BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Di Indonesia masih banyak penyakit yang merupakan masalah
kesehatan, salah satu diantaranya ialah cacing perut yang ditularkan melalui
tanah. Cacingan ini dapat mengakibatkan menurunnya kondisi kesehatan,
gizi, kecerdasan dan produktifitas penderitanya sehingga secara ekonomi
banyak menyebabkan kerugian, karena menyebabkan kehilangan
karbohidrat dan protein serta kehilangan darah, sehingga menurunkan
kualitas sumber daya manusia. Prevalensi Cacingan di Indonesia pada
umumnya masih sangat tinggi, terutama pada golongan penduduk yang
kurang mampu mempunyai risiko tinggi terjangkit penyakit ini (Menkes,
2006).
Lima spesies cacing yang termasuk dalam kelompok Soil
Transmitted Helminth yang masih menjadi masalah kesehatan, yaitu Ascaris
lumbricoides, Trichuris trichiura, Strongyloides stercoralis dan cacing
tambang (Necator americanus dan Ancylostoma sp). Infeksi cacing tambang
masih merupakan masalah kesehatan di Indonesia, karena menyebabkan
anemia defisiensi besi dan hipoproteinemia (Onggowaluyo, 2001 cit
Sumanto, 2010).
Penyakit cacing tambang disebabkan oleh cacing Necator
americanus, Ancylostoma duodenale, dan jarang disebabkan oleh
Ancylostoma braziliensis, Ancylostoma caninum, Ancylostoma malayanum.
Penyakitnya disebut juga ankilostomiasis, nekatoriasis, unseriasis (Pohan,
2009).
Di dunia saat ini, lebih dari 2 milyar penduduk terinfeksi cacing.
Prevalensi yang tinggi ditemukan terutama di negara-negara non industri
(negara yang sedang berkembang).Merid mengatakan bahwa menurut
World Health Organization (WHO) diperkirakan 800 juta–1 milyar
penduduk terinfeksi Ascaris, 700–900 juta terinfeksi cacing tambang, 500
juta terinfeksi trichuris. Di Indonesia penyakit cacing merupakan masalah
1
kesehatan masyarakat terbanyak setelah malnutrisi. Prevalensi dan intensitas
tertinggi didapatkan dikalangan anak usia sekolah dasar. Di Sumatera Utara
yang meliputi daerah tingkat dua Binjai, Tebing Tinggi, Simalungun,
Pematang Siantar, Tanjung Balai, Sibolga dan Medan menurut hasil
penelitian pada tahun 1995 menunjukkan tingkat prevalensi berkisar 57–
90% (Ginting, 2003).
Infeksi cacing tambang juga berhubungan dengan kemiskinan.
Menurut Peter Hotez (2008), semakin parah tingkat kemiskinan masyarakat
akan semakin berpeluang untuk mengalami infeksi cacing tambang. Hal ini
dikaitkan dengan kemampuan dalam menjaga higiene perorangan dan
sanitasi lingkungan tempat tinggal (Hotez, 2008 cit Sumanto, 2010).
B. Tujuan
Penulisan ini bertujuan untuk memberikan informasi kepada tenaga
medis dan dokter mengenai penyakit ankilostomiasis sehingga dalam
penegakan diagnosis bisa terdiagnosa secara cepat dan tepat serta
mendapatkan penanganan yang lebih baik, efektif dan efisien dan mencegah
komplikasi lebih lanjut.
2
BAB II
LAPORAN KASUS
IDENTITAS
Nama : Tn. E
Umur : 38 tahun
Jenis Kelamin : Laki-laki
Agama : Islam
Status perkawinan : Belum menikah
Alamat : Kutu 2/8 Telukan, Grogol, Sukoharjo
No RM : 190875
Masuk Rumah Sakit : 12 Mei 2012
Jam : 14:23 WIB
Tanggal pemeriksaan : 15 Mei 2012
ANAMNESA
Alloanamnesa Tn. D (Petugas panti sosial)
Keluhan Utama :
BAB Cair.
Riwayat Penyakit Sekarang :
Pasien datang ke IGD RSUD Sukoharjo pada tanggal 12 Mei 2012 jam 14.23
WIB dengan keluhan BAB cair sejak 4 hari yang lalu. BAB lebih dari 10 kali
sehari. Tidak disertai darah dan lendir. BAK normal.
Riwayat Penyakit Dahulu :
Riwayat penyakit serupa disangkal.
Riwayat diabetes mellitus disangkal.
Riwayat hipertensi disangkal.
Riwayat alergi obat/makanan disangkal
Riwayat penyakit keluarga :
Sulit dievaluasi karena pasien tinggal di panti sosial.
3
Riwayat Lingkungan Sosial :
- Pasien adalah seorang bujangan.
- Pasien tinggal bersama teman-temannya di panti sosial.
PEMERIKSAAN FISIK
Status generalis :
Keadaan umum cukup (lemas), kesadaran compos mentis.
Vital Sign : TD = 100/70 mmHg, Suhu = 36,5ºC, Nadi = 72x/menit, Respirasi
= 20x/menit.
Mata : conjunctiva anemis tidak didapatkan, sklera tidak ikterik, reflek
cahaya positif.
Leher : pembesaran kelenjar getah bening tidak didapatkan, peningkatan
tekanan vena jugularis tidak ada.
Thorax : Inspeksi dinding dada simetris kanan dan kiri, ketinggalan
gerak (-), retraksi (-)
Palpasi cor : ictus cordis di SIC V linea midclavicularis sinistra
pulmo : fremitus (+), simetris kanan kiri, ketinggalan gerak (-)
Perkusi cor : batas atas jantung SIC III linea parasternalis
sinistra, batas jantung bawah SIC V linea midclavicularis sinistra
pulmo : sonor diseluruh lapang paru
Auskultasi cor : suara jantung S1-S2 tunggal reguler, kesan
normal, pulmo : suara dasar vesikuler (+/+), suara tambahan (-/-)
Abdomen : Inspeksi sikatrik (-), dinding perut lebih tinggi dari
dinding dada
Auskultasi peristaltik (+)
Palpasi nyeri tekan epigastrium (-), hepatomegali (-),
splenomegali (-) turgor elastisitas kulit normal
Perkusi timpani di keempat kuadran, nyeri ketok
kostovertebral (-)
Extremitas : tidak ditemukan oedema.
4
PEMERIKSAAN PENUNJANG
Hasil pemeriksaan laboratorium tanggal 12 Mei 2012:
WBC 8500/µL, RBC 3,43.106/ µL, Hemoglobin 10,1 g/dL, HCT 28,4 %, MCV
82,8 fL, MCH 29,4 Pg, MCHC 35,6 g/dL, PLT 255. 103/ µL. Creatinine 1,37
mg/dl. Glukosa Darah 141,90 mg/dl. SGOT 32,05 U/I. SGPT 28,12 U/I. Urea
78,21 mg/dl. Golongan darah: O. HbsAg(-).
Hasil pemeriksaan feses tanggal 14 Mei 2012:
Ditemukan telur Anchylostoma duodenale.
DIAGNOSIS
Ankilostomiasis.
TERAPI
Infus RL 20 tpm
Inj. Cefazolin 1 gr/12 jam
Inj. Ranitidin 1 Amp/12 jam
Inj. Ondancentron K/P
Inj. Metronidazole 500 mg/12 jam
Pamol K/P
Pirantel Pamoat 1x1 tab.
FOLLOW-UP
Tanggal 13 Mei 2012
S: Pasien sulit diajak komunikasi. Diare(+) BAK(+) makan(+) minum(+)
O: TD: 80/50 mm/Hg, N: 80x/menit, T: 360C
Kepala : CA -/-, SI -/-
Thorax : Cor Bj 1-2 reguler, bising (-)
Pulmo SDV +/+, ronkhi -/-, wheezing -/-
Abdomen : peristaltik (+) , Nyeri tekan (-)
Extremitas : Akral dingin(+)
A : Gastroenteritis Akut
5
Terapi:
RL guyur 1 flabot
Ranitidin 1 Amp/12 jam
Cefazolin 1 Amp/12 jam
Ondancentron 1 Amp/8 jam
Pamol K/P
Diagit 3x1
Tanggal 14 Mei 2012
S: pasien sulit diajak komunikasi (ngelantur), diare berkurang, mencret sedikit,
ada ampas. BAK(+) makan(+) minum(+)
O: TD: 80/50 mm/Hg, N: 100x/menit, T: 360C
Kepala : CA -/-, SI -/-
Thorax : Cor Bj 1-2 reguler, bising (-)
Pulmo SDV +/+, ronkhi -/-, wheezing -/-
Abdomen : peristaltik (+) , Nyeri tekan (-)
Extremitas : Akral hangat. Oedema (-)
A : Gastroenteritis Akut
Terapi:
RL guyur 1-2 flabot 40 tpm
Ranitidin 1 Amp/12 jam
Cefazolin 1 Amp/12 jam
Ondancentron 1 Amp/8 jam
Pamol K/P
Diagit 3x1
Evaluasi TD/ 6 jam
Tanggal 15 Mei 2012:
S: Diare(+) sedikit, ampas(+), mual(-), muntah(-), pusing(-), sulit tidur(+).
O: TD: 70/50 mm/Hg, N: 100x/menit, T: 360C
Kepala : CA -/-, SI -/-
6
Thorax : Cor Bj 1-2 reguler, bising (-)
Pulmo SDV +/+, ronkhi -/-, wheezing -/-
Abdomen : peristaltik (+) , Nyeri tekan (-)
Extremitas : Akral hangat. Oedema (-)
Pemeriksaan feses ditemukan telur cacing (Anchylostoma duodenale)
A : Ankilostomiasis
Terapi:
RL guyur 1-2 flabot 40-50 tpm
Ranitidin 1 Amp/12 jam
Cefazolin 1 Amp/12 jam
Ondancentron 1 Amp/8 jam
Metronidazole 500mg/12 jam
Pamol K/P
Diagit 3x1
Pirantel pamoat 1x1
Evaluasi TD/ 6 jam
Tanggal 16 Mei 2012
S: Diare(+) sedikit, ampas(+), mual(-), muntah(-), pusing(-), makan(+), minum(+)
O: TD: 80/40 mm/Hg, N: 80x/menit, T: 360C
Kepala : CA -/-, SI -/-
Thorax : Cor Bj 1-2 reguler, bising (-)
Pulmo SDV +/+, ronkhi -/-, wheezing -/-
Abdomen : peristaltik (+) , Nyeri tekan (-)
Extremitas : Akral hangat. Oedema (-)
A : Ankilostomiasis
Terapi:
RL guyur 1-2 flabot 40-50 tpm
Ranitidin 1 Amp/12 jam
Cefazolin 1 Amp/12 jam
7
Ondancentron 1 Amp/8 jam
Metronidazole 500mg/12 jam
Pamol K/P
Diagit 3x1
Pirantel pamoat 1x1
Evaluasi TD/ 6 jam
Tanggal 17 Mei 2012
S: Diare(+) sedikit, ampas(+), mual(-), muntah(-), pusing(-), makan(+), minum(+)
O: TD: 100/55 mm/Hg, N: 88x/menit, T: 360C
Kepala : CA +/+, SI -/-
Thorax : Cor Bj 1-2 reguler, bising (-)
Pulmo SDV +/+, ronkhi -/-, wheezing -/-
Abdomen : peristaltik (+) , Nyeri tekan (-)
Extremitas : Akral hangat. Oedema (-)
Hasil pemeriksaan lab. Tanggal 17 Mei 2012 jam 14:50: Hemoglobin 8,5 g/dl
A : Ankilostomiasis dengan Anemia
Terapi:
Transfusi PRC 2 kolf.
RL guyur 1-2 flabot 40-50 tpm
Ranitidin 1 Amp/12 jam
Cefazolin 1 Amp/12 jam
Ondancentron 1 Amp/8 jam
Metronidazole 500mg/12 jam
Pamol K/P
Diagit 3x1
Pirantel pamoat 1x1
Tanggal 18 Mei 2012
S: Diare(-), kadang sesak nafas(+), mual(-), muntah(-), pusing(-), makan(+),
minum(+)
O: TD: 90/60 mm/Hg, N: 80x/menit, T: 360C, Rr: 20x/menit
8
Kepala : CA +/+, SI -/-
Thorax : Cor Bj 1-2 reguler, bising (-)
Pulmo SDV +/+, ronkhi -/-, wheezing -/-
Abdomen : peristaltik (+) , Nyeri tekan (-)
Extremitas : Akral hangat. Oedema (-)
A : Ankilostomiasis dengan anemia
Terapi:
RL 30 tpm
Ranitidin 1 Amp/12 jam
Ondancentron 1 Amp/8 jam
Metronidazole 500mg/12 jam
Pamol K/P
Pirantel pamoat 1x1
Tanggal 19 Mei 2012
S: Diare(-), mual(-), muntah(-), pusing(-), makan(+), minum(+)
O: TD: 90/50 mm/Hg, N: 78x/menit, T: 36,70C, Rr: 20x/menit
Kepala : CA +/+, SI -/-
Thorax : Cor Bj 1-2 reguler, bising (-)
Pulmo SDV +/+, ronkhi -/-, wheezing -/-
Abdomen : peristaltik (+) , Nyeri tekan (-)
Extremitas : Akral hangat. Oedema (+/+)
A : Obs. Ankilostomiasis dengan anemia
Terapi:
RL 30 tpm
Ranitidin 1 Amp/12 jam
Ondancentron 1 Amp/8 jam
Metronidazole 500mg/12 jam
Pamol K/P
Pirantel pamoat 1x1
9
Tanggal 20 Mei 2012
S: Diare(-),mual(-), muntah(-), BAK(+), makan(+), minum(+)
O: TD: 120/70 mm/Hg, N: 87x/menit, T: 36,20C
Kepala : CA +/+, SI -/-
Thorax : Cor Bj 1-2 reguler, bising (-)
Pulmo SDV +/+, ronkhi -/-, wheezing -/-
Abdomen : peristaltik (+) , Nyeri tekan (-)
Extremitas : Akral hangat. Oedema (+/+,+/+)
A : Obs. Ankilostomiasis dengan anemia
Terapi:
RL 30 tpm
Ranitidin 1 Amp/12 jam
Ondancentron 1 Amp/8 jam
Metronidazole 500mg/12 jam
Pamol K/P
Pirantel pamoat 1x1
Tanggal 21 Mei 2012
S: BAB (+) Normal, mual(-), muntah(-), pusing(-), makan(+), minum(+)
O: TD: 110/70 mm/Hg, N: 78x/menit, T: 36,90C
Kepala : CA +/+, SI -/-
Thorax : Cor Bj 1-2 reguler, bising (-)
Pulmo SDV +/+, ronkhi -/-, wheezing -/-
Abdomen : peristaltik (+) , Nyeri tekan (-)
Extremitas : Akral hangat. Oedema (-)
A : Obs. Ankilostomiasis
Terapi:
Diagit K/P
Cefadroxil 2x500mg
Omeprazole 1x1
10
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
A. Ankilostomiasis
1. Definisi
Ankilostomiasis adalah penyakit yang disebabkan oleh infestasi
cacing tambang yaitu Ancylostoma duodenale, ditandai dengan nyeri
pencernaan, diare, dan anemia progresif. Disebut juga tunnel diseases,
uncinariasis (Farlex, 2012).
2. Etiologi
Ancylostoma duodenale.
Gambar 1. Ancylostoma duodenale (KMLE, 2012)
Daur hidup Ancylostoma duodenale:
Telur larva rabditiform larva filariform menembus kulit kapiler
darah jantung kanan paru bronkus trakea laring usus halus
(Margono, 2006).
3. Patofisiologi
Telur dihasilkan oleh cacing betina dan keluar memalui tinja. Bila
telur tersebut jatuh ke tembat yang hangat, lembab dan basah, maka telur
11
akan berubah menjadi larva yang infektif. Dan jika larva tersebut kontak
dengan kulit, bermigrasi sampai ke paru-paru dan kemudian turun ke usus
halus; di sini larva berkembang menjadi cacing dewasa (Pohan, 2009). Infeksi
terjadi jika larva filariform menembus kulit. Infeksi A.duodenale juga
mungkin dengan menelan larva filariform (Margono, 2006).
4. Gejala Klinis
Stadium larva:
Bila banyak larva filariform sekaligus menembus kulit, maka
terjadi perubahan kulit yang disebut grown itch. Perubahan pada paru
biasanya ringan.
Stadium dewasa:
Gejala tergantung pada spesies, jumlah cacing, dan keadaan gizi
penderita (Fe dan Protein). Tiap cacing A.duodenale menyebabkan
kehilangan darah sebanyak 0,08-0,34 cc sehari. Biasanya terjadi anemia
hipokrom mikrositer. Disamping itu juga terdapat eosinofilia. Bukti
adanya toksin yang menyebabkan anemia belum ada. Biasanya tidak
menyebabkan kematian, tetapi daya tahan berkurang dan prestasi kerja
menurun (Margono, 2006).
Rasa tidak enak pada perut, kembung, sering mengeluarkan gas
(flatus), mencret-mencret merupakan gejala iritasi cacing terhadap usus
halus yang terjadi lebih kurang dua minggu setelah larva mengadakan
penetrasi ke dalam kulit. Anemia akan terjadi 10-20 minggu setelah
infestasi cacing dan walaupun diperlukan lebih dari 500 cacing dewasa
untuk menimbulkan anemia tersebut tentunya tergantung pada keadaan
gizi pasien (Pohan, 2009).
5. Diagnosis
Untuk kepentingan diagnosis infeksi cacing tambang
dapat dilakukan secara klinis dan epidemiologis. Secara
klinis dengan mengamati gejala klinis yang terjadi pada
penderita sementara secara epidemiologis didasarkan atas
berbagai catatan dan informasi terkait dengan kejadian
12
infeksi pada area yang sama dengan tempat tinggal
penderita periode sebelumnya. Pemeriksaan penunjang
saat awal infeksi (fase migrasi larva) mendapatkan: a)
eosinofilia (1.000-4.000 sel/ml), b) feses normal, c) infiltrat
patchy pada foto toraks dan d) peningkatan kadar IgE.
Pemeriksaan feses basah dengan fiksasi formalin 10%
dilakukan secara langsung dengan mikroskop cahaya.
Pemeriksaan ini tidak dapat membedakan N. Americanus dan
A. duodenale. Pemeriksaan yang dapat membedakan kedua
spesies ini ialah dengan faecal smear pada filter paper strip
Harada-Mori. Kadang-kadang perlu dibedakan secara
mikroskopis antara infeksi larva rhabditiform (L2) cacing
tambang dengan larva cacing strongyloides stercoralis
(Montessor, 2004 cit Sumanto, 2010).
Diagnosis pasti penyakit ini adalah dengan ditemukannya telur
cacing tambang di dalam tinja pasien. Selain tinja, larva juga bisa
ditemukan dalam sputum. Kadang-kadang terdapat darah dalam tinja
(Pohan, 2009).
6. Ankilostomiasis dan Anemia
Anemia adalah kelainan darah yang paling sering terjadi dimana
kadar hemoglobin di dalam darah mengalami penurunan hingga di bawah
kisaran nilai normal menurut usia dan jenis kelamin. Pada anemia, jumlah
eritrosit (sel-sel darah merah) juga mengalami penurunan. Hemoglobin
merupakan komponen sel darah merah yang bertugas mengangkut oksigen
dari paru-paru ke jaringan tubuh. Komponen penting dari hemoglobin
adalah zat besi. Karena itu kurangnya konsumsi makanan yang
mengandung zat besi mengakibatkan rendahnya kadar hemoglobin
(MIMS, 2010).
Cacing tambang memiliki alat pengait seperti gunting
yang membantu melekatkan dirinya pada mukosa dan
submukosa jaringan intestinal. Setelah terjadi pelekatan, 13
otot esofagus cacing menyebabkan tekanan negatif yang
menyedot gumpalan jaringan intestinal ke dalam kapsul
bukal cacing. Akibat kaitan ini terjadi ruptur kapiler dan
arteriol yang menyebabkan perdarahan. Pelepasan enzim
hidrolitik oleh cacing tambang akan memperberat
kerusakan pembuluh darah. Hal itu ditambah lagi dengan
sekresi berbagai antikoagulan termasuk diantaranya
inhibitor faktor VIIa (tissue inhibitory factor). Cacing ini
kemudian mencerna sebagian darah yang dihisapnya
dengan bantuan enzim hemoglobinase, sedangkan
sebagian lagi dari darah tersebut akan keluar melalui
saluran cerna. Terjadinya anemia defisiensi besi pada
infeksi cacing tambang tergantung pada status besi tubuh
dan gizi pejamu, beratnya infeksi (jumlah cacing dalam
usus penderita), serta spesies cacing tambang dalam usus.
Infeksi A. duodenale menyebabkan perdarahan yang lebih
banyak dibandingkan N. americanus (Keshavarz, 2000).
Pada daerah-daerah tertentu anemia gizi diperberat keadaannya
oleh investasi cacing. terutama oleh cacing tambang. Cacing tambang
menempel pada dinding usus dan memakan darah. Akibat gigitan sebagian
darah hilang dan dikeluarkan dari dalam badan bersama tinja. Jumlah
cacing yang sedikit belum menunjukkan gejala klinis tetapi bila dalam
jumlah yang banyak yaitu lebih dari 1000 ekor maka. orang yang
bersangkutan dapat menjadi anemia (Husaini, 1989 cit Rasmaliah, 2004).
7. Penatalaksanaan
Perawatan umum dilakukan dengan memberikan nutrisi yang baik;
suplemen preparat besi diperlukan oleh pasien dengan gejala klinis yang
berat, terutama bila ditemukan bersama-sama dengan anemia (Pohan,
2009). Obat untuk infeksi cacing tambang adalah Pyrantel pamoate
(Combantrin, Pyrantin), Mebendazole (Vermox, Vermona, Vircid),
Albendazole (Menkes, 2006).14
B. Anemia
1. Definisi
2. Etiologi
3. Manifestasi Klinis
4. Klasifikasi
5. Patofisiologi
6. Penatalaksanaan
C. Syok Hipovolemik
BAB IV
PEMBAHASAN
Pada pasien ini didiagnosa ankilostomiasis. Penegakan diagnosa ini
berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang sebagai
berikut ini.
15
Dari hasil anamnesis riwayat penyakit sekarang didapatkan keluhan BAB
cair lebih dari 10 kali sehari, hari ini baru 1 kali, BAK normal, pusing (-).
Dari pemeriksaan fisik pada pasien, didapatkan beberapa tanda klinis,
antara lain :
Pemeriksaan mata : konjungtiva anemis.
Hasil pemeriksaan tinja pada tanggal 17 Mei 2012 didapatkan telur cacing
Anchylostoma duodenale.
Terapi yang diberikan pada pasien berupa:
1. Infus RL 40 tpm
Ditujukan untuk menggantikan kehilangan akut cairan tubuh dan
memudahkan dalan pemberian terapi obat-obat parenteral.
2. Transfusi PRC 3 kolf
Transfusi PRC diberikan untuk meningkatkan jumlah sel darah merah
pada pasien yang menunjukkan gelaja anemia yang hanya memerlukan sel
darah merah pembawa oksigen.
3. Cefazolin 1 gr/12 jam
Antibiotik golongan sefalosporin, untuk infeksi ringan bakteri kokus gram
+.
4. Ranitidin 1 Amp/12 jam
Pada pasien ini diberikan obat golongan antihistamin, antagonis reseptor
H2 sebab obat ini bekerja dengan cara memblok efek histamin pada sel
parietal sehingga sel parietal tidak dapat dirangsang untuk mengeluarkan
asam lambung sehingga dapat mengurangi keluhan perut dan mencegah
stress ulcer pada pasien ini.
5. Ondancentron K/P
Antiemetik, untuk mencegah mual muntah.
6. Metronidazole 500 mg/12 jam
Antibakteri dan antiprotozoa sintetik derivat nitroimidazoi yang mempunyai
aktifitas bakterisid, amebisid dan trikomonosid. Dalam sel atau mikroorganisme
metronidazole mengalami reduksi menjadi produk polar. Hasil reduksi ini
16
mempunyai aksi antibakteri dengan jalan menghambat sintesa asam nukleat.
Metronidazole efektif terhadap Trichomonas vaginalis, Entamoeba histolytica,
Gierdia lamblia. Metronidazole bekerja efektif baik lokal maupun sistemik.
7. Pamol K/P
Analgetik, antipiretik. Untuk meredakan nyeri dan demam.
8. Pirantel Pamoat 1x1 tab.
Antelmintik. Indikasi untuk enterobiasis, askariasis, ankilostomiasis,
trichostrongiliasis, nekatoriasis.
BAB V
KESIMPULAN
Telah dilaporkan pasien laki-laki usia 38 tahun dengan keluhan BAB cair
lebih dari 10 kali sehari.
17
Pada pemeriksaan fisik pasien ini didapatkan keadaan cukup. Conjunctiva
anemis didapatkan pada kedua mata.
Hasil pemeriksaan tinja tanggal 17 Mei 2012 didapatkan telur cacing
Anchylostoma duodenale.
Terapi pada pasien ini hanya bersifat kausatif dengan menangani
penyebab. Pada pasien ini telah dilakukan penanganan terapi kausatif yang
maksimal, dan dalam evaluasinya pasien memberikan perkembangan yang baik.
DAFTAR PUSTAKA
Farlex. 2012. Anchilostomiasis. The Free Dictionary.
http://medical-dictionary.thefreedictionary.com (Diakses tanggal 26 Mei
2012)
18
Ginting, S.A., 2003. Hubungan Antara Status Sosial Ekonomi Dengan Kejadian
Kecacingan Pada Anak Sekolah Dasar di Desa Suka Kecamatan Tiga
Panah, Kabupaten Karo, Propinsi Sumatera Utara. Bagian Ilmu Kesehatan
Anak, Fakultas Kedokteran: Universitas Sumatera Utara. USU Digital
Library.
Keshavarz, R. 2000. Hookworm Infections. www.eMedichine.com (Diakses
tanggal 27 Mei 2012)
KMLE, 2012. Ancylostomiasis infection. http://www.kmle.co.kr (Diakses tanggal
26 Mei 2012)
Margono, S.S., 2012. Epidemiologi Soil Transmitted Helmints dalam Srisasi G.,
Herry D.I., Wita P editors Parasitologi Kedokteran. Jakarta: Gaya Baru
MIMS, 2010. MIMS Indonesia Petunjuk Konsultasi. Singapore: UBM Medica
Asia Pte Ltd. Hal: A08
Menkes, 2006. Pedoman Pengendalian Cacingan. Keputusan Menteri Kesehatan
No: 424/MENKES/SK/VI/2006.
Pohan, H.T., 2009. Penyakit Cacing yang Ditularkan Melalui Tanah. Dalam Aru
W.S., Bambang S., Idrus A., Marcellus S.K., Siti S. Buku Ajar Ilmu
Penyakit Dalam Edisi Kelima. Jakarta: Interna Publishing. Hal: 2940-2941
Rasmaliah, 2004. Anemia Kurang Besi Dalam Hubungannya Dengan Infeksi
Cacing Pada Ibu Hamil. Fakultas Kesehatan Masyarakat: Universitas
Sumatra Utara. USU Digital Library.
Sumanto, D., 2010. Faktor Resiko Infeksi Cacing Tambang Pada Anak Sekolah.
Tesis Program Studi Magister Epidemiologi Paska Sarjana Universitas
Diponegoro: Semarang
19