Angklung Hasil Budaya Indonesia
Indonesia merupakan negeri dengan kekayaan budaya yang sangat
luar biasa banyak dan beragamnya. Kekayaan budaya ini menjadi ciri dari
masing-masing daerah dan tidak jarang memiliki nilai filosofis yang sangat
tinggi. Budaya Indonesia adalah seluruh kebudayaan nasional, kebudayaan
lokal, maupun kebudayaan asal asing yang telah ada di Indonesia sebelum
Indonesia merdeka pada tahun 1945.
Apakah sebenarnya yang disebut dengan budaya Indonesia?
TAP MPR-RI Nomor II Tahun 1998 memberikan definisi sebagai berikut.
”Kebudayaan nasional yang berlandaskan Pancasila adalah perwujudan cipta, karya dan karsa bangsa Indonesia dan merupakan keseluruhan daya upaya manusia Indonesia untuk mengembangkan harkat dan martabat sebagai bangsa, serta diarahkan untuk memberikan wawasan dan makna pada pembangunan nasional dalam segenap bidang kehidupan bangsa. Dengan demikian Pembangunan Nasional merupakan pembangunan yang berbudaya.Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Wujud, Arti dan Puncak-Puncak Kebudayaan Lama dan Asli bagi Masyarakat Pendukukungnya. ”Ki Hajar Dewantara mengemukakan pandangannya bahwa
kebudayaan nasional adalah ”puncak-puncak kejayaan dari kebudayaan
daerah”. Kutipan pernyataan ini merujuk pada paham kesatuan makin
dimantapkan, sehingga ketunggalikaan makin lebih dirasakan daripada
kebhinekaan. Sementara itu, Koentjaraningrat mengemukakan definisi
kebudayaan nasional sebagai “yang khas dan bermutu dari suku bangsa
mana pun asalnya, asal bisa mengidentifikasikan diri dan menimbulkan rasa
bangga, itulah kebudayaan nasional”. Pernyataan ini merujuk pada puncak-
puncak kebudayaan daerah dan kebudayaan suku bangsa yang bisa
menimbulkan rasa bangga bagi orang Indonesia jika ditampilkan untuk
mewakili identitas bersama. Dengan demikian, kebudayaan daerah tercermin
dalam berbagai aspek kehidupan masyarakat di seluruh daerah di Indonesia.
Setiap daerah memilki ciri khas kebudayaan yang berbeda.
1
Keragaman budaya atau “cultural diversity” adalah keniscayaan yang
ada di bumi Indonesia. Keragaman budaya di Indonesia adalah sesuatu yang
tidak dapat dipungkiri keberadaannya. Dalam konteks pemahaman
masyarakat majemuk, selain kebudayaan kelompok suku bangsa, masyarakat
Indonesia juga terdiri dari berbagai kebudayaan daerah yang bersifat
kewilayahan, yang merupakan pertemuan dari berbagai kebudayaan
kelompok suku bangsa yang ada di daerah tersebut.
Dengan jumlah penduduk lebih dari 200 juta orang yang tinggal
tersebar di pulau-pulau yang ada di wilayah Indonesia, mereka juga mendiami
wilayah dengan kondisi geografis yang bervariasi. Mulai dari pegunungan,
tepian hutan, pesisir, dataran rendah, pedesaan, hingga perkotaan. Hal ini
juga berkaitan dengan tingkat peradaban kelompok-kelompok suku bangsa
dan masyarakat di Indonesia yang berbeda. Pertemuan-pertemuan dengan
kebudayaan luar juga mempengaruhi proses asimilasi kebudayaan yang ada
di Indonesia sehingga menambah ragamnya jenis kebudayaan yang ada di
Indonesia.
Di samping itu, berkembang dan meluasnya agama-agama besar di
Indonesia turut pula mendukung perkembangan kebudayaan Indonesia
sehingga memcerminkan kebudayaan agama tertentu. Bisa dikatakan bahwa
Indonesia adalah salah satu negara dengan tingkat keaneragaman budaya
atau tingkat heterogenitasnya yang tinggi. Tidak saja keanekaragaman
budaya kelompok suku bangsa, tetapi juga keanekaragaman budaya dalam
konteks peradaban, tradisional hingga ke modern, serta kewilayahan.
Keanekaragaman budaya di Indonesia dapat dikatakan lebih
mempunyai keunggulan dibandingkan dengan negara lainnya. Indonesia
mempunyai potret kebudayaan yang sangat lengkap dan bervariasi. Tak kalah
pentingnya, secara sosial budaya dan politik, masyarakat Indonesia
mempunyai dinamika jalinan sejarah interaksi antar kebudayaan yang
dirangkai sejak dulu. Interaksi antar kebudayaan dijalin tidak hanya meliputi
antarkelompok suku bangsa yang berbeda, tetapi juga meliputi antar-
peradaban yang ada di dunia. Berlabuhnya kapal-kapal Portugis di Banten
2
pada abad pertengahan misalnya telah membuka diri Indonesia dalam lingkup
pergaulan dunia internasional pada saat itu. Hubungan antar pedagang
Gujarat dan pesisir Pulau Jawa juga memberikan arti yang penting dalam
membangun interaksi antar peradaban yang ada di Indonesia. Singgungan-
singgungan peradaban ini pada dasarnya telah membangun daya elasitas
bangsa Indonesia dalam berinteraksi dengan budaya bangsa lain yang
memiliki perbedaan. Di sisi yang lain bangsa Indonesia juga mampu menelisik
dan mengembangkan budaya lokal di tengah-tengah singgungan antar
peradaban itu.
Dalam konteks masa kini, kekayaan kebudayaan akan banyak
berkaitan dengan produk-produk kebudayaan yang berkaitan dengan tiga
wujud kebudayaan yaitu pengetahuan budaya, perilaku budaya atau
praktik-praktik budaya yang masih berlaku, dan produk fisik kebudayaan
yang berwujud artefak atau bangunan. Beberapa hal yang berkaitan dengan
ketiga wujud kebudayaan tersebut yang dapat dilihat adalah antara lain
adalah produk kesenian dan sastra, tradisi, gaya hidup, sistem nilai, dan
sistem kepercayaan. Keragaman budaya dalam konteks studi ini lebih banyak
diartikan sebagai produk atau hasil kebudayaan yang ada pada masa kini.
Dalam konteks masyarakat yang multikultur seperti ini, keberadaan
keragaman kebudayaan adalah suatu yang harus dijaga dan dihormati
keberadaannya. Keragaman budaya harus dapat meminimalkan perbedaan
budaya dari kelompok-kelompok masyarakat yang hidup di Indonesia.
Jika kita merujuk kepada konvensi UNESCO 2005 (Convention on The
Protection and Promotion of The Diversity of Cultural Expressions) tentang
keragaman budaya atau “cultural diversity”, maka cultural diversity ini dapat
diartikan sebagai kekayaan budaya yang dilihat sebagai cara yang ada dalam
kebudayaan kelompok atau masyarakat untuk mengungkapkan ekspresinya.
Hal ini tidak hanya berkaitan dalam keragaman budaya yang menjadi
kebudayaan latar belakangnya, tetapi juga variasi cara dalam penciptaan
artistik, produksi, diseminasi, distribusi dan penghayatannya, apa pun makna
dan teknologi yang digunakannya. Bahkan, Unesco dalam dokumen konvensi
3
UNESCO 2005 mengistilahkan hal ini sebagai “ekpresi budaya” (cultural
expression). Isi dari keragaman budaya tersebut akan mengacu kepada
makna simbolik, dimensi artistik, dan nilai-nilai budaya yang
melatarbelakanginya.
Wujud kebudayaan Indonesia dapat dikelompokkan dalam beberapa
kategori. Kategori tersebut terdiri atas seni arsitektur rumah adat, pakaian
adat, tarian, musik, alat musik, lagu, ornamen hias, patung, teater, bahasa
dan sastra, makanan, upacara atau prosesi adat, tata sosial masyarakat,
serta ilmu-ilmu terapan yang berkembang pada masyarakat tradisional.
Di antara beragamnya wujud kebudayaan Indonesia tersebut, terdapat
tiga jenis wujud kebudayaan dalam bentuk musik dan alat musik yang mampu
mewakili Indonesia di kancah pergaulan internasional. Ketiga aspek wujud
kebudayaan tersebut adalah angklung dan musik angklung, musik keroncong,
dan musik dangdut.
4
Bagian Pertama: ANGKLUNG
5
Mengenal Lebih Dekat Alat Musik Angklung
Hampir tak ada seorang pun warga Indonesia yang tidak mengenal
angklung. Bahkan, sebagian masyarakat dunia mengenal dengan baik alat
musik khas Indonesia ini. Terutama setelah beberapa duta kesenian kita
memperkenalkan alat musik dan permainan musik angklung ini pada berbagai
kesempatan di mancanegara. Tidak sedikit warga asing yang turut
mempelajari dan memahami alat musik angklung serta cara memainkannya.
Apa dan bagaimana sebenarnya alat musik angklung ini?
Angklung adalah alat musik multitonal (bernada ganda) yang secara
tradisional berkembang dalam masyarakat berbahasa Sunda di Pulau Jawa
bagian barat. Alat musik ini dibuat dari bambu, dibunyikan dengan cara
digoyangkan sehingga menghasilkan bunyi yang bergetar. Alat musik
angklung ini mungkin satu-satunya alat musik melodius yang dimainkan
dengan cara digoyang. Cobalah perhatikan gambar alat musik ini dengan
cermat.
Gambar 1. Bagian-bagian angklung
Jika kita amati gambar 1 di atas, ternyata seluruh badan angklung
terbuat dari bambu, kecuali sedikit tali pengikatnya yang terbuat dari rotan.
Sebuah angklung dapat mengeluarkan suara “klung klung” yang merdu ketika
digoyang. Bunyi ini muncul karena tabung resonator besar dan tabung
6
resonator kecil berbeturan dengan tabung dasar. Untuk memainkan angklung,
orang dapat memegang rangka angklung dengan tangan kiri agar angklung
tergantung bebas sementara tangan yang lain memegang tabung dasar dekat
resonator besar.
Untuk membunyikan angklung, secara umum ada tiga cara sebagai
berikut.
Digetarkan panjang selama ketukan nada (dalam istilah permainan
angklung Sunda disebut kurulung).
Dihentakkan sekali untuk satu ketukan nada (dihentakkan atau centok).
Digetarkan sambil menutup salah satu tabung resonator (tengkep).
Sebuah angklung terdiri beberapa tabung bambu (tergantung
fungsinya) yang berbeda ketinggian dan diameternya untuk mencapai
harmoni nada yang diinginkan.
Bentuk angklung tentu saja bermacam-macam ukurannya, tergantung
dari tinggi rendahnya nada yang dihasilkan. Makin rendah nada yang
dihasilkan, maka bentuk angklung akan kian besar. Sebaliknya, kian tinggi
nada angklung yang dihasilkan, maka makin kecil ukuran angklung yang
dibuat. Jumlah tabung resonator pada angklung dapat bervariasi antara 2
tabung, 3 tabung, atau 4 tabung resonator.
Gambar 2 Bentuk angklung yang dikenal saat ini. Gambar di atas memperlihatkan bentuk angklung dengan dua tabung suara, tiga tabung suara, dan empat tabung suara. (Sumber:
http://www.datasunda.org/).
7
Berdasarkan jenisnya, terdapat angklung melodi dan angklung akor.
Sebuah angklung melodi biasanya terdiri dari dua tabung yang menghasilkan
nada terpaut satu oktaf, sementara angklung pengiring (accompagnement)
terdiri dari tiga atau bahkan empat tabung tergantung accord yang dimainkan.
Tabung-tabung tersebut kemudian diikatkan pada rangka batang bambu
untuk membentuk alat musik angklung yang lengkap. Meskipun demikian,
terdapat juga angklung melodi yang menggunakan tiga tabung resonator.
Sedangkan angklung akor dapat terdiri atas tiga tabung resonator atau empat
tabung resonator, tergantung dari jenis akor yang dihasilkan.
Gambar 3. Jenis alat musik angklung berdasarkan fungsinya dalam permainan musik. (Sumber gambar: http://www.kolintang.co.id/angklung/)
Nada yang dihasilkan oleh masing-masing tabung resonator biasanya
berbeda satu oktaf. Misalnya, pada angklung bernada c dengan dua tabung
resonator akan terdapat satu tabung nada c pada oktaf kecil dan satu tabung
nada c pada oktaf strip satu, atau satu oktaf lebih tinggi. Sedangkan pada
angklung melodi dengan tiga tabung resonator akan terdapat dua tabung
resonator bernada yang sama ditambah satu tabung resonator yang bernada
satu oktaf lebih tinggi.
8
Pada angklung akor, jumlah tabung
yang digunakan sangat bergantung kepada
jenis akornya. Pada akor trinada, akan
terdapat tiga tabung resonator. Sedangkan
angklung dengan empat tabung reonator
digunakan untuk akor-akor empat nada pula,
seperti akor-akor dominant seventh, akor
minor seventh, akor major seventh, dan
lainnya.
Meskipun demikian, pada angklung
yang dibuat dalam skala nada pentatonis
Salendro dan Pelog, tidak dikenal jenis
angklung akor seperti yang terdapat pada
angklung diatonis. Nada-nada yang disusun
pada angklung pentatonis salendro dan pelog
merupakan nada-nada pokok dengan nada
yang satu oktaf lebih tinggi. Oleh karena itu, pada angklung bertangga nada
pentatonis Salendro dan Pelog tidak terdapat bentuk angklung dengan tabung
resonator lebih dari tiga buah.
Sebuah angklung hanya menghasilkan satu nada, jadi untuk
memainkan sebuah lagu dibutuhkan beberapa set angklung yang dimainkan
oleh banyak orang. Kurang lebih seperti kelompok paduan suara dalam
membawakan sebuah lagu.
Asal-usul Angklung
Kapankah angklung mulai digunakan oleh masyarakat penggunanya?
Tidak ada catatan atau petunjuk yang dapat dijadikan pegangan kapan alat
musik angklung ini digunakan untuk pertama kalinya. Para ahli menduga
bahwa alat musik angklung telah digunakan oleh masyarakat pra-Hindu di
Jawa Barat.
9
Gambar 4. Dua macam angklung melodi. (Sumber gambar:
http://www.kolintang.co.id/angklung/)
Sejak November 2010, angklung terdaftar sebagai Karya Agung
Warisan Budaya Lisan Nonbendawi Manusia di UNESCO. Pengakuan ini
mengokohkan posisi angklung sebagai salah satu hasil budaya bangsa
Indonesia yang telah berkembang sejak masa lalu.
Memang benar, tidak ada petunjuk pasti yang mengatakan sejak kapan
alat musik angklung digunakan oleh masyarakat Nusantara. Akan tetapi,
diduga bentuk primitifnya telah digunakan dalam kultur Neolitikum yang
berkembang di Nusantara sampai awal penanggalan modern,
sehingga angklung dapat dikatakan merupakan bagian dari relik pra-
Hinduisme dalam kebudayaan Nusantara. Menurut perkiraan Dr. Groneman,
sebelum berkembangnya pengaruh Hindu di Indonesia, angklung sudah
merupakan alat musik yang digemari penduduk (Dr. J. Groneman. “De
Gamelan to Jogjakarta, Letterkundige Vehadelingen der Koninkl, Akademi,
jilid XIX, hal. 4).
Sebagai alat musik pra Hindu, Angklung tidak digambarkan pada candi
Borobudur dan Prambanan, sebagaimana halnya alat musik bambu lainnya
yang sudah berkembang sebelum zaman zaman Hindu di Indonesia,
misalnya alat musik bambu berdawai. Kekawin Arjunawiwaha yang
diperkirakan ditulis sekitar tahun 1040 hanya menyebut jenis alat musik
Sundari (semacam alat musik aerofon yang di Jawa Barat dikenal dengan
sebutan Sondari dan di Bali disebut Sundaren).
Catatan mengenai angklung baru muncul merujuk pada masa Kerajaan
Sunda (abad ke-12 sampai abad ke-16). Asal usul terciptanya musik bambu,
seperti angklung berdasarkan pandangan hidup masyarakat Sunda yang
agraris dengan sumber kehidupan dari padi (Bhs. Sunda: pare) sebagai
makanan pokoknya. Hal ini melahirkan mitos kepercayaan terhadap Nyai Sri
Pohaci sebagai lambang Dewi Padi pemberi kehidupan (Bhs. Sunda: hirup-
hurip). Masyarakat Baduy, yang dianggap sebagai sisa-sisa masyarakat
Sunda asli, menerapkan angklung sebagai bagian dari ritual mengawali
penanaman padi.
10
Perenungan masyarakat Sunda dahulu dalam mengolah pertanian
(tatanen) terutama di sawah dan huma telah melahirkan penciptaan syair dan
lagu sebagai penghormatan dan persembahan terhadap Nyai Sri Pohaci,
serta upaya nyinglar (tolak bala) agar cocok tanam mereka tidak mengundang
malapetaka, baik gangguan hama maupun bencana alam lainnya.
Selanjutnya lagu-lagu persembahan terhadap Dewi Sri tersebut disertai
dengan pengiring bunyi tabuh yang terbuat dari batang-batang bambu yang
dikemas sederhana yang kemudian lahirlah struktur alat musik bambu yang
kita kenal sekarang bernama angklung. Perkembangan selanjutnya dalam
permainan Angklung tradisi disertai pula dengan unsur gerak dan ibing (tari)
yang ritmis (ber-wirahma) dengan pola dan aturan-aturan tertentu sesuai
dengan kebutuhan upacara penghormatan padi pada waktu mengarak padi ke
lumbung (ngampih pare, nginebkeun), juga pada saat-saat mitembeyan,
mengawali menanam padi yang di sebagian tempat di Jawa Barat disebut
ngaseuk. Tradisi penanaman padi seperti ini didasari oleh kepatuhan
masyarakat Sunda masa lalu terhadap ajaran agama leluhurnya, yakni agama
Sunda Wiwitan yang bersumber dari ajaran Galunggung.
Demikian pula pada saat pesta panen dan seren taun dipersembahkan
permainan angklung. Terutama pada penyajian Angklung yang berkaitan
dengan upacara padi, kesenian ini menjadi sebuah pertunjukan yang sifatnya
Arak-arakan atau helaran, bahkan di sebagian tempat menjadi iring-iringan
Rengkong, Dongdang serta Jampana (usungan pangan) dan sebagainya.
Dalam perkembangannya, angklung berkembang dan menyebar ke
seantero Jawa, lalu ke Kalimantan dan Sumatera. Hal ini didasari oleh
hubungan budaya kerajaan Sunda dengan kerajaan-kerajaan lain yang ada di
Nusantara, jauh sebelum berdirinya kerajaan Majapahit.
Jenis Angklung di Jawa Barat dan Sekitarnya
Dalam penyebarannya di Jawa Barat dan sekitarnya, angklung memiliki
perkembangan masing-masing sesuai dengan kondisi daerahnya. Meskipun
11
demikian, fungsi utama alat musik angklung ini tetap sama. Beberapa jenis
angklung yang hidup di Jawa Barat dan sekitarnya adalah sebagai berikut.
1. Angklung Kanekes
Angklung di daerah Kanekes (kita sering menyebut mereka orang Baduy)
digunakan terutama karena hubungannya dengan ritus padi, bukan
semata-mata untuk hiburan orang-orang. Angklung digunakan atau
dibunyikan ketika mereka menanam padi di huma (ladang). Menabuh
angklung ketika menanam padi ada yang hanya dibunyikan bebas
(dikurulungkeun), terutama di Kajeroan (Tangtu; Baduy Jero), dan ada
yang dengan ritmis tertentu, yaitu di Kaluaran (Baduy Luar). Meski
demikian, masih bisa ditampilkan di luar ritus padi tetapi tetap mempunyai
aturan, misalnya hanya boleh ditabuh hingga masa ngubaran pare
(mengobati padi), sekitar tiga bulan dari sejak ditanamnya padi. Setelah
itu, selama enam bulan berikutnya semua kesenian tidak boleh dimainkan,
dan boleh dimainkan lagi pada musim menanam padi berikutnya. Menutup
angklung dilaksanakan dengan acara yang disebut musungkeun angklung,
yaitu nitipkeun (menitipkan, menyimpan) angklung setelah dipakai.
Dalam sajian hiburan, Angklung biasanya diadakan saat terang bulan dan
tidak hujan. Mereka memainkan angklung di buruan (halaman luas di
pedesaan) sambil menyanyikan bermacam-macam lagu, antara lain:
Lutung Kasarung, Yandu Bibi, Yandu Sala, Ceuk Arileu, Oray-orayan,
Dengdang, Yari Gandang, Oyong-oyong Bangkong, Badan Kula,
Kokoloyoran, Ayun-ayunan, Pileuleuyan, Gandrung Manggu, Rujak
Gadung, Mulung Muncang, Giler, Ngaranggeong, Aceukna, Marengo,
Salak Sadapur, Rangda Ngendong, Celementre, Keupat Reundang,
Papacangan, dan Culadi Dengdang. Para penabuh angklung sebanyak
delapan orang dan tiga penabuh bedug ukuran kecil membuat posisi
berdiri sambil berjalan dalam formasi lingkaran. Sementara itu yang
lainnya ada yang ngalage (menari) dengan gerakan tertentu yang telah
baku tetapi sederhana. Semuanya dilakukan hanya oleh laki-laki. Hal ini
berbeda dengan masyarakat Baduy Dalam, mereka dibatasi oleh adat
12
dengan berbagai aturan pamali (pantangan; tabu), tidak boleh melakukan
hal-hal kesenangan duniawi yang berlebihan. Kesenian semata-mata
dilakukan untuk keperluan ritual.
Nama-nama angklung di Kanekes dari yang terbesar adalah: indung,
ringkung, dongdong, gunjing, engklok, indung leutik, torolok, dan roel. Roel
yang terdiri dari 2 buah angklung dipegang oleh seorang. Nama-nama
bedug dari yang terpanjang adalah: bedug, talingtit, dan ketuk.
Penggunaan instrumen bedug terdapat perbedaan, yaitu di kampung-
kampung Kaluaran mereka memakai bedug sebanyak 3 buah. Di
Kajeroan; kampung Cikeusik, hanya menggunakan bedug dan talingtit,
tanpa ketuk. Di Kajeroan, kampung Cibeo, hanya menggunakan bedug,
tanpa talingtit dan ketuk.
Di Kanekes yang berhak membuat angklung adalah orang Kajeroan
(Tangtu; Baduy Jero). Kajeroan terdiri dari 3 kampung, yaitu Cibeo,
Cikartawana, dan Cikeusik. Di ketiga kampung ini tidak semua orang bisa
membuatnya, hanya yang punya keturunan dan berhak saja yang
mengerjakannya di samping adanya syarat-syarat ritual. Orang Kaluaran
membeli dari orang Kajeroan di tiga kampung tersebut.
2. Angklung Dogdog Lojor
Kesenian dogdog lojor terdapat di masyarakat Kasepuhan Pancer
Pangawinan atau kesatuan adat Banten Kidul yang tersebar di sekitar
Gunung Halimun (berbatasan dengan Jakarta, Bogor, dan Lebak).
Meskipun kesenian ini dinamakan dogdog lojor, yaitu nama salah satu
instrumen yang ada di dalamnya, tetapi di sana juga digunakan angklung
karena kaitannya dengan acara ritual padi. Setahun sekali, setelah panen
seluruh masyarakat mengadakan acara Serah Taun atau Seren Taun di
pusat kampung adat. Pusat kampung adat sebagai tempat kediaman
kokolot (sesepuh) tempatnya selalu berpindah-pindah sesuai petunjuk
gaib.
Tradisi penghormatan padi pada masyarakat ini masih dilaksanakan
karena mereka termasuk masyarakat yang masih memegang teguh adat
13
lama. Secara tradisi mereka mengaku sebagai keturunan para pejabat dan
prajurit keraton Pajajaran dalam baresan Pangawinan (prajurit bertombak).
Masyarakat Kasepuhan ini telah menganut agama Islam dan agak terbuka
akan pengaruh modernisasi, serta hal-hal hiburan kesenangan duniawi
bisa dinikmatinya. Sikap ini berpengaruh pula dalam dalam hal fungsi
kesenian yang sejak sekitar tahun 1970-an, dogdog lojor telah mengalami
perkembangan, yaitu digunakan untuk memeriahkan khitanan anak,
perkawinan, dan acara kemeriahan lainnya. Instrumen yang digunakan
dalam kesenian dogdog lojor adalah 2 buah dogdog lojor dan 4 buah
angklung besar. Keempat buah angklung ini mempunyai nama, yang
terbesar dinamakan gonggong, kemudian panembal, kingking, dan inclok.
Tiap instrumen dimainkan oleh seorang, sehingga semuanya berjumlah
enam orang.
Lagu-lagu dogdog lojor di antaranya Bale Agung, Samping Hideung,
Oleng-oleng Papanganten, Si Tunggul Kawung, Adulilang, dan Adu-
aduan. Lagu-lagu ini berupa vokal dengan ritmis dogdog dan angklung
cenderung tetap.
3. Angklung Gubrag
Pada zaman dahulu, Kampung Cipining, Bogor, diancam oleh bencana
kelaparan akibat tanaman padi di ladang-ladang yang tidak tumbuh
dengan baik. Penduduk meyakini bahwa musibah tersebut terjadi akibat
kemarahan Dewi Sri yang sedang murung karena kurang mendapat
hiburan, atau sedang murka kepada penduduk. Penduduk yang juga
meyakini bahwa Dewi Sri bersemayam di angkasa kemudian melakukan
berbagai usaha untuk mengundang kembali Dewi Sri untuk turun ke bumi
dan memberikan berkahnya bagi kesuburan tanaman padi penduduk.
Beberapa usaha dilakukan, di antaranya adalah menyediakan sedekah
sesajian, mengadakan acara-acara kesenian seperti pertunjukan seruling,
pertunjukan karinding, dan lain-lain.
Namun usaha-usaha tersebut tidak membawa hasil. Dewi Sri tetap tidak
berkenan turun ke bumi, dan tanaman padi penduduk tetap tidak tumbuh
14
dengan baik. Akhirnya, tampillah kemudian seorang pemuda yang
bernama Mukhtar. Ia mengajak kawan-kawannya pergi ke Gunung
Cirangsad untuk menebang pohon bambu surat. Bambu tersebut
kemudian dikeringkan dan sambil melakukan mati geni selama empat
puluh hari, Mukhtar mengolah bambu-bambu tersebut menjadi waditra
Angklung. Angklung tersebut lalu disempurnakan dengan ditambahkan
dua buah dog-dog lojor. Ia kemudin mengajarkan permainan Angklung
kepada penduduk dan mengatur suatu upacara bagi Dewi Sri, dengan
mempergunakan kesenian Angklung sebagai media. Ternyata setelah
upacara tersebut, tanaman padi penduduk tumbuh dengan baik, subur,
dan butir-butirnya pun begitu bernas.
Hal itu diyakini sebagai pertanda bahwa Dewi Sri telah menerima upacara
tersebut, dan berkenan turun ke bumi memberikan berkah kesuburannya.
Karena Angklung tersebut ternyata mampu memikat Dewi Sri untuk turun
dari langit (dalam bahasa Sunda Ngagubrag), Angklung tersebut kemudian
dinamakan Angklung Gubrag. Angklung Gubrag dimainkan pada upacara
seren taun, yaitu upacara besar-besaran pada akhir tahun panen. Selain
itu, Angklung Gubrag juga dimainkan pada upacara-upacara hajatan
keluarga, perhelatan hari raya, hari-hari besar nasional, dan acara-acara
lain yang menyangkut dan melibatkan orang banyak.
4. Angklung Badeng
Badeng merupakan jenis kesenian yang menekankan segi musikal dengan
angklung sebagai alat musiknya yang utama. Badeng terdapat di Desa
Sanding, Kecamatan Malangbong, Garut. Dulu berfungsi sebagai hiburan
untuk kepentingan dakwah Islam. Diduga angklung badeng telah
digunakan masyarakat sejak masa sebelum Islam untuk acara-acara yang
berhubungan dengan ritual penanaman padi.
Sebagai seni untuk dakwah badeng dipercaya berkembang sejak Islam
menyebar di daerah ini sekitar abad ke-16 atau 17. Pada masa itu
penduduk Sanding, Arpaen dan Nursaen, belajar agama Islam ke kerajaan
Demak. Setelah pulang dari Demak mereka berdakwah menyebarkan
15
agama Islam. Salah satu sarana penyebaran Islam yang digunakannya
adalah dengan kesenian badeng.
Angklung yang digunakan sebanyak sembilan buah, yaitu 2 angklung roel,
1 angklung kecer, 4 angklung indung dan angklung bapa, 2 angklung
anak; 2 buah dogdog, 2 buah terbang atau gembyung, serta 1 kecrek.
Teksnya menggunakan bahasa Sunda yang bercampur dengan bahasa
Arab. Dalam perkembangannya sekarang digunakan pula bahasa
Indonesia. Isi teks memuat nilai-nilai Islami dan nasihat-nasihat baik, serta
menurut keperluan acara. Dalam pertunjukannya selain menyajikan lagu-
lagu, disajikan pula atraksi kesaktian, seperti mengiris tubuh dengan
senjata tajam.
Lagu-lagu badeng di antaranya: Lailahailelloh, Ya’ti, Kasreng, Yautike,
Lilimbungan, dan Solaloh.
5. Angklung Bungko
Angklung Bungko terdapat di Desa Bungko yang terletak di perbatasan
antara Cirebon dan Indramayu. Angklung Bungko yang pertama dibuat
diyakini telah berusia lebih dari 600 tahun. Walaupun begitu, instrumen
Angklung Bungko pertama masih ada, tersimpan dengan baik, walaupun
sudah tidak bernada lagi. Angklung Bungko pertama ini selalu disertakan
dalam setiap pergelaran kesenian Angklung Bungko sebagai simbol
resminya pergelaran tersebut. Angklung Bungko dilestarikan oleh seorang
tokoh masyrakat bernama Syeh Bentong atau Ki Gede Bungko, setelah
dipergunakan sebagai kesenian yang mengiringi penduduk Desa Bungko
berperang melawan serangan bajak laut. Oleh Ki Gede Bungko, Angklung
Bungko kemudian dipergunakan sebagai kesenian yang mendukung
penyebaran agama Islam.
6. Angklung Buncis
Angklung Buncis dibuat pertama kali oleh Pak Bonce pada tahun 1795 di
Kampung Cipurut, Desa Baros, Arjasari, Bandung. Diceritakan, Pak Bonce
yang sehari-hari bekerja sebagai pembubu ikan di sungai, suatu saat
16
mendapati sungai tempat ia menyimpan bubu meluap dilanda banjir. Banjir
tersebut menghanyutkan beberapa batang bambu yang kemudian ia bawa
pulang dan disimpan di atas tungku. Setelah kering, bambu-bambu
tersebut dipukul-pukul dan ternyata menghasilkan bunyi yang bagus dan
nyaring. Bambu-bambu tersebut kemudian diolah dan dibuat alat musik
Angklung. Angklung tersebut lalu dinamakan Angklung Buncis. Pak Bonce
membuat tujuh set Angklung Buncis yang kemudian dijual kepada Aki
Dartiam. Oleh Aki Dartiam, Angklung-angklung tersebut lalu
dikombinasikan dengan dog-dog dan terompet.
Pada mulanya buncis digunakan pada acara-acara pertanian yang
berhubungan dengan padi. Tetapi pada masa sekarang buncis digunakan
sebagai seni hiburan. Hal ini berhubungan dengan semakin berubahnya
pandangan masyarakat yang mulai kurang mengindahkan hal-hal berbau
kepercayaan lama. Tahun 1940-an dapat dianggap sebagai berakhirnya
fungsi ritual buncis dalam penghormatan padi, karena sejak itu buncis
berubah menjadi pertunjukan hiburan. Sejalan dengan itu tempat-tempat
penyimpanan padi pun (leuit; lumbung) mulai menghilang dari rumah-
rumah penduduk, diganti dengan tempat-tempat karung yang lebih praktis,
dan mudah dibawa ke mana-mana. Padi pun sekarang banyak yang
langsung dijual, tidak disimpan di lumbung. Dengan demikian kesenian
buncis yang tadinya digunakan untuk acara-acara ngunjal (membawa
padi) tidak diperlukan lagi.
Nama kesenian buncis berkaitan dengan sebuah teks lagu yang terkenal
di kalangan rakyat, yaitu cis kacang buncis nyengcle..., dst. Teks tersebut
terdapat dalam kesenian buncis, sehingga kesenian ini dinamakan buncis.
Instrumen yang digunakan dalam kesenian buncis adalah 2 angklung
indung, 2 angklung ambrug, angklung panempas, 2 angklung pancer, 1
angklung enclok. Kemudian 3 buah dogdog, terdiri dari 1 talingtit,
panembal, dan badublag. Dalam perkembangannya kemudian ditambah
dengan tarompet, kecrek, dan goong. Angklung buncis berlaras salendro
dengan lagu vokal bisa berlaras madenda atau degung. Lagu-lagu buncis
17
di antaranya: Badud, Buncis, Renggong, Senggot, Jalantir, Jangjalik, Ela-
ela, Mega Beureum. Sekarang lagu-lagu buncis telah menggunakan pula
lagu-lagu dari gamelan, dengan penyanyi yang tadinya laki-laki pemain
angklung, kini oleh wanita khusus untuk menyanyi.
7. Angklung Padaeng
Angklung padaeng adalah penamaan bagi bentuk angklung yang
dimodernisasi oleh Daeng Soetigna, seorang guru dari Kuningan, Jawa
Barat. Jenis angklung ini tidak lagi menggunakan tangga nada pentatonis
salendro dan pelog, tetapi menggunakan tangga nada diatonis barat. Alat
musik angklung tradisional yang sederhana dan dalam jumlah terbatas
telah diubah menjadi alat musik yang kompleks dengan jumlah yang
banyak. Tangga nada yang dimainkan pun dapat mencapai wilayah yang
lebih luas. Penggunaan skala nada yang luas ini memungkinkan alat
musik ini menjangkau repertoar-repertoar lagu populer, tidak saja yang
terdapat dalam khasanah musik nasional, tetapi juga musik Barat lainnya.
Daeng Soetigna, seorang guru Hollandsch Inlandsche School (HIS) di
Kabupaten Kuningan, Jawa Barat, dinilai telah berhasil dengan baik
menempatkan kembali kedudukan angklung di tengah-tengah masyarakat
dengan melakukan modernisasi alat musik Angklung.
Sesuai dengan teori musik, angklung padaeng secara khusus dibuat
menjadi dua jenis besar yakni:
Angklung melodi, adalah angklung yang secara fisik terdiri atas dua
tabung suara dengan beda nada 1 oktaf. Pada satu unit angklung,
umumnya ada:
o Angklung melodi kecil, terdiri atas 31 angklung.
o Angklung melodi besar, atau disebut juga bass-party, terdiri atas
11 angklung.
Angklung akompanimen (accompagnement), adalah angklung yang
digunakan sebagai pengiring untuk memainkan nada-nada harmoni.
Tabung suaranya ada 3 atau 4, sesuai dengan Akord diatonis. Suatu
unit angklung standar biasanya memiliki:
18
o Angklung akompanimen mayor sekaligus akord dominan septim,
terdiri atas 12 buah angklung
o Angklung akompanimen minor, terdiri atas 12 buah angklung
Pak Daeng menggunakan angklung ciptaannya untuk melatih anak-anak
pandu (pramuka jaman dulu). Tidak heran kalau lagu-lagu yang dimainkan
mereka saat itu umumnya lagu-lagu wajib nasional. Beberapa peninggalan
aransemen asli Daeng Soetigna di antaranya "Satu Nusa Satu Bangsa",
"Ibu Kita Kartini", atau "Wajib Belajar".
Selain jenis-jenis Angklung tersebut, masih banyak lagi jenis-jenis
Angklung lain yang tersebar di hampir seluruh pelosok daerah Jawa Barat.
Tercatat ada Angklung Jinjing yang kerap dimainkan dalam acara-acara
hiburan, ada kesenian Angklung tanpa vokal di daerah Kanekes, kesenian
Angklung dengan lirik berupa susualan di daerah Panamping, kesenian
Angklung Sered di daerah Tasikmalaya yang berupa perlombaan memainkan
waditra Angklung bagi anak-anak, dan lain-lain.
Salah satu usaha pelestarian dan pengembangan kesenian Angklung
tradisional telah dilakukan oleh Udjo Ngalagena melalui program pelatihan
kesenian Angklung tradisional di sanggar seni Saung Angklungnya, di mana
tiap-tiap peserta pelatihan diharuskan mempelajari dan menguasai dulu
Angklung tradisional sebelum melangkah ke pelatihan Angklung modern atau
kesenian Sunda lainnya yang telah dimodifikasi.
19