ANALISIS HUKUM TERHADAP WANPRESTASI ROYALTY FEE DALAM
PERJANJIAN WARALABA (STUDI PUTUSAN NOMOR 493/PDT/2018/PT.DKI)
J U R N A L
Diajukan untuk Melengkapi Tugas Akhir dan Memenuhi Syarat-syarat untuk
Memperoleh Gelar Sarjana Hukum
OLEH:
NATASIA AGUSTIN SINABARIBA
NIM: 150200143
DEPARTEMEN HUKUM EKONOMI
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
2019
ii
ABSTRAK ANALISIS HUKUM TERHADAP WANPRESTASI ROYALTY FEE DALAM
PERJANJIAN WARALABA (STUDI PUTUSAN NOMOR 493/PDT/2018/PT.DKI)
Oleh:
Natasia Agustin Sinabariba
Prof. Dr. Bismar Nasution, S.H., M.H.
Dr. Mahmul Siregar, S.H., M.Hum.
Waralaba merupakan salah satu bisnis yang berkembang pesat dewasa ini. Oleh karena hal ini, maka diperlukan suatu peraturan perundang-undangan yang memberikan perlindungan dan kepastian hukum bagi para pihak yang terlibat dalam bisnis waralaba. Para pihak yang terlibat dalam waralaba diwajibkan untuk mengadakan perjanjian waralaba. Perjanjian waralaba yang disepakati tersebut merupakan undang-undang bagi para pihak yag membuatnya. Para pihak yang tidak mematuhi perjanjian waralaba yang telah disepakati bersama dapat dinyatakan wanprestasi. Wanprestasi pembayaran royalty fee merupakan salah satu bentuk wanprestasi yang dilakukan oleh franchisee. Penelitian ini membahas kasus wanprestasi royalty fee yang terdapat dalam putusan No. 493/PDT/2018/PT.DKI. Wanprestasi pembayaran royalty fee dilakukan oleh pihak frachisee kepada PT. My Salon Internasional selaku franchisor. Metode penelitian yang digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah yuridis normatif yang dilakukan dengan cara meneliti data sekunder yang terdiri dari bahan hukum primer, sekunder dan tersier. Teknik pengumpulan data dilakukan dengan cara studi pustaka. Data yang telah diperoleh tersebut dianalisis secara kualitatif. Berdasarkan hasil penelitian, pengaturan wanpretasi pembayaran royalty fee dalam perjanjian waralaba diatur dalam perjanjian yang disepakati para pihak serta dalam ketentuan-ketentuan umum yang terdapat pada buku III KUH Perdata. Penyelesaian sengketa dalam perkara ini diselesaikan melalui jalur litigasi. Adapun penerapan hukum dalam putusan No. 493/PDT/2018/PT. DKI telah dilaksanakan dengan benar. Dalam putusan tersebut, majelis hakim menyatakan bahwa pihak penggugat telah kehilangan hak nya untuk menggugat karena telah terlebih dahulu melakukan wanprestasi, yaitu dalam hal tidak menyediakan karyawan untuk outlet salon yang ada. Hal ini sesuai dengan prinsip exceptio non adimpleti contractus yang diatur dalam Pasal 1478 KUH Perdata. Hal ini mengakibatkan outlet salon yang dikelola Tergugat tidak dapat beroperasi secara maksimal, sehingga Tergugat tidak melakukan kewajiban nya dalam hal membayar royalty. Kata Kunci: Waralaba, Wanprestasi, Royalty Fee
Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara Dosen Pembimbing I Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara Dosen Pembimbing II Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara
iii
ABSTRACT
JURIDICIAL ANALYSIS ON ROYALTY FEE DEFAULT IN FRANCHISE CONTRACT (A STUDY ON THE VERDICT NUMBER 493/PDT/2018/ PT.DKI)
By:
Natasia Agustin Sinabariba
Prof. Dr. Bismar Nasution, S.H., M.H.
Dr. Mahmul Siregar, S.H., M.Hum.
Franchise is a kind of business that is growing rapidly nowadays. Because of this thing, a regulation is needed to provide protection and legal certainty for those who involved in the franchise business. Each party involved in the franchise is required to make a franchise contract. The franchise contract that was agreed upon was a law for them. Every parties who do not comply with the contract are declared default. Royalty fee default is one form of default carried out by franchisee. This study discusses the case of royalty fee default in franchise contract which is contained in the verdict number 493/PDT/2018/ PT.DKI. The royalty fee default was done by franchisee to PT. My Salon International as the franchisor.
The method of research juridicial normative that is done by examining secondary data consist of primary, secondary, and tertier legal material. Data collection techniques through literature study. Then the data obtained were analysed qualitatively.
Based on the result of this research, regulation of default royalty fee in franchise contract regulated in a contract agreed by the parties and general provisions contained in book III of the Civil Code. Dispute resolution in this case is carried out through litigation. The application of the law in Verdict Number 493/PDT/2018/ PT.DKI has been done properly. In the verdict, the judges stated that the plaintiff had lost his right to sue because they had previously defaulted. Default in kind of not providing employees for existing salon outlets. This is an accordance with the principle exception non adimpleti contractus that regulated in article 1478 Civil Code. This resulted in the salon outlet managed by the defendant being unable to operate properly, which made the defendant not carry out their obligation to pay royalty fee. Key Word: Franchise, Default, Royalty Fee
University of North Sumatra Faculty of Law students
First Advisor of the Faculty of Law, University of North Sumatra
Supervisor II of the Faculty of Law, University of North Sumatra
iv
CURRICULUM VITAE
Nama Lengkap Natasia Agustin Sinabariba
Jenis Kelamin Perempuan
Tempat, Tanggal Lahir Deli Tua, 31 Agustus 1997
Kewarganegraan Indonesia
Status Belum Menikah
Identitas NIK KTP.1207227108970003
Agama Kristen Protestan
Alamat Domisili Jl. Besar Deli Tua, Gg.
Teratai No. 73
No. Telp 081262867636
Email [email protected]
Tahun Institusi Pendidikan Jurusan IPK
2004-2009 SD Swasta Singosari Deli Tua - -
2009-2012 SMP Negeri 2 Medan - -
2012-2015 SMA Swasta Santa Maria Medan IPA -
2015-2019 Universitas Sumatera Utara Hukum Ekonomi 3,55
C. Data Orang Tua
Nama Ayah/ Ibu : Rosbet Sinabariba/Tiarma Sitohang
Pekerjaan : Pegawai Swasta/-
Alamat : Jl. Besar Deli Tua, Gg. Teratai No. 73
A. Data Pribadi
B. Pendidikan Formal
1
I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Bisnis waralaba adalah bisnis yang dewasa ini pertumbuhannya sangat
pesat dan memberi warna tersendiri dalam bisnis di Indonesia. Walaupun pada
awalnya lembaga waralaba tidak terdapat dalam tradisi bisnis masyarakat
Indonesia, saat ini waralaba telah masuk ke dalam tatanan budaya dan hukum
masyarakat Indonesia karena adanya pengaruh globalisasi dari berbagai
bidang.1
Di Indonesia bentuk usaha franchise ini banyak digunakan dalam
berbagai sektor usaha. Diantaranya adalah sektor makanan, jasa, retail, dan
farmasi.2 Perkembangan brand waralaba lokal sangat baik belakangan ini. Hal ini
dapat terjadi karena inovasi yang terus dilakukan oleh pengusaha waralaba
untuk dapat bersaing dengan bisnis lainnya.3 Pertumbuhan bisnis waralaba
memberikan kontribusi yang besar terhadap perekonomian di Indonesia. Pada
tahun 2018, omzet dari bisnis waralaba di Indonesia mencapai sekitar Rp150
triliun dan masih akan terus bertambah ke depannya. Kontribusi itu berasal dari
waralaba lokal dan asing sebanyak 2.000 merek. Waralaba masih menjadi salah
satu bisnis yang menjanjikan di masa depan.4
Dengan adanya perkembangan tersebut, maka diperlukan suatu aturan
hukum yang dapat memberikan perlindungan dan kepastian hukum bagi para
pihak yang terlibat dalam bisnis waralaba. Pemerintah telah mengeluarkan
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 16 tahun 1997 tentang Waralaba
(selanjutnya disebut PP No. 16/1997) dan Keputusan Menteri Perindustrian dan
Perdagangan Republik Indonesia No. 259/MPP/KEP/7/1997 tentang Ketentuan
dan Tata Cara Pelaksanaan Pendaftaran Waralaba. Keduanya telah diubah
dengan Peraturan Pemerintah No. 42 Tahun 2007 tentang Waralaba (selanjutnya
1 Adrian Sutedi, Hukum Waralaba, (Bogor: Ghalia Indonesia, 2008), hlm.6-7.
2 Gunawan Widjaja (selanjutnya disebut Gunawan Widjaja I), Seri Hukum
Bisnis:Waralaba, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2003), hlm.19. 3Bisnis UKM, “Waralaba, Apa Keuntungannya?”, diakses dari
https://bisnisukm.com/waralaba-apa-keuntungannya.html, tanggal 27 Juni 2019 pukul 18.02 WIB
4Oke Finance, “Omzet Rp150 Triliun, Momentum Emas Ekspansi Bisnis
Waralaba”, diakses dari
https://economy.okezone.com/read/2019/04/22/320/2046337/omzet-rp150-triliun-
momentum-emas-ekspansi-bisnis-waralaba?page=1 diakses tanggal 27 Juni 2019 pukul
18.14 WIB.
2
disebut PP No. 42 tahun 2007) dan Peraturan Menteri Perdagangan RI No.
12/M-DAG/PER/3/2006 Tentang Ketentuan dan Tata Cara Penerbitan Surat
Tanda Pendaftaran Usaha Waralaba (selanjutnya disebut Peraturan Mentri
Perdagangan RI No.12/M-DAG/PER/3/2006).
Pada dasarnya Waralaba/Franchise adalah sebuah metode
pendistribusian barang dan jasa kepada konsumen. Adapun para pihak yang
terlibat dalam bisnis Waralaba yaitu franchisor (pemberi waralaba) yang
memberikan lisensi kepada franchisee (penerima waralaba) untuk melakukan
pendistribusian barang dan jasa dengan menggunakan kumpulan produk, merek
dagang, dan sistem bisnis yang diciptakan franchisor, dan franchisor
memberikan bantuan terhadap franchisee agar franchisee dapat menjalankan
usahanya dengan baik.5
PP No. 42 tahun 2007 dan Peraturan Menteri Perdagangan No. 12/M-
DAG/PER/3/2006 mewajibkan para pihak yang terlibat dalam sistem waralaba
melakukan perjanjian waralaba. Perjanjian Waralaba merupakan salah satu
aspek perlindungan hukum kepada para pihak dari perbuatan merugikan pihak
lain.6 Para pihak juga harus mematuhi perjanjian waralaba yang telah disepakati
bersama agar tidak menimbulkan wanprestasi. Wanprestasi terjadi ketika salah
satu pihak tidak melaksanakan kewajiban sebagaimana tertera dalam perjanjian
waralaba. Wanprestasi dapat menimbulkan kerugian bagi salah satu pihak.7
Bentuk-bentuk wanprestasi yang dilakukan oleh para pihak dalam
perjanjian waralaba tergantung kepada siapa yang melakukan wanprestasi
tersebut.8 Wanprestasi pembayaran royalty fee merupakan salah satu bentuk
wanprestasi yang dilakukan oleh franchisee. Royalty fee adalah biaya berjalan
atau periodik yang harus dibayarkan oleh franchisee kepada franchisor sebagai
bentuk kontribusi bagi hasil dari pendapatan franchisee atas penggunaan hak
kekayaan intelektual milik franchisor dalam menjalankan bisnis waralaba.9
Wanprestasi yang dilakukan oleh franchisee dalam hal tidak membayar royalty
fee kepada franchisor dapat merugikan pihak franchisor.
Berdasarkan latar belakang yang ada tersebut, membuat penulis tertarik
untuk mengangkat judul tentang “Analisis Hukum Terhadap Wanprestasi Royalty
5 H. Moch. Basarah dan H.M. Faiz Mufidin, Bisnis Franchise dan Aspek-aspek
Hukumnya (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2008), hlm.2. 6 Gunawan Widjaja I, Op. Cit., hlm.80.
7 Adrian Sutedi, Op. Cit., hlm.90.
8 Ibid.
9 Ibid., hlm.73.
3
fee dalam Perjanjian Waralaba (Studi Putusan No. 493/PDT/2018/PT.DKI)”.
Kasus ini berkaitan dengan PT. My Salon Internasional sebagai Penggugat yang
adalah sebuah perseroan yang bergerak dalam bidang usaha jasa salon dengan
menggunakan merek dagang MYSalon melawan Ratnasari Lukitaningrum
sebagai Tergugat yang adalah sebagai pihak yang menjalin hubungan kerjasama
dengan pola kerjasama waralaba/franchise dengan pihak Penggugat. Tergugat
telah membuka usaha salon dengan menggunakan merek dagang MYSalon milik
Penggugat di lokasi yang telah disepakati bersama yaitu Outlet MYSalon
Jababeka dan Outlet MYSalon Galaxi. Dalam kasus ini Tergugat sebagai
penerima waralaba/franchisee telah melakukan wanprestasi terhadap Perjanjian
Kerjasama Waralaba dan Perjanjian Lisensi yaitu sudah tidak lagi membayar
kewajiban royalty fee outlet MYSalon yang dijalankannya.
B. Rumusan Masalah
Adapun yang menjadi rumusan masalah dalam penelitian ini adalah:
1. Bagaimanakah pengaturan wanprestasi royalty fee pada perjanjian waralaba
dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia?
2. Bagaimana penyelesaian sengketa akibat wanprestasi pembayaran royalty
fee dalam perjanjian waralaba?
3. Bagaimanakah penerapan hukum dalam perkara wanprestasi royalty fee
dalam perjanjian waralaba pada putusan No. 493/PDT/2018/PT.DKI?
4
II. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Wanprestasi Pembayaran Royalty Fee Dalam Perjanjian Waralaba
Berdasarkan Hukum Di Indonesia
Waralaba yang dikenal juga dengan Franchise berasal dari bahasa Latin,
yaitu francorum rex yang berarti “bebas dari ikatan”, yang mengacu kepada
kebebasan untuk memiliki hak usaha. Adapun pengertian franchise berasal dari
bahasa Perancis abad pertengahan, diambil dari kata “franc” (bebas) dan
“francher” (membebaskan), yang secara umum diartikan sebagai pemberian hak
istimewa.10 Dalam pengertian franchise tersebut terkandung makna, adanya
kebebasan yang dimiliki seorang wirausaha untuk menjalankan sendiri usahanya
berdasarkan hak istimewa yang diberikan kepadanya.
Secara sederhana, waralaba diartikan sebagai hak istimewa yang
diberikan oleh pemberi waralaba kepada penerima waralaba dengan sejumlah
kewajiban atau pembayaran yang harus diberikan oleh penerima waralaba
kepada pemberi waralaba.11 Pada mulanya waralaba bukanlah suatu usaha,
melainkan suatu konsep, metode atau sistem pemasaran yang dapat digunakan
oleh suatu perusahaan (franchisor) untuk mengembangkan pemasarannya tanpa
melakukan investasi langsung pada outlet (tempat penjualan), melainkan dengan
melibatkan kerjasama pihak lain (franchisee) selaku pemilik outlet.12
Pada dasarnya waralaba dapat digolongkan menjadi tiga jenis, yaitu:13
1) Product Franchises atau Distributorship Franchises
2) Business Format Franchises atau Chain-Style Franchises
3) Manufacturing Plant Franchises atau Processing Plant Franchises
Adapun sistem waralaba yang ada di Indonesia dibagi menjadi 4 jenis, yaitu:14
1) Waralaba dengan sistem format bisnis
2) Waralaba bagi keuntungan
3) Waralaba kerjasama investasi
4) Waralaba produk dan merek dagang
10
Adrian Sutedi, Op. Cit., hlm. 6. 11
Ibid. 12
Richard Burton Simatupang, Aspek Hukum dalam Bisnis (Jakarta: Rineka Cipta, 2007), hlm.56.
13 Camelia Malik, Implikasi Hukum Adanya Globalisasi Bisnis Franchise, Jurnal
Hukum No. 1, Vol. 14, Januari 2007, hlm. 102-103. 14
Adrian Sutedi, Op.Cit., hlm. 15.
5
Dalam keberadaannya sebagai salah satu konsep bisnis di Indonesia,
waralaba telah mengalami perkembangan yang cukup signifikan serta telah
mendapat pengakuan dari berbagai kalangan pelaku usaha dan pakar hukum
bisnis. Sebelum munculnya perangkat hukum yang mengatur waralaba di
Indonesia yaitu PP No. 16/1997 tentang Waralaba, pengaturan waralaba yang
berhubungan dengan hak milik intelektual telah diatur dengan Undang-Undang
Hak Cipta, Undang-Undang Paten, dan Undang-Undang Merek.
Menurut Prof. Sudargo Gautama, perlindungan hukum terhadap waralaba
sebelum adanya perangkat hukum yang mengaturnya tetap bisa dilakukan
melalui kontrak waralaba yang dibuat oleh pihak-pihak yang terlibat. Hal tersebut
sesuai dengan KUH Perdata yang secara tegas mengakui bahwa perjanjian yang
disepakati oleh beberapa pihak, mengikat mereka sebagai hukum.15 Sebagai
lembaga waralaba yang di dalamnya terkandung hubungan-hubungan hukum
para pihak, sebagai akibat perjanjian yang mereka buat, asas yang pertama-
tama dapat dijadikan dasar keberadaannya adalah asas kebebasan berkontrak
sebagaimana tersirat dan dapat disimpulkan dari Pasal 1338 Ayat (1) KUH
Perdata yang menyatakan bahwa setiap perjanjian yang dibuat secara sah
berlaku sebagai undang-undang bagi pembuatnya.16
Asas kebebasan berkontrak maksudnya para pihak yang terikat dalam
perjanjian bebas melakukan kontrak apapun asalkan tidak bertentangan dengan
hukum yang berlaku, kebiasaan, kesopanan, atau hal lainnya yang berkaitan
dengan kepentingan umum. Perjanjian yang dibuat secara sah oleh para pihak
mempunyai kekuatan berlaku seperti kekuatan berlakunya undang-undang. Oleh
karena itu, perjanjian waralaba yang dibuat oleh para pihak yaitu franchisor dan
franchisee berlaku sebagai undang-undang pula bagi mereka.17
Dalam PP No. 42 tahun 2007 tentang Waralaba, waralaba
diselenggarakan berdasarkan perjanjian tertulis antara para pihak yang disebut
dengan pemberi waralaba dan penerima waralaba. Dalam Pasal 1 angka 3 dan 4
PPNo. 42 tahun 2007, yang disebut dengan pemberi waralaba adalah orang
perseorangan atau badan usaha yang memberikan hak untuk memanfaatkan
dan/atau menggunakan Waralaba yang dimilikinya kepada penerima waralaba.
Adapun penerima waralaba adalah orang perseorangan atau badan usaha yang
15
Sudargo Gautama, Aneka Masalah Hukum Perdata Internasional (Bandung: PT. Alumni, 1985), hlm. 9.
16 Moch. Basarah dan Faiz Mufidin, Op. Cit., hlm. 41.
17Munir Fuady, Arbitrase Nasional (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2000),
hlm.348.
6
diberikan hak oleh Pemberi Waralaba untuk memanfaatkan dan/atau
menggunakan Waralaba yang dimiliki Pemberi Waralaba. Penerima waralaba
dapat diberikan oleh pemberi waralaba untuk bertindak sebagai penerima
waralaba utama (master franchise) atau pemberi waralaba lanjutan yang diberi
wewenang untuk menunjuk pihak lain sebagai penerima waralaba lanjutan.
Penerima waralaba lanjutan adalah perseorangan atau badan usaha yang
menerima hak untuk memanfaatkan dan/atau menggunakan waralaba dari
pemberi waralaba lanjutan. 18
Perjanjian waralaba adalah perjanjian kerjasama bisnis waralaba yang
dibuat secara tertulis antara pemberi waralaba (franchisor) dengan penerima
waralaba (franchisee), yang di dalam perjanjian tersebut juga terkandung
perjanjian lisensi HaKI dan ketentuan-ketentuan lain yang terkait dengan
penyelenggaraan sistem bisnis waralaba secara keseluruhan.19 Waralaba
diselenggarakan berdasarkan perjanjian tertulis antara pemberi waralaba dengan
penerima waralaba dengan memperhatikan hukum Indonesia. Dalam hal
perjanjian waralaba ditulis dengan bahasa asing, perjanjian tersebut harus
diterjemahkan dalam bahasa Indonesia.20 Perjanjian waralaba bukanlah
perjanjian baku. Perjanjian waralaba dibuat secara bebas dan tunduk pada asas
kebebasan berkontrak yang dijamin oleh KUH Perdata.21
Berdasarkan Pasal 5 PP No. 42 tahun 2007, perjanjian waralaba harus
memuat data-data atau klausula yang paling sedikit mencantumkan hal-hal
berikut:22
a. nama dan alamat para pihak;
b. jenis Hak Kekayaan Intelektual;
c. kegiatan usaha;
d. hak dan kewajiban para pihak;
e. bantuan, fasilitas, bimbingan operasional, pelatihan dan pemasaran
yang
diberikan Pemberi Waralaba kepada Penerima Waralaba;
f. wilayah usaha;
18
Cita Yustisia dkk, Franchise Top Secret-Rumusan Sukses Bisnis Waralaba Sepanjang Masa, (Yogyakarta: Andi, 2015), hlm. 36.
19 Cita Yustisia, dkk., Op. Cit., hlm.78
20 Ibid.
21 Suryono Ekotama, Jurus Jitu Memilih Bisnis Franchise, (Yogyakarta: Citra
Media, 2010), hlm. 9. 22
Republik Indonesia, Peraturan Pemerintah Nomor 42 tahun 2007 tentang Waralaba, Bab III, Pasal 5.
7
g. jangka waktu perjanjian;
h. tata cara pembayaran imbalan;
i. kepemilikan, perubahan kepemilikan dan hak ahli waris;
j. penyelesaian sengketa; dan
k. tata cara perpanjangan, pengakhiran dan pemutusan perjanjian.
Perjanjian yang dibuat oleh franchisor dan franchisee dalam suatu
waralaba berlaku sebagai undang-undang bagi kedua belah pihak. Sejak
perjanjian waralaba ditandatangani oleh kedua belah pihak, maka timbul lah hak
dan kewajiban masing-masing pihak. Menurut Adrian Sutedi, secara umum
berikut ini adalah hak dan kewajiban pemberi waralaba dan penerima waralaba23
Pemberi waralaba berkewajiban untuk:
a) Memberikan segala macam informasi yang berhubungan dengan Hak
atas Kekayaan Intelektual, penemuan atau ciri khas usaha misalnya
sistem manajemen atau penataan, cara penjualan, atau cara distribusi
merupakan karakter khusus yang menjadi objek waralaba
b) Memberikan bantuan kepada penerima waralaba berupa pembinaan,
pelatihan kepada penerima waralaba.
Adapun hak yang dimiliki pemberi waralaba yaitu:
a) Melakukan pengawasan jalannya pelaksanaan waralaba
b) Memperoleh laporan-laporan secara berkala atas jalannya kegiatan
usaha penerima waralaba
c) Mewajibkan penerima waralaba untuk menjaga kerahasiaan hak atas
kekayaan intelektual serta penemuan atau ciri khas usaha, misalnya
sistem manajemen dan cara penjualan atau penataan atau cara distribusi
yang merupakan karakteristik khusus yang menjadi objek waralaba
d) Mewajibkan agar penerima waralaba tidak melakukan kegiatan yang
sejenis, serupa, ataupun yang secara langsung maupun tidak langsung
dapat menimbulkan persaingan dengan kegiatan usaha yang
diwaralabakan.
e) Menerima pembayaran royalty dalam bentuk, jenis, dan jumlah yang
dianggap layak olehnya
23
Adrian Sutedi, Op. Cit., hlm. 40-41.
8
f) Atas pengakhiran waralaba, meminta kepada penerima waralaba untuk
mengembalikan seluruh data, informasi, maupun keterangan yang
diperoleh penerima waralaba selama masa pelaksanaan waaralaba.
Kewajiban penerima waralaba, yaitu:
a) Melaksanakan seluruh instruksi yang diberikan oleh pemberi waralaba
guna melaksanakan hak atas kekayaan intelektual serta penemuan atau
ciri khas usaha, misalnya sistem manajemen dan cara penjualan atau
penataan atau cara distribusi yang merupakan karakteristik khusus yang
menjadi objek waralaba.
b) Memberikan keleluasaan kepada pemberi waralaba untuk melakukan
pengawasan maupun inspeksi berkala, maupun secara tiba-tiba, guna
memastikan bahwa penerima waralaba telah melaksanakan waralaba
yang diberikan dengan baik
c) Memberikan laporan secara berkala maupun atas permintaan khusus dari
pemberi waralaba
d) Membeli barang modal tertentu maupun barang-barang tertentu lainnya
dalam rangka pelaksanaan waralaba dari pemberi waralaba
e) Menjaga kerahasiaan hak atas kekayaan intelektual serta penemuan atau
ciri khas usaha, misalnya sistem manajemen dan cara penjualan atau
penataan atau cara distribusi yang merupakan karakteristik khusus yang
menjadi objek waralaba
f) Melakukan pendaftaran waralaba
g) Melakukan pembayaran royalty dalam bentuk, jenis dan jumlah yang
telah disepakati secara bersama
h) Jika terjadi pengakhiran waralaba, maka wajib mengembalikan seluruh
data, informasi, maupun, keterangan yang diperolehnya.
Hak penerima waralaba, yaitu:
a) Memperoleh segala macam informasi yang berhubungan dengan hak
atas kekayaan intelektual serta penemuan atau ciri khas usaha, misalnya
sistem manajemen dan cara penjualan atau penataan atau cara distribusi
yang merupakan karakteristik yang menjadi objek waralaba yang
diperlukan untuk melaksanakan waralaba yang diberikan tersebut
b) Memperoleh bantuan dari pemberi waralaba atas segala macam cara
pemanfaatan atau penggunaan hak atas kekayaan intelektual serta
9
penemuan atau ciri khas usaha, misalnya sistem manajemen dan cara
penjualan atau penataan atau cara distribusi yang merupakan
karakteristik khusus yang menjadi objek waralaba.
Waralaba sebagai suatu format bisnis yang dituangkan dalam perjanjian
antara franchisor sebagai pemilik dari hak intelektual, brand, logo, dan sistem
operasi dengan franchisee sebagai penerima, mewajibkan royalty fee dibayarkan
oleh franchisee kepada franchisor sesuai dengan yang diperjanjikan. Biasanya
franchisor menghitung nilai royalty fee dari omset yang dicapai bisnis franchisee-
nya. Besarnya antara 1% sampai dengan 15% dari omset per bulan. 24
Royalty adalah jumlah uang yang dibayarkan secara periodik oleh
franchisee kepada franchisor sebagai imbalan dari pemakaian hak waralaba oleh
franchisee yang merupakan persentase dari omzet penjualan. Nilai royalty ini
bergantung pada jenis waralabanya.25 Royalty fee yang dibayarkan oleh
franchisee kepada franchisor mengakibatkan franchisee dapat menggunakan
merek dagang milik franchisor. Merek dagang milik franchisor ini dilindungi oleh
undang-undang. Oleh karenanya jika ada pihak lain yang mempergunakan
merek tersebut maka ia wajib membayarkan royalty kepada pemegang haknya.26
Kewajiban pembayaran sejumlah royalty oleh pemegang waralaba
(franchisee) untuk penggunaan merek dagang dan proses pembuatan produk
besarnya ditetapkan berdasarkan perjanjian. Royalty kadang-kadang bukan
ditetapkan dari persentase keuntungan melainkan dari beberapa unit.27 Dengan
pemberian royalty berarti ada pemberian lisensi yang merupakan suatu bentuk
hak untuk melakukan satu atau serangkaian tindakan atau perbuatan yang
diberikan oleh mereka yang berwenang dalam bentuk izin. Tanpa adanya izin
tersebut, maka tindakan atau perbuatan tersebut merupakan tindakan atau
perbuatan yang terlarang, yang tidak sah yang merupakan perbuatan melawan
hukum.28
Membayar royalty fee merupakan salah satu kewajiban dari franchisee
karena telah menggunakan merek dagang milik franchisor. Adapun yang menjadi
24
Ibid., hlm. 83. 25
Adrian Sutedi, Op. Cit., hlm. 73. 26
Suryono Ekotama, Op. Cit., hlm. 82. 27
Sri Redjeki Slamet, Waralaba (Franchise) di Indonesia, Lex Jurnalica Vol. 8, No. 2, April 2011, hlm. 131.
28 Gunawan Widjaja (selanjutnya disebut dengan Gunawan Widjaja II), Seri
Hukum Bisnis: Lisensi, (Jakarta: Rajawali Pers, 2001), hlm. 12.
10
akibat hukum dalam hal salah satu pihak wanprestasi, yaitu apabila pihak
penerima waralaba tidak membayar royalty fee yang menjadi hak pihak pemberi
waralaba, maka diwajibkan membayar royalty fee yang belum dibayarkan kepada
pihak pemberi waralaba/franchisor, bunga keterlambatan sesuai kesepakatan
dalam perjanjian dan mengganti rugi semua kerugian yang ditanggung oleh
pemberi waralaba.29
Wanprestasi adalah tidak dilaksanakannya prestasi atau kewajiban
sebagaimana seharusnya yang telah dibebankan kepada para pihak yang terlibat
dalam kontrak, yang merupakan pembelokan pelaksanaan kontrak, sehingga
menimbulkan kerugian yang disebakan oleh kesalahan dari satu pihak atau para
pihak. 30
Menurut ketentuan Pasal 1239 sampai dengan Pasal 1242 KUH Perdata,
perikatan yang prestasinya berupa melakukan sesuatu atau tidak berbuat
sesuatu, maka pihak kreditur, di samping memperoleh ganti rugi juga dapat
menuntut pelaksanaan perjanjian. Bahkan seandainya debitur tidak mau menaati
putusan pengadilan, maka kreditur dapat minta dikuasakan oleh hakim untuk
melakukan prestasi itu sendiri atas biaya debitur atau dalam hal perikatan untuk
tidak berbuat sesuatu dilanggar, maka kreditur berhak untuk minta dikuasakan
oleh hakim untuk menghapus sendiri segala sesuatu yang telah dibuat oleh
debitur. Dalam ilmu hukum hal ini dikenal dengan istilah relee executie atau
eksekusi riil. Ketentuan seperti ini tidak dikenal dalam kasus di mana salah satu
pihak telah lalai memenuhi perjanjian yang perstasinya berupa kewajiban untuk
menyerahkan sesuatu maka menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
kreditur hanya dapat menuntut ganti rugi.31
Ketika salah satu pihak tidak memenuhi kewajibannya atau wanprestasi,
pihak lain yang dirugikan atas tidak dipenuhinya prestasi tersebut dapat
menuntut pembatalan. Ketentuan Pasal 1266 KUH Perdata menyatakan bahwa
syarat batal dianggap selamanya dicantumkan dalam perjanjian timbal balik. Hal
ini dimaksud bahwa salah satu pihak diperbolehkan untuk menuntut
29
Bella Katrinasari, Tinjauan Hukum Terhadap Wanprestasi Royalty Rahasia Dagang dalam Perjanjian Waralaba, Privat Law No. 1, Vol. V, Januari-Juni 2017, hlm. 90.
30 Muhammad Syaifuddin, Hukum Kontrak: Memahami Kontrak dalam Perspektif
Filsafat, Teori, Dogmatik, dan Praktik Hukum, (Bandung: Mandar Maju, 2012), hlm. 338. 31
Ibid.
11
pembatalan.32 Pembatalan merupakan pernyataan batalnya suatu perbuatan
hukum atas tuntutan pihak yang menurut undang-undang dibenarkan untuk
menuntut pembatalan seperti itu. Pembatalan dilakukan oleh hakim berdasarkan
atas tuntutan pihak yang diberikan hak oleh undang-undang untuk menuntut
seperti itu, akibat pembatalan berlaku surut setelah pernyataan batal oleh
hakim.33 Apabila dihubungkan dengan pasal 1266 KUH Perdata maka dalam
perjanjian timbal balik terdapat hak dan kewajiban para pihak yang saling
berhadapan. Hak dan kewajiban pihak yang satu berhadapan dengan hak dan
kewajiban pihak yang lain. 34 Pembatalan tidak terjadi dengan sendirinya oleh
karena adanya wanprestasi dari pihak yang dirugikan, melainkan harus
dimintakan ke pengadilan. Oleh karenanya apabila pihak franchisee telah
wanprestasi kepada pihak franchisor, maka pihak franchisor mempunyai hak
untuk menuntut ganti rugi dan juga pelaksanaan perjanjian.
B. Penyelesaian Sengketa Akibat Wanprestasi Pembayaran Royalty Fee
Dalam Perjanjian Waralaba
Perbedaan kepentingan dalam bisnis waralaba dapat mengakibatkan
timbulnya sengketa. Terjadinya sengketa waralaba dapat diselesaikan melalui
jalur litigasi dan non-litigasi. Bila dicermati, waralaba merupakan suatu kontrak
bisnis dimana terdapat kesepakatan yang tidak boleh untuk diketahui umum.
Oleh karena itu, sebelum nya perlu dilakukan perundingan di antara pihak yang
bersengketa, baik secara langsung maupun dengan menunjuk kuasa hukumnya,
hal ini dilakukan guna menghasilkan kesepakatan bersama yang menguntungkan
kedua belah pihak. Jika proses perundingan ini tidak menghasilkan kesepakatan,
baru para pihak akan menyerahkan kepada arbitrase atau pengadilan untuk
menyelesaikan atau memutuskannya.35
Dalam perjanjian Franchise (Waralaba) apabila salah satu pihak
wanprestasi maka pihak yang dirugikan dapat menempuh upaya hukum
penyelesaian sengketanya melalui cara litigasi yakni melalui pengadilan Negeri
dan Pengadilan Niaga. Penanganan sengketa waralaba di lingkup keperdataan,
32
J Satrio, “Hukum Perikatan: Perikatan Pada Umumnya”, (Bandung:Alumni, 1999), hlm. 301.
33 J Satrio, “Hukum Perikatan Tentang Hapusnya Perikatan”, (Bandung: Citra
Aditya Bhakti, 1996), hlm. 173. 34
Syahrani, “Seluk Beluk dan Asas-Asas Hukum Perdata”, (Bandung, Alumni, 2004), hlm. 229.
35 Rahmi Yuniarti, Efisiensi Pemilihan Alternatif Penyelesaian Sengketa dalam
Penyelesaian Sengketa Waralaba, Fiat Justisia Journal of Law, Vol. 10, hlm. 559.
12
maka penyelesaiannya melalui pengadilan negeri jika yang disengketakan
adalah mengenai masalah-masalah selain masalah HAKI. Jika yang
disengketakan dalam lingkup masalah HAKI (Hak cipta, paten, merek, dll) maka
penyelesaiannya di lingkup wilayah Pengadilan Niaga. Di lingkup peradilan ini,
upaya hukum yang dapat ditempuh yaitu jika salah satu pihak menolak putusan
dari pengadilan tingkat pertama (judex facti) maka bisa melakukan banding
kemudian kasasi.36
Penyelesaian sengketa waralaba juga dapat dilakukan melalui cara non
litigasi. Penyelesaian sengketa bisnis di luar pengadilan (non litigasi) lebih
banyak dipilih karena proses peradilan di Indonesia masih dianggap tidak efisien
dan tidak efektif. Alternatif Penyelesaian Sengketa lebih diminati oleh para pelaku
bisnis dalam penyelesaian sengketa bisnis. Misalnya, suatu sengketa
diselesaikan lewat Alternatif Penyelesaian Sengketa model Arbitrase, maka para
pihak dapat memilih sendiri hukumnya dan memilih arbiter yang akan memeriksa
perkara. Di samping itu, jika menggunakan model negosiasi, mediasi, dan
konsolidasi, para pihak dapat menentukan sendiri tata cara penyelesaian
sengketa berdasarkan kesepakatan bersama.37
C. Penerapan Hukum Dalam Perkara Wanprestasi Royalty Fee Dalam
Perjanjian Waralaba Pada Putusan Nomor 493/PDT/2018/PT.DKI
Kasus yang dijadikan objek penelitian ini adalah wanprestasi pembayaran
royalty fee dalam suatu perjanjian waralaba. Adapun perkara ini telah diputus
pada tingkat Pengadilan Negeri. Namun, karena Penggugat tidak merasa puas
dengan putusan majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, penggugat
mengajukan banding kepada Pengadilan Tinggi DKI Jakarta. Dalam diktum
putusan Majelis Hakim pada tingkat banding, Majelis Hakim dalam perkara
memutus bahwa permohonan banding yang diajukan oleh Pembanding PT
MySalon Iternational diterima. Majelis Hakim memutuskan untuk menguatkan
Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan tanggal 9 Mei 2018 Nomor
612/Pdt.G/2017/PN.Jkt.Sel. yang dimohonkan banding tersebut. Adapun yang
menjadi diktum putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan yaitu, Majelis Hakim
menyatakan bahwa Tergugat Rekonvensi/Penggugat Konvensi/PT MYSalon
International telah melakukan wanprestasi terhadap Penggugat Rekonvensi/
36
Marselo Pariela, Wanprestasi dalam Perjanjian Waralaba, Jurnal SASI Vol. 23, No. 01, Januari-Juni 2017, hlm. 44.
37 Cita Yustisia, dkk, Op. Cit., hlm. 177
13
Tergugat Konvensi/ Ratnasari Lukitaningrum, serta menyatakan bahwa
perjanjian waralaba dan perjanjian lisensi tanggal 25 April 2015 dan tanggal 18
Juni 2015 berakhir dengan segala akibat hukumnya, menghukum Tergugat
Rekonvensi untuk membayar kerugian materiil kepada Penggugat Rekonvensi
yaitu biaya franchise fee masing-masing Outlet MYSalon Jababeka dan Outlet
MYSalon Galaxi, dan juga menghukum Penggugat dalam Konvensi /Tergugat
dalam Rekonvensi untuk membayar biaya perkara yang ditaksir sebesar Rp.
866.000,- (delapan ratus enam puluh enam ribu rupiah).
Dalam kasus ini, franchisor sebagai penggugat menggugat franchisee
karena telah melakukan wanprestasi atas perjanjian waralaba berupa tidak lagi
membayar kewajiban royalty fee atas Outlet Mysalon Jababeka sejak bulan Juni
2016 sebagaimana yang diatur dalam Perjanjian Lisensi dan Perjanjian
Kerjasama Waralaba tertangal 18 Juni 2015, serta Tergugat telah melakukan
wanprestasi karena tidak melaksanakan kewajibannya untuk membayar royalty
fee atas outlet MYSalon Galaxi sejak bulan Juli 2016 kepada Penggugat
sebagaimana yang diatur dalam Perjanjian Lisensi tertanggal dan Perjanjian
Kerjasama Waralaba tertangal 25 April 2015,
Dalam pertimbangannya, Majelis Hakim menyatakan bahwa Penggugat
yang telah wanprestasi terlebih dahulu, tidak dapat menuntut pihak lain/Tergugat,
melakukan wanprestasi. Dalam kasus ini, pihak penggugat/franchisor telah
terlebih dahulu melakukan wanprestasi dalam hal tidak menyediakan karyawan
untuk outlet MY Salon yang ada. Wanprestasi pihak penggugat/franchisor yang
telah terlebih dahulu dilakukan tersebut menyebabkan Outlet MY Salon milik
Tergugat tidak dapat beroperasi secara maksimal dan menyebabkan Tergugat
tidak dapat membayar Royalty fee yang menjadi kewajibannya. Adapun putusan
Pengadilan Negeri Jakarta Selatan dan putusan Pengadilan Tinggi DKI Jakarta
yang memutuskan menguatkan putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan
sudah benar karena dalam hal ini penggugat telah kehilangan hak nya untuk
menggugat wanprestasi pihak tergugat, karena penggugat telah melakukan
wanprestasi terlebih dahulu. Dalam putusan ini, penulis sependapat dengan
dasar pertimbangan oleh Majelis Hakim bahwa Penggugat yang telah
wanprestasi terlebih dahulu, tidak dapat menuntut pihak lain/Tergugat telah
melakukan wanprestasi.
14
Hal ini sesuai dengan prinsip yang dikenal dalam hukum perjanjian, yaitu
prinsip exceptio non adimpleti contractus. Menurut J. Satrio, prinsip exceptio non
adimpleti contractus adalah suatu tangkisan, yang menyatakan bahwa kreditor
sendiri belum berprestasi dan karenanya kreditor tidak patut untuk menuntut
debitor berprestasi. Tangkisan ini dikemukakan untuk melawan tuntutan kreditor
akan pemenuhan perjanjian. Tangkisan ini hanya berlaku untuk perjanjian timbal
balik saja.38 Prinsip ini diatur dalam Pasal 1478 KUH Perdata yang berisi: “si
penjual tidak diwajibkan menyerahkan barangnya, jika si pembeli belum
membayar harganya, sedangkan si penjual tidak telah mengizinkan penundaan
pembayaran kepadanya”. Oleh karena Tergugat tidak dapat dituntut wanprestasi,
maka tuntutan penggugat dinyatakan tidak dapat diterima oleh Majelis Hakim.
38
J. Satrio, “Beberapa segi hukum tentang somasi”, http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt4cdb67c58d247/beberapa-segi-hukum-tentang-somasi/. Diakses pada tanggal 12 September 2019, pukul 10.50 wib.
15
III. PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Pengaturan wanprestasi royalty fee perjanjian waralaba telah diatur dalam
peraturan perundang-undangan di Indonesia. Peraturan Pemerintah Nomor
16 tahun 1997 tentang waralaba yang telah digantikan dengan Peraturan
Pemerintah Nomor 42 Tahun 2007 yang menjadi dasar hukum waralaba
mengatur ketentuan terkait waralaba. Adapun pembayaran royalty fee
merupakan salah satu kewajiban yang harus dilaksanakan oleh franchisee
sebagi imbalan atas penggunaan HaKI milik franchisor dalam menjalankan
suatu bisnis waralaba sebagaimana yang telah diatur dalam perjanjian
waralaba. Perjanjian waralaba merupakan perjanjian khusus karenanya tidak
dijumpai dalam KUH Perdata. KUH Perdata secara tegas mengakui bahwa
perjanjian yang disepakati oleh beberapa pihak, mengikat mereka sebagai
hukum. Perjanjian yang dibuat secara sah oleh para pihak mempunyai
kekuatan berlaku seperti kekuatan berlakunya undang-undang. Oleh karena
itu, perjanjian waralaba yang dibuat oleh para pihak yaitu franchisor dan
franchisee berlaku sebagai undang-undang pula bagi mereka. Pengaturan
dalam KUH Perdata ini dapat dijadikan sebagai perlindungan hukum bagi
para pihak yang terlibat dalam bisnis waralaba.
2. Penyelesaian sengketa akibat wanprestasi pembayaran royalty fee dapat
diselesaikan melalui pengadilan negeri ataupun Alternatif Penyelesaian
Sengketa dan Arbitrase, sebagaimana penyelesaian sengketa perdata
lainnya. Dalam isi perjanjian waralaba yang dibuat dalam bentuk standar,
biasanya juga dicantumkan tentang klausula penyelesaian sengketa dan
forum penyelesaian sengketa yang dipilih berdasarkan asas kebebasan
berkontrak. Namun, pada umumnya para pelaku bisnis akan memilih untuk
menyelesaikan sengketa mereka melalui Alternatif Penyelesaian Sengketa
dan Arbitrase karena dianggap lebih memberi keuntungan bagi mereka
tanpa merusak nama baik pelaku usaha.
3. Penerapan hukum dalam perkara wanprestasi pembayaran royalty fee pada
perjanjian waralaba pada putusan No. 493/PDT/2018/PT.DKI telah
diterapkan secara benar. Putusan tersebut membahas tentang perjanjian
waralaba antara pihak penggugat yaitu PT. MYSalon International sebagai
franchisor dengan pihak tergugat yaitu Ratnasari Lukitaningrum sebagai
franchisee. Sebelumnya, para pihak telah sepakat untuk memilih Pengadilan
16
Negeri Jakarta Selatan sebagai forum penyelesaian perselisihan
sebagaimana yang telah diatur dalam perjanjian waralaba yang disepakati
para pihak. Tergugat digugat karena telah melakukan tindakan wanprestasi
dalam pembayaran royalty fee kepada pihak penggugat. Dalam kasus ini
dapatlah disimpulkan bahwa pihak penggugat/franchisor telah terlebih
dahulu melakukan wanprestasi dalam hal tidak menyediakan karyawan
untuk outlet MY Salon yang ada. Wanprestasi tersebut menyebabkan Outlet
MY Salon milik Tergugat tidak dapat beroperasi secara maksimal dan
menyebabkan Tergugat tidak dapat membayar Royalty fee yang menjadi
kewajibannya. Dalam hal ini penggugat telah kehilangan hak nya untuk
menggugat wanprestasi pihak tergugat, karena penggugat telah melakukan
wanprestasi terlebih dahulu. Hal ini sesuai dengan prinsip exceptio non
adimpleti contractus yang diatur dalam Pasal 1478 KUH Perdata. Dalam
putusan ini, penulis sependapat dengan dasar pertimbangan oleh Majelis
Hakim bahwa Penggugat yang telah wanprestasi terlebih dahulu, tidak dapat
menuntut pihak lain/Tergugat telah melakukan wanprestasi. Oleh karenanya,
gugatan penggugat pada Pengadilan Negeri Jakarta Selatan tidak dapat
diterima oleh majelis hakim. Sehingga pada akhirnya gugatan penggugat
rekonvensi/ semula tergugat dikabulkan dan mengakibatkan pihak tergugat
rekonvensi/ semula penggugat harus membayar kerugian materil yang
dialami penggugat rekonvensi/ semula tergugat.
B. Saran
1. Pengaturan hukum mengenai wanprestasi royalty fee dalam suatu perjanjian
waralaba kiranya dapat diatur secara tegas dalam perjanjian waralaba yang
disepakati bersama oleh para pihak. Mengingat bahwa perjanjian yang
dibuat para pihak itu dijadikan sebagai undang-undang yang mengikat setiap
pihak yang terlibat. Perjanjian disebut hendaknya dibuat dengan ketentuan-
ketentuan yang bersifat seimbang dan tidak merugikan salah satu pihak.
Dengan perjanjian tersebut diharapkan dapat memberikan perlindungan
hukum terhadap para pihak, serta dijadikan acuan sebagai cara
penyelesaian sengketa yang mungkin terjadi antara para pihak dalam bisnis
waralaba.
2. Penyelesaian sengketa yang dapat terjadi dalam perjanjian waralaba
hendaknya dapat diselesaikan dengan cara musyawarah dan mufakat
17
terlebih dahulu. Dan apabila tidak ditemukan penyelesaian, para pihak
diharapkan dapat menyelesaikan sengketa yang ada berdasarkan
kesepakatan yang telah diatur dalam perjanjian waralaba. Hendaknya para
pihak memilih forum penyelesaian sengketa yang tidak merugikan para
pihak. Mengingat bahwa waralaba merupakan kegiatan bisnis dimana para
pihak harus menjaga nama baik mereka.
3. Ada berbagai bentuk wanprestasi yang dapat terjadi dalam perjanjian
waralaba. Salah satunya wanprestasi pembayaran royalty fee dalam
perjanjian waralaba. Hendaknya para pihak melaksanakan hak dan
kewajiban nya sesuai dengan apa yang telah diperjanjikan dalam perjajian
yang telah disepakati bersama. Sehingga tidak terjadi tindakan wanprestasi
yang pada akhirnya dapat mengakibatkan kerugian bagi para pihak.
18
DAFTAR PUSTAKA
A. Buku
Basarah, Moch. dan M. Faiz Mufidin. Bisnis Franchise dan Aspek-Aspek
Hukumnya. Bandung: PT. Citra Aditya Bakti. 2008.
Ekotama, Suryono. Jurus Jitu Memilih Bisnis Franchise. Yogyakarta: Citra Media.
2010.
Fuady, Munir. Arbitrase Nasional. Bandung: Citra Aditya Bakti. 2000.
Gautama, Sudargo. Aneka Masalah Hukum Perdata Internasional. Bandung: PT.
Alumni. 1985.
Satrio, J. Hukum Perikatan. Bandung: Alumni. 1999.
_______________ .Hukum Perikatan Tentang Hhapusnya Perikatan. Bandung:
Citra Aditya Bhakti. 1996
Syahrani. Seluk Beluk dan Asas-Asas Hukum Perdata. Bandung: Alumni., 2004.
Simatupang, Richard Burton. Aspek Hukum dalam Bisnis. Jakarta: Rineka Cipta.
2007.
Sutedi, Adrian. Hukum Waralaba. Bogor: Ghalia Indonesia. 2008.
Syaifuddin, Muhammad. Hukum Kontrak. Bandung: Mandar Maju. 2012.
Widjaja, Gunawan. Seri Hukum Bisnis: Lisensi. Jakarta: Rajawali Pers. 2001.
_______________. Lisensi atau Waralaba. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.
2002.
Yustisia, Cita, dkk. Franchise Top Secret-Rumusan Sukses Bisnis Waralaba
Sepanjang Masa. Yogyakarta: Andi. 2015.
B. Peraturan Perundang-undangan
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Staatsblad Tahun 1847 Nomor 23.
Diterjemahkan oleh R. Subekti dan R. Tjitrosudibio, Cet. 41. Jakarta: PT
Balai Pustaka. 2014.
19
________________.Peraturan Pemerintah tentang Waralaba. Peraturan
Pemerintah Nomor 16 Tahun 1997 Tentang Waralaba. LN Tahun 1997
Nomor 49, TLN Nomor 3690.
________________. Peraturan Pemerintah tentang Waralaba. Peraturan
Pemerintah Nomor 42 Tahun 2007 Tentang Waralaba. LN Tahun 2007
Nomor 90, TLN Nomor 4742.
________________.Peraturan Menteri Perdagangan RI No. 12/M-
DAG/PER/3/2006 Tentang Ketentuan dan Tata Cara Penerbitan Surat
Tanda Pendaftaran Usaha Waralaba.
C. Website
Bisnis UKM, “Waralaba, Apa Keuntungannya?”,diakses dari
https://bisnisukm.com/waralaba-apa-keuntungannya.html, tanggal 27
Juni 2019 pukul 18.02 WIB.
Oke Finance, “Omzet Rp150 Triliun, Momentum Emas Ekspansi Bisnis
Waralaba”, diakses dari
https://economy.okezone.com/read/2019/04/22/320/2046337/omzet-
rp150-triliun-momentum-emas-ekspansi-bisnis-waralaba?page=1,
diakses tanggal 27 Juni 2019 pukul 18.14 WIB.
J.Satrio, “Beberapa segi hukum tentang somasi”,
http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt4cdb67c58d247/beberapa-
segi-hukum-tentang-somasi/. Diakses pada tanggal 12 September 2019,
pukul 10.50
D. Jurnal
Katrinasari, Bella. “Tinjauan Hukum Terhadap Wanprestasi Royalty Rahasia
Dagang dalam Perjanjian Waralaba”. Jurnal Privat Law Vol. V No. 1.
Surakarta: Universitas Sebelas Maret. 2017
20
Malik, Camelia. “Implikasi Hukum Adanya Globalisasi Bisnis Franchise”. Jurnal
Hukum No. 1 Vol. 14. Alumni Pascasarna FH UII Yogyakarta. 2007
Pariela, Marselo. “Wanprestasi dalam Perjanjian Waralaba”. Jurnal SASI Vol. 23.
No. 01. Ambon: Universitas Pattimura. 2017.
Yuniarti, Rahmi. “Efisiensi Pemilihan Alternatif Penyelesaian Sengketa dalam
Penyelesaian Sengketa Waralaba”. Fiat Justisia Journal of Law. Vol. 10.
Lampung: Universitas Lampung. 2016.
E. Putusan
Putusan Pengadilan Tinggi DKI Jakarta Nomor 493/PDT/2018/PT.DKI
Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan Nomor 612/Pdt.G/2017/PN.Jkt.Sel.