KEMENTERIAN PENDIDIKAN NASIONAL
UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
FAKULTAS EKONOMI Kampus Unsoed Grendeng Kotak Pos 109 Purwokerto 53122
Telp. (0281) 639279 Fax. (0281) 640268
BAHAN SEMINAR HASIL PENELITIAN
ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI TINGKAT
UNDERPRICING PADA PERUSAHAAN YANG GO PUBLIC
DI BURSA EFEK INDONESIA PERIODE 2008-2010
Oleh :
Agasi Dwi Pradana
NIM. C1B008067
Disetujui untuk diseminarkan
Pada tanggal : ......................................
Pembimbing I
Dr. Sudarto, ME.
NIP. 1962071919 19890 1 001
Pembimbing II
Dian Purnomo Jati, SE, M.Sc.
NIP. 19811016 200312 1 003
1
ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI TINGKAT
UNDERPRICING PADA PERUSAHAAN YANG GO PUBLIC
DI BURSA EFEK INDONESIA PERIODE 2008-2010
Oleh :
Agasi Dwi Pradana
E-mail : [email protected]
Mahasiswwa Fakutlas Ekonomi Universitas Jenderal Soedirman
Sudarto
E-mail : [email protected]
Dian Purnomo Jati
E-mail : [email protected]
ABSTRACT
This research is try to analyze the underprcing phenomenon, which is make a company
doesn’t get full fund when they doing an IPO because of the secondary market price is
higer than offering price / primary market price (underpricng). The research focus on the
impact of underwriter reputation, DER, ROE, and EPS to underpricing rate. Sample of this
research are companies who do IPO from 2008 -2010 and found 53 companies then with
purposive sampling method we got only 42 companies as sample. Using multiple
regression we got the result that only ROE variable has negative impact to underpricing
rate, while another variable (underwriter reputation, DER, and EPS) didn’t prove have
significant impact to underpricing rate.
Keywords : underpricing, underwriter reputation, DER, ROE, EPS
Perusahaan yang sedang
berkembang akan membutuhkan dana
yang lebih besar daripada sebelumnya
guna mendukung perkembangan
usahanya. Perusahaan akan berusaha
untuk memenuhi peningkatan kebutuhan
yang diperlukan agar perusahaan tersebut
semakin berkembang dan mampu
bersaing dengan para pesaingnya. Ada
beberapa alternatif yang dimiliki untuk
memenuhi kebutuhan perusahaan yang
sedang berkembang. Alternatif dari
dalam perusahaan, umumnya dengan
menggunakan laba yang ditahan.
Sedangkan alternatif pendanaan dari luar
perusahaan dapat berupa utang,
2
pembiayaan bentuk lain atau dengan
penerbitan surat-surat utang maupun
pendanaan yang bersifat penyertaan
dalam bentuk saham (equity).
Pendanaan melalui mekanisme
penyertaan dalam bentuk saham ini
umumnya dikenal dengan istilah go
public dalam Pasar Modal. Perusahaan
yang melakukan go public disebut
Emiten, sedangkan pihak yang membeli
saham disebut investor. Pada saat
pertama kali go public, saham yang
ditawarkan pertama kali akan
diperjualbelikan di Pasar Perdana
(Primary Market) yang mana kegiatan
penawaran saham untuk pertama kali ini
dikenal dengan istilah Initial Public
Offering (IPO) atau Penawaran Perdana,
yang selanjutnya akan diperjualbelikan
pada Pasar Sekunder.
Menurut Arifin (2010) ada 3 (tiga)
anomali atau fenomena penting yang
terjadi terkait dengan IPO, salah satunya
adalah underpricing pada kinerja saham
jangka pendek. Fenomena underpricing
apabila dilihat dari sudut pandang emiten
adalah hal yang merugikan emiten karena
harga saham di pasar sekunder pada hari
pertama perdagangan saham secara
signifikan lebih tinggi dibandingkan
dengan harga penawaran di pasar perdana
(Sulistio, 2005). Dengan kata lain bahwa
underpricing menyebabkan emiten tidak
bisa memperoleh dana yang maksimal
karena adanya misspriced yang terjadi
pada saat IPO. Padahal salah satu tujuan
emiten melakukan IPO adalah untuk
mendapatkan dana tambahan semaksimal
mungkin guna mendukung
perkembangan perusahaan agar mampu
bersaing dengan para pesaingnya.
Trisnaningsih (2005) menganalisis
reputasi underwriter, Debt to Equity
Ratio (DER) dan Return On Assets
(ROA) terhadap tingkat underpricing.
Hasil penelitian membuktikan bahwa
reputasi underwriter dan Debt to Equity
Ratio (DER) mempunyai pengaruh
terhadap tingkat underpricing. Sedangkan
Return On Assets (ROA) ditemukan tidak
berpengaruh terhadap tingkat
underpricing sehingga dieliminasi pada
penelitian ini. Pada penelitian kami
menambahkan variabel indpenden yaitu
earning per share (EPS) yang
diperkirakan mempunyai pengaruh
terhadap tingkat underpricing karena
variabel ini mengukur kemampuan
perusahaan dalam menciptakan nilai,
terutama pada pemegang saham dan
calon investor yang akan menyetorkan
dananya untuk berinvestasi, dalam hal ini
pembelian saham pada saat IPO.
Pada penelitian Hatta dan Isfaatun
(2010) telah membuktikan bahwa Return
on equity (ROE) tidak berpengaruh
3
terhadap tingkat underpricing. Sedangkan
menurut Martani dan Yolana (2005)
bahwa variabel ROE berpengaruh
terhadap tingkat underpricing.
Berdasarkan uraian di atas, maka
perlu diadakan penelitian guna
menganalisis kembali tentang faktor-
faktor penyebab terjadinya underpricing,
yang dituangkan dalam bentuk skripsi
dengan judul: “Analisis Faktor - Faktor
Yang Mempengaruhi Tingkat
Underpricing Pada Perusahaan Yang
Go Public di Bursa Efek Indonesia
Periode 2008-2010”
HIPOTESIS
H1 : Reputasi underwirter mempunyai
pengaruh negatif terhadap tingkat
underpricing.
H2 : Deb to Equity Ratio (DER)
berpengaruh positif terhadap
tingkat underpricing.
H3 : Return On Equity (ROE)
berpengaruh negatif terhadap
tingkat underpricing.
H4 : Earning Per Share (EPS)
berpengaruh positif terhadap
besarnya tingkat underpricing.
METODE ANALISIS
Populasi dan Teknik Pengambilan Sampel
Populasi pada penelitian ini adalah
semua perusahaan yang melakukan IPO
di Bursa Efek Indonesia. Metode
pengambilan sampel menggunakan
metode purposive sampling dengan
kriteria Perusahaan yang mengalami
underpricing pada tahun 2008-2010,
yaitu harga saham di pasar perdana lebih
rendah daripada di pasar sekunder serta
memilki data keuangan yang lengkap dan
bisa dipercaya keauratannya.
Definisi Konseptual dan Operasional Variabel
Underpricing, merupakan selisih
positif antara harga saham di pasar
sekunder dengan harga perdana. Variabel
ini diukur dengan persentase dari initial
return yang dihitung dengan rumus
berikut (Martani dan Yolana, 2005) :
Keterangan :
CP = Harga penutupan pada hari pertama
perdagangan di pasar sekunder.
OP = Harga penawaran perdana.
Reputasi underwriter didefinisikan
sebagai sekala kualitas underwriter dalam
menawarkan saham emiten. Pengukuran
variabel ini menggunakan variabel
4
dummy yang pengukurannya
menggunakan angka 1 untuk underwriter
yang bereptuasi baik dan angka 0 untuk
underwriter yang tidak bereputasi baik.
Ukuran bagi underwriter bereputasi
adalah 5 underwriter dengan volume
emisi tertinggi yang pertimbangannya
bahwa kelima underwriter adalah
underwriter yang mendominasi
penjaminan emisi selama periode IPO.
Data 5 underwriter bereputasi diperoleh
dari FACT BOOK yang diterbitkan oleh
Bursa Efek Indonesia yang bisa
didownload langsung dari website
resminya (www.idx.co.id).
Debt to Equity Ratio (DER)
mencerminkan kemampuan perusahaan
dalam memenuhi seluruh kewajibannya,
ditunjukkan oleh beberapa bagian modal
sendiri yang digunakan untuk membayar
hutang. DER dapat dihitung dengan
rumus sebagai berikut (Brigham &
Houston, 2006:104):
Return On Equity (ROE)
mengukur kemampuan perusahaan
menghasilkan laba berdasarkan modal
saham tertentu. ROE dapat dihitung
dengan menggunakan rumus (Brigham &
Houston, 2006:109):
Earning Per Share (EPS)
menunjukkan informasi penting
perusahaan yang diungkapkan dalam
basis per saham (Ang, 1997: -18.37).
Pada penelitian pengitungan EPS
menggunakan rumus (Brigham &
Houston, 2006:121) :
Model Analisis
Dimana;
Y = Tingkat Underpricing
= Konstanta
1 s.d 4 = Koefisien variabel
independen
X1 = Reputasi underwriter
X2 = Debt to Equity Ratio (DER)
X3 = Return on Equity (ROE)
X4 = Earning Per Share (EPS)
e = variabel pengganggu (error
term)
i = perusahaan ke-i
Agar model regresi linear berganda
dapat memenuhi BLUE (Best Linear
Unbiased Estimated) atau penaksir
terbaik dan tidak bias, maka diperlukan
uji asumsi klasik terlebih dahulu (Uji
Multikolinieritas, Uji Autokorelasi Uji
Heteroskedastisitas, Uji Normalitas).
5
Hasil Penelitian
Uji Asumsi Klasik
1. Uji Normalitas
Standardized Residual
N 42
Normal Parametersa Mean 0.0000000
Std. Deviation 0.94996791
Most Extreme Differences Absolute 0.088
Positive 0.088
Negative -0.073
Kolmogorov-Smirnov Z 0.573
Asymp. Sig. (2-tailed) 0.898
a. Test distribution is Normal.
Tabel 1. Uji Normalitas
Metode yang digunakan adalah uji
Kolmorgonov-Smirnov dengan kriteria
jika nilai signifikansi uji normalitas >
0,05 maka dapat dikatakan nilai residual
yang terstandarisasi data terdistribusi
dengan normal.
Berdasarkan hasil output uji
normalitas di atas diperoleh informasi
bahwa nilai Sig. (2-tailed) uji normalitas
sebesar 0,898 lebih besar daripada nilai
aplha (0,05 / 5%). Maka artinya nilai
residual yang terstandarisasi dinyatakan
menyebar / terdistribusi dengan normal.
2. Uji Multikoliniertias
Tabel 2. Uji Multikolinieritas
Uji multikolinieritas dilakukan
dengan melihat nilai TOL (Tolerance)
dan Variance Inflation Factor (VIF) dari
masing-masing variabel bebas terhadap
variabel terikatnya. Pedoman suatu model
regresi yang bebas multikoliniearitas
adalah apabila nilai VIF < 10 dan nilai
tolerance > 0.1, maka tidak terjadi
multikolinearitas (Suliyanto, 2008:235).
Berdasarkan hasil uji yang
ditampilkan tabel 2, diketahui bahwa nilai
TOL (Tolerance) variabel reputasi
underwriter sebesar 0,27, Debt to equity
ratio (DER) sebesar 0,992, Return on
equity (ROE) sebesar 0,0,521 dan
Earning Per Share (EPS) sebesar 0,550.
Variabel bebas Tolerance VIF. Keterangan
Reputasi Underwritter 0,927 1,078 Tidak ada Multikolinieritas
Debt to equity ratio 0,922 1,084 Tidak ada Multikolinieritas
Return on equity 0,521 1,920 Tidak ada Multikolinieritas
Earning Per Share 0,550 1,818 Tidak ada Multikolinieritas
6
Semua nilai Tolerance yang dihasilkan
dari uji mutlikolinieritas dengan bantuan
SPSS 16 for Windows memiliki nilai
yang lebih besar dari 0,1.
Sedangkan nilai VIF (Variance
Infloating Factor) variabel reputasi
underwriter adalah 1,078, Debt to equity
ratio (DER) 1,084, Return on equity
(ROE) adalah 1,920, dan Earning Per
Share (EPS) adalah 1,818 yang mana
keempat nilai VIF masing-masing
variabel lebih kecil dari 10. Berdasarkan
nilai Tolerance dan VIF yang diperoleh
maka pada model regresi yang terbentuk
tidak terjadi gejala multikolinier.
3. Uji Heteroskedastisitas
Tabel 3. Uji Heterskedastisitas No Variabel bebas Sig. Keterangan
1 Reputasi Underwritter 0,102 Tidak ada heteroskedastisitas
2 Debt to equity ratio 0,165 Tidak ada heteroskedastisitas
3 Return on equity 0,085 Tidak ada heteroskedastisitas
4 Earning Per Share 0,528 Tidak ada heteroskedastisitas
Untuk mendeteksi ada tidaknya
gejala heteroskedastisitas dalam model
yaitu dengan melakukan metode uji
Glejser. Jika probabilitas > nilai α (0,05)
maka dapat diambil kesimpulan bahwa
model regresi tidak mengandung unsur
heteroskedastisitas.
Berdasarkan uji model regresi yang
menunjukkan hubungan antara nilai
absolut residual |e| sebagai variabel
dependen dengan variabel
independennya, diperoleh nilai
signifikansi t hitung masing-masing
variabel lebih besar dari nilai α sebesar
0,05. Berdasarkan output tersebut, maka
dapat disimpulkan bahwa tidak terdapat
gejala heteroskedastisitas dalam model
regresi pada penelitian ini.
4. Uji Autokorelasi
Model R R Squareb
Adjusted
R Square
Std. Error
of the Estimate
1 0,214a 0,046 -0,005 0,28379454
a. Predictors: Ut_2, Ut_1
b. For regression through the origin (the no-intercept model), R
Square measures the proportion of the variability in the dependent
variable about the origin explained by regression. This CANNOT be
compared to R Square for models which include an intercept.
Tabel 4. Uji Autokorelasi
7
Penelitian ini mengguankan metode
metode Breusch-Godfrey (B-G test). Jika
X2
hitung < X2 tabel
maka model
persamaan regresi tidak mengandung
masalah autokorelasi. Rumus untuk
menghitung X2
hitung = (n-p) x R2, yang
mana n = jumlah pengamatan dan p = 2
yang berasal dari Ut_1 dan Ut_2
(transformasi unstardardized residuals ke
dalam bentuk lag). Sedangkan untun
mengetahui X2 tabel dapat dilihat pada
tabel Chi Square (X2) dengan df:(2;0,05).
Berdasarkan output di atas maka
diperoleh niali X2 hitung sebagai berikut
dengan jumlah pengamatan sebanyak 42
dan p = 2 :
Sedangankan untuk X2 tabel
dengan df:(2;0,05) diperoleh nilai X2
tabel = 5,991. Dari perhitungan di atas,
maka diketahui bahwa X2 hitung lebih
kecil daripada X2 tabel (1,84 < 5,991).
Maka dapat disimpulkan bahwa model
persamaan regresi tidak mengandung
masalah autokorelasi.
Dari hasil analisis pengujian asumsi
klasik, dapat disimpulkan bahwa model
regresi yang digunakan bersifat BLUE
(Best Linier Unbias Estimator). Oleh
karena itu model ini dapat digunakan
untuk estimasi.
Model Regresi
Berdasarkan hasil perhitungan menggunakan SPSS 16 for Windows pada tabel 3
diperoleh persamaan sebagai berikut :
Pengujian Hipotesis
Tabel 5. Hasil Analisis Regresi Linier Berganda
No Variabel bebas t hitung t tabel Sig
1 Konstanta 6,888
2 Reputasi Underwritter -1,144 -1,687 0,26
3 Debt to equity ratio 0,261 1,687 0,796
4 Return on equity -2.682 -1,687 0,011
5 Earning Per Share 1,088 1,687 0,284
Adjusted R² 0,147
F hitung 2,760 0,042
F tabel 2,612
Koefisien Determinasi
Melalui perhitungan statistik yang
ditampilkan hasilnya pada tabel 8
diperoleh koefisien determinasi
(Adjusterd R2) sebesar 0,147 yang artinya
bahwa variasi tingkat underpricing yang
dialami emiten pada saat melakukan IPO
dapat dijelaskan oleh variasi reputasi
8
underwriter, debt to equity ratio (DER),
return on equity (ROE), dan earning er
share (EPS) sebesar 14,7% sedangkan
sisanya sebesar 85,3% dijelaskan oleh
variabel lain yang tidak diteliti seperti
inflasi, jumlah saham yang ditawarkan,
ukuran perusahaan, umur perusahaan dan
sebagainya.
Uji F
Gambar 1. Kurva Uji F
Berdasarkan hasil perhitungan uji F
diperoleh nilai F hitung lebih besar dari
nilai F tabel atau apabila melihat gambar
1 maka F hitung berada di daerah
penolakan Ho dan penolakan Ho ini
didukung dengan nilai signifikan dari F
hitung yang lebih kecil dari alpha (0,042
< 0,05). Dengan demikian maka dapat
disimpulkan bahwa reputasi underwriter,
debt to equity ratio (DER), return on
equity (ROE), dan earning per share
(EPS) secara simultan atau bersama-sama
berpengaruh signifikan terhadap tingkat
underpricing yang dialami oleh emiten
ketika melakuan IPO pada tahun 2008-
2010. Dengan kata lain bahwa model
persamaa regresi yang terbentuk masuk
dalam kriteria cocok atau fit.
Uji t
Gambar 2. Kurva uji t
Daerah penerimaan H0 Daerah penolakan
H0
Ftabel= 2,612 Fhitung= 2,760
0 t tabel= 1,687
Daerah Penerimaan H0
Daerah penolakan
H0
t X2= 0,0261 t X4= 1,088
- t tabel = - 1,687 0
Daerah Penerimaan H0
Daerah penolakan H0
t X3= -2,682 t X1= -1,144
9
Tabel 6. Hasil Analisis Uji t
Variabel bebas Sig. Alpha (α) Kesimpulan
Reputasi Underwritter 0,26 > 0,05 H0 diterima
Debt to equity ratio 0,796 > 0,05 H0 diterima
Return on equity 0,011 < 0,05 H0 ditolak
Earning Per Share 0,284 > 0,05 H0 diterima
Berdasarkan keterangan yang
diperoleh dari kurva uji t dan tabel 6,
maka :
1. H01 diterima dan Ha1 ditolak sehingga
diperoleh kesimpulan bahwa reputasi
undwritter secara parsial berpengaruh
negatif terhadap tingkat underpricing
tetapi tidak signifikan.
2. H02 diterima dan Ha2 ditolak sehingga
diperoleh kesimpulan bahwa Debt to
equity ratio (DER) secara parsial
berpengaruh positif terhadap tingkat
underpricing tetapi tidak signifikan.
3. H03 ditolak dan Ha3 diterima sehingga
diperoleh kesimpulan bahwa Return
on equity (ROE) secara parsial
berpengaruh negatif signifikan
terhadap tingkat underpricing.
4. H04 diterima dan Ha4 ditolak sehingga
diperoleh kesimpulan bahwa Earning
Per Share (EPS) secara parsial
berpengaruh positif terhadap tingkat
underpricing tetapi tidak signifikan.
Pembahasan Hasil Penelitian
1. Reputasi Underwriter
Berdasarkan hasil penelitian
menunjukan bahwa reputasi underwriter
tidak berpengaruh terhadap tingkat
underpricing. Hasil ini tidak sesuai
dengan hasil penelitian Trisnanningsih
(2005) yang membuktikan bahwa
reputasi underwriter memiliki pengaruh
terhadap tingkat underpricing. Walaupun
reputasi underwriter pada model
penelitian ini terbukti tidak berpengaruh
signifikan, namun arah koefisien
regresinya yang negatif dapat diartikan
bahwa semakin baik reputasi underwriter
maka saham yang dijaminkannya
menyebabkan tingkat underpricing akan
semakin kecil. Arah negatif ini
mendukung teori reputasi underwriter
yang dikemukanan oleh Beatty dan Ritter
(1986).
Tidak terbuktinya reputasi
underwriter dalam penelitian ini dalam
mempengaruhi tingkat underpricing
dapat disebabkan oleh perbedaan sampel
penelitian, perbedaan perankingan
reputasi underwriter yang dilakukan
masing-masing peneliti mengingat di
Indonesia belum ada lembaga resmi yang
melakukan penialaian kinerja underwriter
10
secara berkala atau dapat disebabkan
karena perbedaan periode penelitian.
2. Debt to equity ratio (DER)
Hasil penelitian membuktikan
bahwa DER tidak berpengaruh terhadap
tingkat underpricing. Hasil ini sesuai
dengan hasil penelitian Wijayanto (2009)
yang menggunakan periode sampel 2002-
2006 di Bursa Efek Jakarta. Koefisien
regresi DER bernilai positif walaupun
tidak terbukti signifikan. Arah positif
koefisien regresi DER bahwa terdapat
arah positif dari pengaruh nilai DER
terhadap tingkat underpricing. Hal ini
berarti apabila nilai DER tinggi maka
tingkat underpricing yang dialami oleh
emiten akan tinggi pula seperti yang
dikemukakan oleh Trisnaningsih (2005).
Variabel DER tidak signifikan
dapat disebabkan karena sampel dalam
penelitian ini terdiri dari berbagai jenis
industri, termasuk industri perbankan
yang memiliki karakteristik yang berbeda
dalam laporan keuangannya. Kegiatan
utama bank adalah menghimpun dana
dari masyarakat dan menyalurkannya
kembali kepada masyarakat. Dana yang
dihimpun dari masyarakat tersebut
merupakan kewajiban bagi bank dan
dicatat sebagai utang. Oleh karena saldo
utang yang besar pada neraca bank maka
nilai DER yang terdapat pada laporan
industri perbankan berbeda secara
signifikan dengan industri lainnya.
Penyataan tersebut didukung dengan
meilhat data penelitian, 4 nilai DER
tertinggi dimiliki oleh 4 perusahaan
perbankan yaitu Bank Pembangunan
Daerah Jawa Barat dan Banten Tbk
(9,48), Bank Tabungan Negara Tbk
(9,71), Bank Sinarmas Tbk (11,32), dan
yang tertinggi nilai DER-nya dimiliki
oleh Bank ekonomi Raharja Tbk (12,96).
Hal tesebut yang diduga dapat membuat
nilai DER tidak berpengaruh signifikan
terhadap tingkat underpricing.
3. Return on equity (ROE)
Pada penelitian ini membuktikan
bahwa hanya variabel ROE saja yang
mempengaruhi tingkat underpricing.
Hasil penelitian ini mendukung penelitian
yang dilakukan oleh Martani dan Yolana
(2005) yang menunjukan bahwa variabel
ROE berpengaruh terhadap tingkat
underpricing.
Berdasarkan koefisien regresi ROE
yang negatif, ini menunjukan apabila
nilai ROE tinggi maka tingkat
underpricing yang dialami oleh emiten
ketika melakukan IPO rendah dan
sebaliknya, apabila ROE rendah maka
tingkat underpricing yang terjadi tinggi.
Hal ini bisa kita lihat dari data bahwa
pada perusahaan Kertas Basuki Rachmat
Indonesia Tbk memiliki nilai ROE
terendah yaitu -12,85% dan perusahaan
11
tersebut mengalami tingkat underpricing
tertinggi yaitu 1,79 kali atau 179%.
Sedangkan pada perusahaan Harum
Energy Tbk, salah satu emiten yang
memiliki nilai ROE tinggi sebesar
35,85% hanya mengalami tingkat
underpricing sebesar 0,05 kali atau 5%
Intial return adalah keuntungan dari
investor atas terjadinya underpricing.
Tingginya tingkat underpricing (initial
return) yang terjadi pada nilai ROE
terendah bisa disebabkan oleh initial
return tinggi tersebut merupakan sebuah
kompensasi perusahaan dengan tujuan
untuk meningkatkan minat investor untuk
menginvestasikan dananya kepada
perusahaan tersebut.
1. Earning Per Share (EPS)
Pada penelitian ini, tidak berhasil
membuktikan bahwa EPS merupakan
salah satu variabel yang dapat
mempengaruhi tingkat underpricing dan
hasil ini sesuai dengan penelitian Sulistio
(2005) yang menggunakan periode
penelitian 1998-2003. Arah koefisien
regresi EPS yang positif menunjukan
bahwa apabila nilai EPS tinggi maka
tinggi pula tingkat underpricing yang
dialami oleh emiten.
Earning per share adalah informasi
keuntungan yang paling mudah dipahami
oleh investor, tetapi pada penelitian ini
membuktikan bahwa informasi ini tidak
berpengaruh terhadap tingkat
underpricing. Hal ini bisa diakibatkan
karena investor mencari nilai EPS yang
tinggi dari suatu perusahaan dengan
harapan mendapatkan return yang tinggi
setelah investor menyetorkan dana
mereka. Tetapi apabila melihat data
sampel penelitian dengan nilai rata-rata
EPS sebesar 134,56 rupiah per lembar
saham, terdapat 32 perusahaan yang nilai
EPS-nya di bawah nilai rata-rata
sedangkan sisanya 10 perusahaan
memiliki nilai EPS di atas rata-rata. Hal
tersebut mengindikasikan bahwa nilai
EPS yang dimiliki perusahan sampel
hampir sebagian besar memiliki nilai EPS
yang relatif kecil sehingga tidak
mempengaruhi keputusan investasi
investor, sehingga investor mencari
informasi lain seperti misalnya dalam
penelitian ini yang berpengaruh
signifikan dalam penelitian ini adalah
informasi Return On Equity (ROE).
12
KESIMPULAN DAN IMPLIKASI
KESIMPULAN
1. Variabel reputasi underwriter tidak
berpengaruh terhadap tingkat
underpricing yang dialami oleh
emiten yang melakukan IPO di Bursa
Efek Indonesia.
2. Variabel Debt to Equity Ratio (DER)
tidak berpengaruh terhadap tingkat
underpricing yang dialami oleh
emiten yang melakukan IPO di Bursa
Efek Indonesia.
3. Variabel Return on equity (ROE)
berpengaruh negatif terhadap tingkat
underpricing yang dialami oleh
emiten yang melakukan IPO di Bursa
Efek Indonesia.
4. Variabel Earning per share (EPS)
tidak berpengaruh terhadap tingkat
underpricing yang dialami oleh
emiten yang melakukan IPO di Bursa
Efek Indonesia
IMPLIKASI
1. Hasil penelitian telah membuktikan
bahwa Return On Equity
berpengaruh negatif terhadap tingkat
underpricing yang artinya bahwa
investor memperhatikan ROE
perusahaan ketika melakukan IPO,
maka disarankan untuk emiten yang
akan melakukan IPO untuk
memperhatikan nilai ROE
perusahaan dalam penentuan harga
saham. Hal tersebut dimaksudkan
agar perusahaan yang akan
melakukan IPO bisa menghindari
underpricing atau meminimalisir
tingkat underpricing yang terjadi
sehingga tujuan utama perusahaan
untuk mendapatkan dana segar yang
maksimal ketika memutuskan untuk
go public terpenuhi dan
perkembangan perusahaan pun bisa
berjalan dengan baik. Apabila nilai
ROE tinggi maka minat investor
akan tinggi pula karena informasi ini
memberikan harapan tingkat return
yang akan didapat investor, maka
emiten bisa menentukan harga yang
tinggi. Sebaliknya, apabila nilai ROE
rendah minat invstor untuk
menanamkan dananya akan rendah
juga, maka untuk menarik minat
investor bisa menerapkan harga
rendah agar nantinya minat investor
terdorong naik karena adanya
kompensasi berupa initial return
yang akan di dapat oleh investor.
2. Penelitian ini tidak membuktikan
bahwa reputasi underwriter, DER
dan EPS tidak berpengaruh terhadap
tingkat underpricing. Ini artinya
bahwa investor tidak terlalu
13
mempertimbangkan informasi ini.
Reputasi underwriter tidak
berpengaruh bisa dikarenakan sistem
penjaminan yang diberlakukan di
BEI harus menggunakan prinsip
kesanggupan penuh (full
commitment) ketika perusahaan akan
melakukan IPO. Investor juga kurang
mempertimbangkan informasi DER
dan EPS bisa dikarenakan kurang
menggambarkannya infromasi
tersebut dalam memprediksi kinerja
atau tingkat resiko dan keuntungan
yang akan dialami oelh seorang
investor ketika investor memutuskan
untuk berinvestasi pada perusahaan
tersebut.
3. Investor yang akan berinvestasi pada
perusahaan yang melakukan IPO di
pasar modal sebaiknya harus benar-
benar teliti dalam menganalisa saham
sehingga mendapatkan keuntungan
sesuai dengan yang diharapkan. Hal
ini dapat dilakukan dengan
menggunakan beberapa alat analisa
yang dapat dipakai seperti
menggunakan faktor yang terbukti
mempengaruhi tingkat underpricing
secara signifikan dalam penelitian ini
dalam hal ini adalah Return On
Equity (ROE) yang dapat dijadikan
sebagai pertimbangan sebelum
berinvestasi. Selain itu investor harus
dapat memanfaatkan informasi-
informasi yang ada di Bursa Efek
Indonesia maupun di luar, sehingga
dapat menganalisa setiap perubahan-
perubahan yang terjadi baik faktor
eksternal maupun internal agar
nantinya dalam memprediksi harga
saham lebih akurat dan bisa
meminimalisir asimetri informasi
yang dialami oleh investor.
14
DAFTAR PUSTAKA
Arifin, Zaenal. 2010. Potret IPO di Bursa
Efek Indonesia. Jurnal Siasat Bisnis
Vol. 14, No. 1, April 2010,
Halaman : 89-100.
Beatty, Randolph P. and Jay R. Ritter.
1986. Investment Banking
Reputation, and the Underpricing
of Initial Public Offerings. Jurnal
Of Financial Economics 15 (1986)
213-232, North Holland.
Brigham, Eugene. F and Houston, Joel. F.
2010. Dasar-Dasar Manajemen
Keuangan. Edisi 11. Buku 1.
Salemba Empat. Jakarta.
Hatta, Atika Jauharia dan Eliya Isfaatun.
2010. Analisis Informasi Penentu
Harga Saham Saati Initial public
offering. Jurnal Ekonomi Bisnis
No. 1, Vol, 15, April 2010.
Martani, Dwi dan Chastina yolana. 2005.
Variabel -Variabel yang
Mempengaruhi Fenomena
Underpricing pada Penawaran
Saham Perdana di BEJ tahun 1994 -
2001. Simposium Nasional
Akuntansi VIII Solo, 15-16
September 2005.
Sulistio, Helen. 2005. “Pengaruh
Informasi Akuntansi dan Non
Akuntansi terhadap Initial Return:
Studi Pada Perusahaan yang
Melakukan Initial public offering di
Bursa Efek Jakarta”. Simposium
Nasional Akuntansi VIII. IAI.
September.
Suliyanto. 2008. Teknik Proyeksi Bisnis :
Teori dan Aplikasi dengan
Microsoft Excel. Penerbit ANDI.
Yogyakarta.
Trisnaningsih, Sri. 2005. Analisis Faktor
- Faktor Yang Mempengaruhi
Tingkat Underpricing Pada
Perusahaan Yang Go Public di
Bursa Efek Jakarta. Jurnal
Akuntansi dan Keuangan. vol. 4 no.
2. Universitas Pembangunan
Veteran (UPN) ”Veteran”
Surabaya. 195-210.
Wijayanto, Adhi. 2009. Analisis
Pengaruh ROA, EPS, Financial
LEverage, Proceed terhedap initial
retunr (Studi Terhadap Perusahaan
Non Keuangan yang Melakukan
IPO di Bursa Efek Indonesia
Periode Tahun 200-2006).
Dinamika Manajemen, Vol. 1, No.
1, Nopember 2009.
www.idx.co.id