5
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Ketumbar (Coriandrum sativum)
2.1.1 Taksonomi
Coriandrum sativum memiliki taksonomi sebagai berikut
Kingdom : Plantae
Subkingdom : Tracheobionta
Superfilum : Spermatophyta
Filum : Magnoliophyta
Kelas : Magnoliopsida
Subkelas : Rosidae
Ordo : Apiales
Famili : Apiaceae
Genus : Coriandrum L.
Species : Coriandrum sativum L.
(Mahendra & Bisht, 2011)
Gambar 2.1 Biji Ketumbar (Stuart Jr., 2019)
6
2.1.2 Nama Lain
Arab (kuzbara, kuzbura); Chinese (yuan sui, hu sui); German
(koriander); Japanese (koendoro); English (coriander fruits); Hindic
(Dhaniya); Indonesia (ketumbar) (Nimish L., et al., 2011).
2.1.3 Morfologi
Tanaman ketumbar memiliki daun yang berukuran kecil, memiliki
banyak cabang, dan sub unit. Daun mudanya berbentuk oval dan daun yang
lebih tua lebih memanjang. Bunga yang berwarna putih, memiliki buah
yang bergerombol dan berbentuk bulat. Buah yang berbentuk mericarps
umumnya disatukan oleh margin yang membentuk sebuah cremocarp
dengan ukuran diameter sekitar 2-4 mm, berwarna kuning, coklat atau
kuning-kecoklatan, dengan bau aromatik. Ketumbar memiliki rasa yang
berkarakteristik dan cenderung pedas (Shivanand, 2010).
Berdasarkan De Guzman dan Siemonsma (1999) ketumbar
dibedakan ke dalam tiga kelompok berdasarkan bentuknya, yaitu C. sativum
var. Sativum dengan ukuran buah besar, C. sativum var. Micocarpum
dengan ukuran buah lebih kecil, dan C. sativum var. Indicum yang
mempunyai bentuk buah lonjong. Dapat dibedakan juga ke dalam Sembilan
kelompok berdasarkan ekogeografi, yaitu Eropa, Afrika Utara, Kaukasia,
Asia Tengah, Siria, Ethiopia, India, Bhutanic, dan Omanic (Hadipoentyanti
& Wahyuni, 2004).
7
2.1.4 Habitat dan Distribusi Geofrafi
Ketumbar didistribusikan di Italia, tetapi lebih banyak
dibudidayakan di Belanda, Eropa tengah dan timur, Mediterania, Cina,
India, dan Bangladesh. Ukraina merupakan sumber utama penghasil minyak
ini dan mengontrol permintaan dunia, serta penawaran harga dasar dalam
satu pabrik besar yang terus menerus memproses penyulingan (Sahib, et al.,
2012).
Tanaman menyebar ke Asia Tenggara melalui India (tipe buah bulat
telur), Cina (tipe ukuran buah kecil, bentuk bulat), Mediteranean dan Eropa
(tipe bentuk buah bulat dengan ukuran lebih besar) (Rajeshwari & Andallu,
2010). Ketumbar di Indonesia umumnya dibudidayakan di dataran tinggi
seperti di daerah Boyolali, Salatiga, Temanggung, Sumatera Barat, dan
lainnya (Hadipoentyanti & Wahyuni, 2004).
2.1.5 Kandungan Kimia
Ketumbar memiliki kandungan komponen aktif yaitu vitamin, rasa,
peptida, mineral, asam lemak, polyunsaturated fatty acids, antioksidan,
enzim dan sel hidup (Gitina, et al., 2013). Kandungan kimia terbesar pada
ketumbar yaitu minyak atsiri dengan prosentasi 1,8%. Penyulingan minyak
mengandung linalool (coriandrol) sekitar 65-70%, yang tergantung pada
sumbernya. Kandungan lainnya seperti Monoterpene hidrokarbonα-pinene,
β-pinene, limonene, γ-terpinene, ρ-lymene, borneol, citron wllol, Xmphoe,
Geraniol dan Geranylacetate; Hetero-cyclic compounds –pyrazine,
pyridine, thiazole, furan, tetrahydrofuran derivatives; Isocoumacin
8
(coriandrin), dihyrocoriandrin, coriandrones A-E, glazonoids; Phthalides-
neochidilide, Z-digustilide; Phenolic acids, sterols, dan flavonoid (Bhat, et
al., 2014).
2.1 Tabel Kandungan Minya Atsiri pada Tumbuhan Ketumbar (Coriandrum
Sativum) (Shahwar, et al., 2012; Bhuiyan, et al., 2009)
Parameter Daun Biji
Minyak Atsiri 0,1 % 0,42%
Linalool 13,97% 55,49%
Alpha-pinene 1.90% 7,14%
1. Minyak atsiri
Minyak atsiri disebut juga dengan minyak eteris atau essential oil
yang dihasilkan oleh tanaman, minyak tersebut mudah menguap pada suhu
kamar, berbau wangi sesuai dengan bau tanaman penghasilnya, umumnya
larut dalam pelarut organik, dan tidak larut dalam air (Ariyani, et al., 2008).
Minyak ketumbar merupakan komoditas penghasil minyak atsiri
yang diperkirakan berpotensi dan ber nilai komersial tinggi yang juga belum
diusahakan di Indonesia serta belum diketahui layak tidaknya diusahakan
dan daya saingnya. Kandungan terbesar dalam minyak ketumbar ada lah
senyawa linalool yang dapat dimanfaatkan sebagai bahan baku parfum,
farmasi, aroma makanan dan mi numan, sabun mandi, bahan dasar lilin,
sabun cuci, sintesis vitamin E dan pestisida maupun insektida. Ketumbar
mempunyai aroma yang khas, aromanya disebabkan oleh komponen kimia
yang terdapat dalam minyak atsiri (Handayani & Juniarti, 2012).
Komponen terbesar dalam minyak atsiri adalah linalool. minyak
ketumbar memiliki kandungan linalool sekitar 60-70%. Linalool termasuk
9
senyawa terpenoid alkohol, berbentuk cair, tidak berwarna, beraroma wangi
khas, dengan rumus empiris C10H18O, serta rumus struktur 3,7 dimetil-1,6
oktadien-3-ol. Linalool adalah senyawa alkohol rantai lurus. Senyawa
linalool adalah komponen yang dapat menentukan intensitas aroma harum,
sehingga minyak ketumbar dapat dipergunakan sebagai parfum, memiliki
aroma seperti minyak lavender (Handayani & Juniarti, 2012). Linalool
sendiri dapat menjadi antioksidan, antianxietas, antibakteri (terutama
bakteri gram positif), dan efek antijamur. Efek antijamur tersebut pernah
diujicobakan pada penyebab dermatomikosis (trichophyton sp.) dengan
hasil dapat membunuh jamur tersebut sampai 99.5% (Soković, et al., 2012)..
2.1.6 Manfaat ekstrak
Beberapa penelitian menyatakan, bahwa ketumbar memiliki efek
farmakologi, seperti diuretik, antioksidan, antikonvulsan, sedatif,
antibakteri, antivirus, antijamur, antidiabetik, antimutagen, dan
antihelmintes (Maurya, et al., 2011).
Minyak atsiri pada biji ketumbar telah digunakan dalam makanan,
wewangian, minuman keras industri farmasi sebagai penamba rasa dan
karminatif. Dalam pengobatan dapat juga digunakan sebagai antiseptik,
aromatik kuat, stimulan, karminatif, anti-spasmodik, ekspektoran, anti-
spasmodik dan diuretik (Şimonaţia & Mihuţab, 2009).
10
2.2 Pityrosporum ovale
2.2.1 Taksonomi
Pityrosporum ovale memiliki taksonomi sebagai berikut
Kingdom : Fungi
Filum : Basidiomycota
Subfilum : Ustilaginomycotina
Kelas : Exobasidiomycetes
Ordo : Malasseziales
Famili : Malasseziaceae
Genus : Malassezia
Species : Pityrosporum ovale
(Gaitanis, et al., 2012)
Gambar 2.2 P. ovale menggunakan pewarnaan methylene blue pembesarann
1000x (Rudramurthy, et al., 2014)
2.2.2 Sinonim
Nama lain dari Pityrosporum ovale adalah Malassezia furfur
(Sharma, et al., 2012).
11
2.2.3 Morfologi dan Indentitas
Pityrosporum ovale adalah jamur lipofilik anggota genus
Mallasezia. Morfologi Pytirosporum ovale berkarakteristik oval seperti
botol, berukuran sekitar 1-2 x 2-4 mm, memiliki dinding sel yang tebal , dan
berkembang biak dengan cara blastospora atau tunas (Cafarchia, et al.,
2011). Blastospora dibentuk dari proses pertunasan sederhana dengan tunas
tidak melepaskan diri dari induknya tetapi membentuk kumpulan tunas yang
menempel pada sel yang memanjang atau pseudomiselium, sehingga tunas-
tunas sel tersebut tetap berbentuk oval sehingga membentuk cabang baru
(Rahayu, 2011).
Pityrosporum ovale merupakan normal flora yang umumnya pada
kulit manusia. Kondisi normal, kecepatan pertumbuhan jamur P. ovale
kurang dari 47%. Tetapi, jika adanya faktor pemicu yang dapat mengganggu
keseimbangan P. ovale, maka akan terjadi peningkatan kecepatan
pertumbuhan jamur P. ovale yang dapat meningkat dengan prosentase
mencapai 74% (Cafarchia, et al., 2011; Rahayu, 2011). P. ovale banyak
ditemukan pada daerah kulit yang memiliki banyak kelenjar sebasea, hal
tersebut dikarenakan sifat lipofiliknya membutuhkan lipid untuk
pertumbuhannya (Ningrum, et al., 2017).
P. ovale yang merupakan normal flora kulit dapat menjadi patogen
apabila dipicu oleh beberapa faktor diantaranya seperti suhu dan
kelembapan yang tinggi, kulit yang berminyak, dan terapi yang menekan
12
sistim imun atau immunosppressive seperti terapi kortikosteroid (Ljubojevic
S, et al., 2002).
2.3 Pitiriasis versikolor
2.3.1 Definisi
Pitiriasis versicolor (PV) merupakan infeksi jamur superfisial
kronik, yang disebabkan oleh jamur Malassezia dengan karakteristik
hiperpigmentasi atau hipopigmentasi dengan lesi berbentuk bulat hingga
oval, berskuama halus dan sering ditemukan pada daerah kulit yang
memiliki banyak kelenjar sebasea seperti leher dan lengan bagian atas
(Harada, et al., 2015).
2.3.2 Etiologi
Pitiriasis versikolor disebabkan oleh Malassezia furfur yang dikenal
dengan nama lain P. ovale, ragi yang bersifat lipofilik yang merupakan flora
normal pada kulit (Karray & McKinney, 2019)
2.3.3 Epidemiologi
Pitiriasis versikolor merupakan penyakit universal, terutama
ditemukan didaerah tropis dengan prevalensi mencapai 50% pada populasi
di daerah tropis. Tidak dapat perbedaan berdasarkan jenis kelamin, tetapi
terdapat perbedaan kerentanan berdasarkan usia, lebih banyak ditemukan
pada remaja dan dewasa muda. Kelainan penyakit ini terbanyak ditemukan
berbagai penyakit kulit akibat jamur (Yahya, 2017; Bramono & Budimulja,
2016).
13
2.3.4 Patogenesis
Malassezia sp. yang semula berbentuk ragi saprofit akan berubah
menjadi bentuk miselia yang dapat menyebabkan kelainan kulit Pitiriasis
versikolor. Faktor predisposisi yang diduga dapat menyebabkan perubahan
tersebut berupa suhu, kelembapan lingkungan yang tinggi, faktor genetik,
hiperhidrosis, kondisi imunosupresif, dan malnutrisi. Malassezia sp.
memproduksi asam dikarboksilat yang mengganggu pembentukan pigmen
melanin, dan memproduksi metabolit pityriacitrin yang mempunyai
kemampuan absorbsi sinar UV (ultraviolet) sehingga dapat menyebabkan
lesi hipopigmentasi. Namun, mekanisme terjadinya lesi hiperpigmentasi
belum jelas, tetapi satu studi menunjukkan pada pemeriksaan mikroskop
elektron didapati ukuran melanosom yang lebih besar dari normal (Bramono
& Budimulja, 2016).
2.3.5 Manifestasi Klinis
Lesi Pitiriasis versikolor terutama terdapat pada daerah kulit yang
memiliki banyak kelenjar sebasea, seperti badan bagian atas, leher, dan
perut. Terkadang ditemukan pada wajah dan scalp, dapat juga ditemukan
pada genitalia, aksila, dan lipat paha (Bramono & Budimulja, 2016;
Ningrum, et al., 2017).
Lesi berupa makula berbatas tegas, dapat hipopigmentasi,
hiperpigmentasi, dan kadang eritematosa. Terdiri atas berbagai ukuran dan
berskuama halus. Warna pada lesi bervariasi hampir putih, kemerahan, dan
berwarna kecoklatan. Umumnya tidak disertai gejala subjektif, hanya
14
berupa keluhan kosmetik meskipun terkadang ada pruritus tingan (Bramono
& Budimulja, 2016).
2.3.6 Diagnosis
Dugaan diagnosis Pitiriasis versikolor jika ditemukan gambaran
klinis adanya lesi di daerah predileksi berupa makula berbatas tegas
berwarna putih, kemerahan, hingga hitam, yang berskuama halus.
Pemeriksaan dengan Wood Lamp untuk melihat fluorosensi kuning
keemasan akan membantu diagnosis klinis. Fluoresensi lesi kulit pada
pemeriksaan Wood Lamp berwarna kuning keemasan dan pada pemeriksaan
KOH 20% tampak gambaran spora dan miselium yang sering dilukiskan
sebagai spaghetti and meatball appearance (Tan ST & Reginata G, 2015;
Bramono & Budimulja, 2016).
2.3.6.1 Evoked Scale Sign
Terjadi adanya perubahan struktural lapisan kulit akibat
peningkatan kerapuhan stratum korneum, mungkin disebabkan oleh
gangguan parsial fungsi sawar kulit dan peningkatan transepidermal
waterloss. Keratinase yang diproduksi fase hifa dari spesies ini
mampu menghidrolisis keratin dan memfasilitasi pertumbuhan
jamur di stratum korneum. Jika diregang, stratum korneum akan
mengendur, skuama akan terlihat. Tanda evoked scale sign hanya
ditemukan pada infeksi pitiriasis versikolor. Uji provokasi skuama
dapat dilakukan dengan cara pemeriksa menggunakan ibu jari dan
telunjuk atau kedua jari tangan meregangkan kulit searah 180 derajat
15
lesi kering dapat digores dengan ujung kuku untuk memunculkan
skuama yang melapisi daerah lesi. Sel-sel abnormal akan terangsang
untuk membentuk lapisan deskuamasi yang patognomonik untuk
infeksi pitiriasis versikolor, dalam hal ini evoked scale sign dinilai
positif. (Tan ST & Reginata G, 2015)
2.3.6.2 Sukma’s PV Sign
Pasien dengan Pitiriasis versikolor datang dengan keluhan
makula berbatas tegas, hipopigmentasi, hiperpigmentasi, dan
kadang eritematosa. Terdiri atas berbagai ukuran dan berskuama
halus. Umumnya tidak disertai gejala subjektif, hanya berupa
keluhan kosmetik meskipun terkadang ada pruritus tingan. Sukma’s
PV Sign yaitu apabila lesi diregang, akan muncul sisik putih berbatas
jelas. Skuama hanya sebatas lesi dengan susunan rapi, teratur, sejajar
dengan garis kulit (Tan ST & Reginata G, 2015; Bramono &
Budimulja, 2016). Perbedaan Sukma’s PV sign dengan penemuan
evoked scale sign adalah hanya menggambarkan skuama akibat
regangan tanpa memperhatikan sisik yang tersusun rapi, sejajar
dengan kulit, dan berbatas pada lesi karena skuama halus juga
kadang dapat ditemukan pada pitiriasis alba dan kulit kering (Tan
ST & Reginata G, 2015).
2.3.7 Diagnosis Banding
Beberapa kelainan yang memiliki klinis yang mirip dan perlu
dibedakan dari pitiriasis versikolor, antara lain pitiriasis alba, eriytrasma
16
vitiligo, dermatitis seboroik, pitiriasis rosea, morbus Hansen tipe
tuberkuloid dan tinea. Perbedaan karakteristik klinis perlu dicermati, dan
pemeriksaan penunjang yang sesuai dapat membantu untuk menyingkirkan
diagnosis (Bramono & Budimulja, 2016).
Pitiriasis alba memiliki lesi hipopigmentasi, asimtomatik dan belum
diketahui etiologinya. Pitiriasis alba lebih sering dijumpai pada anak
hingga dewasa muda sekitar usia 3 – 16 tahun. Lesi berupa makula
berbentuk bulat, oval, irreguler, awalnya berwarna merah muda tertutup
skuama halus. Lalu, akan menjadi lesi hipopigmentasi dalam beberapa
minggu dan skuama akan berangsur menghilang seiring perjalanan
penyakitnya. Pada Pitiriasis alba, biasanya sukma’s PV sign dan evoked
scale sign negatif. Hal ini dapat dikonfirmasi ulang dengan pemeriksaan
Wood Lamp lesi tidak berwarna kuning keemasan seperti pada Pitiriasis
versikolor dan pada pemeriksaan KOH tidak ditemukan hifa dan spora (Tan
ST & Reginata G, 2015).
2.3.8 Tatalaksana
Sebagai obat topikal dapat digunakan antara lain ketokonazol 2%
bentuk sampo, selenium sulfide bentuk sampo 1,8% atau bentuk losion
2,5% yang dioleskan setiap hari selama 15-30 menit kemudian dibilas.
Pengolesan dianjurkan di seluruh badan selain kepala dan genitalia.
Alternatif lain, dapat menggunakan solusio natrium hiposulfit 20%, solusio
propilen glikol 50%. Selain itu, dapat menggunakan losion selenium sulfida
2,5 % yang diberikan pada daerah lesi selama 7-10 menit, untuk penggunaan
17
harian pada kasus yang lebih berat dapat digunakan 3-4 kali selama 1
minggu (Bramono & Budimulja, 2016).
Untuk lesi terbatas berbagai krim derivat azol misalnya mikonazol,
klotrimazol, dan isokonazol dapat digunakan. Obat topikal sebaiknya
diteruskan 2 minggu setelah hasil pemeriksaan dengan Wood Lamp dan
pemeriksaan mikologis langsung kerokan kulit negatif. Obat sistemik juga
dipertimbangkan pada lesi luas, kambuhan, dan gagal dengan terpai topikal.
Antara lain dengan penggunaan ketokonazol 200 mg/hari selama 5-10 hari
atau itrakonazol 200 mg hari selama 5-7 hari (Bramono & Budimulja, 2016).
2.3.9 Prognosis
Prognosis baik jika pengobatan dilakukan secara tekan, konsisten,
dan faktor predisposisi dapat dihindari. Lesi hipopigmentasi dapat bertahan
sampai beberapa bulan setelah jamur negatif, hal ini perlu dijelaskan kepada
pasien (Bramono & Budimulja, 2016).
2.4 Uji Kepekaan Terhadap Antimikroba secara In Vitro
Uji kepekaan antimikroba merupakan penentuan terhadap mikroba
penyebab penyakit yang kemungkinan menunjukkan resistensi terhadap suatu anti
mikroba atau kemampuan suatu anti mikroba dalam menghambat pertumbuhan
mikroba secara in vitro dengan tujuan dapat digunakan sebagai antimikroba yang
memiliki potensi untuk pengobatan (Soleha, 2015)
Pengujian dilakukan dibawah kondisi standar, yang berpedoman pada
Clinical and Laboratory Standards Instute (CLSI). Standar yang harus dipenuhi
merupakan konsentrasi inokulum mikroba, media perbenihan dengan
18
memperhatikan pH, suhu inkubasi, lamanya inkubasi, dan konsentrasi antimikroba
(Soleha, 2015).
Metode yang biasa dilakukan untuk mengukur kemampuan suatu
antimikrooba dalam menghambat pertumbuhan mikroba yaitu metode dilusi dan
dilusi agar (Soleha, 2015).
2.4.1 Metode Dilusi
Metode dilusi terdiri atas dua teknik dalam pengerjaannya, yaitu
dilusi perbenihan cair dan dilusi agar bertujan untuk menentukan aktivitas
antimikroba secara kuantitatif, antimikroba dilarutkan kedalam agar atau
kaldu yang kemudian ditambahkan dengan mikroba baik bakteri atau jamur
yang akan diuji. Setelah diinkubasi selama 24 jam, hasil pengamatan yang
akan diperoleh berupa tumbuh atau tidak tumbuhnya mikroba dalam media.
Aktivitas zat antimikroba ditentukan dengan melihat konsentrasi hambat
minimum yang merupakan konsentrasi terkecil dari zat anti mikroba uji
yang masih memberikan efek dalam menghambat pertumbuhan mikroba uji
(Soleha, 2015).
a. Dilusi Perbenihan Cair
Dilusi perbenihan cair dilakukan dengan menggunakan
sederetan tabung reaksi yang diisi dengan inokulum kuman dan
larutan antibakteri dalam berbagai konsentrasi. Terdiri dari
mikrodilusi dan makrodilusi. Pada dasarnya pengerjaannya sama
hanya berbeda pada volumenya. Untuk makrodilusi volume yang
digunakan lebih dari 1 ml, sedangkan mikrodilusi volume digunakan
19
antara 0,05 - 0,1 ml. Antimikroba yang digunakan disediakan dalam
berbagai pengenceran biasanya dalam satuan µg/ml. Konsentrasi
bervariasi bergantung dengan sifat dan jenis antimikroba. Secara
umum untuk penentuan kadar hambat minimum, pengenceran
antimikroba dilakukan penurunan konsentrasi setengahnya misalnya
dari 16, 8, 4, 2, 1 µg/ml dst. Lalu konsentrasi terendah yang
menunjukkan hambatan pertumbuhan mikroba dengan jelas dilihat
secara visual disebut juga dengan Kadar Hambat Minimum (KHM)
(Soleha, 2015).
b. Dilusi Agar
Pada teknik dilusi agar, konsentrasi sesuai pengenceran akan
ditambahkan ke dalam agar, sehingga akan memerlukan perbenihan
agar sesuai dengan jumlah pengenceran ditambah satu perbenihan
agar untuk kontrol tanpa penambahan antimikroba. Konsentrasi
terendah antimikroba yang mampu menghambat pertumbuhan
mikroba merupakan KHM antimikroba yang diuji. Salah satu
kelebihan metode agar dilusi yaitu untuk penentuan KHM dari
mikroba yang tidak dapat tumbuh pada metode dilusi perbenihan
cair seperti Neisseria gonorrohoeae.
Dasar penentuan antimikroba secara in vitro adalah KHM
dan Kadar Bunuh Minimal (KBM). KHM merupakan konsentrasi
terendah antimikroba yang dapat menghambat pertumbuhan
mikroba dengan hasil yang dilihat dari pertumbuhan mikroba yaitu
20
jamur atau bakteri dengan hasil yang dilihat dari pertumbuhan
koloni pada agar atau kejernihan pembiakan cair. KBM merupakan
konsentrasi terendah antimikroba yang dapat membunuh 99,9%
pada biakan selama waktu yang ditentukan (Soleha, 2015).
Penentuan konsentrasi minimum antimikroba yang dapat
membunuh mikroba uji dilakukan dengan menanam mikroba uji
pada perbenihan cair yang digunakan untuk uji KHM ke dalam agar
yang kemudian diinkubasi semalam pada suhu tertentu sesuai suhu
mikroba yang diujikan. KBM adalah ketika tidak terjadi
pertumbuhan mikroba lagi pada agar (Soleha, 2015).
Kadar Hambat Minimum (KHM) dan Kadar Bunuh Minimum (KBM)
merupakan dasar dari penentuan antimikroba secara in vitro. KHM merupakan
konsentrasi antimikroba terendah yang mampu menghambat >90% suatu mikroba
dengan mengamati pertumbuhan koloni mikroba bisa jamur atau bakteri pada
media agar dan mengamati kejernihan pada pembiakan cair. KBM merupakan
konsentrasi antimikroba terendah yang mampu membunuh biakan 99,9% dalam
waktu yang ditentukan (Silvério & Lopes, 2012; Soleha, 2015)
Keuntungan metode dilusi memungkinkan penentuan kualitatif dan
kuantitatif dilakukan bersama-sama. KHM dapat membantu dalam menentukan
tingkat resistensi dan dapat menjadi petunjuk penggunaan antimikroba.
Kerugiannya metode ini tidak menguntungkan karena pengerjaannya memerlukan
banyak alat-alat dan bahan serta memerlukan ketelitian dalam proses pengerjaannya
termasuk persiapan konsentrasi antimikroba yang bervariasi (Soleha, 2015)
21
2.4.2 Metode Difusi
Pada metode ini, penentuan aktivitas didasarkan oleh kemampuan
difusi dari zat antimikroba dalam lempeng agar yang telah diinokulasikan
dengan mikroba uji. Hasil pengamatan yang akan diperoleh berupa ada atau
tidaknya zona hambatan yang akan terbentuk disekelilingi zat antimikroba
pada waktu tertentu masa inkubasi. Pada metode ini, dapat dilakukan
dengan cara cakram. Cakram kertas yang telah dibubuhkan sejumlah
tertentu antimikroba, lalu ditempatkan pada media yang telah ditanami
organisme yang akan diuji secara merata. Tingginya konsentrasi dari
antimikroba ditentukan oleh difusi dari cakram dan pertumbuhan organisme
uji dihambat penyebarannya sepanjang difusi antimikroba (terbentuk zona
jernih disekitar cakram), sehingga mikroba tersebut menjadi mikroba yang
sensitif terhadap antimikroba.
Hasil dari tes kepekaan, mikroorganisme terbagi dengan klasiifikasi
ke dalam dua atau lebih kategori. Sistem yang sederhana dapat menentukan
dua kategori, yaitu sensitif dan resisten. Meskipun klasifikasi tersebut,
memberikan banyak keuntungan untuk kepentingan statistik dan
epidemiologi, bagi klinisi merupakan ukuran yang terlalu kasar untuk
digunakan. Dengan demikian, hasil dengan tiga klasifikasi yang biasa
digunakan yaitu sensitif, intermediet, dan resisten. Ukuran zona jernih
tergantung pada kecepatan difusi antimikroba, derajat sensitifitas
mikroorganisme, dan keceptan pertumbuhan mikroba. Zona hambat cakram
antimikroba pada metode difusi berbanding terbalik dengan KHM. Semakin
22
luas zona hambat, maka semakin kecil konsentrasi daya hambat minimum.
Untuk derajat kategori mikroba dibandingkan terhadap diameter zona
hambat yang berbeda-beda setiap antimikroba, sehingga dapat ditentukan
kategori resisten, intermediet atau sensitif terhadap antimikroba.
Alasan dilakukan uji kepekaan antimikroba bertujuan untuk
mendapatkan agen antimikroba yang tepat bertujuan untuk pengobatan
penyakit infeksi tertentu. Uji sensitifitas antimikroba tidak dilakukan pada
setiap spesimen, melainkan hanya dilakukan pada spesimen dengan jenis
mikroba tertentu yang belum diketahui secara umum sensitiftasnya terhadap
beberapa jenis antimikroba yang umum digunakan (Soleha, 2015).
2.6 Hubungan Antara Minyak Atsiri Terhadap P. ovale
Linalool sebagai antijamur memiliki mekanisme kerja dengan cara
mengganggu siklus sel pada fase G1 yang dapat menyebabkan apoptosis pada sel
C.albicans. Linalool menyebabkan penghambatan lebih dari 50% kuman yang
dibiakkan dalam tabung percobaan (Zore, et al., 2011)
Selain itu, kandungan minyak Atsiri Senyawa monoterpen seperti α - pinen
dan β - pinen menggangu membran sel dengan menghambat sintesis ergosterol,
meningkatkan permeabilitas membran, merusak struktur protein membran, dan
menggangu rantai respirasi dari sel jamur (Paduch, et al., 2007) dan mengubah
fungsi membran dalam proses pengangkutan senyawa-senyawa essensial, sehingga
dapat menyebabkan ketidakseimbangan metabolik dan menghambat pertumbuhan
atau menimbulkan kematian sel jamur (Sari & Nugraheni, 2013). Dalam penelitian
yang sudah dilakukan oleh Rahman, 2016 bahwa minyak atsiri Biji Ketumbar
23
(Coriandum Sativum) memiliki efek menurunkan pertumbuhan jamur C. albicans
secara in vitro.