ANALISIS TERHADAP PUTUSAN PENGADILAN
AGAMA KENDAL TENTANG HIBAH LEBIH DARI
SEPERTIGA
(STUDI PUTUSAN NO 11/PDT.P/2008/PA.KDL)
SKRIPSI
Diajukan Untuk Memenuhi Tugas Dan Melengkapi Syarat
Guna Memperoleh Gelar Sarjana Progaram Strata 1 (S 1)
Program Ahwalus Syahsiah
Fakultas Syari’ah IAIN Walisongo
Oleh :
MUH. SAEHUDIN ANWAR
N I M : 0 6 2 1 1 1 0 4 9
JURUSAN AL-AHWAL ASY-SYAKHSIYAH
FAKULTAS SYARI’AH
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI WALISONGO
SEMARANG
2011
MOTTO
ميلع ء فإن اهللا بهيش نا مقوفنا تمن ووبحا تما مقوفنى تتح ا البرالونت لن
Artinya: “Kamu sekali-kali tidak sampai kepada kebajikan (yang
sempurna), sebelum kamu menafkahkan sebagian harta
yang kamu cintai. Dan apa saja yang kamu nafkahkan,
maka sesungguhnya Allah mengetahuinya.”(Q.S. Ali
Imran: 92)1
1 Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, Depok : Cahaya Quran, hlm.62
PERSEMBAHAN
Saya persembahkan untuk :
Ibunda dan Ayahanda tercinta dan tersayang Kasih sayang, tuntunan, dukungan dan do’a dari kalian Selalu menerangi langkah penuh cita dan cinta putramu.
Para Kiai, Guru, Dosen dan Asatiid
Ilmu dan bimbingan dari kalian menuntun saya untuk menjadi insan yang ta’at dan berbakti.
Kakek dan Nenek yang saya ta’dzimi
Nasehat dan do’amu mengobarkan semangat cucumu.
Seluruh keluarga Dukungan kalian tak akan pernah saya sia-siakan.
Dan untuk teman-teman yang selalu menemani
Bersama kita raih cita-cita kita.
Saya dedikasikan karya ini untuk kalian semua...
DEKLARASI
Dengan penuh kejujuran dan tanggung jawab,
penulis menyatakan bahwa skripsi ini tidak
berisi materi yang pernah ditulis oleh orang
lain atau diterbitkan. Demikian juga skripsi ini
tidak berisi satupun pikiran-pikiran orang lain
kecuali informasi yang terdapat dalam
referensi yang dijadikan bahan rujukan.
Semarang, 13 Juni 2011
Deklarator
M. SAEHUDIN ANWAR
NIM: 62111049
ABSTRAK
Salah satu bentuk taqarrub kepada Allah SWT dalam rangka
mempersempit kesenjangan sosial serta menumbuhkan rasa kesetiakawanan dan
kepedulian sosial adalah hibah atau pemberian. Hibah, dilihat dari aspek vertikal
(hubungan antara manusia dengan Tuhan) memiliki dimensi taqarrub, artinya
dapat meningkatkan keimanan dan ketakwaan seseorang. Semakin banyak
berderma dan bershadaqah akan semakin memperkuat dan memperkokoh
keimanan dan ketakwaan, inilah aspek vertikal hibah. Yang menjadi perumusan
masalah, bagaimana dasar penetapan hakim dalam putusan No.11/
Pdt.P/2008/PA.Kdl kebolehan hibah yang lebih dari sepertiga?. Bagaimana
tinjauan hukum Islam tentang Putusan No. 11/ Pdt.P/2008/PA.Kdl
Dalam menyusun skripsi ini, peneliti menggunakan jenis penelitian
kepustakaan dengan data primer, yaitu berkas Putusan Pengadilan Agama Kendal
No. 11/ Pdt.P/2008/PA.Kdl, sedangkan data sekunder, yaitu literatur lainnya yang
relevan dengan permasalahan yang dikaji. Teknik pengumpulan data berupa
teknik dokumentasi atau studi dokumenter yaitu dengan meneliti sejumlah
kepustakaan (library research). Dalam menganalisis data, peneliti menggunakan
metode deskriptif analitis yakni menggambarkan dan menganalisis Dasar
Penetapan Hakim Dalam Putusan No. 11/ Pdt.P/2008/PA.Kdl Terhadap Hibah
Yang Lebih Dari Sepertiga.
Pada dasarnya hibah tidak ada kaitannya dengan kewarisan kecuali nyata
bahwa hibah itu mempengaruhi hak ahli waris, maka dalam hal ini perlu adanya
pembatasan maksimal hibah tidak melebihi sepertiga. Dalam permasalahan ini
bahwa alm Romdo tidak mempunyai ahli waris yang mana saudara laki-lakinya
dan istri telah meninggal sehingga yang ada hanya anak angkatnya saja
(pemohon) yang kemudian separuh tanah pekarangan beserta rumah di atasnya
dihibahkan kepada pemohon, karena pihak Pemohon (anak angkat) semasa
hidupnya telah mengabdikan dirinya kepada bapak Romdo hingga akhir hayatnya.
Karena dalam permasalahan ini hibah tidak mempengaruhi hak-hak ahli waris
maka hibah tersebut menurut penulis sah menurut hukum Islam. Bahwa kalau
ternyata hibah itu mempengaruhi kepentingan dan hak-hak ahli waris maka perlu
ada batas maksimal hibah tidak melebihi sepertiga harta seseorang. Akan tetapi
bila menyangkut hak-hak ahli waris maka hibah perlu ada batasan.
Hasil pembahasan menunjukkan, sebagaimana yang diatur dalam
Kompilasi Hukum Islam pasal 210 bahwa Orang yang telah berumur sekurang-
kurangnya 21 tahun berakal sehat tanpa adanya paksaan dapat menghibahkan
sebanyak-banyaknya 1/3 (sepertiga) Kompilasi Hukum Islam memberikan
batasan dalam pemberian hibah sebanyak-banyaknya 1/3 dari hartanya penghibah.
KATA PENGANTAR
Dengan memanjatkan puji syukur kehadirat Allah swt, Yang Maha
pengasih lagi maha penyayang yang telah menyinari jalan-jalan orang yang
bertauhid, menunjukkan hati orang-orang mukmin kepada kebenaran dan
kebaikan. Sehingga pada akhirnya skripsi ini bisa hadir di hadapan kita, adapun
motivasi mendasar yang mendorong bagi penulis untuk berusaha keras
menyelesaikan skripsi ini selain dari pada kewajiban yang harus dilaksanakan dan
merupakan tugas akhir untuk memperoleh gelar sarjana adalah semata-mata
karena ingin berperan dan ikhtiar membangun hari esok yang lebih baik lagi,
sekalipun hasilnya ternyata hanya sekedar mampu menawarkan sebutir pasir pada
pantai lautan.
Dengan ini tidak lupa kami ucapkan terima kasih yang tak terhingga
kepada :
1. Prof. DR. H.Muhibin, M.Ag. selaku Rektor IAIN Walisongo Semarang.
2. Dr. H.Imam Yahya, M.Ag, selaku Dekan Fakultas Syari'ah IAIN Walisongo
Semarang.
3. Ibu Dra,Hj.Endang Rumaningsih M.Hum, selaku Pembimbing I, dan ibu Nur
Hidayati setyani SH,MH, selaku pembimbing II yang telah memberikan
bimbingan kepada penulis selama proses penulisan skripsi ini.
4. Segenap dosen Fakultas Syari'ah yang telah membekali pengetahuan kepada
penulis pada jenjang pendidikan sarjana ( S-1 )
5. Segenap karyawan Fakultas Syari'ah, pegawai perpustakaan IAIN,
perpustakan Fakultas Syari'ah yang telah memberikan layanan yang baik
kepada penulis.
6. Bapak Drs.Syarifudin, SH, selaku Hakim pembimbing di Pengadilan Agama
Kendal yang telah meluangkan waktunya dengan tulus ikhlas kepada penulis
selama proses penelitian ini.
7. Segenap staf pegawai di Pengadilan Agama Kendal yang telah memberikan
izin kepada penulis untuk melakukan penelitian.
8. Keluarga penulis, Bapak, Ibu, dan adik-adik penulis yang telah memberikan
dorongan baik materiil maupun moril dalam mengarungi lautan keilmuan ini.
9. Sahabat-sahabatku tercinta yang ikut memberikan do'a, motivasi, semangat
serta palipur lara ketika dalam kegundahan, kelelahan selama studi terutama
dalam proses penyusunan skripsi ini yang tidak dapat disebutkan satu persatu.
Semoga Allah SWT, membalas semua amal kebaikan mereka dengan balasan
yang lebih dari mereka berikan. Penulis juga menyadari sepenuhnya bahwa skripsi ini
masih jauh dari sempurna, baik dari segi materi, metodologi, dan analisisnya.
Karennya, kritik dan saran yang bersifat konstruktif sangat penulis harapkan demi
kesempurnaan skripsi ini. Akhirnya hanya kepada Allah penulis berharap semoga apa
yang tertulis dalam skripsi ini bisa bermanfaat khususnya bagi penulis dan bagi para
pembaca pada umumnya. Amin
Semarang, 13 Juni 2011
Penulis,
M. SAEHUDIN ANWAR
NIM: 62111049
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL..................................................................................... .............. i
HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ...........................................................ii
HALAMAN PENGESAHAN .....................................................................................iii
HALAMAN MOTTO ..................................................................................................iv
HALAMAN PERSEMBAHAN ...................................................................................v
HALAMAN DEKLARASI ............................................................................ ...........vi
HALAMAN ABSTRAK ...........................................................................................vii
HALAMAN KATA PENGANTAR .........................................................................viii
HALAMAN DAFTAR ISI ..........................................................................................ix
BAB I : PENDAHULUAN
A. Latar Belakang ..............................................................................1
B. Pokok Permasalahan ....................................................................9
C. Tujuan Penulisan Skripsi .............................................................9
D. Tela'ah Pustaka ..........................................................................10
E. Metode Penulisan Skripsi ..........................................................13
F. Sistematika Penulisan Skripsi .....................................................17
BAB II :TINJAUAN UMUM TETANG HIBAH
A. Pengertian Hibah .........................................................................19
B. Dasar Hukum Hibah ...................................................................23
C. Rukun dan Syarat-syarat Hibah ..................................................26
1. Rukun hibah…………………………………...................28
2. Syarat Hibah……………………………………………...30
BAB III : PUTUSAN PENGADILAN AGAMA KENDAL TENTANG
HIBAH LEBIH DARI SEPERTIGA PUTUSAN NO
11/Pdt.P/2008/PA.K.dl
A. Profil Pengadilan Agama Kendal .............................................42
1. Sekilas tentamg Pengadilan Agama Kendal….. ..................42
2. Tugas dan Wewenang Pengadilan Agama Kendal...............48
3. Hakim Pengadilan Agama....................................................51
B. Dasar Penetapan Hakim Dalam Memutus Perkara No
11/Pdt.P/2008/Pa.Kdl…............................................................53
1. Putusan Pengadilan Agama Kendal No 11/Pdt.P/2008/Pa.Kdl
.............................................................................................53
2. Dasar Pertimbangan Dan Penetapan Hakim Memutus
PerkaraNo11/Pdt.P/2008/Pa.Kdl..........................................63
BAB IV : ANALISIS TERHADAP PUTUSAN NOMOR
11/Pdt.P/2008/PA.Kdl TENTANG HIBAH
A. Analisis Terhadap Dasar penetapan Hakim Dalam Putusan
Perkara Nomor 11/Pdt.P/2008/PA.Kdl .....................................68
B. B. Tinjauan Hukum Islam Putusan Perkara Nomor
11/Pdt.P/2008/PA.Kdl...............................................................73
BAB V : PENUTUP
A. Kesimpulan .................................................................................81
B. Saran-saran....................... ...........................................................82
C.Penutup .......................................................................................83
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
DAFTAR RIWAYAT PENDIDIKAN PENULIS
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Hibah merupakan fenomena yang umum dan lazim terjadi dalam
masyarakat, tetapi fenomena ini menarik ketika dihadapkan pada permasalah baru
di masyarakat, misalnya pemberian hibah yang lebih dari sepertiga dimana para
ulama berbeda pendapat mengenai kadar pemberian hibah, begitu juga dalam
hukum positif Indonesia (Kompilasi Hukum Islam) yang mengatur tegas pada
pasal 210, bahwa pada dasarnya besarnya hibah itu maksimal adalah sepertiga
dari milik penghibah.
Kata hibah berasal dari kata “hubuuburriib” yang berarti (muruuruha)
perjalanan angin. Kemudian kata hibah dengan maksud ialah memberikan sesuatu
kepada orang lain,baik harta ataupun lainnya.1 Secara pengertian syara’ hibah
berarti pemberian harta milik seeorang kepada orang lain saat ia masih hidup
tanpa adanya imbalan. Secara umum pengertian hibah adalah
a) Ibraa, yakni menghibahkan utang kepada yang berhutang;
b) Sedekah, yakni menghibahkan sesuatu dengan mengharapkan pahala di
akhirat;
c) Hadiah yakni pemberian yang menurut orang yang diberi itu untuk memberi
1 Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah Juz 4.terjemahan,(Jakarta:Pena pundit aksara, 2006),hlm
435
2
imbalan.2
Hibah adalah pemberian suatu benda secara sukarela tanpa imbalan dari
seseorang kepada orang lain yang masih hidup untuk dimiliki. Setiap orang yang
telah berumur sekurang-kurangnya 21 tahun, berakal sehat dan tidak adanya
paksaan dalam menghibahkan sebanyak-banyaknya 1/3 dari harta bendanya
kepada orang lain atau kepada suatu lembaga untuk dimiliki.3 Hibah harus
dilakukan dihadapan dua orang saksi dan harta yang dihibahkan itu haruslah
barang-barang milik pribadi (hak milik) orang yang memberi hibah.
Dalam Al-qur’an, penggunaan kata hibah digunakan dalam konteks
pemberian anugerah Allah kepada utusan-utusanNya, doa-doa yang dipanjatkan
oleh hamba-hambaNya, terutama para nabi, dan menjelaskan sifat Allah Yang
Maha memberi Karunia. Untuk itu mencari dasar hukum tentang hibah seperti
yang dimaksud dalam kajian ini secara ekplisit tidak ditemukan. Namun dapat
digunakan petunjuk dan anjuran secara umum, agar seseorang memberikan
sebagian rezekinya kepada orang lain, misalnya QS. Al baqarah, 2:2624
tÏ% ©!$# tβθà) Ï�Ζ ãƒ öΝ ßγs9≡ uθøΒ r& ’ Îû È≅‹ Î6y™ «! $# §Ν èO Ÿω tβθãèÎ7 ÷G ム!$tΒ (#θà)x�Ρr& $xΨ tΒ Iωuρ “ ]Œ r& � öΝçλ°; öΝ èδ ã�ô_r& y‰ΨÏã
öΝ Îγ În/ u‘ Ÿω uρ ì∃öθ yz óΟ Îγ øŠn=tæ Ÿω uρ öΝ èδ šχθçΡt“ ós tƒ
2 Ibid, hlm.437 3 Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam, (Jakarta: Akademika Presindo, 2008) hlm 164 4 Ahmad Rofiq, Hukum Islam Di Indonesia,( Jakarta : PT Raja Grafindo Persada,
1998)hlm 467
3
Artinya: “Orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah, Kemudian
mereka tidak mengiringi apa yang dinafkahkannya itu dengan
menyebut-nyebut pemberiannya dan dengan tidak menyakiti (perasaan
si penerima), mereka memperoleh pahala di sisi Tuhan mereka. tidak
ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih
hati.
Menurut mayoritas ulama bahwa seseorang dibolehkan untuk
menghibahkan semua yang dimilikinya kepada orang lain. Muhammad Ibnu
Hasan dan sebagian kalangan Hanafi berkata, “tidak sah menghibahkan semua
harta meskipun dengan tujuan kebaikan.” Mereka menganggap bahwa orang yang
berbuat demikian itu sebagai orang bodoh yang wajib dibatasi tindakannya.
Dalam masalah ini orang yang mampu bersabar atas kemiskininan dan
kekurangan harta, maka tidak mengapa baginya menyedekahkan sebagian besar
atau bahkan semua hartanya. Barangsiapa yang besar kemungkinan meminta-
minta kepada manusia pada saat memerlukan, maka tidak dibolehkan
menyedekahkan semua atau atau sebagian besar hartanya.5
Islam memperbolehkan seseorang memberikan atau menghadiahkan
sebagian atau seluruhnya harta kekayaan ketika masih hidup kepada orang lain.
Pemberian semasa hidup itu lazim dikenal dengan sebutan ”hibah”. Di dalam
Hukum Islam jumlah harta seseorang yang dapat dihibahkan itu tidak terbatas.
Berbeda halnya dengan pemberian seseorang melalui surat wasiat yang terbatas
pada sepertiga dari harta peninggalan yang bersih.
5 Sayyid Sabiq, Op.cit, hlm 388
4
Hibah pada dasarnya memang tidak ada kaitannya dengan kewarisan,
karena berdasarkan pelaksanaan sudah jauh berbeda. Hibah diberikan ketika si
penghibah masih hidup sedangkan kewarisan dilakukan setelah adanya kematian.
Namun dengan adanya permasalahan yang ada yaitu, ketika terdapat seseorang
yang menghibahkan seluruh hartanya kepada orang lain, agar hartanya bisa
bermanfaat, karena si pemberi hibah takut hartanya kelak akan jatuh ke tangan
ahli warisnya yang tak bisa di pertanggung jawabkan nantinya, dan kelak harta
tersebut akan sia-sia. Dan andainya perbuatanya itu (menghibahkan seluruh harta)
menyebabkan sanak keluarganya dalam keadaan tidak mempunyai harta (miskin)
maka sama halnya ia menjerumuskan sanak keluarganya ke gerbang kefakiran,
sebab fakir itu merupakan salah satu penyebab kekafiran. Sehingga pemberian
hibah harus ada batasan dalam pemberiannya, dengan maksud agar sanak
keluarga sejahtera. Selain itu batasan hibah juga melindungi hak-hak ahli waris
supaya tidak ada yang dirugikan dalam hal pewarisan, dan juga menghindari dari
timbulnya perselisihan.
Mengutip pendapat Muhammad Ibnu Hasan, bahwa seseorang boleh
menghibahkan hartanya kepada selain ahli waris, namun tidak sah jika ia
menghibahkan seluruh hartanya walaupun untuk kebaikan. meskipun secara
kepemilikan itu adalah harta si penghibah, yang dia bisa bebas melakukan apa
saja dengan hartanya. ketika ia menghibahkan seluruh hartanya, maka ia tak
memiliki lagi harta untuk dibagikan kepada ahli warisnya, dan bisa berakibat pula
5
pada perselisihan antar keluarga, maka disini mafsadahnya lebih besar daripada
maslahatnya. Meskipun dalam masalah tadi si pemberi hibah berniat baik agar
kelak hartanya terkelola dengan baik,dan Allah telah memerintahkan kita untuk
menyedekahkan harta kita dalam firman Nya 6
Surat Al-Baqarah:195
(#θ à) Ï�Ρr&uρ ’Îû È≅‹Î6 y™ «!$# Ÿω uρ (#θ à) ù=è? ö/ ä3ƒ ω÷ƒ r' Î/ ’n<Î) Ïπ s3è=öκ−J9 $# ¡ (# þθ ãΖÅ¡ ômr& uρ ¡
¨β Î) ©!$# �= Ïtä†tÏΖÅ¡ ós ßϑø9 $#
Artinya: “Dan belanjakanlah (harta bendamu) di jalan Allah, dan janganlah
kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan, dan berbuat
baiklah, karena sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berbuat
baik. “
Dengan kemaslahatan pihak keluarga dan ahli warisnya, sungguh tidak
dibenarkan sebab didalam syariat Islam diperintahkan agar setiap pribadi untuk
menjaga dirinya dan keluarganya dari api neraka. Dalam konteks ini ada
kewajiban pada diri masing-masing untuk menyejahterakan keluarga. Apabila
perbuatan itu dilakukan dan menyebabkan keluarganya jatuh dalam keadaan
miskin, maka samalah halnya ia menjerumuskan sanak keluarganya ke gerbang
kekafiran.
6 Ibid., hlm.387
6
Pemikiran yang mengatakan bahwa tidak ada salahnya memberikan semua
harta yang dimilikinya kepada siapa saja yang dikehendakinya sebagaimana yang
dikemukakan oleh jumhur fuqoha’ bukanlah pendapat seluruhnya salah. Para
praktisi hukum dilingkungan Peradilan Agama juga memperhatikan apa yang
dikemukakan oleh Muhammad Ibnu Hasan dan sebagian pentahkik mazhab
Hanafi bahwa tidak sah menghibahkan semua harta meskipun dalam kebaikan,
orang yang berbuat demikian adalah orang yang dungu dan patut dibatasi
hukumnya. Pendapat ini adalah sejalan dengan apa yang dibenarkan dalam
Kompilasi Hukum Islam yang mengatakan bahwa hibah itu sepertiga dari seluruh
harta yang dimilkinya. Apabila ada kelebihan dari hibah yang diterima itu, maka
dapat dijadikan bagian warisan yang diterima para ahli waris. Jadi manusia
diperintahkan oleh Allah untuk menginfakkan hartanya di jalan Allah dengan
cukup sekedarnya saja.
Selain itu ayat Al Qur’an Surat Ali-Imran:92 yang berbunyi:
s9 (#θ ä9$ oΨs? §�É9 ø9 $# 4®L ym (#θ à) Ï�Ζè? $ £ϑÏΒ šχθ™6 ÏtéB 4 $ tΒ uρ (#θ à) Ï�Ζè? ÏΒ & ó x« ¨β Î* sù ©!$# ϵ Î/ ÒΟŠÎ=tæ
Artinya: ”Kamu sekali-kali tidak sampai kepada kebajikan (yang sempurna),
sebelum kamu menafkahkan sebagian harta yang kamu cintai. Dan apa saja
yang kamu nafkahkan, maka sesungguhnya Allah mengetahuinya”
Pada lingkungan hukum adat di Indonesia, diakui bahwa proses
pewarisan harta seorang pewaris dapat mulai dilaksanakan sejak pewaris masih
7
hidup. Meskipun secara umum pembagian harta warisan dilakukan setelah
pewaris meninggal, tidak jarang terjadi pembagian tersebut dilaksanakan jauh
sebelum pewaris meninggal. Penyerahan harta warisan kepada ahli waris atau
seorang yang tidak termasuk ahli waris sebelum pewaris meninggal, disebut
hibah.
Dalam hal pewaris menghibahkan hartanya kepada bukan ahli waris,
penghibahan dibatasi sepanjang tidak merugikan hak para ahli waris. Walaupun
hibah terhadap selain ahli waris dibatasi sebanyak- banyaknya 1/3, maka bukan
berarti hibah kepada anak-anak si pemberi hibah itu diperbolehkan lebih dari
sepertiga. Justru dalam hal ini aspek keadilan kepada semua anak- anaknya harus
diperhatikan.
Ketika antara umat berbeda pendapat dalam satu hal maka hendaknya
manusia menilik kembali firmannya, karena Allah SWT telah meletakkan prinsip-
prinsip dasar pokok keutamaan agama Islam sebagai agama terakhir yang menjadi
naungan umat, dengan ibarat dan ungkapan yang jelas disertai nash-nash yang
tegas yang tidak bisa diselewengkan.7 Semua itu dimuat dalam Al-Qur’an
sebagai sumber dari segala sumber hukum
Ketentuan KHI ( Kompilasi Hukum Islam) dalam hal ini tampak sekali
mengakomodasi realitas empiris sebagaimana dikandung dalam nilai-nilai hukum
7 Ahmad Qadri Azizi, Islam dan Permasalahan Social, (Yogyakarta: LKIS, 1997), hlm.
33
8
adat yang telah hidup dan mapan di tengah masyarakat. Ketentuan KHI
(Kompilasi Hukum Islam) tentang hibah, disamping mempertimbangkan tujuan
dan motifnya, yaitu nilai-nilai kemaslahatan, keadilan dan kedamaian tanpa saling
cemburu secara sosial dalam pembagian tersebut, juga melakukan revisi sistem
aturannya dengan memasukkan sistem pembagian tidak melebihi sepertiga dari
keseluruhan harta penghibah.8
Pada putusan penetapan dalam perkara permohonan pengesahan hibah
lebih dari sepertiga oleh Pengadilan Agama Kendal yang tertuang dalam putusan
no 11/Pdt.p/2008/PA.Kdl menetapkan, menyatakan sah menurut hukum dan hal
ini tidak bertentangan dengan hukum Islam atau maksud dari ketentuan pasal 210
Kompilasi Hukum Islam tersebut.
Hukum Islam yang berbentuk keputusan Pengadilan Agama adalah
keputusan yang dikeluarkan oleh Pengadilan Agama atas permohonan penetapan
atau gugatan yang diajukan oleh seseorang atau lebih dan /atau lembaga
kepadanya. Keputusan dimaksud, bersifat mengikat pihak-pihak yang berperkara.
Selain itu, keputusan pengadilan agama dapat bernilai sebagai yurisprudensi, yang
dalam kasus –kasus tertentu dapat dijadikan oleh hakim sebagai referensi
hukum.9
8 Mahsun Fuad, Hukum Islam Indonesia Dari Nalar Partisipatoris Hingga Emansipatoris,
,(Yogyakarta : lkis, 2005 ) hlm 273 9 Zainuddin Ali, Hukum Perdata Islam di Indonesia, (Jakarta : Sinar Grafika, 2006), hlm
.5
9
Berdasarkan pemaparan kasus dan informasi di atas serta berbagai
kontroversi yang telah diuraikan, penulis tertarik untuk mengangkat dalam bentuk
skripsi dengan judul “Analisis Terhadap Putusan Pengadilan Agama Kendal
Tentang Hibah Lebih Dari Sepertiga (Studi Putusan No
11/Pdt.P/2008/Pa.Kdl Di Pengadilan Agama Kendal)”
B. Permasalahan
Dari latar belakang masalah di atas, maka penulis memfokuskan penelitian
ini dengan merumuskan permasalahan sebagai berikut :
1. Bagaimana dasar penetapan hakim dalam memutus perkara no
11/pdt.p/2008/PA/kdl
2. Bagaimana tinjauan hukum islam terhadap putusan hibah lebih dari sepertiga
no 11/pdt.p/2008/PA/kdl
C. Tujuan penelitian
Adapun tujuan yang ingin dicapai penulis dala penelitian ini adalah :
1. Tujuan
Berdasarkan permasalahan di atas, maka penulisan skripsi ini bertujuan:
a. Menjelaskan dasar penetapan yang dilakukan hakim dalam
memutus perkara hibah lebih dari sepertiga no
11/pdt.p/2008/PA/kdl
b. Untuk mengetahui tinjauan Hukum Islam terhadap hibah lebih dari
sepertiga terhadap putusan no 11/pdt.p/2008/PA/kdl
2. Kegunaan
10
Setiap permasalahan membutuhkan kajian secara tuntas dan mendasar agar
dapat di peroleh kegunaan dari permasalahan tersebut, yaitu:
a. Secara akademik
Penulisan ini diharapkan dapat menciptakan pengembangan Ilmu
Hukum, sebagai suatu sarana pengendalian masyarakat maupun
sebagai sarana perencanaan masyarakat dan menambah hazanah
keilmuan mengenai upaya hukum dapat ditempuh apabila terjadi
persengketaan terhadap Hibah oleh ahli waris. Maka dengan itu
dapat dijadikan salah satu bahan untuk melakukan kajian atau
penelitian lanjutan bagi akademis atau penelitian berikutnya.
b. Secara praktis
Dapat dijadikan pertimbangan hakim dalam memutuskan perkara
sengketa tentang pembatasan Hibah oleh ahli waris yang mungkin
terjadi dikemudian hari. Bagi praktisi hukum, hasil penelitian ini
dapat dijadikan pertimbangan untuk menemukan aspek-aspek
hukum dari hibah yang lebih dari sepertiga.
D. Telaah pustaka
Pemberian hibah yang lebih dari sepertiga para ulama berbeda pendapat
mengenai kadar pemberiannya, begitu juga dalam hukum positif Indonesia
(Kompilasi Hukum Islam) yang mengatur tegas pada pasal 210, bahwa pada
dasarnya besarnya hibah itu maksimal adalah sepertiga dari milik penghibah.
11
1. Buku Karya Ahmad Rofiq “Hukum Islam Di Indonesia “ yang menerangkan
bahwa pembatasan yang dilakukan Kompilasi Hukum Islam, baik dari usia
maupun sepertiga dari harta pemberi hibah, berdasar pertimbangan bahwa usia 21
tahun telah dianggap cakap untuk memiliki hak untuk menghibahkan benda
miliknya itu. Demikian juga batasan sepertiga harta, kecuali jika ahli waris
menyetujuinya. Selain itu beliau juga membahas pengertian hibah, dasar hukum
hibah, dan hibah hubungannya dengan warisan, hibah dari orang tua kepada
anaknya dapat diperhitungkan sebagai warisan (KHI ps.211), masalah penarikan
kembali hibah yang menjelaskan tercelanya menarik kembali hibahnya,
menunjukan keharaman penarikan kembali hibah atau sadaqah yang lain yang
telah diberikan kepada orang lain. Kebolehan menarik kembali hibah hanya
berlaku bagi orang tua yang menghibahkan sesuatu kepada anaknya. Kendatipun
demikian, menurut hemat penulis kebolehan menarik kembali, dimaksudkan agar
orang tua dalam memberikan hibah kepada anak-anaknya memperhatikan nilai-
nilai keadilan.10
2. Buku karya Abdul Manan “Aneka Masalah Hukum Perdata Islam Di Indonesia”
menerangkan yang berhubungan kewenangan Peradilan Agama yang sebagaima
diatur dalam Pasal 49 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan
Agama yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang
Peradilan Agama. Dalam undang undang ini kewenangan Pengadilan di
lingkungan Peradilan Agama diperluas yang sebelumnya hanya pada lingkup
10Ahmad Rofiq, Op.cit hlm 257
12
perkawinan, perwakafan, kewarisan, wasiat, hibah, shodaqoh, hal ini sesuai
dengan perkembangan hukum dan kebutuhan hukum masyarakat, khususnya
masyarakat muslim. Perluasan tersebut antara lain meliputi ekonomi syariah.11
3. Skripsi Karya Abdul Khamid, Mahasiswa Fakultas Syariah IAIN Walisongo
Semarang yang berjudul “Analisis Pendapat Imam Syafi’i Tentang Serah Terima
Sebagai Syarat Sah Hibah” kontekstualitas pendapat Imam Syafi’i tentang serah
terima sebagai syarat hibah dengan praktek hibah saat ini masih relevan. Serah
terima sebagai salah satu syarat hibah menjadi unsur penting dalam menjaga nilai
kekuatan dan pembuktian hibah saat ini. Dalam kontekstualitas dengan praktek
hibah saat ini bahwa hibah dilakukan dengan serah terima dihadapan notaris atau
pejabat pembuat akta tanah.
4. Skripsi karya Muhammad Munir mahasiswa Fakultas Syariah IAIN Walisongo
Semarang yang berjudul “Analisis Pendapat Imam Syafi’i Tentang Hukum
Pencabutan Kembali Hibah “ pembahasan Imam Syafi’i tentang hukum
pencabutan kembali hibah. Menurut Imam Syafi’I, Dalam analisisnya bahwa
Imam Syafi’i berpendapat bahwa hibah tidak boleh dicabut kembali manakala si
penghibah memberi hibah dengan sukarela tanpa mengharap imbalan. Sedangkan
bila si penghibah memberi hibah dengan maksud mendapat imbalan maka hibah
boleh dicabut kembali. Karena hibah merupakan pemberian yang mempunyai
akibat hukum perpindahan hak milik, maka pihak pemberi hibah tidak boleh
11 Abdul Manan, Aneka Masalah Hukum Perdata Islam di Indonesia, (Jakarta: Prenada
Media, 2006) hlm 2
13
meminta kembali harta yang sudah dihibahkannya, sebab hal itu bertentangan
dengan prinsip-prinsip hibah.
Berdasarkan pemaparan pustaka di atas, maka dapat diketahui
bahwasannya pustaka-pustaka di atas secara substansi objek kajian memiliki
kesamaan dengan penelitian yang akan penulis laksanakan yang berkaitan dengan
hibah, akan tetapi jika dikaji secara khusus maka terdapat perbedaan masalah
yaitu Putusan Pengadilan Agama Kendal Terhadap Hibah Lebih Dari Sepertiga,
sebagai objek kajian penulis yang akan membedakan antara pustaka-pustaka di
atas dengan penelitian yang akan penulis laksanakan.
E. Metode penelitian
1. Jenis penelitian
Jenis penelitian ini merupakan penelitian kepustakaaan (library
reseach) penelitian yang dilakukan untuk menelaah bahan-bahan dari buku
utama yang berkaitan dengan masalah, dan buku penunjang berupa sumber
lainnya yang relevan dengan topik yang dikaji. Sedangkan dalam penelitian
ini menitikberatkan kepada dokumen. Penelitian dokumen adalah Penelitian
yang dilakukan dengan melihat data yang bersifat praktek, meliputi: data
arsip, data resmi pada institusi Pengadilan Agama Kendal, data yang
dipublikasikan (putusan pengadilan, yurisprudensi, dan sebagainya).12
12 P. Joko Subagyo, Metode Penelitian Dalam Teori dan Praktek, (Jakarta: PT Rineka Cipta,
1991), hlm 109
14
Sedangkan objek dalam penelitian ini adalah putusan Pengadilan Agama
Kendal No: 11/Pdt.P/2008/PA.Kdl tentang hibah lebih dari sepertiga.
2. Sumber Data Penelitian
Sumber data penelitian ini terdiri atas data primer dan data sekunder.
a. Sumber Data Primer
Sumber data primer adalah sumber yang memberikan
informasi secara langsung, serta sumber data tersebut memiliki
hubungan dengan pokok penelitian sebagai bahan informasi yang
dicari.13 Data primer dalam penelitian ini adalah data yang diambil
dari data-data dalam bentuk dokumen putusan Pengadilan yaitu
putusan Pengadilan Agama Kendal No: 11/Pdt.P/2008/PA.Kdl
b. Sumber data sekunder
Sumber data sekunder dalam penelitian ini meliputi
sumber data yang memuat tentang hibah dalam bentuk buku
maupun jurnal. Adapun data sekunder atau data pendukung yaitu
wawancara dengan hakim Pengadilan Agama Kendal dan literatur
yang digunakan dalam menjelaskan tentang pokok permasalahan
yaitu buku-buku yang ada relevansinya dengan penelitian. Antara
lain Sayyid Sabiq (Fiqh Sunah), Chairuman Pasaribu ( Hukum
Perjanjian Dalam Islam ), Rachmat syafe’I ( Fiqh Muamalah),
M. Idris Ramulyo (Perbandingan, Perbandingan Pelaksanaan
13 Saefudin Azwar, Metodologi Penelitian,,(Yoyakarta: Pustaka Pelajar, 1993), Hlm 91
15
Hukum Kewarisan Islam Dengan Kewarisan Menurut Hukum
perdata), Cik Hasan Bisri ( Peradilan Agama Di Indonesia)
Dari sini setiap data atau informasi yang diperoleh dari
masalah demi masalah akan dibandingkan dengan informasi lain
yang ada, sehingga mendapatkan hasil yang diharapkan untuk
kemudian dapat diambil suatu kesimpulan sebagai hasil akhir dari
permasalahan yang dibahas dalam skripsi ini.
3. Metode Pengumpulan Data
Untuk mendapatkan data yang akurat, penulis akan menempuh atau
menggunakan beberapa metode pengumpulan data, yaitu sebagai berikut :
a. Metode Dokumen (Documentation)
Yaitu metode yang dilakukan dengan cara mencari dan
mempelajari data-data dari catatan-catatan, transkip, berkas, surat,
majalah, surat kabar dan sebagainya yang berkaitan dengan penelitian
ini.14 Pengumpulan data berupa sumber data tertulis, bentuk tulisan
ini adalah tulisan yang diarsipkan atau dikumpulkan. Diantara
dokumen yang penulis gunakan adalah putusan Pengadilan Agama
Kendal No: 11/Pdt.P/2008/PA.Kdl hibah lebih dari sepertiga
b. Metode Wawancara (Interview)
14 Suharsini Arikunto, Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik,( Rineka Cipta,:
Jakarta, 2006), hlm 202
16
Yaitu metode pengumpulan data yang dilakukan dengan
mewawancarai atau memberikan pertanyaan kepada responden yang
berkaitan dengan penelitian penulis.15 Dalam penelitian ini, interview
dilakukan dengan berbagai pihak yang berkompeten dan terkait dengan
penelitian. Yaitu hakim yang menangani masalah Putusan Hibah Lebih
Dari Sepertiga di lingkungan Pengadilan Agama Kendal dengan
menggunakan koesioner sebagai metode yang dipilih untuk
mengumpulkan data. Adapun wawancara dengan Hakim Pengadilan
Agama Kendal sebagai data pendukung.
4. Metode Analisis Data
Data-data yang telah diperoleh tersebut dianalisis dengan
menggunakan metode deskriptif analitatif, yaitu suatu metode yang dirancang
untuk mengumpulkan informasi tentang keadaan nyata sekarang (sementara
berlangsung). Adapun tujuan dari metode tersebut adalah untuk
menggambarkan sifat suatu yang sementara berjalan pada saat penelitian
dilakukan.16
Jadi analisis deskriptif adalah analisis data yang dilakukan terhadap
seluruh data yang diperoleh untuk mengembangkan dan menemukan teori,
kemudian hasil analisis tersebut disajikan secara keseluruhan tanpa
menggunakan rumusan statistik.
15 Ibid, Hlm. 148
16 Ibid, Hlm. 136
17
Proses analisis data dalam penelitian ini dilakukan dalam dua tahap
dengan dua teknik yang berbeda. Analisis yang pertama dilakukan pada data
yang telah didapat oleh penulis dari lapangan (hasil wawancara, dan
dokumentasi) yang belum diolah. Pengolahan data bedasar pada kaidah
deskriptif yakni pengolahan yang meliputi seluruh data yang telah diperoleh
yang dilakukan dengan mendasar pada teknik kategorisasi. Maksud dari
teknik kategorisasi adalah penulis akan menempatkan data-data yang telah
diperoleh sesuai dengan kategori data yang telah dirancang. Hasil dari analisis
ini adalah data yang dipaparkan dan menjadi bab III.
Sedangkan analisa yang kedua dilakukan dengan mendasar pada kaidah
kualitatif. Metode kualitatif yaitu menganalisisnya dengan pemikiran logis,
teliti dan sistematis terhadap semua data yang berhasil dikumpulkan untuk
memperoleh kesimpulan, dalam penelitian ini penulis menggunakannya untuk
menganalisis buku-buku, literatur-literatur dan berkas putusan Pengadilan
Agama Kendal.
F. Sistematika Penulisan
Secara garis besar penulisan skripsi ini terdiri atas 5 bab, dalam setiap bab
terdapat sub-sub bab permasalahan; yaitu :
BAB I : Pendahuluan.
Bab ini memuat tentang latar belakang permasalahan, pokok
permasalahan, tujuan penelitian, telaah pustaka, metode
penelitian dan sistematika penulisan.
18
BAB II : Ketentuan Umum Tentang Hibah
Dalam Bab ini membahas pengertian hibah, dasar hukum
hibah, rukun hibah, syarat hukum hibah dan ketentuan hibah
menurut ulama dan KHI
BABIII : Putusan Pengadilan Agama Kendal tentang hibah lebih dari
sepertiga
Pada pemaparan bab ini terdapat tiga sub bab A) ulasan
mengenai profil Pengadilan Agama Kendal meliputi, sekilas
tentang Pengadilan Agama Kendal, Hakim Pengadilan
Agama Kendal, tugas dan kewenangan Pengadilan Agama,
B) membahas mengenai Bagaimana Dasar Penetapan Hakim
dalam memutus perkara no 11/pdt.p/2008/PA/kdl yang
meliputi deskripsi putusan hibah lebih sepertiga No.
11/Pdt.P/2008/PA.Kdl dan dasar penetapan hakim dalam
putusan No. 11/Pdt.P/2008/PA.Kdl C) Tinjauan Hukum
Islam Terhadap Putusan Hibah lebih lebih dari sepertiga no
11/pdt.p/2008/PA/ kdl
BAB IV : Bab ini merupakan pokok dari pembahasan penulisan skripsi
ini yakni meliputi:
A. Analisis Terhadap putusan hakim mengenai putusan
perkara hibah lebih dari sepertiga No
11/Pdt.P/2008/PA.Kdl ditinjau dari Hukum Islam
19
B. Analalisis tinjauan Hukum Islam terhadap putusan No.
11/Pdt.P/2008/PA.Kdl tetang hibah lebih dari sepertiga.
BAB V : Penutup hasil akhir dari penelitian ini sekaligus merupakan
akhir dari rangkaian penulisan skripsi yang akan berisi
kesimpulan dan saran dan penutup.
20
BAB II
TINJAUAN UMUM TENTANG HIBAH
A. Pengertian hibah
Secara etimologi kata hibah adalah bentuk masdar dari kata wahaba,
yang berarti pemberian. Secara terminologis, hibah adalah pemilikan suatu
benda melalui transaksi atau akad tanpa mengharap imbalan apa pun dari
orang yang diberi ketika si pemberi masih hidup.1 Dalam hal ini, rumusan
Menurut Kompilasi Hukum Islam (KHI) dalam Pasal 171 huruf (g)
mendefinisikan hibah bahwa “Hibah adalah pemberian suatu benda secara
sukarela dan tanpa imbalan dari seseorang kepada orang lain yang masih
hidup untuk dimiliki”.2
Adapun pengertian hibah menurut para ulama yang dihimpun dalam
Kitab al-Fiqh ‘ala al-Madzahib al-Arba’ah, karya Abdurrahman Al Jaziri
a) Menurut Mazhab Hanafi adalah pemberian benda dengan tanpa ada
syarat harus mendapat imbalan ganti, pemberian mana dilakukan
pada saat si pemberi masih hidup. Benda yang dimiliki yang akan
diberikan itu adalah sah milik si pemberi.3
1 Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah juz IV, (Beirut Dar Fath, 2004), 435
2 Mahsun Fuad, Hukum Islam Indonesia dari nalar Partisipatoris Hingga
Emansipatoris,(Yogyakarta : Lkis, 2005 ) hlm 271 3 Abd al-Rahman al-Jaziri,, Kitab al-Fiqh ‘ala al-Madzahib al-Arba’ah, Beirut: Dar al-
Kutub al-Ilmiah, t.th, hlm 112
21
b) Menurut Mazhab Maliki, adalah memberikan suatu zat materi
tanpa mengharap imbalan, dan hanya ingin menyenangkan orang
yang diberinya tanpa mengharap imbalan dari Allah. Hibah
menurut Maliki ini sama dengan hadiah. Dan apabila pemberian itu
semata-mata untuk meminta ridha Allah dan mengharapkan pahala
maka ini dinamakan sedekah.4
c) Menurut Madzhab Hambali, adalah memberikan hak memiliki
sesuatu oleh seseorang yang dibenarkan tasarrufnya atas suatu
harta baik yang dapat diketahui atau, karena susah untuk
mengetahuinya. Harta itu ada wujudnya untuk diserahkan.
Pemberian yang mana tidak bersifat wajib, dan dilakukan pada
waktu si pemberi masih hidup dengan tanpa syarat adanya
imbalan.5
d) Menurut Madzhab Syafi’i, hibah mengandung dua pengertian:
1) Pengertian khusus, yaitu pemberian hanya sifatnya sunnah yang
dilakukan dengan ijab qabul pada waktu si pemberi masih hidup.
Pemberian yang tidak dimaksudkan untuk menghormati atau
memuliakan seseorang dan tidak dimaksudkan untuk mendapatkan
pahala dari Allah atau karena menutup kebutuhan orang yang
4 Ibid, hlm 113
5 Ibid
22
diberikanya.6
2) Pengertian umum, yaitu hibah dalam arti umum mencakup
hadiah dan sedekah.
Walaupun rumusan definisi yang dikemukakan oleh keempat madzhab
tersebut berlainan redaksinya namun intinya tetaplah sama.
Hibah adalah memberikan hak memilik sesuatu benda kepada orang
lain yang dilandasi oleh ketulusan hati atas dasar saling membantu kepada
sesama manusia dalam hal kebaikan.
Adapun pengertian hibah dapat dipedomani definisi-definisi yang
diberikan oleh para Ahli hukum Islam, antara lain
Sayyid Sabiq mengemukakan bahwa definisi hibah adalah akad yang
pokok persoalannya pemberian harta milik seseorang kepada orang lain
diwaktu dia hidup, tanpa adanya imbalan.7
Menurut Saleh Al Fauzan hibah adalah pemberian secara sukarela dari
orang yang boleh bertasharruf 8 ketika masih hidup kepada orang lain dengan
jumlah yang diketahui.9
6 Ibid
7 Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah 5, terjemahan ( Jakarta : Cakrawala Publishing, 2009) hlm
547 8 Tasyararruf maksudnya mempunyai kemampuan untuk membelajakan harta dan
merupakan pemilik dari harta tersebut 9 Saleh Al-Fauzan, Al Mulakhkhasul Fiqhi.( Saudi Arabia: Daar Ibnu Jauzi, t.th)
23
Sedangkan Sulaiman Rasyid memberikan definisi sebagai berikut :
hibah ialah memberikan barang dengan tidak ada tukaranya dan tidak ada
sebabnya.10
Dari beberapa definisi yang disampaikan oleh para ahli hukum di atas,
dapat disimpulkan bahwa hibah merupakan sesuatu pemberian yang bersifat
sukarela (tidak ada sebab musababnya) tanpa adanya imbalan dari pihak
penerima pemberian, dan pemberian itu dilangsungkan pada saat si pemberi
masih hidup, inilah yang membedakannya dengan wasiat, yang mana wasiat
diberikan sesudah si pewasiat meninggal dunia.
Dalam istilah hukum perjanjian yang seperti ini dinamakan juga
dengan perjanjian sepihak ( perjanjian unilateral) sebagai lawan dari
perjanjian bertimbal balik (perjanjian bilateral).11
Jadi hibah merupakan pemindahan langsung hak milik itu sendiri oleh
seseorang kepada orang yang lain tanpa pemberian balasan. Dalam hibah yang
diberikan, ialah harta yang menjadi milik dari orang yang menghibahkan,
bukan hasil dari harta itu.12
Dari uraian di atas, dapat diketahui bahwa hibah merupakan suatu
perbuatan yang terpuji karena memberikan harta dengan sukarela tanpa
10 Sulaiman Rasyid, Fiqh Islam Hukum Fiqh Lengkap, (Bandung: PT Sinar Baru
Algensindo, 1994) hlm 326 11 Chairuman Pasaribu, Hukum Perjanjian, ( Jakarta: sinar grafika, 1994) hlm 114
12 Ilmu Fiqh. (Proyek Pembinaan Prasarana Dan Sarana Perguruan Tinggi Agama
Islam/Iain Di Jakarta Direktorat Jenderal Pembinaan Kelembagaan Agama Islam Departemen
Agama,1986)
24
mengharapkan balasan, tidak tergantung dan tidak disertai dengan persyaratan
apapun juga.
B. Dasar Hukum Hibah
Dalam Al-qur’an, penggunaan kata hibah digunakan dalam konteks
pemberian anugrah Allah kepada utusan-utusan-Nya, doa yang dipanjatkan
oleh hamba-hambaNya, terutama para nabi, dan menjelaskan sifat Allah yang
Maha Memberi Karunia. Untuk itu mencari dasar hukum hibah seperti yang
dimaksud dalam kajian ini, dapat digunakan petunjuk dan anjuran secara
umum, agar seseorang dapat membagikan sebagian rizki kepada orang lain.
Misalnya, QS. Al baqarah, 2:262:
tÏ% ©!$# tβθ à) Ï�ΖムöΝ ßγ s9≡uθ øΒ r& ’Îû È≅‹Î6 y™ «!$# §Ν èO Ÿω tβθãè Î7 ÷Gム!$ tΒ (#θà)x�Ρr& $ xΨtΒ Iω uρ “]Œ r& �
öΝ çλ °; öΝ èδ ã� ô_ r& y‰Ψ Ïã öΝ ÎγÎn/ u‘ Ÿω uρ ì∃ öθyz óΟ Îγ øŠn=tæ Ÿωuρ öΝ èδ šχθçΡt“ ós tƒ
Artinya: “Orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah, Kemudian
mereka tidak mengiringi apa yang dinafkahkannya itu dengan
menyebut-nyebutnya dan menyakiti (perasaan penerima), mereka
memperoleh pahala di sisi Tuhan mereka. tidak ada rasa takut pada
mereka dan mereka tidak bersedih hati”.13
13 Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan terjemahanya, Disempurnakan Oleh Lajnah
Pentashih Mushaf Al-qur’an Departemen Agama RI, Sinar Baru Algensindo, Bandung, 2006 34
25
Firman Allah juga dalam surat (QS. Al Munnafiqun 63, ayat 10):
(#θ à) Ï�Ρr&uρ ÏΒ $ ¨Β Ν ä3≈ oΨ ø%y—u‘ ÏiΒ È≅ ö6 s% β r& š†ÎAù' tƒ ãΝ ä.y‰tn r& ßNöθ yϑø9 $# tΑθ à)u‹sù Éb>u‘ Iω öθ s9
û Í_s?ö� ¨z r& #’n<Î) 9≅y_ r& 5=ƒÌ� s% šX£‰¢¹r' sù ä.r&uρ zÏiΒ tÅs Î=≈ ¢Á9$#
Artinya: “Dan infakanlah sebagian dari apa yang telah kami berikan
kepadamu sebelum kematian datang kepada salah seorang diantara
kamu; lalu ia berkata (menyesali) “Ya Tuhanku, sekiranya engkau
berkenan menunda (kematian)ku sedikit waktu lagi, maka aku dapat
bersedekah dan aku akan termasuk orang-orang yang saleh?”.14
Hibah disyariatkan dan dihukumi mandhub (sunat) dalam Islam
berdasarkan Al-Qur’an, Sunnah, dan Ijma.15 Dalam Al-Qur’an Surah An-Nisa
: 4 yang berbunyi
4 β Î* sù t ÷ÏÛ öΝ ä3s9 tã & óx« çµ÷ΖÏiΒ $ T¡ ø�tΡ çνθ è=ä3sù $ \↔ÿ‹ÏΖyδ $ \↔ÿƒ Í÷£∆
Artinya: Kemudian mereka menyerahkan kepada kamu sebagian dari
maskawin itu dengan senang hati, maka makanlah (ambilah)
pemberian itu dengan (sebagai hadiah) yang sedap lagi baik
akibatnya.(QS.An-Nisa’)16
Adapun dasar hibah menurut Islam adalah firman Allah yang menganjurkan
kepada umat Islam agar berbuat baik kepada sesamanya, saling mengasihi dan
sebagainya. Islam menganjurkan agar umatnya suka memberi karena memberi lebih
baik daripada menerima. Namun pemberian itu harus ikhlas, tidak ada pamrih apa-
14 Ibid., hlm. 443
15 Racmat Syafe’i, Fiqh Muamalah ( Bandung: Pustaka Setia, 2001) Hlm 242
16 Al-Qur’an dan terjemahanya, Op. Cit
26
apa kecuali mencari ridha Allah dan mempererat tali persaudaraan, sebagaimana
dalam firman Allah
’ tA# u uρ… tΑ$ yϑø9 $# 4’ n?tã ϵÎm6 ãm “ÍρsŒ 4†n1ö� à) ø9 $# 4’yϑ≈ tGuŠø9 $# uρ t Å3≈ |¡yϑø9 $# uρ t ø⌠$# uρ È≅‹Î6 ¡¡9 $# …
Artinya: “…dan memberikan harta yang dicintainya kepada kerabat, anak
yatim dan orang miskin, orang-orang yang dalam perjalanan
(musafir)…”. (QS Al-baqarah ayat 177).17
(#θ è?#u uu uuρρρρ u !$ |¡ ÏiΨ9$# £ÍκÉJ≈ s%߉|¹ \' s#øtÏΥ 4 βÎ* sù t ÷ÏÛ öΝ ä3s9 tã & óx« çµ÷ΖÏiΒ $ T¡ø�tΡ çνθ è=ä3sù $ \↔ÿ‹ ÏΖyδ
$ \↔ÿƒƒƒƒ ÍÍ ÍÍ÷÷÷÷ ££ ££∆∆∆∆
Artinya: “Dan berikanlah maskawin (mahar) kepada peremruan yang kamu
nikahi sebagai pemberian yang penuh kerelaan. Kemudian, jika
mereka menyerahkan kepada kamu sebagian dari (maskawin) itu
dengan senang hati, maka terimalah dan nikmatilah pemberian itu
dengan senang hati”. (QS. Annisa, ayat 4).
Di dalam Al–Qur’an maupun Hadist, tidak dapat ditemui perintah yang secara
langsung memerintahkan seseorang untuk berhibah. Namun dari ayat-ayat dan hadist
di atas dapat dipahami, bahwa Allah dan Rasul-Nya menganjurkan umat Islam untuk
suka menolong sesama, melakukan infaq, sedekah dan pemberian-pemberian lain
termasuk hibah. Karena itu Hibah dapat meneguhkan rasa kecintaan antara manusia,
oleh karena itu Islam mengantar dan memberikan keselamatan secara utuh memiliki
ajaran yang sangat lengkap dalam segala aspek kehidupan. Hibah atau pemberian
merupakan salah satu bentuk Taqarrub kepada Allah SWT, dalam rangka
mempersempit kesenjangan antara hubungan keluarga serta menumbuhkan rasa setia
17 Ibid., hlm. 21
27
kawanan dan juga kepedulian sosial. Al-Qur’an menganjurkan kepada manusia untuk
tolong menolong dalam kebajikan dan taqwa dan melarang tolong menolong dalam
perbuatan dosa dan permusuhan,
Hibah dalam Hukum Islam dapat dilakukan secara tertulis maupun lisan,
bahkan telah ditetapkan dengan tegas bahwa dalam Hukum Islam, pemberian harta
berupa harta tidak bergerak dapat dilakukan dengan lisan tanpa mempergunakan
suatu dokumen tertulis.
Mengenai bukti-bukti yang cukup tentang terjadinya peralihan hak milik,
maka pemberian itu dapatlah dinyatakan dalam tulisan. Jika pemberian tersebut
dilakukan dalam bentuk tertulis tersebut terdapat 2 (dua) macam, yaitu :
1. Bentuk tertulis yang tidak perlu didaftarkan, jika isinya hanya
menyatakan telah terjadinya pemberian.
2. Bentuk tertulis yang perlu didaftarkan, jika surat itu merupakan alat
dari penyerahan pemberian itu sendiri, artinya apabila pernyataan
penyerahan benda yang bersangkutan kemudian disusul oleh dokumen
resmi tentang pemberian, maka yang harus didaftarkan.18
C. Rukun dan Syarat – Syarat Hibah
Hibah adalah salah satu bentuk pemberian yang diberikan oleh
seseorang kepada orang lain dengan adanya akad, dan dalam hal akad pasti
terdapat ikatan-ikatan penjanjian yang disepakati antara seorang dengan orang
lain. Dan dalam hal ini hibah mempunyai rukun-rukun serta syarat-syarat
yang harus ada, yang menjadi sahnya hibah.
18
`Asaf A.A Fyzee, Pokok- Pokok Hukun Islam II ( Jakarta: Tintamas, 1966) Hlm 5
28
Dalam melaksanakan suatu perikatan, terdapat syarat dan rukun yang
harus dipenuhi. Secara bahasa rukun adalah “yang harus dipenuhi untuk sah
suatu pekerjaan”19, sedangkan syarat adalah “ketentuan (peraturan, petunjuk)
yang harus diindahkan dan dilakukan”.20 Dalam syari’ah, rukun dan syarat
sama-sama menentukan sah atau tidaknya suatu transaksi. Secara definisi
rukun adalah suatu unsur yang merupakan bagian tak terpisahkan dari suatu
perbuatan atau lembaga yang menentukan sah atau tidaknya perbuatan
tersebut dan ada atau tidak adanya sesuatu itu.21 Definisi syarat adalah sesuatu
yang bergantung pada keberadaan hukum syar’i, dan ia berada di luar hukum
itu sendiri, yang ketiadaannya menyebabkan hukum pun tidak ada.22
Perbedaan antara rukun dan syarat menurut ulama ushul fiqh, bahwa rukun
merupakan sifat yang kepadanya tergantung keberadaan hukum dan ia
termasuk dalam hukum itu sendiri, sedangkan syarat merupakan sifat yang
kepadanya tergantung keberadaan hukum, tatapi ia berada di luar hukum itu
sendiri.23
19 Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai
Pustaka, 2005, Edisi III. Cet. III, hlm 966
I, hlm. 436 20
Ibid 1114. 21
Abdul Aziz Dahlan, et.al., Ensiklopedi Hukum Islam, Jakarta: PT Ichtiar van Hoeve,
1996, hlm. 540. 22 Ibid, hlm1691
23 Ibid, hlm1692
29
1. Rukun Hibah
Hibah adalah salah satu bentuk pemberian yang diberikan oleh
seseorang kepada orang lain dengan adanya akad, dan dalam hal akad pasti
terdapat ikatan-ikatan penjanjian yang disepakati antara seorang dengan orang
lain. Dan dalam hal ini hibah mempunyai rukun-rukun serta syarat-syarat
yang harus ada, yang menjadi sahnya hibah.
Menurut ulama Hanafiyah, rukun hibah adalah ijab dan qobul sebab
keduanya termasuk akad seperti halnya jual-beli. Selain itu sebagian ulama
Hanafiyah berpendapat bahwa qobul dari penerima hibah bukanlah rukun,
dengan demikian dicukupkan dengan adanya ijab dari pemberi. Hal hibah
menurut bahasa adalah sekedar pemberian dan qobul hanyalah dampak dari
adanya hibah, yakni pemindahan hak milik.24
Menurut jumhur ulama, rukun hibah ada empat.25
a. Wahib (pemberi hibah)
Wahib adalah pemberi hibah, yang menghibahkan barang
miliknya. Jumhur ulama berpendapat, jika orang yang sakit
memberikan hibah kemudian ia meningal maka hibah yang
dikeluarkan adalah sepertiga dari harta peninggalan (tirkah)
b. Mauhub lah (penerima)
24 Fiqh Muamalah, Op. Cit hml 244
25 Ibid
30
Penerima hibah adalah seluruh manusia. Ulama sepakat bahwa
seseoarang dibolehkan menghibahkan seluruh harta.
c. Mauhub
Mauhub adalah barang yang dihibahkan
d. Shighat (ijab dan qobul)
Shighat hibah adalah segala sesuatu yang dapat dikatakan ijab
dan qobul, seprti dengan lafazh hibah, athiyah (pemberian),
dan sebagainya. Ijab dapat dilakukan secara sharih seperti
seseorang berkata “ saya hibahkan benda ini kepadamu”,
Dalam kitab Bidayatul Mujtahid Karya Ibnu Rusyd disebutkan bahwa
rukun hibah Ada Tiga Macam, Yaitu:
a. Pemberi hibah (Al wahib),
b. Penerima hibah (al mauhub lahu),
c. Benda yang dihibahkan.26
Sayyid Sabiq berpendapat hibah dinyatakan sah dengan adanya ijab
dan Kabul dengan ungkapan apapun yang bermakna penyerahan kepemilikan
harta tanpa imbalan. Yaitu pihak yang bermakna memberikan hibah
mengucapkan; aku hibahkan kepadamu. Atau aku memberikan kepadamu.
Dan ungkapan semacamnya. Dan pihak yang menerimanya mengucapkan;
26 Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid juz 3 (Kairo:Musthafa Al-Babi Al Halbiy, 1990) hlm
346
31
aku terima. Malik dan Syafi’I berpendapat bahwa dengan penerimaan maka
hibah sudah dapat dinyatakan sah.27
Sebagian penganut mazhab Hanafi berpendapat bahwa ijab saja sudah
cukup. Inilah pendapat yang paling shahih. Penganut mazhab Hanabali
mengatakan, “hibah dinyatakan sah dengan adanya pemberian dan
penerimaan yang menunjukkan maksud hibah. Sebab, Rosulullah SAW
memberi hadiah dan menerima hadiah, demikian pula yang dilakukan para
sahabat beliau ( tanpa ungkapan ijab dan Kabul). Dan tidak ada riwayat
mereka yang menyatakan bahwa mereka menetapkan syarat ijab dan Kabul
serta syarat semacamnya.28
Para fuqaha sependapat bahwa setiap orang dapat memberikan hibah
kepada orang lain, jika barang yang di hibahkan itu sah miliknya. Kemudian
fuqaha berselisih pendapat mengenai hal pemberi hibah itu dalam keadaan
sakit, bodoh, atau pailit. Mengenai orang yang sakit, jumhur fuqaha
berpendapat bahwa ia boleh menghibahkan sepertiga hartanya, karena
dipersamakan dengan wasiat. Hibah yang lengkap dengan syarat-syaratnya.
27
Sayyid Sabiq, Op. cit hlm 550 28
Ibid
32
2. Syarat Hibah
Hibah terjadi dengan adanya pihak yang memberi, pihak yang
menerima hibah, dan barang yang dihibahkan. Masing –masing dari nilai
semua memiliki syarat-syarat sebagai berikut :29
a. Shighat hibah
Shighat hibah, ialah kata-kata yang diucapkan oleh orang –
orang yang melakukan hibah. Karena hibah semacam akad, maka
shighat hibah terdiri atas ijab dan qobul. Ijab, ialah kata- kata yang
diucapkan oleh penghibah, sedangkan qobul diucapkan oleh orang
yang menerima hibah.
Malikiyah dan Syafi’iyah berpendapat bahwa setiap hibah
harus ada ijab dan qobulnya, tidak sah suatu hibah tanpa ada kedua
macam shighat hibah itu.
b. Syarat – syarat yang berkaitan dengan pemberi hibah
Pemberi hibah adalah pemilik sah barang yang dihibahkan
yang pada saat pemberian itu dilakukan berada dalam keadaan sehat,
baik sehat jasmani maupun rohani.30Barang yang dapat dihibahkan
ialah segala sesuatu yang dapat dimiliki oleh sebab itu hukum Islam
mengatur persyaratan bagi pemberi hibah yang diantaranya sebagai
berikut:
29Ibid, hlm 551
30 Zainudin Ali, Hukum Perdata Islam Di Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafika, 2006)
Hlm 138
33
a) Pemberi hibah harus sebagai pemilik barang yang dihibahkan.
b) Dia tidak berada dalam kondisi dibatasi kewenangannya
lantaran suatu sebab yang menjadikan kewenangannya
dibatasi.
c) Dia harus berusia baliq, karena anak kecil belum layak untuk
melakukan akad hibah.
d) Hibah merupakan akad yang ditetapkan padanya syarat ridha
terkait keabsahannya.
c. Syarat-syarat yang berkaitan dengan penerima hibah
Penerima hibah adalah setiap orang, baik perorangan maupun
badan hukum serta layak untuk memiliki barang yang dihibahkan.31
Terhadap pihak yang menerima hibah, ditetapkannya syarat-syarat
sebagai berikut:
Penerima hibah harus benar-benar ada secara fisik saat
pemberian hibah. Jika secara fisik dia tidak ada ditempat atau dia
dinyatakan ada tetapi masih dalam keadaan prediksi, yaitu misalnya
dia masih berupa janin, maka hibah tidak sah. Ketika pihak yang
diberi hadiah ada ditempat pada saat pemberian hibah, namun dia
masih dikategorikan sebagai anak kecil, atau gila, maka walinya, atau
orang yang mendapat wasiat darinya, atau orang yang mengasuhnya,
31
Ibid,
34
meskipun dia pihak lain ( yang tidak terikat hubungan kekerabatan),
maka orang itu boleh mewakilinya untuk menerima hadiah.32
d. Syarat syarat yang berkaitan dengan barang yang dihibahkan
Barang hibah sesuatu atau harta yang dihibahkan, syarat-syaratnya
ialah:
a) Barang hibah itu telah ada dalam arti yang sebenarnya waktu
hibah itu dilaksanakan. Tidak sah dihibahkan seperti rumah
yang belum dibangun, atau tanah yang belum selesai dibalik
nama atas nama penghibah dan sebagainya.
b) Barang yang dihibahkan itu adalah barang yang boleh dimiliki
secara sah oleh ajaran Islam.
c) Harta yang dihibahkan itu dalam keadaan tidak terikat pada
suatu perjanjian dengan pihak lain, seperti harta itu dalam
keadaan digadaikan atau dibankkan
d) Harta yang dihibahkan itu telah terpisah dari harta penghibah,
seperti penghibah mempunyai sebidang tanah, yang akan
dihibahkan ialah seperempat dari seluruh tanah itu. Di waktu
menghibahkan tanah yang seperempat itu telah dipecah atau
ditentukan dan tempatnya.
e) Barang itu telah menjadi milik sah dari penghibah dalam arti
yang sebenarnya. Tidak boleh dihibahkan barang yang belum
32
Sayyid Sabiq, Op.Cit, hlm 554
35
jelas pemiliknya, seperti menghibahkan ikan dalam sungai dan
burung yang masih berterbangan di udara.33
D. Ketentuan Hibah Lebih Dari Sepertiga Menurut Ulama Dan KHI
Dalam Hukum Islam tidak ada larangan memberikan atau
menghibahkan sebagian harta atau seluruh harta kepada orang lain tanpa ada
batasan secara pasti. Mengenai kadar atau ukuran pemberian hibah ini
memang tidak dijelaskan secara mendalam dalam nash, sehingga jumlah harta
yang dapat dihibahkan tidak terbatas. Hanya saja, ulama berbeda pendapat
tentang kebolehan seseorang menghibahkan seluruh hartanya kepada orang
lain. Menurut Jumhur ulama, seseorang dapat menghibahkan seluruh hartanya
(tanpa batas) kepada orang lain, karena hibah tidak dijelaskan dalam nash.
34Muhammad Ibnu Hasan dan sebagian pentahqiq madzhab Hanafi
berpendapat, tidak sah menghibahkan semua harta meskipun dalam kebaikan.
Menurut mereka, orang yang melakukan hal semacam itu termasuk orang
dungu dan harus dibatasi tindakannya.
Mengenai ketentuan besaran hibah yang boleh diberikan oleh
penghibah antara para ulama maupun KHI ( Kompilasi Hukum Islam)
memang berbeda, perbedaan tersebut tidak hanya terjadi antara KHI
(Kompilasi Hukum Islam) dan ulama saja. Dikalangan ulama sendiri juga
terjadi perbedaan mengenai seberapa besar barang yang dapat dihibahkan.
33 Ilmu Fiqh, Op.Cit hlm 205
34 Sayyid Sabiq, Op.Cit, hlm 553
36
Menurut Muhammad Daud Ali dalam bukunya Sistem Ekonomi
Islam, Zakat dan Wakaf, beliau mencantumkan syarat-syarat hibah, yang salah
satunya adalah: pada dasarnya, hibah adalah pemberian yang tidak ada
kaitannya dengan kewarisan kecuali kalau ternyata bahwa hibah itu, akan
mempengaruhi kepentingan dan hak-hak ahli waris. Dalam hal demikian,
perlu ada batas maksimal hibah, tidak melebihi sepertiga harta seseorang,
selaras dengan batas wasiat yang tidak melebihi sepertiga harta peninggalan.35
Dalam masalah ini, bahwa orang yang mampu bersabar dalam hal
kekurangan materi dan minimnya penghasilan, maka tidak masalah bila
menyedekahkan sebagian besar hartanya atau keseluruhan. Sedangkan orang
yang meminta-minta kepada orang lain jika terdesak kebutuhan, maka dia
tidak boleh menyedekahkan seluruh hartanya tidak pula sebagian besar
hartanya. Inilah kesimpulan yang dapat mempertemukan antara hadist-hadist
yang menunjukkan bahwa pemberian yang melebihi bagian sepertiga tidak
sesuai dengan ketentuan syariat, dengan dalil- dalil yang menunjukkan
diperkenankannya bersedekah dengan besaran melebihi bagian sepertiga.
Mayoritas pakar hukum Islam sepakat tidak ada batasnya, tetapi
jika hibah itu diberikan kepada anak-anak pemberi hibah, menurut Imam
Malik dan Ahlul Zahir tidak memperbolehkannya, sedangkan fuqaha’ Amsar
menyatakan makruh. Sehubungan dengan tindakan rasulullah SAW.
35
Muhammad Daud Ali. Sistem Ekonomi Islam, zakat dan WAkaf. UI-Press. 1988. hal
25
37
Terhadap kasus Nu’man Ibnu Basyir menunjukkan bahwa hibah orang tua
terhadap anaknya haruslah disamakan bahkan banyak hadist lain yang
redaksinya berbeda menjelaskan ketidakbolehan membedakan pemberian
orang tua kepada anaknya secara berbeda, yang satu lebih banyak dari yang
lain.36
Menurut pendapat Imam Ahmad Ishaq, Tsauri, dan beberapa pakar
hukum Islam yang lain bahwa hibah batal apabila melebihkan satu dengan
yang lain, tidak diperkenankan menghibahkan hartanya kepada salah seorang
anaknya, haruslah bersikap adil diantara anak-anaknya. Kalau sudah terlanjur
dilakukan maka harus dicabut kembali. 37
Prinsip pelaksanaan hibah orang tua terhadap anaknya haruslah
sesuai petunjuk Rasulullah SAW. Dalam berberapa hadist dikemukakan
bahwa bagian mereka supaya disamakan dan tidak dibenarkan memberi
semua harta kepada salah seorang anaknya. Jika hibah yang diberikan orang
tua kepada anaknya melebihi dari ketentuan bagian waris, maka hibah tersebut
dapat diperhitungkan sebagai warisan.
Sikap seperti ini didasarkan pada kebiasaan yang dianggap positif
oleh masyarakat. Karena bukan suatu hal yang aneh apabila bagian waris yang
dilakukan tidak adil akan menimbulkan penderitaan bagi pihak tertentu, lebih-
lebih kalau penyelesaiannya sampai ke pengadilan agama tentu akan terjadi
36
Ibnu Rusyd, Op.Cit Hlm 348 37
Sayyid Sabiq, Op.Cit hlm 555
38
perpecahan keluarga. Sehubungan dengan hal ini Umar Ibnul Khattab pernah
mengemukakan bahwa kembalikan putusan itu diantara sanak keluarga,
sehingga mereka membuat perdamaian karena sesungguhnya putusan
pengadilan itu sangat menyakitkan hati dan menimbulkan penderitaan.38
Ulama Malikiyah menetapkan dalam syarat orang yang yang
menghibahkan adalah Ahlan li tabarru’ yaitu orang yang berhak berderma dan
bersedekah. Yang dimaksud dengan ahli tabarru’ diantaranya adalah
a) bukan seorang isteri. Jika harta yang dihibahkan melebihi dari
sepertiga harta, karena ketika seorang isteri ketika
menghibahkan harta melebihi sepertiga harta harus mendapat
izin dari suaminya
b) bukan orang yang sakit, yang sudah mendekati kematian. Syarat
ini berlaku jika harta yang dihibahkan melebihi dari sepertiga.
Jika menghibahkan lebih dari sepertiga maka harus
mendapatkan persetujuan ahli waris.39
Sebagaimana diketahui bahwa di Indonesia terdiri atas berbagai
macam suku, bahasa, budaya serta agama. Dan sesuai dengan hal tersebut
hukum yang berlaku di Indonesia pun menyesuaikan atas keragaman itu.
Diantaranya ada dua macam hukum yang digunakan yaitu hukum Islam dan
38
Abdul Manan, Aneka Masalah Hukum Perdata Islam Di Indonesia ( Jakarta:
Kencana Media Prenada Group, 2006) hlm 13 39 Abdur Rahman Al Jaziri, Op.cit, hlm 294
39
hukum positif atau hukum yang di bawah Belanda yang masih diberlakukan
sampai saat ini.
Dalam ketentuannya pemindahan hak suatu barang atau benda
menjadi hak kepemilikan seseorang yang ada di Indonesia ada berbagai
macam ketentuan, dan hal tersebut sesuai hukum yang berlaku atau digunakan
dalam suatu negara. Karena walau bagaimanapun bangsa Indonesia
mempunyai ketentuan hukum yang berlaku yaitu hukum Islam dan hukum
positif. Dan dalam pembahasan kali ini hibah merupakan pemindahan hak atas
suatu barang atau benda yang dilakukan secara suka rela dan cuma-cuma
kepada orang lain yang diatur sesuai dengan ketentuan Perundang-Undangan
yang berlaku di Indonesia. Ketentuan hukum yang pertama adalah hibah
menurut ketentuan hukum Islam.
Dalam hukum Islam hibah merupakan pemberian hak memiliki
suatu benda kepada orang lain yang dilandasi oleh ketulusan hati atas dasar
saling membantu kepada sesama manusia dalam hal kebaikan. Hukum Islam
merupakan salah satu ketentuan perundang-undangan yang berlaku di
Indonesia karena sebagaian besar penduduk Indonesia menganut agama Islam
serta tunduk pada hukum Islam
Dalam Kompilasi Hukum Islam tersebut disyaratkan selain harus
merupakan hak penghibah, penghibah telah berumur 21 tahun sebagaimana
dalam pasal 210 yang berbunyi: “Orang yang telah berumur sekurang-
kurangnya 21 tahun berakal sehat tanpa adanya paksaan dapat menghibahkan
40
sebanyak-banyaknya 1/3 harta bendanya kepada orang lain atau lembaga.
Kompilasi Hukum Islam menganut prinsip bahwa hibah hanya boleh
dilakukan 1/3 dari harta yang dimilikinya. Apabila hibah akan dilaksanakan
menyimpang dari ketentuan tersebut, diharapkan agar terjadi pemecahan di
antara keluarga.40 Prinsip yang dianut oleh hukum Islam adalah sesuai dengan
kultur bangsa Indonesia dan sesuai pula apa yang dikemukakan oleh
Muhammad Ibnu Hasan bahwa orang yang menghilangkan semua hartanya
adalah itu adalah orang yang dungu dan tidak layak bertindak hukum. Oleh
karena orang yang menghibahkan harta dianggap tidak cakap bertindak
hukum, maka hibah yang dilaksanakan dipandang batal, sebab ia tidak
memenuhi syarat untuk melakukan penghibahan.
Dari pasal tersebut di atas dapat diketahui bahwa orang yang
menghibahkan suatu benda atau barang adalah dengan suka rela dan dengan
kehendak sendiri tanpa adanya paksaan dari orang lain, dan hendaknya orang
tersebut dalam keadaan sehat serta dewasa. Selain dari itu ketentuan hibah
tidak boleh lebih dari 1/3 harta peniggalannya. Dalam Kompilasi Hukum
Islam tersebut disyaratkan selain harus merupakan hak penghibah telah pula
berumur 21 tahun, berakal sehat dan didasarkan atas kesukarelaan dan
sebanyak-banyaknya 1/3 dari hartanya.
Pembatasan yang dilakukan Kompilasi Hukum Islam, baik dari usia
maupun 1/3 dari harta pemberi hibah, berdasar pertimbangan bahwa usia 21
40
Abdul Manan, Op.cit hlm 138
41
tahun telah cakap untuk memiliki hak untuk menghibahkan benda miliknya
itu. Demikian juga batasan 1/3 harta, kecuali jika ahli waris menyetujuinya.41
Dari sudut lingkup makna the ideal law, kehadiran Kompilasi
Hukum Islam merupakan rangkaian sejarah hukum nasional yang dapat
mengungkapkan ragam makna kehidupan masyarakat Islam Indonesia
terutama tentang adanya norma hukum yang hidup dan ikut serta dalam
mengatur interaksi sosial dan juga mendorong terpenuhinya tuntutan hukum.
Atas kesepakatan para alim ulama Indonesia bahwa Kompilasi Hukum Islam
adalah rumusan tertulis hukum Islam yang hidup seiring dengan Kondisi
hukum dan masyarakat. Dan perumusan KHI ini didasarkan atas landasan
yang menurut Cik Hasan Bisri bahwa kehadirannya ini berlandaskan historis
yang terkait dengan pelestarian hukum Islam didalam kehidupan
bermasyarakat-bangsa, ia merupakan perwujudan nilai-nilai yang abstrak dan
sakral, kemudian dirinci dan disistematisasi melalui penalaran logis.42
41
Ahmad Rofiq, Hukum Islam Di Indonesia, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada , 1998)
470 42
Cik Hasan Bisri, Peradilan Agama Di Indonesia, (Jakarta:PT Rajagrafindo Persada)
Hlm 130
42
BAB III
PUTUSAN PENGADILAN AGAMA KENDAL TENTANG HIBAH LEBIH
DARI SEPERTIGA PUTUSAN NO 11/Pdt.P/2008/PA.Kdl
A. Profil Pengadilan Agama Kendal
1. Sekilas Tentang Pengadilan Agama Kendal
Berlakunya Peraturan Pemerintah Nomor 45 tahun 1957 Lembaran
Negara 1957 Nomor 99 tentang Pengadilan Agama/Mahkamah
Syari’ah diluar Jawa dan Madura, merupakan landasan hukum bagi
pembentukan Pengadilan Agama di seluruh Indonesia.1 Pada saat itu
terdapat tiga bentuk Peraturan Perundang-undangan yang mengatur
tentang susunan, kekuasaan dan hukum acara Peradilan Agama yaitu:
a. Staatblad tahun 1882 Nomor 152 dihubungkan dengan
Staatsblad tahun 1937 Nomor 116 dan 610. peraturan tentang
peradilan agama di Jawa dan Madura.
b. Peraturan tentang kerapatan Qadhi dan kerapatan Qadhi besar
untuk sebagian bekas Residensi Kalimantan Selatan dan Timur
(Staatsbladtahun 1937 Nomor 638 dan 639).
1 Cik Hasan Bisri, Peradilan Agama Di Indonesia, (Jakarta: PT Rajagrafindo
Persada, 2000) hlm 126
43
c. Peraturan Pemerintah Nomor 45 tahun 1957 tentang
pembentukan Peradilan Agama/Mahkamah Syari’ah di luar
Jawa dan Madura.2. Lahirnya UU No. 1 tahun 1974 tentang
Perkawinan lebih memperkokohkan keberadaan Peradilan
Agama. Pada tahun 1989 lahirnya UU No. 7 tahun 1989
tentang Peradilan Agama yang mandiri, sederajat dengan
peradilan di lingkungan peradilan lainnya serta terwujudnya
kodifikasi dan unifikasi di bidang Peradilan Agama. UU No. 7
th 1989 telah mengatur definisi Peradilan Agama sebagaimana
pasal 1 angka 1 sebagai berikut: Hukum acara yang berlaku
pada pengadilan di lingkungan Peradilan Agama adalah hukum
acara perdata yang berlaku pada peradilan dalam lingkungan
peradilan umum kecuali yang telah diatur secara khusus dalam
UU ini. Dari sini dapat diklasifikasikan bahwa sumber-sumber
hukum acara di PA adalah sebagai berikut:
a. HIR (Herzien Island Reglement)/Rbg (Rechtylemen
Builergewesten).
b. UU No. 7 th 1989
c. UU No. 14 th 1970.
d. UU No. 14 th 1985
2 Ibid, hlm 242
44
Secara resmi Pengadilan Agama Kendal dibentuk pada tahun 1950,
yang pada saat itu Pengadilan Agama Kendal diketuai oleh KH.
Abdurrahman Iman sampai tahun 1959. Pada tahun 1965 – 1975
diketuai oleh K. Achmad Slamet, pada tahun 1975 – 1977 diketuai
oleh K.R. Moh. Amin, pada tahun 1980 – 1990 diketuai oleh Drs. H.
Asyari, pada tahun 1990- 1997 diketuai oleh Drs. Achmad Mustofa,
SH., pada tahun 1997 –1999 diketuai oleh Drs. Muh Hazim, pada
tahun 1999 – 2002 diketuai oleh Drs. Yasmidi, SH., pada tahun 2002 –
2004 diketuai oleh H. Izzuddin M., SH., dan pada tahun 2004 hingga
awal Mei 2007 untuk ketua Pengadilan Agama Kendal dalam posisi
kosong dan sebagai Plt. Ketua untuk sementara dilaksanakan oleh Drs.
A. Agus Bahaudin M.Hum, dan sejak awal mei 2007 sampai sekarang
di ketuai oleh Drs Yusuf Buchori, SH, Itulah sedikit gambaran lahirnya
Pengadilan Agama Kendal yang hingga saat ini masih menjadi pilar
kekuasaan kehakiman di Indonesia khususnya di wilayah Kabupaten
Kendal. Pengadilan Agama Kendal termasuk salah satu pengadilan
yang masuk dalam kategori A1. Adapun struktur organisasi Pengadilan
Agama Kendal kelas 1-A 2007-sampai sekarang adalah sebagai
berikut:
Ketua : Drs. Yusuf Bukhari, SH.
Wakil Ketua : Hj. Nur Indah H. Nur, SH
Hakim-hakim :
1. Abu Amar, SH
2. Khoirozi, SH.
45
3. Drs.H.M.A. Madiyan
4. Hj. Nur Roichanah,SH
5. Drs.Ichwan Qomari,M.Ag
6. Drs. Moh. Suhadak, MH
7. Drs.Ma’mun Azhar, SH.MH
8. Drs. Syarifudin, M.
9. Drs.Abdul Mujib, SH. MH
Panitera/sekretaris : Siti Maria Lutfi,SH.MH
Wakil Panitera : H. Muchammad Muchlis,SH
Wakil Sekretaris : Asmono, MH
Panmud Gugatan : Nurul Qumaraeni
Panmud gugatan PA : Sri Paryani Sulistyowati. S.Ag
Panmud Hukum PA : Drs. H. Fikri
Kasubag Kepeg : Amin, SH.
Kasubag Keuangan : Munfaati
Kasubag Umum : Nila Yudawati, SH
Panitera Pengganti : 1. Drs. Budiyono
2. Hj. Sholihah Hasan, SH.
3. Dra. Masturoh
4. Drs. Junaidi
5. Lajinah Hafnah Renita, SH.
6. Sabil Huda, S.Ag.
7. Hj. Kharirotun Lathifah, S.HI.
8. Amniyati Budiwidiyarsih, BA.
46
Juru Sita Pengganti : 1. H. Warsito
2. Rachmad
Pengadilan Agama Kendal sebagai salah satu unit pelaksana
kehakiman, selalu berusaha mewujudkan tri fungsi yaitu pertama sebagai
“office”, yang berarti pemberian pelayanan yang prima kepada
masyarakat, kedua sebagai “wahana” yakni sebagai alat untuk
menegakkan hukum dan keadilan, khususnya hukum di Indonesia, dan
ketiga sebagai “sub sistem hukum nasional” yaitu kiprah Pengadilan
Agama Kendal berjalan dan tidak terpisahkan dari sistem hukum dan
peradilan nasional di Indonesia.
Dalam melaksanakan tugas dan fungsinya, Pengadilan Agama
Kendal senantiasa mengedepankan dan menjunjung tinggi asas-asas
peradilan yaitu cepat, sederhana, dan biaya ringan, sedangkan dalam
memberikan putusannya tetap memperhatikan legal justice, moral justice,
dan social justice.
Pengadilan Agama Kelas I.A Kendal sebagai pengadilan negara,
dalam melaksanakan tugas sehari-harinya berpedoman pada peraturan
perundang undangan
Pengadilan Agama Kelas I.A Kendal merupakan Pengadilan tingkat
pertama dalam wilayah yurisdiksi Pengadilan Tinggi Agama Jawa Tengah di
Semarang dan berpuncak pada Mahkamah Agung Republik Indonesia.
Pengadilan Agama Kelas I.A Kendal berkedudukan di ibukota Kabupaten,
47
yakni Kabupaten Kendal dengan alamat Jl. Laut No. 17. A Kendal.
Pengadilan Agama Kelas I.A Kendal menempati gedung permanen yang
dibangun di atas tanah milik negara yang terletak di utara alun-alun Kota
Kendal.
Adapun kondisi obyektif Kabupaten Kendal yang juga menjadi
wilayah hukum atau yurisdiksi Pengadilan Agama Kelas I.A Kendal terdiri
dari kecamatan sebagai berikut :
1. Wilayah Radius I : Kota Kendal.
2. Wilayah Radius II : Brangsong, Kaliwungu, Kaliwungu Selatan,
Patebon, Cepiring, Gemuh, Pegandon, Weleri, Rowosari, Kangkung,
Ringinarum, dan Ngampel.
3. Wilayah Radius III : Sukorejo, Pageruyung, Plantungan, Patean,
Boja, Singorojo dan Limbangan
Visi dan Misi
1. Visi
Terwujudnya putusan yang adil dan berwibawa sehingga
kehidupan masyarakat menjadi tenang, tertib dan damai di bawah
lindungan Allah SWT.
2. Misi
Menerima, memeriksa, mengadili dan menyelesaikan
perkara-perkara yang diajukan kepadanya di bidang perkawinan,
48
waris, wasiat, hibah, wakaf, zakat, infaq, shadaqah dan ekonomi
syariah, secara cepat, sederhana dan biaya ringan, serta senantiasa
memperhatikan perubahan-perubahan masyarakat dalam kerangka
sistem hukum nasional3.
2. Tugas dan Kewenangan Peradilan Agama
Berbicara tentang perkara yang ada di Pengadilan Agama
Kendal ada beberapa hal yang perlu diperhatikan di antaranya
mengenai kewenangan mengadili di Pengadilan Agama Kendal yaitu:
Wewenang (kompetensi) Peradilan Agama diatur dalam pasal 48
sampai dengan Pasal 53 UU No.7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama.
Wewenang tersebut terdiri atas wewenang relative dan wewenang absolut.
Wewenang relative Peradilan Agama merujuk pada pasal 118 HIR atau
Pasal 142 RB.g jo pasal 66 dan pasal 73 UU No.7 Tahun 1989 tentang
Peradilan Agama,
Kompetensi relative adalah kekuasaan mengadili berdasarkan
wilayah daerah. Kewenangan Pengadilan Agama sesuai tempat dan
kedudukannya. Pengadilan Agama berkedudukan di kota atau ibu kota
kabupaten dan daerah hukumnya meliputi wilayah kota atau kabupaten.4
Dalam hal ini kedudukan Pengadilan Agama Kendal mempuyai daerah
hukumnya meliputi 20 kecamatan diantaranya Kecamatan Kendal,
3 Data tersebut penulis dapatkan dari situs http// www. Pengadilan Agama
Kendal.com yang di akses pada tanggal 27 April 2011 4 Pasal 4 UU No. 7 tahun 1989 dan penjelasannya
49
Kecamatan Cepiring, Kecamatan Kangkung, Kecamatan Weleri,
Kecamatan Gemuh, Kecamatan Ringin Arum, Kecamatan Rowosari,
Kecamatan Pegandon, Kecamatan Ngampel, Kecamatan Patebon,
Kecamatan Kaliwungu, Kecamatan Kaliwungu Selatan, Kecamatan
Brangsong, Kecamatan Singorojo Kecamatan Limbangan, Kecamatan
Boja, Kecamatan Patean, Kecamatan Sukorejo, Kecamatan Plantungan,
Kecamatan pageruyung. Yurisdiksi relative mempunyai arti penting
sehubungan dengan ke Pengadilan Agama mana orang akan mengajukan
perkaranya dan sehubungan hak eksepsi tergugat5
Kempetensi absolute adalah kekuasaan Pengadilan Agama yang
berhubungan dengan jenis perkara atau jenis pengadilan atau tingkatan,
dalam perbedaan jenis perkara atau jenis pengadilan atau tingkatan
pengadilan lainya, misalnya: Pengadilan Agama berkuasa atas perkara
perkawinan bagi mereka yang beragama Islam sedangkan bagi yang selain
beragama Islam menjadi kekuasaan Pengadilan Umum.6
Wewenang absolute berdasarkan pasal 49 no.7 tahun 1989
tentang Peradilan Agama, yaitu kewenangan mengadili perkara-perkara
perdata bidang:
5 Roihan A. Rosyid, Hukum Acara Pengadilan Agama, (Jakarta: Rajawali Pres,
2001) hlm 25 6 Ibid
50
a) Perkawinan
b) Kewarisan, wasiat dan hibah yang dilakukan berdasarkan
hukum.
c) Wakaf dan sedekah
Kekuasaan lingkungan peradilan dalam kedudukannya sebagai salah
satu kekuasaan kehakiman yang diberikan undang-undang kepada Peradilan
Agama dicantumkan dalam Bab III UU No. 7 Tahun 1989 yang meliputi
pasal 49 sampai dengan pasal 53. Menurut M. Yahya Harahap7, ada lima
tugas dan kewenangan yang terdapat dilingkungan peradilan agama, yaitu:
1) Fungsi kewenangan mengadili
2) Memberi keterangan, pertimbangan dan nasehat tentang
hukum kepada instansi pemerintah.
3) Kewenangan lain oleh atau bedasarkan undang-undang.
4) Kewenangan Pengadilan Tinggi Agama mengadili perkara
dalam tingkat banding dan mengadili sengketa agama
kompetensi relatif
5) Bertugas mengawasi jalannya peradilan.
7 M. Yahya Harahap, Kedudukan Kewenangan Dan Acara Peradilan Agama,UU
NO. 7 Tahun 1986, (Jakarta: Sinar Grafika, 2003) hlm 137
51
3. Hakim Pengadilan Agama
Hakim adalah unsur yang sangat penting dalam proses
penyelenggaraan peradilan karena sebagai penerjemah undang-undang
dalam melaksanakan kekusaan kehakiman. Oleh karena itu syarat-
syarat pengangkatan diatur dalam pasal 13 undang-undang no. 7 tahun
1989.
Dikalangan fuqaha, terdapat keanekaragaman pandangan
tentang persyaratan untuk dapat diangkat menjadi hakim, termasuk
diantaranya tentang kemampuan berijtihad.8
Hakim diangkat dan diberhentikan oleh presiden selaku kepala
negara atas usul Menteri Agama berdasarkan persetujuan ketua
Mahkamah Agung. Agar pengadilan sebagai penyelenggara kekuasaan
kehakiman bebas dalam memberikan keputusan, perlu adanya jaminan
bahwa, baik pengadilan maupun hakim dalam melaksanakan tugas
terlepas dari pengaruh pemerintah maupun pengaruh lain.9 Agar tugas
penegakan hukun dan keadilan itu dapat dilaksanakan oleh pengadilan
maka dalam undang-undang no. 7 tahun 1989 dicantumkan persyaratan
yang senantiasa harus dipenuhi oleh seorang hakim.
Syarat yang penting dan berbeda bagi hakim dilingkungan
Peradilan Agama dibandingkan dengan lingkungan peradilan lain
8 Cik Hasan Bisri, Op. cit, hlm 193
9 Mardani, Hukum Acara Perdata Peradilan Agama Dan Mahkamah Syariah, (
Jakarta: Sinar Grafika, 2009) hlm 224
52
adalah harus beragama Islam. Ini merupkan syarat mutlak yang harus
dipenuhi. Tentang syarat ini memang ada anggapan bahwa hal ini
mengandung diskriminasi.10 Bahwa Peradilan Agama adalah salah satu
dari empat lingkungan peradilan negara, hal ini berarti bahwa
peradilan agama milik bangsa yang dijamin kemerdekaanya dalam
mejalankan tugasnya. Oleh karena itu wajar bahwa seharusnya terbuka
untuk setiap warga negara tanpa kecuali. Memang dilihat dari sudut
pandang ini benar adanya, tetapi ditinjau dari sudut pandang
kekhususan yang dilekatkan undang-undang, Peradilan Agama
memiliki ciri dan bidang tertentu. Ciri ini mempunyai kaitan yang erat
dengan faktor personalitas ke-Islaman dan faktor hukum yang
diterapkan, yaitu khusus hukum Islam .
M. Yahya Harahap bependapat bahwa berdasarkan kekhususan
yang melekat pada kedua faktor tersebut, sudah tepat apabila
disejajarkan dengan ketentuan syarat ke-Islaman bagi mereka yang
akan duduk berfungsi menegakkan hukum dalam Peradilan Agama.
Ditinjau dari segi etis pun aneh rasanya jika hukum yag diterapkan
adalah hukum Islam dan diperlakukan khusus bagi orang yang
beragama Islam, sedangkan hakim yang menerapkan bukan beragama
Islam.11
10 Sulaikan Lubis, Hukum Acara Perdata Peradilan Agama Di Indonesia,(Jakarta:
Prenada Media, 2005)hlm 87 11 M. Yahya Harahap, Op.Cit. hlm 117
53
Pada penjelasan pasal 11 UU no 7 tahun 1989 mengenai
persyaratan ini dicantumkan yang senantiasa harus dipenuhi oleh
seorang hakim, seperti bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa,
berwibawa, jujur, adil dan tidak berkelakuan tercela, sehingga hakim
dalam melaksanakan tugas kekuasaan kehakiman ini dapat bekerja
secara optimal.
B. Dasar Penetapan Hakim Dalam Memutus Perkara No
11/Pdt.P/2008/PA.Kdl
a. Putusan Pengadilan Agama Kendal No 11/Pdt.P/2008/PA.Kdl
Salah satu sebab perpindahan hak milik dalam pandangan hukum
ialah dengan hibah. Dengan menghibahkan suatu benda berarti
keluarlah sesuatu itu dari milik wahib (yang menghibahkan dan
berpindah kepemilikan mauhub lah (yang menerima hibah). Dalam
Islam, seseorang dianjurkan untuk suka memberi. Ada dua hal tujuan
hibah, pertama dengan memberi akan menimbulkan suasana akrab dan
kasih sayang antara sesama manusia. Sedangkan mempererat hubungan
silaturrahmi itu termasuk ajaran agama. Kedua, yang dituju oleh
anjuran hibah adalah terbentuknya kerja sama dalam berbuat kebaikan,
baik dalam menanggulangi kesulitan saudaranya, maupun dalam
membangun lembaga-lembaga sosial.12
12 Satria Effendi M.Zaen, Problematika Hukum Keluarga Kontemporer Analisis
Yuridis dengan Pendekatan Ushuliyah, ( Jakatra: Prenada Media, 2004) hlm 472
54
Kedudukan dan peranan hibah dalam menjalin tali persaudaraan di
kalangan umat dan hibah selalu tetap dalam fungsinya, dalam hukum
ia mendapat perhatian khusus dan mempunyai persyaratan –persyaratan
tertentu. Namun dalam praktiknya, oleh karena faktor –faktor kelalaian
manusia itu sendiri, praktik hibah tidak jarang pula membawa silang
sengketa diantara keluarga. Dengan demikian yang terjadi adalah
sebaliknya tali persaudaraan yang tadinya akrab dan erat, kemudian
menjadi renggang dan tidak jarang pula menjadi putus sama sekali.
Sehubungan dengan itu, tulisan ini disiapkan untuk mempelajari
perkara hibah, tepatnya perkara yang pernah diadili Pengadilan Agama
Kendal. Perkara tersebut bukan perkara sengketa melainkan berupa
penetapan status keabsahan hibah lebih dari sepertiga menurut hukum
yang diajukan pemohon.
Mengenai duduk perkaranya, Perkara hibah yang telah diadili dan
diputuskan oleh Pengadilan Agama kendal dalam keputusannya No
11/Pdt.P/2008/PA.Kdl. Perkara hibah yang dimaksud diajukan oleh
pemohon Zaenuri bin Achidat. Pemohon telah mengajukan
permohonannya pada tanggal 11 Juni 2008 dan terdaftar di
Kepaniteraan Pengadilan Agama Kendal dalam register No.
11/Pdt.P/2008/PA.Kdl, tanggal 11 juni 2008. Bahwa dahulu seoarang
laki-laki bernama Romdo bin Kemat menikah dengan Kabsah binti
Kamijan yang berstatus janda cerai, dengan membawa anak satu orang
yaitu Achidat, bahwa dalam perkawinan antara Romdo bin Kemat
55
dengan Kabsah binti Kamijan tersebut tidak ada keturunan. Dalam hal
ini pemohon adalah anak dari Achidat bin Bagus (anak tiri Romdo),
yang sejak lahir tinggal serumah dengan bapak Romdo bin Kemat,
karena ayah pemohon juga tinggal serumah dengan Bapak Romdo dan
ibu Kabsah. Setelah pemohon kira-kira berumur 3 tahun, ayah pemohon
dan ibu pemohon pindah rumah, sedangkan pemohon diserahkan
kepada bapak Romdo dan ibu Kabsah untuk diasuh dan diangkat
sebagai anak angkat sebagai anak, karena bapak Romdo dan ibu Kabsah
tidak mempunyai anak. Sejak diserahkan kepada bapak Romdo, maka
pemohon sejak umur 3 tahun hingga dewasa tinggal bersama bapak
Romdo dan ibu Kabsah, bahkan pemohon yang merawat bapak Romdo
dan ibu Kabsah hingga keduanya meninggal dunia. Bapak Romdo juga
mempunyai seorang saudara laki-laki yang bernama Sukaimi bin
Kemat, telah meninggal dunia pada tahun 1987, dan tidak ada
keturunan. Ditahun 1986, tepatnya pada tanggal 9 Juli 1986 ibu Kabsah
binti Kamijan istri bapak Romdo meninggal dunia, sedangkan bapak
Romdo sendiri meninggal pada tanggal 24 Juli 1994.13
Semasa hidupnya bapak Romdo bin Kemat mempunyai harta
bawaan yang diperoleh dari orang tuanya (Kemat), yaitu berupa
sebidang tanah pekarangan beserta bangunan rumah diatasnya, SHM
550, luas tanah 480 m2, terletak di Kelurahan Sijeruk Kecamatan
Kendal Kabupaten Kendal dengan batas utara jalan desa, batas timur
13 Berkas salinan putusan No. 11/Pdt.P/2008/PA.Kdl
56
tanah milik surati, batas selatan tanah milik Pardi, dan batas sebelah
barat tanah milik Djapan. Yang kemudian separoh tanah pekarangan
beserta bangunannya dihibahkan kepada pemohon. Semenjak bapak
Romdo meninggal dunia pada tanggal 24 Juli 1994 hingga sekarang ini,
tanah pekarangan seluas 240 m2 beserta rumah di atasnya SHM No.
550 Pemohon yang menempati dan merawatnya serta membayar pajak
PBB.14
Pada sekitar tahun 1989 bapak Romdo bin Kemat telah
menghibahkan setengah dari tanah pekarangan miliknya atau tanah
pekarangan seluas 240 m2 beserta rumah di atasnya tersebut kepada
Pemohon dengan disaksikan oleh beberapa saksi, dan pemohon
menyatakan menerima. Bahwa untuk kepastian hukum dan guna
mengurus balik nama sertifikat No. 550 dari an bapak Romdo kepada
an. Zaenuri ( Pemohon) dan an. Sucipto atau keluarga ( sertifikat No.
550 belum dipecah ketika sebagiannya dijual kepada Sucipto) sehingga
pemohon merasa perlu untuk mengajukan pengesahan hibah dari bapak
Romdo kepada Pemohon.
Bahwa berdasarkan hal-hal sebagaimana terurai di atas, pemohon
memohon kepada Kepala Pengadilan yang dalam hal ini Majlis Hakim
yang memeriksa perkara untuk berkenan menjatuhkan penetapan
sebagai berikut:
14 Ibid, hlm 2
57
1) Mengabulkan permohonan pemohon
2) Menetapkan, sah menurut hukum hibah yang dilakukan oleh
Romdo bin Kemat kepada pemohon
3) Menetapkan biaya perkara menurut hukum
Didalam proses persidangan pemohon telah hadir dan menyatakan
tetap pada permohonannya dan selanjutnya dibacakankanlah
permohonan pemohon tersebut yang isinya tetap dipertahankan oleh
pemohon. Untuk meneguhkan dalil-dalil permohonannya tersebut,
pemohon telah mengajukan bukti surat-surat yaitu:
1) Surat kesaksian tertanggal 27 Maret 2008 yang diketahui lurah
setempat, bermaterai cukup, diberi tanda P-1
2) Fotocopy sertifikat tanah SHM No. 550 an Romdo bin Kemat,
bermaterai cukup, diberi tanda P-2
3) Foto copy surat keterangan kematian an. Kabsah, bermaterai
cukup, diberi tanda P-3
4) Foto copy surat kematian an. Romdo, bermaterai cukup, diberi
tanda P-4
58
5) Foto copy surat perjanjian jual beli tanah dari Romdo kepada
Sucipto, tertanggal 11 Desember 1989, bermaterai cukup,
diberi tanda P-515
Selain bukti surat-surat tersebut, pemohon juga telah menghadirkan
saksi-saksi sebagai berikut:
1) H. Muhammad Sanwan bin Diah, umur 85 tahun, Agama
Islam, pekerjaan tani bertempat tinggal di Kelurahan Sijeruk
Rt.01 Rw.01, Kecamatan Kendal, Kabupaten Kendal.
Bahwa saksi tersebut telah memberikan keterangan dibawah
sumpahnya, pada pokoknya adalah sebagai berikut:
� Bahwa saksi tersebut adalah tetangga pemohon dan
kenal dengan alm Romdo bin Kemat
� Bahwa dahulu pak Romdo menikah dengan ibu Umi,
lalu bercerai dan tidak mempunyai anak, kemudian
menikah dengan ibu Kabsah, seorang janda anak satu
bernama Achidat, dan dalam perkawinannya tersebut
juga tidak ada keturunan
� Bahwa pemohon adalah cucu tiri pak Romdo, dan sejak
kecil diangkat anak oleh pak Romdo dan ibu Kabsah
15 Ibid, hlm 4-5
59
� Bahwa Romdo telah meninggal tahun 1994, tidak ada
keturunan, dan karenanya pemohon dijadikan anak
angkat
� Bahwa ketika hidupnya pak Romdo sering kerumah
saksi dan jika ada sesuatu masalah selalu bercerita
kepada saksi, termasuk tentang adanya hibah dari pak
Romdo kepada pemohon berupa setengah dari tanah
pekarangannya berikut rumah di atasnya.
� Bahwa penghibahan tersebut disampaikan kepada saksi
beberapa kali dalam waktu berbeda, dan masyarakat
juga tahu kalau tanah berikut rumah yang sekarang
ditempati pemohon adalah pemberian dari pak Romdo
� Bahwa pemohon yang merawat ketika pak Romdo sakit
sampai meninggal dunia, dan pemohon tidak pernah
melakukan hal-hal yang tidak terpuji kepada alm.
Romdo
� Bahwa sampai sekarang ini pemohon yang menempati
dan merawat tanah dan rumah pemberian pak Romdo
dan tidak ada yang mengganggu gugat.
2) Taswan bin Pardi, umur 52 tahun, Agama Islam, Pekerjaan
Swasta, tinggal di Kelurahan Sijeruk Rt.01 Rw.01, Kecamatan
60
Kendal, Kabupaten Kendal. Bahwa saksi tersebut telah
memberikan keterangan dibawah sumpahnya pada pokoknya
perkara sebagai berikut:
� Bahwa saksi adalah tetangga pemohon, sebagai Ketua
RT 01 dan kenal dengan pak Romdo
� Bahwa pak Romdo mempunyai seorang saudara laki-
laki bernama Sukaimi dan telah meninggal dunia lebih
dulu, tidak ada anak.
� Bahwa pak Romdo juga bilang kalau yang setengahnya
lagi akan dijual kepada orang lain, lalu pak Sucipto
yang membelinya:
� Bahwa ketika Pak Romdo sakit-sakitan sebagian tanah
yang diberikan kepada pemohon akan dijual lagi,
namun hingga wafatnya tanah tersebut tidak dijual,
penyebabnya saksi tidak tahu.
� Bahwa pemohon tidak pernah ada urusan polisi dengan
pak Romdo.
3) Achidat bin Bagus, umur 58 tahun, Agama Islam, Pekerjaan
Swasta, tinggal di Kalibuntu Rt 02 Rw 02, Kelurahan
Kalibuntu, Kecamatan Kendal, Kabupaten Kendal. Bahwa
61
saksi tersebut telah memberikan keterangan dibawah
sumpahnya, pada pokoknya sebagai berikut:
� Bahwa saksi adalah anak tiri pak Romdo, yaitu ketika
pak Romdo menikah dengan ibu saksi yaitu seorang
janda bernama Kabsah, saksi sudah ada
� Bahwa pemohon adalah anak saksi ketika berumur 3
tahun diminta oleh pak Romdo sebagai anak, karena
pak Romdo tidak mempunyai anak, maka saksi
memberikanya.
� Bahwa semula saksi tinggal serumah dengan pak
Romdo dan ibu Kabsah, namun setelah saksi pindah
rumah di Kalibuntu, sedangkan pemohon saksi serahkan
kepada pak Romdo.
� Bahwa pada beberapa kesempatan pak Romdo
menyampaikan kepada saksi bahwa setengah dari tanah
miliknya yang di atasnya ada rumah diberikan kepada
pemohon sebagai anak angkatnya.
� Bahwa pak Romdo hanya mempunyai seorang saudara
laki-laki bernama Sukaimi, namun ia meninggal lebih
dulu dan tidak ada keturunan.
62
� Bahwa pemohon sejak anak umur 3 tahun ikut pak
Romdo sampai ia menikah, dan ketika pak Romdo sakit
dan meninggal yang merawat adalah pemohon.16
Menimbang, bahwa pemohon telah membenarkan keterangan
saksi-saksi tersebut, selanjutnya menyatakan telah cukup dengan
keterangan dan bukti-bukti yang disampaikan, akhirnya berkesimpulan
tetap pada permohonannya serta mohon penetapan pengadilan.
Mengingat segala peraturan per Undang- Undangan yang berlaku dan
hukum syar’y yang berkaitan dengan perkara ini maka Pengadilan
Agama Kendal menetapkan
1. Mengabulkan permohonan perkara
2. Menyatakan sah menurut hukum, hibah yang dilakukan
oleh Romdo bin Kemat kepada pemohon (Zaenuri bin
Kemat) berupa separoh dari tanah pekarangan SHM No.
550 atau seluas 240 m2 berikut bangunan rumah di atasnya
yang terletak di Kelurahan Sijeruk Rt 01 Rw 01 Kecamatan
Kendal, Kabupaten Kendal.
3. Membebankan kepada Pemohon untuk membayar biaya
perkara ini yang hingga kini ditetapkan sebesar Rp.
66.000,- (enam puluh ribu rupiah).17
16 Ibid, hlm 7-8
17 Ibid, hlm 12
63
b. Dasar Pertimbangan dan Penetapan Hakim Dalam Memutus
Perkara No 11/Pdt.P/2008/PA.Kdl
Dasar pertimbangan hakim dalam memutus perkara
permohonan penetapan putusan no 11/Pdt.P/2008/PA.Kdl, bahwa
dalam permohonan hibah pengesahan hibah ini pemohon
mendalilkan bahwa ayah angkat pemohon bernama Romdo bin
Kemat telah menghibahkan setengah dari harta miliknya berupa
tanah pekarangan luas 240 m2 berikut rumah di atasnya kepada
pemohon, yang dilakukan sekitar tahun 1989 dengan disaksikan
oleh beberapa orang saksi. Ketiga saksi tersebut telah mendengar
secara langsung tentang adanya pernyataan hibah dari alm. Romdo
kepada pemohon yang berupa setengah dari tanah pekarangannya
yang di atasnya ada rumah, meskipun itu berbeda waktunya atau
tidak dalam satu majlis.
Suatu hibah dapat berwujud jika terdapat 3 komponen yaitu
wahib, mauhub lah dan mauhub. Wahib adalah pemberi hibah yang
dalam hal ini pak Romdo, mauhub lahu adalah orang yang diberi
hibah ( Zaenuri bin Achidat, sedangkan mauhub adalah benda yang
dihibahkan yakni setengah tanah pekarangan seluas 240 m2 berikut
rumah diatasnya. Jadi dalam praktek hibah ini rukunnya sudah
terpenuhi. Yang menjadi pertanyaan, apakah hibah yang dilakukan
alm Romdo kepada pemohon yang besarnya setengah milik
pengibah itu dapat dibenarkan menurut hukum.
64
Menimbang, bahwa para ulama sepakat suatu hibah harus ada
ijab qabul yaitu pernyataan memberi suatu benda miliknya kepada
orang tertentu baik lisan maupun tertulis, dan pernyataan menerima
dari orang yang diberi tersebut, tanpa adanya imbalan suatu
apapun.
Menimbang, bahwa saksi H. Muhammad Sanwan, Taswan
dan Achidat, ketiganya mengaku benar-benar telah mendengar
langsung dari alm Romdo tentang adanya penghibahan tersebut,
bahkan pernyataan tersebut tidak hanya sekali diucapkan oleh alm.
Romdo, tetapi berulang-kali dan masyarakat pada umumnya
mengetahui adanya penghibahan dimaksud (bukti P-1).
Menimbang, bahwa mengenai adanya pernyataan penerimaan
dari si penerima hibah, pemohon mengaku telah menerima
pemberian alm. Romdo tersebut, dan meskipun pernyataan
menerima tersebut tidak didukung dengan adanya saksi, namun
kenyataan pemohon telah menempati dan mengolah tanah
pekarangan tersebut sejak diangkat sebagai anak oleh alm. Romdo
sampai sekarang ini. Dengan demikian dapat dipahami bahwa
pemohon telah menerima pemberian tersebut sekalipun secara
diam-diam.
Dalam perkara ini majelis hakim pengadilan Agama Kendal
telah mencurahkan perhatiannya dalam upaya menetapkan
permohonan pengesahan hibah. Salah satu pertimbangan mengapa
65
permohonan pengesahan pemohon dikabulkan karena ketentuan
batasan hibah itu maksimal adalah sepertiga dari milik penghibah,
dengan maksud agar ahli warisnya tidak ada yang dirugikan hak-
haknya untuk meperoleh harta warisannya. Oleh karena si
penghibah yaitu alm. Romdo tidak mempuyai ahli waris sama
sekali karena saudara laki-lakinya telah meninggal dan juga tidak
menpunyai anak sehingga ahli warisnya terputus, lagi pula
pemohon adalah satu-satunya orang yang merawat alm. Romdo
sampai akhir hayatnya, bahkan pemohon diakui sebagai anak
angkatnya, maka hibah alm Romdo kepada pemohon yang berupa
setengah dari tanah pekarangan berikut rumah di atasnya tidak
bertentangan dengan hukum atau maksud dari ketentuan pasal 210
Kompilasi hukum tersebut. Inilah dasar yang dipakai majelis hakim
dalam menafsirkan pasal 210 ayat 1 Kompilasi Hukum Islam
dengan diperkuat kesaksian para saksi yang dihadirkan pemohon
dengan memberikan keterangan di bawah sumpahnya dan
karenanya dipertimbangkan.18
Menimbang, bahwa dalam hukum dikenal shahadah ala iqror
yaitu kesaksian atas pernyataan seseorang dan kesaksian dalam
bentuk ini dapat dijadikan sebagai alat bukti yang sah.
Dalam Hukum Islam tidak ada larangan memberikan atau
menghibahkan sebagian harta atau seluruh harta kepada orang lain
18 Hasil wawancara dengan hakim PA Kendal bapak Drs. Syarifudin M.H pada
tanggal 27 April 2011
66
tanpa ada batasan secara pasti. Mengenai kadar atau ukuran
pemberian hibah ini memang tidak dijelaskan secara mendalam
dalam nash, sehingga jumlah harta yang dapat dihibahkan tidak
terbatas. Hanya saja, ulama berbeda pendapat tentang kebolehan
seseorang menghibahkan seluruh hartanya kepada orang lain.
Dalam Peradilan Perdata tugas hakim ialah mempertahankan
tata hukum perdata (hurgerlijke rechtsorde), menetapkan apa yang
ditentukan oleh hukum dalam suatu perkara. Berhubungan dengan
tugas tersebut, oleh para ahli hukum dipersoalkan, seberapa jauh
hakim harus mengejar kebenaran (iraarhaid) di dalam proses. Oleh
karena itu hakim tidak boleh menolak untuk memeriksa dan
memutus perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukum kurang
jelas melainkan wajib memeriksa dan memutuskannya.
Ditegaskan pula bahwa agar supaya Pengadilan dapat
menjalankan tugasnya dengan sebaik-baiknya yaitu memberikan
putusan yang semata-mata berdasarkan kebenaran keadilan dan
kejujuran, maka tidak dapat dibenarkan adanya tekanan-tekanan
atau pengaruh dari luar yang menyebabkan para hakim tidak bebas
lagi dalam mengambil keputusan yang seadil-adilnya.
Dalam hal memberikan keputusan seorang hakim tidak boleh
memihak kepada salah satu di antara orang yang berperkara,
bersifat bebas, dan tidak pula terpengaruh oleh pemerintah. Di
samping itu seorang hakim wajib pula menggali, mengikuti dan
67
memahami nilai-nilai hukum yang ada dalam agama dan
masyarakat, apalagi hakim di Pengadilan Agama, yang menangani
kasus kasus, maka dalam hal ini hakim wajib dituntut untuk
menerapkan asas hukum yang sebenarnya. Sebab kesalahan hakim
adalah merupakan petaka bagi hakim sendiri, maupun pihak yang
telah dirugikan yang pada akhirnya harus dipertanggungjawabkan,
baik di dunia maupun di akhirat.19
Dasar hukum setiap putusan berisi tentang dasar hukum hakim
dalam memutus perkara. Karena Pengadilan Agama adalah
pengadilan khusus, maka dasar untuk memperkuat putusan adalah
segala peraturan perundang-undangan Negara yang berlaku,
relevan dan disusun menurut urutan derajatnya dan urutan tahun
terbitnya, lalu dasar hukumnya atau hukum tidak tertulis lainnya.
Di sini hakim Pengadilan Agama Kendal mempunyai pertimbangan
tersendiri mengapa hibah yang melebihi sepertiga tetap dinyatakan
sah menurut hukum.
19 Wawancara dengan hakim PA Kendal bapak Drs. Syarifudin M.H pada tanggal 27
April 2011
BAB IV
ANALISIS DASAR PENETAPAN HAKIM NO. 11/PDT.P/2008/PA.KDL
TERHADAP HIBAH LEBIH SEPERTIGA
A. Analisis Dasar Penetapan Hakim Putusan No. 11/Pdt.P/2008/Pa.Kdl
Terhadap Hibah Lebih Sepertiga
Suatu perkara yang adil dan benar yang sesuai dengan hukum yang
berlaku, dibutuhkan adanya suatu alat bukti yang dapat membantu hakim
sebagai aparat penegak keadilan untuk mendapatkan gambaran yang
sebenar-benarnya tentang duduk perkara yang sedang diperiksa dan
diadilinya itu. Apabila alat bukti itu dapat dipenuhi, maka selanjutnya akan
dapat meringankan hakim dalam memutuskan perkara yang ditanganinya.
Putusan ini, landasan hukum yang dipakai oleh majelis hakim dalam
menyelesaikan perkara permohonan pengesahan hibah di Pengadilan
Agama Kendal adalah Pasal 49 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 jo
Pasal 49 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006. Berdasarkan pasal
tersebut, maka perkara pemeliharaan anak yang diajukan ke Pengadilan
Agama Kendal adalah termasuk wewenang absolut dari Pengadilan Agama
Kendal, Dalam pasal tersebut dijelaskan Pengadilan Agama bertugas dan
berwenang memeriksa, memutus dan menyelesaikan perkara di tingkat
pertama antara orang-orang yang beragama Islam di bidang kewarisan, dan
salah satu dari bidang kewarisan itu adalah perkara hibah. Dengan
demikian Pengadilan Agama Kendal berwenang untuk memeriksa,
memutus dan menyelesaikan perkara hibah.
Dasar hukum selanjutnya adalah merujuk pada Pasal 210
Kompilasi Hukum Islam. Pada pasal tersebut dijelaskan, bahwa setiap
orang yang telah berumur sekurang-kurangnya 21 tahun, berakal sehat dan
dan tidak adanya paksaan dalam menghibahkan sebanyak-banyaknya
sepertiga dari harta bendanya kepada orang lain atau kepada suatu lembaga
untuk dimiliki. maksud dan tujuan dari pasal tersebut di atas adalah hibah
merupakan pemberian suatu benda secara sukarela dan tanpa imbalan dari
seseorang kepada orang lain yang masih hidup untuk dimiliki. Karenanya
orang yang meghibahkan harta benda harus sudah dewasa, dalam artian
minimal berumur 21 tahun dan berakal sehat serta tanpa adanya paksaan,
kekhilafan ataupun penipuan dan hibah ini ada pembatasanya yakni paling
banyak sepertiga dari harta kekayaan penghibah. Namun kenyataanya
tidak demikian.
Pasal inilah yang dijadikan rujukan majelis hakim dalam penetapan
yang mengabulkan permohonan pemohon dan menyatakan sah menurut
hukum bahwa hibah berupa separuh dari tanah pekarangan SHM No. 550
atau seluas 240 m2 berikut bangunan rumah di atasnya yang terletak di
Kelurahan Sijeruk RT 01 RW 02. Berdasarkan ketentuan pasal di atas,
pada dasarnya besarnya hibah itu maksimal adalah sepertiga dari milik
penghibah. Dalam kasus ini, bahwa pada sekitar tahun 1989 bapak Romdo
bin Kemat telah menghibahkan separoh tanah pekarangan miliknya atau
tanah seluas sekitar 240 m2 beserta rumah diatasnya tersebut kepada
Pemohon dengan disaksikan oleh beberapa orang saksi, dan pemohon
menyatakan menerimannya dan pada tahun yang sama itu pula separoh
tanah miliknya ( tanah yang tidak ada rumah diatasnya seluas 240 m2)
dijual kepada bapak Sucipto yang sekarang telah dibangun oleh bapak
Sucipto. Untuk adanya kepastian hukum dan guna mengurus balik nama
sertifkat No. 550 dari an. Bapak Romdo kepada an. Zaenuri (Pemohon)
dan an. Sucipto atau keluarganya karena sertifikat No. 550 belum dipecah
ketika sebagianya dijual kepada sucipto maka Pemohon merasa perlu
untuk mengajukan pengesahan hibah dari bapak Romdo kepada Pemohon.
Atas dasar inilah pemohon mengajukan Permohonanya ke Pengadilan
Agama Kendal dengan didukung saksi-saksi dan bukti-bukti yang
mempunyai fakta hukum di mata hakim dan majelis hakim Pengadilan
Agama Kendal akhirnya menerima permohonan pemohon untuk
pengesahan hibah yang diberikannya.
Perkara No.11/Pdt.P/2008/PA.Kdl tersebut permohonan Pemohon
diterima karena dalam pembuktian ternyata bukti-bukti yang diajukan
Pemohon dapat menguatkan dalil-dalil yang diajukan. Dilihat dari aspek
pembuktian perkara, maka putusan majelis hakim sudah tepat dengan
putusan menerima permohonan karena alasan-alasan yang diajukan dapat
menguatkan dalil-dalil yang diajukan. Dalam kasus ini majelis hakim
menerima permohonan ini dengan dua alasan. Pertama, ditemukan fakta
atas keterangan ketiga saksi yang telah dihadirkan pemohon bahwa ketiga
saksi tersebut telah mendengar secara langsung tentang adanya pernyataan
hibah dari alm Romdo kepada pemohon yang berupa setengah dari tanah
pekarangannya yang di atasnya ada rumah, meskipun kejadian itu berbeda-
beda waktunya atau tidak dalam satu majelis. Kedua bahwa mengenai
adanya pernyataan penerimaan dari si penerima hibah, pemohon mengaku
telah menerima pemberian alm Romdo tersebut meskipun pernyataan
menerima tidak didukung dengan adanya saksi, namun secara kenyataan
bahwa pemohon telah menempati dan mengolah tanah pekarangan tersebut
sejak pemohon diangkat sebagai anak oleh alm. Romdo sampai sekarang
ini. Dengan demikian dapat dipahami bahwa pemohon telah menerima
pemberian tersebut sekalipun secara diam-diam. Suatu hibah dapat
berwujud jika terdapat tiga komponen yaitu wahib, mauhub lah dan
mauhub. Dalam perkara ini Wahib adalah pemberi hibah ( alm bapak
Romdo), mauhub lah adalah orang yang diberi hibah Zaenuri bin Achidat,
sedangkan mauhub benda yang dihibahkan ( sebidang tanah luas 240 m2
berikut bangunan diatasnya, SHM No. 550 an Romdo bin Kemat. Dengan
demikian unsure hibah telah terpenuhi.
Namun, bila melihat esensinya, seperti yang dijelaskan Pasal 210
Kompilasi Hukum Islam (KHI), maka putusan majelis hakim bertentangan
dengan pasal tersebut, yang mana pasal ini memberikan batasan seseorang
melakukan hibah terhadap orang lain atau lembaga sebanyak-banyaknya
sepertiga dari hari harta penghibah. Perumusan hukum hibah yang diatur
dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) secara tegas memberi batasan
kebolehan jumlah harta yang dihibahkan tidak lebih dari sepertiga.
Pemberian batasan ini untuk terciptanya persepsi yang sama baik bagi
aparat penegak hukum ( para hakim) maupun anggota masyarakat.1
Selama ini terdapat kesimpangsiuran pendapat tentang kebolehan
ini. Ada sementara ulama dan hakim yuang berpendirian boleh
menghibahkan seluruh harta. Sebaliknya banyak yang berpendapat
penghibahan tidak boleh melenyapkan hak ahli waris oleh karenanya hibah
hanya boleh sepertiga.
Secara objektif dan realistis hakim dalam melaksanakan fungsi dan
kewenangan mengadili perkara, selalu menghadapi keadaan kontroversi.
Dalam pasal 14 ayat (1) UU No. 14 Tahun 1970, sebagaimana diubah
dengan UU No. 35 Tahun 1999 sekarang diatur pada pasal 16 ayat (1) UU
No.4 Tahun 2004, mengariskan bahwa pengadilan atau hakim tidak boleh
menolak untuk memeriksa perkara yang diajukan kepadannya atas alasan
hukum tidak mengatur atau aturannya kurang jelas, melainkan wajib untuk
memeriksa dan memutusnya.
Merujuk pasal yang disebutkan diatas, majelis hakim berusaha
dengan segala kemampuanya untuk memeriksa dan memutus perkara
permohonan tersebut dengan menafsirkan pasal 210 Kompilasi Hukum
Islam. Menurut pendapat majelis hakim bahwa pembatasan hibah kepada
orang lain sebanyak-banyaknya sepertiga dari harta penghibah dengan
maksud untuk melindungi hak-hak ahli waris agar tidak dirugikan dalam
1 M. Yahya Harahap, Kedudukan Kewenangan Dan Acara Peradilan Agama,(
Jakarta: Sinar Grafika, 2003) hlm.50
hal kewarisannya.2 Pada perkara permohonan ini bahwa si pemberi hibah
tersebut tidak mempunyai anak dan saudara laki-laki yang telah meninggal
juga tidak mempunyai anak, sehingga ahli warisnya terputus, maka ia
dapat menghibahkan separoh tanah pekarangan beserta rumah di atasnya
secara sah. Disamping itu sudah menjadi kodrat, bahwa hukum yang
dirumuskan dalam peraturan perundang-undangan, termasuk dalam hal ini
KHI tidak menampung permasalahan hukum yang timbul dalam
kehidupan manusia, yang senantiasa berubah dengan membaur
permasalahan yang baru, apalagi hibah yang diatur dalam KHI hanya
terdiri beberapa pasal yang tidak menutup kemungkinan permasalahan
hukum di bidang hibah belum diatur yang memerlukan penafsiran hukum
dalam penerapannya.
B. Tinjauan Hukum Islam Terhadap Putusan No. 11/Pdt.P/2008/PA.Kdl
Hibah adalah suatu akad pemberian hak milik seorang kepada
orang lain di kala masih hidup tanpa mengharapkan imbalan dan jasa.
Oleh sebab itu, hibah merupakan pemberian yang murni, bukan
mengharapkan pahala dari Allah SWT, serta tidak pula terbatas jumlahnya.
Mengenai seberapa besar kadar hibah ini tidak ada nas yang mengaturnya
hanya saja ulama berbeda pendapat tentang apakah boleh seorang
menghibahkan seluruh hartanya kepada orang lain.
2 Hasil wawancara dengan hakim PA Kendal bapak Drs. Syarifudin M.H pada
tanggal 27 April 2011
Menurut mazhab jumhur ulama, orang boleh menghibahkan semua
harta atau semua apa yang dimilikinya.3 Dan para ulama juga sepakat
boleh menghibahkan semua hartanya kepada orang lain.4 Apabila ia yakin
mampu hidup sabar, tawakal atas apa yang akan ia deritanya, jika ia tidak
sanggup berlaku demikian perbuatan itu dimakruhkan.5
Pokok permasalahan dalam perkara ini adalah tentang keabsahan
hibah yang dilakukan alm. Romdo bin kemat kepada pemohon, yang mana
besaran hibah tersebut adalah separuh tanah pekarangan beserta rumah
diatasnya. Setelah mengikuti duduk perkara dan pertimbangan –
pertimbangan hukum dari putusan pengadilan Agama Kendal, ada
beberapa hal yang menarik perhatian penulis untuk dianalisis. Pokok
permasalahannya adalah tentang keabsahan hibah lebih sepertiga yang
diajukan pemohon. Dalam penyelesaian permohonan pengesahan hibah
tersebut majelis hakim menyatakan sah menurut hukum.
Sebagaimana yang diatur dalam Kompilasi Hukum Islam pasal 210
bahwa Orang yang telah berumur sekurang-kurangnya 21 tahun berakal
sehat tanpa adanya paksaan dapat menghibahkan sebanyak-banyaknya 1/3
(sepertiga) harta bendanya kepada orang lain atau lembaga di hadapan dua
orang saksi untuk dimiliki.6 Kompilasi Hukum Islam memberikan batasan
dalam pemberian hibah sebanyak-banyaknya 1/3 dari hartanya penghibah.
3 Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah 5, hlm. 181
4 Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid, Terj, Abu Usman Fakhtur, hlm. 653
5 Rahmat Syafei, Fiqh Muamalah, hlm. 252-253
6 Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam, (Jakarta: Akademika Presindo, 2008) hlm 164
Pada dasarnya hibah tidak ada kaitannya dengan kewarisan kecuali
nyata bahwa hibah itu mempengaruhi hak ahli waris, maka dalam hal ini
perlu adanya pembatasan maksimal hibah tidak melebihi sepertiga.7 dalam
permasalahan ini bahwa alm Romdo tidak mempunyai ahli waris yang
mana saudara laki-lakinya dan istri telah meninggal sehingga yang ada
hanya anak angkatnya saja (pemohon) yang kemudian separuh tanah
pekarangan beserta rumah diatasnya dihibahkan kepada pemohon, Karena
pihak Pemohon (anak angkat) semasa hidupnya telah mengabdikan dirinya
kepada bapak Romdo hingga akhir hayatnya. Karena dalam permasalahan
ini hibah tid tidak mempengaruhi hak-hak ahli waris maka hibah tersebut
menurut penulis sah menurut hukum Islam. Hal ini sesuai dengan
pendapat Muhammad Daud Ali, bahwa kalau ternyata hibah itu
mempengaruhi kepentingan dan hak-hak ahli waris maka perlu ada batas
maksimal hibah tidak melebihi sepertiga harta seseorang.8 Akan tetapi
bila menyangkut hak-hak ahli waris maka hibah perlu ada batasan hal
sejalan dengan pendapat Muhammad Ibnu Hasan dan sebagian pentahkik
mazhab Hanafi yang mengemukakan bahwa tidak sah menghibahkan
semua harta, meski untuk keperluan kebaikan.
Dalam menguatkan permohonannya pemohon telah mengajukan
beberapa orang saksi. Saksi Achidat bin bagus umur 58 tahun menjelaskan
bahwa pemohon adalah anak saksi dan ketika berumur 3 tahun diminta
7 Abdul Halim, Hukum Islam Perwakafan Di Indonesia, ( Ciputat: Ciputat Press,
2005) Hlm 37 8 Muhammad Daud Ali. Sistem Ekonomi Islam Zakat Dan Wakaf (Jakarta: UI Pres,
1988) hlm 25
oleh pak Romdo utnuk diagkat sebagai anak, karena pak Romdo tidak ada
anak, maka saksi memberikannya. Pada beberapa kesempatan pal romdo
menyampaikan kepada saksi bahwa setengah dari miliknya yang diatasnya
ada rumah diberikan kepada pemohon sebagai anak angkatnya, dan pak
Romdo hanya mempunyai seorang saudara laki-laki bernama Sukaemi,
namun ia menginggal lebih dulu dan tidak ada keturunan.
Pengangkatan anak menurut Hukum Islam adalah tidak mengubah
status hukum dan keahliwarisan terhadap anak angkat sebagaimana yang
terdapat dalam Kompilasi Hukum Islam Pasal 171 huruf h bahwa
pengangkatan anak hanya bertujuan untuk memelihara agar dalam
kehidupan pertumbuhan dan pendidikan lebih terjamin dalam
perkembangan kehidupan si anak tersebut.
Pada dasarnya Kompilasi Hukum Islam telah memberi kedudukan
positif kepada anak angkat untuk berhak mendapat bagian dari harta
warisan orang tua angkat, sebab tidak adanya wasiat dari orang tua angkat
dengan sendirinya menurut hukum dianggap ada wasiat. Wasiat wajibah
itu tetap terbatas sifatnya dalam arti tidak mengubah status anak angkat
menjadi anak kandung, tidak memberi kedudukan dan hak untuk mewarisi
secara keseluruhan harta warisan orang tua angkat tidak sama bagian
dengan anak kandung. Anak angkat tidak menghijab ahli waris yang lain
dan bagian anak angkat hanya 1/3 bagian.
Dalam kewarisan Islam menurut ulama fiqih ada tiga faktor yang
menyebabkan seorang saling mewarisi yakni karena hubungan
kekerabatan, hubungan perkawinan yang sah dan hubungan perwalian.
Anak angkat dalam hal ini tidak termasuk dalam tiga faktor dia atas.
Dalam arti bukan suatu kerabat atau satu keturunan dengan orang tua
angkatnya, oleh karena itu antara anak angkat dengan orang tua angkat
tidak berhak saling mewarisi satu sama yang lain. Ketentuan wasiat dalam
hukum Islam adalah paling banyak 1/3 bagian dari harta warisan, dalam
hal hibah dan wasiat tidak ditentukan secara khusus kepada siapa saja yang
berhak menerimanya. Dengan demikian, bila seandainya dalam hal ini
tidak terjadi penghibahan maka kedudukan anak angkat akan memperoleh
bagian sebagaimana yang disebutkan pasal 209 ( 2 ) Kompilasi Hukum
Islam yang menyebutkan bahwa anak angkat mendapat bagian sebanyak-
banyak 1/3 dari harta warisan orang tua angkatya.
Pada penelitian ini, majelis hakim Pengadilan Agama Kendal
dalam perkara No.11/Pdt.P/ 2008/PA.Kdl tentang Pengesahan hibah,
dalam salah satu amar putusannya memutuskan mengabulkan permohonan
pemohon yang diajukan oleh pemohon dan menyatakan sah menurut
hukum, hibah yang dilakukan oleh bapak Romdo Bin Kemat kepada
pemohon ( Zaenuri bin Achidat ) yang berupa separoh dari tanah
pekarangan beserta bangunan rumah di atasnya. Majelis hakim merujuk
kepada fakta-fakta dalam persidangan dan juga dalam proses pembuktian
yang menunjukkan bahwa saksi-saksi yang diajukan oleh pemohon
mempunyai fakta hukum dalam kesaksiannya. dalam kasus ini, tidak,
berarti putusan majelis hakim menyalahi Hukum Islam karena
mengesahkan hibah yang melebihi sepertiga. Dalam kasus ini, majelis
hakim mempertimbangkan bahwa si penghibah yaitu tidak mempunyai
ahli waris sama sekali, lagi pula pemohon adalah satu-satunya orang yang
merawat alm Romdo sampai akhir hayat bahkan pemohon diakui sebagai
anak angkatnya, maka hibah alm Romdo kepada pemohon yang berupa
setengah dari tanah pekarangan berikut rumah di atasnya tidak menyalahi
hukum islam atau maksud dari ketentuan pasal 210 Kompilasi Hukum
Islam.
Di antara para ulama hukum Islam ada yang berpendapat bahwa
seorang pemilik harta boleh menghibahkan semua hartanya kepada orang
lain, sedangkan ulama lain atau mazhab lain, seperti mazhab Hanafi
misalnya, melarang dengan tegas seseorang yang ingin menghibahkan
seluruh hartanya kepada orang lain meskipun dalam hal kebaikan. Mereka
beranggapan bahwa orang tersebut adalah orang yang bodoh yang harus di
batasi segala tindakannya. Untuk mengatasi adanya perbedaan mengenai
batasan pengaturan pemberian hibah tersebut, para ulama sepakat untuk
memberikan batasan mengenai jumlah harta yang boleh dihibahkan. Hasil
kesepakatan yang telah di sahkan oleh pemerintah itu terdapat dalam
Kompilasi Hukum Islam pasal 210 ayat (1): “Orang yang telah berumur
sekurang-kurangnya 21 tahun berakal sehat tanpa adanya paksaan dapat
menghibahkan sebanyak-banyaknya 1/3 harta bendanya kepada orang lain
atau lembaga di hadapan dua orang saksi untuk dimiliki.” Akan menjadi
permasalahan ketika di dalam harta hibah yang akan di berikan kepada
anak angkat kemungkinan masih terdapat hak atau bagian dari ahli waris,
maka pembatasan harta hibah boleh dilakukan oleh seorang pemberi hibah
kepada anak angkatnya dengan ketentuan tidak melebihi dari 1/3
(sepertiga) harta keseluruhan yang dimilikinya. Dalam hal ini dapat di
bedakan menjadi 2 dua hal yakni, jika hibah tersebut di berikan kepada
orang lain (bukan seorang ahli waris ataupun badan hukum) maka
mayoritas pakar hukum Islam sepakat mengatakan hal tersebut perlu di
batasi, tetapi jika hibah tersebut di berikan kepada anak-anak atau ahli
waris dari pemberi hibah, maka menurut Imam Malik dan Ahlul Zahir
tidak memperbolehkannya.
Sebagaimana diketahui bahwa kompilasi hukum islam adalah hasil
kesepakatan para ulama seluruh indonesia yang perumusanya melalui
diskusi-diskusi panjang, dengan mempertimbangkan pendapat-pendapat
yang ada. Oleh sebab itu menurut penulis seharusnya peradilan agama
sebagai lembaga kekuasaan kehakiman berpedoman pada kompilasi
hukum Islam sebagaimana dimaksud dalam diktum pertama intruksi
Presiden Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1991 tanggal 10 juni 1991
untuk digunakan oleh intansi pemerintah dan masyarakat yang
memerlukannya untuk menyeleaikan masalah-masalah dalam bidang
perkawinan, kewarisan dan perwakafan.
Tujuan utama dirumuskanya Kompilasi Hukum Islam, adalah
menyiapkan pedoman bagi para hakim Peradilan agama dan menjadi
hukum materiil yang berlaku di peradilan agama yang wajib dipatuhi oleh
seluruh bangsa Indonesia yang beragama Islam.9
Dari pendapat dan alasan-alasan yang telah dikemukan di atas,
penulis menyimpulkan meskipun ada pendapat yang memperbolehkan
menghibahkan semua hartanya. Akan tetapi ada juga yang berpendapat
perlu dipertimbangkan untuk memperoleh manfaat yang lebih besar
dengan pertimbangan firman Allah SWT Surat An-Nisa’ ayat 9
|·÷‚ u‹ø9 uρ šÏ% ©!$# öθ s9 (#θ ä.t� s? ô ÏΒ óΟÎγ Ï�ù=yz Zπ−ƒ Íh‘ èŒ $ ¸�≈ yèÅÊ (#θ èù%s{ öΝÎγ øŠn=tæ (#θ à)−Gu‹ ù=sù ©! $#
(#θ ä9θà)u‹ ø9 uρ Zωöθ s% # ´‰ƒ ωy™
Artinya: Dan hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang
seandainya meninggalkan dibelakang mereka anak-anak yang lemah,
yang mereka khawatir terhadap (kesejahteraan) mereka. oleh sebab itu
hendaklah mereka bertakwa kepada Allah dan hendaklah mereka
mengucapkan Perkataan yang benar.10
Dari ayat di atas dapat disimpulkan bahwa meskipun dalam
permasalahan hibah itu tidak ada batasanya akan tetapi lebih bijaksana
kalau seseorang itu memikirkan jauh ke depan, terutama kesejahteraan
anak dan ahli warisnya.
9 Ahamad Rofik, Pembaharuan Hukum Islam Di Indonesia, (Jakarta: Gama Media,
2001) hlm. 25 10
Depag RI Al-Qur’an dan Terjemahanya, hlm. 116
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari seluruh uraian yang telah penulis paparkan pada bab sebelumnya
dapatlah diambil kesimpulan sebagai berikut :
1. Dalam perkara hibah pengesahan hibah no 11/Pdt.P/2008/PA.Kdl
majelis hakim permohonan pemohon yang menyatakan sah
menurut hukum, hibah yang dilakukan Oleh Romdo bin Kemat
kepada Pemohon ( Zaenuri bin Achidat) berupa separoh dari tanah
pekarangan SHM No. 550 atau seluas 240 m2 berikut bangunan
rumah di atasnya. Dan dalam memutuskan perkara ini majlis hakim
mempunyai pertimbangan bahwa pada dasarnya hibah itu
maksimal adalah sepertiga dari milik penghibah (vide) KHI Pasal
210, dengan maksud agar ahli warisnya tidak dirugikan. Karena
alm Romdo tidak mempunyai anak atau ahli waris sama sekali dan
saudara laki-lakinya telah meninggal dan juga tidak mempunyai
anak maka hibah tidak bertentangan dengan hukum islam atau
maksud dari ketentuan Pasal 210 Kompilasi Hukum Islam tersebut.
Inilah yang dijadikan dasar penetapan hakim dengan menafsirkan
pasal tersebut.
2. Ditinjau dari hukum Islam perkara permohonan hibah ini adalah,
dalam hukum Islam dengan adanya ijab qobul yang diketahui oleh
adanya saksi maka hibah itu telah dianggap sah, pembatasan
pemberian hibah dimaksudkan untuk melindungi hak-hak ahli
waris agar tidak dirugikan dalam memperoleh harta waris. Oleh
karena dalam perkara permohonan ini tidak mempengaruhi
kepentingan dan hak-hak ahli waris maka hibah dianggap sah.
B. Saran-saran
1) Majelis Hakim dituntut untuk berhati-hati dalam menetapkan putusan
agar memenuhui kualifikasi sesuai dengan apa yang digariskan oleh
Allah SWT dan berdasarkan perundang-undangan dan rujukan Hukum
Islam sehingga dalam setiap keputusan dapat diterima dan dijadikan
refrensi untuk orang muslim lainnya dan hasilnya dapat bermanfaat
bagi semua manusia muslim.
2) Masyarakat pada umumnya bahwa meskipun dalam pemberian hibah
tidak ada batasnya akan tetapi lebih bijaksana kalau seseorang itu
memikirkan jauh kedepan, terutama kesejahteraan anak dan ahli
warisnya.
3) Para pembaca hendaknya lebih semangat untuk mengetahui,
memahami, dan mengambil sari manfaat dari hasil penelitian ini,
utamanya bisa menambah cakrawala berpikir yang lebih luas dan
proporsional dalam melihat perkara.
C. Penutup
Dengan memanjatkan puji syukur ke hadirat Allah SWT yang telah
melimpahkan rahmat, taufiq, hidayah dan inayah-Nya sehingga penulis dapat
menyelesaikan skripsi ini. Walaupun penulis telah berusaha semaksimal
mungkin, namun karena keterbatasan ilmu dan pengetahuan yang dimiliki
penulis, maka karya tulis ini jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu, penulis
mengharap saran-saran dan kritik yang konstruktif dari pembaca guna
perbaikan selanjutnya. Akhir kata penulis ucapkan terima kasih sebanyak-
banyaknya, kepada semua pihak yang telah membantu, terlebih kepada Bapak
dosen pembimbing. Semoga tulisan ini dapat bermanfaat bagi penulis pada
khususnya dan pembaca pada umumnya. Dan teriring segala puji bagi Allah
SWT dan shalawat serta salam atas rasul-Nya, semoga kita selalu dalam
bimbingan, lindungan dan ridha-Nya. Amin ya rabbal alamin.
DAFTAR PUSTAKA
Ali, Zainuddin Hukum Perdata Islam di Indonesia, (Jakarta : Sinar Grafika, 2006)
Azwar, Saefudin Metodologi Penelitian,,Yoyakarta: Pustaka Pelajar, 1993
Arikunto, Suharsni, Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik, Rineka Cipta,: Jakarta,
2006)
Ali, Muhammad Daud. Sistem Ekonomi Islam, zakat dan WAkaf. UI-Press. 1988
Azizi, Ahmad Qadri Islam dan Permasalahan social, Yogyakarta: LKIS, 1997
Al- Fauzan, Saleh, Al Mulakhasul Fiqhi, Jakarta, Gema Insani, 2006
Abdurrahman Ad-Dimasyqi, Syaikh Al-Allamah Muhammad, Fiqh Empat Mazhab,
Bandung, Hasyimi Pres, 2001
,
Al-Jaziri, Abd al-Rahman, Kitab al-Fiqh ‘alâ al-Mazâhib al- Arba’ah, Beirut: Dar al-Fikr,
Juz 3, t.th.
Abdullah, Abdul Gani, Pengantar Kompilasi Hukum Islam Dalam Tatanan Hukum
Inonesia, Jakarta, Gema Insani Press, 1994
Bisri, Mustofa, Pedoman Menulis Proposal Penelitian Skripsi Dan Tesis,Panji Pustaka,
Yogyakarta,2009
Bisri, Hasan, Peradilan Agama Di Indonesia, Jakarta, PT. Raja Grafindo Persada, 2000
Departemen Agama, Ilmu Fiqh 3 Proyek Pembinaan Sarana Dan Prasarana IAIN, Jakarta,
1986
Dahlan , Abdul Aziz, et.al., Ensiklopedi Hukum Islam, Jakarta: PT Ichtiar van Hoeve, 1996
Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan terjemahanya, Disempurnakan Oleh Lajnah
Pentashih Mushaf Al-qur’an Departemen Agama RI, Sinar Baru Algensindo, Bandung
Fuad, Mahsun Hukum Islam Indonesia dari nalar partisipatoris hingga
emansipatoris,(Yogyakarta : Lkis, 2005
Fyzee, A A asaf, Pokok-Pokok Hukum Islam II, Jakarta, Tintamas, 1996
Halim, Abdul, Hukum Perwakafan Di Indonesia, Ciputat, Ciputat Pres, 2005
Harahap, Yahya, Kedudukan Kewenangan Dan Acara Peradilan Agama, Jakarta, Sinar
Grafika, 2003
Hasa, Ali, Berbagai Macam Transaksi Dalam Islam, Jakarta, Rajagrafindo, 2003
Kompilasi Hukum Islam. Citra Media Wacana. 2008
Khairi, Miftahul (Penerjemah), Ensiklopedi Fiqih Muamalah Dalam Pandangan 4
Madzhab,Yogyakarta, Maktabah Al-Hanif, 2009
Lubis, sulaikin, hukum acara perdata peradilan agama di Indonesia,Jakarta, prenada media,
2005
Manan, Abdul, Aneka masalah hukum perdata Islam di Indonesia, Jakarta, Kencana
Prenada Media Group, 2006
___________, Etika Hakim Dalam Penyelenggaraan Peradilan,Jakarta, Prenada Media,
2002
Muslim, Imam Sahih Muslim, (Surabaya: Al-hidayah, tth),
Mardani, Hukum Acara Perdata Peradilan Agama Dan Mahkamah Syariah, Jakarta, Sinar
Grafika, 2009
Pasaribu, Chairuman, Hukum Perjanjian Dalam Islam,Jakarta, Sinar Grafika, 1994
Rasyid Sulaiman, Fiqh Islam Hukum Fiqh Lengkap, (Bandung: PT Sinar Baru Algensindo,
1994)
Rofiq, Ahmad, Hukum Islam Di Indonesia, Jakarta : PT raja grafindo persada,1998
Ramulyo, Idris, Perbandingan Pelaksanaan Hukum Kewarisan Menurut Hukum Perdata (
BW), Jakarta, Sinar Grafika, 2000
Roihan, Rasyid, Hukum Acara Peradilan Agama, Jakarta, Rajawali, 1991
Sabiq,Sayyid fiqh sunnah juz 4.terjemahan, Jakarta:Pena Pundit Aksara, 2006
Saebeni, Beni Ahmad, Metode Penelitian Hukum,Bandung, Pustaka setia, 2008
syafi,i, Rachmat, Fiqh muamalah, Bandung, Pustaka Setia, 2001
Subagyo , P. Joko, Metode Penelitian Dalam Teori dan Praktek, (Jakarta: PT Rineka Cipta,
1991)
Shaleh Al Ustaimin, Syaikh Muhammad bin, Asy-Syarhul Mumti’kitabul Waqf Wal Hibah
Wal Washiyyah, Daar Ibnil Jauzi, 2005
Syarifudin, Amir, Pelaksanaan Hukum Kewarisan Islam Dalam Lingkungan Adat
Minangkabau,Jakarta, Pt Gunung Agung, 1982
Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai
Pustaka, 2005, Edisi III. Cet. III,
Usman, Rachmadi, Hukum Kewarisan Islam Dalam Dimensi Kompilasi Hukum Islam,
Bandung, CV. Mandar Jaya, 2009
Zein, Satria Effendi, Problematika Hukum Keluarga Islam Kontemporer Analisis
Yurisprudensi Dengan Pendekatan Ushuliyah,Jakarta, Prenada Media, 2004
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
Nama Lengkap : Muhamat Saehudin Anwar
Jenis Kelamin : Laki-laki
Tempat, Tanggal Lahir : Kendal, 8 Maret 1986
Agama : Islam
Alamat Asal : RT 03 Dukuh Kalijati Merbuh Kec. Singorojo
Kab. Kendal
Alamat Sekarang : RT 03 Dukuh Kalijati Merbuh Kec. Singorojo
Kab. Kendal
Warga Negara : Indonesia
Telepon : 085640012123
Pendidikan Formal : - SD Merbuh 01 Kec. Singorojo Kab. Kendal
lulus tahun 1999
- SMPN 1 Singorojo lulus tahun 2002
- SMA PMS Kendal lulus tahun 2005
- IAIN Walisongo Semarang Fakultas Syari’ah
lulus tahun 2011
Pendidikan Non Forma : -
Demikian riwayat pendidikan ini dibuat dengan sebenarnya untuk menjadi
maklum dan periksa adanya.
Semarang, 13 Mei 2011
Muhamat Saehudin Anwar
NIM: 062111049