APLIKASI TEKNOLOGI STERILISASI MENGGUNAKAN
DIELECTRIC BARRIER DISCHARGE (DBD) PLASMA
TERHADAP KUALITAS TELUR AYAM RAS (Gallus gallus
domesticus)
Oleh :
HILDA PUTRI HAYUNINGSIH
135100601111041
Tugas Akhir Berupa Karya Ilmiah Kompetitif
(Program Kreatifitas Mahasiswa – Karsa Cipta)
JURUSAN KETEKNIKAN PERTANIAN
FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
MALANG
2017
i
APLIKASI TEKNOLOGI STERILISASI MENGGUNAKAN
DIELECTRIC BARRIER DISCHARGE (DBD) PLASMA
TERHADAP KUALITAS TELUR AYAM RAS (Gallus gallus
domesticus)
Oleh :
HILDA PUTRI HAYUNINGSIH
135100601111041
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh
gelar Sarjana Teknologi Pertanian
JURUSAN KETEKNIKAN PERTANIAN
FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
MALANG
2017
ii
LEMBAR PERSETUJUAN
Judul Tugas Akhir :Aplikasi Teknologi Sterilisasi
Menggunakan Dielectric Barrier
Discharge (DBD) Plasma terhadap
Kualitas Telur Ayam Ras (Gallus
gallus domesticus)
Nama Mahasiswa : Hilda Putri Hayuningsih
NIM : 135100601111041
Jurusan : Keteknikan Pertanian
Prodi : Teknologi Bioproses
Fakultas : Teknologi Pertanian
Pembimbing Pertama, Pembimbing Kedua,
Dr. Ir. Anang Lastriyanto, M.Si Endrika Widyastuti, S.Pt, MP, M.Sc
NIP. 19621004 199002 1 001 NIP. 19850925 201212 2 002
Tanggal Persetujuan : Tanggal Persetujuan:
iii
LEMBAR PENGESAHAN
Judul Tugas Akhir :Aplikasi Teknologi Sterilisasi
Menggunakan Dielectric Barrier
Discharge (DBD) Plasma terhadap
Kualitas Telur Ayam Ras (Gallus
gallus domesticus)
Nama Mahasiswa : Hilda Putri Hayuningsih
NIM : 135100601111041
Jurusan : Keteknikan Pertanian
Prodi : Teknologi Bioproses
Fakultas : Teknologi Pertanian
Pembimbing Pertama, Pembimbing Kedua,
Dr. Ir. Anang Lastriyanto, M.Si Endrika Widyastuti, S.Pt, MP, M.Sc
NIP. 19621004 199002 1 001 NIP. 19850925 201212 2 002
Plt. Ketua Jurusan
Dr. Eng Evi Kurniati. STP. MT
NIP. 19760415 199903 2 001
Tanggal Lulus TA :
iv
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Pasuruan pada
tanggal 5 Februari 1995 dari ayah yang
bernama Muhammad Ghozali dan Ibu
Mulya Saroh. Penulis menyelesaikan
pendidikan Sekolah Dasar di SDN Ledug
1 pada tahun 2007, kemudian
melanjutkan ke Sekolah Menengah
Tingkat Pertama di SMPN I Prigen
dengan tahun kelulusan 2010, dan
menyelesaikan Sekolah Menengah
Umum di SMAN 1 Pandaan pada tahun
2013.
Pada tahun 2017 penulis telah berhasil menyelesaikan
pendidikannya di Universitas Brawijaya Malang di Jurusan
Keteknikan Pertanian Fakultas Teknologi Pertanian. Pada
masa pendidikannya, penulis pernah menjadi finalis PIMNAS
30 di UMI Makassar.
v
PERNYATAAN KEASLIAN TUGAS AKHIR
Yang bertanda tangan di bawah ini :
Nama : Hilda Putri Hayuningsih
NIM : 135100601111041
Jurusan : Keteknikan Pertanian
Fakultas : Teknologi Pertanian
Judul TA : Aplikasi Teknologi Sterilisasi Menggunakan
Dielectric Barrier Discharge (DBD) Plasma
terhadap Kualitas Telur Ayam Ras (Gallus
gallus domesticus)
Menyatakan bahwa,
TA dengan judul di atas merupakan karya asli penulis tersebut
di atas. Apabila di kemudian hari terbukti pernyataan ini tidak
benar saya bersedia dituntut sesuai hukum yang berlaku.
Malang, 22 September 2017
Pembuat Pernyataan,
Hilda Putri Hayuningsih
NIM 135100601111041
vi
HILDA PUTRI HAYUNINGSIH. 135100601111041. Aplikasi Teknologi Sterilisasi Menggunakan Dielectric Barrier Discharge (DBD) Plasma terhadap Kualitas Telur Ayam Ras (Gallus gallus domesticus) . TA. Pembimbing I: Dr. Ir. Anang Lastriyanto, M.Si. Pembimbing II: Endrika Widyastuti, S.Pt, MP, M.Sc
RINGKASAN
Telur merupakan salah satu makanan yang mengandung
gizi yang cukup tinggi yang sangat dibutuhkan oleh tubuh guna
menjaga berlangsungnya metabolisme tubuh. Hampir setiap bagian
telur mempunyai unsur yang sangat bermanfaat bagi tubuh. Akan
tetapi telur rentan terkontaminasi bakteri Salmonella sp. yang dapat
menyebabkan penyakit serius apabila dikonsumsi. Salah satu cara
untuk mengurangi cemaran bakteri Salmonella sp. adalah dengan
sterilisasi berbasis Dielectric Barrier Discharge (DBD) plasma. DBD
plasma mampu menghasilkan gas ionisasi yang mampu mematikan
bakteri. Metode dalam penelitian ini yaitu dengan memasukkan telur
yang sudah diolesi oleh bakteri Salmonella typhimurium ke dalam
ruang plasma kemudian di sterilisasi dengan tegangan output
sebesar 43,76 kV; 47,24 kV; 48,61 kV selama 1, 3, 5 menit.
Kemudian diamati total Salmonella sp. dalam telur serta kualitas
telur secara mikrobiologis, fisik,dan kimia. Hasil yang diperoleh dari
penelitian ini adalah dapat mengurangi cemaran bakteri Salmonella
sp. dari 2,1 x 106
cfu/ml menjadi 0, selain itu nutrisi pada telur ayam
ras yang disterilisasi menggunakan Dielectric Barrier Discharge
(DBD) plasma mengalami peningkatan. Pada penyimpanan suhu
ruang selama 27 hari telur yang disterilisasi menggunakan Dielectric
Barrier Discharge (DBD) plasma mempunyai nilai haugh unit
sebesar 47 dan masih termasuk kedalam telur kategori grade B
yang masih layak dikonsumsi sedangkan telur yang tanpa
disterilisasi memiliki nilai haugh unit sebesar 1 dan sudah
mengalami kerusakan.
Kata kunci: Telur, Salmonella sp., Sterilisasi, Dielectric Barrier Discharge Plasma
vii
HILDA PUTRI HAYUNINGSIH. 135100601111041. Application of Sterilization Technology Using Dielectric Barrier Discharge (DBD) Plasma for Quality of Chicken Egg (Gallus gallus domesticus) . Essay. Supervisor I: Dr. Ir. Anang Lastriyanto, M.Si. Supervisor II: Endrika Widyastuti, S.Pt, MP, M.Sc
SUMMARY
Egg is one of the food that contains high nutrients that are
needed by the body in order to keep body’s metabolism. Almost
every part of the egg has elements that are very beneficial to the
body. However, egg is was easily contaminated by Salmonella sp.
bacteria it can cause serious illness when consumed. One way to
reduce contamination of Salmonella sp. is by sterilized using
Dielectric Barrier Discharge (DBD) plasma. DBD plasma can
produce ionization gas that can killing bacteria. The method of this
study is insert eggs that have been smeared by Salmonella
typhimurium into the plasma chamber afterwards in sterilization with
output voltage of 43,76 kV; 47,24 kV; 48,61 kV for 1, 3, 5 minutes
then tested the total Salmonella sp. in eggs and egg quality. The
results obtained from chicken egg sterilization using Dielectric
Barrier Discharge (DBD) plasma that can reduce the Salmonella sp.
from dari 2,1 x 106
cfu/ml to 0, in addition of nutrients in the egg are
sterilized using Dielectric Barrier Discharge (DBD) plasma has
increased. At room temperature storage for 27 days eggs are
sterilized using Dielectric Barrier Discharge (DBD) plasma has
haugh unit value of 47 and still containts the egg category grade B
that are still feasible to be consumed while unsterilized egg has
haugh unit value of 1 and already suffered damage.
Keywords: Egg, Salmonella sp., Sterilization, Dielectric Barrier Discharge Plasma
viii
KATA PENGANTAR
Segala puji bagi Allah SWT yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang atas segala rahmat dan hidayah-Nya, hingga penyusun dapat menyelesaikan TA ini.
TA ini berjudul “Aplikasi Teknologi Sterilisasi
Menggunakan Dielectric Barrier Discharge (DBD) Plasma
terhadap Kualitas Telur Ayam Ras (Gallus gallus
domesticus)”. Penyusunan TA ini merupakan salah satu
syarat untuk mencapai gelar Sarjana Teknologi Pertanian.
Pada kesempatan ini penyusun mengucapkan terima
kasih yang sebesar besarnya kepada :
1. Bapak Dr. Ir. Anang Lastriyanto, M.Si dan ibu Endrika
Widyastuti, S.Pt, MP, M.Sc selaku Dosen Pembimbing yang
telah memberikan bimbingan, arahan, ilmu dan pengetahuan
kepada penyusun.
2. Ibu La Choviya Hawa, STP. MP. Ph.D, selaku Ketua
Jurusan Teknologi Industri Pertanian Fakultas Teknologi
Pertanian Universitas Brawijaya.
3. Kedua orang tua dan keluarga yang selalu mendukung dan
memberi semangat kepada penyusun untuk menyelesaikan
tugas akhir.
4. Umar Abdillah yang selalu menemani perjuangan penyusun
dari awal hingga penyusun mampu menyelesaikan tugas
akhir.
5. Teman-teman seperjuangan yang selalu memberikan
dukungan dan bantuan kepada penyusun.
Akhirnya harapan penyusun semoga TA ini dapat
bermanfaat bagi penyusun maupu semua pihak yang
membutuhkan.
Malang, 22 September 2017
Penyusun
ix
DAFTAR ISI
SAMPUL............................................................................... i
LEMBAR PERSETUJUAN ................................................. ii
LEMBAR PENGESAHAN .................................................. iii
RIWAYAT HIDUP ............................................................... iv
PERNYATAAN KEASLIAN TA ........................................... v
RINGKASAN ..................................................................... vi
SUMMARY ........................................................................ vii
KATA PENGANTAR ........................................................ viii
DAFTAR ISI ...................................................................... ix
DAFTAR TABEL ............................................................. xiii
DAFTAR GAMBAR ......................................................... xiv
DAFTAR LAMPIRAN ....................................................... xv
I PENDAHULUAN .............................................................. 1
1.1 Latar Belakang .............................................................. 1
1.2 Rumusan Masalah ........................................................ 3
1.3 Tujuan ........................................................................... 3
1.4 Manfaat Penelitian ........................................................ 4
1.5 Batasan Masalah .......................................................... 4
II TINJAUAN MASALAH .................................................... 5
2.1 Telur ............................................................................. 5
2.1.1 Tinjauan Umum Telur ......................................... 5
2.1.2 Kualitas Telur ..................................................... 6
2.2 Salmonella .................................................................... 8
2.2.1 Karakteristik Salmonella .................................... 8
2.2.2 Prevalensi Salmonella ....................................... 9
2.2.3 Cemaran Salmonella pada Telur ..................... 10
2.3 Teknologi Plasma ........................................................ 12
2.3.1 Dielectric Barrier Discharge (DBD) Plasma ..... 13
2.3.2 Radiasi UV ....................................................... 13
x
2.4 Pengolahan Non Thermal ........................................... 15
2.5 Keamanan Pangan ..................................................... 16
2.6 Ozon ............................................................................ 17
2.6.1 Pembentukan Ozon ......................................... 19
A. Pembentukan Ozon melalui Proses Tumbukan .... 19
B. Pembentukan Ozon melalui Proses Penyerapan
Cahaya ................................................................. 20
2.6.2 Sifat Ozon ........................................................ 20
2.6.3 Ozon Generator ............................................... 21
2.6.4 Penentuan Kadar Ozon melalui Titrasi
Iodometri.......................................................... 22
2.7 D-value ........................................................................ 24
III METODE PENELITIAN ................................................ 25
3.1 Waktu dan Tempat Pelaksanaan ................................ 25
3.2 Alat dan Bahan ........................................................... 25
3.2.1 Alat dan Bahan Pembuatan Pembangkit Tegangan
Tinggi ............................................................... 25
3.2.2 Alat dan Bahan Pembuatan Prototipe Alat
Sterilisasi ......................................................... 26
3.2.3 Alat dan Bahan Pengujian Alat ......................... 27
A. Pengujian Teknis .................................................. 27
B Pengujian Jumlah Salmonella sp. .......................... 27
3.3 Metode ........................................................................ 28
3.3. Pendekatan Desain Perancangan Alat ............... 28
3.3.1 Rancangan Fungsional .................................... 30
A. Kotak Kontrol ........................................................ 30
B. Ruang Plasma ...................................................... 31
C. Lampu UV ............................................................ 31
3.4 Pendekatan Penelitian ................................................ 32
3.4.1 Tahapan Studi Literatur ................................... 32
3.4.2 Desain Prototipe Alat Sterilisasi Berbasis Dielectric
Barrier Discharge (DBD) Plasma .................... 33
xi
3.5 Prosedur Penelitian ..................................................... 34
3.5.1 Tahapan Persiapan Bahan Baku ..................... 34
3.5.2 Tahapan Persiapan Sampel ............................. 34
3.5.3 Tahapan Pembersihan Prototipe Alat Berbasis
Dielectric Barrier Discharge (DBD) Plasma ..... 35
3.5.4 Tahapan Sterilisasi Berbasis Dielectric Barrier
Discharge (DBD) Plasma ................................ 35
3.5.5 Tahapan Pengujian Sampel ............................ 35
3.6. Parameter Pengujian ................................................. 36
3.6.1 Total Bakteri (TPC) .......................................... 36
3.7 Perhitungan Haugh Unit ............................................... 37
3.8 Penentuan Konsentrasi Ozon ...................................... 37
A. Produksi Ozon ...................................................... 38
B. Analisa Produk (Metode Iodometrik) ..................... 38
39. Teknik Analisa Data ..................................................... 39
3.10 Diagram Alir Prosedur Pengujian Alat ........................ 40
3.11 Diagram Alir Proses Sterilisasi .................................. 41
IV HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Rangkaian Dielectric Barrier Discharge (DBD) Plasma 43
4.2 Hasil Perhitungan Tegangan Output ............................ 44
4.3 Hasil Pengujian Kandungan Gas Terionisasi (O3) ........ 45
4.4 Jumlah Cemaran Salmonella sp. (Total Plate Count) dan
Efektivitas Kematian Mikroba ...................................... 48
4.5 Penurunan Jumlah Mikroba dan Log Cycle .................. 51
4.6 D-value ........................................................................ 53
4.7 Hasil Pengujian Nutrisi Telur ........................................ 56
4.8 Hasil Pengujian Haugh Unit Telur Sterilisasi menggunakan
Dielectric Barrier Discharge (DBD) Plasma ................. 58
V KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan .................................................................. 63
5.2 Saran ........................................................................... 63
xii
DAFTAR PUSTAKA ......................................................... 64
LAMPIRAN ........................................................................ 70
xiii
DAFTAR TABEL
Tabel 2.1 Batas Maksimum Cemaran Mikroba pada Telur .. 17
Tabel 4.1 Hasil Pengujian Perbandingan Tegangan Masukan
dan Tegangan Keluaran ....................................... 43
Tabel 4.2 Jumlah Cemaran bakteri Salmonella sp. .............. 48
Tabel 4.3 Nilai Log Cycle ..................................................... 52
Tabel 4.4 Hasil Pengujian Nutrisi Telur Sebelum dan Sesudah
Disterilisasi ........................................................... 57
Tabel 4.5 Hasil Perhitungan Haugh Unit .............................. 59
xiv
DAFTAR GAMBAR
Gambar 3.1 Desain Prototipe Alat Sterilisasi Berbasis
Teknologi DBD Plasma .................................31
Gambar 3.2 Skema kerja prototipe alat sterilisasi berbasis
DBD plasma .............................................. ...32
Gambar 3.3 Rangkaian Skematik Sterilisasi Alat Berbasis
DBD Plasma ............................................... ..33
Gambar 3.4 Prosedur Pengujian Alat .................................39
Gambar 3.5 Proses Sterilisasi Telur Ayam Ras menggunakan
DBD plasma ..................................................40
Gambar 4.1 Rangkaian alat sterilisasi telur berbasis DBD
(Dielectric Barrier Discharge) plasma ............42
Gambar 4.2 Hubungan Tegangan Masukan dan Tegangan
Keluaran ........................................................44
Gambar 4.3 Hubungan Tegangan Tinggi Keluaran dengan
Jumlah Ozon .................................................46
Gambar 4.4 Hubungan Waktu Sterilisasi dengan Jumlah Ozon
yang Dihasilkan .............................................47
Gambar 4.5 Grafik Ekektifitas Kematian Salmonella sp. ....49
Gambar 4.6 Grafik Penurunan Mikroba ..............................52
Gambar 4.7 Grafik D-value ................................................58
xv
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1. Prosedur Kerja Pengolesan Bakteri Salmonella
sp. .................................................................. 70
Lampiran 2. Prosedur Kerja Pengayaan Bakteri Salmonella
sp. ---------------------------------------------------- 74
Lampiran 3. Prosedur Kerja Analisis Total Plate Count..76
Lampiran 4. Aturan Standar Plate Count (SPC) --------- 82
Lampiran 5. Prosedur Pengujian Tegangan Tinggi
menggunakan Sela Bola ----------------------- 84
Lampiran 6. Hasil Pengujian Sela Bola ---------------------- 85
Lampiran 7. Hasil Pengujian Ozon --------------------------- 86
Lampiran 8. Perhitungan Jumlah Bakteri Salmonella sp.
(Total Plate Count) ------------------------------ 87
Lampiran 9. Pengamatan Jumlah Salmonella sp. disetiap
Pengenceran -------------------------------------- 90
Lampiran 10. Perhitungan Log Cycle ------------------------ 92
Lampiran 11. Efektivitas Kematian Mikroba ---------------- 93
Lampiran 12. Hasil Pengujian Nutrisi ------------------------ 94
Lampiran 13. Perhitungan Berat Awal Telur --------------- 95
Lampiran 14. Perhitungan Susut Berat Telur -------------- 96
Lampiran 15. Perhitungan Haugh Unit----------------------- 97
Lampiran 16. Kegiatan Pengujian Salmonella sp --------- 98
Lampiran 17. SK Bebas Skripsi-------------------------------- 99
Lampiran 18. Perhitungan D-value --------------------------- 103
1
I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Telur merupakan salah satu makanan yang
mengandung gizi yang cukup tinggi yang sangat dibutuhkan
oleh tubuh guna menjaga berlangsungnya metabolisme tubuh.
Di masyarakat telur sudah banyak dimanfaatkan untuk
kebutuhan makanan, karena telur memiliki rasa yang enak,
mudah didapat dan murah harganya. Hampir setiap bagian telur
mempunyai unsur yang sangat bermanfaat bagi tubuh.
Disamping mengandung protein, telur juga kaya dengan sumber
nutrisi lain seperti kalori, vitamin dan mineral. Dengan
kandungan nutrisi seperti itu maka ahli gizi menyarankan agar
telur banyak dikonsumsi oleh anak-anak yang sedang tumbuh.
Telur juga sangat baik dikonsumsi oleh ibu yang sedang hamil
maupun menyusui bahkan telur juga dianjurkan diberikan
kepada orang yang sakit untuk mempercepat proses
kesembuhan. Nuryati et al. (2015) menyatakan bahwa prediksi
produksi telur ayam tahun 2015-2019 di perkirakan akan
meningkat rata-rata 3,29% per tahun yang disokong dari
peningkatan produksi telur ayam ras sebesar 2,72% per tahun
dan peningkatan produksi telur ayam buras sebesar 6,93%.
Prediksi permintaan atau ketersediaan telur ayam untuk
dikonsumsi pada tahun 2015-2019 akan meningkat rata-rata
sebesar 3,66% per tahun, dan permintaan untuk konsumsi
nasional akan meningkat rata-rata sebesar 4,78% per tahun.
Dalam masyarakat, ada banyak cara orang
mengkonsumsi telur, seperti dijadikan lauk-pauk, campuran
adonan makanan, dikonsumsi secara mentah, atau
dimanfaatkan sebagai obat-obat tradisional. Sebenarnya
terdapat beberapa masalah jika mengkonsumsi telur secara
2
mentah, diantaranya beberapa ahli menyatakan bahwa telur
mentah lebih sulit dicerna oleh tubuh daripada telur matang.
Selain itu, produk pangan asal ternak (termasuk telur) beresiko
tinggi terhadap cemaran mikroba yang berbahaya bagi
kesehatan. Beberapa penyakit yang ditimbulkan oleh pangan
asal ternak adalah penyakit antraks, typus,
tuberculosis,klostridiosis, salmonelosis, shigellosis dan penyakit
bahaya lainnya (Sugitha,1995). Cemaran Salmonella sp. pada
telur dapat berasal dari kotoran ayam dalam kloaka atau dalam
kandang. Infeksi bakteri Salmonella sp. tersebut dapat
menimbulkan wabah penyakit, misalnya tifus oleh Salmonella
typhi, paratifus oleh Salmonella paratyphi.
Kasus infeksi Salmonella di Indonesia cukup banyak dan
mengkhawatirkan. Indonesia dikategorikan sebagai salah satu
negara dengan kejadian endemik Salmonellosis tertinggi di Asia
setelah Cina dan India, dan diikuti Pakistan dan Vietnam.
Beberapa teknologi dilakukan untuk mengurangi Salmonella sp.
pada telur antara lain menggunakan proses pasteurisasi pada
suhu 64°C selama 2,5 menit untuk cairan telur utuh dan suhu
55°C selama 9,5 menit untuk cairan putih telur kemudian
didinginkan pada suhu < 7°C.. Kekurangan pasteurisasi ini perlu
penanganan khusus. Jika suhu perlakuan pasteurisasi tersebut
lebih tinggi, telur akan matang dan akan timbul kerak pada
mesin pasteurisasinya, sedangkan apabila terlalu rendah bakteri
patogen tidak akan mati. Oleh karena itu kontrol temperatur
menjadi sangat penting dalam proses pasteurisasi telur
(Koswara,2009). Teknologi lainnya yaitu Thyme Oil dan Cold
Nitrogen Plasma (CPN) menunjukkan rendahnya tingkat
aktivitas mikroba ketika diaplikasikan pada telur dengan waktu
singkat. Hasil dari teknologi tersebut bakteri telur dapat
memperpanjang umur simpan sampai 14 hari. Penggunaan
teknologi ini membutuhkan penanganan yang tepat untuk
diaplikasikan pada teknologi masa depan (Cui et al., 2016).
3
Dari beberapa metode yang sudah dilakukan maka
penulis melakukan penelitian tentang “Aplikasi Teknologi
Sterilisasi Menggunakan Dielectric Barrier Discharge (DBD)
Plasma Terhadap Kualitas Telur Ayam Ras (Gallus gallus
domesticus)”. Prinsip kerja DBD plasma ini memanfaatkan
tegangan tinggi yang melewati barrier akrilik sehingga
menghasilkan gas terionisasi kemudian gas terionisasi tersebut
masuk ke dalam pori-pori telur dan membuat membran
mikroorganisme pada telur lisis. DBD plasma dihasilkan antara
dua lempengan elektroda aluminium yang ditutup dengan
kuarsa dan kaca dan power input kira-kira sebesar 200-300 watt
(Sirajuddin, 2007).
1.2 Rumusan Masalah
1. Bagaimana pengaruh tegangan dan waktu terhadap total
bakteri Salmonella sp. pada telur telur ayam ras yang
disterilisasi menggunakan alat berbasis Dielectric Barrier
Discharge (DBD) plasma?
2. Bagaimana kualitas (mikrobiologis, kimia, fisik) telur
ayam ras yang disterilisasi menggunakan alat berbasis
Dielectric Barrier Discharge (DBD) plasma?
1.3 Tujuan
1. Mengetahui pengaruh tegangan dan waktu terhadap
total bakteri Salmonella sp. pada telur ayam ras yang
disterilisasi menggunakan alat berbasis Dielectric Barrier
Discharge (DBD) plasma.
2. Mengetahui kualitas (mikrobiologis, kimia,fisik) telur
ayam ras yang disterilisasi menggunakan alat berbasis
Dielectric Barrier Discharge (DBD) plasma.
4
1.4 Manfaat Penelitian
Penelitian tentang Aplikasi Teknologi Sterilisasi
Menggunakan Dielectric Barrier Discharge (DBD) Plasma
Terhadap Kualitas Telur Ayam Ras (Gallus gallus domesticus)
diharapkan dapat dijadikan sebagai tambahan informasi
mengenai aplikasi teknologi pengolahan pangan non-thermal
serta dapat meningkatkan keamanan pangan di Indonesia.
1.5 Batasan Masalah
1. Bahan uji yang digunakan adalah telur ayam ras
2. Tidak membahas efisiensi energi yang digunakan.
3. Tidak membahas analisa biaya.
4. Indikator yang digunakan adalah tegangan dan waktu.
5. Parameter yang digunakan adalah total bakteri
Salmonella (TPC).
6. Tidak meneliti umur simpan telur.
7. Nutrisi telur yang diteliti dengan perlakuan tanpa
sterilisasi dan dengan sterilisasi pada tegangan 48,61 kV
selama 5 menit.
8. Menghitung jumlah ozon dalam ruang plasma pada
waktu 1,3,5 menit dengan tegangan 48,61 kV dan pada
tegangan 43,63 kV, 47,24 kV, dan 48,61 kV dengan
waktu sterilisasi selama 5 menit.
5
II TINJAUAN PUSTAKA
1.1 Telur
2.1.1 Tinjauan Umum Telur
Telur merupakan bahan pangan hasil ternak unggas
yang memiliki sumber protein hewani yang memiliki rasa lezat,
mudah dicerna dan bergizi tinggi. Teknik pengolahan telur telah
banyak dilakukan untuk meningkatkan daya tahan serta
kesukaan konsumen (Irmansyah dan Kusnadi, 2009). Telur
mempunyai cangkang, selaput cangkang, putih telur (albumin)
dan kuning telur (Jacqueline, et al, 2000). Cangkang dan putih
telur terpisah oleh selaput membran, kuning telur dan albumin
terpisah oleh membran kuning telur. Rahayu (2003)
menyebutkan bahwa telur banyak dikonsumsi dan diolah
menjadi produk olahan lain karena memiliki kandungan gizi
yang cukup lengkap. Kandungan protein pada telur terdapat
pada putih telur dan kuning telur.
Telur sebagai sumber gizi terutama asam oleat (18:1),
zat besi, fosfor, mineral mikro, vitamin A, D, E, K ataupun
vitamin. Kandungan dan komposisi kimia dari telur dapat
berbeda satu dengan yang lainnya dikarenakan oleh beberapa
faktor antara lain asupan ransum yang dikonsumsi oleh ayam,
umur, varietas ayam, suhu lingkungan serta laju produksi.
Lemak telur berada dalam keadaan emulsi, sehingga mudah
tercerna dan sangat menguntungkan bila dikonsumsi oleh orang
tua dan anak-anak. Lebih lanjut dikatakan bahwa kuning telur
tidak saja merupakan sumber lemak, namun juga sebagai
sumber protein yang berkisar antara 15-16% dan vitamin A
(40.000 lU per 100 gr). Lemak dalam 5 kuning telur tidak bersifat
bebas, akan tetapi terikat dalam bentuk partikel lipoprotein.
Lipoprotein kuning telur terdiri atas 85% lemak dan 15% protein.
6
Lemak dari lipoprotein terdiri atas 20% fosfolipid (lecithinm,
fosfatidil serin), 60% lemak netral (trigeliserida) dan 5%
kolesterol. Hasil uji coba di USA tentang kandungan kolesterol
dalam telur diperoleh kisaran, yaitu sekitar 180-200 mg per butir
telur.
Telur memiliki perlindungan alami terhadap cemaran
mikroorganisme berupa pertahanan fisik dan kimia. Pertahanan
fisik telur terdiri atas kutikula, kerabang telur, dan selaput tipis.
Kutikula merupakan lapisan protein setebal 0.01 mm yang
menyeliputi kerabang telur. Lapisan ini dapat menutup pori-pori
yang ada pada kerabang telur. Kerabang telur merupakan
lapisan telur paling luar sebagai pertahanan mekanis,
sedangkan selaput telur terdiri dari dua lapis yang berfungsi
sebagai penyaring mikroorganisme. Ketiga pertahanan fisik ini
merupakan barrier yang akan menghalangi masuknya
mikroorganisme pencemar berpenetrasi ke dalam telur.
Pertahanan kimiawi telur terdapat pada lapisan putih telur. Putih
telur memiliki pH basa, lisosim dan konalbumin yang dapat
menghambat dan menghentikan pertumbuhan mikroorganisme
pada putih telur (Lukman et al, 2009).
1.1.2 Kualitas Telur
Kualitas telur ditentukan oleh beberapa hal antara lain
faktor keturunan, kualitas makanan, system pemeliharaan, iklim,
dan umur telur. Umur telur yang dimaksud disini adalah umur
telur setelah dikeluarkan oleh unggas. (Hardi, 2005).Kualitas
ransum dan bangsa berpengaruh terhadap umur pertama
bertelur tetapi tidak pada bobot telur pertama.
Kualitas telur dapat digolongkan menjadi dua macam yaitu
kualitas telur bagian luar dan kulitas bagian dalam. Kualitas telur
bagian luar meliputi bentuk, warna, tekstur, keutuhan dan
kebersihan kerabang, sedangkan kualitas telur 6 bagian dalam
7
meliputi kekentalan putih telur, warna kuning telur, posisi kuning
telur serta ada tidaknya bintik darah pada kuning dan putih telur
(Sarwono, 1994)
Kualitas merupakan ciri-ciri dari suatu produk yang
menentukan derajat kesempurnaan yang akan mempengaruhi
penerimaan konsumen. Mutu telur utuh dapat dinilai dengan
cara candling yaitu meletakkan telur dalam jalur sorotan sinar
yang kuat sehingga memungkinkan penemuan keretakan pada
kulit telur, ukuran serta gerakan kuning telur, ukuran kantung
udara, bintik-bintik darah, bintik-bintik daging, kerusakan oleh
mikroorganisme dan pertumbuhan benih (Romanoff, 1963).
Menurut Winarno (1993), Klasifikasi telur dibagi atas
empat kualitas, yaitu : 1) Kualitas AA, Kulit telur harus bersih,
tidak retak atau berkerut, bentuk kulit normal dan halus. Rongga
udara di dalam telur sepanjang 0,32 cm. Rongga udara berada
di bagian tumpul dan tidak bergerak-gerak. Putih telur harus
bersih dan encer. Kuning telurnya dan tanpa kotoran. 2) Kualitas
A, Kulit telur juga harus bersih, tidak retak atau berkerut, mulus
dan normal. Rongga udara 0,48 cm dan terdapat bagian tumpul
dari telur. Putih telur bersih dan agak encer. Kuning telur normal
dan bersih. 3) Kualitas B, Kulit telur bersih, tidak pecah/retak
dan agak tidak normal, misalnya sedikit lonjong. Rongga udara
sebesar 0,95 cm. Putih telur bersih dan lebih encer. Kuning telur
normal tetapi ada bercak yang normal. 4) Kualitas C, Kulit telur
bersih dan sedikit kotor, kulit tidak normal. Rongga udara
sebesar 0,95 cm. Putih telur sudah encer, ada telur yang
berbentuk tidak normal. Kuning telur sudah mengandung
bercak-bercak, bentuk telur tidak normal atau pipih.
8
2.2 Salmonella
2.2.1 Karakteristik Salmonella
Salmonella pertama kali ditemukan pada tahun 1885
oleh Daniel Elmer Salmon dan Theobald Smith (Brands,
2005).Salmonella pada umumnya memiliki flagella tipe
peritrichous sehingga memiliki kemampuan motilitas sel (kecuali
serotipe Gallinarum atau Pullorum), memiliki fimbriae,
membentuk koloni berdiameter antara 2-4 mm (kecuali serotipe
Abortusovis), bersifat patogen, dan mudah beradaptasi dengan
inang (host). Salmonella dapat tumbuh optimal pada suhu 35 –
37°C, pH 6,50 – 7,50, dan Aw antara 0,94–0,99. Karena
karakteristiknya tersebut, mayoritas Salmonella sp. dapat
dibunuh menggunakan perlakuan berupa pasteurisasi atau
blansing (pemanasan dengan suhu sekitar 80 – 100°C).
Salmonella seringkali bertindak sebagai penyebab utama infeksi
pada penyakit foodborne disease. Salmonella dapat
menyebabkan berbagai penyakit seperti penyakit diare,
salmonellosis, gastroenteritis, demam tifus, serta penyakit
infeksi lokal lainnya (Prayoga dan Agustin, 2015).
Menurut Bhunia (2008), Salmonella adalah bakteri yang
mudah tumbuh, bakteri ini dapat menyesuaikan dengan
berbagai bentuk keadaan lingkungan. Salmonellaakan tetap
tumbuh bahkan setelah didinginkan walau dalam kecepatan
yang lebih lambat (Meggitt, 2003). Salmonella tumbuh pada
suhu antara 6–46°C dan pH antara 4,4–9,4. Pertumbuhan
optimal terjadi pada suhu 35–37°C dan pH mendekati netral.
Menurut Tindall,et al. (2005), genus Salmonella memiliki dua
spesies, yaitu Salmonella enterica dan Salmonella bongori yang
terdiri atas 2463 serotipe. Salmonella enterica terdiri dari 2443
serotipe dan Salmonella bongori terdiri dari 20 serotipe.
Menurut Gray dan Fedorka (2002), terdapat tiga grup
besar Salmonella berdasarkan sasaran infeksi. Grup pertama
9
adalah kelompok serotipe yang hanya menginfeksi manusia.
Infeksi ini dicirikan oleh demam enterik (demam typhoid dan
paratyphoid). Contoh Salmonella grup ini adalah Salmonella typi
dan Salmonella paratyphi. Grup kedua adalah serotipe yang
memiliki inang spesifik pada hewan tertentu. Seperti Salmonella
pullorum yang menginfeksi unggas; Salmonella dublin pada
sapi; dan Salmonella choleraesuis pada babi. Kelompok terakhir
seperti Salmonella typhimurium dan Salmonella enteritidis
memiliki inang yang luas pada manusia dan hewan. Infeksi dari
serotipe golongan ini menyebabkan gastroenteritis atau
enterokolitis. Salmonella jenis ini merupakan foodborne disease
yang masuk melalui makanan ke dalam saluran pencernaan
manusia.
Beberapa spesies Salmonella sering ditemukan
menginfeksi unggas dan menyebabkan zoonosis. Spesies ini
antara lain Salmonella pullorum, Salmonella gallinarum, dan
Salmonella enterica serotipe enteritidis dan serotipe
typhimurium (Wray & Davies 2003). Salmonella pullorum
menyebabkan penyakit sistemik yang bersifat akut,Salmonella
gallinarum penyebab penyakit cacar ayam, sedangkan
Salmonella typhimurium dan Salmonella enteritidis
menyebabkan keracunan dan gangguan gastrointestinal pada
manusia (Wallis, 2006).
2.2.2 Prevalensi Salmonella
Diperkirakan sekitar 800.000–4.000.000 orang terinfeksi
Salmonella setiap tahunnya di Amerika Serikat. Selain ciri
umum berupa diare, demam, dan keram perut, infeksi juga
dapat menyebar ke aliran darah, sumsum tulang, bahkan ke
otak yang dapat mengakibatkan sakit yang fatal. Setiap
tahunnya diduga sekitar 500–1000 orang meninggal akibat
10
infeksi Salmonellaenterica di Amerika Serikat (Angulo &
Swerdlow, 1999).
Laporan terbaru oleh Omwandho dan Kubota (2010),
lebih dari 3,7 juta kasus salmonellosis terjadi di Amerika Serikat
setiap tahunnya. Hal ini diperkirakan menghabiskan $64–$114
dolar Amerika setiap tahunnya. Peningkatan infeksi Salmonella
pada manusia di Amerika dilaporkan bersumber dari telur dan
hampir 85% infeksi disebabkan olehSalmonellaenteritidis.
Kejadian salmonellosis berbeda-beda pada setiap
negara. Spanyol pada tahun 1992 dan Kanada pada tahun 1991
dengan populasi penduduk masing-masing 40.000 dan 30.000
dilaporkan memiliki kasus foodborne disease oleh Salmonella
yang berbeda nyata, yaitu masing-masing 482 dan 28 kasus.
Pada kasus ini, unggas, telur, dan produk olahan telur
dilaporkan sebagai bahan penyebab utama (D’Aoust, 2001).
Demam typhoid termasuk dalam lima penyakit terbesar
penyebab kematian di Indonesia. Infeksi ini menyebabkan
masalah kesehatan masyarakat dengan kejadian antara 350–
810 kasus per 100.000 penduduk Indonesia setiap tahunnya
(Moehario, 2009). Hasil Riset Kesehatan Dasar Nasional tahun
2007 menunjukkan bahwa persentase penduduk yang terjangkit
demam typhoid dibandingkan dengan seluruh penduduk
(prevalensi) di Indonesia sebesar 1.6%. Jawa Barat adalah
salah satu dari dua belas provinsi yang memiliki angka
prevalensi typhoid di atas angka rata-rata yaitu sebesar 2.14%
(Depkes, 2008).
2.2.3 Cemaran Salmonella pada Telur
Menurut Fardiaz (1989), telur yang baru umumnya
bebas dari mikroorganisme, kecuali telur yang berasal dari induk
yang sakit atau telah mengalami kontaminasi. Tingkat
kontaminasi mikroorganisme pada telur dipengaruhi oleh
11
keadaan kerabang telur, besar ruang udara, kondisi putih telur,
dan kuning telur. Mikroorganisme dari luar mencemari telur
melalui pori-pori pada lapisan kerabang telur yang mengalami
kerusakan. Mikroorganisme dapat mencemari telur setelah
dalam proses penyimpanan, melalui pori dan menembus dua
lapisan telur di bawahnya. Telur akan terinfeksi bila
mikroorganisme dapat bertahan pada putih telur dan mencapai
kuning telur. Beberapa faktor yang menyebabkan kemunduran
kualitas kerabang telur diantaranya adalah induk petelur yang
semakin tua, temperatur lingkungan meningkat, stress, penyakit,
dan obat-obatan tertentu (Suprijatno et al, 2005).
Kontaminasi Salmonella pada telur diketahui terjadi
melalui dua mekanisme yaitu kontaminasi vertikal dan
kontaminasi horizontal. Kontaminasi vertikal dikenal juga
sebagai kontaminasi transovarial, dimana penularan Salmonella
pada telur berasal dari induk ayam yang terifeksi (D’Aoust,
2001). Kontaminasi tersebut dapat terjadi sebelum pelapisan
putih telur. Survei dilakukan oleh Omwandho dan Kubota (2010)
untuk menguji penularan Salmonella melalui induk yang sakit.
Ayam petelur diberi 10 cfu Salmonella enteritidis secara oral.
Setelah dua hari, bakteri diisolasikan dari beberapa organ tubuh
ayam. Dari hasil survei, Salmonella enteritidis ditemukan pada
organ usus buntu, jaringan intestinal, hati, ginjal, ovarium, dan
saluran telur.Saluran kelamin merupakan jalur kontaminasi
vertikal yang umum dari induk ke anak. Meskipun di dalam
saluran telur telah ditemukan anti mikroorganisme untuk
mencegah kontaminasi dari kloaka, namun demikian
kontaminasi dapat saja terjadi melalui ruptur pembuluh darah
atau cemaran mikroorganisme yang telah ada dalam saluran
telur(Grijspeerdt et al, 2005).
Kontaminasi secara horizontal terjadi pada kerabang
telur, diakibatkan infeksi saluran reproduksi induk bagian bawah
atau kontaminasi feses dan jerami pada saat pengeraman
12
(Omwandho & Kubota 2010). Kontaminasi horizontal didukung
oleh beberapa faktor seperti kondisi kerabang yang lembab,
penyimpanan pada suhu tinggi atau kerusakan kerabang telur
(D’Aoust, 2001).
Infeksi Salmonella pada manusia dapat terjadi pada saat
mengkonsumsi telur tercemar Salmonella yang tidak dimasak
secara benar (Humphrey, 2006). Secara tidak langsung, infeksi
Salmonella juga dapat terjadi melalui telur yang telah
terkontaminasi oleh air, peralatan masak, dan lingkungan yang
tidak menerapkan sanitasi dan higiene dengan baik (Meggitt,
2003). Kondisi pasar tradisional yang masih sederhana dan
sanitasi lingkungan yang kurang memadai akan mendukung
peningkatan kontaminasi dan perkembangbiakan
mikroorganisme. Tubuh manusia pada dasarnya memiliki
ketahanan untuk mereduksi bakteri Salmonella dalam kurun
waktu lima sampai tujuh hari (Brands, 2005). Namun demikian
dalam beberapa kasus, infeksi Salmonella dapat menyebabkan
kematian kurang dari rentang waktu itu. Sekitar 50 orang di
Inggris meninggal setiap tahunnya akibat bakteri ini. Orang tua,
bayi, wanita hamil, dan penderita ketahanan tubuh yang rendah,
sangat peka terhadap infeksi Salmonella (Meggitt, 2003).
2.3 Teknologi Plasma
Teknologi plasma adalah penerapan dari ilmu fisika,
khusunya fisika atomdan molekul.Plasma didefiniskan sebagai
gas yang terionisasi dalam lucutan listrik.Jenis-jenis plasma
ditinjau dari temperaturnya dapat diklasifikasikan menjadi tiga
yaitu plasma dingin yang terjadi dalam keadaan
ketidaksetimbangan termal antara temperature elektron, plasma
termik tergolong dalam keadaan ketidaksetimbangan termal dan
plasma panas yang terjadi dalam keadaan termal (Nur, 2011).
13
2.3.1 Dielectric Barrier Discharge (DBD) Plasma
Salah satu metode sterilisasi plasma adalah dengan
menggunakan DBD(dielectric-barier discharge) yang memiliki
karakterisitik tegangan AC tinggi, frekuensi rendah pada
tekanan atmosfer.Metode DBD plasma ini memanfaatkanlapisan
dielektrik yang memungkinkan plasma melakukan kontak
dengan elektroda. DBD plasma dihasilkan antara dua
lempengan elektroda aluminium yang ditutup dengan kuarsa
dan kaca dan power input kira-kira sebesar 200-300 watt. Pada
DBD plasma ini akan terjadi tegangan yang lama-kelamaan
akan meningkat. Awal tegangan input adalah sebesar 0,45-
0,940 kV, kemudian meningkat sebesar 0,980-1,2 kV dan
tegangan maksimum adalah sebesar lebih dari 1,2 kV.
Peningkatan tegangan ini disebabkan oleh adanya reduksi jarak
lucutan plasma pada aluminium.Dengan demikian tegangan
tinggi dapat melepaskan plasma pada luas permukaan
maksimum pada aluminium.dan dapat digunakan untuk
sterilisasi (Sirajuddin, 2007).
2.3.2 Radiasi UV
Radiasi UV merupakan salah satu mekanisme sterilisasi
plasma.Tembustinggi foton UV memungkinkan interaksi dengan
kedua seluler ikatan kimia pada mikroorganisme serta DNA.
Radiasi UV tidak memberikan efek langsung pada ikatan kimia,
tapi foton akan menyebabkan reaksi ionisasi untuk membentuk
radikal bebas yang dapat menyebabkan kerusakan pada sel.
Oleh karena itu radiasi UV cocok digunakan sebagai deaktivasi
mikroorganisme. Penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa
panjang gelombang radiasi UV lebih efektif membunuh mikroba
daripada yang lainya.Mikroorganisme cenderung merespon
panjang gelombang sekitar 200-300 nm (Sirajuddin, 2007).
14
Sinar ultraviolet adalah suatu energi yang memiliki
kemampuan untuk melakukan penetrasi ke dinding sel
mikroorganisme dan mampu mengubah komposisi asam
nukleatnya. Absorbsi ultraviolet oleh DNA (atau RNApada
beberapa virus) dapat menyebabkan mikroorganisme tersebut
tidak mampu melakukan replikasi akibat pembentukan ikatan
rangkap dua pada molekul-molekul pirimidin (Lahlouet al, 2000).
Keuntungan menggunakan sinar ultraviolet dibandingkan
desinfeksi kimia yaitu sangat efektif dalam membunuh sebagian
besar bakteri patogen seperti E. coli, Giardia Lamblia, dan
Cristoporidium, tanpa bahan kimia, tidak beracun, tidak
menghasilkan produk sampingan yang beracun (significant
nontoxic), tidak berbahaya pada kelebihan dosis,
menghilangkan beberapa kontaminan organik, tidak memiliki
emisi senyawa organik yang mudah menguap atau emisi udara
beracun, tidak terjadi perubahan bau dan tidak berbau pada
produk akhir, cukup dengan sedikit waktu kontak (detik atau
menit) untuk desinfeksi kimia, dan tidak memerlukan
penyimpanan bahan berbahaya (Giusti dkk, 2010).
Intensitas cahaya UV digambarkan dalam satuan
mW/cm2 dan paparan/dosis UV dalam satuan mWs/cm2 .
Menurut White (1992), waktu kontak selama 10-30 detik sering
digunakan pada banyak unit UV komersial. Dosis UV 60-75
mWs/cm2 telah dilaporkan dapat merusak/menghilangkan residu
ozon sebesar 0,5 mg/L (Hunter et al, 1998). Dosis UV yang
dibutuhkan untuk menginaktivasi mikroorganisme dapat sangat
bervariasi, dari 2 mWs/cm2 hingga lebih dari 230 mWs/cm2
(pada 254 nm), tergantung jenis organisme target dan tingkatan
intensitas UV yang dibutuhkan. Wedemeyer (1996) melaporkan
bahwa banyak patogen ikan ternonaktifkan pada dosis UV 30
mWs/cm2 , kecuali Saprolegnia, baculovirus yang menyebabkan
sindrom bercak putih(white spot syndrome), dan virus IPN
(infectious pancreatic necrosis virus) yang menyebabkan
15
nekrosis pada pankreas ikan salmon (membutuhkan dosis UV
yang sangat tinggi untuk menonaktifkannya).
2.4 Pengolahan Non Thermal
Beberapa metode pengawetan pangan secara
konvensional, seperti perlakuan dengan pemanasan suhu tinggi
untuk mencapai keamanan pangan dan memperpanjang umur
simpannya. Mengakibatkan kehilangan nutrien yang
sensitif/peka terhadap pemanasan (misalnya : thiamin,
riboflavin, asam folat dan vitamin C), mendenatusasi protein,
dan menyebabkan perubahan tekstur, warna dan flavor, dan
menyebabkan pembentukan senyawa baru melalui ikatan
kovalen (misalnya, lisinalanin). Sementara, proses pemanasan
dengan suhu tidak tinggi, meminimalkan ketidakuntungan dari
proses pemanasan tinggi, tetapi pangan tersebut menjadi
terbatasi umur simpannya, untuk itu dapat dilakukan dengan
penyimpanan pada suhu rendah. Metode non thermal yang
sedang dikembangkan adalah dengan menggunakan kejutan
listrik tegangan tinggi (Pulse Electric Field/ PEF), yaitu proses
pengolahan bahan pangan yang didasarkan pada aplikasi
denyut pendek pada tegangan tinggi (20-80 kV/cm) ke bahan
makanan yang ditempatkandiantara 2 elektroda pada suhu
kamar atau di bawahnya selama beberapa detik, untuk
memperkecil kerusakan yang disebabkan oleh pemanasan.
Metode ini sangat efektif karena dapat menginaktivasi
mikroorganisme sampai 99 % tanpa merubah warna, bau, dan
kandungan gizi dalam waktu yang sangat singkat (Barbosa
dkk.,1999).
Pembekuan merupakan salah satu metode terbaik untuk
memperpanjang umur simpan produk. Pembekuan dapat
mengawetkan warna asli, flavor, dan nutrisi, menurunkan laju
reaksi degradasi, dan menghambat aktivitas mikroba, tetapi
16
sejumlah reaksi kimia, fisika, dan biokimia masih dapat terjadi.
Pembekuan dengan menurunkan suhuhingga -18ºC (suhu di
mana terjadi kristalisasi air yang merupakan komponen terbesar
buah-buahan), menyebabkan penurunan water activity (aw)
sehingga reaksi kimia, biokimia, dan aktivitas mikroba berjalan
lambat, dan jika suhu terus dipertahankan selama penyimpanan
akan dapat mengawetkan buah-buahan hingga satu tahun atau
lebih (de Ancos et al, 2006). Pengeringan beku dapat
menghasilkan produk pangan dengan mutu terbaik dibanding
metode pengeringan lainnya.
Ultraviolet bersifat germisidal terhadap bakteri, virus,
protozoa, kamir, kapang, dan alga. Efek germisidal 270
nm.tertinggi diperoleh pada panjang gelombang 250 Perlakuan
UV pada panjang gelombang 254 nm telah digunakan untuk
desinfeksi permukaan, air dan berbagai produk pangan cair
seperti jus buah. Perlakuan UV dilakukan pada suhu rendah dan
termasuk dalam metode disinfeksi nontermal. Kelebihan UV
adalah bersifat nontermal, tidak toksik, produk samping yang
berupa kontaminan organik dapat dibuang, bau dan rasa tidak
menyimpang, dan membutuhkan energi yang sangat kecil
dibanding pasteurisasi termal (Trand dan Farid 2005).
2.5 Keamanan Pangan
Makanan mengandung zat gizi yang dibutuhkan tubuh
untuk pertumbuhan, mempertahankan, memperbaiki jaringan
tubuh, mengatur proses dalam tubuh dan menyediakan energi
bagi fungsi tubuh (Muchtadi et al., 2010). Oleh karena itu
makanan yang dikonsumsi harus sehat dan aman.Sehat dalam
pengertian, bahan makanan dapat memenuhi jenis dan jumlah
zat gizi yang sesuai dengan kebutuhan tubuh.Zat gizi yang
harus ada dalam bahan makanan agar tubuh sehat, meliputi
protein, lemak, karbohidrat, vitamin dan mineral (Haris dan
17
Karmas, 1989).Sedangkan, aman artinya bahan makanan yang
dikonsumsi harus bebas dari bahan racun dan berbahaya yang
dapat membahayakan kesehatan atau keselamatan manusia
(BPOM, 2003). Keamanan makanan atau pangan menurut
Undang-undang RI No. 7 tahun 1996 tentang Pangan adalah
kondisi dan upaya yang diperlukan untuk mencegah pangan
dari cemaran biologis, kimia dan benda lain yang dapat dan
membahayakan kesehatan manusia (Pemerintah RI, 1996).
Berikut spesifikasi persyaratan mutu batas maksimum
cemaran mikroba pada telur (dalam satuan CFU/gram)
berdasarkan sumber SNI No. 01-6366-2000:
Tabel 2.1Batas Maksimum Cemaran Mikroba pada Telur
No Jenis cemaran mikroba
Batas maksimum cemaran mikroba
Telur segar Telur kering
Telur beku
1. 2. 3. 4. 5.
6. 7. 8. 9.
Jumlah total bakteri Colliform
Escherichia coli (*) Enteroccoci
Staphylococcus aureus
Clostridium sp Salmonella sp
Camphylobacter sp Listeria sp
1 x 105
1 x 102
1 x 101
1 x 102
1 x 102
0
Negatif
0
0
<2,5 x 103
<2,5 x 101
1 x 10 <1 x 10
3
0 0
Negatif 0 0
<2,5 <1 x 10
1
1 x 10 <1 x 10
1
0
0 Negatif
0 0
Sumber :Badan Standarisasi Nasional(2000)
2.6 Ozon
Molekul ozon merupakan bagianterkecil dari atmosfer
bumi (hanya 0,03% dari seluruh total volume atmosfer (Slamet,
18
2005). Pada lapisanstratosfer, ozon berfungsi sebagai
penyaring(filter) dan pelindung terhadap masuknya
sinarultraviolet dari matahari. Dengan adanya lapisanozon, sinar
ultraviolet yang masuk ke bumimenjadi berkurang jumlah dan
intensitasnya,karena sinar ultraviolet dalam jumlah yangmelebihi
sangat membahayakan kehidupanmakhluk hidup dibumi.
Secara alami ozon dapat terbentukmelalui radiasi sinar
ultraviolet pancaran sinarmatahari.Watak interaksinya dengan
sinar UVmerupakan hal terpenting dalam fungsinyasebagai
perisai bumi. Ozon mudah menyerapsinar UV, terutama
diantara 240-320 nm.Chapman (1930), menjelaskan bahwa
sinarultraviolet dari pancaran sinar matahari
mampumenguraikan gas oksigen (O2) di udara bebas.Molekul
oksigen tadi terurai menjadi dua buahatom oksigen (O*), dimana
proses ini dikenaldengan nama photolysis. Kemudian
atomoksigen tersebut secara alami bertumbukandengan
molekul gas oksigen yang adadisekitarnya, sehingga
terbentuklah ozon (O3).Ozon dapat menyerap radiasi sinar
matahari padapanjang gelombang antara 240-340 nm
danterurai kembali menjadi satu gas oksigen (O2)dan satu atom
oksigen (O*). Ozon dapat bereaksidengan atom oksigen (O*)
untuk regenerasi duamolekul gas oksigen (O2). Seperti yang
disajikandari reaksi dan gambar berikut :
O2 + hv→O + O
O2 + O + M→ O3 + M (1)
(dimana M adalah O2 atau N2)
O3 + hv→ O2 + O
O3 + O → O2+ O (2)
Reaksi termokimia ozon (O3): 3
2O3(g) O2(g) ∆𝐻 = +143 𝑘𝐽
19
2.6.1 Pembentukan Ozon
Ozon dapat terbentuk melalui duaproses yang berbeda,
yaitu melalui prosestumbukan dan melalui proses
penyerapancahaya.
A. Pembentukan Ozon Melalui Proses Tumbukan
Proses ini dapat dilakukan denganmelewatkan gas
oksigen (O2) pada daerah yangdikenai tegangan tinggi. Molekul
oksigen iniakan mengalami ionisasi, yaitu prosesterlepasnya
suatu atom atau molekul dari ikatannya, menjadi ion-ion oksigen
(O*).Molekul-molekul oksigen yang terionisasi ini biasa disebut
dalam kondisi plasma. Jenis dariion oksigen tersebut adalah O*,
O2*,O-,O2
- dan O3-. Kombinasi dari kesemuanya
dapatmenghasilkan ozon.
Pembuatan ozon dalam proses inidiawali dengan
pembentukan oksigen radikalbebas dengan reaksi sebagai
berikut :(Bimo, dkk. 2011)
Disosiasi e
+ O2→2O + e (3)
Pengikatan Disosiatif e-
+ O2→O + O- (4)
Ionisasi Disosiatif e
+ O2→O + O + 2e (5)
Kemudian radikal oksigen bereaksi denganoksigen
menghasilkan ozon.
O + O2 + M → O3+ M (6)
Dimana M adalah N2 atau O2.
20
B. Pembentukan Ozon Melalui Proses Penyerapan Cahaya
Baik gas oksigen (O2) maupun ozon(O3) dapat menyerap
radiasi sinar ultraviolet.Gas oksigen dapat menyerap radiasi
sinarultraviolet dengan panjang gelombang kurangdari 240
nanometer, sedangkan ozon dapatmenyerap radiasi sinar
ultraviolet denganpanjang gelombang antara 240
nanometersampai 290 nanometer. Karena gas
oksigenmenyerap radiasi sinar ultraviolet denganpanjang
gelombang kurang dari 240 nanometer,maka gas oksigen
tersebut akan terurai menjadidua atom oksigen.
O2(g) + sinar ultraviolet → 2O (g) (7)
Atom oksigen hasil reaksi tersebutsangat reaktif dan dapat
bereaksi dengan O2 danmembentuk ozon (O3).
O(g) + O2(g)→ O3(g) (8)
Reaksi ini bersifat eksotermik, danakibat dari kedua
reaksi tersebut adalahperubahan tiga molekul oksigen (O2)
menjadidua molekul ozon (O3) dan konversi radiasi
sinarultraviolet menjadi panas.Ozon menyerapradiasi sinar
ultraviolet dengan panjanggelombang antara 240 sampai 290
nanometer.Reaksi tersebut menyebabkan ozon
mengalamiperubahan komposisi menjadi gas oksigen danatom
oksigen,
O3(g) + sinar ultraviolet→ O(g) + O2(g) (9)
Reaksi ini juga bersifat eksotermik,
sehinggamengkonversi radiasi sinar ultraviolet menjadipanas.
2.6.2 Sifat Ozon
Ozon merupakan oksidator kuat yangberbau tajam dan
merupakan bentuk tidak stabildari oksigen yang terdiri dari tiga
atom O (rumus kimia ozon adalah O3). Nama ozon berasal dari
21
kata Yunani yaitu “ozein” yang berarti berbau.Ozon merupakan
zat yang sangat beracun, lebihberacun daripada sianida (KCN
atau NaCN),striknina, dan karbon monoksida.
Memasuki tahun 1990-an pemanfaatanozon
berkembang sangat pesat, antara lain: untukpengolahan air
minum dan air limbah, untuksterilisasi makanan mentah serta
untuk sterilisasiperalatan. Hal ini tidak terlepas dari sifat
ozonyang dikenal memiliki sifat radikal (mudahbereaksi dengan
senyawa disekitarnya) serta memiliki oksidasi potensial 2,07 V.
Dibandingkan dengan khlorin kecepatanozon sebagai
bahan desinfektan dalammembunuh mikroorganisme bisa 3250
kali lebihcepat serta 150% lebih kuat tenaga oksidatifnya.Ozon
sebelum atau setelah bereaksi denganunsur lain akan selalu
menghasilkan oksigen (O2)sehingga teknologi ozon sangat
ramahlingkungan atau sering dikatakan ozonmerupakan kimia
hijau masa depan (Patel,et al. 2001). Ozondengan kemampuan
oksidasinya dapat digunakansebagai oksidator kuat untuk
mendegradasi fenol.Selain itu ozon sebagai oksidator yang
palingkuat setelah radikal hidroksida (OH*), dapatdigunakan
untuk mengoksidasi logam-logamberat (terlarut dalam air),
mendegradasisenyawa-senyawa organik (termasuk
jugasenyawa organo-klorida dan aromatik),menghilangkan
warna dan bau, ataupun rasa(Bismo. S, dkk, 2008).
2.6.3 Ozon Generator
Pembuatan ozon melalui prosestumbukan dengan
melawatkan oksigen (O2) padadaerah yang dikenai tegangan
tinggi dapatdilakukan dalam sebuah ozon generator .Salahsatu
metode yang dapat digunakan untukgenerator itu ialah metode
lucutan plasma.Metode lucutan plasma dimaksudkan
untukmendapatkan gas ozon berkonsentrasi rendahantara 0,01
ppm sampai dengan 4,00 ppm yangdapat diaplikasikan
22
khususnya untuk mendukungbidang kesehatan dan lingkungan,
bidangindustri dan pertanian (Purwadi A, et al, 2006).Molekul
ozon yang terbentuk pada ozongenerator relatif tak stabil karena
disampingkeberadaan tiga atom oksigen menjadi satumolekul
ozon yang berjejal, juga karena adanyahamburan muatan
elektronik dari masing-masingantar atom oksigen pada molekul
ozon tersebut.Umur paroh ozon sekitar 20 menit didalam airdan
udara 16 jam (Air Treatment With Ozone,2000).
2.6.4 Penentuan Kadar Ozon Melalui TitrasiIodometri
Jumlah ozon ditentukan secara tidaklangsung melalui
titrasi iodometri.Penentuanjumlah ozon didasari oleh reaksi I-
dengan O3yang menghasilkan I2 pada kondisi sedikit
asam.Selanjutnya jumlah ekuivalen I2 ditentukanmelalui titrasi
dengan Natrium Thiosulfat yangsebelumnya sudah
distandarisasi dengan KaliumIodat.Jumlah ekuivalen KI yang
kira-kiradigunakan untuk menampung ozon
ditentukanberdasarkan nilai teoritis ini.Konsentrasi I-
harussedikit berlebih agar menambah kelarutan I2dalam air,
sehingga kemungkinan I2 yang hilangdapat diperkecil.Larutan KI
harus sedikit asam,biasanya dengan penambahan HCL atau
H2SO4dengan konsentrasi tertentu.
Pada kondisi asam, ozon mudahbereaksi dengan I-
membentuk I2. Thiosulfatdiuraikan lambat dalam larutan asam
denganmembentuk belerang sebagai endapan miripsusu.
Reaksinya adalah sebagai berikut :
S2O32- + 2H+→ H2S2O3→H2SO3 + S(s) (10)
Reaksi diatas tidak akan mengganggubila titrasi
dilakukan dengan cepat dan larutandiaduk dengan baik. Reaksi
antara Iod danThiosulfat berlangsung lebih cepat daripadareaksi
23
penguraiannya. Metode iodometri inilangsung diterapkan pada
kisaran 1g/m3 sampai200g/m3 dari ozone, volume dinyatakan
padaNTP (Normal Temperature and Pressure), yangsama
dengan : 0oC atau 273.15 K dan 1.01325 x105 Pa atau 1 Atm
(Masschelein , et al, 1998). Standarisasi titran berdasarkan
prinsip :
5 KI + 5H+→ 5 HI + 5 K+
KIO3 + H+→ HIO3 + K+
HIO3 + 5 HI→ 3 I2 + 3 H2O
3 I2 + 6 S2O3- → 6 I- + 3 S4O6 (11)
Dalam penentuan jumlah ozon yangdihasilkan dari ozon
generator, ozon dialirkankedalam wadah tertutup yang berisi
larutan KIdengan konsentrasi tertentu. Persamaan reaksi
kimianya :
O3(g) + 2I-(aq) + 2H+(aq)→ O2(g) + I2(g) + H2O (12)
Untuk menghindari I2 yang terlepas, kelarutan I2 dalam
air dapat diperbesar dengan sedikit kelebihan I- dalam larutan.
I2(g) + I-(aq)→ I3-(aq) (13)
Selanjutnya Natrium Thiosulfat yangsudah distandarisasi
digunakan sebagai titran untuk penentuan I2 yang terbentuk.
I2 + 2S2O32-→ 2I- + S4O6
2- (14)
Konsentrasi ozon dalam satuan g/Ldapat ditentukan
dengan : 24 x Volume thiosulfatdalam L x Normalitas Thiosulfat
dibagi volumeinlet gas dalam L (Masschelein, et al, 1998).
2.7 Decimal Reduction Time (d-value)
Potential Decimal Reduction Time (Dv) adalah waktu
yang diperlukan untuk mengurangi populasi sebanyak 90%
24
pada suhu tertentu atau waktu yang diperlukan untuk
merubah sebesar 1 log cycle dalam kurva kecepatan
destruksi mikrobia (Zulfan, 2000).Besar nilai DVbergantung
pada jumlah mikrob awal (N0), jumlah mikrob akhir (N) dan
waktu pengolahan (t), yang dapat digambarkan pada grafik
semilogaritmik atau dalam persamaan sebagai berikut:
D= -𝑡
𝐿𝑜𝑔𝑁
𝑁𝑜
D-value umumnya dinyatakan pada suhu standar.Untuk
bakteri mesofilik atau termofilik umumnya menggunakan suhu
standar 121℃.
Gambar 2.1 Grafik D-value
25
III METODE PENELITIAN
3.1 Waktu dan Tempat Pelaksanaan
Penelitian ini dilaksanakan mulai bulan Maret 2017-Juni
2017 bertempat di Laboratorium Inovasi Anak Negeri Indonesia
Malang, Laboratorium Mikrobiologi Pangan Jurusan Teknologi
Hasil Pertanian Universitas Brawijaya Malang, Laboratorium
Bioteknologi Pangan Jurusan Teknologi Hasil Pertanian
Universitas Brawijaya Malang, Laboratorium Tegangan Tinggi
Fakultas Teknik Universitas Brawijaya Malang, serta
Laboratorium Center for Plasma Universitas Diponegoro
1.2 Alat dan Bahan
3.2.1 Alat dan Bahan Pembuatan Pembangkit Tegangan
Tinggi
a. Alat untuk pembuatan pembangkit tegangan tinggi antara
lain:
Solder : menyambungkan rangkaian
Multimeter digital : alat ukur tegangan, hambatan
dan arus
Bor tangan : digunakan untuk melubangi alat
Penyedot timah : digunakan untuk menyedot timah
Gergaji dan cutter : untuk memotong bahan
b. Bahan yang digunakan untuk pembuatan pembangkit
tegangan tinggi antara lain :
Flyback Transformer : sebagai pembangkit tegangan
tinggi
Trafo step down : untuk menurunkan tegangan
26
Fan AC : fungsi sebagai pendingin udara di
dalam kotak kontrol
Led : sebagai lampu indikator
Kabel : penghubung aus listrik
PCB : konektor kabel dan LED/
Multimeter
LM 317 : regulator tegangan positif
Heat sink :membuat transfer panas
menyeluruh
Push On off : untuk menghubungkan atau
memutuskan aliran
Termostat : sebagai sensor suhu yang
diletakkan pada flyback
IC 555 : pembangkit tegangan pulsa
Dll
3.2.2 Alat dan Bahan untuk Pembuatan Prototipe Alat
Sterilisasi
a. Alat
Mistar : Sebagai pengukur
Gunting Plat :digunakan untuk menggunting aluminium
Cutter acrylic :digunakan untuk memotong akrilik
Obeng :sebagai pengencang maupun pengendur
komponen
Dll
b. Bahan
Aluminium : sebagai elektroda yang diletakkan pada
bagian bawah
Prove : sebagai elektroda yang diletakkan pada
bagian atas
Akrilik : sebagai kerangka prototipe
Kloroform : digunakan sebagai perekat akrylik
27
Mur dan baut : Sebagai pengikat kerangka
Dll
3.2.3 Alat dan Bahan Pengujian Alat
a. Pengujian Teknis
Voltmeter : Sebagai alat pengukuran
tegangan rendah
Sela Bola : Untuk mengukur
tegangan tinggi
Temperature control omron : Untuk mengukur suhu
Timer : Untuk mengukur waktu
b. Pengujian Jumlah Salmonella sp. (TPC)
Prototipe DBD plasma : Sebagai alat perlakuan
yang digunakan untukmensterilisasi telur
Autoclave : Alat untuk mensterilkan
media dan peralatan pengujian dengan sterilisasi basah.
Sterilisasi dilakukan dengan menggunakan suhu 121ºC
selama 15 menit.
Inkubator : Sebagai alat untuk
menginkubasi mikroba pada saat pengujian Salmonella
dengan suhu inkubasi 37,1ºC selama 48 jam.
Oven : Sebagai alat sterilisasi
kering yang dilakukan dengan menggunakan suhu
105ºC selama 5 jam.
Cawan petri : Sebagai wadah untuk
perhitungan jumlah koloni bakteri.
Erlenmeyer : Sebagai wadah media
dengan ukuran 500 ml.
Timbangan Analitik : Untuk mengukur massa
bahan.
Vortex maker : Sebagai penghomogenisasi
larutan.
28
Spatula : Untuk menghomogenkan larutan
saat membuat media.
Bunsen : Untuk mensterilkan wadah di
sekitar cawan petri sebelum sampel di masukkan ke
cawan petri.
Kompor listrik : Untuk memanaskan media yang
digunakan dalam perhitunganSalmonella.
Laminar air flow : Sebagai tempat proses
melakukan uji perhitunganSalmonella.
Mikropipet : Untuk mengambil sampel bahan
dengan skala 100-1000 µL.
Blue tip : Untuk mengambil sampel bahan
yang hanya digunakan sekali setiap pengenceran.
Pipet volume : Untuk mengambil bahan
pengenceran dengan ukuran 10 mL.
Penghisap pipet : Untuk membantu mengambil
bahan yang menggunakan pipet volume.
Tabung reaksi : Sebagai wadah pengenceran.
Rak tabung reaksi : Sebagai tempat meletakkan
tabung reaksi.
Gelas ukur : Alat untuk mengukur sampel.
Sprayer : Sebagai wadah alcohol 70%.
Bahan yang digunakan dalam penelitian ini meliputi:
Telur ayam : Digunakan sebagai bahan
perlakuan. Telur yang digunakan berasal dari salah satu
peternakanayam ras daerah Batu.
Biakan Salmonella sp. :Sebagai bahan uji yang
dioleskan pada telur ayam ras dan nantinya akan
dihitung pengurangan koloninya sebelum dan sesudah
disterilisasi menggunakan DBD plasma. Biakan
Salmonella sp. diperoleh dari Laboratorium Mikrobiologi
Pangan Universitas Brawijaya Malang.
29
Alkohol 70% : Untuk mensterilkan peralatan
penelitian.
Spirtus : Sebagai bahan pada bunsen
untuk menyalakan api.
Aquades pH 7 : Sebagai bahan pengenceran.
SSA : Sebagai media selektif bakteri
pada telur.
Pepton : Sebagai campuran pengenceran.
Kapas : Sebagai penutup pada tabung
reaksi dan erlenmeyer.
Plastik : Untuk membungkus peralatan
pada saat dilakukan sterilisasi.
Plastik wrap : Untuk membungkus cawan petri
setelah dilakukan pengenceran.
Karet gelang :Untuk mengikat erlenmeyer/
tabung reaksi yang sudah dibungkus dengan kertas
pada saat akan disterilisasi.
Tisu : Untuk mengeringkan peralatan.
3.3 Metode
3.3 Pendekatan Desain Perancangan Alat
Pendekatan desain yang dilakukan mengacu pada
penelitian-penelitian yang pernah dilakukan yaitu perancangan
design Dielectric Barrier Discharge (DBD) Plasma padaMiao
and Guo (2011).Tahap perancangan alat terdiri dari dua tahap
yaitu :
3.3.1 Rancangan Fungsional
Prototipe ini menggunakan prinsip akibat dari radiasi
tegangan tinggi menghasilkan gas terionisasi didalam ruangan,
30
dimana elektron pada gas yang saling bertumbukan dapat
merusak membran mikroba.
Rancangan prototipe alat sterilisasi telur ayam ras terdiri
dari 3 komponen utama, yaitu : (1) Kotak kontrol; (2) Ruang
plasma; (3) Lampu UV
A. Kotak kontrol
Kotak control ini terbuat dari bahan akrilik bewarna
bening dan memiliki dimensi 40 x 40 x 20 cm3 . akrilik dipilih
karena merupakan bahan isolator yang tidak dapat
menghantarkan listrik. Kotak control berfungsi sebagai tempat
meletakkan pembangkit tegangan tinggi yang akan
memproduksi pulsa listrik bertegangan 40-50 kv. Rangkaian alat
ini terdiri dari :
2 buah Tranfomator flyback sebagai pembangkit
tegangan tinggi
Trafo step down berfungsi sebagai untu menurunkan
tegangan dari PLN
fungsi ntuk menurukan tegangan input
Komponen driver berfungsi sebagai driver tegangan
tinggi
Tombol push on off berfungsi sebagai tombol untuk
menyalakan dan mematikan rangkaian pembangkit
tegangan tinggi
Timer berfungsi untuk mengatur waktu sesuai dengan
apa yang diinginkan
Display Voltmeter berfungsi untuk mengukur tegangan
input pembangkit tegangan tinggi
Display ampermeter berfungsi sebagai mengukur arus
pembangkit tegangan tinggi
Rotary pengatur tegangan sebagai pengatur tegangan
yang diinginkan
31
Temperature control untuk mengukur suhu input dan
output pada ruang plasma
B. Ruang plasma
Ruang plasma terbuat dari acrylic bewarna bening dan
memiliki ukuran 35 x 10 x 10 cm3.Ruang plasma berfungsi
sebagai tempat pengujian sample.Bahan dipilih dari acrylic
karena acrylic merupakan isolator yang baik.Kapasitas dari
prototipe ruang plasma yaitu sebanyak 10 butir telur ayam ras.
Di dalam ruang plasma ini terdapat 4 probe sebagai katoda
yang diletakkan diatas langit-langit dan kabel digunakan untuk
menghubungkan probe dengan rangkaian pembangkit tegangan
tinggi yang terletak pada kotak control. Kemudian dibagian
tengah terdapat barrier acrylic yang juga digunakan sebagai
tempat telur pada bagian bawah terdapat aluminum sebagai
anoda dengan ukuran 30 x 2 cm2 dengan tebal 0.2 mm.
Elektroda bagian bawah jugadihubungkan dengan pembangkit
tegangan tinggi di dalam kotak control dengan menggunakan
kabel.
C. Lampu UV
Lampu UV 10 watt digunakan sebagai pre-
treatmentpengujian sampel.Lampu UV ini berfungsi untuk
menjaga lingkungan agar steril sehingga tidak terjadi
kontaminasi mikroba. Lampu UV akan ditutup dengan akrilik
bewarna gelap dengan ukuran 35 cm x 10 cm untuk mencegah
kerusakan mata yang diakibatkan oleh radiasi dari lampu UV.
3.4 Pendekatan Penelitian
3.4.1 Tahapan Studi Literatur
Tahapan pengerjaan tugas akhir ini diawali dengan studi
literatur mengenai proses sterilisasi menggunakan alat berbasis
32
Dielectric Barrier Discharge (DBD) plasma yang telah ada
sebelumnya. Dalam pengumpulan data, dilakukan dengan
mencari informasi baik melalui internet, jurnal, handbook,
pustaka referensi, maupun pustaka penunjang lainnya.
3.4.2 Desain Prototipe Alat Sterilisasi Berbasis Dielectric
Barrier Discharge (DBD) Plasma
Desain secara struktural merupakan tahap desain
rancangan alat yang akan dibuat dengan menekankan dimensi
dan bahan tiap komponen. Adapun desain rancangan prototipe
alat sterilisasi berbasis teknologi DBD plasma ditunjukkan pada
Gambar 3.1
33
Keterangan
Gambar 3.1 Desain Prototipe Alat Sterilisasi Berbasis
Teknologi DBD Plasma
:
Kerangka tersebut terbuat dari akrilik bewarna bening
dengan ketebalan 5 cm. Skema kerja prototipe alat ini dapat
dilihat pada Gambar 3.2
Gambar 3.2 Skema kerja prototipe alat sterilisasi
berbasis DBD plasma.
Sedangkan rangkaian skematik alat sterilisasi berbasis
DBD plasma ditunjukkan pada Gambar 3.3 berikut:
1.Lampu UV 10
watt
6. Tombol tegangan tinggi 11. Telur
2.Flyback
Transfomer
7. Tombol lampu UV 12.Ruangplasma
3. Pembangkit
tegangantinggi
8. Mini multimeter DC 13. Elektroda
4. ON/OFF 9. Omron timer
5.Pengatur
tegangan
10. Omron suhu
34
Gambar 3.3 Rangkaian SkematikAlat Sterilisasi
Berbasis DBD Plasma
3.5 Prosedur penelitian
Pelaksanaan penelitian terbagi menjadi beberapa
tahapan yaitu:
3.5.1 Tahapan Persiapan Bahan Baku
Pada tahap ini, bahan baku berupa telur ayam diperoleh
dari salah satu peternakan ayam ras didaerah Batu dan
selanjutnya telur disimpan didalam box.
3.5.2 Persiapan Sampel
Telur yang telah dikemas dari salah satu peternakan
daerah Batu kemudian dibawa ke Laboratorium Mikrobiologi
Pangan FTP UB untuk diolesi bakteri Salmonella sp. Lama
perjalanan sekitar 30 menit. Proses pengolesan bakteri
Salmonella sp.menggunakan metode swab. Adapun tahapan
pengolesan bakteri Salmonella sp. dapat dilihat pada Lampiran
1.
35
3.5.3 Tahapan Pembersihan Prototipe Alat
BerbasisDielectric Barrier Discharge (DBD) Plasma
Sebelum dilakukan perakitan, seluruh komponen terlebih
dahulu dilakukan pembersihan dengan menggunakan tisu sekali
pakai yang telah dicelupkan pada alkohol 70%. Hal tersebut
bertujuan untuk menjaga keaseptisan proses.
3.5.4 Tahapan Sterilisasi BerbasisDielectric Barrier
Discharge (DBD) Plasma
Prototipe alat DBD plasma dihidupkan kemudian
dilakukan pre-treatment dengan cara menghidupkan lampu UV
selama 10 menit, fungsinya agar tidak terjadi kontaminasi.
Selanjutnya sampel telur dimasukkan ke dalam ruang
plasma.Diatur tegangan masukan dan waktu sesuai dengan
kombinasi pada Tabel 3.1.Setelah telur di sterilisasi selanjutnya
telur disimpan dalam coolbox untuk mencegah tumbuhnya
mikroorganisme.Tahapan sterilisasi ini dilakukan di
Laboratorium Inovasi Anak Negeri Indonesia.
3.5.5 Tahapan Pengujian Sampel
Pada tahapan ini, masing-masing sampel diuji total
bakteri Salmonellasp (TPC). Sebelum di uji total bakteri
Salmonellasp (TPC) pada masing-masing sampel dilakukan
tahap pengayaan terhadap bakteri Salmonellasp. Metode
pengujian ini mengacu pada metode yang digunakan oleh
(Nugroho dkk, 2015) dalam pengujian sampel pada penelitian
Deteksi Salmonella spp. pada Telur Ayam Konsumsi
yangDilalulintaskan melalui Pelabuhan Tenau Kupang. Adapun
detail prosedur kerja pengayaan bakteri Salmonellasp. dapat
dilihat pada Lampiran 2.
36
3.6 Parameter Pengujian
Pada tahap pengujian, telur yang telah disterilisasi
kemudian diuji total bakteri Salmonella sp.
3.6.1 Total Bakteri (TPC)
Proses perhitungan ini dilakukan pada telur sebelum dan
sesudah ditreatment menggunakan rangkaian prototipe alat
DBD plasma. Metode yang digunakan dalam menghitung jumlah
bakteri adalah metode total plate count. Menurut Dwidjoseputro
(2005), tahapan perhitungan jumlah bakteri menggunakan
metode TPC adalah sebagai berikut:
1. Sterilisasi
Pada tahap ini seluruh perlatan pengujian sudah
disterilkan menggunakan autoclave pada suhu 121ºC tekanan
15 psi selama 15 menit.
2. Preparasi
Pada tahapan preparasi, setiap tabung reaksi diisi
dengan aquades sebanyak 9 ml. Kemudian pada proses
pembuatan media, media agar diletakkan ke dalam erlenmeyer
dan ditambahkan aquades dan dipanaskan diatas kompor.
3. Pengenceran
Proses ini dilakukan dengan cara mengambil 1 ml
sampel kemudian dimasukkan ke dalam 9 ml aquades dari
tabung reaksi pertama (101) kemudian divortex. Selanjutnya
diambil 1 ml sampel dari tabung reaksi pertama dan dimasukkan
ke dalam 9 ml aquades dari tabung reaksi kedua (102) dan
begitu seterusnya hingga (106).
4. Inkubasi
Cawan petri yang telah berisi bakteri diinkubasi selama 2
hari dalam suhu 37ºC.
5. Perhitungan
37
Jumlah koloni dalam sampel dapat dihitung dengan
menggunakan rumus sebagai berikut:
𝐾𝑜𝑙𝑜𝑛𝑖𝑝𝑒𝑟𝑚𝑙 = 𝑗𝑢𝑚𝑙𝑎𝑘𝑜𝑙𝑜𝑛𝑖𝑝𝑒𝑟𝑐𝑎𝑤𝑎𝑛1
𝑓𝑎𝑘𝑡𝑜𝑟𝑝𝑒𝑛𝑔𝑒𝑛𝑐𝑒𝑟𝑎𝑛
Pemilihan jumlah mikroorganisme diantara 3 pengenceran
terakhir mengikuti Standar Plate Count (SPC). SPC merupakan
metode untuk mendapatkan hasil jumlah mikroba dengan range
30-300 CFU (Colony Forming Unit)/ml dari pengenceran 10-2,
10-3, 10-4. Hal ini ditunjukkan untuk meminimalisir kemungkinan-
kemungkinan kesalahan dalam proses analisa. Adapun detail
prosedur kerja analisa TPC terlampir pada Lampiran 3
sementara pemilihan jumlah mikroorganisme dengan
menggunakan SPC terdapat pada Lampiran 4.
3.7 Perhitungan Haugh Unit Telur
Haugh Unit (HU) di ketahui menurut Sudaryani (2000)
dengan rumus :
HU = 100 log (H + 7,57 – 1,7 W0,37)
Keterangan : HU= haugh unit
H = tinggi albumin telur
W = bobot telur (gram)
3.8Penentuan Konsentrasi Ozon (O3)
Pengukuran konsentrasi ozon dalam ruang plasma
menggunakan metode titrasi iodometri.Adapun tahapannya
adalah sebagai berikut:
A. Produksi Ozon
Memposisikan regulator voltase pada titik terendah (nol),
sehingga generator ozon masih bertegangan rendah
(220 volt).
38
Proses ozonasi berlangsung pada tegangan sebesar
48,61 kV selama 1, 3, 5 menit dan pada waktu 5 menit
dengan tegangan sebesar 43,63 kV, 47,24 kV, dan
48,61
Larutan KI 200 ml dimasukkan dalamtabung analisis ke-
1 (tabung bawah) untukproses penggelembungan
dimana kepalatube berada pada kedalaman 15 cm
ataulebih dibawah permukaan larutan KI. Lalu gas
oksigen (bahan baku) dialirkan ke ruang plasma.
Gas yang mengandung ozon dialirkan kedalam tabung
ke-1 (tabung bawah) yangtelah berisi larutan KI
sehingga terjadipenggelembungan/bubbling sampai
warnalarutan KI berubah yang semula berwarnajernih
menjadi kuning. Hal ini menandakangas ozon telah
terbentuk dan dilakukanberulang-ulang dengan masing-
masing variabel yang telah ditentukan.
Penggelembungan dihentikan sesuai dengan waktu
yang telah divariasikan.
Sampel larutan dalam tabung diambil untuk dianalisis
konsentrasi ozon yang terbentuk dan mengulangi
percobaan untuk masing-masing variabel.
B. Analisa Produk (Metode Iodometrik)
Selanjutnya dilakukan penentuankonsentrasi ozon dari
tabung dengan metodeiodometri melalui prosedur sebagai
berikut:
Larutan KI 200 ml yang telah dilewatkangas ozon,
diletakkan di dalam erlenmeyer dan ditambahkan
dengan 10 ml H2SO4. Larutan berubah warna menjadi
lebih gelap.
39
Segera setelah penambahan asam sulfat (H2SO4),
larutan tersebut dititrasi dengan larutan natrium
thiosulfate (Na2S2O3 0.2 N).
Menjelang akhir titrasi, yang ditandai dengan warna
larutan menjadi kuning pucat tambahkan 0,5 ml amilum
2 % (larutan berubah warna menjadi biru gelap) untuk
melengkapi dan mengarahkan hasil akhir dari titrasi.
Sehingga larutan berubah warna dari biru gelap menjadi
tidak berwarna (bening).
Hasil : O3 + 2I → I2 + O2+ O-
I2 + 2S2O3→ 2I + S4O62- (15)
Konsentrasi ozon dapat dihitung sebagai berikut:
Konsentrasi ozon (g/l): 24 x Volume thiosulfat(liter) x
Normalitas thiosulfat / Volume gas oksigen (liter) (16)
Sumber :Masschelein, et al, (1998)
3.9 Teknik Analisis Data
Penelitian ini menggunakan teknik analisis data dengan
menginterpretasikan data yang diperoleh dari alat ukur sela
bola, voltmeter digital, omron suhu, koloni counter, pengujian
proksimat, nilai haugh unit, serta pengujian jumlah ozon dengan
metode titrasi iodimetrikemudian menyajikan kembali dalam
bentuk kalimat.
40
3.9 Diagram Alir Prosedur Pengujian alat
Gambar 3.4 Prosedur Pengujian Alat
41
3.10 Diagram Alir Proses Sterilisasi
Gambar 3.5Proses Sterilisasi Telur Ayam Ras
menggunakan DBD plasma
43
IV HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Rangkaian DBD (Dielectric Barrier Discharge) Plasma
Alat sterilisasi telur ayam ras berbasis DBD (Dielectric
Barrier Discharge) plasma merupakan salah satu teknologi baru
di bidang pangan. Prinsip kerja alat ini yakni pembangkit
tegangan tinggi akan membangkitkan tegangan dengan
menggunakan flyback, dimana tegangan tinggi ini akan
melewati barrier akrilik sehingga akan menghasilkan hamburan
plasma yang dapat mengionisasi gas dalam atmosfer tersebut.
Gas terionisasi dapat memecah dinding sel mikroorganisme
pathogen akibatnya mikroorganisme pathogen tersebut
berkurang atau bahkan mati.
Pada alat sterilisasi telur ayam ras berbasis DBD
(DielectricBarrier Discharge) plasma terdapat 3 bagian khusus
yakni ruang plasma, kotak kontrol tegangan tinggi, dan lampu
UV. Ruang plasma berbentuk balok yang berfungsi sebagai
tempat meletakkan telur dan berlangsungnya proses sterilisasi.
Ruang plasma dan kotak kontrol berbahan dasar akrilik,
pemilihan bahan ini dikarenakan bahan ini aman untuk proses
pengolahan pangan, murah, dan menarik untuk dekorasi. Ruang
plasma hanya mampu menampung 10 butir telur ayam ras.
Kotak kontrol tegangan tinggi berisi beberapa komponen
penghasil listrik dan 3 komponen utama yaitu flyback
transformer yang digunakan untuk megubah tegangan pulsa
yang dihasilkan oleh driver IC timer555 menjadi tegangan tinggi
AC. Serta pengatur tegangan input untuk menentukan berapa
volt tegangan input yang digunakan. Dimensi dari alat ini adalah
sebesar 40x40x20 cm3.
Selanjutnya lampu UV digunakan untuk proses pre-
treatment sebelum telur dimasukkan ke dalam ruang plasma.
Lampu UV dihidupkan terlebih dahulu selama 10 menit untuk
44
menjaga ruang plasma terhindar dari kontaminasi bakteri
kemudian telur ayam dimasukkan ke dalam ruang plasma dan
siap untuk disterilisasi.
Sistem kontrol yang digunakan pada alat sterilisasi telur
berbasis DBD (Dielectric Barrier Discharge) plasma adalah
kontrol waktu, kontrol tegangan input dan kontrol suhu. Adapun
rangkaian alat sterilisasi telur berbasis DBD (Dielectric Barrier
Discharge) plasma ditunjukkan pada gambar4.1 dibawah ini:
1
2
3
Keterangan: 1. Ruang plasma
2. Lampu UV
3. Kotak kontrol tegangan tinggi
Gambar 4.1 Rangkaian alat sterilisasi telur berbasis DBD
(Dielectric Barrier Discharge) plasma
4.2 Hasil Perhitungan Tegangan Output
Pengukuran tegangan masukan diukur menggunakan
multimeter yang terdapat pada alat dan tegangan keluaran
dengan menggunakan alat ukur sela bola.Prinsip kerja dari alat
ukur sela bola ini yaitu membandingkan tingkat tegangan
tembus pada sela bola menggunakan generator rekayasa
dengan menggunakan pembangkit standar di laboratorium
45
tegangan tinggi. Setelah tembus dengan menggunakan
generator rekayasa, sela bola dipindah untuk diberi tegangan
tinggi standar hingga tembus terjadi. Nilai yang ditunjukkan alat
standar dicatat sama dengan nilai tegangan yang dibangkitkan
oleh generator rekayasa. Pengukuran diulang sebanyak tiga kali
tiap tegangan input yang ditentukan. Pada pengukuran nilai
tegangan output dihitung dari tegangan input 18 volt, 20 volt dan
22 volt. Pengukuran ini dilakukan di Laboratorium Tegangan
Tinggi, Fakultas Teknik Universitas Brawijaya. Adapun prosedur
pengujian tegangan tinggi menggunakan metode sela bola
terdapat pada Lampiran 5. dan hasilnya terdapat pada
Lampiran 6, kemudian rincian ulangan pengukuran antara
variasi tegangan input terhadap tegangan output yang
dihasilkan dapat dilihat pada Tabel 4.1 dibawah ini:
Tabel 4.1Hasil Pengujian Perbandingan Tegangan Masukan
dan Tegangan Keluaran
Vin (V) Vout (kV) Vrata-rata (kV)
V1 (kV) V2 (kV) V3 (kV)
18 43.94 43.68 43.68 43.63
20 47.24 47.72 46.7 47.24 22 49.34 48.1 48.4 48.61
Tegangan keluaran terbesar didapatkan pada pemberian
tegangan input sebesar 22 volt yakni dengan rata-rata sebesar
48,61 kV, sedangkan tegangan keluaran terkecil didapatkan
pada pemberian tegangan input sebesar 18 volt yakni dengan
rata-rata sebesar 43,63 kV. Dari data tersebut diketahui bahwa
semakin besar tegangan input yang diberikan maka semakin
besar pula tegangan output yang dihasilkan oleh alat sterilisasi
telur ayam ras yang berbasis dielectric barrier discharge
plasma. Tegangan output tertinggi dihasilkan dari tegangan
46
input 22 volt yakni dengan tegangan output rata-rata sebesar
48,61 kV. Pembangkit tegangan tinggi yang digunakan adalah
driver IC TIMER 555 dengan flybacktrasformer sebagai trafo
dari tegangan tinggi. Sehingga dapat digambarkan sebagai
berikut:
Gambar 4.2 Hubungan Tegangan Masukan dan Tegangan
Keluaran
Gambar 4.2 Grafik Hubungan Tegangan Masukan dengan
Tegangan Hitung
Flyback transformer berkerja berdasarkan prinsip
transformator pada umumnya. Memiliki belitan primer yang
jumlahnya satuan dan sekunder yang jumlahnya puluhan ribu
yang biasa digunakan untuk operasi frekuensi tinggi. Tegangan
yang digunakan pada bagian primer hampir selalu berbentuk
kotak (rectangular) dengan arus yang mengalir pada kedua sisi
flyback transformer yang naik turun dalam berbentuk gergaji
(Andriawan, 2015).
47
4.3 Hasil Pengujian Kandungan Gas Terionisai (O3)
Ozon atau O3 merupakan indikasi dari gas terionisasi
dari proses sterilisasi menggunakan alat berbasis dielectri
barrier discharge plasma (Nur, 2011). Jumlah ozon ditentukan
secara tidak langsung melalui titrasi iodometri. Penentuan
jumlah ozon yang terbentuk didasari oleh reaksi I- dengan O3
yang menghasilkan I2 pada kondisi sedikit asam. Reaksinya
adalah sebagai berikut : O3 + 2I → I2 + O2 + O* (17) Jumlah
ekuivalen I2 yang terbentuk dalam larutan KI dapat ditambahkan
Asam Sulfat (H2SO4 10 ml), segera setelah pengasaman
dengan larutan asam sulfat, dititrasi dengan Natrium Thiosulfat
(Na2S2O3 0.2 N). I2 + 2S2O3 → 2I* + S4O6 2- (18) Setelah
penambahan asam sulfat warna larutan berubah dari kuning
terang (tergantung banyaknya konsentrasi ozon yang
dihasilkan) menjadi lebih gelap. Lalu secepatnya larutan ini
dititrasi dengan Natrium Thiosulfat dan dilakukan pengadukan
dengan baik untuk meminimalisasi terjadinya oksidasi iodide
oleh udara bebas. Menjelang akhir titrasi yang ditandai dengan
warna larutan menjadi kuning pucat, indikator amylum 2%
ditambahkan (untuk melengkapi dan mengarahkan hasil akhir
titrasi). Jika amylum ditambahakan pada awal titrasi karena
beberapa alasan. Alasan pertama amylum-I2 terdisosiasi sangat
lambat akibatnya banyak I2 yang akan terabsorbsi oleh amylum.
Alasan kedua adalah biasanya iodometri dilakukan pada media
asam kuat sehingga akan menghindari terjadinya hidrolisis
amylum. Titrasi dihentikan ketika larutan tidak berwarna lagi
(bening). Pengujian ini dilakukan di Laboratorium Center for
Plasma Universitas Diponegoro. Adapun hasil pengujian ozon
terdapat pada Lampiran 7.
Hubungan tegangan keluaran (kV) dengan konsentrasi
ozon (ppm) dapat diketahui melalui pengujian dengan variasi
tegangan keluran 43,63; 47,24; dan 48,61 kV pada waktu
48
optimum 5 menit.Hubungan tegangan keluaran (kV) dengan
konsentrasi ozon (ppm) adalah berbanding lurus. Hal ini
dijelaskan pada Gambar berikut.
Gambar 4.3 Hubungan Tegangan Tinggi Keluaran
dengan Jumlah Ozon
Gambar 4.3 menunjukkan hubungan tegangan tinggi
keluaran dengan jumlah ozon (O3) yang terbentuk dengan waktu
ozonasi tetap (5 menit). Dari grafik tersebut, dapat dilihat bahwa
jumlah ozon (O3) yang terbentuk paling besar pada tegangan
tinggi keluaran48,61 kV yakni sebanyak 640 ppm. Semakin
tinggi tegangan keluaran yang digunakan maka konsentrasi
ozonakan semakin meningkat (Mendes, 2012).
Selain itu pengaruh waktu (menit) dengan konsentrasi
ozon (ppm) dapat diketahui hubungannya melalui pengujian
dengan variasi waktu 1, 3, 5 menit pada tegangan optimum
48,61 kV. Hubungan waktu (menit) dengan konsentrasi ozon
49
(ppm) adalah berbanding lurus. Hal in dijelaskan pada Gambar
4.4 berikut.
Gambar 4.4 Hubungan Waktu Sterilisasi dengan Jumlah Ozon
yang Dihasilkan
Gambar 4.4menunjukkan waktu sterilisasi dengan
jumlah ozon (O3) yang terbentuk. Dari grafik tersebut, dapat
dilihat bahwa jumlah ozon (O3) yang terbentuk paling besar
pada waktu sterilisasi 5 menit yakni sebanyak 635 ppm.
Sedangkan pada waktu sterilisasi 3 menit ozon yang dihasilkan
sebesar 480 ppm dan pada waktu sterilisasi 1 menit ozon yang
dihasilkan adalah sebesar 340 ppm. Dari grafik tersebut dapat
dijelaskan bahwa semakin lama waktu sterilisasi telur ayam
yang digunakan maka konsentrasi ozonakan semakin
meningkat (Mendes, 2012).
50
4.4 Jumlah Cemaran Salmonella sp. (Total Plate Count) dan
Efektivitas Kematian Mikroba
Sterilisasi merupakan salah satu metode untuk
mematikan mikroorganisme yang tidak diinginkan dalam telur
ayam seperti mematikan bakteri Salmonella sp. Perhitungan
jumlah cemaran ini menggunakan metode total plate count.
Perhitungan jumlah cemaran bakteri Salmonella sp. terdapat
pada Lampiran 8. Dan Pengamatan jumlah mikroba disetiap
pengenceran terdapat pada Lampiran 9. dimana hal ini terkait
dengan nilai efektifitas kematian mikroba yang perhitungannya
terlampir pada Lampiran 12. Berdasarkan perhitungan tersebut
maka didapatkan tabel jumlah cemaran bakteri Salmonella sp.
sebagai berikut:
Tabel 4.2 Jumlah Cemaranbakteri Salmonella sp.
Perlakuan
Jumlah Cemaran Salmonella sp. Rata-rata (cfu/ml) I II III
Kontrol (18v, 1 mnt) (18v, 3 mnt) (18v, 5 mnt) (20v, 1 mnt) (20v, 3 mnt) (20v, 5 mnt) (22v, 1 mnt) (22v, 3 mnt) (22v, 5 mnt)
2,2 x 106
7,3 x 105
1 x106
5,7 x10
5
2,9 x 105
1,8 x104
2,8 x 104
2,4 x 103
3,1 x 102
0
1,9 x 106
1,4 x 106
1x 105
2,1 x10
5
2,3 x 10
5
1 x 105
1x 104
2,4 x 103
3 x 102
1 x 101 (0)
2,3 x106
2,9 x 105
2 x 10
5
7,1 x 10
4
2,4 x105
3 x 10
4
1,1 x 10
4
1,9 x 10
3
4,2 x 10
2
0
±2,1 x 106
±8.1 x 10
5
±4,3 x 10
5
±2,8 x 10
5
±2,5 x10
5
±4,3 x 10
4
±1,6 x 10
4
±2,2 x 10
3
±3,4 x 10
2
±33 x 10
-1
(0)
51
Efektifitas kematian Salmonella sp. terkecil dimiliki pada
perlakuan tegangan masukan 18 volt, waktu 1 menit dengan
presentase sebesar 61,43% sementara efektifitas kemaian
mikroba terbesar dimiliki pada perlakuan tegangan masukan 22
volt, waktu 5 menit dengan presentase mencapai 100%. Grafik
dibawah ini menunjukan presentase kematian Salmonella sp.
Gambar 4.5 Grafik Efektifitas Kematian Salmonella sp.
Berdasarkan tabel dan grafik tersebut dapat dilihat bahwa terjadi
penurunan jumlah cemaran bakteri Salmonella sp. setelah telur
mengalami proses sterilisasi. Diketahui bahwa rata-rata jumlah
koloni mikroba sebelum diserilisasi adalah 2,1 x 106 cfu/ml.
Menurut Fardiaz (1989)tingkat kontaminasi mikroorganisme
pada telur dipengaruhi oleh keadaan kerabang telur, besar
ruang udara, kondisi putih telur, dan kuning telur.
Mikroorganisme dari luar mencemari telur melalui pori-pori pada
lapisan kerabang telur yang mengalami kerusakan.
Mikroorganisme dapat mencemari telur setelah dalam proses
penyimpanan, melalui pori dan menembus dua lapisan telur di
52
bawahnya. Telur akan terinfeksi bila mikroorganisme dapat
bertahan pada putih telur dan mencapai kuning
telur.Kontaminasi Salmonella pada telur diketahui terjadi melalui
dua mekanisme yaitu kontaminasi vertikal dan kontaminasi
horizontal. Kontaminasi vertikal dikenal juga sebagai
kontaminasi transovarial, dimana penularan Salmonella pada
telur berasal dari induk ayam yang terifeksi. Sehingga
diperlukan proses sterilisasi untuk membunuh bakteri tersebut.
Pada proses sterilisasi dengan menggunakan tegangan
masukan 18 v dan waktu 1 menit, terjadi penurunan jumlah
koloni Salmonella sp. hingga 8.1 x 105 cfu/ml dengan efektifitas
kematian bakteri sebesar 61,43%. Selanjutnya pada tegangan
yang sama dan waktu sterilisasi 3 menit, penurunan jumlah
koloni Salmonella sp. mencapai 4,3 x 105 cfu/ml dengan
efektifitas kematian bakteri sebesar 79,52%. Ketika waktu
sterilisasi ditingkatkan menjadi 5 menit, penurunan jumlahkoloni
Salmonella sp.mencapai 2,8 x 105 cfu/ml dengan efektifitas
kematian sebesar 86,66%.
Pada perlakuan selanjutnya, tegangan masukan untuk
proses sterilisasi ditingkatkan menjadi 20 volt. Pada tegangan
tersebut, ketika waktu sterilisasi 1 menit jumlah koloni
Salmonella sp. sebesar 2,5 x105 cfu/ml dengan efektifitas
kematian bakteri sebesar 88,09%. Kemudian ketika waktu
sterilisasi ditingkatkan menjadi 3 menit,jumlah koloni
Salmonella sp. sebesar 4,3 x 104 cfu/mldengan efektifitas
kematian bakteri sebesar 97,95%. Ketika waktu sterilisasi 5
menit jumlah koloni Salmonella sp. menjadi 1,6 x 104 cfu/ml
dengan efektifias kematian mikroba mencapai 99,23%.
Pada proses sterilisasi dengan tegangan input 22 v dan
waktu sterilisasi 1 menit,jumlah koloni Salmonella sp. sebesar
2,2 x 103 cfu/mldengan efektifitas kematian bakteri sebesar
99,89%. Kemudian ketika waktu sterilisasi ditingkatkan menjadi
3 menit,jumlah koloni Salmonella sp. sebesar 3,4 x 102
53
cfu/mldengan efektifitas kematian bakteri sebesar
99,98%.Ketika waktu sterilisasi 5 menit jumlah koloni
Salmonella sp. menjadi 33 x 10-1 (0)cfu/mldengan efektifitas
kematian bakteri sebesar 100%.
Berdasarkan penjabaran tersebut, dapat diketahui
bahwa terjadi penurunan jumlahkoloni Salmonella sp.setelah
disterilisasi meggunakan alat berbasis dielectric barrier
discharge plasma. Kenaikan tegangan masukan dan waktu
sterilisasi menyebabkan jumlah koloni Salmonella sp. semakin
berkurang.
4.5 Penurunan Jumlah Mikroba dan Log Cycle
Proses sterilisasi dengan menggunakan alat berbasis
dielectric barrier discharge plasma akan menurunkan jumlah
koloni Salmonella sp. pada telur ayam ras dari 2,1 x 106 menjadi
33 x 10-1 (0). Menurut Nur (2011), metode DBD plasma
memanfaatkan lempengan elektroda alumunium dan akrilik
(lapisan dielektrik) yang diletakkan pada bagian bawah didalam
ruang plasma dan memungkinkan plasma melakukan kontak
dengan elektroda sehingga dapat menghasilkan lucutan
elektron yang dpat mengionsasi gas didalam ruang alat
sterilisasi kemudian gas terionisasi ini kan bereaksi dengan
membran sel bakteri Salmonella sp. sehinga mengakibatkan
pecahnya membran atau lisis dan isi sel dari bakteri keluar
kemudian mati. Berikut ini merupakan Tabel 4.3 Yang
menunjukkan nilai logcycle mikroba pada setiap perlakuan
sementara itu perhitungan log cycle terdapat pada Lampiran
10.
54
Tabel 4.3 Nilai Log Cycle
Perlakuan Log cycle
18 v, 1 mnt 18 v, 3 mnt 18 v, 5 mnt 20 v, 1 mnt 20 v, 3 mnt 20 v, 5 mnt 22 v, 1 mnt 22 v, 3 mnt 22 v, 5 mnt
0,4137 0,6887 0,8750 0,9242 1,6887 2,1180 2,9797 3,7907 5,8073
Penurunan mikroorganisme terendah terdapat pada
tegangan masukan 18 v dengan waktu sterilisasi 1 menit
dimana hanya mampu menurunkan sebesar 0,4137logcycle.
Sementara itu penurunan mikroorganisme tertinggi terdapat
pada pelakuan dengan tegangan masukan 22 v dan waktu
sterilisasi 5 menit dimana mampu menurunkan hingga
5,8073logcycle. Sedangkan penurunan mikroba dijelaskan pada
Gambar 4.6
Gambar 4.6 Grafik Penurunan Mikroba
55
Gambar 4.6 menunjukkan grafik penurunan mikroba
pada telur tanpa perlakuan sterilisasi dan telur yang disterilisasi
dengan tegangan keluaran 43,76 kV, 47,24 kV, dan 48,61 kV
dengan masing-masing perlakuan waktu sterilisasi selama 1
menit, 3 menit, dan 5 menit. Secara umum, tampak pada grafik
bahwa lama sterilisasi berbanding lurus dengan penurunan
mikroba, dimana semakin lama waktu sterlisisasi maka
penurunan jumlah mikroba akan semakin besar atau dapat
dikatakan semakin sedikit koloni Salmonella sp. yang terdapat
pada telur tersebut. Sementara itu apabila dilihat dari segi
tegangan, tegangan 48,61 kV memiliki penurunan mikroba
terbesar dibandingkan tegangan 43,61 kV dan tegangan 47,24
kV. Semakin besar tegangan yang digunakan maka penurunan
jumlah mikroba akan semakin besar atau dapat dikatakan
semakin sedikit koloni Salmonella sp. yang terdapat pada telur
tersebut.
4.6 D-value
D-value atau juga disebut potential decimal reduction
time merupakan waktu yang dibutuhan untuk menurunkan
jumlah mikroba sebanyak 1 log cycle atau 90% dari jumlah
mikroba yang ada (Jay, 1996). Besar nilai D bergantung pada
jumlah mikroba awal (No), jumlah mikroba akhir (N) dan waktu
pengolahan (t) yang dapat digambarkan pada penurunan
berikut:
D= -𝑡
𝐿𝑜𝑔𝑁
𝑁𝑜
Jumlah Salmonella sp. awal pada sampel telur ayam ras
adalah sebanyak 2,1x106 cfu/ml, setelah proses sterilisasi
dengan tegangan 43,76 kV dan waktu perlakuan selama 1 menit
jumlah Salmonella sp. menurun hingga 8,1x105cfu/ml atau sama
dengan 61,43%, ketika waktu sterilisasi ditingkatkan menjadi 3
56
menit jumlah Salmonella sp. turun menjadi 4,3x105cfu/ml atau
sama dengan 79,52% dan ketika waktu sterilisasi ditingkatkan
menjadi 5 menit jumlah Salmonella sp. menurun menjadi
2,8x105cfu/ml atau sama dengan 86,66% dari populasi
Salmonella sp. awal. Sterilisasi telur ayam ras pada tegangan
43,76 kV dan waktu perlakuan selama 1,3, 5 menit tidak mampu
menurunkan Salmonella sp. sebesar 1log cycledikarenakan
kurang besarnya tegangan yang diberikan sehingga tidak perlu
dilakukan perhitungan nilai D-value.
Sedangkan pada sterilisasi telur ayam ras dengan
tegangan sebesar 47,24 kV dan waktu perlakuan selama 1
menit jumlah Salmonella sp. turun menjadi 88,09% dan ketika
waktu sterilisasi ditingkatkan menjadi 3 menit jumlah Salmonella
sp. turun menjadi 4,3x104 atau mencapai 97,95%, ketika waktu
sterilisasi ditingkatkan menjadi 5 menit jumlah Salmonella sp.
turun menjadi 1,6x104cfu/ml. Efektivitas kematian Salmonella
sp. mencapai 99,23%, sehingga diharuskan menghitung nilai D.
Perhitungan D-value sesuai dengan rumus
D= -𝑡
𝐿𝑜𝑔𝑁
𝑁𝑜
Sterilisasi telur ayam ras pada tegangan 47,24 kV memiliki D-
value selama 2,0685 menit. Artinya, untuk membunuh bakteri
Salmonella sp sebesar 1 log cycle atau 90% dibutuhkan waktu
selama 2,0685 menit. Sterilisasi menggunakan alat berbasis
Dielectric Barrier Discharge (DBD) Plasma cukup efektif dalam
membunuh bakteri Salmonella sp.
Sedangkan ketika tegangan ditingkatkan menjadi 48,61
kV dan lama perlakuan 1 menit jumlah bakteri salmonella telah
turun mencapai 2,9797 log cycledan ketika waktu sterilisasi
57
ditingkatkan menjadi 3 menit bakteri Salmonella sp. dapat turun
sebesar 3,7907 log cycle dan ketika waktu sterilisasi
ditingkatkan menjadi 5 menit, Efektivitas penurunan telah
mencapai 5,8037 log cycle. Untuk membunuh bakteri
Salmonella sp. dengan sterilisasi menggunakan tegangan
sebesar 48,61 kV dibutuhkan waktu selama 0,6389 menit atau
38, 334 detik.
Hubungan antara tegangan dengan D-value adalah
berbanding terbalik dimana semakin besar tegangan yang
digunakan maka nilai D-value akan semakin kecil. Kenaikan
tegangan pada alat berbasis DBD plasma yang menghasilkan
gas terionisasi yang semakin besar juga menyebabkan
kematian bakteri. Hal tersebut sesuai dengan pernyataan
Carmago et. al., (2010) yang menyatakan bahwa tegangan
tinggi yang diterima bakteri menyebabkan kerusakan pada
membrane sehingga inti nucleusmenjadi terpecah. Hal tersebut
sesuai dengan penelitian Miao et. al., (2011) yang meneliti
tentang sterilisasi E.coli dengan menggunakan Dielectric Barrier
Discharge (DBD) plasma dimana nilai D yang dihasilkan lebih
rendah dibandingkan dengan sterilisasi konvensional. Selain itu,
menurut Saleh (2004), D-value dipengaruhi oleh beberapa
faktor antara lain resistansi mikroba terhadap panas, populasi
mikroba dan juga jenis mikroba yang terkandung dalam bahan.
Adapun gambar grafik D-value secara keseluruhan dijelaskan p-
ada Gambar 4.7 dibawah ini:
58
Gambar 4.7Grafik D-value
4.7 Hasil Pengujian Nutrisi Telur
Uji nutrisi telur dilakukan di Laboratorium Mutu dan
Keamanan Pangan Fakultas Teknologi Pertanian Universitas
Brawijaya. Pengujian ini meliputi uji proksimat yakni analisis
kandungan zat gizi menyeluruh yang meliputi kadar air, kadar
abu, kadar protein, kadar lipida, dan kadar karbohidrat. Pada
analisis proksimat, karbohidrat biasanya dianalisis secara by
difference. Analisis ini penting untuk mengetahui komposisi gizi
pada telur ayam ras yang disterilisasi menggunakan alat
berbasis Dielectric Barrier Discharge (DBD) plasma. Telur yang
diujikan adalah telur tanpa perlakuan sterilisasi dan telur yang
disterilisasi menggunakan tegangan sebesar 48,61 kV selama 5
menit. Adapun bukti hasil pengujian nutrisi telur terdapat pada
Lampiran13. sedangkan hasil dari pengujian nutrisi telur dapat
dilihat pada Tabel 4.4 Dibawah ini:
59
Tabel 4.4 Hasil Pengujian Nutrisi Telur Sebelum dan Sesudah
Disterilisasi
Parameter Kontrol Sterilisasi StandarTelur
Protein (%) 8.38 8.40 8.0-13.4 Lemak (%) 8.61 8.82 8.5-11.8 Air (%) 74.61 74.57 72.5-75.5 Abu (%) 0.91 0.96 0.8-1 Karbohidrat
(%) 5.51 5.84 5.3-6.1
Berdasarkan hasil pengujian tersebut diketahui bahwa
komposisi kimia telur yang disterilisasi menggunakan alat
berbasis Dielectric Barrier Discharge (DBD)plasma dapat
meningkat. Peningkatan terjadi pada protein, lemak, kadar abu,
dan karbohidrat. Namun peningkatan komposisi kimia tersebut
tidak signifikan. Peningkatan yang terjadi pada protein telur
yakni yang semula protein telur sebesar 8,38% setelah
disterilisasi protein telur meningkat menjadi 8,40%. Kandungan
lemak pada telur sebelum disterilisasi adalah sebesar 8,61%
dan setelah disterilisasi meningkat menjadi 8,82%. Kadar abu
pada telur sebelum disterilisasi sebesar 0,91% dan setelah
disterilisasi meningkat menjadi 0,96%. Dan karbohidrat telur
sebelum disterilisasi sebesar5,51%, setelah disterilisasi
meningkat menjadi 5,84%. Selain itu, komposisi kimia dari telur
hasil sterilisasi menggunakan alat berbasis dielectric barrier
discharge plasma telah memenuhi standar SNI 3926:2008.
Pengaruh teknologi plasma pada perubahan kimia pada
makanan belum diketahui secara pasti, namun ada peningkatan
kadar flavanoid pada perlakuan plasma menggunakan selada
domba, dikarenakan pengikisan kulit ari pada bahan
(Elsenbrand, 2012). Belum diketahui secara pasti alasan
perubahan kimia dalam proses sterilisasi telur dengan
menggunakan teknologi plasma (Pradeep, 2016).
60
4.9 Hasil Pengujian Haugh Unit Telur Sterilisasi
menggunakan Dielectric Barrier Discharge (DBD)
Plasma
Haugh Unit (HU) merupakan satuan yang digunakan
untuk mengetahui kesegaran isi telur terutama bagian putih
telur, yang didasarkan pada ketebalan albumin. Besarnya
Haugh Unit dapat ditentukan dengan menggunakan table
konversi. Semakin tinggi nilai HU menunjukkan bahwa kualitas
telur itu semakin baik (Sudaryani, 2000). Perbandingan tinggi
dan berat yang terukur diberi penilaian mulai dari 20-100 atau
lebih. Menurut SNI 01-3926-2006 kesegaran telur dibedakan
atas: a) Mutu I, memiliki nilai HU >72, b) Mutu II, memiliki nilai
HU 62-72 dan c) Mutu III, memiliki nilai HU < 60. Kontaminasi
dari mikroorganisme sangat berpengaruh kepada nilai Haugh
Unit (HU) telur, semakin tinggi tingkat kontaminasi oleh
mikroorganisme kepada telur maka nilai HU dari telur akan
semakin menurun (Mendes, 2012). Menurut Jazil (2013)
menyatakan bahwa nilai HU adalah suatu perbandingan antara
tinggi putih telur dan berat susut dari telur. Telur aman
dikonsumsi pada nilai HU diatas 50 (Nurhana, 2017). Adapun
perhitungan berat awal telur terdapat pada Lampiran
14.Kemudian perhitungan susut berat telur terdapat pada
Lampiran 15. Dan perhitungan haugh unit terdapat pada
Lampiran 16.Hasil perhitungan Haugh unit dijelaskan pada
Tabel 4.5dibawah ini.
Tabel 4.5 Hasil Perhitungan Haugh Unit
Kontrol Sterilisasi Hari
61 75 0 61 72 3 55 67 6 41 62 9 41 57 12
61
31 57 15 31 57 18 19 51 21 17 48 24 1 47 27
Pengujian haugh unit dilakukan pada telur tanpa
disterilisasi dengan telur yang disterilisasi pada suhu 48,61 kV
dan waktu sterilisasi selama 5 menit. Pengujian ini dilakukan
dengan cara menyimpan masing-masing sampel dalam suhu
ruang kemudian dihitung haugh unitnya setiap 3 hari selama 27
hari yakni dari tanggal 2 juni 2017 hingga tanggal 29 juni 2017.
Haugh unit pada hari ke-0 pada telur yang tidak disterilisasi
adalah 61, telur ini termasuk dalam kategori grade A.
Sedangkan pada telur yang disterilisasi memiliki HU sebesar 75,
telur ini termasuk ke dalam telur kategori grade AA. Pada grade
ini telur masih sangat layak untuk dikonsumsi. Kemudian 3 hari
berikutnya dilakukan perhitungan haugh unit pada telur tanpa
dan yang telah disterilisasi,hasilnya telur yang tanpa disterilisasi
memiliki nilai HU sebesar 61 dan yang telah disterilisasi memiliki
nilai HU sebesar 72, kedua telur tersebut masih tergolong ke
dalam telur kategori grade A yakni telur yang masih segar dan
sangat layak untuk dikonsumsi. Selanjutnya pada penyimpanan
hari ke 6 telur yang tanpa disterilisasi memiliki nilai HU sebesar
55, telur ini termasuk dalam telur kategori B dan telur yang
disterilisasi memiliki nilai HU sebesar 67 telur tersebut masih
termasuk kedalam kategori telur grade A. Pada penyimpanan
hari ke 9 telur yang tanpa disterilisasi memiliki nilai HU sebesar
41, telur tersebut termasuk ke dalam telur kategori grade B dan
telur yang telah disterilisasi memiliki nilai HU sebesar 62, telur
yang disterilisasi masih termasuk ke dalam telur kategori grade
A. Setelah disimpan selama 12 hari, telur yang tanpa
disterilisasi memiliki nilai HU sebesar 41 dan termasuk ke dalam
telur kategori grade B, sedangkan telur yang disterilisasi
62
memiliki nilai HU sebesar 57, telur tersebut sudah termasuk ke
dalam telur kategori grade B. pada penyimpanan hari ke 15 dan
18, telur yang tanpa disterilisasi secara berturut-turut memiliki
nilai HU sebesar 31 dan telur yang disterilisasi memiliki nilai HU
yang masih bertahan yakni sebesar 57. Telur tersebut termasuk
ke dalam telur kategori grade B. Pada penyimpanan hari ke 21
telur yang tanpa disterilisasi mengalami penurunan HU menjadi
19 dan telur tersebut sudah termasuk ke dalam telur kategori
grade C dan telur tersebut sudah menunjukkan tanda-tanda
kerusakan yakni putih telur yang semakin mencair sedangkan
telur yang disterilisasi masih termasuk ke dalam telur kategori
grade B dengan nilai HU sebesar 51. Pada penyimpanan hari ke
24 dan 27 telur yang tanpa disterilisasi terus mengalami
penurunan nilai HU dengan cepat yakni sebesar 17 dan 1 dan
pada penyimpanan ke 27 telur yang tidak disterilisasi sudah
mengalami kerusakan yakni kuning telur yang sudah pecah,
sedangkan telur yang disterilisasi hanya sedikit mengalami
penurunan nilai HU yakni sebesar 48 menjadi 47 dan masih
termasuk kedalam telur kategori grade B. Berdasarkan
penjelasan tersebut dapat disimpulkan bahwa telur yang
disterilisasi menggunakan alat berbasis Dielectric Barrier
Discharge (DBD) plasma dapat mempertahankan kualitasnya
dengan mengalami penurunan nilai HU yang perlahan
sedangkan telur yang tanpa disterilisasi mengalami penurunan
nilai HU yang cepat.
63
V KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan
Pengaruh tegangan dan waktu terhadap total bakteri
Salmonella sp.pada telur ayam ras yang disterilisasi
menggunakan Dielectric Barrier Discharge (DBD) plasma
adalah berbanding terbalik yakni semakin besar tegangan yang
digunakan dan semakin lama waktu sterilisasi maka total bakteri
Salmonella sp. akan semakin berkurang. Selain itu tidak terjadi
perubahan yang signifikan pada kandungan nutrisi telur yang
telah disterilisasi. Pada penyimpanan suhu ruang selama 27
hari telur yang disterilisasi menggunakan Dielectric Barrier
discharge (DBD) plasma memiliki nilai haugh unit sebesar 48
dan masih termasuk pada telur kategori grade B yang masih
layak dikonsumsi sedangkan telur tanpa sterilisasi memiliki nilai
haugh unit sebesar 1 dan sudah mengalami kerusakan.
Hubungan antara tegangan masukan dan D-value adalah
berbanding terbalik dimana semakin besar tegangan yang
digunakan maka nilai D-value akan semakin kecil. D-value
terendah didapatkan dari pemberian tegangan 48,61 kV,
Efektivitas penurunan telah mencapai 5,8037 log cycle, dengan
nilai D selama 0,6389 menit atau 38,334 detik.
5.2 Saran
Perlu dilakukan pengembangan kapasitas pada alat
sterilisasi telur ayam berbasis Dielectric Barrier Discharge
(DBD) plasma dan memberikan konveyor agar proses sterilisasi
dapat berjalan secara kontinyu dan sterilisasi telur ayam
semakin efektif dan efisien sehingga kualitas telur ayam dapat
semakin terjaga.
64
DAFTAR PUSTAKA
Angulo, F J., Swerdlow, D L. 1999. Epidemiology of human
Salmonella enterica serovar enteritidis infections in the
United States. Iowa: Iowa State Univ Pr.
Badan Standarisasi Nasional. 2000. Standar Nasional Indonesia
(SNI). SNI 01-6366-2000. Batas Maksimum Cemaran
Mikroba dan Batas Maksimum Residu dalam Bahan
Makanan Asal Hewan. Jakarta: Dewan Standarisasi
Indonesia.
Barbosa-Cánovas, G., MM, Gongora-Nieto., UR, Pothakamury.
dan BG, Swanson. (1999). Preservation of foods with
pulsed electric fields. Academic Press Ltd. London.
Bhunia, A K. 2008. Foodborne Microbial Pathogens:
Mechanisms and Pathogenesis. New York: Springer
Science.
BPOM. 2003. Pedoman Cara Produksi Pangan Yang Baik
Untuk Industri RumahTangga (CPPB-IRT). Jakarta:
BPOM.
Brands, D. 2005. Deadly Diseases and Epidemics Salmonella.
Philadelphia: Chelsea House Publishers.
Cui, H., Cuixia, M., Changzhu, L., and Lin . 2016. Enhancing
The Antibacterial Activity Of Thyme Oil Against
Salmonella On Eggshell By Plasma-Assited Process.
Journal Of Food Control. Volume : 70, Pages : 183-190.
65
D’Aoust, J V. 2001. Salmonella. Di dalam: Labbé RG & Garsía
Santos, editor. Guide to Foodborne Pathogens. USA:
Wiley-inc.
De Ancos, B., C, Sanchez-Moreno., S, de Pascual-Teresa and
MP, Cano. 2006. Fruit freezing principles. p. 59. In Y. Hui
(Ed). Handbook of Fruit and Fruit Processing. Blackwell
Publishing
[Depkes] Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 2008.
Hasil riset kesehatan dasar nasional 2007.
http://www.kesehatan.kebumenkab.go.id/
data/lapriskesdas.pdf [terhubung berkala]. Diakses pada
tanggal 12 mei 2017.
Fardiaz, S. 1989. Mikrobiologi Pengolahan Pangan. Bogor:
Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizi Institut
Pertanian Bogor.
Giusti, MM., and RE, Wrolstad. 2010. Characterization and
Measurement of Anthocyanin by UV-Visible
Spectroscopy. John Willey and Sons. Inc. London.
Gray, J T., Fedorka, P J. 2002. Salmonella. Ed ke-2. USA:
Academic Pr.
Grijspeerdt, K., Kreft, JU., Messens, W. 2005. Individual-based
modelling of growth and migration of Salmonella
enteritidis in hens eggs. Int J Food Microbiol 100:323–
333.
66
Haris, R S., dan Karmas, E. 1989. Evaluasi Gizi pada
Pengolahan Bahan Makanan. ITB. Bandung.
Humphrey T. 2006. Public health aspects of Salmonella enterica
in food production. New York: Cambridge Univ Pr.
Hunter, GL., O’Brien, WJ., Hulsey, RA., Carns, KE., Ehrhard, R.,
1998. Emerging disinfection technologies: medium-
pressure ultraviolet lamps and other systems are
considered for wastewater applications. Water
Environment and Technology 10 (6), 40-44.
Irmansyah, J., dan Kusnadi. 2009. Sifat Listrik Telur Ayam
Kampung Selama Penyimpanan. Media Peternakan.
Volume 32 (1), Pages : 22-30.
Jacqueline, P Y R., Miles, M F., Ben. 2000. Kualitas telur. Jasa
Ekstensi Koperasi. Gainesville: Lembaga Ilmu Pangan
dan Pertanian Universitas Florida.
Koswara, S. 2009. Teknologi Pengolahan Telur. Semarang:
Universitas Muhammadiah Semarang.
Lahlou M, Berrada R, Agoumi A, Hmamouchi M. 2000. The
potential effectiveness of essential oils in the control of
human head lice in Morocco. Int J Aromather 10: 108–
123.
Lukman, D W., Sudarwanto, M., Sanjaya, A W., Purnawarman,
T., Latif, H., Soejoedono, R R. 2009. Higiene Pangan.
Bogor: Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian
Bogor.
67
Meggitt, C. 2003. Food Hygiene and Safety. London:
Heinemann.
Miao, H., and Guo, Y. 2011. The Sterilization of Escherichia coli
by Dielectric-
Barrier Discharge Plasma at Atmospheric Pressure. Journal
of Applied Surface Science. Volume 257, Pages : 7065-
7070.
Moehario, L H. 2009. The molecular epidemiology of Salmonella
typhi across Indonesia reveals bacterial migration. J
Infect Dev Ctries 3:579-584.
Muchtadi, T. Sugiyono dan Fitriyono A. 2010. Ilmu Pengetahuan
Bahan Pangan. Bandung: Alfabeta.
Nur, Muhammad. 2011. Fisika Plasma Dan Aplikasinya.
Semarang: Universitas Diponegoro Semarang.
Nuryati, L., Budi, W., Noviati. 2015. (Outlook Telur) Komoditas
Pertanian Sub Sektor Peternakan. Jakarta: Pusat Data
dan Sistem Informasi Pertanian.
Omwandho, C O A., Kubota, T. 2010. Salmonella enterica
Serovar Enteritidis: a mini-review of contamination routes
and limitations to efective control. JARQ 44:7-16.
Pemerintah RI. 1996. UU RI No. 7 Tahun 1996 Tentang
Pangan. Jakarta: Lembaran Negara RI.
Prayoga, W., dan Wardani, A K. 2015. Polymerase Chain
Reaction untuk Deteksi Salmonella sp. : Kajian Pustaka.
68
Jurnal Pangan dan Agroindustri Volume 3 (2), Pages :
483-488.
Rahayu, I. 2003. Karakteristik Fisik, Komposisi Kimia dan Uji
Organoleptik Ayam Merawang Dengan Pemberian
Pakan Bersuplemen Omega 3. Jurnal Teknologi dan
Industri Pangan. Volume 14 (3), Pages: 199-205.
Sirajuddin, D. 2007. Plasma Sterilization. USA: NERS 590
Plasma Engineering.
Sugitha, I M. 1995. Teknologi Hasil Ternak. Fakultas
Peternakan. Padang: Universitas Andalas Padang.
Suprijatno, E., Atmomarsono, U., Kartasudjana, R. 2005. Ilmu
Dasar Ternak Unggas. Jakarta: Penebar Swadaya.
Tindall, B J., Grimont, P A D., Garrity, G M., Euzeby, J P. 2005.
Nomenclature and taxonomy of the genus Salmonella.
Int J Syst Evol Microbiol 55:521-524.
Trand, MTT., and M, Farid. 2005. Ultraviolet treatment of orange
juice. Innovative. Food Sci. Emerging Technol. 5, 495-
502.
Wallis TS. 2006. Host-specificity of Salmonella infections in
animal species. New York: Cambridge Univ Pr.
Wray C and Davies RH. 2003. The epidemiology and ecology of
Salmonella in meat-production animal. Iowa: Iowa State
Pr.
Wedemeyer, GA., 1996. Physiology of Fish in Intensive Culture.
International Thompson Publishing, New York, NY.
69
White, GC., 1992. Handbook of Chlorination and Alternative
Disinfectants. Van Nostrand Reinhold, New York