulu merantau, kerja di Jatiwaringin.
kakak-kakak dari ayah saya juga merantau ke sini jadi ayah saya
ikutan merantau. Karena betah yaudah jadi menetap di sini jauh
sebelum ayah saya ketemu ibu saya, dari waktu bujang.”
(Wawancara Argentio Bagas (20 tahun), 19/06/2018)
Selain itu, dengan penamaan gang yang menghubungkan akses
menuju rumah-rumah masyarakat Flores sesuai dengan daerah asal mereka
lahir yaitu di Maumere, Flores Nusa Tenggara Timur. Dalam wawancara
yang dilakukan dengan salah satu informan:
“Pemberian nama sendiri oleh remaja Flores dengan nama Gang
Maumere atas persetujuan saya. Selain itu juga sebagai identias dari
wilayah ini supaya saudara atau kerabat yang datang mengetahui
dengan mudah untuk mencari alamat.” (wawancara Marcus Nong,
22/03/2018)
Penamaan jalan tersebut tentunya semakin memberikan akses atau
kemudahan bagi para pendatang baru asal Flores untuk mencari alamat
kerabat atau saudara mereka. Selain itu penamaan gang awal mulanya
sebagai penanda bagi masyarakat di sekitarnya bahwa di rt. 005/003
mayoritas adalah masyarakat dari Maumere, Flores, seperti yang diabadikan
oleh penulis dalam dokumentasinya.
49
Gambar III.B.1.1
Gang Maumere Rt. 005/003 Kelurahan Jatimurni, Bekasi
Sumber: dokumen pribadi penulis
Gambar III.B.1.2
Tembok Pembatas wilayah RT. 005/003 dengan Komplek
Sumber: dokumen pribadi penulis
Dalam salah satu wawancara yang dilakukan oleh seorang
masyarakat asli Flores yang sudah sangat lama tinggal di Kampung Sawah
selama 28 tahun, menjelaskan bagaimana ketika remaja-remaja Flores
dengan keisengan mereka menamai batas wilayah tersebut dengan mencoret-
coret tembok (Gambar III.B1.2).
“tiba-tiba beberapa anak muda nih yang lagi kumpul langsung aja
corat coret tembok pembatas dengan komplek dengan tulisan –
tulisan Maumere. Kebetulan juga dulu kan banyak ya di depan
jalan orang-orang yang ngontrak itu orang-orang Maumere tapi
50
lama-lama ya mereka pindah juga karena udah dapat kerja atau
mungkin rumah di tempat lain.” (Wawancara dengan Fransiskus
Saverus (65 tahun), 19/03/2018)
Meskipun sekarang ini keberadaan masyarakat Flores di Kampung
Sawah sudah berkurang dan banyak juga masyarakat dari daerah lain yang
datang dengan tujuan yang sama yaitu mencari tempat tinggal dan mencari
kesempatan hidup yang lebih baik tidaklah mengubah keadaan, karena
eksistensi masyarakat Flores masih belum tergantikan. Seperti pernyataan
Fransiskus Saverus ketika diwawancarai:
“tapi tetap jalan Maumere ini jadi identitas kami yang orang
Maumere, Flores.” (wawancara pada, 19/03/2018)
Kemudian penamaan gang yang sesuai dengan tanah asal
masyarakat Flores sudah dianggap menjadi identitas mereka, juga diakui
oleh salah seorang informan yang sudah tinggal selama 17 tahun mengikuti
orang tuanya di wilayah Kampung Sawah, spesifiknya di RT.005/003
Kelurahan Jatimurni. Meskipun ia menyadari bahwa mereka adalah
kelompok minoritas di wilayah Kampung Sawah dan lebih banyak warga
yang berasal dari suku Betawi asli Kampung Sawah dan berasal dari Jawa :
“Ya kurang lebih cukup banyak (populasi masyarakat Flores di
RT.005/003). Tapi tetap sih paling banyak kan orang betawi asli sini
sama warga yag dari jawa. Kalau Flores karena kami cuma
pendatang-pendatang aja sih, tapi kebetulan banyak yang sudah
menetap lama ya Mba.” (wawancara Dewi (23 tahun), 23/08/2018)
Selain itu kegiatan kumpul-kumpul untuk sekedar berinteraksi
sampai melakukan kegiatan penting seperti pesta pernikahan, dan acara lain
yang sarat dengan adat istiadat Flores juga kerap dilakukan.
51
“iya masih ada, kami kalau ada kegiatan suka kumpul seperti
latihan meniup suling atau gendang. Dan seperti alat musik lain
seperti gong itu hanya flores asli yang bisa memainkannya, kami
yang keturunan campuran flores jawa belum terlalu mengerti.
Tadinya hanya nostalgia saja, sebagai wujud romantisme untuk
mengenang orang tua kita di ajak bisa tau yang namanya kesenian
flores, Paling banyak ya paling dua puluh orang lah yang masih
suka kumpul, kami juga bingung setelah generasi kami siapa lagi
yang melanjutkan. Ya mungkin saja nanti hanya cerita, karena beda
pada jaman sekarang hiburan ya mengikuti orang tua. Beda dengan
sekarang sangat sulit untuk mengenalkan alat tradisional yang
dianggap kuno oleh remaja sekarang.” (wawancara Valentinus
(50tahun), 19/06/2018)
Kebiasaan-kebiasaan tersebut salah satu yang masih sering
dilakukan yaitu dengan melakukan latihan-latihan dengan alat musik
tradisional Flores yang dibuat dan dikirimkan langsung dari tempat asal
pembuatannya. Apalagi sebagai bentuk nostalgia dalam mengobati rasa
rindunya dengan kampung halaman. Seperti informasi yang didapatkan
penulis:
“ohh, kita ada kesenian seperti suling. Tapi itu juga tidak asli Flores
lagi karena sudah mengalami perubahan dan penyesuaiana….. ya
enggak (pembuatan alat musik), itu dikirim dari Flores. Enggak ada
itu di sini pembuatannya.” (wawancara Fransiskus Saverus, 65
tahun, 25/08/2018)
Taufik Arbani (2009: 24) menjelaskan faktor-faktor demografi
seperti usia, jenis kelamin, status pernikahan, jenjang pendidikan,
pendapatan ataupun pekerjaan, serta faktor lamanya tinggal di suatu wilayah
termasuk dalam karakteristik pemukiman apakah homogen atau heterogen,
dan mempengaruhi pilihan alternatif seseorang dalam konteks komunitas
etnis ataupun agamanya untuk dapat menyesuaikan diri di mana ia berada.
Kelompok etnis Banjar di Kota Palangkaraya dalam penelitian Taufik Arbani
52
(2009: 24) yang berstatus pendatang akan membentuk simbol-simbol
tertentu untuk membedakan dengan kelompok lain dan memunculkan rasa
yang berbeda untuk dapat dihargai dan diakui keberadaannya.
Sama halnya dengan fenomena yang penulis temukan (kesamaan
etnis, jenis pekerjaan, tingkat pendidikan dan asal tempat tinggal di
masyarakat Flores) mereka kerap melakukan kegiatan-kegiatan kumpul
sebagai simbol kebersamaan mereka. Sebagai tujuan menjaga ikatan
primordialnya dalam momen-momen tertentu dimanfaatkan untuk saling
bertemu dan mempererat ikatan. Informasi yang diberikan oleh Dewi (23
tahun) yang mengatakan:
“Biasanya menjelang natal untuk kami Flores yang Katolik,
biasanya kegiatan kumpulnya di Matraman, Jakarta Pusat jadi
seluruh Maumere mau yang asalnya Manggarai, Flores atau yang
dari Lembata gitu.” (25/08/2018)
Informasi lainnya yang ditemukan ketika ditanyai perwakilan dari
kelompok masyarkat Flores di Kampung Sawah yang menghadiri maupun
menjadi salah satu panitia atau yang sibuk mengurusi kegiatan tersebut
informan menambahkan:
“Jarang sih mba, soalnya enggak semuanya mau ikutan kumpul
juga karena alasan jauh atau sebagainya gitu ya. Paling yang ber
tittle atau yang punya pengaruh aja yang jadi panitia terus
mengkoordinir warga kami.” (wawancara dengan Dewi (23 tahun),
25/08/2018)
Untuk memudahkan komunikasi di dalam kelompoknya,
penggunaan Bahasa daerah pun masih kerap digunakan dalam komunikasi
sehari-hari. Meskipun untuk fenomena saat ini banyak masyarakat Flores
yang menikahi pasangannya berasal dari suku budaya yang berbeda sehingga
53
keturunan-keturunan mereka sedikit yang memahami Bahasa keturunan
keluarga yaitu Bahasa Flores. Dalam hasil wawancara menjelaskan:
“iya kalau sedang mengobrol ya masih dipakai, misalnya nih “nona
manise” artinya nona manis, seperti ucapan salam atau percakapan
lainnya ya sering dipakai. Ini kalau Maumere campuran ya mereka
agak sedikit paham lah.” (Wawancara dengan Fransiskus Saverus (65
tahun), 19/06/2018)
Tambahan informasi lainnya oleh informan yang merupakan
keturunan Jawa dan Flores ketika ditanyai kebiasaan yang masih sering
diterapkan salah satunya penggunaan Bahasa Flores:
“ya masih untuk orang tua, kalau saya yang masih muda paham
sedikit-sedikit ketika mereka bicara pakai Bahasa Flores. Tapi saya
ketika ditanya atau menjawab dengan Bahasa Flores yang tidak bisa.”
(Wawancara dengan Dewi, 25/08/2018)
Kebiasaan atau aktivitas yang dilakukan oleh masyarakat Flores di
Kampung Sawah seperti penggunaan Bahasa daerah, ataupun melakukan
kegiatan-kegiatan yang sarat dengan adat istiadat sebenarnya merupakan
cara atau strategi adaptasi yang dilakukan oleh pelaku migran tersebut,
seperti yang dikatakan oleh Siti Maisaroh (2016: 8) dalam jurnalnya berjudul
Networking Etnisitas Sebagai Modal Sosial Etnis Madura di Perantauan
bahwa tidak sedikit pengalaman dari pelaku migran ketika menginjakkan
kaki di lingkungan baru, meskipun segala persiapan baik dari mental ataupun
materil seringkali merasa terkejut ketika menyadari bahwa lingkungan
barunya begitu berbeda dengan lingkungan tempat tinggal daerah asalnya.
Reaksi tersebut sebagai bentuk kejutan atau gegar budaya (culture shock)
sebagai keadaan yang alami dialami oleh setiap orang yang berada di dalam
54
kebudayaan, kebiasaan dan lingkungan baru yang belum pernah ia temui
sebelumnya.
Dengan begitu dalam menghadapi culture shock kelompok
masyarakat Flores harus melakukan perlawanan terhadap kerisauan dalam
dirinya dengan menganggap lingkungan barunya sebagai rumah kedua
(second home) caranya seperti yang mereka lakukan yaitu menciptakan
lingkungan yang berkelompok, masih menggunakan Bahasa Flores dalam
percakapan sehari-hari, tetap melakukan kegiatan ataupun acara yang sarat
dengan kebiasaan di tempat asalnya, Flores, dan menciptakan kehidupan
serta menjaga kerukunan dengan kelompoknya, baik itu kerabat dan tetangga
demi keberlangsungan hidup yang seperti mereka harapkan untuk
mengurangi rasa keterasingan dengan lingkungan baru.
Ikatan yang menjadikan sebuah kesatuan manusia menjadi suatu
yang disebut dengan “masyarakat” adalah pola perilaku yang khas dalam
tiap faktor kehidupan, memiliki kontinuitas waktu dengan kata lain sudah
menjadi suatu momen rutin yang dilakukan (Koentjaraningrat. 2009:117),
momen-momen seperti itulah yang menjadi daya faktor penarik (pull factor)
bagi mereka yang hendak bermigrasi dan sekaligus mengikat hubungan
terutama semakin memiliki kemesraan, menciptakan rasa identitas yang
kuat, dan dapat merasakan kenyamanan meskipun berada di tengah-tengah
mayoritas masyarakat lain di lingkungannya.
55
B. 2 Pemberian Jaminan Akses dan Kesempatan Kerja
Faktor penarik (pull factor) yang muncul ketika seseorang melakukan
migrasi biasanya karena daya tarik akses pekerjaan yang lebih banyak
pilihan baik itu berupa sektor formal maupun sektor informal di kota tujuan,
namun jika hanya mengandalkan kemampuan (skill), kepercayaan diri dan
pengalaman tidak cukup terbantu juga tidak ada link atau jaringan yang
menolong. Keberadan masyarakat Flores di Kampung Sawah terjadi erat
kaitannya dengan hubungan kekerabatan yang telah terbangun, seperti
halnya jaringan lapangan pekerjaan, dengan memberikan peluang bagi
mereka yang telah disiapkan sebagai mitra atau tenaga kerja dengan segala
jaringan, akses dan status yang dimiliki kerabatnya yang sudah lebih dulu
merasakan keberhasilan. Kemudian tempat tinggal, tidak dapat dipungkiri
bahwa apabila kerabat khususnya remaja-remaja asal Flores yang datang
untuk tinggal sementara atau mungkin menetap lama maka akan disediakan
dan dicarikan tempat tinggal yang berdekatan dengan komunitas masyarakat
Flores dengan pengawasan dan perlindungan masyarakat Flores lainnya yang
sudah tinggal jauh lebih lama agar tidak membuat ulah dengan masyarakat
lain di lingkungan barunya sebagai bentuk tanggung jawab.
Seperti dalam hasil wawancara dengan salah satu remaja asal Flores
yang mendapatkan akses pekerjaan di salah satu kegiatan perkapalan dari
salah satu kerabatnya yang sudah mendapatkan kesuksesan berikut ini:
“saya kerja di perkapalan. saya ikut anaknya bapak Marcus kerja di
perkapalan. ini aja saya baru beberapa minggu pulang jadi masih
agak binggung (mabuk laut).” (wawancara dengan Yohanes Argentio
Bagas (20 tahun), 19/06/2018)
56
Ditambah lagi dengan informasi yang diungkapkan oleh Vincent (67
tahun) yang menyatakan selain memberikan akses lapangan pekerjaan, salah
satu warga Flores yang juga menjadi informan penulis membuka peluang
lapangan pekerjaan yang ia miliki. Karena basic nya memiliki kegiatan
usaha.
“kalau seperti Bapak Marcus sendiri yang memang asli dari Flores,
suka mendatangkan anak-anak muda asalh Flores untuk mencari
kerja….” (wawancara 17/03/2018)
Kemudian informan menambahkan dalam wawancaranya:
“…. Dia (Marcus) mampu menyediakan lapangan kerja bagi remaja-
remana Flores karena dia kan punya usaha pembuatan drum-drum
besar.” (wawancara Vincent (67 tahun), 17/03/2018)
Tidak terbantahkan lagi memang, ikatan kekerabatan dan asal usul
etnis (ethnic origin) mempengaruhi kuatnya faktor penarik (pull factor) bagi
para pelaku migran, masyarakat Flores sehingga tidak segan untuk
memberikan bantuan dalam mencarikan pekerjaan hingga memberikan
lapangan pekerjaan, diperkuat dengan pernyataan salah satu informan yang
turut pernah merasakan sebagai perantau:
“ya kalau untuk internal keluarga itu mungkin ditanamkan lah ya
bagi anak-anaknya (norma-norma yang dijalankan), tapi ya kalau
misalnya ada yang butuh kerjaan atau apapun ya kita yang punya link
atau sekedar informasi ya kasih tau. Saya kasih info juga ini,
kebanyakan orang flores di sini itu pindahan dari Priok semua dulu
tinggal di Merak alasan pindah ke sini awalnya ada yang pindah terus
lama-lama pada ikutan karena tanah juga masih murah ya.”
(wawancara Fransiskus Saverus, (65 ttahun), 25/08/2018)
57
Informan menambahkan alasan menerima pendatang baru dari Flores
karena ikatan kekerabatan meskipun saudara jauh, hal lainnya karena juga
pernah merasakan menjadi orang asing di kota tujuan, di tanah rantauan :
“Mereka pun masih punya ikatan saudara ya meskipun jauh. Kalau
kami tidak menerima mereka di sini kasihan juga ya karena kami pun
awalnya sama seperti mereka, orang asing.” (wawancara Fransiskus
Saverus, (65 tahun), 25/08/2018)
Adapun pernyataan tersebut diakui oleh Marcus bahwa ia menjadi
salah satu orang yang turut memberikan kemudahan akses dan peluang kerja
bagi saudara-saudara yang baru merantau ke Jakarta dan sementara menetap
di Kampung Sawah, dengan mengatakan:
“mereka diajak ke sini itu karena tujuan mereka kerja, ada yang
punya keahlian. Kalau mereka tidak punya keahlian dan
pekerjaannya belum pasti saya tidak mau menerima mereka untuk
tinggal di sini. Dulu adik saya namanya Julius Baga pindah ke sini
karena ingin menjadi petinju, di tahun 1991-1992 dia jadi petinju.”
(Wawancara Marcus Nong, 21/03/2018)
Pada umumnya remaja-remaja yang merantau bergantung kepada
kerabat atau kenalannya yang menyediakan lapangan pekerjaan, namun
ketika sudah mampu untuk mandiri dan dapat beradaptasi dengan keadaan
lingkungan barunya maka secara perlahan dilepas atau dibiarkan mereka
untuk mencari keberuntungannya dan mengeksplor diri mereka sendiri.
Adapun kebanyakan sektor yang ditawarkan kepada remaja-remaja Flores ini
merupakan sektor informal yang biasanya membutuhkan keterampilan,
kekuatan fisik, dan sektor lainnya di bidang usaha ekonomi dan jasa.
58
B. 3 Pemberian Jaminan Sosial dan Keamanan
Berdasarkan hasil pengamatan dan pengumpulan data informasi yang
didapatkan oleh penulis, keterikatan kolektivitas masyarakat Flores cukup
tinggi sehingga mereka akan saling memberikan perlindungan jaminan sosial
dan keamanan antara anggotanya. Namun tidak jarang bagi mereka yang
baru saja bermigrasi masih kerap melakukan kebiasaan-kebiasaan yang
kurang diterima oleh masyarakat asli di Kampung Sawah dan dianggap
membawa masalah baru bagi kelompoknya, sehingga anggota lainnya harus
menyelesaikannya sebagai cara memperbaiki keadaan, dengan melindungi
dan memberikan rasa aman bagi anggotanya yang baru datang serta
masyarakat lainnya. Seperti yang dikatakan oleh salah seorang informan
berikut ini:
“mohon maaf ini seperti ada terjadi sesuatu kami yang merupakan
Flores Peranakan campur karena orang tua kami ada yang menikah
dengan orang Jawa, Sunda, Padang atau Medan gitu yang lebih dulu
lama tinggal di Kampung Sawah yang lebih mengeri situasi dan
kenal situasi di sini. Kalau seperti Bapak Marcus sendir yang
memang asli dari Flores, suka mendatangkan anak-anak muda asal
Flores untuk mencari kerja kadang mereka membuat ulah seperti
mabuk. Kami jadi tidak enak dengan warga asli di ini (betawi
kampung sawah dan jawa) kami yang sudah menjaga dan membaur
dengan masyarakat melihat mereka membuat ulah dengan seenak-
enaknya membuat kami geram. (wawancara Valentinus (50 tahun),
19/06/2018)
Kemudian informan menambahkan dalam wawancara mengenai
jaminan keamanan untuk kelompok secara keseluruhan saling menjaga dan
kompak untuk menjalani sendi kehidupan sosial, apalagi mereka menyadari
betul bahwa mereka adalah pendatang dan harus menghormati masyarakat
lainnya.
59
“kalau untuk jaminan keamanan untuk kelompok kami secara
keseluruhan kami bersama-sama menjaga.” (wawancara Valentinus
(50 tahun), 19/06/2018)
Dalam hal pengawasan sendiri, memang menurut beberapa informan
tugas tersebut paling terasa dibebankan oleh Marcus karena menjadi ketua
RT apalagi menjadi suatu pencapaian di mana ketua RT sebelum-
sebelumnya adalah warga asli betawi dan jawa, selain harus dapat
memberikan jaminan sosial dan keamanan bagi warganya, ada treatment
khusus bagi warga Flores karena tidak dapat dilepaskan dari eksistensi atau
keberadaan kelompoknya di Kampung Sawah dengan bekerja sama
mengawasi setiap perilaku anggota kelompoknya. Seperti yang diungkapkan
oleh salah satu informan berikut ini:
“Ya kalau itu paling bapak Marcus yang ngawasin. Kita kan orang
tua gak ikut-ikutan nimbrung, paling kita cuma bantu ingetin aja
jangan rese kalau di sini. karena kalau remaja-remaja kita suka ada
yang mabuk kan suka mengganggu warga lainnya.” (wawancara
Vincent (67 tahun), 17/03/2018)
Konsep modal sosial muncul dari pemikiran bahwa anggota
masyarakat tidak mungkin dapat secara individu mampu mengatasi berbagai
masalah yang dihadapi, sebab itu diperlukan kebersamaan dan kerjasama
yang baik dari kelompok untuk menstabilkan eksistensi keberadaan
anggotanya (Siti Maisaroh. 2016: 91). Dengan pemberian jaminan sosial dan
keamanan mereka akan merasakan diterima di lingkungan baru artinya tidak
dikucilkan atau dianggap berbeda oleh masyarakat. Sama halnya yang
diungkapkan Everett Lee (1966: 50) bahwa orang-orang yang tinggal di
wilayah yang berdekatan dalam jangka panjang memiliki kenalan dengan
60
daerah, biasanya mampu membuat mereka dianggap dan tidak tergesa-gesa
dalam memberikan penilaian tentang mereka.
Di sisi lain, hubungan ikatan emosional yang mengikat hubungan
primordial kelompok masyarakat Flores di Kampung Sawah sebagai
kelompok masyarakat yang melakukan migrasi dapat meningkatkan rasa
aman, perlindungan, dan memunculkan rasa saling percaya di kelompok
mereka sendiri. Seperti yang dinyatakan oleh Yoseph Yapi Taum (2006: 3)
kesamaan identitas mendorong untuk saling mempercayai, minimal pada
pertemuan pertama mereka beranggapan bahwa mereka sama-sama memiliki
perilaku, Bahasa, nama keluarga ataupun keturunan daerah yang sama.
61
BAB IV
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan oleh penulis, dengan
fokus penelitian perilaku migrasi masyarakat Flores di Kampung Sawah,
Kota Bekasi disertai faktor pendorong dan faktor penariknya yang
dikemukakan oleh Everett S Lee, arus migrasi yang terbangun berdasarkan
tuntutan kebutuhan yang semakin banyak masyarakat saat ini
mengharuskan mereka untuk mencari dan mendapatkan lingkungan baru
untuk dapat menjamin keberadaan dan kebutuhan mereka. Adapun
penelitian mengenai analisa faktor-faktor tindakan migrasi masyarakat
Flores di kampung Sawah mengimplikasikan hal-hal berikut ini:
A Faktor Pendorong (push factor) dari daerah asal
A.1 Faktor Fisik: Ekologi
Keadaan ekologi pulau Flores, Nusa Tenggara Timur yang
merupakan pulau dengan keadaan iklim tropis kering menyebabkan
kurang suburnya lahan pertanian dan perladangan, sehingga
menyebabkan banyak masyarakat yang memilih untuk
meninggalkan tanah kelahirannya untuk memutus roda kemiskinan.
A.2 Ekonomi dan Lapangan Pekerjaan
62
Kemiskinan dan kekurangan pangan yang kerap melanda Nusa
Tenggara, termasuk Flores serta kebutuhan primer yang terus
tinggi, dan keterbatasan ketersediaan lapangan pekerjaan
menjadikan migrasi sebagai pilihan tepat (the right choice) bagi
masyarakat Flores dalam kasus penelitian ini.
B Faktor Penarik (pull factor) dari Daerah Tujuan
B. 1 Ikatan Primordial di Daerah Tujuan
Kuatnya ikatan primordial yang didasari pada ikatan
darah, keturunan dan kesamaan daerah asal merupakan sumber
bagi para anggota kelompok etnis yang bermigrasi sebagai
acuan dalam melakukan interaksi sosial, seperti kebiasaan yang
masih kerap dibawa oleh kelompok masyarakat Flores di
Kampung Sawah, seperti penggunaan Bahasa Flores sehari-
hari, tinggal berdekatan atau berkelompok, melakukan kumpul-
kumpul dan melestarikan kebudayaan Flores di tanah rantau
B. 2 Pemberian Jaminan Akses dan Kesempatan Kerja
Hasil penelitian menunjukkan bahwa ikatan
kekerabatan berdasarkan asal usul etnis (ethnic origin) memiliki
pengaruh kuat bagi masyarakat Flores sehingga tidak segan
untuk memberikan bantuan untk mencarikan ataupun
memberikan lapangan pekerjaan.
B. 3 Pemberian Jaminan Sosial dan Keamanan
63
Keterikatan kolektivitas masyarakat Flores di Kapung
Sawah cukup tinggi sehingga mereka akan saling memberikan
perlindungan, jaminan sosial dan keamanan bagi anggota
kelompoknya, sebagai bentuk memberikan rasa aman dan
nyaman bagi para migran lainnya, serta menjaga eksistensi
kelompok yang sudah dijaga sejak lama bersamaan dengan
masyarakat lainnya.
B. Saran
Setelah melakukan penelitian pada kelompok masyarakat Flores di
Kampung Sawah, terdapat beberapa hal yang luput dari perhatian penulis
dalam penelitiannya. Karena kenyataannya yang ditemui di lapangan
seringkali tidak terlihat dan baru disadari ketika penulis mengkaji kembali
hasil-hasil temuan, yang seharusnya dapat dikembangkan antara lain:
1. Networking etnisitas dan kemajemukan kelompok masyarakat
Flores di Kampung Sawah diharapkan dapat terus dipertahankan
supaya eksistensi kelompok terus terjaga, namun dengan segala
kemungkinan yang dapat terjadi seperti munculnya sikap
etnosentrisme seharusnya dapat dicegah, sehingga permasalahan-
permasalahan yang muncul seperti pergesekan antar kelompok
dapat dihindari.
2. Penulis ketika melakukan pengamatan menyimak terdapat jurang
pemisah (gap) antara masyarakat asli dengan masyarakat migran
(Kelompok masyarakat Flores) yang terkadang tidak dapat
64
disembunyikan. Oleh sebab itu diperlukan kerjasama, interaksi,
sosialisasi dan kemampuan adaptasi yang lebih sehingga dapat
hidup berdampingan dengan kelompok masyarakat lainnya.
65
DAFTAR PUSTAKA
BUKU
Arbani, Taufik. 2009. Strategi Migran Banjar. Yogyakarta: LKiS Yogyakarta
Koentjaraningrat. 2009. Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta: PT. Rineka Cipta
Mantra, Ida Bagoes. 2000. Demografi Umum (Edisi Kedua). Yogyakarta: Pustaka
Pelajar
Moleong, Lexy J. 2007. Metodologi Penulisan Kualitatif. Bandung: PT Remaja
Rosyakarya Offsed
Munir, Rozy. 2004. Dasar-dasar Demografi. Jakarta : Lembaga Demografi
Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia.
Naim, Mochtar. 2012. Merantau Pola Migrasi Suku Minangkabau. Jakarta: PT.
Rajagrafindo Persada
Setiadi, Elly M & Kolip, Usman. 2011. Pengantar Sosiologi Pemahaman Fakta
dan Gejala Permasalahan Sosial: Teori, Aplikasi dan Pemecahannya.
Jakarta: Kencana
Silalahi, Ulber. (2009). Metode Penelitian Sosial. Bandung: Refika Aditama
Rusli, Said. 2012. Pengantar Ilmu Kependudukan. Jakarta: LP3S
ARSIP & LAPORAN
Arsip Buku Laporan Tahunan Kelurahan Jatimelati Kecamatan Pondokmelati,
2017. Diberikan oleh Sekertaris Kelurahan pada 20/04/2018.
Arsip Buku Laporan Tahunan Kelurahan Jatimurni Kecamatan Pondokmelati,
2017. Diberikan oleh Staff Kelurahan pada 11/05/2018
Data Sensus Penduduk 2010 - Badan Pusat Statistik Republik Indonesia,
Penduduk Menurut Wilayah, Jenis Kelamin, dan Status Migrasi Seumur
Hidup Kota Bekasi. (diakses & diunduh pada 04/10/2018)
(http://sp2010.bps.go.id/index.php/site/tabel?tid=324&wid=3275000000)
Data Sensus Penduduk 2010 - Badan Pusat Statistik Republik Indonesia,
Penduduk Menurut Wilayah dan Agama yang Dianut, Kota Bekasi.
(diakses & diunduh pada 01/08/2018)
66
(http://sp2010.bps.go.id/index.php/site/tabel?wid=3275000000&tid=321&f
i1=58&fi2=3 )
Data Sensus Pertanian 2013 – Badan Pusat Statistik Republik Indoneisa, Jumlah
Usaha Pertanian menurut Wilayah dan Pelaku Usaha Tahun 2003 dan 2013
Provinsi Nusa Tenggara Timur. (Diakses & diunduh pada 05/10/2018)
(http://st2013.bps.go.id/dev2/index.php/site/tabel?tid=19&wid=530000000
JURNAL, MAKALAH DAN TESIS
Gyarsih, Sri Rum. 1999. Mobilitas Penduduk Daerah Pinggiran Kota di Dusun
Kadipiro dan Dusun Sidorejo Desa Ngestiharjo Kecamatan Kasihan
Kabupaten Bantul. Majalah Geografi Indonesia, Volume 13 Nomor 2
September 1999. (diunduh pada 02/10/2018)
(file:///C:/Users/ACER/Downloads/10%20(1).pdf)
Maisaroh, Siti. 2016. Networking Etnisitas Sebagai Modal Sosial Etnis Madura di
Perantauan. Seminar Nasional Gender dan Budaya Madura III
(diunduh pada 23/05/2018.)
(http://lppm.trunojoyo.ac.id/budayamadura/download)
Khotijah, Siti. 2008. Analisis Faktor Pendorong Migrasi Warga Klaten ke
Jakarta. Tesis Program Pascasarjana Ilmu Ekonomi dan Studi
Pembangunan: Universitas Diponegoro. (diunduh pada 01/10/2018)
(https://core.ac.uk/download/pdf/11717855.pdf)
Lassa, Jonatan A. 2008. Memahami Kebijakan Pangan dan Nutrisi Indonesia:
Studi Kasus Nusa Tenggara Timur 1958-2008. Journal of NTT Studies
Vol.1 No. 1:29. (Diunduh pada 09/10/2018)
(http://ntt-academia.org/nttstudies/Lassa-2009.pdf)
Lee, Everett S. 1966. A Theory of Migration. Journal Demography, Vol. 3, No. 1:
Population Association of America. (diunduh pada 03/10/2018)
(https://emigratecaportuguesa.files.wordpress.com/2015/04/1966-a-theory-
of-migration.pdf)
Primawati, Anggraeni. 2011. Faktor Ekonomi Sebagai Alasan Migrasi
Internasional ke Malaysia. Jurnal INSANI, ISSN : 0216-0552 | NO.
11/1/Desember 2011. (diunduh pada 01/10/2018)
(http://stisipwiduri.ac.id/File/N/Full/2408JURNAL%20INSANI%20STISI
P%20Widuri_Anggraeni%20PrimawatiDes%202011.pdf)
Rambu, Renais dkk. Migrasi Sebagai Upaya Penunjang Kehidupan Keluarga
studi kasus Terhadap Migran Sumba Timur dalam Paguyuban Hikmast di
Kota Denpasar. FISIP Universitas Udayana. (diunduh pada 03/04/2018)
(https://ojs.unud.ac.id/index.php/sorot/article/view/27013/17157)
67
Roshetko, James & Mulawarman. 2002. Wanatari di Nusa Tenggara: Ringkasan
Hasil Lokakarya. Bogor: International Center for Research in
Agroforestry. (diunduh pada 09/10/2018)
(https://www.researchgate.net/publication/298788715_WANATANI_DI_
NUSA_TENGGARA_RINGKASAN_HASIL_LOKAKARYA?enrichId=
rgreq-4df787daceaf189a1d4041b86a31c103-
XXX&enrichSource=Y292ZXJQYWdlOzI5ODc4ODcxNTtBUzozNDA4
NzgxOTY1MjcxMDVAMTQ1ODI4MzEwMzY3Mw%3D%3D&el=1_x
_3&_esc=publicationCoverPdf)
Sefriani, Sari. Tanpa tahun. Kontribusi Migran Terhadap Pertumbuhan Sektor
Informal di Perkotaan Kasus di Jakarta Selatan. Pusat Penelitian
Kependudukan LIPI. (diunduh pada 01/10/2018)
(https://ojs.unud.ac.id/index.php/piramida/article/view/3001/2159)
Taum, Yoseph Yapi. 2006. Masalah-masalah Sosial dalam Masyarakat
Multietnik. Yogyakarta: Universitas Sanata Dharma. Makalah dalam Focus
Group Discussion (FGD) “Identifikasi Isu-isu Strategis yang Berkaitan
dengan Pembangunan Karakter dan Pekerti Bangsa”, dilaksanakan oleh
Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional Yogyakarta, (diunduh pada
06/10/2018)
(http://repositori.perpustakaan.kemdikbud.go.id/1113/1/Multietnik-
Yapi.pdf)
Zana, Nor. Tanpa Tahun. Migran Kultural Buruh Migran Indonesia Asal Nusa
Tenggara Timur ke Malaysia. (Diakses dan diunduh pada 04/10/2018)
(http://migrantcare.net/wp-content/uploads/2016/11/migrasi-kultural_nor-
zana.pdf)
SUMBER LAINNYA
Peta kelurahan Jatimurni, Kecamatan Pondok Melati, Kota Bekasi, Jawa Barat,
(diakses pada 24/08/2018)
(https://www.google.com/maps/place/Jatimurni,+Pondokmelati,+Kota+Bk
s,+Jawa+Barat/@-)
Kampung Sawah Bekasi Didorong Jadi Percontohan Kerukunan Beragama.
(diakses pada 23/07/2018)
(https://nasional.kompas.com/read/2016/08/01/20522981/.kampung.sa
wah.bekasi.didorong.jadi.percontohan.kerukunan.beragama,)
Sepangkeh Sejarah Kampung Sawah. (Diakses pada 06/07/2018)
(http://www.servatius-kampungsawah.org/sepangkengsejarah,)
Naif, Herry. Potret Ekologi NTT. Wahana Tani Mandiri (Dipublikasikan
pada 05 Desember 2011, (diakses pada 05/10/2018)
68
(https://walhintt.wordpress.com/2011/12/05/potret-ekologi-ntt/)
WAWANCARA
Wawancara dengan Bapak Cleventinus Marcus Nong, pada 22/03/2018
Wawancara dengan Bapak Fransiskus Saverus (65 tahun), pada 19/06/2018 dan
25/08/2018
Wawancara dengan Bapak Valentinus (50 tahun) , pada 19/06/2018
Wawancara dengan Margaretha Dewi (23 tahun), pada 9/12/2017 dan 25/08/2018
Wawancara dengan Yohanes Argentio Bagas, pada 19/06/2018
Wawancara dengan Bapak Vincent, pada 17/03/2018
TRANSKIP WAWANCARA
Nama Cleventinus Marcur Nong
Status Masyarakat Flores & Ketua RT.
005/ 003
Tanggal Wawancara 22 Maret 2018
Lama tinggal di Kampung Sawah 1988 (30 tahun)
Pewawancara : “Bapak kita perkenalan dulu aja ya, nama bapak siapa?”
Informan : “Nama saya Cleventinus Marcur Nong”
Pewawancara : “bapak berarti asli Flores ya Pak?”
Informan : “iya, saya asli dari Flores.”
Pewawancara : “bapak di Kampung Sawah sudah tinggal berapa lama pak?”
Informan : “saya di sini sudah tinggal dari tahun 1988.”
Pewawancara : “bapak semenjak tahun 1988 ini karena keinginan sendiri atau
diajak saudara?”
Informan : “dulu awalnya tinggal di Teluk bong Cuma karena ada Om di sini
tahun 1988 saya ikut, akhirnya main-main saja dan beli tanah di
sini karena dulu masih sangat murah sekitar Rp. 4000”
Pewawancara : “wah beda ya, sekarang harga tanah udah mahal banget. dulu
pindah karena kerja atau bagaimana pak?”
Informan : “wahh jauhh harganya. Dulu saya kerja di Cengkareng.”
Pewawancara : “Kalau kebanyakan kan warga flores yang tinggal di sini kerja di
Priok.”
Informan : “iya kerja di Tanjung Priok, tapi kalau saya dikirim kerja dari
Ujung Pandang, bekerja sebagai supir.”
Pewawancara : “Oke. Berarti di sini sanak saudara banyak ya pak?”
Informan : “kalau dulu sangat sedikit tapi karena saya menetap di Kampung
Sawah saudara jadi pada ikut tinggal disini.”
Pewawancara : “nah itu karena diajak atau keinginan sendiri mereka pak?”
Informan :mereka diajak kesini itu karena tujuan mereka kerja, ada yang
punya keahlian. Kalau mereka tidak punya keahlian dan
pekerjaannya belum pasti saya tidak mau menerima mereka untuk
tinggal di sini. Dulu adik saya namanya Julius Baga pindah ke sini
karena ingin menjadi petinju, di tahun 1991-1992 dia jadi petinju.”
Pewawancara : “lalu selain adik bapak, siapa lagi saudara yang tinggal di sini?”
Informan : “banyak, ada sepupu-sepupu paman dan bibi saya, tahun 1992
banyak itu yang pindah ke sini. Saya bawa 9 orang dari Flores
tahun 1990 untuk tinggal di sini.”
Pewawancara : ada gak sih pak pengaruh latar belakang keluarga atau lingkungan
rumah asal bapak supaya bapak pindah ke luar pulau gitu?
Informan : “oh ya jelas faktor daerah asal mempengaruhi kita-kita ini untuk
merantau, karena pekerjaan susah, kalau tidak bertani ya jadi buruh.
Apalagi opung saya sampai orang tua merawat kebun atau ternak.
Susah deh kalau di sana, di sini kan saya bisa lebihmengembangkan
diri jadinya.”
Pewawancara : “berarti karena kenyamanan ya pak? Atau mungkin ada lagi
alasannya pak?”
Informan : “iya jelas, karena kenyamanan. Lalu kalau untuk masyarakat
Kampung Sawah ini begitu saya beli tanah karena satu
kenyamanan itu dan kedua masyarakat di sini enak tidak
memandang dari agama apa atau dari suku mana, jadi yang penting
tergantung dari kita yang sebagai pendatang bisa menempatkan diri
atau tidak. Kalau kita bisa menempatkan diri ya kita bisa diterima.”
Pewawancara : “ berarti selama ini belum pernah terjadi permasalahan pak dari
masyarakat pendatang khususnya dari warga Flores dengan
masayarakat asli kampung sawah?”
Informan : “ohhh enggak, tidak ada.”
Pewawancara : “terus kebiasaan atau adat istiadat masyarakat flores yang masih
dijaga sampai sekarang ini ada tidak pak?”
Informan : “oohh, biasanya ada kumpul-kumpul warga flores. Ya paling
masak dan makan bersama dan paling di hari libur.”
Pewawancara : “Oke terus selama bapak Marcus tinggal di Kampung Sawah
selama 30 tahun, ada tidak tokoh yang dituakan dan dihormati
khususnya bagi warga flores sendiri pak?”
Informan : “ dulu ada. Yang dituakan bapak Selong, namun karena sudah tua.
Namun sekarang ini orang-orang flores yang tinggal di sini
menyebutkan kalau saya adalah tokoh yang dituakan dan disegani
di sini, saya bilang masih ada orang yang lebih pintar, yang lebih
tua dan paling kaya. Namun banyak anak muda yang menjawab
tidak ada yang seperti bapak Marcus kalau bapak Marcus kan bisa
bergaul ke mana saja, dan jadi panutan bagi orang-orang flores di
sini, apalagi saya memang orang asli Flores yang merantau
lumayan lama di sini. kalau orang yang kemampuannya ada tapi dia
gak bergaul sama warga Floresnya sendiri ya berarti dia bukan
panutan.”
Pewawancara : “Berarti bapak Marcus merupakan tokoh panutan ya pak. apa
sering pak misalkan ada warga yang kesusahan atau masalah
konsultasinya atau minta solusinya ke bapak?”
Informan : “bisa, bisa dibilang begitu, nah iya tapi karena tidak secara resmi
aja.”
Pewawancara : “lalu timbal baliknya bagaimana pak?”
Informan : “ya saya kasih solusi ke mereka dan nasihati. Kalau memang
butuh bantuan seperti uang, atau hal berbentuk materil lalu berita
kematian, pernikahan itu pasti minta sarannya ke saya dulu baru
kita kumpul bersama untuk membicarakannya.”
Pewawancara : “oke, kemudian untuk sekarang ini apakah masyarakat flores
menikahnya dengan sesama kelompoknya atau bagaimana?”
Informan : “sudah bebas, ada yang menikah dengan orang sunda, jawa, atau
betawi.”
Pewawancara : “kemudian bagaimana untuk masyarakat asli kampung sawah ke
bapak? Apakah juga dianggap sebagai sosok yang paling
dihormati?”
Informan : “itu sih bagaimana orang-orang menilai, khususnya untuk warga
asli. Saya tidak pernah mengakui kalau saya adalah orang hebat di
sini, tapi selama ini tidak pernah ada masalah dan justru saya sudah
diangkat menjadi ketua RT hampir selama 3 periode.”
Pewawancara : “lalu ada panggilan khusus atau panggilan akrab tidak untuk
memanggil nama bapak?”
Informan : “ya paling warga di sini memanggil saya dengan sebutan Om
Marcus saja.”
Pewawancara : “terus apakah bapak menerapkan norma-norma atau peraturan
khusus yang harus ditaati oleh warga khususnya yang dari Flores
ini pak?”
Informan : “iya itu tentu ada,kalau untuk warga flores yang masih
pendaatang, mereka harus tahu adat disini seperti apa dan
bagaimana. Jangan pernah mencari keributan, untuk menjaga
keharmonisan yang sudah dijaga orangtua kita.”
Pewawancara : “berarti apakah bapak memberikan jaminan keamanan untuk
warga flores yang baru datang?”
Informan : “iya pokoknya kalau ada sesuatu tinggal panggil saya saja, nanti
saya bantu.”
Pewawancara : “Lalu selama ini pernah ada kejadian yang tidak mengenakkan
tidak pak? Seperti konflik atau masalah-masalah yang mengancam
keamanan?”
Informan : “pernah dulu itu hampir kejadian. Seperti masalah individu atau
ada keributan remaja kita seperti kesalahpamahan. Selama ini juga
Saya bukan bermaksud sombong atau bagaimana tapi saya bergaul
dengan siapa aja orang-orang terima. Saya malah kalau ada
kegiatan pengajian dari warga yang muslim diundang, walau saya
katolik. Sampai tokoh-tokoh muslim lainnya kenal dengan saya.”
Pewawancara : “Kalau yang seperti dibilang bapak sebelumnya, remaja-remaja
flores yang datang ke sini biasanya mereka untuk keperluan apa?”
Informan : “biasanya untuk mencari pekerjaan, sekolah (masuk universitas)
kadang-kadang hanya untuk main ke rumah saudara, paling mereka
biasanya ngontrak.”
Pewawancara : “kemudian untuk pemberian nama gang, di sini kan pemberian
nama gang Maumere karena mayoritas warganya asalnya dari
Maumere, Flores. Apa ada lagi wilayah yang diberi nama khusus
daerah pak?”
Informan : “wahh ada, seperti nama gang Lanbata, itu juga salah satu nama
daerah flores timur. Mereka lebih lama tinggal di sana, untuk
pemberian nama gang di sini awalnya dulu hanya jalan setapak,
awalnya karena keisengan remaja-remaja flores yang dulu suka
berkumpul dan main di pos depan gang yang sekarang sudah
dibongkar, akhirnya remaja-remaja sini asal corat coret tembok
dengan tulisan-tulisan gang Maumere, lalu karena semakin
diketahui warga lainnya mereka izin ke saya dan meminta saran
pada saya. Karena saya pikir untuk orang lewat saja susah karena
sempit, jadi saya membuka jalan dulu dari pihak perumahan yang
sekarang ini dibangun dengan meminta sedikit kepada bapak H.
Agus untuk dihibahkan itu sekitar 4-5 tahun lalu ya paling tidak
supaya ambulan masuk kalau ada warga saya yang kenapa-kenapa.
Kemudian saya membuat surat permohonan resmi dari saya sendiri
dengan luas tanah yang dihibahkan 45 meter untuk pembuatan gang
masuk ke sini. Pemberian nama sendiri oleh remaja flores dengan
nama Gang Maumere atas persetujuan saya. Selain itu juga sebagai
identitas dari wilayah ini supaya saudara atau kerabat yang datang
mengetahui dengan mudah untuk mencari alamat.”
Pewawancara : “lalu ada tidak pak makanan atau minuman tradisional dari Flores
yang masih suka di konsumsi sampai sekarang?”
Informan : “ohh masih, seperti Moke. Kamu tau minuman Moke? Jadi
biasanya diminum saat ada acara-acara seperti orang Batak saja
gitu. Moke ini dikirim langsung dari Flores karena dibuat dari daun
lontar dan di sini juga sangat jarang buah lontar. Kalau di flores nya
itu setiap ada acara atau pesta adat harus ada minuman itu, seperti
minuman khas tradisional kami.”
Pewawancara : “oke balik lagi ke pertanyaan utamanya nih bapak Marcus, berarti
untuk kebanyakan warga flores yang tinggal di sini menganggap
bapak Marcus ini sebagai panutan atau tokoh kelompok masyarakat
Flores begitu pak?”
Informan : “sebenarnya aku juga bingung ya, kalau untuk ada penyebutan
tokoh itu kan harus ada hitam di atas putihnya ya secara formal lah
gitu. Tapi ini kan enggak, ya memang sudah lama semenjak saya
tinggal di sini dan tokoh-tokoh yang lebih dituakan sudah pada
meninggal atau sekarang sudah sakit-sakitan maka sekarang ini
saya lah yang dianggap warga flores sebagai tokohnya mereka. Dan
memang kalau setiap ada masalah yang menyangkut warga flores
saya yang selalu dipanggil, itu pasti ribut anak-anak flores itu saya
yang membantu mencari solusi.”
Pewawancara : “dan sekarang bapak sudah menjadi ketua RT, apa ada
perubahan?
Informan : “nah apalagi semenjak saya sudah jadi ketua RT selama 3 periode
dan kebetulan diantara ketua RT sebelumnya baru saya yang
berasal dari warga Flores asli. Tentunya ini jadi nilai plus juga
untuk saya, tapi saya tidak membeda-bedakan warga flores dengan
warga asli kampung sawah di RT. 003 RW. 005 warga saya
keseluruhan ada sekitar 780 warga dan hampir 400 KK (Kepala
Keluarga).”
Nama Valentinus (50 tahun)
Status Warga RT. 005/ 003 (keturunan
Flores Betawi)
Tanggal Wawancara 19 Juni 2018
Lama tinggal di Kampung Sawah 1985 (33 tahun)
Pewawancara : “Oke Bapak saya mulai wawacaranya ya Pak. Saya minta izin
merekam pembicaraan untuk data wawancara. Kalau boleh tau
nama lengkap dan usianya berapa?”
Informan : “Valentinus, saya mungkin September nanti pas usia 50 tahun.”
Pewawancara : “Berarti bapak Valen sudah memiliki KTP asli sini ya pak?”
Informan : “iya sudah punya.”
Pewawancara : “bapak berarti lahir di sini atau bagaimana pak? Boleh diceritakan
bagaimana bapak bisa tinggal di sini?”
Informan : “oh enggak, saya enggak lahir di sini. Mungkin masing-masing
keluarga ya beda ya, kami dulu tinggal di Tanjung Priok, Jakarta
Utara kalau alasan pindah alasan Bapak kami karena pergaulan di
dekat pelabuhan agak seperti ya banyak nakalnya lah. Karena dulu
saya juga sempat nakal waktu saya kelas 2 SMP tahun 1985 ya
berkala saja lah, karena bapak saya merasa tidak aman
pergaulannya. Dulu kami ada 3-4 kepala rumah tanggal yang
tinggal di kontrakan yang sama satu persatu pindah.”
Pewawancara : “terus bapak dengan keluarganya pindah ke kampung sawah
secara tidak sengaja atau karena ajakan dari kerabat?”
Informan : “iya pastinya karena ajakan, misalnya seperti “oh si A tinggal di
sana enak loh.” situasinya dulu masih banyak pohon, damai,
tenang. Dan karena ibu saya orang sini (betawi). “
Pewawancara : “lalu bapak di Flores masih ada saudara dari pihak ayahnya?”
Informan : “iya masih ada, tapi saya tidak pernah ke Flores. Mungkin beda
dengan warga sini yang benar-benar tinggal duluan dan lahir dari
Flores ya seperti bapak Marcus, saya saja lahir di Jakarta meski
keturunan dari ayah saya flores saya kurang memahami Bahasa
flores.”
Pewawancara : “lalu apakah ayah bapak Valen semasa hidupnya menerapkan
kebiasaan atau adat istiadat Flores di keluarganya termasuk anak-
anaknya?”
Informan : “oh iya masih, salah satunya saya dengan teman-teman spontan ya
mungkin karena satu-satunya memainkan alat tradisional suling
bamboo, saya juga kurang paham asalnya bagaimana karena
memang ada kemiripan dari daerah lain di sekitar flores seperti
Ambon atau di Papua. Mungkin yang membedakan dari penyajian
atau memainkan lagu-lagunya dengan suling tersebut berbeda. Saya
juga pernah tanya ke orang-orang tua ini kok lagunya seperti ini ya
jawaban mereka karena pengaruh Belanda pada jaman itu alunan
lagunya seperti mars yang penuh semangat. Dan setelah generasi
tua sudah meninggal satu persatu, akhirnya saya dan teman-teman
saat muda belajar untuk menggerakkan alat tradisional suling ini.”
Pewawancara : “untuk generasi mudanya sekarang ini masih ada yang
meneruskan?”
Informan : “iya masih ada, kami kalau ada kegiatan suka kumpul seperti
latihan meniup suling atau gendang. Dan seperti alat musik lain
seperti gong itu hanya flores asli yang bisa memainkannya, kami
yang keturunan campuran flores jawa belum terlalu mengerti.
Tadinya hanya nostalgia saja, sebagai wujud romantisme untuk
mengenang orang tua kita di ajak bisa tau yang namanya kesenian
flores, Paling banyak ya paling dua puluh orang lah yang masih
suka kumpul, kami juga bingung setelah generasi kami siapa lagi
yang melanjutkan. Ya mungkin saja nanti hanya cerita, karena beda
pada jaman sekarang hiburan ya mengikuti orang tua. Beda dengan
sekarang sangat sulit untuk mengenalkan alat tradisional yang
dianggap kuno oleh remaja sekarang.”
Pewawacara : “kalau untuk jenis makanan atau minuman tradisional flores yang
masih dibawa saat ini atau dikonsumsi apa pak?”
Informan : “ya kalau makanan paling tidak banyak ya, paling saat ada acara
kumpul ada beberapa jenis makanan khas flores tapi saya tidak
mengetahui jauh nama jenis makanan itu. Paling minuman yang
masih dijaga dan dikonsumsi sampai sekarang ada sejenis minuman
arak daerah (moke).”
Pewawancara : “kalau moke itu dibikin di sini atau dibawa langsung dari Flores?”
Informan : “kalau di sini saya kurang tau pasti ada yang bikin atau tidak
karena bahan pembuatannya juga cukup susah. Karena pemerintah
sekarang ini pengawasannya cukup ketat ya jadi dari luar daerah
membawa apapun perlu pengawasan dan pemeriksaan, sedangkan
minuman ini adalah minuman tradisional yang mungkin sudah
jarang diketahui oleh orang Flores sendiri, tapi ya mau alasannya
ini minuman khas daerah kalau efeknya memabukkan ya sama saja
pasti ada pemeriksaan. Seperti shofi ambon atau papua yang terbuat
dari pohon aren yang difermentasi.”
Pewawancara : “Nah, kalau menurut Bapak Valen sendiri, tokoh flores yang di
tuakan di kampung Sawah seperti yang sudah bapak sebutkan tadi
ya. Mungkin tokoh muda kira-kira ada?”
Informan : “ya kira-kira bapak Marcus lah, mohon maaf ini seperti ada terjadi
sesuatu kami yang merupakan Flores Peranakan campur karena
orang tua kami ada yang menikah dengan orang Jawa, Sunda,
Padang atau Medan gitu yang lebih dulu lama tinggal di Kampung
Sawah yang lebih mengerti situasi dan kenal situasi di sini. kalau
seperti Bapak Marcus sendiri yang memang asli dari Flores, suka
mendatangkan anak-anak muda asal Flores untuk mencari kerja
kadang mereka membuat ulah seperti mabok. Kami jadi tidak enak
dengan warga asli di sini (betawi kampung Sawah dan jawa) kami
yang sudah menjaga dan membaur dengan masyarakat melihat
mereka membuat ulah dengan seenak-enaknya itu membuat kami
geram. Nah kalau misalnya pun ada kepentingan atau keperluan
untuk kelompok kami biasanya yang dituakan sekarang ini ya
Marcus.”
Pewawancara : “biasanya anak-anak muda ini tinggal di rumah kerabat atau
mengontrak sendiri?”
Informan : “ya mereka biasanya ngontrak yang kebetulan sedang kosong
mereka tempati sambil menunggu kerja. Mereka ini biasanya
datang diajak karena alasan kerja, tapi tidak sedikit juga yang
frustasi karena tidak dapat kerja akhirnya mereka pulang lagi ke
Flores karena mereka kalah saing,”
Pewawancara : “jadi menurut bapak untuk tokoh masyarakat khusunya bagi
kelompok masyarakat flores di sini adalah bapak Marcus?”
Informan : “jadi Marcus ini sebelum dia jadi RT pun kalau ada kejadian-
kejadian apapun seperti orang sini asli yang tersinggung dengan
pendatang Flores yang dia ajak, atau hal-hal penting dari kelompok
kami ya pasti yang dimintai tolong pertama Marcus.”
Pewawancara : “lalu alasan pribadi bapak bapak Marcus ini bisa menjadi tokoh
yang cukup berpengaruh?”
Informan : “karena dia orang yang mau membaur, dia mampu menyediakan
lapangan kerja bagi remaja-remaja flores karena dia kan punya
usaha pembuatan drum-drum besar.”
Pewawancara : “kalau untuk perlindungan sosial dan keamanan untuk warga
Flores ini yang menjamin apakah bapak Marcus sendiri atau
bersama-sama?”
Informan : “kalau untuk jaminan keamanan untuk kelompok kami secara
keseluruhan kami bersama-sama menjaga. Kalau jauh-jauh
sebelumnya ada yang lebih dihormati dan sepuh namun karena
mereka satu persatu meninggal dan ada juga yang sudah tua dan
sakit-sakita jadi perlu ada penggantinya. Meskipun tidak secara ada
penobatan secara resmi karena ini ya berjalan aja, jadi tidak karena
Marcus ini seorang RT tapi jauh sebelum itu.”
Pewawancara : “terus apakah status ekonomi atau kekayaan jadi salah satu
pertimbangan bapak Marcus dijadikan tokoh masyarakat di sini?”
Informan : “bisa iya bisa enggak. Biasanya kan siapapun dia kalau tidak
punya apa-apa ya orang lain tidak akan melihat atau dia tidak
punya apa-apa tapi kalau punya jaringan atau link yang kuat pasti
orang lainpun memandang. Tapi kalau Marcus sih karena dia
orangnya rajin punya kegiatan usaha, kalau saya tidak memandang
dari status ekonomi. toh sama saja lah.”
Pewawancara : “apakah ada norma-norma khusus yang dijalankan dan disepakati
oleh tokoh masyarakat kelompok Flores dengan masyarakat flores
untuk menjaga keutuhan warganya?”
Informan : “tentu ada, tapi ya mengalir saja gitu tentunya di dalam keluarga
masing-masing, tapi kalau norma secara bakunya dari tokoh muda
betawi sering membicarakannya dengan tokoh kami bapak Marcus
atau dengan kami untuk memberi tahu seperti menjaga lingkungan
untuk menjaga kerukunan.”
Pewawancara : “oke, lalu kira-kira kalau misalnya ada warga flores yang sedang
mendapatkan musibah, membutuhkan sesuatu atau sedang
kesusahan apakah bergantung pada bapak Marcus sebagai tokoh
Flores?”
Informan : “ya seperti yang saya bilang, kalau warga flores di sini
keterlibatan secara keseluruhan seperti membentuk arisan atau
kumpulan rutin warga flores itu tidak ada. Ya tidak dipungkiri pasti
ada kalau untuk meminjam atau membutuhkan sesuatu datangnya
ke Marcus. Tapi kalau untuk menjadikan Marcus ini sebagai
patokan ya tidak juga.”
Pewawancara : “bapak meskipun keturunan campur Flores dengan Betawi,
apakah bapak menganggap masyarakat flores di sini sebagai
minoritas?”
Informan : “minoritas iya lah pasti, karena masih lebih banyak yang dari suku
betawi atau jawa.”
Pewawancara : “apakah bapak merasakan pembedaan-pembedaan meskipun itu
hal kecil?”
Informan : “kalau pembedaan kami tidak merasa dibedakan ya, kecuali kalau
ada sedikit masalah atau konflik seperti hal kecil seperti mereka
flores asli yang baru datang kan mereka belum paham betul
kebiasaan di sini. seperti suatu kejadian dulu, kebanyakan dari kami
adalah depkolektor ada dulu beberapa yang saya kenal tiba-tiba ada
satu sekolah yang disegel dengan pihak mana itu saya kurang
paham lah, yang membuat saya geram itu adalah iya memang
menyita itu adalah pekerjaan kamu tapi buat saya pendidikan itu
harus terus berjalan, yang saya lihat itu anak-anak TK itu disuruh
keluar dari kelasnya karena ada penyegelan sekolah mereka. hal itu
tidak manusiawi dan tidak menghargai pendidikan. Anak-anak itu
melihat langsung amarah, kekerasan yang terjadi saat sekolah
mereka ditutup hal premanisme itu tidak sepantasnya mereka lihat.
Akhirnya masalah itu selesai secara perlahan karena ada
perundingan antara flores asli yang pendatang dengan kami flores
campuran yang sudah lebih dulu tinggal di Kampung Sawah. Lalu
tidak jarang juga selentingan-selentingan atau guyonan yang orang
asli flores itu kepada kami yang campuran, “ohh ini dia ini juga
flores juga kan biar dikata separo-separo (setengah).”
Pewawancara : “ohh. Berarti secara tidak langsung ada pembatasan sendiri di
dalam masyarakat flores (flores asli dengan flores campuran)?”
Informan : “secara tidak langsung ya memang ada. Seperti suatu kejadian
kami sedang berkumpul dalam suatu acara dan kami saling
mengenal baik, tetapi ketika mereka (flores asli) ngobrol dan
minum yaudah mereka asik dengan dunia mereka sedangkan kami
tidak terlalu paham dengan Bahasa mereka (Bahasa daerah flores).”
Pewawancara : “oke bapak Valen, ngobrolnya sampai di sini dulu. Terima kasih
dan mohon maaf sudah ganggu tidur siangnya.”
Informan : “iya tidak apa-apa justru saya yang minta maaf karena jawaban-
jawabannya kurang berkelas dan kurang memuaskan.”
Pewawancara : “enggak bapak. Saya senang, karena pemikiran saya menjadi lebih
terbuka mengenai keadaan warga flores dari yang saya lihat
langsung.”
Nama Yohanes Argentio Bagas (20 tahun)
Status Warga RT. 005/ 003 (keturunan
Flores Sunda)
Tanggal Wawancara 19 Juni 2018
Lama tinggal di Kampung Sawah -
Pewawancara : “oke Bagas. Kalau boleh tau usianya berapa?”
Informan : “20 tahun.”
Pewawancara : “oke. Lahir di Kampung Sawah?”
Informan : “iya lahir di sini, ayah saya orang flores mamah saya orang
sunda.”
Pewawancara : “di sini berarti banyak saudara?”
Informan : “ada, tapi paling banyak saudara saya ada di cipinang bali, kali
malang.”
Pewawancara : “oke Bagas, sekarang kerja atau kuliah sekarang ini?”
Informan : “saya lulus SMA kerja sekarang”
Pewawancara : “oke, Bagas kira-kira tau tidak kebiasaan atau adat istiadat yang
dibawa bapak kamu sebagai orang flores diterapkan ke anak-
anaknya?”
Informan : “enggak ada sih, karena bapak saya juga udah lama tingal di sini.
jadi udah kebawa sama budaya sini sama budaya yang mamah saya
bawa.”
Pewawancara : “sepengetahuan kamu apa alasan ayah kamu merantau dari Flores
ke pulau Jawa atau ke Jakarta?”
Informan : “kalau yang saya tau sih dulu merantau, kerja di Jatiwaringin.
kakak-kakak dari ayah saya juga merantau ke sini jadi ayah saya
ikutan merantau. Karena betah yaudah jadi menetap di sini jauh
sebelum ayah saya ketemu ibu saya, dari waktu bujang.”
Pewawancara : “nah Bagas kan sebagai anak muda khususnya ada keturunan ayah
yang dari Flores dan di sini kan banyak saudara kamu yang asalnya
dari Flores. menurut kamu dan anak-anak muda di sini ada tidak sih
sosok yang sangat dihormati dan dihargai?”
Informan : “kalau saya saya lulus SMA ngambil sertifikat terus kerja, karena
saya kerja jauh jadi saya kurang bisa melihat keadaan di sini ya.”
Pewawancara : “ohh, emang Bagas kerja di mana?”
Informan : “saya kerja di perkapalan. Saya ikut anaknya bapak Marcus kerja
di perkapalan. Ini aja saya baru beberapa minggu pulang jadi masih
agak bingung (mabuk laut). Hehehehe”
Pewawancara : “ohh berarti Bagas ini dibantu untuk dapat kerja ya, oke deh
terimakasih banyak ya. Segini dulu tanya-tanyanya nanti kalau ada
lain waktu bisa ya ketemu lagi.”
Informan : “oke, gapapa kak.”
Nama Fransiskus Saverus (65 tahun)
Status Warga RT. 005/ 003 (Warga asli
Flores)
Tanggal Wawancara 19 Juni 2018 dan 25 Agustus
2018
Lama tinggal di Kampung Sawah 1990 (28 tahun)
Pewawancara : “bapak Frans sudah berapa lama tinggal di Kampung Sawah?”
Informan : “sejak 1990, berarti udah 28 tahun. Waktu pindah ke sini jalanan
masih seperti hutan.”
Pewawancara : “alasan bapak pindah ke sini itu karena apa pak?”
Informan : “saya tadinya tinggal di Tangerang kerjanya jauh di Nestle.
Kebetulan mertua saya tinggal di sini ya saya akhirnya saya ngikut
ke sini. mertua saya orang flores (mertua laki-laki) dan betawi
Cipulir (mertua perempuan).”
Pewawancara : “lalu alasan saudara-saudara bapak yang tinggal di sini itu kenapa
pak?”
Informan : “Ya teman-teman di sini karena mereka nyari kerja di Jakarta,
tanah juga dulu kan masih murah. Saya aja dulu beli tanah di sini
Rp. 9000 per meter coba kalau dibandingkan sekarang hahahahaha
bisa kredit lagi dulu itu.”
Pewawancara : “nah bapak kan sudah cukup lama tinggal di kampung sawah ya.
Kira-kira warga flores yang tinggal di kampung sawah ini memiliki
tokoh warga flores tidak pak?”
Informan : “kalau yang sudah tua nya itu Bapak Selong atau biasa dipanggil
bapak Sili, tapi sekarang dia sudah sakit struk sejak lama dan Cuma
di kursi roda aja. Ya paling untuk sekarang ini yang menjadi tokoh
atau orang yang kami sebagai warga flores hormati ya keponakan
saya itu ketua RT Bapak Marcus.”
Pewawancara : “lalu apakah pengaruh dari ketaatan agama, atau mungkin ada gak
pengaruh status ekonomi yang mempengaruhi mereka ini dianggap
sebagai tokoh warga flores?”
Informan : “ya enggak lah. Keluarga dari ibu mertua saya aja sudah berhaji 4
kali. Agama kalau di kampung sawah tidak terlalu menjadi
permasalahan. Orang flores di kampung sawah khususnya sudah
bercampur dengan orang sini sih, ada yang menikah dengan orang
betawi, jawa juga jadi ya gimana ya kebiasaan mereka pun mau gak
mau kita ikutin ya kita hargai.”
Pewawancara : “terus bapak Marcus kan menjabat sebagai ketua RT nih pak dari
orang Flores asli, apakah bisa dikatakan sebagai tokoh masyarakat
Flores untuk saat ini pak?”
Informan : “ya iya, apalagi sekarang udah jadi ketua RT kita sudah pasti
kalau ada hal apapun mengenai warga yang diutamakan dia. Kami
di sini semakin merasa diakui oleh warga.”
Pewawancara : “lalu apakah sebelum jadi ketua RT pun bapak Marcus ini sudah
cukup berpengaruh di sini?”
Informan : “iya, karena dia juga cukup lama ya di sini hampir barengan sama
saya. Dia itu memang kalau bergaul itu kemana-mana jadi ya
kenalannya banyak makanya banyak juga yang pilih jadi RT.
Karena awalnya kan punya bisnis cat, drum gitu.”
Pewawancara : “nah, ini yang lebih menarik perhatian saya pak. Bagaimana
proses penamaan jalan Maumere pak?”
Informan : “iya ini ada ceritanya nih. Kan sering ya anak-anak muda kami
kumpul-kumpul di bawah, saya juga ada itu. Tiba-tiba beberapa
anak muda nih yang lagi kumpul langsung aja corat coret tembok
pembatan dengan kompek dengan tulisan-tulisan Maumere.
Kebetulan juga dulu kan banyak ya di depan jalan orang yang
mengontrak itu orang-orang Maumere tapi lama-lama ya mereka
pindah juga karena udah dapat kerja atau mungkin rumah di tempat
lain. Tapi tetap jalan maumere ini jadi identitas kami yang orang
Maumere, Flores. awalnya sih ya iseng-iseng lalu sama Marcus ya
dikasih izin dan dipermudah sampai sekarang lah itu ada plang
jalan namanya jalan Maumere. Ya sekitar 3 -4 tahun lalu lah.”
Pewawancara : “lalu kira-kira ada gak nih pak peraturan-peraturan atau norma-
norma yang dijalankan oleh warga flores, misalnya kan banyak ya
remaja flores yang datang untuk mencari kerja atau mungkin
menumpang tinggal dirumah saudara yang di sini. sebelumnya
mereka apa dikasih wejangan atau diberitahu norma-norma?”
Informan : “ya kalau untuk internal keluarga itu mungkin ditanamkan lah ya
bagi anak-anaknya, tapi ya kalau misalnya ada yang butuh kerjaan
atau apapun ya kita yang punya link atau sekedar informasi ya
kasih tau. Saya kasih info juga ini, kebanyakan orang flores di sini
itu pindahan dari Priok semua dulu tinggal di Merak alasan pindah
ke sini awalnya ada yang pindah terus lama-lama pada ikutan
karena tanah juga masih murah ya.”
Pewawancara: “terus nih ya pak misal ada kerabat muda-muda yang baru datang
buat cari kerja sering ya pak dicarikan sama keluarga atau kerabat
di sini?”
Informan : “iya seperti Marcus dia kalau ada remaja-remaja kami yang baru
datang suka dicarikan pekerjaan, atau diperkejakan di usaha yang
dia punya, pembuatan drum gitu. Mereka pun masih punya ikatan
saudara ya meskipun jauh. Kalau kami tidak menerima mereka di
sini kasihan juga ya karena kami pun awalnya sama seperti
mereka, orang asing.”
Pewawancara : “apakah masyarakat Flores dijamin keamanan, keberadaan dan
bergantung pada saran-saran dalam pernikahan, kematian atau
bahkan dalam politik?”
Informan : “kalau kami semua sudah dijamin, karena tiap bulannya ada iuran
jadi misal ada keluarga kami ada yang kesusahan atau
membutuhkan dana yang mendesak atau apapun ya sudahh ada
pegangan dari warga. Tapi kalau untuk politik di sini sih tidak ada
intervensi atau pemaksaan itu kan hak masing-masing.”
Pewawancara : “nah bapak kan meskipun sudah tinggal lama di sini apakah bapak
masih merasa kalau bapak dengan warga flores lainnya sebagai
kelompok minoritas di Kampung sawah? Karena kan masih lebih
dominan masyarakat betawi, jawa dan sunda gitu. Apakah bapak
masih merasakan adanya pembatasan kelompok di masyarakat?”
Informan : “maksudnya ada kelompok-kelompok gitu? Oh tidak ya, di sini
sih sudah lebih membaur. Ya di sini pun kami masih sangat
membutuhkan orang-orang asli sini seperti betawi karena mereka
yang lebih tahu latarbelakang ya bagaimanapun mereka tuan rumah
dan kami adalah tamu.”
Pewawancara : “alasan bapak dari flores pindah ke Jakarta apakah dipengaruhi
kebudayaan sana? Mungkin yang memang mengharuskan anak
laki-laki untuk merantau, atau kebudayaan sana yang terlalu
mengekang mungkin?”
Informan : “saya dulu ke Jakarta itu tamat SMP, ya nyari kerja gitu. Saya
ditolong sama om saya dulu kerja di Departemen Perdagangan
sampai ngasih saya ongkos lah gitu. Karena dulu mau sekolah tidak
ada uang, di situ lah saya belajar mandiri.”
Pewawancara : “terus perbedaan keadaan alam kan tentu berbeda ya pak, apa itu
menjadi alasan yang mempengaruhi bapak berpindah Jakarta yang
notabennya ada di pulau jawa?
Informan : “tentu ya itu sangat berpengaruh besar sekali. Ya lingkungan aja
kan kita orang baru di sini, Bahasa pun kita awalnya perlu
pemahaman lagi ya.”
Pewawancara : “kira-kira masih ada kebiasaan atau budaya flores yang masih
dibawa sampai sekarang gak?”
Informan : “ohh, kita ada kesenian seperti suling. Tapi itu juga udah tidak asli
flores lagi karena sudah mengalami perubahan dan penyesuaian.
Sampai sekarang pun masih berjalan dan suka di undang ke mana-
mana, tapi karena pemain-pemainnya itu sudah kerja di luar kota
untuk berkumpulnya susah. Nama keseniannya Rokantenda
(goyang kekiri) yang kini sering dinyanyikan untuk tarian-tarian
senam itu kan khas maumere. Kita berbaur di sini malah Bahasa
jadi lebih ke betawi, malah anak-anak kecilnya bahkan tidak tau
Bahasa Flores. kesenian tradisional kami ini kan sudah beberapa
periode ya emang sekarang aja ini sudah makin jarang dipakai
untuk kegiatan acara. Ini baru dipesan lagi alat-alatnya langsung
dari Flores.”
Pewawancara: “ oh enggak dibuat di sini ya pak.”
Informan : “ya enggak, dikirim dari Flores. Enggak ada itu di sini
pembuatannya. Nanti deh kalau ada acara atau pesta adat kamu
saya suruh isteri saya ajak kamu supaya tahu bagaimana dan seperti
apa. Tapi ya begitu kalau sudah di atas jam 10 malam kursi-kursi
dipindahkan orang-orang menari dengan lagu-lagu kami, bisa-bisa
sampai subuh kalau yang masih kuat.”
Pewawancara: “terus kalau untuk Bahasa Maumere sendiri masih digunakan di
sini pak?”
Informan : “iya kalau sedang mengobrol ya masih dipakai, misalnya nih
“nona manise” artinya nona manis, seperti ucapan salam atau
percakapan lainnya ya sering dipakai. Ini kalau Maumere campuran
ya mereka agak sedikit paham lah.”
Pewawancara : “terus itu jalanan awalnya kan masih jalan setapak ya pak Cuma
muat untuk motor, sekarang bisa jadi bagus dari kapan pak?”
Informan : “oh itu dari Marcus sama ketua bina lingkungan di sini
mengajukan ke Gereja, dari satu minggu yang lalu lah. Terus
dananya cair untuk membangun jalan di depan supaya enggak
becek lagi kan dapat dana. Serta umat-umat gereja yang susah
diperhatikan dan dibantu. Untuk dana ya dapat subsidi langsung
dari Katedral (gereja Katolik Pusat) bertahap satu lingkungan itu
dikasih Rp. 50.000.000,- dan dibagi-bagi lah untuk umat umat-umat
gereja yang susah diperhatikan dan memang sedang butuh.”
Pewawancara : “terus kalau kegiatan kumpul-kumpul antara keluarga Maumere di
sini bagaimana pak? Apa ada agenda khususnya?”
Informan : “kalau kumpul ya iya, acara paling pesta-pesta yang
membutuhkan adat seperti nikahan yang tergantung tuan rumahnya
mau pakai adat atau enggak. Tari-tarian seperti rokatenda,
sambutan untuk pengantin pakai Bahasa Flores, pakaian nikahan
disebutnya „du a mo an‟, musik-musik penyambutan pengantin dari
gereja sampai ke rumah mempelai gitu.”
Pewawancara : “wah saya bener-bener dapat ilmu baru nih tentang adatnya.”
Informan :”iya. Terus ketika acara pernikahan adat Flores biasanya ada itu
bapak Sili yang menjadi ketua adat istilahnya bagi kami, untuk
pemberkatan dengan Bahasa Flores terus dikepret (diciprati)
dengan air daun siri atau semacamnya dengan doa-doa, ya saya
juga tidak terlalu mengerti artinya ya. Itu bisa juga loh memanggil
roh leluhur seperti ketika acara pernikahan sebelum meniup itu
suling harus ada doa-doanya supaya suling itu ketika ditiup
suaranya keras seperti ada energi yang masuk gitu nah Bahasa
Floresnya itu „tung pyong‟. Memang kalau ditelisik secara agama
ya bertentanga, tapi karena ini memang tradisi dan adat yang
memang harus dijaga susah juga untuk menghilangkannya apalagi
kalau di Maumere sananya masih sangat kental itu kalau di sini kan
sudah disesuaikan dengan lingkungan dan kebiasaan.”
Pewawancara : “terus Bapak Sili kan jadi ketua adat ya bagi warga Maumere di
sini. ada gak pak sebutan atau panggilan kehormatan gitu pak?”
Informan : “oh ada. Sebutnya „mo at‟ (orang yang dituakan). Alasannya kan
karena ketika ada urusan yang berkaitan dengan adat atau tradisi
beliau yang diutamakan, seperti pesta adat atau pertemuan yang
membutuhkan doa-doa adat. Karena yang paling tua itu yang masih
kental dengan adat Maumere, Floresnya yang paling paham dengan
ritual-ritual asli seperti meminta perlindungan, memohon supaya
enggak hujan saat pesta, terus makanan pesta juga didoakan kan
suka tuh ya makanan tiba-tiba rasanya basi atau tidak enak padahal
baru dimasak gitu, nah itu didoakan supaya tidak membuat malu
keluarga atau pihak yang sedang pesta.”
Pewawancara : “Terus pak kalau tokoh secara adat kan ini Bapak Sili ya, tokoh
masyarakat Flores atau Maumere secara keseluruhannya siapa ini
ya atau tokoh mudanya? Istilahnya yang paling dibergantungkan
sama masyarakat Flores gitu.”
Informan : “Beda dengan Marcus, kalau Bapak Sili kan memang beliau yang
mengurusi kegiatan adat istiadat kami warga Maumere. Kalau
Marcus dia masyarakat Maumere keseluruhan khususnya yang jadi
warganya di RT. 005 ini seperti keamanan warga, ya karena dia
(bapak Marcus) bisa menganyomi warga termasuk anak-anak muda
di sini.”
Pewawancara: “terus pak mohon maaf ini kalau misalnya Bapak Sili sudah tidak
mampu lagi untuk menjadi ketua adat siapa yang gantiin?”
Informan : “itu sih emang dikhawatirkan ya, anak-anaknya juga udah pada
berpencar karena alasan menikah atau kerja gitu ya, sebagian besar
yang udah tua udah meninggal. Bisa dikatakan ya emang udah abis
ya.”
Pewawancara : “terus Pak peran mo at tersebut selain jadi ketua adat atau orang
yang paling dibutuhkan ketika ada kegiatan adat yang memang
butuh ritual atau doa semacamnya itu apa pak? Apakah bisa
memberikan masukan-masukan atau solusi gitu ketika
masyarakatnya lagi dapat masalah?
Informan : “iya itu juga salah satu perannya ya, enggak jarang yang banyak
minta doa-doa keselamatan, rezeki, jodoh atau apalah itu ya atau
saran-saran sesuai dengan agama kami ataupun lainnya ke bapak
Sili, Cuma untuk sekarang karena faktor umur itu tadi, kemampuan
untuk beraktifitas makin kurang kan. Agak cukup susah juga.”
Pewawancara : “oke deh pak. Sampai sini aja dulu wawancaranya, bapak juga
mau lanjut aktivitas lagi. Terimakasih banyak ya pak maaf sudah
menggaggu waktu santainnya.”
Informan : “iya nanti sering-sering main ke sini. Kita ngobrol lagi sama isteri
saya juga ya.”
Pewawancara : “Boleh dikenalkan dulu bapak namanya siapa terus umurnya
berapa. Pak?”
Informan : “Nama Vincent, umur saya masih muda kok 67 tahun.”
Pewawancara : “Bapak saat sudah pindah ke sini apa sudah menikah sama ibu?”
Informan : “Oh iya belum.”
Pewawancara : “Bapak pindah ke sini apakah ikut saudara atau bagaimana pak?
Mungkin bisa dijelaskan."
Informan : “Pindah ke sini? ohhh enggak, ke Kampung Sawah ini tadinya kan
dari Tanjung Priok. Dulu kan di sana ngontrak per bulannya tahun
1975-1976 itu masih murah. Dulu saya waktu di flores bantu orang
tua punya lahan untuk digarap saja.”
Pewawancara : “Jadi alasan pindah ke sini karena pindah kerja atau bagaimana?”
Informan : “Kami awalnya kan merantau dan kerja di Tanjung Priok. Saya
pindah ke sini dulu karena tanah masih murah di tahun 1979 masih
sekitar Rp. 5000/ meter. itu juga bermula ajakan dari teman-teman
yang lebih dulu tinggal di sini sesama orang Flores. Dulu juga kan
kami untuk air aja di Tanjung Priok itu kan beli, kalau di sini kan
tidak beli, gereja dekat, sekolah juga dekat.”.”
Pewawancara : “ Kenapa bapak pilih kampung sawah pak?”
Informan : “Karena dulu di Priok kan air beli, kalau di sini kan air kita tidak
beli, gereja kita dekat, sekolah juga dekat.”
Nama Vincent (67 tahun)
Status Warga RT. 005/ 003
Tanggal Wawancara 17 Maret 2018
Lama tinggal di Kampung Sawah 1982 (36 tahun)
Pewawancara : “Ada tidak pak adat kebiasaan yang masih dijaga sampai sekarang
ini, yang dibawa dari Flores?”
Informan : “Yang paling penting tatakrama lah yang dijaga.”
Pewawancara : “Terus ada tidak pak untuk warga flores sendiri tokoh yang paling
dituakan atau dihormati?”
Informan : “Selain Marcus sih ada yang paling dituakan, Cuma ya karena
sudah sakit-sakitan terus juga sudah banyak yang meninggal. Yang
masih ada itu bapak Vius Vedo. Ada sekitar 20 tahun tinggal di
sini.”
Pewawancara : “apa ada sebutan atau panggilan khusus untuk memanggil tokoh
atau orang-orang yang dituakan ini?”
Informan : “Ya paling manggil om atau opung (kakek).”
Pewawancara : “Atau mungkin ada tidak peraturan-peraturan khusus atau norma
yang dibuat?”
Informan : “ya itu sudah diatur oleh tokoh kami, dan menerapkan dari dalam
keluarga. Kalau adat dari Flores sendiri karena keras ya. Tapi
karena kami juga menyesuaikan dengan adat di sini, adat asal kami
tidak cocok ditanah rantau.”
Pewawancara : “terus nih pak, balik lagi ke pertanyaan. Untuk sekarang ini siapa
yang menjadi sosok yang menjaga masyarakat Flores, secara kan
sekarang ini masyarakat Flores jumlahnya lebih sedikit
dibandingkan kelompok masyarakat lain. Siapa yang berperan
untuk menjaga kelompok ini?
Informan : “Siapa ya. Sekarang sih untuk tokoh-tokoh itu tinggal anak-
anaknya aja, Cuma enggak seperti orang tua mereka yang sangat
menjaga kami. Untuk sekarang ini ya Marcus ya salah satu orang
asli Flores yang cukup punya pengaruh penting.”
Pewawancara : “oke pak, saya dapet informasi juga tentang moke semacam
minuman khas flores bener ya pak? Bisa bantu dijelasin gak pak,
apa itu dan cara pembuatan moke.”
Informan : “Oh, moke. di sini banyak yang bawa tapi dijual lagi. Bahannya
dari pohon aren dan pohon lontar yang disuling airnya lalu
difermentasi, diminum saat ada acara pesta. Ada semacam kayu
atau akar yang direndam sebagai campurannya saat difermentasi itu
supaya rasa dan aromanya lebih kuat.”
Pewawancara : “terus masih suka diminum pak kalau di sini? kan dibuatnya
langsung dari Flores, apa harus nunggu keluarga datang membawa
atau bagaimana?
Informan : “biasanya anak-anak kita yang kalau pulang kampung suka bawa
itu minuman (moke) untuk oleh-oleh itupun dibawa juga tidak
banyak, paling cuma tiga sampai lima botol karena ada
pemeriksaan ketat di dermaga.”
Pewawancara : “kalau di sini apa ada rundingan-rundingan dari warga Flores
dalam pemilihan calon pemimpin politik misalnya presiden atau
pemilihan calon walikota gitu, ada gak?
Informan : “ya mereka lah yang kader-kader itu, kalau kita paling Cuma
sosialisasi saja tidak ada paksaan untuk urusan politik ya itu urusan
kita pribadi dong.”
Pewawancara : “oke kalau mengenai tokoh masyarakat Flores seperti yang udah
tadi dibilang kan seperti Bapak Marcus ya untuk sekarang ini.
Orangnya bagaimana menurut bapak?
Informan : “ya kalau Marcus kan selain karena dia itu adalah RT, orangnya
juga sosialnya tinggi, bergaul sama siapa aja.”
Pewawancara : “kalau untuk jumlah warga asli Flores yang bapak Vincent tau
kira-kira ada berapa pak?”
Informan : “ya kurang lebih ada 30-40 keluarga ya, kebanyakan sih masih
pada ngontrak nanti pindah, terus ada yang datang lagi. Seperti itu
lah. Kalau jaman dulu sih memang paling banyak warga Floresnya,
Cuma yang tua-tuaya sudah pada menninggal. Ada juga yang suka
datang pergi itu remaja-remaja yang datang buat nyari kerja.”
Pewawancara : “terus pak untuk sekarang ini kira-kira alasan lain yang membawa
remaja-remaja Flores tinggal sementara di sini kenapa pak? kalau
bapak tau.”
Informan : “ya mereka karena alasan cari kerja. kalau seperti Bapak Marcus
sendiri yang memang asli dari Flores, suka mendatangkan anak-
anak muda asal Flores untuk mencari kerja, dia kan mampu
menyediakan lapangan kerja bagi remaja-remaja Flores karena dia
kan punya usaha pembuatan drum-drum besar.”
Pewawancara : “Berarti siapa yang mengawasi datangnya remaja-remajanya? Apa
bapak dengan ibu?
Informan : “Ya kalau itu paling bapak Marcus yang ngawasin. Kita kan orang
tua gak ikut-ikutan nimbrung, paling kita cuma bantu ingetin aja
jangan rese kalau di sini. karena kalau remaja-remaja kita suka ada
yang mabuk kan suka mengganggu warga lainnya.”
Pewawancara : “Oke bapak dan ibu ini saya terimakasih udah diterima dengan
baik, mohon maaf kalau pertannyaan tadi ada yang menyinggung.”
Informan : “Iya kok kita terima dengan baik. Bapak dulu disini pindah dari
tahun 1982 dari masih banyak pohon duren, masih hutan lah. Tanah
juga masih becek, lampu juga masih pakai lampu tempel. Sudah
ya.”
Pewawancara : “iya bapak, terimakasih banyak. Maaf mengganggu waktu nya ini,
hehehehe”
Nama Margareta Dewi (23 tahun)
Status Warga RT. 005/ 003
Tanggal Wawancara 9 Desember 2017 dan 25 Agustus
2018
Lama tinggal di Kampung Sawah 2001 (17 tahun)
Pewawancara : ““halo mba Dewi, maaf ini saya ganggu waktunya, saya mau
tanya-tanya seputar masyarakat Flores di sini boleh ya mba?
Informan : “iya boleh kok mba.”
Pewawancara : “mba Dewi dengan keluarga asli flores atau keturunan campuran
mba?
Informan : “Bapak saya orang Flores yang datang ke sini ketemu sama ibu
saya orang Jawa.”
Pewawancara : “ohh. Mba sama keluarga tinggal di Kampung Sawah dari
kapan?”
Informan : “hhmm sekarang aku aja udah umur 23 tahun, udah lama sih ya.
Sejak aku SD kelas satu pindah ke sini awalnya tinggal di Priok
waktu Bapak masih kerja di sana. Kita juga dari kecil belum pernah
pulang ke Flores karena lahir di Jakarta.”
Pewawancara : “tadi saya awalnya ke rumah Bapak Marcus dulu ini, Cuma beliau
gak ada di rumah kata anaknya.”
Informan : “iya emang lagi pergi bapaknya, semalam katanya sih ke puncak.”
Pewawancara : “oke mba Dewi, karena kelahiran Jakarta mba paham mengenai
budaya atau kebiasaan Flores?”
Informan : “ya sedikit-sedikit lah ya dikenalkan sama bapak saya.”
Pewawancara : “kalau di RT 005 RW 003 ini apa emang banyak warga Flores
mba karena kebetulan kan nama gang nya ini udah seperti identitas
warga gitu.”
Informan : “ya kurang lebih cukup banyak ya. Tapi tetap sih paling banyak
kan orang betawi asli sini sama warga yang dari jawa. Kalau Flores
karena kami Cuma pendatang-pendatang aja sih, tapi kebetulan
banyak yang sudah menetap lama ya mba”
Pewawancara : “berarti mba hubungan saudara di sini masih banyak?
Informan : “saudara ya ada juga di sini."
Pewawancara : “kalau saya boleh tau nih mba, bapak Marcus kalau gak ada di
rumah itu karena kesibukan kerja biasanya?”
Informan : “iya, karena kebetulan dia punya pabrik jadi Cuma ngecek aja sih
paling sore di rumah. Kalau mau datang lagi biasanya pagi jam
Sembilan atau mungkin sore, pasti bapaknya ada dirumah.”
Pewawancara : “oh iya mba Dewi, di keluarga ini masih suka ngobrol pakai
Bahasa Flores?”
Informan : “ya masih untuk orang tua, kalau saya yang masih muda paham
sedikit-sedikit ketika mereka bicara pakai Bahasa Flores. Tapi saya
ketika ditanya atau menjawab dengan Bahasa Flores yang tidak
bisa.”
Pewawancara: “oh gitu ya mba, jadi paham sedikit gitu ya kalau ada orang tua
yang ngobrol pakai Bahasa Flores. Ngomong-ngomong saya
terakhir ke sini dua bulan lalu jalanan di depan belum bagus,
sekarang udah diperbaiki ya mba. Itu dari dana iuran warga atau
bagaimana? ”
Informan : “oh enggak, itu atas saran bapak Marcus ke ketua lingkungan kita
untuk minta bantuan keuskupan dari gereja minta supaya diperbaiki
karena kalau hujan kan becek gitu ya apalagi akses utama kami
kalau ke luar. Bantuan-bantuan lainnya untuk umat katolik ada ya
dari gereja, tapi kalau umat lain ya ada dana sendiri dari warga.”
Pewawancara: “terus ada enggak sih mba kegiatan-kegiatan kumpul warga Flores
misalnya acara rutinnya gitu.”
Informan : “ada. Biasanya menjelang natal untuk kami flores yang Katolik,
biasanya kegiatan kumpulnya di Matraman, Jakarta Pusat jadi
seluruh Maumere mau yang asalnya Manggarai, Flores atau yang
dari Lanbata gitu.”
Pewawancara : “untuk perwakilan dari warga Flores di sini siapa mba yang jadi
pengurus atau yang sibuk mengurusi acara kumpul itu mba?”
Informan : “jarang sih ya mba, soalnya enggak semuanya mau ikutan kumpul
juga karena alasan jauh atau sebagainya gitu ya. Paling yang ber-
tittle atau punya pengaruh aja yang jadi panitia terus
mengkoordinir warga kami.”
Pewawancara: “mungkin kayak Bapak Marcus mba?”
Informan : “ya beliau salah satunya, karena yang paling dikenal dan asli
Flores yang masih cukup muda dan paham seperti itu lah ya mba.
Itu juga kan tergantung dari pembentukan panitia perwakilannya.”
Pewawancara : “oh berarti kegiatan kumpul-kumpul itu ketika sedang ada momen
aja ya mba, seperti menjelang natalan gitu ya.”
Informan : “iya terus juga kalau ada pesta pernikahan, kan keluarga Flores
dari mana aja datang. Misalkan yang dari Tangerang atau daerah
lain itu pada datang, kadang pesta sampai pagi.”
Pewawancara : “terus mba kalau dari yang saya tahu berarti ikatan persaudaraan
warga Flores kan masih sangat erat nih ya. Misalnya ketika ada
saudara yang sedang kesusahan gitu siapa yang paling dibutuhkan
saat seperti itu?”
Informan : “ya pastinya keluarga dulu ya, yang dimintai tolong. Cuma karena
kami juga seringkali bergantung sama tokoh kami seperti bapak Sili
atau Bapak Selong yang sangat paham adat istiadat Maumere,
Flores atau Bapak Marcus yang bisa ditemui atau diminta tolong
kapan aja kadang juga kami minta saran atau masukan ke mereka
gitu.”
Pewawancara : “dimintai tolong itu ketika apa mba Dewi?”
Informan : “ya apa ya, tergantung kesulitan orangnya dan apa yang
dibutuhkan ya. Misal keponakan saya bulan april lalu sempat sakit
radang usus harus masuk rumah sakit. Karena saat itu keadaan
keuangan kami lagi kurang karena bapaknya enggak kerja ya mau
enggak mau dong kami minta tolong ya istilahnya minta
dipinjamkan untuk biaya berobat ke Om Marcus. Tapi setelah
keponakan saya sembuh saya langsung urus permohonan bantuan
dari pihak keuskupan gereja untuk mengganti uang yang
dipinjamkan Om Marcus gitu. Mungkin yang lain juga ada ya tapi
saya tidak tahu persis apa kebutuhannya”
Pewawancara : “oh gitu mba, apa harus ada timbal baliknya gitu mba Dewi?”
Informan : “ya paling saya harus ganti uang pinjaman secepatnya, karena
enggak enak juga lah ya mba. Itu aja sih”
Pewawancara : “okedeh mba Dewi, terimakasih ya infonya.”